Professional Documents
Culture Documents
Fenomenologi
Istilah ini pertama kali diperkenalkan oleh Johann Heinrich Lambert (1728-
1777), seorang filsuf Jerman dalam bukunya Neues Organon (1764). Sebelum
Lambert, istilah fenomenologi juga pernah dikemukan oleh filsup-filsup lainnya;
Immanuel Kant (1724-1804) dan Georg Wilhelm Friedrich Hegel (1770-1831).
Immanuel Kant memakai istilah fenomenologi dalam karyanya Prinsip-Prinsip
Pertama Metafisika (1786). Kant menyebutkan untuk menjelaskan kaitan antara
konsep fisik gerakan dan kategori modalitas, dengan mempelajari ciri-ciri dalam
relasi umum dan representasi, yakni fenomena indera-indera lahiriah. Selain Kant,
Hegel (1807) memperluas pengertian fenomenologi dengan merumuskannya
sebagai ilmu mengenai pengalaman kesadaran, yakitu suatu pemaparan dialektis
perjalanan kesadaran kodrati menuju kepada pengetahuan yang sebenarnya.
Fenomena menurut Hegel tidak lain merupakan penampakkan atau kegejalaan dari
pengetahuan inderawi: fenomena-fenomena merupakan manifestasi konkret dan
historis dari perkembangan pikiran manusia [5].
Kemudian Edmund Husserl (1859–1838) membawa fenomenologi berubah
menjadi sebuah disiplin ilmu filsafat dan metodologi berfikir yang mengusung tema
Epoche-Eiditic Vision dan Lebenswelt sebagai sarana untuk mengungkap fenomena
dan menangkap hakikat yang berada dibaliknya. Ia kemudian dikenal sebagai tokoh
besar dalam mengembangkan fenomenologi [6].
Dalam pemahaman Edmund Husserl, fenomenologi adalah suatu analisis
deskriptif serta introspektif mengenai kedalaman dari semua bentuk kesadaran dan
pengalaman-pengalaman yang didapat secara langsung seperti religius, moral,
estetis, konseptual, serta indrawi. Ia juga menyarakan fokus utama filsafat
hendaknya tertuju kepada penyelidikan tentang Labenswelt (dunia kehidupan) atau
Erlebnisse (kehidupan subjektif dan batiniah). Fenomenologi sebaiknya menekankan
watak intensional kesadaran, dan tanpa mengandaikan praduga-praduga konseptual
dari ilmu-ilmu empiris.
Fenomenologi menekankan upaya menggapai fenomena lepas dari segala
presuposisi. Semua penjelasan tidak boleh dipaksakan sebelum pengalaman
menjelaskannya sendiri dari dan dalam pengalaman itu sendiri. Dengan begitu,
fenomenologi mencoba menepis semua asumsi yang mengkontaminasi pengalaman
konkret manusia. Selain itu, filsafat fenomenologi berusaha untuk mencapai
pengertian yang sebenarnya dengan cara menerobos semua fenomena yang
menampakkan diri menuju kepada bendanya yang sebenarnya. Usaha inilah yang
dinamakan untuk mencapai “hakikat segala sesuatu”.
Secara etomologis, asal kata fenomenologi (Inggris: Phenomenology) berasal
dari bahasa Yunani phainomenon dan logos. Phainomenon berarti tampak dan
phainen berarti memperlihatkan. Sedangkan logos berarti kata, ucapan, rasio,
pertimbangan. Dengan demikian, fenomenologi secara umum dapat diartikan
sebagai kajian terhadap fenomena atau apa-apa yang nampak [7], atau ilmu tentang
gejala-gejala yang menampakkan diri pada kesadaran. Hegel (1807) menyebutkan
pengertian fenomenologi dengan merumuskannya sebagai ilmu mengenai
pengalaman kesadaran, yakni suatu pemaparan dialektis perjalanan kesadaran
kodrati menuju kepada pengetahuan yang sebenarnya, fenomena tidak lain
merupakan penampakkan atau kegejalaan dari pengetahuan inderawi: fenomena-
fenomena merupakan manifestasi konkret dan historis dari perkembangan pikiran
manusia[8].
Husserl menyebut tugas utama fenomenologi adalah menjalin keterkaitan
antara manusia dengan realitas. Keterkaitan ini mendorong manusia untuk
mempelajari fenomena-fenomena yang ada dengan pengalaman langsung dengan
realitas tersebut. Sehingga pengalaman tersebut akan memberikan sebuah
penafsiran, yaitu esesnsi dari realitas tersebut. Husserl menggunakan istilah
fenomenologi untuk menunjukkan apa yang nampak dalam kesadaran dengan
membiarkannya termanifestasi apa adanya tanpa memasukkan kategori-kategi yang
sudah ada dalam pikiran. Husserl menyebutnya dengan istllah “kembalilah pada
realitas itu sendiri”[9].
Dengan kata lain fenomenologi tidak membiarkan kita untuk mencampur
fenomena dengan apa yang ada dalam pikiran kita, dan membiarkan fenomena
tersebut berjalan apa adanya. Karena pikiran hanya bersifat teoritis yang terikat oleh
pengalaman indrawi yang bersifat relatif subjektif sedangkan fenomena adalah
realitas yang bersifat objektif.
Dengan melepaskan segala pikiran tentang fenomena tersebut dan dari segala
yang bukan esensi dari fenomena, maka akan terciptalah pengertian murni. Jadi
fenomenologi ‘hanya’ sebagai jembatan untuk mengungkapkan noumena dari
fenomena. Untuk menjalankan fungsinya, fenomenologi tidak terlepas dari tiga
asumsinya: (1) pengetahuan adalah kesadaran, maksudnya diperoleh secara sadar;
(2) makna sesuatu bagi seseorang selalu terkait dengan hubungan sesuatu itu
dengan kehidupan orang tersebut; dan (3) bahasa merupakan kendaraan makna.
Pandangan fenomenologi bisa dilihat pada dua posisi yaitu (1) merupakan
reaksi terhadap dominasi positivisme, dan (2) fenomenologi sebenarnya sebagai
kritik terhadap pemikiran kritisisme Immanuel Kant, terutama konsepnya tentang
fenomena–noumena. Kant menggunakan kata fenomena untuk menunjukkan
penampakkan sesuatu dalam kesadaran, sedangkan noumena adalah realitas (das
Ding an Sich) yang berada di luar kesadaran pengamat. Menurut Kant, manusia
hanya dapat mengenal fenomena-fenomena yang nampak dalam kesadaran, bukan
noumena (realitas di luar yang kita kenal).
Dari uraian di atas bisa dipahami bahwa fenomenologi berarti ilmu tentang
fenomenon-fenomenon atau apa saja yang nampak, tanpa harus dipengaruhi tanpa
harus dipengaruhi oleh apapun. Sebuah pendekatan filsafat yang berpusat pada
analisis terhadap gejala yang menampakkan diri pada kesadaran kita.
Hermeneutik
Akar permulaan hermenēuein dan hermēnia bisa ditemukan dalam Organon,
Peri hermēneias karya Aristoteles, yang diterjemahkan dengan “On Interpretation” .
Kata ini juga ditemukan dalam Oedipus at Colunus karya Plato, juga beberapa karya
lainnya dari penulis awal yang terkenal seperti Xenophon, Plutarch, Euripides,
Epicurus, Lucretius, dan Longinus[11].
Dalam Organon, Peri hermēneias dipaparkan kata-kata yang diucapkan adalah
simbol dari sebuah pengalaman mental, dan kata-kata yang ditulis adalah simbol
dari kata-kata yang diucapkan. Tulisan ini dipercaya menjadi titik tolak bagi
dimulainya pembahasan hermeneutika di era klasik.
Ada dua dimensi besar dalam hermeneutik yaitu hermeneutika intensionalisme
dan hermeneutika gadamerian. Intensioanalisme diawali sejak hermeneutika
romantisis dengan tokohnya Schleiermacher. Pokok pikiran Hermeneutika
intensional ini adalah bahwa makna adalah maksud atau instensi produsernya.
Dengan kata lain, makna kata sesungguhnya telah ada di balik kata itu sendiri.
Makna telah menanti, dan tinggal ditemukan oleh penafsirnya, dan itu adalah tugas
pembaca untuk mencarinya.
Menurut hermeneutika intensionalisme, makna adalah niat atau kemauan yang
diwujudkan dalam suatu tindak atau produknya seperti teks misalnya, sehingga
makna sudah ada dan hanya akan keluar jika diinterpretasikan. Pengertian ini
didasarkan pada arti “makna” (meinen), yang menunjukkan arti bahwa makna suatu
teks, tindak, hubungan, dan seterusnya adalah sesuatu yang ada dalam pikiran
produsen, yang kemudian dikeluarkan melalui suatu tindak seperti memproduk teks.
Dengan kata lain makna telah ada dan menanti untuk dipahami. Makna hanya
berasal dari aktifitas produsen teks, bukan dari aktifitas orang lain, termasuk aktifitas
interpretasi penafsir. Dengan kata lain, pembaca atau penafsir harus memahami
teks yang ia baca, dan pembaca atau penafsir dapat menangkap konsepsi
pengarang mengenai fakta situasinya, keyakinan, dan keinginannya, namun dengan
catatan penafsir harus menemukan alasan pelaku bersikap seperti yang
diperlihatkan.
Sedangkan hermeneutika gadamerian dengan tokohnya Hans-Georg Gadamer
memberikan defenisi berbeda tentang makna. Makna dalam hermeneutika
gadamerian bukan terletak pada instensi produsernya, melainkan pembacanya itu
sendiri. Makna itu belum ada ketika sebuah kata diucapkan atau ditulis, dan segera
muncul ketika kata itu didengarkan atau dibaca.
Konsep ini menemukan titik kulminasinya pada Gadamer yang menyatakan
bahwa sekali teks hadir di ruang publik, ia telah hidup dengan nafasnya sendiri.
Hermeneutika tidak lagi bertugas menyingkap makna objektif yang dikehendaki
pengarangnya, tetapi adalah untuk memproduksi makna yang seluruhnya memusat
pada kondisi historisitas dan sosialitas pembaca. Gagasan ini dengan sendirinya
menyangkal origin. Dengan kata lain ia menolak suatu realitas di balik fenomena,
realitas sumber, realitas terakhir. Dengan demikian, untuk memperoleh makna
sebuah kata, kalimat atau teks tidak diperlukan lagi maksud original-nya.
Hermeneutika secara etimologis, berasal dari istilah Yunani dari kata kerja
hermenēuein yang berarti menafsirkan atau menginterpretasi, kata benda hermēnia
diterjemahkan penafsiran atau interpretasi. Kedua kata ini, diasosiasikan pada Dewa
Hermes[12] seorang utusan yang mempunyai tugas menyampaikan pesan Jupiter [13]
kepada manusia. Hermes adalah simbol seorang duta yang dibebani misi
menyampaikan pesan sang dewa.
Dalam mediasi dan proses penyampaian pesan yang ditugaskan pada Hermes,
dari kata kerja hermenēuein ditarik tiga bentuk makna dasar dalam pengertian
aslinya, yaitu to express (mengungkapkan), to assert (menjelaskan), dan to say
(menyatakan). Makna-makna tersebut bisa diwakilkan dengan bentuk kata kerja
Inggirs “to interpret”, yang membentuk makna independen dan signifikan bagi
interpretasi. Oleh karenanya, interpertasi mengacu ke 3 (tiga) persoalan berbeda
yaitu pengucapan lisan, penjelasan yang masuk akal, dan penerjemahan dari
bahasa lain[14].
Berhasil atau tidaknya misi tergantung cara bagaimana pesan itu disampaikan.
Indikasi keberhasilan, manusia yang awalnya tidak tahu, menjadi mengetahui makna
pesan yang disampaikan. Tugas menyampaikan pesan ini juga berarti harus
mengalihbahasakan ucapan para dewa ke dalam bahasa yang dapat ditangkap
intelegensia manusia. Pengalihbahasaan merupakan bentuk lain dari penafsiran.
Dari sini kemudian pengertian kata hermeneutika memiliki kaitan dengan sebuah
penafsiran atau interpretasi.
Kehadiran hermeneutika dipengaruhi oleh beberapa faktor, dalam analisis
Werner, ada tiga sebab yang paling mendominasi pengaruh terhadap pembentukan
hermeneutika, dari masa interpretasi bibel hingga saat ini. Ketiga yang dimaksud
Werner terbut yaitu (1) Masyarakat yang terpengaruh mitologi Yunani, (2)
Masyarakat Yahudi dan Kristen yang mengalami masalah dengan teks kitab “suci”
agama mereka, dan (3) Masyarakat Eropa zaman pencerahan (Enlightenment) yang
berusaha lepas dari otoritas keagamaan dan membawa hermeneutika keluar
konteks keagamaan[15].
Richard E. Palmer (2005) menyimpulkan enam defenisi hermeneutika, keenam
definisi tersebut merupakan urutan fase sejarah yang menunjuk suatu peristiwa atau
pendekatan penting dalam persoalan interpretasi yang berkenaan dengan
hermeneutika.
“Sejak awal kemunculannya, hermeneutika menunjuk pada ilmu interpretasi,
khususnya prinsip-prinsip eksegesis tekstual, tetapi bidang hermeneutika telah
ditafsirkan (secara kronologisnya) sebagai: (1) teori eksegesis Bibel, (2) metodologi
filologi umum, (3) ilmu pemahaman linguistic, (4) fondasi metodologis
geisteswissenschaften, (5) fenomenologi esistensi dan pemahaman eksistensial,
dan (6) sitem interpretasi, baik recollektif maupun iconoclastic, yang digunakan
manusia untuk meraik makna di balik mitos dan simbol” (Palmer 2005: 38)
Definisi yang disebut Palmer tersebut mewakili berbagai dimensi yang sering
disoroti dalam hermeneutika. Setiap definisi membawa nuansa yang berbeda,
namun dapat dipertanggungjawabkan dari setiap penafsiran terutama penafsiran
teks, defenisi tersebut dapat disebut pendekatan Bibel, filologis, saintifik,
geisteswissenschaften, eksistensial, dan kultural. Setiap defenisi merepresentasikan
sudut pandang dari mana hermeneutika dilihat, melahirkan pandangan-pandangan
yang berbeda-beda namun memberi ruang bagi tindakan interpretasi, khususnya
teks.
Ricoeur membedakan dua macam simbol, yakni simbol univokal dan simbol
ekuivokal. Simbol univokal adalah simbol dengan satu makna, seperti pada simbol-
simbol logika. Sementara itu, simbol ekuivokal, yang merupakan perhatian utama
dari hermeneutika, yang simbol yang memiliki bermacam-macam makna.
Heremeneutika haruslah berhadapan dengan teks-teks simbolik, yang memiliki
berbagai macam makna. Hermeneutika juga haruslah membentuk semacam
kesatuan arti yang koheren dari teks yang ditafsirkan, dan sekaligus memiliki
relevansi lebih dalam serta lebih jauh untuk masa kini maupun masa depan. Dengan
kata lain, hermeneutika merupakan sebuah sistem penafsiran, di mana relevansi
dan makna lebih dalam dapat ditampilkan melampaui sekaligus sesuai dengan teks
yang kelihatan.
Perbandingan
Dari penjelasan di atas, dapat kita lihat beberapa persamaan dan perbedaan
dari fenomenologi dan hermeneutika. Beberapa persamaan dan perbedaan bisa
dilihat berikut ini.
Teks ketika dipahami seseorang, secara tidak langsung akan memunculkan
interpretasi terhadap teks tersebut. Membicarakan teks tidak pernah terlepas dari
unsur bahasa, Heidegger menyebutkan bahasa adalah dimensi kehidupan yang
bergerak yang memungkinkan terciptanya dunia sejak awal, bahasa mempunyai
eksistensi sendiri yang di dalamnya manusia turut berpartisipasi [22].
Sebagai metode tafsir, hermeneutika menjadikan bahasa sebagai tema sentral,
kendati di kalangan para filsuf hermenutika sendiri terdapat perbedaan dalam
memandang hakikat dan fungsi bahasa: Intensionalisme dan Hermeneutika
Gadamerian. Intensionalisme memandang makna sudah ada karena dibawa
pengarang/penyusun teks sehingga tinggal menunggu interpretasi penafsir.
Sementara Hermeneutika Gadamerian sebaliknya memandang makna dicari,
dikonstruksi, dan direkonstruksi oleh penafsir sesuai konteks penafsir dibuat
sehingga makna teks tidak pernah baku, ia senantiasa berubah tergantung dengan
bagaimana, kapan, dan siapa pembacanya. Hermeneutika Gadamerian dianggap
sebagai sejarah penting bagi studi hermeneutika. Sebab, aliran hermeneutika ini
memberikan dimensi yang sangat luas kepada setiap pembaca teks untuk lebih
kreatif dan menjelajah dunia makna dengan sangat luas. Bagi hermeneutika makna
tidak saja ada di belakang teks (meaning behind the texts), melainkan juga di depan
teks (meaning before the texts). Makna di balik teks , berarti dibuat (created),
sedangkan yang di depan teks berarti ditemukan (invented)[23].
Pada dasarnya, fenomenologi mengkaji struktur berbagai jenis pengalaman
yang bergerak dari persepsi, pemikiran, memori, imajinasi, keinginan, kehendak
yang diwujudkan dalam tindak nyata, aktivitas sosial termasuk aktivitas berbahasa.
Fenomenolgi yang selalu bersandar kepada kesadaran manusia, jika dilihat
lebih jauh dalam kehidupan sehari-hari atau ditipifikasikan, maka bahasa menjadi
medium sentral untuk tranformasi tipifikatif, oleh karena ada makna yang dapat
ditemukan dalam tipifikasi (pergaulan sehar-hari). Keadaan ini memberikan orientasi
metodologi bagi fenomenologi tentang kehidupan sosial dengan memberikan
perhatian lebih kepada relasi antara bahasa yang digunakan dengan obyek
pengalaman. Dengan demikian maka fenomenologi sosial dilandaskan atas ajaran
bahwa interaksi sosial adalah rancang bangun sepanjang di dalamnya memuat
makna yang dapat diungkap.
Sedang makna diperoleh dari kajian fenomenologi didapat tidak dengan
menunggu secara pasif melainkan dengan melakukan konstruksi secara aktif
terhadap tumpukan multi struktur yang diupayakan ditemukan maknanya melalui
bahasa, peneliti fenomenlogis harus berusaha menemukan makna tersebut. Dalam
keseharian, penggunaan bahasa dan tipifikasi selalu menciptakan makna (create a
sense) bahwa dunia kehidupan (life-world) adalah substansial, sehingga
mengungkap makna tidak bisa dilepaskan dari bahasa.
Bahasa jelas merupakan sangat esensial bagi fenomenologi dan hermeneutika.
Kedua disiplin ini tidak mungkin bisa menjalankan perannya tanpa menggunakan
bahasa dalam “program-programnya”.
Fenomenologi dan hermeneutik juga menganggap bahwa pemaknaan linguistik
merupakan watak turunan dari pengalaman yang dihayati. Dalam upaya memahami
fenomena, kesadaran yang selalu tertuju kepada objek menggunakan perangkat-
perangkat perseptualnya (noesis) untuk memperoleh gambaran perseptual yang
lengkap tentang fenomena (noema). Pembentukan gambaran perseptual yang
lengkap itu mensyaratkan perlengkapan linguistik yang memadai untuk melakukan
pengertian, predikasi, hubungan sintaktik dan sebagainya agar gambaran itu dapat
diartikulasikan. Dari sisi hermeneutik, penempatan linguistik sebagai kendaraan
yang digunakan untuk memahami analisis terhadap gambaran perseptual pra-
lingusitik merupakan prinsip yang mendasari proses penafsiran.
Ricoeur (1986) menggunakan analogi sebuah permainan dari pengalaman seni
yang pada dasarnya bukan sesuatu yang bersifat linguistik. Pengalaman seni yang
dimaksud adalah yang mengandung unsur permainan. Ketika seseorang
mendapatkan pengalaman seni, dan suatu waktu ia memamerkan atau
menampilkan pengalaman tersebut. Maka secara tidak langsung, kegiatan
memamerkan pengalaman itu tak bisa dilepaskan dari medium linguistik.
Pengalaman yang ditampilkan dan dipahami oleh penontonnya juga melalui medium
linguistik. Jadi, linguistik merupakan turunan dari pengalaman yang dihayati subjek,
baik sebagai pameran maupun penonton.
Selain bahasa, fenomenologi dan hermeneutika diasumsikan sebagai teori
pengalaman atau teori tentang bagaimana kata-kata berhubungan dengan
pengalaman. Fenomenologi memberikan atensi lebih besar pada sifat pengalaman
yang dihidupkan, sedangkan hermeneutik berkonsentrasi pada masalah-masalah
yang muncul dari interpretasi tekstual tersebut. Keduanya membicarakan objek
sebagai realita yang eksistensinya dimungkinkan dan ditentukan oleh kondisi-kondisi
fisik dan budaya yang melingkupi.
Persamaan lainnya adalah hermeneutik dan fenomenologi terlihat dalam
penggunaan konsep Labenswelt (dunia-kehidupan) dalam fenomenologi, oleh
hermeneutik dipahami sebagai perbendaharaan makna, surplus kesadaran dalam
pengalaman hidup yang memungkinkan objetivikasi dan pemaknaan yang kaya
terhadap fenomena dalam kehidupan manusia. Dengan konsep Labenswelt,
dimungkinkan pengembangan fenomenologi persepsi yang membawa fenomenologi
kepada hermeneutik untuk memahami pengalaman historis.
Hermeneutik dan fenomenologi juga memiliki persamaan yang memungkinkan
subjek untuk memaknai pengalaman yang dihayatinya dan kepemilikannya akan
tradisi historis.
Fenomenologi harus dibiarkan termanifestasi apa adanya tanpa memasukkan
kategori pikiran kita padanya. Seperti kata Husserl dengan menyebutnya dengan
”kembalilah pada realitas itu sendiri”. Dengan kata lain fenomenologi tidak
membiarkan kita untuk mencampur fenomena yang ada dengan pikiran kita, dan
membiarkan fenomena tersebut berbicara apa adanya. Hal ini disebabkan karena
pikiran hanya bersifat teoritis yang terikat oleh pengalaman indrawi yang bersifat
relatif subyektif sedangkan fenomena adalah realitas yang bersifat obyektif. Berbeda
dengan hermeneutika, dalam dalam menjalankan tugasnya hermeneutika harus
memperhatikan sejarah, konteks, prinsip, religius, moral, estetis, konseptual, serta
indrawi. Dengan memperhatikan beberapa kaidah tersebut hasil kajian hermeneutika
akan jauh lebih sempurna.
Jika dilihat dari akar ilmu, fenomenologi dan hermeneutika jelas sangat
berbeda. Fenomenologi merupakan akar dari Philosophy, dengan pertanyaan utama
”apa struktur dan esensi pengalaman atas gejala-gejala ini bagi masyarakat
tersebut?” Sedangkan hermeneutika berakar dari teologi, filsafat, dan kritik sastra,
dengan pertanyaan utama, ”apa kondisi-kondisi yang melahirkan prilaku atau produk
yang dihasilkan yang memungkinkan penafsiran makna?”
Disamping persamaan dan perbedaan, fenomenologi dan hermeneutika juga
mempunyai kekuatan dan kelemahan. Beberapa kekuatan dan kelemahan tersebut
bisa dilihat di bawah ini.
Salah satu kekuatan filsafat fenomenologi adalah fenemenologi sebagai suatu
metode keilmuan dapat mendiskripsikan penomena dengan apa adanya dengan
tidak memanipulasi data, aneka macam teori dan pandangan.
Fenomenologi menekankan upaya menggapai “hal itu sendiri” lepas dari segala
presuposisi. Langkah pertamanya adalah menghindari semu konstruksi, asumsi
yang dipasang sebelum dan sekaligus mengarahkan pengalaman. Tak peduli
apakah konstruksi filsafat, sains, agama, dan kebudayaan, semuanya harus
dihindari sebisa mungkin. Semua penjelasan tidak boleh dipaksakan sebelum
pengalaman menjelaskannya sendiri dari dan dalam pengalaman itu sendiri.
Fenomenologi menekankan perlunya filsafat melepaskan diri dari ikatan historis
apapun—apakah itu tradisi metafisika, epistimologi, atau sains. Program utama
fenomenologi adalah mengembalikan filsafat ke penghayatan sehari-hari subjek
pengetahuan. Kembali ke kekayaan pengalaman manusia yang konkret, lekat, dan
penuh penghayatan.
Kekuatan fenomenologi lainnya adalah dapat mendeskripsikan fenomena
sebagaimana adanya dengan tidak memanipulasi data. Aneka macam teori dan
pandangan yang didapat sebelumnya dalam kehidupan sehari-hari, baik dari adat,
agama, ataupun ilmu pengetahuan harus buang dulu, ini dimaksudkan agar hasil
dalam mengungkap pengetahuan atau kebenaran benar-benar objektif.
Kekuatan lainnya, fenomenologi memandang objek kajian sebagai satu
kesatuan yang utuh, tidak terpisah dari objek lainnya, dengan demikian
fenomenologi menuntut pendekatan holistik, bukan pendekatan partial, sehingga
diperoleh pemahaman yang utuh mengenai objek yang diamati.
Di samping kekuatan, fenomenologi juga tidak lepas dari kelemahan. Salah
satu kelemahannya adalah tujuan dari fenomenologi itu sendiri. Fenomenologi
bertujuan untuk mendapatkan pengetahuan yang murni objektif tanpa ada pengaruh
berbagai pandangan sebelumnya, baik dari adat, agama ataupun ilmu pengetahuan,
merupakan suatu yang absurd. Sebab fenomenologi sendiri mengakui bahwa ilmu
pengetahuan yang diperoleh tidak bebas nilai (value-free), tetapi bermuatan nilai
(value-bound). Hal ini dipertegas oleh Derrida yang menyatakan bahwa tidak ada
penelitian yang tidak mempertimbangkan implikasi filosofis status pengetahuan [24].
Kita tidak dapat lagi menegaskan objektivitas atau penelitian bebas nilai, tetapi harus
sepenuhnya mengaku sebagai hal yang ditafsirkan secara subjektif dan oleh
karenanya status seluruh pengetahuan adalah sementara dan relatif. Sebagai
akibatnya, tujuan penelitian fenomenologis tidak pernah dapat terwujud.
Kelemahan lainnya, fenomenologi memberikan peran terhadap subjek untuk
ikut terlibat dalam objek yang diamati, sehingga jarak antara subjek dan objek yang
diamati kabur atau tidak jelas. Dengan demikian, pengetahuan atau kebenaran yang
dihasilkan cenderung subjektif, yang hanya berlaku pada kasus tertentu, situasi dan
kondisi tertentu, serta dalam waktu tertentu. Dengan ungkapan lain, pengetahuan
atau kebenaran yang dihasilkan tidak dapat digenaralisasi.
Kesimpulan
Dari uraian di atas, kita bisa menarik kesimpulan. Fenomenologi merupakan
suatu metode analisa juga sebagai aliran filsafat, yang berusaha memahami realitas
sebagaimana adanya dalam kemurniannya tanpa perlu “intervensi” oleh apapun dan
siapapun. Terlepas dari kelebihan dan kekurangannya, fenomenologi telah
memberikan kontribusi yang berharga bagi dunia ilmu pengetahuan, mengatasi
krisis metodologi, dan mampu menjadi sebuah disiplin ilmu yang berpengaruh dan
banyak mempengaruhi filsup-fulsup lain di abad 20.
Fenomenologi berusaha mendekati objek kajiannya secara kritis serta
pengamatan yang cermat, dengan tidak berprasangka oleh konsepsi-konsepsi
manapun sebelumnya. Oleh karena itu, oleh kaum fenomenolog, fenomenologi
dipandang sebagai rigorous science (ilmu yang ketat). Hal ini tampaknya sejalan
dengan 'prinsip' ilmu pengetahuan, sebagaimana dinyatakan J.B Connant, yang
dikutip oleh Moh. Muslih, bahwa: "The scientific way of thinking requires the habit of
facing reality quite unprejudiced by and any earlier conceptions. Accurate
observation and dependence upon experiments are guiding principles."
Fenomenologi berusaha memahami budaya lewat pandangan pemilik budaya
atau pelakunya. Ilmu dianggap bukanlah values free, bebas nilai dari apa pun,
melainkan values bound, memiliki hubungan dengan nilai. Beberapa prinsip
fenomenologi adalah: 1. kenyataan ada dalam diri manusia baik sebagai indiividu
maupun kelompok selalu bersifat majemuk atau ganda yang tersusun secara
kompleks, dengan demikian hanya bisa diteliti secara holistik dan tidak terlepas-
lepas; 2. hubungan antara peneliti dan subjek saling mempengaruhi, keduanya sulit
dipisahkan; 3. lebih ke arah pada kasus-kasus, bukan untuk menggeneralisasi hasil
penelitian; 4. sulit membedakan sebab dan akibat, karena situasi berlangsung
secara simultan; 5. inkuiri terikat nilai, bukan values free.
Hermeneutika yang awalnya “hanya” interpretasi terhadap teks-teks kitab suci,
dalam perkembangannya semakin melebarkan sayapnya hingga ke bidang-bidang
lainnya dalam ilmu sosial: filologi, dassein dan pemahaman eksistensial, Interpretasi,
dan sistem penafsiran.
Hermeneutika setidaknya disusun dalam tiga kesatuan yang sangat penting,
yaitu (1) adanya tanda, pesan berita yang kerap berbentuk teks, (2) harus ada
sekelompok penerima yang bertanya-tanya atau merasa “asing” terhadap pesan itu.
(3) adanya perantara atau kurir antara kedua belah pihak.
Ada dua dimensi besar dalam hermeneutika yaitu hermeneutika
intensionalisme dan hermeneutika gadamerian. Kedua saling berbeda dalam
meletakan posisi makna: di “produksi” atau di “pemirsa”.
Fenomenologi dan hermeneutika akhirnya dikawinkan oleh Ricoeur.
Fenemenologi dianggap tidak bisa berdiri sendiri, harus didampingi oleh
hermeneutika. Fenomenologi merupakan asumsi dasar yang “tak tergantikan” bagi
hermeneutika, dan sebaliknya fenomenologi tidak bisa menjalankan programnya
dengan baik jika tidak didukung oleh hermeneutika.
Bahasa merupakan peran yang sangat esensial bagi fenomenologi dan
hermeneutika, melalui bahasa makna sebuah fenomena bisa diinterpretasi dengan
baik.
Terlepas dari kelebihan dan kekurangan, kedua disiplin ilmu ini jika
digabungkan tentu akan akan untuk mendapatkan “efek luar biasa”. Fenomenologi
dan Hermeneutis seperti sepasang suami istri yang ideal untuk “disandingkan”,
mereka saling melengkapi kekurangan masing-masing, dan juga saling
“meninggikan” dengan kelebihan yang dimiliki*** [Derichard H. Putra]
DAFATAR PUSTAKA
Adian, Donny Gahral. 2002. Pilar-pilar Filsafat Kontemporer. Yogyakarta: Jalasutra.
Adian, Donny Gahral. 2005. Percik Pemikiran Kontemporer: Sebuah Pengantar
Komprehensif. Yogyakarta: Jalasutra.
Afandi, Abdullah Khozin. Fenomenologi. Int. (http://akhozinaffandi.blogspot.com /
2010/02/fenomenologi.html/diakses 20 Januari 2011)
Ahimsa-Putra. 1985. Etnosains dan Etnometodologi, Sebuah Perbandingan. Majalah
Ilmu-ilmu Sosial Indonesia, Jilid XII Nomor 2, hlm.103-133. Jakarta: LIPI.
Bleicher, Josef. 2003. Hermeneutika Kontemporer. Yogyakarta: Fajar Pustaka Baru.
Bagus, Lorens. 1996. Kamus Filsafat. Jakarta: Gramedia.
Delgaauw, Bernard. 2001. Filsafat Abad 20, terj. Soejono Soemargono. Yogyakarta: Tiara
Wacana.
Eagleton, Terry. 2006. Teori Sastra: Sebuah Pengantar Komprehensif, terj. Harfiah.
Yogyakarta: Jalasutra.
Hadiwijono, Hasan. 1993. Sari Sejarah Filsafat Barat 2, Cet. Ke 9. Yogyakarta: Kanisius
Jazim Hamidi. 2005. Hermeneutika Hukum. Yogyakarta: UII Press.
Kuswarno, Engkus. Fenomenologi: Metode Penelitian Kualitati. Int.
(http://id.shvoong.com/books/dictionary/1967914-fenomenologi-metode-penelitian-
kualitatif/ diakses tanggal 19 Januari 2010)
Muhadjir, Noeng. 1998. Filsafat Ilmu. Yogyakarta: Reka Sarasin.
Muslih, Moh.. 2005. Filsafat Ilmu: Kajian Atas Asumsi Dasar, Paradigma dan Kerangka
Teori Ilmu Pengetahuan, Yogyakarta: Belukar.
Palmer, Richard E. 2005. Hermeneutika: Teori Baru Mengenai Interpretasi, Terj. Masnur
Heri Damanhuri Muhammad, Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Poespoprodjo, W. 2004. Hermeneutika, Bandung: Pustaka Setia.
Raharjo, Mudjia. 2008. Dasar-dasar Hermeneutika antara Intersionalisme dan
Gadamerian, Jogjakarta: Ar-Ruzmedia.
Raharjo, Mudjia. Hermeneutika. Apa Manfaatnya? (http://mudjiarahardjo.com/ artikel/103-
hermeneutika-apa-manfaatnya.html diakses pada 22 Januari 2011)
Suryaman, Oni. 2005. Hermeneutika, Selayang Pandang. Int.,
(http://id.wordpress.com/tag/hermeneutika/, diakses tanggal 20 Januari 2010)
Sutrisno, et.al.. 2005. Para Filusuf Penentu Gerak Zaman, Yogyakarta: Kanisius.
Sutrisno, Mudji. 2004. “Rumitnya Pencarian Diri Kultural” dalam Hermeneutika
Pascakolonial: Soal Identitas. Mudji Sutrisno dan Hendar Putranto (editor),
Yogyakarta: Yayasan Kanisius.
Supriyono, J. 2004. “Mencari Identitas Kultur Keindonesiaan,” dalam Hermeneutika
Pascakolonial: Soal Identitas. Mudji Sutrisno dan Hendar Putranto (ed.), Yogyakarta:
Yayasan Kanisius.
Titus, 1984. Persoalan-Persoalan Filsafat. Terj. M. Rasyidi, Jakarta: Bulan Bintang.
Wuisman, J.J.J.M. 1996. Penelitian Ilmu-Ilmu Sosial Jilid I: Asas-Asas. Jakarta: Lembaga
Penerbit FE-UI.
[1] Donny Gahral Adian, Percik Pemikiran Kontemporer: Sebuah Pengantar Komprehensif,
Yogyakarta: Jalasutra, 2005, hlm. 151.
[2] Lihat, Richard E. Palmer. Hermeneutika: Teori Baru Mengenai Interpretasi, Terj. Masnur Heri
Damanhuri Muhammad, hal 14-36.
[3] Lihat, Ahimsa-Putra. Etnosains dan Etnometodologi, Sebuah Perbandinga. Hal: 104.
[4] Ibid
[5] Lihat, Sutrisno, Para Filusuf Penentu Gerak Zaman.
[6] Ibid
[7] Lihat, Hasan Hadiwijono. Sari Sejarah Filsafat Barat 2, Cet. Ke 9.
[8] Ibid.
[9] Ibid.
[10] Ibid.
[11] Lihat, Richard E. Palmer, Hermeneutika, Teori Mengenai Interpretasi, (Yogyakarta: Pustaka
Belajar, 2005) 14-16. Lihat juga: Jazim Hamidi, Hermeneutika Hukum, (Yogyakarta: UII Press: 2005)
20.
[12] Hermes adalah anak dari Zeus dan Maia dan merupakan salah satu dewa Olimpus, ia dilahirkan
di Gunung Kellina di Arkadia. Hermes adalah pelindung daerah perbatasan, para pengelana,
gembala, pencuri, penipu, pidato, sastra dan puisi, olahraga, pengukuran, penemuan, dan
perdagangan. Dalam tradisi Yunani nama ini dikenal juga dengan sebutan Mercurius. Di kalangan
Hermeneutika ada juga yang menghungkan Hermes dengan Nabi Idris. Lihat, Adian
Husaini, Hermeneutika dan Tafsir Al-Qur’an, 7.
[13] Dalam mitologi Romawi, Jupiter atau Jove adalah rajapara dewa, dan dewa langit dan petir.
Dalam mitologi Yunani dia dikenal sebagai Zeus. Ia dipanggil Iuppiter (atau Diespiter) Optimus
Maximus ( "Dewa Terbaik dan Terbesar"). Sebagai dewa pelindung Romawi kuno, ia memerintah
hukum dan tatanan sosial. Dia adalah dewa pemimpin dalam Triad Kapitoline bersama istrinya Juno.
Jupiter juga adalah ayah dari dewa Mars dari hubungannya dengan Juno. Oleh karena itu, Jupiter
adalah kakek dari Romulus and Remus, pendiri kota Roma. Jupiter dihormati di agama Romawi kuno,
dan masih dihormati di Neopaganisme Romawi. Ia adalah putra dari Saturnus, saudaranya
adalah Neptunus dan Pluto. Dia juga merupakan suami dari Ceres, saudara dariVeritas, dan ayah
dari Merkurius.
[14] Lihat, Richard E. Palmer, Hermeneutika, Teori Mengenai Interpretasi, 15-16.
[15] Berdasarkan analisis Werner, Hamid Fahmi Zarkasyi membagi sejarah hermeneutika menjadi
tiga fase, yaitu (1) mitologi Yunani ke teologi Yahudi dan Kristen, (2) teologi Kristen yang problematik
ke gerakan rasionalisasi dan filsafat, dan (3) hermeneutika filosofis menjadi filsafat hermeneutika
[16] Lihat, Richard E. Palmer, Hermeneutika, Teori Mengenai Interpretasi, (Yogyakarta: Pustaka
Belajar, 2005) 39-42.
[17] Id. at 43-44
[18] Id. at 44-45
[19] Id. at 46-47
[20] Id. at 45-46
[21] Semua disiplin yang memfokuskan pada pemahaman seni, aksi, dan tulisan manusia.
[22] Lihat, Terry Eagleton. 2006. Teori Sastra: Sebuah Pengantar Komprehensif, hal 88.
[23] Lihat, Mudjia Raharjo, Dasar-dasar Hermeneutika antara Intersionalisme dan Gadamerian, hal
55.
[24] Lihat, Donny Gahral Adian. 2002. Pilar-pilar Filsafat Kontemporer.