You are on page 1of 3

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG MASALAH


Pengelolaan lingkungan hidup merupakan kewajiban bersama berbagai pihak baik
pemerintah, pelaku industri, dan masyarakat luas. Hal ini menjadi lebih penting lagi mengingat
indonesia sebagai negara yang perkembangan industrinya cukup tinggi dan saat ini dapat
dikategorikan sebagai negara semi industri (semi industrialized country). Sebagaimana
lazimnya negara yang masih berstatus semi industri , target yang lebih diutamakan ialah
peningkatan pertumbuhan output , sementara perhatian terhadap eksternalitas negatif dari
pertumbuhan itu sangat kurang. Salah satu contohnya adalah industri rumahan kain sasirangan
yang terletak di kampung sasirangan, kelurahan sungai jingah , kecamatan banjarmasin utara,
kota banjarmasin, yang membuang air limbah industrinya kealiran sungai dan dapat
menyebabkan pencemaran zat warna hasil pewarnaan kain sasirangan di sungai yang
terpanjang di banjarmasin yaitu sungai matapura . Sedangkan , air sungai tersebut digunakan
untuk kebutuhan sehari – hari seperti halnya mandi , memasak , dan kebutuhan lainnya.

Sasirangan adalah kain adat suku Banjar di Kalimantan Selatan yang dibuat dengan
teknik tusuk jelujur. Sejak tahun 2007, industri sasirangan ditetapkan sebagai salah satu dari
sepuluh komoditi/produk/jenis usaha (KPJU) unggulan Kalimantan Selatan (Putra, 2011).
Dalam proses pembuatan kain sasirangan terdapat dampak yang menimbulkan kekhawatiran
terhadap pencemaran lingkungan yaitu pada proses pewarnaan kain. Pengertian dari pewarnaan
itu sendiri yaitu pemberian warna yang merata pada suatu bahan yang mempunyai sifat kurang
lebih permanen dan pada umumnya pewarnaan terdiri dari melarutkan atau mendispersikan zat
warna dalam air atau medium lain kemudian bahan tekstil dimasukkan atau dicolet dengan
larutan tersebut sehingga terjadi penyerapan zat warna kedalam serat kain.

Pada saat ini permintaan konsumen akan kain sasirangan yang cukup tinggi membuat
para industri rumahan sasirangan tidak lagi menggunakan ramuan alam seperti daun jati / daun
pandan untuk membuat warna hijau , kunyit yang digunakan untuk membuat warna kuning.
Padahal penggunaan dari zat pewarna alami ini sangat ramah lingkungan dan tidak berdampak
buruk / merugikan apabila limbahnya dibuang kesungai. Melainkan menggunakan zat warna
sintesis seperti naftol dan natrium nitrit / indigosol yang mudah didapat dan harganya yang
relatif lebih murah serta tidak memerlukan banyak waktu dalam proses pewarnaan kain
sasirangan. Selain itu dalam proses pemberian warna ini juga menggunakan bahan kimia
seperti sodium hidrosulfite atau sodium ditionit (Na2S2O4) yang berguna untuk agen pereduksi
dalam bahan larutan encer. Contoh untuk penggelanantangan reduktif pada katun, reduksi
pewarna tangki (vat dyes) dan indigo ke dalam bentuk yang dapat larut dalam air. Disamping
itu juga menggunakan sodium karbonat (Na₂CO₃) dan sodium silikat (Na2SiO3). Sodium
karbonat adalah bubuk kristal putih yang dikenal juga sebagai abu soda. Kenggunaannya
dalam proses pewarna ialah untuk menyesuaikan pH pada kolam pewarna, memperbaiki
kemurnian pada pewarna dalam proses pewarnaan, penyempurnaan krep pada kain, dan untuk
proses pemasakan kain. Sodium silikat (water glass) adalah senyawa alkali yang
kuat.Kenggunaannya dalam industri tekstil ialah sebagai bahan pengikat untuk zat-zat pewarna
reaktif, dan sebagai stabilisator dalam proses pengelantangan dengan peroksida.

Menurut (hardini ,dkk .,2009) Apabila melibatkan proses pewarnaan dan pencelupan
dengan menggunakan pewarna sintetik seperti naphtol, indigosol, akan menghasilkan reaktif
limbah cair berwarna pekat dalam jumlah yang cukup besar.Pelepasan air limbah industri
tekstil ke lingkungan tanpa melalui proses pengolahan terlebih dahulu dapat merusak
ekosistem badan air penerima dan menjadi racun bagi organisme air, bahkan beberapa jenis
pewarna diduga bersifat karsinogen dan membahayakan kesehatan manusia (Pinheiro, et al.,
2004;Erdem, et al., 2005; Babu,et al., 2007; Hameed, 2009). Disamping itu penggunaan zat
kimia ini juga berdampak buruk bagi kesehatan manusia seperti nafthol dan indigosol yang
menyebabkan iritasi mata dan kulit, gangguan pernapasan, muntah , pusing ,penurunan tekanan
darah , sakit perut bahkan dapat menyebabkan kerusakan ginjal dan hati.

Berdasarkan Peraturan Gubernur Kalimantan Selatan No.36 Tahun 2008, Standar baku
mutu limbah cair yang ditetapkan, yaitu kandungan logam Kromium (Cr), tidak boleh melebihi
1,0 mg/L. Berdasarkan penelitian Mawaddah (2002) dan Mujaiyanah (2008) mengenai analisis
Cr pada limbah sasirangan diketahui bahwa konsentrasi Cr sebesar 1,54 mg/L, penelitian
Maulidia, 2013 mengenai logam Cd didapat 0,027 mg/L padahal menurut peraturan Pemerintah
No. 82 tahun 2001 tentang pengolahan kualitas air tidak boleh melebihi dari 0,01 mg/L,
penelitian Andi Mizwar, 2012 konsentrasi BOD sebesar 277 mg/L padahal menurut peraturan
Menteri Negara dan Lingkungan Hidup No. 03 tahun 2010 kadar BOD tidak boleh lebih dari
50mg/L, penelitian Irawati et al., 2011 terhadap konsentrasi COD sebesar 554 mg/L, padahal
menurut peraturan Menteri Negara dan Lingkungan Hidup No. 03 tahun 2010 kadar COD
tidak boleh lebih dari 100mg/L, nilai TSS sebesar 862 mg/L, padahal menurut peraturan
Menteri Negara dan Lingkungan Hidup No. 03 tahun 2010 kadar TTS tidak boleh lebih dari
150mg/L, dan kekeruhan didapatkan 74,7 NTU, padahal menurut MenKes No. 907 tahun 2022
kadar kekeruhan tidak boleh melebihi 5 NTU.

Menurut Undang-Undang Republik UU Nomor 32 tahun 2009 tentang Perlindungan


dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UU PPLH) mengatakan bahwa bahan berbahaya dan
beracun beserta limbahnya perlu dilindungi dan dikelola dengan baik. Wilayah Negara
Kesatuan Republik Indonesia harus bebas dari buangan limbah bahan berbahaya dan beracun
dari luar wilayah Indonesia.

UU No. 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air menyatakan bahwa sungai merupakan
salah satu bentuk alur air permukaan yang harus dikelola secara menyeluruh, terpadu
berwawasan lingkungan hidup dengan mewujudkan kemanfaatan sumber daya air yang
berkelanjutan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Dengan demikian sungai harus
dilindungi dan dijaga kelestariannya, ditingkatkan fungsi dan kemanfaatannya, dan
dikendalikan dampak negatif terhadap lingkungannya. Maka dari itu kami ingin menyadarkan
masyarakat yang mempunyai industri rumahan kain sasirangan untuk mengolah limbahnya
terlebih dahulu sebelum dibuang kesungai dengan mengadakan workshop dan demostrasi
pembuatan IPAL (Instalasi pengolahan air limbah) di daerah tersebut.

1.2 RUMUSAN MASALAH


Berdasarkan uraian latar belakang masalah tersebut maka rumusan masalah yang sesuai
dengan kondisi daerah tersebut yaitu :
a. Bagaimana cara mengolah limbah cair hasil pewarnaan dari produksi kain sasirangan?
b. Bagaimana cara membuat mini IPAL ?
c. Bagaimana cara merawat mini IPAL agar tetap berfungsi sebagai filter air limbah?

1.3 TUJUAN
Dalam Program Pengabdian yang akan dilakukan tujuan yang akan dicapai adalah sebagai
berikut:
a. Memberikan pelatihan cara mengolah limbah cair hasil dari produksi kain sasirangan.
b. Memberikan pengetahuan cara membangun IPAL.
c. Memberikan pengetahuan cara merawat IPAL agar tetap berfungsi sebagai filter air
limbah.

1.4 MANFAAT
Dalam program pengabdian masyarakat ini, adapun manfaat yang dihasilkan dari
pembuatan IPAL yaitu:

1. Bagi Pemerintah
a. Adanya pelatihan ini dapat membantu program pemerintah dalam upaya
pembangunan berkelanjutan.
b. Adanya pelatihan ini dapat membantu pemerintah dalam mengurangi pencemaran
lingkungan akibat limbah pewarnaan kain sasirangan di kampung sasirangan,
kelurahan sungai jinggah , kecamatan banjarmasin utara , kota banjarmasin .
2. Bagi Masyarakat
a. Menambah pemahaman tentang kelestarian lingkungan.
b. Memberikan keterampilan dalam mengolah limbah cair dari produksi kain
sasirangan.
3. Bagi mahasiswa
a. Sebagai wujud pengabdian kepada masyarakat dalam menyumbangkan ilmu dan
pengetahuan yang dimiliki dalam upaya mewujudkan tri dharma perguruan tinggi.

You might also like