You are on page 1of 20

LAPORAN PRAKTIKUM FITOKIMIA

IDENTIFIKASI SENYAWA GOLONGAN SAPONIN, TRITERPENOID, DAN STEROID


(Ekstrak Sapindus rarak DC)

Nama : Annisa Fitri Nuzulia

NIM : 201410410311246

Kelas : Farmasi A

Dosen Pembimbing : - Drs. Herra Studiawan, M.Si.,Apt.

- Siti Rofida, M.Farm.,Apt

SEMESTER GENAP TAHUN AKADEMIK 2016/2017


PROGRAM STUDI FARMASI
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MALANG

FEBRUARI 2017
1.1 Tujuan
Mahasiswa mampu melakukan identifikasi senyawa golongan glikosida saponin,
triterpenoid dan steroid dalam tanaman

1.2 Tinjauan Pustaka


1.2.1 Tinjauan pustaka tentang tanaman Sapindus rarak DC

Menurut taksonominya, Sapindus rarak diklasifikasikan dalam:

Kingdom : Plantae
Subkingdom : Tracheobionta
Superdivisi : Spermatophyta
Divisi : Magnoliophyta
Kelas : Magnoliopsida
Subkelas : Rosidae
Ordo : Sapindales
Famili : Sapindaceae
Genus : Sapindus
Spesies : Sapindus rarak DC Gambar 1. Sapindus rarak DC

Tanaman lerak atau Sapindus rarak merupakan tumbuhan famili Sapindaceae dengan
nama daerah lerak, rerak atau lerek. Tanaman ini berupa pohon dan mampu tumbuh pada
dataran tinggi maupun rendah. Bagian yang digunakan dari lerak adalah buahnya dengan
kandungan saponin dan minyak lemak yang bersifat sebagai pembunuh serangga.
Tanaman lerak termasuk tumbuhan berukuran besar dengan tinggi dapat mencapai 42
m dan diameter batang sekitar 1 m. Daun berbentuk oval, perbungaanya majemuk, malai
terdapat di ujung batang dan berwarna putih kekuningan. Buahnya berbentuk bundar
seperti kelereng dapat dimanfaatkan sebagai pengganti sabun untuk mencuci berbagai
macam kain seoerti dalam industri batik karena tanaman ini buahnya mengandung
saponin. Selain sebagai pencuci kain batik di Jawa biasa juga digunakan untuk mencuci
perhiasan yang terbuat dari logam mulia, sebagai pembersih muka guna menghilangkan
jerawar dan dapat digunakan sebagai obat penyakit kulit terutama penyakit kudis.. Buah
yang tua berwarna cokelat kehitaman dengan permukaan buah yang licin dan mengkilap.
Bijinya bundar dan berwarna hitam, daging buahnya sedikit berlendir, dan mengeluarkan
aroma wangi. Kayunya sangat ringan dan biasa digunakan sebagai papan cor, batang
korek api dan kerajinan dari kayu. Kulit batang dapat digunakan sebagai pembersih
rambut. Dalam bidang pertanian dapat digunakan sebagai insektisida (serangga) dan
nematisida terutama cacing tanah. Sementara khasiat farmakologiknya antara lain adalah
sebagai antijamur, bakterisid, anti radang, anti spasmodinamik, peluruh dahak, dan
diuretik.
Buah lerak terdiri dari 75% daging buah dan 25% biji. Pada penelitian Nunik SA
disebutkan bahwa senyawa, alkaloid, steroid, dan triterpen yang dikandung oleh buah
lerak secara berurutan adalah, 1%, 0,036%, dan 0,029%. Bagian daging buah banyak
mengandung saponin yaitu sekitar 38% yang merupakan racun yang cukup kuat. Selain
racun, buah lerak juga mengandung sekitar 26% sejenis minyak yang tidak mudah
mengering yang terdiri dari gliserida, asam palmitat dan asam.

1.2.2 Tinjauan Pustaka tentang Senyawa yang terkandung

Triterpenoid

Gambar 2. Struktur Kimia Triterpenoid


Triterpenoid adalah senyawa yang kerangka karbonnya berasal dari enam satuan
isoprene dan secara biosintesis diturunkn dari hidrokarbon C30 asiklik, yaitu skualena.
Senyawa ini berstruktur siklik yang nisbi rumit, kebanyakan berupa senyawa tidak
berwarna, berbentuk kristal, seringkali titik leleh tinggi dan aktif optik, yang umumnya
sukar dicirikan karena tidak ada kereaktifan kimianya. Saponin triterpenoin dapat
dibedakan dalam tiga golongan yang diwakili oleh α-amirin, β-amirin, dan lupeol.
Menurut Harbone (1987) senyawa triterpenoid dapat dibagi menjadi empat golongan
yaitu triterpen sebenarnya, saponin, steroid dan glikosida jantung.
a. Triterpen sebenarnya
Berdasarkan jumlah cincin yang terdapat dala struktur molekulnya triterpen
sebenarnya dapat dibagi atas:
- Triterpen asiklik yaitu triterpen yang tidak mempunyai cincin tertutup pada
struktur molekulnya. Contoh:skualena
- Triterpen trisiklik adalah triterpen yang mempunyai tiga cincin tertutup pada
struktur molekulnya. Contoh: ambrein
- Triterpen tetrasiklik adalah triterpen yang mempunyai empat cincin tertutup pada
struktur molekulnya. Contoh: lanosterol
- Triterpen pentasiklik adalah triterpen yang mempunyai lima cincin tertutup pada
struktur molekulnya. Contoh: α-amirin.
b. Saponin
Saponin merupakan senyawa gliosida triterpenoid ataupun glikosida steroid yang
merupakan senyawa aktif permukaan dan bersifat seperti sabun serta dapat di deteksi
berdasarkan kemampuannya membentuk busa dan menghemolisa sel darah merah. Pola
glikosida saponin kadang-kadang rumit, banyak saponin yang mempunyai satuan gula
sampai lima dan komponen yang umum ialah asam glukorunat. Saponin adalah
senyawa aktif permukaan yang kuat yang menimbulkan busa jika dikocok dalam air dan
pada konsentrasi yang rendah sering menyebabkan hemolisis sel darah merah. Dalam
larutan yang sangat encer saponin sangat beracun untuk ikan, dan tumbuhan yang
mengandung saponin telah digunakan sebagai racun ikan selama beratus-ratus tahun.
Beberapa saponin bekerja sebagai antimikroba.
Saponin adalah glikosida, yaitu metabolit sekunder yang banyak terdapat di alam,
terdiri dari gugus gula yang berikatan dengan aglikon atau sapogenin. Sifat-sifat saponin :
berasa pahit, berbusa dalam air, mempunyai sifat deterjen yang baik, beracun bagi
binatang berdarah dingin, mempunyai aktivitas haemolisis, merusak sel darah merah,
tidak beracun bagi binatang berdarah panas, mempunyai sifat antieksudatif, mempunyai
sifat inflamasi.
Beberapa daya kerja dan pemakaian dari saponin adalah sebagai berikut :
- Semua saponin menyebabkan hemolisa, karena beracun untuk semua organisme bila
diberikansecara parenteral setengah sampai beberapa mg per kg berat badan, dapat
mematikan pada pemberian intravena
- Pengaruh terhadap alat pernafasan dapat dibuktikan dengan kenyataan digunakannya
obat yang mengandung saponin untuk mencari ikan oleh rakyat yang primitif. Kadar
saponin yang sangat kecil melumpuhkan fungsi pernafasan dari insang
- Kegunaan saponin dalam pengobatan nampaknya terutama oleh sifatnya yang
berpengaruh terhadap absorpsi zat aktif secara farmakologi. Beberapa contoh untuk
menggambarkan sifat tersebut antara lain : penggunaan secara simultan digitoksin dan
saponin digitonin, meningkatkan efek digitoksin sampai kurang lebih 50 kali bila
diberikan secara oral terhadap katak.
- Saponin juga menaikkan permeabilitas kertas saring. Filter dengan pori yang cukup
kecil untuk menhan partikel yang berukuran tertentu akan dapat meloloskan partikel
tersebut karena adanya saponin.
- Secara tekhnik saponin digunakan sebagai emulsifier
- Saponin menimbulkan iritasi berbagai tingkat terhadap selaput lendir mulut, perut,
dan usus bergantung dari sifat masing-masing saponin.
- Saponin merangsang keluarnya sekret dari bronchial, hal ini diterangkan dengan
begitu banyak penggunaan obat semacam senega dan Liquiritae sebagai ekspektoran
dan bahan sekretolitik dalam pengobatan penyakit alat pernafasan
- Saponin juga meningkatkan absorbsi zat diuretika (garam-garam) dan nampaknya
juga merangsang ginjal untuk lebih aktif. Hal ini mungkin menerangkan kenyataan
mengapa obat saponin sangat sering digunakan untuk rematik dalam pengobatan
rakyat.
- Dalam industri, saponin digunakan dalam jumlah besar sebagai emulsifier terutama
dalam pemedam kebakaran, pekerjaan pencucian dan lain-lain.
Adanya saponin dalam tanaman juga dapat ditunjukkan dengan beberapa cara, antara
lain :
 Indeks buih (foam index)
Indeks buih menunjukkan angka pengenceran dari zat atau obat yang diperiksa yang
akan memberikan suatu lapisan buih yang tingginya 1 cm sampai 10 cm, bila larutan
digojok dalam gelas ukur selama 15 detik dan selanjutnya dibiarkan dulu selama 10
menit sebelum dilakukan pembacaan
 Haemolisa
Campur bahan yang akan diperiksa dengan larutan dapar fosfat pH 7,4 ,panaskan lalu
dinginkan dan saring. Ambil filtrat campur dengan suspensi daeah. Diamkan selama
30 menit, terjadi haemolisa total berarti menunjukkan adanya saponin.
 Reaksi warna
Reaksi warna dapat digunakan untuk menggolongkan saponin (sapogenin) yang
digunakan untuk membuktikan identitas dari suatu obat, dan jika perlu untuk
memonitor pada waktu pemisahan. Reaksi berikut ini dapat digunakan yaitu dengan
menggunakan asam asetat anhidrat dan asam sulfat serta dengan menggunakan
vanilin, anisaldehid, dan aldehid aromatik lainnya yang ditambahkan dengan asam
mineral kuat.
Dikenal dua jenis saponin, yaitu glikosida triterpenoid alkohol dan glikosida
struktur steroid tertentu yang mempunyai rantai samping spiroketal. Kedua jenis
saponin ini larut dalam air dan etanol tetapi tidak larut dalam eter.
Menurut struktur aglikon atau sapogenin, saponin dapat dibedakan menjadi dua
macam tipe, yaitu tipe steroida dan triterpenoida. Kedua macam senyawa tersebut
mempunyai hubungan glikosidal pada C-3 dan mempunyai asal-usul biogenetika yang
sama melalui asam mevalonat dan satuan isoprenoid.
c. Steroid
Steroid adalah suatu golongan senyawa triterpenoid yang mengandung inti
siklopentana perhidrofenatren yaitu dari tiga cincin sikloheksana dan sebuah cincin
siklopentana dahulu sering digunakan sebagai hormone kelamin, asam empedu, dll.
Tetapi pada tahun-tahun ini makin banyak senyawa steroid yang ditemukan dalam
jaringan tumbuhan. Tiga senyawa yang biasa disebut fitosterol terdapat pada hamper
setiap tumbuhan tinggi yaitu sitosterol, stigmasterol, dan kampesterol.
Saponin steroid mempunyai peran penting pada bidang pharmceutical karena
hubungannya dengan beberapa senyawa seperti hormon sex, kortison, diuretic steroid,
vitamin D dan glikosida jantung. Beberapa saponin digunakan sebagai starting
material pada sintesis senyawa tersebut. Selain itu saponin triterpenoid juga
digunakan sebagai antiinflamasi, antifungi, antibakteri.
Saponin steroid kebanyakan ditemukan didalam famili monokotil, terutama
Liliaceae (Allium, Smilax, Asparagus), Agavaceae (Agave, Yucca) dan
Dioscoreaceae (Dioscorea). Selain itu juga ditemukan dalam Fabaceae (Fenugrek),
Solanaceae (Tobacco), atau Scrophulariaceae (foxgloves). Berbeda dengan steroid,
saponin triterpenoid jarang terdapat pada monokotil. Sebagian besar terdapat dalam
famili dikotil seperti Araliaceae, Caryophyllaceae, Cucurbitaceae, Fabales,
Primulaceae, Ranunculaceae, Rosaceae dan Sapindaceae.

Menurut asalnya, steroid dibagi atas:

- Zoosterol, yaitu steroid yang berasal dari hewan misalnya kolesterol.


- Fitosterol, yaitu steroid yang berasal
- Mycosterol, yaitu steroid yang berasal dari fungi, misalnya ergosterol.
- Marinesterol, yaitu steroid yang berasal dari organisme laut, misalnya spongesterol.
Berdasarkan jumlah atom karbonnya, steroid dibagi menjadi tiga:
- Steroid dengan jumlah atom karbon 27, seperti: zimasterol
- Steroid dengan jumlah atom karbon 28, seperti: ergosterol
- Steroid dengan jumlah atom karbon 29, seperti: stigmasterol
Klasifikasi Kromatografi Lapis Tipis (KLT)
Untuk pendeteksi steroid dengan meode KLT cukup melarutkannya dengan etanol
lalu bercak nodanya di semprot dengan anisaldehid asam sulfat dan dipanaskan. Jika
ekstrak positif mengandung steroid maka akan timbul noda merah atau ungu.
d. Glikosida jantung
Glikosida steroid disebut juga glikosida jantung karena memiliki daya kerja kuat
dan spesifik terhadap otot jantung. Secara kimiawi bentuk struktur glikosida jantung
sangat mirip dengan asam empedu yaitu bagian gula yang menempel pada posisi tiga
dari inti steroid dan bagian aglikonnya berupa steroid yang terdiri dari 2 tipe yaitu tipe
kardenolida dan tipe bufadinolida.

1.2.3 Tinjauan tentang Kromatografi Lapis Tipis

Pada dasarnya semua cara kromatografi menggunakan dua fasa yaitu fasa diam
(stationary) dan fasa bergerak (mobile). KLT dapat digunakan untuk keperluan yang luas
dalam pemisahan-pemisahan senyawa yang berwarna maupun tidak berwarna. Selain itu juga
memberikan hasil pemisahan yang lebih baik dan juga membutuhkan waktu yang lebih cepat.
Kromatografi adalah cara pemisahan zat berkhasiat dan zat lain yang ada dalam
sediaan dengan jalan penyarian berfraksi, atau penyerapan, atau penukaran ion pada zat
berpori, menggunakan cairan atau gas yang mengalir. Zat yang diperoleh dapat digunakan
untuk percobaan identifikasi atau penetapan kadar. Kromatografi yang sering digunakan
adalah kromatografi kolom, kromatografi kertas, kromatografi lapis tipis, dan kromatografi
gas. Sebagai bahan penyerap selain kertas digunakan juga zat penyerap berpori, misalnya
alumunium dioksida yang diaktifkan, asam silikat atau silica gel kiselgur dan harsa sintetik.
Bahan tersebut dapat digunakan sebagai penyerap tunggal atau campurannya atau sebagai
penyangga bahan lain. Kromatografi kertas dan kromatografi lapis tipis umumnya lebih
berguna untuk percobaan identifikasi, karena cara ini khas dan mudah dilakukan untuk zat
dengan jumlah sedikit. Kromatografi gas memerlukan alat yang lebih rumit, tetapi cara
tersebut sangat berguna untuk percobaan identifikasi dan penetapan kadar.
Penjerap yang dipakaai untuk KLT ialah silika gel, alumina, keselgur, dan selulosa.
Silika gel merupakan penjerap yang paling banyak dipakai dalam KLT dan Kromatografi
Cair Kinerja Tinggi (KCKT). Karena sebagian besar silika gel bersifat sedikit asam, maka
asam sering agak mudah dipisahkan. Jadi meminimumkan reaksi asam-basa antara penjerap
dan senyawa yang dipisahkan.
Identifikasi dari senyawa-senyawa yang terpisah pada KLT lebih baik dikerjakan
dengan pereaksi kimia dan reaksi-reaksi warna. Tetapi dapat juga menggunakan harga Rf, hal
ini dapat didefinisikan sebagai berikut :
𝐽𝑎𝑟𝑎𝑘 𝑡𝑖𝑡𝑖𝑘 𝑝𝑢𝑠𝑎𝑡 𝑏𝑒𝑟𝑐𝑎𝑘 𝑑𝑎𝑟𝑖 𝑡𝑖𝑡𝑖𝑘 𝑎𝑤𝑎𝑙 𝑝𝑒𝑛𝑡𝑜𝑡𝑜𝑙𝑎𝑛
Harga Rf = 𝐽𝑎𝑟𝑎𝑘 𝑝𝑒𝑛𝑔𝑒𝑚𝑏𝑎𝑛𝑔𝑎𝑛

Harga Rf untuk senyawa-senyawa murni dapat dibandingkan dengan harga Rf standart.


Faktor-faktor yang mempengaruhi gerakan bercak dalam KLT yang juga mempengaruhi
harga Rf adalah struktur kimia dari senyawa yang sedang dipisahkan, sifat dari pennjerap dan
derajat aktifitasnya, tebal dan kerataan dari lapisan penjeap, pelarut (dan derajat kemurnian)
fasa bergerak, derajat kejenuhan dari uap dalam bejana pengembangan yang digunakan,
teknik percobaan, jumlah cuplikan yang digunakan, suhu, kesetimbangan antara atmosfer
dalam bejana jenuh dengan uap pelarut.

1.2.4 Tinjauan tentang Eluen

Fase gerak merupakan medium angkut yang terdiri atas satu atau beberapa pelarut.
Fase gerak bergerak dalam fase diam karena adanya gaya kapiler. Pelarut yang digunakan
sebagai fase gerak hanyalah pelarut bertingkat mutu analitik dan bila diperlukan sistem
pelarut multikomponen ini harus berupa suatu campuran yang sesederhana mungkin yang
terdiri atas maksimum 3 komponen. Angka banding campuran dinyatakan dalam bagian
volume total 100. Pelarut pengembang dikelompokkan ke beberapa golongan oleh Snyder’s
berdasarkan kekuatan pelarutnya. Menurut Stahl (1985) eluen atau fase gerak yang
digunakan dalam KLT dikelompokkan kedalam 2 kelompok, yaitu untuk pemisahan senyawa
hidrofil dan lipofil. Eluen untuk pemisahan senyawa hidrofil meliputi air, metanol,asam
asetat, etanol, isopropanol, aseton, n-propanol,ter-butanol, fenol, dan n-butano 1 sedangkan
untuk pemisahan senyawa lipofil meliputi etil asetat, eter, kloroform, benzena, toluena,
sikloheksana, dan petroleum eter
Pada praktikum kali ini eluen yang digunakan meliputi :
a. N-Heksana
N-heksana adalah senyawa dengan rumus kimia C6H14 yang merupakan hidrokarbon
yang banyak digunakan sebagai pelarut organik yang memiliki sifat mudah menguap.
“n” pada n-heksaba mengandung arti normal yang artinya rantai hidrokarbonnya lurus
atau linier yang dituliskan CH3 – CH2 – CH2 – CH2 – CH2 – CH3

Sifat – sifat n-heksan antara lain :


- Bobot molekul : 86,18 gr mol-1
- Wujud : cairan tidak berwarna
- Masa jenis : 0,6548 gr/ml
- Titik leleh : -95oC, 178 K, -139oF
- Titik didih : 69oC, 342 K, 156oF
- Kelarutan dalam air : 13 mg/L pada suhu 20oC
- Viskositas : 0,294 Cp
- Titik nyala : -23,3oC

b. Etil Asetat
Etil asetat adalah senyawa organik dengan rumus CH3CH2OC(O)CH3.
Senyawa ini merupakan ester dari etanol dan asam asetat. Senyawa ini berwujud
cairan tak berwarna, memiliki aroma khas. Senyawa ini sering disingkat EtOAc,
dengan Et mewakili gugus etil dan Oac mewakili asetat. Etil asetat diproduksi dalam
skala besar sebagai pelarut.

Etil asetat adalah pelarut polar menengah yang volatil (mudah menguap), tidak
beracun, dan tidak higroskopis. Etil asetat merupakan penerima ikatan hidrogen yang
lemah, dan bukan suatu donor ikatan hidrogen karena tidak danya proton yang
bersifat asam (yaitu hidrogen yang terikat pada atom elektronegatif seperti flor,
oksigen, dan nitrogen. Etil asetat dapat elarutkan air hingga 3% dan larut dalam air
hingga kelarutan 8% pada suhu kamar. Kelrutannya meningkat pada suhu yang lebih
tinggi. Namun, senyawa ini tidak stabil dalm air yang mengandung basa
1.3 Prosedur Kerja
a. Uji Buih

0,2 gram ekstrak Dimasukkan kedalam tabung reaksi + air suling 10 ml. Dikocok
Sapindus rarak DC kuat-kuat selama kira-kira 30 detik

Tes buih positif mengandung saponin bila terjadi buih yang stabil selama lebih
dari 30 menit dengan tinggi 3 cm diatas permukaan cairan

b. Reaksi Warna
- Preparasi Sampel

IIA IIB IIC

0,5 gram ekstrak Ditambahkan Dibagi menjadi 3 bagian (@5ml)


Sapindus rarak DC 15 ml etanol

- Uji Liebermann-Burchard

IIA sebagai blanko

3 tetes asam asetat anhidrat


Diamati
5 ml IIB perubahan warna
5 tetes H2SO4 pekat

- Uji Salkowski

IIA sebagai blanko

5 ml IIC 1-2 ml H2SO4 pekat melalui dinding tabung reaksi


c. Kromatografi Lapis Tipis

1. Identifikasi sapogenin steroid/triterpenoid

0,5 gram ekstrak Ditambah 5 ml Didihkan dan ditutup dengan corong


Sapindus rarak DC HCl 2N berisi kapas basa selama 50 menit

Setelah dingin ditambahkan


Ammonia sampai basa, kemudian diekstraksi dengan 4-5 ml n-heksana sebanyak 2x

Diuapkan sampai tinggal 0,5 ml Ditotolkan pada plat KLT

2. Identifikasi terpenoid/steroid bebas secara KLT

Ekstrk ditambah beberapa


tetes etanol, diaduk sampai larut kemudian ditotolkan pada fase diam
1.4 Pembahasan
Pada praktikum kali ini dilakukan identifikasi senyawa golongan glikosida saponin,
triterpenoid dan steroid. Masing-masing senyawa dibuktikan dengan metode yang berbeda,
meliputi uji buih, reaksi warna dan kromatografi lapis tipis. Pada uji buih dilakukan untuk
mengetahui ada tidaknya senyawa golongan glikosida saponin. Untuk reaksi warna dilakukan
untuk mengetaui ada tidaknya senyawa saponin steroid dan saponin triterpenoid melalu uji
Liebermann-Burchard dan uji Salkowski. Sementara itu, untuk metode kromatografi lapis tois
dilakukan untuk mengetahui ada tidaknya senyawa sapogenin steroid/terpenoid dan
terpenoid/steroid bebas dengan melihat warna totolan yang dihasilkan setelah pemberian
penampak noda yaitu Anisaldehida asam sulfat.
Keberadaan saponin dapat dibuktikan dengan beberapa tes, salah satunya adalah uji
buih. Uji buih dilakukan dengan menimbang ekstrak Sapindus rarak DC sebanyak 0,2 gram
menggunakan timbangan analitik dan ekstrak yang sudah ditimbang dimasukkan kedalam
tabung reaksi. Diusahakan agar tidak mengenai dinding tabung reaksi. Kemudian
ditambahkan air suling sebanyak 10 ml, dikocok kuat-kuat selama 30 detik. Setelah
pengocokan, dilakukan pengukuran seberapa tinggi buih yang terbentuk. Setelah itu diamati
kestabilan dari buih tersebut selama kurang lebih 30 menit. Setelah 30 menit diukur lagi
tinggi buih yang terbentuk. Jika buih tetap stabil ( diatas 3 cm), ekstrak tersebut positif
mengandung saponin.
Dari uji buih tersebut dihasilkan data bahwa tinggi buih setelah pengocokan adalah 9 cm,
setelah 30 menit buih yang terbentuk adalah 6,5 cm. Hal ini dikatakan positif mengandung
saponin karena tinggi buih setelah 30 menit tetap stabil, jika tinggi buih kurang dari 3 maka
dapat dikatakn bahwa ekstrak tesebut tidak mengandung saponin. Terbentuknya buih
dikarenakan oleh sifat saponin yang dapat menurunkan tegangan permukaan air. Seperti
sabun atau detergen, saponin mempunyai molekul besar yang mengandung gugus hidrofilik
dan lipofilik ( hidrofobik ). Dalam air, molekul saponin mensejajarkan atau meluruskan diri
secara visual pada permukaannya, dengan gugus lipofil (hidrofobik) menjauhi air.
E
Gugus Hidrofilik
C D COOH
Gugus Hidrofilik

A B

OH
O
H H

H
O
H

Gambar 3. Mekanisme terbentuknya buih

Dengan adanya air, gugu hidrofil akan berikatan dengan air, sedangkan gugus
hidrofob akan menjauhi air atau menengah ke atas (udara). Bagian polar (hidrofil) dapat
bergabung dengan molekul air, tetapi bagian nonpolar (hidrofob) ditolak karena daya kohesif
antara molekul-molekul air. Akibatnya zat tersebut diabsorpsi pada antarmuka air-udara.
Adsorbsi molekul saponin pada permukaan air dapat mengakibatkan penurunan tegangan
permukaan air yang dapat menimbulkan buih. Buih merupakan suatu struktur yang relatif
stabil yang terdiri dari kantong-kantong udara terbungkus dalam lapisan tipis cairan, dispersi
gas dalam cairan yang distabilkan oleh suatu zat penurun tegangan permukaan. Berdasarkan
hal tersebut saponin diklasifikasikan sebagai zat penurun tegangan permukaan.
Reaksi warna dapat dilakukan dengan uji Liebermann-Burchard dan uji Salkowski.
Sebelumnya dlakukan preparasi sampel dengan melarutkan kira-kira 0,5 gram ekstrak
Sapindus rarak DC dalam 15 ml etanol, lalu dibagi menjadi 3 bagian sama banyak (@5ml)
ke dalam 3 tabung reaksi yang sudah diberi label IIA,IIB, dan IIC. Uji Liebermann-Burchard
menggunakan laruan IIA sebagai blanko, dan larutan IIB yang ditambahkan 3 tetes asam
asetat anhidrat dan 5 tetes H2SO4 pekat. Uji ini dilakukan untuk membuktikan ada tidaknya
senyawa triterpenoid atau steroid dalam ekstrak Sapindus rarak DC. Hasil dari uji reaksi ini
menunjukkan bahwa ekstrak Sapindus rarak DC mengandung senyawa triterpenoid, karena
setelah ditambahkan asam setat anhhidrat sebagai pereaksi menghasilkan warna kuning
kecoklatan yang berubah menjadi warna merah keunguan setelah ditetesi dengan asam sulfat
pekat yang berfungsi sebagai oksidator.
(CH3CO)2O H2SO4 pekat

Glikosida saponin triterpenoid Asam asetat anhidrat

CH3COOH

Glikosida saponin triterpenoid

(Warna merah keunguan)


Gambar 4. Reaksi Liebermann-Burchard

Dimana rantai samping yang ada pada nomor 16 (R1) dan pada nomor 24 (R2),
merupakan rantai samping dari struktur saponin triterpenoid yang biasanya berbeda satu sama
lain tergantung jenisnya. Misalnya :
Hideragenin : R1 = H, R2 = CH2OH
Gypsogenin : R1 = H, R2 = CHO
Asam oleat : R1 = H, R2 = CH3
Selain uji Liebermann-Burcardh, reaksi warna juga dapat dilakukan dengan uji
Salkowski. Pada uji ini menggunakan larutan IIA sebagai blanko dan larutan IIC yang
ditambahkan dengan 1-2 ml H2SO4 pekat secara perlahan melalui dinding tabung reaksi. Uji
ini dilakukan untuk mengetahui ada tidaknya senyawa steroid tak jenuh (kolesterol).
Sebenarnya untuk mengetahui ada tidaknya steroid tak jenuh juga dapat dilakukan dengan uji
Liebermann-Burchard. Perbedaan dari kedua uji tersebut adalah, jika pada uji Salkowski
termasuk uji kualitatif, sedangkan untuk uji Liebermann-Burchard merupakan uji kuantitatif
terhadap steroid dan harus dilakukan secara bersamaan dengan uji Salkowski. Pada uji
Salkowski, penambahan asam sulfat berfungsi sebagai pemutus ikatan ester lipid. Apabila
didalam sampel (ekstrak Sapindus rarak DC) terdapat kolesterol (steroid), maka lapisan
kolesterol dibagian atas menjadi warna merah. Cincin merah kecoklatan yang terbentuk
merupakan hasil reaksi antara koelsterol dengan asam sulfat pekat. Oleh karena itu, dengan
terbentuknya cincin merah kecoklatan menunjukkan bahwa didalam ekstrak Sapindus rarak
DC terdapat steroid tak jenuh.

Selanjutnya ekstrak Sapindus rarak DC digunakan untuk uji selanjutnya


menggunakan metode kromatografi lapis tipis. Ekstrak Sapindus rarak DC di bagi 2 bagian
sama banyak yang digunakan untuk identifikasi sapogenin steroid/triterpenoid dan
identifikasi terpenoid/steroid. Pada identifikasi sapogenin steroid/triterpenoid (KLT 1),
sebelum dilakukan penotolan ekstrak Sapindus rarak DC ditambahkan larutan 5 ml HCl 2N
dan ditutup dengaan corong yang sudah ditutup dengan kapas pada bagian atasnya, kemudian
dipanaskan diwaterbath untuk melalui proses hidrolisis selama kurang lebih 50 menit. Lalu
setelah dilakukan pemanasan, campuran ekstrak Sapindus rarak DC dan larutan HCl
didinginkan dengan merendam tabung reaksi pada air dingin. Setelah dingin campuran
tersebut ditambahkan dengan ammonia sampai suasana basa yang dibuktikan dengan
menggunakan kertas lakmus warna merah. Penambahan amonia ini mengakibatkan campuran
tersebut menjadi basa agar senyawa non polar dapat ditarik oleh pelarut n-heksan yang
selanjutnya ditambahakann pada campuran tersebut sebanyak 4-5 ml lalu dilakukan
pengocokan kuat. Setelah pengocokan akan terbentuk filtrat, untuk mendapatkan filtrat yang
jernih bisa dilakukan dengan sentrifuge. Selanjutnya filtrat diambil dan diuapkan sampai
tinggal sekitar 0,5 ml. Setelah itu dilakukan penotolan pada plat KLT dan masuk pada proses
eluasi. Setelah itu dilihat pada sinar UV (254 nm dan 365 nm). Untuk mengetahui warna dari
tiap noda, ditambahkan anisaldehida asam sulfat dan dilakukan pemanasan. Setelah
pemberian anisaldehid akan tampak beberapa warna pada noda hasil eluasi, pada kelompok
kami terdapat warna ungu dengan nilai Rf : 0,61, warna ungu ini menunjukkan bahwa pada
ekstrak Sapindus rarak DC terdapat sapogenin. Untuk uji KLT yang kedua adalah
mengidentifikasi senyawa terpenoid/steroid bebas. Tahap pertama adalah diambil sedikit
ekstrak dan ditambahkan n-heksan sebanyak 5 ml lalu dilakukan penotolan pada plat KLT.
Setelah dilakukan eluasi plat KLT diberikan penampak noda berupa anisaldehid asam sulfat +
pemanasan dan terdapat noda yang berwarna ungu dengan nilai Rf 0,78. Hal ini menunjukkan
bahwa di dalam ekstrak Sapindus rarak DC terdapat senyawa terpenoid/steroid bebas.
Perbedaan warna yang terjadi disebabkan karena tingkat afinitas dan perpendaran cahaya
antara senyawa dengan silika berbeda, sehingga menunjukkan warna yang berbeda dengan
nilai Rf yang berbeda pula.

Perhitungan nilai Rf

4,9
 Rf 1 : = 0,6125 ≈ 0,61
8
6,2
 Rf 2 : = 0,775 ≈ 0,78
8

Rata – rata nilai Rf = 0,69


1.6 Kesimpulan
Eskstrak Sapindus rarak DC mengandung beberapa senyawa, yaitu :
1. Saponin = Reaksi uji buih (+)
2. Saponin triterpenoid = Reaksi warna uji Liebermann-Burchard (+)
3. Saponin steroid = Reaksi warna uji Salkowski (+)
4. Sapogenin = KLT hidrolisis (+)
5. Steroid / terpenoid bebas = KLT metode ekstraksi (+)
1.2.5 Tinjauan Polaritas
Pelarut Indeks Polaritas
Pentana 0
1,1,2-triklorotrifluoroetana 0
Siklopentana 0,1
Heptana 0,1
Heksana 0,1
Iso oktana 0,1
Petroleum eter 0,1
Sikloheksana 0,2
n-Butilklorida 1,0
Toluena 2,4
Meta t-butil eter 2,5
o-xylen 2,5
Klorobenzena 2,7
0-diklorobenzena 2,7
Etil eter 2,8
Diklorometana 3,1
Etilen diklorida 3,5
n-butil alkohol 3,9
Isopropoil alkohol 3,9
n-butil asetat 4,0
Isobutil alkohol 4,0
Metal isoamil keton 4,0
n-propoil alkohol 4,0
Tetrahidrofuran 4,0
Kloroform 4,1
Metal isobutyl keton 4,2
Etil asetat 4,4
Metal n-propil keton 4,5
Metal etil keton 4,7
1,4-dioxiana 4,8
Aseton 5,1
Methanol 5,1
Piridin 5,3
2-metoksietanol 5,5
Asetonitrit 5,8
Propilen karbonat 6,1
N-n dimetilformamida 6,4
Dimetil asetamida 6,5
N-metilpirolidon 6,7
Dimetilsulfoksida 7,2
DAFTAR PUSTAKA

Brotosisworo, S. 1979. Obat Hayati Golongan Glikosida. 44-45. Fakultas Farmasi UGM,
Yogyakarta

Bruneton, J. 1999. Pharmacognosy Phytochemistry Medical Plant, 2nd edition, 677-680,


translated by Caroline K,Halton, Intercept Ltd., New York

Evans, W.C. 2002. Pharmacognosy, fifteenth edition, W.B SAUNDERS,289-299, New


York

Harbone, JB.1987. Phytochemical Methods. Terbitan kedua diterjemahkan oleh


Padmawinata.K dan Soediro L. 14-15,21-24,147-156. ITB. Bandung

Robinson, T. 1995. The Organic Constituent of Higher Plants. Diterjemahkan oleh


Kosasih Padmawinata dan Iwang Soediro, Edisi VI, 156-158,ITB, Bandung

Sastrohamidjojo, H. 2002. Kromatografi. 26-36. Lieberty Yogyakarta. Yogyakarta

Sunaryadi. 1999. Ekstraksi dan isolasi saponim buah lerak (Sapindus rarak) serta
pengujian daya defaunasinya [tesis]. Bogor. Institut Pertanian Bogor

Zuhud dan Haryanto. 1994. Pelestarian Pemanfaatan Keanekaragaman Tumbuhan Obat


Hutan Tropika Indonesia. Bogor:Jurusan Konservasi Sumberdaya Hutan Fakultas
Kehutanan, Institut Pertanian Bogor dan Lembaga Alam Tropika Indonesia (LATIN)

http://www.plantamor.com/database/database-tumbuhan/daftar-tumbuhan_i618?genus-
page=all&src=1&skw=Sapindus%20rarak&g=Sapindus&s=rarak

You might also like