Professional Documents
Culture Documents
LAPORAN KASUS
A. IDENTITAS PASIEN
Tanggal : 6 Februari 2018
Nama : Tn. Z
Umur : 71 tahun
Jenis Kelamin : Laki-laki
TB/BB : 170 cm/65 kg
Gol. Darah :B
Alamat : RT. 30 Kenali Besar
No. RM : 876265
Ruangan : Kelas II
Diagnosa : Subdural Hematom parietal kronik
Tindakan : Pro Craniotomy
g. Abdomen
Inspeksi : soepel
Palpasi : Nyeri tekan (-), Nyeri lepas (-), hati dan lien tidak teraba
Perkusi : Timpani (+)
Auskultasi : Bising usus (+) normal.
h. Genital : tidak diperiksa
i. Ekstremitas : Akral hangat, udem (-), CRT < 2 detik
Kekuatan : 5 3
5 3
3. PEMERIKSAAN PENUNJANG
a. Darah Rutin ( tgl 31-01-2018 )
WBC : 13.4 x 109/mm3
RBC : 4.32 x 1012/mm3
HGB : 12,2 gr/dL
HCT : 36.9 %
PLT : 234 x 109/mm3
b. Elektrolit
Na : 141,54 mmol/L
K : 4,02 mmol/L
Cl : 101,95 mmol/L
Ca : 1,14 mmol/L
GDS : 87 mg/dL
d. X-Ray Thorax
Cor : cardiomegaly
Pulmonal : dalam batas normal
e. Pemeriksaan CT SCAN
Adanya EDH pada frontalis, temporalis dan parietal dextra.
Induksi
LAPORAN ANESTESI
RR : 30 x/menit
Suhu : 36,8 ºC
Berat Badan : 65 Kg
b. Laboratorium
WBC : 13.4 x 109/mm3
HCT : 36.9 %
2. Tindakan Anestesi
a. Metode : Anestesi umum
b. Premedikasi : Ranitidine 50 mg, Ondansentron 4 mg
3. Anestesi Umum
a. Induksi : Sempurna
b. Teknik Anestesi : Total intavena anestesi
c. Teknik Khusus : -
d. Medikasi : Fentanyl 100 mcg, propofol 150 mg
e. Cairan/Transfusi : Asering 500 mL , RL 500 mL
5. Pra Anestesi
Penentuan status fisik ASA : 1/2/3/4/5/E
Mallampati :2
Persiapan:
a. keluarga pasien telah diberikan Informed Consent
b. Puasa 6 jam sebelum operasi
6. Monitoring
TD awal : 120/70 mmHg, Nadi =80 x/menit, RR = 20 x/menit
Jam (WIB) TD (mmHg) Nadi (x/menit) RR (x/menit)
09.35 120/70 80 20
09.50 90/40 70 18
10.05 90/50 72 20
10.15 110/70 80 16
7. Ruang Pemulihan
1. Masuk Jam : 10.20 WIB
2. Keadaan Umum : Kesadaran: CM, : GCS: 8 E2 M4 V2
Nadi : 78 x/menit
RR : 18 x/menit
3. Pernafasan : Baik
4. Scoring Aldrete:
Aktivitas :2
Pernafasan :2
Warna Kulit :2
Sirkulasi :2
Kesadaran :2
Jumlah : 10
B. Tulang Tengkorak
Tulang tengkorak terdiri dari kubah (kalvaria) dan basis kranii. Tulang tengkorak terdiri
dari beberapa tulang yaitu frontal, parietal, temporal dan oksipital. Kalvaria khususnya di regio
temporal adalah tipis, namun di sini dilapisi oleh otot temporalis. Basis kranii berbentuk tidak rata
sehingga dapatmelukai bagian dasar otak saat bergerak akibat proses akselerasi dan deselerasi.
Rongga tengkorak dasar dibagi atas 3 fosa yaitu : fosa anterior tempat lobusfrontalis, fosa media
tempat temporalis dan fosa posterior ruang bagi bagian bawah batang otak dan serebelum.
C. Meningen
Selaput meningen menutupi seluruh permukaan otak dan terdiri dari 3 lapisan yaitu :
1. Duramater
Duramater secara konvensional terdiri atas dua lapisan yaitu lapisan endosteal dan lapisan
meningeal.4 Duramater merupakan selaput yang keras, terdiri atas jaringan ikat fibrisa yang
melekat erat pada permukaan dalam dari kranium. Karena tidak melekat pada selaput arachnoid di
bawahnya, maka terdapat suatu ruang potensial (ruang subdura) yang terletak antara duramater
dan arachnoid, dimana sering dijumpai perdarahan subdural. Pada cedera otak, pembuluh-
pembuluh vena yang berjalan pada permukaan otak menuju sinus sagitalis superior di garis tengah
atau disebut Bridging Veins, dapat mengalami robekan dan menyebabkan perdarahan subdural.
Sinus sagitalis superior mengalirkan darah vena ke sinus transversus dan sinus sigmoideus.
Laserasi dari sinus-sinus ini dapat mengakibatkan perdarahan hebat. Arteri meningea terletak
antara duramater dan permukaan dalam dari kranium (ruang epidural). Adanya fraktur dari tulang
kepala dapat menyebabkan laserasi pada arteri-arteri ini dan menyebabkan perdarahan epidural.
Yang paling sering mengalami cedera adalah arteri meningea media yang terletak pada
fosatemporalis (fosa media).
2. Selaput Arakhnoid
Selaput arakhnoid merupakan lapisan yang tipis dan tembus pandang. Selaput arakhnoid
terletak antara pia mater sebelah dalam dan dura mater sebelah luar yang meliputi otak. Selaput
ini dipisahkan dari dura mater oleh ruang potensial, disebut spatium subdural dan dari pia mater
oleh spatium subarakhnoid yang terisi oleh liquor serebrospinalis.4 Perdarahan sub arakhnoid
umumnya disebabkan akibat cedera kepala.
3. Pia mater
Pia mater melekat erat pada permukaan korteks serebri.3. Pia mater adarah membrana
vaskular yang dengan erat membungkus otak, meliputi gyri dan masuk kedalam sulci yang paling
dalam. Membrana ini membungkus saraf otak dan menyatu dengan epineuriumnya. Arteri-arteri
yang masuk kedalam substansi otak juga diliputi oleh pia mater.
D. Otak
Otak merupakan suatu struktur gelatin yang mana berat padaorangdewasa sekitar 14 kg.7
Otak terdiri dari beberapa bagian yaitu; proensefalon (otak depan) terdiri dari serebrum dan
diensefalon, mesensefalon (otak tengah) dan rhombensefalon (otak belakang) terdiri dari pons,
medula oblongata dan serebellum
retikular yang berfungsi dalam kesadaran
dan kewapadaan. Pada medula oblongata terdapat pusat kardiorespiratorik. Serebellum
bertanggung jawab dalam fungsi koordinasi dan keseimbangan.
E. Cairan serebrospinalis
Cairan serebrospinal (CSS) dihasilkan oleh plexus khoroideus dengan kecepatan produksi
sebanyak 20 ml/jam. CSS mengalir dari dari ventrikel lateral melalui foramen monro menuju
ventrikel III, dari akuaduktus sylvius menuju ventrikel IV. CSS akan direabsorbsi ke dalam
sirkulasi vena melalui granulasio arakhnoid yang terdapat pada sinus sagitalis superior. Adanya
darah dalam CSS dapat menyumbat granulasio arakhnoid sehingga mengganggu penyerapan CSS
dan menyebabkan kenaikan takanan intracranial.3 Angka rata-rata pada kelompok populasi
dewasa volume CSS sekitar 150 ml dan dihasilkan sekitar 500 ml CSS per hari.
F. Tentorium
Tentorium serebeli membagi rongga tengkorak menjadi ruang supratentorial (terdiri dari
fosa kranii anterior dan fosa kranii media) dan ruang infratentorial (berisi fosa kranii posterior).
G. Perdarahan Otak
Otak disuplai oleh dua arteri carotis interna dan dua arteri vertebralis. Keempat arteri ini
beranastomosis pada permukaan inferior otak dan membentuk sirkulus Willisi. Vena-vena otak
tidak mempunyai jaringan otot didalam dindingnya yang sangat tipis dan tidak mempunyai katup.
Vena tersebut keluar dari otak dan bermuara ke dalam sinus venosus cranialis
2.2 Subdural Hematoma
1. Definisi
Hematoma adalah sekelompok sel darah yang telah mengalami ekstravasasi, biasanya telah
menggumpal, baik di dalam organ, interstitium, jaringan dan otak. Hematoma subdural adalah
penimbunan darah di dalam rongga subdural. Dalam bentuk akut yang hebat,baik darah maupun
cairan serebrospinal memasuki ruang tersebut sebagai akibat dari laserasi otak atau robeknya
arakhnoidea sehingga menambah penekanan subdural pada jejas langsung di otak. Dalam bentuk
kronik, hanya darah yang efusi ke ruang subdural akibat pecahnya vena-vena penghubung,
umumnya disebabkan oleh cedera kepala tertutup. Efusi itu merupakan proses bertahap yang
menyebabkan beberapa minggu setelah cedera, sakit kepala dan tanda-tanda fokal progresif yang
menunjukkan lokasi gumpalan darah.
2. Epidemiologi
Hematom subdural yang akut jarang terjadi. Literatur tentang laporan kasus sporadic sangat
terbatas. Kasus ini sering mempunyai suatu sumber arteri, karena mereka biasanya dihubungkan
dengan keadaan patologis yang sama seperti yang terjadi pada perdarahan subaraknoid dan
perdarahan intraserebral. Darah dari ruptur aneurisma bisa masuk memotong melalui parenkim
otak atau ruang subaraknoid. Nyatanya, kasus telah dilaporkan mengenai suatu hematom subdural
akut yang dicetus dengan penyalahgunaan kokain. Suatu penelitian retrospektif melaporkan bahwa
56% dari kasus pada pasien dalam kelima dan decade ketujuh. Penelitian lain mencatat bahwa
lebih dari setengah dari semua kasus terlihat pqada pasien >60 tahun . Insiden yang tertinggi dari
7,,35 per 100.000 terjadi pada remaja dengan umur 10-19 tahun. Rata-rata mortalitas pada pasien
dengan hematom subdural akut dilaporkan berkisar 30-90 %, tetapi sekitar 60% adalah tipikal .
Rata-rata morbiditas dan mortalitasnya dihubungkan dengan pengobatan secara pembedahan dari
hematom subdural kronik, telah diperkirakan berkisar 11% dan 5% secara berurutan. Hematom
subdural dapat terjadi pada semua umur
3. Etiologi
Keadaan ini timbul setelah cedera/ trauma kepala hebat, seperti perdarahan kontusional
yang mengakibatkan ruptur vena yang terjadi dalam ruangan subdural. Hemoragi subdura
biasanya disebabkan oleh sobeknya vena di tempat vena itu melalui rongga subdura. Gerak otak
depan relatif terhadap dura dengan mendadak, dapat terjadi setelah mendapat pukulan yang tidak
mengakibatkan fraktur tengkorak. Hemoragi subdural mungkin sekali selalu disebabkan oleh
trauma kapitis walaupun traumanya mungkin tidak berarti (trauma pada orang tua) sehingga tidak
terungkap oleh anamnesis. Yang seringkali berdarah ialah bridging veins, karena tarikan ketika
terjadi pergeseran rotatorik otak.
Subdural merupakan lapisan sebelum dura ( duramater adalah membran pembungkus
terluar dari otak ). Subdural hematom terjadi ketika darah vena yang berlokasi antara lapisan
pembungkus otak ( meningen ) ditemukan darah setelah head injury pada kepala. Subdural
hematom timbul ketika vena-vena yang berjalan antara dura dan permukaan otsk pecah dan
mengeluarkan darah. Pengumpulan darah kemudian terbentuk diatas permukaan otak. Pada
pengumpulan subdural kronik, darah yang berasal dari vena-vena berjalan lambat. Ini dapat terjadi
karena head injury atau frekuensi kurang, itu dapat terjadi spontan jika pasien agak tua. Hematom
subdural kronik biasanya dihubungkan dengan atropi serebral. Vena batang kortek diperkirakan
tekanannya menjadi lebih rendah sebagaimana penyusunan otak yang berangsur-angsur dari tulang
tengkorak, bahkan trauma minor bisa menyebabkan satu dari vena menjadi bocor. Perdarahan yang
lambat dari sistem vena yang bertekanan rendah sering bisa memperbesar bentuk hematom
sebelum nampak tanda-tanda klinis. Hematom subdural yang kecil sering diabsorbsi secara
spontan. Kumpulan yang besar dari darah subdural sering mengatur dan membentuk membran
vaskuler yang menyelubungi hematom subdural. Perdarahan kecil yang berulang , vena bersama
dengan membran ini bertanggung jawab terhadap perluasan dari beberapa hematom subdural
Perdarahan sub dural dapat terjadi pada:
Trauma kapitis
Trauma di tempat lain pada badan yang berakibat terjadinya geseran atau putaran otak
terhadap duramater, misalnya pada orang yang jatuh terduduk.
Trauma pada leher karena guncangan pada badan. Hal ini lebih mudah terjadi bila
ruangan subdura lebar akibat dari atrofi otak, misalnya pada orangtua dan juga pada
anak – anak.
Pecahnya aneurysma atau malformasi pembuluh darah di dalam ruangan subdura.
Gangguan pembekuan darah biasanya berhubungan dengan perdarahan subdural yang
spontan, dan keganasan ataupun perdarahan dari tumor intrakranial.
Pada orang tua, alkoholik, gangguan hati.
4. Patofisiologi
Pada perlukaan kepala , dapat terjadi perdarahan ke dalam ruang subaraknoid, kedalam
rongga subdural (hemoragi subdural) antara dura bagian luar dan tengkorak (hemoragi ekstradural)
atau ke dalam substansi otak sendiri. Putusnya vena-vena penghubung ( bridging veins ) antara
permukaan otak dan sinus dural adalah penyebab perdarahan subdural yang paling sering terjadi.
Perdarahan ini seringkali terjadi sebagai akibat dari trauma yang relatif kecil, dan mungkin
terdapat sedikit darah di dalam rongga subaraknoid. Anak-anak ( karena anak-anak memiliki vena-
vena yang halus ) dan orang dewasa dengan atropi otak ( karena memiliki vena-vena penghubung
yang lebih panjang ) memiliki resiko yang lebih besar. Perdarahan subdural paling sering terjadi
pada permukaan lateral dan atas hemisferium dan sebagian di daerah temporal, sesuai dengan
distribusi “bridging veins” . Karena perdarahan subdural sering disebabkan olleh perdarahan vena,
maka darah yang terkumpul hanya 100-200 cc saja. Perdarahan vena biasanya berhenti karena
tamponade hematom sendiri. Setelah 5-7 hari hematom mulai mengadakan reorganisasi yang akan
terselesaikan dalam 10-20 hari. Darah yang diserap meninggalkan jaringan yang kaya pembuluh
darah. Disitu timbul lagi perdarahan kecil, yang menimbulkan hiperosmolalitas hematom subdural
dan dengan demikian bisa terulang lagi timbulnya perdarahan kecil dan pembentukan kantong
subdural yang penuh dengan cairan dan sisa darah (higroma).
Kondisi- kondisi abnormal biasanya berkembang dengan satu dari tiga mekanisme.
Perdarahan yang terjadi akibat rusaknya arteri kortikal (termasuk epidural hematom), perdarahan
dari rusaknya dasar parenkim, dan kebocoran pembuluh darah dari korteks terhadap satu dari aliran
sinus venosus.
Pada semua kasus , pergerakan sagital dari kepala bisa dihasilkan dengan suatu akselerasi angular
(kaku ) yang menyebabkan ruptur batang vena parasagital dan suatu hematom subdural yang berat.
Gennereli dan Thibault menggambarkan bahwa rata-rata akselerasi dan deselerasi dari kepala
merupakan factor utama kegagalan vena
Perdarahan terjadi antara duramater dan arakhnoidea. Perdarahan dapat terjadi akibat
robeknya vena jembatan (bridging veins) yang menghubungkan vena di permukaan otak dan sinus
venosus di dalam duramater atau karena robeknya araknoidea. Karena otak yang bermandikan
cairan cerebrospinal dapat bergerak, sedangkan sinus venosus dalam keadaan terfiksir,
berpindahnya posisi otak yang terjadi pada trauma, dapat merobek beberapa vena halus pada
tempat di mana mereka menembus duramater Perdarahan yang besar akan menimbulkan gejala-
gejala akut menyerupai hematoma epidural.
Perdarahan yang tidak terlalu besar akan membeku dan di sekitarnya akan tumbuh jaringan
ikat yang membentuk kapsula. Gumpalan darah lambat laun mencair dan menarik cairan dari
sekitarnya dan mengembung memberikan gejala seperti tumor serebri karena tekanan intracranial
yang berangsur meningkat.
Perdarahan sub dural kronik umumnya berasosiasi dengan atrofi cerebral. Vena jembatan dianggap
dalam tekanan yang lebih besar, bila volume otak mengecil sehingga walaupun hanya trauma yang
kecil saja dapat menyebabkan robekan pada vena tersebut. Perdarahan terjadi secara perlahan
karena tekanan sistem vena yang rendah, sering menyebabkan terbentuknya hematoma yang besar
sebelum gejala klinis muncul. Pada perdarahan subdural yang kecil sering terjadi perdarahan yang
spontan. Pada hematoma yang besar biasanya menyebabkan terjadinya membran vaskular yang
membungkus hematoma subdural tersebut. Perdarahan berulang dari pembuluh darah di dalam
membran ini memegang peranan penting, karena pembuluh darah pada membran ini jauh lebih
rapuh sehingga dapat berperan dalam penambahan volume dari perdarahan subdural kronik.
Akibat dari perdarahan subdural, dapat meningkatkan tekanan intrakranial dan perubahan
dari bentuk otak. Naiknya tekanan intra kranial dikompensasi oleh efluks dari cairan likuor ke axis
spinal dan dikompresi oleh sistem vena. Pada fase ini peningkatan tekanan intra kranial terjadi
relatif perlahan karena komplains tekanan intra kranial yang cukup tinggi. Meskipun demikian
pembesaran hematoma sampai pada suatu titik tertentu akan melampaui mekanisme kompensasi
tersebut. Komplains intrakranial mulai berkurang yang menyebabkan terjadinya peningkatan
tekanan intra kranial yang cukup besar. Akibatnya perfusi serebral berkurang dan terjadi iskemi
serebral. Lebih lanjut dapat terjadi herniasi transtentorial atau subfalksin. Herniasi tonsilar melalui
foramen magnum dapat terjadi jika seluruh batang otak terdorong ke bawah melalui incisura
tentorial oleh meningkatnya tekanan supra tentorial. Juga pada hematoma subdural kronik,
didapatkan bahwa aliran darah ke thalamus dan ganglia basaalis lebih terganggu dibandingkan
dengan daerah otak yang lainnya.
Terdapat 2 teori yang menjelaskan terjadinya perdarahan subdural kronik, yaitu teori dari
Gardner yang mengatakan bahwa sebagian dari bekuan darah akan mencair sehingga akan
meningkatkan kandungan protein yang terdapat di dalam kapsul dari subdural hematoma dan akan
menyebabkan peningkatan tekanan onkotik didalam kapsul subdural hematoma. Karena tekanan
onkotik yang meningkat inilah yang mengakibatkan pembesaran dari perdarahan tersebut. Tetapi
ternyata ada kontroversial dari teori Gardner ini, yaitu ternyata dari penelitian didapatkan bahwa
tekanan onkotik di dalam subdural kronik ternyata hasilnya normal yang mengikuti hancurnya sel
darah merah. Teori yang ke dua mengatakan bahwa, perdarahan berulang yangdapat
mengakibatkan terjadinya perdarahan subdural kronik, faktor angiogenesis juga ditemukan dapat
meningkatkan terjadinya perdarahan subdural kronik, karena turut memberi bantuan dalam
pembentukan peningkatan vaskularisasi di luar membran atau kapsul dari subdural hematoma.
Level dari koagulasi, level abnormalitas enzim fibrinolitik dan peningkatan aktivitas dari
fibrinolitik dapat menyebabkan terjadinya perdarahan subdural kronik.
5. Klasifikasi
a. Perdarahan Subdural dapat dibagi menjadi 3 bagian, berdasarkan saat timbulnya gejala-
gejala klinis yaitu:
1) Perdarahan akut
Gejala yang timbul segera hingga berjam – jam setelah trauma. Biasanya terjadi pada cedera kepala
yang cukup berat yang dapat mengakibatkan perburukan lebih lanjut pada pasien yang biasanya
sudah terganggu kesadaran dan tanda vitalnya. Perdarahan dapat kurang dari 5 mm tebalnya tetapi
melebar luas. Pada gambaran skening tomografinya, didapatkan lesi hiperdens.
2) Perdarahan sub akut
Berkembang dalam beberapa hari biasanya sekitar 2 – 14 hari sesudah trauma. Pada subdural sub
akut ini didapati campuran dari bekuan darah dan cairan darah . Perdarahan dapat lebih tebal tetapi
belum ada pembentukan kapsula di sekitarnya. Pada gambaran skening tomografinya didapatkan
lesi isodens atau hipodens.Lesi isodens didapatkan karena terjadinya lisis dari sel darah merah dan
resorbsi dari hemoglobin.
3) Perdarahan kronik
Biasanya terjadi setelah 14 hari setelah trauma bahkan bisa lebih. Perdarahan kronik subdural,
gejalanya bisa muncul dalam waktu berminggu- minggu ataupun bulan setelah trauma yang ringan
atau trauma yang tidak jelas, bahkan hanya terbentur ringan saja bisa mengakibatkan perdarahan
subdural apabila pasien juga mengalami gangguan vaskular atau gangguan pembekuan darah. Pada
perdarahan subdural kronik , kita harus berhati hati karena hematoma ini lama kelamaan bisa
menjadi membesar secara perlahan- lahan sehingga mengakibatkan penekanan dan herniasi. Pada
subdural kronik, didapati kapsula jaringan ikat terbentuk mengelilingi hematoma , pada yang lebih
baru, kapsula masih belum terbentuk atau tipis di daerah permukaan arachnoidea. Kapsula melekat
pada araknoidea bila terjadi robekan pada selaput otak ini. Kapsula ini mengandung pembuluh
darah yang tipis dindingnya terutama pada sisi duramater. Karena dinding yang tipis ini protein
dari plasma darah dapat menembusnya dan meningkatkan volume dari hematoma. Pembuluh darah
ini dapat pecah dan menimbulkan perdarahan baru yang menyebabkan menggembungnya
hematoma.
Darah di dalam kapsula akan membentuk cairan kental yang dapat menghisap cairan dari
ruangan subaraknoidea. Hematoma akan membesar dan menimbulkan gejala seprti pada tumor
serebri. Sebagaian besar hematoma subdural kronik dijumpai pada pasien yang berusia di atas 50
tahun. Pada gambaran skening tomografinya didapatkan lesi hipodens.
b. Berdasarkan pada arsitektur internal dan densitas tiap hematom, perdarahan subdural kronik
dibagi menjadi 4 kelompok tipe, yaitu :
1. Tipe homogen ( homogenous)
2. Tipe laminar
3. Tipe terpisah ( seperated)
4. Tipe trabekular (trabecular)
Tingkat kekambuhan pada tipe terpisah adalah tinggi sedangkan pada tipe yang trabekular adalah
rendah. Pada perdarahan subdural kronik diyakini bahwa pada awalnya dalam bentuk homogen,
kemusian seringkali berlanjut menjadi bentuk laminar. Sedangkan pada subdural kronik yang
matang, diwakili oleh stadium terpisah dan hematomnya terkadang melalui stadium trabekular
selama penyerapan.
c. Sedangkan berdasarkan perluasan iutrakranial dari tiap hematom, perdarahan subdural
kronik dikelompokkan menjadi 3 tipe yaitu:
1. Tipe konveksiti ( convexity).
2. Tipe basis cranial ( cranial base ).
3. Tipe interhemisferik
Tingkat kekambuhan perdarahan subdural Kronik tipe cranial base adalah tinggi, sedangkan
kekambuhan tipe convexity adalah rendah. Pengelompokan perdarahan subdural kronik
berdasarkan arsitektur internal dan perluasan intra kranial ini berguna untuk memperkirakan resiko
terjadinya kekambuhan pasca operatif.
6. Manifestasi Klinis
Dalam latent interval kebanyakan penderita hematom subdural mengeluh tentang sakit
kepala dan pening, seperti umumnya penderita kontusio serebri juga mengeluh setelah trauma
kapitis. Tetapi apabila disamping itu timbul gejala-gejala yang mencerminkan adanya proses desak
ruang intrakranial, baru pada saat itu timbulnya manifestasi hematom subdural. Gejala-gejala
tersebut bisa berupa kesadaran yang makin menurun, “organic brain syndrom”, hemiparesis
ringan, hemihipestesia, adakalanya epilepsy fokal dengan adanya tanda-tanda papiledema.
Pada 75% kasus, sakit kepala timbul dengan gejala-gejala paling kurang satu dari karakteristik
berikut ini : onsetnya tiba-tiba, nyerinya berat, nausea dan muntah-muntah dan eksaserbasi batuk,
ketegangan otot atau latihan. Gejala umum lainnya adalah kelemahan, kejang-kejang, dan
inkonntinensia. Hemiparesis dan penurunan kesadaran merupakan tanda yang paling sering terjadi.
Hemiparesis terjadi ipsilateral dengan hematom pada 40% kasus
a. Hematoma Subdural Akut
Hematoma subdural akut menimbulkan gejala neurologik dalam 24 sampai 48 jam setelah
cedera. Dan berkaitan erat dengan trauma otak berat. Gangguan neurologik progresif disebabkan
oleh tekanan pada jaringan otak dan herniasi batang otak dalam foramen magnum, yang
selanjutnya menimbulkan tekanan pada batang otak. Keadan ini dengan cepat menimbulkan
berhentinya pernapasan dan hilangnya kontrol atas denyut nadi dan tekanan darah.
b. Hematoma Subdural Subakut
Hematoma ini menyebabkan defisit neurologik dalam waktu lebih dari 48 jam tetapi
kurang dari 2 minggu setelah cedera. Seperti pada hematoma subdural akut, hematoma ini juga
disebabkan oleh perdarahan vena dalam ruangan subdural.
Anamnesis klinis dari penmderita hematoma ini adalah adanya trauma kepala yang menyebabkan
ketidaksadaran, selanjutnya diikuti perbaikan status neurologik yang perlahan-lahan. Namun
jangka waktu tertentu penderita memperlihatkan tanda-tanda status neurologik yang memburuk.
Tingkat kesadaran mulai menurun perlahan-lahan dalam beberapa jam.Dengan meningkatnya
tekanan intrakranial seiring pembesaran hematoma, penderita mengalami kesulitan untuk sadar
dan tidak memberikan respon terhadap rangsangan bicara maupun nyeri. Pergeseran isi
intracranial dan peningkatan intracranial yang disebabkan oleh akumulasi darah akan
menimbulkan herniasi unkus atau sentral dan melengkapi tanda-tanda neurologik dari kompresi
batang otak.
c. Hematoma Subdural Kronik
Timbulnya gejala pada umumnya tertunda beberapa minggu, bulan dan bahkan beberapa
tahun setelah cedera pertama.Trauma pertama merobek salah satu vena yang melewati ruangan
subdural. Terjadi perdarahan secara lambat dalam ruangan subdural. Dalam 7 sampai 10 hari
setelah perdarahan terjdi, darah dikelilingi oleh membrane fibrosa.Dengan adanya selisih tekanan
osmotic yang mampu menarik cairan ke dalam hematoma, terjadi kerusakan sel-sel darah dalam
hematoma. Penambahan ukuran hematoma ini yang menyebabkan perdarahan lebih lanjut dengan
merobek membran atau pembuluh darah di sekelilingnya, menambah ukuran dan tekanan
hematoma.
Hematoma subdural yang bertambah luas secara perlahan paling sering terjadi pada usia
lanjut (karena venanya rapuh) dan pada alkoholik. Pada kedua keadaan ini, cedera tampaknya
ringan; selama beberapa minggu gejalanya tidak dihiraukan. Hasil pemeriksaan CT scan dan MRI
bisa menunjukkan adanya genangan darah.
7. Diagnosis
Penegakkan diagnosa subdural hematom kronis tidaklah gampang. Gejala-gejalanya
sangat menyerupai gejala suatu tumor serebri. Hematom subdural kronis itu terletak antara
duramater dan araknoid. Ia dapat menyerap cairan dari sekitarnya sehingga lama kelamaan akan
bertambah besar. Simptomatologinya sangat menyerupai gejala suatu tumor serebri. Trauma
kapitisnya sendiri begitu ringan. Sehingga dapat terjadi bahwa si penderita sendiri tidak ingat lagi
tentang kapan dan dimana kepalanya terbentur. Trauma kapitisnya tidak menimbulkan kesadaran
menurun.
Pemeriksaan neurologik yang awal menyediakan suatu garis dasar yang penting yang harus
digunakan untuk memfollow-up perjalanan klinis pasien. Jika dicatat dalam bentuk score GCS, ia
juga memberikan informasi prognostic yang penting. Pasien dengan cedera kepala yang serius
sering di intubasi dengan cepat dan diberikan perawatan yang diorientasi pada trauma. Namun
karena prognostiknya yang signifikan, pemeriksaan neurology yang singakat diukur dengan
menggunakan GCS yang merupakan komponen penting dari penilaian skunder dan memerlukan
waktu kurang dari 2 menit untuk menyempurnakannya. Lihat tanda-tanda dari fraktur tulang
tengkorak basilar. Ini termasuk ekimosis bilateral (mata racoon) dan ekimosis retroaurikuler. Area
di sekitar laserasi harus dicukur dan di inspeksi. Pasien dengan cedera kepala yang berat harus
dinilai cedera kepala tulang servikal (C-spine); immobilisasi pasien sampai penelitian klinis dan
penelitian radiografik dapat dibuktikan sebaliknya
1. CT Scan: tanpa/dengan kontras) mengidentifikasi adanya hemoragik, menentukan
ukuran ventrikuler, pergeseran jaringan otak. Hematom subdural akut tampak sebagai
suatu hiperdense, konkaf terhadap otak, dan garis suturanya tidak jelas, berbeda dengan
hematom epidural dimana konveks tehadap otak dan garis suturanya berbatas jelas.
2. Angiografi serebral: menunjukkan kelainan sirkulasi serebral, seperti pergeseran
jaringan otak akibat edema, perdarahan, trauma.
3. X-Ray: mendeteksi perubahan struktur tulang (fraktur), perubahan struktur garis
(perdarahan / edema), fragmen tulang.
4. Analisa Gas Darah: medeteksi ventilasi atau masalah pernapasan (oksigenasi) jika terjadi
peningkatan tekanan intrakranial.
5. Elektrolit: untuk mengkoreksi keseimbangan elektrolit sebagai akibat peningkatan
tekanan intrakranial.
6. Pemeriksaan Laboratorium
- Prevalensi abnormalitas koagulasi telah lama dikenali pada pasien cedera kepala.
Abnormalitas ini dipercaya akibat pelepasan dari bahan-bahan tromboplastik oleh
kerusakan jaringan otak.
- Pada suatu ulasan 253 pasien dengan cedera kepala yang memerlukan pemeriksaan CT-
Scan, resiko perkembangan otak yang lambat seperti yang terlihat pada CT-Scan
meningakt dari 31% pada pasien dengan koagulasi. Reperensi rata-rata hampir 85% pada
pasien dengan penemuan abnormal terhadap protrombine time (PT), activated Partial
Thromboplastin Time (aPTT), atau hitung platelet.
- Fresh frozen plasma atau platelet sebaiknya diberikan jika perlu, menunggu hasil dari
penelitian ini sebaiknya tidak menunda pembedahan darurat.
- Produk-produk darah dapat diberikan secara intraoperatif untuk memperbaiki parameter
pembekuan. Abnormalitas elektrolit dapat mengeksaserbasi cedera kepala dan sebaiknya
dikoreksi dengan suatu alat penghitung waktu.
7. MRI merupakan suatu alternatif yang ada yang mampu menggambarkan CSDH dengan
jelas.
8. Serial C-Spine X-Ray penting dalam mengevaluasi kemungkinan adanya fraktur C-
Spine yang menyertai.
8. Penatalaksanaan
Seperti halnya pasien pada setiap trauma, resusitasi dimulai dengan ABC (Airway,
Breathing, Circulation ).
- Semua pasien dengan score GCS < 8 harus diintubasi untuk membebaskan jalan nafas.
- Lakukan pemeriksaan neurologis yang jelas. Respirasi yang adekuat harus dilaksanakan
pada awalnya dan dipertahankan untuk menghindari terjadinya hipoksia. Hiperventilasi
dapat dilaksanakan jika terjadi sindrom herniasi.
- Tekanan darah harus dipertahankan pada keadaan normal atau pada level yang tinggi
dengan menggunakan salin isotonic dan/alat pressor.
- Sedatif short acting dan obat-obat paralitik harus digunakan hanya jika perlu untuk
memudahkan ventilasi yang adekuat.
- Jika diduga terjadi peningkatan tekanan intrakranial atau memperlihatkan gejala sindrom
herniasi, maka berikan manitol 1 g/kg dengan cepat secara IV.
- Berikan obat-obat antikonvulsan untuk mencegah iskemik yang diinduksi serangan dan
rangkaian kejang dalam tekanan intrakranial.
- Jangan berikan steroid, seperti yang telah mereka temukaN dimana tidak efektif pada
pasien dengan cedera kepala.
Hematom subdural kronik simptomatik ditangani secara pembedahan. Craniotomy
merupakan pilihan yang valid. Namun drinase burr hole dan twist drill craniotomy kurang
invasive dan mempunyai tampakan yang sama-sama efektif.
Beberapa cara dapat dicoba untuk mengurangi edema otak:
a. Hiperventilasi, bertujuan untuk menurunkan paO2 darah sehingga mencegah
vasodilatasi pembul uh darah.
b. Cairan hiperosmoler, umumnya digunakan cairan Manitol 10¬-15% per infus untuk
“menarik” air dari ruang intersel ke dalam ruang intravaskular untuk kemudian dikeluarkan
melalui diuresis.
c. Kortikosteroid, penggunaan kortikosteroid untuk menstabilkan sawar darah otak. Berupa
Dexametason, Metilprednisolon, dan Triamsinolon.
d. Barbiturat, digunakan untuk mem”bius” pasien sehingga metabolisme otak dapat ditekan
serendah mungkin, akibatnya kebutuhan oksigen juga akan menurun; karena kebutuhan
yang rendah, otak relatif lebih terlindung dari kemungkinan kerusakan akibat hipoksi,
walaupun suplai oksigen berkurang.
e. Pemberian obat-obat neurotropik untuk membantu mengatasi kesulitan/gangguan
metabolisme otak, termasuk pada keadaan koma.
a) Piritinol, merupakan senyawa mirip piridoksin (vitamin B6) yang dikatakan
mengaktivasi metabolisme otak dan memperbaiki struktur serta fungsi membran sel. Pada
fase akut diberikan dalam dosis 800-4000 mg/hari lewat infus. Tidak dianjurkan pemberian
intravena karena sifatnya asam sehingga mengiritasi vena.
b) Piracetam, merupakan senyawa mirip GABA – suatu neurotransmitter penting di otak.
Diberikan dalam dosis 4-12 gram/ hari intravena.
c) Citicholine, disebut sebagai koenzim pembentukan lecithin di otak. Lecithin sendiri
diperlukan untuk sintesis membran sel dan neurotransmitter di dalam otak. Diberikan
dalam dosis 100-500 mg/hari intravena.
9. Komplikasi
Komplikasi yang paling sering adalah reakumulasi hematom, perdarahan intraserebral
yang disebabkan oleh pergeseran atau irigasi drainase tube yang salah, pneumoencepalus tension,
seizure dan empyema subdural .
- Karakteristik dari sindrome herniasi bisa terjadi selama terjadi pergeseran otak. Seperti
halnya lobus temporal medial, atau uncus, herniasi melewati tentorium. Ini dapat menekan
arteri cerebral poaterior ipsilateral, nervus okulomotorius, dan pedunkulus serebri. Secara
klinis rangkaian kelumpuhan nervus okulomotorius dan kompresi pedunkulus serebri
sering bermanifestasi sebagai dilatasi pupil ipsilateral dan hemiparesis kontralateral.
- Pasien bisa juga menderita stroke dari distribusi arteri cerebral posterior. Hampir 5%
kasus, hemiparesis bisa ipsilateral dengan dilatasi pupil. Fenomena ini disebut sebagai
fenomena Kernohan Notch Syndrome dan terjadi jika herniasi unkus menekan otak tengah
bergeser sehingga pedunkulus serebri kontralateral ditekan melawan incisura tentorial
kontralateral.
10. Prognosis
Tidak ada prognostic yang jelas yang dihubungkan dengan hematom subdural kronik.
Sementara beberapa pengarang telah menemukan suatu hubungan dengan tingkat preoperative dari
fungsi neurologis dan hasil akhir, yang lain tidak. Diantara 86% dan 90% pasien dengan CSDH
diobati dengan adekuat setelah prosedur pembedahan.
Rata-rata mortalitas dikeseluruhan seri adalah 50%. Rata-rata mortalitas untuk semua dari
37 pasien dengan score GCS 3 adalah 100% danrata-rata mortalitas dihubungkan dengan
nonreaktif pupil sebelah yaitu 48%, dengan nonreaktif pupil bilateral 88%, yang sangat menarik,
rata-rata yang bertahan hidup pada pasien dengan nonreaktif pupil bilateral adalah 12% meskipun
hasil akhirnya tidak dicatat
TIVA adalah teknik anestesi umum dengan hanya menggunakan obat-obat anestesi yang
dimasukkan lewat jalur intravena tanpa penggunaan anestesi inhalasi termasuk N2O. TIVA digunakan
buat mencapai 4 komponen penting dalam anestesi yang menurut Woodbridge (1957) yaitu blok
mental, refleks, sensoris dan motorik. Atau trias A (3 A) dalam anestesi yaitu
1. Amnesia
2. Arefleksia otonomik
3. Analgesik
4. +/- relaksasi otot
Jika keempat komponen tadi perlu dipenuhi, maka kita membutuhkan kombinasi dari obat-
obatan intravena yang dapat melengkapi keempat komponen tersebut. Kebanyakan obat anestesi
intravena hanya memenuhi 1 atau 2 komponen di atas kecuali Ketamin yang mempunyai efek 3 A
menjadikan Ketamin sebagai agen anestesi intravena yang paling lengkap.
Kelebihan TIVA:
1. Kombinasi obat-obat intravena secara terpisah dapat di titrasi dalam dosis yang lebih akurat
sesuai yang dibutuhkan.
2. Tidak menganggu jalan nafas dan pernafasan pasien terutama pada operasi
sekitar jalan nafas atau paru-paru.
3. Anestesi yang mudah dan tidak memerlukan alat-alat atau mesin yang khusus.
4. Cepat menghasilkan efek hypnosis.
5. Mempunyai efek analgesi.
6. Disertai amnesia pasca anestesi.
7. Cepat dieliminasi oleh tubuh.
8. Dampak yang tidak baik mudah dihilangkan oleh obat antagonisnya.
Teknik anestesi intravena merupakan suatu teknik pembiusan dengan memasukkan obat
langsung ke dalam pembuluh darah secara parenteral, obat-obat tersebut digunakan untuk premedikasi
seperti diazepam dan analgetik narkotik. Induksi anestesi seperti misalnya tiopenton yang juga
digunakan sebagai pemeliharaan dan juga sebagai tambahan pada tindakan analgesia regional.
Dalam perkembangan selanjutnya terdapat beberapa jenis obat – obat anestesi dan yang
digunakan di indonesia hanya beberapa jenis obat saja seperti, Tiopenton, Benzodiazepin ,
Dehidrobenzoperidol, Fentanil, Ketamin dan Propofol.
CARA PEMBERIAN
1. Sebagai obat tunggal :
· Induksi anestesi
· Operasi singkat: cabut gigi
2. Suntikan berulang :
· Sesuai kebutuhan : colonoscopy
3. Diteteskan lewat infus :
· Menambah kekuatan anestesi.
PROPOFOL
Merupakan derivat fenol yang banyak digunakan sebagai anastesia intravena dan lebih dikenal dengan
nama dagang Diprivan. Pertama kali digunakan dalam praktek anestesi pada tahun 1977 sebagai obat
induksi.
Propofol digunakan untuk induksi dan pemeliharaan dalam anastesia umum, pada pasien
dewasa dan pasien anak – anak usia lebih dari 3 tahun. Mengandung lecitin, glycerol dan minyak
soybean, sedangkan pertumbuhan kuman dihambat oleh adanya asam etilendiamintetraasetat atau
sulfat, hal tersebut sangat tergantung pada pabrik pembuat obatnya. Obat ini dikemas dalam cairan
emulsi lemak berwarna putih susu bersifat isotonik dengan kepekatan 1 % (1 ml = 10 mg) dan pH 7-8. 1,2
Propofol adalah 98% protein terikat dan mengalami metabolisme hati untuk metabolit
glukuronat, yang akhirnya diekskresikan dalam urin.
Efek Klinis: propofol menghasilkan hilangnya kesadaran dengan cepat, dengan waktu pemulihan yang
cepat dan langsung kembali pada kondisi klinis sebelumnya (sebagai hasil waktu paruh distribusi yang
pendek dan tingkat clearance tinggi). Propofol menekan refleks laring sehingga sangat cocok untuk
digunakan dengan perangkat LMA agar dapat dimasukkan dengan lancar. Ada insiden rendah mual dan
muntah pasca operasi dan reaksi alergi atau hipersensitivitas. Karena propofol tidak signifikan
menumpuk setelah bolus ulangan, propofol sangat cocok untuk infus jangka panjang selama operasi
sebagai bagian dari teknik anestesi Total intravena (Tiva) dan di ICU untuk obat penenang jangka
panjang. 3
Induksi bolus 2-2,5 mg/kg dapat menyebabkan depresi pada jantung dan pembuluh darah dimana
tekanan dapat turun sekali disertai dengan peningkatan denyut nadi. Ini diakibatkan Propofol
mempunyai efek mengurangi pembebasan katekolamin dan menurunkan resistensi vaskularisasi
sistemik sebanyak 30%. Pengaruh pada jantung tergantung dari :
Dapat menurunkan frekuensi pernafasan dan volume tidal, dalam beberapa kasus dapat menyebabkan
henti nafas kebanyakan muncul pada pemberian diprivan. Secara lebih detail konsentrasi yang
menimbulkan efek terhadap sistem pernafasan adalah seperti berikut:
· Pada 25%-40% kasus Propofol dapat menimbulkan apnoe setelah diberikan dosis induksi yang bisa
berlangsung lebih dari 30 saat.
Efek Samping
Dapat menyebabkan nyeri selama pemberian pada 50% sampai 75%. Nyeri ini bisa muncul akibat iritasi
pembuluh darah vena, nyeri pada pemberian propofol dapat dihilangkan dengan menggunakan lidokain
(0,5 mg/kg) dan jika mungkin dapat diberikan 1 sampai 2 menit dengan pemasangan torniquet pada
bagian proksimal tempat suntikan, berikan secara I.V melaui vena yang besar. Gejala mual dan muntah
juga sering sekali ditemui pada pasien setelah operasi menggunakan propofol. Propofol merupakan
emulsi lemak sehingga pemberiannya harus hati – hati pada pasien dengan gangguan metabolisme
lemak seperti hiperlipidemia dan pankreatitis. Pada sesetengah kasus dapat menyebabkan kejang
mioklonik (thiopental < propofol < etomidate atau methohexital). Phlebitis juga pernah dilaporkan
terjadi setelah pemberian induksi propofol tapi kasusnya sangat jarang. Terdapat juga kasus terjadinya
nekrosis jaringan pada ekstravasasi subkutan pada anak-anak akibat pemberian propofol.3
Propofol tidak diizinkan untuk digunakan pada anak-anak berusia kurang dari
3 tahun. Ada laporan kematian tak terduga pada anak-anak karena asidosis metabolik dan kegagalan
miokard setelah penggunaan jangka panjang di ICU.
TIOPENTON
Tiopental sekarang lebih dikenal dengan nama sodium Penthotal, Thiopenal, Thiopenton Sodium
atau Trapanal yang merupakan obat anestesi umum barbiturat short acting, tiopentol dapat mencapai
otak dengan cepat dan memiliki onset yang cepat (30-45 detik). Dalam waktu 1 menit tiopenton sudah
mencapai puncak konsentrasi dan setelah 5 – 10 menit konsentrasi mulai menurun di otak dan
kesadaran kembali seperti semula.9 Dosis yang banyak atau dengan menggunakan infus akan
menghasilkan efek sedasi dan hilangnya kesadaran.
Efek pada sistem saraf pusat
Dapat menyebabkan hilangnya kesadaran tetapi menimbulkan hiperalgesia pada dosis subhipnotik,
menghasilkan penurunan metabolisme serebral dan aliran darah sedangkan pada dosis yang tinggi akan
menghasilkan isoelektrik elektroensepalogram.Thiopental turut menurunkan tekanan intrakranial.
Manakala methohexital dapat menyebabkan kejang setelah pemberian dosis tinggi.
Tekanan intraokluar menurun 40% setelah pemberian induksi thiopental atau methohexital. Biasanya
diberikan suksinilkolin setelah pemberian induksi thiopental supaya tekanan intraokular kembali ke nilai
sebelum induksi.
Menurunkan tekanan darah dan cardiac output ,dan dapat meningkatkan frekwensi jantung, penurunan
tekanan darah sangat tergantung dari konsentrasi obat dalam plasma. Hal ini disebabkan karena efek
depresinya pada otot jantung, sehingga curah jantung turun, dan dilatasi pembuluh darah. Iritabilitas
otot jantung tidak terpengaruh, tetapi bisa menimbulkan disritmia bila terjadi resistensi CO2 atau
hipoksia. Penurunan tekanan darah yang bersifat ringan akan pulih normal dalam beberapa menit tetapi
bila obat disuntik secara cepat atau dosisnya tinggi dapat terjadi hipotensi yang berat. Hal ini terutama
akibat dilatasi pembuluh darah karena depresi pusat vasomotor. Dilain pihak turunnya tekanan darah
juga dapat terjadi oleh karena efek depresi langsung obat pada miokard.
Menyebabkan depresi pusat pernafasan dan sensitifitas terhadap CO2 menurun terjadi penurunan
frekwensi nafas dan volume tidal bahkan dapat sampai menyebabkan terjadinya asidosis respiratorik.
Dapat juga menyebabkan refleks laringeal yang lebih aktif berbanding propofol sehingga menyebabkan
laringospasme. Jarang menyebabkan bronkospasme.
Dosis
Dosis yang biasanya diberikan berkisar antara 3-5 mg/kg. Untuk menghindarkan efek negatif dari
tiopental tadi sering diberikan dosis kecil dulu 50-75 mg sambil menunggu reaksi pasien.
Efek samping
Efek samping yang dapat ditimbulkan seperti alergi, sehingga jangan memberikan obat ini kepada pasien
yang memiliki riwayat alergi terhadap barbiturat, sebab hal ini dapat menyebabkan terjadinya reaksi
anafilaksis yang jarang terjadi, barbiturat juga kontraindikasi pada pasien dengan porfiria akut, karena
barbiturat akan menginduksi enzim d-aminoleuvulinic acid sintetase, dan dapat memicu terjadinya
serangan akut. Iritasi vena dan kerusakan jaringan akan menyebakan nyeri pada saat pemberian melalui
I.V, hal ini dapat diatasi dengan pemberian heparin dan dilakukan blok regional simpatis.
KETAMIN
Ketalar sebagai nama dagang yang pertama kali diperkenalkan oleh Domino dan Carson tahun
1965 yang digunakan sebagai anestesi umum.
Ketamin kurang digemari untuk induksi anastesia, karena sering menimbulkan takikardi, hipertensi ,
hipersalivasi , nyeri kepala, pasca anasthesi dapat menimbulkan muntah – muntah , pandangan kabur
dan mimpi buruk.
Ketamin juga sering menebabkan terjadinya disorientasi, ilusi sensoris dan persepsi dan mimpi
gembira yang mengikuti anesthesia, dan sering disebut dengan emergence phenomena.
Ketamin lebih larut dalam lemak sehingga dengan cepat akan didistribusikan ke seluruh organ.10 Efek
muncul dalam 30 – 60 detik setelah pemberian secara I.V dengan dosis induksi, dan akan kembali sadar
setelah 15 – 20 menit. Jika diberikan secara I.M maka efek baru akan muncul setelah 15 menit.
Apabila diberikan intravena maka dalam waktu 30 detik pasien akan mengalami perubahan
tingkat kesadaran yang disertai tanda khas pada mata berupa kelopak mata terbuka spontan dan
nistagmus. Selain itu kadang-kadang dijumpai gerakan yang tidak disadari (cataleptic appearance),
seperti gerakan mengunyah, menelan, tremor dan kejang. Itu merupakan efek anestesi dissosiatif yang
merupakan tanda khas setelah pemberian Ketamin. Apabila diberikan secara intramuskular, efeknya
akan tampak dalam 5-8 menit, sering mengakibatkan mimpi buruk dan halusinasi pada periode
pemulihan sehingga pasien mengalami agitasi. Aliran darah ke otak meningkat, menimbulkan
peningkatan tekanan darah intrakranial.
Menimbulkan lakrimasi, nistagmus dan kelopak mata terbuka spontan, terjadi peningkatan
tekanan intraokuler akibat peningkatan aliran darah pada pleksus koroidalis.
Ketamin adalah obat anestesia yang bersifat simpatomimetik, sehingga bisa meningkatkan
tekanan darah dan jantung. Peningkatan tekanan darah akibat efek inotropik positif dan vasokonstriksi
pembuluh darah perifer.
Pada dosis biasa, tidak mempunyai pengaruh terhadap sistem respirasi. dapat menimbulkan
dilatasi bronkus karena sifat simpatomimetiknya, sehingga merupakan obat pilihan pada pasien asma.
Ketamin merupakan obat yang dapat diberikan secara intramuskular apabila akses pembuluh
darah sulit didapat contohnya pada anak – anak. Ketamin bersifat larut air sehingga dapat diberikan
secara I.V atau I.M. Dosis induksi adalah 1 – 2 mg/KgBB secara I.V atau 5 – 10 mg/Kgbb I.M , untuk dosis
sedatif lebih rendah yaitu 0,2 mg/KgBB dan harus dititrasi untuk mendapatkan efek yang diinginkan.
Untuk pemeliharaan dapat diberikan secara intermitten atau kontinyu. Pemberian secara
intermitten diulang setiap 10 – 15 menit dengan dosis setengah dari dosis awal sampai operasi selesai.3
Dosis obat untuk menimbulkan efek sedasi atau analgesic adalah 0,2 – 0,8 mg/kg IV atau 2 – 4 mg/kg IM
atau 5 – 10 µg/kg/min IV drip infus.
Efek samping
Dapat menyebabkan efek samping berupa peningkatan sekresi air liur pada mulut,selain itu
dapat menimbulkan agitasi dan perasaan lelah , halusinasi dan mimpi buruk juga terjadi pasca operasi,
pada otot dapat menimbulkan efek mioklonus pada otot rangka selain itu ketamin juga dapat
meningkatkan tekanan intracranial. Pada mata dapat menyebabkan terjadinya nistagmus dan diplopia.
Kontra indikasi
Mengingat efek farmakodinamiknya yang relative kompleks seperti yang telah disebutkan
diatas, maka penggunaannya terbatas pada pasien normal saja. Pada pasien yang menderita penyakit
sistemik penggunaanya harus dipertimbangkan seperti tekanan intrakranial yang meningkat, misalnya
pada trauma kepala, tumor otak dan operasi intrakranial, tekanan intraokuler meningkat, misalnya pada
penyakit glaukoma dan pada operasi intraokuler. Pasien yang menderita penyakit sistemik yang sensitif
terhadap obat – obat simpatomimetik, seperti ; hipertensi tirotoksikosis, Diabetes militus , PJK dl1,2
OPIOID
Absorbsi cepat dan komplit terjadi setelah injeksi morfin dan meperedin intramuskuler, dengan
puncak level plasma setelah 20-60 menit. Fentanil sitrat transmukosal oral merupakan metode efektif
menghasilkan analgesia dan sedasi dengan onset cepat (10 menit) analgesia dan sedasi pada anak-anak
(15-20 μg/Kg) dan dewasa (200-800 μg).
Waktu paruh opioid umumnya cepat (5-20 menit). Kelarutan lemak yang rendah dan morfin
memperlambat laju melewati sawar darah otak, sehingga onset kerja lambat dan durasi kerja juga Iebih
panjang. Sebaliknya fentanil dan sufentanil onsetnya cepat dan durasi singkat setelah injeksi bolus. 6
Tramadol
Tramadol adalah analgesik kuat yang bekerja pada reseptor opiat. Tramadol mengikat secara
stereospesifik pada reseptor di sistem saraf pusat sehingga menghambat sensasi nyeri dan respon
terhadap nyeri. Disamping itu tramadol menghambat pelepasan neurotransmiter dari saraf aferen yang
sensitif terhadap rangsang, akibatnya impuls nyeri terhambat. Tramadol peroral diabsorpsi dengan baik
dengan bioavailabilitas 75%. Tramadol dan metabolitnya diekskresikan terutama melalui urin dengan
waktu 6,3 – 7,4 jam.
Indikasi : Untuk pengobatan nyeri akut dan kronik yang berat, nyeri pasca pembedahan.
BENZODIAZEPIN
Golongan benzodiazepine yang sering digunakan oleh anestesiologi adalah Diazepam (valium),
Lorazepam (Ativan) dan Midazolam (Versed), diazepam dan lorazepam tidak larut dalam air dan
kandungannya berupa propylene glycol.
Obat golongan benzodiazepine dimetabolisme di hepar, efek puncak akan muncul setelah 4 - 8
menit setelah diazepam disuntikkan secara I.V dan waktu paruh dari benzodiazepine ini adalah 20 jam.
Dosis ulangan akan menyebabkan terjadinya akumulasi dan pemanjangan efeknya sendiri. Midazolam
dan diazepam didistribusikan secara cepat setelah injeksi bolus, metabolisme mungkin akan tampak
lambat pada pasien tua.