You are on page 1of 35

PENERAPAN STANDAR

PELAYANAN KEFARMASIAN DI APOTEK


KOTA MAGELANG BULAN SEPTEMBER
TAHUN 2014

LAPORAN HASIL PENELITIAN

Disusun oleh:

Elmiawati Latifah, M.Sc, Apt


Prasojo Pribadi, M.Sc, Apt
Fitriana Yuliastuti, M.Sc, Apt

PROGRAM STUDI D III FARMASI


FAKULTAS ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MAGELANG
TAHUN 2014

1
BAB I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Usaha peningkatan kesehatan masyarakat dapat dilakukan oleh
apoteker di apotek dengan mengaplikasikan konsep pelayanan kearmasian
(pharmaceutical care). Di Indonesia, konsep ini meliputi tanggung jawab
apoteker terhadap outcome dari penggunaan obat pada pasien, misalnya
dengan melakukan skrining resep, pemberian informasi obat yang lengkap,
monitoring penggunaan obat dan kegiatan lain seperti telah termuat dalam
Permenkes 1027 tahun 2004 (2) hal ini dilakukan untuk meningkatkan
kualitas hidup pasien (Setiawan, 2010).
Pelayanan apotek pada saat ini telah bergeser orientasinya dari obat
kepada pasien yang mengaeu kepada Pharmaceutical Care. Kegiatan apotek
yang semula hanya berfokus pada pengelolaan obat sebagai komoditi
menjadi pelayanan komprehensif yang bertujuan untuk meningkatkan
kualitas hidup pasien. Sebagai konsekuensi perubahan orientasi tersebut,
apoteker dituntut untuk meningkatkan pengetahuan, keterampilan dan
mengubah perilaku agar dapat melakukan interaksi lang sung dengan pasien.
Bentuk interaksi tersebut antara lain adalah pemberian informasil konseling
obat, monitoring penggunaan obat dan kunjungan rumah (home care).
Sebagai upaya agar para apoteker dapat melaksanakan praktik
kefarmasian dengan baik, Direktorat Jenderal Bina Farmasi dan Alat
Kesehatan Departemen Kesehatan bekerja sarna dengan Ikatan Sarjana
Farmasi Indonesia (ISFI) menyusun Standar Pelayanan Kefarmasian di
Apotek (SPKA), dengan tujuan sebagai pedoman praktik apoteker dalam
menjalankan profesi, me lindungi masyarakat dari pelayanan yang tidak
professional, dan me lindungi profesi dalam menjalankan praktik
kefarmasian. Menurut SPKA, apotek harus ber-lokasi di daerah yang mudah
dikenali oleh masyarakat dan terdapat papan petunjuk yang jelas, tertulis
kata apotek. Apotek harus mudah diakses oleh anggota masyarakat.
Masyarakat harus diberi akses seeara lang sung dan mudah oleh apoteker

2
untuk memperoleh informasi dan konseling obat. Apotek harus memiliki
ruang tunggu yang memadai, tempat memajang brosur/materi informasi, dan
ruangan tertutup untuk konseling pasien yang membutuhkan, ruang
peraeikan, dan tempat peneueian alat (Supardi, 2011)

Kompetensi penting yang harus dimiliki apoteker dalam bidang


pengelolaan obat meliputi kemampuan merancang, membuat, melakukan
pengelolaan obat di apotek yang efektif dan efesien. Penjabaran dari
kompetensi tersebut adalah dengan melakukan seleksi, perencanaan,
penganggaran, pengadaan, produksi, penyimpanan, pengamanan persediaan,
perancangan dan melakukan dispensing serta evaluasi penggunaan obat
dalam rangka pelayanan kepada pasien yang terintegrasi dalam asuhan
kefarmasian dan jaminan mutu pelayanan (ISFI, 2003).
Pelayanan Obat Non Resep merupakan pelayanan kepada pasien
yang ingin melakukan pengobatan sendiri, dikenal dengan swamedikasi.
Obat untuk swamedikasi meliputi obat-obat yang dapat digunakan tanpa
resep yang meliputi obat wajib apotek (OWA), obat bebas terbatas (OBT)
dan obat bebas (OB). Obat wajib apotek terdiri dari kelas terapi oral
kontrasepsi, obat saluran cerna, obat mulut serta tenggorokan, obat saluran
nafas, obat yang mempengaruhi sistem neuromuskular, anti parasit dan obat
kulit topical (Dirjen POM, 1997).
Apoteker hendaknya mampu menggalang komunikasi dengan tenaga
kesehatan lain, termasuk kepada dokter. Termasuk memberi informasi
tentang obat baru atau tentang produk obat yang sudah ditarik. Hendaknya
aktif mencari masukan tentang keluhan pasien terhadap obat-obat yang
dikonsumsi. Apoteker mencatat reaksi atau keluhan pasien untuk dilaporkan
ke dokter, dengan cara demikian ikut berpartisipasi dalam pelaporan efek
samping obat (ISFI, 2003).
Pelayanan resep sepenuhnya atas tanggung jawab apoteker pengelola
apotek. Apoteker tidak diizinkan untuk mengganti obat yang ditulis dalam
resep dengan obat lain. Dalam hal pasien tidak mampu menebus obat yang

3
ditulis dalam resep, apoteker wajib berkonsultasi dengan dokter untuk
pemilihan obat yang lebih terjangkau (Permenkes No.24 tahun 1993).
Standar pelayanan farmasi di apotek disusun atas kerjasama ISFI
dengan Direktorat Bina Farmasi Komunitas dan Klinik Direktorat Jenderal
Pelayanan Farmasi Departemen Kesehatan pada tahun 2003. Standar
kompetensi apoteker di apotek ini dimaksudkan untuk melindungi
masyarakat dari pelayanan yang tidak profesional, melindungi profesi dari
tuntutan masyarakat yang tidak wajar, sebagai pedoman dalam pengawasan
praktek apoteker dan untuk pembinaan serta meningkatkan mutu pelayanan
farmasi di apotek. Didalam standar tersebut pelaksanaan farmasi di apotek
terdiri dari pelayanan obat non resep (bidang I), pelayanan komunikasi –
informasi – edukasi pelayanan obat resep (bidang III) dan pengelolaan obat
(bidang IV) (Direktorat Jenderal Pelayanan Farmasi, 2003). (Purwanti,
2004). Berdasarkan latar belakang diatas maka peneliti merasa tertarik untuk
melakukan penelitian dengan judul: Profil penerapan standar pelayanan
kefarmasian di Apotek Kota Magelang.

B. Rumusan masalah
Standar pelayanan farmasi di apotek disusun atas kerjasama ISFI
dengan Direktorat Bina Farmasi Komunitas dan Klinik Direktorat Jenderal
Pelayanan Farmasi Departemen Kesehatan pada tahun 2003. Standar
kompetensi apoteker di apotek ini dimaksudkan untuk melindungi
masyarakat dari pelayanan yang tidak profesional, melindungi profesi dari
tuntutan masyarakat yang tidak wajar, sebagai pedoman dalam pengawasan
praktek apoteker dan untuk pembinaan serta meningkatkan mutu pelayanan
farmasi di apotek, sehingga perumusan masalah pada penelitian ini adalah:
Bagaimana penerapan standar pelayanan kefarmasian di Apotek Kota
Magelang ?

C. Tujuan

4
Mengetahui gambaran penerapan standar pelayanan kefarmasian di Apotek
Kota Magelang.

D. Luaran yang diharapkan


1.Publikasi ilmiah di jurnal ilmiah lokal ber ISSN
2.Pengayaan bahan ajar mata kuliah manajemen farmasi.
3.Target luaran yang diharapkan dalam penelitian ini adalah modul
pembelajaran, prosiding/oral presentasi dan publikasi hasil penelitian dalam
jurnal nasional maupun internasional.

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Teori Masalah

1) Tinjauan umum Apotek

a. Pengertian Apotek

Apotek merupakan salah satu sarana pelayanan kesehatan

dalam membantu mewujudkan tercapainya derajat kesehatan yang

optimal bagi masyarakat, selain itu juga sebagai salah satu tempat

pengabdian dan praktek profesi apoteker dalam melakukan

pekerjaan kefarmasian (Hartini dan Sulasmono, 2006).

Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 1027 Tahun 2004

memberikan definisi apotek adalah tempat tertentu, tempat

5
dilakukan pekerjaan kefarmasian dan penyaluran sediaan farmasi,

perbekalan kesehatan lainnya kepada masyarakat (Anonim, 2004a)

Tugas dan fungsi apotek adalah sebagai berikut (Anonim,

2004a):

1) Tempat pengabdian profesi apoteker yang telah melakukan

sumpah jabatan,

2) Sarana farmasi yang melaksanakan peracikan, pengubahan

bentuk, pencampuran, dan penyerahan obat atau bahan obat.

3) Sarana penyaluran perbekalan farmasi yang diperlukan

masyarakat secara luas dan merata.

Peraturan terbaru yang tertuang dalam Peraturan

Pemerintah No.51/2009 menyatakan bahwa apotek adalah sarana

pelayanan kefarmasian tempat dilakukan praktek pekerjaan

kefarmasian oleh apoteker (Anonim, 2009a).

b. Pengelolaan Apotek

Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor

1027/MENKES/SK/IX/2004, pengelolaan apotek meliputi

(Anonim, 2004a) :

1) Pembuatan, pengolahan, peracikan, pengubahan bentuk,

pencampuran, penyimpanan, dan penyerahan obat serta bahan

obat.

2) Pengadaan, penyimpanan, penyaluran dan penyerahan

perbekalan farmasi lainnya.

6
3) Pelayanan informasi mengenai perbekalan farmasi, yang

meliputi :

a) Pelayanan informasi tentang obat dan perbekalan

farmasi yang diberikan baik kepada dokter dan tenaga

kesehatan lainnya maupun kepada masyarakat.

b) Pengamatan dan pelaporan informasi mengenai khasiat,

keamanan, bahaya dan atau suatu obat dan perbekalan

farmasi lainnya.

c. Fungsi Apotek

Apotik mempunyai dua fungsi, yaitu (Anief, 1995) :

1) Sebagai unit sarana kesehatan (non profit/social oriented)

Apoteker di apotek wajib memberikan pelayanan

kefarmasian sesuai dengan tanggung jawab dan keahlian

profesinya yang dilandasi kepentingan masyarakat dalam

pelayanan sosial (social oriented). Apoteker dalam

menjalankan fungsi apotik ini harus patuh terhadap etika

kefarmasian sebagai penjabaran Kode Etik Apoteker dan

sebagai apoteker yang telah mengucapkan sumpah berdasarkan

peraturan perundang-undangan yang berlaku serta berhak

melakukan pekerjaan kefarmasian sebagai apoteker. Apoteker

juga harus mengutamakan kepuasan konsumen

(costumersatisfaction) antara lain dengan memperhatikan

7
harga, kelengkapan sediaan farmasi dan alat kesehatan lainnya

yang dijual di apotek agar tidak ada resep atau permintaan

konsumen yang ditolak karena ketidaklengkapan sediaan

farmasi maupun alat kesehatan lainnya.

2) Sebagai sarana bisnis (profit/business oriented)

Apoteker berfungsi sebagai sarana bisnis yang

diharapkan dapat memberi keuntungan. Dalam hal ini apoteker

harus mampu bertindak sebagi manager untuk mampu

mengembangkan modal dan keuntungan yang diperoleh dengan

bekal ilmu managerial demi kelangsungan hidup apotek itu

sendiri.

d. Persyaratan Apotek

Menurut Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia

Nomor 1332/MENKES/SK/X/2002 tentang Ketentuan dan Tata

Cara Pemberian Izin Apotek pasal 6 menyebutkan bahwa

(Anonim, 2002) :

1) Untuk mendapatkan izin apotek, Apoteker atau Apoteker yang

bekerjasama dengan pemilik sarana yang telah memenuhi

persyaratan harus siap dengan tempat, perlengkapan termasuk

sediaan farmasi dan perbekalan lainnya yang merupakan milik

sendiri atau milik pihak lain.

2) Sarana Apotek dapat didirikan pada lokasi yang sama dengan

kegiatn pelayanan komoditi lainnya diluar sediaan farmasi.

8
3) Apotek dapat melakukan kegiatan pelayanan komoditi lainnya

diluar sediaan farmasi.

e. Tata Cara Pemberian Izin Apotek

Dalam Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia

Nomor 1332/MENKES/SK/X/2002 pasal 4 menyebutkan bahwa

(Anonim, 2002) :

1) Izin Apotek diberikan oleh Menteri.

2) Menteri melimpahkan wewenang pemberian izin apotek

kepada Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota.

3) Kepala Dinas Kesehatan/Kota wajib melaporkan pelaksanaan

pemberian izin, pembekuan izin, pencairan izin, dan

pencabutan izin apotek sekali setahun kepada Menteri dan

tembusan disampaikan kepada Kepala Dinas Kesehatan

Provinsi.

2) Tinjauan umum Apoteker

Menurut Undang-Undang No. 36/2009 tentang kesehatan,

tenaga kesehatan adalah setiap orang yang mengabdikan diri dalam

bidang kesehatan serta memiliki pengetahuan dan/atau keterampilan

melalui pendidikan di bidang kesehatan yang untuk jenis tertentu

memerlukan kewenangan untuk melakukan upaya kesehatan. Dengan

demikian, tenaga kefarmasian juga merupakan bagian dari tenaga

kesehatan (Anonim, 2009b)

9
Berdasarkan Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia

Nomor 1027/MENKES/SK/IX/2004 tentang Standar Pelayanan

Kefarmasian di Apotek, Apoteker adalah sarjana farmasi yang telah

lulus pendidikan profesi dan telah mengucapkan sumpah berdasarkan

peraturan perundangan yang berlaku dan berhak melakukan pekerjaan

kefarmasian di Indonesia sebagai apoteker (Anonim, 2004a) :

a. Apoteker yang menjalankan Pekerjaan Kefarmasian harus

memiliki sertifikat kompetensi profesi.

b. Bagi apoteker yang baru lulus pendidikan profesi, dapat

memperoleh sertifikat kompetensi profesi secara langsung setelah

melakukan registrasi.

c. Sertifikat kompetensi profesi berlaku 5 (lima) tahun dan dapat

diperpanjang untuk setiap 5 (lima) tahun melalui uji kompetensi

profesi apabila Apoteker tetap akan menjalankan Pekerjaan

Kefarmasian.

Pekerjaan kefarmasian pada fasilitas pelayanan kefarmasian,

apoteker dapat :

a. Mengankat seorang Apoteker pendamping yang memiliki Surat

Ijin Praktek Apoteker.

b. Mengganti obat merek dagang dengan obat generik yang sama

komponen aktifnya atau obat merek dagang lain atas ijin dokter

dan/atau pasien.

10
c. Menyerahkan obat keras, narkotika dan psikotropika kepada

masyarakat atas resep dari dokter sesuai dengan ketentuan

peraturan perundang-undangan.

Apoteker dituntut harus memberikan informasi yang benar,

jelas dan mudah dimengerti, akurat, tidak bias, etis, bijaksana dan

terkini. Informasi obat pada pasien sekurang-kurangnya meliputi : cara

pemakaian obat, cara penyimpanan obat, jangka waktu pengobatan,

aktivitas serta makanan dan minuman yang harus dihindari selama

terapai (Anonim, 2004a).

Peran apoteker menurut Keputusan Menteri Kesehatan

Republik Indonesia Nomor 1027/MENKES/SK/IX/2004 bahwa sesuai

ketentuan perundangan yang berlaku apotek harus dikelola oleh

seorang apoteker yang professional dan dalam pengelolaan apotek

tersebut.

3. Tinjauan Sumpah dan Kode Etik Apoteker

Menurut Peraturan Pemerintah Nomor 20 tahun 1962 pasal 1

sumpah apoteker harus diucapkan sebelum apoteker melakukan

jabatannya, maka ia harus mengucapkan sumpah menurut cara agama

yang dipeluknya, atau mengucapkan janji. Tujuan mengucap suatu

sumpah atau janji adalah untuk menyadarkan bagi yang disumpah

bahwa dalam menjalankan tugas dan kewajiban atau pekerjaanya

mengharapkan tanggung jawab yang besar terutama tanggung jawab

kepada Tuhan Yang Maha Esa.

11
Berdasarkan Peraturan Pemerintah Kesehatan Nomor 184

tahun 1995 pasal 18 disebutkan bahwa apoteker dilarang melakukan

perbuatan menlanggar Kode Etik Apoteker oleh sebab itu seorang

apoteker perlu memahami isi dari Kode Etik Apoteker (Hartini dan

Sulasmono, 2006).

4. Tinjauan umum Asisten Apoteker

Asisten Apoteker adalah jabatan yang mempunyai ruang

lingkup, tugas, tanggung jawab dan wewenang untuk melaksanakan

penyiapan pekerjaan kefarmasian pada unit pelayanan kesehatan yang

diduduki oleh pegawai negeri sipil dengan hak dan kewajiban

memberikan secara penuh oleh pejabat yang berwenang. Penyiapan

pekerjaan farmasi adalah penyiapan rencana kerja kefarmasian,

penyiapan pengelolaan perbekalan farmasi, dan penyiapan pelayanan

farmasi klinik (Anonim, 2009c).

Menurut Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia

Nomor 889/MENKES/PER/V/2011 Pekerjaan Kefarmasian adalah

pembuatan termasuk pengendalian sediaan farmasi, pengamanan,

pengadaan, penyimpanan dan pendistribusian atau penyaluran obat,

pengelolaan obat, pelayanan obat, bahan obat dan obat tradisional.

Tenaga kefarmasian adalah tenaga yang melakukan pekerjaan

kefarmasian, yang terdiri atas Apoteker dan Tenaga Teknis

Kefarmasian. Tenaga Teknis Kefarmasian adalah tenaga yang

12
membantu Apoteker dalam menjalankan pekerjaan kefarmasian, yang

terdiri atas Sarjana Farmasi, Ahli Madya Farmasi, Analis Farmasi dan

Tenaga Menengah Farmasi/Asisten Apoteker (Anonim, 2011).

Seorang Asisten Apoteker dapat bekerja secara mandiri atau

bekerja dibawah pengewasan seorang Apoteker di sarana-sarana

(Anonim, 2009a) :

a. Produksi : industri farmasi (obat), industri bahan baku obat

tradisional, industri kosmetik.

b. Distribusi : Pedagang Besar Farmasi (PBF) penyalur sediaan

farmasi, penyalur alat kesehatan.

c. Pelayanan Kefarmasian : apotek, instalasi farmasi rumah

sakit, puskesmas, klinik, toko obat.

5. Tinjauan Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek

Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor

1027/MENKES/SK/IX/2004, Pelayanan Kefarmasian (Pharmaceutical

care) adalah bentuk pelayanan dan tanggung jawab langsung profesi

apoteker dalam pekerjaan kefarmasian untuk meningkatkan kualitas

hidup pasien (Anonim, 2004a).

Praktek kefarmasian adalah upaya penyelenggaraan

pekerjaan kefarmasian dalam rangka pemeliharaan kesehatan dan

pencegahan penyakit bagi perorangan, keluarga, kelompok, dan atau

13
masyarakat. Sistem pelayanan kefarmasian meliputi struktur dan fungsi

sistem pelayanan kefarmasian (Anonim, 2004b).

Kegiatan pelayanan kefarmasian yang semula hanya

berfokus pada pengelolaan obat sebagai komoditi menjadi pelayanan

yang bertujuan untuk meningkatkan kualitas hidup pasien. Dalam

Peraturan Pemerintah No. 51/2009 tentang pekerjaan kefarmasian yang

dimaksud dengan pelayanan kefarmasian adalah suatu pelayanan

langsung dan tanggung jawab kepada pasien yang berkaitan dengan

sediaan farmasi dengan maksud mencapai hasil yang pasti untuk

meningkatkan mutu kehidupan pasien (Anonim, 2009a).

Menurut Peraturan Perundang-Undangan berdasarkan

Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor

1027/MENKES/SK/IX/2004, pelayanan kefarmasian meliputi (Anonim,

2004a) :

a. Pengelolaan Sumber Daya

1) Sumber Daya Manusia

Sesuai ketentuan perundangan yang berlaku apotek

harus dikelola oleh seorang apoteker yang professional. Dalam

pengelolaan apotek, apoteker senantiasa harus memiliki

kemampuan menyediakan dan memberikan pelayanan yang

baik, mengambil keputusan yang tepat, mampu berkomunikasi

antar profesi, kemampuan mengelola sumber daya manusia

secara efektif, selalu belajar sepanjang karier dan membantu

14
memberikan pendidikan dan memberi peluang untuk

meningkatkan pengetahuan.

2) Sarana dan Prasarana

Apotek berlokasi pada daerah yang dengan mudah

dikenali oleh masyarakat. Masyarakat harus diberi akses secara

langsung dan mudah oleh apoteker untuk memperoleh

informasi dan konseling. Lingkungan apotek harus dijaga

kebersihannya. Apotek harus bebas dari hewan pengerat,

serangga. Apotek memiliki suplai listrik yang konstan,

terutama untuk lemari pendingin.

Apotek harus memiliki :

a) Ruang tunggu yang nyaman bagi pasien.

b) Tempat untuk mendisplai informasi bagi pasien,

termasuk penempatan brosur/materi informasi.

c) Ruangan tertutup untuk konseling bagi pasien yang

dilengkapi dengan meja dan kursi serta lemari untuk

penyimpan cacatan medikasi pasien.

d) Ruang racikan.

e) Keranjang sampah yang tersedia untuk staf maupun

pasien.

3) Pengelolaan Sediaan Farmasi dan Perbekalan Kesehatan

lainnya

15
Pengeluaran obat memakai sistem FIFO (First in

First out) dan FEFO (First Expire First out). Pengelolaan

persediaan farmasi dan perbekalan kesehatan lainnya dilakukan

sesuai ketentuan perundangan yang berlaku meliputi :

a) Perencanaan

Dalam membuat perencanaan pengedaan

sediaan farmasi perlu diperhatikan :

i. Pola penyakit

ii. Kemampuan masyarakat

iii. Budaya masyarakat

b) Pengadaan

Untuk menjamin kualitas pelayanan

kefarmasian maka pengadaan sediaan farmasi harus

melalui jalur resmi sesuai peraturan perundang-

undangan yang berlaku.

c) Penyimpanan

i. Obat/bahan obat harus disimpan dalam wadah

asli dari pabrik. Dalam hal pengecualian atau

darurat dimana isi dipindahkan pada wadah

lain, maka harus dicegah terjadinya

kontaminasi dan harus ditulis informasi yang

jelas pada wadah baru, wadah sekurang-

16
kurangnya memuat nomor bacth dan tanggal

kadaluawarsa.

ii. Semua bahan obat harus disimpan pada kondisi

yang sesuai, layak dan menjamin kestabilan

bahan.

4) Adminintrasi

a) Administrasi Umum

Pencatatan, pengarsipan, pelaporan narkotika,

psikotropika dan dokumentasi sesuai dengan ketentuan

yang berlaku.

b) Administrasi Pelayanan

Pengarsipan resep, pengarsipan catatan pengobatan

pasien, pengarsipan hasil monitoring.

b. Pelayanan

1) Pelayanan Resep

a) Skrining resep

Apoteker melakukan skrining resep meliputi :

i. Persyaratan administrative :

 Nama, SIP dan alamat dokter

 Tanggal penulisan resep

 Tanda tangan/paraf dokter penulis resep

17
 Nama, alamat, umur, jenis kelamin dan

berat badan pasien

 Nama obat, potensi, dosis, jumlah yang

diminta

 Cara pemakaian obat yang jelas

 Informasi lainnya

ii. Kesesuaian farmasetik : bentus sediaan,

dosis, potensi, stabilitas, inkkompatibilitas, cara

dan lama pemberian.

iii. Pertimbangan klinis : adanya alergi, efek

samping, interaksi, kesesuaian (dosis, durasi,

jumlah obat, dan lain-lain). Jika ada gangguan

terhadap resep hendaknya dikonsultasikan

kepada dokter penulis resep dengan

memberikan pertimbangan alternative

seperlunya bila perlu menggunakan persetujuan

setelah pemberitahuan.

b) Penyiapan Obat

i. Peracikan

18
Merupakan kegiatan menyiapkan,

menimbang, mencampur, mengemas dan

memberikan etiket pada wadah.

Dalam melaksanakan peracikan obat

harus dibuat suatu prosedur tetap dengan

memperhatikan dosis, jenis dan jumlah obat

serta penulisan etiket yang benar.

ii. Etiket

Etiket harus jelas dan dapat dibaca.

iii. Kemasan obat yang diserahkan

Obat hendaknya dikemas dengan rapi

dalam kemasan yang cocok sehingga terjaga

kualitasnya.

iv. Penyerahan Obat

Sebelum obat diserahkan pada pasien

harus dilakukan pemeriksaan akhir terhadap

kesesuaian antara obat dengan resep.

Penyerahan obat dilakukan oleh apoteker

disertai pemberian informas obat dan konseling

kepada pasien dan tenaga kesehatan.

v. Informasi Obat

19
Apoteker harus memberikan informasi

yang benar, jelas dan mudah dimengerti,

akurat, tidak bias, etis, bijaksana, dan terkini.

Informasi obat pada pasien sekurang-

kurangnya meliputi : cara pemakaian obat, cara

penyimpanan obat, jangka waktu pengobatan,

aktivitas serta makanan dan minuman yang

harus dihindari selama terapi.

vi. Konseling

Apoteker harus memberikan konseling,

mengenai sediaan farmasi, pengobatan dan

perbekalan kesehatan lainnya, sehingga dapat

memperbaiki kualitas hidup pasien atau yang

bersangkutan terhindar dari bahaya

penyalahgunaan atau penggunaan salah sediaan

farmasi atau perbekalan kesehatan lainnya.

vii. Monitoring Penggunaan Obat

Setelah penyerahan obat kepada

pasien, apoteker harus melaksanakan

pemantauan penggunaan obat, terutama untuk

pasien tertentu seperti cardiovascular, diabetes,

TBC, asthma dan penyakit kronis lainnya.

2) Promosi dan Edukasi

20
Dalam rangka pemberdayaan masyarakat, apoteker

harus berpartisipasi secara aktif dalam promosi dan edukasi.

Apoteker ikut membantu diseminasi informasi, antara lain

dengan penyebaran leaflet/brosur, poster, penyuluhan, dan lain-

lainnya.

3) Pelayanan reidensial (Home Care)

Apoteker sebagai care giver diharapkan juga dapat

melakukan pelayanan kefarmasian yang bersifat kunjungan

rumah, khususnya untuk kelompok lansia dan pasien dengan

pengobatan penyakit kronis lainnya. Untuk aktivitas ini

apoteker harus membuat catatan berupa catatan pengobatan

(medication record).

c. Evaluasi Mutu Pelayanan

Indikator yang digunakan untuk mengevaluasi mutu

pelayanan adalah :

1) Tingkat kepuasan konsumen : dilakukan dengan survey

berupa angket atau wawancara langsung.

2) Dimensi waktu : lama pelayanan diukur dengan waktu (yang

telah telah ditetapkan).

3) Prosedur Tetap : untuk menjamin mutu pelayanan sesuai

standar yang telah ditetapkan (Anonim, 2004a).

21
BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

A. JENIS PENELITIAN
Penelitian ini menggunakan metode deskriptif yaitu penelitian yang dilakukan dengan tujuan u

saat itu sehingga setiap subjek penelitian hanya diobservasi sekali saja dan

pengukuran dilakukan terhadap status karakter subjek pada saat penelitian.

B. WAKTU DAN TEMPAT PENELITIAN

Penelitian ini dilakukan di Apotek Kota Magelang. Pengambilan data

dilakukan pada bulan September tahun 2013.

C. POPULASI DAN SAMPEL

Populasi penelitan ini adalah seluruh apotek di Kota Magelang. Sampel dari
penelitian diambil dikaari hasil perhitungan sampel dari rumus probability
sampling dengan tingkat kepercayaan 95% dan signifikansi sebesar
0.05.Probability sampling yaitu teknik sampling (teknik pengambilan sampel)
yang memberikan peluang yang sama bagi setiap anggota populasi untuk dipilih
menjadi anggota sampel. Jumlah Apotek di Kota Magelang sebanyak 33 apotek,
untuk sampel penelitian ini diambil data penelitian sebanyak 15 Apotek, dimana
berdasarkan Gay (1976) penelitian deskriptif minimal mengambil sampel 20
persen dari populasi.

22
D. INSTRUMEN PENELITIAN

Instrumen pada penelitian ini berupa kuesioner (daftar pertanyaan). Jenis

kuesioner yang digunakan peneliti adalah kuesioner tertutup. Data yang

diperlukan dicacat meliputi karakteristik apotek, karakteristik apoteker,

ketenagaan, pelayanan, administrasi, evaluasi mutu pelayanan. Data yang

terkumpul kemudian dilakukan pengolahan untuk analisis. Data yang sudah

dianalisis kemudian dilakukan pembahasan karakteristik apotek, karakteristik

apoteker, ketenagaan, pelayanan, administrasi, evaluasi mutu pelayanan.

Selanjutnya di tarik kesimpulan bagaimana penerapan standar pelayanan

kefarmasian di apotek kabupaten Magelang bulan September tahun 2014.

23
BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

1. Data Apotek
Berdasarkan data yang diperoleh, jumlah apoteker, jumlah asisten apoteker dan
jumlah tenaga non kefarmasian dapat dilihat pada tabel dibawah ini:

Jumlah Jumlah
Jumlah
No Apotek Tenaga Tenaga Non
Apoteker
Kefarmasian Kefarmasian

1. Apotek A 1 3 1
2. Apotek B 2 2 1
3. Apotek C 2 2 1
4. Apotek D 2 2 2
5. Apotek E 2 3 2
6. Apotek F 2 4 3
7. Apotek G 1 2 2
8. Apotek H 1 2 2
9. Apotek I 2 2 1
10. Apotek J 2 1 2
11. Apotek K 1 1 2
12. Apotek L 1 1 2
13. Apotek M 1 2 2
14. Apotek N 2 2 3
15. Apotek O 1 2 3

Berdasarkan tabel 1. dapat dilihat bahwa 46% dari sampel menunjukkan bahwa
disetiap apotek terdapat 1 apoteker sedangkan untuk 54% lagi menunjukkan
bahwa diapotek terdapat 2 apoteker. Menurut Peraturan Pemerintah RI Nomor 51
tahun 2009 tentang pekerjaan kefarmasian pada pasal 14 ayat 1 menyebutkan
bahwa setiap fasilitas distribusi atau penyaluran sediaan farmasi berupa obat harus

24
memiliki seorang apoteker. Dengan adanya apoteker lebih dari satu maka kegiatan
pelayanan kefarmasian berjalan sesuai dengan ketentuan karena saat pelayanan
kefarmasian selalu dalam pengawasan apoteker dan apoteker dapat berperan
langsung dalam pelayanan kefarmasian. Pekerjaan Kefarmasian adalah pembuatan
termasuk pengendalian mutu sediaan farmasi, pengamanan, pengadaan,
penyimpanan dan pendistribusi atau penyaluran obat, pengelolaan obat, pelayanan
obat atas resep dokter, pelayanan informasi obat, serta pengembangan obat, bahan
obat dan obat tradisional. Jika jumlah asisten apoteker lebih dari satu maka
pelayanan kefarmasian dapat berjalan sebagaimana mestinya karena pembagian
waktu kerja lebih seimbang dan pelayanan kefarmasian dapat berjalan sesuai
dengan ketentuan. Jumlah tenaga kefarmasian terbanyak pada sampel apotek
adalah sebanyak 2 asisten apoteker yaitu dengan prosentase 60%. Jumlah tenaga
non kefarmasian diapotek tidak diatur dalam undang-undang jadi setiap apotek
tidak memiliki batasan jumlah sehingga tiap-tiap apotek memiliki jumlah yang
berbeda-beda sesuai dengan yang dibutuhkan untuk masing-masing apotek.
Berdasarkan hasil yang diperoleh dapat dilihat rata-rata untuk tenaga non
kefarmasian di setiap apotek di kota Magelang memiliki 2 tenaga non
kefarmasian. Dengan adanya tenaga non kefarmasian diapotek maka pelayanan
kefarmasian dapat berjalan dengan baik karena tenaga kefarmasian lebih fokus
dalam pelayanan kefarmasian sehingga untuk kegiatan yang bersangkutan dengan
non kefarmasian sudah ada petugasnya masing-masing.

2. Data Apoteker
a. Usia Apoteker
Dibawah ini data responden mengenai usia apoteker.

25
Tabel 2. Usia apoteker
Nama Apotek Usia Apoteker
Apotek A 33 tahun
Apotek B Apoteker 1 : 29 tahun
Apoteker 2 : 27 tahun
Apotek C Apoteker 1 : 43 tahun
Apoteker 2 : 28 tahun
Apotek D Apoteker 1 : 29 tahun
Apoteker 2 : 27 tahun
Apotek E Apoteker 1 : 30 tahun
Apoteker 2 : 28 tahun
Apotek F Apoteker 1 : 27 tahun
Apoteker 2 : 32 tahun
Apotek G 29 tahun
Apotek H 28 tahun
Apotek I Apoteker 1 : 27 tahun
Apoteker 2 : 34 tahun
Apotek J Apoteker 1 : 27 tahun
Apoteker 2 : 30 tahun
Apotek K 33 tahun
Apotek L 30 tahun
Apotek M 29 tahun
Apotek N Apoteker 1 : 29 tahun
Apoteker 2 : 33 tahun
Apotek O 35 tahun

Berdasarkan Tabel 2. diatas dapat di lihat bahwa apoteker di kota magelang


rata-rata berusia 34 tahun yang mana rentang usia tersebut merupakan usia
produktif untuk masa kerja seseorang sehingga seseorang dalam menjalankan
tugasnya dapat berjalan secara optimal. Menurut penelitian yang dilakukan
Harvard Grawth Study, proses pertumbuhan dan perkembangan intelegensi
diawali pada usia remaja dan mencapai puncaknya pada usia 30 tahun. Pada

26
usia tersebut seseorang mampu berfikir hipotetik dan dapat menguji secara
sistematik berbagai penjelasan mengenai kejadian-kejadian tertentu dan dapat
memahami prinsip-prinsip abstrak yang berlaku5.

b. Lama Bekerja Apoteker


Hasil penelitian yang telah dilakukan menunjukkan apoteker di kabupaten
Magelang rata-rata sudah memiliki pengalaman kerja lebih dari satu tahun.
Tabel 4. Lama Bekerja Apoteker
No Apotek Lama
Bekerja
1 Apotek A <1 tahun
2 Apotek B <1 tahun
3 Apotek C >1 tahun
4 Apotek D >1 tahun
5 Apotek E >1 tahun
6 Apotek F >1 tahun
7 Apotek G < 1 tahun
8 Apotek H > 1 tahun
9 Apotek I < 1 tahun
10 Apotek J < 1 tahun
11 Apotek K > 1 tahun
12 Apotek L < 1 tahun
13 Apotek M > 1 tahun
14 Apotek N > 1 tahun
15 Apotek O > 1 tahun

Berdasarkan Tabel 4. diatas dapat dilihat bahwa apoteker rata- rata sudah
memiliki pengalaman kerja lebih dari 1 tahun. Dengan pengalaman kerja yang
lebih dari satu tahun maka apoteker lebih banyak memiliki pengetahuan dalam
hal pelayanan kefarmasian, lebih mengetahui perkembangan pengetahuan

27
terbaru tentang ilmu farmasi dan lebih sering mengikuti pelatihan-pelatihan
yang berhubungan dengan pelayanan kefarmasian.

3. Standar Pelayanan Kefarmasian


a. Ketenagaan
1) Frekuensi Kehadiran Apoteker Di Apotek
Dari hasil penelitian yang telah dilakukan menunjukkan 80% responden
telah hadir setiap hari ke apotek pada jam tertentu sedangkan untuk 17%
responden hanya hadir 2-3 x seminggu ke apotek.
Tabel 5. Frekuensi Kehadiran Apoteker Di Apotek
No Frekuensi kehadiran dalam 1 minggu Jumlah
1 Selama apotek buka (12 jam/hari) 0
2 Setiap hari pada jam tertentu(6 jam/hari) 12
3 2-3 x seminggu(6 jam/ hari) 3
4 2-1 x seminggu(6 jam/ hari) 0
5 1 x seminggu(6 jam/hari) 0

Berdasarkan Gambar 5. diatas dapat dilihat bahwa sebagian besar responden


hadir setiap hari ke apotek pada jam tertentu. Sedangkan menurut KepMenKes
No. 26 tahun 1981 pasal 18, menyatakan bahwa selama apotek tersebut buka
maka apoteker pengelola apotek harus berada diapotek. Apabila APA sedang
berhalangan hadir untuk malakukan tugasnya pada hari-hari buka apotek maka
ia dapat digantikan oleh apoteker pendamping.
2) Apoteker Mengikuti Pelatihan
Berikut ini Tabel 6. hasil penelitian tentang apoteker pernah mengikuti pelatihan
yang berkaitan dengan pelayanan kefarmasian di apotek.

28
Tabel 6. Apoteker Mengikuti Pelatihan
Apoteker Apoteker
yang yang tidak
mengikuti mengikuti
pelatihan pelatihan
9 6

Berdasarkan Tabel 6. diatas dapat dilihat bahwa 60% apoteker di Kabupaten


magelang telah mengikuti pelatihan yang berkaitan dengan pelayanan
kefarmasian di apotek. Seorang apoteker diharuskan untuk mengikuti
perkembangan dalam praktik farmasi dan ilmu-ilmu farmasi, persyaratan
standar kompetensi apoteker, pengetahuan dan teknologi yang berhubungan
dengan penggunaan obat-obatan yang cukup pesat (Anonim, 2011).

29
b. Pelayanan
1) Pemeriksaan Resep
Pemeriksaan resep secara lengkap sesuai dengan ketentuan pemerintah hanya 7
apotek dari 15 apotek, 5 apotek tidak melakukan medikasi rangkap, kontra
indikasi, interaksi obat dan reaksi alergi dan 3 apotek tidak melakukan
pertimbangan interaksi obat. Hal ini dapat memicu terjadinya medication error
seharusnya hal-hal seperti itu diantisipasi sedemikian mungkin untuk
memperkecil terjadinya medication error. Berdasarkan hasil dari penelitian
yang telah dilakukan menunjukkan sebagian apotek sudah sesuai dengan
ketentuan pemerintah yaitu pemeriksaan resep dilakukan oleh apoteker dan
sebagian apotek tidak melakukan pertimbangan klinis seperti medikasi rangkap,
kontra indikasi, interaksi obat dan reaksi alergi sehingga kemungkinan
terjadinya medication error sangat besar. Dalam prakteknya pertimbangan
tentang medikasi rangkap, kontra indikasi, interaksi obat dan reaksi alergi
jarang dilakukan mengingat akan keterbatasan sumber daya manusia dan juga
waktu yang dibutuhkan lebih banyak. Pertimbangan klinik yang sering
dilakukan hanya meliputi jumlah obat, aturan pakai dan dosis obat.
2) Dispensing
Sebagian besar yang melakukan dispensing adalah apoteker. Pada proses
dispensing asisten apoteker juga berwenang dalam pelayanan obat bebas dan
obat bebas terbatas sedangkan untuk obat keras, narkotik dan psikotropik asisten
apoteker hanya berwenang dalam peracikan, sehingga secara garis besar yang
melakukan dispensing adalah apoteker. Pada pasal 22 ayat 2 PerMenKes No.
922 tahun 1993 menyatakan bahwa asisten apoteker melakukan pekerjaan
kefarmasian di apotek di bawah pengawasan apoteker. Hal ini sudah sesuai
dengan ketentuan yang telah ditetapkan oleh pemerintah. Pemeriksaan akhir
(medication review) dilakukan dengan tujuan untuk menghindari terjadinya
medication error terutama dispensing error yang menjadi tanggung jawab
seorang farmasis.

30
c. Penyerahan Obat
penyerahan obat informasi yang diberikan pada pasien meliputi dosis obat,
frekuensi pemakaian obat, lama pengobatan, cara pemakaian efek samping dan
kontra indikasi. Sedangkan untuk informasi cara penyimpanan obat terdapat 3
apotek yang tidak melakukannya. Home care pada pasien kronis tidak
dilakukan mengingat adanya keterbatasan sumber daya manusia dan
keterbatasan waktu untuk melakukannya selain itu informasi lengkap tentang
penggunaan obat telah disampaikan pada saat obat diserahkan untuk
pemantauan selanjutnya lebih banyak dilakukan oleh tenaga kesehatan lainnya
seperti dokter dan perawat. Pemberian informasi seharusnya lebih diperhatikan
oleh apoteker karena dengan memberikan informasi kepada pasien dapat
meminimalisasi terjadinya medication error. Asisten apoteker hanya berwenang
memberikan konseling sebatas pada obat bebas dan obat bebas terbatas, hal ini
dikarenakan pada obat bebas dan obat bebas terbatas dosis yang terkandung
tidak terlalu besar dan efek yang ditimbulkan tidak terlalu kuat. Pada pasal 22
ayat 2 PerMenKes No. 922 tahun 1993 menyatakan asisten apoteker melakukan
pekerjaan kefarmasian di apotek di bawah pengawasan apoteker.
d. Pengelolaan Sediaan Farmasi Dan Perbekalan Kesehatan
pengelolaan sediaan farmasi dan perbekalan kesehatan telah dilakukan sesuai
dengan ketentuan yang berlaku pada setiap apotek. Pengelolaan sediaan farmasi
meliputi perencanaan dan pengadaan sediaan farmasi, pembelian obat dari jalur
resmi, penyimpanan obat secara FEFO dan FIFO, penyimpanan narkotik dan
psikotropik sesuai ketentuan. Perencanaan pengadaan sediaan farmasi dilakukan
dengan memperhatikan kebutuhan masyarakat. Pembelian obat dilakukan
melalui jalur resmi yaitu melalui pabrik farmasi, PBF dan apotek lain.
Penyimpanan narkotik dan psikotropik telah dilakukan sesuai dengan ketentuan
yang berlaku yaitu dengan menyimpan pada almari tersendiri. KepMenKes RI
Nomor 1027/MENKES/SK/IX/2004 menyatakan bahwa untuk menjamin
kualitas pelayanan kefarmasi maka pengadaan sediaan farmasi harus melalui
jalur resmi. Pengadaan melalui jalur resmi yang berasal dari pedagang besar
farmasi (pasal 3 PerMenKes RI Nomor 918 tahun 1993 tentang pedagang besar

31
farmasi), pabrik farmasi, apotek lain dan toko obat untuk golongan obat bebas.
Jadi perolehan obat dari swalayan termasuk jalur tidak resmi6.
e. Administrasi
Saat ini pencatatan pengobatan setiap pasien ini hanya dilakukan pada pasien
tertentu yang biasanya merupakan pasien langganan apotek yang bersangkutan,
penderita kardiovaskular, diabetes, TBC, asma, dan penyakit kronik lainnya.
Berdasarkan tabel diatas dapat dilihat untuk pencatatan pemakaian obat meliputi
narkotik dan psikotropik sudah dilakukan dengan baik mengingat untuk
pemakaian narkotik dan psikotropik memerlukan pengawasan yang lebih ketat
untuk menghindari penyalahgunaan obat. KepMenKes Nomor 278 tahun 1981
pasal 13(g) menyebutkan bahwa dalam apotek harus tersedia buku pencatatan
obat narkotik dan psikotropik. Pencatatan dan pelaporan psikotropik diatur
dalam Undang-Undang Nomor 5 tahun 1997 pasal 33 yang menyatakan bahwa
apotek wajib membuat dan menyimpan catatan mengenai kegiatan masing-
masing yang berhubungan dengan psikotropik. Pengarsipan resep pemakaian
obat meliputi narkotik, psikotropik dan generik sudah dilakukan pada setiap
apotek. Pengarsipan resep dilakukan untuk mengetahui pengeluaran obat pada
setiap bulannya. PerMenKes RI No. 26 tahun 1981 pasal 13 ayat 2 dan
PerMenKes RI Nomor 922 tahun 1993 pasal 17 ayat 2 menyebutkan bahwa
resep harus dirahasiakan dan disimpan diapotek dengan baik dengan jangka
waktu 3 (tiga) tahun. Sedangkan pasal 7 KepMenKes RI Nomor 280 tahun 1981
menyebutkan bahwa apoteker pengelola apotek mengatur resep yang telah
dikerjakan menurut urutan tanggal, dan nomor urut penerimaan resep dan harus
disimpan sekurang-kurangnya selama 3 (tiga) tahun. Pelaporan obat yang
dilakukan secara rutin meliputi pemakaian narkotik dan psikotropik. Pelaporan
dilakukan dengan media online ke Dinas Kesehatan setempat. Undang-Undang
Nomor 22 tahun 1997 pasal 11 juga menyebutkan bahwa apotek wajib membuat
laporan berkala mengenai pelaporan narkotik. Undang-Undang Nomor 9 tahun
1976 menyebutkan bahwa pencatatan narkotik dilakukan dengan menggunakan
buku register apotek6 .

32
f. Evaluasi Mutu Pelayanan
Berdasarkan hasil penelitian dapat dilihat bahwa dari 6 apotek 4 apotek telah
menyediakan SOP tertulis untuk setiap proses meliputi pemeriksaan resep,
dispensing, penyerahan obat, pengelolaan sediaan farmasi dan alat kesehatan,
dengan tersedianya SOP diharapkan pelayanan dapat berjalan dengan baik dan
tidak terjadi tugas dan wewenang yang rangkap. Pada setiap apotek telah
disediakan kotak saran namun dari pihak pasien tidak memperhatikan sehingga
kotak saran tidak berfungsi sebagaimana mestinya dan evaluasi terhadap tingkat
kepuasan konsumen tidak berjalan dengan baik. Sebagian besar apotek tidak
menyediakan informasi obat secara aktif seperti brosur dikarenakan
keterbatasan jumlah brosur yang tersedia diapotek.

33
KESIMPULAN

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan di Kota Magelang rata-


rata Apoteker sudah melakukan KepMenkes RI Nomor
1027/MENKES/SK/IX/2004 tentang standar kefarmasian diapotek dengan baik
dengan jumlah skor 75,1.

34
DAFTAR PUSTAKA
Anief, M., 1995, Manajemen Farmasi, Universitas Gadjah Mada Press, Yogyakarta

Anonim, 2002, Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor


1332/MENKES/PER/X/2002 Tentang Ketentuan dan Tatacara Pemberian Izin
Apotek, DepKes RI, Jakarta.

Anonim, 2004a, Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor


1027/MENKES/SK/IX/2004 Tentang Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek,
DepKes RI, Jakarta

Anonim, 2004b, Standar Kompetensi Farmasis Indonesia, Badan Pimpinan Pusat Ikatan Sarjana
Farmasi Indonesia, Jakarta

Anonim, 2009a, Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 2009 Tentang Pekerjaan Kefarmasian,
Departemen Kesehatan Republik Indonesia, Jakarta.

Anonim,2009b, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan,


Pemerintah Republik Indonesia, Jakarta.

Anonim, 2009c, Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor


376/MENKES/PER/2009, Departemen Kesehatan Republik Indonesia, Jakarta.

Anonim, 2011, Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor


889/MENKES/PER/V/2011, Departemen Kesehatan Republik Indonesia, Jakarta.

Gay, L. R. 1976. Educational Research: Competencies for Analysis & Application. 3 rd. Edition.
Ohio: Merrill Publishing Company

Hartini, Y. S. dan Sulasmono, 2006, Apotek : Ulaan Beserta Naskah Peraturan


Perundang- Undangan Terkait Apotek, Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta.

35

You might also like