You are on page 1of 84

Bab I.

Fenomena Gempa

I.1 Pendahuluan
Geofisika adalah bidang ilmu yang mempelajari fenomena-fenomena fisik yang yang
berhubungan dengan kebumian. Seismologi adalah cabang dari ilmu geofisika yang
mempelajari mekanisme terjadinya gempa serta gelombang seismik yang ditimbulkannya,
sedangkan orang yang mempelajari seimologi disebut seimolog. Dari sudut pandang rekayasa
bangunan, seimologi diharapkan dapat memberikan data atau informasi yang akurat untuk
memperkirakan pengaruh gempa yang perlu dipertimbangkan pada perancangan struktur
bangunan. Seimologi juga memberikan konstribusi yang penting bagi kita untuk dapat
memahami struktur bagian dalam dari bumi.
Kerusakan yang dapat ditimbulkan gempa tergantung dari besar (magnitude) dan
lamanya gempa, atau banyaknya getaran yang terjadi. Desain struktur dan material yang
digunakan untuk konstruksi bangunan, juga akan berpengaruh terhadap intensitas kerusakan
yang terjadi. Tingkat kekuatan gempa bervariasi mulai dari getaran yang ringan, sedang,
sampai getaran kuat yang dapat dirasakan sampai ribuan kilometer. Gempa dapat
menyebabkan perubahan bentuk dari permukaan bumi, menyebabkan runtuhnya struktur
bangunan, atau menyebabkan terjadinya gelombang pasang yang besar (tsunami). Akibat
kerusakan yang ditimbulkan oleh gempa akan menyebabkan jatuhnya korban jiwa dan
kerugian harta benda dalam jumlah yang banyak.
Di seluruh dunia, gempa dapat terjadi ratusan kali setiap harinya. Suatu jaringan alat
seismograph (alat untuk mencatat pergerakan tanah akibat gempa) yang terpasang di seluruh
dunia, mendeteksi sekitar 1 juta gempa ringan terjadi setiap tahunnya. Gempa sangat kuat
(great earthquake) seperti yang terjadi pada 1964 di Alaska yang mengakibatkan kerugian
jutaan dollar, terjadi sekali dalam beberapa tahun. Gempa-gempa kuat (major earthquake)
seperti yang terjadi di Loma Prieta, California pada 1989 dan di Kobe, Jepang pada 1995,
dapat terjadi 20 kali setiap tahunnya. Gempa kuat juga dapat menyebabkan banyak kerugian
materi dan korban jiwa.
Dalam 500 tahun terakhir, gempa telah menyebabkan jutaan korban jiwa di seluruh
dunia, termasuk 240000 korban saat terjadi gempa Tang-Shan di Cina pada 1976. Gempa juga
mengakibatkan kerugian properti dan kerusakan struktur. Persiapan-persiapan yang memadai
seperti pendidikan atau sosialisasai mengenai bahaya gempa, perancangan keselamatan saat
terjadi gempa, perkuatan struktur bangunan yang sudah berdiri dan desain struktur bangunan
tahan gempa, dapat mengurangi jumlah korban jiwa dan kerusakan infrastruktur yang
disebabkan oleh gempa.

I.2 Interior Bumi


Seismolog juga mempelajari gempa untuk mengungkap lebih jauh mengenai struktur
bagian dalam (interior) dari bumi. Gempa memberikan kesempatan bagi ilmuwan untuk
melakukan observasi bagaimana bagian dalam dari bumi merespon ketika gelombang gempa
melewatinya. Mengukur kedalaman dan struktur geologi di dalam bumi dengan menggunakan
gelombang gempa adalah lebih sulit dibandingkan dengan mengukur jarak pada permukaan
bumi. Dengan menggunakan gelombang gempa, seismolog mendapatkan gambaran mengenai
susunan dari interior bumi yang terdiri dari 4 bagian, yaitu : permukaan bumi (crust), selimut
bumi (mantle), inti bagian dalam (inner core) dan inti bagian luar (outer core). Susunan
bagian dalam bumi diperlihatkan pada Gambar I.1.

Gambar I.1. Susunan struktur bagian dalam bumi

Studi yang intensif terhadap gempa dimulai pada akhir abad ke 19, dimana pada saat itu
mulai banyak dipasang jaringan alat seismogragh untuk melakukan observasi di seluruh
dunia. Pada 1897, ilmuwan mendapatkan cukup banyak seismogram gempa yang
mengindikasikan bahwa gelombang gempa P dan S telah menjalar jauh sampai ke dalam
bumi. Dengan mempelajari perilaku perambatan gelombang gempa P dan S ini, seismolog
menemukan suatu struktur lapisan geologi yang besar di bagian dalam bumi. Dengan
menggunakan hasil pengukuran ini, seismolog mulai menginterpretasikan struktur geologi
bumi yang dilewati oleh gelombang P dan S.

Rekayasa Gempa – Teknik Sipil Universitas Diponegoro 1


Berdasarkan pengamatan terhadap pola perambatan gelombang P dan S, pada 1904
seimolog dari Croatia A. Mohorovicic menyebutkan bahwa pada bagian luar bumi terdapat
suatu lapisan permukaan (crust) di atas lapisan batuan yang keras. Dia berpendapat bahwa di
dalam bumi, gelombang gempa dipantulkan secara tidak menerus (discontinue) akibat adanya
perubahan sifat kimiawi atau struktur geologi batuan. Dari penemuannya ini, lapisan
pertemuan antara lapisan permukaan bumi dengan lapisan selimut bumi (mantle) di
bawahnya,diberi nama Mohorovicic atau Moho Discontinuity.
Pada 1906, R.D. Oldham dari India menggunakan waktu kedatangan dari gelombang P
dan S untuk memastikan bahwa bumi mempunyai pusat atau inti (core) yang besar. Dia
menginterpretasikan struktur bagian dalam bumi dengan membandingkan kecepatan rambat
gelombang P terhadap gelombang S, dan diketahui bahwa perambatan gelombang P
mengalami perubahan arah akibat diskontinuitas seperti pada Moho Discontinuity.
Pada 1914, dengan menggunakan waktu perambatan dari gelombang gempa yang
dipantulkan dari batas antara selimut dan inti bumi, seismolog Beno Gutenberg dari Jerman
dapat memperkirakan besarnya radius dari inti bumi yaitu sekitar 3500 km. Pada 1936
seismolog Inge Lehmann dari Dermark menemukan pusat struktur bumi yang lebih kecil yang
dikenal sebagai inti bagian dalam (inner core) bumi. Dengan mengukur waktu kedatangan
gelombang gempa yang diakibatkan oleh gempa yang terjadi di Pasific Selatan (South
Pasific), dia dapat memperkirakan besarnya radius inti bagian dalam bumi sebesar 1216 km.
Pada saat gelombang gempa merambat melewati bumi dan mencapai pusat observatori gempa
di Denmark, dia mendapatkan kesimpulan bahwa kecepatan dan waktu kedatangan
gelombang gempa telah mengalami pembelokan oleh inti bumi bagian dalam. Pada
penelitian-penelitian lebih lanjut terhadap gelombang gempa, seismolog menemukan fakta
bahwa inti bagian luar (outer core) dari bumi merupakan cairan, sedangkan inti bagian dalam
bumi terdiri dari benda padat.
Seperti sudah dijelaskan di atas, bumi terdiri dari beberapa lapisan yaitu lapisan
permukaan bumi, selimut bumi, inti bagian dalam dan bagian luar. Lapisan lithosphere setebal
kurang lebih (50-100) km adalah bagian dari lapisan permukaan dan lapisan selimut bumi
bagian atas, dan merupakan lapisan batuan sangat padat. Di atas lapisan lithosphere ini
terdapat benua (continent) dan lautan (ocean). Di bawah lapisan lithosphere terdapat lapisan
asthenosphere yang merupakan lapisan batuan kurang padat. Lapisan ini mengelilingi lapisan
mantle. Lapisan lithosphere bumi patah menjadi lebih kurang dua puluh keping bagian yang
disebut pelat tektonik (plate tectonic). Pelat-pelat tektonik ini mengambang di atas lapisan
asthenosphere, dan secara perlahan bergerak. Secara periodik beberapa pelat akan saling

Rekayasa Gempa – Teknik Sipil Universitas Diponegoro 2


berbenturan satu dengan yang lainnya, dan dapat menyebabkan patahan pada permukaan
bumi. Tumbukan antara pelat dapat memicu timbulnya gempa.

Gambar I.2. Lapisan Lithosphere dan Asthenosphere

I.3 Pelat Tektonik


Jika gempa vulkanik terjadi akibat aktifitas gunung berapi, maka gempa tektonik terjadi
akibat benturan antara pelat-pelat tektonik yang terdapat pada lapisan luar dari bumi. Menurut
teori pelat tektonik, lapisan terluar dari bumi terdiri dari pelat-pelat batuan yang saling
bergerak relatif satu dengan yang lainnya. Teori ini diformulasikan pada awal 1960, dan
merupakan suatu penemuan yang baru di bidang geologi. Dengan menggunakan teori ini, para
ilmuwan dapat secara ilmiah menjelaskan beberapa fenomena geologi seperti letusan gunung
berapi, mekanisme terdinya gempa, terbentuknya pegunungan, serta formasi dari lautan dan
benua.
Teori pelat tektonik dikembangkan dari teori yang diusulkan oleh ilmuwan German
Alfred Wegener pada 1921. Dengan melihat bentuk dari benua-benua yang ada sekarang ini
dan dengan bukti-bukti geologi yang ditemukan di setiap benua, ia mengembangkan suatu
teori mengenai benua yang lepas (continental drift).

Rekayasa Gempa – Teknik Sipil Universitas Diponegoro 3


Gambar I.3. Perubahan formasi benua-benua yang ada di bumi.

Rekayasa Gempa – Teknik Sipil Universitas Diponegoro 4


Teori continental drift diawali dengan pendapat bahwa pada masa lalu benua-benua
yang ada di bumi ini pernah bergabung menjadi satu membentuk benua yang sangat besar
(supercontinent) yang disebut Pangaea.
Gambar I.3 menunjukkan formasi benua pada 200 juta tahun yang lalu ketika semua
benua masih berkumpul menjadi satu. Sekitar 160 juta tahun yang lalu Pangaea terpecah
menjadi dua benua yang besar yaitu Laurasia dan Gondwaland. Setelah sekian lama, kedua
benua besar tersebut pecah menjadi beberapa benua dengan dengan bentuk yang seperti yang
terlihat sekarang. Diperkirakan perubahan formasi dari benua-benua akan terus berlangsung.
Pada gambar juga diperlihatkan prediksi dari formasi benua pada 60 juta tahun mendatang.
Para ahli geologi pada 1960 menemukan bukti yang mendukung ide dari pelat tektonik
dan pergerakannya. Mereka menggunakan teori dari Wegener pada berbagai aspek dari
perubahan bumi, dan menggunakan bukti-bukti ini untuk memperkuat teori mengenai benua
yang lepas. Pada 1968 para ilmuwan menggabungkan banyak kejadian geologi pada suatu
teori yang disebut Global Tektonik Baru (New Global Tectonics) atau lebih dikenalal dengan
nama Pelat Tektonik.
Saat ini terdapat tujuh buah pelat tektonik yang besar dan beberapa pelat yang
berukuran lebih kecil. Beberapa pelat yang besar meliputi pelat Pasific, pelat North American,
pelat Eurasian, pelat Antartica, dan pelat Africa. Pelat yang lebih kecil tediri dari pelat Cocos,
pelat Nazca, pelat Caribean, pelat Philippine.

Gambar I.4. Pelat-pelat tektonik bumi

Rekayasa Gempa – Teknik Sipil Universitas Diponegoro 5


Ukuran dari pelat tektonik sangat bervariasi, sebagai contoh, pelat Cocos mempunyai
lebar 2000 km, sedangkan pelat Pacific yang merupakan pelat yang terbesar mempunyai
ukuran lebar 14000 km.
Para ahli geologi mempelajari bagaimana pelat-pelat tektonik tersebut dapat bergerak
relatif terhadap suatu tempat yang tetap pada lapisan mantel, dan pergerakan relatif antara
satu pelat tektonik dengan pelat lainnya. Tipe gerakan yang pertama dari pelat tektonik
disebut gerakan absolut, dan gerakan ini dapat menjebabkan terbentuknya rangkaian gunung
berapi. Tipe gerakan yang kedua disebut gerakan relatif, dan gerakan ini dapat menyebabkan
berbagai bentuk perubahan permukaan bumi.
Teori yang dapat digunakan untuk menjelaskan terjadinya pergerakan-pergerakan pelat-
pelat tektonik bumi adalah teori Sea Floor Spreading yang dikembangkan oleh F. J. Vien dan
D. H. Mathews pada 1963. Teori ini menyatakan bahwa permukaan bumi seluruhnya tertutup
oleh lebih kurang 20 lapisan lithospere, yaitu lapisan batuan yang berbentuk pelat-pelat
tektonik yang mempunyai ukuran berbeda-beda serta tebalnya berkisar antara 50–100 km.
Karena lapisan permukaan bumi dengan ketebalan (50-100) km mempunyai temperatur
relatif jauh lebih rendah dibanding dengan lapisan didalamnya, yaitu lapisan asthenosphere
yang terdiri selimut bumi dan inti bumi, maka akan terjadi aliran konveksi dimana massa
dengan temperatur tinggi mengalir ke daerah temperatur rendah atau sebaliknya. Teori aliran
konveksi ini sudah lama berkembang untuk menerangkan pergeseran pelat-pelat tektonik
yang menjadi penyebab utama terjadinya gempa.
Benua dan lautan yang terletak di atasnya, diangkut oleh pergerakan pelat-pelat tektonik
ini akibat proses geologi. Pelat-pelat tektonik selalu bergerak antara satu dengan yang lainnya.
Pergerakan pelat-pelat tektonik ini bervariasi, dan ada yang mencapai 10 cm pertahun.
Pada perbatasan atau pertemuan antara pelat-pelat tektonik, dapat terjadi beberapa
proses geologi yaitu :
 Subduction, yaitu pelat tektonik yang satu bergerak membelok ke bawah, sedangkan
pelat yang lain sedikit terangkat.
 Extrusion, yaitu kedua pelat tektonik saling bergerak ke atas kemudian saling menjauh.
 Intrusion, yaitu kedua pelat tektonik saling mendekat kemudian bergerak ke bawah
 Trancursion, yaitu pelat tektonik yang satu bergerak vertikal atau horisontal terhadap
pelat yang lainnya.

Rekayasa Gempa – Teknik Sipil Universitas Diponegoro 6


I.4 Gempa Bumi
Gempa bumi (earth quake) adalah suatu gejala fisik yang ditandai dengan bergetarnya
bumi dengan berbagai intensitas. Getaran gempa dapat disebabkan oleh banyak hal antara lain
peristiwa vulkanik, yaitu getaran tanah yang disebabkan oleh aktivitas desakan magma ke
permukaan bumi atau meletusnya gunung berapi. Gempa yang terjadi akibat aktivitas
vulkanik ini disebut gempa vulkanik. Gempa vulkanik terjadi di daerah sekitar aktivitas
gunung berapi, dan akan menyebabkan mekanisme patahan yang sama dengan gempa
tektonik.
Getaran gempa dapat juga diakibatkan oleh peristiwa tektonik, yaitu getaran tanah yang
disebabkan oleh gerakan atau benturan antara lempeng-lempeng tektonik yang terdapat di
dalam lapisan permukaan bumi. Gempa yang terjadi akibat aktivitas tektonik ini disebut
gempa tektonik.
Selain gempa vulkanik dan gempa tektonik, terdapat juga gempa runtuhan, gempa
imbasan, dan gempa buatan. Gempa runtuhan disebabkan oleh runtuhnya tanah di daerah
pegunungan, sehingga akan terjadi getaran disekitar runtuhan tersebut. Gempa imbasan
biasanya terjadi di sekitar dam karena fluktuasi air dam, sedangkan gempa buatan adalah
gempa yang sengaja dibuat oleh manusia seperti ledakan nuklir atau ledakan untuk mencari
bahan mineral. Skala gempa tektonik jauh lebih besar dibadingkan dengan jenis gempa
lainnya, sehingga efeknya lebih banyak terhadap bangunan.
Gerakan atau getaran tanah yang terjadi akibat gempa disebabkan oleh terlepasnya
timbunan energi yang tersimpan di dalam bumi secara tiba-tiba. Energi yang terlepas ini dapat
berbentuk energi potensial, energi kinetik, energi kimia, atau energi regangan elastis. Pada
umumnya gempa-gempa yang merusak lebih banyak diakibat oleh terlepasnya energi
regangan elastis di dalam batuan (rock) di bawah permukaan bumi. Energi gempa ini
merambat ke segala arah. dan juga kepermukaan tanah sebagai gelombang gempa
(seismic wave), sehingga akan menyebabkan permukaan bumi bergetar.
Sifat merusak dari suatu gempa tergantung dari besarnya atau magnitude dan lamanya
gempa, serta banyaknya getaran yang terjadi. Perencanaan konfigurasi struktur bangunan dan
jenis material yang digunakan pada konstruksi bangunan, juga akan berpengaruh terhadap
banyaknya kerusakan struktur bangunan. Gempa dan gelombang gempa terjadi beberapa ratus
kali setiap hari diseluruh dunia. Suatu jaringan dunia dari alat seismograph (mesin yang
mencatat gerakan tanah) medeteksi sekitar 1 juta kali gempa kecil pertahun. Gempa sangat
kuat seperti yang terjadi di Alaska pada tahun 1964 yang menyebabkan kerugian jutaan
dollar, dapat terjadi sekali setiap satu tahun. Sedangkan gempa kuat seperti yang terjadi di

Rekayasa Gempa – Teknik Sipil Universitas Diponegoro 7


Loma Prieta, California pada 1989 dan gempa Kobe di Jepang pada 1995, terjadi rata-rata 20
kali setiap tahunnya.
Pada 500 tahun terakhir ini, jutaan orang telah meninggal dunia akibat gempa yang
terjadi diseluruh dunia, termasuk 240.000 korban jiwa yang meninggal akibat gempa Tang-
Shan di China pada 1976. Gempa-gempa yang terjadi di seluruh dunia juga telah
menyebabkan kerusakan properti dan kerusakan berbagai macam struktur bangunan.
Antisipasi awal terhadap bencana gempa seperti, pendidikan dan sosialisasi terhadap
pemahaman gempa, mitigasi, perkuatan struktur bangunan, perencanaan struktur bangunan
tahan gempa yang lebih fleksibel dan aman, dapat membatasi korban jiwa dan mengurangi
kerusakan yang ditimbulkan oleh gempa.
Lapisan paling atas bumi yaitu crust atau lapisan litosfir merupakan batuan yang relatif
dingin dan bagian paling atas berada pada kondisi padat dan kaku. Di bawah lapisan ini
terdapat batuan yang jauh lebih panas yang disebut mantle. Lapisan ini sedemikian panasnya
sehingga senantiasa dalam keadaan tidak kaku dan dapat bergerak sesuai dengan proses
pendistribusian panas, yang kita kenal sebagai aliran konveksi.
Pelat-pelat tektonik yang merupakan bagian dari lapisan litosfir padat dan terapung di
atas mantel ikut bergerak satu sama lainnya. Ada tiga kemungkinan pergerakan yang dapat
terjadi antara satu pelat tektonik relatif terhadap pelat lainnya, yaitu :
 Spreading, jika kedua pelat tektonik bergerak saling menjauhi
 Collision, jika kedua pelat tektonik bergerak saling mendekati
 Transform, jika kedua pelat tektonik bergerak saling menggeser

Jika dua buah pelat tektonik bertemu pada suatu daerah sesar atau patahan (fault),
keduanya dapat bergerak saling menjauhi, saling mendekati atau saling bergeser. Umumnya
gerakan dari pelat tektonik ini berlangsung sangat lambat dan tidak dapat dirasakan oleh
manusia, namun terukur sebesar 0 sampai 15 cm pertahun. Kadang-kadang gerakan pelat
tektonik macet dan saling mengunci, sehingga terjadi pengumpulan energi yang berlangsung
terus sampai pada suatu saat batuan pada pelat tektonik tersebut tidak mampu lagi menahan
gerakan tersebut, sehingga terjadi pelepasan energi regangan secara mendadak. Mekanisme
pelepasan energi regangan ini yang kita kenal sebagai pemicu terjadinya gempa tektonik.
Gempa dapat terjadi kapan saja, tanpa mengenal musim. Meskipun demikian,
konsentrasi gempa cenderung terjadi di tempat-tempat tertentu saja, seperti di daerah
pertemuan antara dua pelat tektonik. Gempa dapat terjadi dimanapun di bumi ini, tetapi pada
umumnya banyak terjadi di sekitar perbatasan antara pelat-pelat tektonik

Rekayasa Gempa – Teknik Sipil Universitas Diponegoro 8


I.5 Bencana Yang Ditimbulkan Gempa
Gempa tektonik adalah gempa yang disebabkan oleh terlepasnya energi regangan elastis
pada formasi batuan yang ada dipermukaan bumi . Salah satu teori yang dipakai untuk
menjelaskan mekanisme terjadinya gempa tektonik adalah teori Elastic Rebound yang
dikemukakan oleh Prof. H. F. Reid. Teori ini dapat dipaparkan secara sederhana sebagai
berikut : di dalam permukaan bumi senantiasa terdapat aktivitas geologis yang mengakibatkan
pergerakan relatif suatu massa batuan di dalam permukaan bumi terhadap massa batuan
lainnya. Gaya-gaya yang menimbulkan pergerakan batuan-batuan ini disebut gaya-gaya
tektonik (tectonic forces). Batuan-batuan ini bersifat elastis dan dapat menimbun regangan
bilamana ditekan atau ditarik oleh gaya-gaya tektonik. Ketika tegangan yang terjadi pada
batuan tersebut melampaui kekuatannya, maka batuan tersebut akan hancur di daerah
terlemah yang disebut patahan (fault). Batuan yang hancur tersebut akan melepaskan sebagian
atau seluruh tegangan untuk kembali ke dalam keadaan semula yang bebas tegangan.
Gempa secara langsung tidak begitu membahayakan manusia. Ini berarti bahwa korban
jiwa tidak disebabkan karena adanya goncangan tanah yang disebabkan oleh gempa.
Kebanyakan dari bencana gempa yang menimbulkan korban jiwa dan kerugian materi
diakibatkan oleh struktur bangunan yang dibuat oleh manusia. Bahaya yang sesungguhnnya
disebabkan oleh keruntuhan dari struktur bangunan, korban banjir yang disebabkan oleh
jebolnya suatu bendungan atau tanggul, longsoran batuan dan tanah pada tebing yang curam,
dan kebakaran.

I.5.1 Pengaruh Akibat Goncangan Tanah


Bencana pertama yang disebabkan oleh gempa adalah pengaruh dari goncangan tanah.
Struktur bangunan dapat mengalami kerusakan dan keruntuhan, baik oleh goncangan itu
sendiri maupun oleh lapisan tanah dibawahnya yang mengalami penurunan elevasi
(subsidence) saat terjadi gempa.
Struktur bangunan bahkan dapat ambles ke dalam tanah ketika terjadi liquifaksi
(liquefaction). Liquifaksi adalah peristiwa tercampurnya pasir atau tanah berpasir dengan air
tanah, selama terjadi goncangan gempa. Ketika air dan pasir dicampur, lapisan ini menjadi
sangat lunak dan berperilaku seperti pasir hisap. Jika liquifaksi terjadi di bawah suatu
bangunan, dapat menyebabkan longsoran atau amblesan. Lapisan tanah bergerak ke atas lagi
setelah gempa berlalu dan air tanah kembali turun ke tempatnya yang semula. Peristiwa
liquifaksi lebih berpengaruh pada lokasi tanah berpasir dimana air tanah terletak cukup dekat
dengan permukaan tanah.

Rekayasa Gempa – Teknik Sipil Universitas Diponegoro 9


Gambar I.5. Salah satu bagian jalan mengalami kerusakan yang parah akibat Gempa Good Friday di
Alaska, 1964.

Gambar I.6. Keruntuhan bangunan akibat likuifaksi saat terjadi gempa Kobe di Jepang, 1995.

Struktur banguan juga dapat mengalami kerusakan akibat gelombang permukaan yang
kuat yang berasal dari dorongan dan rekahan tanah. Struktur bangunan apapun yang berada di
alur gelombang permukaan ini dapat bergeser atau roboh akibat dari pergerakan tanah.
Goncangan tanah dapat juga menyebabkan tanah longsor yang dapat merusak bangunan atau
mencederai manusia.

I.5.2 Pergeseran Tanah


Bencana utama akibat gempabumi yang kedua adalah pergeseran tanah di sepanjang
patahan. Jika sebuah bangunan seperi gedung, jembatan atau jalan dibangun melintasi daerah

Rekayasa Gempa – Teknik Sipil Universitas Diponegoro 10


patahan, maka pergeseran tanah akibat gempa akan sangat merusak dan bahkan akan
meruntuhkan bangunan tersebut.

I.5.3 Banjir
Bencana yang ketiga yang dapat ditimbulkan gempa adalah banjir. Sebuah gempa dapat
merusak tanggul atau bendungan sepanjang sungai. Air yang berasal dari sungai atau reservoir
akan membanjiri daerah tersebut dan merusak bangunan atau mungkin menghanyutkan dan
menenggelamkan orang.
Tsunami dan seiche dapat juga menyebabkan banyak kerusakan. Kebanyakan orang
menyebut tsunami sebagai ombak pasang yang sangat besar, tetapi ini tidak ada kaitannya
dengan gelombang pasang air laut biasa. Tsunami merupakan suatu gelombang yang sangat
besar disebabkan oleh gempa yang terjadi di bawah samudera. Tsunami dapat mencapai tinggi
tiga meter dan mempunyai kecepatan yang tinggi pada saat mencapai daerah pantai, sehingga
dapat menyebabkan kerusakan yang besar di daerah pantai. Seiche adalah gelombang air sama
seperti tsunami, tetapi dengan skala yang lebih kecil. Seiche terjadi pada danau yang
diakibatkan oleh gempa, dan pada umumnya hanya memiliki tinggi setengah meter. Meskipun
demikian, seiche juga dapat menyebabkan banjir.

I.5.4 Kebakaran
Bencana lainnya yang dapat diakibatkan oleh gempa adalah kebakaran. Kebakaran ini
diawali oleh terputusnya jaringan kabel listrik atau meledaknya pipa gas. Hal tersebut dapat
menjadi masalah yang serius, kususnya pada saat saluran air yang menyokonng pompa
hydrant juga terputus. Sebagai contoh terjadinya kebakaran akibat gempa adalah terbakarnya
kota San Fransisco setelah gempa kuat pada tahun 1906. Kota ini terbakar selama 3 hari yang
menyebabkan sebagian besar kota hancur dan 250000 penduduk kehilangan tempat tinggal.

Rekayasa Gempa – Teknik Sipil Universitas Diponegoro 11


Gambar I.7. Kebakaran di kota San Francisco setelah terjadi gempa kuat pada 1906 .

I.6 Cara Mempelajari Gempa


Para ahli seismologi mempelajari gempa bumi dengan cara melihat kerusakan yang
disebabkan oleh gempa dan dengan menggunakan seismograf. Seismograf adalah alat yang
dapat merekam goncangan pada permukaan bumi akibat gelombang gempa.. Seismograf
pertama kali ditemukan oleh seorang ahli astronomi Cina bernama Chang Heng.
Kebanyakan seismograf modern saat ini adalah bersifat elektronik, tetapi komponen-
komponen dasar dari alat seismograf adalah tetap yaitu drum yang diberi kertas diatasnya
(rotating drum records motion), suatu ruang yang dihubungkan dengan suatu engsel yang
dapat bergerak pada kedua ujungnya, suatu beban (mass), dan suatu pena (pen).
Salah satu ujungnya dipalang dengan kotak logam yang tertancap di tanah. Beban
diletakkan pada ujung lainnya dari palang dan pena ditancapkan pada beban itu. Drum dengan
kertas di atasnya akan berputar secara konstan (Gambar I.8).
Ketika terjadi gempa, semua peralatan di seismograf bergerak; kecuali beban dengan
pena di atasnya. Saat drum dan kertas berguncang mendekati pena, maka pena akan membuat
garis-garis yang tak beraturan di atas kertas, dan membuat catatan mengenai pergerakan
tanah akibat gempa. Catatan yang terekam oleh seismograf ini disebut seismogram.
Dengan mempelajari seismogram, para ahli seismologi dapat memperkirakan seberapa
jauh dan seberapa kuat gempa yang terjadi. Catatan ini tidak dapat menceritakan letak pusat
gempa secara tepat, hanya dapat memberitahukan bahwa gempa terjadi sejauh beberapa mil
atau kilometer dari seismograf. Untuk memperoleh letak pusat gempa yang tepat, dibutuhkan
setidaknya 2 seismograf lain yang berada di tempat lain

Rekayasa Gempa – Teknik Sipil Universitas Diponegoro 12


Gambar I.8. Komponen-komponen dasar alat seismograph

I.6.1 Parameter-parameter Gempa


Suatu peristiwa gempa biasanya digambarkan dengan beberapa parameter, sebagai
berikut :
 Tanggal dan waktu terjadinya gempa
 Koordinat epicenter ( dinyatakan dengan garis lintang dan garis bujur geografi )
 Kedalaman pusat gempa (focus)
 Magnitude dan Intensitas maksimum gempa
Pusat gempa atau focus adalah titik di bawah permukaan bumi di mana gelombang
gempa untuk pertama kali dipancarkan. Fokus biasanya ditentukan berdasarkan perhitungan
data gempa yang diperoleh melalui peralatan pencatat gempa (seismograf). Lokasi sumber
gempa pada umumnya terdapat diperbatasan antara pelat-pelat tektonik, di mana pada tempat
ini sering terjadi patahan bidang permukaan bumi. Pada prinsipnya gempa adalah suatu
peristiwa pelepasan energi pada suatu tempat di perbatasan antara pelat-pelat tektonik.
Episentrum (Epicenter) adalah titik pada permukaan bumi yang didapat dengan menarik
garis melalui focus, tegak lurus pada permukaan bumi. Episentrum dapat ditentukan melalui
peralatan pencatat gempa atau secara makroseismik. Episentrum yang ditentukan melalui
peralatan pencatat getaran gempa disebut instrumental epicenter. Bilamana tidak ada hasil
pencatatan getaran gempa, episentrum ditentukan berdasarkan pengamatan terhadap

Rekayasa Gempa – Teknik Sipil Universitas Diponegoro 13


kerusakan pada suatu daerah. Episentrum pada cara ini adalah titik di mana kerusakan
terbesar terjadi, dan disebut macroseismic epicenter.
Kedalaman fokus adalah kedalaman jarak antara fokus dengan epicentrum. Berdasarkan
kedalaman fokus ini, suatu gempa dapat diklasifikasikan sebagai berikut :
 Gempa dengan kedalaman fokus lebih kecil dari 70 km, disebut Gempa Dangkal.
 Gempa dengan kedalaman fokus antara 70 km sampai dengan 300 km, disebut Gempa
Menengah.
 Gempa dengan kedalaman fokus lebih besar dari 300 km, disebut Gempa Dalam.

Gambar I.9. Focus, Epicenter, seismic waves, dan fault

I.6.2 Menentukan Letak Episentrum dan Magnitude Gempa


Untuk menentukan di mana gempa terjadi, perlu dipelajari data rekaman gempa
(seismogram) yang tercatat pada seismograf. Sekurang-kurangnya diperlukan 2 seismograf
yang berbeda untuk gempa yang sama. Gambar I.10 menunjukkan contoh rekaman gempa
yang tercatat pada seismograf. Jarak antara awal permulaan gelombang P dan awal mula
gelombang S menunjukkan berapa detik gelombang tersebut terpisah.

Gambar I.10. Rekaman gempa yang tercatat pada seismograf.

Rekayasa Gempa – Teknik Sipil Universitas Diponegoro 14


Hasil ini dapat digunakan untuk memperkirakan jarak dari seismograf ke pusat gempa. Untuk
menentukan jarak episentrum dan magnitude gempa dapat dilakukan dengan menggunakan
grafik seperti pada Gambar I.11.

Gambar I.11. Grafik untuk menentukan jarak episentrum dan magnitud gempa

Prosedur untuk menentukan jarak episentrum dan magnitude gempa, sbb. :


 Mengukur jarak antara awal gelombang P dan gelombang S. Dalam hal ini, awal
gelombang P dan S adalah terpisah 24 detik. Plot 24 detik ini pada grafik skala S-P, akan
didapatkan jarak pusat gempa adalah 215 kilometer (Gambar I.11).
 Ukur amplitudo maksimum dari gelombang gempa yang terekam pada seismograf. Pada
rekaman seismograf di dapat amplitudo maksimum adalah 23 mm (Gambar I.10)
 Plot 23 mm ini pada grafik skala Amplitude yang sudah tersedia (Gambar I.11).
 Tarik garis lurus melalui dua yaitu titik 24 detik dan 23 mm, sehingga memotong grafik
skala Magnitude. Dengan membaca titik potong pada grafik skala Magnitude, didapatkan
besarnya magnitude gempa adalah M = 5 pada Skala Richter.

I.7 Patahan
Patahan (fault) adalah retakan di permukaan bumi dimana dua buah pelat tektonik
bergerak dengan arah yang berbeda. Patahan dapat terjadi karena tumbukan dan gesekan antar

Rekayasa Gempa – Teknik Sipil Universitas Diponegoro 15


pelat tektonik. Tergantung dari arah terjadinya patahan, pada dasarnya ada dua jenis patahan
yang dapat terjadi, yaitu patahan dip slip dan patahan strike slip.

Gambar I.12. Jenis-jenis patahan yang dapat terjadi akibat gempa.

Patahan dip slip atau patahan normal (normal fault) adalah retakan dimana satu bagian
dari batuan bergeser kearah vertikal menjauhi bagian yang lain. Patahan jenis ini biasanya
terjadi pada wilayah dimana suatu pelat tektonik terbelah dengan sangat lambat, atau pada dua
buah pelat tektonik yang saling mendorong satu sama lain. Patahan strike-slip adalah retakan
antara dua pelat tektonik yang bergesekan satu sama lain dalam arah horisontal. Patahan strike
slip yang terkenal adalah adalah patahan San Andreas sepanjang 300 km dengan lebar patahan
6,4 m. Patahan San Andreas di California ini disebabkan oleh gempa San Francisco yang
berkekuatan M = 8,3 pada Skala Richter pada 1906.
Patahan berlawanan arah (reverse fault) adalah retakan yang terbentuk dimana salah
satu pelat tektonik terdorong menuju pelat lainnya. Patahan ini juga terjadi jika sebuah pelat
tektonik terlipat akibat tekanan dari pelat yang lain. Pada patahan jenis ini, salah satu bagian
dari pelat bergeser kebawah, sedangkan bagian lainnya terdorong ke atas.

I.8 Mengukur Besaran Gempa


Jika terjadi gempa yang merusak disuatu tempat, mungkin pertanyaan yang pertama-
tama timbul adalah : Berapakah besarnya gempa tersebut dan bagaimana cara mengukurnya?.
Besaran yang dipakai untuk mengukur suatu gempa ada dua, yaitu Intensitas (Intencity) dan
Magnitude (Magnitude). Kedua ukuran ini menunjukkan aspek-aspek yang berbeda mengenai
suatu gempa.

Rekayasa Gempa – Teknik Sipil Universitas Diponegoro 16


I.8.1 Skala Mercalli
Sebelum ditemukannya alat-alat pencatat getaran gempa, satu-satunya cara untuk
mengukur besarnya gempa adalah dengan jalan pengamatan langsung oleh manusia. Untuk
memudahkan pengamatan tersebut, dibuatlah daftar-daftar yang mengklasifikasikan besarnya
gempa, berdasarkan derajat kerusakan yang ditimbulkan oleh gempa terhadap bangunan-
bangunan. Skala daftar derajat kerusakan ini dinyatakan dalam angka Romawi ( I, II, III, ….
). Skala ini pada umumnya digunakan untuk pengamatan oleh orang-orang yang sudah
berpengalaman untuk memperkirakan tingkat intensitas suatu gempa.
Derajat kerusakan akibat gempa yang sama dengan ukuran yang terdapat dalam daftar
yang dipakai untuk menyatakan intensitas suatu gempa. Intensitas yang dilaporkan untuk
suatu gempa adalah intensitas maksimum yang disebabkan oleh aktivitas gempa pada suatu
lokasi. Intensitas ini sering juga disebut sebagai intensitas lokal. Intensitas lokal berhubungan
langsung dengan percepatan tanah maksimum yang terjadi akibat gempa. Dengan demikian
intensitas lokal gempa akan berhubungan pula dengan besar kecilnya kerusakan yang terjadi
pada bangunan-bangunan disuatu lokasi.
Daftar skala intensitas, pertama kali dikembangkan oleh Rossi dari Italia dan Forrel dari
Swiss. Skala ini, merujuk pada nilai I sampai X, yang untuk pertama kalinya digunakan untuk
melaporkan gempa San Fransisco yang terjadi pada tahun 1906. Pada tahun 1902 seorang
seimolog dan vulkanolog dari Italia bernama Giuseppe Mercalli mengusulkan skala intensitas
dari I sampai dengan XII. Pada tahun 1931, Harry O. Wood dan Frank Neumann
memodifikasi skala Mercalli ini, dan disebut skala Modified Mercalli Intensity (MMI Scale)
untuk mengukur intensitas gempa yang terjadi di California, Amerika.
Skala MMI mempunyai 12 tingkatan intesitas gempa (I s/d XII). Setiap tingkatan
intensitas didefinisikan berdasarkan pengaruh gempa yang didapat dari pengamatan, seperti
goncangan tanah, dan kerusakan dari struktur bangunan seperti gedung, jalan, dan jembatan.
Tingkat intensitas I sampai VI, digunakan untuk mendeskripsikan apa yang dilihat dan
dirasakan orang selama terjadinya gempa ringan dan gempa sedang. Sedangkan tingkat
intensitas VII sampai dengan XII digunakan untuk mendeskripsikan kerusakan pada struktur
bangunan selama terjadinya gempa kuat.
Di dunia, setiap tahunnya terjadi rata-rata satu gempa dengan tingkat intensitas X
sampai XII, 10 sampai 20 gempa dengan intensitas VII sampai IX, dan lebih dari 500 gempa
dengan intensitas I sampai VI. Setiap tahun terjadi hampir 100000 gempa tetapi tidak dicatat
manusia, oleh karena itu gempa-gempa ini tidak diklasifikasikan di dalam skala MMI. Gempa
dengan intensitas II dan III pada skala MMI dapat dianggap setara dengan gempa dengan

Rekayasa Gempa – Teknik Sipil Universitas Diponegoro 17


magnitude M=3 sampai M=4 pada Skala Richter. Gempa dengan intensitas XI dan III pada
skala MMI dapat dianggap setara dengan gempa dengan magnitude M=8 sampai M=9 pada
Skala Richter.
Hal-hal yang dapat menyebabkan banyaknya kerusakan dari bangunan pada saat terjadi
gempa adalah, desain dari konstruksi bangunan, jarak lokasi bangunan dari pusat gempa, dan
kondisi lapisan permukaan tanah dimana bangunan tersebut didirikan. Desain dari konstruksi
bangunan yang berbeda, akan memiliki daya tahan terhadap gempa yang berbeda pula, serta
semakin jauh lokasi bangunan dari pusat gempa, semakin sedikit kerusakan yang akan terjadi.
Demikian juga pengaruh dari kondisi tanah dasar dimana bangunan didirikan, akan
menyebabkan perbedaan pada tingkat kerusakan yang dapat terjadi. Pada lokasi dimana
lapisannya merupakan tanah lunak, gempa akan menyebabkan bangunan bergoncang lebih
keras dibandingkan jika lapisan tanahnya merupakan tanah lunak. Bangunan-bangunan yang
didirikan di atas lapisan tanah lunak akan mengalami kerusakan yang lebih parah
dibandingkan dengan bangunan-bangunan yang didirikan di atas lapisan tanah keras.
Dari penjelasan mengenai tingkat kerusakan bangunan yang dapat terjadi akibat gempa,
terlihat bahwa penentuan dari nilai Skala Mercalli sangat bersifat subjektif karena beberapa
hal sebagai berikut :
 Tergantung pada jarak epicenter sampai tempat yang dimaksud.
 Keadaan geologi setempat
 Kualitas dari bangunan-bangunan setempat di lokasi terjadinya gempa.
 Pengamatan manusia sangat dipengaruhi oleh keadaan panik akibat kekacauan yang
biasanya terjadi pada saat gempa,

Skala Mercalli tidak dapat digunakan secara ilmiah seperti Skala Richter. Karena skala
ini bersifat subjektif, maka untuk suatu kerusakan yang diakibatkan oleh gempa, pengamatan
yang dilakukan oleh beberapa orang akan mempunyai pendapat yang berbeda mengenai
tingkat kerusakan yang terjadi.

Tabel I.1. Skala Intensitas Modified Mercalli ( MMI Scale )


Skala Keterangan
Intensitas
I Tidak terasa orang, hanya tercatat oleh alat pencatat yang peka
II Getaran terasa oleh orang yang sedang istirahat, terutama orang yang berada
di lantai dan di atasnya
III Benda-benda yang tergantung bergoyang, bergetar ringan

Rekayasa Gempa – Teknik Sipil Universitas Diponegoro 18


IV Getaran seperti truk lewat. Jendela, pintu dan barang pecah belah
bergemerincing
V Getaran terasa oleh orang di luar gedung. Orang tidur terbangun.
Benda-benda tidak stabil di atas meja terguling atau jatuh. Pintu bergerak
menutup dan membuka.
VI Getaran terasa oleh semua orang. Banyak orang takut dan keluar rumah.
Berjalan kaki sulit. Kaca jendela pecah. Meja dan kursi bergerak.
VII Sulit berdiri. Getaran terasa oleh pengendara motor dan mobil. Genteng di
atap terlepas.
VIII Pengemudi mobil terganggu. Tembok bangunan retak.
IX Semua orang panik. Tembok bangunan mengalami kerusakan berat.
Pipa-pipa dalam tanah putus.
X Sebagian konstruksi portal dan temboknya rusak beserta pondasinya.
Tanggul dan bendungan rusak berat. Rel kereta api bengkok sedikit.
Banyak terjadi tanah longsor.
XI Rel kereta api rusak berat. Pipa-pipa di dalam tanah rusak
XII Terjadi kerusakan total. Bangunan-bangunan mengalami kerusakan.
Barang-barang terlempar ke udara.

Beberapa orang saksi mungkin akan melebih-lebihkan betapa banyaknya hal buruk yang
terjadi saat terjadi gempa. Jumlah kerusakan yang disebabkan oleh gempa tidak dapat didata
dengan teliti, sama halnya dengan kekuatan gempa itu sendiri. Dengan demikian, skala
intensitas tidak dapat digunakan sebagai ukuran untuk menyatakan besarnya suatu gempa.
Meskipun demikian, skala intensitas sangat berguna untuk membuat garis isoseismal pada
peta suatu daerah atau lokasi guna menetapkan tempat-tempat atau daerah-daerah yang
mempunyai derajat kerusakan yang sama. Peta ini adalah yang sering disebut sebagai peta
jalur gempa, dan berguna sekali sebagai informasi di dalam perencanaan struktur bangunan
tahan gempa.
Dengan ditemukannya alat seismograf, yaitu alat pencatat getaran gempa, maka
terbukalah kemungkinan untuk mengukur besarnya suatu gempa dengan lebih teliti. Dari hasil
pencatatan suatu alat seismograf, akan dapat diketahui jumlah energi kinetik yang terlepas
pada pusat gempa.

I.8.2 Skala Richter


Salah satu skala yang paling sering digunakan untuk mengukur kekuatan atau besarnya
gempa adalah Skala Richter (Richter Magnitude Scale), atau disebut Local Magnitude (ML).
Skala ini dibuat oleh DR. Charles F. Richter dari California Institute of Technology pada
1934. Skala Richter didasarkan pada skala logaritma dan ditulis dalam angka Arab (1, 2, 3,
…. ). Besaran dari Skala Richter ditentukan dengan mengukur amplitudo maksimum dari

Rekayasa Gempa – Teknik Sipil Universitas Diponegoro 19


gelombang seismik yang tercatat pada alat seismograf standart Wood-Anderson, yang
ditempatkan pada jarak 100 km dari pusat gempa. Alat seismograf dapat mendeteksi gerakan
tanah yang sangat kecil sebesar 0,00001 mm, sampai gerakan tanah sebesar 1 meter.
Karena besaran pada Skala Richter ditulis berdasarkan skala logaritma (base 10), ini
berarti bahwa setiap penambahan satu angka pada Skala Richter, akan mempresentasikan
kenaikan sebesar 10 kali lipat pada pergerakan tanah akibat gempa. Jadi dengan menggunakan
skala ini, gempa yang tercatat 5 pada Skala Richter (magnitude gempa M=5), akan
mengakibatkan goncangan tanah sepuluh kali lipat lebih kuat dibandingkan gempa dengan
skala 4 (magnitude gempa M=4), dan permukaan bumi akan bergerak sejauh 10 kali.
Untuk memberi gambaran mengenai angka-angka pada Skala Richter, maka anggaplah
hal ini sebagai suatu bentuk energi yang dilepaskan oleh bahan peledak. Suatu gelombang
gempa dengan tingkat magnitude gempa M=1 pada Skala Richter akan melepaskan energi
setara dengan energi ledakan 6 ton bahan peledak TNT. Sebuah gempa dengan tingkat
magnitude gempa M=8 akan melepaskan energi setara dengan banyaknya energi yang
dihasilkan oleh ledakan 6 juta ton TNT. Untungnya, kebanyakan dari gempa yang terjadi
setiap tahunnya mempunyai tingkat magnitude kurang dari 2.5, sehingga terlalu kecil untuk
dapat dirasakan oleh manusia.
Meskipun Richter yang pertama kali mengusulkan cara ini untuk mengukur kekuatan
gempa, ia hanya menggunakan suatu jenis alat seismograf tertentu dan mengukur gempa
dangkal di California Selatan. Untuk penggunaan berbagai jenis alat seismograf untuk
mengukur magnitude dan kedalaman gempa dari semua tingkatan gempa, para Ilmuwan
sekarang telah membuat skala magnitude yang lain, yang semuanya sudah dikalibrasikan
terhadap metoda asli dari Richter. Berikut ini adalah sebuah tabel yang menggambarkan
tingkatan magnitude dan kekuatan gempa, pengaruh-pengaruhnya, serta perkiraan jumlah
gempa yang terjadi setiap tahunnya.

Tabel I.2. Magnitude dan Kelas Kekuatan Gempa


Kelas Perkiraan
Magnitude Pengaruh gempa
Kekuatan kejadian
Gempa
Gempa pertahun
< 2,5 Minor Pada umumnya tidak dirasakan, tetapi 900,000
earthquake dapat direkam oleh seismograf.
2,5 s.d 4,9 Light Selalu dapat dirasakan, tetapi hanya 30,000
earthquake menyebabkan kerusakan kecil.
5,0 s.d 5,9 Moderate Menyebabkan kerusakan pada bangunan 500
earthquake. dan struktur-struktur yang lain.
6,0 s.d 6,9 Strong Kemungkinan dapat menyebabkan 100

Rekayasa Gempa – Teknik Sipil Universitas Diponegoro 20


earthquake kerusakan besar, pada daerah dengan
populasi tinggi.
7.0 s.d 7.9 Major Menimbulkan kerusakan yang serius. 20
earthquake
 8.0 Great Dapat menghancurleburkan daerah yang satu setiap 5-
earthquake dekat dengan pusat gempa. 10 tahun

Gempa dengan magnitude M=5 dianggap sebagai gempa sedang (moderate


earthquake), sedangkan gempa dengan magnitude M=6 merupakan gempa kuat (strong
earthquake). Gempa dengan magnitude M=8 atau lebih, merupakan gempa sangat kuat (great
earthquake). Sebagai contoh gempa Los Angeles 1994 mempunyai magnitude M=6,7 dan
gempa San Fransisco 1906 mempunyai magnitude M=7,9.
Meskipun Skala Richter tidak mempunyai batas atas, tetapi gempa dengan magnitude
lebih dari M=8 sangat jarang terjadi. Gempa ini hanya terjadi sekali setiap 5 sampai 10
tahunnya di dunia. Demikian juga tidak terdapat batas bawah pada Skala Richter. Suatu
gempa berukuran 1/10 dari gempa dengan magnitude M=1, adalah gempa dengan skala 0
pada Skala Richter. Dan gempa berukuran 1/10 dari gempa dengan magnitude 0, adalah
gempa dengan skala -1 pada Skala Richter. Gempa dengan magnitude negatif pada skala
Richter terjadi setiap hari, tetapi sangat kecil getarannya sehingga sulit untuk dideteksi.
Magnitude gempa dapat mencermikan kondisi sesungguhnya dari besarnya gempa.
Magnitude tidak memberikan gambaran mengenai derajat kerusakan yang disebabkan oleh
gempa. Perlu dicatat, bahwa suatu gempa dengan magnitude besar yang terjadi di tengah
samudera, mungkin tidak akan mengakibatkan kerusakan pada bangunan, bahkan getarannya
pun mungkin tidak akan dirasakan oleh manusia yang berada di darat. Sebaliknya suatu
gempa dengan magnitude rendah tetapi mempunyai pusat gempa yang dekat pada suatu kota
yang padat penduduk serta penuh dengan bangunan-bangunan, mungkin akan menyebabkan
banyak kerusakan. Hubungan sesungguhnya antara intensitas dan magnitude sangat sulit
untuk ditentukan. Banyak faktor disamping magnitude gempa dan jarak yang mempengaruhi
besarnya intensitas. Salah satu faktor yang berpengaruh adalah kondisi tanah. Meskipun
demikian, hubungan perkiraan antara besaran magnitude (Richter) dengan intensitas (MMI
dapat ditentukan sebagai berikut :

Rekayasa Gempa – Teknik Sipil Universitas Diponegoro 21


Tabel I.3. Hubungan antara Magnitude dan Intensitas Gempa
Magnitude Intensitas
Pengaruh-pengaruh Tipikal
( Richter ) ( MMI )
2 I – II Pada umumnya tidak terasa
3 III Terasa di dalam rumah, tidak ada kerusakan
4 IV – V Terasa oleh banyak orang, barang-barang bergerak,
Tidak adak kerusakan struktural
5 VI – VII Terjadi beberapa kerusakan struktural, seperti
Retak-retak pada dinding
6 VII – VIII Kerusakan menengah, seperti hancurnya dinding
7 IX – X Kerusakan besar, seperti runtuhnya bangunan
8 XI – XII Rusak total atau hampir hancur total

I.9 Energi Gempa Dan Percepatan Tanah


Gempa tektonik hanya dapat terjadi jika dua syarat utamanya terpenuhi, yaitu :
 Harus terjadi penimbunan regangan secara perlahan-lahan pada batu-batuan di dalam
kulit bumi dalam waktu yang lama
 Batuan-batuan di dalam kulit bumi tersebut harus cukup kuat untuk dapat menimbun
tegangan hingga mencapai energi, kira-kira (1020 –1025 ) erg. Sebagai perbandingan :
bom atom Hiroshima mempunyai energi sebesar 8x1020 erg.
Jika kedua syarat tersebut tidak tercapai, maka dapat dipastikan gempa tektonik tidak akan
terjadi. Seperti telah di sebutkan di atas, anggapan yang dapat diterima sampai saat ini adalah,
suatu gempa akan terjadi karena adanya pelepasan energi regangan yang telah lama tertimbun
di dalam batu-batuan, dan terjadinya penimbunan tegangan adalah karena pergerakan di
dalam bumi.
Pada saat terjadi pergerakan tanah akibat gempa, akan terjadi pelepasan energi pada
sumber gempa. Besarnya energi yang dilepas pada sumber gempa diukur dengan skala
Richter. Hubungan antara Skala Richter dan besarnya energi yang dilepaskan pada saat terjadi
gempa, dapat ditulis dalam suatu persamaan :

Log E = 11,4 + 1,5 M

dimana E adalah energi gempa yang dilepaskan (erg atau dyne-cm), dan M adalah besaran
atau magnitude gempa pada Skala Richter.
Dari rumus di atas terlihat bahwa peningkatan dalam satu satuan Skala Richter berarti
peningkatan energi sebesar 32 kali, dan peningkatan dua satuan pada Skala Richter berarti

Rekayasa Gempa – Teknik Sipil Universitas Diponegoro 22


peningkatan energi sebesar 1000 kali. Jadi suatu gempa yang tercatat M=7 pada Skala
Richter, akan melepaskan energi sebanyak 32 kali dari energi yang dilepas dari gempa yang
tercatat M=6 pada Skala Richter. Jumlah energi yang dilepaskan gempa dengan magnitude
M=4,3 adalah ekivalen dengan energi yang dilepas oleh bom atom yang menghancurkan kota
Hirosima di Jepang, yaitu sebanding dengan 20 kiloton TNT. Diperkirakan suatu gempa
dengan magnitude M=12 pada Skala Richter, akan melepaskan cukup banyak energi yang
dapat mengakibatkan bumi terbelah menjadi dua bagian.
Pembagian besaran gempa menurut skala Richter ini kurang begitu tepat digunakan di
bidang rekayasa struktur bangunan tahan gempa, karena meskipun gempa yang tercatat
melepaskan energi sangat besar, tetapi kadang-kadang kurang terasa di permukaan tanah,
karena jarak sumber gempa sangat jauh di dalam bumi. Sebagai contoh, gempa yang melanda
Chili dan Agadir (Maroko), keduanya terjadi pada 1960. Magnitude gempa yang terjadi di
Chili tercatat sebesar M=7,5 pada Skala Richter, tetapi tidak mengakibatkan kerusakan yang
berat karena sumber gempa terletak 100 km di bawah muka tanah. Sedangkan magnitude
gempa yang melanda Agadir tercatat hanya sebesar M=5,7 pada Skala Richter, tetapi
mengakibatkan kerusakan yang hebat karena sumber gempa terletak hanya 6 km dari
permukaan tanah. Jadi pengaruh gempa di permukaan tanah tidak hanya ditentukan oleh
besarnya energi yang dilepaskan dari sumber gempa saja, akan tetapi juga kedalaman atau
jarak sumber gempa.
Hubungan antara Skala Richter dan percepatan tanah maksimum atau Peak Ground
Acceleration (PGA) akibat pengaruh gempa pada suatu wilayah, dapat dihitung dengan
menggunakan rumus Donovan dan Matuschka. Jika M adalah besarnya gempa menurut Skala
Richter, H adalah jarak hypocenter (dalam km), maka besarnya percepatan tanah maksimum a
(dalam cm/detik2 ) adalah :

0,5.M –1,32
 Rumus Donovan (1973) : a = 1080.(2,718) (H+25)
0,81.M –1,15
 Rumus Matuschka (1980) : a = 119.(2,718) .(H+25)

Perpindahan materi biasa disebut displacement. Jika dapat diketahui waktu yang
diperlukan untuk perpindahan tersebut, maka akan dapat dihitung kecepatan materi tersebut.
Sedangkan percepatan adalah parameter yang menyatakan perubahan kecepatan mulai dari
keadaan diam sampai pada kecepatan tertentu. Percepatan gelombang gempa yang sampai di
permukaan bumi disebut percepatan tanah, dan merupakan gangguan yang perlu dikaji untuk
setiap gempa, kemudian dipilih percepatan tanah yang maksimum untuk dipetakan agar bisa

Rekayasa Gempa – Teknik Sipil Universitas Diponegoro 23


memberikan pengertian tentang efek paling parah yang pernah dialami suatu lokasi.
Efek primer gempa adalah kerusakan struktur bangunan baik yang berupa gedung,
perumahan rakyat, gedung bertingkat, fasilitas umum, monumen, jembatan dan infrastruktur
lainnya, yang diakibatkan oleh getaran yang ditimbulkannya. Secara garis besar, tingkat
kerusakan yang mungkin terjadi tergantung dari kekuatan dan kualitas bangunan, kondisi
geologi dan geotektonik lokasi bangunan, dan percepatan tanah di lokasi bangunan akibat dari
getaran gempa. Faktor yang merupakan sumber kerusakan dapat dinyatakan dalam parameter
percepatan tanah. Sehingga data percepatan tanah maksimum akibat gempa pada suatu lokasi
menjadi penting untuk menggambarkan tingkat resiko gempa di suatu lokasi tertentu.
Semakin besar nilai percepatan tanah maksimum yang pernah terjadi disuatu tempat, semakin
besar resiko gempa yang mungkin terjadi.
Gempa bisa terjadi berulang-ulang di suatu tempat. Hal ini dikenal sebagai perioda
ulang gempa. Terjadinya gempa yang berulang di suatu tempat didukung oleh teori Elastic
Rebound yang mempunyai fase pengumpulan energi dalam jangka waktu tertentu, dan
kemudian masa pelepasan energi pada saat gempa besar. Perioda ulang gempa bisa 10 tahun,
50 tahun, 100 tahun, 500 tahun, atau bahkan 2500 tahun, sehingga tingkat resiko bangunan
terhadap gempa bisa terkait dengan periode ulang terjadinya gempa.

I.10 Frekuensi Terjadinya Gempa


Hubungan antara besarnya gempa menurut Skala Richter dengan frekuensi terjadinya
gempa pada suatu wilayah, oleh Gutenberg dan Richter dapat dinyatakan dengan rumus :

Log N = A – b.M

dimana N adalah jumlah rata-rata gempa yang besarnya M atau lebih pada Skala Richter yang
terjadi pada suatu wilayah, M adalah magnitude gempa menurut Skala Richter, A dan b
adalah konstanta yang besarnya tergantung pada lokasi atau wilayah yang ditinjau. Sebagai
contoh, untuk wilayah Jepang Timur Laut, harga A=6,88 dan b=1,06, untuk Jepang Barat
Daya, harga A=4,19 dan b=0,72, untuk wilayah Amerika Barat, harga A=5,94 dan b=1,14,
untuk wilayah Amerika Timur, harga A=5,79 dan b=1,34. Untuk Indonesia, besarnya
konstanta A dan b dapat diambil sebesar A=7,30 dan b=0,94.
Rumus Gutenberg dan Richter di atas menunjukkan hubungan antara frekuensi dan
besarnya gempa yang ditinjau berdasarkan besarnya energi yang dilepas pada sumber gempa,
pada suatu wilayah tertentu. Untuk keperluan rekayasa Teknik Sipil, rumus ini jarang
digunakan, karena pada rekayasa Teknik Sipil yang diperlukan adalah besarnya percepatan

Rekayasa Gempa – Teknik Sipil Universitas Diponegoro 24


maksimum tanah permukaan pada saat terjadinya gempa. Hubungan yang banyak dipakai di
bidang Teknik Sipil adalah hubungan antara frekuensi terjadinya gempa dan besarnya
percepatan permukaan tanah yang maksimum pada suatu wilayah tertentu.
Jika untuk suatu wilayah tertentu telah diketahui besarnya percepatan permukaan tanah
yang pernah terjadi, maka dapat dibuat hubungan antara besarnya percepatan tanah dengan
frekuensi terjadinya gempa. Misalnya pada suatu daerah, berdasarkan catatan-catatan gempa
yang lalu, rata-rata mengalami 1 kali getaran gempa dengan percepatan permukaan tanah
sebesar 0,10 gal (gal = gravity acceleration atau percepatan gravitasi) atau lebih untuk setiap
50 tahun, dan mengalami 1 kali getaran gempa dengan percepatan permukaan tanah sebesar
0,08 gal atau lebih untuk setiap 10 tahun, maka dapat dikatakan bahwa daerah tersebut
mempunyai gempa 50 tahunan sebesar 0,10 gal dan gempa 10 tahunan sebesar 0,08 gal.
Makin lama waktu atau periode ulang terjadinya gempa, maka akan makin besar percepatan
permukaan tanahnya.

I.11 Gelombang Gempa


Hancurnya massa batuan di dalam kulit bumi akan disertai dengan pemancaran
gelombang-gelombang gempa (seismic wave) ke segala arah, kadang-kadang sampai ke
tempat yang jauh sekali tergantung dari banyaknya energi yang terlepas. Pada dasarnya ada
dua jenis gelombang yang dilepas pada saat terjadi gempa, yaitu Gelombang Badan (Body
Waves) dan Gelombang Permukaan (Surface Wave). Gelombang badan ada dua jenis, yaitu
Gelombang P (Primer) dan Gelombang S (Secunder). Gelombang permukaan ada dua jenis,
yaitu Gelombang R (Rayleigh) dan Gelombang L (Love).
Gelombang P merambat pada arah longitudinal, dengan cara memampat dan
mengembang searah dengan arah rambatan. Kecepatan perambatan gelombang P antara 1,4
sampai dengan 6,4 km/detik. Gelombang S merambat pada arah transversal. Perambatan dari
Gelombang S ini disertai juga dengan gerakan berputar sehingga dapat lebih membahayakan
di bandingkan Gelombang P. Kecepatan perambatan Gelombang S sekitar 2/3 kali kecepatan
Gelombang P. Karena perbedaan kecepatan rambat dari kedua gelombang ini, maka dari hasil
rekaman gempa, dapat diperkirakan jarak sumber gempanya berdasarkan selisih waktu tiba
antara kedua gelombang tersebut pada alat seismograf. Gelombang R dan Gelombang L
hanya merambat di permukaan tanah saja. Gelombang R arah gerakannya pada bidang
vertikal, sedangkan Gelombang L bergerak transversal pada bidang horisontal.

Rekayasa Gempa – Teknik Sipil Universitas Diponegoro 25


I.11.1 Gelombang P
Gelombang P adalah gelombang gempa yang tercepat. Gelombang P ini dapat
merambat melalui media padat dan cair, seperti lapisan batuan, air atau lapisan cair bumi.
Pada saat merambat, gelombang ini akan menekan media batuan yang dilewatinya.
Mekanisme perambatan Gelombang P yang menekan lapisan batuan, identik dengan
mekanisme terjadinya getaran pada jendela kaca saat terjadi suar*a petir yang keras. Jendela
bergetar karena adanya tekanan dari gelombang suara pada kaca jendela. Pada saat terjadi
gempa, pengaruh dari Gelombang P dapat dirasakan berupa getaran.

Gambar I.13. Perambatan Gelombang P

I.11.2 Gelombang S
Jenis kedua dari Gelombang Badan adalah Gelombang S, yang merupakan gelombang
kedua yang dapat dirasakan pada saat gempa. Gelombang S lebih lambat dari pada
Gelombang P, dan hanya dapat merambat melalui batuan padat. Arah gerakan dari gelombang
ini naik-turun atau bergerak menyamping.

Gambar I.14. Perambatan Gelombang S

I.11.3 Gelombang L
Jenis pertama dari Gelombang Permukaan disebut Gelombang L. Gelombang ini diberi
nama sesuai dengan nama penemunya yaitu A.E.H. Love seorang ahli matematika dari Inggris

Rekayasa Gempa – Teknik Sipil Universitas Diponegoro 26


yang mengerjakan model matematika untuk jenis gelombang ini di pada 1911. Gelombang ini
adalah yang tercepat dan menggerakkan tanah dari samping ke samping.

Gambar I.15. Perambatan Gelombang L

I.11.4 Gelombang R
Jenis Gelombang Permukaan lainnya adalah Gelombang R. Keberadaan dari
gelombang ini diperkirakan secara matematika oleh W.S. Rayleigh pada 1885. Pada saat
merambat, Gelombang R akan menggulung media yang dilewatinya, dimana gerakan dari
gelombang ini mirip dengan gerakan gelombang air di laut. Karena gerakan yang menggulung
ini, maka lapisan tanah atau batuan akan naik dan turun, dan akan ikut bergerak searah dengan
gerakan gelombang. Kebanyakan goncangan dari gempa berhubungan erat dengan
Gelombang R ini. Pengaruh kerusakan yang diakibatkan oleh Gelombang R dapat lebih besar
dibandingkan gelombang- gelombang gempa lainnya.

Gambar I.16. Perambatan Gelombang R

I.11.5 Amplifikasi Gelombang Gempa


Karena lapisan permukaan bumi tidak homogen dan terdiri dari bermacam-macam
bahan dan lapisan, maka gelombang-gelombang gempa tersebut dalam perjalanannya
mencapai permukaan bumi akan mengalami berbagai perubahan, yaitu diredam, dipantulkan,
dibiaskan baik pada lapisan-lapisan maupun pada permukaan bumi. Sebagai akibatnya
jalannya gelombang menjadi tidak beraturan, rumit, serta sulit untuk diprediksi.
Lapisan permukaan bumi merupakan lapisan yang penting di bidang rekayasa gempa,
karena pada lapisan ini sering terjadi retakan atau patahan yang dapat menyebabkan

Rekayasa Gempa – Teknik Sipil Universitas Diponegoro 27


terjadinya gempa. Pengalaman menunjukkan bahwa, kondisi geologi dan kondisi tanah
setempat sangat mempengaruhi gerakan permukaan tanah pada saat terjadi gempa. Beberapa
faktor yang mempengaruhi gerakan tanah akibat gempa adalah : panjang dan tebalnya lapisan
tanah di atas lapisan batuan, perubahan jenis lapisan tanah, kemiringan lapisan tanah endapan,
retakan di dalam lapisan batuan, dan lain-lain.
Pada saat gelombang gempa menyebar di tanah, maka akan terjadi pemantulan dan
penyebaran pada perbatasan antara lapisan-lapisan permukaan tanah yang mempunyai sifat
karakterisitik yang berbeda. Seperti diilustrasikan pada Gambar I.17, hubungan antara sudut
1 pada bagian lapisan batuan dasar dan sudut gelombang n pada permukaan teratas, dapat
dinyatakan dalam persamaan :
c
sin  n  n sin 1
c1

Sebagai contoh, jika cn = 0,1c1 dan 1 = 900 , maka n = 60 . Hal ini menunjukkan bahwa arah
penyebaran gelombang seismik hampir vertikal pada saat mencapai permukaan tanah.
Jika gelombang gempa dengan percepatan yang tetap (stationary wave) merambat dari
lapisan batuan dasar ke permukaan tanah, maka amplitudo dari gelombang pada saat
mencapai permukaan tanah akan menjadi lebih besar dari pada gelombang asalnya. Dalam hal
ini disebut bahwa gelombang seismik mengalami amplifikasi. Fenomena resonansi dapat
terjadi terutama jika waktu getar dari gelombang gempa sama dengan atau mendekati waktu
getar alami dari lapisan tanah yang dilewatinya.

Gambar I.17. Perambatan gelombang gempa pada beberapa lapisan tanah

Pada kondisi sebenarnya, gelombang gempa mempunyai percepatan rambat yang tidak
tetap (nonstationary wave).

Rekayasa Gempa – Teknik Sipil Universitas Diponegoro 28


Gambar I.18. Distribusi akar kuadrat rata-rata dari pembesaran amplitudo percepatan tanah untuk
komponen utara-selatan gempa El Centro, California, 1940 (Toki, 1981)

Amplifikasi yang terjadi pada gelombang gempa nonstationary lebih kecil dari pada
gelombang gempa stationary. Meskipun demikian, gelombang gempa akan semakin
membesar saat mendekati permukaan tanah, seperti yang terlihat pada contoh numerik pada
Gambar I.18.

I.11.6 Bentuk Gelombang Gempa


Bentuk, amplitudo, durasi, serta karakteristik lainnya dari gelombang gempa tidak hanya
dipengaruhi oleh ukuran besarnya gempa dan jarak hiposentrum saja, tetapi juga dipengaruhi
oleh mekanisme yang terjadi pada sumber gempa, dan struktur geologi tanah yang dilalui
gelombang gempa. Pada suatu tempat yang letaknya jauh dari pusat gempa, gelombang
gempa akan mempunyai intensitas dan bentuk yang berbeda dengan gelombang yang terjadi
di dekat pusat gempa. Derajat dari amplifikasi dan perubahan bentuk dari gelombang gempa
dipengaruhi juga oleh kekerasan dan ketebalan dari lapisan tanah di bawah lokasi setempat.
Bentuk dari gelombang gempa sangat komplek dan berbeda satu dengan lainnya. Newmark
dan Rosenblueth (1971) mengklasifikasikannya dalam empat tipe gelombang yaitu :

1. Single-shock type. Pusat gempa terdapat pada kedalaman yang dangkal, dimana lapisan
dasar terdiri dari lapisan batuan yang keras, seperti gempa Port Hueneme 1957 (Gambar
I.19), gempa Libya 1963, dan gempa Skopje 1963.
2. A moderately long, extremely irregular motion. Pusat gempa terdapat pada kedalaman
sedang, dimana lapisan dasar terdiri dari lapisan batuan yang keras, seperti gempa El

Rekayasa Gempa – Teknik Sipil Universitas Diponegoro 29


Centro 1940 (Gambar I.20). Tipe ini sering terjadi pada sabuk Sirkum Pasifik , dimana
lapisan batuan dasarnya keras.
3. A long ground motion exhibiting pronounced prevailing periods of vibration. Pada tipe
ini, gelombang gempa tersaring oleh banyak lapisan tanah lunak, dan terjadi refleksi
berurutan pada permukaan tanah, seperti pada gempa Meksiko 1964.
4. A ground motion involving large-scale permanent deformation of the ground. Gempa
seperti ini terjadi di pelabuhan Alaska 1064 dan Niigata 1064.

Sudah barang tentu gempa-gempa lainnya yang terjadi tidak akan memiliki bentuk
gelombang gempa yang tepat sama dengan salah satu dari keempat tipe yang disebutkan
diatas. Sejumlah gempa memperlihatkan bentuk gelombang diantara atau kombinasi dari
keempat tipe tersebut.

Gambar I.19. Komponen timur-barat dari gempa Port Hueneme, 1957.

Rekayasa Gempa – Teknik Sipil Universitas Diponegoro 30


Gambar I.20. Komponen utara-selatan gempa El Centro, California, 1940.

I.12 Wilayah Gempa


Gempa dapat terjadi kapan saja dan dimanapun di bumi ini, tetapi pada umumnya
gempa terjadi di sekitar batas pelat tektonik dan banyak disekitar sesar aktif disekitar batas
pelat tektonik. Dengan demikian lokasi gempa cenderung terkonsentrasi pada tempat-tempat
tertentu saja, seperti pada batas pelat tektonik Pasific. Tempat ini dikenal dengan nama
Lingkaran Api (Ring of Fire) karena banyaknya gunung berapi dan aktivitas geologi.

Gambar I.21. Lingkaran Api (Ring of Fire)

Rekayasa Gempa – Teknik Sipil Universitas Diponegoro 31


Dengan melihat tempat-tempat dimana gempa sering terjadi, maka telah dipetakan tiga
jalur gempa yang ada di bumi, yaitu :
1. Circum Pasific Earthquake Belt ( Jalur Gempa Pasifik ), yang meliputi : Chili,
Equador, California, Jepang, Taiwan, Philipina, Sulawesi Utara, Kepulauan Maluku,
Irian, Melanesia, Polynesia, dan Selandia Baru.
2. Trans Asiatic Earthquake Belt ( Jalur Gempa Asia ), yang meliputi : Pegunungan
Alpine di Eropa, Asia Kecil, Irak, Iran, Afganistan, Himalaya, Birma, Sumatera, Jawa,
Nusa Tenggara, dan Irian.
3. Mid Atlantic Earthquake Belt ( Jalur Gempa Atlantik Tengah ), yang meliputi :
Atlantik Selatan melintas ke utara melalui Iceland dan Spitzbergen.

Dari jalur gempa di atas terlihat bahwa kepulauan Indonesia menjadi tempat pertemuan dua
jalur gempa, yaitu Circum Pasific Earthquake Belt dan Trans Asiatic Earthquake Belt.
Dengan demikian kepulauan Indonesia merupakan daerah yang rawan gempa.

I.13 Tsunami
Istilah tsunami berasal dari kosa kata Jepang tsu yang berarti gelombang dan nami yang
berarti pelabuhan, sehingga secara bebas, tsunami diartikan sebagai gelombang laut yang
melanda pelabuhan. Bencana tsunami terbukti menelan banyak korban manusia maupun
harta benda, sebagai contoh untuk tsunami di Flores (1992) mengakibatkan meninggalnya
lebih dari 2000 manusia, kemudian untuk tsunami di Banyuwangi (1994) telah menelan
korban 800 orang lebih, belum termasuk hitungan harta benda yang telah hancur, dan yang
terakhir di Aceh yang menyebabkan lebih dari 100.000 ribu korban jiwa.

Gambar I.22. Gelombang Tsunami

Rekayasa Gempa – Teknik Sipil Universitas Diponegoro 32


Tsunami ditimbulkan oleh adanya perubahan bentuk (deformasi) pada dasar lautan,
terutama perubaan permukaan dasar lautan dalam arah vertikal. Perubahan pada dasar lautan
tersebut akan diikuti dengan perubahan permukaan lautan, yang mengakibatkan timbulnya
penjalaran gelombang air laut secara serentak tersebar keseluruh penjuru mata-angin.
Kecepatan rambat penjalaran tsunami di sumbernya bisa mencapai ratusan hingga ribuan
km/jam, dan berkurang pada saat menuju pantai, dimana kedalaman laut semakin dangkal.

Meskipun tinggi gelombang tsunami pada sumbernya kurang dari satu meter, tetapi
pada saat menghempas di pantai, tinggi gelombang tsunami bisa mencapai lebih dari 5 meter.
Hal ini disebabkan karena berkurangnya kecepatan merambat gelombang tsunami disebabkan
semakin dangkalnya kedalaman laut menuju pantai. Tetapi ini akan mengakibatkan tinggi
gelombangnya menjadi lebih besar karena harus sesuai dengan hukum kekekalan energi.
Penelitian menunjukkan bahwa tsunami dapat timbul bila kondisi tersebut di bawah ini
terpenuhi :
 Gempa dengan pusat gempa di tengah lautan.
 Gempa dengan magnitude lebih besar dari M=6.0 pada Skala Ricter
 Gempa dengan pusat gempa dangkal, kurang dari 33 Km
 Gempa dengan pola mekanisme dominan adalah sesar naik atau sesar turun
 Lokasi sesar (fault) di lautan yang dalam.

Rekayasa Gempa – Teknik Sipil Universitas Diponegoro 33


Bab. II
Aspek Rekayasa Gempa Pada Desain Struktur

II.1 Pendahuluan

Gempa bumi (earthquake) adalah salah satu peristiwa alam yang dapat menimbulkan
bencana, yang pada umumnya terjadi akibat rusak atau runtuhnya gedung, rumah, atau
bangunan buatan manusia. Lapisan kulit bumi dengan ketebalan 100 km mempunyai
temperatur relatif jauh lebih rendah dibanding dengan lapisan dalamnya (mantel dan inti
bumi), sehingga terjadi aliran konveksi dimana massa dengan temperatur tinggi mengalir ke
daerah temperatur rendah atau sebaliknya. Teori aliran konveksi ini sudah lama berkembang
untuk menerangkan terjadinya pergeseran pelat tektonik yang menjadi penyebab utama
terjadinya gempa bumi tektonik. Disamping itu kita juga mengenal gempa vulkanik, gempa
runtuhan, gempa imbasan, dan gempa buatan. Gempa vulkanik disebabkan oleh desakan
magma ke permukaan, gempa runtuhan banyak terjadi di pegunungan yang runtuh, gempa
imbasan biasanya terjadi di sekitar dam karena fluktuasi air dam, sedangkan gempa buatan
adalah gempa yang dibuat oleh manusia seperti ledakan nuklir atau ledakan untuk mencari
bahan mineral. Skala gempa tektonik jauh lebih besar dibandingkan dengan jenis gempa
lainnya, sehingga efeknya lebih banyak terhadap bangunan.
Hampir setiap tahun bencana gempa bumi terjadi di berbagai wilayah di Indonesia.
Walaupun bencana ini berpengaruh sangat besar terhadap perekonomian regional dan
pembangunan, kelihatannya masih sangat sedikit usaha-usaha yang dilakukan untuk
mengantisipasi, mempersiapkan, atau mengurangi pengaruh bencana dari gempa-gempa yang
akan datang. Sepanjang sejarah manusia, gempa bumi telah menimbulkan banyak korban jiwa
serta harta benda di seluruh dunia. Bencana ini pada umumnya disebabkan oleh gagalnya
bangunan-bangunan buatan manusia. Sampai saat ini manusia belum dapat berbuat banyak
untuk mencegah terjadinya gempa bumi, meskipun demikian manusia dapat berihtiar dan
berusaha untuk mengurangi dampak buruk yang dapat ditimbulkan oleh bencana gempa. Oleh
karena itu, salah satu upaya nyata untuk mengurangi atau mencegah pengaruh gempa bumi
yang akan datang adalah dengan memberikan ketahanan gempa yang cukup terhadap
bangunan-bangunan tersebut.
Secara geografis, kepulauan Indonesia berada di antara 60 LU dan 110 LS, serta
diantara 950 BT dan 1410 BT, serta terletak pada perbenturan tiga lempeng kerak bumi yang
disebut triple juntion, yaitu : Lempeng Eurasia, Lempeng Pasific, dan Lempeng Indo
Australia (Gambar II-1). Lempeng Indo-Australia bertabrakan dengan lempeng Eurasia di

Rekayasa Gempa – Teknik Sipil Universitas Diponegoro 34


lepas pantai Sumatera, Jawa dan Nusa Tenggara, sedangkan dengan lempeng Pasific di utara
Irian dan Maluku Utara. Di sekitar lokasi pertemuan antara lempeng ini, akumulasi energi
tabrakan terkumpul sampai suatu titik dimana lapisan bumi tidak lagi sanggup menahan
tumpukan energi, sehingga energi yang terkumpul akan dilepaskan berupa gempa bumi.
Pelepasan energi sesaat ini akan menimbulkan berbagai dampak terhadap bangunan karena
percepatan gelombang seismik, tsunami, longsoran, dan liquefaction. Besarnya dampak
gempa terhadap bangunan bergantung pada beberapa hal; diantaranya adalah skala gempa,
jarak epicenter, mekanisme sumber gempa, jenis tanah di lokasi bangunan, dan kualitas dari
bangunan.
Benturan tiga lempeng tektonik bumi yang terjadi di Indonesia membuat kawasan ini
berpola tektonik yang sangat komplek. Oleh karena itu di Indonesia terdapat berbagai jalur
rawan tektonik yang dapat menimbulkan gempa tektonik, dan sebagian besar bersifat
merusak. Gempa bumi tektonik dapat digolongkan sebagai bencana alam geologi, karena
bencana ini ditimbulkan oleh bencana alam dengan karakteristik yang spesifik yaitu terjadi
secara cepat dan mendadak, tanpa dapat diramalkan terlebih dahulu intensitas besar dan
arahnya, serta waktu kejadiannya.
Pada akhir abad ke 20 ini sangat banyak gempa yang terjadi di Indonesia. Gempa-
gempa yang terjadi ini umumnya menyebabkan bencana yang mengakibatkan korban jiwa dan
kerugian harta benda. Tidak kurang dari belasan gempa bumi besar telah melanda Indonesia,
dan beberapa diantaranya mencapai magnitude > M=6 pada Skala Richter, bahkan ada yang
disertai dengan gelombang pasang (Tsunami) seperti gempa yang terjadi di Sumbawa, Flores,
dan Banyuwangi. Kita tidak bisa melupakan gempa-gempa hebat yang terjadi di Bali (1976),
Flores (1992), Halmahera (1994), Liwa (1994), Banyuwangi (1994), Kerinci (1995), Biak
(1996), Pandeglang (1997,1999), Sukabumi (2000), Bengkulu (2000), Papua (2004), Bali
(2004), Kepulauan Alor (2004), dan di Jogja (2006). Beberapa gempa bahkan dirasakan
dampaknya di Jakarta, sehingga mendorong kita semua untuk memperhatikan fenomena
gempa lebih serius. Terjadinya gempa bumi di beberapa wilayah di Indonesia mengingatkan
kita bahwa, kepulauan Indonesia termasuk daerah yang rawan bencana gempa.
Distribusi gempa bumi besar yang bersifat merusak dengan magnitude M > 6 pada
Skala Richter yang terjadi di Indonesia sejak tahun 1900 sampai dengan 1996, diperlihatkan
pada Gambar II-2. Dari distribusi gempa besar yang pernah terjadi, terlihat bahwa kawasan
Indonesia khususnya sebagian Sumatera dan Jawa, serta hampir seluruh wilayah Indonesia
bagian timur yang meliputi kepulauan Bali, NTT, dan NTB adalah daerah yang rawan
bencana gempa.

Rekayasa Gempa – Teknik Sipil Universitas Diponegoro 35


110 mm / yr

Lempeng
Eurasia Lempeng
Pasifik

71 mm / yr

Lempeng
Indo-Australia

Gambar II-1. Lingkungan tektonik Indonesia terdiri dari tiga lempeng tektonik; Indo-Australia,
Pasifik dan Eurasia yang bergerak relatif terhadap lainnya (lihat arah panah). Batas lempeng tektonik
merupakan daerah konsentrasi aktifitas gempa bumi yang diplot sebagai garis hitam dan segi tiga.
Garis tebal merupakan sesar aktif, sedangkan lingkaran adalah stasiun seismograf (Sumber : Badan
Metereologi dan Geofisika).

Lempeng
Eurasia Lempeng
Pasifik

Lempeng
Indo-Australia

Gambar II-2. Distribusi lokasi gempa bumi besar yang pernah terjadi tahun 1900 s/d 1996 dengan
magnitude M > 6 pada Skala Richter (Sumber : Badan Metereologi dan Geofisika).
Kerusakan maupun kerugian yang diakibatkan bencana gempa cukup besar, baik dari
kerusakan sarana dan prasarana, serta hancurnya banyak rumah penduduk di suatu wilayah

Rekayasa Gempa – Teknik Sipil Universitas Diponegoro 36


permukiman. Lebih parah lagi adalah, sebagian besar dampak diakibat gempa adalah
kerusakan dari bangunan rumah sederhana yang dihuni oleh sebagian besar masyarakat di
Indonesia. Sementara itu banyaknya korban jiwa maupun luka-luka akibat terjadinya gempa
mengindikasikan kurangnya antisipasi dan kesiapsiagaan masyarakat akan terjadinya bencana
gempa. Untuk itulah diperlukan upaya terpadu pengurangan dampak bencana gempa yang
melibatkan seluruh potensi masyarakat. Untuk dapat mengurangi bencana yang diakibatkan
oleh gempa, beberapa usaha yang dapat dilakukan manusia diantaranya adalah :
 Memahami tingkah laku alam, sehingga manusia dapat mengikuti keinginan alam,
dengan demikian manusia dapat hidup berdampingan secara harmonis dan selaras
dengan alam.
 Mencoba untuk memperkirakan kapan suatu gempa tektonik atau gempa vulkanik
akan terjadi. Usaha-usaha ini telah mendorong berkembangnya suatu disiplin ilmu
yang dikenal dengan Peramalan Gempa (Earthquake Prediction).
 Mencoba untuk mempelajari perilaku dari suatu struktur atau konstruksi bangunan
jika diguncang gempa, dengan harapan akan dapat direncanakan dan dibangun struktur
atau konstruksi bangunan yang tahan terhadap pengaruh gempa. Usaha ini telah
mendorong lahirnya suatu disiplin ilmu yang disebut Rekayasa Gempa
(Earthquake Engineering). Ilmu ini merupakan bagian dari ilmu Teknik Sipil.

Indonesia merupakan kawasan rawan gempa tektonik, dengan intensitas kegempaan yang
cukup besar. Dalam 50 tahun terakhir ini, tidak kurang dari belasan gempabumi besar telah
melanda kawasan ini, dan beberapa diantaranya mencapai magnitude gempa M=7 pada Skala
Richter. Sebagai negara berkembang dengan pertumbuhan ekonomi yang banyak
dimanifestasikan pada sektor properti seperti pembangunan gedung-gedung bertingkat dalam
jumlah yang besar, pengaruh gempa dapat menambah kerawanan akan jatuhnya korban jiwa
dan harta benda, bila perencanaan struktur bangunan terhadap gempa tidak ditangani dengan
memadai.

Rekayasa Gempa – Teknik Sipil Universitas Diponegoro 37


Gambar II-3. Kedalaman dan magnitude gempa di Indonesia, tahun 1991 s/d 2000 (Sumber : Badan Metereologi dan Geofisika ).

Rekayasa Gempa – Teknik Sipil Universitas Diponegoro 38


II.2 Konstruksi Engineered Dan Non-Engineerred

Rekayasa struktur bangunan tahan gempa merupakan salah satu cara yang dapat
dilakukan manusia untuk mengantisipasi pengaruh-pengaruh yang dapat ditimbulkan oleh
bencana gempa, agar kerugian material / harta benda dan jatuhnya korban jiwa dapat
ditekan seminimal mungkin. Rekayasa struktur bangunan di daerah rawan gempa,
memerlukan filosofi dan antisipasi yang tepat dengan menggunakan spesifikasi atau
peraturan yang berlaku. Di Indonesia, syarat-syarat minimum untuk prosedur perencanaan
struktur bangunan tahan gempa telah tercantum di dalam beberapa peraturan yang berlaku.
Pada dasarnya, bangunan-bangunan yang ada dapat dibagi menjadi dua kategori
berdasarkan proses perencanaan dan pelaksanaannya, yaitu Engineered Construction dan
Non-Engineered Construction. Engineered Construction adalah bangunan yang
direncanakan berdasarkan perhitungan struktur, dan dilaksanakan atau dibangun di bawah
pengawasan para Ahli Bangunan. Sebagai contoh dari Engineered Construction adalah
struktur bangunan gedung bertingkat, struktur jembatan dan jalan layang, fasilitas
pembangkit tenaga listrik atau tenaga nuklir, dan bendungan. Bangunan-bangunan ini pada
umumnya menggunakan bahan-bahan dan sistem struktur yang modern, seperti beton
bertulang dan baja.
Non-Engineered Construction adalah bangunan yang dibangun secara spontan
berdasarkan kebiasaan tradisional setempat, dan pelaksanaannya tidak dibantu Arsitek atau
Ahli Bangunan, melainkan mengikuti cara-cara yang diperoleh dari hasil pengamatan
tingkat laku bangunan sejenis yang mengalami gempa bumi di masa lalu. Non-Engineered
Construction mencakup bangunan tradisional, bangunan tembokan (bata, batu, batako)
yang memakai perkuatan (kolom dan balok praktis) maupun yang tidak memakai
perkuatan, bangunan kayu dan bambu, bangunan beton bertulang sederhana, bangunan
rangka baja sederhana.
Bangunan Non-Engineered Construction dapat dibagi menjadi dua katergori. Yang
termasuk kategori pertama adalah, bangunan yang dibangun menurut tradisi dan
disesuaikan dengan budaya dan bahan bangunan yang tersedia di daerah tersebut.
Bangunan yang termasuk kategori ini pada umumnya disebut bangunan tradisional.
Bangunan tradisional pada umumnya mempunyai ketahanan yang cukup baik terhadap
gempa. Pola permukiman manusia, cara-cara tradisional, serta bahan bangunan yang
dipakai untuk bangunan tradisional pada suatu wilayah merupakan bukti dari keselerasan
hidup berdampingan secara harmonis antara manusia dengan dengan alam. Kearifan

Rekayasa Gempa – Teknik Sipil Universitas Diponegoro 39


tradisional, pengalaman dan keahlian yang berkembang selama berabad-abad, mampu
menghasilkan karya bangunan tradisional yang tahan terhadap pengaruh gempa.

Gambar II-4. Bangunan tradisional dengan Arsitektur Bali. Sistem struktur bangunan tradisional
ini terdiri dari saka (kolom) dan balok sunduk dengan penguat pasak. Struktur tradisional ini cukup
kuat menahan gempa Karangasem 2 Januari 2004

Bangunan tradisional ini lambat laun hilang dan digantikan dengan bangunan Non-
Engineered Construction yang termasuk kategori kedua yaitu bangunan rumah tinggal
sederhana atau bangunan komersial yang dibangun oleh pemilik bangunan atau tukang-
tukang setempat, tanpa mendapatkan bantuan dari Arsitek atau Ahli Bangunan. Bangunan-
bangunan tersebut terutama mencakup bangunan tembokan (bata, batu, batako) atau
bangunan beton bertulang sederhana. Bangunan-bangunan tersebut pada umumnya
dibangun dengan tidak memperhatikan prinsip-prinsip yang diperlukan agar memiliki
ketahahan yang baik terhadap gempa.
Bangunan Non-Engineered Construction kategori yang kedua ini merupakan
bangunan yang paling banyak dibangun di negara-negara berkembang termasuk di
Indonesia. Di Indonesia bangunan-bangunan ini banyak dijumpai di daerah permukiman
penduduk, baik yang berada di perkotaan maupun pedesaan. Dari pengalaman gempa yang
terjadi di Indonesia, kegagalan atau kehancuran struktur dari bangunan kategori kedua
inilah yang sering menimbulkan korban jiwa dan kerugian harta benda.
Jumlah perbandingan masing-masing kategori bangunan agak berbeda untuk
negara-negara maju, negara-negara sedang berkembang, dan negara-negara belum. Di
Indonesia, Engineered Construction pada umumnya hanya terdapat di kota-kota besar,

Rekayasa Gempa – Teknik Sipil Universitas Diponegoro 40


sedangkan Non-Engineered Construction tersebar baik di kota-kota besar atau kecil,
maupun di pedesaan.
Meskipun berbeda dalam proses perencanaan dan pelaksanaannya, tapi kedua
kategori bangunan ini sesungguhnya harus dapat berfungsi dengan baik pada saat terjadi
gempa, aman bagi keselamatan jiwa dan harta benda, serta ekonomis dalam biaya
pembangunannya. Batasan untuk mendapatkan fungsi tersebut dalam kaitannya dengan
ketahanan bangunan terhadap pengaruh gempa bumi, biasanya dikaitkan dengan
pertimbangan biaya dan risiko yang dapat diterima.
Sejak beberapa tahun yang lalu, batasan atau kriteria desain untuk Engineered
Construction didasarkan pada kriteria performance based design, karena orientasinya
adalah penyelamatan korban jiwa dan juga harta benda, pada saat struktur bangunan
digoncang gempa. Sedangkan pada Non-Engineered Construction orientasinya lebih
dititik beratkan pada kriteria “ penyelamatan korban jiwa “ pada saat terjadi gempa.

II.3 Pelajaran Dari Kerusakan Bangunan Akibat Gempa

Setiap gempa bumi yang merusak selalu memberikan pelajaran baru untuk diteliti.
Hal ini berlaku untuk bangunan Engineered Construction maupun Non-Engineered
Construction. agar struktur bangunan mempunyai performance yang baik pada saat terjadi
gempa. Suatu gempa dapat secara efektif mencari dan menemukan kelemahan-kelemahan
suatu struktur bangunan. Kebanyakan kegagalan struktur hasil dari pengamatan kerusakan
akibat gempa masa lampau, erat kaitannya dengan kekurangan-kekurangan pada bangunan
yang didirikan, apakah itu disebabkan karena perencanaan yang tidak benar, kurangnya
pengawasan, atau pelaksanaan yang tidak memadai.
Penelitian kerusakan bangunan akibat gempa di masa lampau dan pengaruhnya
pada berbagai macam struktur, dapat memberikan informasi yang jelas untuk peningkatan
pengetahuan mengenai rekayasa struktur bangunan tahan gempa. Inspeksi lapangan
terhadap bangunan yang rusak akibat gempa adalah cara yang paling efektif untuk
memperoleh informasi tersebut. Ini terutama sekali benar untuk bangunan-bangunan Non-
Engineered Construction, karena untuk bangunan ini perencanaan tahan gempanya
kebanyakan hanya berdasarkan performance bangunan yang terobservasi pada saat terjadi
gempa dimasa lampau.
Untuk memperoleh informasi mengenai ragam kerusakan dari bangunan-bangunan
pada saat terjadi gempa, di bawah ini diuraikan secara singkat 3 gempa besar yang pernah

Rekayasa Gempa – Teknik Sipil Universitas Diponegoro 41


terjadi di wilayah Indonesia Timur selama tahun 2004, yaitu gempa Karangasem di Bali
(Januari 2004), gempa Nabire di Papua (Februari 2004) , dan gempa Alor di NTT
(Nopember 2004). Selain gempa-gempa yang terjadi di wilayah Indonesia Timur, sebagai
pelajaran akan ditinjau juga kerusakan-kerusakan bangunan yang terjadi akibat gempa
Bengkulu. Gempa Bengkulu terjadi pada 4 Juni 2000, dan merupakan salah satu gempa
besar dan merusak dengan kekuatan gempa utama (main shock) M=7,9 pada Skala Richter
(SR). Pusat gempa (epicenter) berada pada koordinat 4,70 LS dan 1020 BT, dengan
kedalaman gempa 33 kilometer. Dari hasil catatan USGS (US Geological Survey National
Earthquake Information Center), terjadi banyak gempa susulan berkekuatan di atas 5,6 SR.
Hal seperti ini jarang terjadi di Indonesia.

II.3.1 Gempa Karangasem-Bali ( Januari 2004 )


Jumat pagi, 2 Januari 2004 pukul 4.59.31.1 WITA sepanjang Kepulauan Bali-
Lombok merasakan kerasnya guncangan gempa. Guncangan paling keras dirasakan hampir
di seluruh daerah di kawasan Pulau Bali bagian timur dan Pulau Lombok bagian barat.
Guncangan gempa dirasakan di Ampenan (IV-V MMI), Karangasem (V-VI MMI), dan
Denpasar (IV-V MMI). Kerugian akibat gempa di Karangasem tercatat puluhan orang
luka-luka, ribuan bangunan termasuk tempat ibadah (pura dan masjid) retak dan roboh,
bahkan di Lombok dilaporkan seorang meninggal dunia.
Berdasarkan analisis Pusat Gempa Regional III, Balai Meteorologi dan Geofisika
Wilayah III, pusat gempa berada pada koordinat 8,34 0 LS dan 15,870 BT, dengan
kedalaman gempa 33 kilometer. Adapun magnitude atau besarnya energi yang terpancar
dari pusat hiposentrumnya memiliki kekuatan 6,1 pada Skala Richter. Getaran yang terasa
terjadi selama 10 detik dengan durasi catatan signal gempa selama 5 menit. Gempa yang
terjadi memiliki tipe gempa utama yang diikuti dengan gempa susulan (after shock).
Karena pusat gempa berada di laut (Selat Lombok) kurang lebih 27 kilometer sebelah
timur Kota Karangasem, maka tidak terjadi kerusakan dan korban jiwa yang lebih parah.
Sebelumnya, pada 20 Oktober 1979 di Karangasem juga pernah terjadi gempa yang
mengakibatkan 7 orang tewas, 34 orang luka parah, dan 250 orang luka ringan.

II.3.2 Gempa Nabire ( Februari 2004 )


Gempa Nabire di wilayah Papua terjadi pada 6 Februari 2004. Jum’at pagi pukul
04.05 WIT di daerah " leher burung " Papua diguncang gempa berkekuatan 6,9 pada Skala
Richter, dengan intensitas hingga 6-7 Skala MMI, sehingga daerah tersebut porak-poranda.

Rekayasa Gempa – Teknik Sipil Universitas Diponegoro 42


Lokasi kerusakan terparah terjadi di kota Nabire, yang merupakan kota terpadat
penduduknya di wilayah tersebut. Data resmi dari pemerintah menyatakan bahwa 37 orang
tewas, 110 luka berat, dan 150 orang cedera. Kerugian fisik yang diakibatkan oleh gempa
Nabire ini tidak kurang mencapai Rp 360 miliar, termasuk gedung DPRD Nabire yang
baru saja diresmikan.
Kerusakan lainnya yang terjadi akibat gempa adalah rusaknya bandara udara, 14
gedung sekolah, jembatan putus, jalan-jalan retak, dan puluhan bangunan serta sejumlah
rumah penduduk. Untuk membangun gedung SD saja yang rusak akibat gempa diperlukan
biaya sebesar Rp 58 miliar. Gempa di Nabire adalah gempa tektonik dengan tipe inland
earthquake. Merupakan gempa yang sangat dangkal hiposenternya, yaitu 10 kilometer,
pada posisi 3,360 LS - 135,50 BT. tidak jauh dari kota Nabire.

II.3.3 Gempa Alor ( Nopember 2004 )


Gempa berkekuatan 6 pada Skala Richter mengguncang Kabupaten Alor pada
tanggal 12 Nopember 2004. Kabupaten Alor berada di palung antara Flores dan Provinsi
Maluku (37 km di timur Kota Kalabahi, ibu kota Kabupaten Alor, NTT). Gempa mulai
terasa pukul 6.30 hingga 10 WIT. Setelah sempat berhenti sebentar, gempa susulan terjadi
hingga pukul 17.00 WIT, dengan Frekuensi terjadi gempa setiap 20 menit. Pusat gempa
diperkirakan berada di Laut Banda. Gempa yang terjadi di Kepulauan Alor pada 12
Nopember 2004 ini lebih besar dari pada gempa sebelumnya yang pernah terjadi pada
tahun 1991, yakni 5,4 SR.
Akibat guncangan dahsyat ini, sejumlah fasilitas umum rusak berat. Transportasi ke
pulau paling timur Flores putus total. Bandara Mali Alor tidak bisa didarati pesawat karena
landasan retak-retak. Kawasan paling parah akibat guncangan gempa terletak di Kenari
Lang, kelurahan Kalabahi Barat. Akibat gempa ini 27 orang meninggal dunia, 118 orang
luka berat, dan 119 orang luka ringan. Sedangkan kerugian material berupa 4203 rumah
penduduk rusak berat, 4863 rumah rusak ringan. Bangunan ibadah yang mengalami
kerusakan berjumlah 16 buah rusak total, 143 buah rusak berat, dan 60 buah rusak ringan.
Gedung perkantoran yang mengalami rusak ringan sebanyak 117, 153 rusak berat, dan 130
rusak total. Untuk gedung sekolah, 63 rusak total, 98 rusak berat, dan 75 rusak ringan.
Kerusakan-kerusakan infrastruktur yang terjadi akibat gempa di Bengkulu (2000),
di Karangasem, di Nabire, dan di Kepulauan Alor, dapat dikelompokkan menjadi 4
macam, yaitu kerusakan pada bangunan Non-Engineered Construction, kerusakan non-

Rekayasa Gempa – Teknik Sipil Universitas Diponegoro 43


struktural pada bangunan rangka sederhana, kerusakan struktural pada bangunan
Engineered Construction, dan kerusakan pada prasarana transportasi (jalan, jembatan,
dermaga, pelabuhan udara).
Sebagian besar bangunan-bangunan yang ada di Karangasem, di Nabire, maupun di
Kepulauan Alor seperti rumah tinggal, sekolahan, instansi pemerintah, pukesmas, termasuk
dalam kategori bangunan Non-Engineered Construction. Bangunan-bangunan ini pada
umumnya adalah bangunan tembokan satu atau dua lantai dengan dinding terbuat dari
pasangan batu bata atau batako. Kerusakan-kerusakan pada bangunan tembokan yang
terjadi akibat gempa Karangasem, gempa Nabire dan gempa Alor, pada umumnya sama
dengan kerusakan bangunan akibat gempa yang terjadi di Bengkulu tahun 2000.
Kerusakan-kerusakan tersebut adalah :
 Hancur atau rubuhnya dinding akibat beban gempa yang bekerja tegak lurus bidang
dinding.
 Keretakan pada dinding, di tempat-tempat yang terdapat bukaan besar pada
bangunan.
 Terpisahnya bagian dinding pada sudut-sudut bangunan atau pertemuan.
 Kehancuran pada pojok-pojok dinding bangunan.
 Retak-retak diagonal pada dinding bangunan yang terjadi pada siar-siar dan/atau
unsur-unsur penyusun dinding.
 Rangka atap terlepas dari dudukannya
 Retak dan kegagalan pada sambungan atau pertemuan antara kolom dan balok
 Kerusakan bangunan akibat penggunaan mutu bahan dan pengerjaan konstruksi
yang buruk.

Rekayasa Gempa – Teknik Sipil Universitas Diponegoro 44


Gambar II-5. Kerusakan-kerusakan pada bangunan akibat penggunaan mutu bahan dan pengerjaan
konstruksi yang buruk (Gempa Nabire, Februari 2004)

Gambar II-6. Rangka atap terlepas dari dudukannya, karena tidak diangkur dengan baik (Gempa
Bengkulu, Juni 2000)

Gambar II-7. Retak dan kegagalan pada sambungan pertemuan antara kolom dan balok (Gempa
Bengkulu, Juni 2000)

Rekayasa Gempa – Teknik Sipil Universitas Diponegoro 45


Gambar II-8. Kegagalan kolom menahan gaya geser yang besar di bagian atas, karena adanya
perbedaan kekakuan yang besar antara lantai tingkat. Kerusakan ini disebut kerusakan akibat soft
first story. (Gempa Bengkulu, Juni 2000).

Penyebab utama dari kerusakan-kerusakan di atas adalah karena pengerjaan


bangunan yang tidak mengikuti persyaratan minimal dari detail konstruksi yang harus
dipenuhi untuk bangunan di daerah rawan gempa. Sebagai contoh untuk hal ini adalah :
tidak adanya unsur-unsur perkuatan untuk bidang-bidang dinding yang luasnya  6m2 ,
detail penulangan yang tidak benar pada pertemuan antara unsur-unsur perkuatan, diameter
dan total luas penampang tulangan yang dipasang terlalu kecil, serta jarak antar tulangan
geser (sengkang) yang dipasang terlalu besar.
Kerusakan akibat gempa dapat berupa kerusakan non-struktural atau kerusakan
struktural. Kerusakan non-struktural adalah kerusakan pada elemen-elemen bangunan yang
tidak difungsikan untuk menahan beban, dengan demikian kerusakan ini tidak
mempengaruhi kekuatan struktur dari bangunan secara keseluruhan. Kerusakan non-
struktural pada umumnya meliputi :
 Penutup atap (genteng) melorot dari dudukannya.
 Rangka plafond rusak atau plafond terlepas dari rangkanya.
 Dinding pengisi dan dinding facade rusak atau roboh karena dinding-dinding ini
tidak diangkur pada elemen-elemen struktur penahan beban, atau dinding tidak
diberi balok-balok dan kolom-kolom praktis.

Kerusakan struktural adalah kerusakan yang terjadi pada elemen-elemen bangunan


yang difungsikan untuk menahan beban, seperti balok-balok dan kolom-kolom utama dari
struktur bangunan. Kerusakan dari elemen-elemen struktural dapat menyebabkan

Rekayasa Gempa – Teknik Sipil Universitas Diponegoro 46


berkurangnya kekuatan dari bangunan, atau bahkan dapat menyebabkan keruntuhan dari
bangunan. Rusaknya kolom-kolom utama dari struktur bangunan, pada umumnya
disebabkan oleh :
 Kegagalan kolom menahan gaya geser yang besar di bagian atas dan di bagian
bawah kolom karena gaya geser terpusat akibat perbedaan kekakuan yang besar
antara lantai tingkat. Kerusakan ini disebut kerusakan akibat soft first storey.
 Kegagalan kolom menahan gaya geser yang besar pada bagian kolom yang berada
diantara 2 bukaan jendela. Kerusakan ini disebut short column effect.
 Kegagalan kolom menahan gaya geser yang besar.

II.3.4 Gempa Kobe di Jepang ( Januari 1995)


Peristiwa Gempa Kobe di Jepang pada tanggal 17 Januari 1995, telah memberikan
pelajaran baru bagi kita, bahwa bukan saja jiwa manusia yang harus diamankan, tetapi juga
harta benda. Kerugian finansial yang telah diderita Jepang oleh Gempa Kobe dengan
magnitude gempa M=7,2 pada Skala Richter yang terjadi hanya selama lebih kurang 20
detik, mencapai 140 milyar dollar AS atau sekitar 315 trilyun rupiah, telah sangat
mengejutkan dunia karena begitu besarnya. Bila kita bandingkan dengan RAPBN
1995/1996 negara kita yang berjumlah 78,024 trilyun rupiah, maka kerugian finansial yang
telah diderita Jepang oleh Gempa Kobe tersebut, adalah setara dengan empat kali RAPBN
kita. Dapat dibayangkan jika gempa seperti itu melanda negara yang sedang berkembang
seperti Indonesia, tidak mustahil negara tersebut akan langsung bangkrut karenanya.
Gempa Kobe yang terjadi pada jam 05:46 pagi waktu Jepang dengan lokasi
epicenter 34,6 N dan 135,0E, yang dinamakan Gempa Kuat Hanshin, telah
mengakibatkan korban meninggal lebih dari 5270 orang, 26815 orang cedera, 60 orang
hilang, dan 150787 rumah hancur atau terbakar dalam wilayah seluas 150 hektar. Wilayah
yang mengalami kerusakan berat meliputi daerah sepanjang 25 km. dan selebar 2 km.
Gempa dahsyat ini ternyata juga telah meruntuhkan banyak bangunan gedung bertingkat
serta jalan layang yang terbuat dari struktur baja, struktur beton dan struktur komposit,
yang tentunya sudah diantisipasi dan direncanakan aman terhadap pengaruh gempa.

Rekayasa Gempa – Teknik Sipil Universitas Diponegoro 47


Gambar II-9. Bagian dari Jembatan-layang, highway Osaka-Kobe, yang terputus akibat
terlepasnya balok jembatan dari pilar dan jatuh.

Gambar II-10. Pilar jembatan jalan layang mengalami kerusakan akibat kombinasi antara gaya
tekan dan geser.

Secara resmi Pemerintah Daerah Kobe telah mengumumkan bahwa 94109 bangunan
gedung di kota Kobe telah mengalami rusak berat, dimana 54949 bangunan diantaranya
hancur total, dan 31783 mengalami rusak ringan. Musnahnya rumah tinggal
mengakibatkan sekitar 300000 orang kehilangan tempat tinggal. Gempa juga telah
mengakibatkan pelabuhan besar kontainer Kobe mengalami hancur total dan tidak dapat
berfungsi. Kota Kobe yang merupakan kota pelabuhan modern yang telah dibangun selama
130 tahun, ternyata hancur oleh gempa yang berlangsung hanya 20 detik.

Rekayasa Gempa – Teknik Sipil Universitas Diponegoro 48


Gambar II-11. Kerusakan pada lantai pelataran pelabuhan peti kemas akibat liquefaction

Jika hal ini tidak terjadi di Jepang, mungkin orang tidak akan begitu heran. Selama
ini orang terlanjur menganggap bahwa Jepang adalah negeri yang sudah menguasai kiat
untuk meredam gempa dengan menggunakan teknologinya yang maju.
Penggunaan standar konstruksi nasional untuk struktur bangunan tahan gempa di
Jepang, memberikan jaminan keamanan bahwa bangunan-bangunan di perkotaan mampu
untuk menahan gempa hebat. Bahkan ketika Los Angeles di Amerika Serikat diguncang
Gempa Kuat setahun sebelumnya, banyak ahli gempa dari Jepang dengan penuh keyakinan
mengatakan bahwa, kerusakan yang terjadi pada kawasan metropolis di California Selatan
tersebut tidak akan terjadi di Jepang. Akan tetapi, ketika gempa datang mengguncang,
jaminan keamanan tadi terbukti hanya tinggal sebuah kata. Jalan layang, pelabuhan,
lintasan jalur kereta api cepat dan kereta api lokal, serta beberapa gedung bertingkat yang
konon telah dibangun atas dasar standar konstruksi nasional, ternyata tidak mampu
meredam Gempa Kuat dengan magnitude M=7,2 pada Skala Richter. Tidak sedikit
bagunan bertingkat tinggi yang runtuh sepenuhnya atau miring, termasuk gedung rumah
sakit Kobe yang berlantai delapan. Di gedung rumah sakit Kobe ini puluhan pasien, dokter
dan perawat tewas seketika.

Rekayasa Gempa – Teknik Sipil Universitas Diponegoro 49


Gambar II-12. Rumah Sakit Kobe runtuh akibat gempa berkekuatan M=7,2 pada Skala Richter

Di lokasi fasilitas LPG Higashi-Nada-Ku, sebuah tangki gas berkapasitas 20000 ton
mengalami kebocoran, sehingga 8000 warga sekitarnya perlu dievakuasi. Jalur kereta api
cepat shinkansen di Kobe yang direncanakan tahan terhadap gempa berkekuatan M=7,9
pada Skala Richter, ternyata rusak berat hanya dalam waktu 12 detik akibat pengaruh
gempa yang berarah vertikal. Getaran gempa yang berarah vertikal lebih sulit diantisipasi
pangaruhnya terhadap kekuatan struktur, dengan demikian gempa berarah vertikal lebih
berbahaya pengaruhnya dibandingkan dengan gempa yang berarah horisontal yang dapat
menimbulkan gerakan-gerakan menyamping pada struktur bangunan.

Gambar II-13. Kerusakan pada fasilitas jalur kereta api cepat shinkansen di Kobe

Jaminan-jaminan keamanan seperti di atas, tentu bukan hanya diberikan di bidang


konstruksi saja. Perusahaan Osaka Gas misalnya, juga telah menjamin bahwa bila
guncangan gempa mencapai magnitude M=5 pada Skala Richter, gas akan berhenti secara

Rekayasa Gempa – Teknik Sipil Universitas Diponegoro 50


otomatis dan oleh karenanya kecemasan masyarakat terhadap kebocoran gas, tidaklah
diperlukan. Pernyataan dari perusahaan gas kaliber raksasa ini tentunya wajar untuk
dipercaya oleh masyarakat. Tetapi ketika getaran gempa Kobe telah mencapai magnitude
M=7,2 pada Skala Richter, banyak kalangan yang menyangsikan bahwa sungguhkah gas
memang berhenti secara otomatis. Beberapa korban bahkan banyak yang meninggal bukan
disebabkan karena tertimpa reruntuhan bangunan, melainkan karena mengisap gas yang
berbahaya ini.
Jalan layang, gedung bertingkat, pelabuhan, jalur kereta api serta pipa gas, bukanlah
satu-satunya bangunan yang porak poranda akibat gempa kuat yang melanda Kobe.
Gempa Kobe juga telah menghancurkan keyakinan dari masyarakat Jepang bahwa negeri
itu mampu untuk menahan goncangan gempa yang hebat. Hal ini mungkin akan
menyebabkan diadakannya peninjauan secara radikal terhadap langkah-langkah untuk
mengantisipasi pengaruh gempa. “Masalah terpenting yang perlu dikaji kembali adalah
standar-standar konstruksi bangunan“, demikian pernyataan yang dikatakan oleh Prof. Isao
Sakamoto dari Fakultas Teknik Universitas Tokyo.
Gempa Kobe mengingatkan semua pihak, bahwa suatu wilayah yang dianggap tidak
mempunyai risiko dilanda Gempa Kuat, belum tentu anggapan tersebut sepenuhnya benar.
Meskipun dari data sejarah kegempaan selama 100 tahun atau lebih, menunjukkan tidak
pernah terjadi gempa yang hebat, ada kemungkinan pada suatu saat dapat terjadi Gempa
Kuat yang dapat menghancurkan wilayah yang luas serta menimbulkan kerugian harta dan
jiwa dalam jumlah sangat besar. Kerusakan yang terjadi pada suatu kawasan padat
penduduk atau kota industri yang sudah dipenuhi bangunan-bangunan penting, akan sangat
sulit dibangun kembali seperti semula.
Seperti halnya dengan Gempa Kuat yang terjadi di Kobe yang tidak diduga
sebelumnya, maka kejadian seperti ini dapat saja terjadi di mana saja termasuk Indonesia,
khususnya di kota-kota besar yang banyak memiliki gedung-gedung tinggi dan jalan-jalan
layang. Di dalan standar gempa yang berlaku di Indonesia, Jakarta termasuk di dalam
wilayah atau zona gempa 4 yang termasuk wilayah dengan pengaruh kegempaan sedang.
Apakah ketentuan tersebut perlu ditinjau ulang ?. Sudahkah para ahli struktur dan ahli
gempa di Indonesia memikirkan langkah-langkah pengamanan seperlunya untuk
menghadapi kemungkinan seperti gempa yang terjadi di Kobe?.

Rekayasa Gempa – Teknik Sipil Universitas Diponegoro 51


II.4 Risiko Gempa di Indonesia
Berdasarkan akibat-akibat yang dapat ditimbulkan oleh bencana gempa di Indonesia,
maka perlu adanya upaya-upaya untuk menekan bahaya bencana yang diakibatkan oleh
gempa. Aspek rekayasa gempa sangat perlu diterapkan pada rekayasa struktur, agar
bangunan mempunyai ketahanan yang baik terhadap pengaruh gempa. Penggunaan standar
bangunan sangat penting untuk menjamin bahwa bangunan tersebut aman untuk dihuni.
Penentuan tingkat risiko terjadinya gempa untuk suatu wilayah, secara analitis
dimungkinkan, berkat sifat-sifat dari peristiwa gempa yang pernah terjadi sebelumnya,
sebagaimana halnya pada beberapa bencana alam lainnya, seperti halnya banjir. Peristiwa
terjadinya gempa dapat direpresentasikan dengan suatu model matematik dan teori
probabilitas. Tingkat risiko gempa pada suatu wilayah diartikan sebagai probabilitas atau
kemungkinan terlampauinya respon pergerakan tanah yang maksimum pada wilayah
tersebut, dalam suatu kurun waktu tertentu. Dengan mengetahui sejarah kegempaan suatu
daerah yang diperoleh dari pengamatan atau rekaman gempa yang pernah terjadi di masa
lalu, tingkat risiko atau peluang terjadinya gempa pada suatu wilayah dapat diperkirakan
dengan menggunakan rumus-rumus matematika dan statistik.
Tingkat risiko gempa pada suatu wilayah atau zona, tidak dapat ditentukan hanya
berdasarkan frekuensi terjadinya gempa saja. Hal ini disebabkan karena tingkat risiko
gempa diukur berdasarkan kerusakan struktur yang ada pada suatu lokasi, yang tidak hanya
tergantung dari besarnya gempa, tetapi juga tergantung pada jarak pusat gempa (epicenter)
dari lokasi yang ditinjau, serta kondisi tanah pada lokasi tersebut. Sebagai contoh, gempa
kuat dengan magnitude M=7 pada Skala Richter dengan pusat gempa berjarak 300 km dari
lokasi yang ditinjau, belum tentu menimbulkan kerusakan yang lebih besar dibandingkan
gempa dengan magnitude M=5 atau M=6 pada Skala Richter, tetapi dengan pusat gempa
yang berjarak 50 km. dari lokasi yang ditinjau. Demikian pula halnya pengaruh beban
gempa pada struktur bangunan yang terletak di atas tanah lunak dan di atas tanah keras,
dapat juga berlainan.
Konsep keamanan dari suatu struktur terhadap pengaruh gempa, harus dikaitkan
dengan risiko atau peluang terjadinya (incidence risk) gempa tersebut selama umur rencana
(design life time) dari struktur bangunan yang ditinjau. Karena gempa merupakan peristiwa
probabilistik, maka gempa dengan kekuatan atau intensitas tertentu, mempunyai periode
ulang (return period) yang tertentu pula. Dengan demikian, jika risiko terjadinya suatu
gempa selama umur rencana bangunan sudah tertentu, maka periode ulang dari gempa

Rekayasa Gempa – Teknik Sipil Universitas Diponegoro 52


tersebut sudah tertentu pula. Hubungan antara umur rencana bangunan, periode ulang
gempa, dan risiko terjadinya gempa, berdasarkan teori probabilitas dapat dinyatakan dalam
suatu persamaan matematika sebagai berikut :

RN = 1– 1 – 1 x 100%
TR

dimana : RN = Risiko terjadinya gempa selama umur rencana (%)


TR = Periode ulang terjadinya gempa (tahun)
N = Umur rencana dari bangunan (tahun)

Pada perencanaan struktur bangunan tahan gempa, perlu ditinjau 3 taraf beban
gempa, yaitu Gempa Ringan, Gempa Sedang dan Gempa Kuat, untuk merencanakan
elemen-elemen dari sistem struktur, agar tetap mempunyai kinerja yang baik pada saat
terjadi gempa. Gempa Ringan, Gempa Sedang, Gempa Kuat, dan Gempa Rencana untuk
keperluan prosedur perencanaan struktur didefinisikan sebagai berikut :

II.4.1 Gempa Ringan


Gempa Ringan adalah gempa yang peluang atau risiko terjadinya dalam periode
umur rencana bangunan 50 tahun adalah 92% (RN = 92%), atau gempa yang periode
ulangnya adalah 20 tahun (TR = 20 tahun). Akibat Gempa Ringan ini struktur bangunan
harus tetap berperilaku elastis, ini berarti bahwa pada saat terjadi gempa elemen-elemen
struktur bangunan tidak diperbolehkan mengalami kerusakan struktural maupun kerusakan
non-struktural. Pada saat terjadi Gempa Ringan, penampang dari elemen-elemen pada
sistem struktur dianggap tepat mencapai kapasitas nominalnya, dan akan berdeformasi
lebih lanjut secara tidak elastis (inelastis) jika terjadi gempa yang lebih kuat.
Karena risiko terjadinya Gempa Ringan adalah 92%, maka dapat dianggap bahwa
selama umur rencananya, struktur bangunan pasti akan akan mengalami Gempa Ringan,
atau risiko terjadinya Gempa Ringan adalah 100% (RN = 100%).

II.4.2 Gempa Sedang


Gempa Sedang adalah gempa yang peluang atau risiko terjadinya dalam periode
umur rencana bangunan 50 tahun adalah 50% (RN = 50%), atau gempa yang periode
ulangnya adalah 75 tahun (TR = 75 tahun). Akibat Gempa Sedang ini struktur bangunan

Rekayasa Gempa – Teknik Sipil Universitas Diponegoro 53


tidak boleh mengalami kerusakan struktural, namun diperkenankan mengalami kerusakan
yang bersifat non-struktural. Gempa Sedang akan menyebabkan struktur bangunan sudah
berperilaku tidak elastis, tetapi tingkat kerusakan struktur masih ringan dan dapat
diperbaiki dengan biaya yang terbatas.

II.4.3 Gempa Kuat


Gempa Kuat adalah gempa yang peluang atau risiko terjadinya dalam periode umur
rencana bangunan 50 tahun adalah 2% (RN = 2%), atau gempa yang periode ulangnya
adalah 2500 tahun (TR = 2500 tahun). Akibat Gempa Kuat ini struktur bangunan dapat
mengalami kerusakan struktural yang berat, namun struktur harus tetap berdiri dan tidak
boleh runtuh sehingga korban jiwa dapat dihindarkan. Gempa kuat akan menyebabkan
struktur bangunan berperilaku tidak elastis, dengan kerusakan struktur yang berat tetapi
masih berdiri dan dapat diperbaiki.

II.4.4 Gempa Rencana


Karena beban pada struktur yang diakibatkan oleh gempa merupakan beban yang
tidak pasti, maka untuk menentuklan besarnya beban gempa yang akan digunakan di dalam
perencanaan, tidak dipergunakan beban yang diakibatkan oleh Gempa Kuat sebagai dasar
perhitungannya. Desain struktur terhadap pengaru Gempa Kuat akan menghasilkan
bangunan yang tidak ekonomis. Di dalam standar gempa yang baru dicantumkan bahwa,
untuk perencanaan struktur bangunan terhadap pengaruh gempa digunakan Gempa
Rencana. Gempa Rencana adalah gempa yang peluang atau risiko terjadinya dalam periode
umur rencana bangunan 50 tahun adalah 10% (RN = 10%), atau gempa yang periode
ulangnya adalah 500 tahun (TR = 500 tahun).
Dengan menggunakan Gempa Rencana ini, struktur dapat dianalisis secara elastis
untuk mendapatkan gaya-gaya dalam yang berupa momen lentur, gaya geser, gaya normal,
dan puntir atau torsi yang bekerja pada tiap-tiap elemen struktur. Gaya-gaya dalam ini
setelah dikombinasikan dengan dengan gaya-gaya dalam yang diakibatkan oleh beban mati
dan beban hidup, kemudian digunakan untuk mendimensi penampang dari elemen struktur
berdasarkan metode LRFD (Load Resistance Factor Design) sesuai dengan standar desain
yang berlaku.
Peluang atau risiko terjadinya gempa pada struktur bangunan selama umur
rencananya dapat dihitung dengan menggunakan rumus probabilitas di atas. Jika periode
ulang terjadinya Gempa Ringan : TR = 20 tahun, Gempa Sedang : TR = 75 tahun, dan

Rekayasa Gempa – Teknik Sipil Universitas Diponegoro 54


Gempa Kuat : TR = 2500 tahun, serta umur rencana rata-rata bangunan di Indonesia adalah
N=50 tahun, maka akan didapatkan besarnya risiko terjadinya gempa pada struktur
bangunan adalah : RN Gempa Ringan = 92% 100%, RN Gempa sedang = 50%, dan RN
Gempa Kuat = 2%.
Dalam filosofi perencanaan struktur bangunan tahan gempa, dikenal suatu konsep
pembebanan gempa yang disebut Pembebanan Dua Tingkat. Konsep Pembebanan Dua
Tingkat mempunyai pengertian bahwa, struktur bangunan selama umur rencananya
diperkirakan akan dibebani berulang kali oleh Gempa Ringan dan Gempa Sedang, yang
mempunyai periode ulang lebih kecil dari 75 tahun. Serta struktur selama umur rencananya
diharapkan mampu menahan sekali terjadinya Gempa Kuat dengan periode ulang 2500
tahun.
Pemilihan periode ulang 500 tahun yang dipilih sebagai dasar perhitungan beban
Gempa Rencana untuk keperluan perencanaan struktur, didasarkan pada tingkat
probabilitas terjadinya gempa yang dapat diterima yaitu 10%, mengingat umur efektif rata-
rata struktur bangunan di Indonesia adalah sekitar 50 tahun. Berdasarkan kemungkinan
terjadinya Gempa Ringan, Gempa Sedang dan Gempa Kuat dengan periode ulang 20, 75,
dan 500 tahun, ternyata tingkat risiko gempa yang dapat terjadi pada struktur-struktur
bangunan di Indonesia selama umur rencananya adalah cukup besar, hal ini perlu kiranya
menjadi perhatian bagi para perencana struktur.

II.5 Beban Gempa Nominal


Besarnya beban Gempa Nominal yang digunakan untuk perencanaan struktur
ditentukan oleh tiga hal, yaitu oleh besarnya Gempa Rencana, oleh tingkat daktilitas yang
dimiliki struktur, dan oleh nilai faktor tahanan lebih yang terkandung di dalam struktur.
Berdasarkan pedoman gempa yang berlaku di Indonesia yaitu Perencanaan Ketahanan
Gempa Untuk Struktur Rumah dan Gedung (SNI 03-1726-2002)., besarnya beban gempa
horisontal V yang bekerja pada struktur bangunan, ditentukan menurut persamaan :

C .I
V = Wt
R

Dimana, I adalah Faktor Keutamaan Struktur menurut Tabel I, C adalah nilai Faktor
Respon Gempa yang didapat dari Respon Spektrum Gempa Rencana menurut Gambar 2

Rekayasa Gempa – Teknik Sipil Universitas Diponegoro 55


untuk waktu getar alami fundamental T, dan W t ditetapkan sebagai jumlah dari beban-
beban berikut :
 Beban mati total dari struktur bangunan gedung
 Jika digunakan dinding partisi pada perencanaan lantai, maka harus diperhitungkan
tambahan beban sebesar 0,5 kPa
 Pada gudang-gudang dan tempat penyimpanan barang, maka sekuran-kurangnya
25% dari beban hidup rencana harus diperhitungkan
 Beban tetap total dari seluruh peralatan dalam struktur bangunan gedung harus
diperhitungkan

II.5.1 Faktor Keutamaan Struktur


Dengan probabilitas terjadinya Gempa Rencana adalah 10% dalam kurun waktu
umur rencana bangunan gedung 50 tahun, maka menurut teori probabilitas Gempa
Rencana ini mempunyai periode ulang 500 tahun. Gempa Rencana ini akan menyebabkan
struktur bangunan gedung mencapai kondisi di ambang keruntuhan, tetapi masih dapat
berdiri sehingga dapat mencegah jatuhnya korban jiwa. Untuk berbagai kategori bangunan
gedung, tergantung pada probabilitas terjadinya keruntuhan struktur bangunan gedung
selama umur rencananya, pengaruh Gempa Rencana terhadapnya harus dikalikan dengan
suatu Faktor Keutamaan Struktur (I) menurut persamaan :

I = I1.I2

Dimana I1 adalah Faktor Keutamaan untuk menyesuaikan periode ulang gempa berkaitan
dengan penyesuaian probabilitas terjadinya gempa itu selama umur rencana gedung,
sedangkan I2 adalah Faktor Keutamaan untuk menyesuaikan umur rencana gedung
tersebut.
Karena gedung-gedung bertingkat, monumen dan bangunan monumental sama-sama
memiliki fungsi biasa, tanpa sesuatu keistimewaan, kekhususan atau keutamaan dalam
fungsinya, maka probabilitas terjadinya gempa tersebut selama kurun waktu umur rencana
gedung ditetapkan sama sebesar 10%, sehingga berlaku I1 = 1,0. Tetapi umur rencana dari
gedung-gedung tersebut berbeda-beda. Gedung-gedung dengan jumlah tingkat sampai 10,
karena berbagai alasan dan tujuan pada umumnya mempunyai umur kurang dari 50 tahun,
sehingga I2 < 1 karena periode ulang gempa tersebut adalah kurang dari 500 tahun.
Gedung-gedung dengan jumlah tingkat lebih dari 30, monumen dan bangunan

Rekayasa Gempa – Teknik Sipil Universitas Diponegoro 56


monumental, mempunyai masa layan yang panjang, bahkan harus dilestarikan untuk
generasi yang akan datang, sehingga I2 > 1 karena perode ulang gempa tersebut adalah
lebih dari 500 tahun.
Gedung-gedung penting pasca gempa (rumah sakit, instalasi air bersih, pembangkit
tenaga listrik, pusat penyelamatan dalam keadaan darurat, fasilitas radio dan televisi),
gedung-gedung yang membahayakan lingkungan bila rusak berat akibat gempa (tempat
penyimpanan bahan berbahaya) atau membahayakan bangunan di dekatnya bila runtuh
aibat gempa (cerobong, tangki di atas menara), mempunyai umur manfaat tidak berbeda
dengan gedung-gedung dengan fungsi biasa, yaitu sekitar 50 tahun, sehingga berlaku I 2 =
1,0. Tetapi probabilitas terjadinya gempa tersebut selama kurun waktu umur gedung harus
dibedakan dan semuanya harus kurang dari 10%, sehingga I1 > 1 karena periode ulang
gempa tersebut adalah lebih dari 500 tahun. Kombinasi I1 dan I2 untuk beberapa kategori
gedung ditetapkan dalam Tabel II-1, berikut perkaliannya I.

Tabel II-1. Faktor Keutamaan untuk berbagai kategori gedung dan bangunan

Faktor Keutamaan
Kategori gedung/bangunan
I1 I2 I
Gedung umum seperti untuk penghunian, 1,0 1,0 1,0
perniagaan dan perkantoran.
Monumen dan bangunan monumental 1,0 1,6 1,6
Gedung penting pasca gempa seperti rumah 1,4 1,0 1,4
sakit, instalasi air bersih, pembangkit tenaga
listrik, pusat penyelamatan dalam keadaan
darurat, fasilitas radio dan televise
Gedung untuk menyimpan bahan berbahaya 1,6 1,0 1,6
seperti gas, produk minyak bumi, asam, bahan
beracun.
Cerobong, tangki di atas menara 1.5 1,0 1,5

II.5.2 Daktilitas Struktur


Salah satu faktor penting yang dapat mempengaruhi besar kecilnya beban gempa
yang bekerja pada struktur bangunan adalah daktilitas struktur. Beberapa standar
perencanaan ketahanan gempa untuk struktur gedung, menggunakan asumsi constant
maximum displacement rule, untuk mendefinisikan tingkat daktilitas struktur. Asumsi yang
dianut divisualisasikan dalam diagram beban-simpangan (diagram V-) yang ditunjukkan
dalam Gambar II-14. Asumsi ini menyatakan bahwa struktur bangunan gedung yang

Rekayasa Gempa – Teknik Sipil Universitas Diponegoro 57


bersifat daktail dan struktur bangunan gedung yang bersifat elastik penuh, akibat pengaruh
Gempa Rencana akan menunjukkan simpangan maksimal  m yang sama dalam kondisi
diambang keruntuhan. Asumsi ini adalah konservatif, karena dalam keadaan sesungguhnya
struktur bangunan gedung yang daktail memiliki  m yang relatif lebih besar dibandingkan
struktur bangunan gedung yang elastis, sehingga memiliki faktor daktilitas struktur ()
yang relatif lebih besar dari pada yang diasumsikan

Gambar II.14. Diagram beban (V) - simpangan () dari struktur bangunan gedung

Faktor daktilitas struktur () adalah rasio antara simpangan maksimum ( m) struktur
gedung akibat pengaruh Gempa Rencana pada saat mencapai kondisi di ambang
keruntuhan, dengan simpangan struktur gedung pada saat terjadinya pelelehan pertama
( y ), yaitu :

δm
1,0   =  μm
δy

Pada persamaan ini,  = 1,0 adalah nilai faktor daktilitas untuk struktur bangunan gedung
yang berperilaku elastik penuh, sedangkan m adalah nilai faktor daktilitas maksimum
yang dapat dikerahkan oleh sistem struktur bangunan gedung yang bersangkutan.

Rekayasa Gempa – Teknik Sipil Universitas Diponegoro 58


Jika Ve adalah pembebanan maksimum akibat pengaruh Gempa Rencana yang dapat
diserap oleh struktur gedung yang bersifat elastik penuh dalam kondisi di ambang
keruntuhan, dan Vy adalah pembebanan yang menyebabkan pelelehan pertama di dalam
struktur gedung, maka dengan asumsi bahwa struktur gedung daktail dan struktur gedung
elastik penuh akibat pengaruh Gempa Rencana menunjukkan simpangan maksimum  m
yang sama dalam kondisi di ambang keruntuhan, maka berlaku hubungan sebagai berikut :

Ve
Vy =
μ

Jika Vn adalah pembebanan Gempa Nominal akibat pengaruh Gempa Rencana yang
harus ditinjau dalam perencanaan struktur, maka berlaku hubungan sebagai berikut :

Vy Ve
Vn = 
f1 R

dimana f1 adalah faktor kuat lebih beban dan bahan yang terkandung di dalam struktur

bangunan gedung dan nilainya ditetapkan sebesar f1 = 1,6 dan R disebut faktor reduksi
gempa yang nilainya dapat ditentukan menurut persamaan :

1,6  R = .f1  Rm

R = 1,6 adalah faktor reduksi gempa untuk struktur gedung yang berperilaku elastik penuh,
sedangkan Rm adalah faktor reduksi gempa maksimum yang dapat dikerahkan oleh sistem
struktur yang bersangkutan. Dalam Tabel II-2 dicantumkan nilai R untuk berbagai nilai 
yang bersangkutan, dengan ketentuan bahwa nilai  dan R tidak dapat melampaui nilai
maksimumnya.

Rekayasa Gempa – Teknik Sipil Universitas Diponegoro 59


Tabel II-2. Parameter Daktilitas Struktur Gedung

R
Taraf kinerja struktur gedung 
Elastis penuh 1,0 1,6
1,5 2,4
2,0 3,2
2,5 4,0
3,0 4,8
Daktail parsial
3,5 5,6
4,0 6,4
4,5 7,2
5,0 8,0
Daktail penuh 5,3 8,5

Nilai faktor daktilitas struktur gedung  di dalam perencanaan struktur gedung dapat
dipilih menurut kebutuhan, tetapi tidak boleh diambil lebih besar dari nilai faktor daktilitas
maksimum m yang dapat dikerahkan oleh masing-masing sistem atau subsistem struktur

gedung. Dalam Tabel II-3 ditetapkan nilai m yang dapat dikerahkan oleh beberapa jenis

sistem dan subsistem struktur gedung, berikut faktor reduksi maksimum Rm yang
bersangkutan.

Rekayasa Gempa – Teknik Sipil Universitas Diponegoro 60


Tabel II-3. Faktor daktilitas maksimum (m ), faktor reduksi gempa maksimum (Rm), faktor kuat
lebih struktur (f1 ) dari beberapa jenis sistem dan subsistem struktur bangunan gedung

Sistem dan subsistem struktur m Rm f1


Uraian sistem pemikul beban gempa
gedung
1. Sistem dinding penumpu (Sistem 1. Dinding geser beton bertulang 2,7 4,5 2,8
struktur yang tidak memiliki rangka 2. Dinding penumpu dengan rangka baja 1,8 2,8 2,2
ruang pemikul beban gravitasi secara ringan dan bresing tarik
lengkap. Dinding penumpu atau 3. Rangka bresing di mana bresingnya
sistem bresing memikul hampir memikul beban gravitasi
semua beban gravitasi. Beban lateral a. Baja 2,8 4,4 2,2
dipikul dinding geser atau rangka b. Beton bertulang (tidak untuk Wilayah 5 1,8 2,8 2,2
bresing) & 6)
2. Sistem rangka gedung (Sistem 1. Rangka bresing eksentris baja (RBE) 4,3 7,0 2,8
struktur yang pada dasarnya memiliki 2. Dinding geser beton bertulang 3,3 5,5 2,8
rangka ruang pemikul beban gravitasi 3. Rangka bresing biasa
secara lengkap. Beban lateral dipikul a. Baja 3,6 5,6 2,2
dinding geser atau rangka bresing) b. Beton bertulang (tidak untuk Wilayah 5 3,6 5,6 2,2
& 6)
4. Rangka bresing konsentrik khusus
a. Baja 4,1 6,4 2,2
5. Dinding geser beton bertulang berangkai 4,0 6,5 2,8
daktail
6. Dinding geser beton bertulang kantilever 3,6 6,0 2,8
daktail penuh
7. Dinding geser beton bertulang kantilever 3,3 5,5 2,8
daktail parsial
3. Sistem rangka pemikul momen 1. Rangka pemikul momen khusus (SRPMK)
(Sistem struktur yang pada dasarnya a. Baja 5,2 8,5 2,8
memiliki rangka ruang pemikul b. Beton bertulang 5,2 8,5 2,8
beban gravitasi secara lengkap. 2. Rangka pemikul momen menengah beton 3,3 5,5 2,8
Beban lateral dipikul rangka pemikul (SRPMM)
momen terutama melalui mekanisme 3. Rangka pemikul momen biasa (SRPMB)
lentur) a. Baja 2,7 4,5 2,8
b. Beton bertulang 2,1 3,5 2,8
4. Rangka batang baja pemikul momen 4,0 6,5 2,8
khusus (SRBPMK)
4. Sistem ganda (Terdiri dari : 1) 1. Dinding geser
rangka ruang yang memikul seluruh a. Beton bertulang dengan SRPMK beton 5,2 8,5 2,8
beban gravitasi; 2) pemikul beban bertulang
lateral berupa dinding geser atau b. Beton bertulang dengan SRPMB saja 2,6 4,2 2,8
rangka bresing dengan rangka c. Beton bertulang dengan SRPMM beton 4,0 6,5 2,8
pemikul momen. Rangka pemikul bertulang
momen harus direncanakan secara 2. RBE baja
terpisah mampu memikul sekurang- a. Dengan SRPMK baja 5,2 8,5 2,8
kurangnya 25% dari seluruh beban b. Dengan SRPMB baja 2,6 4,2 2,8
lateral; 3) kedua sistem harus 3. Rangka bresing biasa
direncanakan untuk memikul secara a. Baja dengan SRPMK baja 4,0 6,5 2,8
bersama-sama seluruh beban lateral b. Baja dengan SRPMB baja 2,6 4,2 2,8
dengan memperhatikan c. Beton bertulang dengan SRPMK beton 4,0 6,5 2,8
interaksi/sistem ganda)
bertulang (tidak untuk Wilayah 5 & 6)
d. Beton bertulang dengan SRPMM beton 2,6 4,2 2,8
bertulang (tidak untuk Wilayah 5 & 6)
4. Rangka bresing konsentrik khusus
a. Baja dengan SRPMK baja 4,6 7,5 2,8

Rekayasa Gempa – Teknik Sipil Universitas Diponegoro 61


b. Baja dengan SRPMB baja 2,6 4,2 2,8
5. Sistem struktur gedung kolom Sistem struktur kolom kantilever 1,4 2,2 2
kantilever (Sistem struktur yang
memanfaatkan kolom kantilever
untuk memikul beban lateral)
6. Sistem interaksi dinding geser Beton bertulang biasa (tidak untuk Wilayah 3, 3,4 5,5 2,8
dengan rangka 4, 5 & 6)
7. Subsistem tunggal (Subsistem 1. Rangka terbuka baja 5,2 8,5 2,8
struktur bidang yang membentuk 2. Rangka terbuka beton bertulang 5,2 8,5 2,8
struktur gedung secara keseluruhan) 3. Rangka terbuka beton bertulang dengan 3,3 5,5 2,8
balok beton pratekan (bergantung pada
indeks baja total)
4. Dinding geser beton bertulang berangkai 4,0 6,5 2,8
daktail penuh
5. Dinding geser beton bertulang kantilever 3,3 5,5 2,8
daktail parsial

II.5.3 Arah Pembebanan Gempa


Jika besarnya beban gempa sudah dapat diperkirakan, maka pertanyaan selanjutnya
adalah, bagaimana menentukan arah beban gempa terhadap bangunan. Dalam
kenyataannya arah datangnya gempa terhadap bangunan tidak dapat ditentukan dengan
pasti, artinya pengaruh gempa dapat datang dari sembarang arah. Jika bentuk denah dari
bangunan simetris dan teratur, sehingga bangunan jelas memiliki sistem struktur pada dua
arah utama bangunan yang saling tegak lurus, perhitungkan arah gempa dapat dilakukan
lebih sederhana.
Pembebanan gempa tidak penuh tetapi biaksial atau sembarang dapat menimbulkan
pengaruh yang lebih rumit terhadap struktur gedung ketimbang pembebanan gempa penuh
tetapi uniaksial. Untuk mengantisipasi kondisi ini Applied Technology Council (ATC,
1984) menetapkan bahwa, arah gempa yang biaksial dapat disimulasikan dengan meninjau
beban Gempa Rencana yang disyaratkan oleh peraturan, bekerja pada ke dua arah sumbu
utama struktur bangunan yang saling tegak lurus secara simultan. Besarnya beban gempa
pada struktur dapat diperhitungkan dengan menjumlahkan 100% beban gempa pada satu
arah dengan 30% beban gempa pada arah tegak lurusnya.
Bila bentuk denah dari bangunan tidak simetris atau tidak beraturan, maka sulit untuk
menentukan arah beban gempa yang paling menentukan. Untuk ini perlu dilakukan
analisis struktur dengan meninjau pengaruh dari beban gempa pada masing-masing arah
dari struktur. Untuk berbagai arah gempa yang bekerja, bagian yang kritis dari elemen-
elemen struktur akan berbeda pula. Berapa kemungkinan arah gempa yang akan ditinjau
pada analisis, sepenuhnya tergantung pada perencana struktur.

Rekayasa Gempa – Teknik Sipil Universitas Diponegoro 62


II.6 Wilayah Gempa Dan Spektrum Respon
Salah satu faktor yang mempengaruhi besar kecilnya beban gempa yang bekerja pada
struktur bangunan adalah faktor wilayah gempa. Dengan demikian, besar kecilnya beban
gempa, tergantung juga pada lokasi dimana struktur bangunan tersebut akan didirikan.
Indonesia ditetapkan terbagi dalam 6 Wilayah Gempa seperti ditunjukkan dalam Gambar
1, dimana Wilayah Gempa 1 adalah wilayah dengan kegempaan paling rendah, dan
Wilayah Gempa 6 adalah wilayah dengan kegempaan paling tinggi. Pembagian Wilayah
Gempa ini, didasarkan atas percepatan puncak batuan dasar akibat pengaruh Gempa
Rencana dengan perioda ulang 500 tahun, yang nilai rata-ratanya untuk setiap Wilayah
Gempa ditetapkan dalam Gambar II-15 dan Tabel II-4.
Peta Wilayah Gempa Indonesia dibuat berdasarkan analisis probabilistik bahaya
gempa (probabilistic seismic hazard analysis), yang telah dilakukan untuk seluruh wilayah
Indonesia berdasarkan data seismotektonik mutakhir yang tersedia saat ini. Data masukan
untuk analisis pembuatan peta gempa adalah, lokasi sumber gempa, distribusi magnitudo
gempa di daerah sumber gempa, fungsi perambatan gempa (atenuasi) yang memberikan
hubungan antara gerakan tanah setempat, magnitudo gempa di sumber gempa, dan jarak
dari tempat yang ditinjau sampai sumber gempa, serta frekuensi kejadian gempa per tahun
di daerah sumber gempa. Sebagai daerah sumber gempa, ditinjau semua sumber gempa
yang telah tercatat dalam sejarah kegempaan di Indonesia, baik sumber gempa pada zona
subduksi, sumber gempa dangkal pada lempeng bumi, maupun sumber gempa pada sesar-
sesar aktif yang sudah teridentifikasi.
Hasil analisis probabilistik bahaya gempa ini diplot pada peta Indonesia berupa
garis-garis kontur percepatan puncak batuan dasar dengan periode ulang 500 tahun
(periode ulang Gempa Rencana), yang kemudian menjadi dasar bagi penentuan batas-batas
wilayah gempa. Percepatan batuan dasar rata-rata untuk Wilayah Gempa 1 s/d 6, telah
ditetapkan berturut-turut adalah sebesar 0,03 g, 0,10 g, 0,15 g, 0,20 g, 0,25 g dan 0,30 g.
Dengan percepatan batuan dasar ini, maka ditetapkan percepatan puncak muka tanah (A o )
untuk Tanah Keras, Tanah Sedang dan Tanah Lunak seperti tercantum pada Tabel II-4.
Percepatan puncak batuan dasar dan percepatan puncak muka tanah Ao untuk
Wilayah Gempa 1 yang ditetapkan dalam Gambar II-15 dan Tabel II-4, ditetapkan juga
sebagai percepatan minimum yang harus diperhitungkan dalam perencanaan struktur
gedung untuk menjamin kekekaran (robustness) minimum dari struktur gedung tersebut.
Jadi beban gempa yang disyaratkan tersebut merupakan pengaruh dari gempa yang bukan

Rekayasa Gempa – Teknik Sipil Universitas Diponegoro 63


Gempa Rencana. Di dalam peraturan bangunan negara tetangga kita Singapura yang
berbatasan dengan Wilayah Gempa 1, terdapat suatu ketentuan yang berkaitan dengan
kekekaran struktur gedung, yaitu bahwa setiap struktur gedung harus diperhitungkan
terhadap beban-beban horisontal nominal pada taraf masing-masing lantai tingkat sebesar
1,5% dari beban mati nominal lantai tingkat tersebut. Dengan menggunakan kriteria ini,
maka suatu struktur bangunan gedung bertingkat rendah (gedung dengan periode getar T
yang pendek) yang terletak di Wilayah Gempa 1 dan di atas Tanah Sedang dengan faktor
reduksi gempa misalnya sekitar R = 7 (struktur dengan daktilitas sebagaian / parsial), harus
diperhitungkan terhadap faktor respons gempa sebesar 0,13 I/R = 0,13 x 0,8/7 = 0,015.
Hasil ini selaras dengan peraturan yang ditetapkan di Singapura. Dengan demikian, standar
gempa SNI 2002 ini boleh dikatakan memelihara kontinuitas kegempaan regional lintas
batas negara, jadi tidak lagi seperti menurut standar SNI 1989 yang lama, dimana Wilayah
Gempa 1 merupakan daerah yang bebas gempa sama sekali.

Tabel II-4. Percepatan puncak batuan dasar dan percepatan puncak muka tanah untuk masing-
masing Wilayah Gempa Indonesia

Percepatan Percepatan puncak muka tanah Ao (‘g’)


Wilayah puncak
Gempa batuan dasar Tanah Keras Tanah Sedang Tanah Lunak Tanah Khusus
(‘g’)
1 0,03 0,04 0,05 0,08 Diperlukan
evaluasi
2 0,10 0,12 0,15 0,20
khusus di
3 0,15 0,18 0,23 0,30 setiap lokasi
4 0,20 0,24 0,28 0,34
5 0,25 0,28 0,32 0,36
6 0,30 0,33 0,36 0,38

Untuk menentukan pengaruh Gempa Rencana pada struktur gedung, yaitu berupa
beban geser dasar nominal statik ekuivalen pada struktur bangunan gedung beraturan, dan
gaya geser dasar nominal sebagai respons dinamik ragam pertama pada struktur bangunan
gedung tidak beraturan, untuk masing-masing Wilayah Gempa ditetapkan Spektrum
Respons Gempa Rencana C-T seperti ditunjukkan dalam Gambar II-16. Dalam gambar
tersebut C adalah Faktor Respons Gempa yang dinyatakan dalam percepatan gravitasi, dan
T adalah waktu getar alami struktur gedung yang dinyatakan dalam detik.

Rekayasa Gempa – Teknik Sipil Universitas Diponegoro 64


Secara umum Spektrum Respons adalah suatu diagram yang memberi hubungan
antara percepatan respons maksimum suatu sistem Satu Derajat Kebebasan (SDK) akibat
suatu gempa masukan tertentu, sebagai fungsi dari faktor redaman dan waktu getar alami
sistem SDK tersebut. Spektrum Respons C-T yang ditetapkan untuk masing-masing
Wilayah Gempa, adalah suatu diagram yang memberikan hubungan antara percepatan
respons maksimum (= Faktor Respons Gempa) C dan waktu getar alami T sistem SDK
akibat Gempa Rencana, dimana sistem SDK tersebut dianggap memiliki rasio redaman
kritis sebesar 5%.
Kondisi T = 0 mengandung arti, bahwa sistem SDK tersebut adalah sangat kaku,
sehingga getaran dari sistem tersebut sepenuhnya akan mengikuti gerakan tanah. Dengan
demikian, untuk T = 0 percepatan respons maksimum menjadi identik dengan percepatan
puncak muka tanah (C = Ao). Bentuk dari Spektrum Respons yang sesungguhnya
menunjukkan suatu fungsi yang acak, dimana untuk harga T yang meningkat akan
menunjukkan nilai yang mula-mula meningkat dulu sampai mencapai suatu nilai
maksimum, kemudian akan turun lagi secara asimtotik mendekati sumbu-T. Untuk
mempermudah penggunaan, Spektrum Respons C-T yang digunakan di dalam SNI Gempa
2002 telah diidealisasikan sebagai berikut : untuk 0  T  0,2 detik, C meningkat secara
linier dari Ao sampai Am; untuk 0,2 detik  T  Tc, C bernilai tetap C = Am; untuk T > Tc,

C mengikuti fungsi hiperbola C = Ar/T. Dalam hal ini Tc disebut waktu getar alami sudut.

Idealisasi fungsi hiperbola ini mengandung arti, bahwa untuk T > Tc kecepatan respons

maksimum yang bersangkutan bernilai tetap. Am dan Ar masing-masing adalah percepatan


respons maksimum atau Faktor Respons Gempa maksimum dan pembilang dalam
persamaan hiperbola Faktor Respons Gempa C pada Spektrum Respons Gempa Rencana.
Dari berbagai hasil penelitian ternyata, bahwa untuk 0  T  0,2 detik terdapat
berbagai ketidakpastian, baik dalam karakteristik gerakan tanahnya sendiri maupun dalam
sifat-sifat daktilitas sistem SDK yang bersangkutan. Karena itu untuk 0  T  0,2 detik C
ditetapkan harus diambil sama dengan Am. Dengan demikian untuk T  Tc, Spektrum
Respons berkaitan dengan percepatan respons maksimum yang bernilai tetap. Sedangkan
untuk T > Tc, berkaitan dengan kecepatan respons maksimum yang bernilai tetap.

Berbagai hasil penelitian menunjukkan, bahwa Am berkisar antara 2 Ao dan 3 Ao,

sehingga Am = 2,5 Ao merupakan nilai rata-rata yang dianggap layak untuk perencanaan.

Rekayasa Gempa – Teknik Sipil Universitas Diponegoro 65


Selanjutnya, dari berbagai hasil penelitian juga ternyata, bahwa sebagai pendekatan yang
baik waktu getar alami sudut Tc untuk jenis-jenis Tanah Keras, Tanah Sedang dan Tanak
Lunak dapat diambil sebesar berturut-turut 0,5 detik, 0,6 detik dan 1,0 detik. Dalam Tabel
II-5, nilai-nilai Am dan Ar dicantumkan untuk masing-masing Wilayah Gempa dan masing-
masing jenis tanah.

Tabel II-5. Spektrum Respons Gempa Rencana

Tanah Keras Tanah Sedang Tanah Lunak


Wilayah Tc = 0,5 det Tc = 0,6 det. Tc = 1,0 det.
Gempa
Am Ar Am Ar Am Ar
1 0,10 0,05 0,13 0,08 0,20 0,20
2 0,30 0,15 0,38 0,23 0,50 0,50
3 0,45 0,23 0,55 0,33 0,75 0,75
4 0,60 0,30 0,70 0,42 0,85 0,85
5 0,70 0,35 0,83 0,50 0,90 0,90
6 0,83 0,42 0,90 0,54 0,95 0,95

Rekayasa Gempa – Teknik Sipil Universitas Diponegoro 66


Gambar II-15. Peta kegempaan Indonesia, terdiri dari 6 Wilayah Gempa

Rekayasa Gempa – Teknik Sipil Universitas Diponegoro 67


Gambar II-16. Spektrum Respon Gempa Rencana

Rekayasa Gempa – Teknik Sipil Universitas Diponegoro 68


II.7 Jenis Tanah Dasar dan Perambatan Gelombang Gempa
Gelombang gempa merambat melalui batuan dasar di bawah permukaan tanah. Dari
kedalaman batuan dasar ini gelombang gempa tersebut kemudian merambat ke permukaan
tanah sambil mengalami pembesaran (amplifikasi), bergantung pada jenis lapisan tanah
yang berada di atas batuan dasar tersebut. Dengan adanya pembesaran gerakan ini, maka
pengaruh Gempa Rencana di permukaan tanah harus ditentukan dari hasil analisis
perambatan gelombang gempa dari kedalaman batuan dasar ke permukaan tanah.
Ada dua kriteria yang dapat digunakan untuk mendefinisikan batuan dasar, yaitu
berdasarkan nilai hasil Test Penetrasi Standar N, atau berdasarkan besarnya kecepatan
rambat gelombang geser vs. Batuan dasar adalah lapisan batuan di bawah permukaan tanah
yang memiliki nilai hasil Test Penetrasi Standar (SPT) paling rendah N = 60, dan tidak ada
lapisan batuan lain di bawahnya yang memiliki nilai SPT<N = 60, atau lapisan batuan
yang memiliki kecepatan rambat gelombang geser vs yang mencapai 750 m/detik, dan
tidak ada lapisan batuan lain di bawahnya yang memiliki nilai kecepatan rambat
gelombang < 750 m/detik. Dalam praktek definisi yang pertama yang umumnya dipakai,
mengingat data nilai N merupakan data standar yang selalu diketemukan dalam laporan
hasil penyelidikan geoteknik suatu lokasi, sedangkan untuk mendapatkan nilai vs
diperlukan percobaan-percobaan khusus di lapangan. Apabila tersedia ke-2 kriteria
tersebut, maka kriteria yang menentukan adalah yang menghasilkan jenis batuan yang
lebih lunak.
Menurut SNI Gempa 2002, ada empat jenis tanah dasar harus dibedakan dalam
memilih harga C, yaitu Tanah Keras, Tanah Sedang, Tanah Lunak, dan Tanah Khusus.
Definisi dari jenis Tanah Keras, Tanah Sedang dan Tanah Lunak dapat ditentukan
berdasarkan tiga kriteria, yaitu kecepatan rambat gelombang geser vs, nilai hasil Test

Penetrasi Standar N, dan kekuatan geser tanah S u (shear strength of soil). Untuk
menetapkan jenis tanah yang dihadapi, paling tidak harus tersedia 2 dari 3 kriteria tersebut,
dimana kriteria yang menghasilkan jenis tanah yang lebih lunak adalah yang menentukan.
Apabila tersedia ke-3 kriteria tersebut, maka jenis suatu tanah yang dihadapi harus
didukung paling tidak ada 2 kriteria tadi.
Dari berbagai penelitian ternyata, bahwa hanya lapisan setebal 30 m paling atas
yang menentukan pembesaran gerakan tanah di permukaan tanah. Karena itu, nilai rata-
rata berbobot dari ke-3 kriteria tersebut harus dihitung sampai kedalaman tidak lebih dari

Rekayasa Gempa – Teknik Sipil Universitas Diponegoro 69


30 m. Jenis tanah ditetapkan sebagai Tanah Keras, Tanah Sedang, atau Tanah Lunak,
apabila untuk lapisan setebal maksimum 30 m paling atas, dipenuhi syarat-syarat seperti
yang tercantum dalam Tabel II-6.

Tabel II-6. Jenis-Jenis Tanah

Kecepatan rambat Nilai hasil Test


Kuat geser tanah
gelombang geser Penetrasi Standar
Jenis tanah rata-rata
rata-rata v s rata-rata
S u (kPa)
(m/det) N
Tanah Keras v s  350 N  50 S u  100
Tanah Sedang 175  v s < 350 15  N < 50 50  S u < 100
Tanah Lunak v s < 175 N < 15 S u < 50
Atau, setiap profil dengan tanah lunak yang tebal total lebih
dari 3 m, dengan PI > 20, wn  40%, dan Su < 25 kPa
Tanah Khusus Diperlukan evaluasi khusus di setiap lokasi

Dalam Tabel 4-6 di atas, v s, N dan S u adalah nilai rata-rata berbobot besaran tanah
dengan tebal lapisan tanah sebagai besaran pembobotnya, yang harus dihitung menurut
persamaan-persamaan sebagai berikut :
m
 ti
vs  i 1
m
 t i / v si
i 1

m
 ti
N  i 1
m
 t i / Ni
i 1

Rekayasa Gempa – Teknik Sipil Universitas Diponegoro 70


m
 ti
Su  i 1
m
 t i / S ui
i 1

dimana ti adalah tebal lapisan tanah ke-i, vsi adalah kecepatan rambat gelombang geser

melalui lapisan tanah ke-i, N i nilai hasil Test Penetrasi Standar lapisan tanah ke-i, Sui
adalah kuat geser tanah lapisan ke-i, dan m adalah jumlah lapisan tanah yang ada di atas
batuan dasar. Selanjutnya, PI adalah Indeks Plastisitas tanah lempung, wn adalah kadar air

alami tanah, dan Su adalah kuat geser lapisan tanah yang ditinjau.
Karena sifat dari jenis Tanah Khusus tidak dapat dirumuskan secara umum, maka
sifatnya harus dievaluasi secara khusus di setiap lokasi dimana jenis tanah tersebut
ditemukan. Pada jenis Tanah Khusus, gerakan gempa di permukaan tanah harus ditentukan
dari hasil analisis perambatan gelombang gempa. Dalam analisis perambatan gelombang
gempa ini, accelerogram gempa harus diambil dari rekaman getaran akibat gempa yang ada
atau yang didapatkan dari suatu lokasi, yang kondisi geologi, topografi, dan seismotonik,
mirip dengan lokasi tempat Tanah Khusus yang ditinjau berada.
Yang dimaksud dengan jenis Tanah Khusus dalam Tabel II-6, adalah jenis tanah
yang tidak memenuhi persyaratan yang tercantum dalam tabel tersebut. Di samping itu,
yang termasuk dalam jenis Tanah Khusus adalah tanah yang memiliki potensi likuifaksi
yang tinggi, lempung sangat peka, pasir yang tersementasi rendah yang rapuh, tanah
gambut, tanah dengan kandungan bahan organik yang tinggi dengan ketebalan lebih dari 3
m, lempung sangat lunak dengan PI > 75 dan ketebalan lebih dari 10 m, lapisan lempung
dengan 25 kPa < Su < 50 kPa dan ketebalan lebih dari 30 m.

II.8 Pengaruh Gempa Vertikal


Pengalaman dari Gempa Northridge (1994) di Amerika dan Gempa Kobe (1995) di
Jepang telah menunjukkan, bahwa banyak unsur-unsur bangunan yang memiliki kepekaan
yang tinggi terhadap beban gravitasi, mengalami kerusakan berat akibat percepatan vertikal
gerakan tanah. Analisis respons dinamik yang sesungguhnya dari unsur-unsur bangunan
tersebut terhadap gerakan vertikal tanah akibat gempa sangat rumit, karena terjadi interaksi
antara respons unsur-unsur bangunan dengan respons struktur secara keseluruhan. Oleh

Rekayasa Gempa – Teknik Sipil Universitas Diponegoro 71


karena itu, permasalahan ini disederhanakan dengan meninjau pengaruh percepatan
vertikal gerakan tanah akibat gempa sebagai beban gempa vertikal nominal statik
ekuivalen.
Dapat dimengerti, bahwa komponen vertikal gerakan tanah akibat gempa akan relatif
semakin besar jika semakin dekat letak pusat gempa dari lokasi yang ditinjau. Menurut
beberapa standar gempa, percepatan vertikal gerakan tanah ditetapkan sebagai perkalian
suatu koefisien  dengan percepatan puncak muka tanah Ao .
Unsur-unsur struktur bangunan gedung yang memiliki kepekaan yang tinggi terhadap
beban gravitasi seperti balkon, kanopi dan balok kantilever berbentang panjang, balok
transfer pada struktur gedung tinggi yang memikul beban gravitasi dari dua atau lebih
tingkat diatasnya, serta balok beton pratekan berbentang panjang, harus diperhitungkan
terhadap komponen vertikal gerakan tanah akibat pengaruh Gempa Rencana, yang berupa
beban gempa vertikal nominal statik ekuivalen. Beban gempa ini harus ditinjau bekerja ke
atas atau ke bawah yang besarnya harus dihitung sebagai perkalian antara Faktor Respons
Gempa Vertikal (C v) dengan beban gravitasi, termasuk beban hidup yang sesuai. Faktor
Respons Gempa Vertikal dihitung menurut persamaan :

Cv =  Ao I

Dimana koefisien  tergantung pada Wilayah Gempa tempat struktur bangunan gedung
berada dan ditetapkan menurut Tabel II-7, Ao adalah percepatan puncak muka tanah
menurut Tabel II-4, sedangkan I adalah Faktor Keutamaan gedung menurut Tabel II-1.
Persamaan di atas menunjukkan bahwa, dalam arah vertikal respon struktur dianggap
sepenuhnya mengikuti gerakan vertikal dari tanah, dan tidak tergantung pada waktu getar
alami serta tingkat daktilitasnya. Dalam persamaan ini faktor reduksi gempa dianggap
sudah diperhitungkan.

Tabel II-7. Koefisien  untuk menghitung faktor respons gempa vertikal Cv

Wilayah Gempa 
1 0,5
2 0,5
3 0,5
4 0,6
5 0,7
6 0,8

Rekayasa Gempa – Teknik Sipil Universitas Diponegoro 72


II.9 Struktur Bangunan Tahan Gempa
Perencanaan serta rekayasa struktur bangunan tahan gempa merupakan salah satu
cara untuk mengantisipasi pengaruh-pengaruh yang dapat ditimbulkan oleh gempa, agar
kerugian harta benda serta jatuhnya korban jiwa dapat ditekan seminimal mungkin. Di
Indonesia, syarat-syarat minimum untuk prosedur perencanaan struktur bangunan tahan
gempa telah tercantum di dalam beberapa peraturan yang berlaku. Untuk bangunan
gedung persyaratan-persyaratan ini tercantum di dalam beberapa pedoman yaitu :
 Tatacara Perencanaan Struktur Beton untuk Bangunan Gedung (SNI-03-2847-
2002)
 Standar Perencanaan Ketahanan Gempa Untuk Struktur Bangunan Gedung
(SNI 1726-2002)
 Tatacara Perencanaan Struktur Baja untuk Bangunan Gedung (SNI-03-1729-2002)

Sedangkan untuk struktur jembatan atau struktur jalan layang (fly over), ketentuan
mengenai persyaratan desain struktur terhadap pengaruh gempa, tercantum di dalam
pedoman atau manual Sistem Manajemen Jembatan-1992.
Perencanaan struktur bangunan di daerah rawan gempa, memerlukan filosofi dan
antisipasi yang tepat dengan menggunakan spesifikasi atau peraturan yang berlaku. Dalam
kaitannya dengan perencanaan struktur bangunan tahan gempa, struktur bangunan
diklasifikasikan menjadi dua jenis struktur, yaitu Engineered Structures dan Non-
engineered Structures. Engineered Structures adalah struktur-struktur bangunan yang
memerlukan tenaga ahli di dalam proses perencanaan maupun pelaksanaannya. Sebagai
contoh dari Engineered Structures adalah struktur gedung bertingkat, struktur jembatan
dan jalan layang, fasilitas pembangkit tenaga listrik atau tenaga nuklir, bendungan serta
bangunan air, dan lain-lain. Sedangkan Non-engineered Structures adalah struktur-struktur
bangunan yang direncanakan dan dilaksanakan tanpa bantuan tenaga ahli, tetapi masih
harus memenuhi kriteria persyaratan bangunan pada umumnya, sesuai yang tercantum di
dalam standar bangunan (building code) yang ada.
Pada suatu proyek bangunan Teknik Sipil, pada umumnya biaya yang
diperhitungkan meliputi biaya untuk perencanaan, biaya pelaksanaan atau pembangunan
konstruksi, dan biaya perawatan atau perbaikan jika terjadi kerusakan. Makin tinggi tingkat
kekuatan dari struktur bangunan terhadap pengaruh gempa, maka akan semakin besar biaya
yang diperlukan untuk pembuatan konstruksi bangunan, akan tetapi akan semakin kecil

Rekayasa Gempa – Teknik Sipil Universitas Diponegoro 73


biaya yang diperlukan untuk perbaikan jika bangunan tersebut mengalami kerusakan akibat
gempa. Begitu juga sebaliknya, makin kurang kuat struktur bangunan terhadap gempa,
maka akan semakin kecil biaya yang diperlukan untuk pembuatan konstruksi bangunannya,
tetapi akan semakin besar biaya yang harus disediakan untuk perbaikan jika bangunan
tersebut mengalami kerusakan akibat gempa.
Dari beberapa segi pertimbangan tersebut di atas, maka merupakan suatu hal yang
tidak wajar, atau bahkan tidak mungkin untuk membuat konstruksi bangunan yang tidak
mengalami kerusakan sama sekali pada saat terjadi gempa. Dari segi konstruksi, perlu
ditinjau tingkat kerusakan yang dapat terjadi pada bangunan pada saat terjadi gempa.
Kerusakan yang terjadi pada bangunan dapat berupa kerusakan ringan, kerusakan berat,
atau bahkan keruntuhan dari bangunan.
Menurut saran dari Applied Technology Council (ATC, 1984), struktur bangunan
tahan gempa harus memenuhi beberapa persyaratan sebagai berikut :
 Struktur bangunan harus tetap utuh dan tidak mengalami kerusakan yang berarti,
pada saat terjadi Gempa Ringan.
 Komponen non-struktural dari struktur bangunan diperkenankan mengalami
kerusakan, tetapi komponen struktural harus tetap utuh pada saat terjadi Gempa
Sedang.
 Pada saat terjadi Gempa Kuat, komponen non-struktural dan komponen struktural
dari sistem struktur diperbolehkan mengalami kerusakan, tetapi struktur bangunan
secara keseluruhan tidak boleh runtuh. Kerusakan struktur bangunan pada saat
terjadi Gempa Kuat diijinkan, akan tetapi terjadinya korban jiwa harus selalu
dihindarkan.

Jadi pada persyaratan struktur bangunan tahan gempa, kemungkinan terjadinya


risiko kerusakan pada bangunan merupakan hal yang dapat diterima, tetapi keruntuhan
total (collapse) dari struktur yang dapat mengakibatkan terjadinya korban yang banyak,
harus dihindari.
Dari persyaratan di atas, dapat disimpulkan juga bahwa, adalah tidak ekonomis
untuk mendesain suatu struktur bangunan yang tetap berperilaku elastis pada saat terjadi
Gempa Kuat. Perencanaan struktur bangunan seperti ini akan menyebabkan struktur
bangunan menjadi sangat mahal. Agar didapatkan struktur bangunan yang kuat terhadap
pengaruh gempa tetapi juga ekonomis, perlu dirancang struktur yang berperilaku daktail
pada saat terjadi Gempa Kuat. Ini berarti bahwa struktur harus dirancang dengan tingkat

Rekayasa Gempa – Teknik Sipil Universitas Diponegoro 74


daktilitas yang tinggi, sehingga pada saat terjadi Gempa Kuat struktur mempunyai
kemampuan untuk mengalami deformasi yang besar tanpa mengakibatkan keruntuhan.
Kemampuan dari struktur bangunan untuk mampu berdeformasi di atas batas
elastisnya, dapat mengurangi pengaruh dari gaya gempa yang masuk ke dalam struktur.
Energi gempa yang masuk ke dalam struktur, akan dipancarkan keluar melalui kemampuan
mekanisme perubahan bentuk yang besar dari struktur.
Berdasarkan pertimbangan ini, di dalam peraturan perencanaan bangunan tahan
gempa yang berlaku di Indonesia, ditetapkan suatu taraf beban Gempa Rencana yang lebih
kecil dari beban gempa sesungguhnya yang mungkin terjadi selama umur rencana dari
struktur bangunan. Hal ini dapat diterima dengan dua alasan yaitu :
 Beban gempa adalah beban dinamik dengan arah bolak-balik, yang tidak bersifat
terus menerus bekerja pada struktur bangunan, atau dapat dikatakan bahwa beban
gempa merupakan beban sementara yang bekerja pada struktur bangunan.
 Struktur bangunan harus direncanakan sebagai struktur yang daktail, sehingga jika
kekuatannya terlampaui pada saat terjadi Gempa Kuat, struktur tidak akan runtuh
melainkan akan berdeformasi plastis, melalui mekanisme terbentuknya sejumlah
sendi-sendi plastis pada struktur dengan cara yang terkontrol.

Dari kedua alasan tersebut, jelas bahwa persyaratan yang paling penting pada perencanaan
struktur bangunan tahan gempa adalah daktilitas struktur. Elemen-elemen struktural dari
bangunan seperti balok dan kolom, harus direncanakan dengan tingkat daktilitas yang
cukup, sehingga pada saat terjadi Gempa Kuat struktur bangunan mempunyai kemampuan
untuk menyerap dan memancarkan energi gempa melalui deformasi plastis. Dengan
demikian keruntuhan dari struktur secara keseluruhan dapat dihindari. Dengan terhindarnya
struktur bangunan dari keruntuhan, maka dapat diharapkan adanya korban jiwa dapat
dihindarkan.
Menurut saran dari Applied Technology Council (ATC, 1984), suatu struktur
bangunan yang didirikan di daerah rawan gempa, harus mampu menahan Gempa Kuat
tanpa mengalami keruntuhan. Akibat pengaruh Gempa Kuat, struktur bangunan
diperkenankan mengalami kerusakan, tetapi secara keseluruhan struktur bangunan tidak
boleh runtuh. Hal ini dimaksudkan agar keselamatan jiwa manusia harus dapat terjamin.
Untuk mendapatkan struktur bangunan seperti yang disyaratkan oleh ATC, saat ini telah
dikembangkan suatu cara perencanaan struktur tahan gempa, yang disebut Perencanaan

Rekayasa Gempa – Teknik Sipil Universitas Diponegoro 75


Kapasitas (Capacity Design). Perencanaan Kapasitas pada struktur bangunan dimaksudkan
untuk mendapatkan sifat daktilitas yang memadai bagi struktur-struktur bangunan yang
dibangun di daerah rawan gempa.

II.10 Daktilitas Struktur


Pada umumnya struktur Teknik Sipil dianggap bersifat elastis sempurna, artinya bila
struktur mengalami perubahan bentuk atau berdeformasi sebesar 1 mm oleh beban sebesar
1 ton, maka struktur akan berdeformasi sebesar 2 mm jika dibebani oleh beban sebesar 2
ton. Hubungan antara beban dan deformasi yang terjadi pada struktur, dianggap elastis
sempurna berupa hubungan linier. Jika beban tersebut dikurangi besarnya sampai dengan
nol, maka deformasi pada struktur akan hilang pula (deformasi menjadi nol). Jika beban
diberikan pada arah yang berlawanan dengan arah beban semula, maka deformasi struktur
akan negatif pula, dan besarnya akan sebanding dengan besarnya beban. Pada kondisi
seperti ini struktur mengalami deformasi elastis. Deformasi elastis adalah deformasi yang
apabila bebannya dihilangkan, maka deformasi tersebut akan hilang, dan struktur akan
kembali kepada bentuknya yang semula.
Pada struktur yang bersifat getas (brittle), maka jika beban yang bekerja pada
struktur sedikit melampaui batas maksimum kekuatan elastisnya, maka struktur tersebut
akan patah atau runtuh. Pada struktur yang daktail (ductile) atau liat, jika beban yang ada
melampaui batas maksimum kekuatan elastisnya, maka struktur tidak akan runtuh, tetapi
struktur akan mengalami deformasi plastis (inelastis). Deformasi plastis adalah deformasi
yang apabila bebannya dihilangkan, maka deformasi tersebut tidak akan hilang. Pada
kondisi plastis ini struktur akan mengalami deformasi yang bersifat permanen, atau
struktur tidak dapat kembali kepada bentuknya yang semula. Pada struktur yang daktail,
meskipun terjadi deformasi yang permanen, tetapi struktur tidak mengalami keruntuhan.
Pada kenyataannya, jika suatu beban bekerja pada struktur, maka pada tahap awal,
struktur akan berdeformasi secara elastis. Jika beban yang bekeja terus bertambah besar,
maka setelah batas elastis dari bahan struktur dilampaui, struktur kemudian akan
berdeformasi secara plastis (inelastis). Dengan demikian pada struktur akan terjadi
deformasi elastis dan deformasi plastis, sehingga jika beban yang bekerja dihilangkan,
maka hanya sebagian saja dari deformasi yang hilang (deformasi elastis = e), sedangkan
sebagian deformasi akan bersifat permanen (deformasi plastis = p). Perilaku deformasi
elastis dan plastis dari struktur diperlihatkan pada Gambar II-17.

Rekayasa Gempa – Teknik Sipil Universitas Diponegoro 76


Dari uraian di atas tampak bahwa, pada struktur yang daktail, beban yang besar
akibat gempa tidak akan menyebabkan keruntuhan dari struktur, lebih-lebih karena beban
gempa merupakan beban dinamis yang arahnya bolak-balik. Beban gempa yang besar akan
menyebabkan deformasi yang permanen dari struktur akibat rusaknya elemen-elemen dari
struktur seperti balok dan kolom. Pada kondisi seperti ini, walaupun elemen-elemen
struktur bangunan mengalami kerusakan, namun secara keseluruhan struktur tidak
mengalami keruntuhan.

e e=0

V0 V=0

Deformasi elastis pada struktur

e+p p

V0 V=0

Sendi Plastis

Deformasi plastis (inelastis) pada struktur

Rekayasa Gempa – Teknik Sipil Universitas Diponegoro 77


Energi gempa yang bekerja pada struktur bangunan, akan dirubah menjadi energi
kinetik akibat getaran dari massa struktur, energi yang dihamburkan akibat adanya
pengaruh redaman dari struktur, dan energi yang dipancarkan oleh bagian-bagian struktur
yang mengalami deformasi plastis. Dengan demikian sistem struktur yang bersifat daktail
dapat membatasi besarnya energi gempa yang masuk pada struktur, sehingga pengaruh
gempa dapat berkurang.

II.10.1 Kemampuan Struktur Menahan Gempa Kuat


Beban gempa sebenarnya yang bekerja pada struktur bangunan dapat melampaui
beban gempa rencana yang tercantum di dalam peraturan. Di dalam peraturan, besarnya
beban gempa rencana yang diperhitungkan bekerja pada struktur bangunan adalah Gempa
Sedang. Dengan demikian, jika terjadi Gempa Kuat, maka gaya-gaya dalam (momen
lentur, gaya lintang, gaya normal, dan torsi) yang terjadi pada elemen-elemen struktur
seperti balok dan kolom, dapat melampaui gaya-gaya dalam yang sudah diperhitungkan.
Jika hal ini tidak ditinjau di dalam perencanaan, maka pada saat terjadi Gempa Kuat,
elemen-elemen dari struktur akan mengalami kerusakan, bahkan secara keseluruhan
struktur dapat mengalami keruntuhan. Agar struktur bangunan mempunyai kemampuan
yang cukup dan tidak terjadi keruntuhan pada saat terjadi Gempa Kuat, maka dapat
dilakukan dua cara sbb. :

 Membuat struktur bangunan sedemikian kuat, sehingga struktur bangunan tetap


berperilaku elastis pada saat terjadi Gempa Kuat. Struktur bangunan yang
dirancang tetap berperilaku elastis pada saat terjadi Gempa Kuat adalah tidak
ekonomis. Meskipun pada saat terjadi Gempa Kuat struktur ini tidak mengalami
kerusakan yang berarti, sehingga tidak memerlukan biaya perbaikan yang besar,
namun pada saat pembuatannya, struktur bangunan ini memerlukan biaya yang
sangat mahal. Struktur bangunan yang didesain tetap berperilaku elastis pada saat
terjadi Gempa Kuat, disebut Struktur Tidak Daktail. Penggunaan sistem struktur
portal tidak daktail masih dianggap ekonomis untuk bangunan gedung bertingkat
menengah dengan ketinggian tingkat antara 4 s/d 7 lantai, dan terletak pada wilayah
dengan pengaruh kegempaan ringan sampai sedang.
 Membuat struktur bangunan sedemikian rupa sehingga mempunyai batas kekuatan
elastis yang hanya mampu menahan Gempa Sedang saja. Dengan demikian,

Rekayasa Gempa – Teknik Sipil Universitas Diponegoro 78


struktur ini masih bersifat elastis pada saat terjadi Gempa Ringan atau Gempa
Sedang. Pada saat terjadi Gempa Kuat, struktur bangunan harus dirancang agar
mampu untuk berdeformasi secara plastis. Jika struktur mempunyai kemampuan
untuk dapat berdeformasi plastis cukup besar, maka hal ini dapat mengurangi
sebagian dari energi gempa yang masuk ke dalam struktur. Struktur bangunan yang
didesain berperilaku plastis pada saat terjadi Gempa Kuat, disebut Struktur Daktail.
Penggunaan sistem struktur portal daktail cukup ekonomis untuk bangunan gedung
bertingkat menengah sampai tinggi, yang dibangun pada wilayah dengan pengaruh
kegempaan kuat.

II.11 Perencanaan Kapasitas (Capacity Design)


Dari penjelasan di atas, untuk mendapatkan struktur bangunan yang cukup ekonomis,
tetapi tidak mengalami keruntuhan pada saat terjadi Gempa Kuat, maka sistem struktur
harus direncanakan bersifat daktail. Untuk mendapatkan sistem struktur yang daktail,
disarankan untuk merencanakan struktur bangunan dengan menggunakan cara Perencanaan
Kapasitas. Pada prosedur Perencanaan Kapasitas ini, elemen-elemen dari struktur
bangunan yang akan memancarkan energi gempa melalui mekanisme perubahan bentuk
atau deformasi plastis, dapat terlebih dahulu dipilih dan ditentukan tempatnya. Sedangkan
elemen-elemen lainnya, direncanakan dengan kekuatan yang lebih besar untuk
menghindari terjadinya kerusakan.
Pada struktur beton bertulang, tempat-tempat terjadinya deformasi plastis yaitu
tempat-tempat dimana penulangan mengalami pelelehan, disebut daerah sendi plastis.
Karena sendi-sendi plastis yang terbentuk pada struktur portal akibat dilampauinya Beban
Gempa Rencana dapat diatur tempatnya, maka mekanisme kerusakan yang terjadi tidak
akan mengakibatkan keruntuhan dari struktur bangunan secara keseluruhan.
Karena pada prosedur Perencanaan Kapasitas ini terlebih dahulu harus ditentukan
tempat-tempat di mana sendi-sendi plastis akan terbentuk, maka dalam hal ini perlu
diketahui mekanisme kelelehan yang dapat terjadi pada sistem struktur portal. Dua jenis
mekanisme kelelehan yang dapat terjadi pada sistem struktur portal akibat pembebanan
gempa, ditunjukkan pada Gambar II-18 di bawah.

Rekayasa Gempa – Teknik Sipil Universitas Diponegoro 79


Gambar II-18. Mekanisme leleh pada struktur portal akibat beban gempa : (a) Mekanisme leleh
pada balok, (b) Mekanisme leleh pada kolom

Kedua jenis mekanisme kelelehen atau terbentuknya sendi-sendi plastis pada struktur
portal adalah :
a) Mekanisme Kelelehan Pada Balok (Beam Sidesway Mechanism), yaitu keadaan
dimana sendi-sendi plastis terbentuk pada balok-balok dari struktur bangunan,
akibat penggunaan kolom-kolom yang kuat (Strong Column–Weak Beam).
b) Mekanisme Kelelehan Pada Kolom (Column Sidesway Mechanism), yaitu keadaan
di mana sendi-sendi plastis terbentuk pada kolom-kolom dari struktur bangunan
pada suatu tingkat, akibat penggunaan balok-balok yang kaku dan kuat (Strong
Beam–Weak Column)

Pada perencanaan struktur portal daktail dengan metode Perencanaan Kapasitas,


mekanisme kelelehan yang dipilih adalah Beam Sidesway Mechanism, karena alasan-alasan
sebagai berikut :

 Pada Column Sidesway Mechanism, kegagalan dari kolom pada suatu tingkat akan
mengakibatkan keruntuhan dari struktur bangunan secara keseluruhan.
 Pada struktur dengan kolom-kolom yang lemah dan balok-balok yang kuat (strong
beam– weak column), deformasi akan terpusat pada tingkat-tingkat tertentu,
sehingga daktilitas yang diperlukan oleh kolom agar dapat dicapai daktilitas dari
struktur yang disyaratkan, sulit dipenuhi.

Rekayasa Gempa – Teknik Sipil Universitas Diponegoro 80


 Kerusakan-kerusakan yang terjadi pada kolom-kolom bangunan, akan lebih sulit
diperbaiki dibandingkan jika kerusakan terjadi pada balok. Jadi mekanisme
kelelehen pada portal yang berupa Beam Sidesway Mechanism, merupakan keadaan
keruntuhan struktur bangunan yang lebih terkontrol. Pemilihan perencanaan
struktur bangunan dengan menggunakan mekanisme ini membawa konsekuensi
bahwa kolom-kolom pada struktur bangunan harus direncanakan lebih kuat dari
pada balok-balok struktur, sehingga dengan demikian sendi-sendi plastis akan
terbentuk lebih dahulu pada balok. Karena hal tersebut di atas, maka dalam
perencanaan portal daktail pada struktur bangunan tahan gempa, sering juga disebut
perencanaan struktur dengan kondisi desain Kolom Kuat – Balok Lemah (Strong
Column–Weak Beam).

II.12 Mitigasi Bencana Gempa


Berdasarkan akibat-akibat yang dapat ditimbulkan oleh bencana gempa di Indonesia,
maka perlu adanya upaya-upaya untuk menekan bahaya bencana yang diakibatkan oleh
gempa. Di Indonesia, upaya-upaya ini telah dilakukan secara struktural melalui
pelembagaan yang khusus menangani bencana secara keseluruhan.
Seperti juga yang terjadi di negara lain, masalah bencana biasanya mendapatkan
perhatian setelah terjadinya bencana tersebut. Jadi sesungguhnya sebelum terjadinya
bencana, banyak langkah yang sudah dapat ditempuh, dan karenanya bencana tersebut
seharusnya tidak datang secara mengejutkan. Dalam upaya mitigasi terhadap bahaya
gempa, beberapa hal yang perlu dilakukan adalah sebagai berikut :

II.12.1 Penyusunan Peta Wilayah Gempa


Dengan adanya peta wilayah gempa yang akurat, dapat diketahui tingkat kerawanan
suatu wilayah terhadap ancaman gempa. Pada wilayah gempa ini perlu diperlihatkan
tempat-tempat yang sering dilanda gempa, sehingga statistik kemungkinan terjadinya
kembali gempa pada tempat tersebut dapat diperkirakan dengan lebih baik. Perlu
dicantumkan juga magnitude dari gempa yang sudah pernah terjadi sebelumnya, yang
mungkin dapat memberikan gambaran besarnya intensitas gempa yang akan datang. Di
dalam buku Standar Perencanaan Ketahanan Gempa Untuk Struktur Bangunan Gedung
(SNI 1726 - 2002), telah dicantumkan zona atau wilayah kegempaan untuk Indonesia.
Menurut pedoman tersebut, Indonesia dibagi menjadi 6 wilayah gempa dengan taraf beban
gempa yang berlainan.

Rekayasa Gempa – Teknik Sipil Universitas Diponegoro 81


II.12.2 Standar Konstruksi Bangunan
Penyusunan standar bangunan (building code) sangat penting untuk menjamin bahwa
bangunan tersebut aman untuk dihuni. Dengan adanya standar konstruksi bangunan yang
memadai, maka sekiranya standar ini diterapkan dengan baik, maka jika terjadi gempa,
akibat yang ditimbulkan oleh gempa dapat ditekan seminimum mungkin. Teknologi
rekayasa struktur bangunan tahan gempa sudah diketahui, namun karena berbagai alasan
teknologi ini belum dapat diterapkan sepenuhnya, sehingga seringkali gempa masih
menimbulkan kerusakan yang cukup besar. Penerapan standar konstruksi bangunan
dengan ketat hendaknya merupakan suatu kewajiban bagi semua pihak yang terlibat,
terutama bagi bangunan-bangunan umum yang dipergunakan oleh banyak orang, seperti
bangunan rumah sakit, sekolahan dan lain-lain. Banyak kasus di Indonesia menunjukkan
bahwa, bangunan-bangunan umum seperti rumah sakit dan sekolahan merupakan
bangunan yang mudah dihancurkan oleh gempa, sementara bangunan lainnya masih
mampu bertahan.

II.12.3 Pendeteksian Dan Pemonitoran Gempa


Pendeteksian dan pemonitoran gempa dilakukan oleh Badan Meterologi dan
Geofisika yang bernaung di bawah Departemen Perhubungan. Dewasa ini pemonitoran
gempa dapat dilakukan dengan menggunakan Jaringan Telemetri, dengan memanfaatkan
Satelit Palapa. Dari sejumlah 55 stasiun pemantauan gempa, 27 diantaranya telah
diintegrasikan di dalam Jaringan Telemetri. Ke 27 stasiun ini dilengkapi dengan Jaringan
Telemetri melalui satelit yang bertindak sebagai Pusat Gempa Regional yang terletak di
Ciputat, Medan, Denpasar, Ujung Pandang, dan Jayapura. Informasi yang dikirim dari
Pusat Gempa Regional diterima oleh Pusat Gempa Nasional yang berada di Jakarta. Pusat
Gempa Regional yang terletak di Ciputat, Medan, dan Denpasar, sudah dilengkapi dengan
peralatan untuk menentukan lokasi terjadinya gempa. Dengan jaringan pemantauan ini,
gempa dengan magnitude M=2 pada Skala Richter ke atas, dapat dideteksi oleh semua
statsiun pemantauan gempa yang sudah diintegrasikan.

II.12.4 Penyelidikan Seismotektonik


Penyelidikan seismotektonik dimaksudkan untuk mengetahui sifat kegempaan dalam
kaitannya dengan kondisi geologi. Upaya ini perlu dilakukan karena adanya hubungan
yang erat antara gempa dengan keadaan geologi suatu wilayah. Dengan mempelajari sifat-

Rekayasa Gempa – Teknik Sipil Universitas Diponegoro 82


sifat gelombangnya dan menganalisis mekanisme dari pusat gempa, maka akan dapat
diketahui sifat-sifat tektonik suatu wilayah. Dengan diketahuinya sifat-sifat tektonik ini,
maka akan dapat diperkirakan mengenai kemungkinan gempa yang akan datang.

II.12.5 Penelitian Bangunan Tahan Gempa


Penelitian mengenai rekayasa bangunan tahan gempa sangat penting dilakukan, oleh
karena usaha ini merupakan upaya satu-satunya yang berada di tangan manusia, untuk
dapat menghindari bencana yang diakibatkan oleh pengaruh gempa. Pusat Penelitian
Bangunan dan Pemukiman (Puslitbang Pemukiman) Departeman Pekerjaan Umum di
Bandung, merupakan lembaga utama yang melakukan kegiatan penelitian, selain itu pihak
dari perguruan-perguruan tinggi banyak juga yang melakukan penelitian mengenai masalah
ini.
Dari hasil penelitian, dapat dikeluarkan standar-standar atau pedoman-pedoman
untuk membuat struktur bangunan rumah, gedung, atau bangunan-bangunan Teknik Sipil
lainnya yang mampu bertahan terhadap pengaruh gempa, dengan tidak mengurangi faktor
sosial dan faktor ekonomi dari daerah yang bersangkutan. Selain itu, standar atau pedoman
ini juga berguna untuk memperkuat struktur-struktur bangunan yang sudah ada, yang
sebelumnya tidak dirancang tahan terhadap pengaruh gempa.

Rekayasa Gempa – Teknik Sipil Universitas Diponegoro 83

You might also like