You are on page 1of 20

MAKALAH KELOMPOK 21

Sindrom Melas

Anggota :

Tien Ayu Oktariani 16310302

Tri Wahyu Wulandari 16310303

Tri Wibowo Julianto 16310304

Tyani Khoerunnisa Sutrisno 16310305

Uda Prayoga 16310306

Utari Silvia Putri 16310307

Vianita Nurendah Hardiyat 16310309

Vikko Rachmat Yulian 16310310

Vincentius Manggala Putra 16310311

Vini Nugraheni 16310312

Wahyu Apriani Eka Putri 16310313

Wahyu Wijaya 16310314

Wahyuri Wisesa 16310315

Wawan Setiawan Kautsar 16310316

Winendy Deo Haryanto 16310317


BAB I

PENDAHULUAN

Mitokondria merupakan salah satu komponen di dalam sel yang penting untuk

berbagai proses seluler. Salah satu mekanisme penting yang dilakukan mitokondria adalah

fosforilasi oksidatif. Fosforilasi oksidatif ini bertujuan untukk memproduksi energi seluler

dalam bentuk adenosine trifosfat (ATP). Gangguan yang terjadi pada mitokondria akan

berupa sekelompok penyakit heterogen yang biasanya bermanifestasi pada jaringan yang

membutuhkan energi tinggi seperti otot, otak, jantung, dan saraf, sehingga disebut dengan

mitochondrial encephalomyopathies (Selim, 2013).

Penyakit mitokondria pada anak semakin diakui keberadaannya. Penyakit ini telah

dilaporkan sebagai penyakit neurometabolik paling sering yang dapat diturunkan pada

populasi berbeda di Inggris. Prevalensi penyakit yang sebenarnya sulit dipastikan, mengingat

penyakit mitokondrial jarang dilaporkan. Akan tetapi, bukti epidemiologis menunjukkan

sebuah prevalensi 1 dari 7.634 kelahiran hidup dan resiko seumur hidup mengalami penyakit

mitokondria sekitar 1 dari 5.000. Mutasi individual dilaporkan berada pada frekuensi karier

lebih tinggi, mendekati 1 dari 400, namun hanya sebagian kecil dari individu tersebut akan

mengalami penyakit tersebut (Kisler, 2010).

Bidang kedokteran mitokondria baru saja berkembang dalam 25 tahun terakhir. Para

dokter memiliki keterbatasan bukti dalam membuat formulasi keputusan klinis mengenai

diagnosis, terapi, dan manajemen keseharian pasien. Penyakit ini pun masih kekurangan

penanda yang cukup sensitif dan spesifik. Hal ini dapat dikarenakan penyakit tersebut

tergolong penyakit yang jarang sehingga pembiayaan untuk studi terbatas (Parikh, 2014;

Parikh, 2009). Oleh karena itu, perlu diketahui mengenai penyakit mitokondria pada anak,

khususnya ensefalopati mitokondria.


BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Mitokondria

Mitokondria adalah suatu organel yang terdapat pada semua sel berinti dan

merupakan pembentuk utama ATP melalui reaksi oxidative phosphorylation (OXPHOS).

Proses ini melibatkan tahapan transfer elektron pada rantai respirasi (kompleks I–IV) dan ATP

synthase (kompleks V). Mitokondria mempunyai DNA sendiri, namun organel ini bekerja di

bawah kendali genetik dari DNA inti maupun dari genome mitokondria (Chial, 2008; Solano,

2001).

DNA mitokondria (mtDNA) merupakan molekul dengan ukuran 16,569-kb berbentuk

sirkuler, double-stranded, yang mengandung 37 gen: 2 gen rRNA, 22 gen tRNA, dan 13 gen

structural yang mengkode protein enzim yang bekerja pada respiratory chain (OXPHOS) di

mitokondria, Rantai respirasi ini merupakan tahap akhir dari metabolism oksidatif dan

terbentuknya ATP (Chial, 2008; Solano, 2001).

Gambar 1. DNA mitokondria berbentuk sirkuler dengan beberapa


complex region yang menyandi protein enzim pada rantai respirasi
(Chial, 2008; Solano, 2001)
2.2 Mutasi DNA Mitokondria

Seperti halnya pada DNA inti, DNA mitokondria juga dapat mengalami mutasi. Point

mutation pada mtDNA dapat mengakibatkan penurunan jumlah enzim yang diperlukan pada

respiratory chain sehingga produksi ATP juga akan sangat berkurang. Gangguan produksi

energi dalam sel pada akhirnya akan menimbulkan berbagai kelainan pada individu yang

menderita. Kelainan ini terutama terjadi pada organ yang membutuhkan energi yang besar,

yaitu otak dan otot. Oleh sebab itu, manifestasi klinis penyakit akibat kelainan mitokondria

sebagian besar diakibatkan oleh kerusakan pada otak/sistem saraf pusat dan otot (Reeve,

2008).

Lebih dari 150 mutasi titik dan kesalahan urutan mtDNA yang telah diketahui

berhubungan dengan beberapa macam penyakit. Penyakit yang terkait dengan mutasi pada

mtDNA dibagi menjadi dua kelompok besar: 1) kelompok gangguan yang disebabkan oleh

mutasi pada gen yang terlibat pada sintesis protein (sindrom deplesi DNA mitokondria), dan

2) kelompok gangguan yang disebabkan mutasi pada gen yang mengkode protein individual

yang terlibat dalam respiratory chain (sindrom delesi DNA mitokondria) (Chial, 2008; Solano,

2001; Reeve, 2008). Sindroma delesi mtDNA lebih bermanifestasi pada dewasa, sedangkan

sindrom deplesi mtDNA biasanya terjadi pada anak, dengan karakteristik keterlibatan satu

organ saja atau multisistem (Bonnen, 2013). Pembagiannya adalah sebagai berikut

TIPE MUTASI KLINIS BIOKIMIAWI

KSS Penurunan I, III, IV

Delesi tunggal PEO Penurunan I, III, IV

Mutasi yang PS -
mempengaruhi
sintesis protein MELAS Penurunan I, III, IV
mitokondria in MERRF &
vivo Mutasi tRNA multisitem Penurunan I, III, IV
lain
Miopati Penurunan I, III, IV

LHON Penurunan I (+/-)


Gen ND
MELAS, LS Penurunan I
Mutasi pada
Miopati Penurunan I
gen pengkode
protein Multisitem Penurunan III
Cyt b
Miopati Penurunan III

Multisistem Penurunan IV
Gen COX
Miopati Penurunan IV

Gen ATPase 6 NARP/MILS Penurunan V

LA (lactic acidosis), ND (NADH dehydrogenase), KSS (Kearns-Sayre syndrome), PEO (progressive


external ophtalmoplegia), PS (Pearson syndrome), MELAS (mitochondrial encephalomyopathy,lactic
acidosis, stroke-like episodes), MERRF (myoclonus epilepsy and raggered fibers), LHON (Leber
hereditary optic neuropathy), LS (Leigh syndrome), NARP (neuropathy, ataxia, retinitis pigmentosa),
MILS (maternally inherited Leigh syndrome).

Studi tentang mutasi DNA mitokondria masih dilakukan untuk lebih memperjelas

etiologi dari penyakit mitokondria ini. Bonnen et al pada tahun 2013 menemukan mutasi

FBXL4 pada anak yang datang dengan ensefalopati, asidosis lakat, dan deplesi mtDNA berat

pada ototnya. Mereka menunjukkan bahwa FBXL4 merupakan protein F-box yang terletak

berdekatan dengan mitokondria dan mutasi serta hilangnya fungsi dari protein ini

menyebabkan defisiensi rantai respiratori berat, hilangnya potensi membran mitokondria, dan

gangguan jaringan mitokondria dinamis serta distribusi nukleoid pada fibroblas. Mereka

menyimpulkan bahwa FBXL4 merupakan penyebab penyakit dan menetapkannya sebagai

protein mitokondria dengan kemungkinan peran dalam mempertahankan integritas dan

stabilitas mtDNA (Bonnen, 2013)

2.3 Diagnosis

Tidak ada parameter praktis berbasis konsensus yang dapat digunakan untuk klinis

untuk membuat diagnosis atau memberikan terapi pada pasien terkait penyakit mitokondria.

Kebanyakan ahli kedokteran mitokondria menggunakan sebuah pedoman yang didasarkan

pada konsep teoritis, rekomendasi yang terbatas, dan pengalaman pribadi. Variabilitas terjadi

pada pendekatan diagnostik yang digunakan, luasnya pemeriksaan penunjang, interpretasi

hasil, dan bukti penegakan diagnosis penyakit mitokondria tersebut (Parikh, 2014).
Sindroma ensefalopati mitokondria, asidosis laktat, dan episode seperti stroke

(MELAS) adalah salah satu penyakit mitokondria paling sering yang ditemukan pertama pada

tahun 1984. Pada tahun 1992, kriteria diagnostik klinis untuk sindrom MELAS meliputi episode

stroke sebelum usia 40 tahun, ensefalopati yang ditandai dengan kejang dan/atau demensia,

dan bukti miopati mitokondria yaitu asidosis laktat dan/atau ragged-red fibers (RRF).

Diagnosis dapat diterima jika juga terdapat minimal dua dari kriteria berikut, perkembangan

psikomotor awal normal, nyeri kepala rekuren, dan episode muntah rekuren. Lebih terkini,

komite kelompokk studi MELAS di Jepang menerbitkan kriteria diagnosis lain yaitu kriteria

definitif dengan minimal dua kriteria kategori A (nyeri kepala dengan muntah, kejang,

hemiplegia, buta kortikal, dan lesi fokal akut pada pencitraan neurologi) dan dua kriteria

kategori B (kadar laktat plasma atau cairan serebrospinal tinggi, abnormalitas mitokondrial

pada biopsi otot, dan mutasi gen terkait MELAS) (Yatsuga, 2012; El-Hattab, 2015).

Peda prinsipnya, penurunan produksi ATP akibat gangguan mitokondria

menyebabkan gejala klinis. Beberapa studi telah menunjukkan manifestasi klinis pada pasien

dengan penyakit mitokondria yang mendukung istilah “semua jaringan dan semua tanda pada

semua usia”. Akan tetapi, bayi dan anak-anak dengan penyakit mitokondria cenderung

memiliki onset akut dari gejala dan perjalanan klinis jika dibandingkan dengan pasien dewasa,

yang lebih perlahan dan progresif. Manifestasi klinis pada 103 pasien pediatrik yang

didokumentasikan oleh Chi pada tahun 2014 adalah sebagai berikut (Chi, 2014).
Diagnosis penyakit mitokondria memiliki sedikit sistem skor dalam kriteria

diagnosisnya. Wolf et al mengajukan sistem skor kriteria diagnostik mitokondria (MDC) untuk

bayi dan anak pada tahun 2002. Sistem ini mengevaluasi manifestasi klinis (I; skor klinis

maksimum: 4 poin) dari gejala otot (IA; skor maksimum: 2 poin), abnormalitas sistem saraf

pusat (IB; skor maksimum: 2 poin), dan keterlibatan multisistem (IC; skor maksimum: 3 poin),

ditambah dengan abnormalitas metabolik dan neuroimaging (II; skor tambahan maksimum: 4

poin). Anomali histologis (III) dapat meningkatkan skor sebanyak 4 poin, menyebabkan skor

maksimal sebesar 12 poin. Skor 8-12 didefinisikan sebagai definite, skor 5-7 didefinisikan

sebagai probable, skor 2-4 didefinisikan sebagai possible, dan skor 1 didefinisikan sebagai

unlikely. (Wolf, 2002).

Tabel Kriteria Klinis (Wolf, 2002)


Beragamnya manifestasi klinis yang dapat terjadi pada penyakit mitokondria membuat

kepentingan pemeriksaan penunjang dalam menegakkan diagnosis. Pemeriksaan penunjang

yang dapat dilakukan adalah pemeriksaan darah, survei metabolik, pencitraan, biopsi

jaringan, pemeriksaan enzimatik, dan uji genetik mitokondria (Chi, 2014).

Tabel Kriteria Biokimia (Wolf, 2002)


Sistem skor untuk Kriteria Biokimia: Unlikely: 0; Possible: 1–2; Probable: 2; Highly Probable:
>2

Tabel Kriteria Genetik (Wolf, 2002)

Sistem skor untuk Kriteria Genetik: Definite: kriteria 1 atau 2 abnormal; Probable: Kriteria 3
abnormal; Undetermined: kriteria 4 ada

2.4 Terapi

Seperti penyakit genetis lain, penyakit akibat mutasi mtDNA membutuhkan

penanganan yang cukup kompleks. Secara garis besar, pendekatan terapi penyakit ini dapat

dibagi menjadi tiga kelompok. Yaitu: 1) Terapi simptomatis sesuai gejala yang timbul pada

masing-masing penderita; 2) Terapi farmakologis untuk meningkatkan kualitas hidup

penderita; dan 3) Terapi gen (Dimauro, 2005; Taylor, 2005; Parikh, 2014).

2.4.1. Terapi simptomatis

Telah dijelaskan sebelumnya bahwa manifestasi klinis utama dari penyakit akibat

mutasi mtDNA adalah kelainan pada otot dan sistem saraf pusat. Oleh karena itu gejala-gejala

yang terkait gangguan saraf dan otot seperti gangguan perkembangan mental dan motoris,

kejang, atonia/distonia, dan kontraktur otot banyak ditemukan pada penderita. Masing-masing

penderita dapat menunjukkan gejala yang berbeda, oleh karena itu pendekatan terapinya

harus disesuaikan dengan gejala klinis yang ada, bila perlu penanganan oleh ahli dari masing-

masing disiplin ilmu yang sesuai dapat dilakukan (Dimauro, 2005; Taylor, 2005; Parikh, 2014).

Sebagai contoh, gejala kejang yang timbul pada penderita Leigh Syndrom perlu

penanganan dengan pemberian obat-obatan antikonvulsan. Obat psikotropika efektif pada

pasien dengan gejala psikiatrik, khususnya depresi, Hambatan perkembangan mental dan
motoris pada penderita PDH defisiensi memerlukan penanganan khusus antara lain terapi

wicara dan terapi okupasi. Tindakan pembedahan oleh opthalmologist diperlukan untuk

penanganan ptosis parah pada pasien dengan oftalmoplegia eksternal progresif. Katarak

kongenital juga dapat ditangani dengan pembedahan (Dimauro, 2005; Taylor, 2005; Parikh,

2014).

Pada pasien dengan sindroma Kearns-Sayre disertai blockade konduksi jantung.

Perlu dilakukan pemasangan pacemaker untuk menyelamatkan nyawa pasien. Pada pasien

dengan kardiomiopati dan gangguan multisystem dapat dipertimbangkan tindakan

transplantasi jantung (Dimauro, 2005; Taylor, 2005; Parikh, 2014).

Kehilangan pendengaran neurosensoris dapat ditangani dengan implantasi koklea.

Gagal hepar yang sering terkait dengan sindroma deplesi mtDNA, dapat ditangani dengan

transplantasi liver. Myoglobinuria rekuren dapat ditemukan pada pasien dengan defisiensi

coenzyme Q10 (CoQ10) primer atau dengan mutasi gen pengkode protein mtDNA. Selama

episode akut, semua pasien harus dilakukan rehidrasi dan menjalani dialysis ginjal karena

myoglobinuria dapat menyebabkan komplikasi gagal ginjal (Dimauro, 2005; Taylor, 2005;

Parikh, 2014).

2.4.2 Terapi Farmakologis

Dalam makalah ini, yang dimaksud dengan terapi farmakologis adalah pemberian

obat-obatan yang bekerja dengan menghambat metabolit toksik sebagai hasil dari metabolism

alternative, maupun obat-obatan yang bekerja meningkatkan fungsi dan life time enzim pada

rantai respirasi. Yang termasuk di sini adalah:

2.4.2.1 Pengeluaran Metabolit Noxius

Asidosis laktat adalah salah satu tanda khas dari penyakit akibat kelainan mitokondria.

Karena metabolism aerob di mitokondria mengalami gangguan, maka jalur metabolisme

anaerob meningkat dan menghasilkan metabolit asam laktat. Asam laktat bersifat neurotoksik,

sehingga kadarnya perlu diturunkan. Obat penurun asam laktat yang umum digunakan adalah
dikloroasetat (DKA) yang bekerja dengan menghambat piruvat dehydrogenase (PDH) kinase,

menyebabkan PDH tetap defosforilasi, bentuk aktif dan membantu metabolism piruvat dan

oksidasi laktat. DKA sendiri mempunyai efek samping neuropati perifer, sehingga DKA tidak

boleh digunakan dalam jangka panjang pada kelainan mitokondria yang rentan terkena

neurophaty perifer (Dimauro, 2005; Taylor, 2005; Parikh, 2014).

Sindroma ensefalopati neurogastrointestinal mitokondrial (MNGIE) mempunyai tanda

khas adanya defek pada sinyal intergenomik. Pasien dengan kelainan multisistemik ini

mengalami mutasi pada gen TP yang mengkode enzim timidin kinase, akibat yang ditimbulkan

adalah akumulasi timidin dalam darah. Strategi pengobatan yang dapat dilakukan adalah

dengan menurunkan metabolit ini dengan hemodialisa. Pendekatan yang lebih radikal seperti

transplantasi sel stem allogenik dapat dipertimbangakan karena hasilnya cukup menjanjikan

(Dimauro, 2005; Taylor, 2005; Parikh, 2014).

Dari beberapa pengamatan, telah diketahui bahwa sel satelit dan mioblas

mengandung jumlah mtDNA mutan lebih sedikit dibandingkan serabut otot matur. Dari data

ini, beberapa peneliti berusaha mengembangkan strategi pengobatan dengan menggunakan

agen miotoksik, bupivocaine, untuk menyebabkan nekrosis otot terbatas, yang dapat

menghasilkan jaringan otot dengan jumlah mutan mtDNA lebih sedikit. Sayangnya, percobaan

dengan injeksi unilateral bupivocaine pada otot levator palpebral pada lima pasien dengan

oftalmoplegia eksternal progresif atau KSS tidak menghasilkan perbaikan apapun.

Pendekatan lain berdasar pada fakta bahwa latihan isometric menyebabkan mikrotrauma dan

nekrosis otot terbatas. Salah satu penelitian pada 1 pasien dengan mioglobinuria rekuren

karena mutasi nonsense gen COX I mtDNA, mengindikasikan bahwa ada sebuah proses

regenerasi. pada beberapa serabut otot yang dibiopsi. Fakta ini mendukung pendekatan

terapi dengan menginduksi myoglobinuria pada pasien yang mengalami intoleransi latihan

atau kelemahan karena mutasi mtDNA spesifik otot. Selain itu, baik latihan ketahanan dan

resistance dapat digunakan sebagai kombinasi untuk penanganan miopati mitokondria

(Dimauro, 2005; Taylor, 2005; Parikh, 2014).


2.4.2.2 Pemberian Akseptor Elektron

Encephalomiopati mitokondrial dapat disebabkan oleh defisiensi CCoQ10 primer.

Kekurangan CoQ10 di mitokondria akan mengganggu aliran eklektron dari kompleks I dan II

ke kompleks III, dimana akan mengurangi sintesis ATP. Sebagai tambahan, CoQ10 berfungsi

sebagai antioksidan sehingga defisiensinya akan berdampak pada sel post-mitotik seperti

neuron dan otot yang rentan terhadap kerusakan oksidatif Pendekatan terapi yang dapat

dilakukan adalah pemberian 2 akseptor elektron buatan, yaitu menadiol difosfat 40 mg/hari

dan vitamin C 4 g/hari (Dimauro, 2005; Taylor, 2005; Parikh, 2014).

Beberapa clinical trial dengan kedua obat itu menunjukkan kembalinya kekuatan dan

ketahanan otot, biopsy otot setelah 8 bulan terapi menunjukkan bahwa level CoQ10 kembali

normal, penumpukan lipid menghilang, aktivitas enzim rantai pernafasan meningkat, dan

penurunan proporsi miofibril yang terapoptosis. Meskipun demikian, pasien yang mengalami

ataksia membutuhkan dosis yang lebih besar (hingga 1.000 mg/hari) dan berespon lambat,

hal ini mungkin diakibatkan kerusakan serbelar yang ireversibe (Dimauro, 2005; Taylor, 2005;

Parikh, 2014).

2.4.2.3 Pemberian Vitamin dan Kofaktor

Berbagai macam vitamin dan kofaktor telah digunakan pada pasien ensepalomiopati

mitokondrial dan menunjukkan hasil yang positif, antara lain adalah riboflavin (vitamin B2),

thiamine (Vitamin B1), Asam folat, CoQ10, I-Carnitine, dan creatine. Beberapa diantaranya

seperti riboflavin dan CoQ10 adalah komponen dari rantai respiratori. Sedangkan kofaktor

yang lain menurun pada beberapa kondisi seperti asam folat yang lebih rendah dari normal

pada darah dan CSF pasien dengan KSS. Pada beberapa pasien, kadar carnitin bebas

cenderung menurun karena carnitine teresterifikasi meningkat. Pergeseran ini mencerminkan

kerusakan parsial dari β-oksidasi disertai gangguan CoQ10. Gabungan vitamin yang dapat

digunakan untuk kasus ini adalah L-carnitine (1000 mg 3x/hari) dan CoQ10 (minimal 400

mg/hari) dengan tujuan mengembalikan level carnitine bebas dan meningkatkan aktivitas

oxygen radical scavenger CoQ10 (Dimauro, 2005; Taylor, 2005; Parikh, 2014).
Pada pasien MELAS, terjadi defisiensi carnitin primer, pendekatan terapi yang dapat

dilakukan adalah pemberian Carnitine Monohidrat. Pada suatu percobaan, pemberian

Carnitine monohidrat pada 6 pasien dengan MELAS dan 1 dengan kelainan mitokondrial

yang tidak jelas menunjukkan adanya perbaikan pada aktifitas yang berat tetapi tidak pada

latihan aerobik yang ringan (Dimauro, 2005; Taylor, 2005; Parikh, 2014).

Suplementasi tembaga memberikan hasil yang positif pada beberapa penelitian in

vitro untuk terapi ensepalomiopati infantile yang terkait dengan defisiensi COX. Pada kelainan

ini terjadi mutasi gen SCO2, yang mengkode protein COX-assembly yang dibutuhkan untuk

insersi cooper ke holoenzim. Ketika tembaga ditambahkan pada medium kultur dari mioblast

defisit COX yang memiliki mutasi SCO2, aktivitas COX dapat kembali normal. Hal ini

menunjukkan bahwa suplementasi tembaga kemungkinan besar bermanfaat untuk bayi yang

menderita cardiomiopati dan mutasi SCO2 (Dimauro, 2005; Taylor, 2005; Parikh, 2014).

Deplesi mtDNA juga dapat dicegah dengan penambahan produk defektif enzim

(deoksiguinosine monofosfat dan deoxyadenosin monofosfat), deoxiguinase kinase, pada

fibroblas dari pasien dengan sindrom hepatoserebral dan mutasi homozigus pada gen

DGUOK (Dimauro, 2005; Taylor, 2005; Parikh, 2014).

2.4.2.4 Pemberian Oxygen Radical Scavengers (ORS)

Defek rantai respirasi memiliki efek yang berbahaya yaitu kerusakan produksi ATP,

gangguan intracellular calcium buffering, produksi ROS berlebih, dan peningkatan apoptosis.

Peningkatan produksi ROS merusak membran sel melalui peroksidasi lipid dan juga dapat

memperparah jumlah mutasi mtDNA (Dimauro, 2005; Taylor, 2005; Parikh, 2014).

Dalam percobaan menurunkan ROS, beberapa Oxygen radical Scavengers telah

digunakan pada sebagian besar kelainan yang disebutkan termasuk vitamin E, CoQ10,

idebenone, dan dihidrolifoat. CoQ10 telah digunakan untuk penyakit mitokondria dengan hasil

positif dan efek negatif yang minimal. CoQ10 dan analognya, idebenone, telah digunakan

secara luas sebagai terapi kelainan neurodegenerative yang terkait dengan peningkatan ROS

(Dimauro, 2005; Taylor, 2005; Parikh, 2014).


2.4.3 Terapi Gen

Seperti halnya pada kelainan akibat mutasi DNA inti, pendekatan terapi gen dapat

dilakukan pada kelainan akibat mutasi DNA mitokondria. Untuk penyakit mitokondria yang

disebabkan mutasi pada gen inti, masalahnya tidak berbeda dengan terapi gen untuk

gangguan genetic mendelian, termasuk pemilihan vector viral atau non-viral yang sesuai,

pengiriman ke jaringan yang sakit, dan reaksi imunologis potensial (Dimauro, 2005; Taylor,

2005; Parikh, 2014).

Namun pada penyakit akibat mutasi pada mtDNA murni, masalahnya jauh lebih

kompleks. Genome mitokondria yang bersifat poliploid, fenomena heteroplasmy,

ketidakmampuan untuk mentransfeksikan asam nukleat yang potensial untuk terapi ke

mitokondria serta belum adanya realisasi model hewan coba dengan penyakit mtDNA menjadi

masalah utama dalam pengembangan terapi berbasis gen. Walaupun demikian, beberapa

strategi untuk menyelamatkan fungsi mitokondria melalui komplementasi defek genetic atau

manipulasi langsung level mtDNA mutan telah dipertimbangkan. Salah satu cara melengkapi

protein mitokondria disfungsional adalah melalui allotopic expression. Dengan menggunakan

pendekatan ini, menjadi mungkin untuk mengekspresikan protein ATPase 6 wild-type secara

allotopic dari suatu konstruksi nucleus-transfected pada sel cybrid transmitochondrial yang

bersifat homoplasmy untuk mutasi pada 8993T>G MTATP6 (subunit 6 dari ATP synthase

mitokondria) dimana dapat menyebabkan kelemahan neurogenik, ataxia dan retinitis

pigmentosa (NARP syndrome). Intervensi ini ternyata menyebabkan pemulihan parsial pada

defek biokimia akibat mutasi mtDNA. Strategi yang sama juga digunakan untuk

mengekspresikan gen modifikasi subunit 4 NADH dehydrogenase (ND4) untuk melengkapi

(complementation) mutasi 1778G>A yang menyebabkan LHON (Dimauro, 2005; Taylor,

2005; Parikh, 2014).

Strategi terapi selanjutnya adalah melakukan pergeseran pada heteroplasmy, yaitu

menurunkan rasio genom mutan terhadap wild-type (gene shifting). Pendekatan ini dapat

dicapai melalui beberapa cara: (1) menghambat replikasi genome mutan secara selektif
dengan peptide asam nukleat; (2) memasukkan RNAs ke mitokondria; (3) memasukkan

polipeptida ke mitokondria; (4) memilih untuk fungsi respirasi; (5) induksi regenerasi otot; dan

(6) induksi fusi mitokondria (Dimauro, 2005; Taylor, 2005; Parikh, 2014).

Hibridisasi selektif derivate asam nukleat mtDNA mutan dapat menghambat

replikasinya selama propagasi genome wild-type, sehingga menyebabkan proporsi genome

mutan turun di bawah ambang patogenik (pathogenic threshold). Beberapa percobaan in vitro

berhasil menurunkan rasio mutan A8344G MERRF (Dimauro, 2005; Taylor, 2005; Parikh,

2014).

Strategi terapi selanjutnya adalah memasukkan polipeptida ke mitokondria. Strategi

terapi ini mempunyai implementasi logistic yang berbeda, meliputi ekspresi allotopik, ekspresi

xenotopik, dan impor endonuclease restriksi. Ekspresi allotopik mengacu pada strategi yang

ditujukan untuk menurunkan beban protein mutan dengan mengimpor versi normal dari

protein mutan yang dikode mtDNA dari gen snuck ke dalam nucleus. Sebagai contoh, gen

ATPase 6 mtDNA dapat diubah dari mitokondria ke kode genetic inti. Untuk meyakinkan

bahwa protein inti baru dikode oleh gen yang telah diubah dikenali, dan ditranspor ke

mitokondria, maka pada protein tersebut diberi leader peptide, dimana sekuen genetiknya

dipinjam dari protein yang dikode mtDNA yang lain. Setelah genetic Trojan horse dibawa ke

nucleus, produk translasinya di sitoplasma ditranspor ke mitokondria, dilepaskan iktan leader

peptide-nya, dan bergabung dengan komponen F0 dari kompleks V bersama dengan ATPase

8 yang disintesis di mitokondria. Pendekatan ini telah direalisasikan in vitro untuk mengkoreksi

defek biokimia sel cybrid yang mengalami mutasi T8993G NARP/MILS dan cybrid yang

mengalami mutasi G11778A LHON (Leber’s hereditary optic neuropathy) (Dimauro, 2005;

Taylor, 2005; Parikh, 2014).

Trik molekuler lain yang digunakan untuk mengkoreksi defek rantai respirasi yang

disebabkan mutasi mtDNA dengan transfeksi sel mamalia yang sakit adalah dengan gen

mitokondria maupun gen inti dari organisme lain tetapi mengkode cognate protein ‘xenotopic

expression’. Pendekatan molekuler langsung adalah dengan mengimpor endonuclease

restriktif spesifik sebagai magic bullets untuk merusak mtDNA mutan secara selektif.
Pendekatan ini telah dilakukan pada sel cybrid model mutasi pada gen ATPase 6 T8993G

NARP/MILS dengan membuat site Smal unik pada mtDNA manusia. Gen untuk Smal fusi ke

sekuen target mitokondria dan secara transien diekspresikan pada cybrid heteroplasmik yang

kehilangan mtDNA mutan (Dimauro, 2005; Taylor, 2005; Parikh, 2014).

Pendekatan lain yang cukup efektif untuk menurunkan beban mutasi mtDNA secara

in vitro adalah pemaparan terhadap metabolit keton. Sel hybrid yang mengalami delesi

tunggal mtDNA dibiakkan dalam medium yang mengandung keton sebagai sumber karbon.

Sel yang homoplasmik untuk delesi mtDNA mati, sedangkan sel homoplasmik untuk mtDNA

wild-type hidup. Pada heteroplasmic cell lines, proporsi mtDNA wild-type meningkat dari 13%

menjadi 22% setelah 5 hari perlakuan dalam medium ketogenik, dan pada percobaan ini

didapatkan perbaikan sintesis protein mitokondria. Pergeseran heteroplasmik (heteroplasmic

shifting) tidak hanya terjadi diantara sel (seleksi interseluler) tetapi juga di dalam sel (seleksi

intraseluler). Hasil ini dapat dijadikan rujukan kemungkinan dilakukannya percobaan in vivo

pada pasien menggunakan diet ketogenik (Dimauro, 2005; Taylor, 2005; Parikh, 2014).

Dalam kaitannya dengan heteroplasmic shifting, mungkin tidak perlu lagi menurunkan

jumlah mutasi jika kita dapat mendistribusikan ulang proporsi mtDNA mutan dengan wild-type

dalam mitokondria, mengubah organel mutan homoplasmi dan organel wild-type homoplasmi

menjadi organel heteroplasmi. Dengan cara ini, maka dapat dimanipulasi populasi

mitokondria mutan di bawah threshold untuk mengobati disfungsi mitokondria (Dimauro, 2005;

Taylor, 2005; Parikh, 2014).

Pendekatan terapi selanjutnya adalah mengurangi produksi ROS. Pendekatan genetic

dengan menangkap ROS telah berhasil dilakukan pada hewan coba tikus. Pertama, defisiensi

kompleks I disebabkan oleh ekspresi anti-NDUFA1 ribozyme (NDUFA1 merupakan subunit

katalitik kompleks I) menginduksi lesi retina dan saraf optic sama dengan LHON pada

manusia. Kedua, regulasi penurunan MnSOD oleh ekspresi anti-SOD2 ribozyme pada tikus

juga menginduksi lesi menyerupai LHON. Data ini mendukung konsep bahwa produksi ROS

berlebihan merusak retina dan saraf optic. Ketika peneliti melakukan ko-ekspresi anti-

NDUFA1 rybozyme (racun) dan SOD2 (antidot) pada tikus yang sama, lesi tidak muncul.
Fakta ini menjelaskan bagaimana potensi terapi suatu SOD scavenging (Dimauro, 2005;

Taylor, 2005; Parikh, 2014).


BAB III
KESIMPULAN

Penyakit mitokondria merupakan sekelompok penyakit heterogen yang biasanya

bermanifestasi pada jaringan yang membutuhkan energi tinggi seperti otot, otak, jantung, dan

saraf. Manifestasi klinis nya dapat terjadi dengan gejala apa saja, pada organ mana saja, dan

pada usia mana saja. Penyakit mitokondria pada anak memiliki onset yang lebih akut dan

lebih berat dibandingkan penyakit mitokondria pada dewasa. Pemberian terapi untuk penyakit

mitokondria tersebut meliputi terapi simtomatik, terapi farmakologis, dan terapi genetik.
DAFTAR PUSTAKA

1. Chial H, Craig J. 2008. mtDNA and Mitochondrial Diseases. Nature Education 1(1).
http://www.nature.com/scitable/topicpage/mtdna-and-mitochondrial-diseases-903.
Diakses tanggal 1 Januari 2013.

2. Solano A, Playán A, López-Pérez MJ, Montoya J. 2001. Genetic Diseases of Human


Mitochondrial DNA. Salud Publica Mex 2001;43:151-161

3. Reeve AK, Krishnan KJ, Turnbull D. 2008. Mitochondrial DNA Mutations in Disease,
Aging, and Neurodegeneration. Annals of the New York Academy of Sciences; 1147:
21-29

4. Dimauro S, Dacidzon G. 2005. Mitochondrial DNA and Disease. Annals of Medicine.


2005; 37: 222-232

5. Taylor RW, Turnbull DM. 2005. Mitochondrial DNA Mutations in Human Disease.
(Online) http://www.nature.com/reviews/genetics. Diakses tanggal 1 Januari 2013.

6. Wolf NI, Smeitink JA. Mitochondrial disorders: a proposal for consensus diagnostic
criteria in infants and children. Neurology. 2002 Nov 12;59(9):1402-5.

7. Parikh S, Goldstein A, Koenig MK, Scaglia F, Enns GM, Saneto R, Anselm I, Cohen
BH, Falk MJ, Greene C, Gropman AL, Haas R, Hirano M, Morgan P, Sims K,
Tarnopolsky M, Van Hove JL, Wolfe L, DiMauro S. Diagnosis and management of
mitochondrial disease: a consensus statement from the Mitochondrial Medicine
Society. Genet Med. 2015 Sep 2;17(9):689-701.

8. Kisler JE, Whittaker RG, McFarland R. Mitochondrial diseases in childhood: a clinical


approach to investigation and management. Dev Med Child Neurol. 2010
May;52(5):422-33.

9. Bonnen PE, Yarham JW, Besse A, Wu P, Faqeih EA, Al-Asmari AM, Saleh MA, Eyaid
W, Hadeel A, He L, Smith F, Yau S, Simcox EM, Miwa S, Donti T, Abu-Amero KK,
Wong LJ, Craigen WJ, Graham BH, Scott KL, McFarland R, Taylor RW. Mutations in
FBXL4 cause mitochondrial encephalopathy and a disorder of mitochondrial DNA
maintenance. Am J Hum Genet. 2013 Sep 5;93(3):471-81.

10. Parikh S, Saneto R, Falk MJ, Anselm I, Cohen BH, Haas R, Medicine Society TM. A
modern approach to the treatment of mitochondrial disease. Curr Treat Options
Neurol. 2009 Nov;11(6):414-30.

11. Chi CS. Diagnostic approach in infants and children with mitochondrial diseases.
Pediatr Neonatol. 2015 Feb;56(1):7-18.
12. Selim L, Mehaney D. Mitochondrial encephalopathy with lactic acidosis and stroke-like
episodes in a Japanese child: Clinical, radiological and molecular genetic analysis.
The Egyptian Journal of Medical Human Genetics (2013) 14, 317–322
13. El-Hattab AW, Adesina AM, Jones J, Scaglia F. MELAS syndrome: Clinical
manifestations, pathogenesis, and treatment options. Molecular Genetics and
Metabolism (2015) 116, 4–12

You might also like