You are on page 1of 26

JOURNAL READING

Swallowing Mechanics Associated with Artificial Airways, Bolus


Properties, and Penetration-Aspiration Status in Trauma Patients
Mekanis Menelan Terkait dengan Jalan Nafas Buatan, Sifat
Bolus, dan Status Penetrasi-Aspirasi pada Pasien Trauma

Diajukan sebagai salah satu syarat dalam menjalani Kepaniteraan Klinik


Departemen Ilmu THT

Disusun oleh :
Nike Dwi Putri Lestari 1620221176
Pembimbing :
dr. M. Setiadi, Sp.THT-KL, Msi, Med

KEPANITERAAN KLINIK ILMU TELINGA HIDUNG TENGGOROK


FAKULTAS KEDOKTERAN UPN “VETERAN” JAKARTA
RUMAH SAKIT UMUM DAERAH AMBARAWA
2017
LEMBAR PENGESAHAN
JOURNAL READING

“Swallowing Mechanics Associated with Artificial Airways, Bolus Properties, and


Penetration-Aspiration Status in Trauma Patients”

Diajukan sebagai salah satu syarat dalam menjalani Kepaniteraan Klinik


Departemen Ilmu Telinga Hidung Tenggorok RSUD Ambarawa

Disusun oleh :
Nama : Nike Dwi Putri Lestari
FK : Universitas Pembangunan Nasional Veteran Jakarta
NRP : 1620221176

Telah disetujui oleh Pembimbing,

dr. M. Setiadi, Sp.THT-KL, Msi, Med

Tanggal: November 2017

2
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT karena atas berkat dan
rahmat-Nya penulis dapat menyelesaikan jurnal reading ini selesai pada waktunya.
Journal reading ini diajukkan untuk memenuhi salah satu syarat ujian Kepaniteraan
Klinik Telinga Hidung Tenggorok.
Penyusunan journal reading ini terselesaikan atas bantuan dari banyak
pihak yang turut membantu. Untuk itu dalam kesempatan ini penulis
menyampaikan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada dr. M. Setiadi, Sp.THT-
KL, Msi, Med selaku pembimbing serta kepada teman-teman di kepaniteraan klinik
Telinga Hidung Tenggorok atas kerjasamanya selama penyusunan makalah ini.
Semoga journal reading ini dapat bermanfaat baik bagi penulis sendiri,
pembaca maupun bagi semua pihak-pihak yang berkepentingan.

Ambarawa, 2 November 2017

Penulis

3
Mekanis Menelan Terkait dengan Jalan Nafas Buatan, Sifat
Bolus, dan Status Penetrasi-Aspirasi pada Pasien Trauma

Angela M. Dietsch, Christopher B. Rowley, Nancy Pearl Solomon, and William G. Pearson, Jr.

Tujuan: Prosedur jalan nafas buatan seperti intubasi dan trakeotomi adalah terapi
yang biasa dilakukan pada pasien dengan trauma, dan modifikasi bolus mungkin
diimplementasikan untuk membantu kelainan menelan. Studi ini menilai status
jalan nafas buatan, sifat bolus (volume dan viskositas), dan terjadinya penetrasi
laring dan/ atau aspirasi terkait mekanisme menelan.

Metode: Koordinat anatomi penting diekstrasi minimal dan ekskursi hyolaringeal


maksimal dari 228 videofluoroskopik studi menelan yang mewakili 69 anggota U.S
military service dengan trauma disertai disfagia. Morfometrik kanonik variat dan
analisis regresi menilai hubungan antara mekanis menelan dan sifat bolus
berdasarkan dari jalan nafas buatan dan status penetrasi-aspirasi.

Hasil: Perbedaan signifikan anatara mekanis menelan dideteksi antara extubasi dan
trakeotomi (D=1.32, p < 0.0001), extubasi dengan dekanulasi (D=1.74, p < 0.0001),
dan dekanulasi dan trakenotomi (D=1.24, p < 0.0001) analisis fungsi diskriminan
kelompok per post hoc. Sub-kelompok trakeotomi in situ dan dekanulasi
menunjukan peningkatan ekstensi kepala/ leher dan relokasi posterior laring.
Mekanis menelan yang berhubungan dengan (a) status penetrasi-aspirasi dan (b)
sifat bolus yang cukup berkaitan untuk sub-kelompok ekstubasi dan dekanulasi,
tetapi tidak untuk sub-kelompok trakeotomi, analisis regresi per morfometrik.

Kesimpulan: Perbedaan spesifik dalam mekanis menelan terkait status jalan nafas
buatan dan suatu sifat bolus dapat menjadi panduan intervensi terapetik pada trauma
disertai disfagia.

4
Disfungsi menelan adalah sekuel yang sering terjadi pada trauma dan tipe
politrauma yang terjadi pada anggota military service yang bekerja aktif (Solomon,
Dietsch, Dictrich-Bums, Styrmisdottir, & Armao, 2016). Bahkan gangguan-
gangguan kecil pada waktu, amplitudo, atau koordinasi dari pergerakan menelan
dapat mengarah kepada penetrasi atau aspirasi dari bolus padat atau cair ke dalam
jalan nafas (Arms, Dines, & Tinstman, 1974), yang berasosiasi dengan konsekuensi
serius untuk penderitanya. Individu yang aspirasi 11 kali lebih rentan untuk
berkembang menjadi pneumonia aspirasi dibandingkan dengan orang yang tidak
aspirasi (Martino et al., 2005). Gangguan menelan dapat juga terjadi karena
malnutrisi, perawatan di rumah sakit dalam waktu lama, dan mortalitas yang
meningkat (Kozlow, Berenholtz, Garrett, Dorman, & Pronovost, 2003; Macht et al.,
2011). Karena menelan adalah proses fisiologis yang kompleks, dimana banyak
factor dependen dan independen yang berasosiasi dengan gangguan menelan.

Pada pasien dengan trauma, penyebab utama dari gangguan menelan


meliputi, deficit sensorineural, kerusakan jaringan, disfungsi neuron yang mengatur
proses tersebut (Brown et al., 2011; Butler et al., 2011; Choi, Ryu, Kim, Kang, &
Yoo, 2011; Ding & Logemann, 2005; Jung et al., 2012). Faktor-faktor sekunder,
terutama pemasangan jalan nafas buatan (intubasi orotrakeal atau trakeotomi) dan
penurunan kondisi karena perawatan di rumah sakit dalam waktu lama, adalah
faktor yang memungkinkan berkontribusi untuk risiko penetrasi-aspirasi dan fungsi
menelan (Bordon et al., 2011; Brown et al., 2011; Ding & Logemann, 2005; Jung
et al., 2012; Moraes, Sassi, Mangilli, Zilberstein, & de Andrade, 2013;
Rassameehiran, Klomjit, Mankongpaisarnrung, & Rakvit, 2015; Skoretz, Flowers,
& Martino, 2010; Skoretz, Yau, Ivanov, Granton, & Martino, 2014; Solomon et al.,
2016). Beberapa studi mengatakan bahwa durasi dari intubasi berkorelasi dengan
insidensi disfungsi menelan (Barker, Martino, Reichardt, Hickey, & Ralph-
Edwards, 2009; Bordon et al., 2011; Brodsky et al., 2014; Brown et al., 2011;
DeVita & Spierer-Rundback, 1990; Kwok, Davis, Cagle, Sue, & Kaups, 2013;
Skoretz et al., 2010, 2014) dan frekuensi aspirasi (Ajemian, Nirmul, Anderson,
Zirlen, & Kwasnik, 2001; Ceriana et al., 2015; El Solh, Okada, Bhat, & Pietrantoni,
2003; Leder, Cohn, & Moller, 1998). Akan tetapi, kurangnya data menganai
mekanis menelan yang mendasari disfungsi terkait riwayat intubasi endotrakeal

5
yang membuat tenaga medis hanya memiliki sedikit panduan mengenai intevensi
awal pada target populasi ini (Skoretz et al., 2014). Hubungan antara trakeotomi
dan disfunsi menelan kurang didefiniskan, dengan beberapa yang studi menunjukan
hubungan antara adanya saluran trakeotomi dan disfagia/ aspirasi (Ding &
Logemann, 2005; Elpern, Scott, Petro, & Ries, 1994; Jung et al., 2012; Terk, Leder,
& Burrell, 2007; Tolep, Getch, & Criner, 1996), dimana yang lain tidak menemukan
hubungan antara trakeotomi dan resiko aspirasi atau kinematis menelan (Kang,
Choi, Yun, Kim, & Ryu, 2012; Leder, Joe, Ross, Coelho, & Mendes, 2005; Leder
& Ross, 2010; Sharma et al., 2007). Sebagai tambahan, insidensi tinggi dari silent
aspiration pada pasien setelah ekstubasi atau trakeotomi mensugestikan bahawa
adanya hubungan antara riwayat jalan nafas buatan dan intergrasi sensori, yang
dapat juga mempengaruhi modulasi kortikal dari mekanis menelan (Ding &
Logemann, 2005; Elpern et al., 1994; Leder et al., 1998). Jadi, temuan pada literatur
mengenai hubungan antara status jalan nafas buatan dan fungsi menelan adalah bias,
dan hubungan sebab tidak didemonstrasikan. Cedera awal, intervensi medis, dan
faktor penyembuhuan berkontribusi pada resiko aspirasi; sayangnya, hal tersebut
tidak dipertimbangkan dan dapat menjadi bagian dari rehabilitasi disfagia.
Sebaliknya, resiko aspirasi yang mungkin dapat diubah untuk memanipulasi
beberapa aspek dari mekanisme menelan dan sifat bolus. Mekanis menelan
mungkin dapat dimodifikasi cepat dengan menggunakan manuver menelan
(misalnya, menelan dengan effort) atau dengan latihan yang lebih lanjut (misalnya,
untuk meningkatkan ekskursi hyolaringeal). Perubahan dalam mekanis menelan ini,
seperti yang direpresentasikan oleh pengukuran kinetik yang terkait perubahan dari
resiko aspirasi (Choi et al., 2011; Molfenter & Steele, 2014; Steele et al., 2011;
Steele & Cichero, 2014). Akan tetapi, strategi ini mungkin mempunyai beberapa
keterbatasan efektivitas pada fase akut dalam pemulihan trauma, saat efek kognitif
dari cedera dan medikasi dapat mengintervensi implentasi. Pada situasi ini, kontrol
kompensasi eksternal seperti modifikasi sifat bolus dapat berhasil. Beberapa
investigasi mengkonfirmasi bahwa aspirasi lebih mungkin terjadi pada volume
besar, kepekatan rendah dari bolus (Butler et al., 2010; Leder, Suiter, & Green,
2011; Steele et al., 2015). Masih terdapat pertanyaan terbuka mengenai apakah
resiko aspirasi adalah dimitigasi oleh sifat intrinsic bolus, seperti kelekatan bolus

6
atau apakah ada perbedaan pada respon mekanisme menelan pada sifat bolus yang
dapat mempromosikan menelan yang lebih aman untuk pasien dengan jalan nafas
buatan.
Dua perkembangan terkini menunjukkan bahwa untuk medalami
pertanyaan berkaitan dengan efek jalan nafas buatan dan manipulasi sifat bolus.
Pertama, pengumpulan database multidimensi dari seluruh rekam medis dari lebih
dari 200 anggota U.S military service yang terkena trauma yang menyebabkan
disfagia. Analisis Bayesian Belief Network (BBN) dari database mengungkapkan
bahwa intubasi atau trakeostomi awal untuk evaluasi menelan adalah variable kunci
untuk memprediksi hasil saat keluar dari rumah sakit (Dietsch, Dietrich-Burns, &
Solomon, 2016; Solomon et al., 2016). Hal ini mendasari penjelasi lebih lanjut
mengenai efek jalan nafas buatan pada mekanis menelan. Kedua, dilakukan
Computational Analysis of Swallowing Mechanics (CAMS) menunjukan bahwa
untuk mengatasi tantangan yang berhubungan dengan efek dari faktor internal dan
eksternal dari kelompok otot kovarian yang mengganggu hyoid, laring, faring, dan
dasar lidah. Dengan CASM dapat dilakukan analisis multivariate dari kovarian
kompleks yang terkait dengan variabel independen multivariat seperti, status
penetrasi-aspirasi, riwayat jalan nafas, dan sifat bolus (Pearson, Taylor, Blair, &
Martin-Harris, 2016). Jadi, CASM memberikan evaluasi lebih lanjut mengenai
bagaimana mekanis menelan faring dan variabel lain berinterkasi untuk
memfasilitasi atau menjalankan keamanan menelan.
Studi ini meneliti fungsi menelan secara kohort pada anggota U.S military
service yang mendapatkan trauma yang mengakibatkan disfagia. Pada identifikasi
BBN dari status jalan nafas buatan sebagai asosiasi utama dari hasil menelan,
CASM digunakan untuk menilai hubungan kontribusi status jalan nafas, kepekatan/
volume bolus, dan status penetrasi-aspirasi dengan mekanisme menelan. Kami
menghipoteisikan bahwa tidak ada hubungan antara mekanis menelan dan riwayat
jalan nafas (H1) dan mekanis menelan terkait dengan sifat bolus dapat memprediksi
mekanis terkait status penetrasi-aspirtasi (H2), mengindikasikan bahwa mekanisme
menelan merepon sifat bolus.

7
Metode
Peserta
Gambar dari videofluoroscopic swallowing studies (VFSSs) dan data medis
dikumpulkan sebagai bagian dari database proyek lebih besar yang dibiayai
Departemen Pertahanan mencari sifat, manajemen, dan jalur gangguan menelan
sebagai hasil dari trauma pada anggota military service (Solomon et al., 2016).
Peserta yang dimasukkan kedalam database jika mereka mendapatkan luka trauma
saat perang dan diadmisikan ke Walter Reed Army Medical Center (WRAMC),
National Naval Medical Center (NNMC), atau Walter Reed National Military
Medical Center (WRNMMC) antara 2004-2014 (WRAMC dan NNMC
dikonsolidasi untuk membentuk WRNMMC pada tahun 2011), dan jika mereka
dirujuk untuk evaluasi disfagia selama dirawat. Dari 215 kasus yang masuk
kedalam database, 69 peserta dengan arsip rekaman satu atau lebih VFFSs
dimasukkan ke penelitian ini. CASM menggunakan VFSSs dilakukan dengan
kerjasama dengan Augusta University (AU). Dewan tinjauan institusi di
WRNMMC dan AU menyetejui proyek dan informed consent didapatkan unutk
peserta yang masuk antara tahun 2012 dan 2014. Persetujuan yang diabaikan
dikeluarkan oleh dewan tinjauan institusi untuk kasus yang masuk secara
retrospektif.
Semua peserta adalah laki-laki, konsisten dengan Departemen Pertahanan
kebijakan untuk personil militer tempur dikerahkan selama periode pengumpulan
data. Semua telah diintubasi atau trakeotomi pasca trauma karena jenis trauma dan/
atau karena imobilisasi untuk transportasi jauh dari medan tempur ke WRAMC/
NNMC/ WRNMMC. Saat VFSS, semua pasien yang sebelumnya diintubasi (n=34)
diekstubasi. Pasien yang ditrakeotomi (n=35), 15 pasien masih mempunyai saluran
trakeotomi, 18 pasien sudah didekanulasi, dan dua menjalanni VFSSs yang terpisah
sebelum dan setelah dekanulasi. Pada kebanyakan kasus retrospektif, tidak
dijelaskan di rekam medis apakah pasien yang ditrakeotomi mempunyai tutup atau
katup bicara pada saat VFSS. Usia rata-rata peserta penelitian ini adalah 29.1 tahun
(SD umur 7.6 tahun, kisaran umur 19.7-43.1 tahun).

8
Prosedur
Para peneliti di WRNMMC meninjau catatan medis retrospektif untuk
mengekstrak informasi untuk database. Selama perawatan klinis, VFSSs dilakukan
oleh speech-language pathologists (SLPs) dan ahli radiologi merekam dan
diarsipkan. Dokter menghadiri yang menentukan pengaturan fluoroskopik dan
memberikan bolus, yang sudah ditermasuk cair encer, madu, madu, puding, dan
konsistensi padat (Varibar product line; Bracco Imaging, Monroe Township, NJ)
dalam jumlah berbeda-beda menurut prosedur klinis yang standar. Percobaan
menelan dipilih dari rekaman yang diarsipkan untuk pengukuran biomekanis.
Peneliti memotong rekaman lengkap VFSS menjadi beberapa rekaman
menalan dalam tampilan lateral (Ulead VideoStudio 11, Corel, Ottawa, Ontario,
Canada). Pada semua kasus rekaman VFSS lengkap dengan peserta dan tanggal,
minimal terdapat percobaan 5 mL cairan encer dan satu pudding 5 mL dimasukkan.
Apabila lebih dari satu percobaan dengan tipe bolus tertentu (misalnya, 5 mL cairan
encer) terdapat di dalam satu rekaman VFSS, percobaan yang memiliki kualitas
gambar terbaik dipiliih untuk disegmentasi. Kualitas gambar ditentukan dari
kejelasan visual dari anatomi yang penting, kontras, posisi kepala/ badan, ketepatan
waktu fluroskopi untuk merekam kejadian menelan (misalnya, apabila fluroskopi
merekam loncatan hyoid awal atau puncak ekskursi dari hyoid). Percobaan menelan
tambahan diikutsertakan dalam analisis jika dihilangkan salah satu langkahnya,
volume atau konsistensi dari 5 mL cairan encer atau percobaan pudding dan juga
merepresentasikan perbahan pada status penetrasi-aspirasi dibandingkan dengan 5
mL cairan encer atau percobaan puding. Contoh, jika pasien tidak aspirasi saat
percobaan 5 mL cairan encer tapi aspirasi pada 10 mL cairan encer (kenaikan
volume selanjutnya sesuai standar protokol fasilitas unutk administrasi bolus), 10
mL cairan encer juga diikutsertakan, sedangkan jika pasien tidak aspirasi pada
kedua percobaan, hanya percobaan 5 mL yang dimasukkan. Dengan cara yang sama,
jika penetrai laringeal diobservasi dengan 5 mL cairan encer tapi tidak dengan 5
mL nektar, percobaan 5 mL nektar diikutsertakan dalam analisis. Dengan kriteria
ini, klip dengan total 228 buah diikutsertakan dalam analisis, merepresentasikan
rata-rata 2.6 (kisaran 1-6) klip adalah VFSS rekaman lengkap.

9
Peneliti SLP dengan lebih dari 15 tahun pengalaman menginterpretasikan
VFSSs (penulis pertama) menetapkan skala penetrasi-aspirasi (PAS; Rosenbek,
Robbins, Roecker, Coyle, & Wood, 1996) dengan skor dari 1 (tidak ada gangguan
jalan nafas) sampai 8 (silent aspiration) untuk masing-masing kejadian menelan.
Sepuluh persen (n=23) dari klip yang secara acak dipilih untuk penilaian ulang oleh
penilai asli dan peneliti SLP berpengalaman lainnya (penulis ketiga). Koefisien
korelasi intra-kelas diterima penilai intra- dan inter- dengan tingkat reabilitas 0.999
dan 0.916 secara berurutan. Pada analisis selanjutnya, skor-skor tersebut dibagi
dalam dua kategori sebagai berikut: skor 1-2 ditinjau normal secara fungsional, dan
skor 3-8 diindikasikan sebagai terjadinya petrasi dan/ atau aspirasi. Sebagai
tambahan, masing-masing kejadian menelan dinilai berdasarkan Modifies Barium
Swallow Impairment Scale (MBSImP; Martin-Harris et al., 2008) oleh dua peneliti
SLP yang beersertifikasi untuk menggunakannya. Enam komponen dari MBSImP,
inisiasi dari respon menelan faringeal (berkisar dari 0 [bolus terdapat di ramus]
sampai 4 [tidak ada inisiasi dari respon faringeal]), yang dijadikan marker untuk
kelainan sesori karena hal tersebut merupakan cerminan dasar dari reaksi tubuh
terhadap keberadaan bolus. Nilai komponen 0 – 1 dedefinisikan secara operasional
sebagai berfungsi normal (n=153 klip menelan), sedangkan nilai 2- 4 didefinisikan
sebagai kelainan sensori (n=75 klip), mengurangi variable sampai dua tingkat.
Kelompok peneliti lain, mahasiswa kedokteran di AU,mengekstrasi data
biomekanikal dari video klip setelah dilatih dan demonstrasi real=bilitas (penilai
inter r > 0.95 untuk semua koordinat saat dibandingkan dengan penilai ahli [penulis
keempat]). Penilai tidak diberitahu mengenai informasi pasien dan skor PAS.
Metode pemetaan koordinat menggunakan marker pemindahan dokumen untuk
analisis ini yang tekah dideskripsikan oleh Thompson et al. (2014). Secara singkat,
ini melibatkan tinjauan mengenai masing-masing percobaan menelan
menggunakan perangkat lunak pengolahan gambar yang diaplikasikan pada key
frame dalam setiap kejadian menelan (ImageJ; rasband, 2012). Dengan
membandingkan bagian anatomi penting saaat istirahat dan perpindahan maksimal
sebagaimana yang dideskripsikan di bawah, kejadian biomekanikal dinormalisasi
pada setiap peserta.

10
Thompson et al. (2014) menspesifikasi sembilan koordinat batasan anatomi
mandubula, spina nasal, tiga vertebrae, spingter esofagus atas, aspek kartilago
krikoid posterior dan anterior, dan tulang hyoid. Sebagai tambahan, studi ini
memasukkan koordinat yang ke-10 berlokasi di dasar valleculae untuk
mengindikasi asal dari basis dari lidah (Pearson et al., 2016). Ke 10 bagian anatomi
penting ini mendokumentasikan aksi dari kelompok otot yang merubah hyoid,
laring, basis lidah, pemendekan faring, dan postur kepala dan leher (lihat Gambar
1). Untuk menangkap ekskursi menelan minimal, ke 10 marker koordinat
diletakkan pada lokasi anatomi dalam satu frame pre-menelan. Dalam setiap klip,
frame ini dipilih dari mulainya stage pendorong oral. Untuk ukuran ekskursi
maksimal, marker diletakan dalam frame yang paling relevan terkait pergerakan
struktur. Contohnya, di dalam frame yang menangkap ekskursi maksimal hyoid,
marker 1 – 5 (merepresentasikan frame rangka dari otot menelan) dan 9
(merepresentasikan tanduk anterior dari tulang hyoid) yang dipindahkan ke posisi
barunya. Frame dari elevasi maksimal laring dan bagian atas bukaan sfingter
esofagus dicari satu-satu, dan marker yang pas dipindahkan ke posisi baru untuk
memverifikasi lokasi marker 1 – 5 untuk menjamin kestabilan posisi kepala pasien.
Untuk kasus dengan menelan multiple diharuskan untuk membersihkan bolus,
semua pengukuran yang diambil sejak menelan pertama. Proses ini menyebabkan
dua pasang dari 10 koordinat dari masing-masing 228 klip menelan.

Gambar 1. Bagian anatomi penting untuk analisa komputerisasi dari


mekanis menelan. 10 bagian anatomi digunakan untuk

11
memetakan aksi otot yang memnyebabkan pergerakan hyoid
(#9), elevasi laring (#7, #8), retraksi basis lidah (#10
ditempatkan pada bagian anterior valleculae), pemendekan
faringeal (#6), dan posisi kepala dan leher (#1 – 5). Koordinat
merepresentasikan berbagai macam elemen dari mekanik
menelan faringeal yang dianotasikan pada ekskursi minimal
dan maksimal dari bagian yang mewakili proses menelan
orofaringeal dalam studi menelan yang di pre-rekor dengan
videofluroskopik.

Terdapat 228 klip yang dikategorikan menjadi beberapa parameter yang


ditunjukkan dalam Tabel 1. Dalam bagian status jalan nafas buatan, terdapat saluran
trakeotomi in situ pada 43 klip dan yang sudah didekanulasi pada 73 klip; pada 107
klip lainnya adalah pasien dengan riwayat intubasi dan bukan trakeotomi terkait
trauma. Sekitar 2/3 dari 228 klip menggunakan bolus kecil (n=157), dan lebih dari
setengahnya menggunakan bolus cairan encer (n=127). Mayoritas (n=130)
percobaan menelan adalah dalam batas fungsi normal (PAS = 1, 2), sedangkan
sisanya (n=98) menunjukkan adanya penetrasi atau aspirasi laringeal (PAS = 3-8).

Tabel 1. Tabel frekuesi kategorik dari variable independen yang diikutsertakan


dalam analisis morfometrik.
Variabel/ tingkatan n
Status ekskursi menelan dari hyoid, lairng, faring dan basis lidah
Minimal (awal dorongan stage oral) 228
Maksimal (puncak ekskursi saat stage faringeal) 228
Status jalan nafas buatan
Ekstubasi 214
Dekanulasi 86
Trakeotomi in situ 156
Volume bolus
Kecil (≤ 5 mL) 314
Besar (> 5 mL) 142

12
Kepekatan bolus
Rendah (cairan encer) 254
Tinggi (nektar, madu, puding, atau pekat) 202
Status penetrasi-aspirasi
Dalam batas normal (PAS 1 - 2) 260
Penetrasi-aspirasi (PAS 3 – 8) 196
Catatan. Untuk setiap 228 kejadian menelan dari 72 VFFSs, dua pasang koordinat
diekstrasikan (total N=556 pasang koordinat).
PAS = Skala skor penetrasi-aspirasi

Analisis
Koordinat-koordinat dan semua variabel kategorik (ekskursi, status
penetrasi-aspirasi, riwayat jalan nafas, volume bolud, dan kepekatan bolus) disusun
dengan Excel macros yang diimpor ke dalah perangkat lunak analisis komputerisasi
terintegrasi (MorphoJ; Klingenberg, 2011). Pertama, dimasukkan 456 pasang
koordinat yang dilakukan untuk mengontrol ukuran peserta, rotasi kepala, dan
orientasi gambar (Klingenberg 2011).
Analisis canonical variate (CV) menentukan kontribusi hubungan antara
masing-masing variabel kategorik. Tidak ada outliner yang diidentifikasi pada
statistic, yang dapat menjadi tanda adanya pemetaan koordinat yang salah. Analisis
mengindentifikasi bahwa CV pertama, ekskursi menelan minimal dan maksimal
(CV1) terhitung 66.02% dari variansi morfologik. Kelompok jalan nafas buatan
(CV2) terhitng 8.61% dari variansi. CV3, terhitung 6.07% dari variansi, yang paling
berasosiasi dengan volume bolus, sedangkan CV4, terhitung 5.64% dari variansi,
yang paling berasosiasi dengan kepekatan bolus. CV5 terhitung 3.81% dari variansi,
yang diidentifikasi sebagai ada/ tidaknya penetrasi-aspirasi.
Melanjuykan analisis pendahuluan untuk mengkonfirmasi riwayat jalan
nafas sebagai kovariat yang relevan pada mekanis menelan, H1 ditujukkan oleh
beberapa analisis fungsi diskrminan post hoc (komparatif berpasangan) untuk
memeriksa perbedaan mekanik antara tingkatan status jalan nafas buatan dari 228
klip menelan. Untuk H2, beberapa bagian klip menelan yang berasosisasi dengan

13
bolus yang cenderung merepresentasikan resiko tinggi (>5 mL kepekatan cairan
encer) dan resiko rendah (≤ 5 mL dari kepakatan nektar atau lebih kental) menjalani
regresi morfometrik (sama dengan value r dan r2) menilai mekanik yang berasosiasi
dengan sifat bolus sebagai prediktor dari mekanis penetrasi-aspirasi. Regresi ini
dilakukan untuk setiap kohort jalan nafas untuk mengontrol dari dampak riwayat
jalan nafas pada morfologi. Untuk kelompok yang diekstubasi, 23 bolus resiko
tinggi dan 50 bolus resiko rendah dianalisis; 22 dari angka tersebut, yang semua
berasal dari kelompok bolus resiko tinggi, menunujukkan adanya penetrasi atau
aspirasi. Kelompok regresi trakeotomi termasuk ke dalamnya 25 bolus resiko tinggi
dan 28 bolus resiko rendah dengan 26 menelan normal dan 27 menelan penetrasi-
aspirasi. Kelomok regresi dekanulasi yang terdiri dari 15 bolus resiko tinggi dan 15
bolus resikorendah dengan 20 menelan normal dan 10 menelan penetrasi-aspirasi.
Hubungan antara status kelainan sensori, status penetrasi-aspirasi, dan riwayat jalan
nafas dinilai dengan tabel kontingensi three-way dengan integrase sensori dan
status PAS didasari riwayat jalan nafas.

Hasil
Analisis fungsi post hoc diskriminan menujukan H1 memperlihatkan
perbedaan signifikan antara morfologi yang berasosiasi dengan semua status
tingkatan jalan nafas: ekstubasi versus trakeotomi (mahalanobis D = 1.32, p <
0.0001), ekstubasi versus dekanulasi (D = 1.74, p < 0.0001), dan dekanulasi versus
trakeotomi (D = 1.24, p < 0.0001). Seperti yang diindikasikan oleh eigenvectors di
Gambar 2, kelompok dekanulasi dan trakeotomi mendemonstrasikan ekstensi lebih
dari kepala dan leher dan perubahan posisi posterior laring saat kejadian menelan
dibandingkan dengan kelompok ekstubasi, dengan mekanis kelompok dekanulasi
berlebihan. Kelompok trakeotomi menunjukkan posisi rendah hyolaringeal pada
kedua ekskursi minimal dan maksimal dibandingkan dengan kelompok dekanulasi
(lihat Gambar 2).

14
Gambar 2. Perbedaan dalam morfologi riwayat jalan nafas.
Superimposed eigenvectors pada setiap bagian anatomi
merefleksikan besar dan arah dari variasi rata-rata dari
biomekanik menelan untuk setiap kelompok jalan nafas
buatan. Peserta yang ditrakeotomi dan dekanulasi
menunujukkan posisi ekstensi lebih kepala dan leher dan
posisi lebih posterior laryngeal dibandingkan dengan
peserta yang diekstubasi seperti yang diilustrasikan oleh
garis yang menggubungkan bagian rangka untuk setiap
kohort jalan nafas. Dibandingkan dengan pasien
trakeotomi, pasien dekanulasi memiliki penurunan
retraksi basis lidah, posisi lebih rendah dari hyoid minimal,
dan peningkatkan eleveasi hyolaringeal, pemendekakan
faring, dan ekstensi kepala dan leher.

Analisis regresi status penetrasi-aspirasi mekanik pada mekanik resiko


bolus dalam setiap kohort jalan nafas (H2) menghasilkan hubungan signifikan yang
prediktif dalam kelompok ekstubasi (lihat Gambar 3A; koefisien regresi = -44,
prediksi variansi = 16.96%, p < 0.0001) dan kelompok dekanulasi (lihat Gambar
3B; koefisien regresi -33, prediksi variansi = 21.84%, p < 0.0001). Data yang

15
mengindikasi sifat bolus beresiko tinggi diprediksi dari penetrasi-aspirasi pada
kelompok ini. Untuk kelompok trakeotomi, analisis regresi morfometrik
menunnujukkan bahwa hubungan mekanik dengan resiko bolus bukan mekanik
prediktif terkaut status penetrasi-aspirasi (lihat Gambar 3C; koefisien regresi 0.23,
prediksi variasi = 3.58%, p = 0.05). Berikut data indikasi tren dari sifat bolus resiko
rendah yang memprediksi penetrasi-aspirasi yang tidak mencapai signifikasi
statistika.
Tabel kontingensi mengindentifikasi bahwa ketikat riwayat jalan nafas
terkontrol secara statistika, menelan terkait kelainan sensori dalam resiko yang
lebih besar untuk penterasi-aspirasi dibandingkan dengan mereka yang waktu
respon faring mensugestikan adanya integrasi sesorimotorik intak (G2 = 17.12, p <
0.0001). Kelainan sensori maupun kelompok penetrasi-aspirasi tidak berinteraksi
secara signifikan dengan riwayat jalan nafas (kelainan sensori, G2 = 2.52, p = 0.28).
Uji post hoc lebih jauh menggunakan uji Kruskal-Wallis mengkonfirmasi bahwa
tidak ada perbedaan signifikan pada waktu respon faringeal yang diukur dengan
MBSImP skoring 6 komponen antara kelompok riwayat jaln nafas (H = 2.41, p =
0.18).

16
Gambar 3. Hubungan antara morfologi terkait resiko bolus dan status
penetrasi-aspirasi untuk riwayat jalan nafas buatan. Analisis
regresi morfometrik mengindikasi hubungan prediktif antara
mekanik terkait dengan tipe bolus resiko tinggi (rendah
viskocitas, tinggi volume) dan mekanik terkait dengan
penetrasi-asosiasi pada kelompok ekstubasi (A) dan
dekanulasi (B), secara berurutan. Pada kelompok trakeotomi
(C), analisis regresi morfometrik tidak menunujukkan
hubungan antara resiko sifat bolus dan petrasi-aspirasi. WFL
= within functional limits (dalam batas normal).

Diskusi
Pada studi kohort dari pasien cedera trauma, hasil analisis mekanik menelan
pada umumnya menunjang hipotesis. Riwayat jalan nafas, diidentifikasi sebagai
asosiasi primer dari hasil menelan dalam analisis database komprehensif pada
populasi yang sama (Dietsch et al., 2016; Solomon et al., 2016), dihitung untuk

17
perbedaan dasar dalam mekanik menelan pada ketiga kohort jalan nafas (H1). Satu
area perbedaan spesifik untuk perubahan posterior laryngeal dan ekstensi kepala
dan leher pada pasien yang sedang dan sebelumnya pernah di trakeotomi
dibandingkan dengan pasien ekstubasi. Mungkin kombinasi dari saluran trakeotomi
dan perpanjangan periode dalam posisi semi berbaring untuk pasien perawatan
menyebabkan ekstensi leher dan perubahan posterior laring yang menetap bahkan
ketika pasien didudukan tegak untuk VFSS. Penjelasan mungkin yang lain dari
penemuan tanda-tanda yang sama pada perubahan posterior laring dalam pasien
dengan tanda kelainan menelan-respirasi (Martin-Harris et al., 2015; McFarland,
Lund, & Gagner, 1994; Tran, Martin-Harris, & Pearson 2016). Saluran trakeotomi
(dan penyebab kompromi respirasi yang membutuhkan saluran) dapat berkontribusi
pada perubahan koordinasi menelan-respirasi, untuk itu pasien trakeotomi dan
dekanulasi mencoba untuk mengkompensasi secara spontan dengan perubahan
posisi laring. Pada literature sebelumnya yang menjelaskan mengenai kinematic
menelan dan trakeotomi tidak terdapat penjelasan posisi leher saat menelan (Ding
& Logemann, 2005; Jung et al., 2012; terk et al., 2007) jadi hal tersebut masih
belum diketahui apakah hal ini dapat berkontribusi untuk disparitas dalam laporan
mengenai efek trakeotomi saat pergerakan menelan, keamann, dan hasil fungsional.
Studi pasien trakeotomi termasuk data fase respirasi-menelan, akan sangan
membantu untuk menjelaskan pertanyaan ini.
Perbedaan yang berkaitan dengan jalan nafas dalma fisiologi menelan
meluas ke variabel terkait bolus dipertimbangkan dalam analisis ini, secara umum
mendukung H2. Mekanik menelan berhubungan dengan sifat bolus resiko tinggi
(volume besar, kepekatan rendah) adalah prediktif mekanik menelan berkaitan
dengan penetrasi-aspirasi pada kelompok ekstubasi dan dekanulasi, tetapi tidak
pada kelompok trakeotomi. Penemuan ini mendukung dan meluaskan penjelasan
literature bahwa resiko aspirasi dapat dimitigasi dengen memanipulasi kepekatan
dan/ atau volume bolus pada beberapa pasien. Penemuan VFSS sebelumnya pada
pasien dengan disfagia teridentifikasi penurunan dalam prevalem=nsi dan resiko
aspirasi dengan konsistensi bolus yang lebih pekat dibandingkan dengan barium
cair encer (Clavé et al., 2006; Kuhlemeier, Palmer, & Rosenberg, 2001; Leonard,
White, McKenzie, & Belafsky, 2014; Rofes, Arreola, Mukherjee, Swanson, &

18
Clavé, 2014). Bahkan, frekuensi kejadian aspirasi yang didokumentasi via
endoskopi fiberoptik evaluasi menelan pada orang dewasa sehat memiliki volume
bolus kecil (5-10 mL) yang lebih rendah dibandingkan dengan volume besar (20
mL) (Butler et al., 2010). Keterbatasan bukti mengenai perubahan komponen motor
dari fase oral menelan (terutama lidah-ke-tekanan palatum) dalam merespon
konsistensi bolus yang telah dicampur (Steele, Molfenter, Peladeau-Pigeon,
Polacco, & Yee, 2014; Vickers et al., 2015), meninggalkan pertanyaan apakah resio
aspirasi dimitagasi dengan hanya merubah dinamika cairan atau interaksi yang
lebih kompleks dengan fisiologi menelan. Hasil saat ini menunujukkan secara
langsung gap ini dengan menyediakan bukti kuantitatif dari perubahan mekanik
pada fase respon faringeal dengan berabagai macam sifat bolus pada kelompok
ekstubasi dan dekanulasi. Hubungan prediktif antara mekanik sifat bolus dan
mekanik penetrasi-aspirasi memberi kesan bahwa resiko aspirasi tidak hanya
dipengaruhi oleh faktor-faktor terkait aliran dan kohesi bolus, tapi juga oleh respon
sensorimotor pada sifat bolus. Hal ini dikonfirmasi oleh hubungan yang kuat antara
status kelainan sensori dan status aspirasi-penetrasi yang tidak berasosiasi dengan
kohort jalan nafas tertentu. Hasil ini memberi bukti awal yang lebih jauh untuk
manipulasi sifat bolus sebagai intervensi neurorehabilitatif untuk disfagia sebagai
tambahan untuk strategi kompesantori untuk mencegah aspirasi pada kejadian
menelan tertentu.
Kohort trakeotomi berbeda dari dua kelompok lain dalam berbagai cara
relatif untuk hipotesis penelitian. Pertama, adanya saluran trakeotomi diasosiakan
dengan posisi hyolaringeal lebih rendah dibandingkan dengan peserta dekanulasi
dan ekstubasi. Hal ini menyetujui beberapa analisis kinematik dari fungsi menelan
berbagai kondisi trakrotomi multipel (contoh, secepatnya sebelum atau setelah
pemasangan atau dekanulasi, balon dikembangkan/ dikempiskan)
mendeskripsikanreduksi dalam ekskursi hyolaringeal terkait trakeotomi (Ding &
Logemann, 2005; Jung et al., 2012; Terk et al., 2007). Kedua, respon motor
kelompok ini pada sifat bolus resiko tinggi versus resiko rendah tidak terdapat
signifikan statistika dalam prediksi mekanik yang menyebabakan status penetrasi-
aspirasi pada kelompok trakeotomi, dan hubungan keseluruhannya miring ke arah
berlawanan dari dua kelompok yang lain (lihat Gambar 3A-C). Kelompok

19
trakeotomi tidak merespon sifat bolus dalam cara kompensantori efektif dalam
mekanik menelan. Ketiga, menelan dari kelomok trakeotomi memiliki resiko yang
dihubungkan dengan kelainan sensori seperti pada kelompok ekstubasi, tapi lebih
cenderung menunjukkan kelaianan sensori dan penetrasi-aspirasi bersamaan
dibandingkan dengan menelan dari kelompok jalan nafas lain. Hal tersebut
memperlihatkan bahwa saluran merubah kapasitas tubuh untuk merespon sifat
bolus kareena keterbatasan fisik pada kebebasan pergerakan yang ada, masalah
intergrasi sensorimotor, atau keduanya. Jadi, hasil ini menyampaikan bahwa
kebutuhan untuk dan/ atau adanya saluran trakeotomi merubah mekanik menelan
di cara yang tidak sama dengan dekanulasi. Unutk lebih jelas, hal ini tidak
mengindikasi adanya peningkatan resiko aspirasi karena adanya saluran trakeotomi
atau semua pasien serupa akan medapatkan manfaat dari modifikasi bolus. Sebagai
gantinya, hal itu menyarankan untuk orang dengan trakeotomi, nilai potensial
utama dari perubahan sifat bolus dapat menjadi strategi kompensatori spesifik
untuk arus dan kohesi sifat bolus tersebut. Orang yang diekstubasi dan dekanulasi
mungkin mendapat hal yang sama dari modifkasi arus/ kohesi bolus sebagai strategi
koompensatori, dan mereka mendapatkan keuntungan rehabilitative tambahan dari
perbaikan mekanik menelan yang merespon perubahan sifat bolus (H2).
Analisis penjelasan tambahan dari data studi mengungkapkan penumuan
kedua yang mungkin unik untuk studi kohort ini. Sebagai contoh, semua kelompok
jalan nafas buatan menunujukkan tanda-tanda tipikal dari mekanik menelan
(pergerakan hyoid, eleveasi laring, pemendekan faring, dan retraksi basis lidah) dari
ekskursi minimal ke maksimal. Hal ini mengindikasi bahwa pasien trakeotomi pada
studi kohort ini dapat mengatasi berbagai efek dari saluran untuk mendapatkan
fisiologi menelan yang mendekati normal. Mengingat status mereka sebagai
anggota militer aktif, muda, sehat, dan pemeriksaan kesehatan lain yang dapat
memperbaiki trauma dan efek jalan nafas buatan dalam menelan dibandingkan
dengan orang biasa. Peserta studi ini juga diambil dari rumah sakit militer yang
terbatas dengan standar operasional prosedur yang sama, protocol klinis ini
mendikte bahwa VFSSs terjadi dalam beda (dan kemungkinan lebih konsisten) titik
kesebuhan dibandingkan dengan rumah sakit umum biasa.

20
Penemuan penjelasan tidak terduga yan lain adalah analisis regresi post hoc
menunjukkan tidak ada hubungan prediktif antara status jelan nafas dan penetrasi-
aspirasi (koefisien regresi = 0.01, prediksi variansi = 0.05%, p = 0.64). Hasil ini
menggaris bawahi meskipun perbedaan terkait jalan nafas pada mekanik menelan,
fungsi dan dampak klins dari perbedaan tersebut terabaikan pada studi dengan
sample terbatas ini. Daripada, kejadian penetrasi-aspirasi yang dikaitkan pada
reduksi dalam pergerakan menelan apapun riwayat jalan nafasnya. Meskipun
rencana terapi individu berdasarkan penilaian instrumen menelan dan data
morfometrik spesifik pasien lebih menjadi pilihan, kenyataan klinis pada beberapa
kasus atau kondisi, terapi awal diinisiasi sementara evaluasi instrumen ditunda.
Pada situasi ini, latihan umum, misalnya menelan nonbolus, untuk menyamakan
tanda umum deficit pada mekanik menelan yang diobservasi disini dan dapat
menjadi pendekatan yang baik sampai menelan dapat divisulisasikan secara
instrument dan rencana yang cocok bias dikembangkan.
Dasar dari analisis retrospektif ini memcegah inklusi dari faktor-faktor yang
dapat relevan pada mekanik menelan dan harus dieksplorasi lebih jauh lagi pada
penelitian kedepannya. Secara virtual pasien cedera trauma pada studi kohort ini
adalah yang terluka di zona perang, dan mereka disedasi dan intubasi untuk
menjaga kenyamanan selama transport. Hal mencegah inklusi dari kohort pada
pasien tidak diintubasi/ trakeotomi dengan cedera, usia, dan tingkat kebugaran yang
sama. Karena dokumentasi berkala tidak menangkap apakah katup bicara atau cap
trakeotomi ada saat dilakukan VFSS, analisis ini tidak menjelaskan efek dari
mekanik menelan ini. Seperti pada kasus dengan pasien trauma tanpa trauma wajah
masif, kebanyakan pasien pada akhirnya akan dilakukan trakeotomi akan dilaberi
intubasi juga pada suatu periode insial, dan hal ini tidak dimasukan kedalam
variabel berbeda. Beberapa peserta memiliki trauma otak, beberapa memiliki
trauma maxillofacial (MFT), dan beberapa mempunyau keduanya atau keduanya
bukan merupakan riwayat cedera mereka. Suatu analisis kohort pada database yang
lebih besar mengungkapkan bahwa MFT diasosiasikan dengan rujukan awal untuk
evaluasi menelan, kelainan menalan yang lebih parah, dan disfagia yang
berkepanjangan dibandingkan dengan mereka yang tidak MFT, sedangkan cedera
otak tidak diasosiasikan dengan perbedaan signifikan secara spesifik pada ukuran

21
non-CASM (Dietsh et al., 2016). Faktor-faktor seperti durasi penggantian jalan
nafas buatan, waktu antara ekstubasi/ dekanulasi/ trakeotomi dan VFSS, dan tipe/
ukuran dari saluran trakeotomi ditentukan oleh klinisi dan bervariasi dari peserta ke
peserta. Sebagai tambahan, anggota militer yang muda dan memiliki kebugaran
tinggi dalam analisis ini bukan representatif dari pasien yang trauma di rumah sakit
umum. Usia yang lebih tua secara independen berkaitan dengan perubahan yang
tidak menguntungkan fitur biomekanik dari menelan (Leonard, Kendall, &
McKenzie, 2004; Logemann et al., 2000; Logemann, Pauloski, Rademaker, &
Kahrilas, 2002). Dan peningkatan resiko aspirasi pada orang dengan riwayar
intubasi sebelumnya (Bordon et al., 2011; Kwok et al., 2013; Skoretz et al., 2014).
Sebagai tambahan, kekuatan tangan diduga berkorelasi dengan fungsi menelan
(Butler et al., 2011; Hathaway et al., 2015), dukungan lebih jauh yang dimasukan
dalam studi kohort ini mungkin lebih memiliki kapasitas untuj kompensasi untuk
efek cedera, jalan nafas buatan, manipulasi bolus dibandingkan dengan indivudu
yang berusia lanjut dan lemah. Meskipun begitu, CASM berguna untuk
mengindentifikasi perbedaan signifikan dalam biomekanik menelan terkait dengan
kelompok riwayat jalan nafas. Set data yang lebih besar memungkinkan untuk lebih
memahami dampak dari faktor tambahan pada mekanik faring menggunakan
CASM pada studi kedepannya.
Hasil dari investigasi studi ini membantu mengkalrifikasi dan memperluas
pengetahuan mengenai mekanik menelan faringeal terkait riwayat jalan nafas
buatan, sifat bolus, dan status penetrasi-aspirasi pada pasien dengan trauma.
Dampak trakeotomi pada mekanik menelan, meskipun belum jelas apakah adaptasi
postur laryngeal dan ekstesi kepala/ leher sebagai maladaptasi atau kompensasi.
Kaarena analisis post hoc gagal menunujukkan apakah perbedaan yang terkait jalan
nafas ini adalah prediktif untuk status penetrasi-aspirasi, hasil ini hanya
menganjurkan target terapai awal sampai pasien dapat berpastisipasi dalam
pemeriksaan intrumen untuk rencana manajemen yang lebih tepat. Terlebih, hasil
menyarankan bahwa untuk beberapa populasi, sifat bolus dapat berkontribusi untuk
perubahan meruhikan atau menguntungkan pada mekanik menelan di luar mitigasi
langsung aspirasi. Dengan demikian, modifikasi bolus dapat memberikan potensial
kompensatori maupun rehabilitative pada beberapa pasien dengan disfagia dengan

22
memperbaiki kontribusi arus/ kohesi bolus dan respon sensorimotor. Kuntitafikasi
dari efek cedera dan variabel intervensi pada menelan dapat ditingkaatkan dengan
menggunakan CASM untuk mengalisis dan memvisualisasi beberapa elemen dari
mekanik menelan yang direkam dengan VFSS dan menjanjikan utnuk memperbaiki
manajemen disfagia lebih jauh dalam jajaran klinisi.

Referensi
Ajemian, M. S., Nirmul, G. B., Anderson, M. T., Zirlen, D. M., & Kwasnik, E. M. (2001).
Routine fiberoptic endoscopic evaluation of swallowing following prolonged intubation:
Implications for management. Archives of Surgery, 136, 434–437. Arms, R. A., Dines, D. E.,
& Tinstman, T. C. (1974). Aspiration
pneumonia. Chest, 65, 136–139.
Barker, J., Martino, R., Reichardt, B., Hickey, E. J., & Ralph- Edwards, A. (2009). Incidence
and impact of dysphagia in patients receiving prolonged endotracheal intubation after cardiac
surgery. Canadian Journal of Surgery, 52, 119–124.
Bordon, A., Bokhari, R., Sperry, J., Testa, D., IV, Feinstein, A., & Ghaemmaghami, V. (2011).
Swallowing dysfunction after prolonged intubation: Analysis of risk factors in trauma patients.
The American Journal of Surgery, 202, 679–683.
https://doi.org/10.1016/j.amjsurg.2011.06.030
Brodsky, M. B., Gellar, J. E., Dinglas, V. D., Colantuoni, E., Mendez-Tellez, P. A., Shanholtz,
C., . . . Needham, D. M. (2014). Duration of oral endotracheal intubation is associated with
dysphagia symptoms in acute lung injury patients. Journal of Critical Care, 29, 574–579.
https://doi.org/10.1016/j.jcrc.2014.
02.015
Brown, C. V., Hejl, K., Mandaville, A. D., Chaney, P. E., Stevenson, G., & Smith, C. (2011).
Swallowing dysfunction after mechanical ventilation in trauma patients. Journal of Critical
Care, 26(1), 108.e9–e13. https://doi.org/10.1016/j.jcrc.2010.05.036
Butler, S. G., Stuart, A., Leng, X., Rees, C., Williamson, J., & Kritchevsky, S. B. (2010).
Factors influencing aspiration during swallowing in healthy older adults. The Laryngoscope,
120, 2147–2152. https://doi.org/10.1002/lary.21116
Butler, S. G., Stuart, A., Leng, X., Wilhelm, E., Rees, C.,Williamson, J., & Kritchevsky, S. B.
(2011). The relationship of aspiration status with tongue and handgrip strength in healthy older
adults. The Journals of Gerontology, Series A: Biological Sciences and Medical Sciences, 66,
452–458. https://doi.org/10.1093/gerona/glq234
Ceriana, P., Carlucci, A., Schreiber, A., Fracchia, C., Cazzani, C., Dichiarante, M., . . . Nava,
S. (2015). Changes of swallowing function after tracheostomy: A videofluoroscopy study.
Minerva Anestesiologica, 81, 389–397.
Choi, K. H., Ryu, J. S., Kim, M. Y., Kang, J. Y., & Yoo, S. D. (2011). Kinematic analysis of
dysphagia:Significant parameters of aspiration related to bolus viscosity. Dysphagia, 26, 392–
398. https://doi.org/10.1007/s00455-011-9325-5
Clavé, P., de Kraa, M., Arreola, V., Girvent, M., Farré, R., Palomera, E., & Serra-Prat, M.
(2006). The effect of bolus viscosity on swallowing function in neurogenic dysphagia.

23
Alimentary Pharmacology and Therapeutics, 24, 1385–1394. https://doi.org/10.1111/j.1365-
2036.2006.03118.x
DeVita, M. A., & Spierer-Rundback, L. (1990). Swallowing disorders in patients with
prolonged orotracheal intubation or tracheostomy tubes. Critical Care Medicine, 18, 1328–1330.
Dietsch, A. M., Dietrich-Burns, K. E., & Solomon, N. P. (2016). Dysphagia outcomes after
combat-related maxillofacial traumatic injuries [Abstract]. Dysphagia, 31, 816.
https://doi.org/10.1007/s00455-016-9752-4
Ding, R., & Logemann, J. A. (2005). Swallow physiology in patients with trach cuff inflated or
deflated: A retrospective study. Head & Neck, 27, 816. https://doi.org/10.1002/hed.20248
Elpern, E. H., Scott, M. G., Petro, L., & Ries, M. H. (1994). Pulmonary aspiration in
mechanically ventilated patients with tracheostomies. Chest, 105, 563–566.
El Solh, A., Okada, M., Bhat, A., & Pietrantoni, C. (2003). Swallowing disorders post
orotracheal intubation in the elderly. Intensive Care Medicine, 29, 1451–1455.
https://doi.org/10.1007/s00134-003-1870-4
Hathaway, B., Baumann, B., Byers, S., Wasserman-Wincko, T., Badhwar, V., & Johnson, J.
(2015). Handgrip strength and dysphagia assessment following cardiac surgery. The
Laryngoscope, 125, 2330–2332. https://doi.org/10.1002/lary.25175
Jung, S. J., Kim, D. Y., Kim, Y. W., Koh, Y. W., Joo, S. Y., & Kim, E. S. (2012). Effect of
decannulation on pharyngeal and laryngeal movement in post-stroke tracheostomized patients.
Annals of Rehabilitation Medicine, 36, 356–364. https://doi.org/10.5535/arm.2012.36.3.356
Kang, J. Y., Choi, K. H., Yun, G. J., Kim, M. Y., & Ryu, J. S.(2012). Does removal of
tracheostomy affect dysphagia? Akinematic analysis. Dysphagia, 27, 498–503.
https://doi.org/10.1007/s00455-012-9396-y
Klingenberg, C. P. (2011). MorphoJ: An integrated software package for geometric
morphometrics. Molecular Ecology Resources, 11, 353–357. https://doi.org/10.1111/j.1755-
0998.2010.02924.x
Kozlow, J. H., Berenholtz, S. M., Garrett, E., Dorman, T., & Pronovost, P. J. (2003).
Epidemiology and impact of aspiration pneumonia in patients undergoing surgery in Maryland,
1999–2000. Critical Care Medicine, 31, 1930–1937.
https://doi.org/10.1097/01.CCM.0000069738.73602.5F
Kuhlemeier, K. V., Palmer, J. B., & Rosenberg, D. (2001). Effect of liquid bolus consistency
and delivery method on aspiration and pharyngeal retention in dysphagia patients. Dysphagia,
16, 119–122.
Kwok, A. M., Davis, J. W., Cagle, K. M., Sue, L. P., & Kaups, K. L. (2013). Post-extubation
dysphagia in trauma patients: It’s hard to swallow. The American Journal of Surgery, 206, 924–
927; discussion 927–928. https://doi.org/10.1016/j.amjsurg.2013.08.010
Leder, S. B., Cohn, S. M., & Moller, B. A. (1998). Fiberoptic endoscopic documentation of the
high incidence of aspiration following extubation in critically ill trauma patients. Dysphagia,13,
208–212.
Leder, S. B., Joe, J. K., Ross, D. A., Coelho, D. H., & Mendes, J. (2005). Presence of a
tracheotomy tube and aspiration status in early, postsurgical head and neck cancer patients.
Head & Neck, 27, 757–761. https://doi.org/10.1002/hed.20239
Leder, S. B., & Ross, D. A. (2010). Confirmation of no causal relationship between tracheotomy
and aspiration status: A direct replication study. Dysphagia, 25, 35–39.
https://doi.org/10.1007/s00455-009-9226-z
Leder, S. B., Suiter, D. M., & Green, B. G. (2011). Silent aspiration risk is volume-dependent.
Dysphagia, 26, 304–309. https://doi.org/10.1007/s00455-010-9312-2

24
Leonard, R., Kendall, K. A., & McKenzie, S. (2004). Structural displacements affecting
pharyngeal constriction in nondysphagic elderly and nonelderly adults. Dysphagia, 19, 133–
141.
Leonard, R. J., White, C., McKenzie, S., & Belafsky, P. C. (2014). Effects of bolus rheology
on aspiration in patients with dysphagia. Journal of the Academy of Nutrition and Dietetics,
114, 590–594. https://doi.org/10.1016/j.jand.2013.07.037
Logemann, J. A., Pauloski, B. R., Rademaker, A. W., Colangelo, L. A., Kahrilas, P. J., & Smith,
C. H. (2000). Temporal and biomechanical characteristics of oropharyngeal swallow in younger
and older men. Journal of Speech, Language, and Hearing Research, 43, 1264–1274.
Logemann, J. A., Pauloski, B., Rademaker, A. W., & Kahrilas, P. J. (2002). Oropharyngeal
swallow in younger and older women: Videofluoroscopic analysis. Journal of Speech,
Language, and Hearing Research, 45, 434–445.
Macht, M., Wimbish, T., Clark, B. J., Benson, A. B., Burnham, E. L., Williams, A., & Moss,
M. (2011). Postextubation dysphagia is persistent and associated with poor outcomes in
survivors of critical illness. Critical Care, 15(5), R231. https://doi.org/10.1186/cc10472
Martino, R., Foley, N., Bhogal, S., Diamant, N., Speechley, M., & Teasell, R. (2005).
Dysphagia after stroke: Incidence, diagnosis, and pulmonary complications. Stroke, 36, 2756–
2763. https://doi.org/10.1161/01.STR.0000190056.76543.eb
Martin-Harris, B., Brodsky, M. B., Michel, Y., Castell, D. O., Schleicher, M., Sandidge, J., . . .
Blair, J. (2008). MBS measurement tool for swallow impairment—MBSImP: Establishing a
standard. Dysphagia, 23, 392 405. https://doi.org/10.1007/s00455-008-9185-9
Martin-Harris, B., McFarland, D., Hill, E. G., Strange, C. B., Focht, K. L., Wan, Z., . . .
McGrattan, K. (2015). Respiratoryswallow training in patients with head and neck cancer.
Archives of Physical Medicine and Rehabilitation, 96, 885–893.
McFarland, D. H., Lund, J. P., & Gagner, M. (1994). Effects of posture on the coordination of
respiration and swallowing. Journal of Neurophysiology, 72, 2431–2437.
Molfenter, S. M., & Steele, C. M. (2014). Kinematic and temporal factors associated with
penetration–aspiration in swallowing liquids. Dysphagia, 29, 269–276.
https://doi.org/10.1007/s00455-013-9506-5
Moraes, D. P., Sassi, F. C., Mangilli, L. D., Zilberstein, B., & de Andrade, C. R. (2013). Clinical
prognostic indicators of dysphagia following prolonged orotracheal intubation in ICU patients.
Critical Care, 17(5), R243. https://doi.org/10.1186/cc13069
Pearson, W. G., Jr., Taylor, B. K., Blair, J., & Martin-Harris, B. (2016). Computational analysis
of swallowing mechanics underlying impaired epiglottic inversion. The Laryngoscope, 126,
1854–1858.https://doi.org/10.1002/lary.25788
Rasband, W. (2012). ImageJ. Bethesda, MD: National Institutes of Health. Rassameehiran, S.,
Klomjit, S., Mankongpaisarnrung, C., & Rakvit, A. (2015). Postextubation dysphagia.
Proceedings (Baylor University Medical Center), 28(1), 18–20.
Rofes, L., Arreola, V., Mukherjee, R., Swanson, J., & Clavé, P. (2014). The effects of a xanthan
gum-based thickener on the swallowing function of patients with dysphagia. Alimentary
Pharmacology and Therapeutics, 39, 1169–1179. https://doi.org/10.1111/apt.12696
Rosenbek, J. C., Robbins, J. A., Roecker, E. B., Coyle, J. L., & Wood, J. L. (1996). A
Penetration–Aspiration Scale. Dysphagia, 11, 93–98.
Sharma, O. P., Oswanski, M. F., Singer, D., Buckley, B., Courtright, B., Raj, S. S., . . . Gandaio,
A. (2007). Swallowing disorders in trauma patients: Impact of tracheostomy. The American
Surgeon,
73, 1117–1121.

25
Skoretz, S. A., Flowers, H. L., & Martino, R. (2010). The incidence of dysphagia following
endotracheal intubation: A systematic review. Chest, 137, 665–673.
https://doi.org/10.1378/chest.09-1823
Skoretz, S. A., Yau, T. M., Ivanov, J., Granton, J. T., & Martino, R. (2014). Dysphagia and
associated risk factors following extubation in cardiovascular surgical patients. Dysphagia, 29,
647–654. https://doi.org/10.1007/s00455-014-9555-4
Solomon, N. P., Dietsch, A.M., Dietrich-Burns, K. E., Styrmisdottir, E. L., & Armao, C. S.
(2016). Dysphagia management and research in an acute-care military treatment facility: The
role of applied informatics. Military Medicine, 181(5. Suppl), 138–144.
https://doi.org/10.7205/MILMED-D-15-00170
Steele, C.M., Alsanei, W. A., Ayanikalath, S., Barbon, C. E., Chen, J., Cichero, J. A., . . . Wang,
H. (2015). The influence of food texture and liquid consistency modification on swallowing
physiology and function: A systematic review. Dysphagia, 30, 2–26.
https://doi.org/10.1007/s00455-014-9578-x
Steele, C. M., Bailey, G. L., Chau, T., Molfenter, S. M., Oshalla, M., Waito, A. A., & Zoratto,
D. C. (2011). The relationship between hyoid and laryngeal displacement and swallowing
impairment. Clinical Otolaryngology, 36, 30–36. https://doi.org/10.1111/j.1749–
4486.2010.02219.x
Steele, C. M., & Cichero, J. A. (2014). Physiological factors related to aspiration risk: A
systematic review. Dysphagia, 29, 295–304. https://doi.org/10.1007/s00455-014-9516-y
Steele, C. M., Molfenter, S. M., Peladeau-Pigeon, M., Polacco, R. C., & Yee, C. (2014).
Variations in tongue-palate swallowing pressures when swallowing xanthan gum-thickened
liquids. Dysphagia, 29, 678–684. https://doi.org/10.1007/s00455-014-9561-6
Terk, A. R., Leder, S. B., & Burrell, M. I. (2007). Hyoid bone and laryngeal movement
dependent upon presence of a tracheotomy tube. Dysphagia, 22, 89–93.
https://doi.org/10.1007/s00455-006-9057-0
Thompson, T. Z., Obeidin, F., Davidoff, A. A., Hightower, C. L., Johnson, C. Z., Rice, S. L., . . .
Pearson, W. G., Jr. (2014). Coordinate mapping of hyolaryngeal mechanics in swallowing.
Journal of Visualized Experiments, (87). https://doi.org/10.3791/51476
Tolep, K., Getch, C. L., & Criner, G. J. (1996). Swallowing dysfunction in patients receiving
prolonged mechanical ventilation. Chest, 109, 167–172.
Tran, T. T. A., Martin-Harris, B., & Pearson, W. G., Jr. (2016). Improvements resulting from
respiratory-swallow phase training visualized in patient-specific computational analysis of
swallowing mechanics. Computer Methods in Biomechanics and Biomedical Engineering:
Imaging & Visualization, 1–7. https://doi.org/10.1080/21681163.2016.1152567
Vickers, Z., Damodhar, H., Grummer, C.,Mendenhall, H., Banaszynski, K., Hartel, R., . . .
Robbins, J. (2015). Relationships among rheological, sensory texture, and swallowing pressure
measurements of hydrocolloid thickened fluids. Dysphagia, 30, 702–713.
https://doi.org/10.1007/s00455-015-9647-9

26

You might also like