Professional Documents
Culture Documents
Fenomena Gempa
I.1 Pendahuluan
Geofisika adalah bidang ilmu yang mempelajari fenomena-fenomena fisik yang yang
berhubungan dengan kebumian. Seismologi adalah cabang dari ilmu geofisika yang
mempelajari mekanisme terjadinya gempa serta gelombang seismik yang ditimbulkannya,
sedangkan orang yang mempelajari seimologi disebut seimolog. Dari sudut pandang rekayasa
bangunan, seimologi diharapkan dapat memberikan data atau informasi yang akurat untuk
memperkirakan pengaruh gempa yang perlu dipertimbangkan pada perancangan struktur
bangunan. Seimologi juga memberikan konstribusi yang penting bagi kita untuk dapat
memahami struktur bagian dalam dari bumi.
Kerusakan yang dapat ditimbulkan gempa tergantung dari besar (magnitude) dan
lamanya gempa, atau banyaknya getaran yang terjadi. Desain struktur dan material yang
digunakan untuk konstruksi bangunan, juga akan berpengaruh terhadap intensitas kerusakan
yang terjadi. Tingkat kekuatan gempa bervariasi mulai dari getaran yang ringan, sedang,
sampai getaran kuat yang dapat dirasakan sampai ribuan kilometer. Gempa dapat
menyebabkan perubahan bentuk dari permukaan bumi, menyebabkan runtuhnya struktur
bangunan, atau menyebabkan terjadinya gelombang pasang yang besar (tsunami). Akibat
kerusakan yang ditimbulkan oleh gempa akan menyebabkan jatuhnya korban jiwa dan
kerugian harta benda dalam jumlah yang banyak.
Di seluruh dunia, gempa dapat terjadi ratusan kali setiap harinya. Suatu jaringan alat
seismograph (alat untuk mencatat pergerakan tanah akibat gempa) yang terpasang di seluruh
dunia, mendeteksi sekitar 1 juta gempa ringan terjadi setiap tahunnya. Gempa sangat kuat
(great earthquake) seperti yang terjadi pada 1964 di Alaska yang mengakibatkan kerugian
jutaan dollar, terjadi sekali dalam beberapa tahun. Gempa-gempa kuat (major earthquake)
seperti yang terjadi di Loma Prieta, California pada 1989 dan di Kobe, Jepang pada 1995,
dapat terjadi 20 kali setiap tahunnya. Gempa kuat juga dapat menyebabkan banyak kerugian
materi dan korban jiwa.
Dalam 500 tahun terakhir, gempa telah menyebabkan jutaan korban jiwa di seluruh
dunia, termasuk 240000 korban saat terjadi gempa Tang-Shan di Cina pada 1976. Gempa juga
mengakibatkan kerugian properti dan kerusakan struktur. Persiapan-persiapan yang memadai
seperti pendidikan atau sosialisasai mengenai bahaya gempa, perancangan keselamatan saat
terjadi gempa, perkuatan struktur bangunan yang sudah berdiri dan desain struktur bangunan
tahan gempa, dapat mengurangi jumlah korban jiwa dan kerusakan infrastruktur yang
disebabkan oleh gempa.
Studi yang intensif terhadap gempa dimulai pada akhir abad ke 19, dimana pada saat itu
mulai banyak dipasang jaringan alat seismogragh untuk melakukan observasi di seluruh
dunia. Pada 1897, ilmuwan mendapatkan cukup banyak seismogram gempa yang
mengindikasikan bahwa gelombang gempa P dan S telah menjalar jauh sampai ke dalam
bumi. Dengan mempelajari perilaku perambatan gelombang gempa P dan S ini, seismolog
menemukan suatu struktur lapisan geologi yang besar di bagian dalam bumi. Dengan
menggunakan hasil pengukuran ini, seismolog mulai menginterpretasikan struktur geologi
bumi yang dilewati oleh gelombang P dan S.
Jika dua buah pelat tektonik bertemu pada suatu daerah sesar atau patahan (fault),
keduanya dapat bergerak saling menjauhi, saling mendekati atau saling bergeser. Umumnya
gerakan dari pelat tektonik ini berlangsung sangat lambat dan tidak dapat dirasakan oleh
manusia, namun terukur sebesar 0 sampai 15 cm pertahun. Kadang-kadang gerakan pelat
tektonik macet dan saling mengunci, sehingga terjadi pengumpulan energi yang berlangsung
terus sampai pada suatu saat batuan pada pelat tektonik tersebut tidak mampu lagi menahan
gerakan tersebut, sehingga terjadi pelepasan energi regangan secara mendadak. Mekanisme
pelepasan energi regangan ini yang kita kenal sebagai pemicu terjadinya gempa tektonik.
Gempa dapat terjadi kapan saja, tanpa mengenal musim. Meskipun demikian,
konsentrasi gempa cenderung terjadi di tempat-tempat tertentu saja, seperti di daerah
pertemuan antara dua pelat tektonik. Gempa dapat terjadi dimanapun di bumi ini, tetapi pada
umumnya banyak terjadi di sekitar perbatasan antara pelat-pelat tektonik
Gambar I.6. Keruntuhan bangunan akibat likuifaksi saat terjadi gempa Kobe di Jepang, 1995.
Struktur banguan juga dapat mengalami kerusakan akibat gelombang permukaan yang
kuat yang berasal dari dorongan dan rekahan tanah. Struktur bangunan apapun yang berada di
alur gelombang permukaan ini dapat bergeser atau roboh akibat dari pergerakan tanah.
Goncangan tanah dapat juga menyebabkan tanah longsor yang dapat merusak bangunan atau
mencederai manusia.
I.5.3 Banjir
Bencana yang ketiga yang dapat ditimbulkan gempa adalah banjir. Sebuah gempa dapat
merusak tanggul atau bendungan sepanjang sungai. Air yang berasal dari sungai atau reservoir
akan membanjiri daerah tersebut dan merusak bangunan atau mungkin menghanyutkan dan
menenggelamkan orang.
Tsunami dan seiche dapat juga menyebabkan banyak kerusakan. Kebanyakan orang
menyebut tsunami sebagai ombak pasang yang sangat besar, tetapi ini tidak ada kaitannya
dengan gelombang pasang air laut biasa. Tsunami merupakan suatu gelombang yang sangat
besar disebabkan oleh gempa yang terjadi di bawah samudera. Tsunami dapat mencapai tinggi
tiga meter dan mempunyai kecepatan yang tinggi pada saat mencapai daerah pantai, sehingga
dapat menyebabkan kerusakan yang besar di daerah pantai. Seiche adalah gelombang air sama
seperti tsunami, tetapi dengan skala yang lebih kecil. Seiche terjadi pada danau yang
diakibatkan oleh gempa, dan pada umumnya hanya memiliki tinggi setengah meter. Meskipun
demikian, seiche juga dapat menyebabkan banjir.
I.5.4 Kebakaran
Bencana lainnya yang dapat diakibatkan oleh gempa adalah kebakaran. Kebakaran ini
diawali oleh terputusnya jaringan kabel listrik atau meledaknya pipa gas. Hal tersebut dapat
menjadi masalah yang serius, kususnya pada saat saluran air yang menyokonng pompa
hydrant juga terputus. Sebagai contoh terjadinya kebakaran akibat gempa adalah terbakarnya
kota San Fransisco setelah gempa kuat pada tahun 1906. Kota ini terbakar selama 3 hari yang
menyebabkan sebagian besar kota hancur dan 250000 penduduk kehilangan tempat tinggal.
Gambar I.11. Grafik untuk menentukan jarak episentrum dan magnitud gempa
I.7 Patahan
Patahan (fault) adalah retakan di permukaan bumi dimana dua buah pelat tektonik
bergerak dengan arah yang berbeda. Patahan dapat terjadi karena tumbukan dan gesekan antar
Patahan dip slip atau patahan normal (normal fault) adalah retakan dimana satu bagian
dari batuan bergeser kearah vertikal menjauhi bagian yang lain. Patahan jenis ini biasanya
terjadi pada wilayah dimana suatu pelat tektonik terbelah dengan sangat lambat, atau pada dua
buah pelat tektonik yang saling mendorong satu sama lain. Patahan strike-slip adalah retakan
antara dua pelat tektonik yang bergesekan satu sama lain dalam arah horisontal. Patahan strike
slip yang terkenal adalah adalah patahan San Andreas sepanjang 300 km dengan lebar patahan
6,4 m. Patahan San Andreas di California ini disebabkan oleh gempa San Francisco yang
berkekuatan M = 8,3 pada Skala Richter pada 1906.
Patahan berlawanan arah (reverse fault) adalah retakan yang terbentuk dimana salah
satu pelat tektonik terdorong menuju pelat lainnya. Patahan ini juga terjadi jika sebuah pelat
tektonik terlipat akibat tekanan dari pelat yang lain. Pada patahan jenis ini, salah satu bagian
dari pelat bergeser kebawah, sedangkan bagian lainnya terdorong ke atas.
Skala Mercalli tidak dapat digunakan secara ilmiah seperti Skala Richter. Karena skala
ini bersifat subjektif, maka untuk suatu kerusakan yang diakibatkan oleh gempa, pengamatan
yang dilakukan oleh beberapa orang akan mempunyai pendapat yang berbeda mengenai
tingkat kerusakan yang terjadi.
Beberapa orang saksi mungkin akan melebih-lebihkan betapa banyaknya hal buruk yang
terjadi saat terjadi gempa. Jumlah kerusakan yang disebabkan oleh gempa tidak dapat didata
dengan teliti, sama halnya dengan kekuatan gempa itu sendiri. Dengan demikian, skala
intensitas tidak dapat digunakan sebagai ukuran untuk menyatakan besarnya suatu gempa.
Meskipun demikian, skala intensitas sangat berguna untuk membuat garis isoseismal pada
peta suatu daerah atau lokasi guna menetapkan tempat-tempat atau daerah-daerah yang
mempunyai derajat kerusakan yang sama. Peta ini adalah yang sering disebut sebagai peta
jalur gempa, dan berguna sekali sebagai informasi di dalam perencanaan struktur bangunan
tahan gempa.
Dengan ditemukannya alat seismograf, yaitu alat pencatat getaran gempa, maka
terbukalah kemungkinan untuk mengukur besarnya suatu gempa dengan lebih teliti. Dari hasil
pencatatan suatu alat seismograf, akan dapat diketahui jumlah energi kinetik yang terlepas
pada pusat gempa.
dimana E adalah energi gempa yang dilepaskan (erg atau dyne-cm), dan M adalah besaran
atau magnitude gempa pada Skala Richter.
Dari rumus di atas terlihat bahwa peningkatan dalam satu satuan Skala Richter berarti
peningkatan energi sebesar 32 kali, dan peningkatan dua satuan pada Skala Richter berarti
0,5.M –1,32
Rumus Donovan (1973) : a = 1080.(2,718) (H+25)
0,81.M –1,15
Rumus Matuschka (1980) : a = 119.(2,718) .(H+25)
Perpindahan materi biasa disebut displacement. Jika dapat diketahui waktu yang
diperlukan untuk perpindahan tersebut, maka akan dapat dihitung kecepatan materi tersebut.
Sedangkan percepatan adalah parameter yang menyatakan perubahan kecepatan mulai dari
keadaan diam sampai pada kecepatan tertentu. Percepatan gelombang gempa yang sampai di
permukaan bumi disebut percepatan tanah, dan merupakan gangguan yang perlu dikaji untuk
setiap gempa, kemudian dipilih percepatan tanah yang maksimum untuk dipetakan agar bisa
Log N = A – b.M
dimana N adalah jumlah rata-rata gempa yang besarnya M atau lebih pada Skala Richter yang
terjadi pada suatu wilayah, M adalah magnitude gempa menurut Skala Richter, A dan b
adalah konstanta yang besarnya tergantung pada lokasi atau wilayah yang ditinjau. Sebagai
contoh, untuk wilayah Jepang Timur Laut, harga A=6,88 dan b=1,06, untuk Jepang Barat
Daya, harga A=4,19 dan b=0,72, untuk wilayah Amerika Barat, harga A=5,94 dan b=1,14,
untuk wilayah Amerika Timur, harga A=5,79 dan b=1,34. Untuk Indonesia, besarnya
konstanta A dan b dapat diambil sebesar A=7,30 dan b=0,94.
Rumus Gutenberg dan Richter di atas menunjukkan hubungan antara frekuensi dan
besarnya gempa yang ditinjau berdasarkan besarnya energi yang dilepas pada sumber gempa,
pada suatu wilayah tertentu. Untuk keperluan rekayasa Teknik Sipil, rumus ini jarang
digunakan, karena pada rekayasa Teknik Sipil yang diperlukan adalah besarnya percepatan
I.11.2 Gelombang S
Jenis kedua dari Gelombang Badan adalah Gelombang S, yang merupakan gelombang
kedua yang dapat dirasakan pada saat gempa. Gelombang S lebih lambat dari pada
Gelombang P, dan hanya dapat merambat melalui batuan padat. Arah gerakan dari gelombang
ini naik-turun atau bergerak menyamping.
I.11.3 Gelombang L
Jenis pertama dari Gelombang Permukaan disebut Gelombang L. Gelombang ini diberi
nama sesuai dengan nama penemunya yaitu A.E.H. Love seorang ahli matematika dari Inggris
I.11.4 Gelombang R
Jenis Gelombang Permukaan lainnya adalah Gelombang R. Keberadaan dari
gelombang ini diperkirakan secara matematika oleh W.S. Rayleigh pada 1885. Pada saat
merambat, Gelombang R akan menggulung media yang dilewatinya, dimana gerakan dari
gelombang ini mirip dengan gerakan gelombang air di laut. Karena gerakan yang menggulung
ini, maka lapisan tanah atau batuan akan naik dan turun, dan akan ikut bergerak searah dengan
gerakan gelombang. Kebanyakan goncangan dari gempa berhubungan erat dengan
Gelombang R ini. Pengaruh kerusakan yang diakibatkan oleh Gelombang R dapat lebih besar
dibandingkan gelombang- gelombang gempa lainnya.
Sebagai contoh, jika cn = 0,1c1 dan 1 = 900 , maka n = 60 . Hal ini menunjukkan bahwa arah
penyebaran gelombang seismik hampir vertikal pada saat mencapai permukaan tanah.
Jika gelombang gempa dengan percepatan yang tetap (stationary wave) merambat dari
lapisan batuan dasar ke permukaan tanah, maka amplitudo dari gelombang pada saat
mencapai permukaan tanah akan menjadi lebih besar dari pada gelombang asalnya. Dalam hal
ini disebut bahwa gelombang seismik mengalami amplifikasi. Fenomena resonansi dapat
terjadi terutama jika waktu getar dari gelombang gempa sama dengan atau mendekati waktu
getar alami dari lapisan tanah yang dilewatinya.
Pada kondisi sebenarnya, gelombang gempa mempunyai percepatan rambat yang tidak
tetap (nonstationary wave).
Amplifikasi yang terjadi pada gelombang gempa nonstationary lebih kecil dari pada
gelombang gempa stationary. Meskipun demikian, gelombang gempa akan semakin
membesar saat mendekati permukaan tanah, seperti yang terlihat pada contoh numerik pada
Gambar I.18.
1. Single-shock type. Pusat gempa terdapat pada kedalaman yang dangkal, dimana lapisan
dasar terdiri dari lapisan batuan yang keras, seperti gempa Port Hueneme 1957 (Gambar
I.19), gempa Libya 1963, dan gempa Skopje 1963.
2. A moderately long, extremely irregular motion. Pusat gempa terdapat pada kedalaman
sedang, dimana lapisan dasar terdiri dari lapisan batuan yang keras, seperti gempa El
Sudah barang tentu gempa-gempa lainnya yang terjadi tidak akan memiliki bentuk
gelombang gempa yang tepat sama dengan salah satu dari keempat tipe yang disebutkan
diatas. Sejumlah gempa memperlihatkan bentuk gelombang diantara atau kombinasi dari
keempat tipe tersebut.
Dari jalur gempa di atas terlihat bahwa kepulauan Indonesia menjadi tempat pertemuan dua
jalur gempa, yaitu Circum Pasific Earthquake Belt dan Trans Asiatic Earthquake Belt.
Dengan demikian kepulauan Indonesia merupakan daerah yang rawan gempa.
I.13 Tsunami
Istilah tsunami berasal dari kosa kata Jepang tsu yang berarti gelombang dan nami yang
berarti pelabuhan, sehingga secara bebas, tsunami diartikan sebagai gelombang laut yang
melanda pelabuhan. Bencana tsunami terbukti menelan banyak korban manusia maupun
harta benda, sebagai contoh untuk tsunami di Flores (1992) mengakibatkan meninggalnya
lebih dari 2000 manusia, kemudian untuk tsunami di Banyuwangi (1994) telah menelan
korban 800 orang lebih, belum termasuk hitungan harta benda yang telah hancur, dan yang
terakhir di Aceh yang menyebabkan lebih dari 100.000 ribu korban jiwa.
Meskipun tinggi gelombang tsunami pada sumbernya kurang dari satu meter, tetapi
pada saat menghempas di pantai, tinggi gelombang tsunami bisa mencapai lebih dari 5 meter.
Hal ini disebabkan karena berkurangnya kecepatan merambat gelombang tsunami disebabkan
semakin dangkalnya kedalaman laut menuju pantai. Tetapi ini akan mengakibatkan tinggi
gelombangnya menjadi lebih besar karena harus sesuai dengan hukum kekekalan energi.
Penelitian menunjukkan bahwa tsunami dapat timbul bila kondisi tersebut di bawah ini
terpenuhi :
Gempa dengan pusat gempa di tengah lautan.
Gempa dengan magnitude lebih besar dari M=6.0 pada Skala Ricter
Gempa dengan pusat gempa dangkal, kurang dari 33 Km
Gempa dengan pola mekanisme dominan adalah sesar naik atau sesar turun
Lokasi sesar (fault) di lautan yang dalam.
II.1 Pendahuluan
Gempa bumi (earthquake) adalah salah satu peristiwa alam yang dapat menimbulkan
bencana, yang pada umumnya terjadi akibat rusak atau runtuhnya gedung, rumah, atau
bangunan buatan manusia. Lapisan kulit bumi dengan ketebalan 100 km mempunyai
temperatur relatif jauh lebih rendah dibanding dengan lapisan dalamnya (mantel dan inti
bumi), sehingga terjadi aliran konveksi dimana massa dengan temperatur tinggi mengalir ke
daerah temperatur rendah atau sebaliknya. Teori aliran konveksi ini sudah lama berkembang
untuk menerangkan terjadinya pergeseran pelat tektonik yang menjadi penyebab utama
terjadinya gempa bumi tektonik. Disamping itu kita juga mengenal gempa vulkanik, gempa
runtuhan, gempa imbasan, dan gempa buatan. Gempa vulkanik disebabkan oleh desakan
magma ke permukaan, gempa runtuhan banyak terjadi di pegunungan yang runtuh, gempa
imbasan biasanya terjadi di sekitar dam karena fluktuasi air dam, sedangkan gempa buatan
adalah gempa yang dibuat oleh manusia seperti ledakan nuklir atau ledakan untuk mencari
bahan mineral. Skala gempa tektonik jauh lebih besar dibandingkan dengan jenis gempa
lainnya, sehingga efeknya lebih banyak terhadap bangunan.
Hampir setiap tahun bencana gempa bumi terjadi di berbagai wilayah di Indonesia.
Walaupun bencana ini berpengaruh sangat besar terhadap perekonomian regional dan
pembangunan, kelihatannya masih sangat sedikit usaha-usaha yang dilakukan untuk
mengantisipasi, mempersiapkan, atau mengurangi pengaruh bencana dari gempa-gempa yang
akan datang. Sepanjang sejarah manusia, gempa bumi telah menimbulkan banyak korban jiwa
serta harta benda di seluruh dunia. Bencana ini pada umumnya disebabkan oleh gagalnya
bangunan-bangunan buatan manusia. Sampai saat ini manusia belum dapat berbuat banyak
untuk mencegah terjadinya gempa bumi, meskipun demikian manusia dapat berihtiar dan
berusaha untuk mengurangi dampak buruk yang dapat ditimbulkan oleh bencana gempa. Oleh
karena itu, salah satu upaya nyata untuk mengurangi atau mencegah pengaruh gempa bumi
yang akan datang adalah dengan memberikan ketahanan gempa yang cukup terhadap
bangunan-bangunan tersebut.
Secara geografis, kepulauan Indonesia berada di antara 60 LU dan 110 LS, serta
diantara 950 BT dan 1410 BT, serta terletak pada perbenturan tiga lempeng kerak bumi yang
disebut triple juntion, yaitu : Lempeng Eurasia, Lempeng Pasific, dan Lempeng Indo
Australia (Gambar II-1). Lempeng Indo-Australia bertabrakan dengan lempeng Eurasia di
Lempeng
Eurasia Lempeng
Pasifik
71 mm / yr
Lempeng
Indo-Australia
Gambar II-1. Lingkungan tektonik Indonesia terdiri dari tiga lempeng tektonik; Indo-Australia,
Pasifik dan Eurasia yang bergerak relatif terhadap lainnya (lihat arah panah). Batas lempeng tektonik
merupakan daerah konsentrasi aktifitas gempa bumi yang diplot sebagai garis hitam dan segi tiga.
Garis tebal merupakan sesar aktif, sedangkan lingkaran adalah stasiun seismograf (Sumber : Badan
Metereologi dan Geofisika).
Lempeng
Eurasia Lempeng
Pasifik
Lempeng
Indo-Australia
Gambar II-2. Distribusi lokasi gempa bumi besar yang pernah terjadi tahun 1900 s/d 1996 dengan
magnitude M > 6 pada Skala Richter (Sumber : Badan Metereologi dan Geofisika).
Kerusakan maupun kerugian yang diakibatkan bencana gempa cukup besar, baik dari
kerusakan sarana dan prasarana, serta hancurnya banyak rumah penduduk di suatu wilayah
Indonesia merupakan kawasan rawan gempa tektonik, dengan intensitas kegempaan yang
cukup besar. Dalam 50 tahun terakhir ini, tidak kurang dari belasan gempabumi besar telah
melanda kawasan ini, dan beberapa diantaranya mencapai magnitude gempa M=7 pada Skala
Richter. Sebagai negara berkembang dengan pertumbuhan ekonomi yang banyak
dimanifestasikan pada sektor properti seperti pembangunan gedung-gedung bertingkat dalam
jumlah yang besar, pengaruh gempa dapat menambah kerawanan akan jatuhnya korban jiwa
dan harta benda, bila perencanaan struktur bangunan terhadap gempa tidak ditangani dengan
memadai.
Rekayasa struktur bangunan tahan gempa merupakan salah satu cara yang dapat
dilakukan manusia untuk mengantisipasi pengaruh-pengaruh yang dapat ditimbulkan oleh
bencana gempa, agar kerugian material / harta benda dan jatuhnya korban jiwa dapat
ditekan seminimal mungkin. Rekayasa struktur bangunan di daerah rawan gempa,
memerlukan filosofi dan antisipasi yang tepat dengan menggunakan spesifikasi atau
peraturan yang berlaku. Di Indonesia, syarat-syarat minimum untuk prosedur perencanaan
struktur bangunan tahan gempa telah tercantum di dalam beberapa peraturan yang berlaku.
Pada dasarnya, bangunan-bangunan yang ada dapat dibagi menjadi dua kategori
berdasarkan proses perencanaan dan pelaksanaannya, yaitu Engineered Construction dan
Non-Engineered Construction. Engineered Construction adalah bangunan yang
direncanakan berdasarkan perhitungan struktur, dan dilaksanakan atau dibangun di bawah
pengawasan para Ahli Bangunan. Sebagai contoh dari Engineered Construction adalah
struktur bangunan gedung bertingkat, struktur jembatan dan jalan layang, fasilitas
pembangkit tenaga listrik atau tenaga nuklir, dan bendungan. Bangunan-bangunan ini pada
umumnya menggunakan bahan-bahan dan sistem struktur yang modern, seperti beton
bertulang dan baja.
Non-Engineered Construction adalah bangunan yang dibangun secara spontan
berdasarkan kebiasaan tradisional setempat, dan pelaksanaannya tidak dibantu Arsitek atau
Ahli Bangunan, melainkan mengikuti cara-cara yang diperoleh dari hasil pengamatan
tingkat laku bangunan sejenis yang mengalami gempa bumi di masa lalu. Non-Engineered
Construction mencakup bangunan tradisional, bangunan tembokan (bata, batu, batako)
yang memakai perkuatan (kolom dan balok praktis) maupun yang tidak memakai
perkuatan, bangunan kayu dan bambu, bangunan beton bertulang sederhana, bangunan
rangka baja sederhana.
Bangunan Non-Engineered Construction dapat dibagi menjadi dua katergori. Yang
termasuk kategori pertama adalah, bangunan yang dibangun menurut tradisi dan
disesuaikan dengan budaya dan bahan bangunan yang tersedia di daerah tersebut.
Bangunan yang termasuk kategori ini pada umumnya disebut bangunan tradisional.
Bangunan tradisional pada umumnya mempunyai ketahanan yang cukup baik terhadap
gempa. Pola permukiman manusia, cara-cara tradisional, serta bahan bangunan yang
dipakai untuk bangunan tradisional pada suatu wilayah merupakan bukti dari keselerasan
hidup berdampingan secara harmonis antara manusia dengan dengan alam. Kearifan
Gambar II-4. Bangunan tradisional dengan Arsitektur Bali. Sistem struktur bangunan tradisional
ini terdiri dari saka (kolom) dan balok sunduk dengan penguat pasak. Struktur tradisional ini cukup
kuat menahan gempa Karangasem 2 Januari 2004
Bangunan tradisional ini lambat laun hilang dan digantikan dengan bangunan Non-
Engineered Construction yang termasuk kategori kedua yaitu bangunan rumah tinggal
sederhana atau bangunan komersial yang dibangun oleh pemilik bangunan atau tukang-
tukang setempat, tanpa mendapatkan bantuan dari Arsitek atau Ahli Bangunan. Bangunan-
bangunan tersebut terutama mencakup bangunan tembokan (bata, batu, batako) atau
bangunan beton bertulang sederhana. Bangunan-bangunan tersebut pada umumnya
dibangun dengan tidak memperhatikan prinsip-prinsip yang diperlukan agar memiliki
ketahahan yang baik terhadap gempa.
Bangunan Non-Engineered Construction kategori yang kedua ini merupakan
bangunan yang paling banyak dibangun di negara-negara berkembang termasuk di
Indonesia. Di Indonesia bangunan-bangunan ini banyak dijumpai di daerah permukiman
penduduk, baik yang berada di perkotaan maupun pedesaan. Dari pengalaman gempa yang
terjadi di Indonesia, kegagalan atau kehancuran struktur dari bangunan kategori kedua
inilah yang sering menimbulkan korban jiwa dan kerugian harta benda.
Jumlah perbandingan masing-masing kategori bangunan agak berbeda untuk
negara-negara maju, negara-negara sedang berkembang, dan negara-negara belum. Di
Indonesia, Engineered Construction pada umumnya hanya terdapat di kota-kota besar,
Setiap gempa bumi yang merusak selalu memberikan pelajaran baru untuk diteliti.
Hal ini berlaku untuk bangunan Engineered Construction maupun Non-Engineered
Construction. agar struktur bangunan mempunyai performance yang baik pada saat terjadi
gempa. Suatu gempa dapat secara efektif mencari dan menemukan kelemahan-kelemahan
suatu struktur bangunan. Kebanyakan kegagalan struktur hasil dari pengamatan kerusakan
akibat gempa masa lampau, erat kaitannya dengan kekurangan-kekurangan pada bangunan
yang didirikan, apakah itu disebabkan karena perencanaan yang tidak benar, kurangnya
pengawasan, atau pelaksanaan yang tidak memadai.
Penelitian kerusakan bangunan akibat gempa di masa lampau dan pengaruhnya
pada berbagai macam struktur, dapat memberikan informasi yang jelas untuk peningkatan
pengetahuan mengenai rekayasa struktur bangunan tahan gempa. Inspeksi lapangan
terhadap bangunan yang rusak akibat gempa adalah cara yang paling efektif untuk
memperoleh informasi tersebut. Ini terutama sekali benar untuk bangunan-bangunan Non-
Engineered Construction, karena untuk bangunan ini perencanaan tahan gempanya
kebanyakan hanya berdasarkan performance bangunan yang terobservasi pada saat terjadi
gempa dimasa lampau.
Untuk memperoleh informasi mengenai ragam kerusakan dari bangunan-bangunan
pada saat terjadi gempa, di bawah ini diuraikan secara singkat 3 gempa besar yang pernah
Gambar II-6. Rangka atap terlepas dari dudukannya, karena tidak diangkur dengan baik (Gempa
Bengkulu, Juni 2000)
Gambar II-7. Retak dan kegagalan pada sambungan pertemuan antara kolom dan balok (Gempa
Bengkulu, Juni 2000)
Gambar II-10. Pilar jembatan jalan layang mengalami kerusakan akibat kombinasi antara gaya
tekan dan geser.
Secara resmi Pemerintah Daerah Kobe telah mengumumkan bahwa 94109 bangunan
gedung di kota Kobe telah mengalami rusak berat, dimana 54949 bangunan diantaranya
hancur total, dan 31783 mengalami rusak ringan. Musnahnya rumah tinggal
mengakibatkan sekitar 300000 orang kehilangan tempat tinggal. Gempa juga telah
mengakibatkan pelabuhan besar kontainer Kobe mengalami hancur total dan tidak dapat
berfungsi. Kota Kobe yang merupakan kota pelabuhan modern yang telah dibangun selama
130 tahun, ternyata hancur oleh gempa yang berlangsung hanya 20 detik.
Jika hal ini tidak terjadi di Jepang, mungkin orang tidak akan begitu heran. Selama
ini orang terlanjur menganggap bahwa Jepang adalah negeri yang sudah menguasai kiat
untuk meredam gempa dengan menggunakan teknologinya yang maju.
Penggunaan standar konstruksi nasional untuk struktur bangunan tahan gempa di
Jepang, memberikan jaminan keamanan bahwa bangunan-bangunan di perkotaan mampu
untuk menahan gempa hebat. Bahkan ketika Los Angeles di Amerika Serikat diguncang
Gempa Kuat setahun sebelumnya, banyak ahli gempa dari Jepang dengan penuh keyakinan
mengatakan bahwa, kerusakan yang terjadi pada kawasan metropolis di California Selatan
tersebut tidak akan terjadi di Jepang. Akan tetapi, ketika gempa datang mengguncang,
jaminan keamanan tadi terbukti hanya tinggal sebuah kata. Jalan layang, pelabuhan,
lintasan jalur kereta api cepat dan kereta api lokal, serta beberapa gedung bertingkat yang
konon telah dibangun atas dasar standar konstruksi nasional, ternyata tidak mampu
meredam Gempa Kuat dengan magnitude M=7,2 pada Skala Richter. Tidak sedikit
bagunan bertingkat tinggi yang runtuh sepenuhnya atau miring, termasuk gedung rumah
sakit Kobe yang berlantai delapan. Di gedung rumah sakit Kobe ini puluhan pasien, dokter
dan perawat tewas seketika.
Di lokasi fasilitas LPG Higashi-Nada-Ku, sebuah tangki gas berkapasitas 20000 ton
mengalami kebocoran, sehingga 8000 warga sekitarnya perlu dievakuasi. Jalur kereta api
cepat shinkansen di Kobe yang direncanakan tahan terhadap gempa berkekuatan M=7,9
pada Skala Richter, ternyata rusak berat hanya dalam waktu 12 detik akibat pengaruh
gempa yang berarah vertikal. Getaran gempa yang berarah vertikal lebih sulit diantisipasi
pangaruhnya terhadap kekuatan struktur, dengan demikian gempa berarah vertikal lebih
berbahaya pengaruhnya dibandingkan dengan gempa yang berarah horisontal yang dapat
menimbulkan gerakan-gerakan menyamping pada struktur bangunan.
Gambar II-13. Kerusakan pada fasilitas jalur kereta api cepat shinkansen di Kobe
RN = 1– 1 – 1 x 100%
TR
Pada perencanaan struktur bangunan tahan gempa, perlu ditinjau 3 taraf beban
gempa, yaitu Gempa Ringan, Gempa Sedang dan Gempa Kuat, untuk merencanakan
elemen-elemen dari sistem struktur, agar tetap mempunyai kinerja yang baik pada saat
terjadi gempa. Gempa Ringan, Gempa Sedang, Gempa Kuat, dan Gempa Rencana untuk
keperluan prosedur perencanaan struktur didefinisikan sebagai berikut :
C .I
V = Wt
R
Dimana, I adalah Faktor Keutamaan Struktur menurut Tabel I, C adalah nilai Faktor
Respon Gempa yang didapat dari Respon Spektrum Gempa Rencana menurut Gambar 2
I = I1.I2
Dimana I1 adalah Faktor Keutamaan untuk menyesuaikan periode ulang gempa berkaitan
dengan penyesuaian probabilitas terjadinya gempa itu selama umur rencana gedung,
sedangkan I2 adalah Faktor Keutamaan untuk menyesuaikan umur rencana gedung
tersebut.
Karena gedung-gedung bertingkat, monumen dan bangunan monumental sama-sama
memiliki fungsi biasa, tanpa sesuatu keistimewaan, kekhususan atau keutamaan dalam
fungsinya, maka probabilitas terjadinya gempa tersebut selama kurun waktu umur rencana
gedung ditetapkan sama sebesar 10%, sehingga berlaku I1 = 1,0. Tetapi umur rencana dari
gedung-gedung tersebut berbeda-beda. Gedung-gedung dengan jumlah tingkat sampai 10,
karena berbagai alasan dan tujuan pada umumnya mempunyai umur kurang dari 50 tahun,
sehingga I2 < 1 karena periode ulang gempa tersebut adalah kurang dari 500 tahun.
Gedung-gedung dengan jumlah tingkat lebih dari 30, monumen dan bangunan
Tabel II-1. Faktor Keutamaan untuk berbagai kategori gedung dan bangunan
Faktor Keutamaan
Kategori gedung/bangunan
I1 I2 I
Gedung umum seperti untuk penghunian, 1,0 1,0 1,0
perniagaan dan perkantoran.
Monumen dan bangunan monumental 1,0 1,6 1,6
Gedung penting pasca gempa seperti rumah 1,4 1,0 1,4
sakit, instalasi air bersih, pembangkit tenaga
listrik, pusat penyelamatan dalam keadaan
darurat, fasilitas radio dan televise
Gedung untuk menyimpan bahan berbahaya 1,6 1,0 1,6
seperti gas, produk minyak bumi, asam, bahan
beracun.
Cerobong, tangki di atas menara 1.5 1,0 1,5
Gambar II.14. Diagram beban (V) - simpangan () dari struktur bangunan gedung
Faktor daktilitas struktur () adalah rasio antara simpangan maksimum ( m) struktur
gedung akibat pengaruh Gempa Rencana pada saat mencapai kondisi di ambang
keruntuhan, dengan simpangan struktur gedung pada saat terjadinya pelelehan pertama
( y ), yaitu :
δm
1,0 = μm
δy
Pada persamaan ini, = 1,0 adalah nilai faktor daktilitas untuk struktur bangunan gedung
yang berperilaku elastik penuh, sedangkan m adalah nilai faktor daktilitas maksimum
yang dapat dikerahkan oleh sistem struktur bangunan gedung yang bersangkutan.
Ve
Vy =
μ
Jika Vn adalah pembebanan Gempa Nominal akibat pengaruh Gempa Rencana yang
harus ditinjau dalam perencanaan struktur, maka berlaku hubungan sebagai berikut :
Vy Ve
Vn =
f1 R
dimana f1 adalah faktor kuat lebih beban dan bahan yang terkandung di dalam struktur
bangunan gedung dan nilainya ditetapkan sebesar f1 = 1,6 dan R disebut faktor reduksi
gempa yang nilainya dapat ditentukan menurut persamaan :
1,6 R = .f1 Rm
R = 1,6 adalah faktor reduksi gempa untuk struktur gedung yang berperilaku elastik penuh,
sedangkan Rm adalah faktor reduksi gempa maksimum yang dapat dikerahkan oleh sistem
struktur yang bersangkutan. Dalam Tabel II-2 dicantumkan nilai R untuk berbagai nilai
yang bersangkutan, dengan ketentuan bahwa nilai dan R tidak dapat melampaui nilai
maksimumnya.
R
Taraf kinerja struktur gedung
Elastis penuh 1,0 1,6
1,5 2,4
2,0 3,2
2,5 4,0
3,0 4,8
Daktail parsial
3,5 5,6
4,0 6,4
4,5 7,2
5,0 8,0
Daktail penuh 5,3 8,5
Nilai faktor daktilitas struktur gedung di dalam perencanaan struktur gedung dapat
dipilih menurut kebutuhan, tetapi tidak boleh diambil lebih besar dari nilai faktor daktilitas
maksimum m yang dapat dikerahkan oleh masing-masing sistem atau subsistem struktur
gedung. Dalam Tabel II-3 ditetapkan nilai m yang dapat dikerahkan oleh beberapa jenis
sistem dan subsistem struktur gedung, berikut faktor reduksi maksimum Rm yang
bersangkutan.
Tabel II-4. Percepatan puncak batuan dasar dan percepatan puncak muka tanah untuk masing-
masing Wilayah Gempa Indonesia
Untuk menentukan pengaruh Gempa Rencana pada struktur gedung, yaitu berupa
beban geser dasar nominal statik ekuivalen pada struktur bangunan gedung beraturan, dan
gaya geser dasar nominal sebagai respons dinamik ragam pertama pada struktur bangunan
gedung tidak beraturan, untuk masing-masing Wilayah Gempa ditetapkan Spektrum
Respons Gempa Rencana C-T seperti ditunjukkan dalam Gambar II-16. Dalam gambar
tersebut C adalah Faktor Respons Gempa yang dinyatakan dalam percepatan gravitasi, dan
T adalah waktu getar alami struktur gedung yang dinyatakan dalam detik.
C mengikuti fungsi hiperbola C = Ar/T. Dalam hal ini Tc disebut waktu getar alami sudut.
Idealisasi fungsi hiperbola ini mengandung arti, bahwa untuk T > Tc kecepatan respons
sehingga Am = 2,5 Ao merupakan nilai rata-rata yang dianggap layak untuk perencanaan.
Penetrasi Standar N, dan kekuatan geser tanah S u (shear strength of soil). Untuk
menetapkan jenis tanah yang dihadapi, paling tidak harus tersedia 2 dari 3 kriteria tersebut,
dimana kriteria yang menghasilkan jenis tanah yang lebih lunak adalah yang menentukan.
Apabila tersedia ke-3 kriteria tersebut, maka jenis suatu tanah yang dihadapi harus
didukung paling tidak ada 2 kriteria tadi.
Dari berbagai penelitian ternyata, bahwa hanya lapisan setebal 30 m paling atas
yang menentukan pembesaran gerakan tanah di permukaan tanah. Karena itu, nilai rata-
rata berbobot dari ke-3 kriteria tersebut harus dihitung sampai kedalaman tidak lebih dari
Dalam Tabel 4-6 di atas, v s, N dan S u adalah nilai rata-rata berbobot besaran tanah
dengan tebal lapisan tanah sebagai besaran pembobotnya, yang harus dihitung menurut
persamaan-persamaan sebagai berikut :
m
ti
vs i 1
m
t i / v si
i 1
m
ti
N i 1
m
t i / Ni
i 1
dimana ti adalah tebal lapisan tanah ke-i, vsi adalah kecepatan rambat gelombang geser
melalui lapisan tanah ke-i, N i nilai hasil Test Penetrasi Standar lapisan tanah ke-i, Sui
adalah kuat geser tanah lapisan ke-i, dan m adalah jumlah lapisan tanah yang ada di atas
batuan dasar. Selanjutnya, PI adalah Indeks Plastisitas tanah lempung, wn adalah kadar air
alami tanah, dan Su adalah kuat geser lapisan tanah yang ditinjau.
Karena sifat dari jenis Tanah Khusus tidak dapat dirumuskan secara umum, maka
sifatnya harus dievaluasi secara khusus di setiap lokasi dimana jenis tanah tersebut
ditemukan. Pada jenis Tanah Khusus, gerakan gempa di permukaan tanah harus ditentukan
dari hasil analisis perambatan gelombang gempa. Dalam analisis perambatan gelombang
gempa ini, accelerogram gempa harus diambil dari rekaman getaran akibat gempa yang ada
atau yang didapatkan dari suatu lokasi, yang kondisi geologi, topografi, dan seismotonik,
mirip dengan lokasi tempat Tanah Khusus yang ditinjau berada.
Yang dimaksud dengan jenis Tanah Khusus dalam Tabel II-6, adalah jenis tanah
yang tidak memenuhi persyaratan yang tercantum dalam tabel tersebut. Di samping itu,
yang termasuk dalam jenis Tanah Khusus adalah tanah yang memiliki potensi likuifaksi
yang tinggi, lempung sangat peka, pasir yang tersementasi rendah yang rapuh, tanah
gambut, tanah dengan kandungan bahan organik yang tinggi dengan ketebalan lebih dari 3
m, lempung sangat lunak dengan PI > 75 dan ketebalan lebih dari 10 m, lapisan lempung
dengan 25 kPa < Su < 50 kPa dan ketebalan lebih dari 30 m.
Cv = Ao I
Dimana koefisien tergantung pada Wilayah Gempa tempat struktur bangunan gedung
berada dan ditetapkan menurut Tabel II-7, Ao adalah percepatan puncak muka tanah
menurut Tabel II-4, sedangkan I adalah Faktor Keutamaan gedung menurut Tabel II-1.
Persamaan di atas menunjukkan bahwa, dalam arah vertikal respon struktur dianggap
sepenuhnya mengikuti gerakan vertikal dari tanah, dan tidak tergantung pada waktu getar
alami serta tingkat daktilitasnya. Dalam persamaan ini faktor reduksi gempa dianggap
sudah diperhitungkan.
Wilayah Gempa
1 0,5
2 0,5
3 0,5
4 0,6
5 0,7
6 0,8
Sedangkan untuk struktur jembatan atau struktur jalan layang (fly over), ketentuan
mengenai persyaratan desain struktur terhadap pengaruh gempa, tercantum di dalam
pedoman atau manual Sistem Manajemen Jembatan-1992.
Perencanaan struktur bangunan di daerah rawan gempa, memerlukan filosofi dan
antisipasi yang tepat dengan menggunakan spesifikasi atau peraturan yang berlaku. Dalam
kaitannya dengan perencanaan struktur bangunan tahan gempa, struktur bangunan
diklasifikasikan menjadi dua jenis struktur, yaitu Engineered Structures dan Non-
engineered Structures. Engineered Structures adalah struktur-struktur bangunan yang
memerlukan tenaga ahli di dalam proses perencanaan maupun pelaksanaannya. Sebagai
contoh dari Engineered Structures adalah struktur gedung bertingkat, struktur jembatan
dan jalan layang, fasilitas pembangkit tenaga listrik atau tenaga nuklir, bendungan serta
bangunan air, dan lain-lain. Sedangkan Non-engineered Structures adalah struktur-struktur
bangunan yang direncanakan dan dilaksanakan tanpa bantuan tenaga ahli, tetapi masih
harus memenuhi kriteria persyaratan bangunan pada umumnya, sesuai yang tercantum di
dalam standar bangunan (building code) yang ada.
Pada suatu proyek bangunan Teknik Sipil, pada umumnya biaya yang
diperhitungkan meliputi biaya untuk perencanaan, biaya pelaksanaan atau pembangunan
konstruksi, dan biaya perawatan atau perbaikan jika terjadi kerusakan. Makin tinggi tingkat
kekuatan dari struktur bangunan terhadap pengaruh gempa, maka akan semakin besar biaya
yang diperlukan untuk pembuatan konstruksi bangunan, akan tetapi akan semakin kecil
Dari kedua alasan tersebut, jelas bahwa persyaratan yang paling penting pada perencanaan
struktur bangunan tahan gempa adalah daktilitas struktur. Elemen-elemen struktural dari
bangunan seperti balok dan kolom, harus direncanakan dengan tingkat daktilitas yang
cukup, sehingga pada saat terjadi Gempa Kuat struktur bangunan mempunyai kemampuan
untuk menyerap dan memancarkan energi gempa melalui deformasi plastis. Dengan
demikian keruntuhan dari struktur secara keseluruhan dapat dihindari. Dengan terhindarnya
struktur bangunan dari keruntuhan, maka dapat diharapkan adanya korban jiwa dapat
dihindarkan.
Menurut saran dari Applied Technology Council (ATC, 1984), suatu struktur
bangunan yang didirikan di daerah rawan gempa, harus mampu menahan Gempa Kuat
tanpa mengalami keruntuhan. Akibat pengaruh Gempa Kuat, struktur bangunan
diperkenankan mengalami kerusakan, tetapi secara keseluruhan struktur bangunan tidak
boleh runtuh. Hal ini dimaksudkan agar keselamatan jiwa manusia harus dapat terjamin.
Untuk mendapatkan struktur bangunan seperti yang disyaratkan oleh ATC, saat ini telah
dikembangkan suatu cara perencanaan struktur tahan gempa, yang disebut Perencanaan
e e=0
V0 V=0
e+p p
V0 V=0
Sendi Plastis
Kedua jenis mekanisme kelelehen atau terbentuknya sendi-sendi plastis pada struktur
portal adalah :
a) Mekanisme Kelelehan Pada Balok (Beam Sidesway Mechanism), yaitu keadaan
dimana sendi-sendi plastis terbentuk pada balok-balok dari struktur bangunan,
akibat penggunaan kolom-kolom yang kuat (Strong Column–Weak Beam).
b) Mekanisme Kelelehan Pada Kolom (Column Sidesway Mechanism), yaitu keadaan
di mana sendi-sendi plastis terbentuk pada kolom-kolom dari struktur bangunan
pada suatu tingkat, akibat penggunaan balok-balok yang kaku dan kuat (Strong
Beam–Weak Column)
Pada Column Sidesway Mechanism, kegagalan dari kolom pada suatu tingkat akan
mengakibatkan keruntuhan dari struktur bangunan secara keseluruhan.
Pada struktur dengan kolom-kolom yang lemah dan balok-balok yang kuat (strong
beam– weak column), deformasi akan terpusat pada tingkat-tingkat tertentu,
sehingga daktilitas yang diperlukan oleh kolom agar dapat dicapai daktilitas dari
struktur yang disyaratkan, sulit dipenuhi.