You are on page 1of 28

REFERAT

TETANUS

Disusun Untuk Memenuhi Sebagian Syarat Program Kepaniteraan Klinik Bagian Ilmu Penyakit
Dalam Fakultas Kedokteran Dan Ilmu Kesehatan
Universitas Muhammadiyah Yogyakarta

Disusun oleh :

TALITHA INAS LAILINA

20174011073

Diajukan kepada :

dr. Widhi Prassiddha Sunu, Sp.PD

BAGIAN ILMU PENYAKIT DALAM


RSUD KRT SETJONEGORO WONOSOBO
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA
2018
LEMBAR PENGESAHAN

REFERAT

TETANUS

Telah dipresentasikan pada tanggal :

Maret 2018

Oleh :

TALITHA INAS LAILINA

20174011073

Disetujui oleh :

Dosen Pembimbing Kepaniteraan Klinik

Bagian Ilmu Penyakit Dalam

RSUD KRT Setjonegoro, Wonosobo

dr. Widhi Prassiddha Sunu, Sp.PD


KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum Wr.Wb
Puji syukur atas kehadirat Allah SWT atas segala limpahan nikmat, petunjuk dan
kemudahan yang telah diberikan, sehingga penulis dapat menyelesaikan referat yang berjudul:

“TETANUS”

Penulis meyakini bahwa referat ini tidak akan dapat tersusun tanpa bantuan dan dukungan
dari berbagai pihak, untuk itu penulis mengucapkan terima kasih kepada :

1. dr. Widhi Prassiddha Sunu, Sp.PD selaku pembimbing Kepaniteraan Klinik bagian Ilmu
Penyakit Dalam di RSUD KRT Setjonegoro, Wonosobo yang telah berkenan
memberikan bantuan, pengarahan, dan bimbingan dari awal sampai selesainya penulisan
referat ini.
2. dr. H. Suprapto, Sp.PD., dan dr. Hj. Arlyn, Sp.PD. M.Kes., selaku pembimbing
Kepaniteraan Klinik bagian Ilmu Penyakit Dalam di RSUD KRT Setjonegoro.
3. Seluruh tenaga medis dan karyawan di bangsal Cempaka dan Flamboyan RSUD KRT
Setjonegoro Wonosobo yang telah berkenan membantu dalam proses berjalannya
Kepaniteraan Klinik bagian Ilmu Penyakit Dalam.
4. Keluarga dan teman-teman yang selalu memberikan dukungan.

Semoga pengalaman dalam membuat referat ini dapat memberikan hikmah bagi semua
pihak. Mengingat penyusunan referat ini masih jauh dari kata sempurna, penulis mengharapkan
kritik dan saran yang dapat menjadi masukan berharga sehingga menjadi acuan untuk penulisan
referat selanjutnya.

Wonosobo, Maret 2018

Penulis
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR .................................................................................................................................. 3


BAB I ............................................................................................................................................................ 5
PENDAHULUAN ........................................................................................................................................ 5
1.1. Latar Belakang .............................................................................................................................. 5
1.2. Tujuan ........................................................................................................................................... 6
BAB II........................................................................................................................................................... 7
TINJAUAN PUSTAKA ............................................................................................................................... 7
2.1 Definisi................................................................................................................................................ 7
2.2. Epidemiologi ...................................................................................................................................... 7
2.3 Etiologi................................................................................................................................................ 8
2.4 Patofisiologi ........................................................................................................................................ 8
2.5 Manifestasi Klinis dan Klasifikasi .................................................................................................... 11
2.6 Perjalanan Klinis ............................................................................................................................... 14
2.7 Penegakan Diagnosis ........................................................................................................................ 14
2.8 Komplikasi ........................................................................................................................................ 16
2.9 Penatalaksanaan ................................................................................................................................ 16
3.0 Prognosis ........................................................................................................................................... 20
BAB III .......................................................................................................................................................... 25
KESIMPULAN ............................................................................................................................................... 25
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................................................. 26
BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Tetanus merupakan penyakit yang disebabkan eksotoksin bakteri Gram
positif Clostridium tetani yang bersifat obligat anaerob dan membentuk spora.
Spora banyak terdapat di dalam tanah dan feses hewan dan infeksi terjadi akibat
kontak dengan jaringan melalui luka. Toksin mempengaruhi saraf yang
mengontrol fungsi otot 1.
Tetanus sudah dikenal sejak zaman Mesir Kuno, tetapi isolasi C. tetani dari
manusia baru pertama kali dilakukan pada tahun 1889 oleh Kitasato. Imunisasi
pasif terhadap tetanus pertama kali diperkenalkan oleh Nocard pada tahun 1897
dan digunakan selama Perang Dunia I. Pada tahun 1924 Descombey
mengembangkan imunisasi aktif tetanus toksoid dan digunakan secara luas selama
Perang Dunia II 2, 3.
Tetanus terutama ditemukan pada negara-negara kurang dan sedang
berkembang dengan iklim hangat dan lembap yang padat penduduk misalnya
Brazil, Filipina, Vietnam, Indonesia, dan negara-negara di Afrika. Tetanus
merupakan salah satu penyakit yang menjadi target program imunisasi World
Health Organization 3, 4.
Insidensi tahunan tetanus di dunia adalah 0,5-1 juta kasus dengan tingkat
mortalitas sekitar 45%. Di Amerika Serikat pada tahun 1947 dilaporkan terdapat
560 kasus, sedangkan antara 1998-2000 hanya 43 kasus per tahunnya. Penurunan
tersebut disebabkan oleh penemuan dan penggunaan imunisasi aktif terhadap
tetanus. Di negara berkembang tetanus banyak ditemukan pada populasi neonatus
dan merupakan salah satu penyebab mortalitas bayi yang penting. Di negara maju
tetanus terutama terjadi setelah luka tusuk yang tidak disengaja, misalnya saat
bertani atau berkebun, yang tidak mendapatkan perawatan luka yang adekuat 5, 6.
Lingkungan tanah Indonesia yang kaya akan C. tetani dan angka mortalitas
yang tinggi menuntut dokter umum untuk menguasai pencegahan dan penanganan
tetanus.
1.2. Tujuan
Memaparkan sejarah, epidemiologi, etiologi, patogenesis, manifestasi
klinis, diagnosis, diagnosis banding, penatalaksanaan, komplikasi, prognosis, dan
pencegahan tetanus.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi

Tetanus adalah gangguan neurologis yang ditandai dengan meningkatnya


tonus otot dan spasme, yang disebabkan oleh tetanospasmin, suatu toksin protein
yang kuat yang dihasilkan oleh Clostridium tetani. Terdapat beberapa bentuk
klinis tetanus termasuk di dalamnya tetanus neonatorum, tetanus generalisata
dan gangguan neurologis lokal1,2

2.2. Epidemiologi
Bakteri C. tetani dapat ditemukan di semua tempat di dunia tetapi tetanus
terutama ditemukan pada negara-negara kurang dan sedang berkembang yang
padat penduduk dengan iklim hangat dan lembap dan tanah yang kaya dengan
material organik. Tanah dan usus manusia serta hewan merupakan reservoir
spora C. tetani. Transmisi spora C. tetani terjadi melalui luka yang kotor
(terkontaminasi) atau cidera jaringan lain. Insiden puncak tetanus terutama
terjadi pada musim panas atau hujan. Tetanus tidak menular dari manusia ke
manusia (2, 9).
Faktor risiko utama terhadap tetanus yaitu status imunisasi tetanus yang
tidak lengkap, adanya cidera jaringan, serta praktik obstetrik dan injeksi obat
yang tidak aseptik. Faktor risiko lainnya meliputi tindakan bedah abdomen,
akupunktur, tindik telinga, tusuk gigi, dan infeksi telinga tengah 10.
Terdapat satu juta kasus tetanus di dunia per tahunnya yang terutama
ditemukan di negara kurang berkembang. Tetanus neonatorum berkontribusi
terhadap 40-50% mortalitas akibat tetanus di negara berkembang dan terutama
disebabkan kondisi higiene persalinan yang buruk dan praktik sosial atau tradisi
seperti mengoleskan kotoran sapi atau ghee (semacam mentega) pada tali pusat
bayi di India (6, 11).
Angka kejadian dan kematian karena tetanus di Indonesia masih tinggi.
Indonesia merupakan negara ke-5 diantara 10 negara berkembang yang angka
kematian tetanus neonatorumnya tinggi. Pada tahun 1988 jumlah kematian
neonatus 54633 dan pada tahun 1992 berjumlah 33264 sedangkan angka
kematian tetanus neonatorum pada tahun 1988 sebesar 10,9 ‰ dan tahun 1992
sebesar 7,3 ‰. Angka tersebut cukup tinggi bila dibandingkan dengan negara
tetangga yakni Vietnam dengan jumlah kematian karena tetanus neonatorum
tahun 1988 sebanyak 9598 dan tahun 1992 berjumlah 85550 dan angka kematian
tahun 1988 dan 1992 adalah 4.8 ‰ dan 4,2 ‰ secara berurutan. Kematian
biasanya diakibatkan oleh disfungsi autonomik, misalnya peningkatan tekanan
darah ekstrim, disritmia, atau henti jantung (5, 6)..

2.3 Etiologi

Tetanus disebabkan oleh basil gram positif, Clostridium tetani. Bakteri


ini terdapat di mana-mana, dengan habitat alaminya di tanah, tetapi dapat juga
diisolasi dari kotoran binatang peliharaan dan manusia. Clostridium tetani
merupakan bakteri gram posotif berbentuk batang yang selalu bergerak, dan
merupakan bakteri anaerob obligat yang menghasilkan spora. Spora yang
dihasilkan tidak berwarna, berbentuk oval, menyerupai raket tenes atau paha
ayam. Spora ini dapat bertahan selama bertahun-tahun pada lingkungan tertentu,
tahan terhadap sinar matahari dan bersifat resisten terhadap berbagai desinfektan
dan pendidihan selama 20 menit1,2,3.

2.4 Patofisiologi

Bakteri Clostridium Tetani terdapat di mana-mana, dan mampu bertahan


di berbagai lingkungan ekstrim dalam periode lama karena sporanya sangat kuat.
Bakteri tersebut biasanya memasuki tubuh setelah kontaminasi pada abrasi kulit,
luka tusuk minor, atau ujung potongan umbilikus pada neonatus; pada 20%
kasus mungkin tidak ditemukan tempat masuknya. Bakteri juga dapat masuk
melalui ulkus kulit, abses, gangren, luka bakar, infeksi gigi, tindik telinga,
injeksi atau setelah pembedahan abdominal/pelvis, persalinan dan aborsi. Jika
organisme ini berada pada lingkungan anaerob yang sesuai untuk pertumbuhan
sporanya, akan berkembang biak dan menghasilkan toksin tetanospasmin dan
tetanolisin. Tetanospasmin adalah neurotoksin poten yang bertanggungjawab
terhadap manifestasi klinis tetanus, sedangkan tetanolysin sedikit memiliki efek
klinis1
Terdapat dua mekanisme yang dapat menerangkan penyebaran toksin ke
susunan saraf pusat: 2,3

1. Toksin diabsorpsi di neuromuscular junction, kemudian bermigrasi


melalui jaringan perineural ke susunan saraf pusat,

2. Toksin melalui pembuluh limfe dan darah ke susunan saraf pusat. Masih
belum jelas mana yang lebih penting, mungkin keduanya terlibat.

Pada mekanisme pertama, toksin yang berikatan pada neuromuscular


junction lebih memilih menyebar melalui saraf motorik, selanjutnya secara
transinaptik ke saraf motorik dan otonom yang berdekatan, kemudian
ditransport secara retrograd menuju sistem saraf pusat. Tetanospasmin yang
merupakan zincdependent endopeptidase memecah vesicleassociated membrane
protein II (VAMP II atau synaptobrevin) pada suatu ikatan peptida tunggal.
Molekul ini penting untuk pelepasan neurotransmiter di sinaps, sehingga
pemecahan ini mengganggu transmisi sinaps. Toksin awalnya mempengaruhi
jalur inhibisi, mencegah pelepasan glisin dan γ-amino butyric acid (GABA).
Pada saat interneuron menghambat motor neuron alpha juga terkena
pengaruhnya, terjadi kegagalan menghambat refleks motorik sehingga muncul
aktivitas saraf motorik tak terkendali, mengakibatkan peningkatan tonus dan
rigiditas otot berupa spasme otot yang tiba-tiba dan potensial merusak. Hal ini
merupakan karakteristik tetanus. Otot wajah terkena paling awal karena jalur
axonalnya pendek, sedangkan neuron-neuron simpatis terkena paling akhir,
mungkin akibat aksi toksin di batang otak. Pada tetanus berat, gagalnya
penghambatan aktivitas otonom menyebabkan hilangnya kontrol otonom,
aktivitas simpatis yang berlebihan dan peningkatan kadar katekolamin. Ikatan
neuronal toksin sifatnya irreversibel, pemulihan membutuhkan tumbuhnya
terminal saraf yang baru, sehingga memanjangkan durasi penyakit ini.
2.5 Manifestasi Klinis dan Klasifikasi

Tetanus biasanya terjadi setelah suatu trauma. Kontaminasi luka


dengan tanah, kotoran binatang, atau logam berkarat dapat menyebabkan
tetanus. Tetanus dapat terjadi sebagai komplikasi dari luka bakar, ulkus
gangren, luka gigitan ular yang mengalami nekrosis, infeksi telinga tengah,
aborsi septik, persalinan, injeksi intramuskular dan pembedahan. Trauma yang
menyebabkan tetanus dapat hanyalah trauma ringan, dan sampai 50% kasus
trauma terjadi di dalam gedung yang tidak dianggap terlalu serius untuk
mencari pertolongan medis1.

1. Tetanus Generalisata

Tetanus Generalisata Tetanus generalisata merupakan bentuk yang


paling umum dari tetanus, yang ditandai dengan meningkatnya tonus otot dan
spasme generalisata. Masa inkubasi bervariasi, tergantung pada lokasi luka dan
lebih singkat pada Tetanus berat, median onset setelah trauma adalah 7 hari;
15% kasus terjadi dalam 3 hari dan 10% kasus terjadi setelah 14 hari2,3.

Terdapat trias klinis berupa rigiditas, spasme otot, dan apabila berat
disfungsi otonomik. Kaku kuduk, nyeri tenggorokan, dan kesulitan untuk
membuka mulut, sering merupakan gejala awal tetanus. Spasme otot masseter
menyebabkan trismus atau 'rahang terkunci'. Spasme secara progresif meluas
ke otot-otot wajah yang menyebabkan ekspresi wajah yang khas, 'risus
sardonicus' dan meluas ke otot-otot untuk menelan yang menyebabkan
disfagia. Spasme ini dipicu oleh stimulus internal dan eksternal dapat
berlangsung selama beberapa menit dan dirasakan nyeri. Rigiditas otot leher
menyebabkan retraksi kepala. Rigiditas tubuh menyebabkan opistotonus dan
gangguan respirasi dengan menurunnya kelenturan dinding dada. Refleks
tendon dalam meningkat. Pasien dapat demam, walaupun banyak yang tidak,
sedangkan kesadaran tidak terpengaruh1,2.
Di samping peningkatan tonus otot, terdapat spasme otot yang bersifat
episodik. Konstraksi tonik ini tampak seperti konvulsi yang terjadi pada
kelompok otot agonis dan antagonis secara bersamaan. Kontraksi ini dapat
bersifat spontan atau dipicu oleh stimulus berupa sentuhan, stimulus visual,
auditori atau emosional. Spasme yang terjadi dapat bervariasi berdasarkan
keparahannya dan frekuensinya tetapi dapat sangat kuat sehingga
menyebabkan fraktur atau ruptur tendon. Spasme yang terjadi dapat sangat
berat, terus-menerus, nyeri bersifat generalisata sehingga menyebabkan
sianosis dan gagal nafas. Spasme ini dapat terjadi berulang-ulang dan dipicu
oleh stimulus yang ringan. Spasme faringeal sering diikuti dengan spasme
laringeal dan berkaitan dengan terjadinya aspirasi dan obstruksi jalan nafas
akut yang mengancam nyawa1.
Pada bentuk yang paling umum dari tetanus, yaitu tetanus generalisata,
otot-otot di seluruh tubuh terpengaruh. Otot-otot di kepala dan leher yang
biasanya pertama kali terpengaruh dengan penyebaran kaudal yang progresif
untuk mempengaruhi seluruh tubuh. Diferensial diagnosisnya mencakup
infeksi orofaringeal, reaksi obat distonik, hipokalsemia, keracunan striknin,
dan histeria. Akibat trauma perifer dan sedikitnya toksin yang dihasilkan,
tetanus lokal dijumpai. Spasme dan rigiditas terbatas pada area tubuh tertentu.
Mortalitas sangatlah berkurang. Perkecualian untuk ini adalah tetanus sefalik
di mana tetanus lokal yang berasal dari luka di kepala mempengaruhi saraf
kranial; paralisis lebih mendominasi gambaran klinisnya daripada spasme.
Tetapi progresi ke tetanus generalisata umum terjadi dan mortalitasnya tinggi1.
Sebelum adanya ventilasi buatan, banyak pasien dengan tetanus berat
yang meninggal akibat gagal nafas akut. Dengan perkembangan perawatan
intensif, menjadi jelas bahwa tetanus yang berat berkaitan dengan instabilitas
otonomik yang nyata. Sistem saraf simpatiklah yang paling jelas dipengaruhi.
Secara klinis, peningkatan tonus simpatik menyebabkan takikardia persisten
dan hipertensi. Dijumpai vasokonstriksi yang tampak jelas, hiperpireksia,
keringat berlebihan1.
Di samping sistem kardiovaskuler, efek otonomik yang lain mencakup
salivasi profus dan meningkatnya sekresi bronkial. Stasis gaster, ileus, diare,
dan gagal ginjal curah tinggi (high output renal failure) semua berkaitan
dengan gangguan otonomik. Telah jelas adanya keterlibatan sistem saraf
simpatis. Peranan sistem saraf parasimpatis kurang jelas. Tetanus telah
dilaporkan menginduksi lesi pada nukleus vagus, di mana pada saat yang
bersamaan terpapar toksin sehingga menyebabkan aktivitas vagal yang
berlebihan. Hipotensi, bradikardia dan asistol dapat muncul akibat
meningkatnya tonus dan aktivitas vagal. Komplikasi tetanus yang lain dapat
berupa pneumoni aspirasi, fraktur, ruptur otot, tromboplebitis vena dalam,
emboli paru, ulkus dekubitus dan rabdomiolisis1.

2. Tetanus Neonatorum
Tetanus neonatorum biasanya terjadi dalam bentuk generalisata dan
biasanya fatal apabila tidak diterapi. Tetanus neonatorum terjadi pada anak-
anak yang dilahirkan dari ibu yang tidak diimunisasi secara adekuat, terutama
setelah perawatan bekas potongan tali pusat yang tidak steril. Resiko infeksi
tergantung pada panjang tali pusat, kebersihan lingkungan, dan kebersihan saat
mengkat dan memotong umbilikus. Onset biasanya dalam 2 minggu pertama
kehidupan. Rigiditas, sulit menelan ASI, iritabilitas dan spasme merupakan
gambaran khas tetanus neonatorum. Di antara neonatus yang terinfeksi, 90 %
meninggal dan retardasi mental terjadi pada yang bertahan hidup1.

3. Tetanus Lokal
Tetanus lokal merupakan bentuk yang jarang dan ringan dimana
manifestasi klinisnya terbatas hanya pada otot-otot di sekitar luka. Kelemahan
otot dapat terjadi akibat peran toksin pada tempat hubungan neuromuskuler.
Gejala- gejalanya bersifat ringan dan dapat bertahan sampai berbulan-bulan.
Progresi ke tetanus generalisata dapat terjadi. Namun demikian secara umurn
prognosisnya baik1,5.
4. Tetanus Sefalik
Tetanus sefalik merupakan bentuk yang jarang dari tetanus lokal, yang
terjadi setelah trauma kepala atau infeksi telinga. Masa inkubasinya 1-2 hari.
Dijumpai trismus dan disfungsi satu atau lebih saraf kranial, yang tersering
adalah saraf ke-7. Disfagia dan paralisis otot ekstraokular dapat terjadi.
Mortalitasnya tinggi1,5.

2.6 Perjalanan Klinis

Periode inkubasi (rentang waktu antara trauma dengan gejala pertama)


rata-rata 7-10 hari dengan rentang 1-60 hari. Onset (rentang waktu antara gejala
pertama dengan spasme pertama) bervariasi antara 1-7 hari. Inkubasi dan onset
yang lebih pendek berkaitan dengan tingkat keparahan penyakit yang lebih berat.
Minggu pertama ditandai dengan rigiditas dan spasme otot yang semakin parah.
Gangguan ototnomik biasanya dimulai beberapa hari setelah spasme dan bertahan
sampai 1-2 minggu. Spasme berkurang setelah 2-3 minggu tetapi kekakuan tetap
bertahan lebih lama. Pemulihan terjadi karena tumbuhnya lagi akson terminal dan
karena penghancuran toksin. Pemulihan bisa memerlukan waktu sarnpai 4
minggu1.

2.7 Penegakan Diagnosis

Diagnosis tetanus mutlak didasarkan pada gejala klinis. Tetanus tidaklah


mungkin apabila terdapat riwayat serial vaksinasi yang telah diberikan secara
lengkap dan vaksin ulangan yang sesuai telah diberikan. Sekret luka bisa dikultur
pada kasus yang dicurigai tetanus, tapi kultur yang positif bukan merupakan bukti
bahwa organisme tersebut menghasilkan toksin dan menyebabkan tetanus.
Lekosit mungkin meningkat. Pemeriksaan cairan serebrospinal menunjukkan
hasil yang normal. Elektromyogram mungkin menunjukkan impuls unit-unit
motorik dan pemendekan atau tidak adanya interval tenang yang secara normal
dijumpai setelah potensial aksi. Perubahan non spesifik dapat dijumpai pada
elektrokardiogram. Enzim otot mungkin meningkat. Kadar antitoksi serum > 0,15
U/ml dianggap protektif dan pada kadar ini tetanus tidak mungkin terjadi,
walaupun ada beberapa kasus yang terjadi pada kadar antitoksin yang protektif1.

Diagnosis diferensialnya mencakup kondisi lokal yang dapat


menyebabkan trismus, seperti abses alveolar, keracunan striknin, reaksi obat
distonik (misalnya terhadap fenotiasin dan metoklorpramid) tetanus
hipokalsemik, dan perubahan-perubahan metabolik dan neurologis pada neonatal.
Kondisi-kondisi lain yang dikacaukan dengan tetanus meliputi
meningitis/ensefalitis, rabies dan proses intraabdominal akut (karena kekakuan
abdomen). Meningkatnya tonus pada otot sentral (wajah, leher, dada, punggung
dan perut) yang tumpang tindih dengan spasme generalisata dan tidak terlibatnya
tangan dan kaki secara kuat menyokong diagnosa tetanus2.

Derajat Keparahan

Terdapat beberapa sistem pembagian derajat keparahan yang


dilaporkan. Sistem yang dilaporkan oleh Ablett merupakan sistem yang paling
sering dipakai Klasifikasi beratnya tetanus oleh Ablett1,2,5:

Derajat I (ringan) : Trismus ringan sampai sedang, spastisitas


generalisata, tanpa gangguan pernafasan, tanpa spasme, sedikit atau tanpa
disfagia

Derajat II (sedang) : Trismus sedang, rigiditas yang nampak jelas,


spasme singkat ringan sampai sedang, gangguan pernafasan sedang dengan
frekuensi pernafasan lebih dari 30, disfagia ringan.

Derajat III (berat) : Trismus berat, spastisitas generaisata, spasme


refleks berkepanjangan, fiekuensi pernafasan lebih dari 40, serangan apnea,
disfagia berat dan takikardia lebih dari 120.

Derajat IV (sangat berat) : Derajat tiga dengan gangguan otonomik


berat melibatkan sistem kardiovaskuler. Hipertensi berat dan takikardia terjadi
berselingan dengan hipotensi dan bradikardia, salah satunya dapat menetap.

2.8 Komplikasi

Komplikasi tetanus dapat terjadi akibat penyakitnya, seperti


laringospasme, atau sebagai konsekuensi dari terapi sederhana, seperti sedasi
yang mengarah pada koma, aspirasi atau apnea, atau konsekuensi dari perawatan
intensif, seperti pneumonia. Pneumonia berkaitan dengan ventilator dan aspirasi
sekret yang berisi mikroorganisme patogen yang telah berkolonisasi di orofaring.
Komplikasi kardiovaskular biasanya terjadi selama infeksi tetanus. Terdapat
kerusakan sekunder hingga spesifik pada sistem saraf otonom yang disebabkan
oleh toksin tetanus. Manifestasi kardiovaskular pada penyakit tetanus terdiri dari
gangguan heart rate dan ritme, blood pressure instability, aritmia, disfungsi
miokardial dan overaktivitas simpatis. Kondisi tersebut dimungkinkan terjadi
karena aksi langsung dari toksin tetanus ke dalam jantung, penggunaan obat-
obatan untuk mengontrol rigiditas dan spasme, dan keadaan hipersimpatetik yang
diinduksi oleh kegagalan penghambatan pelepasan katekolamin pada adrenal.
Pada otot karena spasme yang berkepanjangan bisa terjadi perdarahan dalam otot.
Pada tulang dapat terjadi fraktura kolumna vertebralis akibat kejang yang terus-
menerus terutama pada anak dan orang dewasa1.

2.9 Penatalaksanaan

Tujuan pengobatan pada pasien dengan tetanus adalah sebagai berikut1,2:

1. Memulai terapi suportif


2. Menghentikan produksi racun di dalam luka

3. Menetralkan racun tak terikat

4. Mengontrol manifestasi penyakit

1. Memulai terapi suportif

Pasien harus dirawat di unit perawatan intensif (ICU). Karena risiko


kejang refleks, lingkungan yang gelap dan sepi harus dijaga. Prosedur dan
manipulasi yang tidak perlu harus dihindari. Intubasi profilaksis harus
dipertimbangkan secara serius pada semua pasien dengan manifestasi klinis
sedang sampai berat. Intubasi dan ventilasi diperlukan pada 67% pasien.
Pemberian intubasi endotrakeal dapat menyebabkan laringospasme refleks yang
parah; Persiapan harus dilakukan untuk pengendalian saluran pernapasan
darurat. Teknik intubasi sekuens cepat (misalnya dengan suksinilkolin)
direkomendasikan untuk menghindari komplikasi ini. Trakeostomi harus
dilakukan pada pasien yang membutuhkan intubasi lebih dari 10 hari.
Trakeostomi juga telah direkomendasikan setelah onset kejang umum
pertama1,2.
Kemungkinan berkembangnya tetanus secara langsung berkorelasi
dengan karakteristik luka. Luka yang didapat baru-baru ini dengan tepi tajam
yang bervaskulasi dengan baik dan tidak terkontaminasi paling tidak mungkin
untuk mengembangkan tetanus. Semua luka lainnya dianggap cenderung
tetanus. Luka yang paling rentan adalah orang-orang yang sangat terkontaminasi
atau yang disebabkan oleh trauma atau gigitan tumpul. Luka harus dijelajahi,
dibersihkan dengan hati-hati dan benar1,2.
Dalam banyak kasus, luka yang bertanggung jawab atas tetanus jelas pada
saat presentasi, dimana debridemen bedah tidak memberikan manfaat yang
berarti. Jika debridement diindikasikan, sebaiknya dilakukan hanya setelah
pasien stabil. Rekomendasi saat ini adalah untuk mengeluarkan paling sedikit 2
cm jaringan normal yang terlihat normal di sekitar pinggiran luka. Abses harus
ditoreh dan dikeringkan. Karena risiko melepaskan tetanospasmin ke dalam
aliran darah, setiap manipulasi luka harus ditunda sampai beberapa jam setelah
pemberian antitoksin1,2. yang paling rentan adalah orang-orang yang sangat
terkontaminasi atau yang disebabkan oleh trauma atau gigitan tumpul. Luka
harus dijelajahi, dibersihkan dengan hati-hati dan benar1,2.

Dalam banyak kasus, luka yang bertanggung jawab atas tetanus jelas
pada saat presentasi, dimana debridemen bedah tidak memberikan manfaat yang
berarti. Jika debridement diindikasikan, sebaiknya dilakukan hanya setelah
pasien stabil. Rekomendasi saat ini adalah untuk mengeluarkan paling sedikit 2
cm jaringan normal yang terlihat normal di sekitar pinggiran luka. Abses harus
ditoreh dan dikeringkan. Karena risiko melepaskan tetanospasmin ke dalam
aliran darah, setiap manipulasi luka harus ditunda sampai beberapa jam setelah
pemberian antitoksin1,2.

2. Eliminasi sumber toxin

Jika ada luka yang nampak jelas hendaknya didebridemen secara bedah.
Antimikroba digunakan untuk mengurangi jumlah bentuk vegetatif C. tetani
(sumber toksin) pada luka. Selama bertahun-tahun, penisilin G digunakan secara
luas untuk tujuan ini, tapi ini bukan obat pilihan saat ini. Metronidazol (500 mg
tiap 6 jam atau 1 gr tiap 12 jam) digunakan oleh beberapa ahli berdasarkan
aktivitas antimikrobial yang bagus. Metronidazol menunjukkan angka harapan
hidup yang lebih tinggi dibandingkan dengan penisilin karena metronidazol
tidak menunjukkan aktivitas antagonis terhadap GABA seperti yang
ditunjukkan oleh penisilin. Antimikroba lain yang telah digunakan adalah
klindamisin, eritromisin, tetrasiklin, dan vankomisin.1,3,4
3. Netralisasi toksin tak terikat (Bebas)

Tetanus immune globulin (TIG) dianjurkan untuk pengobatan tetanus.


Harus diingat bahwa TIG hanya bisa membantu menghilangkan racun tetanus
yang tidak terikat saraf (toksin pada sirkulasi dan toksin pada luka yang belum
terikat). TIG tidak dapat mempengaruhi toksin yang sudah terikat pada ujung
saraf. Antibodi tidak dapat menembus sawar darah-otak.

Dosis intramuskular tunggal (IM) 3000-6000 unit umumnya


direkomendasikan untuk anak-anak dan orang dewasa, dengan sebagian dosis
disusupi sekitar luka jika dapat diidentifikasi. Organisasi Kesehatan Dunia
merekomendasikan TIG 500 unit melalui suntikan IM atau secara intravena (IV)
- tergantung pada persiapan yang tersedia - sesegera mungkin. Sebagai
tambahan, 0,5 mL vaksin tetanus yang mengandung tetanus sesuai usia (Td,
Tdap, DT, DPT, DTaP, atau tetanus toxoid, tergantung pada usia atau alergi),
harus diberikan suntikan IM di tempat terpisah. Penyakit tetanus tidak
menyebabkan imunitas; pasien tanpa riwayat vaksinasi toksoid tetanus primer
harus mendapat dosis kedua 1-2 bulan setelah dosis pertama dan dosis ketiga 6-
12 bulan kemudian.1,2,4

4. Pengendalian manifestasi penyakit

Benzodiazepin menjadi andalan terapi simtomatik untuk tetanus.


Diazepam adalah obat yang paling sering dipelajari dan digunakan. Obat ini
mengurangi kecemasan, menghasilkan efek penenang, dan melemaskan otot.
Lorazepam adalah alternatif yang efektif. Dosis tinggi mungkin diperlukan
(sampai 600 mg / hari). Untuk mencegah kejang yang berlangsung lebih lama
dari 5-10 detik, berikan diazepam IV, biasanya 10-40 mg setiap 1-8 jam.
Vecuronium (dengan infus kontinyu) atau pancuronium (dengan injeksi
intermiten) adalah alternatif yang tepat. Midazolam 5-15 mg / jam IV telah
digunakan. Jika kejang tidak terkontrol dengan benzodiazepin, dibutuhkan
blokade neuromuskular jangka panjang1.

Phenobarbital adalah antikonvulsan lain yang dapat digunakan untuk


memperpanjang efek diazepam. Phenobarbital juga digunakan untuk
mengobati kejang otot yang parah dan memberi obat penenang saat agen
penghambat neuromuskular digunakan. Agen lain yang digunakan untuk
pengendalian spasm meliputi baclofen, dantrolene, barbiturat short-acting, dan
chlorpromazine. Propofol juga telah disarankan untuk mengatasi sedasi yang
terjadi. Baclofen intratekal (IT), pelemas otot yang berpusat pada pusat, telah
digunakan secara eksperimental untuk menyapih pasien di luar ventilator dan
menghentikan infus diazepam. IT baclofen 600 kali lebih manjur daripada
baclofen oral. Suntikan IT berulang telah berkhasiat dalam membatasi durasi
ventilasi buatan atau mencegah intubasi. Laporan kasus dan rangkaian kasus
kecil menunjukkan bahwa IT baclofen efektif dalam mengendalikan kekakuan
otot, meskipun ada yang mempertanyakan hal ini1,2.

Efek baclofen dimulai dalam waktu 1-2 jam dan bertahan selama 12-48
jam. Penghapusan paruh baclofen pada cairan cerebrospinal (CSF) berkisar
antara 0,9 sampai 5 jam. Setelah pemberian TI lumbal, rasio konsentrasi
serviks-ke-lumbar adalah 1: 4. Efek samping utama adalah tingkat depresi
kesadaran dan kompromi pernapasan1.

3.0 Prognosis

Penerapan metode untuk monitoring dan oksigenasi suportif telah secara


nyata memperbaiki prognosis tetanus. Angka fatalitas kasus dan penyebab
kematian bervariasi tergantung pada fasilitas yang tersedia. Mortalitas menurun
dari 44% ke 15% setelah adanya penatalaksanaan ICU. Di negara-negara sedang
berkembang, tanpa fasilitas untuk perawatan intensif jangka panjang dan
bantuan ventilasi, kematian akibat tetanus berat mencapai lebih dari 50% dengan
obstruksi jalan napas, gagal napfas dan gagal ginjal merupakan penyebab
utama.1

Perawatan intensif modern hendaknya dapat mencegah kematian akibat


gagal nafas akut, tetapi sebagai akibatnya, pada kasus yang berat, gangguan
ototnomik menjadi lebih nampak. 40% kematian setelah adanya perawatan
intensif adalah akibat henti jantung mendadak dan 15% akibat komplikasi
respirasi. Komplikasi penting akibat perawatan di ICU meliputi infeksi
nosokomial, terutama pneumonia berkaitan dengan ventilator, sepsis
generalisata, tromboembolisme, dan perdarahan gastrointestinal. Mortalitas
bervariasi berdasarkan usia pasien. Prognosis buruk pada usia tua, pada
neonatus dan pada pasien dengan periode inkubasi yang pendek, interval yang
pendek antara onset gejala sampai tiba di RS, dan status vaksinasi sebelurnnya.

Terdapat sistem skoring untuk menilai prognosis tetanus seperti Phillips


score dan Dakar score. Kedua sistem skoring ini memasukkan kriteria periode
inkubasi dan periode onset, begitu pula manifestasi neurologis dan kardiak.
Phillips score juga memasukkan status imunisasi pasien2,4.

Phillips score :
<9 : severitas ringan
9-18: severitas sedang
>18:severitas berat.

Dakar score :
0 – 1: severitas ringan dengan mortalitas 10%
2 – 3: severitas sedang dengan mortalitas 10-20%
4 :severitas berat dengan mortalitas 20-40%
5 - 6 : severitas sangat berat dengan mortalitas >50%
Tabel 2. Dakar score4

Faktor Prognosis Dakar score

Score 1 Score 0

Periode inkubasi <7 hari ≥ 7 hari / tidak diketahui

Periode onset <2 hari ≥2 hari

Tempat masuk Umbilikus Selain dari yang telah


luka bakar disebut,
uterus atau tidak diketahui
fraktur terbuka
luka operasi
injeksi
intramuskular

Spasme Ada Tidak ada

Demam >38,4˚C <38,4˚C

Takikardi Dewasa >120 kali/menit Dewasa <120 kali/menit


Neonatus >150 kali/menit Neonatus <150kali/menit
Tabel 3. Phillips score4

Faktor Skor

Masa Inkubasi :
<48 jam 5

2-5 hari 4

5-10 hari 3

10-14 hari 2
>14 hari 1
Lokasi infeksi :
Organ dalam dan umbilicus 5

Kepala, leher, dan badan 4


Perifer proksimal 3
Perifer distal 2
Tidak diketahui 1

Status proteksi :
Tidak ada 10

Mungkin ada atau imunisasi pada ibu bagi


8
pasien-pasien neonates
Terlindungi >10 tahun 4

Terlindungi <10 tahun 2


Proteksi lengkap 0

Faktor-faktor komplikasi :
Cedera atau penyakit yang mengancam
10
nyawa

Cedera berat atau penyakit yang tidak


8
segera mengancam nyawa
Ciedera atau penyakit yang tidak
4
mengancam nyawa

Cedera atau penyakit minor 2

ASA grade I 0
BAB III
KESIMPULAN

Tetanus yang disebabkan oleh basil Clostridium tetani merupakan penyakit


yang telah dikenal sejauh peradaban manusia, tetapi sampai sekarang belum
berhasil dieradikasi karena sifat alami spora bakteri tersebut yang hidup dalam
tanah dan feses hewan. Tetanus dapat dicegah melalui pemberian imunisasi aktif
tetanus toksoid, higiene persalinan yang baik, dan manajemen perawatan luka
yang adekuat.
Skor Phillips masih merupakan pilihan dalam menentukan derajat
keparahan penyakit tetanus pada saat pasien masuk dan juga dapat digunakan
untuk menilai kemajuan perjalanan penyakit selama perawatan karena menilai
banyak parameter dan penilaian unsur-unsurnya bersifat objektif.
DAFTAR PUSTAKA

1. Blackmore C, Janowski HT. 2000. Tetanus. (Online).


http://www.doh.state.fl.us/disease_ctrl/epi/htopics/reports/tetanus.pdf, diakses
17 Agustus 2011.
2. Ang J. 2003. Tetanus. (Online).
www.chmkids.org/upload/docs/imed/TETANUS.pdf, diakses 17 Agustus
2011.
3. Dire DJ. Tetanus in Emergency Medicine. (Online).
http://emedicine.medscape.com/article/786414-overview, diakses 17 Agustus
2011.
4. Ismanoe G. Tetanus. Dalam: Sudoyo AW, Setyohadi B, Alwi I, K MS, Setiati
S, (editor). Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta: Pusat Penerbitan IPD
FKUI; 2007.
5. Edlich RF, Hill LG, Mahler CA, Cox MJ, Becker DG, Jed H. Horowitz M, et
al. Management and Prevention of Tetanus. Journal of Long-Term Effects of
Medical Implants. 2003;13(3):139-54.
6. Hinfey PB. Tetanus. (Online). http://emedicine.medscape.com/article/229594-
overview, diakses 17 Agustus 2011.
7. Anonym. Public Health Notifiable Disease Management Guidelines - Tetanus.
(Online). www.health.alberta.ca/documents/Guidelines-Tetanus-2011.pdf,
diakses 17 Agustus 2011.
8. Farrar JJ, Yen LM, Cook T, Fairweather N, Binh N, Parry J, et al. Neurological
Aspects of Tropical Disease: Tetanus. J Neurol Neurosurg Psychiatry.
2000;69:292–301.
9. Ogunrin O. Tetanus - A Review of Current Concepts in Management. Journal
of Postgraduate Medicine. 2009;11(1):46-61.
10. Cottle LE, Beeching NJ, Carrol ED, Parry CM. 2011. Tetanus. (Onine)
https://online.epocrates.com/u/2944220/Tetanus+infection, diakses 8 Oktober
2011.
11. Bhatia R, Prabhakar S, Grover VK. Tetanus. Neurology India. 2002;50:398-
407.
12. Todar K. 2007. The Microbiological World: Tetanus. (Online)
http://textbookofbacteriology.net/themicrobialworld/Tetanus.html, diakses 8
Oktober 2011.
13. Cook T, Protheroe R, Handel J. Tetanus: a review of the literature. British
Journal of Anaesthesia. 2001;87(3):477-87.
14. Ritarwan K. 2004. Tetanus. (Online).
http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/3456/1/penysaraf-
kiking2.pdf, diakses 17 Agustus 2011.
15. Sjamsuhidajat R, Jong Wd. Tetanus. Buku Ajar Ilmu Bedah. Jakarta: EGC;
2005.
16. Afshar M, Raju M, Ansell D, Bleck TP. Narrative Review: Tetanus—A Health
Threat After Natural Disasters in Developing Countries. Ann Intern Med.
2011;154:329-35.
17. Udwadia F, Sunavala J, Jain M, D'Costa R, Jain P, Lall A, et al. Haemodynamic
Studies During the Management of Severe Tetanus. Quarterly Journal of
Medicine, New Series. 1992;83(302):449-60.
18. Dittrich KC, Keilany B. Tetanus: lest we forget. Canadian Journal of
Emergency Medicine. 2001;3(1):47-50.
19. Taylor AM. Tetanus. Continuing Education in Anaesthesia, Critical Care &
Pain. 2006;6(3):101-4.
20. Ross SE. Prophylaxis Against Tetanus in Wound Management. (Online).
http://www.facs.org/trauma/publications/tetanus.pdf, diakses 8 Oktober 2011.
21. Anonym. 2007. Tetanus Prophylaxis in Wound Management. (Online).
http://www.cdph.ca.gov/programs/immunize/Documents/IMM-
154_WEB.pdf, diakses 17 Agustus 2011.

You might also like