You are on page 1of 4

1.

Amniosintesis
Amniosintesis adalah tindakan mengeluarkan cairan amnion yang
mengandung sel-sel janin dan unsur biokimia dari rongga amnion. Pertama
kali dilakukan pada tahun 1880 untuk dekompresi polihidramnion. Pada tahun
1950 amniosintesis menjadi alat diagnostik ketika mulai dilakukan
pengukuran kadar bilirubin dalam cairan amnion untuk memantau
isoimunisasi rhesus. Amniosintesis untuk deteksi kelainan kromosom prenatal
pertama kali dilaporkan pada tahun 1967. Sejak itu amniosintesis diterima
secara luas menjadi metode untuk diagnosis prenatal untuk kelainan
kromosom, penyakit-penyakit yang diturunkan, dan beberapa infeksi
kongenital.3,4
Indikasi utama untuk tindakan amniosintesis adalah pemeriksaan
karyotype janin. Sel-sel dalam cairan amnion berasal dari kulit janin yang
mengalami deskuamasi dan dikeluarkan dari saluran gastrointestinal,
urogenital, saluran pernafasan dan amnion. Sel-sel ini dipersiapkan untuk
analisis pada tahap metafase maupun untuk pemeriksaan FISH. Namun
laboratorium lebih senang bila mendapat sampel dari darah atau villi korialis
karena banyak mengandung DNA yang diperlukan untuk kultur.6
Dahulu cairan amnion juga dipakai untuk pemeriksaan kadar enzym
untuk menentukan adanya gangguan metabolisme dan analisis metabolit untuk
mendeteksi penyakit kistik fibrosis, namun saat ini telah digantikan dengan
pemeriksaan yang lebih akurat yaitu dengan pemeriksaan mutasi DNA yang
bertanggung jawab tehadap kondisi ini.6
Amniosintesis midtrimester untuk pemeriksaan genetik umumnya
dilakukan pada usia kehamilan antara 15-18 minggu. Pada saat itu jumlah air
ketuban sudah memadai (sekitar 150 ml) dan perbandingan antara sel yang
viable dan non viable mencapai rasio terbesar.4,6
Sebelum amniosintesis terlebih dahulu dilakukan pemeriksaan USG
untuk menentukan jumlah janin, konfirmasi usia kehamilan, memastikan
viabilitas janin, deteksi anomali pada janin dan menentukan lokasi plasenta
dan insersi tali pusat serta memperkirakan jumlah air ketuban. Dilakukan
tindakan antisepsis pada kulit perut ibu dan operator memakai sarung tangan
steril. Dengan tuntunan USG, tusukkan jarum ukuran 20-22 pada kantong
amnion yang tidak berisi bagian kecil janin atau tali pusat. Sebaiknya
dilakukan pada daerah fundus untuk mengurangi risiko robekan selaput
ketuban, dan sedapat mungkin menghindari daerah plasenta. Bila terpaksa
harus melakukan tusukan pada daerah plasenta sebaiknya dibantu dengan
color doppler untuk mengidentifikasi pembuluh darah dan lakukan tusukan
pada daerah yang paling tipis jauh dari tepi plasenta. Prosedur ini biasanya
tidak memerlukan anestesi lokal.4,6
Dapat dilakukan dengan teknik “free hand” dimana tangan operator
yang satu memegang tranduser dan tangan lainnya memegang jarum, atau
dapat dipasang pengantar jarum pada tranduser. Cara ini mempunyai
keuntungan karena dapat menghindari gerakan jarum ke arah lateral yang
dapat meningkatkan ukuran tusukan jarum. Cairan amnion yang pertama
diaspirasi dibuang sebanyak 1-2 ml untuk menghindari kontaminasi dengan
sel-sel maternal. Dilakukan aspirasi cairan amnion sebanyak 15 ml ke dalam
tabung untuk analisa sitogenetika.4,6
Bila pada kesempatan pertama gagal untuk mengaspirasi cairan maka
dapat dilakukan pada lokasi lain setelah terlbih dahulu menilai kembali
keadaan janin dan letak plasenta. Tenting pada selaput ketuban atau kontraksi
uterus sering menjadi penyebab kegagalan. Bila tindakan kedua gagal maka
tunda tindakan amniosintesis untuk beberapa hari kemudian, jangan
melakukan dua kali tindakan pada satu kesempatan yang sama.4,6
Walaupun dengan pengalaman selama kurang lebih tiga dekade dengan
amniosintesis midtrimester namun masih sulit untuk menentukan risiko
prosedur ini yang berhubungan dengan abortus. Pada penelitian prospektif,
multisenter yang luas diperkirakan risiko abortus berkisar 0,5 – 1%.
Selain abortus risiko lain pada janin dan ibu juga perlu untuk
dipertimbangkan. Sudah ada laporan mengenai terjadinya scar pada tubuh
janin akibat tusukan jarum namun jarang terjadi. Amniosintesis yang
dilakukan dengan tuntunan USG dapat mengurangi risiko tersebut dan juga
risiko perlukaan yang lain. Komplikasi lain dari amniosintesis midtrimester
meliputi korioamnionitis, robekan selaput ketuban dan perdarahan
pervaginam. Insidens korioamnionitis < 1 per 1000 prosedur, robekan selaput
ketuban terjadi pada 1-2% penderita, namun biasanya sembuh sendiri dan
terjadi reakumulasi cairan dan pada umumnya luaran kehamilan normal.
Insiden perdarahan pervaginam juga sekitar 1% dan berhubungan dengan
ukuran jarum yang dipakai.3,6
Sudah pernah dilaporkan kasus sensitasi pada wanita dengan rhesus
negatif setelah amniosintesis, risikonya sekitar 1%. Risiko ini dapat dikurangi
dengan menghindari pendekatan transplasenta, memakai jarum berukuran
kecil dan pemberian anti-D immunoglobulin intramuskuler sesudah tindakan
amniosintesis terhadap pasien Rh-negatif yang belum tersensitasi.6
Amniosintesis dini adalah amniosintesis yang dilakukan pada usia
kehamilan sebelum 15 minggu (11-14 minggu). Kesulitan teknisnya lebih
besar karena jumlah air ketuban belum banyak dan fusi antara amnion dan
korion belum sempurna sehingga sering menyebabkan tenting pada selaput
ketuban. Selain itu targetnya lebih kecil, uterus belum berbatasan dengan
dinding perut sehingga meningkatkan kemungkinan perlukaan pada usus atau
masuknya kuman dari usus ke uterus.3,4
Tindakan amniosintesis dini dilakukan dengan maksud untuk
melakukan diagnosis prenatal yang lebih dini dan menjadi tindakan alternatif
untuk pemeriksaan villi korialis yang tekniknya relatif lebih sulit dan
mempunyai lebih banyak komplikasi. Dengan tuntunan USG dilakukan
pengambilan cairan amnion sebanyak 10-12 ml. Walaupun jumlah sel yang
terambil lebih sedikit namun persentasi sel yang viable lebih besar dibanding
dengan pada usia kehamilan yang lebih lanjut. Keberhasilan kultur pada
kehamilan 12-14 minggu lebih dari 95% dengan waktu panen rata-rata 12 hari
(1-2 lebih lama ) daripada kehamilan 16 minggu. Dibanding dengan CVS,
amniosintesis dini mempunyai frekuensi kontaminasi sel maternal dan
mosaicsm yang lebih rendah.6
Beberapa penelitian melaporkan peningkatan risiko abortus pada
tindakan amniosintesis dini dibanding dengan amniosintesis midtrimester dan
CVS, namun Johnson dkk tidak menemukan adanya perbedaan kejadian
abortus antara kelompok amniosintesis dini dan midtrimester. Penelitian lain
di Kanada menemukan perbedaan yang bermakna pada kejadian abortus (7,6%
vs 5,9%), robekan selaput ketuban (3,5% vs 1,7%) dan deformitas tulang,
khususnya talipes equinovarus (1,4% vs 0,4%) antara kelompok amniosintesis
dini dan midtrimester, sehingga peneliti ini menganjurkan untuk tidak
melakukan amniosisntesis dini kecuali tidak ada alternatif lain.4,6

You might also like