You are on page 1of 44

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Ginjal merupakan salah satu organ penting dalam tubuh manusia

sebagai organ pengatur keseimbangan tubuh dan organ pembuangan zat-zat

yang tidak berguna serta bersifat toksis. Fungsi ginjal yang terpenting adalah

untuk mempertahankan homeostasis bio kimiawi yang normal di dalam

tubuh, hal ini dilakukan dengan cara mengekskresikan zat-zat yang tidak

diperlukan lagi melalui proses filtrasi glomerulus, reabsorbsi dan sekresi

tubulus.1

Sindroma nefrotik saat ini merupakan penyakit ginjal yang sering

ditemui. Bentuk konfigurasi yang menjadi karakteristik sindrom nefrotik

berkembang dari gangguan primer pada barrier selektivitas dinding kapiler

glomerular, yang tidak dapat lagi mengurangi hilangnya protein kurang dari

100mg/m2 luas permukaan tubuh per hari.

Sindrom nefrotik (SN) adalah sindrom klinik yang mempunyai

banyak penyebab, ditandai permeabilitas membran glomerulus yang

meningkat dengan manifestasi proteinuri masif yang menyebabkan

hipoalbuminemia dan biasanya disertai edema dan hiperkolesterolemia.

Dewasa ini, sindrom nefrotik dikenal sebagai penyakit yang sering terjadi

pada anak-anak. Bentuk konfigurasi yang menjadi karakteristik sindrom

nefrotik berkembang dari gangguan primer pada barrier selektivitas dinding

kapiler glomerular, yang tidak dapat lagi mengurangi hilangnya protein

kurang dari 100mg/m2 luas permukaan tubuh per hari.2


2

Prevalensi sindroma nefrotik sendiri dapat mengenai semua usia, dari

infant sampai dewasa, dan paling sering terjadi pada anak usia sekolah dan

pada dewasa. Prevalensi di dunia kurang lebih 16 kasus per 100.000 anak

dengan insiden 2 sampai 7 per 100.000 anak. Laki-laki terlihat lebih sering

terkena dibandingkan perempuan, dengan rasio 2:1 pada anak, tetapi

predominan ini tidak berlaku pada dewasa.2Insiden di Indonesia

diperkirakan enam kasus per tahun tiap 100.000 anak kurang dari 14 tahun.1

Berdasarkan uraian di atas penulis tertarik utnuk membahas lebiih

lanjut tentang sindroma nefrotik yang akan dibuat dalam bentuk laporan

kasus.
3

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi
Sindrom Nefrotik (SN) merupakan salah satu gambaran klinik

penyakit gromerular yang ditandai dengan proteinuri masif >3.5 gram/ 24

jam/ 1.73 m2 disertai hipoalbuminemia, edema anasarka, hiperlipidemia,

lipiduria dan hiperkoagulabilitas.3

2.2 Etiologi
Sindroma nefrotik dapat disebabkan oleh penyakit renal primer

(idiopatik) atau oleh karena berbagai macam penyebab sekunder. Pasien

menunjukan gejala khas yaitu edema, proteinuria, hipoalbuminemia, dan

sering terjadi dislipidemia. Pada orang dewasa, diabetes mellitus adalah

penyebab sekunder yang paling sering, dan glomerulosklerosis focal

segmental dan nefropati membranosa adalah penyebab primer tersering.

Tromboemboli vena dapat menjadi komplikasinya, gagal ginjal akut dan

infeksi bacterial yang serius juga dapat terjadi, namun sangat jarang.4

SN merupakan perwujudan (manifestasi) glomerulus yang paling

sering ditemukan di anak yang 15 kali lebih sering daripada di orang

dewasa. Kelainan histologik yang terbanyak di anak adalah kelainan

minimal yang disebut "Sindrom Nefrotik Kelainan Minimal" (SNKM).

Penyakit ini merupakan penyakit kronis yang cenderung kambuh

berulangkali, perjalanan penyakit ini bersifat secara


4

kebetulan (insidious), dan seringkali menyebabkan keterlambatan

diagnosis.

2.3 Epidemiologi
Insidens dapat mengenai semua umur tetapi sebagian besar (74%)

dijumpai pada usia 2-7 tahun. Rasio laki-laki ; perempuan= 2:1 sedangkan

pada masa remaja dan dewasa rasio ini berkisar 1:1. Penelitian di Selandia

Baru menemukan insidens sindrom nefrotik hampir 20 per 1 juta kasus

pada anak-anak berusia dibawah 15 tahun. Pada populasi tertentu, seperti

di Finlandia atau Mennonite, sindrom nefrotik kongenital dapat terjadi

pada 1/10.000 atau 1/500 kelahiran. Berdasarkan ISKDC 84.5% dari

semua anak dengan sindrom nefrotik primer mempunyai gambaran

histologik sindrom nefrotik kelainan minimal, 9.5% glomerulosklerosis

fokal, 2.5% mesangial, 3.5% nefropati membranosa atau penyebab

lainnya.5

Prevalensi SNKM di negara barat sekitar 2–3 kasus per 100.000 anak

< 16 tahun, di Asia 16 kasus per 100.000 anak dan di Indonesia sekitar 6

kasus per 100.000 anak < 14 tahun. Anak laki-laki lebih sering terjangkit

daripada anak perempuan dengan perbandingan 2:1. Anak dengan SNKM

biasanya berumur 1 < 10 tahun, sekitar 90% kasus berumur < 7 tahun

dengan usia rerata 2–5 tahun.2

2.4 Patofisologi
Sindrom nefrotik dapat terjadi karena perubahan struktur glomerulus

yang dapat terjadi karena kerusakan permukaan endotel, kerusakan


5

membrana basalis dan atau kerusakan podosit oleh beberapa faktor yang

disebutkan diatas. Satu atau lebih mekanisme ini akan terjadi pada salah

satu tipe SN.6

a. Proteinuria8
Proteinuria merupakan kelainan dasar SN. Proteinuria sebagian

besar berasal dari kebocoran glomerulus (proteinuria glomerular) dan

hanya sebagian kecil berasal dari sekresi tubulus (proteinuria tubular).

Perubahan integritas membran basalis glomerulus menyebabkan

peningkatan permeabilitas glomerulus terhadap protein plasma dan

protein utama yang diekskresikan dalam urin adalah albumin. Dalam

keadaan normal membran basal glomerulus (MBG) mempunyai

mekanisme penghalang untuk mencegah kebocoran protein.

Mekanisme penghalang pertama berdasarkan ukuran molekul (size

barrier) dan yang kedua berdasarkan muatan listrik (charge barrier).

Pada SN kedua mekanisme penghalang tersebut ikut terganggu. Selain

itu konfigurasi molekul protein juga menentukan lolos tidaknya

protein melalui MBG. Proteinuria dibedakan menjadi selektif dan non-

selektif berdasarkan ukuran molekul protein yang keluar melalui urin.

Proteinuria selektif apabila yang keluar terdiri dari molekul kecil

misalnya albumin. Sedangkan non-selektif apabila protein yang keluar

terdiri dari molekul besar seperti immunoglobulin. Selektivitas

proteinuria ditentukan oleh keutuhan struktur MBG


6

b. Hipoalbuminemia 9

Konsentrasi albumin plasma ditentukan oleh asupan protein,

sintesis albumin hati dan kehilangan protein melalui urin. Pada SN

hipoalbuminemia disebabkan oleh proteinuria massif dengan akibat

penurunan tekanan onkotik plasma. Untuk mempertahankan tekanan

onkotik plasma maka hati berusaha meningkatkan sintesis albumin.

Peningkatan sintesis albumin hati tidak berhasil menghalangi

timbulnya hipoalbuminemia. Dalam keadaan normal hati memiliki

kapasitas sintesis untuk meningkatkan albumin total sebesar 25 gram

per hari. Namun masih belum jelas mengapa hati tidak mampu

meningkatkan sintesis albumin secara adekuat untuk menormalkan

kadar albumin plasma pada pasien dengan proteinuria 4-6 gram per

hari. Diet tinggi protein dapat meningkatkan sintesis albumin hati,

tetapi dapat mendorong peningkatan ekskresi albumin melalui urin.

Hipoalbuminemia dapat pula terjadi akibat peningkatan rearbsorbsi

dan katabolisme albumin oleh tubulus proksimal

c. Edema anasarka 9

Edema pada sindroma nefrotik dapat diterangkan dengan teori

underfill dan overfill. Teori underfill menjelaskan bahwa

hipoalbuminemia merupakan faktor kunci terjadinya edema pada

sindroma nefrotik. Hipoalbuminemia menyebabkan penurunan

tekanan onkotik plasma sehingga cairan bergeser dari intravascular

ke jaringan interstisium mengikuti hukum Starling dan terjadi edema.

Akibat penurunan tekanan onkotik plasma dan bergesernya cairan

plasma terjadi hipovolemia, dan ginjal melakukan kompensasi


7

dengan merangsang system renin angiotensin sehingga terjadi retensi

natrium dan air di tubulus distal. Mekanisme kompensasi ini akan

memperbaiki volume intravascular tetapi juga akan mengeksaserbasi

terjadinya hipoalbuminemia sehingga edema semakin berlanjut.

Teori overfill menjelaskan bahwa retensi natrium adalah defek utama

renal. Terjadi defek primer pada kemampuan nefron distal untuk

mengekskresikan natrium, hal ini dapat disebabkan oleh aktivasi

kanal natrium epitel (ENac) oleh enzim proteolitik yang memasuki

lumen tubulus pada keadaan proteinuria massif. Akibatnya terjadi

peningkatan volume darah, penekanan renin-angiotensin dan

vasopressin, dan kecenderungan untuk terjadinya hipertensi

dibandingkan hipotensi; ginjal juga relative resisten terhadap efek

natriuretic peptide. Meningkatnya volume darah, akibat tekanan

onkotik yang rendah, memicu transudasi cairan ke ruang

ekstraseluler dan edema. Penurunan laju filtrasi glomerulus akibat

kerusakan ginjal akan menambah retensi natrium dan edema. Kedua

mekanisme tersebut ditemukan secara bersamaan pada pasien SN.

Faktor seperti asupan natrium, efek diuretic, atau terapi steroid,

derajat gangguan fungsi ginjal, jenis lesi glomerulus, dan keterkaitan

dengan penyakit jantung atau hati akan menentukan mekanisme

mana yang lebih berperan


8

d. Hiperlipidemia 7

Disebut hiperkolesterolemia bila kadar kolesterol > 250

mg/100ml. akhir-akhir ini disebut juga sebagai hiperlipidemia karena

bukan hanya kolesterol saja yang meningkat tetapi juga beberapa

konstituen lemak meninggi dalam darah. Konstituen lemak itu adalah

kolesterol, low density lipoprotein (LDL), very low density lipoprotein

(VLDL), dan trigliserida. Hiperlipidemia terjadi sebagai akibat

kelainan pada homeostasis lipoprotein yang terjadi sebagai akibat

peningkatan sintesis dan penurunan katabolisme. Akibat

hipoalbuminemia, sel-sel hepar terpacu untuk membuat albumin

sebanyak-banyaknya. Bersamaan dengan sintesis albumin ini, sel-sel

hepar juga akan membuat VLDL.

Dalam keadaan normal, VLDL diubah menjadi LDL oleh

lipoprotein lipase. Tetapi pada SN akitifitas enzim ini terhambat oleh

adanya hipoalbuminemia dan tingginya kadar asam lemak bebas.

Disamping itu menurunnya aktifitas lipoprotein lipase ini disebabkan

pula oleh rendahnya kadar apolipoprotein plasma sebagai akibat

keluarnya protein ke dalam urin. Apabila kadar albumin serum

kembali normal, baik secara spontan ataupun dengan pemberian infus

albumin, maka umumnya kadar lipid kembali normal. Pada status

nefrosis, hampir semua kadar lemak (kolesterol, trigliserid) dan

lipoprotein serum meningkat.


9

2.5 Tanda dan Gejala Klinis


Edema merupakan gejala klinis yang menonjol, edema umumnya

terlihat pada kedua kelopak mata, yang nampak terutama waktu bangun

tidur. Edema dapat menetap atau bertambah, baik lambat ataupun cepat

atau dapat hilang dan timbul kembali. Selama periode ini edema preorbital

sering disebabkan oleh cuaca dingin atau alergi, lambat laun edema

menjadi menyeluruh, yaitu ke pinggang, perut dan tungkai bawah

sehingga penyakit yang sebenarnya menjadi tambah nyata. Pada keadaan

lebih lanjut lagi dapat timbul ascites, pembengkakan skrotum atau labia

dan bahkan efusi pleura. 10

Gangguan gastrointestinal sering ditemukan dalam perjalanan

penyakit SN, diare sering dialami pasien dalam keadaan edema yang

massif dan keadaan ini rupanya tidak berkaitan dengan infeksi, namun

diduga penyebabnya adalah edema di mukosa usus. Hepatomegali dapat

ditemukan pada pemeriksaan fisik, mungkin disebabkan sintesis albumin

yang meningkat, atau edema atau keduanya. Pada beberapa pasien nyeri di

perut yang kadang-kadang berat dapat terjadi, kemungkinan adanya

abdomen akut atau peritonitis harus disingkirkan dengan pemeriksaan fisik

dan pemeriksaan lainnya. Bila komplikasi ini tidak ada, kemungkinan

penyebab nyeri tidak diketahui namun dapat disebabkan karena edema

dinding perut atau pembengkakan hati. Kadang nyeri dirasakan terbatas

pada kuadran kanan atas abdomen. Nafsu makan kurang berhubungan erat

dengan beratnya edema. Pada keadaan ascites berat dapat terjadi hernia

umbilikalis dan prolap ani. 11


10

Gangguan pernafasan oleh karena adanya distensi abdomen dengan atau

tanpa efusi pleura maka pernafasan sering tergangguu, bahkan kadang-

kadang menjadi gawat. 11

Tanda lain dari SN adalah hilangnya massa otot rangka, hipertensi, kuku

memperlihatkan pita-pita putih melintang (Muerchke’s Band) akibat

hipoalbuminemia. 11

Gangguan fungsi psikososial dapat ditemukan pada pasien SN, yang

merupakan stres non spesifik terhadap anak yang sedang berkembang dan

keluarganya. Kecemasan dan merasa bersalah merupakan respon emosional

tidak saja pada orangtua pasien, namun juga dialami oleh anak sendiri.

Perasaan-perasaan ini memerlukan diskusi penjelasan untuk mengatasinya.

Para dokter yang sadar dapat berusaha mendorong meningkatkan

perkembangan dan penyesuaian pasien dan keluarganya serta berusaha

menolong mencegah dan mengurangi komplikasi.

2.6 Diagnosis
Kriteria diagnosis sindrom nefrotik. 12

a. Proteinuria lebih dari 3-3,5 g/24 jam atau dengan melihat rasio

protein:kreatinin urin >300-350 mg/mmol

b. Serum albumin <25 g/L (2,5 g/dL)

c. Edema anasarka

d. Hiperlipidemia.
11

2.7 Penatalaksanaan 12,13

Pada prinsipnya terapi untuk SN terdiri dari terapi umum dan terapi spesifik.

Terapi umum 12

1. Pengobatan untuk edema

a. Dapat diberikan diuretika loop (furosemide) oral, bila belum ada

respons dosis ditingkatkan sampai terjadi diuresis, bila perlu bisa

dikombinasi dengan Hidroklorothiazid oral (bekerja sinergistik

dengan furosemide). Bila tetap tidak respon beri furosemide

secara IV, bila perlu disertai pemberian infus albumin, dan bila

tetap belum ada respons perlu dipertimbangkan ultrafiltrasi

mekanik (terutama untuk kasus dengan insufisiensi ginjal).

b. Pembatasan diet garam 1-2 g/hr dan pembatasan cairan.

c. Bila perlu tirah baring, terutama untuk orang tua dengan edema

tungkai berat karena kemungkinan adanya insufiseinsi venous

d. Pengukuran berat badan (BB) setiap hari untuk mengevaluasi

edema dan keseimbangan cairan harus dicatat. BB diharapkan

turun 0,5-1 kg/hr.

2. Pengobatan untuk proteinuria 13

a. ACE inhibitor paling sering digunakan, cara kerjanya menghambat

terjadinya vasokonstriksi pada arteriol eferen.

b. Angiotensin II receptor Antagonis (ARB) mempunyai efektivitas yang

sama dengan ACE inhibitor, tetapi tidak didapatkan efek batuk seperti

pada ACE inhibitor.


12

3. Koreksi hipoproteinemia

Untuk memelihara keseimbangan Nitrogen yang positif

dibutuhkan peningkatan kadar protein serum. Tetapi pemberian diet

tinggi protein selain sulit dipenuhi penderita (anoreksia) juga terbukti

justru meningkatkan ekskresi protein urin. Untuk penderita SN diberikan

diet tinggi kalori/karbohidrat (untuk memaksimalkan penggunaan

protein yang dimakan) dan cukup protein (0,8-1 mg/kgBB/hari).

4. Terapi Hiperlipidemia

Walaupun belum ada bukti yang jelas bahwa hyperlipidemia pada

SN meningkatkan risiko penyakit kardiovaskular, tetapi apa yang terjadi

pada populasi umum perlu dipakai sebagai pertimbangan untuk

menurunkan kadar lipid pada penderita SN. Dapat digunakan golongan

HMG-Co A reduktase inhibitor (statin).

5. Hiperkoagulabilitas

Masih terdapat silang pendapat mengenai perlunya pemberian

antikoagulasi jangka panjang untuk semua penderita SN guna mencegah

terjadinya thrombosis. Tetapi bila sudah terjadi thrombosis atau emboli

paru, maka perlu dipertimbangkan antikoagulasi jangka panjang, seperti

warfarin.

6. Pengobatan Infeksi

Antibiotik yang tepat

7. Pengobatan Hipertensi

Bila terdapat hipertensi bisa diberikan, ACE inhibitor, ARB,

Non-Dihydropyridinca Channel Blocker (CCB), pemberian diuretika


13

dpembatasan diet garam, juga ikut berperan dalam pengelolaan

hipertensi.

Terapi Spesifik

Patogenesis sebagian besar penyakit glomerular dikaitkan dengan

gangguan imun, dengan demikian terapi spesifiknya adalah pemberian

imunosupresif. Untuk penderita SN dewasa dianjurkan untuk melakukan

biopsy ginjal sebelum memulai terapi spesifik.

1. Steroid

Prednisone 1 mg/kgBB/hari atau 60mg/hari dapat diberikan

antara 4-12 minggu, selanjutnya diturunkan secara bertahap dalam 2-

3 bulan. Steroid memberi respon yang baik untuk minimal change,

walaupun pada orang dewasa respons nya lebih lambat dibandingkan

pada anak

2. Cyclophosphamide

Untuk penderita yang mengalami relaps setelah steroid

dihentikan (steroid dependent) atau mengalami relaps > 3 kali dalam

setahun (frequently relapsing) bisa diberikan cyclophosphamide 2

mg/kgBB/hari selama 8-12 minggu. Pada penggunaan

cyclophosphamide perlu diwaspadai terjadinya efek samping, berupa

infertilitas, cystitis, alopecia, infeksi, malignansi.

3. Chlorambucil

Digunakan dengan alasan yang sama dengan cyclophosphamide.

Dosis 0,1-0,2/kgBB/hari selama 5-12.7

4. Cyclosponne A (CyA)
14

Pada penderita yang mengalami relaps setelah pemberian

Cyclophosphamide, diberikan CyA dengan dosis awal 4-5

mg/kgBB/hari, dimana dosis selanjutnya perlu disesuaikan dengan

kadar CyA dalam darah. Pemberian berlangsung selama 1 tahun

kemudian diturunkan pelan-pelan. Mengingat CyA mempunyai efek

nefrotoksik, perlu memonitor fungsi ginjal.7

5. Azathioprine

Azathioprine dengan dosis 2-2,5 mg/kgBB/hr digunakan untuk Netritis

Lupus. Penggunaan, kombinasi obat, dosis, dan lama pemberian

imunosupresif tersebut bervariasi, tergantung pada diagnosis

histologinya. Obat-obat yang lebih baru adalah FK 506 atau

takrolimus, dan Mycophenolate Mofetil (MMF).

2.8 Komplikasi 11, 14, 15,16


a. Hiperkoagulasi

Pada sindrom nefrotik dihubungkan dengan meningkatnya kehilangan

antitrombin III melalui urin, perubahan aktivitas dan kadar protein C

dan S, peningkatan sintesis fibrinogen oleh hepar, dan peningkatan

agregasi platelet. Keadaan-keadaan ini meningkatkan resiko terjadinya

thrombosis dan emboli spontan pada pasien. Emboli paru dan

thrombosis vena dalam sering terjadi pada pasien SN.

Thrombosis vena renalis sering terjadi pada 30% pasien SN terutama

pada Glomerulonefritis membranosa (GNMN). Sekitar 10% pasien

dengan thrombosis vena renalis ini memberikan gejala nyeri pinggang

atau abdomen, gross hematuria, dan gangguan fungsi ginjal akut, tetapi
15

kebanyakan pasien asimptomatik. Stroke dan infark miokard juga

merupakan komplikasi yang potensial terjadi akibat hiperkoagulasi. 16

b. Infeksi sekunder

Sebelum era antibiotik, infeksi merupakan penyebab kematian pada

SN terutama oleh organisme berkapsul (encapsulated organism). Infeksi

pada SN terjadi akibat defek imunitas humoral, seluler, gangguan sistem

komplemen. Penurunan IgG, IgA, dan gamma globulin sering ditemukan

pada pasien SN oleh karena sintesis yang menurun atau katabolisme yang

meningkat dan bertambah banyaknya yang terbuang melalui urin. Jumlah

sel T dalam sirkulasi berkurang yang menggambarkan gangguan imunitas

seluler. Hal ini dikaitkan dengan keluarnya transferin dan zinc yang

dibutuhkan oleh sel T agar dapat berfungsi dengan normal, infeksi yang

paling sering terutama infeksi kulit oleh streptococcus, staphylococcus,


14,15,16
bronkopneumonia,TBC. Erupsi erisipelas pada kulit perut atau

paha sering ditemukan. Pinggiran kelainan kulit ini batasnya tegas, tapi

kurang menonjol seperti erisipelas dan biasanya tidak ditemukan

organisme apabila kelainan kulit dibiakan. (3)

c. Gangguan tubulus renalis

Gangguan klirens air bebas pada pasien sindrom nefrotik mungkin

disebabkan kurangnya reabsorbsi natrium di tubulus proksimal dan

berkurangnya hantaran natrium dan air ke ansa henle tebal. Gangguan

pengasaman urin ditandai dengan ketidakmampuan menurunkan pH urin

sesudah pemberian beban asam. 14


16

d. Gagal ginjal akut

Pasien SN mempunyai potensi untuk mengalami gagal ginjal akut

melalui berbagai mekanisme. Penurunan volume plasma atau sepsis

sering menyebabkan timbulnya nekrosis tubular akut. Mekanisme lain

yang diperkirakan menjadi penyebab gagal ginjal akut adalah terjadi

edema intrarenal yang menyebabkan kompresi pada tubular ginjal yang

menyebabkan penurunan LFG. Sindrom nefrotik dapat progresi dan

berkembang menjadi penyakit ginjal tahap akhir.15

e. Anemia

Anemia hipokrom mikrositik, karena defisiensi Fe yang tipikal, namun

resisten terhadap pengobatan preparat Fe.Hal ini disebabkan protein

pengangkut Fe yaitu transferin serum yangmenurun akibat proteinuria.

f. Peritonitis

Adanya edema di mukosa usus membentuk media yang baik untuk

perkembangan kuman-kuman komensal usus. Biasanya akibat

infeksi streptokokus pneumonia, E.coli.14

g. Gangguan keseimbangan hormon dan mineral

Karena protein pengikat hormon hilang dalam urin. Hilangnya

globulin pengikat tiroid (TBG)dalam urin pada beberapa pasien

sindrom nefrotik dan laju ekskresi globulin umumnya berkaitan

dengan beratnya proteinuria. 16


17

h. Hipokalsemia

Disebabkan albumin serum yang rendah, dan berakibat menurunkan

kalsium terikat, tetapi fraksi yang terionisasi normal dan menetap. Di

samping itu pasien sering mengalami hipokalsiuria, yang kembali

menjadi normal dengan membaiknya proteinuria. Absorbsi kalsium

yang menurun di GIT, dengan eksresi kalsium dalam feses lebih

besar daripada pemasukan. Hubungan antara hipokalsemia,

hipokalsiuria, dan menurunnya absorpsi kalsium dalam GIT

menunjukan kemungkinan adanya kelainan metabolisme vitamin D

namun penyakit tulang yang nyata pada penderita SN jarang


(3)
ditemukan. Vitamin D merupakan unsur penting dalam

metabolism kalsium dan tulang pada manusia. Vitamin D yang

terikat protein akan diekskresikan melalui urin sehingga

menyebabkan penurunan kadar plasma. Kadar 25(OH)D dan

1,25(OH)2D plasma juga ikut menurun sedangkan kadar vitamin D

bebas tidak mengalami gangguan. Karena fungsi ginjal pada SN

umumnya normal maka osteomalasi atau hiperparatiroidisme yang

tak terkontrol jarang dijumpai. Pada SN juga terjadi kehilangan

hormone tiroid yang terikat protein (thyroid-binding protein) melalui

urin dan penurunan kadar tiroksin plasma. Tiroksin yang bebas dan

hormon yang menstimulasi tiroksin (thyroxine-stimulating hormone)

tetap normal sehingga secara klinis tidak menimbulkan gangguan.


18

i. Hiperlipidemia dan Lipiduria

Hiperlipidemia merupakan keadaan yang sering menyertai SN.

Kadar kolesterol umumnya meningkat sedangkan trigliserid

bervariasi dari normal sampai sedikit meninggi. Peningkatan kadar

kolesterol disebabkan meningkatnya LDL (low density lipoprotein),

lipoprotein utama pengangkut kolesterol. Kadar trigliserid yang

tinggi dikaitkan dengan peningkatan VLDL (very low density

lipoprotein). Selain itu ditemukan pula peningkatan IDL

(intermediate-density lipoprotein) dan lipoprotein (Lp)a, sedangkan

HDL (high density lipoprotein) cenderung normal atau rendah. 11

j. Malnutrisi

Malnutrisi kalori protein dapat terjadi pada SN dewasa terutama

apabila disertai proteinuria massif, asupan oral yang kurang akibat

perfusi usus yang menurun, dan proses katabolisme yang tinggi.

Penurunan massa otot sering ditemukan tetapi gejala ini tertutup oleh

gejala edema anasarka dan baru tampak setelah edema menghilang.

Kehilangan massa otot sebesar 10-20% dari massa tubuh (lean body

mass) tidak jarang dijumpai pada SN. 11

k. Keseimbangan Nitrogen

Proteinuria massif pada SN akan menyebabkan keseimbangan

nitrogen menjadi negatif.


19

2.9 Prognosis
Prognosis makin baik jika dapat didiagnosis segera. Pengobatan segera

dapat mengurangi kerusakan glomerulus lebih lanjut akibat mekanisme

kompen-sasi ginjal maupun proses autoimun. Prognosis juga baik bila

penyakit memberikan respons yang baik terhadap kortikosteroid dan jarang

terjadi relaps. Terapi antibakteri dapat mengurangi kematian akibat infeksi,

tetapi tidak berdaya terhadap kelainan ginjal sehingga akhirnya dapat terjadi

gagal ginjal. Penyembuhan klinis kadang-kadang terdapat setelah pengobatan

bertahun-tahun dengan kortikosteroid. Prognosis minimal lesion lebih baik

daripada golongan lainnya; sangat baik untuk anak-anak dan orang

dewasa, bahkan bagi mereka yang tergantung steroid. Prognosis buruk pada

glomerolunefritis proliferatif membranosa (MPGN), kelainan ini sering

ditemukan pada nefritis setelah infeksi streptococcus yang progresif dan pada

sindrom nefrotik.
20

BAB III
LAPORAN KASUS

3.1 Status Pasien

3.1.1 Identitas Pasien

Nama : Sdr. Nur Ahmad Farizi

Usia : 19 Tahun

Alamat : Kademangan, KotaProbolinggo

No RM :

3.1.2 Anamsesis

a. Keluhan utama : Sesak

b. Riwayat penyakit sekarang :

Pasien mengeluh sesak sejak pagi tanggal 15 januari 2018, sesak

tiba-tiba dan membaik apabila pasien duduk, dan memburuk apabila

pasien berbaring. Yang sangat terasa adalah berat untuk mengambil

nafas. Sore harinya pasien dibawa ke IGD RSUD dr. Moh. Saleh karena

sudah tidak tahan dengan sesaknya. Keluhan lain,pasien merasakan

bengkak di seleruh tubuh sejak 13 hari yang lalu. Bengkak awalnya

diwajah dan kemudian bengkak keseluruh tubuh. Dari wajah ke tangan,

ke perut lalu keseluruh tubuh. Pasien juga mengatakan bengkak di

scrotumnya. Pusing cekot-cekot (+), mual (+), muntah (-), nafsu makan

berkurang, bab (+) lembek, warna kekuningan, bak (+) warna jernih.

Batuk (-).

c. Riwayat penyakit dahulu


21

Pasien mengatakan tidak pernah sakit seperti ini sebelumnya,

hipertensi (-), diabetes melitus (-), asthma (-).

d. Riwayat penyakit keluarga :

Keluarga pasien tidak pernah ada yang sakit seperti ini, hipertensi (-),

diabetes melitus (-), riwayat atopik pada keluarga (-).

e. Riwayat sosial dan kebiasaan

Pasien mengatakan bahwa tidak suka minum jamu–jamuan. Pasien

juga tidak suka menkonsumsi minum-minuman berenergi. Pasien

juga sedang tidak mengkonsumsi obat dalam jangka waktu lama.

3..1.3 Pemeriksaan Fisik

a. Keadaan Umum
Pasien tampak lemah, kesadaran umum compos mentis, GCS 4-5-6
a. Tanda-tanda vital
HR : 120/70 mmHg
Nadi : 98 x/menit
RR : 24 x/menit
Suhu : 37,2oC
BB : 55 Kg

b. Keadaan Tubuh
Kepala : mesosefal
Kulit : turgor cukup, pucat (+), ikterus (-)
Mata : anemis (-/-), pupil isokor, reflek pupil (+/+), ikterus (-)
edema palpebral (+/+)
Hidung : sekret (-/-), dispneu (+), PCH (-)
Telinga : discharge (-/-)
Mulut : kering (+), sianosis (-), sariawan pada lidah (-)
22

Leher :simetris, pembesaran kelenjar tiroid (-), pembesaran kelenjar


limfe (-), deviasi trakea (-)
a. Thoraks
Paru
Depan Belakang
Pemeriksaan
Kanan Kiri Kanan Kiri
Inspeksi
Bentuk Simetris + + + +
Pergerakan Simetris + + + +
Palpasi
Fremitus Simetris simetris simetris
+ +
raba
Fremitus Simetris Melemah Melemah
+ +
suara
ICS Simetris + + + +
Perkusi
Suara ketok Sonor Sonor Sonor Sonor Sonor
Sonor Redup Sonor Redup Sonor
Sonor Redup Sonor Redup Sonor
Sonor Redup Sonor Redup Sonor
Auskultasi
Suara nafas Vesikuler Vesikuler Vesikuler Vesikuler Vesikuler
Vesikuler Vesikuler
Vesikuler Vesikuler Vesikuler
melemah melemah
Vesikuler Vesikuler
Vesikuler Vesikuler Vesikuler
melemah melemah
Vesikuler Vesikuler
Vesikuler Vesikuler Vesikuler
melemah melemah
Ronkhi - - - - -
Basah
- - - -
halus
- - - - -
- - - - -
Wheezing - - - - -
- - - - -
- - - - -
- - - - -
23

Jantung
Inspeksi Iktus cordis tidak tampak
Palpasi Iktus tidak teraba
Thrill tidak teraba
Perkusi Batas kanan
Batas kiri
Auskultasi S1 S2 tunggal regular
Suara tambahan : murmur (-) gallop (-)

Abdomen
Inspeksi Tidak ada bekas operasi (-)
Tidak ada bekas luka (-)
Massa (-)
Perut tampak kembung
Auskultasi Bising usus (+) normal
Palpasi Supel
Hepar tidak teraba
Lien tidak teraba
Ginjal tidak teraba
Nyeri tekan (-) Epigastrium
Perkusi Suara timpani
Shifting dullness (+)
Undulasi (+)

b. Ekstremitas
Superior Akral hangat kering merah
CRT < 2 detik
Edema + | +
Inferior Akral hangat kering merah
CRT < 2 detik
Edema +|+
24

3.1.4 Pemeriksaan Penunjang

Tanggal / Laboratorium Hasil pemeriksaan Nilai rujukan


Jam
15 Januari Urine lengkap Kejernihan: agak keruh Jernih
2018 Albumin: +1 Negatif
Blood: Positif (+2) Negatif
Ephitel :10-12
Eritrosit:+2
Hematologi Hemoglobin: 14,8 g/dL 13,2-17,3 g/dL
Lengkap Leukosit:5.420 /uL 4,50-12,50 10^3/uL
Trombosit: 281.000 /dL 4,40-5,90 10^6/uL

Laborat darah BUN : 30,8 mg/dL 10,0-20,0 mg/dL


Kreatinin: 1,5 mg/dL 0,60-1,3 mg/dL
25

Tanggal /
Laboratorium Hasil Pemeriksaan Nilai Rujukan
Jam
-
- -

-
- -
-
- -

Fungsi Hati AST (SGOT) : 33 U/L 10 ~40


ALT (SGPT) : 37 U/L 10 ~40

Albumin: 1,4, g/dL 3,3 – 5,2 g/dL


16 Januari Elektrolit Natrium: 132,4 mmol/L 135-150 mmol/L
2018 Kalium: 4,60 mmol/L 3,6-5,5 mmol/L
Kalsium : 1,15 mmol/L 1,0-1,3 mmol/L
Clorida: 101,3 mmol/L 100-108 mmol/L
Lemak Trigliserida: 364 mg/dL <= 150 mg/dL
Cholesterol total: <=200 mg/dL
841mg/dL
Cholesterol HDL: >=35 mg/dL
567mg/dL
Cholesterol LDL: 216 <=150 mg/dL
mg/dL

18 Januari Fungsi Hati Albumin: 1,9 g/dL 3,3-5,2 g/dL


2018

Elektrolit Natrium: 143,2 mmol/L 135-150 mmol/L


Kalium: 4,26 mmol/L 3,6-5,5 mmol/L
Kalsium : 1,03 mmol/L 1,0-1,3 mmol/L
Clorida: 100 mmol/L 100-108 mmol/L

19 Januari Fungsi Hati Albumin : 2,0 3,3-5,2 g/dL


2018

Urine Lengkap Albumin : +2


Ephitel 8-11
Leukosit 2-3
Bakteri +
26

20 Januari ANA TEST Hasil ana test (-) Negatif: </= 0,90
2018 Equivocal: 0,91-
1,09Positif: >/=
22 Januari 1,10
2018 Albumin darah Albumin: 2,6 g/dL 3,3-5,2 g/dL

Pengobatan :
1. Nasal 02 2 lpm
2. Infus NS 9% 5 tpm
3. Inf. Albumin 25 % 100cc /6 jam
4. Inj. Furosemide 2 x 20mg
5. Inj. Methylprednisolon 3 x 62,5 mg
6. Inj. Ceftriaxone 2 x 500 mg
7. Atorvastatin PO 20 mg (0-0-1)
8. Captopril PO 3 x 12,5 mg
9. Inj. Omeprazole 2 x 40 mg
10. Domperidone PO 3 x 10 mg
11. Syrup sucralfat 4 dd cth II
27

3.1.5 Temporary problem list

1. sesak

2. Perut terasa tidak enak

3. Mual

4. Napas terasa berat

5. Bengkak di mata, tangan, dan kaki

6. Nafsu makan berkurang

7. Dispneu

8. Pada perkusi thorax suara terdengar redup di sisi kanan

9. Pada auskultasi thorax suara napas vesikuler terdengar melemah di sisi


kanan

10. Shifting dullness (+)

11. Undulasi (+)

12. Edema pada tangan kanan, kaki kanan dan kiri.

13. BUN : 30,8 mg/dl

14. Kreatinin : 1,5 mg/dl

15. Albumin darah : 1,4 g/dL

16. Cholesterol total : 841 mg/dL

17. Trigliserida : 364 mg/dL


28

NO PERMANENT PROBLEM LIST INITIAL ASSEMENT


1. 1. Oedem anasarka Sindroma Nefrotik

2. Mual PLANNING
Dx :
3. Napas terasa berat 1. Darah lengkap
2. Albumin darah
4. Dispneu 3. Profil lipid
4. Urin lengkap
5. Pada palpasi thorax pergerakan
5. Homeostasis
napas tertinggal di sisi kanan 6. RFT
7. LFT
6. Pada perkusi thorax suara 8. Foto thorax PA
9. USG Abdomen
terdengar redup di sisi kanan
Tx :
7. Pada auskultasi thorax suara 1. Infuse NS 5 tpm
2. Inj. Omeprazole 2 x 40 mg
napas vesikuler terdengar 3. Inj. Furosemide 2 x 20 mg
4. Inj. Sanmol 3x 1
melemah di sisi kanan 5. Inj. Cefrtiacxone 2x1

8. Shifting dullness (+) Mx :


1. Tanda-tanda vital
9. Undulasi (+) 2. Gejala klinis
3. Monitoring berat badan
10. BUN : 30,8 mg/dl
11. Kreatinin : 1,5 mg/dl Ex :
1. Tirah baring
12. Albumin darah : 1,4 g/dL 2. Minum dibatasi
3. Diit rendah garam
4. Batasi asupan protein
13. Cholesterol total : 841 mg/dL
5. Diit tinggi kalori/karbohidrat
14. Trigliserida : 364 mg/dL

15. Proteinuria (+)


29

3. 2 Data Soap Pasien di Ruangan

Rabu, 17 Januari 2018

S: Pasien mengeluhkan masih terasa berat untuk duduk karena badannya


bengkak, pusing cekot-cekot (+), bengkak di tubuh masih sama, namun yang
diwajah sudah agak berkurang, mual (-), sesak (-), muntah (-), BAB belum
bisa sejak MRS, Nafsu makan pasien baik
O: Keadaan umum : cukup
Kesadaran : compos mentis
a/i/c/d:-/-/-/-
TD : 120/80 mmHg
Nadi : 72 x/menit, reguler
RR : 18 x/menit
Suhu : 36,6oC
BB : 55 Kg
a. Kepala/Leher : Anemis (-), PCH (-), pembesaran klj. Tiroid (-),
pembesaran klj. Limfe (-), deviasi trakea (-)
Oedem periorbita +|+
b. Thoraks : simetris (+), retraksi (-)
Pulmo : vesikuler + | + wheezing -/-, ronkhi +/-
+ | +
+ (melemah) | +
Perkusi : sonor | sonor Bronchophoni - | -
Sonor | sonor - | -
Redup | redup + | -
Cor : S1 S2 tunggal regular (+), murmur (-), gallop (-)
c. Abdomen : BU (+) normal, supel (+), timpani (+), shifting dullness (+),
Nyeri tekan (-)
Hepar : ttb
Lien : ttb
Ginjal : ttb
Asites (+)
d. Ekstremitas
Superior : akral hangat kering merah, CRT < 2 detik, edema +/+
Inferior : akral hangat kering merah, CRT < 2 detik, edema +/+

A: Sindroma Nefrotik

P: Dx :
1. Urinalisis lengkap
2. Profil Lipid
3. Darah Lengkap
30

4. Albumin darah

Tx :
1. Infus NS 5 tpm
2. Inf. Albumin 25% 100 cc/6 jam
3. Furosemide pump 5 mg
4. Inj. Methylprednisolon 3 x 62,5 mg
5. Inj. Ceftriaxone 2 x 500 mg
6. Inj. Omeprazole 2 x 1
7. Tab. AtorvastatinPO 20 mg (0-0-1)
8. Captopril PO 3 x 12,5 mg
9. Syr. Sucralfat 4 dd cth II

Mx :
1. TTV
2. Gejala klinis
3. Monitoring berat badan
4. Albumin serial

Ex :
1. Tirah baring
2. Minum di batasi
3. Diit cukup protein (0,8-1 g/kgBB/hr)
4. Diit rendah garam (1-2 g/hr)
5. Diit tinggi kalori/karbohidrat

Tampung urine 24 jam : 1000 cc Albumin darah : 1,4 g/dL


31

Kamis, 18 Januari 2018

S: Pasien mengatakan masih merasakan bengkak di tubuhnya, keluhan pusing


pada pasien sudah berkurang, mual (-), muntah (-), batuk (-), nafsu makan
pasien sangat baik, minum pasien sudah dibatasi..hanya setengah gelas
sehabis makan. Pasien juga mengeluh masih belum bisa buang air besar.

O: Keadaan umum : cukup


Kesadaran : compos mentis
a/i/c/d:-/-/-/-
TD : 120/80 mmHg
Nadi : 82 x/menit, reguler
RR : 18 x/menit
Suhu : 36,6oC
BB : 59 Kg
e. Kepala/Leher : Anemis (-), PCH (-), pembesaran klj. Tiroid (-),
pembesaran klj. Limfe (-), deviasi trakea (-)
Oedem periorbita +|+
f. Thoraks : simetris (+), retraksi (-)
Pulmo : vesikuler + | + wheezing -/-, ronkhi -/-
+ | +
+ (melemah) | +
Perkusi : sonor | sonor Bronchophoni - | -
Sonor | sonor - | -
Redup | redup + | -
Cor : S1 S2 tunggal regular (+), murmur (-), gallop (-)
g. Abdomen : BU (+) normal, supel (+), timpani (+), shifting dullness (+),
Nyeri tekan (-)
Hepar : ttb
Lien : ttb
Ginjal : ttb
Asites (+)
h. Ekstremitas
Superior : akral hangat kering merah, CRT < 2 detik, edema +/+
Inferior : akral hangat kering merah, CRT < 2 detik, edema +/+

A: Sindroma Nefrotik
32

P: Dx :

Albumin darah
Serum elektrolit
Urine lengkap

Tx :

Inf. Albumin 25% 100 cc/6 jam


Furosemide pump 5 mg
Inj. Methylprednisolon 3 x 62,5 mg
Inj. Ceftriaxone 2 x 500 mg
Inj. Omeprazole 2 x 1
Tab. AtorvastatinPO 20 mg (0-0-1)
Captopril PO 3 x 12,5 mg
Syr. Sucralfat 4 dd cth II

Mx :
TTV
Gejala klinis
Monitoring berat badan
Albumin serial

Ex :
Tirah baring
Minum di batasi
Diit cukup protein (0,8-1 g/kgBB/hr)
Diit rendah garam (1-2 g/hr)
Diit tinggi kalori/karbohidrat

Hasil albumin darah 1,9 g/dL tampung urine 24 jam 2600 cc


33

Jumat, 19 Januari 2018

S: Pasien mengatakan bengkak di kaki dan di tangan sudah mulai berkurang,


pasien sudah bisa duduk,, pusing sudah tidak dirasa lagi, nafsu makan baik,
mual (-), muntah (-), sesak (-), bak (+), pasien masih belum bisa buang air
besar.
O: Keadaan umum : Baik
Kesadaran : compos mentis
a/i/c/d:-/-/-/-
TD : 110/80 mmHg
Nadi : 80 x/menit, reguler
RR : 18 x/menit
Suhu : 36,6oC
BB : 58
i. Kepala/Leher : Anemis (-), PCH (-), pembesaran klj. Tiroid (-),
pembesaran klj. Limfe (-), deviasi trakea (-)
Oedem periorbita -|-
j. Thoraks : simetris (+), retraksi (-)
Pulmo : vesikuler + | + wheezing -/-, ronkhi -/-
+ | +
+ (melemah) | -
Perkusi : sonor | sonor Bronchophoni - | -
Sonor | sonor - | -
Redup | redup +- | -
Cor : S1 S2 tunggal regular (+), murmur (-), gallop (-)
k. Abdomen : BU (+) normal, supel (+), timpani (+), shifting dullness (+),
Nyeri tekan (-)
Hepar : ttb
Lien : ttb
Ginjal : ttb
Asites (+)
l. Ekstremitas
Superior : akral hangat kering merah, CRT < 2 detik, edema +/+
Inferior : akral hangat kering merah, CRT < 2 detik, edema +/+

A: Sindroma Nefrotik

P: Dx :
Cek albumin darah

Tx :
34

-Inf. Albumin 25% 100 cc/6 jam


-Furosemide pump 5 mg
-Inj. Methylprednisolon 3 x 62,5 mg
-Inj. Ceftriaxone 2 x 500 mg
-Inj. Omeprazole 2 x 1
-Tab. AtorvastatinPO 20 mg (0-0-1)
-Captopril PO 3 x 12,5 mg
-Syr. Sucralfat 4 dd cth II

Mx :
- TTV
- Gejala klinis
- Monitoring berat badan
- Albumin serial

Ex :
- Tirah baring
- Minum di batasi
- Diit cukup protein (0,8-1 g/kgBB/hr)
- Diit rendah garam (1-2 g/hr)
- Diit tinggi kalori/karbohidrat

Pemeriksaan Albumin Serial 2,0 g/dL Produksi urine 24 jam 2700


35

Sabtu, 20 Januari 2018

S: Pasien mengatakan bengkak di kedua tangan dan kaki sudah berkurang,


pasien tidak ada mengatakan ada keluhan lain.
O: Keadaan umum : cukup
Kesadaran : compos mentis
a/i/c/d:-/-/-/-
TD : 120/80 mmHg
Nadi : 82 x/menit, reguler
RR : 18 x/menit
Suhu : 36,6oC
BB : 56
m. Kepala/Leher : Anemis (-), PCH (-), pembesaran klj. Tiroid (-),
pembesaran klj. Limfe (-), deviasi trakea (-)
Oedem periorbita -|-
n. Thoraks : simetris (+), retraksi (-)
Pulmo : vesikuler + | + wheezing -/-, ronkhi -/-
+ | +
+ (melemah) | +
Perkusi : sonor | sonor Bronchophoni - | -
Sonor | sonor - | -
Redup | redup - | -
Cor : S1 S2 tunggal regular (+), murmur (-), gallop (-)
o. Abdomen : BU (+) normal, supel (+), timpani (+), shifting dullness (-),
Nyeri tekan (-)
Hepar : ttb
Lien : ttb
Ginjal : ttb
Asites (+)
p. Ekstremitas
Superior : akral hangat kering merah, CRT < 2 detik, edema +/+
Inferior : akral hangat kering merah, CRT < 2 detik, edema +/+

A: Sindroma Nefrotik

P: Dx :

-Albumin serial
-ANA Test

Tx :
- Inf. Albumin 25 % 100 cc/6 jam
-Furosemide 5 mg /jam
-Inj. Methylprednisolon 3 x 62,5 mg
-Inj. Ceftriaxone 2 x 500 mg
-Inj. Omperazole 2x1
-Atorvastatin PO 20 mg (0-0-1)
36

-Captopril PO 3 x 12,5 mg
-Syr. Sucralafat 4 dd Cth II

Mx :
-TTV
-Gejala klinis
-Monitoring berat badan
-Albumin serial

Ex :
-Tirah baring
-Minum di batasi
-Diit cukup protein (0,8-1 g/kgBB/hr)
-Diit rendah garam (1-2 g/hr)
-Diit tinggi kalori/karbohidrat

Pemeriksaan Albumin Serial 2,6 g/dL Tampung urine 2600 CC


37

Senin, 22 Januari 2012

S: Pasien mengatakan bengkak di kedua tangan dan kaki sudah lebih berkurang
daripada kemarin, pasien tidak ada mengatakan ada keluhan lain., nafsu
makan baik, pasien sudah bisa buang air besar
O: Keadaan umum : cukup
Kesadaran : compos mentis
a/i/c/d:-/-/-/-
TD : 120/80 mmHg
Nadi : 82 x/menit, reguler
RR : 18 x/menit
Suhu : 36,6oC
BB : 48 kg
a. Kepala/Leher : Anemis (-), PCH (-), pembesaran klj. Tiroid (-),
pembesaran klj. Limfe (-), deviasi trakea (-)
Oedem periorbita -|-
b. Thoraks : simetris (+), retraksi (-)
Pulmo : vesikuler + | + wheezing -/-, ronkhi -/-
+ | +
+ (melemah) | +
Perkusi : sonor | sonor Bronchophoni - | -
Sonor | sonor - | -
Redup | redup - | -
Cor : S1 S2 tunggal regular (+), murmur (-), gallop (-)
c. Abdomen : BU (+) normal, supel (+), timpani (+), shifting dullness (-),
Nyeri tekan (-)
Hepar : ttb
Lien : ttb
Ginjal : ttb
Asites (+)
d. Ekstremitas
Superior : akral hangat kering merah, CRT < 2 detik, edema -/-
Inferior : akral hangat kering merah, CRT < 2 detik, edema -/-

A: Sindroma Nefrotik

P:
Tx : Pro KRS
-Tab. Atorvastatin 20 mg 0-0-1
-Captopril 3 x 12,5 mg
-Caps. Omeprazole 2x20 mg

Pro Kontrol senin depan.


38

Ex :

-Diit cukup protein (0,8-1 g/kgBB/hr)


-Diit rendah garam (1-2 g/hr)
-Diit tinggi kalori/karbohidrat

Pemeriksaan Albumin Serial 2,9 g/dL


39

BAB IV

PEMBAHASAN

4.1 RESUME

Pasien bernama saudara Nur ahmad Farizi datang ke IGD RSUD dr. Moh.

Saleh karena keluhan sesak, Pasien mengeluh sesak sejak pagi tanggal 15

januari 2018, sesak tiba-tiba dan membaik apabila pasien duduk, dan

memburuk apabila pasien berbaring. Yang sangat terasa adalah berat untuk

mengambil nafas. Sore harinya pasien dibawa ke IGD RSUD dr. Moh. Saleh

karena sudah tidak tahan dengan sesaknya. Keluhan lain,pasien merasakan

bengkak di seleruh tubuh sejak 13 hari yang lalu. Bengkak awalnya diwajah

dan kemudian bengkak keseluruh tubuh. Dari wajah ke tangan, ke perut lalu

keseluruh tubuh. Pasien juga mengatakan bengkak di scrotumnya. Pusing

cekot-cekot (+), mual (+), muntah (-), nafsu makan berkurang, bab (+) lembek,

warna kekuningan, bak (+) warna jernih. Batuk (-). Pasien mengatakan tidak

pernah sakit seperti ini, pasien tidak punya penyakit seperti hipertensi, diabetes

melitus atau asthma, keluarganya juga tidak ada yang sakit seperti ini maupun

mempunyai penyakit kronis seperi hipertensi,diabetes melitus dan riwayat

atopik. Pasien mengatakan bahwa tidak suka minum jamu–jamuan. Pasien juga

tidak suka menkonsumsi minum-minuman berenergi. Pasien juga sedang tidak

mengkonsumsi obat dalam jangka waktu lama.

Pada pemeriksaan tanda-tanda vital didapatkan, tekanan darah 120/80, nadi

72x/menit, RR 24x/ menit, Suhu 36.7 C. Berat badan pasien 55 Kg. Pada

pemeriksaan fisik di dapatkan keadaan umum pasien cukup, pemeriksaan

kepala didapatkan oedema palbebra dextra et sinistra serta terdapat dyspneu


40

(+), pada leher tidak didapatkan pembesaran KGB, pada pemeriksaan Thorax

auskultasi suara jantung S1 S2 Tunggal regular, tanpa ada murmur ataupun

gallop. Pada pemeriksaan pulmo didapatkan suara nafas vesicular melemah

pada basal paru kanan dan kiri serta didapatkan ronchi basah halus.

Pemeriksaan abdomen didapatkan perut tampak membesar, yang disebabkan

oleh adanya ascites yang dibuktikan dengan pemeriksaan shifting dulness (+),

undulasi (+). Pada pemeriksaan ekstremitas didapatkan akral hangat serta

pitting oedema pada semua ekstremitas yang dibuktikan dengan adanya pitting

oedema (+).

Dari pemeriksaan penunjang yang menunjukan kelainan adalah, dari

pemeriksaan hematologi didapatkan: Albumin 1,9 g/dL, cholesterol total 841

mg/dL. Dari pemeriksaan Fungsi Ginjal didapatkan: BUN 30,8 mg/dL

kreatinin 1, 5 mg/dL

Dari pemeriksaan Urinalisis Lengkap didapatkan: Albumin +1, blood positif

(+3), eritrosit 6-8/LP, epitel 10-12/LP Ana test: negative 0,055 Foto thorax:

tampak cardiomegali dengan efusi pleura dextra massif dan efusi pleura

sinistra

4.2 DISKUSI

Berdasarkan resume diatas yang dimulai dari anamnesis, pemeriksaan

fisik dan pemeriksaan penunjang, pasien dapat ditegakan dengan diagnosis

Sindroma Nefrotik. Karena tanda dan gejala serta hasil dari pemeriksaan

penunjang sesuai dengan kriteria diagnosis Sindroma Nefrotik, Pada pasien

terdapat oedema anasarka ataupun bengkak pada seluruh tubuh yang

dibuktikan dengan pemeriksaan fisik adanya oedema palpebra dextra et


41

sinistra, serta pitting oedema yang positif pada ekstremitas.. Pada pemeriksaan

penunjang didapatkan Proteinuria (+1) pada pemeriksaan urine lengkap, lalu

pada pemeriksaan lipid profil didapatkan Hiperlipidemia yang dibuktikan

dengan adanya kenaikan kolesterol total pada pasien ini yaitu sampai 841

mg/dL. Serta pada pemeriksaan albumin darah terdapat Hipoalbuminemia

yang dibuktikan dengan angka albuminnya yaitu 1,9 g/dL.

Apakah hubungan gejala-gejala tersebut dengan penyakit sindroma

nefrotik, dilihat dari etologinya sendiri, Sindroma nefrotik dapat disebabkan

oleh penyakit renal primer (idiopatik) atau oleh karena berbagai macam

penyebab sekunder yang menyebabkan terjadinya perubahan integritas

membran basalis glomerulus yang menyebabkan peningkatan permeabilitas

glomerulus terhadap protein plasma, Dalam keadaan normal membran basal

glomerulus (MBG) mempunyai mekanisme penghalang untuk mencegah

kebocoran protein. Mekanisme penghalang pertama berdasarkan ukuran

molekul (size barrier) dan yang kedua berdasarkan muatan listrik (charge

barrier). Pada SN kedua mekanisme penghalang tersebut ikut terganggu. Selain

itu konfigurasi molekul protein juga menentukan lolos tidaknya protein melalui

MBG. Konsentrasi albumin plasma ditentukan oleh asupan protein, sintesis

albumin hati dan kehilangan protein melalui urin. Pada SN hipoalbuminemia

disebabkan oleh kebocoran proteinu massif, , protein utama yang diekskresikan

dalam urin adalah albumin, sehingga kadar albumin dalam darah berkurang.

Akibat hipoalbuminemia, tekanan onkotik plasma berkurang sehingga

terjadilah edema karena cairan di dalam intravascular merembes ke ruang

interstitial yang pada pasien ini ditandai dengan sesak karena cairan interstitial

yang menumpuk di ruang pleura menyebabkan efusi pleura, dan juga


42

menyebakan oedema pada seluruh tubuh. Selain itu terjadi hyperlipidemia yang

muncul akibat respon dari penurunan tekanan onkotik plasma, terjadi

peningkatan sintesis lipid dan lipoprotein hati, dan menurunnya katabolisme

lipid.

Penatalaksanaan pada pasien sindrom nefrotik ini adalah istirahat

tirah baring. Batasi asupan garam 1-2 g/hari, batasi cairan, diet protein 0,8-1

g/kgBB/hari. O2 Nasal 2 lpm, Diuretic (furosemide pump 5 mg/jam )

tergantung beratnya edema dan respon pengobatan.serta diberikan inf.

Albumin 25% 100cc/6 jam,. Tablet atorvastatin 1 x 20 mg P.O. a. n. untuk

mengatasi hyperlipidemia. Captopril 3 x 12,5 mg P.O. sebagai

antiproteinuria. Ceftriaxone 2 x 500 mg IV untuk profilaksis komplikasi

infeksi. Untuk penanganan sindrom nefrotik diberikan methylprednisolone 3

x 62,5 mg IV, untuk penanganan keluhan gastrointestinalnya diberikan

omeprazole 2 x 40 mg IV,., Syrup sucralfat 4 dd cth II. Evaluasi pada pasien

ini yang awalnya albumin darahnya adalah 1,4 g/dl dengan pemberian obat

serta modifikasi asupan makanan dalam 7 hari, menjadi 2,9 g/dl. Untuk

oedema anasarka juga terjadi perbaikan yang ditandai dengan hilangnya

oedema pada palpebra dan ekstremitas, dan hal ini harus diawasi ketat

dengan pengukuran Berat Badan dan Penghitungan urin tampung dalam 24

jam untuk mengetahui respon dari pemberian obat furosemide sebagai

diureticnya.
43

DAFTAR PUSTAKA

1. Mamesah, R. S., Umboh, A., dan Gunawan S. 2016. Hubungan Aspek Klinis
dan Laboratorik dengan Tipe Sindrom Nefrotik pada Anak. Jurnal e-Clinic (e-
Cl), Volume 4, Nomor 1, Januari-Juni 2016. Hal. 349-353
2. Handayani, I., Rusli, B., dan Hardjoeno. 2007. Gambaran Kadar Kolesterol,
Albumin, dan Sedimen Urin Penderita Anak Sindroma Nefrotik. Indonesian
Journal of Clinical Pathology and Medical Laboratory, Vol. 13, No. 2, Maret
2007: 49-52
3. Hartoko B., 2008. Art of Therapy. Yogyakarta. Pustaka Cendikia Press
Yogyakarta. Hal. 69-70
4. Kodner, C. 2009. Nephrotic Syndrome in Adults: Diagnosis and Management.
American Family Physician, Volume 80, Number 10, p;1130-1134
5. Rauf S. Sindrom Nefrotik. Catatan Kuliah Nefrologi Anak. Makassar: Bagian
Ilmu Kesehatan Anak FKUH. p. 21-30.
6. Cohen E.P., 2009. Nephrotic Syndrome. www.emidicine.com
7. Salme U. Sindrom Nefrotik. Journal [serial on the Internet]
8. Kliegman, Behrman, Jenson, Stanton. 2007. Nelson Textbook of Pediatric 18th
ed. Saunders. Philadelphia
9. Lidya, A. dan Marbun M. B. 2014. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II
Edisi VI, editor: Siti Setiati. Interna Publishing: Jakarta. Hal: 2083-2084
10. Braunwald E., 2008. Sindrom Nefrotic dalam Anthony S.F., Eugene B.,
Dennis L., Kasper S.L. H., Don L.L., Joseph L.,(Eds). Principles of Internal
Medicine. Edisi 17, Volume II. Mc Graw Hill Companies Inc.1874-75
11. Israr Y. Sindrom Nefrotik. Riau: Belibis; 2008
12. FKUI, 2014. KAPITA SELEKTA KEDOKTERAN, JILID II. Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia.
13. Irwanadi, C. dan Mardiana, N. 2015. Sindroma Glomerular: dalam Buku Ajar
Ilmu Penyakit Dalam, editor: Askandar Tjokroprawito. Arilangga University
Press (AUP): Surabaya. Halaman: 475-478
14. Prodjosudjadi W. Sindrom Nefrotik. In: Sudoyo AW d, editor. Buku
Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid I Edisi V. Jakarta: Pusat Penerbitan
Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI; 2015
15. Polanco N., Gutie E., Covarsı A., Ariza F., Carren., et all.,2010.
Spontaneous Remission of Nephrotic Syndrome in Idiopathic
Membranous Nephropathy. Journal of the American Society of
Nephrology doi: 10.1681/ASN.2009080861
16. Braunwald E., 2008. Sindrom Nefrotic dalam Anthony S.F., Eugene B.,
Dennis L., Kasper S.L. H., Don L.L., Joseph L.,(Eds). Principles of
Internal Medicine. Edisi 17, Volume II. Mc Graw Hill Companies
Inc.1874-75
44

Lampiran I

Perbaikan oedema pada pasien pada saat awal datang  1 minggu pengobatan

You might also like