Professional Documents
Culture Documents
Sindrom Melas
Anggota :
PENDAHULUAN
Mitokondria merupakan salah satu komponen di dalam sel yang penting untuk
berbagai proses seluler. Salah satu mekanisme penting yang dilakukan mitokondria adalah
fosforilasi oksidatif. Fosforilasi oksidatif ini bertujuan untukk memproduksi energi seluler
dalam bentuk adenosine trifosfat (ATP). Gangguan yang terjadi pada mitokondria akan
berupa sekelompok penyakit heterogen yang biasanya bermanifestasi pada jaringan yang
membutuhkan energi tinggi seperti otot, otak, jantung, dan saraf, sehingga disebut dengan
Penyakit mitokondria pada anak semakin diakui keberadaannya. Penyakit ini telah
dilaporkan sebagai penyakit neurometabolik paling sering yang dapat diturunkan pada
populasi berbeda di Inggris. Prevalensi penyakit yang sebenarnya sulit dipastikan, mengingat
sebuah prevalensi 1 dari 7.634 kelahiran hidup dan resiko seumur hidup mengalami penyakit
mitokondria sekitar 1 dari 5.000. Mutasi individual dilaporkan berada pada frekuensi karier
lebih tinggi, mendekati 1 dari 400, namun hanya sebagian kecil dari individu tersebut akan
Bidang kedokteran mitokondria baru saja berkembang dalam 25 tahun terakhir. Para
dokter memiliki keterbatasan bukti dalam membuat formulasi keputusan klinis mengenai
diagnosis, terapi, dan manajemen keseharian pasien. Penyakit ini pun masih kekurangan
penanda yang cukup sensitif dan spesifik. Hal ini dapat dikarenakan penyakit tersebut
tergolong penyakit yang jarang sehingga pembiayaan untuk studi terbatas (Parikh, 2014;
Parikh, 2009). Oleh karena itu, perlu diketahui mengenai penyakit mitokondria pada anak,
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Mitokondria
Mitokondria adalah suatu organel yang terdapat pada semua sel berinti dan
Proses ini melibatkan tahapan transfer elektron pada rantai respirasi (kompleks I–IV) dan ATP
synthase (kompleks V). Mitokondria mempunyai DNA sendiri, namun organel ini bekerja di
bawah kendali genetik dari DNA inti maupun dari genome mitokondria (Chial, 2008; Solano,
2001).
sirkuler, double-stranded, yang mengandung 37 gen: 2 gen rRNA, 22 gen tRNA, dan 13 gen
structural yang mengkode protein enzim yang bekerja pada respiratory chain (OXPHOS) di
mitokondria, Rantai respirasi ini merupakan tahap akhir dari metabolism oksidatif dan
Seperti halnya pada DNA inti, DNA mitokondria juga dapat mengalami mutasi. Point
mutation pada mtDNA dapat mengakibatkan penurunan jumlah enzim yang diperlukan pada
respiratory chain sehingga produksi ATP juga akan sangat berkurang. Gangguan produksi
energi dalam sel pada akhirnya akan menimbulkan berbagai kelainan pada individu yang
menderita. Kelainan ini terutama terjadi pada organ yang membutuhkan energi yang besar,
yaitu otak dan otot. Oleh sebab itu, manifestasi klinis penyakit akibat kelainan mitokondria
sebagian besar diakibatkan oleh kerusakan pada otak/sistem saraf pusat dan otot (Reeve,
2008).
Lebih dari 150 mutasi titik dan kesalahan urutan mtDNA yang telah diketahui
berhubungan dengan beberapa macam penyakit. Penyakit yang terkait dengan mutasi pada
mtDNA dibagi menjadi dua kelompok besar: 1) kelompok gangguan yang disebabkan oleh
mutasi pada gen yang terlibat pada sintesis protein (sindrom deplesi DNA mitokondria), dan
2) kelompok gangguan yang disebabkan mutasi pada gen yang mengkode protein individual
yang terlibat dalam respiratory chain (sindrom delesi DNA mitokondria) (Chial, 2008; Solano,
2001; Reeve, 2008). Sindroma delesi mtDNA lebih bermanifestasi pada dewasa, sedangkan
sindrom deplesi mtDNA biasanya terjadi pada anak, dengan karakteristik keterlibatan satu
organ saja atau multisistem (Bonnen, 2013). Pembagiannya adalah sebagai berikut
Mutasi yang PS -
mempengaruhi
sintesis protein MELAS Penurunan I, III, IV
mitokondria in MERRF &
vivo Mutasi tRNA multisitem Penurunan I, III, IV
lain
Miopati Penurunan I, III, IV
Multisistem Penurunan IV
Gen COX
Miopati Penurunan IV
Studi tentang mutasi DNA mitokondria masih dilakukan untuk lebih memperjelas
etiologi dari penyakit mitokondria ini. Bonnen et al pada tahun 2013 menemukan mutasi
FBXL4 pada anak yang datang dengan ensefalopati, asidosis lakat, dan deplesi mtDNA berat
pada ototnya. Mereka menunjukkan bahwa FBXL4 merupakan protein F-box yang terletak
berdekatan dengan mitokondria dan mutasi serta hilangnya fungsi dari protein ini
menyebabkan defisiensi rantai respiratori berat, hilangnya potensi membran mitokondria, dan
gangguan jaringan mitokondria dinamis serta distribusi nukleoid pada fibroblas. Mereka
2.3 Diagnosis
Tidak ada parameter praktis berbasis konsensus yang dapat digunakan untuk klinis
untuk membuat diagnosis atau memberikan terapi pada pasien terkait penyakit mitokondria.
pada konsep teoritis, rekomendasi yang terbatas, dan pengalaman pribadi. Variabilitas terjadi
hasil, dan bukti penegakan diagnosis penyakit mitokondria tersebut (Parikh, 2014).
Sindroma ensefalopati mitokondria, asidosis laktat, dan episode seperti stroke
(MELAS) adalah salah satu penyakit mitokondria paling sering yang ditemukan pertama pada
tahun 1984. Pada tahun 1992, kriteria diagnostik klinis untuk sindrom MELAS meliputi episode
stroke sebelum usia 40 tahun, ensefalopati yang ditandai dengan kejang dan/atau demensia,
dan bukti miopati mitokondria yaitu asidosis laktat dan/atau ragged-red fibers (RRF).
Diagnosis dapat diterima jika juga terdapat minimal dua dari kriteria berikut, perkembangan
psikomotor awal normal, nyeri kepala rekuren, dan episode muntah rekuren. Lebih terkini,
komite kelompokk studi MELAS di Jepang menerbitkan kriteria diagnosis lain yaitu kriteria
definitif dengan minimal dua kriteria kategori A (nyeri kepala dengan muntah, kejang,
hemiplegia, buta kortikal, dan lesi fokal akut pada pencitraan neurologi) dan dua kriteria
kategori B (kadar laktat plasma atau cairan serebrospinal tinggi, abnormalitas mitokondrial
pada biopsi otot, dan mutasi gen terkait MELAS) (Yatsuga, 2012; El-Hattab, 2015).
menyebabkan gejala klinis. Beberapa studi telah menunjukkan manifestasi klinis pada pasien
dengan penyakit mitokondria yang mendukung istilah “semua jaringan dan semua tanda pada
semua usia”. Akan tetapi, bayi dan anak-anak dengan penyakit mitokondria cenderung
memiliki onset akut dari gejala dan perjalanan klinis jika dibandingkan dengan pasien dewasa,
yang lebih perlahan dan progresif. Manifestasi klinis pada 103 pasien pediatrik yang
didokumentasikan oleh Chi pada tahun 2014 adalah sebagai berikut (Chi, 2014).
Diagnosis penyakit mitokondria memiliki sedikit sistem skor dalam kriteria
diagnosisnya. Wolf et al mengajukan sistem skor kriteria diagnostik mitokondria (MDC) untuk
bayi dan anak pada tahun 2002. Sistem ini mengevaluasi manifestasi klinis (I; skor klinis
maksimum: 4 poin) dari gejala otot (IA; skor maksimum: 2 poin), abnormalitas sistem saraf
pusat (IB; skor maksimum: 2 poin), dan keterlibatan multisistem (IC; skor maksimum: 3 poin),
ditambah dengan abnormalitas metabolik dan neuroimaging (II; skor tambahan maksimum: 4
poin). Anomali histologis (III) dapat meningkatkan skor sebanyak 4 poin, menyebabkan skor
maksimal sebesar 12 poin. Skor 8-12 didefinisikan sebagai definite, skor 5-7 didefinisikan
sebagai probable, skor 2-4 didefinisikan sebagai possible, dan skor 1 didefinisikan sebagai
yang dapat dilakukan adalah pemeriksaan darah, survei metabolik, pencitraan, biopsi
Sistem skor untuk Kriteria Genetik: Definite: kriteria 1 atau 2 abnormal; Probable: Kriteria 3
abnormal; Undetermined: kriteria 4 ada
2.4 Terapi
penanganan yang cukup kompleks. Secara garis besar, pendekatan terapi penyakit ini dapat
dibagi menjadi tiga kelompok. Yaitu: 1) Terapi simptomatis sesuai gejala yang timbul pada
penderita; dan 3) Terapi gen (Dimauro, 2005; Taylor, 2005; Parikh, 2014).
Telah dijelaskan sebelumnya bahwa manifestasi klinis utama dari penyakit akibat
mutasi mtDNA adalah kelainan pada otot dan sistem saraf pusat. Oleh karena itu gejala-gejala
yang terkait gangguan saraf dan otot seperti gangguan perkembangan mental dan motoris,
kejang, atonia/distonia, dan kontraktur otot banyak ditemukan pada penderita. Masing-masing
penderita dapat menunjukkan gejala yang berbeda, oleh karena itu pendekatan terapinya
harus disesuaikan dengan gejala klinis yang ada, bila perlu penanganan oleh ahli dari masing-
masing disiplin ilmu yang sesuai dapat dilakukan (Dimauro, 2005; Taylor, 2005; Parikh, 2014).
Sebagai contoh, gejala kejang yang timbul pada penderita Leigh Syndrom perlu
pasien dengan gejala psikiatrik, khususnya depresi, Hambatan perkembangan mental dan
motoris pada penderita PDH defisiensi memerlukan penanganan khusus antara lain terapi
wicara dan terapi okupasi. Tindakan pembedahan oleh opthalmologist diperlukan untuk
penanganan ptosis parah pada pasien dengan oftalmoplegia eksternal progresif. Katarak
kongenital juga dapat ditangani dengan pembedahan (Dimauro, 2005; Taylor, 2005; Parikh,
2014).
Perlu dilakukan pemasangan pacemaker untuk menyelamatkan nyawa pasien. Pada pasien
Gagal hepar yang sering terkait dengan sindroma deplesi mtDNA, dapat ditangani dengan
transplantasi liver. Myoglobinuria rekuren dapat ditemukan pada pasien dengan defisiensi
coenzyme Q10 (CoQ10) primer atau dengan mutasi gen pengkode protein mtDNA. Selama
episode akut, semua pasien harus dilakukan rehidrasi dan menjalani dialysis ginjal karena
myoglobinuria dapat menyebabkan komplikasi gagal ginjal (Dimauro, 2005; Taylor, 2005;
Parikh, 2014).
Dalam makalah ini, yang dimaksud dengan terapi farmakologis adalah pemberian
obat-obatan yang bekerja dengan menghambat metabolit toksik sebagai hasil dari metabolism
alternative, maupun obat-obatan yang bekerja meningkatkan fungsi dan life time enzim pada
Asidosis laktat adalah salah satu tanda khas dari penyakit akibat kelainan mitokondria.
anaerob meningkat dan menghasilkan metabolit asam laktat. Asam laktat bersifat neurotoksik,
sehingga kadarnya perlu diturunkan. Obat penurun asam laktat yang umum digunakan adalah
dikloroasetat (DKA) yang bekerja dengan menghambat piruvat dehydrogenase (PDH) kinase,
menyebabkan PDH tetap defosforilasi, bentuk aktif dan membantu metabolism piruvat dan
oksidasi laktat. DKA sendiri mempunyai efek samping neuropati perifer, sehingga DKA tidak
boleh digunakan dalam jangka panjang pada kelainan mitokondria yang rentan terkena
khas adanya defek pada sinyal intergenomik. Pasien dengan kelainan multisistemik ini
mengalami mutasi pada gen TP yang mengkode enzim timidin kinase, akibat yang ditimbulkan
adalah akumulasi timidin dalam darah. Strategi pengobatan yang dapat dilakukan adalah
dengan menurunkan metabolit ini dengan hemodialisa. Pendekatan yang lebih radikal seperti
transplantasi sel stem allogenik dapat dipertimbangakan karena hasilnya cukup menjanjikan
Dari beberapa pengamatan, telah diketahui bahwa sel satelit dan mioblas
mengandung jumlah mtDNA mutan lebih sedikit dibandingkan serabut otot matur. Dari data
agen miotoksik, bupivocaine, untuk menyebabkan nekrosis otot terbatas, yang dapat
menghasilkan jaringan otot dengan jumlah mutan mtDNA lebih sedikit. Sayangnya, percobaan
dengan injeksi unilateral bupivocaine pada otot levator palpebral pada lima pasien dengan
Pendekatan lain berdasar pada fakta bahwa latihan isometric menyebabkan mikrotrauma dan
nekrosis otot terbatas. Salah satu penelitian pada 1 pasien dengan mioglobinuria rekuren
karena mutasi nonsense gen COX I mtDNA, mengindikasikan bahwa ada sebuah proses
regenerasi. pada beberapa serabut otot yang dibiopsi. Fakta ini mendukung pendekatan
terapi dengan menginduksi myoglobinuria pada pasien yang mengalami intoleransi latihan
atau kelemahan karena mutasi mtDNA spesifik otot. Selain itu, baik latihan ketahanan dan
Kekurangan CoQ10 di mitokondria akan mengganggu aliran eklektron dari kompleks I dan II
ke kompleks III, dimana akan mengurangi sintesis ATP. Sebagai tambahan, CoQ10 berfungsi
sebagai antioksidan sehingga defisiensinya akan berdampak pada sel post-mitotik seperti
neuron dan otot yang rentan terhadap kerusakan oksidatif Pendekatan terapi yang dapat
dilakukan adalah pemberian 2 akseptor elektron buatan, yaitu menadiol difosfat 40 mg/hari
Beberapa clinical trial dengan kedua obat itu menunjukkan kembalinya kekuatan dan
ketahanan otot, biopsy otot setelah 8 bulan terapi menunjukkan bahwa level CoQ10 kembali
normal, penumpukan lipid menghilang, aktivitas enzim rantai pernafasan meningkat, dan
penurunan proporsi miofibril yang terapoptosis. Meskipun demikian, pasien yang mengalami
ataksia membutuhkan dosis yang lebih besar (hingga 1.000 mg/hari) dan berespon lambat,
hal ini mungkin diakibatkan kerusakan serbelar yang ireversibe (Dimauro, 2005; Taylor, 2005;
Parikh, 2014).
Berbagai macam vitamin dan kofaktor telah digunakan pada pasien ensepalomiopati
mitokondrial dan menunjukkan hasil yang positif, antara lain adalah riboflavin (vitamin B2),
thiamine (Vitamin B1), Asam folat, CoQ10, I-Carnitine, dan creatine. Beberapa diantaranya
seperti riboflavin dan CoQ10 adalah komponen dari rantai respiratori. Sedangkan kofaktor
yang lain menurun pada beberapa kondisi seperti asam folat yang lebih rendah dari normal
pada darah dan CSF pasien dengan KSS. Pada beberapa pasien, kadar carnitin bebas
kerusakan parsial dari β-oksidasi disertai gangguan CoQ10. Gabungan vitamin yang dapat
digunakan untuk kasus ini adalah L-carnitine (1000 mg 3x/hari) dan CoQ10 (minimal 400
mg/hari) dengan tujuan mengembalikan level carnitine bebas dan meningkatkan aktivitas
oxygen radical scavenger CoQ10 (Dimauro, 2005; Taylor, 2005; Parikh, 2014).
Pada pasien MELAS, terjadi defisiensi carnitin primer, pendekatan terapi yang dapat
Carnitine monohidrat pada 6 pasien dengan MELAS dan 1 dengan kelainan mitokondrial
yang tidak jelas menunjukkan adanya perbaikan pada aktifitas yang berat tetapi tidak pada
latihan aerobik yang ringan (Dimauro, 2005; Taylor, 2005; Parikh, 2014).
vitro untuk terapi ensepalomiopati infantile yang terkait dengan defisiensi COX. Pada kelainan
ini terjadi mutasi gen SCO2, yang mengkode protein COX-assembly yang dibutuhkan untuk
insersi cooper ke holoenzim. Ketika tembaga ditambahkan pada medium kultur dari mioblast
defisit COX yang memiliki mutasi SCO2, aktivitas COX dapat kembali normal. Hal ini
menunjukkan bahwa suplementasi tembaga kemungkinan besar bermanfaat untuk bayi yang
menderita cardiomiopati dan mutasi SCO2 (Dimauro, 2005; Taylor, 2005; Parikh, 2014).
Deplesi mtDNA juga dapat dicegah dengan penambahan produk defektif enzim
fibroblas dari pasien dengan sindrom hepatoserebral dan mutasi homozigus pada gen
Defek rantai respirasi memiliki efek yang berbahaya yaitu kerusakan produksi ATP,
gangguan intracellular calcium buffering, produksi ROS berlebih, dan peningkatan apoptosis.
Peningkatan produksi ROS merusak membran sel melalui peroksidasi lipid dan juga dapat
memperparah jumlah mutasi mtDNA (Dimauro, 2005; Taylor, 2005; Parikh, 2014).
digunakan pada sebagian besar kelainan yang disebutkan termasuk vitamin E, CoQ10,
idebenone, dan dihidrolifoat. CoQ10 telah digunakan untuk penyakit mitokondria dengan hasil
positif dan efek negatif yang minimal. CoQ10 dan analognya, idebenone, telah digunakan
secara luas sebagai terapi kelainan neurodegenerative yang terkait dengan peningkatan ROS
Seperti halnya pada kelainan akibat mutasi DNA inti, pendekatan terapi gen dapat
dilakukan pada kelainan akibat mutasi DNA mitokondria. Untuk penyakit mitokondria yang
disebabkan mutasi pada gen inti, masalahnya tidak berbeda dengan terapi gen untuk
gangguan genetic mendelian, termasuk pemilihan vector viral atau non-viral yang sesuai,
pengiriman ke jaringan yang sakit, dan reaksi imunologis potensial (Dimauro, 2005; Taylor,
Namun pada penyakit akibat mutasi pada mtDNA murni, masalahnya jauh lebih
mitokondria serta belum adanya realisasi model hewan coba dengan penyakit mtDNA menjadi
masalah utama dalam pengembangan terapi berbasis gen. Walaupun demikian, beberapa
strategi untuk menyelamatkan fungsi mitokondria melalui komplementasi defek genetic atau
manipulasi langsung level mtDNA mutan telah dipertimbangkan. Salah satu cara melengkapi
pendekatan ini, menjadi mungkin untuk mengekspresikan protein ATPase 6 wild-type secara
allotopic dari suatu konstruksi nucleus-transfected pada sel cybrid transmitochondrial yang
bersifat homoplasmy untuk mutasi pada 8993T>G MTATP6 (subunit 6 dari ATP synthase
pigmentosa (NARP syndrome). Intervensi ini ternyata menyebabkan pemulihan parsial pada
defek biokimia akibat mutasi mtDNA. Strategi yang sama juga digunakan untuk
menurunkan rasio genom mutan terhadap wild-type (gene shifting). Pendekatan ini dapat
dicapai melalui beberapa cara: (1) menghambat replikasi genome mutan secara selektif
dengan peptide asam nukleat; (2) memasukkan RNAs ke mitokondria; (3) memasukkan
polipeptida ke mitokondria; (4) memilih untuk fungsi respirasi; (5) induksi regenerasi otot; dan
(6) induksi fusi mitokondria (Dimauro, 2005; Taylor, 2005; Parikh, 2014).
mutan turun di bawah ambang patogenik (pathogenic threshold). Beberapa percobaan in vitro
berhasil menurunkan rasio mutan A8344G MERRF (Dimauro, 2005; Taylor, 2005; Parikh,
2014).
terapi ini mempunyai implementasi logistic yang berbeda, meliputi ekspresi allotopik, ekspresi
xenotopik, dan impor endonuclease restriksi. Ekspresi allotopik mengacu pada strategi yang
ditujukan untuk menurunkan beban protein mutan dengan mengimpor versi normal dari
protein mutan yang dikode mtDNA dari gen snuck ke dalam nucleus. Sebagai contoh, gen
ATPase 6 mtDNA dapat diubah dari mitokondria ke kode genetic inti. Untuk meyakinkan
bahwa protein inti baru dikode oleh gen yang telah diubah dikenali, dan ditranspor ke
mitokondria, maka pada protein tersebut diberi leader peptide, dimana sekuen genetiknya
dipinjam dari protein yang dikode mtDNA yang lain. Setelah genetic Trojan horse dibawa ke
peptide-nya, dan bergabung dengan komponen F0 dari kompleks V bersama dengan ATPase
8 yang disintesis di mitokondria. Pendekatan ini telah direalisasikan in vitro untuk mengkoreksi
defek biokimia sel cybrid yang mengalami mutasi T8993G NARP/MILS dan cybrid yang
mengalami mutasi G11778A LHON (Leber’s hereditary optic neuropathy) (Dimauro, 2005;
Trik molekuler lain yang digunakan untuk mengkoreksi defek rantai respirasi yang
disebabkan mutasi mtDNA dengan transfeksi sel mamalia yang sakit adalah dengan gen
mitokondria maupun gen inti dari organisme lain tetapi mengkode cognate protein ‘xenotopic
restriktif spesifik sebagai magic bullets untuk merusak mtDNA mutan secara selektif.
Pendekatan ini telah dilakukan pada sel cybrid model mutasi pada gen ATPase 6 T8993G
NARP/MILS dengan membuat site Smal unik pada mtDNA manusia. Gen untuk Smal fusi ke
sekuen target mitokondria dan secara transien diekspresikan pada cybrid heteroplasmik yang
Pendekatan lain yang cukup efektif untuk menurunkan beban mutasi mtDNA secara
in vitro adalah pemaparan terhadap metabolit keton. Sel hybrid yang mengalami delesi
tunggal mtDNA dibiakkan dalam medium yang mengandung keton sebagai sumber karbon.
Sel yang homoplasmik untuk delesi mtDNA mati, sedangkan sel homoplasmik untuk mtDNA
wild-type hidup. Pada heteroplasmic cell lines, proporsi mtDNA wild-type meningkat dari 13%
menjadi 22% setelah 5 hari perlakuan dalam medium ketogenik, dan pada percobaan ini
shifting) tidak hanya terjadi diantara sel (seleksi interseluler) tetapi juga di dalam sel (seleksi
intraseluler). Hasil ini dapat dijadikan rujukan kemungkinan dilakukannya percobaan in vivo
pada pasien menggunakan diet ketogenik (Dimauro, 2005; Taylor, 2005; Parikh, 2014).
Dalam kaitannya dengan heteroplasmic shifting, mungkin tidak perlu lagi menurunkan
jumlah mutasi jika kita dapat mendistribusikan ulang proporsi mtDNA mutan dengan wild-type
dalam mitokondria, mengubah organel mutan homoplasmi dan organel wild-type homoplasmi
menjadi organel heteroplasmi. Dengan cara ini, maka dapat dimanipulasi populasi
mitokondria mutan di bawah threshold untuk mengobati disfungsi mitokondria (Dimauro, 2005;
dengan menangkap ROS telah berhasil dilakukan pada hewan coba tikus. Pertama, defisiensi
katalitik kompleks I) menginduksi lesi retina dan saraf optic sama dengan LHON pada
manusia. Kedua, regulasi penurunan MnSOD oleh ekspresi anti-SOD2 ribozyme pada tikus
juga menginduksi lesi menyerupai LHON. Data ini mendukung konsep bahwa produksi ROS
berlebihan merusak retina dan saraf optic. Ketika peneliti melakukan ko-ekspresi anti-
NDUFA1 rybozyme (racun) dan SOD2 (antidot) pada tikus yang sama, lesi tidak muncul.
Fakta ini menjelaskan bagaimana potensi terapi suatu SOD scavenging (Dimauro, 2005;
bermanifestasi pada jaringan yang membutuhkan energi tinggi seperti otot, otak, jantung, dan
saraf. Manifestasi klinis nya dapat terjadi dengan gejala apa saja, pada organ mana saja, dan
pada usia mana saja. Penyakit mitokondria pada anak memiliki onset yang lebih akut dan
lebih berat dibandingkan penyakit mitokondria pada dewasa. Pemberian terapi untuk penyakit
mitokondria tersebut meliputi terapi simtomatik, terapi farmakologis, dan terapi genetik.
DAFTAR PUSTAKA
1. Chial H, Craig J. 2008. mtDNA and Mitochondrial Diseases. Nature Education 1(1).
http://www.nature.com/scitable/topicpage/mtdna-and-mitochondrial-diseases-903.
Diakses tanggal 1 Januari 2013.
3. Reeve AK, Krishnan KJ, Turnbull D. 2008. Mitochondrial DNA Mutations in Disease,
Aging, and Neurodegeneration. Annals of the New York Academy of Sciences; 1147:
21-29
5. Taylor RW, Turnbull DM. 2005. Mitochondrial DNA Mutations in Human Disease.
(Online) http://www.nature.com/reviews/genetics. Diakses tanggal 1 Januari 2013.
6. Wolf NI, Smeitink JA. Mitochondrial disorders: a proposal for consensus diagnostic
criteria in infants and children. Neurology. 2002 Nov 12;59(9):1402-5.
7. Parikh S, Goldstein A, Koenig MK, Scaglia F, Enns GM, Saneto R, Anselm I, Cohen
BH, Falk MJ, Greene C, Gropman AL, Haas R, Hirano M, Morgan P, Sims K,
Tarnopolsky M, Van Hove JL, Wolfe L, DiMauro S. Diagnosis and management of
mitochondrial disease: a consensus statement from the Mitochondrial Medicine
Society. Genet Med. 2015 Sep 2;17(9):689-701.
9. Bonnen PE, Yarham JW, Besse A, Wu P, Faqeih EA, Al-Asmari AM, Saleh MA, Eyaid
W, Hadeel A, He L, Smith F, Yau S, Simcox EM, Miwa S, Donti T, Abu-Amero KK,
Wong LJ, Craigen WJ, Graham BH, Scott KL, McFarland R, Taylor RW. Mutations in
FBXL4 cause mitochondrial encephalopathy and a disorder of mitochondrial DNA
maintenance. Am J Hum Genet. 2013 Sep 5;93(3):471-81.
10. Parikh S, Saneto R, Falk MJ, Anselm I, Cohen BH, Haas R, Medicine Society TM. A
modern approach to the treatment of mitochondrial disease. Curr Treat Options
Neurol. 2009 Nov;11(6):414-30.
11. Chi CS. Diagnostic approach in infants and children with mitochondrial diseases.
Pediatr Neonatol. 2015 Feb;56(1):7-18.
12. Selim L, Mehaney D. Mitochondrial encephalopathy with lactic acidosis and stroke-like
episodes in a Japanese child: Clinical, radiological and molecular genetic analysis.
The Egyptian Journal of Medical Human Genetics (2013) 14, 317–322
13. El-Hattab AW, Adesina AM, Jones J, Scaglia F. MELAS syndrome: Clinical
manifestations, pathogenesis, and treatment options. Molecular Genetics and
Metabolism (2015) 116, 4–12