Professional Documents
Culture Documents
Diajukan untuk
Memenuhi Tugas Kepaniteraan Klinik dan Melengkapi Salah Satu Syarat
Menempuh Program Pendidikan Profesi Dokter Bagian Ilmu Mata
RSUD Dr. Loekmono Hadi Kudus
Disusun oleh:
Teuku M Arief Yamin
01.211.6539
Pembimbing:
dr. Rosalia Septiana W, Sp.M
STATUS PASIEN
I. IDENTITAS PASIEN
Nama lengkap : Tn. M
Umur : 60 tahun
Agama : Islam
Alamat : Gondoharum
Pekerjaan : Tidak bekerja
No. RM : 773080
Tanggal Pemeriksaan : 22 Februari 2018
II. ANAMNESIS
A. STATUS GENERALIS
Keadaan Umum : Baik
Kesadaran : Composmentis
Vital Sign
Tekanan Darah :130/80 mmHg
Nadi : 88 kali/ menit
Suhu : 36,60C
Respiration Rate (RR) : 22 x / menit
Status Gizi : Baik
B. STATUS OFTALMOLOGI
IV. RESUME
Subjektif
Pasien mengeluh mata kirinya seperti ada yang mengganjal sejak 3
bulan terakhir terutama bila mata terkena cahaya matahari, debu atau angin
serta adanya selaput yang tumbuh semakin tebal pada tepi mata kirinya.
Keluhan semakin terasa sejak 3 minggu terakhir. Awalnya penderita merasa
gatal, rasa gatal kemudian di ikuti dengan rasa perih dan panas yang disertai
dengan pengeluaran air mata dan mata menjadi merah pada. Keluhan mata
nyeri, mata silau, kelopak mata bengkak, disangkal
Pasien juga mengeluhkan pandangan nya agak berkabut pada mata
kanan sejak 1 tahun yang lalu, Awalnya pandangan seperti berkabut namun
semakin lama semakin kabur dan terlihat tidak jelas. Pandangan mata kabur
pada penglihatan jauh maupun penglihatan dekat Keluhan tidak sampai
mengganggu penglihatan.
Objektif
Pemeriksaan mata :
OCULI DEXTRA (OD) PEMERIKSAAN OCULI SINISTRA (OS)
6/30 6/30
Visus
Pinhol (-) Pinhol (-)
Tidak dikoreksi Koreksi Tidak dikoreksi
Gerak bola mata normal, Gerak bola mata normal,
enoftalmus (-), eksoftalmus (-), enoftalmus (-), eksoftalmus (-),
Bulbus okuli
strabismus (-) strabismus (-)
Edema (-), hiperemis(-), Edema (-), hiperemis(-),
nyeri tekan (-), nyeri tekan (-),
blefarospasme (-), lagoftalmus Palpebra blefarospasme (-), lagoftalmus
(-) (-)
ektropion (-), entropion (-) ektropion (-), entropion (-)
Edema (-), Edema (-),
injeksi silier (-), injeksi silier (-),
injeksi konjungtiva (-), Konjungtiva injeksi konjungtiva (-),
infiltrat (-), infiltrat (-),
hiperemis (-) hiperemis (-)
Putih Sklera Putih
Bulat,jernih Bulat, jernih
edema (-), edema (-),
arkus senilis (-) arkus senilis (-)
Kornea
keratik presipitat (-), infiltrat keratik presipitat (-), infiltrat
(-), sikatriks (-) (-), sikatriks (-)
pterigium (-) pterigium (+)
Jernih, arkus senilis (-), Camera Oculi Jernih, arkus senilis (-),
hipopion (-), hifema (-), Anterior hipopion (-), hifema (-),
Digital N TIO Digital N
Kripta(+), atrofi (-) coklat, Kripta(+), atrofi (-) coklat,
Iris
edema(-), synekia anterior (-) edema(-), synekia anterior (-)
Bulat, Diameter ± 3mm Bulat, Diameter ± 3mm
Pupil
refleks pupil L/TL: +/+ refleks pupil L/TL: +/+
Keruh pada sebagian lensa,
shadow tes (+) Lensa Jernih, IOL, letak sentral
V. DIAGNOSA DIFFERENSIAL
OD OS
A. Definisi
Pterigium berasal dari bahasa Yunani, pteron yang artinya wing atau
sayap, yang merupakan penetrasi lapisan Bowman akibat pertumbahan
fibrovaskuler konjungtiva yang berasal dari penebalan dan lipatan konjungtiva
bulbi yang bersifat degeneratif dan invasif. Biasanya terletak pada rima palpebrae
bagian nasal ataupun temporal konjungtiva yang meluas ke daerah kornea dan
mudah mengalami peradangan. Pertumbuhan ini berbentuk seperti sayap (bentuk
lipatan segitiga abnormal) yang memiliki banyak permbuluh darah dengan puncak
di bagian sentral atau di daerah kornea. Bila terjadi iritasi maka pterigium akan
berwarna merah.
Gambar 3. Pterigium 11
Pterigium dibagi menjadi tiga bagian, yaitu (1) body, bagian segitiga
yang meninggi pada pterigium dengan dasarnya ke arah kantus; (2) apex,
bagian atas pterigium, dan (3) cap yakni bagian belakang pterigium.4
Berdasarkan perjalanan penyakit, pterigium dibagi menjadi dua tipe, yaitu:
a. Pterigium Progresif : tebal dan vaskular dengan beberapa infiltrat di
kornea di bagian cap.
b. Pterigium Regresif : tipis, atrofi, sedikit vaskularisasi, membentuk
membran tetapi tidak pernah hilang.4
Bila pterigium hanya terdapat di daerah nasal/temporal saja disebut
sebagai pterigium simpleks. Apabila pterigium terdapat pada nasal dan
temporal, maka disebut sebagai pterigium dupleks.
Menurut Youngson, derajat pterigium ditentukan berdasarkan bagian
kornea yang tertutup oleh pertumbuhan pterigium dan dibagi menjadi 4 yaitu:
a. Derajat 1 : Jika pterigium hanya terbatas pada limbus kornea
b. Derajat 2 : Jika pterigium sudah melewati limbus kornea tetapi tidak
lebih dari 2 mm melewati kornea
c. Derajat 3 : Jika pterigium sudah melebihi derajat dua tetapi tidak
melebihi pinggiran pupil mata dalam keadaan cahaya normal
(diameter pupil sekitar 3-4 mm)
d. Derajat 4 : Jika pertumbuhan pterigium sudah melewati pupil sehingga
mengganggu penglihatan.
G. Diagnosa Banding
1. Pseudopterigium
Pseudopterigium merupakan perlekatan konjungtiva dengan kornea yang
cacat. Sering pseudopterigium ini terjadi pada proses penyembuhan tukak
kornea, sehingga konjungtiva menutupi kornea.5,6
Pada pseudopterigium yang tidak melekat pada limbus kornea, maka
probing dengan muscle hook dapat dengan mudah melewati bagian bawah
pseudopterigium pada limbus,sedangkan pada pterygium tak dapat dilakukan.
Pada pseudopteyigium tidak didapat bagian head, cap dan body dan
pseudopterygium cenderung keluar dari ruang interpalpebra fissure yang
berbeda dengan true pterigium.
Perbedaan pseudopterigium dengan pterigium adalah5
- Pseudopterigium didahului riwayat kerusakan permukaan kornea seperti ukak
kornea, sedangkan pterigium tidak.
- Letak pseudopterigium ini pada daerah konjungtiva yang terdekat dengan
proses kornea sebelumnya. Beda dengan pterigium adalah selain letaknya
tidak harus pada celah kelopak mata atau fisura palpebra.
- Puncak pterigium menunjukkan pulau-pulau Fuchs pada kornea sedang
pseudopterigium tidak.
- Pseudopterigium dapat diselipkan sonde di bawahnya, sedangkan pterigium
tidak.
- Jumlah pembuluh darah pada pseudopterigium sama dengan keadaan
pembuluh darah normal.
- Pterigium bersifat pregresif, pseudopterigium tidak.
Gambar 5. Pinguekula 11
H. Penatalaksanaan
1. Konservatif
Pada pterigium yang ringan tidak perlu di obati. Untuk pterigium derajat 1-2
yang mengalami inflamasi, pasien dapat diberikan obat tetes mata kombinasi
antibiotik dan steroid 3 kali sehari selama 5-7 hari. Diperhatikan juga bahwa
penggunaan kortikosteroid tidak dibenarkan pada penderita dengan tekanan
intraokular tinggi atau mengalami kelainan pada kornea.
2. Bedah
Pada pterigium derajat 3-4 dilakukan tindakan bedah berupa avulsi
pterigium. Sedapat mungkin setelah avulsi pterigium maka bagian
konjungtiva bekas pterigium tersebut ditutupi dengan cangkok konjungtiva
yang diambil dari konjungtiva bagian superior untuk menurunkan angka
kekambuhan. Tujuan utama pengangkatan pterigium yaitu memberikan hasil
yang baik secara kosmetik, mengupayakan komplikasi seminimal mungkin,
angka kekambuhan yang rendah. Penggunaan Mitomycin C (MMC)
sebaiknya hanya pada kasus pterigium yang rekuren, mengingat komplikasi
dari pemakaian MMC juga cukup berat.
a. Indikasi Operasi
1) Pterigium yang menjalar ke kornea sampai lebih 3 mm dari limbus
2) Pterigium mencapai jarak lebih dari separuh antara limbus dan tepi
pupil
3) Pterigium yang sering memberikan keluhan mata merah, berair dan
silau karena astigmatismus
4) Kosmetik, terutama untuk penderita wanita
b. Teknik Pembedahan
Tantangan utama dari terapi pembedahan pterigium adalah
kekambuhan, dibuktikan dengan pertumbuhan fibrovascular di limbus ke
kornea. Banyak teknik bedah telah digunakan, meskipun tidak ada yang
diterima secara universal karena tingkat kekambuhan yang variabel.
Terlepas dari teknik yang digunakan, eksisi pterigium adalah langkah
pertama untuk perbaikan. Banyak dokter mata lebih memilih untuk
memisahkan ujung pterigium dari kornea yang mendasarinya.
Keuntungan termasuk epithelisasi yang lebih cepat, jaringan parut yang
minimal dan halus dari permukaan kornea.
1. Ilyas S. Ikhtisar Ilmu Penyakit Mata. Jakarta: Balai Penerbit FKUI, hal: 46-47.
2009
2. Vaughan G, Daniel et al. Konjungtiva dalam Opthalmologi Umum. Edisi 14.
Jakarta: Widya Medika. 2000
3. Wijana N. Ilmu Penyakit Mata. Jakarta: Binarupa Aksara. 1983
4. Laszuarni. Prevalensi Pterigium di Kabupaten Langkat.
http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/6395/1/10E00178.pdf. 2009
5. Fisher JP. Pterygium. http://emedicine.medscape.com/article/1192527-
overview#showall. 2013
6. Wisnujono S, dkk. Pterigium dalam Pedoman Diagnosis dan Terapi, RSUD Dr.
Soetomo, Surabaya. 1994
7. Ilyas, S, Mailangkay HHB, Taim H, Saman R, Simarwata M., Widodo PS (eds).
Ilmu penyakit mata untuk dokter umum dan mahasiswa kedokteran. Edisi ke-2.
Jakarta: Sagung Seto. 2010
8. Pterygium. Handbook of Ocular Disease Management. (Online)
http://www.revoptom.com. Diakses Oktober 2014
9. Olver J, Cassidy L. Ophthalmology at a glance. Oxford: Blackwell Publishing
company. 2005. pp: 34.
10. Sehu KW, Lee WR. Ophtalmic pathology: An illustrated guide for clinicians.
Oxford: Blackwell Publishing company. 2005. pp:48.
11. Lang GK. Gareis O, Lang GE, Recker D, Wagner P. Ophthalmology: A pocket
textbook atlas. 2nd ed. New York: Thieme. 2006. pp: 69,70,72
TINJAUAN PUSTAKA
KATARAK
2.1 Definisi
Katarak adalah setiap keadaan kekeruhan pada lensa yang terjadi
akibat hidrasi (penambahan cairan) lensa, denaturasi protein lensa terjadi
akibat kedua – duanya.
Biasanya kekeruhan mengenai kedua mata dan berjalan progresif
ataupun dapat tidak mengalami perubahan dalam waktu yang lama.
2.2 Faktor Resiko
- Mata dibebat
- Diberikan tetes antibiotika dengan kombinasi antiinflamasi
- Tidak boleh mengangkat benda berat, menggosok mata, berbaring di
sisi mata yang baru dioperasi, dan mengejan keras.
- Kontrol teratur untuk evaluasi luka operasi dan komplikasi setelah
operasi.
- Bila tanpa pemasangan IOL, maka mata yang tidak mempunyai lensa
lagi (afakia) visusnya 1/60, sehingga perlu dikoreksi dengan lensa
S+10D untuk melihat jauh. Koreksi ini diberikan 3 bulan pasca operasi.
Sedangkan untuk melihat dekat perlu diberikan kacamata S+3D.
d. Komplikasi
Komplikasi operasi katarak bervariasi berdasarkan waktu dan
luasnya.Komplikasi dapat terjadi intra operasi atau segera sesudahnya atau
periode pasca operasi lambat. Oleh karenanya penting untuk mengobservasi
pasien katarak paska operasi dengan interval waktu tertentu yaitu pada 1 hari,
1 minggu, 1 bulan, dan 3 bulan setelah operasi katarak. Angka komplikasi
katarak adalah rendah.Komplikasi yang sering terjadi endoftalmitis, ablasio
retina, dislokasi atau malposisi IOL, peningkatan TIO, dan edema macula
sistoid.
e. Prognosis
Prognosis penglihatan untuk pasien anak-anak yang memerlukan
pembedahan tidak sebaik prognosis untuk pasien katarak senilis, karena
adanya ambliopia dan kadang-kadang anomali saraf optikus atau
retina.Prognosis untuk perbaikan ketajaman pengelihatan setelah operasi
paling buruk pada katarak kongenital unilateral dan paling baik pada katarak
kongenital bilateral inkomplit yang proresif lambat.Prognosis penglihatan
pasien dikatakan baik apabila:
Fungsi media refrakta baik
Fungsi retina baik
Fungsi makula baik
Fungsi optik disc baik
Fungsi N. Opticus (N.II) baik
Fungsi serebral baik
Tidak terdapat kelainan refraksi
Tidak ada amblyopia
DAFTAR PUSTAKA
1. Vaughan DG, Taylor A, Paul R. Oftalmologi umum edisi 14. Jakarta : Widya
Medika, 2000
2. Ilyas S. Penglihatan Turun Perlahan Tanpa Mata Merah. Dalam : Ilmu
Penyakit Mata. Jakarta: Balai penerbit FK UI, 1998
3. Suhardjo, Hartono. Ilmu Kesehatan Mata. Jogjakarta: Universitas Gajah
Mada. 2007.
4. Bobrow JC, Mark HB, David B et al. Section 11: Lens and Cataract.
Singapore : American Academy of Ophthalmology, 2008.
5. The Eye M.D. Association. Fundamentals and Principles of ophthalmology.
In: Basic and Clinical Science Course American Academy of Ophthalmology.
Section 2. Singapore : LEO; 2008.
6. Ilyas S. Katarak. Dalam : Ilyas S, Editor. Ilmu Penyakit Mata. Edisi 3. Jakarta
: Balai penerbit FKUI; 2008. Hal. 212-17.
7. The Eye M.D. Association. Fundamentals and Principles of ophthalmology.
In: Basic and Clinical Science Course American Academy of Ophthalmology.
Section 2. Singapore : LEO; 2008.
8. Crick RP, Khaw PT. Practical Anatomy and Physiology of The Eye and Orbit.
In: A Textbook of Clinical Ophtalmology. 3thEd. Singapore : FuIsland Offset
Printing (S) Pte Ltd; 2003. p 5-7.
9. Guyton AC, Hall JE. Fluid System of the Eye. In: Textbook of Medical
Physiology. 11th Ed. Pennyslvania: Elsevier Inc; 2006. p 623-25.