You are on page 1of 12

LAPORAN KASUS

“Hemofilia”

Pembimbing : dr. Abdurahman Erman, Sp.A


Disusun Oleh :
Anthika Deciyanti
2012730008

KEPANITERAAN KLINIK RSUD CIANJUR


ILMU KESEHATAN ANAK
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN KESEHATAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH JAKARTA
2016

1
BAB I
PENDAHULUAN

Hemofilia merupakan penyakit keturunan dengan manifestasi berupa kelainan


pembekuan darah, yang sudah sejak lama dikenal di berbagai belahan dunia termasuk di
Indonesia. Namun masih menyimpan banyak persoalan khususnya masalah diagnostik dan
besarnya penderita khususnya pemberian komponen biaya perawatan darah sehingga sangat
memberatkan penderita ataupun keluarganya. Penyakit hemofilia bila ditinjau dari kata demi
kata: hemo berarti darah dan filia berarti suka, hemofilia berarti penyakit suka berdarah. Di
daratan Eropa hemofilia ini sudah dikenal sejak beberapa ratus tahun yang lalu, penderitanya
banyak dari keluarga bangsawan-bangsawan kerajaan di Eropa sedang di Amerika penyakit
ini pertama kali ditemukan sekitar awal tahun 1800 pada seorang anak laki-laki yang
diturunkan dari ibu dengan carier hemofilia. Dugaan adanya penurunan secara genetik
hemofilia pertama kali dikenal pada massa Babylonia, ketika seorang pendeta memberikan
izin untuk dilakukan sirkumsisi (sunatan) pada seorang anak laki-laki dari seorang wanita
yang diketahui merupakan pembawa hemofilia (carier hemofilia), akibatnya terjadi
perdarahan yang berat dan mengakibatkan kematian. Pada keadaan normal bila seseorang
mengalami suatu trauma atau luka pada pembuluh darah besar atau pembuluh darah
halus/kapiler yang ada pada jaringan lunak maka sistem pembekuan darah/koagulation
cascade akan berkerja dengan mengaktifkan seluruh faktor koagulasi secara beruntun
sehingga akhirnya terbentuk gumpalan darah berupa benang- benang fibrin yang kuat dan
akan menutup luka atau perdarahan, proses ini berlangsung tanpa pernah disadari oleh
manusia itu sendiri dan ini berlangsung selama hidup manusia. Sebaliknya pada penderita F
VIII dan F IX akan hemofilia akibat terjadinya kekurangan menyebabkan pembentukan
bekuan darah memerlukan waktu yang cukup lama dan sering bekuan darah yang terbentuk
tersebut mempunyai sifat yang kurang baik, lembek, dan lunak sehingga tidak efektif
menyumbat pembuluh darah yang mengalami trauma, hal ini dikenal sebagai prinsip dasar
hemostasismofilia.

Nasib penderita kelainan darah hemofilia di Indonesia masih memprihatinkan. Dari


puluhan ribu penderita yang ada, hanya segelintir saja yang tercatat, terdiagnosis dan
tertangani. Sedangkan sisanya tidak terdiagnosis dan mendapatkan mendapatkan pengobatan
yang sesuai. Berdasarkan data yang dimiliki Himpunan Masyarakat Hemofilia Indonnesia
(HMHI), jumlah penderita hemofilia diperkirakan sekitar 20.000 orang. Namun hingga Maret
2010, tercatat hanya 1.236 penderita hemofilia dan kelainan pendarahan lainnya yang
teregistrasi. Hal ini menunjukkan baru sekitar 5 persen saja kasus yang terdiagnosis. Kondisi
yang memprihatinkan tersebut yang melatar belakangi penyusun untuk menyusun makalah
ini.

2
BAB II
LAPORAN KASUS

Identitas Pasien
 Nama : An. A
 Usia : 11 tahun
 Jenis kelamin : laki – laki
 Alamat : Darungdung Kidul 01/03
 Tanggal MRS : 21 Oktober 2016
 Nomor RM : xxxxxx
 Nama OT : Tn. A
Alloanamnesa
KU : demam
RPS :
Pasien menjalani sirkumsisi ± sebulan yang lalu, orang tua pasien mengatakan
sebelum disunat sudah dilakukan berbagai persiapan terhadap pasien dalam perjalanan sunat
agar tidak terjadi perdarahan dari Rumah Sakit Hasan Sadikin Bandung. Setelah tindakan
sunat, selama 8 hari pasien diharuskan kontrol ke RSHS. Selama pengawasan 8 hari dan
keadaan pasien baik, pasien diperbolehkan untuk pulang kerumah dengan pemberian obat
inject koate yang hanya bisa dilakukan pada tenaga medis.
Keluarga pasien meminta pertolongan bidan untuk menyuntikan obat tersebut, namun
mendapat rujukan ke puskesmas terdekat. Sesampainya di puskesmas, pasien mendapat
rujukan ke dokter spesialis anak. Orang tua pasien tidak langsung membawa anaknya ke
rumah sakit selama beberapa minggu, kemudian dibawa ke RS Cianjur.
RPD : riwayat hemophilia dari umur 2 tahun
RPK : ibu pasien mengatakan tidak ada pihak keluarga yang mengalami masalah kesehatan
yang serupa dengan pasien
RPO : ibu pasien mengatakan selama tidak ada luka atau tidak ada perdarahan, pasien tidak
mengkonsumsi obat apapun.
R. Alergi : tidak ada alergi obat atau makanan
R. Psikososial : pasien tinggal bersama ayah dan ibunya, makan teratur sehari 3x. Jarang
berolahraga karena orang tua pasien khawatir bahwa pasien akan terbentur atau terluka.
R. kehamilan dan kelahiran :
3
 ANC rutin ke bidan
 Bayi lahir cukup bulan, lahir spontan, langsung menangis, tidak kebiruan, tidak ada cacat
lahir.
R. Asupan Nutrisi
 0 – 6 bulan : ASI eksklusif
 7 – 18 bulan : bubur + ASI + susu formula
 > 19 bulan : makan biasa
 Kesan : nutrisi baik

R. Imunisasi
Ayah pasien mengatakan anaknya sudah tidak pernah disuntik lagi sejak mengetahui
penyakit pada anaknya.
Kesan: imunisasi dasar tidak lengkap.

R. Perkembangan
 Personal sosial : Berpakaian sendiri, gosok gigi sendiri, mengambil makan sendiri
 Motorik halus : meraih mainan sendiri diusia 4 bulan, mulai memasukkan sesuatu
kedalam mulut usia 8 bulan, dapat memegang sendok sendiri 12 bulan.
 Motorik kasar : mulai tengkurep diusia 4 bulan, mulai duduk diusia 6 bulan, mulai dapat
berdiri diusia 9 bulan dan mulai dapat berjalan di usia 13 bulan.
 Bahasa : Mulai menamai benda atau memanggil ayah dan ibunya diusia 1 tahun.
 Kesan : perkembangan baik.

Pemeriksaan Fisik
KU : tampak sakit ringan
Kesadaran : CM
TTV :
 S : 36.5oC
 TD : 110/70 mmHg
 Nadi : 70x/mnt
 RR : 24 x/mnt
Antropometri :
 BB : 35 kg
4
 TB : 140 cm
 IMT : 17.9 kg/m2
 Kesan pertumbuhan sesuai usia
Status gizi :


 Kesan : gizi baik

Status Generalis
 Kepala : Normocephal, rambut tidak mudah dicabut
 Mata : Isokor (+/+), CA (-/-), SI (-/-)
 Hidung : Sekret (-), septum deviasi (-), epistaksis (-), pernapasan cuping hidung (-)
 Mulut : Mukosa bibir pucat (-)
 Telinga : Normotia
 Leher : Pembesaran KBG (-)
 Thorax
Paru
 Inspeksi : Simetris, Retraksi (-), otot napas tambahan (-)
 Palpasi : tidak dilakukan

5
 Perkusi : tidak dilakukan
 Auskultasi : vesikuler +/+, whe: -/-, rho:-/-
Jantung
 Inspeksi: Ictus cordis tidak tampak
 Palpasi : tidak dilakukan
 Perkusi : tidak dilakukan
 Auskultasi : BJ I/II reguler, gallop (-),murmur (-)
 Abdomen
 Inspeksi : Datar
 Palpasi : Nyeri tekan abdomen (-), Hepar/lien tidak teraba
 Perkusi : Timpani pada 4 kuadran abdomen (+)
 Auskultasi : Bising usus (+) normal
 Ekstremitas
 Atas : Akral hangat, RCT < 2detik, sianosis (-), edema(-)
 Bawah : Akral hangat, RCT < 2 detik, sianosis (-),edema (-)

Pemeriksaan Penunjang
Jenis pemeriksaan Hasil 21/10/16 Nilai rujukan Satuan

Hematologi Rutin
Hemoglobin 9.7 11.5 – 15.5 g/dl
Hematokrit 31.2 32– 42 %
Trombosit 441 150 – 450 103 /uL
Leukosit 9.7 4,5 – 10,5 103 /uL
Eritrosit 4.39 4 – 5,2 106 /uL
MCV 71 80 - 94 Fl
MCH 22.1 27 - 31 Pg
MCHC 31.1 33 - 37 %

Resume
Anak A, laki – laki, 11 tahun, datang dengan tujuan kontrol dan terapi inject koate post
sirkumsisis dengan hemophilia. Riwayat hemophilia sejak berumur 2 tahun. Tidak
mengkonsumsi obat minum atau obat apapun yang berhubungan dengan penyakitnya.
Pemeriksaan Fisik :

6
 S : 36,3oC
 TD : 110/70 mmHg
 Nadi : 70 x/mnt
 RR : 24 x/mnt
Pemeriksaan Laboratorium :
 Hb : 97 g/dL
 Ht : 31.2%
 MCV : 71 fL
 MCH : 22.1 pg
 MCHC : 31.3%

Diagnosa
 Diagnosis Kerja : Hemophilia A
 Differential Diagnosis : Defisiensi faktor XII
Penyakit von Willebrand

Penatalaksanaan
 Mencegah perdarahan dengan cara menghindari trauma
 Tidak melakukan tindakan yang dapat menimbulkan perdarahan seperti mencabut gigi
atau sirkumsisi tanpa persiapan
 Hindari obat-obatan yang mengganggu fungsi trombosit (asam asetil salisilat/asetosal
dan antiinflamasi nonsteroid) → untuk nyeri: parasetamol/asetaminofen
 Hindari suntikan i.m. dan pengambilan darah vena/arteri yang sulit
 Sebelum menjalani prosedur invasif penderita harus mendapat replacement therapy
(konsentrat faktor pembekuan VIII/ IX atau DDAVP untuk hemofilia ringan–sedang)
 Perdarahan akut → sedini-dininya (<2 jam)
 Perdarahan berat → RS fasilitas/pelayanan hemofilia
 Anjuran latihan teratur (meningkatkan kekuatan otot dan sendi, menghindari olahraga
yang bersifat kontak badan)
 Hindari aktivitas yang memungkinkan terjadinya trauma

7
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA

HEMOFILIA

Definisi:
hemofilia adalah gangguan perdarahan yang di turunkan secara resesif melalui kromosom X,
ditandai dengan terganggunya proses pembekuan darah akibat rendah atau tidak adanya faktor
VIII atau IX.

Klasifikasi
Klinis
Hemofilia A (classic hemophilia)
Disebabkan kurang atau tidak adanya faktor VIII. Sekitar 90% kasus hemofilia menderita
hemofilia tipe ini.
Hemofilia B (Christmas disease)
Disebabkan kurang atau tidak adanya faktor IX.

Derajat hemofilia
Berat, FVIII/FIX: <1% (<1 IU/dL)
Sedang, FVIII/FIX: 1–5% (1–5 IU/dL)
Ringan, FVIII/FIX: 5–25% (5–25 IU/dL)

Etiologi
Hemofilia disebabkan oleh gangguan pada salah satu gen terkait kromosom X (Xh). laki – laki
yang medapatkan kromosom X dengan hemofilia (XhY) akan menderita hemofilia. Pada
perempuan, apabila terdapat dua kromosom X dengan hemofilia (XhXh), perempuan tersebut
akan menderita hemofilia. Apabila hanya terdapat satu kromosom X hemofilia, perempuan
tersebut akan menjadi karier hemofilia, yang terkadang mengalami gejala hemofilia. Perempuan
ini dapat menurunkan hemofilia kepada anaknya secara resesif terkait kromosom X.
Hemofilia juga dapat ditemukan pada penderita tanpa riwayat keluarga hemofilia. Hal ini
diakibatkan adanya mutasi pada gen yang mngekspreskan protein faktor pembekuan sehingga
didapatkan defisiensi atau sama sekali tidak ada fakrtor pembekuan. Sekitar 30% pasien
hemofilia termasuk dalam kelompok ini.

Diagnosis
Manifestasi utama hemofilia adalah perdarahan yang sulit berhenti atau berlangsung lebih lama
(delayed bleeding) yang dapat terjadi dengan atau tanpa penyebab yang jelas atau perdarahan
dan memar tanpa sebab yang jelas.
Tanda umum lainnya adalah:
 Perdarahan pada sendi (hemartrosis) yang tampak sebagai pembengkakan, nyeri atau rasa
kencang pada sendi. Biasanya mengenai sendi lutut, siku dan pergelangan kaki. Biasanya
tampak saat anak mulai merangkak

8
 Perdarahan di bawah kulit (memar) atau otot atau jaringan lunak yang menyebabkan
timbunan darah pada area tersebut (hematoma)
 Perdarahan pada mulut dan gusi dan perdarahan yang sulit berhenti setelah menyikat gigi.
 Perdarahan intracranial pada neonatus setelah persalinan sulit
 Epistaksis yang sering dan sulit dihentikan
 Riwayat keluarga

Pemeriksaan Penunjang
1. Pemeriksaan Darah Perifer Lengkap (DPL)
Pemeriksaan DPL umumnya normal pada penderita hemofilia tanpa perdarahan. Apabila
penderita sedang mengalami perdarahan berat atau jangka waktu lama, hemoglobin dan
eritrosit akan menurun.
2. Activated Partial Thromboplastin Time (APTT) test
Pemeriksaan ini mengukur berapa waktu yang dibutuhkan darah untuk membeku. Tes ini
mengukur kemampuan pembekuan faktor VIII, IX, XI, XII. Pemeriksaan akan
menunjukkan pemanjangan waktu pembekuan, baik pada hemofilia A atau B. Pada
hemofilia berat, nilai APTT akan meningkat 2 – 3 x.
3. Prothrombin Time (PT) test
Pemeriksaan ini juga membantu menilai kemampuan pembekuan darah faktor I, II, VII
dan X. Apabila ada salah satu faktor yang kadarnya rendah, akan dibutuhkan waktu lebih
panjang untuk pembekuan darah. Biasanya tes ini menunjukkan hasil yang normal pada
penderita hemofilia.
4. Pemeriksaan kadar fibrinogen
Pemeriksaan ini juga membantu menilai kemampuan pembekuan darah. Biasanya
penelitian ini dilakukan apabila pasien memiliki nilai PT atau aPTT atau keduanya, yang
abnormal. Fibrinogen adalah nama lain dari faktor I.
5. Test faktor pembekuan (factor assay)
Dibutuhkan untuk diagnose gangguan perdarahan dan menunjukkan tipe hemofilia serta
derajat keparahannya. Faktor yang diperiksa adalah faktor VIII, faktor IX, dan faktor Von
Willbrand (vWFAg). Pada hemofilia A aktivitas faktor VIIIrendah. Namun, perlu diingat
bahwa kadar faktor VIII meningkat pada kondisi inflamasi, infeksi serta kerusakan
jaringan.

Diagnosis Banding
Defisiensi faktor XII
Penyakit von Willebrand

Penyulit
Perdarahan hebat.
Penyulit akibat perdarahan yaitu anemia, ambulasis atau deformitas sendi, atrofi otot atau
neuritis
Artritis kronik karena hemartrosis berulang
Penyulit sesudah terapi: infeksi, hepatitis B atau C pascatransfusi, ↑ kadar SGOT, SGPT, infeksi
HIV, timbulnya inhibitor sesudah transfuse berulang
9
Konsultasi
Bagian terkait: ortopedi, bedah anak, gigi mulut, THT, rehabilitasi medis.
Tim pelayanan terpadu hemofilia RS (tenaga medis dan paramedic dari berbagai bidang terkait
dan pekerja sosial)

Terapi
Umum
 Mencegah perdarahan dengan cara menghindari trauma
 Tidak melakukan tindakan yang dapat menimbulkan perdarahan seperti mencabut gigi
atau sirkumsisi tanpa persiapan
 Hindari obat-obatan yang mengganggu fungsi trombosit (asam asetil salisilat/asetosal dan
antiinflamasi nonsteroid) → untuk nyeri: parasetamol/asetaminofen
 Hindari suntikan i.m. dan pengambilan darah vena/arteri yang sulit
 Sebelum menjalani prosedur invasif penderita harus mendapat replacement therapy
(konsentrat faktor pembekuan VIII/ IX atau DDAVP untuk hemofilia ringan–sedang)
 Perdarahan akut → sedini-dininya (<2 jam)
 Perdarahan berat → RS fasilitas/pelayanan hemofilia
 Anjuran latihan teratur (meningkatkan kekuatan otot dan sendi, menghindari olahraga
yang bersifat kontak badan)
 Hindari aktivitas yang memungkinkan terjadinya trauma

Tatalaksana perdarahan pada hemofilia menggunakan prinsip RICE:


R: rest (diistirahtakan)
I: ice (didinginkan)
C:Compression (pembebatan)
E:Elevation
Replacement Therapy (dikerjakan dalam waktu 2 jam setelah kejadian)

Khusus
Terapi pengganti (replacement therapy)
 Hal-hal yang harus diperhatikan dalam replacement therapy:
 Dosis replacement therapy sesuai dengan organ yang mengalami perdarahan dan derajat
hemofilia yang diderita penderita (lihat klasifikasi derajat hemofilia)
 Untuk perdarahan yang mengancam jiwa (intrakranial, intraabdomen atau saluran
respiratori), replacement therapy harus diberikan sebelum pemeriksaan lebih lanjut
 Bila respons klinis tidak membaik sesudah pemberian terapi dengan dosis adekuat, perlu
pemeriksaan kadar inhibitor

Replacement therapy
Diutamakan menggunakan konsentrat faktor VIII/IX diberikan i.v. dalam 1–2 mnt
Apabila konsentrat tidak tersedia, dapat diberikan kriopresipitat
atau FFP.

10
Hal ini dikarenakan sumber faktor VIII adalah konsentrat faktor VIII dan kriopresipitat
(satu kantong kriopresipitat mengandung 100–150 unit faktor VIII), sedangkan sumber faktor IX
adalah konsentrat faktor IX dan Fresh frozen plasma (FFP)
Prinsip pengobatan pada penderita hemofilia yaitu: Pemberian terapi pengganti untuk mencapai
fungsi hemostasis yang memadai.
Dosis
Unit faktor VIII = BB (kg) × % faktor VIII yang diharapkan × 0,5)
Unit faktor VIII = BB (kg) × (target kadar plasma − kadar F VIII penderita) × 0,5
Contoh: BB 50 kg × 40 (% F VIII yang diharapkan) × 0,5 = 1.000 unit

Lama terapi
 Terapi harus dilanjutkan sampai terjadi penyembuhan yang adekuat
 Perdarahan akibat ekstraksi gigi/epistaksis: 2–5 hr
 Luka operasi: 7–14 hr
Konsentrasi faktor VIII yang diharapkan:
 Hemartrosis ringan: 15–20%
 Hemartrosis berat: 20–40%
 Prosedur operasi: 60–80 %
 Operasi besar dan perdarahan SSP: 80–100%
 Perdarahan mukosa atau luka dapat dipersingkat menjadi 1–2 hr dengan pemberian
antifibrinolitik (aminocaproic acid atau tranexamic acid) p.o. sampai penyembuhan
terjadi

Terapi penyerta (terapi ajuvan)


1. Pada pasien hemofilia A ringan, produksi endogen faktor VIII dapat diinduksi dengan
desmopressin asetat (DDAVP) desmopressin asetat adalah senyawa kimia menyerupai
hormone yang diproduksi oleh tubuh, yang berfungsi untuk melepaskan faktor VIII yang
disimpan dijaringan tubuh. Desmopressin dapat diberikan intravena (dosis 0.3 µg/KgBB)
atau spray nasal (dosis 300 µg) untuk meningkatkan kadar F VIII 3 – 6 kali dari baseline.
Pada psien hemofilia A sedang atau berat, jumlah faktor VIII tidak mencukupi, sehingga
terapi dengan desmopressin tidak efektif.
2. Terapi lainnya dapat berupa antifibrinolitik (Epsilon Amino Caproic Acid) adalah
senyawa kimia yang diberikan melalui vena atau oral (baik dalam bentuk pil atau sirup).
Bekerja dengan mencegah pemecahan bekuan darah, menghasilkan bekuan yang lebih
rapat dan kuat. Terapi ini digunakan untuk perdarahan pada mulut atau setelah
pencabutan gigi karena terapi ini mencegah enzim pada saliva yang memecah bekuan
darah.
3. Asam traneksamat (antifibrinolitik) juga dapat digunakan untuk perdarahan mukosa
seperti epistaksis dan perdarahan gusi dengan dosis 25 mg/kgBB/kali (3xsehari, oral/iv,
dapat diberikan 5 – 10 hari). Kontraindikasi pemberian antifibrinolitik adalah perdarahan
saluran kemih karena adanya risiko obstruksi saluran kemih akibat bekuan darah.

11
Evaluasi dan Pemantauan Komplikasi
Evaluasi perlu dilakukan setiap 6 – 12 bulan untuk semua pasien hemofilia, meliputi
status musculoskeletal, transfusion related infection (terutama pada pasien yang mendapat
transfusi kriopresipitat/FFP), kesehatan gigi – mulut, vaksinasi dan adanya penyekat.

Komplikasi yang dapat timbul pada penderita Hemofilia diantaranya:


1. Kerusakan sendi akibat perdarahan sendi berulang dan/atau pengobatan tidak tepat, yang
dapat menyebabkan kecacatan.
2. Komplikasi akibat perdarahan yang tidak dapat diatasi : anemia berat, gagal sirkulasi
(syok) kematian.
3. Komplikasi transfusi komponen darah dan/atau konsentrat faktor pembekuan yang
berasal dari plasma : reaksi transfusi ringan sampai berat, reaksi alergi. Komplikasi
penularan infeksi virus tertentu (hepatitis B, hepatitis C, HIV, parvo virus ) saat ini
semakin jarang seiring dengan semakin baiknya proses skrining infeksi virus tersebut
dalam pembuatan komponen darah kriopresipitat/fresh frozen plasma dan konsentrat
factor pembekuan.
4. Hematuria (air kencing berwarna merah), bila gumpalan darah terjadi di saluran kemih
dapat menyebabkan nyeri kolik ringan sampai berat karena urin tidak dapat mengalir
keluar dengan lancer (obstruksi).
5. Perdarahan saluran pencernaan, kelainan yang timbul dapat berupa adanya darah pada
feses dan muntah. Kehilangan darah secara kronis akibat ini dapat menyebabkan anemia
pada pasien.
6. Perdarahan intrakranial atau perdarahan otak; gejala sakit kepala, muntah tanpa sebab
yang jelas, kejang, penurunan kesadaran.
7. Sindrom kompartemen, terjadi pada perdarahan otot yang luas sehingga menyebabkan
tekanan dan kerusakan pada jaringan saraf dan pembuluh darah di sekitar otot tersebut,
dengan gejala berupa kesemutan, rasa baal dan kelumpuhan.
Indonesian Hemophilia Society – hemophilia.or.id

12

You might also like