Professional Documents
Culture Documents
Disusun oleh:
1
BAB I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Usaha peningkatan kesehatan masyarakat dapat dilakukan oleh
apoteker di apotek dengan mengaplikasikan konsep pelayanan kearmasian
(pharmaceutical care). Di Indonesia, konsep ini meliputi tanggung jawab
apoteker terhadap outcome dari penggunaan obat pada pasien, misalnya
dengan melakukan skrining resep, pemberian informasi obat yang lengkap,
monitoring penggunaan obat dan kegiatan lain seperti telah termuat dalam
Permenkes 1027 tahun 2004 (2) hal ini dilakukan untuk meningkatkan
kualitas hidup pasien (Setiawan, 2010).
Pelayanan apotek pada saat ini telah bergeser orientasinya dari obat
kepada pasien yang mengaeu kepada Pharmaceutical Care. Kegiatan apotek
yang semula hanya berfokus pada pengelolaan obat sebagai komoditi
menjadi pelayanan komprehensif yang bertujuan untuk meningkatkan
kualitas hidup pasien. Sebagai konsekuensi perubahan orientasi tersebut,
apoteker dituntut untuk meningkatkan pengetahuan, keterampilan dan
mengubah perilaku agar dapat melakukan interaksi lang sung dengan pasien.
Bentuk interaksi tersebut antara lain adalah pemberian informasil konseling
obat, monitoring penggunaan obat dan kunjungan rumah (home care).
Sebagai upaya agar para apoteker dapat melaksanakan praktik
kefarmasian dengan baik, Direktorat Jenderal Bina Farmasi dan Alat
Kesehatan Departemen Kesehatan bekerja sarna dengan Ikatan Sarjana
Farmasi Indonesia (ISFI) menyusun Standar Pelayanan Kefarmasian di
Apotek (SPKA), dengan tujuan sebagai pedoman praktik apoteker dalam
menjalankan profesi, me lindungi masyarakat dari pelayanan yang tidak
professional, dan me lindungi profesi dalam menjalankan praktik
kefarmasian. Menurut SPKA, apotek harus ber-lokasi di daerah yang mudah
dikenali oleh masyarakat dan terdapat papan petunjuk yang jelas, tertulis
kata apotek. Apotek harus mudah diakses oleh anggota masyarakat.
Masyarakat harus diberi akses seeara lang sung dan mudah oleh apoteker
2
untuk memperoleh informasi dan konseling obat. Apotek harus memiliki
ruang tunggu yang memadai, tempat memajang brosur/materi informasi, dan
ruangan tertutup untuk konseling pasien yang membutuhkan, ruang
peraeikan, dan tempat peneueian alat (Supardi, 2011)
3
ditulis dalam resep, apoteker wajib berkonsultasi dengan dokter untuk
pemilihan obat yang lebih terjangkau (Permenkes No.24 tahun 1993).
Standar pelayanan farmasi di apotek disusun atas kerjasama ISFI
dengan Direktorat Bina Farmasi Komunitas dan Klinik Direktorat Jenderal
Pelayanan Farmasi Departemen Kesehatan pada tahun 2003. Standar
kompetensi apoteker di apotek ini dimaksudkan untuk melindungi
masyarakat dari pelayanan yang tidak profesional, melindungi profesi dari
tuntutan masyarakat yang tidak wajar, sebagai pedoman dalam pengawasan
praktek apoteker dan untuk pembinaan serta meningkatkan mutu pelayanan
farmasi di apotek. Didalam standar tersebut pelaksanaan farmasi di apotek
terdiri dari pelayanan obat non resep (bidang I), pelayanan komunikasi –
informasi – edukasi pelayanan obat resep (bidang III) dan pengelolaan obat
(bidang IV) (Direktorat Jenderal Pelayanan Farmasi, 2003). (Purwanti,
2004). Berdasarkan latar belakang diatas maka peneliti merasa tertarik untuk
melakukan penelitian dengan judul: Profil penerapan standar pelayanan
kefarmasian di Apotek Kota Magelang.
B. Rumusan masalah
Standar pelayanan farmasi di apotek disusun atas kerjasama ISFI
dengan Direktorat Bina Farmasi Komunitas dan Klinik Direktorat Jenderal
Pelayanan Farmasi Departemen Kesehatan pada tahun 2003. Standar
kompetensi apoteker di apotek ini dimaksudkan untuk melindungi
masyarakat dari pelayanan yang tidak profesional, melindungi profesi dari
tuntutan masyarakat yang tidak wajar, sebagai pedoman dalam pengawasan
praktek apoteker dan untuk pembinaan serta meningkatkan mutu pelayanan
farmasi di apotek, sehingga perumusan masalah pada penelitian ini adalah:
Bagaimana penerapan standar pelayanan kefarmasian di Apotek Kota
Magelang ?
C. Tujuan
4
Mengetahui gambaran penerapan standar pelayanan kefarmasian di Apotek
Kota Magelang.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Teori Masalah
a. Pengertian Apotek
optimal bagi masyarakat, selain itu juga sebagai salah satu tempat
5
dilakukan pekerjaan kefarmasian dan penyaluran sediaan farmasi,
2004a):
sumpah jabatan,
b. Pengelolaan Apotek
(Anonim, 2004a) :
obat.
6
3) Pelayanan informasi mengenai perbekalan farmasi, yang
meliputi :
farmasi lainnya.
c. Fungsi Apotek
7
harga, kelengkapan sediaan farmasi dan alat kesehatan lainnya
sendiri.
d. Persyaratan Apotek
(Anonim, 2002) :
8
3) Apotek dapat melakukan kegiatan pelayanan komoditi lainnya
(Anonim, 2002) :
Provinsi.
9
Berdasarkan Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia
melakukan registrasi.
Kefarmasian.
apoteker dapat :
komponen aktifnya atau obat merek dagang lain atas ijin dokter
dan/atau pasien.
10
c. Menyerahkan obat keras, narkotika dan psikotropika kepada
peraturan perundang-undangan.
jelas dan mudah dimengerti, akurat, tidak bias, etis, bijaksana dan
tersebut.
11
Berdasarkan Peraturan Pemerintah Kesehatan Nomor 184
apoteker perlu memahami isi dari Kode Etik Apoteker (Hartini dan
Sulasmono, 2006).
12
membantu Apoteker dalam menjalankan pekerjaan kefarmasian, yang
terdiri atas Sarjana Farmasi, Ahli Madya Farmasi, Analis Farmasi dan
(Anonim, 2009a) :
13
masyarakat. Sistem pelayanan kefarmasian meliputi struktur dan fungsi
2004a) :
14
memberikan pendidikan dan memberi peluang untuk
meningkatkan pengetahuan.
d) Ruang racikan.
pasien.
lainnya
15
Pengeluaran obat memakai sistem FIFO (First in
a) Perencanaan
i. Pola penyakit
b) Pengadaan
c) Penyimpanan
16
kurangnya memuat nomor bacth dan tanggal
kadaluawarsa.
bahan.
4) Adminintrasi
a) Administrasi Umum
yang berlaku.
b) Administrasi Pelayanan
b. Pelayanan
1) Pelayanan Resep
a) Skrining resep
i. Persyaratan administrative :
17
Nama, alamat, umur, jenis kelamin dan
diminta
Informasi lainnya
setelah pemberitahuan.
b) Penyiapan Obat
i. Peracikan
18
Merupakan kegiatan menyiapkan,
ii. Etiket
kualitasnya.
v. Informasi Obat
19
Apoteker harus memberikan informasi
vi. Konseling
20
Dalam rangka pemberdayaan masyarakat, apoteker
lainnya.
(medication record).
pelayanan adalah :
21
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
A. JENIS PENELITIAN
Penelitian ini menggunakan metode deskriptif yaitu penelitian yang dilakukan dengan tujuan u
saat itu sehingga setiap subjek penelitian hanya diobservasi sekali saja dan
Populasi penelitan ini adalah seluruh apotek di Kota Magelang. Sampel dari
penelitian diambil dikaari hasil perhitungan sampel dari rumus probability
sampling dengan tingkat kepercayaan 95% dan signifikansi sebesar
0.05.Probability sampling yaitu teknik sampling (teknik pengambilan sampel)
yang memberikan peluang yang sama bagi setiap anggota populasi untuk dipilih
menjadi anggota sampel. Jumlah Apotek di Kota Magelang sebanyak 33 apotek,
untuk sampel penelitian ini diambil data penelitian sebanyak 15 Apotek, dimana
berdasarkan Gay (1976) penelitian deskriptif minimal mengambil sampel 20
persen dari populasi.
22
D. INSTRUMEN PENELITIAN
23
BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
1. Data Apotek
Berdasarkan data yang diperoleh, jumlah apoteker, jumlah asisten apoteker dan
jumlah tenaga non kefarmasian dapat dilihat pada tabel dibawah ini:
Jumlah Jumlah
Jumlah
No Apotek Tenaga Tenaga Non
Apoteker
Kefarmasian Kefarmasian
1. Apotek A 1 3 1
2. Apotek B 2 2 1
3. Apotek C 2 2 1
4. Apotek D 2 2 2
5. Apotek E 2 3 2
6. Apotek F 2 4 3
7. Apotek G 1 2 2
8. Apotek H 1 2 2
9. Apotek I 2 2 1
10. Apotek J 2 1 2
11. Apotek K 1 1 2
12. Apotek L 1 1 2
13. Apotek M 1 2 2
14. Apotek N 2 2 3
15. Apotek O 1 2 3
Berdasarkan tabel 1. dapat dilihat bahwa 46% dari sampel menunjukkan bahwa
disetiap apotek terdapat 1 apoteker sedangkan untuk 54% lagi menunjukkan
bahwa diapotek terdapat 2 apoteker. Menurut Peraturan Pemerintah RI Nomor 51
tahun 2009 tentang pekerjaan kefarmasian pada pasal 14 ayat 1 menyebutkan
bahwa setiap fasilitas distribusi atau penyaluran sediaan farmasi berupa obat harus
24
memiliki seorang apoteker. Dengan adanya apoteker lebih dari satu maka kegiatan
pelayanan kefarmasian berjalan sesuai dengan ketentuan karena saat pelayanan
kefarmasian selalu dalam pengawasan apoteker dan apoteker dapat berperan
langsung dalam pelayanan kefarmasian. Pekerjaan Kefarmasian adalah pembuatan
termasuk pengendalian mutu sediaan farmasi, pengamanan, pengadaan,
penyimpanan dan pendistribusi atau penyaluran obat, pengelolaan obat, pelayanan
obat atas resep dokter, pelayanan informasi obat, serta pengembangan obat, bahan
obat dan obat tradisional. Jika jumlah asisten apoteker lebih dari satu maka
pelayanan kefarmasian dapat berjalan sebagaimana mestinya karena pembagian
waktu kerja lebih seimbang dan pelayanan kefarmasian dapat berjalan sesuai
dengan ketentuan. Jumlah tenaga kefarmasian terbanyak pada sampel apotek
adalah sebanyak 2 asisten apoteker yaitu dengan prosentase 60%. Jumlah tenaga
non kefarmasian diapotek tidak diatur dalam undang-undang jadi setiap apotek
tidak memiliki batasan jumlah sehingga tiap-tiap apotek memiliki jumlah yang
berbeda-beda sesuai dengan yang dibutuhkan untuk masing-masing apotek.
Berdasarkan hasil yang diperoleh dapat dilihat rata-rata untuk tenaga non
kefarmasian di setiap apotek di kota Magelang memiliki 2 tenaga non
kefarmasian. Dengan adanya tenaga non kefarmasian diapotek maka pelayanan
kefarmasian dapat berjalan dengan baik karena tenaga kefarmasian lebih fokus
dalam pelayanan kefarmasian sehingga untuk kegiatan yang bersangkutan dengan
non kefarmasian sudah ada petugasnya masing-masing.
2. Data Apoteker
a. Usia Apoteker
Dibawah ini data responden mengenai usia apoteker.
25
Tabel 2. Usia apoteker
Nama Apotek Usia Apoteker
Apotek A 33 tahun
Apotek B Apoteker 1 : 29 tahun
Apoteker 2 : 27 tahun
Apotek C Apoteker 1 : 43 tahun
Apoteker 2 : 28 tahun
Apotek D Apoteker 1 : 29 tahun
Apoteker 2 : 27 tahun
Apotek E Apoteker 1 : 30 tahun
Apoteker 2 : 28 tahun
Apotek F Apoteker 1 : 27 tahun
Apoteker 2 : 32 tahun
Apotek G 29 tahun
Apotek H 28 tahun
Apotek I Apoteker 1 : 27 tahun
Apoteker 2 : 34 tahun
Apotek J Apoteker 1 : 27 tahun
Apoteker 2 : 30 tahun
Apotek K 33 tahun
Apotek L 30 tahun
Apotek M 29 tahun
Apotek N Apoteker 1 : 29 tahun
Apoteker 2 : 33 tahun
Apotek O 35 tahun
26
usia tersebut seseorang mampu berfikir hipotetik dan dapat menguji secara
sistematik berbagai penjelasan mengenai kejadian-kejadian tertentu dan dapat
memahami prinsip-prinsip abstrak yang berlaku5.
Berdasarkan Tabel 4. diatas dapat dilihat bahwa apoteker rata- rata sudah
memiliki pengalaman kerja lebih dari 1 tahun. Dengan pengalaman kerja yang
lebih dari satu tahun maka apoteker lebih banyak memiliki pengetahuan dalam
hal pelayanan kefarmasian, lebih mengetahui perkembangan pengetahuan
27
terbaru tentang ilmu farmasi dan lebih sering mengikuti pelatihan-pelatihan
yang berhubungan dengan pelayanan kefarmasian.
28
Tabel 6. Apoteker Mengikuti Pelatihan
Apoteker Apoteker
yang yang tidak
mengikuti mengikuti
pelatihan pelatihan
9 6
29
b. Pelayanan
1) Pemeriksaan Resep
Pemeriksaan resep secara lengkap sesuai dengan ketentuan pemerintah hanya 7
apotek dari 15 apotek, 5 apotek tidak melakukan medikasi rangkap, kontra
indikasi, interaksi obat dan reaksi alergi dan 3 apotek tidak melakukan
pertimbangan interaksi obat. Hal ini dapat memicu terjadinya medication error
seharusnya hal-hal seperti itu diantisipasi sedemikian mungkin untuk
memperkecil terjadinya medication error. Berdasarkan hasil dari penelitian
yang telah dilakukan menunjukkan sebagian apotek sudah sesuai dengan
ketentuan pemerintah yaitu pemeriksaan resep dilakukan oleh apoteker dan
sebagian apotek tidak melakukan pertimbangan klinis seperti medikasi rangkap,
kontra indikasi, interaksi obat dan reaksi alergi sehingga kemungkinan
terjadinya medication error sangat besar. Dalam prakteknya pertimbangan
tentang medikasi rangkap, kontra indikasi, interaksi obat dan reaksi alergi
jarang dilakukan mengingat akan keterbatasan sumber daya manusia dan juga
waktu yang dibutuhkan lebih banyak. Pertimbangan klinik yang sering
dilakukan hanya meliputi jumlah obat, aturan pakai dan dosis obat.
2) Dispensing
Sebagian besar yang melakukan dispensing adalah apoteker. Pada proses
dispensing asisten apoteker juga berwenang dalam pelayanan obat bebas dan
obat bebas terbatas sedangkan untuk obat keras, narkotik dan psikotropik asisten
apoteker hanya berwenang dalam peracikan, sehingga secara garis besar yang
melakukan dispensing adalah apoteker. Pada pasal 22 ayat 2 PerMenKes No.
922 tahun 1993 menyatakan bahwa asisten apoteker melakukan pekerjaan
kefarmasian di apotek di bawah pengawasan apoteker. Hal ini sudah sesuai
dengan ketentuan yang telah ditetapkan oleh pemerintah. Pemeriksaan akhir
(medication review) dilakukan dengan tujuan untuk menghindari terjadinya
medication error terutama dispensing error yang menjadi tanggung jawab
seorang farmasis.
30
c. Penyerahan Obat
penyerahan obat informasi yang diberikan pada pasien meliputi dosis obat,
frekuensi pemakaian obat, lama pengobatan, cara pemakaian efek samping dan
kontra indikasi. Sedangkan untuk informasi cara penyimpanan obat terdapat 3
apotek yang tidak melakukannya. Home care pada pasien kronis tidak
dilakukan mengingat adanya keterbatasan sumber daya manusia dan
keterbatasan waktu untuk melakukannya selain itu informasi lengkap tentang
penggunaan obat telah disampaikan pada saat obat diserahkan untuk
pemantauan selanjutnya lebih banyak dilakukan oleh tenaga kesehatan lainnya
seperti dokter dan perawat. Pemberian informasi seharusnya lebih diperhatikan
oleh apoteker karena dengan memberikan informasi kepada pasien dapat
meminimalisasi terjadinya medication error. Asisten apoteker hanya berwenang
memberikan konseling sebatas pada obat bebas dan obat bebas terbatas, hal ini
dikarenakan pada obat bebas dan obat bebas terbatas dosis yang terkandung
tidak terlalu besar dan efek yang ditimbulkan tidak terlalu kuat. Pada pasal 22
ayat 2 PerMenKes No. 922 tahun 1993 menyatakan asisten apoteker melakukan
pekerjaan kefarmasian di apotek di bawah pengawasan apoteker.
d. Pengelolaan Sediaan Farmasi Dan Perbekalan Kesehatan
pengelolaan sediaan farmasi dan perbekalan kesehatan telah dilakukan sesuai
dengan ketentuan yang berlaku pada setiap apotek. Pengelolaan sediaan farmasi
meliputi perencanaan dan pengadaan sediaan farmasi, pembelian obat dari jalur
resmi, penyimpanan obat secara FEFO dan FIFO, penyimpanan narkotik dan
psikotropik sesuai ketentuan. Perencanaan pengadaan sediaan farmasi dilakukan
dengan memperhatikan kebutuhan masyarakat. Pembelian obat dilakukan
melalui jalur resmi yaitu melalui pabrik farmasi, PBF dan apotek lain.
Penyimpanan narkotik dan psikotropik telah dilakukan sesuai dengan ketentuan
yang berlaku yaitu dengan menyimpan pada almari tersendiri. KepMenKes RI
Nomor 1027/MENKES/SK/IX/2004 menyatakan bahwa untuk menjamin
kualitas pelayanan kefarmasi maka pengadaan sediaan farmasi harus melalui
jalur resmi. Pengadaan melalui jalur resmi yang berasal dari pedagang besar
farmasi (pasal 3 PerMenKes RI Nomor 918 tahun 1993 tentang pedagang besar
31
farmasi), pabrik farmasi, apotek lain dan toko obat untuk golongan obat bebas.
Jadi perolehan obat dari swalayan termasuk jalur tidak resmi6.
e. Administrasi
Saat ini pencatatan pengobatan setiap pasien ini hanya dilakukan pada pasien
tertentu yang biasanya merupakan pasien langganan apotek yang bersangkutan,
penderita kardiovaskular, diabetes, TBC, asma, dan penyakit kronik lainnya.
Berdasarkan tabel diatas dapat dilihat untuk pencatatan pemakaian obat meliputi
narkotik dan psikotropik sudah dilakukan dengan baik mengingat untuk
pemakaian narkotik dan psikotropik memerlukan pengawasan yang lebih ketat
untuk menghindari penyalahgunaan obat. KepMenKes Nomor 278 tahun 1981
pasal 13(g) menyebutkan bahwa dalam apotek harus tersedia buku pencatatan
obat narkotik dan psikotropik. Pencatatan dan pelaporan psikotropik diatur
dalam Undang-Undang Nomor 5 tahun 1997 pasal 33 yang menyatakan bahwa
apotek wajib membuat dan menyimpan catatan mengenai kegiatan masing-
masing yang berhubungan dengan psikotropik. Pengarsipan resep pemakaian
obat meliputi narkotik, psikotropik dan generik sudah dilakukan pada setiap
apotek. Pengarsipan resep dilakukan untuk mengetahui pengeluaran obat pada
setiap bulannya. PerMenKes RI No. 26 tahun 1981 pasal 13 ayat 2 dan
PerMenKes RI Nomor 922 tahun 1993 pasal 17 ayat 2 menyebutkan bahwa
resep harus dirahasiakan dan disimpan diapotek dengan baik dengan jangka
waktu 3 (tiga) tahun. Sedangkan pasal 7 KepMenKes RI Nomor 280 tahun 1981
menyebutkan bahwa apoteker pengelola apotek mengatur resep yang telah
dikerjakan menurut urutan tanggal, dan nomor urut penerimaan resep dan harus
disimpan sekurang-kurangnya selama 3 (tiga) tahun. Pelaporan obat yang
dilakukan secara rutin meliputi pemakaian narkotik dan psikotropik. Pelaporan
dilakukan dengan media online ke Dinas Kesehatan setempat. Undang-Undang
Nomor 22 tahun 1997 pasal 11 juga menyebutkan bahwa apotek wajib membuat
laporan berkala mengenai pelaporan narkotik. Undang-Undang Nomor 9 tahun
1976 menyebutkan bahwa pencatatan narkotik dilakukan dengan menggunakan
buku register apotek6 .
32
f. Evaluasi Mutu Pelayanan
Berdasarkan hasil penelitian dapat dilihat bahwa dari 6 apotek 4 apotek telah
menyediakan SOP tertulis untuk setiap proses meliputi pemeriksaan resep,
dispensing, penyerahan obat, pengelolaan sediaan farmasi dan alat kesehatan,
dengan tersedianya SOP diharapkan pelayanan dapat berjalan dengan baik dan
tidak terjadi tugas dan wewenang yang rangkap. Pada setiap apotek telah
disediakan kotak saran namun dari pihak pasien tidak memperhatikan sehingga
kotak saran tidak berfungsi sebagaimana mestinya dan evaluasi terhadap tingkat
kepuasan konsumen tidak berjalan dengan baik. Sebagian besar apotek tidak
menyediakan informasi obat secara aktif seperti brosur dikarenakan
keterbatasan jumlah brosur yang tersedia diapotek.
33
KESIMPULAN
34
DAFTAR PUSTAKA
Anief, M., 1995, Manajemen Farmasi, Universitas Gadjah Mada Press, Yogyakarta
Anonim, 2004b, Standar Kompetensi Farmasis Indonesia, Badan Pimpinan Pusat Ikatan Sarjana
Farmasi Indonesia, Jakarta
Anonim, 2009a, Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 2009 Tentang Pekerjaan Kefarmasian,
Departemen Kesehatan Republik Indonesia, Jakarta.
Gay, L. R. 1976. Educational Research: Competencies for Analysis & Application. 3 rd. Edition.
Ohio: Merrill Publishing Company
35