Professional Documents
Culture Documents
discussions, stats, and author profiles for this publication at: https://www.researchgate.net/publication/313893142
CITATIONS READS
0 9,735
2 authors, including:
SEE PROFILE
Some of the authors of this publication are also working on these related projects:
All content following this page was uploaded by Yudha Laga Hadi Kusuma on 23 February 2017.
ii
Literature Review: Efektivitas Developmental Care terhadap Fungsi 332
Fisiologis Bayi Berat Lahir Rendah di Neonatal Intensive Care Unit
iii
Pengaruh Self Management pada Pasien Hemodialisis
Abstrak
Pendahuluan
Gagal ginjal kronis adalah kerusakan fungsi ginjal yang
progresif dan tidak dapat pulih kembali, dimana kemampuan
ginjal untuk mempertahankan metabolisme serta keseimbangan
cairan dan elektrolit sehingga menyebabkan uremia berupa
retensi ureum dan sampah nitrogen lain dalam darah (Smeltzer,
& Bare, 2010). Karena bersifat progresif dan irreversibel maka
gagal ginjal kronis dibutuhkan pengelolaan yang kontinyu.
Pengelolaan gagal ginjal kronis ini meliputi pengelolaan diet
dan cairan, pengelolaan hiperkalemia, hiperfosfatemia, anemia,
gagal jantung kongestif, edema pulmoner, asidosis metabolik,
anemia, dialysis (hemodialisis dan peritoneal dialisis) dan
transplantasi ginjal.
Sebagian besar pasien yang mengalami gagal ginjal
tahap akhir di Indonesia tidak dilakukan transplantasi ginjal
tetapi dengan dialysis yang umumnya hemodialisis.
hemodialisis merupakan salah satu terafi yang paling penting
yang efektif yang dapat membantu untuk mempertahankan
hidup pasien yang mengalami end stage renal disease (Baraz,
Parvahdeh, Mohammadi, & Broumand, 2010). Hemodialisis
2
tidak akan efektif tanpa dibarengi pengelolaan kehidupan
sehari-hari.
Pengelolaan diri (self-management) merupakan
komponen penting dalam pengelolaan pasien dengan penyakit
kronis termasuk pada pasien hemodialisis. Pengelolaan diri
(Self-management) dapat didefinisikan sebagai kemampuan
individu untuk mengelola gejala, pengobatan, konsekuensi fisik
dan psikososial dan perubahan gaya hidup yang melekat dalam
hidup dengan gangguan jangka panjang (Departement of
Health, 2005 dalam Martin, Caramlau, Sutcliffe, Bayley,
Choudhry, 2010). Sedangkan menurut Curtin dan Mapes
(2001) mendefinisikan pengelolaan diri (self-management)
sebagai upaya positif pasien untuk mengawasi dan
berpartisipasi dalam perawatan kesehatan mereka untuk
mengoptimalkan kesehatan, mencegah komplikasi, mengontrol
gejala, dan meminimalkan gangguan penyakit ke dalam gaya
hidup yang mereka sukai.
Secara sederhana tujuan pengelolaan penyakit kronis
adalah untuk secara bersamaan mencapai tingkat tertinggi
fungsi dan tingkat terendah gejala dari penyakit (Clark, 2003).
Tujuan tersebut pada kasus ESRD tidak dapat tercapai tanpa
pasien aktif dan pengelolaan diri (self-management)
komprehensif dari semua aspek kehidupan dengan ESRD
(Curtin, Johnson, & Schatell, 2004, Curtin, Mapes, Petillo &
Oberley, 2002 dalam Curtin, Mapes, Schatell & Hudson,.
2005).
Secara umum , tujuan pelatihan manajemen diri untuk
membantu pasien memperoleh dan melatih keterampilan yang
3
mereka butuhkan untuk memandu perubahan kesehatan
perilaku dan untuk memberikan dukungan emosional untuk
memungkinkan pasien untuk menyesuaikan peran mereka
untuk fungsi dan pengendalian penyakit mereka sehingga
mendapatkan kualitas hidup yang lebih baik (Zwerink M,
Brusse-Keizer M, van der Valk PDLPM, Zielhuis GA,
Monninkhof EM, van der Palen J, Frith PA, Effing T, 2014).
Program pengelolaan diri (self-management) dapat
disampaikan oleh para profesional kesehatan, profesional
lainnya, atau kolaborasi dari berbagai jenis pendidik. Intervensi
pengelolaan diri (self-management) dapat fokus pada obat-
obatan, kepatuhan, nutrisi, olahraga, elemen tertentu perilaku
terapi atau mungkin pada beberapa sasaran intervensi. Inti dari
keterampilan pengelolaan diri (self-management) ini meliputi
pemecahan masalah, membuat keputusan, menemukan dan
menggunakan sumber daya, membentuk kemitraan dengan
profesional kesehatan, dan mengambil tindakan (Lorig &
Holman, 2003). Intervensi pengelolaan diri (self-management)
semakin banyak digunakan oleh orang-orang dengan kondisi
kronis untuk meningkatkan pengelolaan gejala (Warsi, Wang,
Lavalley, Avorn, Solomon, 2004).
Program pengelolaan diri (self-management) telah
menunjukkan hasil bahwa intervensi berhasil meningkatkan
perilaku sehat, memelihara atau meningkatkan status kesehatan,
dan tingkat penurunan rawat inap sehingga mempunyai potensi
penghematan besar dalam biaya perawatan kesehatan (Lorig,
Sobel, Stewart, Brown, Bandura, Ritter, Gonzalez, et al., 1999).
4
Hasil penelitian lain juga menunjukkan bahwa
penggunaan program pengelolaan diri (self-management
program) pada penyakit kronis memperbaiki hasil kesehatan
pasien dan memiliki kunjungan ke gawat darurat lebih sedikit
dan mengurangi biaya perawatan kesehatan (Lorig, Sobel,
Ritter, Laurent, & Hobbs, 2001). Intervensi pengelolaan diri
(self-management) ini dapat dirancang khusus untuk
meningkatkan kualitas hidup dan untuk mempromosikan aspek
manajemen diri dari perawatan kesehatan, seperti obat-obatan
dan kepatuhan (Martin, Caramlau, Sutcliffe, Bayley, Choudhry,
2010). Intervensi pengelolaan diri (self-management) telah
terbukti efektif dalam meningkatkan kepatuhan pada populasi
kronis lainnya (Griva, Mooppil, Seet, Krishnan, James, &
Newman, 2011).
Daftar Pustaka
5
Survivors. Nephrology Nursing Journal, 28(4): 385-92,
Discussion 93-4.
Curtin, R. B, Mapes, D., Schatel, D., & Hudson, S. B. (2005).
Self- Management in Patients with End Stage Renal
Disease: Exploring Domains and Dimensions.
Nephrology Nursing Journal. 32(4):389.
Griva, K., Mooppil, N., Seet, P., Krishnan, D, S, P., James, H.,
& Newman, S, P. (2011). The NKF-NUS Hemodialysis
Trial Protocol – a Randomized Controlled Trial to
Determine The Effectiveness of a Self Management
Intervention for Hemodialysis Patients. Department of
Psychology, National University of Singapore, 12:34
Smeltzer, S. C., & Bare, B. G. (2010). Keperawatan Medikal
Bedah. Jakarta:EGC
Lorig, K. R., Sobel, D. S., Stewart, A. L., Brown, B.
W., Bandura, A., Ritter, P., Gonzalez, V., et al. (1999).
Evidence suggesting that a Chronic Disease Self-
Management Program Can Improve Health Status
While Reducing Hospitalization. A Randomized Trial.
Medical Care, 37(1):5-14.
Lorig, K. R., Sobel, D. S., Ritter, P. L., Laurent, D., &
Hobbs, M. (2001). Effect of a Self Management
Program on Patients with Chronic Disease. American
College of Physicians–American Society of Interna
Medicine, 4:256-262.
Lorig, K. R., & Holman, H. (2003). Self-Management
Education: History Definition, Outcomes, and
Mechanisms. Ann Behav Med 20, 26(1):1-7.
Martin F, Caramlau IO, Sutcliffe P, Martin S, Bayley J,
Choudhry K. (2010). Self-Management Interventions
for People Living with HIV/AIDS (Protocol). The
Cochrane Library. 12:1-8.
6
Warsi, A., Wang, P. S., LaValley, M. P., Avorn, J., & Solomon,
D. H., (2004). Self-Management Education Programs in
Chronic Disease. Archives Internal Medicine.
164(9):1641–9.
Zwerink M, Brusse-Keizer M, van der Valk PDLPM, Zielhuis
GA, Monninkhof EM, van der Palen J, Frith PA, Effing
T.(2014) Self Management for patiens wits chronic
obstructive pulmonary disease.
7
Pengalaman Perawat Icu dalam Perawatan End Of Life:
Review Literatur
1
Alfia Safitri , Yanny Trisyani2, Anastasia Anna2
1
Mahasiswa Magister Fakultas Keperawatan, Universitas Padjadjaran
2
Fakultas Keperawatan, Universitas padjadjaran
Email: Anastasia.anna@unpad.ac.id
Abstrak
Kebutuhan perawatan end of life semakin meningkat seiring
dengan perkembangan dan kemajuan teknologi yang
diharapkan dapat meningkatkan kualitas perawatan untuk
memperpanjang kehidupan. Keperawatan kritis merupakan
salah satu area kerawatan yang berperan dalam perawatan end
of life. Studi literature ini dilakukan untuk mendapatkan
gambaran tentang keperawatan end of life di Intensive Care
Unit (ICU). Penelusuran hasil penelitian Ebscohost, Proquest,
Google Scholar dengan kata kunci: ―experience”, “nurses”,
“critical care” “end of life care” dari tahun 2008-2015,
diperoleh sejumlah 20 penelitian. Sekitar 10 penelitian yang
memenuhi kriteria telah dipilih untuk studi literature ini.
Thematik analisis telah dilakukan untuk mendapatkan
gambaran tentang pengalaman perawat dalam perawatan end of
life di ICU. Hasil studi literature diperoleh 4 thema terkait
gambaran sebagai berikut: Pertama peran perawat dalam
perawatan end of life meliputi mengatasi penderitaan,
melakukan advokasi, memberikan dukungan, mempersiapkan
perawatan yang dibutuhkan, menciptakan kenangan positif, dan
mendorong keberadaan keluarga. Selanjutnya adanya
keterkaitan antara perawatan end of life dengan kondisi distress.
Hambatan dalam perawatan end of life baik dari segi
lingkungan ICU serta hubungan interprofesional perawat
8
dengan dokter. Yang ke empat, thema terkait kebutuhan
pengembangan profesional untuk perawatan end of life.
Kesimpulan, perawatan end of life di setting ICU perlu
mendapatkan perhatian terutama dalam hal pengembangan
pendidikan yang masih perlu ditingkatkan secara berkelanjutan.
Pendahuluan
Kebutuhan perawatan end of life semakin meningkat
seiring dengan perkembangan dan kemajuan teknologi yang
diharapkan dapat meningkatkan kualitas perawatan untuk
memperpanjang kehidupan. Vanderspank-Wright, et. al.,
(2011) menyatakan bahwa angka kematian di ICU semakin
meningkat. Kematian tersebut dapat disebabkan oleh penyakit
atau cedera, adanya keputusan untuk menghentikan pengobatan
atau bantuan hidup berhubungan dengan kelelahan terhadap
penggunaan teknologi dan ketidakadekuatan respon pasien
terhadap pengobatan. Keputusan menghentikan pengobatan
menyebabkan bergesernya kebutuhan perawatan dari kuratif
menjadi palliatif di ICU. Perawatan palliatif bertujuan untuk
meningkatkan kualitas hidup pasien dengan memberikan
perawatan terbaik pada fase end of life (WHO, 2004).
11
Metode
Simpulan
Perawat ICU memiliki peran yang penting dalam
perawatan end of life. Perawatan end of life pada setting ICU
perlu mendapatkan perhatian terutama dalam hal
pengembangan profesional secara berkelanjutan dengan
menyediakan pendidikan dan pelatihan formal yang relevan.
22
Daftar Pustaka
Arboura,R.B, Wiegand., DL. (2014). Self-Described Nursing
Roles Experienced During Care of Dying Patients and
Their Families: A Phenomenological study. Intensive
and Critical Care Nursing (2014) 30, 211—218.
Calvin, A. O., Lindy, C.M, Clingon, S.L. (2009). The
Cardiovascular Intensive Care Unit Nurse‘s Experience
with End-of-Life Care: A Qualitative Descriptive Study.
Intensive and Critical Care Nursing (2009) 25, 214—
220
Campbell, M.L. (2013). Nurse to Nurse: Perawatan Paliatif.
Jakarta: Salemba Medika.
Efstathiou, N & Walker, W. (2014). Intensive Care Nurses‘
Experiences of Providing End-of-Life Care After
Treatment Withdrawal: A Qualitative Study. Journal of
Clinical Nursing, 23, 3188–3196, doi:
10.1111/jocn.12565.
Epstein,E.G. (2008). End-of-Life Experiences of Nurses and
Physicians in The Newborn Intensive Care Unit.
Journal of Perinatology (2008) 28, 771–778
Fridh, I., Forsberg, A., & Bergbom, I. 2009. Doing One‘s
Utmost: Nurse‘ Description of Caring for Dying
Patients in an Intensive Care Environtment. Intensive
and Critical Care Nursing; 25, 233-241.
Gelinas, C., Fillion, L., Robitaille, M.,& Truchon, M. (2012).
Stressor Experienced by Nurss Providing End-of-Life
Palliative Care in the Intensive Care Unit. CJNR 2012,
Vol. 44 No 1.
Holms, N., Milligan, S., & Kydd,A. (2014). A Study of The
Lived Experiences of Registered Nurses Who Have
23
Provided End-of-Life Care Within An Intensive Care
Unit. International Journal of Palliative Nursing 2014,
Vol 20, No 11,
Hudak, C., & Gallo, B. (2010). Keperawatan Kritis pendekatan
Holistik. Ed. 6, Vol. 1. Jakarta: Buku Kedokteran EGC.
Kozier, B., Erb, G., Berman, A., Snyder, S.J. (2010). Buku Ajar
Fundamental Keperawatan: Konsep, Proses dan
Praktik. Jakarta: EGC.
Ledger U.S, et al. (2012). Moral Distress In End Of Life Care
In Intensive Care Unit. Journal of Advanced Nursing.
Lee, K.J. Dupree, K.Y., Fellow. (2008).Staff Experiences with
End-of-Life Care in the Pediatric Intensive Care Unit.
Journal of Palliative Medicine, Volume 11, Number 7.
McMillen, R.E. (2008). End of Life Decisions: Nurses
Perceptions, Feelings and Experiences. Intensive and
Critical Care Nursing (2008) 24, 251—259
Rosser, M., & Walsh, H. (2014). Fundamental of Palliative
Care for Student Nurses. Willey Blackwell
Urden, L.D., Stacy, K.M., Lough, M.E. (2012). Critical Care
Nursing: Diagnosis and Management. St. Louis
Missouri: Mosby Elsevier.
Valiee, S., Negarandeh, R., & Nayeri, N.D. (2012). Exploration
of Iranian Intensive Care Nurses‘ Experience of End-of-
Life Care: A Qualitative Study. British Association of
Critical Care Nurses • Vol 17 No 6. doi:
10.1111/j.1478-5153.2012.00523.x
Vanderspank-Wright, B., Fothergill-Bourbonnais, F,, Malone-
Tucker, S. & Slivar, S. (2011). Learning end-of-life care
in ICU: strategies for nurses new to ICU. Dynamics 22,
22–25.
24
World Health Organization. (2004). Definition of Palliative
Care. Diakses pada 3 March 2016 dari
Http://tiny.cc/56flox.
25
Model-Model Jenjang Karir Perawat di Dunia
Abstrak
Profesi keperawatan berkembang dengan pesat dis seluruh
dunia. Perkembangan profesi keperawatan sejalan dengan
kontribusi perawat dalam memberikan pelayanan yang
berkualitas bagi pasien serta penataan sistem jenjang karir
sesuai dengan kompetansi untuk meningkatkan keahlian
perawat. Keberhasilan profesi perawat bergantung pada
implementasi model jenjang karir perawat profesional yang
merupakan upaya pengembangan profesi keperawatan dan
penataan pelayanan keperawatan yang berkualitas. Penulisan
literatur review ini bertujuan untuk menjelaskan berbagai
macam model-model jenjang karir perawat yang menjadi
acuan bagi profesi keperawatan untuk melihat kemajuan profesi
di dunia. Metode yang digunakan dalam penulisan tulisan ini
adalah literatur review. Literatur diambil dari 20 jurnal yang
didapakan melalui google scholar, CINAHL, EBSCO Host dan
Medline Record dengan kata kunci pencarian ―career ladder‖,
―career patterns‖,―career development‖ dan ―nursing career‖.
Didapatkan hasil bahwa terdapat empat model utama yang
menjadi dasar pengembangan model jenjang karir di dunia.
Empat model tersebut yaitu model From Novice To Expert dari
Patricia Benner (1984), Model jenjang karir dari Swansburg
(2000), Model Career pathways Blakemore (2010) dan Model
Career Pathways Chiang-Hanisko (2008). Model jenjang karir
26
Swansburg (2000) dan Model Career pathways Blakemore
(2010) banyak dikembangkan oleh negara-negara di Benua
Eropa, Australia dan Amerika. Sementara itu Model Career
Pathways Chiang-Hanisko (2008) banyak dikembangkan oleh
negara-negara di Benua Asia dan Afrika. Upaya penelitian
berkelanjutan dibutuhkan untuk membandingkan keefektifan
model jenjang karir perawat.
Pendahuluan
Karir adalah deretan posisi dalam suattu perkerjaan yang
dipegang oleh seseorang selama perjalanan kehidupan
(Robins,2006). Karir perawat menurut Depkes (2006) adalah
sistem untuk meningkatkan kinerja dan profesionalisme sesuai
dengan bidang pekerjaan melalui peningkatan kompetensi.
Pengembangan karir perawat merupakan suatu perencanaan
dan penerapan rencana karir yang dapat digunakan untuk
penempatan perawat pada jenjang yang sesuai dengan
keahliannya, serta menyediakan kesempatan yang lebih baik
sesuai dengan kemampuan dan potensi perawat (Marquis &
Huston, 2010).
Keberhasilan profesi perawat bergantung pada
implementasi model jenjang karir perawat profesional yang
merupakan upaya pengembangan profesi keperawatan dan
penataan pelayanan keperawatan yang
berkualitas.Implementasi model jenjang karir perawat telah
dikembangkan oleh banyak pakar keperawatan di dunia. Pada
27
perkembangannya model jenjang karir diterapkan dan
dikembangkan oleh berbagai negara dunia, antara lain di Eropa,
Australia, Amerika, Asia dan Afrika.
Metode
Metode yang digunakan dalam penulisan tulisan ini adalah
literatur review. Literatur diambil dari 20 jurnal yang
didapakan melalui google scholar, CINAHL, EBSCO Host dan
Medline Record dengan kata kunci pencarian ―career ladder‖,
―career patterns‖,―career development‖ dan ―nursing career‖.
28
Gambar : visualisasi jenjang karir from novice to expert (
sumber : diolah dari Benner,1984 )
Penjelasan dari kelima tingkatan tersebut adalah sebagai
berikut:
1) Novice
Tingkat Novice pada akuisisi peran Model Dreyfus adalah
seseorang tanpa latar belakang pengalaman pada situasinya.
Perintah yang jelas dan atribut yang obyektif harus diberikan
untuk memandu penampilannya. Di sini sulit untuk melihat
situasi yang relevan dan irrelevan. Secara umum level ini
diaplikasikan untuk mahasiswa keperawatan.
2) Advance Beginner
Advance Beginner dalam Model Dreyfus adalah ketika
seseorang menunjukkan penampilan mengatasi masalah yang
dapat diterima pada situasi nyata. Advance beginner
mempunyai pengalaman yang cukup untuk memegang suatu
situasi. Fungsi perawat pada situasi ini dipandu dengan aturan
29
dan orientasi pada penyelesaian tugas. Advance beginner
mempunyai responsibilitas yang lebih besar untuk melakukan
manajemen asuhan pada pasien. Benner menempatkan perawat
yang baru lulus pada tahap ini.
3) Competent
Tahap competent dari Model Dreyfus ditandai dengan
kemampuan mempertimbangkan dan membuat perencanaan
yang diperlukan untuk suatu situasi dan sudah dapat
dilepaskan. Selain itu tahap competent ditandai dengan
konsisten dan kemampuan memprediksi serta manajemen
waktu. Advance beginner akan menjadi competent setelah
menyelesaikan pembelajaran praktik dalam situasi yang nyata.
Perawat competent dapat menunjukkan reponsibilitas yang
lebih pada respon pasien, lebih realistik dan dapat
menampilkan kemampuan kritis pada dirinya.
4) Proficient
Perawat pada tahap ini menunjukkan kemampuan baru
untuk melihat perubahan yang relevan pada situasi, meliputi
pengakuan dan mengimplementasikan respon keterampilan dari
situasi yang dikembangkan. Proficient akan menunjukan
peningkatan percaya diri pada pengetahuan dan
keterampilannya. Pada tingkatan ini perawat banyak terlibat
dengan keluarga dan pasien
5) Expert
Benner menjelaskan, perawat expert mempunyai
pegangan intuitiv dari situasi yang terjadi sehingga mampu
mengidentifikasi area dari masalah tanpa kehilangan
pertimbangan waktu untuk membuat diagnosa alternatif dan
30
penyelesaian. Perubahan kualitatif pada expert adalah
mengetahui pasien, yang berarti mengetahui tipe pola respon
dan mengetahui pasien sebagai manusia. Aspek kunci pada
perawat expert adalah:
a) Menunjukkan pegangan klinis dan sumber praktis
b) Mewujudkan proses know-how
c) Melihat gambaran yang luas
d) Melihat yang tidak diharapkan
B. Model karir dari Swansburg (2000)
Swansburg (2000), mengelompokkan jenjang karir
menjadi empat, yaitu perawat klinik, manajemen, pendidik dan
peneliti. Model tahapan perawat klinik adalah sebagai berikut :
1) Perawat klinis / perawatan I ( pemula / belum
berpengalaman )
2) Perawat klinis / Staf II ( pemula tahap lanjut)
3) Perawat klinis / staf III ( kompeten)
4) Perawat klinis / staf IV ( terampil)
5) Perawat klinis / staf V ( ahli)
Model jenjang karir Swansburg (2000) ini banyak
dikembangkan oleh negara-negara di Benua Eropa, Australia
dan Amerika.
C. Model Career pathways Blakemore Tahun 2010
Blakemore memaparkan Nursing Careers di United
Kingdom (UK) sejak tahun 2006 mengalami proses
modernisasi dengan model karir yang lebih fleksibel tertuang
dalam career pathways. Karir yang dikembangkan sejalan
dengan konsep Benner (84) dan Swansburg (2000), yang
menetapkan empat jalur karir, meliputi perawat klinik,
31
manajemen, pendidik dan peneliti. Namun demikian, konsep
pengembangan karir selanjutnya diarahkan pada lima career
pathways yang meliputi :
1. Family and public health
2. Acute and critical care
3. First contact, acces and urgent care
4. Supporting long-term care
5. Mental health and psychosocial care.
Model Career pathways Blakemore (2010) banyak
dikembangkan oleh negara-negara di Benua Eropa, Australia
dan Amerika.
D. Model Carier Pathways di Chiang-Hanisko Tahun 2008
Chiang–Hanisko, et al (2008), memaparkan jalur karir
perawat yang dikembangkan oleh negara-negara di Benua Asia
dan Afrika, antara lain Jepang, Taiwan dan Thailand. Model
Career Pathways Chiang-Hanisko (2008) banyak
dikembangkan. Jenjang karir di Negara- negara tersebut
dikembangkan mulai dari pendidikan keperawatan, dilanjutkan
dengan dikeluarkannya lisensi bagi perawat dengan kualifikasi
tertentu. Secara umum kenaikan karir perawat di tiga negara
tersebut sama-sama mensyaratkan kualifikasi pendidikan
formal, pengalaman kerja, pendidikan berkelanjutan dan uji
kompetensi.
Karir perawat di Jepang terdiri dari perawat generalis
dan advanced spesialis. Perawat general memiliki beberapa
tingkatan yang meliputi Licensed Practical Nurse (LPN),
Registered Nurse (RN), Public Health Nurse (PHN) dan Bidan.
Karir perawat lanjutan diberikan pada perawat yang memiliki
32
pendidikan dan pengalaman yang memenuhi syarat. Lisensi
lanjutan bagi perawat di Jepang meliputi Certified Nurse (CN),
Certified Nurse Administrator (CNA) dan Clinical Nurse
Specialist (CNS). CN memiliki 19 area spesialisasi perawat
yang meliputi; darurat, luka/ostomy/ continence, perawatan
intensif, perawatan paliatif, kemoterapi kanker, manajemen
nyeri kanker, visiting nursing, pengendalian infeksi, diabetes,
infertilitas, neonatal intensif, dialisis, perioperatif, kanker
payudara, disfagia, darurat pediatrik, dan keperawatan
demensia. CNS memiliki 10 area spesialis; kanker, kesehatan
mental kejiwaan, kesehatan masyarakat, ilmu mengenai usia
lanjut, kesehatan anak, kesehatan wanita, perawatan kronis,
perawatan kritis, dan keperawatan pengendalian infeksi.
Perawat di Taiwan memungkinkan mencapai jalur
lisensi lanjutan berupa Nurse Practitioner (NP) yang memiliki
dua area spesialis medis dan bedah. Perawat harus memiliki
izin Registered Nurse Practitioner (RNP), lima tahun praktek di
area khusus tersebut, dan mendapat pengesahan dari
manajemen rumah sakit untuk dapat memiliki spesialisasi
tersebut.
Sedangkan di Thailand terdapat dua jalur karir lanjutan
(Advanced Practice Nurses /APNs); Clinical Nurse Specialist
(CNS) yang memiliki lima area spesialis termasuk medis dan
bedah, anak, kesehatan mental dan kejiwaan, usia, dan
keperawatan bersalin. Nurse Practitioner (NP) yang saat ini
difokuskan pada kesehatan masyarakat. Dewan keperawatan
Thailand telah menetapkan standar nasional untuk lisensi dan
pemeriksaan semua program APN. Calon yang mengejar lisensi
33
sebagai APN, baik CNS maupun NP, harus menyelesaikan
gelar master dalam keperawatan melalui sistem berbasis
universitas.
Daftar Pustaka
Aiken, L., Clarke, S., Cheung, R., Sloane, D., & Silber,
J.H.(2003). Educational levels of hospital nurses and
surgical patient mortality. Journal of the American Medical
Association,290, 1617–1623.
Ashurst, A. (2010). Moving on up: career prospects for
registered nurses. Nursing & Residential Care, 12(8), 400-
402.
Benner, P. (1984). From novice to expert: excellence and
power in nursing practice. Menlo Park, Calif: Addison-
Wesley.
Blakemore, S. (2010). Helping nurses hit their career
targets. Nursing Management - UK, 16(9), 6-7.
Brown, P. (2012). Why Retire: Career Strategies for Third Age
Nurses. Kansas Nurse, 87(2), 13.
Chiang-Hanisko, L., Ross, R., Boonyanurak, P., Ozawa, M., &
Chiang, L. (2008). Pathways to Progress in Nursing:
Understanding Career Patterns in Japan, Taiwan and
Thailand. Online Journal Of Issues In Nursing, 13(3), 4.
Cleary, M., Horsfall, J., Muthulakshmi, P., Happell, B., &
Hunt, G. E. (2013). Career development: graduate nurse
views. Journal Of Clinical Nursing, 22(17/18), 2605-2613.
doi:10.1111/jocn.12080
Departemen Kesehatan RI. (2006). Pedoman Pengembangan
Jenjang Karir Profesional Perawat. Direktorat Bina
34
Pelayanan Keperawatan Direktorat Jendral Bina Pelayanan
Medik Departemen Kesehatan RI.
Donner, G., & Wheeler, M. (2001). Career planning and
development for nurses: the time has come. International
Nursing Review, 48(2), 79-85.
Duffield, C., Baldwin, R., Roche, M., & Wise, S. (2014). Job
enrichment: creating meaningful career development
opportunities for nurses. Journal Of Nursing
Management, 22(6), 697-706. doi:10.1111/jonm.12049
Eley, R., Francis, K., & Hegney, D. (2013). Career progression
- the views of Queensland's nurses. Australian Journal Of
Advanced Nursing, 30(4), 23-31.
Hauck A., Quinn M. & Fitzpatrick J. (2011) Structural
empowerment and anticipated turnover among critical care
nurses. Journal of Nursing Management 19 (2), 269–276.
Kaplan, R., Shmulevitz, C., & Raviv, D. (2009). Reaching the
top: career anchors and professional development in
nursing. International Journal Of Nursing Education
Scholarship, 6(1), 1p. doi:10.2202/1548-923X.1482
Koch, T. (1990). A new clinical career structure for nurses: trial
and evaluation. The South Australian experience. Journal Of
Advanced Nursing, 15(8), 869-876. doi:10.1111/j.1365-
2648.1990.tb01941.x
Li, Z., You, L., Lin, H., & Chan, S. W. (2014). The career
success scale in nursing: psychometric evidence to support
the Chinese version. Journal Of Advanced Nursing, 70(5),
1194-1203. doi:10.1111/jan.12285
Lai, H., Lin, Y., Chang, H., Wang, S., Liu, Y., Lee, H., & ...
Chang, F. (2008). Intensive care unit staff nurses: predicting
factors for career decisions. Journal Of Clinical
Nursing, 17(14), 1886-1896. doi:10.1111/j.1365-
2702.2007.02180.x
35
Marquis, B.L. & Huston, C., J. ( 2010). Kepemimpinan dan
manajemen keperawatan: teori & aplikasi, ed 4, alih Bahasa,
Widyawati dkk, Editor edisi bahasa Indonesia Egi komara
yuda dkk, Jakarta: EGC
Mrayyan, M., & Al-Faouri, I. (2008). Career commitment and
job performance of Jordanian nurses.Nursing Forum, 43(1),
24-37. doi:10.1111/j.1744-6198.2008.00092.x
Nelson, J., Sassaman, B., & Phillips, A. (2008). Career ladder
program for registered nurses in ambulatory care. Nursing
Economic$,26(6), 393-398.
Nelson, J., & Cook, P. (2008). Evaluation of a career ladder
program in an ambulatory care environment. Nursing
Economic$, 26(6), 353-360.
Perry, J., Bennett, C., & Lapworth, T. (2010). Education and
career opportunities for nurses in offender health
care. Nursing Standard, 24(43), 35-39.
Prayetni (2007), Pola Karir Perawat Profesional, Direktorat
Bina Pelayanan Keperawatan Ditjen Yanmed Depkes,
Materi Semiloka di RSKD Jakarta
Robbins, P.S. (2006). Perilaku organisasi. Edisi Bahasa
Indonesia, edisi 10. Jakarta: PT. Indeks
Ronaldson, S., Hayes, L., Aggar, C., Green, J., & Carey, M.
(2012). Spirituality and spiritual caring: nurses' perspectives
and practice in palliative and acute care
environments. Journal Of Clinical Nursing, 21(15/16),
2126-2135. doi:10.1111/j.1365-2702.2012.04180.x
Saragih, S. G. (2013). Hubungan Jenjang Karir dengan
Kepuasan Kerja Perawat Di Rumah Sakit Santo Borromeus.
E-journal STIkes Santo Borromeus, Juli 2013.
Sekarsari R., (2007) Pengalaman Penerapan Sistem Remunerasi
Berdasarkan Kompetensi di RSJK Harapan Kita Jakarta,
Materi Semiloka di RSKD Jakarta
36
Shea R., (2007), The Canadian Journal of Career
Development, volume 5 number 1
Sonmez, B., & Yildirim, A. (2009). What are the career
planning and development practices for nurses in hospitals?
Is there a difference between private and public
hospitals?. Journal Of Clinical Nursing, 18(24), 3461-3471.
doi:10.1111/j.1365-2702.2009.02906.x
Spence Laschinger, H. K., Wong, C. A., Macdonald-Rencz, S.,
Burkoski, V., Cummings, G., D'amour, D., & ... Grau, A.
(2013). Part 1: The influence of personal and situational
predictors on nurses' aspirations to management roles:
preliminary findings of a national survey of Canadian
nurses. Journal Of Nursing Management, 21(2), 217-230.
doi:10.1111/j.1365-2834.2012.01452.x
Stevens, J., Browne, G., & Graham, I. (2013). Career in mental
health still an unlikely career choice for nursing graduates:
A replicated longitudinal study. International Journal Of
Mental Health Nursing, 22(3), 213-220. doi:10.1111/j.1447-
0349.2012.00860.x
Susana A., (2007) Pola Pelatihan Perawat Fungsional di RS
Immanuel Bandung, Materi Semiloka di RSKD Jakarta
Sutiono. (2014). Model Logika Dalam Evaluasi RKAK/L.
Diperoleh dari
http://www.bppk.depkeu.go.id/webanggaran/index.php/c
omponent/content/article/92-artikel/640-model-logika-
logic-model-dalam-evaluasi-rkakl- pada tanggal 23 April
2014.
Tanaka, S., Serizawa, T., & Sakaguchi, C. (2008). Career
redevelopment programmes for inactive nurses in
Japan. Journal Of Clinical Nursing, 17(24), 3296-3305.
doi:10.1111/j.1365-2702.2008.02657.x
37
Thornley, T., & West, S. (2010). Concept formation: a
supportive process for early career nurses. Journal Of
Clinical Nursing,19(17/18), 2574-2579. doi:10.1111/j.1365-
2702.2009.03094.x
Tsai, C., Tsai, S., Chen, Y., & Lee, W. (2014). A study of
nursing competency, career self-efficacy and professional
commitment among nurses in Taiwan. Contemporary Nurse:
A Journal For The Australian Nursing Profession, 4996-102.
doi:10.5172/conu.2014.49.96
Wahyuni T.M.B., (2007) Pengalaman Penerapan Penilaian
Kinerja Berdasarkan Kompetensi di PK St. Carolus Jakarta,
Materi Semiloka di RSKD Jakarta
Whitehead, E., Mason, T., & Ellis, J. (2007). The future of
nursing: career choices in potential student nurses. British
Journal Of Nursing, 16(8), 491-496.
Wong, C. A., Spence Laschinger, H. K., Macdonald-Rencz, S.,
Burkoski, V., Cummings, G., D'amour, D., & ... Grau, A.
(2013). Part 2: Nurses' career aspirations to management
roles: qualitative findings from a national study of Canadian
nurses. Journal Of Nursing Management, 21(2), 231-241.
doi:10.1111/j.1365-2834.2012.01451.x
Young, Frost, Bigl, Clauson, McRae, Scarborough, & ...
Gillespie. (2010). Nurse Educator Pathway Project: a
competency-based intersectoral curriculum. International
Journal Of Nursing Education Scholarship, 7(1), 1p.
doi:10.2202/1548-923X.208.
38
Gambaran Resiliensi Korban Bencana Tanah Longsor
Di Desa Margamukti Kabupaten Bandung Jawa Barat
Abstrak
Pendahuluan
Jawa Barat salah satu provinsi lima besar nasional
rentan terjadi bencana gempa, longsor, pergerakan tanah, dan
banjir. Kecamata Pangelangan merupakan kecamatan yang
rentan terjadi longsor, dan di Dusun Cibitung Desa Margamukti
pada hari selasa, 5 Mei 2015 terjadi bencana longsor yang
mengakibatkan korban jiwa 6 orang dan 20 orang mengalami
luka-luka. Selain korban jiwa dan luka-luka terdapat korban
pengungsi yang terdiri dari anak-anak, orang dewasa dan juga
lansia yang memerlukan penanganan lanjut. Akibat yang
ditimbulkan dari bencana ini menimbulkan kerugian baik
materil dan non materil bagi masyarakat korban bencana.
Masyarakat korban bencana dapat kehilangan materil, nyawa,
dan anggota keluarga yang sangat berarti. Di sini diperlukan
resiliensi yaitu pencapaian adaptasi yang positif setelah
mendapatkan paparan ancaman atau kesulitan yang serius
(Lutharet et al . 2000). Resiliensi masyarakat adalah
kemampuan masyarakat yang berkelanjutan untuk bertahan
40
dan memulihkan diri dari keterpurukan (misalnya, tekanan
ekonomi, pandemi influenza, dan bencana alam). Hal ini
merupakan suatu isu penting, mengingat sumber daya yang
terbatas ketika dalam kondisi darurat (HHS, 2009; National
Security Strategy, 2010; DHS, 2010a). Hal itu yang
menyebabkan resiliensi dianggap penting bagi masyarakat
untuk menghindari waktu pemulihan yang lama setelah
masyarakat mengalami suatu kejadiaan atau keadaan darurat.
41
memiliki derajat resiliensi yang berbeda dan bervariasi secara
signifikans terhadap waktu.
Tujuan Khusus:
- Domain spiritual
Metode
44
tidak setuju = 0, kurang setuju = 1, agak setuju = 2, setuju = 3,
dan sangat setuju = 4.
45
personal,
standar dan
kegigihan
personal
Kepercayaan
terhadap
insting, toleran
terhadap hal
2. 22-28 8-21 0-7
negatif dan
kekuatan
menghadapi
stress
Penerimaan
positif terhadap
perubahan dan
3. 16-20 5-15 0-4
hubungan
dengan orang
lain
4. Kontrol diri 10-12 4-9 0-3
5. Spiritual 6-8 3-6 0-2
46
Hasil Penelitian
Pendidikan SD 12 35,3
SMP 9 26,47
SMA 3 8,82
Tidak 10 29,41
menulis
Berdasarkan tabel 4.1. sebagian responden adalah berjenis
kelamin laki-laki Dengan tingkat pendidikan terbanyak adalah
tingkat Sekolah Dasar.
47
Tinggi 9 26,47
Sedang 16 47,06
Rendah 9 26,47
Berdasarkan tabel.2. menunjukkan bahwa sebagai besar
responden memiliki tingkat resliensi pada kategori sedang.
Kepercayaan Terhadap
insting, toleransi terhadap
2. 7 20,59 20 58,82 7
hal negatif dan kekuatan
mengahadapi stres
Penerimaan Positif
Terhadap Perubahan dan
3. 5 14,71 21 61,76 8
Hubungan Dengan Orang
Lain
48
Berdasarkan table 3. terlihat bahwa responden secara umum
berada pada tingkat sedang pada setiap domain resiliensi.
Domain spiritual memiliki kecenderungan lebih tinggi nilainya
dibandingkan dengan domain lainnya. Domain resiliensi yang
tertinggi dalam kategori sedang adalah domain spiritual
sebesar 70,59%. Domain resiliensi yang tertinggi dalam
kategori tinggi adalah domain kontrol diri sebesar 26,47 %.
Domain resiliensi yang terbanyak pada kategori rendah adalah
domain kontrol diri (23,53%), perubahan dan hubungan dengan
orang lain (23,53%) .
49
kekuatan mengahadapi
stres
50
yaitu pada kemampuan memecahkan masalah secara mandiri,
mampu mengatasi masalah yang sulit, mampu berpikir jernih.
Pembahasan
53
Kejadian bencana alam merupakan suatu kejadian yang
dapat menyebabkan dampak negatif atau kerusakan pada suatu
sistem, oleh sebab itu bencana alam dianggap sebagai suatu
masalah besar. Dampak bencana alam dapat berlangsung lama
dan bisa pulih kembali seperti semula adapula yang sulit untuk
kembali pulih. Kemampuan suatu sistem untuk pulih kembali
diantaranya tergantung kepada kapasitas resiliensinya.
Kapasitas resiliensi suatu sistem sangat tergantung juga pada
resiliensi masing-masing individu pendukungnya.
Simpulan
Saran
57
Daftar Pustaka
58
Flynn B (1994). Mental health service i large scale
disasters : an overview
Holling, C.S. (1973). Resilience and stability of
ecological systems. Annual Review of Ecology and Systematics,
4, 2-23.
Holling, C.S., Schindler, D.W., Walker, B.W. &
Roughgarden, J. (1995). Biodiversity in the functioning of
ecosystems: An ecological synthesis. In C. Perrings, K.G.
Maler, C. Folke, C.S. Holling & B.O.Jansson (eds.)
Biodiversity loss: Economic and ecological issues (pp. 44–83).
Cambridge: Cambridge University Press.
Joseph (2007), understanding and applying the concept
of community disaster resilience : capital –based approach, a
draft papper prepared for the summer academy for social
vulnerability and resilance building, Munich, Germany
Kathryn M Connor (2006). Assessment of resilience in
the aftermath of trauma. J clin Psychiatric 67.
Kathryn M Connor.et al (2003). Spirituality, resiliencce,
and Anger in survivors of violent trauma : A communty
Survey.journal of traumatic stress vol 16 no 5 (487-494).
Klein, R.J.T., Nicholls, R. J., & Thomalla, F. (2003).
Resilience to natural hazards: How useful is this concept?
Environmental Hazards, 5, 35-45.
Koenig, H. G., George, L. K., & Peterson, B. L. (1998).
Religiosity and remission of depression in medically ill older
patients. American Journal of Psychiatry, 155, 536–542.
59
Pargament, K. I., Royster, B. J. T., Albert, M., Crowe,
P., Cullman,E. P., Holley, R., et al. (1990, August). A
qualitative approach to 494 Connor, Davidson, and Lee the
study of religion and coping: Four tentative conclusions. Paper
presented at the Annual Convention of the American
Psychological Association, Boston.
Rew L, Taylor-Seehafer M, Thomas NY, Yockey RD.
Correlates of resilience in homeless adolescents. J Nurs
Scholarsh 2001;33:33-40.
Tobin G.A. (1999). Sustainability and community
resiliencce : the holy grail of hazards planning Enviironmental
Hazards 1, 13 – 25.
Wagnild GM. Resilience and successful aging:
comparison among low and high income older adults. J
Gerontol Nurs 2003;29:42-9.
Walker, B.H., Anderies, J.M., Kinzig, A.P. & Ryan, P.
(2006). Exploring resilience in social- ecological systems
through comparative studies and theory development:
Introduction to the special issue. Ecology and Society, 11(1),
12.
Wills TA, Sandy JM, Shinar O, Yaeger A.
Contributions of positive and negative affect to adolescent
substance use: test of a bidimensional model in a longitudinal
study. Psychol Addict Behav 1999;13:327-38.
Xiaou nan yu et al (2011). Factor structure and
psycometric properties of the Connor Davidson Resilience
Scale Among Chinese adolescent. Comprehensive psychiatic
52 (218-224), Elvesier.
60
Zhang, Y. (2006). Modeling single family housing
recovery after hurricane Andrew in Miami-Dade County,
Florida. A PhD dissertation, College Station, TX: Texas A&M
University.
61
Kesejahteraan Subyektif, Penguasaan Peran, dan Kesejahteraan
Hubungan pada Pasien Stroke dengan tingkat ketergantungan
Rendah di Bandung, Indonesia
Abstrak
Pendahuluan
Sebagai penyakit tidak menular, stroke menjadi masalah
seluruh di dunia. Jumlah kematian tahunan akibat penyakit
kardiovaskular diproyeksikan akan meningkat dari 17 juta pada
tahun 2008 menjadi 25 juta tahun 2030 (World Health
Organization, 2012). Stroke adalah penyebab utama kematian
ketiga di Indonesia. Insiden stroke di Indonesia adalah 8,3 per
1.000 pada tahun 2007, dan ini meningkat menjadi 12,1 per
1.000 pada tahun 2013 (Departemen Kesehatan, 2013). Pasien
dengan stroke biasa menghadapi sejumlah masalah yang
mencakup fisik, sosial, emosional, psikologis, dan masalah
spiritual. (Chau, et al, 2010;. Edwards, Hahn, Baum, &
Dromerick, 2006; Hoffmann, Kasus, Hoffmann, & Chen, 2010;
Lamb, Buchanan, Godfrey, Harrison, & Oakley, 2008).
63
Stroke bisa menyebabkan penurunan kesejahteraan pada
pasien (Clarke, Marshall, Black, & Colantonio, 2002;
Dhamoon et al, 2014;. Nilsson, Axelsson, Gustafson, Lundman,
& Norberg, 2001). stroke dapat menyebabkan tubuh di luar
kendali, seperti hemiplegia, gangguan sensorik, dan aphasia.
Stroke memaksa individu untuk mengubah peran kehidupan
dramatis dan tiba-tiba. perubahan mendadak dan tidak
terencana ini dapat menimbulkan stres bagi kedua orang setelah
stroke. Pasien stroke yang melalui masa kritis akan mengalami
keterbatasan dalam kemampuan mereka untuk berfungsi seperti
dalam aktivitas sehari-hari, penyesuaian dalam keluarga dan
cara di mana peran aktif muslim untuk melakukan shalat dalam
kehidupan keluarga Muslim (Norris, Allotey , & Barrett, 2012).
Sebelum stroke, orang dapat melakukan aktivitas sehari-hari
sendiri, namun, setelah menderita stroke orang tidak dapat
melakukan aktivitas sehari-hari mereka hidup secara mandiri.
Selain itu, sebagian besar pasien stroke laki-laki memiliki
pengendalian yang rendah yang dapat berkontribusi untuk
depresi (Kim & Kim, 2008).
Pasien dengan stroke mengalaman perubahan dalam
semua aspek kehidupan mereka, seperti dalam domain fisik,
sosial, psikologis, dan spiritual. Perubahan-perubahan dalam
segala aspek mempengaruhi kesejahteraan hubungan antara
pasien stroke dan anggota keluarga mereka. Ada disfungsi
keluarga yang signifikan dalam sembilan bulan pertama setelah
stroke dan signifikan konflik anggota keluarga telah dilaporkan
dalam keluarga (Anderson, Linto, Stewart-Wynne, 1995; Clark,
Dunbar, Shields, Viswanathan, Aycock, Wolf, 2004) . Pound,
64
Gompertz, dan Ebrahim (1998) menemukan bahwa satu dari
empat penderita stroke mengalami masalah dalam hubungan
nya dengan pasangannya. Selain itu, bukti-bukti menunjukkan
bahwa kepuasan hubungan cenderung berkurang dari waktu ke
waktu (Green & Raja, 2009; Visser-Meily et al, 2009.)
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengidentifikasi
kesejahteraan subjektif, penguasaan peran, dan hubungan
dengan keluarga pada pasien stroke dewasa di Bandung,
Indonesia.
Metode
Desain penelitiannya adalah deskriptif kuantitatif,
pengukuran dilakukan secara langsung pada pasien stroke,
untuk melihat gambaran kesejahteraan subjektif, penguasaan
peran dan kesejahteraan hubungan pasien stroke dengan tingkat
ketergantungan rendah. Penelitian dilakukan di rumah sakit
pendidikan umum di Bandung. Tempat penelitain di bangsal
neurologis. Populasi dalam penelitian ini adalah semua pasien
dengan stroke yang dirawat di bangsal rawat inap Rumah di
Bandung. Sampel dari penelitian ini adalah pasien stroke
dewasa dirawat di bangsal neurologis, yang memenuhi kriteria
inklusi. Kriteria inklusi dari penelitian ini adalah 1) semua
pasien stroke berusia antara 45-75 tahun, 2), stroke ringan (The
Barthel Index: 40-60 moderat), 3) mampu berkomunikasi
dalam Bahasa Indonesia. Para pasien dan keluarga mereka akan
dikeluarkan jika mereka memiliki kriteria sebagai berikut: 1)
pasien stroke yang memiliki masalah bahasa ekspresif atau
reseptif yang parah, dan 2) pasien telah didiagnosis dengan
65
psikosis atau depresi. Jumlah sampel pada penelitian ini adalah
9 orang. Instrumen pengumpulan data terdiri dari 1) data
demografis, 2) Subjective Well-Being Invetory (SUBI), 3) Role
Fungtion Mode (RFM), dan 4) Brief family relationship (BFR).
Pengumpulan data
Peneliti mendapatkan dari direktur Rumah Sakit tempat
penelitian. Peneliti merekrut 1 perawat dari bangsal. Perawat
yang dipilih dilatih untuk membantu dalam pengumpulan data.
Perawatan rutin diberikan untuk pasien stroke dan keluarga
mereka. Peneliti mengunjungi pasien stroke dan keluarga
mereka dalam waktu 72 jam setelah masuk untuk
mengembangkan hubungan tanpa dilakukan intervensi. Peneliti
meminta persetujuan pasien (informed consent) sebelum
melakukan pengumpulan data.
Analisis data
Analisis deskriptif, informasi demografi dan sosial
ekonomi tentang status kesehatan sekarang dan masa lalu dari
penderita stroke akan dianalisis dengan statistik deskriptif. Data
tersebut akan dianalisis untuk mengetahui mean, variabel
dipresentasikan oleh frekuensi dan persentase.
Hasil Penelitian
Tabel 1. Karakteristik responden pasien stroke dengan
tingkat ketergantungan ringan di rumah sakit tahun 2016
(n=9)
Pembahasan
Berdasarkan hasil penelitian diperoleh data bahwa
responden memiliki rata-rata usia 60,56 tahun, sebagian besar
69
adalah wanita (77,8 %). Hal ini menunjukan bahwa sebagian
besar rata-rata pasien stroke berkisar pada usia lansia yaitu
seseorang yang mencapai usia 60 tahun ke atas baik pria
maupun wanita (UU No. 13 Tahun 1998). Pada usia ini
seseorang rentan terhadap berbagai penyakit pembuluh darah
sehingga orang tersebut mudah mengalami penyumbatan
pembuluh darah yang memungkinkan terjadinya penyakit
stroke.
Selama dirawat di rumah sakit pasien didampingi oleh
anggota keluarga, keluarga yang mendampingi pasien hampir
sebagian adalah pasangan, baik istri atau suami (44,4 %). Hal
ini menunjukan bahwa peran pasangan baik istri maupun suami
memiliki peran yang cukup penting dalam memberikan
dukungan terhadap pasien stroke berupa dukungan fisik
maupun dukungan non fisik seperti dukungan psikologis dan
empsional. Dari hasil penelitian juga didapatkan bahwa hampir
setengahnya responden (44,4 %) tidak memiliki pekerjaan. Hal
ini disebabkan usia pasien yang sudah masuk usia pensiun dan
kemampuan untuk bekerja menjadi menurun. Oleh karena itu
sebagian dari pasien bergantung pada anggota keluarganya
yaitu anak-anaknya dalam memenuhi kebutuhan sehari hari.
Data ini juga sesuai dengan data bahwa setengah dari
responden tidak memiliki pendapatan yang memadai dan
bergantung pada orang lain.
Untuk tingkat kesejahteraan subjektif, responden
memiliki rata-rata kesejahteraan subjektif 67 sebagian besar
responden (66,7 %) memiliki kesejahteraan subjektif yang
sedang. Hal ini menunjukan bahwa penyakit stroke ini
70
mempengaruhi kesejahteraan pasien stroke untuk menikmati
hidupnya walaupun tingkat ketergantungan pasien stroke masih
ringan tetapi sudah bisa mempengaruhi kesejahteraan subjektif
mereka. Bahkan diantara mereka masih ada yang memiliki
kesejahteraan subjektif yang rendah sebanyak 22 %.
Responden juga memiliki rata-rata penguasaan peran
13,11 hampir sebagian (44,4 %) memiliki gangguan dalam
penguasaan peran. Bahkan diantara pasien stroke ada yang
mengalami gangguan dalam penguasaan peran berat (33,3 %).
Hal ini menunjukan bahwa ketidak berdayaan akibat stroke
menyebabkan seseorang tidak mampu menunaikan peran yang
biasa dilakukan sebelum menderita stroke.
Dari hasil penelitian didapatkan data bahwa responden
memiliki rata-rata kesejahteraan hubungan 42,44 hampir semua
resonden (88,9 %) memiliki kesejahteraan hubungan yang baik.
Hal ini menunjukan bahwa kesejateraan hubungan dengan
keluarga masih terjaga baik walaupun dalam kondisi sakit.
Kondisi ini memungkinkan karena pada kondisi sakit anggota
keluarga yang lain memberikan perhatian yang lebih pada saat
ada anggota keluarga yang sakit. Sehinggi pada saat sakit pun
hubungan dengan keluarga bisa terjalin dengan baik.
Simpulan
Sebagian besar pasien stroke ringan dengan tingkat
ketergantungan rendah memiliki kesejahteraan subjektif yang
sedang dan gangguan dalam penguasan peran yang sedang
walaupun hubungan dengan keluarga yang baik masih.
71
Saran
Perlu dipertimbangakan oleh perawat ruangan saraf
untuk meningkatkan pelayanan keperawatan yang berfokus
pada perbaikan kesejahteraan pasien dan penguasaan peran
pasien stroke walaupun tingkat ketergantungan pasien tersebut
pada tingkatan rendah.
Daftar pustaka
Anderson, C. S., Linto, J., & Stewart-Wynne, E. G. (1995). A
population based assessment of the impact and burden
of caregiving for long-term stroke survivors. Stroke,
26(5), 843-849
Chau, J. P., Thompson, D. R., Chang, A. M., Woo, J., Twinn,
S., Cheung, S. K., & Kwok, T. (2010). Depression
among Chinese Stroke survivors six months after
discharge from a rehabilitation hospital. Journal of
Clinical Nursing, 19(21-22), 3042-3050.
doi:10.1111/j.1365-2702.2010.03317.x
Clark, P. C., Dunbar, S. B., Shields, C. G.,Viswanathan, B.,
Aycock, D. M., & Wolf, S. L. (2004) Influence of
stroke survivor characteristics and family conflict
surrounding recovery on caregivers‘ mental and
physical health. Nursing Research, 53(6), 406-413.
Clarke, P., Marshall, V., Black, S. E., & Colantonio, A. (2002).
Well-being after stroke in Canadian seniors: Findings
from the Canadian study of health and aging. Stroke,
33(4), 1016-1021.
Departemen Kesehatan, 2013).
72
Dhamoon, M. S., McClure, L. A., White, C. L., Lau, H.,
Benavente, O., & Elkind, M. S. (2014). Quality of life
after lacunar stroke: The secondary prevention of small
subcortical strokes study. Journal of Stroke and
Cerebrovascular Diseases, 23(5), 1131-1137.
doi:10.1016/j.jstrokecerebrovasdis.2013.09.029
Edwards, D. F., Hahn, M., Baum, C., & Dromerick, A. W.
(2006). The impact of mild Stroke on meaningful
activity and life satisfaction. Journal of Stroke and
Cerebrovascular Diseases, 15(4), 151-157.
doi:10.1016/j.jstrokecerebrovasdis
Green, T. L. & King, K. M. (2009). Experiences of male
patients and wife-caregivers in the first year post-
discharge following minor stroke: A descriptive
qualitative study. International Journal of Nursing
Studies, 46(9), 1194-1200.
Hoffmann, M., Cases, L. B., Hoffmann, B., & Chen, R. (2010).
The impact of Stroke on emotional intelligence. BioMed
Central Neurology, 10(103). doi:10.1186/1471-2377-
10-103
Kim, J. H., & Kim, O. (2008). Influence of mastery and sexual
frequency on depression in Korean men after a stroke.
Journal of Psychosomatic Research, 65(6), 565-569.
doi:10.1016/j.jpsychores.2008.06.005
Lamb, M., Buchanan, D., Godfrey, C. M., Harrison, M. B., &
Oakley, P. (2008). The psychosocial spiritual
experience of elderly individuals recovering from
stroke: A systematic review. International Journal of
73
Evidence-Based Healthcare, 6(2), 173-205.
doi:10.1111/j.1744-1609.2008.00079.x
Ministry of Health. (2013). Riset Kesehatan Dasar
(RISKESDAS) 2013. Jakarta: Badan Penelitian dan
Pengembangan Kesehatan Departemen Kesehatan,
Republik Indonesia.
Nilsson, I., Axelsson, K., Gustafson, Y., Lundman, B., &
Norberg, A. (2001). Well-being, sense of coherence,
and burnout in stroke victims and spouses during the
first few months after stroke. Scandinavian Journal of
Caring Sciences,15(3), 203-214.
Norris, M., Allotey, P., & Barrett, G. (2012). 'It burdens me':
The impact of stroke in central Aceh, Indonesia.
Sociology Health Illness, 34(6), 826-840. doi:
10.1111/j.1467-9566.2011.01431.x
Pound, P., Gompertz, P., & Ebrahim, S. (1998). A patient-
centered study of the consequences of stroke. Clinical
Rehabilitation. 12(4), 338-347.
World Health Organization [WHO] (2012). World health
statistic 2012. Switzerland: World Health Organization,
(www.who.int). 20 Avenue Appia, 1211 Geneva 27.
74
Faktor Penyebab Ketidakpatuhan pada Orang Dengan
HIV/AIDS dalam Menjalani Terapi Antiretroviral di Klinik
Teratai RSUP Dr.Hasan Sadikin Bandung
Dian Hayati Usman1, Kusman Ibrahim2, Titis Kurniawan2
1
Staf Keperawatan RSUP. Dr. Hasan Sadikin Bandung
2
Dosen Fakultas Keperawatan Universitas Padjadjaran
Abstrak
Ketidakpatuhan dalam menjalani terapi antiretroviral (ARV)
mengakibatkan terjadinya resistensi obat, penurunan CD4,
infeksi oportunistik dan akhirnya menurunkan kualitas hidup
ODHA. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk
mengidentifikasi faktor penyebab ketidakpatuhan ODHA
dalam menjalani pengobatan ARV di Bandung, Indonesia.
Metoda penelitian ini adalah deskriptif kualitatif yang
dilakukan terhadap 8 partisipan yang terdiri dari 4 laki – laki
dan 4 perempuan, berusia 20 sampai dengan 40 tahun, dan
memiliki riwayat ketidakpatuhan. Data didapatkan dengan
wawancara semi terstruktur, dan dianalisis secara content
analysis. Hasil penelitian menemukan bahwa ketidakpatuhan
terjadi pada awal terapi, 6 bulan, 1 tahun, 2 tahun dan 3 tahun
setelah menjalani terapi. Pada awal terapi ketidakpatuhan
terjadi karena efek samping obat. Ketidakpatuhan pada pasien
yang menjalani terapi lebih lama, terjadi akibat akumulasi
tekanan psikologis yang dialami pasien baik terkait penyakit
maupun terapi yang dijalaninya. Secara keseluruhan ditemukan
11 tema tentang faktor penyebab ketidakpatuhan yang
dikelompokan ke dalam 3 domain faktor yaitu faktor pasien,
faktor rejimen, faktor pelayanan kesehatan. Tema baru yang
didapatkan dalam penelitian ini adalah ―merasa sehat‖ dan
75
―adanya pemahaman bahwa dosis terlewat dapat diganti dengan
tindakan alternatif‖.
Penyebab ketidakpatuhan pada awal terapi adalah efek
samping ARV dan pemahaman yang kurang baik tentang terapi
ARV. Pada pasien yang lebih lama menjalani terapi terjadi
akibat akumulasi tekanan psikologis terkait penyakit dan
pengobatannya. Untuk mengantisipasi munculnya
ketidakpatuhan perlu ditingkatkan kualitas konseling
kepatuhan, konseling pada awal terapi harus ditekankan pada
proses terapi ARV, efek samping dan penganggulangannya,
dan untuk konseling kepatuhan berkelanjutan lebih difokuskan
pada penanggulangan dampak psikologis dari terinfeksi HIV
dan terapi ARV.
Kata Kunci :Bandung, HIV/AIDS, Ketidakpatuhan, Terapi
Antirteroviral
Pendahuluan
Ketidakpatuhan dalam menjalani terapi antiretroviral
(ARV) mengakibatkan terjadinya resistensi obat, kepatuhan
yang tidak penuh dapat menciptakan potensi berkembangnya
virus yang bermutasi menjadi strain baru (Bangbergs, et. al.,
2000). Virus yang resisten terhadap obat HIV tersebut dapat
ditularkan kepada individu yang baru terinfeksi, lebih lanjut
dapat menyebabkan potensi penularan yang lebih luas di
masyarakat (Jose et al., 2000). Ketidakpatuhan dalam menjalani
terapi ARV merupakan salah satu tantangan terbesar untuk
keberhasilan dalam pengelolaan penyakit HIV (Hellman, 2001.,
Sankar et al., 2002).
76
Pengalaman yang didapat peneliti selama bekerja
sebagai perawat klinik di ruang perawatan penyakit infeksi
menemukan adanya masalah terkait ketidakpatuhan pada Orang
Dengan HIV/AIDS (ODHA) dalam menjalakan terapi
Antiretroviral (ARV). Ketidakpatuhan ODHA dalam menjalani
terapi ARV menimbulkan dampak yang buruk. ODHA yang
menghentikan terapi ARV-nya datang kembali untuk dirawat
karena mengalami infeksi oportunistik seperti TB paru, diare
kronik, meningitis TB, Toxoplasmosis, wasting syndrome, dan
lain – lain. Hal tersebut muncul akibat resistensi obat,
peningkatan viral load dan penurunan imunitas (Li, et. al.,
1998).
Sejak ditemukanya pada tahun 1990-an, pengobatan
antiretroviral (ARV) memberikan harapan baru bagi orang
dengan HIV/AIDS (ODHA). Terbukti pada tahun 1996, telah
terjadi penurunan yang signifikan secara global penyakit yang
berkaitan dengan HIV dan menunda perkembangan AIDS dan
kematian (Palella F.J. et.al, 1998,UNAIDS, 2005). Dengan
adanya terapi ARV juga tercatat secara dramatis telah
meningkatkan tingkat kelangsungan hidup dan menurunkan
kejadian infeksi oportunistik pada penderita AIDS (UNAIDS,
2005).
Munculnya masalah ketidakpatuhan ODHA dalam
menjalani terapi ARV dapat menimbulkan masalah kegagalan
pengobatan (O‘Brien et. al., 2000). Hal tersebut terjadi akibat
dari adanya peningkatan resistensi terhadap ARV (Bangbergs,
et. al., 2006) penurunan CD4 ODHA yang lebih lanjut dapat
meningkatkan angka kejadian infeksi oportunistik dan
menurunkan kualitas hidup penderita (Deuffic-Burban et.al,
2007). Dengan kata lain, keberhasilan terapi ARV sangat
77
memerlukan kepatuhan yang sangat tinggi untuk jangka waktu
yang tidak terbatas (Haynes et al. 2005).
ARV bekerja melawan infeksi dengan cara menghambat
replikasi HIV dalam tubuh, sangat efektif dalam
mengendalikan virus, bahkan dapat mengurangi tingkat virus
sampai ke titik di mana HIV tidak mungkin lagi terdeteksi
dalam darah (Hardon, et. al., 2006). Penekanan replikasi virus
secara maksimal dan terus menerus akan berakibat langsung
ataupun tidak langsung pada pemulihan atau pemeliharaan
fungsi kekebalan tubuh, perbaikan kualitas hidup, dan
penurunan angka penularan, kesakitan dan kematian akibat
HIV.
Pada umumnya ARV efektif digunakan dalam bentuk
kombinasi untuk mengurangi kesempatan terjadinya resistensi
obat HIV (Autran, 1994). Akan tetapi terdapat faktor lain yang
dapat mengakibatkan terjadinya resistensi obat. Menurut
penelitian OʹBrien et al., 2000, faktor – faktor penyebab
terjadinya resistensi obat diantaranya jika ODHA membagi
ARV – nya kepada ODHA lainnya atau terputus rejimen dosis
hariannya, serta penggunaan ARV yang tidak tepat, sehingga
obat menjadi kurang efektif dan akan terjadi resistensi obat dan
berkontribusi secara langsung terhadap kegagalan pengobatan.
Dalam berbagai penelitian telah dijelaskan bahwa
banyak faktor yang dapat mempengaruhi kepatuhan ODHA
dalam menjalani terapi ARV. Faktor – faktor tersebut
diantaranya adalah usia, jenis kelamin, pendidikan, status
pekerjaan, pendapatan, jenis keluarga, jarak dari klinik dan
ketersediaan transportasi, biaya pengobatan, ketidaknyamanan
dengan pengungkapan status HIV, pengetahuan yang memadai
tentang penyakit dan obat-obatan, penggunaan alkohol dan
78
obat-obatan, keyakinan agama dan spiritual, muncul atau
tidaknya gejala AIDS, tingkat pendidikan kesehatan dan
kepuasan terhadap pelayanan kesehatan, dan kondisi co-morbid
yang terjadi pada pasien yang berkorelasi dapat mempengaruhi
kepatuhan ODHA dalam menjalani terapi ARV (Johnson, et.
al., 2005, Wang, et.al., 2008, Cauldbeck, et.al., 2009, Dietz E,
et.al., 2010).
Di Klinik Teratai RSUP dr. Hasan Sadikin Bandung
sendiri, Nirmala dkk (2010) menemukan 35 pasien yang beralih
ke ARV lini 2, yang berarti adanya ketidakpatuhan penderita
dalam menjalani pengobatan ARV. Lebih lanjut, data yang
didapat dari Klinik Teratai RSUP dr. Hasan Sadikin Bandung
selama periode Juli 2011 sampai dengan Januari 2013,
menunjukkan bahwa dari 659 pasien yang terinfeksi HIV,
sebanyak 70 orang (10,62%) pindah, 95 orang (14,41%) droup
out dan 475 (71,6%) orang yang masih aktif (Laporan Klinik
Teratai RSUP.Dr.Hasan Sadikin Bandung, 2013). Selain itu
tercatat tiga Kabupaten/Kota dengan kasus infeksi HIV
tertinggi di Jawa Barat yaitu Kota Bandung sebanyak 229
kasus, kota Bekasi sebanyak 202 kasus,dan kota Bogor 187
kasus (Laporan Jumlah Kasus HIV/AIDS Jawa Barat, 2012).
Padahal berbagai bentuk upaya penanggulangan
ketidakpatuhan ODHA dalam menjalankan terapi ARV di Jawa
Barat telah dikembangkan, salah satunya Program konseling
kepatuhan (adherence). Program ini berguna untuk
meningkatkan kepatuhan ODHA dalam menjalani pengobatan
ARV, kegiatan tersebut didukung dan menjadi bagian dari
rencana strategis penanggulangan HIV/AIDS Jawa Barat 2010-
2014. Meski demikian, jumlah kasus HIV/AIDS di Jawa Barat
sampai dengan tahun 2012 terus meningkat.
79
Di Indonesia, pada tahun 2011 tercatat 81.960 orang
yang positif HIV, terdapat 55.516 orang yang memenuhi syarat
untuk mendapat pengobatan ARV, tapi yang mendapat terapi
hanya berjumlah 39.128 orang. Dari 39.128 orang yang
mendapat ARV, meninggal 8.005 orang (20,5%), masih
mendapatkan ARV 21.775 orang (55,7%), Loss Follow Up
(LFU) 4.918 orang (12,6%), pindah 2.777 orang (7,1%) dan
yang menghentikan ARV 1.641 orang (4,2%) (Laporan
Perawatan HIV/AIDS Kemenkes RI 2011). Masih terdapatnya
ODHA yang menghentikan pengobatan ARV perlu ditelaah
lebih lanjut penyebab – penyebab ketidakpatuhan mereka
dalam menjalani pengobatan ARV.
Kecenderungan yang terjadi di kawasan Asia, terutama
Asia Tenggara berbeda dengan benua lain, dimana jumlah
penderita yang terinfeksi HIV di beberapa wilayah Asia
cenderung tidak mengalami penurunan (WHO, UNAIDS,
UNICEF, 2011). Penderita HIV justru meningkat di enam
Negara di Benua Asia, yaitu Cina, Indonesia, Malaysia,
Myanmar, Thailand dan Vietnam (UNAIDS & WHO, 2007).
Keadaan secara global berbeda dengan Asia, pada tahun 2012
jumlah orang yang terinfeksi HIV baru pada tahun 2012
mengalami penurunan 33%, bila dibandingkan dengan jumlah
orang yang terinfeksi HIV baru pada tahun 2001 (dari 3,4 (3,1–
3,7) juta menjadi 2.3 (1.9–2.7 juta) (WHO, 2013). Saat ini
diperkirakan 35,3 (32,2–38,8) juta orang yang hidup dengan
HIV/AIDS di dunia (UNAIDS, 2013). Kondisi ini merupakan
tantangan besar bagi WHO dan negara-negara anggotanya
dalam mewujudkan target zero new infections, zero
discrimination, and zero AIDS-related death pada tahun 2015
(KPAN, 2011).
80
Penelitian tentang faktor – faktor yang berhubungan
dengan ketidakpatuhan ODHA dalam menjalankan pengobatan
ARV telah banyak dilakukan, akan tetapi kondisi yang
menjelaskan tentang masalah tersebut di Indonesia belum
banyak diteliti. Hal tersebut penting untuk diidentifikasi lebih
lanjut dalam suatu penelitian, karena dengan karakteristik
ekonomi, sosial budaya yang unik, di Indonesia memungkinkan
adanya temuan – temuan baru yang spesifik (new insight).
Sebagaimana dituliskan di awal tentang pengalaman
peneliti pasien yang cenderung tidak patuh justru karena
merasa sudah sehat dan akhirnya menganggap tidak perlu
melanjutkan pengobatan. Hal ini tidak ditemukan dalam
penelitian – penelitian sebelumnya, oleh karena itu perlu untuk
mengidentifikasi secara mendalam melalui pendekatan
kualitatif untuk mengungkap apa yang menjadi faktor – faktor
penyebab timbulnya ketidakpatuhan yang lebih khusus terjadi
pada ODHA yang berada di daerah Bandung dan sekitarnya.
Informasi yang diperoleh tersebut dapat digunakan sebagai
bahan evaluasi program yang sudah dijalankan dan dijadikan
dasar untuk merumuskan program atau intervensi baru yang
tepat guna meningkatkan kepatuhan dan efektifitas pengobatan
ARV pada ODHA.
Metode
Rancangan penelitian dalam penelitian ini
menggunakan pendekatan deskriptif kualitatif. Pendekatan
deskriptif kualitatif berfokus pada usaha mempelajari makna
yang disampaikan para partisipan tentang masalah dan isu
penelitian (Creswell, 2010), serta berkaitan dengan
pengalaman, pendapat dan perasaan individu (Hancock, 2002).
Metode kualitatif bertujuan untuk mempelajari fenomena
81
intensif (Polit & Beck, 2004) dan mengeksplorasi makna agar
hasil penelitian yang diperoleh lebih utuh dan mendalam dalam
memahami respon partisipan (Chao, et al, 2002). Perumusan
masalah dalam penelitian ini adalah ―Apa yang menjadi faktor
penyebab ketidakpatuhan ODHA dalam menjalani pengobatan
ARV di Klinik Teratai RSUP dr. Hasan Sadikin Bandung ?‖,
maka dilakukan wawancara semi terstruktur untuk
mengeksplorasi data secara kualitatif.
82
(2) O
DHA yang pernah mengikuti pengobatan ARV minimal
6 bulan, yang kemudian lalai atau droup out.
Kriteria eksklusi :
(1) P
asien yang sedang menderita infeksi oportunistik yang
berat.
(2) M
engalami efek samping obat yang sangat berat.
Pengumpulan data
Penelitian ini dilakukan wawancara semi terstruktur
dengan pertanyaan terbuka, yang merupakan bagian dari in-
depth interview dengan pelaksanaan yang lebih felksibel
dibandingkan dengan wawancara terstruktur (Sugiyono, 2013).
Tujuan dari wawancara jenis ini adalah untuk menemukan
permasalahan secara lebih terbuka, sehingga bisa didapatkan
informasi yang lebih terperinci sehubungan dengan topik
penelitian.
Pengumpulan data pada penelitian ini dengan
menggunakan teknik wawancara semi terstruktur. Melalui
teknik ini peneliti berusaha menggali informasi dari partisipan
tentang faktor – faktor yang berhubungan dengan
ketidakpatuhan Orang Dengan HIV/AIDS (ODHA) dalam
menjalani terapi Antiretrovirus (ARV). Pada pelaksanaannya
pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan alat bantu
yang berupa pertanyaan – pertanyaan tertulis sebagai pedoman
untuk wawancara, buku catatan, dan IC recorder untuk
merekam wawancara antara peneliti dengan partisipan.
83
Analisis data
Data yang didapat berupa narasi atau pernyataan,
sehingga analisis yang dilakukan adalah analisis isi (content
analysis) yang direkomendasikan oleh Hancock (2002).
Analysis content merupakan sebuah prosedur untuk
mengkategorikan data verbal atau perilaku, untuk tujuan
klasifikasi, membuat ringkasan dan perhitungan. Merujuk pada
Hancock (2002), content analisys tersebut dapat dianalisa pada
dua tingkat.
Content analysis terdiri dari coding dan
mengelompokkan data. Hal ini untuk mengidentifikasi
transkrip data dan untuk memilah – milah pesan penting yang
tersembunyi di setiap wawancara. Prosedur ini terdiri dari
serangkaian langkah, sebagai gambaran deskriptif mengenai
data, yaitu apa yang dimaksud dengan respon, apa yang tereka
atau tersirat. Hal tersebut disebut juga analisis tingkat laten.
Dalam proses content analysis melakukan peninjauan
kembali data dan kategorisasi data secara terus menerus sampai
peneliti yakin bahwa tema dan kategori yang digunakan untuk
menggambarkan penemuan adalah suatu refleksi jujur dan
akurat dari data. Setelah menentukan tema yang muncul dari
hasil wawancara dengan partisipan peneliti kemudian
melakukan validasi data kepada partisipan untuk meminta
klarifikasinya bila hal ini memungkinkan (kecuali klien pergi
ke luar kota atau meninggal). Hasil klarifikasi tersebut
dikonsultasikan dengan tim pakar. Kemudian melakukan
sintesis terhadap pernyataan – pernyataan yang ada, agar data
tidak bertolak belakang dengan isi transkrip yang ada. Tahap
terakhir adalah membuat laporan tertulis.
84
Trustworthiness (Keandalan data)
Seluruh transkrip dilakukan pemeriksaan data yang
akurat dan berulang untuk mendapatkan keabsahan dan
kekuatan ilmiah dari hasil penelitian berdasarkan keandalan
data (audability), dan kepastian atau konfirmasi ulang data
(confirmability). Untuk mendapatkan keabsahan
(trustworthiness) data, dilakukan pemeriksaan berdasarkan
kriteria tertentu, yaitu credibility, transferability, dependability
serta confirmability (Moleong, 2008).
Untuk mendapatkan kebenaran hasil penelitian
kualitatif apakah dapat dipercaya (credibility) peneliti
melakukan triangulasi yang bertujuan memeriksa kembali
kebenaran data tersebut. Triangulasi dilakukan dengan cara
mengkonfirmasi data ke sumber lain, diantaranya keluarga
partisipan, petugas di Klinik Teratai dan literatur – literature
yang berkaitan dengan penelitian ini. Prinsip transferability
dilakukan dengan melakukan penyusunan laporan secara jelas,
rinci, sistematis dan dapat dipercaya (Sugiyono, 2009).
Konsistensi data didapatkan dengan memverifikasi
langkah-langkah penelitian mulai dari data mentah, hasil
reduksi data dan catatan proses penelitian (Campbell, 1996).
Penelaah eksternal yang dilibatkan dalam menelaah konsistensi
data mulai dari data mentah sampai dengan hasil penelitian
dalam penelitian ini dilakukan oleh para pembimbing peneliti
selama melakukan penelitian dan penyusunan tesis serta pakar
di bidang penyakit HIV/AIDS
Menurut Polit & Hungler (1999) dalam Streubert &
Carpenter (2003) Confirmability adalah objektifitas atau
netralitas data, dimana tercapai persetujuan antara dua orang
85
atau lebih tentang relevansi dan arti data. Peneliti melakukan
confirmability dengan merekam dan mencatat data mentah
secara sistematis dengan disertakan pula catatan lapangan
dibawah pengawasan pembimbing, kemudian menunjukkan
transkrip, tabel pengkategorian awal, dan tabel analisis tema
pada pembimbing dan partisipan.Sebagai bukti partisipan telah
mengkonfirmasi data tersebut, maka transkrip tersebut
ditandatangani oleh partisipan.
Etika Penelitian
Untuk menjamin keamanan penelitian ini, peneliti
mengurus ethical clearance sebagai jaminan bahwa penelitian
ini aman Penelitian ini mendapatkan persetujuan dari Komite
Etik Penelitian RSUP. Dr Hasan Sadikin Bandung. Selama
mengikuti prosedur penelitian kenyamanan dan keamanan para
partisipan diperhatikan. Partisipan boleh berhenti atau tidak
melanjutkan partisipasinya jika dirasakan adanya
ketidaknyamanan. Dalam hal ini peneliti melakukan penelitian
sesuai prosedur yang telah direncanakan dan disepakati melalui
informed consent.
Hasil Penelitian
Hasil wawancara terhadap 8 orang partisipan dengan
karakteristik yang sudah dijelaskan di atas didapatkan 11 tema.
Informasi yang didapatkan dikelompokan berdasarkan faktor
penyebab ketidakpatuhan partisipan dalam menjalani terapi
ARV, faktor – faktor tersebut yaitu faktor pasien, faktor
rejimen dan faktor pelayanan.
86
Faktor pasien meliputi masalah kesehatan mental,
dukungan sosial dan keluarga, persepsi tentang HIV dan
pengobatannya. Faktor rejimen terkait dengan kompleksnya
rejimen pengobatan sehingga dapat mengakibatkan
ketidakpatuhan partisipan dalam menjalani terapi ARV.
Karakterisitik tersebut meliputi dosis obat dan efek samping
obat. Faktor pelayanan adalah hubungan antara pelayanan
kesehatan dengan pasien dapat terjadi antara institusi pelayanan
dengan pasien, petugas dengan pasien serta fasilitas dengan
pasien.
Faktor pasien
Permasalahan mental merupakan salah satu penyebab
ketidakpatuhan partisipan dalam menjalani terapi ARV. Hasil
analisis data terkait masalah kesehatan mental partisipan
menemukan 2 tema yaitu dampak psikososial terinfeksi
HIV/AIDS dan penyalahgunaan alkohol dan zat terlarang.
(1) Dampak psikososial terinfeksi HIV/AIDS
Para partisipan menyatakan bahwa dampak dari
terinfeksinya HIV/AIDS menimbulkan masalah – masalah
psikososial yang menyebabkan ketidakpatuhan partisipan
dalam menjalani terapi ARV. Ketidakpatuhan dalam menjalani
terapi ARV. Masalah psikososial yang timbul diantaranya
kurang percaya diri, mendapat tekanan secara psikis dan
merasa putus asa sehingga partisipan kurang memprioritaskan
pengobatannya.
Salah satu penyebab ketidakpatuhan adalah kepercayaan
diri yang kurang. Hal tersebut mengakibatkan ketergantungan
yang sangat tinggi terhadap sistem dukungannya. Salah satu
partisipan menyatakan bahwa keterlambatan minum obat
87
disebabkan suaminya tidak bisa mengantarnya untuk
mengambil obat. Pada saat wawancara pun P-2 ingin ditemani
oleh suaminya. Pernyataan yang menunjukkan adanya rasa
kurang percaya diri diungkapkan oleh salah satu partisipan di
bawah ini:
“(penyebab terlambat mengambil obat ke klinik)….itu
karena suami tidak bisa mengantar ke Klinik,……dampak
kesehatan karena terkena infeksi jadi kepikiran juga untuk
berhubungan dengan tetangga jadi kurang PD (percaya
diri)” (P-2).
Ada pula partisipan yang menyatakan bahwa minum obat
setiap hari membuat ia merasa tertekan secara psikis. Hal
tersebut tergambar oleh pernyataan partisipan berikut ini:
“Ya serasa ditekan sama obat,………”(P-1).
Hal tersebut diungkapkan pula oleh partisipan lainnya,
yaitu:
“…………… merasa tertekan karena saya kan hidup
sendiri jauh dari orang tua, saya harus menghidupi anak
dua, sendirian gitu.”(P-4).
Rasa tertekan yang dirasakan terus menerus setiap kali
minum obat membuat partisipan mengalami rasa putus asa, hal
tersebut dinyatakan oleh partisipan berikut ini:
“…………, mungkin sudah terlalu lama lah tiap hari harus
minum obat, harus tepat waktu ada rasa jenuh, ada rasa
putus asa kayak gitu.”(P-4).
88
“……….., istilahnya putus asa buat apa makan obat”(P-6).
(2) Penyalahgunaan alkohol dan zat terlarang lainnya
Tema penyalahgunaan alkohol dan zat terlarang lainnya
ditemukan sebagai satu alasan ketidakpatuhan partisipan
dalam menjalani terapi ARV. Penggunaan alkohol dan zat
terlarang lainnya dilakukan karena partisipan sudah
ketergantungan. Ketergantungan partisipan dalam
mengkonsumsi alkohol dan zat terlarang lainnya
mengakibatkan mereka tidak peduli terhadap program terapi
ARV yang sedang dijalaninya, hal tersebut diketahui dari
pernyataan partisipan di bawah ini:
“……….., saya minum (minuman yang mengandung
alkohol) lagi, Sudah berhenti obat (ARV),………….Ngga
dipikirin aja ARV sudah ngga dipikirin aja,….Saya make
mulainya tahun 1990, Make Putaw tahun 1990”(P-1).
“Waktu berhenti ARV make lagi (Alkohol dan zat terlarang
lainnya)………..., yang standar lah, Shabu – shabu, atau
apa ya? namanya lagi gitu (menggunakan alkohol dan zat
terlarang lainnya) seneng aja, seneng, Ah boro-boro
kepikiran (ARV)”(P-1).
Hal senada diungkapkan pula oleh P-8 yang
mengungkapkan kecanduannya pada minuman beralkohol dan
zat terlarang lainnya menyebabkan ia melupakan pengobatan
ARV yang sedang dijalaninya.
(3) Timbulnya rasa bosan minum obat
Timbulnya rasa bosan disebabkan partisipan harus
minum obat seumur hidupnya dengan frekuensi setiap 12 jam
secara terus menerus dan tak boleh berhenti ataupun menggeser
89
waktu minum obatnya. Sehingga timbul keinginan partisipan
untuk berhenti beberapa hari saja. Hal tersebut tergambar dari
pernyataan partisipan sebagai berikut:
“Iya kan harus makan obat seumur hidup, jadi bosan‖(P-
3).
“…….bosen aja, harus minum obat terus-terusan”(P-8).
Hal senada dinyatakan pula oleh P-6 tentang bosannya minum
obat.
Dukungan sosial dan keluarga sangat penting untuk
keberlangsungan kepatuhan dalam menjalani terapi ARV-nya.
Tingkat dukungan yang baik akan berkontribusi secara positif
terhadap kepatuhan minum obat ARV. Analisa dari data yang
telah dikumpulkan muncul 2 tema, yaitu takut dijauhi oleh
keluarga dan lingkungan sekitarnya dan penggunaan koping
yang tidak efektif.
(1) Takut dijauhi oleh keluarga dan lingkungan sekitarnya
Rasa takut dijauhi oleh keluarga dan lingkungannya
menyebabkan para partisipan menutupi status HIV-nya, mereka
takut jika keluarga tahu statusnya maka keluarga atau
masyarakat sekitarnya akan merasa jijik, takut tertular dan
dihindari. Stigma yang kuat di masyarakat saat ini terhadap
ODHA juga membuat partisipan takut untuk membuka status
HIV mereka, karena dapat mempengaruhi penerimaan
masyarakat terhadap keberadaan partisipan.
Hal tersebut di atas berdampak pada terhambatnya
program terapi ARV para partisipan yaitu minum obat menjadi
terlambat, bahkan terlewat. Permasalahan tersebut dinyatakan
oleh seluruh partisipan yang mengungkapkan status HIV-nya
90
hanya kepada orang tua, keluarga atau orang tertentu yang
dipercayainya.
“,…..yang tahu (status positif HIV) saya keluarga saya,
cuma ibu saya yang ketakutan,…..takut nular kali”(P-1).
“Ya cuma sembunyi sembunyi jangan sampai ketahuan
kan penyakit begini mah”(P-3).
92
kadang inget kadang nggak karena mungkin pikirannya
sudah kacau waktu itu.”(P-4).
Lain halnya dengan P-6 yang cenderung menyalahkan
orangtuanya sebagai penyebab ketidakpatuhannya, seperti yang
dikutip dari pernyataannya sebagai berikut:
“Penyebabnya sih banyak, mungkin bosen, masalah lain-
lain juga banyak, masalah orangtua, keluarga………..Yang
parah orangtua, yang bikin saya berhenti tuh orangtua
mungkin marah, atau gimana, kan anak bapak tuh banyak
ya udah mending buang aja lah, saya berhenti (minum
ARV) 2 bulan”(P-6).
Persiapan dan perencanaan awal terapi ARV sangat
penting untuk memberikan pengetahuan dan pemahaman yang
benar tentang HIV dan proses pengobatannya. Untuk mencapai
keberhasilan kepatuhan terutama tergantung pada negosiasi
pada saat perencanaan pengobatan agar pasien bersedia
menjalankan pengobatan dengan benar.
Pada saat pertama kali partisipan menjalani terapi ARV,
mereka belum mempunyai pengalaman baik secara nyata.
Partisipan hanya mengetahui fungsi dan efektifitas ARV
berdasarkan penjelasan dari petugas pemberi pelayanan terapi
ARV. Pada saat kondisi kesehatan partisipan baik serta tidak
mengalami perbedaan dengan orang – orang yang tidak
terinfeksi HIV, para partisipan mulai merasa ragu bahwa
dirinya terinfeksi HIV dan berpikir sudah sembuh, sehingga
tidak perlu lagi mengikuti program terapi ARV.
93
Hasil dari analisa data muncul 2 tema yaitu sudah
merasa sehat dan memiliki keyakinan pada saat dosis terlewat
bisa dibantu dengan asupan makanan yang baik.
(1) Merasa sehat
Setelah ODHA menjalani terapi ARV maka replikasi
virus dapat ditekan, kemudian CD4 menjadi meningkat,
sehingga berdampak adanya peningkatan kondisi fisik ODHA.
Saat itu ODHA merasa dirinya sudah sehat dan tidak perlu lagi
minum ARV. Hal tersebut diungkapkan oleh partisipan berikut
ini:
“Iya, saya paling bisa bertahan karena saya minum ARV,
disaat saya minum ARV badan saya sehat, semuanya jadi
terbuka, terang lagi, segala macem, saya bisa lagi usaha,
keadaan ekonomi saya bagus, CD4 saya tinggi, saya
ngerasa sehat, merasa sudah sehat, saya berhenti minum
ARV, nah itu….awalnya” “………ya berhenti gitu aja,
saya ngerasa sehat, ga minum (ARV) ga apa – apa.”(P-1).
Hal yang serupa diungkapkan pula oleh partisipan lainnya
saat mereka sering terlambat minum ARV, mereka merasa
keterlambatan tersebut tidak akan berdampak buruk pada
kesehatannya, seperti yang diungkapkan berikut ini:
“(saat terlambat minum ARV) ga ada terasa apa – apa
sih.”(P-2)
Untuk mendukung keyakinannya bahwa dirinya telah
sembuh, salah satu partisipan mencoba berobat ke pengobatan
alternatif China. Hal tersebut teridentifikasi dari pernyataannya
sebagai berikut:
94
“Sampai enak, sehat, saya coba-coba periksa ke Sinse
(pengobat tradisional China), sakit HIV gak?, percaya gak
percaya penyakit apaan ini mah normal lah katanya.”(P-3)
(2) Adanya pemahaman bahwa dosis terlewat dapat diganti
dengan tindakan alternatif
Partisipan meyakini bahwa ARV merupakan satu –
satunya pengobatan untuk menghambat perkembangan infeksi
HIV yang dideritanya, akan tetapi mereka berpikir ada tindakan
alternatif untuk mempertahankan kondisi kesehatannya bila
mereka mendapati dirinya telah melewatkan dosis yang
seharusnya diminum. Mereka meyakini bahwa di dalam
mempertahankan daya tahan tubuhnya dapat dibantu dengan
pengobatan alternatif atau makan yang banyak .
Partisipan berikut meyakini bila ia berhenti minum ARV,
kondisi daya tahan tubuhnya dapat dibantu oleh pengobatan
alternatif. Hal tersebut diketahui dari pernyataan Partisipan
berikut ini :
“……..kemudian saya berhenti (minum ARV) ada tiga
bulan lah, berhenti, saya diberi obat oleh Sinse untuk
meningkatkan daya tahan tubuh.”(P-3)
95
kemarin-kemarin itu saya back-up dengan makan Bu,
sebanyak mungkin, sampai berat 80 kg,……..”(P-7)
Faktor rejimen
Hasil pengumpulan data didapatkan bahwa kompleksnya
rejimen pengobatan dapat menyebabkan ketidakpatuhan
partisipan dalam menjalani terapi ARV. Karateristik tersebut
meliputi dosis obat dan efek samping obat.
Hasil analisa data didapat 1 tema yaitu kesulitan minum
obat. Obat ARV jenis tertentu berbentuk tablet yang cukup
besar, terutama jenis obat dosis kombinasi tetap (Fix Dose
Combination). Bentuk obat yang demikian itu membuat
beberapa partisipan mengeluh sulit menelan obat. Berikut
kutipan pernyataan salah satu partisipan tentang kesulitan
tersebut:
―gede-gede sih obatnya, biasanya pake pisang makannya,
susah‖(P-8).
Efek samping obat merupakan keluhan partisipan dalam
menjalani terapi ARV. Efek samping yang tidak dapat
ditoleransi dan terus menerus terjadi selama masa terapi
menjadi salah satu penyebab terjadinya ketidakpatuhan dalam
menjalani terapi ARV. Keluhan ini terjadi pada fase awal
pemberian terapi.
Efek samping yang terjadi pada para partisipan
diantaranya pusing, mual dan gatal – gatal. Hal tersebut
dinyatakan oleh partisipan sebagai berikut:
“Trus..kalau misalnya minum efavirenz, udahnya pusing
sekali. Duh, pusing.”(P-1).
96
“Cuman pertama minum obat itu kaki lemes,…..Iya gatel-
gatel,……… pas pertama sih ada mual-mual kayak
gitu”.(P-2).
“Iya sampai malam, kalo reaksi efavirenz kalo lagi malem
gak enak bu, kalo waktu kerja kan epapiren gak enak bu,
harus istirahat 15 menit baru normal lagi.” (P-3).
97
“Ga enaknya…ada waktu..yang..misalnya kalau jam
Sembilan udah ngantuk, ga bisa tidur…harus nunggu.”(P-
1)
Partisipan lain menyatakan bahwa pola makannya
menggeser jadwal minum obatnya. Hal tersebut diketahui dari
pernyataan berikut ini:
―Kan kalau pagi-pagi saya makannya agak susah,
mendingan agak siangan ajah minum obatnya”(P-2)
Ada pula yang menyatakan bahwa salah satu efek
samping obatnya mengganggu aktifitas bekerja partisipan,
yaitu:
“Iya kerja sampai malam, kalo reaksi efavirenz kalo lagi
malem gak enak bu, kalo waktu kerja kan efavirenz gak
enak bu, harus istirahat 15 menit baru normal lagi.”(P-3)
Pembahasan
Berdasarkan karakteristik pasien, ketidakpatuhan terjadi
pada partisipan usia 18 sampai dengan 40 tahun, baik laki – laki
maupun perempuan. Tingkat pendidikan partisipan
mempengaruhi cara mereka mengekspresikan
permasalahannya. Partisipan dengan pendidikan menengah dan
tinggi tampak lebih mudah mengungkapkan permasalahan yang
mereka rasakan selama menjalani terapi ARV dibandingkan
dengan yang berpendidikan dasar.
Jarak tempat tinggal dengan tempat pengambilan ARV ,
penghasilan, jenis pekerjaan partisipan ditemukan bukan
merupakan faktor penyebab utama terjadinya ketidakpatuhan
partisipan. Ketidakpatuhan terjadi pada partisipan yang
mempunyai jarak tempat tinggal yang dekat maupun yang jauh,
partisipan yang tidak berpenghasilan dan yang berpenghasilan
tinggi, partisipan yang bekerja maupun yang tidak bekerja.
Kecenderungan ketidakpatuhan yang terjadi pada
partisipan yaitu pada awal terapi yaitu kurang dari 6 bulan,
99
ketidakpatuhan terjadi akibat timbulnya efek samping dan
kurangnya pemahaman tentang HIV dan pengobatannya. Pada
tahun pertama dan kedua, ketidakpatuhan timbul disebabkan
adanya permasalahan kurangnya dukungan psikososial dan
ketidakpatuhan yang terjadi setelah dari 3 tahun terapi karena
adanya akumulasi tekanan psikologis terkait penyakit dan
pengobatan ARV. Penelitian lain juga menunjukkan sekitar 30-
40% orang dengan seropositif HIV yang memulai terapi ARV
tidak menunjukkan respon pengobatan secara baik, dan respon
tersebut terjadi pada periode 2 tahun setelah pemberian terapi
(Halkitis, 1999).
Ketidakpatuhan dalam menjalani terapi ARV dapat
disebabkan oleh masalah kesehatan mental. Hasil penelitian
terdahulu menyebutkan bahwa masalah – masalah kesehatan
mental berperan sebagai penghambat kepatuhan terhadap
perawatan dan minum obat, diantaranya aspek umum gangguan
mental, yaitu, depresi, kecemasan, PTSD, dan penyalahgunaan
zat, dan pengaruhnya pada kepatuhan terhadap terapi ARV
(Nel & Kagee, 2011). Masalah tersebut berhubungan dengan
kepatuhan jadwal, dosis dan diet, karena orang yang
mempunyai masalah mental mengalami gangguan konsentrasi
dapat mengalami kesulitan untuk memahami suatu hal (Sadock
& Sadock, 2007).
Dampak dari terinfeksinya HIV/AIDS menimbulkan
masalah – masalah psikososial, menurut para partisipan
merupakan salah satu penyebab ketidakpatuhan partisipan
dalam menjalani terapi ARV. Masalah psikososial yang terkait
dengan terinfeksi HIV dengan yang ditemukan dalam
penelitian ini diantaranya kurang percaya diri, mendapat
tekanan secara psikis dan merasa putus asa. Hal tersebut terjadi
100
karena ketidakpastian terkait penyakit HIV (Brashers et al.,
2003; Brashers, Neidig, & Goldsmith, 2004), sehingga
menjalani terapi ARV sehingga mereka menjadi cemas dan
putus asa dan tidak yakin akan terhadap kemampuannya
menjalani terapi tersebut (Reynolds, 2004).
Ketidakyakinan terhadap kemampuannya dalam
menjalani terapi terkait dengan rendahnya efikasi diri dalam
menjalani terapi ARV. Efikasi diri mempunyai dampak yang
kuat dalam menginisiasi perubahan perilaku (DeLaune &
Ladner, 2002), dalam hal ini perubahan perilaku yang
diharapkan yaitu meningkatnya kepatuhan dalam menjalani
terapi ARV. Untuk meningkatkan kepatuhan tersebut perlu
diberikan intervensi yang berorientasi kognitif untuk
meningkatkan efikasi diri (Parson, Rosof, & Mustansky, 2008)
dengan fokus pada tugas untuk memulihkan rasa mampu
setelah mengalami kegagalan, dan menghadapi stressor atau
ancaman dengan keyakinan bahwa mereka mampu
mengontrolnya (Bandura, 2007).
Penyalahgunaan alkohol dan zat terlarang lainnya
merupakan salah satu faktor penyebab ketidakpatuhan ODHA
dalam menjalani terapi ARV, sesuai dengan hasil penelitian
lain, yang mana disebutkan bahwa faktor-faktor utama yang
terkait dengan ketidakpatuhan adalah penyalahgunaan zat dan
alkohol (Chesney, 2000). Penyalahgunaan alkohol dan zat
terlarang merupakan comorbid dari masalah gangguan mental
(Cunningham-Williams, R., L. Cottler, et al., 2000). Hal
tersebut secara langsung dapat mempengaruhi tingkat
kepatuhan terhadap terapi ARV, karena pada umumnya orang
yang terintoksikasi akan mengalami kerusakan memori,
101
konsentrasi, dan koordinasi fisik (Nevid, Rathus, & Greene,
2006 dalam Nel & Kagee, 2011).
Hasil penelitian yang terkait dengan masalah
penyalahgunaan alkohol dan zat terlarang lainnya menunjukkan
bahwa: (1) masalah minum dikaitkan dengan penurunan
kepatuhan minum obat, terutama dengan mengambil obat dari
jadwal selama seminggu sebelumnya; (2) beratnya minum
(kuantitas/frekuensi lebih tinggi) dan tingkat bahaya minum
adalah pola minum yang paling kuat terkait dengan masalah
kepatuhan; dan (3) orang dengan masalah minum mungkin
lebih cenderung melewatkan dosis obat karena aktif
mengkonsumsi alkohol atau obat-obatan, melupakan atau
kehabisan obat (Do, et al., 2013, Cook, et al., 2001).
Timbulnya rasa bosan disebabkan partisipan harus
minum obat seumur hidup dengan frekuensi setiap 12 jam.
Program terapi ARV yang harus dijalankan tepat waktu dan
tidak memungkinkan partisipan menghentikan pengobatan
sementara untuk menghilangkan kejenuhan. Hal tersebut dapat
menambah tekanan psikologis dari dalam diri ODHA.
Tekanan psikologis yang tinggi dapat mengakibatkan
ODHA menghentikan terapinya meskipun faktor pengalaman
kognitif dapat mempengaruhi efikasi diri (Bandura, 1997)
dimana mereka tahu bahwa menghentikan pengobatan akan
berdampak buruk bagi kondisi mereka.
ODHA membutuhkan dukungan sosial dan keluarga pada
saat menjalani terapi ARV. Hal tersebut tergambar dari hasil
pengumpulan data yang terkait dengan kebutuhan mereka
untuk dihargai, karena proses penyesuaian diri terhadap
penyakit sangat dipengaruhi oleh ketersediaan sumber
102
dukungan sosial dan emosional terhadap individu dan
menunjukkan dampak yang signifikan terhadap kepatuhan
pengobatan (Catz, 2000; DiMatteo, & Kravitz, 1991).
Salah satu bentuk dukungan yang dibutuhkan ODHA
dari jaringan sosial mereka adalah dukungan emosional ,
meyakinkan orang bahwa ia akan dberikan perawatan, dihargai
dan dicintai (Coyne, et al., 1981), akan tetapi stigma yang
berkembang di masyarakat membuat para ODHA merasa
mereka tidak akan mendapat dukungan yang diharapkan jika
mereka membuka staus HIV-nya. Mereka menyakatakan jika
keluarga tahu statusnya maka keluarga atau masyarakat
sekitarnya akan merasa jijik, takut tertular dan dihindari.
Kebanyakan partisipan menutupi status HIV-nya akibat
masih kuatnya stigma sosial yang berkembang di lingkungan
mereka. Stigma sosial membuat orang-orang yang hidup
dengan HIV tidak mau mengungkapkan status mereka kepada
orang lain, hal tersebut dapat menjadi penghambat kepatuhan
pengobatan HIV. Orang-orang dengan stigma HIV tinggi
cenderung memiliki nilai CD4+ 2,5 kali yang lebih rendah
3.3 kali lebih , hal itu terjadi karena tidak patuh pada rejimen
obat yang telah ditentukan (Rintamaki, 2006). Berkurangnya
stigma dapat meningkatkan dukungan psikososial yang baik
dapat meningkatkan kepatuhan minum ARV pada ODHA
(Elliott-Scanlon, 2006) dan menunjukkan dampak yang sangat
signifikan terhadap kepatuhan pengobatan (Catz,2000;
Sherboume, Hays, Ordway, DiMatteo, & Kravitz, 1991).
Ketidakpatuhan partisipan dalam menjalani terapi ARV
juga disebabkan oleh adanya masalah dengan keluarga.
Partisipan merasakan adanya akumulasi masalah yang dimulai
dari terinfeksi HIV sampai dengan konsekuensi dari menjalani
103
terapi ARV. Pada proses tersebut mereka membutuhkan
dukungan dari orang – orang terdekatnya terutama keluarga.
Adanya masalah antara partisipan dan keluarganya
dapat menurunkan dukungan keluarga terhadap partisipan.
Dalam sebuah penelitian kualitatif terhadap individu dengan
HIV-positif, Halkitis dan Kirton (1999) menemukan bahwa
sistem dukungan yang signifikan, termasuk keluarga, teman,
dan profesional kesehatan, memainkan peran kunci dalam
meningkatkan kepatuhan dalam pengobatan. Partisipan yang
tidak patuh secara signifikan ditemukan keadaannya lebih
tertekan, lebih banyak merasakan efek samping obat-obatan,
dan dilaporkan kurang mendapat dukungan emosional.
Pengetahuan dan tentang HIV/ AIDS dan pengobatannya
sangat penting dijelaskan pada saat ODHA akan memulai terapi
ARV, mereka belum mempunyai pengalaman baik secara
nyata. Partisipan hanya mengetahui fungsi dan efektifitas ARV
berdasarkan penjelasan dari petugas pemberi layanan terapi
ARV. Pada saat kondisi kesehatan partisipan baik serta tidak
mengalami perbedaan dengan orang - orang yang tidak
terinfeksi HIV, para partisipan mulai merasa ragu bahwa
dirinya terinfeksi HIV dan berpikir sudah sembuh, sehingga
tidak perlu lagi mengikuti program terapi ARV. Kepatuhan
dapat dicapai tergantung pada saat penerimaan tentang
penyakitnya, sehingga pasien mempunyai komitmen untuk
patuh, selain itu pemantauan terkait kepatuhan secara
berkesinambungan (Fowler, 1998; Williams & Friedland,
1997).
Setelah ODHA menjalani terapi ARV maka replikasi
virus dapat ditekan, kemudian CD4 menjadi meningkat
(Voldberding, 2008), sehingga berdampak adanya peningkatan
104
kondisi fisik ODHA. Saat itu ODHA merasa dirinya sudah
sehat dan tidak perlu lagi minum ARV. Pada keadaan sehat,
ODHA berkeyakinan dirinya telah sembuh dan tak perlu lagi
minum ARV, sehingga menghentikan terapi ARV-nya. Hal
tersebut dipengaruhi pemahaman partisipan mengenai penyakit
dan pengobatan HIV, oleh karena itu perlu ditekankan pada
awal pemberian terapi bahwa tujuan terapi ARV untuk
mencapai efek supresi viral load yang maksimal selama
mungkin, menunda resistensi pengobatan, meningkatkan
jumlah sel T CD4, dan meningkatkan keadaan klinis yang
substansial (Durham & Lashley, 2006) bukan untuk membunuh
virusnya.
Beberapa partisipan mengungkapkan bahwa terdapat
pengobatan atau tindakan lain yang dapat mempertahankan
kondisi kesehatannya. Dimana mereka meyakini bahwa
pengobatan alternatif dan makan yang banyak dapat
mempertahankan daya tahan tubuhnya pada saat mereka tidak
minum ARV. Pada saat ODHA melewatkan dosisnya tidak
merasakan efek yang berarti, sehingga timbul pemikiran bahwa
dosis terlewat bisa dibantu dengan asupan makanan yang baik.
Pengetahuan yang baik dan pendidikan tinggi tidak selalu
berdampak pada tingkat pemahaman penyakit HIV dan proses
terapi ARV. Penelitian menunjukkan bahwa tingkat pendidikan
yang tinggi merupakan salah satu faktor ketidakpatuhan dalam
menjalani terapi ARV (Bhat, 2010). Hal yang penting dalam
meningkatkan pengetahuan dan pemahaman ODHA dalam
menjalani terapi ARV adalah Untuk mencapai keberhasilan
kepatuhan terutama tergantung pada negosiasi perencanaan
pengobatan dimana pasien bersedia menjalankannya dan
105
assesmen kepatuhan yang berkelanjutan ((Fowler, 1998;
Williams & Friedland, 1997).
Upaya ODHA dalam mencari terapi alternatif
disebabkan proses pengobatan medis yang terlalu lama yang
menyebabkan penderita bosan menerima peran sebagai pasien
dan ingin segera mengakhirinya, oleh karena itu dia mencari
alternatif pengobatan lain yang mempercepat proses
penyembuhannya ataupun hanya memperingan rasa sakitnya
(illness) (Foster & Anderson, 1996).
Hasil pengumpulan data didapatkan bahwa kompleksnya
rejimen pengobatan dapat menyebabkan ketidakpatuhan
partisipan dalam menjalani terapi ARV. Karateristik tersebut
meliputi dosis obat dan efek samping obat. Fungsi ARV untuk
menghambat reflikasi virus menimbulkan konsekuensi bagi
partisipan untuk mengikuti dosis obat seumur hidup, dengan
frekuensi setiap 12 jam, dan tak boleh terlewat walaupun satu
kali. Selain itu terbatasnya rejimen membuat partisipan tidak
dapat memilih jenis obat tertentu yang ukurannya cukup kecil
untuk ditelan.
Obat ARV jenis tertentu memang bentuknya besar,
terutama jenis obat dosis kombinasi tetap (Fix Dose
Combination). Bentuk obat yang demikian itu membuat
beberapa partisipan mengeluh sulit menelan obat. Kesulitan
menelan obat dapat diatasi jika mereka mendapatdukungan
psikososial yang adekuat. Dukungan psikososial yang baik
dapat meningkatkan kepatuhan minum ARV pada ODHA
(Elliott-Scanlon, 2006).
Efek samping obat merupakan keluhan partisipan yang
terjadi pada awal menjalani terapi ARV. Efek samping yang
106
tidak dapat ditoleransi dan terus menerus terjadi selama masa
terapi menjadi salah satu penyebab terjadinya ketidakpatuhan
dalam menjalani terapi ARV. Efek samping yang terjadi pada
para partisipan diantaranya pusing, mual dan gatal – gatal.
Efek samping obat merupakan salah satu faktor penyebab
ketidakpatuhan ODHA dalam menjalani (Weiser, 2003), hal
tersebut terjadi pada partisipan dalam penelitian ini. Akses
Informasi yang baik dan penangan efek samping yang tepat
dapat mengurangi terjadinya ketidakpatuhan. Jadwal terapi
yang harus tepat waktu menjadi kesulitan tersendiri bagi para
partisipan. Waktu minum obat mengganggu aktifitas sehari –
hari partisipan seperti istirahat/tidur, pola makan, dan aktifitas
lain, sedangkan hal tersebut merupakan kebutuhan dasar
manusia yang harus dipenuhi untuk meningkatkan motivasi
manusia (Maslow, 1970).
Hubungan antara penyedia pelayanan kesehatan dengan
pasien dapat menyebabkan ketidakpatuhan dalam menjalankan
terapi ARV jika hubungan tersebut tidak terjalin secara baik.
Hal tersebut menyangkut termasuk kepuasan dan kepercayaan
pasien secara keseluruhan terhadap staf klinik dan penyedia
pelayanan kesehatan; pendapat pasien tentang kompetensi
penyedia pelayanan kesehatan , kesediaan petugas untuk
menyertakan pasien dalam proses membuat keputusan,
hubungan yang afektif (misalnya kehangatan, keterbukaan,
kerjasama); Kompatibilitas ras/etnis antara pasien dan
pelayana dan rujukan yang adekuat (WHO, 2006).
Partisipan yang memulai terapi ARV di luar klinik
Teratai menyatakan bahwa mereka hanya diberi penjelasan
minum obat seperti layaknya pasien – pasien lain. Mereka
diberi tahu bahwa minum obat seumur hidup dan tidak boleh
107
terlewat sesuai jadwal. Konseling kepatuhan berperan penting
dalam meningkatkan kepatuhan dan mencegah penularan lebih
luas (Kgaltwane, et.al., 2006). Dari hasil wawancara
didapatkan data bahwa seluruh partisipan pernah mengalami
ketidakpatuhan setelah 6 bulan, 1 tahun, 2 tahun dan lebih dari
5 tahun menjalankan terapi ARV, sehingga perlu adanya
intervensi konseling kepatuhan secara periodik.
Untuk mendapatkan perubahan perilaku yang
diharapkan petugas pemberi pelayanan kesehatan harus dapat
menerapkan model kepatuhan dengan memfasilitasi ODHA
untuk melakukan perilaku kepatuhan yang diharapkan. Hal
tersebut dilakukan dengan membantu ODHA seseorang
menjaga niat positif yang kuat atau kecenderungan untuk
melakukan perilaku, menganggap dirinya memiliki
keterampilan yang diperlukan untuk melakukan perilaku, tidak
menghadapi hambatan fisik, logistik, atau sosial lingkungan
untuk melakukan perilaku, percaya bahwa materi, sosial atau
penguatan lainnya akan membentuk perilaku, percaya bahwa
ada tekanan normatif untuk melakukan dan tidak
memerintahkan perilaku, percaya bahwa perilaku konsisten
dengan citra diri seseorang, memiliki efek positif mengenai
perilaku, dan isyarat dalam mendapatkan petunjuk atau
kemampuan untuk terlibat dalam perilaku pada waktu dan
tempat yang tepat (Loue,. Elder, et al., 1998, Fishbein, et. al.,
2003).
Keterbatasan Penelitian
Keterbatasan penelitian meliputi kondisi partisipan saat
menceritakan masalah – masalah yang berhubungan dengan
status HIV-nya, kondisi emosi partisipan yang tidak stabil saat
memberikan informasi menjadi salah satu hambatan dalam
108
proses pengumpulan data. Sehingga wawancara harus terhenti
sejenak sampai partisipan tenang, atau membuat kontrak baru
untuk melakukan wawancara ulang.
Terdapat 2 partisipan yang sedang dirawat di ruang
rawat inap, sehingga wawancara dilakukan di tempat tidur
partisipan yang tempatnya berdampingan dengan pasien –
pasien lain. Hal tersebut memungkinkan adanya distraksi
selama proses wawancara berlangsung.
Simpulan
Ketidakpatuhan dalam menjalani terapi antiretroviral
(ARV) mengakibatkan terjadinya resistensi obat, bahkan
kepatuhan yang hanya sebagianpun dapat menciptakan potensi
berkembangnya virus yang bermutasi menjadi strain baru
(Bangbergs, et. al., 2000, Robert, et. al.,1995). Untuk
mengetahui faktor penyebab ketidakpatuhan tersebut maka
dilakukan penelitian secara deskriptif kualitatif.
Faktor penyebab ketidakpatuhan ODHA dalam
menjalani terapi ARV yang telah teridentifikasi yaitu terdiri
dari 11 tema yang dikelompokan ke dalam 3 domain faktor
yaitu faktor pasien, faktor rejimen dan faktor pelayanan
kesehatan. Berdasarkan karakteristik pasien ketidakpatuhan
cenderung muncul pada periode awal terapi disebabkan oleh
efek samping obat, pada tahun pertama dan kedua terjadi akibat
adanya permasalahan dukungan sosial dan keluarga, sedangkan
lebih dari 3 tahun disebabkan adanya akumulasi tekanan
psikologis terkait penyakit dan pengobatan HIV yang
dirasakan oleh partisipan.
109
Tema baru yang muncul sebagai faktor penyebab
ketidakpatuhan ODHA dalam penelitian ini yaitu ―Merasa
sehat‖ dan ―Adanya pemahaman bahwa dosis terlewat dapat
diganti dengan tindakan alternatif‖. Atas dasar tema khusus
tersebut dapat dijadikan sebagai dasar intevensi selanjutnya
untuk mencegah ketidakpatuhan ODHA dalam menjalani terapi
ARV terutama di Klinik Teratai RSUP dr. Hasan Sadikin
Bandung.
Saran
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan
terdapat beberapa rekomendasi yang dapat dilakukan untuk
menindaklanjuti hasil penelitian Ketidakpatuhan ODHA dalam
menjalani terapi ARV adalah sebagai berikut:
(1) Perlu disiapkan calon tenaga keperawatan yang
mempunyai kompetensi sebagai perawat konselor,
sehingga kemampuan kliniknya dapat diaplikasikan untuk
membantu ODHA dalam meningkatkan kepatuhan dalam
menjalankan terapi ARV.
(2) Penelitian yang perlu dilakukan sebagai tindak lanjut
dari penelitian ini adalah untuk mengidentifikasi faktor
yang mendukung kepatuhan ODHA dalam menjalani
terapi ARV dan model konseling kepatuhan yang dapat
diterapkan Klinik Teratai RSUP dr. Hasan Sadikin
Bandung.
(3) Kegiatan konseling kepatuhan bagi ODHA yang sedang
menjalani terapi ARV dilakukan pada 6 bulan pertama
masa terapi ARV dengan berfokus pada terapi ARV yang
benar, efek samping dan penanganannya.
110
(4) Kegiatan tindak lanjut konseling kepatuhan pada periode
3 tahun setelah menjalani terapi ARV difokuskan pada
penanganan masalah tekanan psikologis yang dialami
ODHA terkait dengan penyakit dan terapinya.
(5) Meningkatkan fungsi jejaring eksternal untuk sistem
dukungan bagi ODHA untuk pemantauan kepatuhan
dalam menjalani terapi ARV secara berkesinambungan.
Daftar Pustaka
American Psychiatric Association (APA). (2000). Diagnostic
and statistical manual of mental disorders (4th ed.,text
revision: DSM-IV-TR). Washington,DC: American
Psychiatric Association.loads." AIDS Patient Care &
STDs 20(5): 326-334.
Australian Commission on Safety and Quality in Health Care
(ACSQHC) (2006) National Inpatient Medication
Chart. http://www.health.gov.au/
internet/safety/publishing.nsf/content/national-
inpatient-medicationchart.
Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (BAPPENAS)
(2012). LAPORAN PENCAPAIAN TUJUAN
PEMBANGUNAN MILENIUM DI INDONESIA
2011. Kementerian Perencanaan Pembangunan
Nasional.
Bandura, A. (1977). "Self-efficacy: Toward a unifying theory
of behavioral change." Psychological Review 84(2):
191-215.
111
Bangsberg, D. R., E. P. Acosta, et al. (2006).
"Adherenceâ€―resistance relationships for protease and
non-nucleoside reverse transcriptase inhibitors
explained by virological fitness." AIDS 20(2): 223-231
10.1097/01.aids.0000199825.34241.49.
Bangsberg, D. R., F. M. Hecht, et al. (2000). "Adherence to
protease inhibitors, HIV-1 viral load, and development
of drug resistance in an indigent population." AIDS
14(4): 357-366.
Besch, C. L. (1995). "Compliance in clinical trials." AIDS 9(1):
1-10.
Brashers, D., Neidig, J., & Goldsmith, D. (2004). Social
support and the management of uncertainty for people
living with HIV or AIDS. Health Communication, 16,
305–331.
Brashers, D., Neidig, J., Russell, J., Cardillo, L., Haas, S.,
Dobbs, L., et al. (2003). The medical, personal, and
social causes of uncertainty in HIV illness. Issues in
Mental Health Nursing, 24, 497–522.
Bhat, V. G., M. Ramburuth, et al. (2010) "Factors associated
with poor adherence to anti-retroviral therapy in
patients attending a rural health centre in South Africa."
European Journal of Clinical Microbiology and
Infectious Diseases 29(8): 947-53.
Bosworth H B.,. Oddone E Z, and Weinberger M. (2008).
Patient treatment adherence concepts, interventions, and
measurement. Taylor & Francis e-Library.
112
Bottonari, K., S. Safren, et al.(2010). "A longitudinal
investigation of the impact of life stress on HIV
treatment adherence." Journal of Behavioral Medicine
33(6): 486-495.
Campbell, S. (2004). "Management of HIV/AIDS transmission
in health care." Nursing Standard 18(27): 33-35.
Catz, S.L., Kelly, J.A., Bogart, L.M., Benotsch, E.G.,&
McAuliffe, T.L. (2000). Patterns, correlates and barriers
to medical adherence among persons prescribed new
treatments for HIV disease. Health Psychology. 19. 24-
133.
Cauldbeck MB, O‘Connor C, O‘Connor MB, Saunders JA, Rao
B, Mallesh VG, Praveen Kumar NK, Mamtha G,
McGoldrick C, Laing RB, Satish KS (2009) Adherence
to anti-retroviral therapy among HIV patients in
Bangalore, India. AIDS Research and Therapy 6:7.
doi:10.1186/1742-6405-6-7
Chesney, M. A. (2000). Factors Affecting Adherence to
Antiretroviral Therapy. CID. Oxford Journal. CID
2000;30 (Suppl 2)
Chou, F.-Y., W. L. Holzemer, et al. (2004). "Self-Care
Strategies and Sources of Information for HIV/AIDS
Symptom Management." Nursing Research 53(5): 332-
339.
Colibazzi T, Hsu T T, and . Gilmer W S.(2006).Human
Immunodeficiency Virus and Depression in Primary
Care: A Clinical Review. Primary Care Companion
113
Journal Clinic Psychiatry. 2006; 8(4): 201–211
PMCID: PMC1557477.
Cook, R. L. M. D. M. P. H., S. M. P. Sereika, et al. (2001).
"Problem drinking and medication adherence among
persons with HIV infection." Journal of General
Internal Medicine 16(2): 83-8.
Cotton, S., C. M. Puchalski, et al. (2006). "Spirituality and
Religion in Patients with HIV/AIDS." Journal of
General Internal Medicine 21(S5): S5-S13.
Coyne, J.C., Aldwin, C., & Lazarus, R.S. (1981). Depression
and coping in stressful episodes. Journal of Abnormal
Psychology. 90, 439- 447.
Creswell, J. W (2007). Qualitative inquiry & research design,
choosing among five approach, 2nded, Sage publication
thousand oaks, London, New Delhi
Cunningham-Williams, R., L. Cottler, et al. (2000). "Problem
Gambling and Comorbid Psychiatric and Substance Use
Disorders Among Drug Users Recruited from Drug
Treatment and Community Settings." Journal of
Gambling Studies 16(4): 347-376.
DeLaune, S C. & P K. Ladner (2002) Fundamentals of nursing:
Standards & practice. 2nd ed. Delmar, a division of
Thomson Learning, Inc.
Departemen Kesehatan RI Direktorat Jendral Pengendalian
Penyakit dan Penyehatan Lingkungan (2010). Modul
Pelatihan Konseling dan tes sukarela HIV untuk
114
konselor professional.cetakan kedua. Departemen
Kesehatan RI.
115
Do, H. M., M. P. Dunne, et al. "Factors associated with
suboptimal adherence to antiretroviral therapy in Viet
Nam: a cross-sectional study using audio computer-
assisted self-interview (ACASI)." BMC Infectious
Diseases 13.
Duffin, Jacalyn. (2005). ―Lovers and Livers: Disease Concepts
in History‖. Toronto: University of Toronto Press.
Durham JD., Lashley FR. (2009).The person with HIV/AIDS:
nursing perspectives,4th ed. Springer Publishing
Company, LLC.
Elliott-Scanlon, G. (2006). How relationship with healthcare
providers, social support and drug use, shape HIV
medication adherence behavior among men who have
sex with men. ProQuest Dissertations and Theses. Ann
Arbor, New York University: 158-158 p.
Fishbein, M. and M. C. Yzer (2003). "Using Theory to Design
Effective Health Behavior Interventions."
Communication Theory 13(2): 164-183.
French, M. A., P. Price, et al. (2004). "Immune restoration
disease after antiretroviral therapy." AIDS 18(12): 1615-
1627.
Halkitis, P.N., Shrem, M.T., Zade, D.D. & Wilton, L. (2005).
The physical, emotional and interpersonal impact of
HAART: exploring the realities of HIV seropositive
individuals on combination therapy. Journal of Health
Psychology, 10 (3) 345-358.
116
Hancock B. (2002)trent Focus For research and Development
in Primary health care An introduction to Qualitative
Research. Journal, 1-31.
Hardon A, et al.(2006).From access to adherence : the
challenges of antiretroviral treatment : studies from
Botswana, Tanzania and Uganda. World Health
Organization.
Haynes RB et al. (2005) Interventions for enhancing
medication adherence. The Cochrane Database of
Systematic Reviews, Issue 4. Art. No.: CD000011. DOI:
10.1002/ 14651858. CD000011.pub2.
Hellman N. (2001). High Prevalence of Drug-resistant HIV
Identified in the US. In program of the 41st Interscience
Conference on Antimicrobial Agents and
Chemotherapy, Chicago, IL, USA.
Jose M.I., Ramos J.T., Alvarez S., Jimenez J.L. & Munoz-
Fernandez M.A. (2000) Vertical transmission of
antiretroviral drug-resistant HIV-1 variants, Abstract
154c. In 4th International Workshop on HIV Drug
Resistance and Treatment Strategies. Available at
http://www.hivandhepatitis.com
Johnson MO, Charlebois E, Morin SF, Catz SL, Goldstein RB,
Remien RH, Rotherham-BorusMJ,Mickalian JD, Kittel
L, Samimy-Muzaffar F, Lightfoot MA, Gore-Felton C,
Chesney A; NIMH Healthy Living Project Team (2005)
Perceived adverse effects of antiretroviral therapy.
Journal Pain Symptom Manage 29(2):193–205.
117
Kalichman SC.(2005) Positive Prevention Reducing HIV
Transmission among People Living with HIV/AIDS.
Kluwer Academic/Plenum Publishers, New York.
Katz I T, et al. (2013). Impact of HIV-related stigma on
treatment adherence: systematic review and meta-
synthesis. Journal of the International AIDS Society.
2013; 16(3Suppl 2): 18640.
Kgatlwane, et., al. (2006). ―Factors that facilitate or constrain
adherence to antiretroviral therapy among adults at four
public health facilities in Botswana: a pre-intervention
study‖. From access to adherence:the challenges of
antiretroviral treatment Studies from Botswana,
Tanzania and Uganda 2006.
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia (2011). Laporan
Situasi Perkembangan HIV & AIDS di Indonesia.
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia Direktorat
Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan
Lingkungan (2011). Pedoman Nasional Tatalaksana
Klinis Infeksi HIV dan Terapi Antiretroviral pada orang
Dewasa. Kementerian Kesehatan RI.
Kikuchi, K., K. C. Poudel, et al. "High Risk of ART Non-
Adherence and Delay of ART Initiation among HIV
Positive Double Orphans in Kigali, Rwanda." PLoS One
7(7).
Kirton, C. (2008). ―Managing long-term complications of HIV
infection‖. Nursing 2008, 38 (8), 44–51.
118
KPAN (2011) Rangkuman Eksekutif Upaya Penanggulangan
HIV dan AIDS di Indonesia 2006 - 2011: Laporan 5
Tahun Pelaksanaan Peraturan Presiden No.75/2006
tentang Komisi Penanggulangan AIDS Nasional.
Kurtyka, D. E. (2008). The effects of a structured adherence
intervention to HAART on adherence and treatment
response outcomes. ProQuest Dissertations and Theses.
Ann Arbor, University of South Florida: 174-n/a.
Li, L., S. Lee, et al.(2010) "Antiretroviral therapy adherence
among patients living with HIV/AIDS in Thailand."
Nursing & Health Sciences 12(2): 212-220.
Loue, S., J. Elder, et al. (1998). Strategies for Health Education.
Handbook of Immigrant Health, Springer US: 567-585.
Maslow, AH. (1970). Motivation and Personality.3thed. Harper
& Row, Publishers 1954.
Moleong LJ. (2010) Metodologi penelitian Kualitatif (edisi
revisi) . Bandung. Remaja Rosdakarya.
Nel, A. and Kagee A.(2011) "Common mental health problems
and antiretroviral therapy adherence." AIDS Care
23(11): 1360-1365.
Parsons, J .T., Rosof, E., & Mustansky, B (2008). ―Medication
Adherence Mediates the Relationship between
Adherence Self-efficacy and Biological Assessments of
HIV Health among those with Alcohol Use Disorders‖.
AIDS Behaviour. 2008 January ; 12(1): 95–103.
doi:10.1007/s10461-007-9241-8
119
Polit DF, Beck CT.(2004). Nursing Research, principles and
methods, seventh edition. Lippincott Williams &
Wilkins.
Polkinghorne, DE (1989) Phenomenological research methods,
in Valle, RS and Halling, S (eds), Existential-
phenomenological perspectives in psychology:
exploring the breadth of human experience. New York:
Plenum Press.
Portillo, C. J., W. L. Holzemer, et al. (2007). "HIV symptoms."
Annual Review of Nursing Research 25: 259-291.
Reynolds, N. R. (2004). "The problem of antiretroviral
adherence: a self-regulatory model for intervention."
AIDS Care 15(1): 117-124.
Rintamaki, L. S., T. C. Davis, et al. (2006). "Social stigma
concerns and HIV medication adherence." AIDS Patient
Care & STDs 20(5): 359-368.
Sadock & Sadock. (2007) Kaplan & Sadock's Synopsis of
Psychiatry: Behavioral Sciences/clinical Psychiatry,
Wolters Kluwer Health, Lippincott Williams & Wilkins.
Sankar A., Luborsky M., Schuman P. & Roberts G. (2002)
Adherence discourse among African-American women
taking HAART. AIDS Care 14, 203–218.
Streubert, & Carpenter. (2003). Qualitative Research in
Nursing: Advancing the humanistic imperative.3th
ed.Philadelphia Lippincott.
120
Sugiyono.(2013). Metode penelitian Kuantitatif, Kualitatif dan
Kombinasi (Mixed Methods). Penerbit Alfabeta
Bandung.
Sumantri, R,Wisaksanana R, Sutantri Y. (2010).Buku
Panduan,Dukungan, Perawatan dan Pengobatan
Komprehensif HIV/AIDS. Penerbit Pusat Informasi
Ilmiah Departemen Ilmu Penyakit dalam FK UNPAD
RS.Dr. Hasan Sadikin Bandung.
UNAIDS (2013) Global report: UNAIDS report on the global
AIDS epidemic 2013. Joint United Nations Programme
on HIV/AIDS (UNAIDS).
United Nations.(2009). DISCUSSION PAPER PREPARED
FOR THE UNESCAP/UNAIDS EXPERT GROUP
MEETING, BANGKOK, MAY 12-13 2008, HIV and
AIDS in Asia and the Pacific A review of progress
towards Universal Access. United Nations publication
Sales No. E.09.II.F.8 ISBN: 978-92-1-120573-2.
Volberding PA, sande MA,Lange J,Greene WC.(2008).Global
HIV/AIDS Medicine. Saunders Elsevier Inc.
Wang H, He G, Li X, Yang A, Chen X, Fennie KP, Williams
AB (2008) Self-reported adherence to antiretroviral
treatment among HIV-infected people in Central China.
AIDS Patient Care STDs 22(1):71–80.
Williams A, Friedland G (1997). Adherence, compliance, and
HAART. AIDS Clinical Care,9(7):51‐53.
Williams P (2007) Medication errors. Journal Research Coll
Physicians Edinb 37(4): 343- 46.
121
World Health Organization (2013). Country Office for
Indonesia. WHO country cooperation strategy 2007-
2012 – Indonesia. WHO Library Cataloguing-in-
Publication data.
WHO, UNAIDS, dan UNICEF (2011). GLOBAL HIV/AIDS
RESPONSE; Epidemic update and health sector
progress towards Universal Access.
122
Risiko Penyakit Kardiovaskular Berdasarkan Skor
Kardiovaskular Jakarta Pada Masyarakat Desa Limus
Gede Kecamatan Cimerak Kabupaten Pangandaran
Abstrak
Pendahuluan
125
perilaku merokok, diabetes mellitus, dan aktifitas fisik
(Kusmana, 2002).
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran
risiko penyakit kardiovaskular pada masyarakat di Desa
Cimerak Kabupaten Pangandaran.
Metode
Penelitian ini menggunakan metode deskriptif.
Responden penelitian sebanyak 69 orang masyarakat di Desa
Limus Gede Kecamatan Cimerak Kabupaten Pangandaran yang
dipilih melalui teknik purposive sampling dengan kriteria
inklusi usia 25 – 64 tahun.
Metode pengumpulan data berupa kuisioner serta
observasi tekanan darah dan indeks massa tubuh responden
yang merujuk pada Skor Kardiovaskular Jakarta. Skor
Kardiovaskular Jakarta memiliki sensitifitas 77,9%, spesifisitas
90,0%, positive predictive value 92,2%, dan negative predictive
value 72,8%. Data dianalisis menggunakan distribusi frekuensi.
Variabel-variabel dalam Skor Kardiovaskular Jakarta
ini adalah:
1. Jenis kelamin
a. Perempuan : skor 0
b. Laki-laki : skor 1
2. Usia
a. 25 - 34 tahun : skor -4
b. 35 – 39 tahun : skor -3
c. 40 – 44 tahun : skor -2
d. 45 – 49 tahun : skor 0
126
e. 50 – 54 tahun : skor 1
f. 55 – 59 tahun : skor 2
g. 60 – 64 tahun : skor 3
3. Tekanan darah
a. Normal (<130/ <85 mmHg) : skor 0
b. Normal tinggi (130–139/ 85–89 mmHg) : skor 1
c. Hipertensi derajat 1 (140–159/ 90-99 mmHg) : skor 2
d. Hipertensi derajat 2 (160-179/ 100-109 mmHg) : skor 3
e. Hipertensi derajat 3 (≥180/ ≥110 mmHg) : skor 4
4. Indeks massa tubuh
a. 13,79 – 25,99 : skor 0
b. 26,00 – 29,99 : skor 1
c. 30,00 – 35,58 : skor 2
5. Perilaku merokok
a. Tidak merokok : skor 0
b. Bekas perokok : skor 3
c. Merokok : skor 4
6. Diabetes mellitus
a. Tidak : skor 0
b. Ya : skor 2
7. Aktifitas fisik
a. Tidak : skor 2
b. Ringan : skor 1
c. Sedang : skor 0
d. Berat : skor -3
Penjumlahan skor dari masing-masing variabel pada
Skor Kardiovaskular Jakarta ini dinterpretasikan sebagai
berikut:
127
1. Skor -7 sampai 1: Risiko rendah.
Individu memiliki persentase berkembangnya penyakit
kardiovaskular sebesar < 10%.
2. Skor 2 sampai 4: Risiko sedang
Individu memiliki persentase berkembangnya penyakit
kardiovaskular sebesar 10-20%.
3. Skor ≥ 5: Risiko tinggi
Individu memiliki persentase berkembangnya penyakit
kardiovaskular sebesar > 20%
Hasil Penelitian
Karakteristik responden dilihat berdasarkan Skor
Kardiovaskular Jakarta yang terdiri dari jenis kelamin, usia,
tekanan darah, indeks massa tubuh, perilaku merokok, diabetes
mellitus, dan aktifitas fisik.
Karakteristik responden berdasarkan jenis kelamin
didapatkan bahwa sebanyak 69 orang (100%) responden dalam
penelitian ini adalah perempuan. Hal ini dapat dilihat pada
Tabel 1 dibawah ini.
128
Karakteristik responden berdasarkan usia didapatkan
bahwa sebanyak 13 orang (18,84%) responden berada pada
rentang usia 45 – 49 tahun, sebanyak 12 orang (17,39%)
responden berada pada rentang usia 40 – 44 tahun, sebanyak 11
orang (15,94%) responden berada pada rentang usia 60-64
tahun, sebanyak 9 orang (13,04%) responden berada pada
rentang usia 25 – 34 tahun, sebanyak 9 orang (13,04%)
responden berada pada rentang usia 50 – 54 tahun, sebanyak 9
orang (13,04%) responden berada pada rentang usia 55 – 59
tahun, dan sebanyak 6 orang (8,70%) responden berada pada
rentang usia 35 – 39 tahun. Hal ini dapat dilihat pada Tabel 2
dibawah ini.
132
Tabel 8. Risiko Penyakit Kardiovaskular Berdasarkan Skor
Kardiovaskular Jakarta
Risiko Penyakit Jumlah %
Kardiovaskular
Rendah 36 52.17
Sedang 24 34.78
Tinggi 9 13.04
Total 69 100
Pembahasan
Jenis Kelamin
Hasil penelitian menunjukkan bahwa 100 % responden
adalah perempuan. Hal ini dikarenakan pengambilan subjek
penelitian dilakukan pada saat kegiatan pengajian yang lebih
banyak dihadiri oleh perempuan sehingga didapatkan sebanyak
69 orang responden yang memenuhi kriteria inklusi adalah
perempuan.
Perempuan memiliki risiko penyakit jantung koroner
lebih rendah daripada laki-laki dan akan meningkat risikonya
setelah mengalami menopause (Galbut, B & Davidson, M,
2005). Hal ini dikarenakan perempuan dilindungi oleh hormon
estrogen yang melebarkan pembuluh darah. Setelah
menopause, kadar estrogen dalam tubuh ikut menurun sehingga
terjadi peningkatan risiko terjadinya penyakit kardiovaskular.
Usia
Pada hasil penelitian didapatkan bahwa sebanyak 13
orang (18,84%) responden berada pada rentang usia 45 – 49
133
tahun, sebanyak 12 orang (17,39%) responden berada pada
rentang usia 40 – 44 tahun, sebanyak 11 orang (15,94%)
responden berada pada rentang usia 60-64 tahun., dan sebanyak
9 orang (13,04%) responden berada pada rentang usia 25 – 34
tahun.
Penelitian menunjukkan bahwa kejadian aterosklerosis
pada arteri koronaria dipengaruhi oleh usia sebesar 42%. Usia
rata-rata timbulnya aterosklerosis adalah 28 tahun (Utama,
2007 dalam Islamee, 2008). Semakin bertambah usia maka
akan semakin berisiko terhadap penyakit kardiovaskular,
dimana peningkatan morbiditas dan mortalitas penyakit ini
terjadi pada usia 30-44 tahun (Anwar, 2004 dalam Islamee,
2008).
Hipertensi
Pada hasil penelitian didapatkan bahwa sebanyak 40
orang (57,97%) responden memiliki tekanan darah normal,
sebanyak 14 orang (20,29%) responden memiliki hipertensi
grade I, sebanyak 10 orang (14,49%) responden memiliki
tekanan darah normal tinggi, sebanyak 4 orang (5,80%)
responden memiliki hipertensi grade II, dan sebanyak 1 orang
(1,45%) responden memiliki hipertensi grade III.
Penelitian yang dilakukan oleh Nababan (2008)
menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang bermakna
kejadian penyakit jantung koroner dengan hipertensi.
Peningkatan tekanan darah menyebakan meningkatnya
tekanan dinding arteri yang mempercepat terjadinya
aterosklerosis dan arteriosklerosis sehingga 20 tahun
134
mempercepat terjadinya ruptur dan oklusi vaskuler
dibandingkan dengan orang yang memiliki tekanan darah
normal (Stem, 1992 dan Lipoeta, 2006).
Peningkatan tekanan darah sistemik akan meningkatkan
resistensi pemompaan darah ventrikel kiri, hal ini akan
mengakibatkan terjadinya hipertropi ventrikel yang akan
meningkatkan kebutuhan oksigen miokardium sehingga beban
kerja jantung akan meningkat dan menyebabkan angina dan
infark miokardium (Price and Wilson, 1994). Peningkatan
tekanan darah akan meningkatkan tekanan terhadap dinding
arteri dan merusak endotel yang akan memicu aterosklerosis.
Begitupula dengan perubahan aterosklerotik juga akan
menyebakan peningkatan tekanan darah (Lipoeta, 2006).
Penurunan tekanan darah diastolik sebesar 5 mmHg
akan mengurangi risiko penyakit jantung koroner sebesar 16%
(Gray, Dwakins, Morgan, and Simpson, 2002).
Merokok
Pada hasil penelitian didapatkan bahwa sebanyak 67
orang (97,10%) responden tidak merokok dan sebanyak 2
orang (2,90%) responden merupakan perokok. Pada penelitian
ini seluruh responden adalah perempuan. Supriyono (2008)
menyebutkan bahwa perempuan yang merokok akan
mengalami menopause dini dibandingkan dengan yang bukan
perokok.
136
Terjadi peningkatan risiko penyakit jantung koroner
sebesar dua kali lipat pada orang yang merokok. Hal ini
disebabkan oleh adanya nikotin yang terdapat pada rokok
sehingga merusak endotel dinding pembuluh darah melalui
pengeluaran katekolamin dan mempermudah terjadinya
penggumpalan pada pembuluh darah yang pada akhirnya akan
meningkatkan denyut jantung dan tekanan darah. Pada rokok
terdapat karbon monoksida (CO) yang akan menyebabkan
desaturasi hemoglobin sehingga menurunkan langsung
persediaan oksigen jaringan termasuk miokardium serta
mempercepat terjadinya aterosklerosis (Yanti, 2008).
Rokok menimbulkan aterosklerosis, meningkatkan
spasme pada arteri koroner, meningkatkan tekanan darah dan
denyut jantung, memicu terjadinya aritmia, meningkatkan
kebutuhan oksigen miokard, dan menurunkan kapasitas
pengangkutan oksigen (Supriyono, 2008).
Penelitian yang dilakukan oleh Nababan (2008)
menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang bermakna
kejadian penyakit jantung koroner dengan merokok.
Seseorang yang berhenti merokok selama satu tahun
akan menurunkan risiko terjadinya penyakit jantung koroner
sebesar 50% (Erikseen & Enger, 1978 dalam Supriyono, 2008).
Hasil penelitian menunjukkan bahwa orang yang
menghentikan kebiasaan merokok mengalami penurunan
kejadian vaskular sebesar 7 – 47% daripada golongan yang
merokok (Rose, Hamilton, Colwell & Shiply, 1982 dalam
Supriyono, 2008).
137
Diabetes Melitus
Pada hasil penelitian didapatkan bahwa sebanyak 69
orang (100%) responden dalam penelitian ini tidak memiliki
penyakit diabetes mellitus.
Penyakit diabetes mellitus berkaitan dengan sistem
kardiovaskular, seperti terjadinya disfungsi endotelial dan
gangguan pada pembuluh darah yang akan meningkatkan risiko
terjadinya Coronary Artery Diseases (CAD) (Bauters, Lamblin,
Fadden et al, 2003). Seseorang yang memiliki penyakit diabetes
mellitus berisiko lebih besar (200%) untuk mengalami penyakit
kardiovaskular dibandingkan dengan tidak memilki diabetes
mellitus. (Liu, Sempos, and Donahue, 2005).
Aktifitas Fisik
Pada hasil penelitian didapatkan bahwa sebanyak 53
orang (76,81%) responden melakukan aktifitas fisik sedang,
sebanyak 7 orang (10,14%) responden melakukan aktifitas fisik
berat, sebanyak 6 orang (8,70%) responden melaakukan
aktifitas fisik ringan, dan sebanyak 3 orang (4,35%) responden
tidak melakukan aktifitas fisik.
Aktifitas fisik akan mempengaruhi sistem
kardiovaskular melalui peningkatan curah jantung dan
redistribusi aliran darah dari organ yang kurang aktif ke organ
yang aktif (Ellestad, 1986 dalam Supriyono, 2008). Hal ini
akan menurunkan tekanan darah sistolik, menurunkan kadar
katekolamin, dan memperbaiki sirkulasi koroner (Stem &
Cleary, 1982 dalam Supriyono, 2008). Aktifitas fisik dapat
menurunkan risiko penyakit jantung koroner melalui
138
peningkatan kadar HDL kolesterol, perbaikan kolateral
koroner, serta perbaikan fungsi paru dan konsumsi oksigen ke
miokardium (Anwar, 2004 dalam Islamee, 2008).
Hasil penelitian lain menunjukkan bahwa terdapat
hubungan yang bermakna antara kejadian penyakit jantung
koroner dengan aktifitas fisik/ olahraga (Nababan, 2008). Hasil
penelitian di Harvard menunjukkan bahwa individu dengan
aktifitas fisik yang adekuat berisiko lebih rendah terhadap
penyakit jantung koroner dibandingkan dengan orang yang
kurang melakukan aktifitas fisik (Anwar, 1997).
Simpulan
Berdasarkan Skor Kardiovaskular Jakarta, risiko
penyakit kardiovaskular pada masyarakat Desa Limus Gede
Kecamatan Cimerak Kabupaten Pangandaran didapatkan
bahwa :
1. Sebanyak 36 orang (52,17%) responden memiliki risiko
rendah sehingga memiliki persentase berkembangnya
penyakit kardiovaskular sebesar < 10%.
2. Sebanyak 24 orang (34,78%) responden memiliki risiko
sedang sehingga memiliki persentase berkembangnya
penyakit kardiovaskular sebesar 10-20%
3. Sebanyak 9 orang (13,04%) responden memiliki risiko
tinggi sehingga memiliki persentase berkembangnya
penyakit kardiovaskular sebesar > 20%).
Saran
Perlu adanya pencegahan dan pengendalian terhadap
faktor risiko terjadinya penyakit kardiovaskular melalui pola
hidup sehat seperti berhenti merokok, berolahraga secara
140
teratur (aktifitas fisik), diet, dan menghindari stres sehingga
dapat meminimalkan skor yang dimiliki.
Daftar Pustaka
141
Population in Jakarta. Medical Journal Indonesia.
Volume 11, Nomor 4, October-Desember 2002.
Lipoeta, I. 2006. Gizi dan Makanan pada Penyakit
Kardiovaskular. Yogyakarta: Andalah InsistPress.
142
Supriyono, M. 2008. Faktor-Faktor Risiko yang Berpengaruh
Terhadap Kejadian Penyakit Jantung Koroner pada
Kelompok Usia ≤ 45 Tahun-Studi Kasus di RSUP Dr.
Kariadi dan RS Telogorejo Semarang. Tesis.
Universitas Diponegoro.
143
Pengaruh SMS Reminders terhadap Peningkatan
Pengetahuan Ibu Hamil Tentang Tablet Fe
Abstrak
Pendahuluan
145
anemia pada ibu hamil terjadi jika kadar Hb yang kurang
dari 11 gr/dL pada trimester I dan trimester III, dan
dibawah 10,5 gr/dL pada trimester II (Leveno, 2009).
Di Indonesia data Rikesdas tahun 2013 yang
menunjukkan perdarahan sebagai presentase tertinggi
penyebab kematian ibu, yaitu sebesar 30,3% dari total
5.019 kematian (Kemenkes, 2013). Hal ini juga dibuktikan
oleh hasil penelitian yang dilakukan Sunarto (2010) yang
menyatakan bahwa 71,1% perdarahan post partum pada ibu
di Poned Ngawi terjadi akibat terapapar anemia selama
kehamilan.
Akibat tingginya angka kematian ibu di Indonesia,
pemerintah mengupayakan penyelenggaraan program
pemberian tablet Fe secara gratis kepada setiap ibu hamil
dalam rangka menurunkan angka kejadian anemia guna
mencegah komplikasi perdarahan selama persalinan.
Menurut Purnadhibrata (2011), setiap ibu hamil yang
mendapat 90 tablet Fe untuk tiga bulan, sudah memasok
900 mg Fe dalam tubuh. Dengan jumlah tersebut
diperkirakan ibu tidak akan mengalami kekurangan Fe
sehingga angka kejadian anemia pada ibu hamil dapat
diturunkan.
Program pemberian tablet Fe kepada ibu hamil juga
dilaksanakan oleh Puskesmas DTP Jatinangor. Berdasarkan
data Dinas Kesehatan Kabupaten Sumedang tahun 2014,
menunjukkan bahwa Kecamatan Jatinangor berada diposisi
pertama dengan dengan angka persalinan dan pemberian
tablet Fe terbanyak. Jumlah ibu hamil pada tahun 2014
146
sebanyak 2.155 orang dan pemberian tablet Fe1 (30 tablet)
sebesar 91,61% sedangkan Fe3 (90 tablet) sebesar 79,26%.
Namun, kejadian anemia pada ibu hamil masih terjadi. Dari
data pemeriksaan hemoglobin yang dilakukan di Puskesmas
DTP Jatinangor, terdapat 127 ibu hamil yang mengalami
anemia pada tahun 2014. Namun, pemeriksaan hemoglobin
memang tidak dilakukan pada setiap ibu hamil.
Puskesmas DTP Jatinangor juga mengadakan
pemeriksaan hemoglobin yang dilakukan rutin setiap tahun
pada bulan April di setiap desa yang terletak di Kecamatan
Jatinangor. Hasil pemeriksaan pada tahun 2014
menunjukkan bahwa 16% dari 420 ibu hamil mengalami
anemia.
Menurut Balitbang SDM Kemkominfo menyebutkan
bahwa penduduk Indonesia yang memakai telepon seluler
tahun 2009 semakin meningkat yaitu 82,41%. Banyaknya
penggunaan telepon seluler di Indonesia sangat berpotensi
untuk dijadikan metode dalam memberikan promosi
kesehatan kepada masyarakat. Handphone (HP) sekarang
ini sudah tidak dianggap sebagai barang mewah lagi, malah
sudah menjadi suatu kebutuhan bagi masyarakat untuk
melakukan komunikasi (Effendy, 2003). SMS merupakan
salah satu fasilitas yang ada di telepon seluler. SMS bukan
merupakan teknologi baru di masyarakat sehingga
penggunaannya tidak dapat dipisahkan dari kehidupan di
masyarakat (Setiadi, 2011). Dari fenomena di atas peneliti
tertarik untuk melakukan penelitian tentang Pengaruh SMS
(Short Message Service) Reminder Terhadap Tingkat
147
Pengetahuan, Pada Ibu Hamil Di Pukesmas Jatinangor
Kabupaten Sumedang.
Metode
Desain penelitian yang digunakan dalam penelitian
ini adalah Quasi Experimental Designs dengan pendekatan
pre test dan Posttest Kontrol Group Design. Variabel bebas
adalah SMS Reminder, dan variable terikat adalah tingkat
pengetahuan pada ibu hamil.
SMS Reminder dikirimkan kepada ibu hamil setiap
hari selama satu bulan. Isi SMS Reminder peneliti
mengingatkan kembali isi pendidikan kesehatan yang telah
diberikan kepada ibu hamil melalui leaflet dengan cara
membagi materi yang ada di leaflet untuk dikirimkan
kepada ibu hamil selama satu bulan melalui SMS. Sehingga
diharapkan dengan adanya SMS Reminder ini pengetahuan
ibu hamil tentang pentingnya mengkonsumsi Fe selama
kehamilan pun bisa menjadi bertambah. Isi SMS yang
dikirimkan kepada ibu hamil adalah bertanya kondisi ibu
hamil, dan memberikan pendidikan kesehatan tentang tablet
fe.
Populasi dalam penelitian ini adalah semua ibu hamil
di wilayah kerja Puskesmas Jatinangor Kabupaten
berjumlah 420 orang ibu hamil. Sampel berjumlah 40
orang, 20 orang sebagai kelompok intervensi dan 20 orang
sebagai kelompok kontrol dengan teknik pengambilan
sampel secara purposive sampling. Kriteria sampel:
Responden terdiri dari ibu hamil yang memeriksakan
148
kehamilannya di puskesmas. Bersedia mengikuti penelitian
(menandatangani informed consent). Ibu hamil yang
memiliki alat komunikasi seperti HP (Handphone) dan
dipegang sendiri.
Pada pengambilan data sebelumnya responden
diberikan penjelasan terlebih dahulu mengenai maksud dan
tujuan penelitian, kemudian peneliti meminta kesedian
responden untuk ikut serta dalam penelitian dengan
menandatangani lembar persetujuan atau informed consent.
Setelah proses informed consent dilaksanakan, setelah itu
memberikan pendidikan kesehatan terlebih dahulu
mengenai pentingnya mengkonsumsi Fe selama kehamilan
dengan menggunakan leaflet. Kemudian peneliti meminta
nomor handphone responden dan menjelaskan kepada
kelompok intervensi bahwa peneliti akan memberikan SMS
Reminder setiap hari dalam waktu satu bulan. Isi dari SMS
Reminder ini adalah selain mengingatkan responden untuk
mengkonsumsi tablet Fesetiap hari, peneliti juga
mengingatkan kembali isi pendidikan kesehatan tentang
pentingnya mengkonsumsi Fe selama kehamilan yang
sudah diberikan sebelumnya kepada ibu hamil melalui
leaflet. Ibu hamil tidak diminta untuk membalas SMS dari
peneliti, karena SMS Reminder ini bersifat hanya untuk
mengingatkan responden dalam mengkonsumsi tablet Fe
setiap hari.
Setelah itu, selama satu bulan peneliti melakukan
SMS Reminder kepada kelompok intervensi. Setelah proses
pengiriman SMS Reminder selesai, peneliti melakukan
149
kontrak waktu untuk bertemu dengan responden untuk
mengisi kuesioner pengetahuan tentang tablet fe. Data yang
sudah dikumpulkan selanjutnya dilakukan pengolahan data
dan analisa data.
Jenis data pengetahuan awalnya berbentuk numeric
yang akhirnya di jadikan data kategorik. Data kategorik ini
dilakukan analisis distribusi frekuensi dan persentase dari
tiap variable. Setelah diketahui frekuensi dan
persentasenya, data kemudian disajikan dalam bentuk tabel
distribusi. untuk pengetahuan akan di kategorikan sebagai
berikut: Baik > 76% pernyataan yang diajukan dijawab
dengan benar dawn Kurang < 76%, pernyataan yang
diajukan dijawab dengan benar.
Analisis bivariat adalah analisis yang digunakan
untuk mengetahui perbedaan atau keterkaitan antar dua
variabel. Dalam penelitian ini uji statistik yang digunakan
adalah chi square. Nilai taraf signifikan sebagai standar
diterima atau ditolaknya sebuah hipotesis adalah 0,05. Jika
nilai signifikan kurang dari 0,05 artinya Ha diterima dan Ho
ditolak (Sugiyono, 2013).
Hasil Penelitian
Gambaran tingkat pengetahuan ibu hamil pada
kelompok kontrol dan SMS Reminder sebelum dan
setelah SMS Reminder
150
intervensi dan kelompok kontrol
Kelompok intervensi Kelompok Kontrol
Tingkat
Frekuens Persentas Frekuens Persent
Pengetahua
i e i ase
n
(f) (%) (f) (%)
Baik 2 10 1 5
B
Kurang 18 90 19 95
e
rdasarkan dari table 1 bahwa tingkat pengetahuan mengenai
tablet Fe sebelum diberikan SMS Reminder pada kelompok
intervensi didapatkan yang memiliki pengetahuan kurang
sebanyak 18 orang (90%) dan pada kelompok kontrol yang
memiliki pengetahuan kurang 19 orang (95%).
151
Tabel 3 Perbedaan pengetahuan ibu hamil sebelum dan
setelah diberikan SMS Reminder pada
kelompok intervensi
Pengetahuan
Setelah
Kura
Baik Total P value
ng
B
Pengetahu Baik 2 0 2
B an
Kuran 0,000
Sebelum 13 5 18
g
15 5 20
Berdasarkan table 3 tingkat pengetahuan tentang
konsumsi tablet Fe pada ibu hamil pada kelompok
intervensi sebelum diberikan SMS Reminder yang memiliki
pengetahuan baik 2 orang dan setelah SMS Reminder
pengetahuan menjadi baik sebanyak 15 orang. Hasil
analisis di dapatkan p value 0,000 yang berarti terdapat
perbedaan pengetahuan yang signifikan sebelum dan
setelah di berikan SMS Reminder.
152
Pengetahu Baik 1 0 1
an Kuran 0,000
Sebelum 11 8 19
g
Total 12 8 20
B
Berdasar tabel 4 bahwa perbedaan tingkat
pengetahuan tentang konsumsi tablet Fe pada ibu hamil
pada kelompok kontrol sebelum diberikan pendidikan
kesehatan dengan leaflet yang memiliki pengetahuan baik 1
orang dan setelah SMS Reminder memiliki pengetahuan
baik sebanyak 12 orang. Hasil analisis di dapatkan p value
yaitu 0,000 yang berarti terdapat perbedaan pengetahuan
yang significant sebelum dan setelah di berikan pendidikan
kesehatan dengan leaflet.
153
pertanyaan pengertian zat besi, kebutuhan Fe pada ibu
hamil, pemberian suplementasi Fe masih di bawah rata-rata
ibu hamil menjawab pertanyaan dengan benar. Berdasarkan
hasil distribusi data pada penelitian ini menunjukkan bahwa
hampir seluruh ibu hamil pada kelompok intervensi
maupun kontrol memiliki tingkat pengetahuan yang kurang
tentang tablet Fe.
Setelah di berikan SMS Reminder selama 30 hari
kepada kelompok intervensi dan memberikan pendidikan
kesehatan dengan leaflet pada kelompok kontrol kategori
tingkat pengetahuan pada kedua kelompok mengalami
peningkatan pada kedua kelompok. Pada kelompok
intervensi yang memiliki tingkat pengetahuan baik menjadi
15 orang (75%) dan pada kelompok kontrol yang tingkat
pengetahuan baik menjadi 12 orang (60%). Hal ini
menunjukkan pemberian pendidikan kesehatan dengan
menggunakan SMS Reminder atau menggunakan leaflet
dapat meningkatkan pengetahuan pada ibu hamil.
Berdasarkan jumlah skor jawaban masing-masing indicator
pada kuesioner pengetahuan bahwa ibu hamil kelompok
intervensi menjawab benar yaitu mengenai pengertian Fe,
suplementasi Fe, dan bahaya kekurangan Fe pada ibu hamil
dan janin sedangkan yang masih rendah yaitu kebutuhan Fe
pada ibu hamil dan pemberian tablet fe. Tingkat
pengetahuan pada kelompok intervensi setelah di berikan
SMS Reminder lebih banyak yang meningkat menjadi
tingkat pengetahuan baik di bandingkan kelompok kontrol.
Hal ini menunjukkan bahwa pengetahuan kelompok
154
intervensi setelah di berikan informasi melalui SMS
Reminder lebih banyak yang meningkat menjadi
berpengetahuan baik di bandingkan kelompok kontrol yang
diberikan informasi melalui leaflet saja.
Pada penelitian ini terjadi peningkatan pengetahuan
pada ke dua kelompok. Peningkatan pengetahuan seseorang
salah satunya melalui informasi atau promosi, dengan
memberikan promosi kesehatan diharapkan informasi yang
diberikan menjadi pengetahuan dan dapat meningkatkan
pengetahuan dan diharapkan pengetahuan yang baik dapat
mempengaruhi perilaku seseorang. Tujuan dari promosi
kesehatan yaitu dapat meningkatkan kognitif, afektif dan
psikomotor. Pendidikan kesehatan dengan menggunakan
SMS Reminder ataupun leaflet pada penelitian ini dapat
meningkatkan pengetahuan sehingga dapat disimpulkan
pemberian pendidikan kesehatan dengan leaflet ataupun
SMS Reminder dapat meningkatkan pengetahaun, sehingga
kedua media ini dapat di gunakan untuk meningkatkan
pengetahuan pada ibu hamil.
Simpulan
Sebelum diberikan SMS Reminder pada
kelompok intervensi tingkat pengetahuan kurang sebanyak 18
orang (90%) pada kelompok kontrol tingkat pengetahuan
kurang sebanyak 19 orang (95%). Setelah SMS Reminder pada
156
kelompok intervensi tingkat pengetahuan baik sebanyak 15
orang (75%) pada kelompok kontrol tingkat pengetahuan baik
sebanyak 12 orang (60%). Terdapat perbedaan pengetahuan
sebelum dan setelah SMS Reminder pada kelompok intervensi
dan kelompok kontrol p value 0,000. SMS Reminder dan
leatflet dapat meningkatkan pengetahuan, pada ibu hamil
sehingga tenaga kesehatan atau tempat pelayanan kesehatan
dapat menggunakan media dengan SMS Reminder dalam
meningkatkan pengetahuan,. Menjadikan SMS Reminder salah
satu media untuk promosi kesehatan di layanan kesehatan
masyarakat.
Daftar Pustaka
157
Dinas Kesehatan Kota Bandung. 2013. Rekapitulasi Data
Anemia pada Ibu Hamil tahun 2013. Bandung
158
Patient Attendance.International Dental Journal. 62:
21-26. (diakses pada tanggal 27 Februari 2014).
159
Kebutuhan Orang Tua Saat Anak
di Rawat di Ruang Intensif : Kajian Literatur
Abstrak
Pendahuluan
162
Metode
Kajian literatur ini merupakan kajian pada penelitian-
penelitian deskriptif mengenai kebutuhan orang tua saat anak
dirawat di ruang intensif. Pencarian hasil-hasil penelitian
dilakukan melalui Ebscohost, Proquest dan Cengage dengan
database tahun 2000 hingga April 2016. Kata kunci yang
digunakan dalam pencarian adalah ―parents‖, ―needs‖ dan
―pediatric intensive care unit‖ atau ―neonatal intensive care
unit‖. Kriteria inklusi pada tinjauan ini adalah artikel-artikel
yang berupa penelitian deskriptif berbahasa Inggris baik
penelitian kualitatif maupun kuantitatif.
Hasil Penelitian
Sebanyak 2.233 artikel didapatkan dari hasil pencarian,
namun yang dikaji pada kajian pustaka ini adalah 8 artikel
penelitian yang terdiri dari 2 penelitian kuantitatif 1 penelitian
mixed method, dan 5 penelitian kualitatif.
Hasil dari penelitian-penelitian tersebut mengungkapkan
beberapa tema yang menjadi kebutuhan dari orang tua. Tema-
tema tersebut antara lain :
1) Kebutuhan terkait informasi
163
Penelitian ini menyebutkan bahwa kepastian dan kebutuhan
yang berkaitan dengan informasi merupakan hal yang
paling penting, sementara kebutuhan akan dukungan
terdapat pada ranking yang kurang penting. Penelitian ini
menyimpulkan bahwa kebutuhan orang tua antara lain :
informasi kepada orang tua mengenai rencana tindakan
serta prosedur yang akan diberikan pada infant, menjawab
pertanyaan-pertanyaan orang tua dengan jujur,
mendengarkan secara aktif apa yang menjadi ketakutan
serta harapan-harapan orang tua, membantu orang tua
dalam memahami respon bayi saat hospitalisasi.
164
dan bahasa tubuh dari dokter menjadi hal yang harus
diperhatikan.
Simpulan
Mengidentifikasi kebutuhan-kebutuhan orang tua terkait
perawatan anak di ruang intensif memungkinkan integrasi dari
keperawatan individual serta memberikan pengalaman positif
dalam perawatan berpusat keluarga baik bagi pasien maupun
keluarganya. Sehingga hasil kajian literatur ini dapat menjadi
panduan bagi perawat di ruang rawat intensif dalam menyusun
perencanaan keperawatan yang berpusat pada keluarga. Hasil-
hasil penelitian ini juga dapat menjadi data dasar bagi
penelitian selanjutnya terkait kebutuhan orang tua dari anak
yang di rawat di ruang intensif.
Daftar Pustaka
Brosig, CL., Pierucci, RL., Kupst, MJ., and Leuthner, SR.
(2007). Infant End-of-Life Care : The Parents‘
Perspective. Journal of Perinatology. 27 : 510-516
167
Hall, E. OC., (2005). Danish Parents‘ Experiences When Their
Newborn or Critically Ill Small Child is Transferred to
The PICU – a Qualitative Study. British Association of
Critical Care Nurses, Nursing in Critical Care. 10(2) :
90-97
168
Sadeghi, N. Hasanpour, M., Heidarzadeh, M., Alamolhoda, A.,
and Waldman, E. Spiritual Needs of Families With
Bereavement and Loss of an Infant in the Neonatal
Intensive Care Unit: A Qualitative Study. Journal of Pain
and Symptom Management. 52(1) : 35-42
169
Hubungan Efikasi Diri terhadap Kepatuhan menjalankan
Pola Hidup Sehat pada Pasien Pasca Intervensi Koroner
Perkutan di RSUP Dr. Hasan Sadikin Bandung
Abstrak
Pendahuluan
Pembuluh darah koroner merupakan penyalur aliran
darah, membawa oksigen dan makanan yang dibutuhkan
miokard agar dapat berfungsi dengan baik. Penyakit jantung
koroner (PJK) adalah salah satu akibat utama proses
aterosklerosis. Pada keadaan ini pembuluh darah nadi
menyempit karena terjadi endapan-endapan lemak (ateroma
dan plak) pada dindingnya (Djohan, 2004). Faktor-faktor yang
berpengaruh terhadap risiko kejadian PJK adalah penyakit
diabetes mellitus (DM), dislipidemia, hipertrigliseridemia (≥
150 mg/dl), kebiasaan merokok dan riwayat penyakit DM
dalam keluarga (Supriyono, 2008).
Penyakit jantung koroner merupakan salah satu penyebab
utama kematian dan merupakan ancaman serius bagi kehidupan
seseorang. Menurut World Heart Organization (2011), angka
kematian PJK sekitar 17 juta (sekitar 30%) kematian setiap
tahunnya di seluruh dunia. Dan diperkirakan pada tahun 2020
PJK menjadi pembunuh utama dan tersering yakni sebesar
(36%) dari seluruh angka kematian.
171
Berdasarkan akibat yang dapat ditimbulkan dari penyakit
PJK tersebut, beberapa upaya dapat dilakukan, baik dari
pemerintah, medis maupun individu itu sendiri. Upaya berasal
dari pemerintah yaitu pemberian bantuan alat kesehatan untuk
pelayanan intervensi non-bedah. Sesuai dengan Keputusan
Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor
984/MENKES/SK/X/2007 pemberian alat kesehatan tersebut
berupa ballon dan stent untuk masyarakat miskin melalui
beberapa rumah sakit di seluruh Indonesia (Kemenkes, 2009).
Upaya selanjutnya dari sisi medis, pasien dapat menjalani
intervensi untuk mengatasi permasalahan PJK yaitu dengan
intervensi koroner perkutan (IKP) atau operasi bedah pintas
koroner. Intervensi koroner perkutan adalah usaha untuk
memperbaiki aliran darah arteri koroner dengan memecah plak
atau ateroma yang telah tertimbun dan mengganggu aliran
darah ke jantung. Dalam penelitian Patel et al. (2010) di New
York pada 2400 pasien IKP, menemukan hasil setelah
dilakukan IKP menunjukan penurunan kejadian infark,
vaskularisasi membaik, kekambuhan penyakit berkurang dan
komplikasi perdarahan berkurang.
Sedangkan upaya yang dapat dilakukan dari individu itu
sendiri adalah patuh menjalankan pola hidup sehat. Pola hidup
adalah nilai dan perilaku yang diambil seseorang dalam
kehidupan sehari-hari (Engelbrecht, Nel & Jacobs, 2008). Pola
hidup yang sehat akan meningkatkan kualitas hidup pasien.
Pasien pasca IKP akan selalu dianjurkan untuk menerapkan
pola hidup sehat untuk menurunkan faktor risiko PJK. Pola
hidup sehat ini meliputi : berhenti merokok, diet rendah lemak,
172
menurunkan kadar kolesterol darah, latihan secara teratur,
kontrol tekanan darah bagi penderita hipertensi, dan kontrol
glukosa darah bagi penderita diabetes, mengurangi berat badan,
patuh terhadap pengobatan dan manajemen stress (Ignatavisius
& Workman, 2006; European Society of Cardiology, 2008;
Smeltzer & Bare, 2008; Black & Hawks, 2009).
Perilaku hidup sehat tersebut sangat dipengaruhi oleh
kepatuhan. Kepatuhan pasien untuk menjalankan pola hidup
sehat adalah penting untuk kesuksesan intervensi. Akan tetapi,
ketidakpatuhan menjadi masalah yang besar terutama pada
pasien pasca IKP terkait dengan menjalankan pola hidup
sehatnya. Pasien yang tidak mau dan tidak mampu menerapkan
kepatuhan menjalankan pola hidup sehat akan mempunyai
dampak yang sangat merugikan yaitu meningkatnya morbiditas
dan mortalitas. Meningkatnya morbiditas akan meningkatkan
biaya perawatan yang harus di tanggung pasien, yang tentunya
akan berdampak pula pada keluarga, masyarakat dan beban
negara juga akan meningkat (Widyastuti, 2011).
Banyak faktor yang dapat mempengaruhi seseorang dapat
patuh menjalankan pola hidup sehat, faktor-faktor yang paling
erat hubungan dengan kepatuhan salah satu diantaranya adalah
efikasi diri. Menurut Bandura (dalam Tomey & Alligood 2006)
efikasi diri adalah keyakinan sejauhmana individu
memperkirakan kemampuan dirinya dalam melaksanakan tugas
atau melakukan suatu tugas yang diperlukan untuk mendukung
perilaku kesehatan. Keyakinan akan seluruh kemampuan ini
meliputi kepercayaan diri, kemampuan menyesuaikan diri,
kapasitas kognitif, kecerdasan dan kapasitas bertindak pada
173
situasi yang penuh tekanan. Faktor efikasi diri didukung oleh
Penelitian Sarkar, Alli & Whooley (2007) di Amerika pada
1024 responden menyimpulkan bahwa efikasi diri yang rendah
berhubungan dengan penurunan status kesehatan, keparahan
penyakit jantung koroner dan gejala depresi.
Rumah Sakit Umum Pusat Dr. Hasan Sadikin Bandung
adalah rumah sakit rujukan Jawa Barat yang memiliki sumber
daya, sarana dan prasarana yang memadai dan terus menerus
dikembangkan sebagai rumah sakit pendidikan. Rumah sakit ini
memiliki berbagai instalasi salah satunya adalah Instalasi
Pelayanan Jantung. Berdasarkan data dari RSHS, jumlah pasien
dewasa yang menjalani tindakan di Ruang Angiografi Rumah
Sakit Hasan Sadikin Bandung kurang lebih 679 pasien pada
tahun 2012 dan sebanyak 386 pasien diantaranya adalah
tindakan IKP. Tindakan IKP cukup tinggi yakni lebih dari 50%
diantara tindakan-tindakan lainnya seperti tindakan angiografi
koroner 20%, TPM/PPM 15%, perikardiosentesis 10%, dll 5%.
Berdasarkan data diatas, pasien pasca IKP harus menjaga
pola hidup sehat, pasien yang tidak mau dan tidak mampu
menerapkan pola hidup sehat akan mempunyai dampak yang
sangat merugikan yaitu meningkatnya morbiditas dan
mortalitas. Pasien pasca IKP yang tidak dapat menjalankan
pola hidup sehat akan menimbulkan kembali sumbatan koroner
dan akan mengakibatkan aliran darah akan terhenti kecuali
aliran darah dari pembuluh darah kolateral yang sangat kecil.
Daerah otot jantung yang tidak mendapatkan aliran darah akan
mengalami infark serta akan mempengaruhi luasnya kerusakan
miokardium, hal ini berdampak pada proses penyembuhan dan
174
jika tidak ditangani dapat menyebabkan kematian (Guyton,
1996).
Untuk mengatasi hal tersebut diperlukan tenaga
kesehatan yang dapat membantu pasien dalam menerapkan
pola hidup sehat. Tenaga kesehatan disini adalah perawat,
karena perawat merupakan seseorang yang terdepan dan
pemberi pelayanan kesehatan yang paling sering kontak dengan
pasien, diharapkan mampu memahami permasalahan secara
holistik dan berperan penting dalam meningkatkan derajat
kesehatan. Perawat bersama pasien dapat menggali berbagai
faktor pendukung dan penghambat, mengenali harapan dan
keinginan pasien selama perawatan, serta mampu memotivasi
pasien untuk meningkatkan adaptasi (Hudak & Gallo, 2010).
Dalam memberikan intervensi kesehatan, banyak faktor
yang dapat mempengaruhi outcomes dari intervensi tersebut
mengingat pasien adalah individu yang unik dan memiliki
perasaan dan pemikiran yang berbeda-beda. Faktor-faktor
pendukung yang bersifat positif perlu ditingkatkan. Sedangkan
faktor yang berefek negatif pada pasien perlu diminimalkan
(Wisyastuti, 2011).
Berdasarkan latar belakang masalah yang diuraikan diatas,
maka dapat dirumuskan masalah penelitian sebagai berikut :
―Apakah terdapat hubungan antara efikasi diri dengan
kepatuhan menjalankan pola hidup sehat pada pasien pasca
intervensi koroner perkutan (IKP) di Instalasi Pelayanan
Jantung RSUP Dr. Hasan Sadikin Bandung―
Penelitian ini bertujuan untuk menguji hubungan efikasi diri
dengan kepatuhan menjalankan pola hidup sehat pada pasien
175
pasca Intervensi koroner perkutan (IKP) di Instalasi Pelayanan
Jantung RSUP Dr. Hasan Sadikin Bandung.
- Tujuan Khusus
1) Mengidentifikasi kepatuhan menjalankan pola hidup
sehat pasien pasca IKP
2) Mengidentifikasi efikasi diri pada pasien pasca IKP
terkait dengan pola hidup sehat.
3) Menguji hubungan antara efikasi diri terhadap
kepatuhan menjalankan pola hidup sehat pada pasien
pasca IKP.
Metode
Jenis penelitian
Penelitian ini adalah menggunakan metode kuantitatif.
Variabel dan sub variabel Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah mengidentifikasi hubungan
efikasi diri dengan kepatuhan menjalankan pola hidup
sehat. Variabel dalam penelitian ini adalah sebagai
berikut :
1. Variabel bebas (Independen) dalam penelitian ini
adalah Efikasi Diri pasien pasca intervensi koroner
perkutan (IKP).
2. Variabel terikat (Dependen) pada penelitian ini
adalah kepatuhan menjalankan pola hidup sehat pada
pasien pasca Intervensi koroner perkutan (IKP)
Populasi dan sampel
Populasi dalam penelitian ini diambil dari seluruh
pasien setelah tindakan intervensi koroner perkutan yang
176
sedang berobat di Instalasi Pelayanan Jantung RSUP Dr.
Hasan Sadikin Bandung. Pengambilan sampel
menggunakan teknik purposive sampling, yaitu
pengambilan sampel berdasarkan pada suatu
pertimbangan tertentu yang dibuat peneliti, berdasarkan
ciri atau sifat-sifat populasi yang sudah diketahui
sebelumnya. Adapun kriteria sampel yang diambil dalam
penelitian ini, meliputi;
Kriteria inklusi :
1. Pasien pasca IKP ≥ 3 bulan
2. Pasien dalam kondisi hemodinamik stabil, tidak
sedang nyeri dada.
3. Pasien dapat berkomunikasi dengan baik
4. Pasien dewasa berusia 18-80 tahun baik pria maupun
wanita.
Besar sampel yang digunakan dalam penelitian ini
menggunakan rumus koefisien korelasi 0,4, maka
didapatkan sampel penelitian sebanyak 48 orang pasien
pasca IKP yang sedang berobat di Instalasi Pelayanan
Jantung RSUP Dr. Hasan Sadikin Bandung.
Analisa Data
Penelitian ini dilakukan dengan tahapan analisis
univariat dan bivariat Selanjutnya analisis secara bertahap,
dapat dilihat sebagai berikut :
1. Analisis Univariat
Pada tahapan ini menyajikan kepatuhan pasien pasca IKP
dalam menjalankan pola hidup sehat dan Efikasi Diri
177
menjalankan pola hidup sehat. Dalam penyajiannya analisis
univariat akan ditampilkan dalam distribusi frekwensi.
2. Analisis Bivariat
Analisis bivariat dilakukan untuk mengetahui hubungan
antara dua variabel (variabel bebas dan terikat). Data variabel
bebas yaitu Efikasi Diri dengan variabel terikat yaitu
kepatuhan menjalankan pola hidup sehat pasien pasca IKP.
Karena skala pengukuran variabel independen dan variabel
dependen dalam penelitian ini merupakan kategorik Efikasi
Diri dengan kepatuhan menjalankan pola hidup sehat pasien
pasca IKP maka untuk membuktikan adanya hubungan dan
menguji hipotesa digunakan uji Chi Square.
Hasil Penelitian
Kepatuhan Menjalankan Pola Hidup Sehat pada
Pasien Pasca IKP
Untuk mengetahui kepatuhan menjalankan pola hidup
sehat pada pasien pasca IKP di ruang Instalasi Pelayanan
Jantung RSUP Dr. Hasan Sadikin Bandung dilakukan dengan
cara memberikan jawaban pada kuesioner yang telah diberikan
kepada responden, yang hasilnya ditampilkan pada tabel di
bawah ini.
179
4.1.2. Analisis Bivariat
Analisis bivariat terhadap efikasi diri serta hubungannya
dengan kepatuhan menjalankan pola hidup sehat sebagai
variabel dependen dapat di lihat pada tabel berikut ini.
Kepatuhan
menjalankan
pola hidup sehat Total p-
Pengetahuan X2 OR
Tidak value
patuh Patuh
F % f % f %
Kurang 18 75 6 25 24 50
Baik 6 25 18 75 24 50 12.000 12.558 0.001
Jumlah 24 50 24 50 48 100
180
efikasi diri baik dengan pasien yang memiliki efikasi diri
kurang baik.
Pembahasan
Kepatuhan Menjalankan Pola Hidup Sehat Pada Pasien
Pasca IKP
Kepatuhan adalah istilah yang dipakai untuk
menjelaskan ketaatan atau pasrah pada tujuan yang telah
ditentukan. Komitmen atau keterikatan pada suatu program
disebut sebagai kesetiaan (Adherence). Baik kepatuhan maupun
kesetiaan mengacu pada kemampuan untuk mempertahankan
program-program yang berkaitan dengan promosi kesehatan.
Konsep mengenai kepatuhan berbanding lurus dengan tujuan
yang dicapai pada program yang telah ditentukan. Kepatuhan
pada program kesehatan merupakan perilaku yang dapat
diobservasi dan dapat langsung diukur (Bastable, 2002).
Kepatuhan merupakan hasil akhir dari sebuah hubungan
yang dibentuk berdasarkan saling menghargai, berpartisipasi
aktif dan kerja sama antara pasien dan petugas kesehatan, tanpa
ada paksaan atau manipulasi dari satu sama lainnya. Kepatuhan
seseorang memainkan peranan yang sangat penting di dalam
pencegahan penyakit (Falvo, 2004) .
Kepatuhan pasien terhadap rekomendasi dan perawatan
dari petugas kesehatan adalah penting untuk kesuksesan
intervensi. Akan tetapi, ketidakpatuhan menjadi masalah yang
besar terutama pada pasien pasca IKP terkait dengan
menjalankan pola hidup sehatnya. Tindakan intervensi koroner
perkutan akan tetap mempunyai risiko mengalami
181
kekambuhan, karena adanya faktor risiko PJK yang dimiliki
sebelumnya. Faktor risiko yang dapat mencetuskan terjadinya
PJK secara garis besar dibagi menjadi dua yaitu; (1) faktor
yang tidak dapat dimodifikasi, meliputi; riwayat keluarga
dengan PJK, jenis kelamin dan usia, (2) Faktor risiko yang
dapat dimodifikasi, meliputi; merokok, hipertensi, inaktivitas
fisik, obesitas dan stres (Smeltzer & Bare, 2008; Black &
Hawks, 2009).
183
Daftar Pustaka
Abbate, A., L. Giuseppe., Zoccai, B., Agostoni, P, J. Michael.,
Lipinski et al (2007). Recurrent angina after coronary
revascularization: a clinical challenge. European Heart
Journal (28): 1057–1065
Aldana, S.G., Whitmer, W.R., Greenlaw, R., Avins, A.L.,
Thomas, D., Salberg, A., et al (2006). Effect of intense
lifestyle modification and cardiac rehabilitation on
psychosocial cardiovascular disease risk factors and quality
of life. Behavior Modification (30): 507-525.
Byrne, M., Waksh, J., Murphy, A.W. (2005). Secondary
prevention of coronary heart disease: Patient beliefs and
health-related behaviour. Journal of Psychosomatic
Research (58): 403-415
Citrakesumasari., Syam, A & Yatim, Y. (2009). Pola makan
pasien penyakit jantung koroner di RSUP Wahidin
Sudirohusodo dan RSD. Labuang Baji Makassar. The
Indonesian Journal of Medical Science 1(8): 435-441
Cobb, S.L., Brown, D.J & Davis. L.L. (2006). Effective
interventions for lifestyle change after myocardial
infarction or coronary artery revascularization. Journal of
the American Academy of Nurse Practitioners (18): 31-39.
Daly, J., Sindone, A.P & Thompson. (2002). Barrier to
participation in and adherence to cardiac rehabilitation
programs : A. Critical literature review. Program
Cardiovascular Nursing (1) 8-17.
Dehdari, T., Heidarnia, A., Ramezankhani, A., Sadenghian, S
& Ghofranipour, F. (2008). Anxiety, self efficacy
184
expectation and social support in patient after coronary
angioplasty and coronary bypass. Iranian Journal
Publication Health (37): 119-125.
Glanz, K., Rimer, B.K & Viswanath, K. (2008). Health
behavior and health education theory, research, and
practice 4th edition. Published by Jossey-Bass, San
Francisco.
Joseph, V., Mark, C., Walker, S.P., James, O., C. Keith, H., et
al. (2004). Testing the performance of the ENRICHD
social support instrument in cardiac patients. Health and
Quality of Life Outcomes 2004 2:24
Kementrian Kesehatan RI Direktorat Jendral pemberantasan
penyakit & Pengendalian Lingkungan direktorat
pengendalian penyakit tidak menular. (2011). Pedoman
pengendalian faktor risiko penyakit jantung dan pembuluh
darah (1): 7-9
Sarkar, Alli & Whooley. (2007). Self efficacy and health status
in patient with coronary heart disease: findings from heart
and soul study. Psychosomatic Medicine (69): 306-312.
Sullivan, M., Lacroix, A.,Russo, J & Katon, W. (1998). Self-
efficacy and self-reported functional status in coronary
heart disease: A six-month prospective study.
Psychosomatic Medicine (60): 473-478.
185
Terapi Musik Terhadap Penurunan Tingkat Kecemasan
Pasien Hemodialisis: Literature Review
Abstrak
186
Terapi musik adalah terapi komplementer yang dapat
diberikan pada pasien hemodialisis yang relatif murah dan tidak
ada efek samping bagi pasien. Terapi musik tradisional telah
terbukti efektifitasnya dapat menurunkan kecemasan pada
pasien yang memiliki diagnosa yang berbeda dan pada
tingkatan usia yang berbeda juga. Tidak adanya batasan-
batasan bagi pengguna pada terapi musik, sehingga dapat
diterapkan pada semua pasien.
Pendahuluan
187
Tindakan hemodialisis merupakan faktor pencetus
terjadinya stressor yang berpengaruh terhadap masalah
psikologis pasien, dan yang paling sering muncul seperti stress,
depresi, dan kecemasan. Kecemasan yang dialami oleh pasien
hemodialisis terjadi pada awal hemodialisis sampai enam bulan
menjalani hemodialisis. Kecemasan pasien hemodialisis
disebabkan oleh beberapa faktor stressor (Cukor et al., 2008;
Finnegan, Jennifer & Veronica, 2013; Brunner and Suddarth,
2007)
Penatalaksanaan untuk pasien hemodialisis yang
mengalami kecemasan dapat dilakukan secara farmakologi dan
non farmakologis. Terapi yang diberikan pada pasien
hemodialisis yang mengalami kecemasan dengan pemberian
obat seperti sedative atau anti cemas, mempunyai pengaruh
atau efek samping terhadap pasien yang dapat menimbulkan
ketidaknyamanan dan masalah baru dari pasien. Dan yang di
kuatirkan jika pasien lupa untuk mengkonsumsi obat dapat
menimbulkan gejala kekambuhan pada pasien. Salah satu terapi
yang bisa bersifat komplemen, atau alternatif yang dapat
diberikan pada pasien hemodialisis yang mengalami kecemasan
adalah terapi musik (Kessler, Soukup, Davis, & Foster, 2001).
Terapi musik memiliki beberapa keunggulan
dibandingkan dengan terapi lainnya diantaranya lebih bersifat
ekonomis, bersifat naluriah yaitu musik dapat beresonansi
secara naluriah sehingga dapat langsung masuk ke otak tanpa
melalui jalur kognitif. Musik tidak membutuhkan kemampuan
intelektual untuk menginterpretasikan. Dengan tidak adanya
batasan batasan bagi pengguna terapi musik sehingga dapat
188
diterapkan pada semua pasien tanpa memperhatikan latar
belakang pendidikan dan budayanya. Namun pada pelaksanaan
terapi musik ini ada beberapa hal yang harus diperhatikan,
maka dibutuhkan review lebih lanjut pada literatur terkait terapi
musik terhadap pasien hemodialisis.
Studi literature ini bertujuan untuk memberikan
gambaran mengenai berbagai hasil penelitian tentang terapi
musik, kemudian mengevaluasi publikasi ilmiah sehingga dapat
dijadikan bukti/evidence base pactice untuk menentukan
tindakna terbaik bagi pasien.
Metode
Hasil-hasil penelitian yang ditelaah berasal dari pencarian
media elektronik melalui data base CINAHL dari EBSCOhost,
Proquest, dan Google Scholar. Kata kunci yang digunakan
meliputi Music Therapy, Anxiety, hemodialysis, Music Therapy
and Hemodialysis Music Therapy, Anxiety, hemodialysis,
Music Therapy and Hemodialysis dengan rentang tahun terbit
dari 2005-2015. Jumlah literatur yang diperoleh sebanyak 36.
Metode analisa yang digunakan dalm studi literature ini adalah
analisis isi (Content Analisis) untuk mengidentifikasi dan
membedakan tema-tema dari penelitian/jurnal yang telah
diperoleh sehingga dapat memberikan wawasan yang berguna
untuk membuka jalan penelitian selanjutnya mengenai terapi
musik.
189
Hasil Penelitian
Hasil studi literature yang akan diuraikan meliputi terapi musik,
kecemasan pasien hemodialisis, pentingnya hemodialisis untuk
pasien GGK, dampak kecemasan pasien hemodialisis, efek
terapi musik untuk menurunkan kecemasan pasien
hemodialisis.
Terapi Musik
Terapi musik merupakan terapi komplementer yang
mengandung unsur-unsur musik yaitu nada, irama, dan
intensitas yang disusun untuk dapat menimbulkan efek
relaksasi. Terapi musik dapat mengatasi berbagai macam
stressor yang dihadapi oleh pasien, pasien mampu
mengendalikan atau beradaptasi terhadap stressor yang
memiliki kekuatan luar biasa yang berdampak terhadap
kejiwaan pasien. Musik dapat membantu seseorang menjadi
lebih rileks, mengurangi cemas, menimbulkan rasa aman dan
sejahtera, melepaskan rasa sedih, membuat jadi gembira,
membantu dan melepaskan rasa sakit bagi pasien yang
menjalani terapi seperti kemoterapi, hemodialisis, pasien pre
operasi dan post operasi (Kessler, Soukup, Davis, & Foster,
2001; Martinez, 2009; ).
193
Efek Terapi Musik untuk Menurunkan Kecemasan Pasien
Hemodialisis
Terapi musik merupakan salah satu bentuk
intervensi keperawatan yang dapat dilakukan oleh perawat
sebagai stimulasi kepada pasien hemodialisis yang mempunyai
dampak terhadap pemulihan dan penyembuhan bagi kejiwaan
pasien (Cantekin & Tan, 2013; Kim, Feroze et al., 2012).
Menurut Kemper & Danhauer, 2005; Suhartini,
(2008) terapi musik dapat memberikan dampak terhadap
peningkatan kesehatan, mengurangi stress, mengurangi nyeri,
dapat meningkatkan memori, meningkatkan kemampuan
komunikasi, dan mempercepat rehabilitasi fisik. Selain itu,
terapi musik juga dapat menurunkan kecemasan dan
meningkatkan perasaan positif bagi pasien medikal dan bedah.
Terapi musik berpengaruh terhadap mekanisme kerja sistem
saraf otonom dan hormonal, yang secara tidak langsung dapat
berpengaruh tehadap kecemasan dan nyeri. Pasien yang diterapi
dengan menggunakan musik akan merasa lebih rileks dan
tenang serta efek relaksasi yang diperoleh melalui terapi musik
berpengaruh terhadap stabilitas dan penurunan tekanan darah,
nadi dan pernafasan.
Terapi musik mempunyai manfaat diantaranya
mampu menutupi bunyi dan perasaan tidak tenang, mampu
memperlambat dan menyeimbangkan gelombang dalam otak,
mempengaruhi pernafasan, mempengaruhi denyut jantung,
nadi, dan tekanan darah manusia, dapat mengurangi ketegangan
otot, memperbaiki gerak dan koordinasi tubuh, dapat
mempengaruhi suhu tubuh manusia, meningkatkan endorfin,
194
dan mengatur hormon (hubungannya dengan stres), dapat
menimbulkan rasa aman dan sejahtera, serta dapat mengurangi
rasa sakit. Bagi yang belum terbiasa mendengarkan musik,
sebaiknya dimulai dengan belajar menikmati musik yang
disukai yang berirama lembut karena tidak semua orang dapat
menerima untuk mendengarkan musik, apalagi bagi pasien
gagal ginjal kronis yang sedang menjalani terapi hemodialisis
dan sedang mengalami kecemasan akan merasa terganggu jika
harus mendengarkan musik yang tidak disukai (Martinez, 2009;
Heidari Gorji, Davanloo & Heidarigorji, 2014).).
196
Menurut para pakar terapi musik, tubuh manusia
memiliki pola getar dasar, kemudian vibrasi musik yang terkait
erat dengan frekuensi dasar tubuh atau pola getar dasar
memiliki efek penyembuhan yang sangat hebat pada seluruh
tubuh, pikiran, dan jiwa manusia, yang menimbulkan
perubahan emosi, organ, hormone, enzim, sel-sel dan atom (
Kozier, Berman & Synder, 2010)
197
kenangan yang mendalam bagi pasien yang mengakibatkan
terjadinya perubahan mood pada pasien (Chan, et al., 2011).
Beberapa penelitian menunjukkan efektivitas
musik tradisional terhadap penurunan tingkat kecemasan pasien
hemodialisis diantaranya penelitian Varghese & Joshi, (2015)
dengan judu Kalawati Raag di India yang menujukkan bahwa
terapi musik tradisional sangat efektif menurunkan tekanan
darah dan kecemasan pasien hemodialisis. Selain itu, penelitian
Busakorn & Somrat, (2013) menunjukkan bahwa secara
signifikan dapat meningkatkan tekanan darah dan nadi, dan
hasil statistik secara signifikan dapat mengurangi kecemasan
dan nyeri pasien hemodialisis.
Selain itu menurut penelitian Supriadi, Hutabarat &
Monica (2015) bahwa terapi musik tradisional juga efektif
dapat menurunkan tekanan darah. Hal yang sama menurut
penelitian Lengga, (2015) menujukkan bahwa musik klasik,
musik tradisional dan murotal sangat efektif dalam menurunkan
tekanan darah pada pasein hipertensi primer.
Untuk menghasilkan dampak terapi musik terhadap
pasien, maka harus diperhatikan unsur-unsur musik, agar dapat
memberikan efek yang terapeutik terhadap psikologis pasien.
Ada lima unsur penting yaitu pitch (frekuensi), volume
(intensity), timbre (warna nada), interval, dan rhtym (tempo
atau durasi). Misalnya pitch yang tinggi, dengan rhythm cepat
dan volume yang keras akan meingkatkan ketegangan otot atau
menimbulkan perasaan tidak nyaman. Sebaliknya, pada pitch
yang rendah dengan rhtyhm yang lambat dan volume yang
rendah akan menimbulkan efek rileks dan menurunkan
198
kecemasan pada pasien hemodialisis (Nillson, 2008; Andrzej,
2009; Heather, 2010; Chiang, 2012)
Ketika seseorang merasa cemas maka sistem tubuh
akan bekerja dengan meningkatkan kerja saraf simpatis sebagai
respon terhadap stress. Sistem saraf simpatis bekerja melalui
aktivasi medulla adrenal untuk meningkatkan pengeluaran
epinephrine, norepinephrine, kortisol serta menurunkan nitric
oxide. Keadaan tersebut akan menyebabkan perubahan respon
tubuh seperti peningkatan denyut jantung, pernafasan, tekanan
darah, aliran darah ke berbagai organ meningkat serta
peningkatan metabolisme tubuh. Untuk menghambat kerja
saraf simpatis dapat dilakukan dengan meningkatkan aktivasi
kerja saraf parasimpatis untuk menimbulkan relaksasi (Kessler
et al., 2001; Chan et al., 2011)
Simpulan
Berbagai penelitian yang terkait dengan terapi musik yang
bertujuan untuk mengurangi tingat kecemasan pasien
hemodialisis telah banyak dilakukan, dimana hasil penelitian-
penelitian tersebut menyimpulkan bahwa terapi musik sangat
efektif menurunkan kecemasan. Salah satu jenis musik yang
sangat efektif menurunkan kecemasan pasien hemodialisis
adalah musik tradisional kecapi suling yang berasal dari
Kebudayaan Sunda Jawa Barat, meskipun masih banyak jenis
musik yang dapat diterapkan pada pasien hemodialisis.
199
Daftar Pustaka
202
Kaplan, B., & Sadock, V. (2005). Kaplan and Sadock’s
synopsis of psychiatry: Behavioral Sciences/Clinical
Psychiatry. (9th ed.). Philadelphia: Lippincott Williams
& Wilkins.
Kim KB, Lee MH and Sok SR. (2012). The effect of music
therapy in anxiety and depression in patients
undergoing haemodialysis, Taehan Kanho Hokhoe Chi,
36(2), 321-9 Available from;
http://stti.confex.com/stti/inrc15/techprogramme/pa
per_1 8/23.htm
203
Muslim, E.J. (2009). Pengaruh Terapi Musik Terhadap
Penurunan Tekanan Darah Pada Lansia di PSTW Budi
Pertiwi Kota Bandung. Cimahi: Stikes Jendral A.Yani.
204
Romani, N.K., Hendarsih, S., & Asmarani, F.L (2015).
Hubungan mekanisme koping individu dengan tingkat
kecemasan pada pasien gagal ginjal kronis di unit
hemodialisa RSUP dr. Soeradji tirtonegoro klaten.
(2012). Retrieved 18 June, from
http://journal.respati.ac.id/index.php/medika/article/
viewFile/60/56
Son, Y.J., Choi, K.S., Park, Y.R., Bae, J.S. & Lee, J.B. (2009).
Depression, symptoms and the quality of life in patients
on hemodialysis for end-stage renal disease. Am J
Nephrol, 29, 36-42
205
WHO (2015). Retrieved January 2, 2015, from Pravelensi
chronic kidney disease:
http://who.int//bulletin/volumes/86/3/0 7-041715/en
206
Pengaruh Relaksasi Otot Progresif
Terhadap Tingkat Kecemasan Pasien Gagal Jantung
Kongestif Kelas Fungsional I Dan Ii Di Ruang Rawat Inap
Penyakit Dalam RSU dr. SLAMET GARUT
Abstrak
Pendahuluan
208
penyakit gagal jantung terbanyak terdapat di Provinsi Jawa
Barat sebanyak 96.487 orang (0,3%).
Pada tahun 2014 angka kesakitan GJK di Kabupaten
Garut berjumlah 1.460 pasien sedangkan jumlah pasien rawat
inap GJK periode Januari 2015 sampai dengan Februari 2016
berjumlah 1.680. Hal ini menunjukan bahwa prevalensi GJK
di kabupaten garut mengalami peningkatan sebanyak 220
kasus sejak tahun 2014.
Manifestasi klinis yang muncul pada pasien dengan
GJK adalah dyspnea, takikardi, kelelahan, intoleransi aktifitas,
retensi cairan, penurunan kadar oksigen darah arteri, edema
paru, edema perifer, ketidaknyamanan, dan gangguan pola
tidur (Yancy et al., 2013). Tidak hanya permasalahan fisik,
permasalahan psikologis juga muncul pada pasien GJK. Faktor
predisposisi seperti pasien takut akan kondisi fisiknya yang
lemah, khawatir bila penyakitnya tidak bisa sembuh karena
jantung adalah organ yang penting dan ketika jantung mulai
rusak maka kesehatan juga terancam, menjalani terapi
pengobatan yang lama dan sering keluar masuk rumah sakit,
prognosis penyakit dan manifestasi yang memburuk,
bagaimana cara pengobatan yang akan ditempuh selanjutnya,
berapa besar biaya yang akan dihabiskan, berapa lama waktu
penyembuhan penyakitnya, sampai memikirkan tentang
kematiannya sehingga pasien terlihat gelisah, sulit istirahat
dan tidak bergairah saat makan (Fitriyani, 2015). Faktor
predisposisi tersebut dapat menyebabkan masalah psikologis
diantaranya gangguan psikososial seperti stress, kecemasan,
dan ketidakberdayaan (powerlessness), selain itu ketakutan
209
dan depresi juga bisa dialami pasien GJK (Polikandrioti et al,
2015).
Kecemasan adalah suatu keadaan patologis yang
ditandai oleh perasaan ketakutan disertai tanda somatik
pertanda sistem saraf otonom yang hiperaktif (Kaplan,
Saddock, & Grebb 2010). Berbagai permasalahan yang
muncul akibat kecemasan yang dialamai pasien GJK dapat
menimbulkan penurunan kualitas hidup dari pasien itu sendiri,
hal ini sejalan dengan hasil penelitian Schweitzer, et al (2007)
yang menyatakan bahwa kecemasan adalah salah satu faktor
penyebab ketidakpatuhan pasien GJK untuk menjalani
pengobatan dan mempengaruhi kualitas hidup pasien GJK.
Tindakan mandiri yang dapat dilakukan oleh perawat
untuk mengatasi kecemasan adalah terapi individu seperti
terapi kognitif, terapi perilaku, thought stopping, CBT
(Cognitive Behaviour Therapy), logotherapy, SEFT (Spiritual
Emotional Freedom Technique), dan tehnik relaksasi
(Hofmann, 2008). Relaksasi merupakan salah satu bentuk
mind body therapy dalam Coplementary and Alternatif
Therapy (Black & Hawks, 2009). Relaksasi otot progresif
merupakan salah satu tehnik relaksasi yang paling mudah dan
sederhana yang sudah digunakan secara luas. Menurut
Richmond (2004) relaksasi otot progresif merupakan suatu
prosedur untuk mendapatkan relaksasi pada otot dengan tehnik
mengencangkan dan merelaksasikan otot.
Mekanisme fisiologi relaksasi otot progresif dalam
mengatasi kecemasan adalah hasil kontraksi dari serat otot
rangka yang mengarah kepada sensasi dari tegangan otot yang
210
merupakan hasil dari interaksi yang kompleks dari sistem saraf
pusat dan sistem saraf tetapi dengan otot dan sistem otot
rangka Conrad dan Roth (2007). Gerakan relaksasi otot
progrsif dengan cara menegangkan dan merelaksasikan
beberapa kumpulan otot akan merangsang sistem limbik di
hipotalamus untuk mengeluarkan Cortcotropin Realising
Factor (CRF) yang akan merangsang hipofisis untuk
meningkatkan produksi endorphine dan Pro Opioid Melano
Cortin (POMC) yang akan meningkatkan produksi enkephalin
oleh medula adrenal sehingga akan mempengaruhi suasana
hati dan memberikan perasaan rileks (Black & Hawks, (2009).
Sehingga dengan adanya perasaan rileks maka kecemasan
akan berkurang sehingga bisa mempercepat proses
penyembuhan dan meningkatkan kualitas hidup pasien gagal
jantung kongestif.
Penelitian mengenai pengaruh pemberian relaksasi otot
progresif pada pasien GJK belum pernah dilakukan, relaksasi
otot progresif terbukti bisa mengatasi kecemasan pada pasien
kanker payudara yang sedang menjalani kemoterapi dan
pasien yang menjalani hemodialisa, namun dalam penelitian
lainnya ternyata relaksasi otot progresif tidak efektif mengatasi
kecemasan di bandingkan terapi musik dan qigong pada pasien
dengan penyakit jantung. Masalah kecemasan pada pasien
GJK bila tidak ditangani secara tepat dan efektif dapat menjadi
faktor penyebab kejadian ulang rawat inap, penurunan quality
of life, menimbulkan masalah psikologis yang lebih berat
seperti depresi, kecanduan dari efek samping pemberian obat
anti cemas yang akhirnya bisa meningkatkan morbiditas dari
211
penyakit GJK. Perawat mempunyai peran dalam memberikan
pelayanan keperawatan pada pasien dewasa dengan
memperhatikan aspek bio-psiko-sosio-spiritual sehingga
diharapkan pelayanan yang diberikan tidak hanya melihat
permasalahan fisik saja namun juga harus mempertimbangkan
permasalahan lain seperti aspek psikologis yang dimiliki
pasien seperti stres dan kecemasan. Tujuan penelitian ini
adalah untuk mengetahui pengaruh relaksasi otot progresif
terhadap tingkat kecemasan pasien Gagal Jantung Kongestif
kelas fungsional I dan II di ruang rawat inap RSU dr. Slamet
Garut.
Metode
Hasil Penelitian
Berdasarkan karakteristik umur dari 23 pasien sebagian
berada pada rentang lanjut usia (56-65 tahun) yaitu sebanyak 8
orang (34,8%). Berdasarkan karakteristik jenis kelamin dari 23
pasien sebagian besar pasien berjenis kelamin perempuan yaitu
sebanyak 17 orang (73,9%). Berdasarkan lama menderita GJK
dari 23 pasien sebagian besar pasien yaitu sebanyak 15 orang
(65,2%) telah menderita GJK lebih dari 6 bulan.
213
Gambaran Tingkat Kecemasan Responden Sebelum
Intervensi Relaksasi Otot Progresif
Untuk melihat gambaran tingkat kecemasan sebelum
dilakukan intervensi relaksasi otot progresif, berikut disajikan
data dalam diagram dibawah ini :
Tabel 1. Gambaran Tingkat Kecemasan Sebelum dilakukan
Intervensi Relaksasi Otot Progresif
Tingkat Kecemasan n %
Ringan 2 8,7
Sedang 11 47,8
Berat 10 43,5
Total 23 100
Tingkat Kecemasan n %
Ringan 12 52,2
Sedang 9 39,1
Berat 2 8,7
214
Total 23 100
Dilihat dari table diatas setelah dilakukan relaksasi otot
progresif sebagian besar pasien mengalami kecemasan ringan
yaitu sebanyak 12 orang (52,2%).
216
panelitian He et al di Amerika (2001) laki-laki mamiliki resiko
relatif sebesar 1,24 kali (p=0,001) dibandingkan dengan
perempuan untuk terjadinya gagal jantung. Faktor hormonal
juga mempengaruhi tingkat stress pada perempuan karena
perempuan cenderung mempunyai hormon yang tidak stabil
daripada laki-laki sehingga perempuan mempunyai sifat lebih
emosional dibandingkan laki-laki (Mc Sweeney, Pettey, Lefler
& Heo, 2012).
Pada penelitian ini semua pasien mengalami kecemasan
baik yang menderita GJK di bawah 6 bulan dengan jumlah 8
orang (34,8%) maupun yang menderita GJK lebih dari 6 bulan
dengan jumlah 15 orang (65,2%) dan jumlah pasien yang
cemas karena sudah menderita GKJ lebih dari 6 bulan lebih
besar dibandingkan dengan pasien yang baru menderita kurang
dari 6 bulan. Kecemasan merupakan masalah yang
kosntitusional pada pasien dengan penyakit kronis seperti gagal
jantung oleh karena itu semua pasien GJK kronis akan
mengalami kecemasan. Fluktuasi skor kecemasan tidak
berkaitan dengan durasi menderita GJK (Serafini et al, 2010).
Tingkat Kecemasan Pasien Sebelum Intervensi Relaksasi
Otot Progresif
Berdasarkan hasil penelitian dilihat dari distribusi
kategori kecemasan, sebelum dilakukan intervensi relaksasi
otot progresif kategori kecemasan pasien yang mengalami GJK
sebagian besar berada dalam kategori kecemasan sedang yaitu
sebanyak 11 orang (47,8%). Easton, et al (2016) dari hasil
telaah meta analisisnya mengatakan bahwa kecemasan yang
dialami pada pasien gagal jantung yang menjalani rawat
217
jalan sebanyak 13,1%, kecemasan pada pasien jantung yang
dirawat inap 28.79%, dan 55,5% pasien gagal jantung yang
mengalami perburukan klinis mengalami kecemasan.
Yohannes, Willgoss, Baldwin & Connolly (2010) juga
mengatakan bahwa prevalensi kecemasan pada pasien GJK
berkisar antara 11-45%.
Kecemasan yang dialami individu pada dasarnya
dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya tingkat
usia, pengalaman, konsep diri, tingkat pendidikan, tingkat
ekonomi serta dukungan keluarga (Stuart & Sunden, 2006).
Haworth, et al (2005) menyebutkan bahwa faktor-faktor
yang bisa mempengaruhi kecemasan pada pasien GJK adalah
status demografi (usia dan jenis kelamin), tingkat keperahan
penyakit, adanya komplikasi penyakit lain seperti diabetes,
dan kurangnya dukungan sosial.
Simpulan
Daftar Pustaka
224
Pengaruh Relaksasi Benson terhadap Fatigue pada Pasien
Hemodialisis di RS. Dustira cimahi
Abstrak
Pendahuluan
Paradigma pola penyakit di seluruh dunia telah mengalami
pergeseran dari communicable diseases (CDs) menjadi
noncommunicable diseases (NCDs). Hal ini merupakan
tantangan bagi pembangunan dan masalah kesehatan terbesar di
abad 21 karena selain mengakibatkan penderitaan, NCDs ini
juga dapat berimplikasi terhadap kondisi sosioekonomi suatu
negara terutama negara yang memiliki tingkat pendapatan
menengah kebawah yang salah satunya adalah Indonesia.
Mayoritas terbesar dari NCDs ini adalah penyakit kronis yang
226
menyebabkan tingginya angka kesakitan dan kematian di
seluruh dunia (World Health Organization, 2014).
Karakteristik dari penyakit kronis seringkali memunculkan
gejala distres dan kelemahan yang berat. Jenis penyakit kronis
terbanyak yang menyebabkan gejala stres secara fisik dan
psikologis adalah Congestive Heart Failure (CHF), Chronic
Obstructive Pulmonary Disease (COPD) dan Chronic Renal
Failure (CRF) (Janssen, Spruit, Wouters, & Maastricht, 2008).
End Stage Renal Disease (ESRD) atau dikenal dengan istilah
Gagal Ginjal Terminal (GGT) merupakan stadium akhir dari
CRF yang menyebabkan berbagai keluhan bagi pasien seperti
fatigue (O'Sullivan & McCarthy, 2009), depresi (Kimmel &
Peterson, 2006) dan penurunan kemampuan fungsi fisik (Cleary
& Drennan, 2005 dalam O‘ Sullivan & McCarthy, 2009)
sehingga berdampak pada buruknya kualitas hidup pasien
(Morsch, Goncalves, & Barros, 2006).
Hemodialisis (HD) merupakan penatalaksanaan utama pada
pasien GGT selain pembatasan cairan, pengaturan diet,
pemberian pengobatan untuk mengurangi gejala dan tindakan
preventif untuk mencegah penyakit semakin bertambah parah
(Thomas-Hawkins & Zazworsky, 2005). Prevalensi pasien baru
yang menjalani HD di Indonesia dari tahun ke tahun semakin
bertambah, tetapi pasien yang kemudian masih aktif menjalani
HD pada akhir tahunnya tetap sedikit, pada tahun 2013 hanya
9.396 pasien aktif sementara pasien baru pada tahun 2013
sebanyak dua kali lipatnya yaitu 15.128 pasien. Provinsi Jawa
Barat merupakan Provinsi urutan pertama dengan penambahan
pasien baru yang menjalani HD selama tahun 2013 yaitu
227
sebanyak 4.846 orang (30,03%). Penyakit utama penyebab
tingginya angka pelaksanaan HD di Indonesia adalah GGT
yaitu sebanyak 11.456 pasien (82%) dari keseluruhan pasien
gagal ginjal yang menjalani terapi HD (Pernefri, 2013).
HD adalah suatu prosedur darah dikeluarkan dari tubuh
pasien dan beredar dalam sebuah mesin di luar tubuh yang
disebut dialiser sebagai pengganti ginjal yang telah rusak.
Frekuensi tindakan HD bervariasi tergantung banyaknya fungsi
ginjal yang tersisa, rata–rata pasien menjalani dua sampai tiga
kali dalam seminggu, sedangkan lama pelaksanaan hemodialisa
paling sedikit tiga sampai empat jam tiap sekali tindakan terapi.
Hal ini dibuktikan juga oleh data statistik dari Indonesian Renal
Registry tahun 2013 bahwa pada tahun 2013 frekuensi tindakan
HD terbanyak adalah dua kali perminggu (39,84%) dengan
durasi tindakan HD terbanyak selama tiga sampai empat jam
(52,94%) (Pernefri, 2013).
Jhamb et al. (2011) menyatakan bahwa fatigue merupakan
gejala yang paling sering dikeluhkan oleh pasien GGT yang
menjalani terapi HD yaitu sebanyak 60-97% dari total pasien
yang menjalani HD, menyebabkan konsentrasi menurun,
malaise, gangguan tidur, gangguan emosional, dan penurunan
kemampuan pasien dalam melakukan aktivitas sehari harinya
sehingga dapat menurunkan kualitas hidup pasien HD.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh O'Sullivan and
McCarthy (2009) menemukan fakta bahwa pasien GGT selalu
mengalami fatigue, semakin rendah level fatigue maka semakin
tinggi tingkat fungsi fisik pasien. Fatigue merupakan keluhan
subjektif yang dialami pasien ketika mengalami kelemahan,
228
kekurangan atau ketiadaan energi dan keletihan. Munculnya
keluhan fatigue bisa disebabkan oleh banyak faktor, termasuk
status nutrisi yang buruk, gangguan psikologis, perubahan
kondisi kesehatan, dan gangguan tidur yang buruk (Evans &
Lambert, 2007).
GGT merupakan suatu kondisi inflamasi yang mempunyai
ciri khas peningkatan kadar zat-zat (ureum dan kreatinin) yang
merangsang proses inflamasi di dalam darah seperti sitokin
yang dapat menyebabkan fatigue. Selain itu sitokin juga
berhubungan dengan gangguan tidur, depresi, kecemasan dan
penurunan fungsi fisik yang turut serta menimbulkan fatigue
(Jhamb, Weisbord, Steel, & Unruh, 2008).
Beberapa faktor yang mempengaruhi fatigue; uremia,
anemia, gangguan tidur, dan stress psikologis merupakan faktor
yang dapat di atasi oleh intervensi (Jhamb, Weisbord, Steel, &
Unruh, 2008). Pengukuran kadar hemoglobin dapat
mendeteksi terjadinya anemia pada pasien HD. Anemia
merupakan keadaan yang dapat menggambarkan adanya
fatigue secara fisiologis disamping keadaan fisik lain
(Aaronson, et al., 1999; Piper, et al., 1987 dalam Petchrung,
2004). Pasien akan mulai merasakan fatigue jika kadar
hemoglobin sebesar 10 gr/dL (Rosenthai, Majeroni,
Pretorius, & Malid 2008).
Poses HD sendiri merupakan intervensi untuk menurunkan
uremia, mengatasi anemia, memperbaiki status gizi pasien
(Lewis, 2010). Jika mengacu pada teori faktor penyebab fatigue
maka seharusnya intervensi HD ini dapat menurunkan keluhan
fatigue pasien namun kenyataan yang terjadi bahwa intervensi
229
HD ini tidak dapat mengatasi keluhan fatigue yang dialami oleh
pasien sehingga diperlukan intervensi lain sebagai kombinasi
intervensi untuk mengatasi keluhan fatigue pasien.
Fatigue yang terjadi setelah HD dinamakan postdialysis
fatigue. Pasien yang mengalami fatigue setelah HD biasanya
membutuhkan tidur lima jam untuk perbaikan kondisi dan lebih
mengalami keluhan gangguan fisik dan masalah psikologis
seperti depresi, insomnia serta keluhan pegal-pegal
dibandingkan dengan pasien yang tidak mengalami postdialysis
fatigue. Selanjutnya, pasien yang mengalami postdialysis
fatigue mengalami keterbatasan fungsional dan aktivitas sosial
pada hari dilaksanakannya HD. Postdialysis fatigue tidak
diprediksi oleh pemeriksaan klinis seperti nutrisi, hasil
pemeriksaan laboratorium ataupun adekuasi HD (O‘Sullivan &
McCarthy, 2007). Postdialysis fatigue disebabkan oleh adanya
simulasi peningkatan sitokin akibat adanya interaksi komponen
darah dengan membran dialisis sehingga memicu sel
mononuklear darah perifer untuk memproduksi sitokin
proinflamasi (Memoli, Minutolo & Bisesti, 2002).
Pendalaman lebih lanjut mengenai fenomena yang terjadi di
lapangan terkait dengan keluhan fatigue pada pasien GGT yang
menjalani HD dilakukan dengan melakukan studi pendahuluan
di RS. Dustira Cimahi. RS. Dustira merupakan salah satu RS
yang mempunyai unit HD dengan jumlah pasien HD sebanyak
123 orang dan merupakan salah satu RS dijajaran Angkatan
Darat yang memiliki kapasitas pelayanan HD terbanyak setelah
RS. Pusat Angkatan Darat Gatot Soebroto. GGT merupakan
diagnosa utama pasien yang menjalani HD di Unit HD RS.
230
Dustira dengan prevalensi mencapai 96%. Dari hasil
pengukuran fatigue menggunakan instrumen FACIT Fatigue
Scale (Version 4) terhadap 10 orang pasien GGT, semua pasien
mengeluhkan fatigue yang menyebabkan terganggunya aktifitas
sehari-hari. Wawancara dilakukan untuk mengetahui intervensi
apa saja yang biasa dilakukan untuk mengatasi keluhan fatigue
tersebut, didapatkan data bahwa pada umumnya pasien tidak
mengetahui apa yang harus dilakukan untuk mengatasi fatigue
tersebut selain beristirahat. Dua orang pasien mengatakan jika
keluhan fatigue yang dirasakan terasa sangat berat sekali,
mereka mengalami penurunan semangat untuk melakukan
terapi pengobatan.
Beberapa penelitian menyatakan bahwa pasien GGT
kemungkinan besar (60-97%) mengalami keluhan fatigue yang
mengganggu kondisi fisik dan psikologis pasien. Kurangnya
pengetahuan pasien mengenai intervensi apa saja yang dapat
dilakukan secara mandiri untuk mengurangi keluhan fatigue
semakin memperberat kondisi yang dialami pasien. Horigan
(2012) menemukan fenomena yang sama dengan pernyataan
bahwa semua responden dalam penelitiannya (120 orang pasien
yang menjalani HD) mengalami fatigue dan tidak ada satu pun
yang merasa bisa melakukan intervensi atau tindakan untuk
mengatasi fatigue tersebut. Keluhan fatigue menyebabkan
terganggunya proses sosialisasi pasien dengan lingkungannya
dan kesulitan menjalankan aktivitas sehari-hari. Fatigue pada
pasien GGT yang menjalani HD merupakan salah satu masalah
keperawatan yang harus diatasi menggunakan pendekatan
asuhan keperawatan yang komprehensif mulai dari pengkajian,
231
diagnosis, perencanaan, implementasi dan evaluasi (North
American, Nursing Diagnosis Association, 2015).
Kurangnya penelitian dalam mengeksplorasi fatigue pada
pasien GGT memungkinkan perawat gagal untuk mendeteksi
tanda dan gejala fatigue dan juga perawat tidak mengetahui
bagaimana melakukan intervensi untuk mengatasi fatigue pada
pasien GGT sehingga keluhan fatigue dianggap keluhan yang
normal dialami pasien yang menjalani HD (Jhamb, Weisbord,
Steel, & Unruh, 2008). Fatigue yang tidak teratasi dengan baik
akan meningkatkan berbagai macam resiko yang menyebabkan
kematian, gagal jantung, komplikasi akibat gagal jantung atau
dirawat untuk pertamakalinya akibat gagal jantung selama
menjalani terapi HD (Jhamb et al., 2011).
Jhamb, Weisbord, Steel, dan Unruh (2008)
merekomendasikan penelitian yang penting dalam fatigue pada
pasien GGT yaitu penelitian tentang intervensi yang low-cost,
menggunakan metode yang dapat diakses dan digunakan pasien
secara mandiri serta dapat diaplikasikan oleh perawat ketika
mengatasi keluhan fatigue yang dialami pasien. Jhamb et al.
(2011) menjelaskan kerangka kerja teori untuk memahami
fatigue mencakup teori mengenai tanda dan gejala fatigue, teori
fatigue peripheral dan sentral dan teori multidimensi fatigue
pada pasien GGT. Pendekatan yang digunakan adalah dengan
memperhatikan faktor fisiologis, psikologis dan
sosiodemografis. Target intervensi non farmakologis adalah
pemenuhan nutrisi, istirahat dan tidur, manajemen stres dan
perawatan depresi.
232
Berdasarkan target intervensi di atas, diperlukan suatu
intervensi yang dapat mencakup aspek fisiologis dan psikologis
untuk mengatasi fatigue. Kaushal, Narendra & Smitha (2013)
membandingkan intervensi latihan aerobik dengan relaksasi
nafas dalam terhadap tingkat fatigue pasien acute
lymphoblastic leukemia yang menjalani kemoterapi. Hasil
penelitian menunjukan bahwa terjadi penurunan level fatigue
pada kedua kelompok intervensi relaksasi dan latihan aerobik
tetapi lebih signifikan terjadi penurunan pada kelompok
relaksasi.
Relaksasi merupakan intervensi yang dapat berdampak pada
aspek fisiologis dan psikologis pasien. Jenis relaksasi lainnya
yang terbukti dapat menurunkan fatigue pada pasien HD adalah
qigong training. Relaksasi qigong memadukan relaksasi dengan
latihan gerakan bertempo lambat disertai pemusatan fikiran
terhadap pernafasan. Hasil penelitian Wu, Han, Huang, Chen,
Yu, & Weng (2014) memperlihatkan pengaruh qigong terhadap
penurunan fatigue, hanya saja perlu waktu minimal 8 minggu
untuk terjadi penurunan fatigue tidak seperti relaksasi nafas
dalam pada penelitian Kaushal, Narendra & Smitha (2013).
Permasalahan fatigue pada pasien HD sangat komplek,
mengingat pasien sangat tergantung pada terapi HD sebagai
terapi pengganti ginjalnya sementara dari proses HD itu sendiri
menjadi salah satu faktor yang menyebabkan terjadinya
postdialysis fatigue. Kecenderungan dilaksanakan terapi HD
seumur hidup pada pasien GGT seringkali menimbulkan
permasalahan psikologis yang menuntut terbentuknya
mekanisme koping pasien yang adaptif. Untuk meningkatkan
233
mekanisme koping pasien GGT yang mengalami fatigue
hendaknya pasien diberikan sensasi humor, ditingkatkan
kepercayaan terhadap Tuhan, dan keyakinan terhadap diri
sendiri untuk tidak khawatir dan tetap berfikir positif (Horigan,
2012).
Salah satu tehnik relaksasi yang memadukan unsur
keyakinan kepada Tuhan dan keyakinan kepada diri sendiri
serta tetap berfikir positif adalah Relaksasi Benson. Relaksasi
Benson menanamkan keyakinan pada pasien dengan kata-kata
yang menenangkan sesuai dengan agama yang dianut pasien
dan senantiasa memacu pasien untuk berfikir positif. Relaksasi
Benson dapat mengatasi keluhan yang diakibatkan oleh
gangguan fisik maupun psikologis seperti meningkatkan
kepatuhan pasien HD dalam mengontrol diet dan asupan cairan,
selain itu Relaksasi Benson dapat mengontrol kadar gula darah
pasien HD dan dapat menurunkan kadar sel darah putih pasien
sehingga bermanfaat terhadap metabolisme dan kondisi fisik
tubuh serta dapat meningkatkan fungsi hemodinamik pasien
(Pasyar, Rambod, Sharif, Rafii & Pourali-Mohammadi, 2015),
meningkatkan kualitas tidur akibat insomnia (Mau, Kiik, &
Banin, 2012; Jhamb et al, 2011), dan menurunkan tingkat stres
(Aryana & Novitasari, 2013)
Relaksasi Benson merupakan pengembangan metode respon
relaksasi pernafasan dengan melibatkan faktor keyakinan
pasien dan penguatan visualisasi. Proses pernafasan yang tepat
dapat meningkatkan asupan oksigen (O2) ke dalam tubuh dan
meningkatkan suplai O2 ke dalam sel sehingga sel dapat
melakukan metabolisme dengan baik untuk menghasilkan
234
energi. Faktor keyakinan dapat berpengaruh terhadap sistem
limbik dimana terdapat organ hipotalamus yang mengontrol
sistem saraf otonom. Penurunan daerah limbik dapat
menjelaskan bagaimana relaksasi mengurangi stres dan
meningkatkan stabilitas otonomnya dengan meningkatnya kerja
inti hipotalamus yang mengatur sistem saraf parasimpatis.
Selanjutnya fase visualisasi menggabungkan antara harapan
terhadap kesembuhan, keyakinan dan ingatan terhadap hal-hal
yang membuat pasien lebih semangat dalam menjalani terapi.
Penguatan ini ditujukan untuk mengontrol aktivitas dari sistem
limbik terhadap peningkatan kerja saraf parasimpatis sebagai
respon yang diharapkan dari pelaksanaan relaksasi (Benson &
Proctor, 2010).
Relaksasi Benson dapat digunakan sebagai bagian dari
intervensi keperawatan untuk pasien HD dan pasien penyakit
kronis dengan mengajarkan kepada pasien bagaimana
melakukan tehnik Relaksasi Benson sampai bisa mandiri
melakukan di rumah. Intervensi Relaksasi Benson ini terbukti
aman dan tehnik yang efektif digunakan pada pasien GGT yang
menjalani HD (Pasyar, Rambod, Sharif, Rafii & Pourali-
Mohammadi, 2015).
Fokus intervensi pasien dengan GGT adalah dengan
meningkatkan self-management (Horigan, 2012). Hasil
penelitian dari Moattari, Ebrahimi, Sharifi, and Rouzbeh (2012)
menyatakan bahwa pemberdayaan pasien HD seharusnya
dipikirkan oleh pusat pelayanan HD untuk membantu pasien
mengontrol masalah kesehatannya. Keberhasilan pencapaian
outcome akan tercapai apabila pasien dapat secara mandiri dan
235
konsisten melakukan manajemen pengelolaan diri serta
bekerjasama secara sinergis dengan tim kesehatan dalam
menjalankan program terapi untuk mencapai kualitas hidup
yang optimal (Richard, 2006). Peningkatan manajemen diri
dapat secara efektif mengurangi prevalensi morbiditas maupun
mortalitas pasien yang menjalani HD (Griva et al., 2011).
Beberapa penelitian terkait manajemen diri pasien HD telah
dilakukan diantaranya adalah edukasi self-management
(Lingerfelt & Thornton, 2011), partnership care model
(Bahadori, Ghavidel, Mohammadzadeh & Ravangard, 2014),
terapi konitif dan dukungan sosial (Henry, 2014), dan self-
monitoring (Dowell & Welch, 2006) namun belum ada studi
yang fokus terhadap pengelolaan diri terkait dengan gejala
fatigue pasien GGT yang menjalani HD.
Berdasarkan hasil literatur review yang dilakukan oleh
peneliti terkait dengan intevensi untuk mengatasi fatigue, ada
enam artikel penelitian yang dikategorikan ke dalam tiga
kelompok jenis intervensi yaitu latihan fisik, penggunaan sinar
infra merah dan relaksasi: yoga. Keseluruhan intervensi ini
terbukti menurunkan fatigue, tetapi dalam pelaksanaan
intervensinya memerlukan guide atau pemandu agar pasien
dapat menjalani intervensi tersebut. Rekomendasi dari hasil
literatur review yang dilakukan oleh peneliti adalah perlunya
penelitian mengenai empowering intervention yang melibatkan
pasien secara langsung dan pelaksanaannya dapat dilaksanakan
secara mandiri oleh pasien sehingga pasien dapat mengelola
kondisi yang dialaminya setiap saat sehingga dapat
menurunkan tingkat ketergantungan pasien yang berdampak
236
pada peningkatan kualitas hidup pasien. Hal ini sejalan dengan
hasil penelitian dari Moattari, Ebrahimi, Sharifi, and Rouzbeh
(2012) bahwa pemberdayaan pasien HD seharusnya difikirkan
oleh pusat pelayanan HD untuk membantu pasien mengontrol
masalah kesehatannya.
Metode
Penelitian ini menggunakan desain penelitian quasi
experimental dengan rancangan two groups pretest and postest
design. Penelitian yang dilakukan, meneliti pengaruh intervensi
Relaksasi Benson terhadap level fatigue pada pasien GGT yang
menjalani HD, dengan melihat level fatigue sebelum dan
setelah dilakukan intervensi. Intervensi Relaksasi Benson
dilakukan saat pasien menjalani HD. Sampel penelitian untuk
masing masing kelompok adalah 25 orang. Kelompok
intervensi dan kelompok kontrol diambil dari RS. yang sama
yaitu RS. Dustira Cimahi. Jumlah sampel penelitian dari awal
hingga ke akhir penelitian tetap berjumlah 50 orang, tidak ada
responden yang drop out. Instrumen dalam penelitian ini terdiri
dari instrumen kuesioner informasi umum pasien, instrumen
Functional Assessment of Chronic Illness Therapy (FACIT)
Fatigue Scale (Version 4) dan instrumen protokol pelaksanaan
Relaksasi Benson.
Hasil Penelitian
Tabel Distribusi frekuensi, persentase dan uji
homogenitas karakteristik responden dan skor
237
fatigue kelompok intervensi dan kelompok
kontrol (n=50)
Intervensi Kontrol
Karakteristik (n=25) (n=25) Nilai P
f (%) f (%)
Usia (Tahun)
26-35 (dewasa 4 16 5 20
awal)
5 20 6 24
36-45 (dewasa
10 40 8 32 0,935a
akhir)
6 24 6 24
46-55 (lansia
awal) 0 0 0 0
56-65 (lansia
akhir)
>65 (manula)
Jenis Kelamin
Laki-laki 12 48 16 64 0,254a
Perempuan 13 52 9 36
238
Bekerja 13 52 15 60
Tidak Bekerja 12 48 10 40
Tingkat
Pendidikan
0 0 0 0
Tidak sekolah
7 28 7 28
SD
5 20 3 12
0,674a
SLTP
13 52 14 56
SLTA
0 0 1 4
Sarjana
Lama HD (bulan)
<12 6 24 4 16
12-23 12 48 8 32
0,138b
24-36 4 16 8 32
>36 3 12 5 20
Skor Fatigue
Pretest
7 28 7 28
239
Ringan 18 72 18 72
Berat
Skor Fatigue
Posttest
12 48 9 36
Ringan
13 52 16 64
Berat
*a : Chi Square
*b : Man Whitney
Skor Fatigue
Pretest
27,16 3,325 -1,183 0,243a
Intervensi
28,16 2,608
Kontrol
Skor Fatigue
Posttest
28,76 3,72 0,416 0,679a
Intervensi
28,36 3,03
Kontrol
*a : Independent t-test
Berdasarkan tabel di atas diketahui bahwa tidak ada
perbedaan skor fatigue sebelum intervensi antara kelompok
intervensi dengan kelompok kontrol ditandai dengan nilai p =
0,243. Tidak ada perbedaan secara signifikan skor fatigue
sesudah intervensi antara kelompok intervensi dan kelompok
kontrol dengan nilai p 0,697.
Tabel Perbedaan rerata skor fatigue pretest dan
posttest kelompok kontrol dan intervensi
Variabel Mean SD t p
241
Skor Fatigue
Kelompok
Kontrol
Skor Fatigue
Kelompok
Intervensi
*b : Paired t-test
Berdasarkan tabel di atas diketahui bahwa tidak terjadi
perubahan signifikan skor fatigue sebelum dan sesudah pada
kelompok kontrol dengan nilai p 0,446. Terjadi perubahan
signifikan skor fatigue sebelum dan sesudah intervensi pada
kelompok intervensi dengan nilai p 0,000. Keseluruhan
responden pada kelompok intervensi ini tidak ada yang
mengalami kesulitan melaksanakan Relaksasi Benson secara
mandiri selama proses penelitian. Selain itu, seluruh responden
pada kelompok intervensi tidak ada yang mengalami efek
samping setelah melaksanakan Relaksasi Benson selama
penelitian.
242
Tabel Perbedaan selisih rerata skor fatigue pada
kelompok intervensi dan kontrol
Variabel ∆ Mean SD t p
Skor Fatigue
*a : Independent t-test
Berdasarkan tabel tersebut diketahui bahwa terdapat
perbedaan selisih mean skor fatigue sebelum dan sesudah
intervensi pada kelompok intervensi dan kelompok kontrol.
Nilai mean kelompok intervensi dan kontrol bernilai negatif
yang artinya terjadi peningkatan skor fatigue setelah intervensi,
dimana pada kelompok intervensi peningkatan skor fatigue ke
arah yang lebih baik rata-rata 1,600. Angka ini lebih besar
dibandingkan peningkatan skor fatigue pada kelompok kontrol
yang hanya 0,200. Secara statistik, terdapat perbedaan secara
signifikan selisih skor fatigue antara kelompok intervensi
dengan kelompok kontrol (p=0,000).
Tabel Hasil uji repeated anova skor fatigue posttest
perlakukan intervensi Relaksasi Benson ke
satu sampai dengan ke delapan pada
kelompok intervensi
Perlakuan intervensi Mean SD p
relaksasi benson ke-
243
1 27,160 0,665
2 27,160 0,665
3 27,160 0,665
5 28,000 0,678
6 28,240 0,686
7 28,680 0,723
8 28,760 0,744
Pembahasan
Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi pengaruh
Relaksasi Benson terhadap fatigue pasien GGT yang menjalani
HD di RS. Dustira Cimahi. Secara umum tingkat fatigue
sebelum intervensi yang dialami oleh kelompok intervensi
berada pada tingkat berat (72%) dengan rata-rata skor 27,16.
244
Setelah dilakukan intervensi Relaksasi Benson selama 1 bulan,
terjadi peningkatan skor fatigue dengan rata-rata peningkatan
1,600 menjadi 28,76 yang berarti telah terjadi perbaikan level
fatigue. Dari hasil analisis korelasi paired t test, terjadi
perubahan skor fatigue yang signifikan (p < 0,05) pada
kelompok intervensi. Protokol benson yang diterapkan pada
penelitian ini merujuk pada protokol Henry-Benson (Benson &
Proctor, 2010). Signifikansi perubahan skor fatigue setelah
dilakukan intervensi Relaksasi Benson ini sejalan dengan hasil
penelitian Stahl, Dossett, LaJoie, Denninger, Mehta, Goldman
et al (2015) yang menyatakan bahwa relaksasi dengan protokol
Henry-Benson dapat meningkatkan ketahanan tubuh pasien HD
sehingga dapat mengelola kondisi yang seringkali dikeluhkan
oleh pasien HD salah satunya adalah fatigue.
Benson and Proctor (2010) menjelaskan bahwa Relaksasi
Benson merupakan pengembangan metode respon relaksasi
pernafasan dengan melibatkan faktor keyakinan pasien, yang
dapat menciptakan suatu lingkungan internal sehingga dapat
membantu pasien mencapai kondisi kesehatan dan
kesejahteraan yang lebih tinggi. Selain itu proses pernafasan
yang tepat dapat meningkatkan asupan O2 ke dalam tubuh dan
meningkatkan suplai O2 ke dalam sel sehingga sel dapat
melakukan metabolisme dengan baik untuk menghasilkan
energi. Energi ini dapat digunakan sel yang injury untuk
melakukan proses perbaikan. Pernyataan ini diperkuat dengan
hasil penelitian Kaushal, Narendra & Smitha (2013) yang
menemukan bahwa relaksasi dengan pendekatan nafas dalam
lebih signifikan menurunkan fatigue dibandingkan latihan fisik,
245
latihan fisik tidak direkomendasikan untuk dilakukan secara
rutin pada pasien yang menjalani HD (Van Vilsteren, de Greef,
& Huisman, 2005; Matsumoto et al, 2007).
Keluhan fatigue pada pasien HD merupakan keluhan
multidimensi yang meliputi keluhan fisik, psikologis dan
sosiodemografis. Keluhan kelelahan yang signifikan dirasakan
setiap hari atau hampir setiap hari selama periode 2 minggu
pada bulan terakhir. Selain kelelahan juga terdapat keluhan
kelemahan umum atau tungkai terasa berat, konsentrasi
berkurang, penurunan minat untuk terlibat dalam kegiatan
sehari-hari, insomnia atau hipersomnia, penurunan kualitas
tidur, peningkatan status emosional, kesulitan menyelesaikan
tugas sehari-hari, adanya masalah dengan memori jangka
pendek, keletihan (malaise) postexertional yang berlangsung
beberapa jam (Cella et al, 1998). Berdasarkan hasil analisis
data skor fatigue pre-post pada kelompok intervensi, keluhan
multidimensi pada fatigue dapat diatasi dengan Relaksasi
Benson. Hal ini sejalan dengan hasil dari beberapa penelitian
mengenai pengaruh Relaksasi Benson terhadap tubuh yaitu
bahwa Relaksasi Benson dapat meningkatkan kualitas tidur
(Rambod, Pourali-Mohammadi, Pasyar, Rafii, & Sharif, 2013;
Mau, Kiik, & Banin, 2012), menurunkan stres (Aryana and
Novitasari, 2013), meningkatkan fungsi hemodinamik pasien
(Pasyar, Rambod, Sharif, Rafii & Pourali-Mohammadi, 2015)
dan meningkatkan stabilitas saraf otonom (Satyanegara, 2012).
Sama halnya dengan skor fatigue sebelum intervensi pada
kelompok intervensi, secara umum tingkat fatigue sebelum
intervensi yang dialami oleh kelompok kontrol berada pada
246
tingkat berat (72%). Namun rata-rata skor fatigue-nya berbeda
dari kelompok intervensi yaitu 28,16. Pada skor fatigue setelah
intervensi terjadi peningkatan rata-rata sebesar 0,200 menjadi
28,36. Walaupun terjadi peningkatan, tetapi dari hasil analisis
korelasi paired t test, tidak terjadi perubahan yang signifikan (p
< 0,05) antara skor fatigue sebelum dan sesudah di kelompok
kontrol.
Merujuk pada hasil analisis selisih mean skor fatigue pada
kelompok intervensi dan kontrol, terdapat signifikansi
perbedaan selisih skor fatigue antara kelompok intervensi
dengan kelompok kontrol dengan nilai p = 0,000. Pelaksanaan
Relaksasi Benson ini dianjurkan dilakukan rutin lebih dari lima
kali perlakuan sesuai dengan hasil penelitian yang menunjukan
perubahan skor fatigue pada kelompok intervensi baru terlihat
pada perlakuan intervensi kelima. Hal ini sesuai dengan konsep
Relaksasi Benson yang diungkapkan oleh Benson and Proctor
(2010) bahwa inti keberhasilan dari pelaksanaan Relaksasi
Benson adalah terletak pada pelaksanaannya yang rutin, teratur,
dan berkesinambungan bukan pada benar tidaknya tahapan
pelaksanaaannya sehingga pelaksanaan Relaksasi Benson yang
dilakukan secara rutin, dapat mengaktifkan kerja sistem saraf
parasimpatis sebagai respon dari relaksasi untuk mengatasi
berbagai keluhan.
Hasil penelitian ini menemukan ada pengaruh Relaksasi
Benson terhadap tingkat fatigue pasien HD, sehingga Relaksasi
Benson ini dapat dijadikan sebagai intervensi keperawatan
mandiri dalam pengelolaan fatigue pasien HD. Peran perawat
dalam pengelolaan pasien HD yang mengalami fatigue secara
247
umum adalah mengelola pengontrolan status nutrisi,
pemenuhan kebutuhan istirahat dan tidur, manajemen stress dan
pemenuhan kebutuhan kenyamanan yang meliputi pengelolaan
keluhan ketidaknyamanan yang dialami oleh pasien seperti
keluhan faitigue. Peran ini sejalan dengan yang disampaikan
oleh Jhamb et al (2011) bahwa target intervensi non
farmakologis pada pasien GGT yang menjalani HD dan
mengalami fatigue adalah pemenuhan nutrisi, istirahat dan
tidur, manajemen stress dan perawatan depresi.
Keterbatasan dalam penelitian ini adalah pada saat
dilaksanakan intervensi Relaksasi Benson, telinga responden
ditutup menggunakan headset untuk mengurangi stimulus dari
lingkungan yang dapat mengganggu proses Relaksasi Benson.
Beberapa responden mengeluhkan lepasnya headset ketika
dilakukan Relaksasi Benson. Hal ini menjadi keterbatasan
dalam aplikasi teknik Relaksasi Benson pada penelitian ini,
diharapkan pada penelitian selanjutnya yang menerapkan
tehnik Relaksasi Benson dapat melakukan pengembangan
intervensi untuk lebih dapat memfasilitasi empat unsur
pelaksanaan Relaksasi Benson yaitu suasana tenang, perangkat
mental, sikap pasif dan posisi nyaman. Sebagaimana yang
dijelaskan oleh Benson & Proctor (2010) bahwa pendekatan
yang benar mengenai intervensi yang dapat memicu respon
relaksasi adalah dengan menggabungkan empat unsur (suasana
tenang, perangkat mental, sikap pasif dan posisi nyaman) bukan
hanya menggunakan salah satu unsur saja.
248
Simpulan
Secara umum hasil penelitian ini menemukan ada pengaruh
Relaksasi Benson terhadap tingkat fatigue pasien HD dengan
perubahan skor fatigue setelah perlakuan kelima.
Saran
Hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai salah satu evidance
based nursing yang dijadikan landasan rasional pelaksanaan
Relaksasi Benson sebagai intervensi keperawatan mandiri
untuk mengurangi tingkat fatigue pasien HD. Selain itu, hasil
penelitian ini dapat digunakan sebagai rujukan pustaka dan
pengembangan intervensi Relaksasi Benson dalam hal
mengakomodasi empat unsur pelaksanaan Relaksasi Benson
pada penelitian selanjutnya.
Daftar Pustaka
Arikunto, S. (2010). Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan
Praktik. Jakarta: Rineka Cipta.
Ariyanto. (2009). Pengelolahan dan Analisis Data Kesehatan.
Yogyakarta: Nuha medika.
Armiyati, Y., & Rahayu, D. A. (2014). Faktor yang berkorelasi
terhadap mekanisme koping pasien ckd yang menjalani
hemodialisis di rsud kota semarang (Correlating factors
of coping mechanism on CKD patients undergoing
Hemodialysis in RSUD Kota Semarang). In Prosiding
Seminar Nasional & Internasional.
Aryana, K. O., & Novitasari, D. (2013). Pengaruh Tehnik
Relaksasi Benson Terhadap Penurunan Tingkat Stres
249
Lansia Di Unit Rehabilitas Sosial Wening Wardoyo
Ungaran. Jurnal Keperawatan Jiwa, 1 (2), 186-195.
Bayliss, D. (2006). Starting and managing an intradialytic
exercise program. Nephrol News Issues. 20(9):47-9.
Benson, H., & Proctor, W. (2010). Relaxation Revolution : The
Science and Genetics of Mind Body Healing. New York
: Simon & Schuster, Inc. ISBN 978-1-4391-4865-5
________________. (2016). Fatigue in Women. Retriefed from
http://www.bodylogicmd.com/for-women/fatigue, 9th
of July, 2016, 07.20 a.m.
Black, J., & Hawks, J. H. (2009). Medical Surgical Nursing :
Clinical Management for Positive Outcome (8th ed.).
St. Louis: Elsevier.
Bonner, A., Wellard, S., & Caltabiano, M. (2010). The impact
of fatigue on daily activity in people with chronic
kidney disease. Journal of Clinical Nursing, 19(21/22),
3006-3015.
Cella, D., Peterman, A., Passik, S., Jacobsen, P., & Breitbart,
W. (1998). Progress toward guidelines for the
management of fatigue. Oncology (Williston Park),
12:369-377
Chandran, V., Bella, S., Schentang, C., & Gladman, D. (2007).
Fungtional assesment fn chronic illnes therapy-fatigue
scale is valid in patients with psoriatric arthritis. Annals
of Rheumatic Diseases, 66 (7), 936-939
Chaudhuri, A., & Behan, P.O. (2000). Fatigue and basal
ganglia. J Neurol Sci, 179:S34-S42
250
Dagnelie, P.C., Pijls-Johannesma, M.C., & Pijpe, A. (2006).
Psychometric properties of the revised Piper Fatigue
Scale in Dutch cancer patients were satisfactory. J Clin
Epidemiol, 59: 642-649
Dahlan, S.M. (2011). Statistik untuk kedokteran dan kesehatan.
Jakarta: Salemba Medika.
Datak, G. (2008). Pengaruh Relaksasi Benson terhadap Nyeri
Pasca Bedah Transurethral Resection oh the Prostate
di RSUP Fatmawati Jakarta. (Program Pasca Sarjana),
Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia,
Depok.
Davison, S.N., Jhangri, G.S., & Johnson, J.A. (2006). Cross-
sectional validity of a modified Edmonton symptom
assessment system in dialysis patients: Asimple
assessment of symptom burden. Kidney Int, 69 :1621-
1625
Dharma, K.K. (2011). Metodologi Penelitian Keperawatan
(Pedoman Melaksanakan dan Menerapkan Hasil
Penelitian). Jakarta : Trans Info Media
Dusek J, Benson H (2009) Mind-Body Medicine: A Model of
the Comparative Clinical Impact of the Acute Stress and
Relaxation Responses. Minn Med 92: 47–50.
Evans, W.J., & Lambert, C.P. (2007). Physiological basis of
fatigue. American Journal of Physical Medicine &
Rehabilitation, 86(1, Suppl.), S29-S46.
Gorji, M.A.H., Abbaskhani, A.M.D., Heidarigorji. (2014). The
efficacy of relaxation training on stress, anxiety, and
251
pain perception in hemodialysis patients. Indian Journal
of Nephrology, 24.
Green, & Setyawati. (2005). Terapi Alternatif. Yogyakarta:
Yayasan Spiritia.
Heidenheim, A.P., Muirhead, N., Moist, L., & Lindsay, R.M.
(2003). Patient quality of life on quotidian
hemodialysis. Am J Kidney Dis, 42:S36-S41
Hidayat, A. (2009). Metode penelitian keperawatan dan
analisis data. Jakarta : Salemba Medika
Horigan, A. E. (2012). The Experience and Self-Management of
Fatigue in Adult Hemodialysis Patients. (3523263
Ph.D.), Duke University, Ann Arbor. Retrieved from
http://search.proquest.com/docview/1041232712?acc
ountid=48290 ProQuest Nursing & Allied Health
Source database.
Horigan, A.E. (2012). Fatigue in hemodialysis patients: a
review of current knowledge. J Pain Symptom Manag
2012;44: 715—24.
Janssen, D. J. A., Spruit, M. A., Wouters, W. F. M., &
Maastricht. (2008). Daily symptom burden in end-stage
chronic organ failure: a systematic review. Palliative
Medicine, 22, 938-948.
Jhamb, M., Pike, F., Ramer, S., Argyropoulos, C., Steel, J.,
Dew, M. A., . . . Unruh, M. (2011). Impact of Fatigue
on Outcomes in the Hemodialysis (HEMO) Study.
American Journal of Nephrology, 33(6), 515-523. doi:
http://dx.doi.org/10.1159/000328004
252
Jhamb, M., Weisbord, S. D., Steel, J. L., & Unruh, M. (2008).
Fatigue in patiens receiving maintenance dialysis : a
review of definition, measures and contributing factors.
American Journal of Kidney Diseases, 52 (2), 353-365.
Kalantar-Zadeh, K., & Unruh, M. (2005). Health related quality
of life in patients with chronic kidney disease. Int Urol
Nephrol, 37:367-378
Kaushal, B. D., Narendra, D. B., & Smitha, D. (2013). A
comparative study between relaxation technique and
aerobic exercise in fatigue during chemotherapy in
acute lymphoblastic leukemia in children. Indian
Journal of Physiotherapy and Occupational Therapy,
7(3), 140-145. Retrieved from
http://search.proquest.com/docview/1464664175?accou
ntid=48290
Kim, K. H., Kim, T. H., Kang, J. W., Sul, J. U., Lee, M. S.,
Kim, J. I., & Choi, S. M. (2011). Acupuncture for
symptom management in hemodialysis patients: A
prospective, observational pilot study. Journal of
Alternative and Complementary Medicine (New York,
N.Y.), 17(8), 741-748. doi: doi:10.1089/acm.2010.0206
Kimmel, P. L., & Peterson, R. A. (2006). Depression in patients
with end stage renal disease treated with dialysis: Has
the time to treat arrived. Clinical Journal of American
Society of Nephrology, 1(3), 349- 352.
Kosmadakis, G.C., Bevington, A., Smith, A.C., Clapp, E.L.,
Viana, J.L., Bishop, N. C.,et al. (2010). Physical
253
exercise in patients with severe kidney disease. Nephron
Clin Pract. 115(1):c7-c16.
Lee, B.O., Lin, C.C., Chaboyer, W., Chiang, C.L., & Hung,
C.C. (2007). The fatigue experience of haemodialysis
patients in Taiwan. J Clin Nurs, 16:407-413
Lerdal, A., Celius, E.G., & Moum, T. (2003). Fatigue and its
association with sociodemographic variables among
multiple sclerosis patients. Mult Scler. 9:509-514.
Lewis, S. M., Dirksen, S. R., Heitkemper, M. M., & Bucher, L.
(2007). Medical-Surgical Nursing: Assessment and
Management of Clinical Problems. 7th ed. St. Louis:
Mosby
Lin, C. H., Lee, L. S., Su, L. H., Huang, T. C., & Liu, C. F.
(2011). Thermal therapy in dialysis patients – A
randomized trial. The American Journal of Chinese
Medicine, 39(5, 839-851. doi:
doi:10.1142/S0192415X1100924X
Lindsay, R.M., Heidenheim, P.A., Nesrallah, G., Garg, A.X., &
Suri, R. (2006). Minutes to recovery after a
hemodialysis session: A simple health-related quality of
life question that is reliable, valid, and sensitive to
change. Clin J Am Soc Nephrol, 1:952-959
Liu, H.E. (2006). Fatigue and associated factors in
hemodialysis patients in Taiwan. Res Nurs Health,
29:40-50
Malagoni, A. M., Catizone, L., Mandini, S., Soffritti, S.,
Manfredini, R., Boari, B., & ... Manfredini, F. (2008).
Acute and long-term effects of an exercise program for
254
dialysis patients prescribed in hospital and performed at
home. Journal of Nephrology, 21(6), 871-878.
Matsumoto, Y., Furuta, A., Furuta, S., Miyajima, M., Sugino, T.,
Nagata, K., & Sawada, S. (2007). The impact of pre-dialytic
endurance training on nutritional status and quality of life in
stable hemodialysis patients (Sawada study). Renal Failure,
29(5), 587-593. doi:10.1080/08860220701392157
Mau, A., Kiik, S. M., & Banin, S. R. (2012). Pengaruh
penerapan teknik Relaksasi Benson terhadap gangguan
tidur (insomnia) pada lansia di upt panti sosial
penyantunan lanjut usia budi agung kupang. STIKES
Maranatha, Kupang.
McCann, K., & Boore, J.R. (2000). Fatigue in persons with
renal failure who require maintenance haemodialysis. J
Adv Nurs, 32:1132-1142
Memoli, B., Minutolo, R., & Bisesti, V. (2002). Changes of
serum albumin and C-reactive protein are related to
changes of interleukin-6 release by peripheral blood
mononuclear cells in hemodialysis patients treated with
different membranes. Am J Kidney Dis, 39:266-273
Moattari, M., Ebrahimi, M., Sharifi, N., & Rouzbeh, J. (2012).
The effect of empowerment on the self-efficacy, quality
of life and clinical and laboratory indicators of patients
treated with hemodialysis: a randomized controlled
trial. Health and Quality of Life Outcomes, 10, 115. doi:
http://dx.doi.org/10.1186/1477-7525-10-115
Mollaoglu, M. (2009). Fatigue in People Undergoing
Hemodialysis. June 2009 Dialysis & Transplantation.
255
Molsted, S., Eidemak, I., Sorensen, H.T., & Kristensen, J.H. (2004).
Five months of physical exercise in hemodialysis patients:
Effects on aerobic capacity, physical function and self-rated
health. Nephron.Clinical Practice, 96(3), c76-81.
doi:10.1159/000076744
Morsch, C. M., Goncalves, L. F., & Barros, E. (2006). Health-
related quality of life among haemodialysis patients:
Relationship with clinical indicators, morbidity and
mortality. Journal of Clinical Nursing, 15(4), 498- 504.
NANDA International.(2015), Nursing Diagnosis and
Classification 2015-2017, Wiley Blackwell, 2015.
Nichols, L. M., & Hunt, B. (2011). The significance of
spirituality for individuals with chronic illness:
Implications for mental health counseling. Journal of
Mental Health Counseling, 33(1), 51-66. Retrieved
from
http://search.proquest.com/docview/851297755?acco
untid=48290
Notoatmodjo, S. (2005). Metodologi Penelitian Kesehatan.
Jakarta: Rineka Cipta.
Nuri, A.K. (2015). Pengaruh Teknik Relaksasi Benson
Terhadap Kecemasan pada Pasien Hemodialisis di RS
PKU Muhammadiyah Yogyakarta. Diunduh
darihttp://etd.repository.ugm.ac.id/index.php?act=view
&buku_id=84470&mod_penelitian_detail&sub=Penelit
ianDetail&typ=html. Tanggal 25 Juli 2016, Pukul.
11.00 WIB.
256
Omran, N. E. E., & Khedr, A. M. (2015). Structure elucidation,
protein profile and the antitumor effect of the biological
active substance extracted from sea cucumber
holothuria polii. Toxicology and Industrial Health,
31(1), 1-8.
doi:http://dx.doi.org/10.1177/0748233712466135
O'Sullivan, D., & McCarthy, G. (2009). Exploring the
Symptom of Fatigue in Patients with End Stage Renal
Disease. Nephrology Nursing Journal, 36(1), 37-39, 47.
O‘Sullivan, D., & McCarthy, G. (2007). An exploration of the
relationship between fatigue and physical functioning in
patients with end stage renal disease. J Clin Nurs.
(16):276e284.
Painter, P., Carlson, L., Carey, S., Paul, S. M., & Myll, J.
(2000). Low-functioning hemodialysis patients improve
with exercise training. American Journal of Kidney
Diseases, 36(3), 600-608. doi: doi:10.1053/ajkd.
2000.16200
Park ER, Traeger L, Vranceanu AM, Scult M, Lerner JA,
Benson H, et al. (2013) The development of a patient-
centered program based on the relaxation response: the
Relaxation Response Resiliency Pro- gram (3RP).
Psychosomatics 54: 165–174. doi:
10.1016/j.psym.2012.09.001 PMID: 23352048
Pasyar, N., Rambod, M., Sharif, F., Rafii, F., & Pourali-
Mohammadi, N. (2015). Improving adherence and
biomedical markers in hemodialysis patients: The
effects of relaxation therapy. Complementary Therapies
257
in Medicine, 23(1), 38-45.
doi:http://dx.doi.org/10.1016/j.ctim.2014.10.011
Pernefri. (2013). 6th Annual Report of Indonesian Renal
Registry. Bandung: Indonesian Renal Registry.
Petchrung, T. (2004). Experience management: Strategies
and outcomes of fatique in hemodia- lysis patient
(Thesis Master, Faculty of Gra- duate Studies
mahidol Univercity). Diperoleh dari
http://mulinet10.li.mahidol.ac.th/e-thesis/
4437025.pdf.
Polit, D. F., & Beck, C. T. (2008). Nursing research:
Generating and assessing evidence for nursing practice.
Lippincott Williams & Wilkins.
Purwanto, S. (2006). Relaksasi dzikir. Jurnal psikologi
universitas Muhammadiayah semarang. 18(1).6-48.
Rambod, M., Pourali-Mohammadi, N., Pasyar, N., Rafii, F., &
Sharif, F. (2013). The effect of Benson's relaxation
technique on the quality of sleep of Iranian
hemodialysis patients: A randomized trial.
Complementary Therapies in Medicine, 21(6), 577-584.
doi: http://dx.doi.org/10.1016/j.ctim.2013.08.009
Reboredo, M. D. M., Henrique, D. M., Faria, R. S., Chaoubah,
A., Bastos, M. G., & de Paula, R. B. (2010). Exercise
training during hemodialysis reduces blood pressure and
increases physical functioning and quality of life.
Artificial Organs, 34(7), 586-593. doi:
doi:10.1111/j.1525-1594.2009.00929.x
258
Risnas, N. (2005). Pengaruh Relaksasi Benson terhadap
pemenuhan kebutuhan tidur pad alansia, jurnal
kesehatan hlm: 1-26,
http://www.scribd.com/doc/126027 156 Scale: is it
valid for children and adolescents? Journal of Clinical
Psychology, 66 (9). pp. 996-1007. ISSN 1097-4679.
Rizkha, C. (2009). Pengaruh Suhu Pengeringan Oven Terhadap
Kualitas Serbuk Albumin Ikan Gabus (Ophiocephalus
striatus). Skripsi. Fakultas Perikanan dan Ilmu
Kelautan. Universitas Brawijaya. Malang.
Rosenthai, T.C., Majeroni, B. A., Pretorius, R.P., & Malid,
K. (2008). Fatique: an overview. American Family
Phisician. Diperoleh dari www.aafp.org.
Saryono. (2011). Metodologi penelitian keperawatan.
Purwokerto: UPT. Percetakan dan Penerbitan Unsoed.
Sklar, A., Newman, N., Scott, R., Semenyuk, L., Schultz, J., &
Fiacco, V. (1999). Identification of factors responsible
for postdialysis fatigue. Am J Kidney Dis, 34:464-470
Smeltzer, S. C., Bare, B. G., Hinkle, J. L., & Cheever, K. H.
(2010). Brunner & suddarth textbook of medical-
surgical nursing. Philadelphia: Lippincott Williams &
Wilkins.
Stahl, J. E., Dossett, M. L., LaJoie, A. S., Denninger, J. W.,
Mehta, D. H., Goldman, R., . . . Benson, H. (2015).
Relaxation response and resiliency training and its
effect on healthcare resource utilization. PLoS One,
10(10)
doi:http://dx.doi.org/10.1371/journal.pone.0140212
259
Su, L.H., Wu, K.D., Lee, L.S., Wang, H., & Liu, C.F. (2009).
Effects of far infrared acupoint stimulation on
autonomic activity and quality of life in hemodialysis
patients. The American Journal of Chinese Medicine,
37(2), 215-226.
Sulistini, R., Yetti, K., & Hariyati, T.S. (2012). Faktor faktor yang
mempengaruhi fatigue pada pasien yang menjalani HD.
Jurnal Keperawatan Indonesia, Volume 15, No. 2, Juli
2012; hal 75-82
Suprayitno , E., A. Chamidah dan Carvallo. 1998. Studi Profil
Asam Amino, Albumin dan Seng Pada Ikan Gabus
(Ophiocephalus striatus) dan Ikan Tomang
(Ophiocephalus mikropeltes). Disertasi. Fakultas
Perikanan. Universitas Brawijaya. Malang
Tennant, K. F. (2012). Assessment of fatigue in older adults :
the facit fatigue scale (Version 4). Best Practices in
Nursing Care to Older Adults, 30.
Thomas-Hawkins, C., & Zazworsky, D. (2005). Self-
management of chronic kidney disease: Patients
shoulder the responsibility for day-to-day management
of chronic illness. How can nurses support their
autonomy? . American Journal of Nursing, 10 5( 10),
40- 48.
Unruh, M.L., Weisbord, S.D., & Kimmel, P.L. (2005).
Healthrelated quality of life in nephrology research and
clinical practice. Semin Dial, 18:82-90
van Vilsteren, M.C., de Greef, M.H., & Huisman, R.M. (2005).
The effects of a low-to-moderate intensity
260
preconditioning exercise programme linked with
exercise counselling for sedentary haemodialysis
patients in the netherlands: Results of a randomized
clinical trial. Nephrology, Dialysis, Transplantation,
20(1), 141-146. doi:10.1093/ndt/gfh560
Weisbord, S.D., Fried, L.F., & Arnold, R.M. (2005).
Prevalence, severity, and importance of physical and
emotional symptoms in chronic hemodialysis patients. J
Am Soc Nephrol, 16 : 2487-2494
Wood, M. J., & Ross-Kerr, J. C. (2011). Basic Steps in
Planning Nursing Research (7th ed.). United States of
America: Jones and Bartlett Publishers.
World Health Organization. (2014). Global Status Report on
Noncommunicable diseases.
Yan, F., Tian, X., & Dong, S. (2014). Effect of bacillus
baekryungensis YD13 supplemented in diets on growth
performance and immune response of sea cucumber
(apostichopus japonicus). Journal of Ocean University
of China.JOUC, 13(5), 805-810.
doi:http://dx.doi.org/10.1007/s11802-014-2238-9
Yanti, N. (2012). Perbandingan terapi zikir dengan Relaksasi
Benson terhadap kadar glukosa darah pasien diabetes
melitus di sumaterra barat. (Program Pasca Sarjana),
Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia,
Depok.
Yosep, Iyus. 2007. Keperawatan jiwa. Bandung : PT Refika
Aditama.
261
Yurtkuran, M., Alp, A., Yurtkuran, M., & Dilek, K. (2007). A
modified yogabased exercise program in hemodialysis
patients: A randomized controlled study.
Complementary Therapies in Medicine, 15(3)(164-171).
doi: doi: 10.1016/j.ctim.2006.06.008.
262
Exercise Dalam Penatalaksanaan Fatigue
Pada Anak Dengan Kanker : Literatur Review
Abstrak
Pendahuluan
264
sedangkan angka kematian disebabkan oleh kanker tahun 2012
sekitar 8,2 juta orang (Depkes RI, 2015).
Menurut National Cancer Institute (NCI) Tahun 2009,
diperkirakan terdapat lebih dari enam juta penderita baru
penyakit kanker setiap tahun, dan angka kematian akibat
kanker per tahun sekitar sembilan juta kematian. Dari seluruh
kasus kanker yang ada, NCI memperkirakan empat persen (4%)
diantaranya adalah kanker pada anak. Pada tahun 2009
diperkirakan terjadi 10.730 kasus baru kanker pada anak usia 0-
14 tahun di Amerika Serikat (NCI, 2009).
Di Indonesia, Yayasan Onkologi Anak Indonesia
mengungkapkan bahwa 2-3% penderita kanker di Indonesia
adalah anak-anak atau sekitar 150 dari 1 juta anak menderita
kanker. Hal tersebut berarti diperkirakan setiap tahunnya ada
sekitar 4000 kasus baru kanker pada anak di Indonesia (Umiati,
2010). Menurut Infodatin Depkes Tahun 2012, kanker menjadi
sepuluh besar penyakit utama yang menyebabkan kematian
anak di Indonesia (Depkes RI, 2015).
Penanganan kanker pada anak bertujuan untuk
mengendalikan jumlah dan penyebaran sel-sel kanker. Menurut
NCI (2009), penanganan kanker pada anak meliputi
kemoterapi, terapi biologi, terapi radiasi, cryotherapy,
transplantasi sumsum tulang dan transplantasi sel darah perifer
(peripheral blood stem cell). Selama mendapat pengobatan
kanker tersebut, anak-anak cenderung memiliki berbagai
keluhan. Kelelahan (fatigue), mual dan nyeri merupakan gejala
yang paling sering dilaporkan bagi sebagian besar anak-anak
dengan kanker yang dirawat di rumah sakit. Tetapi kebanyakan
265
pasien kanker lebih terganggu akibat timbulnya fatigue
daripada nyeri kanker itu sendiri (Yeh et al., 2012 dalam dalam
Arini, Widjajanto, dan Haryanti, 2015).
Fatigue merupakan gejala yang paling sering dialami
dan menjadi prevalensi tertinggi masalah fisik yang dilaporkan
oleh pasien onkologi pediatrik selama pengobatan. National
Comprehensive Cancer Network/ NCCN (2014) menyatakan
bahwa sekitar 80% pasien kanker mengalami fatigue. Selain itu
dalam proses pengobatan kanker sendiri meningkatkan
kebutuhan energi anak (Whitsett et al., dalam Arini,
Widjajanto, dan Haryanti, 2015). Hinds, Hockenberry, Gattuso,
et al. (2007) menemukan peningkatan yang signifikan dalam
kelelahan dan perubahan kualitas tidur dalam 5 (lima) hari
selama pengobatan leukemia limfositik akut (Hockenberry,
Hooke, McCarthy, et al., 2011).
Fatigue atau dikenal dengan istilah Cancer Related
Fatigue, merupakan suatu kondisi yang menimbulkan stress,
terjadi terus menerus, perasaan subjektif, emosi, kognitif, atau
menjalani pengobatan yang mengganggu fungsi tubuh (NCCN,
2014). Pengalaman fatigue yang dialami oleh pasien kanker
berbeda dengan keluhan fatigue jika dialami oleh individu yang
sehat. Cancer related fatigue tidak muncul sebagai akibat dari
aktifitas fisik ataupun aktifitas mental yang keras,
kecenderungannya fatigue ini menjadi keluhan yang kronis dan
tidak hilang dengan istirahat (Flinton, Thorne, Waller, et al.,
2002). Meskipun tidak semua anak dengan kanker berisiko
mengalami gejala fatigue, namun beberapa penyebab dapat
diidentifikasi, diantaranya kanker itu sendiri, kemoterapi,
266
transplantasi sumsum tulang, imunoterapi, terapi radiasi, dan
anemia; faktor yang diidentifikasi berkontribusi terhadap
fatigue termasuk rasa sakit, penderitaan emosional, gangguan
tidur, anemia, kekurangan gizi, gagal jantung, dan komorbidity
(Wang & Woodruff, 2008).
Karakteristik khas dari fatigue adalah kelelahan yang
dirasakan amat sangat dan tidak dapat hilang dengan istirahat.
Dalam perspektif anak, fatigue adalah keadaan dimana anak
merasa fisiknya sangat lemah dan lelah, mengalami kesulitan
dengan gerakan tubuh seperti menggerakkan lengan dan kaki
atau membuka mata. Pada remaja fatigue digambarkan sebagai
suatu keadaan yang dapat mencakup keletihan pada fisik,
mental dan emosional (Hockenberry, MJ et al., 2003).
Berdasarkan Linear Mixed Model (LMM), didapatkan bahwa
remaja yang mengalami peningkatan fatigue dan gangguan
tidur memiliki gejala lebih besar untuk mengalami depresi dan
perubahan perilaku. Dan peningkatan fatigue pada usia anak-
anak juga meningkatkan gejala depresi. Para orang tua
melaporkan peningkatan fatigue yang dirasakan pada anak-
anak dan remaja mereka, meningkatkan perilaku emosional dan
kesulitan mengontrol emosional (Hockenberry, Hooke,
McCarthy, et al., 2011).
Anak-anak dengan kanker diklasifikasikan sebagai
kelompok berisiko tinggi yang cenderung mengabaikan
masalah fatigue dikarenakan anak mengasumsikan fatigue
sebagai perasaan subjektif dan konsekuensi yang tidak dapat
dihindari akibat terapi kanker. Padahal anak berada dalam masa
pertumbuhan dan perkembangan, kondisi fatigue dan adanya
267
disfungsi fisiologis dapat mengganggu pembentukan indentitas
personal dan kehilangan kepercayaan diri. Fatigue menjadi
sebuah emosi yang kompleks dipengaruhi oleh motivasi dan
dorongan, takut dan marah, dan memori aktifitas sebelumnya.
Sehingga tanpa penatalaksanaan yang tepat, fatigue dapat
mengurangi keefektifan pengobatan dan kualitas hidup anak
(Arini, Widjajanto, Haryanti, 2015). Oleh karena itu
memberikan intervensi keperawatan yang tepat merupakan hal
yang penting untuk dilakukan oleh perawat anak.
Penanganan fatigue dapat dilakukan melalui berbagai
strategi keperawatan, bahkan banyak program intervensi
direkomendasikan baik strategi aktif maupun pasif. Strategi
tersebut diantaranya adalah: latihan fisik yang rutin, terapi
perilaku, psikostimulan, edukasi dan konseling pasien dan
keluarganya, penanganan faktor yang memengaruhi seperti
nyeri, distress emosional, gangguan tidur, anemia, dan
hipotiroidisme (Wang and Woodruff, 2008).
Exercise merupakan salah satu intervensi keperawatan
yang dapat dilakukan baik oleh perawat anak pada saat anak
dalam perawatan di rumah sakit dan dapat dilakukan pula oleh
keluarga dirumah setelah diberikan pelatihan. Exercise
merupakan intervensi yang direkomendasikan untuk
mengurangi keluhan fatigue akibat kanker (Kirsbaum, Marilyn,
2010). Dahulu jika anak dengan kanker melaporkan bahwa
mereka merasa lelah, mereka akan diberitahu untuk beristirahat
dan membatasi aktifitas. Saat ini beberapa bukti menunjukkan
bahwa yang terjadi adalah sebaliknya, aktivitas fisik berupa
exercise dapat mencegah atau mengurangi fatigue yang dialami
268
oleh anak-anak dengan kanker. Evidence base pertama tentang
pengaruh aktivitas fisik pada mood pasien kanker berasal dari
sebuah studi oleh Winningham dan MacVicar tahun 1983.
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa latihan fisik
terstruktur ini aman untuk pasien anak, dapat mengurangi
kelelahan, mual, dan meningkatkan aktifitas fisik (Flinton,
Thorne, Waller, Nelson, Francis, Cherry, 2002).
Beberapa manfaat exercise adalah dapat meningkatkan
efisiensi penggunaan oksigen, menurunkan istirahat denyut
jantung dan tekanan darah, meningkatkan fleksibilitas,
meningkat kekuatan (otot dan tulang) dan meningkatkan
kualitas tidur. Dalam aspek mental dan emosional, exercise
dapat mengurangi stres, meningkatkan perasaan sehat, harga
diri, self-efficacy dan rasa berada dalam kontrol dan kualitas
hidup secara keseluruhan (Kirshbaum, 2005; 2007). Semua
bentuk latihan fisik yang direkomendasikan untuk membantu
penurunan fatigue diantaranya adalah latihan aerobik, berjalan,
berenang, bersepeda, dan mendayung. Agar menghasilkan
manfaat fisik dan psikologis yang signifikan, latihan yang
dilakukan harus berirama, gerakan dilakukan berulang
melibatkan otot besar, dilakukan secara kontinu, berada pada
intensitas sedang (60-85% dari perkiraan denyut jantung
maksimum), dan idealnya dilakukan beberapa kali dalam satu
minggu. Latihan harus progresif, yaitu meningkat secara
bertahap dalam hal waktu dan frekuensi (Watson dan Mock,
2004 dalam Kirshbaum dan Marylin, 2010).
Studi literatur ini bertujuan untuk memberikan gambaran
berbagai hasil penelitian tentang feasibilitas dan efektifitas
269
exercise dalam penatalaksanaan fatigue pada anak dengan
kanker. Selanjutnya mengevaluasi publikasi ilmiah sehingga
dapat dijadikan bukti/ evidence based practice untuk
menentukan bahwa exercise dapat digunakan sebagai
pendekatan yang layak dan efektif untuk menangani fatigue
pada anak dengan kanker.
Metode
Studi ini merupakan tinjauan literatur (literature review)
yang menggali tentang feasibilitas dan efektifitas exercise
sebagai salah satu intervensi dalam penatalaksanaan fatigue
pada anak dengan kanker. Penelaahan dilakukan dengan
melakukan review terhadap hasil penelitian dari database
Proquest, Ebscohost, Pubmed, dan Google Scholar
menggunakan kata kunci exercise, fatigue, childhood cancer.
Kriteria penelitian yang diambil adalah penelitian original
menggunakan desain kuasi eksperimen dan ujicoba acak
terkontrol terhadap pasien anak dengan kanker. Pencarian
dilakukan pada bulan Agustus 2016 dengan batasan-batasan
meliputi artikel publikasi menggunakan Bahasa Inggris yang
dipublikasikan pada tahun 2009-2014. Berdasarkan skrining
kesesuaian tujuan review diperoleh 9 buah artikel penelitian
untuk kemudian dirangkum dan dilakukan narrative analysis.
Hasil Penelitian
Hasil penelusuran melalui database Proquest,
Ebscohost, Pubmed/Medline, dan Google Scholar dengan kata
kunci yang telah ditentukan, didapatkan 9 (sembilan) buah
270
artikel yang memenuhi kriteria melalui skrining kesesuaian
tujuan review. Exercise yang dilakukan dalam penelitian yang
ditelaah ini berupa latihan aerobik (exercise aerobic program)
baik latihan aerobik yang dilakukan di rumah (homebase
exercise aerobic program) maupun latihan aerobik di rumah
sakit. Beberapa penelitian mengkombinasi latihan aerobik
dengan latihan fisik lain seperti ROM aktif dan leg exercise
(penelitian Tanir dkk), atau mengkombinasinya dengan
progressive stretching dan strengthening (penelitian
Esbenshde, dkk), progressive resistance training (penelitian
Gordon, dkk), bahkan ada yang mengkombinasi dengan
konseling (penelitian Jarden, dkk). Menurut systematic review
dan meta analisis yang dilakukan oleh Echavez, Imenez, dan
Velez yang dipublikasikan tahun 2014 disebutkan bahwa
intervensi exercise dengan jenis aerobik, resistance training,
dan stretching dinilai efektif dalam mengendalikan cancer
related fatigue.
Dari 9 buah artikel penelitian, aerobic exerice telah
dilakukan terhadap 152 anak yang mengalami kanker yang
merupakan kelompok intervensi dan 98 anak sebagai kelompok
kontrol. Dalam proses penelitian terdapat responden yang
mengundurkan diri, sehingga dari seluruh artikel
mengkonfirmasi bahwa terdapat 67%-83% responden yang
dapat menyelesaikan intervensi secara penuh. Berikut ini
merupakan review beberapa hasil penelitian yang telah
dipublikasikan mengenai exercise sebagai penatalaksaan
fatigue pada anak dengan kanker.
271
Penelitian yang berkaitan salah satunya adalah
penelitian Yeh, Wai, Lin, et al., tahun 2011 yang bertujuan
menguji kelayakan dan efektifitas program home base aerobic
exercise untuk mengurangi fatigue pada anak dengan Leukemia
Limfoblastik Akut (LLA). Desain menggunakan kuasi
eksperimen dengan sampel sebanyak 22 anak. Program latihan
aerobik dilakukan kepada 12 responden sebagai kelompok
intervensi, sedangkan 10 anak pada kelompok kontrol
menerima perawatan biasa. Intervensi home base aerobic
exercise dilakukan dengan mengikuti langkah-langkah dalam
video yang dirancang khusus untuk studi, dilakukan dalam
waktu 30 menit setiap sesi sebanyak 3 kali seminggu selama 6
minggu. Home base aerobic terdiri dari: pemanasan, (5 menit),
latihan aerobik (25 menit), dan cooldown (5 menit), yang
direkomendasikan oleh American College Olahraga Medicine.
Pengumpulan data terdiri dari self reported meliputi The
PedsQL Multidimensional Fatigue Scale, The Physical Activity
Log, The Children’s OMNI-Walk/ Run Scale, and Stage of
Change-Exercise Behavior. Pengukuran secara objektif
menggunakan tes latihan maksimal untuk menilai fungsi
kardiorespirasi.
Hasil penelitian didapatkan mean difference dari skor
fatigue secara umum antara kelompok kontrol dengan
kelompok intervensi moderate significan (P= 0,06). Anak-anak
pada kelompok intervensi melaporkan mengalami penurunan
skala fatigue secara umum dibandingkan kelompok kontrol
setelah 1 bulan pemberian exercise. Kepatuhan responden
untuk mengikuti intervensi sebanyak 67-83%, temuan
272
menunjukkan bahwa home base aerobic exercise mempunyai
feasibilitas dan dapat digunakan untuk mengurangi fatigue pada
anak dengan LLA yang sedang menjalani kemoterapi (Yeh,
Wai, Lin, et al., 2011).
Sejalan dengan penelitian diatas, Tanir dan Kuguoglu
tahun 2011 melakukan Randomized Controlled Trial untuk
mengetahui pengaruh program exercise terhadap kualitas hidup
anak dengan LLA. Partisipan terdiri dari 19 anak sebagai
kelompok intervensi (15 anak laki-laki, 4 anak perempuan) dan
21 anak kelompok kontrol, selain itu terdapat 1 anak gugur.
Program exercise meliputi Range Of Motion (ROM) aktif, leg
exercises untuk memperkuat otot, dan aerobic exercise. ROM
aktif dilakukan 3 sesi/ hari selama 5 hari setiap minggu,
pengulangan dalam setiap sesi dilakukan 20x. Leg exercises
dilakukan 3x/hari sebanyak 3 hari/minggu, sedangkan aerobic
exercise dilakukan 3x/ minggu selama 0.5 jam setiap latihan.
Pengukuran kualitas hidup anak berdasarkan self reported
menggunakan instrumen PedsQL 3.0 dan 4.0. Sedangkan
Pengukuran kebugaran fisik secara objektif menggunakan The
9 Minute Walk Test untuk mengukur kapasitas fungsi maksimal
dan ketahanan kardiorespirasi.
Hasil penelitian setelah 3 (tiga) bulan diberikan
program exercises, didapatkan beberapa hasil, diantaranya yang
berhubungan dengan kualitas hidup anak terdapat penurunan
yang signifikan pada sub skala nyeri, sakit, dan kecemasan
terkait prosedur yang dilakukan baik pada kelompok intervensi
maupun kelompok kontrol. Sedangkan pengukuran kebugaran
fisik pada kelompok intervensi didapatkan perbedaan sangat
273
signifikan (p = 0.001) antar pre dan post exercise. Hal tersebut
berbeda dengan kelompok kontrol, dimana pengukuran
kebugaran tidak ditemukan perbedaan yang signifikan
(p=0.785). Selain itu, berdasarkan pengukuran menggunakan
The 9 Minute Walk Test, didapatkan peningkatan kemampuan 9
menit berjalan kaki, kekuatan otot kaki, dan peningkatan nilai
hemoglobin dan hematokrit. Sehingga dapat disimpulkan
program exercises pada anak penderita LLA sangat bermanfaat
untuk meningkatkan kemampuan fisik dan direkomendasikan
untuk diimplementasikan di lapangan.
Penelitian lain yang berhubungan dengan program
exercise adalah penelitian yang dilakukan Jarden, et al., tahun
2013 tentang Pengaktifan Pasien melalui Konseling dan
Exercises pada Pasien Leukemia Akut (PACE-AL). Studi ini
merupakan ujicoba terkontrol secara acak (Randomized
Controlled Trial) untuk menentukan apakah pasien Leukemia
Akut bisa mendapatkan manfaat dengan pemberian konseling
dan pemberian exercise terstruktur. Intervensi dilakukan
kepada 70 anak penderita Leukemia Akut setelah menjalani
induksi kemoterapi yang dikelola di Rawat Jalan. Sebanyak 35
partisipan merupakan kelompok intervensi, 35 partisipan
sisanya sebagai kelompok kontrol. Program exercise dan
konseling dilakukan selama 12 minggu dengan rincian 3.5 jam
per minggu dilakukan latihan aerobik terstruktur (intensitas
sedang hingga tinggi 70-80%), kekuatan latihan menggunakan
beban tangan dan latihan relaksasi. Sedangkan pemberian
konseling mencakup peningkatan fungsional dan kapasitas fisik
dengan melakukan program berjalan di rumah. Konseling
274
dilakukan tiga kali selama 30-60 menit minggu ke-1, ke-6 dan
ke-12. Prinsip utama konseling untuk menciptakan kemitraan
dengan pasien dan meningkatkan kepatuhan terhadap intervensi
selama periode penelitian. Selain itu memotivasi perilaku
kesehatan partisipan yang positif, termasuk mempertahankan
atau meningkatkan aktivitas fisik selama maupun diluar sesi
latihan, dan setelah selesai program.
Hasil primer yang ingin didapatkan adalah fungsional
kapasitas kinerja/ olahraga (6 menit berjalan kaki). Hasil
sekunder adalah pasien melaporkan tingkat aktivitas fisik,
kualitas hidup, kecemasan dan depresi, prevalensi gejala,
intensitas dan gangguan. Hasil penelitian didapatkan bahwa
efek exercise dan konseling dapat mengaktivasi fungsional dan
kapasitas fisik pasien, mengurangi beban gejala dan
meningkatkan kualitas hidup pasien dengan leukemia akut
selama pasien diluar pengelolaan.
Adapun studi kelayakan dan efektifitas program
exercise bagi anak dengan kanker dilakukan oleh Esbenshade,
Friedman, Smith, et al., yang dipublikasikan tahun 2014. Studi
ini merupakan percontohan untuk menilai kelayakan dan
efikasi awal terhadap exercise sebagai intervensi untuk anak
dengan Leukemia Limfoblastik Akut (LLA) yang menjalani
terapi secara teratur. Partisipan dalam studi ini adalah anak
yang menderita LLA pada rentang usia 5-10 tahun yang
mendapatkan pengobatan teratur. Intervensi dilakukan selama 6
bulan dirumah menggunakan instruksi dari video dan dilakukan
supervisi dari pelatih setiap minggu. Exercise dirancang untuk
mengatasi penurunan kebugaran dan tujuh gangguan umum
275
pada neuromuskuloskeletal dengan metode progressive
stretching (peregangan secara progresif), strengthening
(penguatan), dan aerobic exercise (latihan aerobik). Pre dan
post intervensi dilakukan evaluasi kekuatan, fleksibilitas,
kebugaran, dan fungsi motorik. Hasil penelitian didapatkan 17
(63%) partisipan dapat berpartisipasi dalam intervensi dan 12
partisipan tersebut dapat menyelesaikan intervensi secara penuh
yaitu 81.7±7.2% dari sesi yang ditentukan. Perbaikan > 5%
terjadi pada 67% lutut dan 75% kekuatan peregangan, 58%
pinggang dan 83% untuk fleksibilitas pergelangan kaki, 75%
untuk test berjalan 6 menit dan 33% untuk penampilan sesuai
Bruininks-Oseretsky Test of Motor Proficiency Version 2.
Sehingga studi percontohan ini menunjukkan bahwa intervensi
exercise dapat digunakan (feasible) dan memberikan manfaat
pada anak dengan LLA yang menjalani terapi pengobatan.
276
dilakukan dengan memberikan aerobic exercise training
bertingkat dan progressive resistance training untuk 5 hari/
minggu selama 4 minggu. Aerobic exercise training dilakukan
selama 20-40 menit bersepeda dan treadmill. Progressive
resistance training melibatkan 16 latihan, beban sedang dan
berulang-ulang. Pengukuran dilakukan dengan mengukur
exercise tolerance (waktu muncul kelelahan), tingkat maksimal
treadmill test, keseimbangan metabolisme, kualitas hidup,
kekuatan muskuler (maksimum push-up) dan daya tahan (sit-
to-stand), dan kuesioner evaluasi gejala depresif, serta tingkat
fatigue. Hasil utama dari penelitian ini bahwasanya progressive
resistance training merupakan latihan aerobik yang efektif
untuk meningkatkan kualitas hidup dan toleransi fisik remaja
dengan sindrom fatigue kronik. Ini menjadi temuan penting
karena penelitian sebelumnya melaporkan bahwa progressive
resistance exercise hanya dapat diimplementasikan sebagai
bagian dari exercise setelah menyelesaikan latihan arobik
selama 4 minggu. Untuk menurunkan tingkat fatigue, tidak ada
intervensi secara signifikan lebih baik dari yang lain, akan
tetapi kapasitas fisik dan kualitas hidup secara signifikan
meningkat dengan intervensi ini, sedangkan tingkat fatigue dan
gejala depresi berkurang hanya dengan latihan aerobik. Secara
umum, partisipan yang dapat menyelesaikan intervensi baik
progressive resistance training maupun aerobic training
mengalami peningkatan yang signifikan dalam kapasitas fisik,
kualitas hidup serta menurunkan tingkat fatigue.
Exercise dengan latihan aerobik juga bermanfaat
dilakukan pada anak kanker yang mendapat terapi stem cell.
277
Penelitian oleh Guilcher, Khan, et al., tahun 2012 dengan
percobaan acak terkontrol untuk mempelajari pengaruh
program latihan aerobik pada pemulihan sel kekebalan pada
pasien yang menjalani sebuah transplantasi sel induk autologus.
Percobaan ini juga mengidentifikasi apakah intervensi dapat
mengurangi kerusakan dalam kualitas hidup, kebugaran fisik,
dan gaya hidup. Exercise dilakukan terhadap 24 anak (usia 5-18
tahun) dengan 12 anak sebagai kelompok intervensi dan
sisanya sebagai kontrol. Program exercise meliputi kekuatan,
fleksibilitas dan latihan aerobik dilakukan pada fase rawat inap
5x/ minggu selama 20-30 menit dalam 10 minggu selanjutnya
fase latihan dirumah 3x/minggu selama 60 menit (aerobik,
strength dan stretching). Hasil penelitian didapatkan bahwa
aktivitas fisik memiliki kemampuan mempromosikan modulasi
kekebalan tubuh dengan melibatkan beberapa jalur biologis,
termasuk pengurangan peradangan, peningkatan respon anti
tumor dan memodulasi sel pembunuh reseptor immunoglobulin
(KIRs). Aerobic exercise juga meningkatkan kapasitas kardio
respirasi, kekuatan, menurunkan tingkat fatigue dan
meningkatkan kualitas hidup anak.
Pada anak yang lebih besar, untuk mendapatkan hasil
yang lebih baik, latihan aerobik dapat digabungkan dengan
strength training program. Hal tersebut berdasarkan penelitian
yang dilakukan Perondi, Gualano, Artioli, et al., yang
dipublikasikan tahun 2012. Penelitian ini merupakan studi
kuasi eksperimental terhadap 6 anak berusia 5-16 tahun untuk
meneliti efek program latihan yang menggabungkan latihan
ketahanan intensitas tinggi dan intensitas sedang dalam latihan
278
aerobik pada pasien muda yang menjalani pengobatan ALL.
Responden menjalani program latihan aerobic selama 12
minggu di rumah sakit yang melibatkan intensitas tinggi latihan
kekuatan dan latihan aerobik dengan konsumsi oksigen puncak
70%. Setelah 12 minggu, dinilai kekuatan sub maksimal,
kualitas hidup termasuk fatigue, dan efek samping yang
mungkin muncul. Hasil menunjukkan sebuah perbaikan
signifikan diamati dalam kekuatan sub maksimal yaitu leg
press (73%), leg extension (64%), bench press (71%), dan lat
pull down (50%) sebagai hasil exercise (P=<0,01). Sepanjang
periode pelatihan, tidak ada laporan nyeri, cedera otot, kram,
nyeri otot, ekimosis, kelelahan berlebihan, perdarahan otot,
infeksi, supresi ematologi atau perubahan dalam parameter
darah biokimia. Evaluasi orangtua mengungkapkan adanya
perbaikan kualitas hidup anak-anak mereka dan
mengungkapkan perbaikan fatigue (p < 0.05).
Adapun menurut penelitian yang dilakukan Kaushal,
Narendra, dan Smitha (2013) menunjukkan temuan yang lain.
Penelitian ini membandingan efektifitas antara teknik relaksasi
dan latihan aerobik dalam mengurangi gejala fatigue selama
pemberian kemoterapi pada anak LLA, dilakukan pada 40
partisipan dibagi dalam dua kelompok. Kelompok A diberikan
intervensi latihan aerobik sedangkan kelompok B diberikan
intervensi teknik relaksasi Jacobson. Latihan aerobik
merupakan sub maksimal ritmik, exercise berulang-ulang pada
otot besar selama oksigen yang dibutuhkan tersedia dari
inspirasi. Intervensi dilakukan selama 20 menit setiap hari
selama 3 minggu. Hasil penelitian menunjukkan terdapat
279
penurunan tingkat fatigue yang signifikan baik pada kelompok
yang diberikan latihan aerobik maupun teknik relaksasi,
meskipun penurunan lebih terlihat pada kelompok teknik
relaksasi Jacobson (P = 0.001).
Sedangkan penelitian yang dialakukan Takken, Torre,
Zwerink, et al., tahun 2009 juga menunjukkan hasil berbeda.
Penelitian ini bertujuan untuk mengembangkan exercise
training program selama 12 minggu (meliputi aerobik dan
latihan fisik), dan studi kelayakan serta efikasi program
exercise pada anak penderita Leukimia Limfoblastik Akut
(ALL) yang bertahan hidup. Penelitian ini dilakukan terhadap 9
(sembilan) orang anak penderita ALL berusia 6-18 tahun
sebagai sampel dengan metode pemberian exercise training
program selama 45 menit setiap sesi latihan dilakukan 2 kali
seminggu selama 12 minggu. Hasil penelitian menunjukkan
hanya 1 anak/ orang tua yang menyelesaikan program exercise
dan mengembalikan kuesioner. Empat anak melaporkan
berbagai gejala fisik selama exercise (sakit kepala, nyeri otot,
kelelahan, dan hiperventilasi). Berbagai keprihatinan tentang
tingkat kelelahan diungkapkan oleh anak-anak, durasi
pelatihan, peralatan pelatihan yang diperlukan, dan kurangnya
variasi program pelatihan di rumah oleh sebagian besar pelatih.
Keberhasilan program terletak pada kekuatan otot, kapasitas
latihan, mobilitas fungsional. Akantetapi untuk tingkat fatigue
tidak menunjukkan perbedaan yang signifikan antara pra dan
paska intervensi.
280
Pembahasan
Perawat anak harus mengenali adanya gejala fatigue
akibat kanker. Melakukan pengkajian secara kontinu dan
konsisten akan menentukan intervensi dan penanganan yang
tepat. Memberikan penanganan yang cepat serta tepat
merupakan hal yang penting untuk dilakukan oleh perawat
anak.
Berdasarkan hasil penelaahan terhadap 9 (sembilan)
buah artikel yang memenuhi kriteria, secara umum exercise
yang dilakukan dalam menurunkan tingkat fatigue pada anak
dengan kanker adalah latihan aerobik (exercise aerobic
program). Latihan aerobik tersebut sebagian besar dilakukan di
rumah (homebase exercise aerobic program) dengan adanya
pengawasan atau instruktur. Ada beberapa penelitian
mengkombinasi latihan aerobik dengan latihan fisik lain seperti
ROM aktif, leg exercise, progressive stretching, strengthening,
progressive resistance training, strength training program,
bahkan dikombinasi dengan memberikan konseling.
Pelaksanaan latihan aerobik rata-rata didapatkan 2-5x/ minggu
selama 20-45 menit setiap sesi. Latihan tersebut dilaksanakan
selama 6-12 minggu.
Dari 152 anak yang melaksanakan intervensi aerobic
exercise, satu artikel mengkonfirmasi terdapat 5 anak yang
mengundurkan diri, dan satu buah artikel yang lain
mengkonfirmasi 4 anak melaporkan gejala fisik selama
exercise seperti sakit kepala, nyeri otot, dll. Akantetapi secara
umum seluruh artikel mengkonfirmasi sebanyak 67%-83%
responden dapat menyelesaikan intervensi secara penuh.
281
Feasibilitas atau kelayakan sebuah studi diukur jika terdapat
sebagian besar responden yang dapat menyelesaikan secara
penuh intervensi yang dilakukan (Yeh et al.,). Berdasarkan hal
tersebut, intervensi exercise dengan jenis aerobic exercise
program merupakan intervensi yang aman dan layak (feasible)
digunakan pada anak dengan kanker.
Hal tersebut sejalan dengan sistematik review yang
dilakukan oleh Baumann, Bloch dan Beulertz, yang
dipublikasikan tahun 2012 tentang ―Clinical Exercise
Interventions in Pediatric Oncology” yang bertujuan
mengevaluasi bukti-bukti ilmiah terkait exercise yang
direkomendasikan untuk anak dengan kanker. Hasil
penelusuran literatur menunjukkan seluruh studi
mengkonfirmasi bahwa intervensi exercise yang dilakukan
pada anak dengan kanker bersifat layak dan aman. Tidak ada
efek samping atau komplikasi yang terkait dengan exercise
sebagai intervensi yang dilaporkan dari 17 studi terkait. Bahkan
dalam 4 studi mengkonfirmasi bahwa feasibilitas atau
kelayakan merupakan hasil yang utama.
Adapun efektifitas exercise dalam menurunkan tingkat
fatigue pada anak dengan kanker, didapatkan 1 buah penelitian
menyebutkan cukup signifikan (moderate significant), 6 buah
penelitian lainnya menyebutkan exercise dapat menurunkan
fatigue secara signifikan, dan 1 buah penelitian menyebutkan
meskipun terdapat penurunan tingkat fatigue yang signifikan
akan tetapi nilai signifikansi lebih tinggi pada teknik relaksasi
Jacobson. Sedangkan terdapat 1 buah penelitian yang
menunjukkan bahwa pada pre dan post exercise tidak terdapat
282
perbedaan tingkat fatigue. Dalam penelitian ini mungkin
disebabkan intensitas latihan aerobik dengan intensitas tinggi
dan durasi waktu latihan yang lebih lama dengan latihan pada
penelitian lain.
Tingkat fatigue dalam beberapa penelitian diukur
menggunakan instrumen PedsQL Multidimensional Fatigue
Scale, dimana instrumen ini memiliki reliabilitas tinggi yaitu
0,83-0,93 (Cronbach α Coefficient). Peneliti juga menggunakan
instrumen PedsQL 4.0 dari Varini (2001), dan The European
Organization for Research and Treatment of Cancer Quality of
Life Questionnaire (C30 EORTC QLQ-C30) untuk mengukur
kualitas hidup anak yang berhubungan dengan fatigue. Atau
adapula yang menggunakan instrumen Patient Reported
Outcomes (PRO), dimana pasien melaporkan sendiri gejala-
gejala fatigue yang dialami. Seluruh instrumen tersebut dapat
digunakan oleh peneliti dapat mengukur sesuai dengan tujuan
penelitian.
Untuk mengukur efektifitas dan manfaat intervensi,
beberapa penelitian mengukur tingkat kebugaran fisik
responden pre dan post intervensi. Tingkat kebugaran diukur
menggunakan beberapa instrumen diantaranya The 9 Minute
Walk Test, OMNI Walk-Run Scale, dan The Modified Six
Minute Walk Test (6MWT).
Berdasarkan pengukuran menggunakan instrumen
diatas, didapatkan responden mengalami peningkatan
kemampuan 6-9 menit berjalan kaki dan peningkatan jarak
berjalan, meningkatkan kekuatan otot kaki, peningkatan
kapasitas fungsi kardiorespirasi, peningkatan toleransi fisik,
283
juga peningkatan nilai hemoglobin dan hematokrit. Sehingga
dapat disimpulkan program exercise pada anak dengan kanker
sangat bermanfaat pula untuk meningkatkan kemampuan fisik
anak. Hal ini sejalan dengan sebuah meta analisis yang
dilakukan oleh Zhuo, Zhu, Gu, et al., yang dipublikasikan tahun
2016 tentang manfaat intervensi exercise pada pasien Leukimia
Akut. Penelitian ini menyebutkan bahwa exercise memiliki
efek menguntungkan pada kebugaran kardiorespirasi, kekuatan
otot dan mobilitas fisik anak dengan leukemia akut.
Pengobatan untuk kanker pada anak mempunyai efek
negatif yang berpengaruh terhadap pertumbuhan dan
perkembangan, disfungsi kognitif dan psikologis, penurunan
fungsi neurologis, dan penurunan kualitas masa depan anak.
Anak yang tumbuh tidak aktif, dimasa depan akan menjadi
orang dewasa yang tidak aktif pula. Exercise yang dilakukan
teratur dapat membantu mengurangi efek samping yang timbul
pada anak dengan kanker yang bertahan hidup, sehingga dapat
meningkatkan kapasitas fisik dan kualitas hidupnya (Patti,
Paoli, Bianco, 2013). Saat ini belum ada standarisasi exercise
yang dapat dijadikan protokol tunggal untuk penatalaksanaan
fatigue pada anak dengan kanker. Oleh karena itu, diperlukan
kerjasama yang baik antara tenaga kesehatan di tempat
pelayanan kesehatan dan tenaga kesehatan yang bertugas di
komunitas, juga membutuhkan kerjasama profesi lain yang
terkait karena dimasa depan, exercise akan memegang peranan
penting terutama bagi anak dengan kanker yang bertahan
hidup.
284
Simpulan
Berdasarkan tinjauan literatur yang telah dipaparkan,
menunjukkan bahwa intervensi exercise dengan jenis aerobic
exercise program baik yang dilakukan mandiri maupun disertai
latihan lain seperti ROM aktif, progressive stretching,
progressive resistance training, strengthening, dan leg exercise
merupakan intervensi yang aman dan layak (feasible)
digunakan pada anak dengan kanker.
Adapun dari segi efektifitasnya, penurunan tingkat
fatigue pada anak dengan kanker sangat beragam, namun
secara umum exercise yang dilakukan dapat menurunkan
tingkat fatigue pada anak dengan kanker secara signifikan.
Akantetapi perlu dikaji kembali aspek waktu, durasi, dan
intensitas dari exercise yang dilakukan. Berdasarkan
pengukuran menggunakan instrumen kebugaran fisik, exercise
bermanfaat bagi anak dalam mengaktifasi fungsi dan
meningkatkan kapasitas kardiorespirasi, meningkatkan
kemampuan berjalan, meningkatkan kekuatan otot kaki,
meningkatkan toleransi fisik, meningkatkan nilai hemoglobin
dan hematokrit, meningkatkan beberapa aspek dalam kualitas
hidup anak dengan kanker. Sehingga exercise mempunyai
peranan penting dimasa depan terutama bagi anak penderita
kanker yang dapat bertahan hidup.
285
Daftar Pustaka
Arini, Widjajanto, Haryanti. (2015). The Relationship Between
Fatigue And Play Activities Of Children With Acute
Lymphoblastic Leukemia Receiving Chemotherapy.
International Journal of Research in Medical Sciences
Arini T et al. Int J Res Med Sci. 2015 Dec;3 (Suppl
1):S53-S60 .
www.msjonline.org.DOI:http://dx.doi.org/10.18203/2
320-6012.ijrms 20151521
287
Pilot Study. Clinical Rehabilitation 2010; 24: 1072–
1079
290
Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kualitas Hidup Pasien
DM tipe 2
Pendahuluan
293
perasaan bahagia dan puas akan kemampuan dirinya sendiri
(Reisi, 2016). Sementara self care juga memegang peranan
penting terhadap kualitas hidup. Self care dalam diabetes terdiri
dari kemampuan pasien dalam menaati program diet, latihan
fisik, pengontrolan kadar gula darah, pengobatan dan
perawatan kaki yang bertujuan untuk mencegah komplikasi
lanjut dan mengontrol gula darah. Ketika pasien mampu
melakukan perawatan secara mandiri maka kualitas hidupnya
akan meningkat pula, sementara pasien yang kurang mampu
melakukan self care diabetes, kualitas hidupnya akan menurun
(Shehri, Amer, et al, 2008). Telaah literatur ini bertujuan untuk
mengidentifikasi faktor yang mempengaruhi kualitas hidup
penderita diabetes.
Metode
294
Hasil Penelitian
295
.009)
terhadap self
care
diabetes.
298
Azar Tol, Department Penelitian ini Ditemukan
Gholamreza of Health menggunak hubungan
Sharifirad, Education an cross yang
Ahmadali and sectional signifikan
Eslami, Promotion, study antara
Davoud School of dengan peningkatan
Shojaeizadeh Public responden self efficacy
(2015) Health, 140 orang di dan kualitas
Isfahan Om-ol-Banin hidup pasien
Analysis of University of Diabetes diabetes.
some Medical Center,
predictive Sciences, Isfahan
Isfahan
factors of
quality of
life among
type 2 diabetic
patients
299
care pasien meningkat, maka terjadi pula peningkatan pada
nilai kualitas hidup pasien diabetes.
Pembahasan
300
management perawatan diabetes khususnya kontrol gula darah
diabetes. Dengan adanya informasi berkala mengenai
perawatan diabetes pada pasien, akan mampu menumbuhkan
rasa percaya diri dan motivasi terhadap kondisinya, sehingga
pasien akan memiliki aktivitas self care yang baik.
Simpulan
Daftar Pustaka
302
Hutama, Reza. 2016. Pengaruh Antara Efikasi Diri Dan
Religiusitas Terhadap Kebahagiaan Penderita Diabetes
Tipe Ii (Rsud A.W Syahranie Samarinda). eJournal
Psikologi, 2016, 4 (3): 343-351 ISSN 2477-2674
Khairani, Rita. 2007. Prevalence of diabetes mellitus and the
relationship with quality of life of older people in the
community. Universa Medicina Vol. 26 no 1
Koetsenruijter, Jan.,et al. 2014. Social support systems as
determinants of self-management and quality of life of
people with diabetes across Europe: study protocol for
an observational study, (online.).
http://www.hqlo.com/content/12/1/29, (diakses
tanggal 2 September 2016)
Koh, Odelia; et al. 2014. Establishing the Thematic Framework
for a Diabetes-Specific Health-Related Quality of Life
Item Bank for Use in an English-Speaking Asian
Population. PLOS ONE |
DOI:10.1371/journal.pone.0115654 December 22, 2014
Mayberry, Lindsay Satterwhite.,et al. 2014. Family
involvement is helpful and harmful to patients’ self-care
and glycemic control. Patient Educ Couns. 2014
December ; 97(3): 418–425.
doi:10.1016/j.pec.2014.09.011
Nwankwo, C.H., et al. 2010. Factors influencing diabetes
managemen outcome among patients attending
government health facilities in south east, Nigeria.
International journal of tropical medicine, 5(2), 28-36
303
Phumptong, Ganiga., et al. 2015. Complementary and
alternative medicines for diabetes mellitus management
in ASEAN countries. Complementary Therapies in
Medicine (2015) 23, 617—625
Price & Wilson. 2006. Patofisiologi Konsep Klinis Prosess-
Proses Penyakit. Edisi VI Volume 2. Jakarta: EGC
Rahmadiliani, Nina. 2008. Hubungan Antara Pengetahuan
Tentang Penyakit Dan Komplikasi Pada Penderita
Diabetes Melitus Dengan Tindakan Mengontrol Kadar
Gula Darah Di Wilayah Kerja Puskesmas I Gatak
Sukoharjo. Berita Ilmu Keperawatan ISSN 1979-2697,
Vol. I, No. 2 , Juni 2008, 63-68
Reisi, Mahnoush; et al. 2016. Impact of Health Literacy, Self-
efficacy, and Outcome Expectations on Adherence to
Self-care Behaviors in Iranians with Type 2 Diabetes.
Oman Medical Journal [2016], Vol. 31, No. 1: 52–59
Rosyada, Amrina; Indang Trihandini. 2013. Determinan
Komplikasi Kronik Diabetes Melitus pada Lanjut Usia.
Jurnal Kesehatan Masyarakat Nasional Vol. 7, No. 9,
April 2013
Saragih, W. S. 2010. Hubungan Dukungan Keluarga Dengan
Harga Diri Pasien TB Paru Yang Dirawat di Rumah
Sakit Umum Daerah Sidikalang, (online),
(http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/265
18/7/Cover.pdf, diakses 1 September 2016)
Shehri, Amer, et al. 2008. Health-Related Quality Of Life In
Type 2 Diabetic Patients. Ann Saudi Med 2008; 28(5):
352-360
304
Tol, Azar.,et al. 2015. Analysis of some predictive factors of
quality of life among type 2 diabetic patients. Journal of
Education and Health Promotion | Vol. 4 | February
2015
WHO. 2011. Diabetes Melitus, (online),
(http://whqlibdoc.who.int/publications/2011/9789241
502283_eng.pdf, diakses 1 September 2016.
Wild S, Sicree R, Roglic G, King H, Green A.Global
prevalence of diabetes: estimates for the year 2000 and
projections for 2030. Diabetes Care 2004; 27: 1047-53.
World Health Organization. WHOQOL-BREF: introduction,
administration, scoring and generic version of the
assessment. Field trial version. Programme on mental
health. Geneva: World Health Organization; 1996.
Yusra, A. (2011). Hubungan antara Dukungan Keluarga dengan
Kualitas Hidup Pasien Diabetes Melitus Tipe 2 di
Poliklinik Penyakit Dalam Rumah Sakit Umum Pusat
Fatmawati Jakarta. Tesis: Universitas Indonesia. Tidak
dipublikasikan.
305
Self Efficacy Lansia dalam Pemanfaatan Skrining Katarak
di Puskesmas Kademangan Kabupaten Cianjur
Abstrak
306
setengah responden (51%) sudah memiliki self-efficacy tinggi
dalam pemanfaatan program katarak, dan sebagian besar
responden (49%) memiliki self-efficacy sedang. Hanya
sebagian kecil responden (17%) yang sudah pernah
mendapatkan informasi tentang katarak. Tingkat self-efficacy
lansia yang sedang dan tinggi dalam pemanfaatan program
skrining katarak menunjukan bahwa lansia akan datang ke
Puskesmas untuk memeriksakan dirinya jika mereka
mengetahui tujuan kenapa mereka perlu melakukan
pemeriksaan tersebut. Diperlukan evaluasi dari program
sosialisasi yang selama ini sudah dilakukan oleh Puskesmas
dan perlu kegiatan langsung untuk lebih menekankan tentang
pentingnya skrining katarak bagi lansia, misalnya melalui
gerakan pemberdayaan kader, agar kunjungan lansia ke
Puskesmas dapat ditingkatkan, sehingga komplikasi katarak
dapat dicegah lebih lanjut.
Pendahuluan
Katarak merupakan penyebab kebutaan yang paling
utama di Indonesia maupun di dunia. Sebesar 51% dari seluruh
kebutaan di dunia disebabkan oleh katarak dan setidaknya
terdapat 18 juta orang di dunia menderita kebutaan akibat
katarak. Perkiraan insiden katarak adalah 0,1% per tahun atau
terdapat seorang penderita baru katarak di antara 1.000 orang
setiap tahunnya (WHO, 2010). Penduduk Indonesia juga
memiliki kecenderungan menderita katarak 15 tahun lebih
307
cepat dibandingkan penduduk di daerah subtropis. Sekitar 16-
22% penderita katarak yang dioperasi berusia di bawah 55
tahun (Kemenkes RI, 2014).
Metode
Jenis penelitian ini adalah deskriptif kuantitatif.
Responden terdiri dari 100 orang lansia dari Desa
Kademangan, Desa Sukamanah, Desa Bobojong, Desa
Cikidang Bayabang dan Desa Mekarjaya Kabupaten
Purwakarta yang dipilih melalui teknik purposive sampling.
Instrumen self-efficacy dikembangkan sendiri oleh peneliti
dengan merujuk pada guide for constructing self-efficacy
scales Bandura dan telah melalui uji validitas serta reabilitas
dengan nilai reabilitas 0.924. Data dikumpulkan dengan
mendatangi rumah setiap responden, kemudian dianalisis dan
disajikan dalam bentuk distribusi frekuensi.
Variabel Responden
(n=50)
f %
Usia (thn)
60-74 elderly 86 86,0
75-90 old 14 14,0
>90 very old 0 0,0
Jenis Kelamin
laki-laki 25 25,0
perempuan 75 75,0
Pendidikan
Tidak sekolah 8 8,0
SD 84 84,0
SMP 4 8,0
SMA 1 1,0
313
Variabel Responden
(n=50)
f %
PT 3 3,0
Agama
Islam 50 100,0
Status Pernikahan
Belum menikah 1 2,0
Menikah 51 51,0
Janda/Duda 48 48,0
Tinggal bersama
Sendiri 13 13,0
Suami/istri 13 13,0
Suami/istri dan anak 24 24,0
Suami/istri, anak, 26 26,0
menantu dan cucu
Lainnya 24 24,0
Penghasilan
Tidak punya 39 39,0
penghasilan
Dibawah 500 rb 22 22,0
500 rb sd 1 jt 25 25,0
Diatas 1 jt 14 14,0
Pernah mendapat informasi tentang
katarak
Ya 17 17,0
Tidak 83 83,0
314
Variabel Responden
(n=50)
f %
Ada pengantar ke faskes jika sakit
Ya 98 98,0
Tidak 2 2,00
Simpulan
Hasil penelitian menunjukan bahwa lebih dari setengah
responden (51%) sudah memiliki self-efficacy tinggi dalam
pemanfaatan program katarak, dan sebagian besar responden
(49%) memiliki self-efficacy sedang. Hanya sebagian kecil
responden (17%) yang sudah pernah mendapatkan informasi
tentang katarak.
Implikasi Keperawatan
Tingkat self-efficacy lansia yang sedang dan tinggi
dalam pemanfaatan program skrining katarak menunjukan
bahwa lansia akan datang ke Puskesmas untuk memeriksakan
dirinya jika mereka mengetahui tujuan kenapa mereka perlu
melakukan pemeriksaan tersebut. Diperlukan sosialisasi secara
langsung oleh petugas Puskesmas tentang pentingnya skrining
katarak bagi lansia agar kunjungan lansia ke Puskesmas dapat
ditingkatkan, sehingga komplikasi katarak dapat dicegah lebih
lanjut.
Daftar Pustaka
319
Maltry, A, and Kitzmann S., (2012). Morgagnian Cataract. Retrieved from
http://webeye.ophth.uiowa.edu/eyeforum/cases/146-Morgagnian-
Cataract.htm.
320
https://www.questia.com/library/journal/1P3-
1823226381/measuring-self-efficacy-for-
mammography-screening.
321
Pengaruh Sukrosa Terhadap Intensitas Nyeri Pada Bayi
yang Mendapat Imunisasi
Pendahuluan
322
Peran perawat anak menghadapi hal tersebut dengan
memberikan intervensi yang sifatnya atraumatic care. Definisi
atraumatic care adalah pemberian therapy dengan tujuan untuk
meminimalkan distress secara fisik maupun psycology saat
intervensi dilakukan (Hockenberry , Wilson 2007). Beberapa
bentuk intervensi non farmakologi untuk atraumatic care
diantaranya adalah sukrosa, glukosa, skin to skin contact,
facifier, metode kangguru, imagery guided (Effa dan Munar,
2006).
323
meningkatkan respon untuk setiap prosedur yang menyakitkan
pada kehidupannya ( Tansky dan Lindberg, 2010).
Metode
Review Penelitian
326
Untuk pengukuran skala nyeri pada bayi dan anak yang
diambil dari jurnal yang berjudul ― The Measurement of Pain In
Infants, Children and Adolescent : From Policy to Practice”.
Terdapat beberapa skala yang bisa diambil sebagai rujukan,
diantaranya :
327
3. Neonatal Facial Coding System (NFCS) dan Child
Facial Coding System (CFCS) adalah pengukuran
skala perilaku. NFCS merekam sembilam
pergerakan wajah meliputi brow bulge, pergerakan
mata, nasolabial , mulut, dagu ) dan NFCS meliputi
13 pergerakan wajah.
328
Kemampuan anak untuk menjelaskan nyerinya
akan meningkat seiring bertambahnya usia. Anak usia 2
tahun dapat menerangkan pada kita tentang rasa nyeri
yang dialaminya. Pada anak usia 3 tahunan mereka
hanya dapat menyebutkan tiga kategori tentang nyeri
yaitu tidak nyeri, sedikit nyeri dan sangat nyeri. Usia
anak 4 tahun dapat menjelaskan 4 kategori atau 5
kategori tentang nyeri. Usia 5 tahun anak dapat
menjelaskan dampak nyeri yang dirasakannya terhadap
tubuhnya adapun usia 8 tahun anak mampu menjelaskan
beberapa rentang nyeri yang dirasakannya. Pada bayi,
anak dan remaja yang mengalami sakit berat sangat
tidak memungkinkan untuk mengukur skala nyeri
melalui wawancara karena terjadinya gangguan pada
fungsi kognitif bilapun akan dilakukan pengukuran
dengan observasi dari wajah, pergerakan tubuh,
menangis, postur tubuh dan aktivitas sehari-hari.
Simpulan
Daftar Pustaka
330
Zuiliesikawati (2013). Nasib Obat Dalam Tubuh.
https://zuiliesikawati.staff.ugm.ac.id.
331
Literature Review: Efektivitas Developmental Care terhadap
Fungsi Fisiologis
Bayi Berat Lahir Rendah di Neonatal Intensive Care Unit
Abstrak
Pendahuluan
Bayi Berat Lahir Rendah (BBLR) merupakan masalah
serius yang terjadi pada neonatus sebagai salah satu faktor
risiko utama terhadap meningkatnya angka morbiditas dan
mortalitas pada bayi (Valero de Barnade et al., 2004).
Penyebab utama kematian BBLR adalah prematuritas, infeksi,
asfiksia, hipotermia, dan pemberian ASI yang kurang adekuat
(Kemenkes, 2010). Data WHO menunjukkan bahwa prevalensi
BBLR terjadi sebanyak 17% dari 25 juta persalinan per tahun
333
di dunia dan hampir semua terjadi di negara berkembang
(WHO, 2012). Sedangkan menurut Riskesdas Tahun 2013, di
Indonesia terdapat sekitar 10,2% bayi lahir dengan berat badan
kurang dari 2500 gram.
Bayi berat lahir rendah memiliki berat lahir kurang dari
2500 gram tanpa memerhatikan usia kehamilannya. BBLR ini
dapat sesuai dengan masa kehamilan ataupun kecil masa
kehamilan. BBLR juga dapat terjadi pada kehamilan cukup
bulan ataupun kehamilan kurang dari 37 minggu (Lissauer &
Fanaroff, 2009). BBLR ini seringkali mengalami berbagai
masalah pada periode segera setelah bayi lahir sebagai akibat
dari karekteristik organ tubuhnya yang belum matur,
diantaranya surfaktan yang kurang dan sedikitnya alveoli dapat
menyebabkan bayi mengalami kesulitan bernafas; otot polos
pembuluh darah yang kurang dan rendahnya kadar oksigen
dapat menyebabkan terjadinya trauma pada susunan saraf pusat
bayi dan keterlambatan penutupan duktus arteriosus; dan
ketidakmampuan meregulasi stimulus dapat meyebabkan bayi
mengalami stres. Keadaan ini akan menjadi lebih buruk pada
bayi dengan berat lahir semakin rendah sehingga bayi dapat
mengalami gangguan pertumbuhan dan perkembangan (Bobak,
Lowdermilk, & Jensen, 2005; & Kosim et al., 2010).
Bayi baru lahir dengan berat lahir rendah ini seringkali
mengalami perawatan di NICU dengan berbagai alasan masuk,
diantaranya prematuritas, berat lahir rendah, sepsis, kesulitan
bernafas, atau gagal nafas. Perawatan BBLR di NICU
memerlukan waktu yang cukup lama, dari beberapa minggu
hingga beberapa bulan (Mundy, 2010). Bayi akan terpapar
334
lingkungan yang bervariasi dan stimulus berlebihan dengan
berbagai prosedur yang dilakukan sehingga menyebabkan stres
pada bayi. Stres tersebut dapat disebabkan oleh kebisingan dari
inkubator, ventilator, alat monitoring, dan percakapan tenaga
kesehatan di ruangan; pencahayaan di ruang perawatan;
prosedur invasif, seperti pemasangan infus, pengambilan darah,
dan pemasangan peripheral insertion central catheter (PICC);
penggantian popok; membuka dan menutup inkubator; dan
perpisahan dengan orangtua (Lissauer & Fanaroff, 2009).
Indikator stres pada bayi dapat diidentifikasi dari
perilaku yang ditampilkannya sebagai respon terhadap berbagai
stimulus baik internal maupun eksternal, meliputi berbagai
perubahan fungsi fisiologis, perhatian dan kewaspadaan, dan
aktivitas motorik (Hockenberry & Wilson, 2009). Perubahan
fungsi fisiologis tersebut, diantaranya hipoksemia dan apneu,
peningkatan nyeri dan hormon stres (kortisol), peningkatan
denyut nadi, dan penurunan saturasi oksigen. Sedangkan untuk
respon motorik, bayi menunjukkan tremor, tersedak, cegukan,
tangan dan jari terbuka, wajah meringis, tangan di wajah, serta
ekstensi lengan sebagai pertanda bayi mengalami stres (Sehgal
& Stack, 2006). Keadaan ini dapat menyebabkan bayi
mengalami kesulitan untuk istirahat sehingga kesulitan juga
dalam mencapai periode tidur tenang (Westrup et al., 2000; &
Symington & Pinelli, 2006). Sementara itu, BBLR
membutuhkan stimulus yang adekuat dari lingkungan untuk
dapat tumbuh dan berkembang.
Strategi pengelolaan yang dapat dilakukan untuk
menurunkan stres akibat stimulus berlebihan ini adalah dengan
335
developmental care. Developmental care (asuhan
perkembangan) merupakan asuhan keperawatan yang bertujuan
untuk memfasilitasi pencapaian perkembangan bayi melalui
pengelolaan lingkungan dan observasi perilaku individu
sehingga terjadi peningkatan stabilisasi fungsi fisiologis dan
penurunan stres (McGrath et al., 2002; Byer, 2003; Aita &
Snider, 2003; & Rick, 2006). Developmental care ini bertujuan
untuk meminimalkan efek jangka pendek dan jangka panjang
baik fisik, psikologis, dan emosional akibat pengalaman di
rumah sakit. Pengelolaan lingkungan yang tercakup dalam
developmental care, diantaranya menutup inkubator dan
mengurangi pencahayaan, menutup telinga, minimal handling,
nesting atau sarang untuk membatasi pergerakan yang
berlebihan dan memberi bayi tempat yang nyaman, dan
positioning atau pengaturan posisi untuk mempertahankan
normalitas batang tubuh dan mendukung regulasi diri (van der
Pal et al., 2008; Altimier, 2011; & Lucas, 2015). Stimulus
lingkungan yang adekuat menyebabkan terjadinya optimalisasi
fungsi fisiologis sehingga menurunkan stres dan bayi pun dapat
tumbuh dan berkembang dengan baik.
Namun, berdasarkan berbagai hasil penelitian tentang
pengalaman perawat dalam mengimplementasikan
developmental care dalam praktik keperawatan menunjukkan
bahwa masih banyak perawat yang tidak menerapkan
pengetahuan yang diperolehnya terkait developmental care
dalam memberikan asuhan keperawatan pada neonatus (Brown
& Mainous, 2009). Selain itu, penelitian yang dilakukan oleh
Ho-Mei dan Chen (2006) tentang penerapan perawat terkait
336
newborn individualized developmental care and assessment
programme (NIDCAP) di NICU menunjukkan bahwa adanya
ketidakpahaman (misconseption) bahwa developmental care
tidak dapat dilakukan pada bayi dengan kondisi kritis. Hal ini
dapat disebabkan oleh kurangnya pengetahuan perawat
mengenai aplikasi developmental care (Ho-Mei & Chen, 2006).
Maka dari itu, dengan mengetahui dan memahami berbagai
hasil evidence based practice tentang efektivitas developmental
care terhadap bayi berat lahir rendah di NICU, diharapkan
perawat dapat mengaplikasikan developmental care terhadap
bayi sakit kritis dengan berat lahir rendah di NICU.
Berdasarkan pemaparan di atas, maka tujuan dari
literature review ini yaitu untuk mengidentifikasi efektivitas
developmental care terhadap fungsi fisiologis bayi berat lahir
rendah di neonatal intensive care unit. Semua artikel yang
terkumpul dianalisis dengan pertanyaan utama, yaitu
bagaimana efektivitas developmental care terhadap fungsi
fisiologis bayi berat lahir rendah di neonatal intensive care
unit?.
Metode
Metode yang digunakan adalah dengan mengumpulkan
dan menganalisis artikel-artikel penelitian terkait. Literature
review dilakukan terhadap penelitian kuantitatif yang bertujuan
untuk mengidentifikasi efektivitas developmental care terhadap
fungsi fisiologis bayi berat lahir rendah di neonatal intensive
care unit. Artikel-artikel ini didapatkan melalui pencarian
dengan menggunakan electronic database Medline, CINAHL
337
dari EBSCOhost, PubMed, dan Proquest dengan menggunakan
kata kunci bayi berat lahir rendah, developmental care, fungsi
fisiologis, dan neonatal intensive care unit.
Artikel yang di review adalah seluruh artikel dari tahun
2006-2016 yang membahas mengenai developmental care, full
text, menggunakan bahasa Inggris, spesifik pada developmental
care pada bayi berat lahir rendah di Neonatal Intensive Care
Unit, dan spesifik pada pertanyaan utama yang menjadi fokus
review. Berdasarkan hasil pencarian, didapatkan 18 artikel
terkait developmental care secara umum. Dari 18 artikel
tersebut, hanya terdapat 10 artikel yang secara spesifik
berkaitan dengan developmental care pada bayi berat lahir
rendah di Neonatal Intensive Care Unit.
338
regulasi diri (van der Pal et al., 2008; Altimier, 2011; & Lucas,
2015).
Developmental care ini memiliki berbagai dampak
positif, diantaranya menurunkan angka kejadian penyakit,
menurunkan lama rawat, menurunkan biaya perawatan,
mempercepat kenaikan berat badan bayi prematur, dan
mempercepat kepulangan bayi ke rumah (Ludwig, Steichen,
Khuory, & Krieg, 2008; Hamilton, Moore, & Naylor, 2008; &
Gibbins et al., 2008). Developmental care juga memiliki
dampak positif bagi orangtua diantaranya orangtua akan merasa
lebih puas dengan perawatan yang diberikan berdasarkan
newborn individualized developmental care and assessment
program (NIDCAP) daripada perawatan tradisional (Wielenga,
Smit, & Unk, 2006). Selain itu, kecemasan dan stres orangtua
terkait perawatan bayinya di NICU juga menurun karena
orangtua lebih merasa dekat dan dilibatkan dalam perawatan
bayinya (van der Pal et al., 2008; & Bredemeyer, Reid,
Polverino, & Wocadlo, 2008).
Intervensi dasar developmental care yang dapat
diaplikasikan di NICU, diantaranya menurut Symington dan
Pinelli (2006), van der Pal et al. (2008), Best Practice (2010),
Altimier (2011), Spilker (2015), dan Lucas (2015), terdiri dari:
1. Meminimalkan pencahayaan
Penerangan yang konstan dapat mengganggu irama tubuh
dan penerangan yang tajam memungkinkan bayi tidak akan
membuka mata. Pola aktivitas dan istirahat terlambat pada
bayi yang terpapar penerangan redup terus menerus.
Penerangan yang dianjurkan di NICU yang aman bagi bayi
339
berkisar antara 1-60 footcandles (ftc). Pencahayaan yang
terang di NICU memberikan stimulus yang berlebihan dan
menyebabkan fungsi fisiologis tidak stabil. Ketidakstabilan
fungsi fisiologis dapat ditunjukkan dari perubahan denyut
nadi, saturasi oksigen, tekanan darah, dan pergerakan
tubuh. Tindakan yang dapat dilakukan untuk mengurangi
pencahayaan, diantaranya dengan melakukan siklus
penerangan dimana bayi diberikan stimulus siang hari
(terang) dan malam hari (gelap), menutup inkubator
dengan kain, mencegah pencahayaan langsung kepada
bayi, dan mencatat respon bayi terhadap cahaya yang
berlebihan. Perawat juga harus memerhatikan pencahayaan
dari sumber lain seperti lampu prosedur, lampu
penghangat, dan lampu fototerapi dari bayi lain (Bowden
et al., 2000).
2. Meminimalkan suara
Kebisingan suara di NICU berkisar antara 52,8-80,4
desibel dan kebisingan dalam inkubator berkisar antara
45,4-79,1 desibel. Hal ini menunjukkan bahwa rata-rata
kebisingan di atas level yang direkomendasikan American
Academy of Pediatrics Committee (tidak lebih dari 50
desibel). Kebisingan di lingkungan NICU dapat
membahayakan bagi bayi. Kebisingan dapat menyebabkan
kerusakan struktur auditori dan menyebabkan gangguan
fungsi fisiologis dan pola perilaku bayi, yang ditandai
dengan apnea, hipoksia, bradikardia, fatigue, perilaku tidur
terjaga yang irreguler, dan peningkatan tekanan darah
(Hockenberry & Wilson, 2009). Kebisingan ini dapat
340
bersumber dari alat monitoring, alarm, dan aktivitas umum
lainnya (Hockenberry & Wilson, 2009). Dengan demikian,
maka perawat harus dapat mengurangi kebisingan akibat
menutup pintu inkubator, berbicara terlalu keras, dan
memindahkan peralatan. Tindakan yang dapat dilakukan
untuk mengurangi suara atau kebisingan yaitu dengan
memasangkan penutup telinga pada bayi.
3. Minimal handling
Minimal handling atau tidak terlalu sering memanipulasi
bayi bertujuan untuk melindungi dan mempertahankan
stabilitas kondisi bayi. Minimal handling dapat dilakukan
dengan merencanakan dan mengelompokkan prosedur
tindakan keperawatan yang dilakukan terhadap bayi
sehingga manipulasi fisik dapat diminimalkan (Bowden et
al., 2000). Minimal handling dilakukan agar bayi memiliki
waktu istirahat dan tidur tanpa adanya gangguan dari
aktivitas pengobatan, perawatan, dan pemeriksaan lainnya.
Sehingga dapat memfasilitasi bayi untuk tumbuh dan
berkembang karena selama fase tidur terjadi sekresi
hormon pertumbuhan dan imunitas tubuh. Contoh tindakan
minimal handling adalah tindakan reposisi dan jadwal
pemberian obat yang dilakukan dalam waktu yang
bersamaan.
4. Nesting
Nesting atau sarang bertujuan untuk membatasi pergerakan
bayi yang berlebihan, memberikan bayi tempat yang
nyaman, support motor development bagi bayi, dan
stabilitas fungsi fisiologis bayi. Nesting dapat dilakukan
341
dengan menempatkan gulungan kain di bagian bawah sprei
untuk mempertahankan sikap fleksi saat posisi prone atau
miring. Posisi fleksi merupakan posisi terapeutik karena
posisi ini bermanfaat dalam mempertahankan normalitas
batang tubuh dan mendukung regulasi diri karena melalui
posisi ini memungkinkan bayi untuk meningkatkan
aktivitas tangan ke mulut dan tangan menggenggam
(McGrath et al., 2004; & Hockenberry & Wilson, 2009).
5. Positioning
Positioning atau pengaturan posisi untuk mempertahankan
normalitas batang tubuh dan mendukung regulasi diri.
Perubahan posisi yang teratur dengan posisi yang tepat
dapat mempertahankan fungsi neuromuskular dan
osteoarticular serta memberikan kesempatan terhadap
perkembangan dan fungsi motorik bayi prematur. Posisi
yang tepat dan anatomis merupakan komponen penting
dalam asuhan perkembangan.
Prinsip-prinsip dalam pemberian posisi, diantaranya: 1)
posisi hendaknya diubah secara teratur untuk mendukung
pertumbuhan dan perkembangan yang simetris, 2) posisi
prone, miring, atau supine hendaknya memfasilitasi
ekstremitas dalam keadaan fleksi dengan dipertahankan
menggunakan nesting yang dapat dibuat dari gulungan
kain. Beberapa posisi yang dapat dilakukan, diantaraya: 1)
posisi prone, dilakukan dengan menelungkupkan bayi
dimana ektremitas bagian bawah fleksi dan kepala
dimiringkan ke salah satu sisi, 2) posisi supine, dilakukan
dengan memfleksikan ekstremitas bagian bawah, 3) posisi
342
miring, dilakukan dengan memposisikan bayi ke salah satu
sisi dengan memfleksikan tangan dan kaki sehingga berada
di tengah-tengah tubuh.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Young (2010),
menunjukkan bahwa posisi prone dapat meningkatkan
oksigenasi, waktu tidur tenang yang lebih panjang, dan
meningkatkan digesti. Ketika bayi diposisikan secara tepat,
maka fase dystonic menjadi lebih pendek, hal ini
memfasilitasi tangan terhadap pergerakan ke tengah,
membantu kontrol kepala, membantu meningkatkan
keseimbangan dalam fleksi dan ekstensi untuk
meningkatkan postur, menurunkan stres, meningkatkan
pergerakan normal, mencegah pergerakan abnormal, dan
meningkatkan kemampuan motorik pada bayi.
Secara lebih spesifik, setelah dilakukan review dari
berbagai hasil penelitian, penulis mendapatkan 10 jurnal
penelitian yang mengidentifikasi efektivitas developmental
care terhadap fungsi fisiologis bayi berat lahir rendah di
neonatal intensive care unit. Berdasarkan hasil literature
review tersebut, implementasi developmental care pada bayi di
NICU efektif dalam mengoptimalkan fungsi fisiologis bayi
(Mirmiran & Ariagno, 2000; McGrath, 2002; Altimier et al.,
2004; Sehgal & Stack, 2006; Hamilton, Moore, Naylor, 2008;
& Gibbins et al., 2008), diantaranya menurunkan denyut nadi
dan frekuensi nafas sehingga membuat bayi lebih rileks.
Developmental care juga dapat meningkatkan saturasi oksigen,
menurunkan nyeri, mengurangi refluks gastroesofageal
343
sehingga mengurangi risiko asfiksia, meningkatkan waktu tidur
tenang, dan meningkatkan maturitas neuromuskular.
1. Denyut nadi
Symington dan Pinelli (2006) menyebutkan bahwa
indikator stres yang dapat diamati pada BBLR sebagai
akibat stimulus yang berlebihan dari lingkungan perawatan
adalah fungsi fisiologis berupa peningkatan denyut nadi
dan penurunan saturasi oksigen. Menurunnya denyut nadi
pada bayi dapat diidentifikasi dari perilaku yang bayi
tunjukkan (Holsti et al., 2004). Denyut nadi merupakan
gambaran dari setiap denyut jantung yang memompakan
sejumlah darah ke dalam arteri. Frekuensi denyut jantung
berperan dalam mempertahankan curah jantung. Apabila
curah jantung tidak adekuat, maka fungsi persarafan,
pertukaran oksigen, nutrisi, dan metabolisme juga dapat
terganggu. Rentang nilai normal denyut nadi pada bayi
termasuk BBLR berkisar antara 100 sampai dengan 160
kali per menit. Denyut nadi dapat dipengaruhi oleh tekanan
atmosfer, kondisi emosional, kondisi jantung, dan keadaan
demam. Denyut nadi dan saturasi oksigen ini dapat diukur
dengan pulse oxymetri. Best Practice (2010) menunjukkan
bahwa terdapat penurunan rerata denyut nadi yang
bermakna pada fase developmental care. Jadi selama fase
developmental care, didapatkan rerata denyut nadi yang
lebih rendah.
2. Frekuensi nafas
BBLR yang mendapatkan developmental care
menunjukkan penurunan pada periode apnea dan
344
bradikardia, serta cenderung memiliki pola nafas yang
teratur (Best Practice, 2010).
3. Saturasi oksigen
Saturasi oksigen merupakan persentase jumlah hemoglobin
yang teroksigenasi di dalam darah (Hockenberry &
Wilson, 2009). Saturasi oksigen merupakan gambaran
aliran darah dalam tubuh yang sangat penting bagi
optimalnya fungsi jantung dan organ tubuh lainnya karena
oksigen merupakan bahan bakar metabolisme. Sekitar 97%
oksigen ditransportasikan kedalam aliran darah dan
berikatan dengan hemoglobin dalam sel darah merah.
Sedangkan 3% lainnya larut dalam plasma. Kisaran normal
saturasi oksigen berkisar antara 90% sampai 99%. Saturasi
oksigen dipengaruhi oleh kadar hemoglobin dan saturasi.
Bayi yang mendapatkan developmental care mengalami
peningkatan dalam saturasi oksigen.
4. Nyeri
Intervensi developmental care dapat menurunkan respon
nyeri pada bayi prematur atau BBLR terutama pada saat
dilakukan prosedur invasif. Dengan dilakukannya
developmental care, input sensori menjadi lebih tepat dan
minimal sehingga bayi mampu melakukan adaptasi
terhadap rangsangan dan memperlihatkan perilaku yang
teratur dalam berespon terhadap stimulus tersebut.
Menurunnya nyeri pada bayi dapat diidentifikasi dari
menurunnya behavioral cues yang ditunjukkan bayi dan
fungsi fisiologis bayi yang stabil (Holsti et al., 2004).
Sebaliknya, ketika stimulus sensorik sangat banyak
345
umumnya bayi sulit melakukan adaptasi atau
memperlihatkan perilaku stres (Westrup et al., 2000).
Dengan demikian maka developmental care merupakan
strategi yang tepat dalam mengurangi respon nyeri pada
bayi prematur atau BBLR khususnya pada saat dilakukan
prosedur invasif.
5. Refluks gastroesofageal
Posisi miring pada saat tengkurap dan posisi miring kiri
secara signifikan dapat menurunkan angka kejadian dan
keparahan episode reflux pada bayi, durasi, dan jumlah
residu lambung 1 jam setelah makan (Best Practice, 2010).
Sehingga dapat mengurangi risiko asfiksia pada bayi.
6. Waktu tidur tenang
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Sehgal dan
Stack (2006) menyatakan bahwa developmental care dapat
meningkatkan periode tidur tenang pada bayi sehingga
dapat meningkatkan kualitas dan kuantitas tidur pada bayi
(Fiore, 2005). Meningkatnya periode tidur tenang pada
bayi dan kualitas tidur yang cukup ini akan menghemat
energi yang dapat digunakan untuk pertumbuhan bayi.
7. Maturitas neuromuskular
Bayi prematur atau BBLR menunjukkan peningkatan
problem behaviour apabila dibandingkan dengan bayi
aterm (van der Pal et al., 2008). Bayi yang telah
mendapatkan tindakan NIDCAP menunjukkan level tinggi
pada pergerakan motorik pada lengan atau tangan dan
badan; frekuensi yang lebih rendah pada fleksi lateral pada
pergerakan kepala, extension–external rotation–abduction,
346
dan extension–internal rotation–adduction (Bredemeyer,
Reid, Polverino, & Wocadlo, 2008; & Ullenhag, Persson,
& Nyqvist, 2009). Sehingga terdapat peningkatan maturitas
neuromuskular pada bayi. Spilker (2015) juga
menyebutkan bahwa developmental positioning dapat
meningkatkan relaksasi pada bayi.
Simpulan
Developmental care memfasilitasi bayi lebih rileks,
ditandai dengan keteraturan fungsi fisiologis dan pencapaian
perilaku tidur tenang. Keteraturan fungsi fisiologis dan
pencapaian tidur tenang dibutuhkan bayi untuk tumbuh dan
berkembang karena pada fase ini terjadi konservasi energi dan
sekresi hormon pertumbuhan dan imunitas tubuh. Sehingga
developmental care perlu diimplementasikan dalam merawat
BBLR di NICU.
Implikasi Keperawatan
Developmental care merupakan modifikasi lingkungan
bagi bayi, dimana perawat harus mampu membaca dan
merespon perilaku bayi dalam pemenuhan kebutuhannya.
Perawat memiliki peran penting dalam memberikan asuhan
keperawatan pada BBLR yang dirawat di NICU. Kepekaan
terhadap perilaku bayi merupakan dasar pemberian
developmental care. Pengetahuan dan keterampilan yang cukup
dari perawat diperlukan untuk dapat mengaplikasikan
developmental care pada BBLR di NICU dengan harapan
kualitas asuhan keperawatan pada BBLR dapat dioptimalkan.
347
Sehingga hal ini akan meningkatkan pertumbuhan dan
perkembangan BBLR, yang pada akhirnya akan meningkatkan
kualitas hidup bayi.
Daftar Pustaka
Altimier, L.B., Eichel, M., Warner, B., Tedeschi, L., & Brown,
B. (2004). Developmental care: Changing the NICU
physically and behaviorally to promote patient outcomes
and contain costs. Neonatal Intensive Care, 17(2), 35-39.
348
Bowden, V.R., Greenberg, C.S., & Donaldson, N.E. (2000).
Developmental care of the newborn. Online Journal of
Clinical Innovations, 3(7), 1-77.
Gibbins, S., Hoats, S. B., Coughlin, M., Gibbins, A., & Franck,
L. (2008). The uniberse of developmental care: A new
conceptual model for application in the neonatal intensive
care unit. Advance in Neonatal Care, 8(3), 141-146.
349
Ho-Mei, C., & Chen, C.H. (2006). Nurses applying Neonatal
Individualized Developmental Care Program a Neonatal
Intensive Care Unit in Taiwan. International Nursing
Research Congress.
Kosim, M.S., Yunanto, A., Dewi, R., Sarosa, G.I., & Usman,
A. (2010). Buku ajar neonatologi. Jakarta: Ikatan Dokter
Anak Indonesia.
350
McGrath, C.M., Lutes, L., Kenner, C., Lott, J.W., & Stodbeck,
F.S. (2002). Commentary: Developmental care:
Accaptable or not?. Newborn & Infant Nursing Reviews,
2(1), 46-48.
351
Ullenhag, A., Persson, K., & Nyqvist, K.H. (2009). Motor
performance in very preterm infants before and after
implementation of the newborn individualized
developmental care and assessment programme in a
neonatal intensive care unit. Acta Pædiatrica, 98, 947–
952.
van der Pal, S.M., Maguire, C.M., Bruil, J., le Cessie, S., van
Zwieten, P., Veen, S., Wit, J.M., & Walther, F.J. (2008).
Very pre-term infants‘ behaviour at 1 and 2 years of age
and parental stress following basic developmental care.
British Journal of Developmental Psychology, 26, 103–
115.
352
World Health Organization (WHO). (2012). Preterm birth
[Internet]. Available at:
http://www.who.int/mediacentre/factsheets/fs363/en/.
Retrieved May 15, 2014.
353
Dukungan Teman Sebaya terhadap
Manajemen Diabetes Melitus Tipe 1 pada Remaja:
Literature Review
Pendahuluan
Diabetes Melitus (DM) adalah sindrom kelainan
metabolic akibat gangguan metabolism karbohidrat, lemak, dan
protein dengan karakteristik defisiensi insulin partial atau total
(Hockenberry & Wilson, 2009; Kyle & Ricci, 2009; Leifer,
2015). Diabetes mellitus dikelompokan dalam beberapa
klasifikasi berdasarkan penyebabnya yaitu DM tipe 1 terjadi
karena kerusakan sel Langerhans oleh autoimun, DM tipe 2
terjadi karena resistensi dan defisiensi insulin, dan DM
sekunder.
Diabetes mellitus tipe 1 (DMT1) merupakan kelainan
metabolic paling banyak diderita oleh anak (Behrman et al.,
2004 & Burg et al., 2002 dalam (Kyle & Ricci, 2009)).
Penderita diabetes memiliki ketergantungan seumur hidup
terhadap insulin sehingga permasalahan yang ditemukan akan
lebih kompleks dibanding diabetes tipe 2 yang sebenarnya
dapat dihindari sejak dini dengan kualitas gaya hidup yang
baik.
354
Secara global jumlah penderita DMT1 terus mengalami
peningkatan (Philips, 2016). Negara Finlandia merupakan
negara dengan insiden diabetes tipe 1 tertinggi di dunia dengan
angka 64 per 100000/tahun, sedangkan terendah berada di
negara China dan Venezuela yaitu 0,1 per 100000/tahun (IDF,
2011). World Health Organization (WHO) (2011)
menyebutkan lebih dari 220 juta orang didiagnosis penyakit
DM, lebih dari 80% diantaranya berada di negara dengan
pendapatan menengah kebawah.
Indonesia sebagai salah satu negara berkembang dengan
jumlah populasi anak mencapai 83 juta jiwa terus mengalami
peningkatan penderita diabetes dari tahun ke tahun tanpa
diketahui jumlahnya secara pasti (Pulungan, 2013). Sumber
yang sama menyebutkan bahwa, Ikatan Dokter Anak Indonesia
mencatat terdapat 825 kasus anak penderita diabetes tipe 1
yang terdaftar dari seluruh Indonesia sejak bulan Februari
2009-Juli 2012. Sebagai perbandingan, Pulungan dan
Herqutanto tahun 2009 menyebutkan jumlah anak yang
bergabung di Ikatan Keluarga Penderita DM anak dan Remaja
mencapai 400 orang..
Onset terjadinya DMT1 dapat terjadi sejak bayi usia 6
bulan sampai dewasa awal (IDF, 2011). Namun insiden paling
sering terjadi pada usia sekolah dan remaja yang dipicu oleh
stress sekolah, peningkatan eksposur terhadap infeksi, dan
faktor pertumbuhan dan perkembangan yang terjadi secara
cepat (Leifer, 2015).
Diabetes mellitus tipe 1 merupakan salah satu penyakit
yang tidak dapat disembuhkan namun kondisi optimal untuk
355
mencapai kualitas hidup yang baik dapat dicapai dengan cara
mempertahankan metabolic pada kondisi terkontrol.
Pengelolaan diabetes pada anak dapat dilakukan secara terpadu
antara penderita, keluarga, dan tim kesehatan dengan
melakukan pemberian terapi insulin, pengaturan makan,
olahraga, dan edukasi yang didukung oleh pemantauan secara
mandiri terhadap glukosa darah (IDAI, 2009).
UKK Endokrinologi Anak dan Remaja-IDAI dan World
Diabetes Foundation (WDF) tahun 2009 dalam Konsensus
Nasional Pengelolaan Diabetes Mellitus Tipe 1 menyebutkan
kontrol metabolic yang baik adalah kondisi kadar glukosa darah
berada pada batas normal atau mendekati normal tanpa
menyebabkan hipoglikemia. Standar nilai tersebut adalah nilai
HbA1c <7% berarti kontrol metabolic baik, <8% berarti cukup,
dan >8% dianggap buruk.
Remaja merupakan usia yang paling rentan mengalami
permasalahan psikis (cemas, depresi, eating disorder, dan
permasalahan eksternal lain) dan fisik akibat proses
pertumbuhan yang cepat serta peningkatan jumlah hormone sex
yang dapat menyebabkan gagalnya kondisi metabolik
terkontrol yang memicu terjadinya berbagai komplikasi (Leifer,
2015; Wherrett, Hout, Mitchell, & Pacaud, 2013).
Remaja merupakan fase akhir pada tahap perkembangan
anak dimana terjadi perubahan fisik, social , akademik, dan
berbagai perubahan lingkungan yang menyebabkan anak
memasuki masa transisi psikososial (Blakemore, Burnett, &
Dahl, 2010). Pada masa transisi ini terjadi peralihan tanggung
jawab dari orang tua kepada anak dalam pengambilan
356
keputusan dan berperilaku (Flora & Gameiro, 2016).
(Blakemore et al., 2010). Remaja menjadi kurang tertarik
dalam aktivitas bersama keluarga bergeser pada peningkatan
kualitas kebersamaanya bersama teman (Sanders, 2013).
Sebuah artikel hasil penelitian Allen, Uchino, dan Hafen
yang dipublikasikan dalam website Association Psychological
Sciences tahun 2015 menyebutkan bahwa kesehatan pada saat
dewasa dapat diprediksi dari hubungan kedekatan dengan
teman selama masa remaja. Penelitian ini melibatkan 171
responden dengan mengikuti mereka sejak usia 13 sampai 27
tahun. Tidak hanya responden, namun teman dekat dari
responden dilibatkan untuk mengisi kuisioner yang
menjelaskan hubungan pertemanan diantaranya tingkat
kepercayaan, komunikasi, serta kondisi rentang diantara
mereka. Selain itu, data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas)
menyebutkan teman merupakan pilihan utama bagi remaja laki-
laki dan perempuan dalam mencari informasi dan diskusi
(Kemenkes RI, 2015).
Permasalahan yang dialami adalah remaja sering kali
mengalami kesulitan dalam mencapai kemandirian
menyebabkan terjadinya penyimpangan dalam perawatan diri
(Flora & Gameiro, 2016). Remaja yang masih berpikir konkrit
cenderung tidak mampu menganalisis konsekuensi dari
tindakan yang dilakukan, sebab-akibat, dan tidak mampu
melakukan pencegahan terjadinya risiko (Sanders, 2013).
Teman sebaya memberikan pengaruh yang besar bagi remaja
yang dapat berdampak positif maupun negatif.
Telah banyak hasil penelitian yang membahas pengaruh
teman sebaya terhadap remaja penderita DMT1 dalam
menjalani manajemen diabetes. Dengan demikian perawat
357
diharapkan mampu mengapliksikan hasil penelitian yang
relevan terhadap peningkatan kualitas pelayanan terhadap
remaja penderita DMT1 dalam menjalani manajemen diabetes.
Studi literatur ini bertujuan untuk memberikan gambaran
tentang peran teman sebaya terhadap remaja penderita DMT1
dalam menjalani manajemen diabetes.
Metode
Penelaahan artikel dilakukan melalui media elektronik
yaitu database CINAHL Ebscohost dan Proquest. Kata kunci
yang digunakan adalah children or adolescent, diabetes
mellitus type 1, dan friends or peers support. Artikel yang
dipilih berupa hasil penelitian kualitatif dan kuantitatif pada
rentang tahun 2006-2016.
Diperoleh artikel sebanyak 20 dan 69 dari masing-masing
database namun hanya 9 artikel yang sesuai dengan kriteria.
Kemudian hasil telaah jurnal akan dideskripsikan dukungan
teman sebaya bagi remaja penderita DMT1 dalam menjalani
manajemen diabetes.
Hasil Penelitian
Berdasarkan sembilan artikel yang ditelaah terdapat 3
tema yang dapat diidentifikasi yaitu persepsi teman dan remaja
penderita DMT1 terhadap penyakit diabetes melitus tipe 1,
dukungan spesifik dari teman sebaya, dan pengaruh dukungan
teman sebaya terhadap manajemen diabetes.
1. Persepsi teman dan remaja DMT1 terhadap penyakit
diabetes
358
Persepsi merupakan sebuah proses individu untuk
mengetahui, mengartikan, dan memahami sebuah stimulus
yang berada di dalam tubuh atau diuar tubuhnya diawali
dengan proses fisik yaitu penginderaan, proses fisiologis yaitu
menghantarkan stimulus ke otak, dan terakhir proses psikologis
(Sunaryo, 2004). Proses untuk mempersepsikan setiap stimulus
yang diterima individu berkaitan dengan kemampuan kognitif.
Remaja mengalami perkembangan cara berpikir anak
yaitu berpikir secara konkrit menjadi cara berpikir dewasa yaitu
berpikir secara abstrak, reasoning skill, memiliki pandangan
yang luas, dan berpikir tentang apa yang dipikirkan (University
Rochester Medical Center [URMC], n.d). Cara berpikir ini
membantu remaja memahami secara rasional suatu kejadian,
memperkirakan konsekuensi suatu tindakan tanpa harus dialami
sendiri, dan memikirkan tentang apa yang orang lain terutama
teman sebaya pikirkan tentang dirinya (Sanders, 2013).
Pada masa remaja, teman sebaya merupakan bagian yang
sangat penting seiring berkurangnya kebersamaan mereka
dalam aktivitas keluarga maupun peran nasihat orang tua
(Sanders, 2013). Hal tersebut, terjadi seiring dengan
perkembangan psikososial, emosional, serta sosial.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Karina and
Karin (2007) pada 8 remaja penderita DMT1 mengenai
pengalamannya menjalani kehidupan. Mereka mengungkapkan
merasakakan dirinya berbeda dengan temannya, diperlakukan
berbeda oleh orang disekeliling mereka, menjalani kehidupan
secara teratur merupakan sebuah tantangan, lebih memahami
tubuhnya serta mampu merawat dirinya sendiri.
359
Hasil yang sama ditunjukan penelitian mix method
LehmKuhl et al. (2009) bertujuan untuk mengetahui persepsi
dan perilaku penderita diabetes dan teman sebaya terhadap
manajemen diabetes yang mengikuti diabetic summer camp.
Penelitian ini melibatkan 2 kelompok responden yaitu remaja
penderita DMT1 dan sahabatnya. Remaja penderita DMT1
merasakan penyakitnya berdampak terhadap kehidupan sosial
seperti terganggunya aktivitas bersama teman baik aktivitas
fisik maupun terkait diet yang membuat mereka merasa
berbeda dengan teman sebaya. Selain itu mereka mengharapkan
teman sebayanya dapat memahami penyebab serta diet dalam
manajemen diabetes.
Berdasarkan sudut pandang sahabat dari penderita
diabetes, sebagian besar menunjukkan sikap positif seperti
menunjukan sikap simpati, empati, dan menunjukkan
ketertarikan mengetahui penyakit diabetes. Mereka
beranggapan bahwa tidak ada hambatan dalam berbagai
aktivitas yang mereka lakukan bersama baik di sekolah, di luar
sekolah, maupun di rumah.
Berdasarkan dua penelitian tersebut, remaja penderita
diabetes menginginkan kehidupan layaknya teman yang sehat,
tidak perlakukan berbeda, serta dukungan dari teman sebaya.
Pemaparan informasi mengenai penyakit diabetes dan
manajemennya bagi remaja sehat dapat membentuk persepsi
serta sikap positif terhadap remaja penderita penyakit ini
walaupun hal ini menjadi stresor bagi remaja penderita diabetes
untuk dapat menjelaskannya (LehmKuhl et al., 2009).
2. Dukungan spesifik dari teman sebaya
360
Dukungan dari teman diartikan sebagai sikap teman yang
dapat meningkatkan kesadaran remaja penderita diabetes
terhadap tanggung jawab melakukan manajemen diabetes
(Malik & Koot, 2012). Terdapat penelitian yang meneliti
bentuk dukungan yang dapat diberikan oleh teman sebaya.
Beberapa diantaranya ditunjukan dalam penjabaran berikut.
Penelitian Peters, Nawijn, and Kesteren (2014) dan Malik
and Koot (2012) merupakan dua penelitian dengan desain
berbeda yaitu kualitatif dan kuantitatif yang bertujuan
mengetahui bentuk dukungan yang dapat diberikan oleh teman
sebaya. Penelitian pertama melakukan dua penelitian secara
berkelanjutan dengan pendekatan yang berbeda, penelitian 1
melakukan wawancara terhadap remaja penderita diabetes tipe
1 terhadap dukungan positif yang dapat diberikan oleh teman
sedangkan penelitian 2 wawancara terhadap remaja penderita
diabetes tipe 2 dan sahabatnya mengenai dukungan yang dapat
diberikan kepada penderita diabetes. Pada penelitian kedua,
peneliti melakukan analisis eksporatori dan konfirmatori
terhadap Modified Spesific Support Questionnaire-Friend
(MDSSQ-F) yang korelasikan dengan beberapa instrumen
lainnya yang diberikan kepada 434 remaja.
Hasil penelitian tersebut didapatkan bahwa dukungan
spesifik yang lebih dibutuhkan oleh remaja penderita diabetes
adalah dukungan emosional yaitu sikap empati, dapat
diandalkan, serta bersenang-senang bersama. Sikap empati
dapat ditunjukkan dengan memperlakukan remaja dengan
diabetes layaknya orang sehat dan menunjukkan ketertarikan
untuk mengetahui penyakit diabetes. Sedangkan dapat
361
diandalkan dalam manajemen diabetes yaitu menemani saat
akan injeksi terapi insulin sampai selesai, menyediakan
makanan yang aman bagi penderita diabetes, menunjukkan
solidaritas, mengingatkan dan memberi motivasi, dan
membantu dalam situasi penting. Terakhir, bersenang-senang
bersama dapat menjadi distraksi sehingga mereka dapat
melupakan dirinya menderita diabetes atau membutuhkan
motivasi agar mereka bersemangat kembali dalam menjadi
kehidupan sebagai penderita diabetes.
Tidak semua remaja mempersepsikan sama setiap bentuk
dukungan, sehingga memengaruhi dukungan seperti apa yang
diharapkan olehnya (Peters et al., 2014). Akan tetapi, pada
penelitian lanjutan Peters, et al., sahabat dan remaja penderita
diabetes memiliki persepsi yang hampir sama mengenai
dukungan yang harus diberikan. semakin tinggi dukungan
teman maka terjadi peningkatan kemandirian terhadap orang
tua, kepatuhan terhadap manajemen diabetes serta
kesejahteraan diri, namun berbanding terbalik dengan faktor
dukungan spesifik tertentu yaitu remaja yang sering
mendapatkan bimbingan dan motivasi serta bantuan dalam
situasi kritis dari teman menunjukkan nilai HbA1C yang relatif
tinggi (Malik & Koot, 2012).
3. Pengaruh dukungan teman sebaya terhadap manajemen
diabetes
Telah banyak penelitian yang bertujuan untuk
mengetahui pengaruh sikap teman sebaya terhadap manajemen
diabetes yang dilakukan oleh remaja penderita diabetes tipe 1.
Penelitian kualitatif yang dilakukan oleh Sparapani, Borges,
362
Dantas, Pan, and Nascimento (2012) terhadap 19 anak usia
remaja awal di Brazil menunjukkan bahwa manajemen diabetes
dipengaruhi oleh sikap positif maupun negatif temannya serta
sikap penderita diabetes terhadap temannya tersebut. Sikap
positif tersebut diantaranya adalah teman menunjukan sikap
empati, solidaritas dan pemahamannya terhadap restriksi
makanan bagi penderita diabetes sedangkan sikap negatif
ditunjukan sebaliknya. Remaja penderita diabetes merasa malu,
takut terhadap penolakan, kurang pengetahuan serta tidak
memiliki kemampuan yang baik untuk menjelaskan
penyakitnya kepada teman. Mereka menyebutkan sangat
senang apabila temannya dapat memahami tentang penyakit
diabetes dan cara mengontrolnya.
Penelitian sejenis yang menghubungkan dukungan sosial
terhadap status metabolik anak dilakukan oleh Lehmkuhl and
Nabors (2008) terhadap anak usia 8-14 tahun sebanyak 58
orang. Dalam hal ini peneliti tidak hanya mengkaji peran
dukungan teman namun dukungan sosial pihak yang berada
disekolah yaitu guru dan perawat sekolah. Anak yang
menunjukan sikap positif terhadap penyakit diabetes dan
dukungan yang diberikan sekolah relative memiliki nilai
HbA1C yang rendah. Bila diurutkan berdasarkan tingkat
kepuasan mereka terhadap dukungan yang diberikan pihak
yang berada di sekolah, guru menempati urutan pertama diikuti
perawat dan teman.
Bertolakbelakang dengan beberapa penelitian diatas.
Penelitian longitudinal yang dilakukan oleh Helgeson et al.
(2013) terhadap 117 remaja penderita diabetes tipe 1 dan 121
363
remaja sehat menemukan bahwa orang tua memiliki kontribusi
yang lebih penting dalam manajemen diabetes pada saat remaja
hingga memasuki dewasa awal. Remaja penderita diabetes
yang memiliki hubungan yang baik serta kontrol dari orang tua
menunjukkan perilaku sehat yang berpengaruh langsung
terhadap status metabolik, sebaliknya pada kelompok remaja
sehat. Teman sebagai salah satu faktor dalam sistem pemberi
dukungan menunjukkan buruknya status glikemik dewasa
dengan diabetes dan konflik dengan teman dapat meningkatkan
risiko terbentuknya perilaku self-care management yang tidak
baik. Namun peneliti memberikan catatan terhadap hasil
tersebut, bahwa dukungan dari teman kemungkinan diartikan
oleh responden bukan sebagai dukungan yang baik dalam
menjalani manajemen diabetes.
Peneltian Hains, Berlin, Davies, Parton, and Alemzadeh
(2006) mendukung penelitian sebelumnya yang menyatakan
bahwa konflik dapat memperburuk status glikemik. Penelitian
ini bertujuan untuk mengetahui atribusi negatif sikap teman
terhadap kepatuhan melaksanakan manajemen diabetes, stres
diabetes, dan status glikemik. Sebanyak 104 remaja di Amerika
mengikuti penelitian ini. Hasil penelitian adalah remaja yang
mengalami atribusi negatif terhadap reaksi teman cenderung
mengalami kesulitan mematuhi manajemen diabetes yang dapat
memicu stres diabetes. Farrel, et al, 2004 dan Aiken, et al, 1992
dalam Hains et al 2006 menyebutkan stres diabetes secara
langsung memengaruhi status metabolik.
Remaja penderita diabetes menginginkan teman
sebayanya memahami penyakit dan dampaknya bagi kehidupan
364
mereka (Peters et al., 2014). Namun untuk memberikan
penjelasan kepada teman sebayanya merupakan sebuah stresor
(LehmKuhl et al., 2009). Program terencana terbukti mampu
meningkatkan proses adaptasi remaja penderita diabetes. Hal
tersebut ditunjukan oleh sebuah penelitian kuantitatif yang
dilakukan oleh Altundag and Bayat (2016) dengan cara
melakukan pelatihan interaktif dan interaksi teman sebaya dan
mengetahui pengaruhnya terhadap adaptasi remaja penderita
diabetes tipe 1 yang berada di Turki. Setelah diberikan
intervensi terjadi peningkatan self-esteem, pengetahuan dan
dukungan yang diterima remaja penderita DMT1 sehingga
dapat meningkatkan managemen diabetes yang dilakukannya
serta tercapai status glikemik yang baik yang ditunjukan
dengan nilai HbA1C yang rendah dibanding nilai rujukan.
Self-esteem adalah bagaimana individu merasa puas
terhadap pribadinya yang berhubungan dengan konsep diri
(Sanders, 2013). Berdasarkan penelitian diatas, maka remaja
penderita DMT1 yang memiliki self-esteem yang baik maka
mereka cenderung berperilaku hidup sehat dan menunjukkan
status glikemik yang baik.
Pembahasan
Penyakit kronis membuat remaja merasa berbeda dengan
teman sebayanya. Ketakutan akan penolakan dari teman sebaya
dan ketidakmampuan dalam menjelaskan penyakitnya dan
upaya yang dapat dilakukan menjadi stresor bagi mereka.
Teman merupakan aspek yang penting bagi dunia remaja.
365
Dukungan dari teman sangat diperlukan oleh remaja penderita
diabetes.
Sikap yang ditunjukan oleh teman sebaya baik dukungan
suportive maupun sebaliknya dapat memengaruhi perilaku
sehat terkait manajemen diabetes. Sikap positif dan negatif
berupa atribusi negatif terhadap dukungan yang diberikan dapat
mempengaruhi status glikemik. Sikap positif terhadap
dukungan yang diberikan menunjukan korelasi positif terhadap
penurunan nilai HbA1C. Sedangkan sikap negatif berupa
adanya konflik dan atribusi negatif secara jelas memicu stres
diabetes yang berakibat langsung pada status metabolik.
Persepsi merupakan sesuatu yang subjektif. Dukungan
teman sebaya terkadang diartikan berbeda dipengaruhi
bagaimana remaja penderita diabetes memahaminya. Sehingga
perlu disepakati bahwa dukungan teman sebaya adalah sikap
yang dapat meningkatkan kepatuhan remaja terhadap
manajemen diabetes. Pelatihan terprogram seperti adanya
pelatihan dan summer camp dapat memfasilitasi remaja
penderita diabetes untuk dapat beradaptasi dengan penyakitnya
maupun dampaknya bagi kehidupan.
Simpulan
Dukungan teman sebaya memberikan pengaruh positif
terhadap manajemen diabetes yang dilakukan oleh remaja
penderita DMT1 sehingga dapat tercapai status glikemik yang
baik. Salah satu bentuk dukungan yang dapat diharapkan dari
teman adalah dukungan emosional. Walaupun bentuk
366
dukungan yang dipersepsikan oleh masing-masing individu
tersebut tidak sama.
Daftar Pustaka
Altundag, S., & Bayat, M. (2016). Peer Interaction and Group
Education for Adaptation to Disease in Adolescents
with Type 1 Diabetes Mellitus. Pakistan Journal of
Medicine Science, 32(4). doi:
http://dx.doi.org/10.12669/pjms.324.9809
APS. (2015). Close Friend in Adolescent Predict Health in
Adulthood. Retrieved 26 Agustus, 2016, from
http://www.psychologicalscience.org
Blakemore, S., Burnett, S., & Dahl, B. E. (2010). The Role of
Puberty in the Developing Adolescent Brain. Human
Brain Mapping, Volume 31, 926-933.
Flora, M. C., & Gameiro, M. G. H. (2016). Self-care of
Adolescent with Type 1 Diabetes: Responsibility for
Disease Management. Journal of Nursing Referencia,
6(9). doi: http://dx.doi.org/10.12707/RIV16010
Hains, A. A., Berlin, K. S., Davies, W. H., Parton, E. A., &
Alemzadeh, R. (2006). Attributions of Adolescents
With Type 1 Diabetes in Social Situations: Relationship
with expected adherence, diabetes stress, and metabolic
control. Diabetes Care, 29(4), 818-822.
Helgeson, V. S., Palladino, D. K., Reynold, K. A., Becker, D.,
Escobar, O., & Siminerio, L. (2013). Early Adolescent
Relationship Predictor of Emerging Adult Outcome:
Youth with and Without Type 1 Diabetesq. The Society
367
of Behavior Medicine, 47, 270-279. doi:
10.1007/s12160-013-9552-0
Hockenberry, M. J., & Wilson, D. (2009). Wong's Essential of
Pediatric Nursing 9th Edition. Missouri: Elsevier.
IDAI. (2009). Konsensus Nasional Pengelolaan Diabetes
Melitus Tipe 1. IDAI.
IDF. (2011). Global IDF/ISPAD Guidline for Diabetes in
Childhood and Adolescene. Belgium: IDF.
Karina, H., & Karin, E. (2007). Adolescents's Experience of
Living with Diabetes. Pediatric Nursing, 19(3), 29-31.
Kemenkes RI. (2015). Situasi Kesehatan Reproduksi Remaja.
Jakarta.
Kyle, T., & Ricci, S. S. (2009). Maternity and Pediatric
Nursing. China: Lippincott Williams & Wilkins.
LehmKuhl, H., Merio, L. J., Devine, K., Gaines, J., Storch, E.
A., Silverstein, J. H., & Geffken, G. R. (2009).
Perception of Type 1 Diabetes among Affected Youth
and Their Peers. Journal of Clinical Psychology in
Medical Setting, 2009(16), 209-215. doi:
10.1007/s10880-009-9164-9
Lehmkuhl, H., & Nabors, L. (2008). Children with Diabetes:
Satisfaction with School Support, Illness Perception and
HbA1C Level. Journal of Development & Physical
Disability, 20, 101-114. doi: 10.1007/s10882-007-9082-
4
Leifer, G. (2015). Introduction to Maternity and Pediatric
Nursing 7th Edition. Missouri: Elsevier.
368
Malik, J. A., & Koot, H. M. (2012). Assessing Diabetes
Support in Adolescent: Factor Structure of the Modified
Diabetes Social Support Questionnaire (DSSQ-Friend).
Diabetic Medicine.
Peters, L. W., Nawijn, L., & Kesteren, N. M. (2014). How
Adolescents with Diabetes Experience Social Support
from Friend: Two Qualitatif Studies. Hindawi
Publishing Corporation Scientifica, 2014.
Philips, A. (2016). Supporting Patient with Type 1 Diabetes.
British Journal of Nursing, Volume 25(6).
Pulungan, A. (2013). Increasing Inciden of DM type 1 in
Indonesia International Journal of Pediatric
Endocrinology, 2013 (Suppl 1):O12.
Sanders, R. A. (2013). Adolescent Psychosocial, Social, and
Cognitive Development. Peiatric in Review, 34(8).
Sparapani, V. C., Borges, A. L. V., Dantas, I. R. O., Pan, R., &
Nascimento, L. C. (2012). Children with Type 1
Diabetes Mellitus and Their Friend: the Influence of this
Interaction in the Management of the Disease. Revista
Latino-Americana Enfermagen, 20.
Sunaryo. (2004). Psikologi untuk Keperawatan. Jakarta: EGC.
Wherrett, D., Hout, C., Mitchell, B., & Pacaud, D. C. (2013).
Type 1 Diabetes in Children and Adolescents. Canadian
Journal Article, Volume 37, pages 153-162.
WHO. (2011). Endocrin Disorder and Children. Retrieved 28
April 2016, from who.org.int/ceh.
369
Pengaruh Edukasi Perineal Hygiene Terhadap
Pengetahuan dan Sikap
Guru Sekolah Dasar
Abstrak
Pendahuluan
Praktik perineal hygiene yang buruk menjadi salah satu
faktor masalah kesehatan organ reproduksi wanita, termasuk
remaja. Meningkatnya masalah keputihan pada remaja salah
satu penyebabnya dalah kurangnya informasi memadai yang
mereka peroleh. Informasi tentang perineal hygiene dapat
diberikan oleh orang tua anak sendiri, keluarga, media masa,
internet, petugas kesehatan, dan guru. Orang tua dan guru
371
sangat berperan penting dalam pemberian informasi tersebut
kepada anak. Guru, merupakan figur yang sangat penting dalam
meningkatkan pengetahuan dan perilaku anak di sekolah dalam
hal kesehatan, salah satunya meningkatkan perilaku perineal
hygiene. Perilaku anak Sekolah dasar (SD) dipengaruhi oleh
guru karena pada usia ini guru merupakan idola bagi siswinya
yang akan diikuti ucapan dan perilakunya. Guru merupakan
role model disamping orang tua anak didiknya. Guru berperan
penting dalam menyampaikan informasi dan sikap mengenai
perineal hygiene kepada anak didiknya karena anak usia
sekolah merupakan usia sangat peka untuk menanamkan
pengertian dan kebiasaan hidup sehat. Apa yang disampaikan
guru kepada anak didiknya, mereka biasanya akan
menurutinya.
Masih kurang memadainya pengetahuan dan sikap guru
mengenai perineal hygiene anak sekolah dasar (SD)
menyebabkan perilaku yang kurang mendukung pada anak
tersebut. Hal ini jika dibiarkan terus, maka anak akan beresiko
mengalami masalah reproduksi, seperti keputihan.
Hasil pengkajian pada 377 siswa di SDN Bojong Asih 1,
SDN Leuwi Bandung, SDN Pasawahan, SDN Cangkuang
Dayeuhkolot Kecamatan Dayeuhkolot Kabupaten Bandung
diperoleh bahwa hampir seluruh siswa kurang memahami
perawatan perineal seperti: mengganti celana dalam, jenis
pakaian dalam yang sehat, mengeringkan daerah perineal
setelah cebok, memiliki kebiasaan cebok yang tidak benar (95,2
%). Menurut informasi dari kepala sekolah dan guru dari
keempat SDN tersebut mengatakan belum pernah diberikan
372
pelatihan mengenai perineal hygiene, baik untuk guru maupun
untuk muridnya. Mereka beranggapan bahwa materi tersebut
tepatnya diberikan di tingkat SMP atau SMA saja.
Metode
Desain penelitian quasi eksperimen dengan rancangan
pre test dan post test. Penelitian dilakukan di SDN Bojong Asih
1, SDN Pasawahan 2, SDN Leuwi Bandung 3, SDN
Cangkuang VIII kecamatan Dayeuhkolot Kabupaten Bandung.
Populasi pada penelitian ini adalah seluruh guru yang berada di
empat sekolah tersebut berjumlah 28 orang. Sample yang
digunakan adalah total sampling. Semua guru diberikan
quisioner sebelum intervensi dilakukan kemudian diberikan
penyuluhan tentang perineal hygiene dan diberiknan quisioner
kembali untuk mengukur tingkat pengetahuan dan sikap.
Quisioner dibuat oleh peneliti sendiri dan telah dilakukan uji
rebilitas.
Hasil Penelitian
Tabel 1 Distribusi frkuensi tingkat pengetahuan dan sikap guru
tentang perineal hygiene di SDN Bojong Asih 1, SDN Leuwi
Bandung 3, SDN Pasawahan 2, SDN Cangkuang 8
Dayeuhkolot
Kecamatan Dayeuhkolot tahun 2016 (n=28)
Sebelum Setelah
Tingkat pengetahuan f % f %
Baik 11 39,3 21 75,0
373
Buruk 17 60,7 7 25,0
Total 28 100 28 100
Mendukung 8 28,6 10 35,7
Sikap Tidak mendukung 20 71,4 18 64,3
Total 28 100 28 100
Pembahasan
Berdasarkan hasil penelitian didapatkan hasil bahwa
tingkat pengetahuan guru tentang perineal hygiene di SDN
Bojong Asih 1, SDN Leuwi Bandung 3, SDN Pasawahan 2,
SDN Cangkuang 8 Dayeuhkolot mengalami peningkatan. Hal
ini sejalan dengan penelitian Salaudeen (2011) yang
menemukan bahwa pendidikan kesehatan secara statistik
berpengaruh pada peningkatan pengetahuan. Para guru
mengatakan memahami perineal hygene dan pentingnya siswa
diajarkan sejak dini di sekolah. Para Guru berantusias untuk
mengajarkan ilmu tentang perineal hygiene kepada para siswa
mereka. Selain itu para guru termotivasi untuk menghimbau
seluruh siswi untuk melakukan praktik perineal hygiene yang
benar dan berkelanjutan.
375
Kondisi tingkat pengetahuan guru seperti itu menunjukan
bahwa secara umum pengetahuan mereka cukup baik, hal ini
dikarenakan mereka mau bekerjasama. Dari segi usia, peserta
guru sebagian besar masih usia muda (produktif) dan memiliki
motivasi untuk meningkatkan diri baik ilmu maupun prestasi
kerja hal ini yang mendorong mereka untuk tetap belajar.
Motivasi yang tinggi akan mendorong seseorang untuk aktif
melakukan suatu kegiatan. Hal ini sejalan dengan penelitian
Wijaya, I.M.K. (2013) pada kader kesehatan yang menemukan
bahwa kader kesehatan dengan motivasi tinggi memiliki
kemungkinan untuk aktif 15 kali lebih besar daripada motivasi
rendah.
Metode penyuluhan yang dilakukan dua arah dan
menggunakan video, merupakan hal yang penting dalam
menyampaikan informasi. Hal ini sejalan dengan penelitian
Hamida (2012) yang menyatakan bahwa media yang digunakan
dalam proses pembelajaran akan menyebabkan proses
pembelajaran menjadi lebih menarik perhatian sehingga dapat
mudah dipahami dan menyebabkan sasaran tidak menjadi cepat
bosan. Guru menjadi tidak bosan dan mudah mengerti tentang
materi apa yang kita sampaikan. Hasil penelitian menunjukan
bahwa penyuluhan yang dilakukan secara signifikan berbeda
antara pretest dan post test tentang PHBS (p<0.05). Hal ini
sejalan dengan hasil penelitian Zulaekah(2012) yang
menemukan bahwa penggunaan media penyuluhan dapat
mempengaruhi peningkatan pengetahuan. Hal ini menujukan
bahwa pelatihan, penyuluhan atau bentuk penyegaran lain
sangatlah diperlukan bagi para guru sekolah dan siswa untuk
376
updating pengetahuan mereka yang selama ini belum pernah
terpapar dengan apa yang namanya perineal hygiene. Para guru
merupakan sumber informasi yang penting bagi siswanya. Bila
guru memiliki pengetahuan perineal hygiene yang benar maka
diharapkan informasi ini akan disampaikan dengan baik kepada
para siswanya. Menurut penelitian Gustina, E. & Djanah, S.N.
(2015) membuktikan bahwa ada pengaruh antara sumber
informasi dengan pengetahuan seseorang. Dengan
meningkatnya pengetahuan dapat memotivasi seseorang untuk
merubah perilakunya dan perilaku orang lain. Hal ini sesuai
dengan penelitian Wakhidiyah & Zainafree (2010), Widagdo
(2008), yang membuktikan bahwa pengetahuan mempengaruhi
perilaku.
Pada penelitian ini ditemukan juga bahwa terjadi
peningkatan sikap guru tentang perineal hygiene. Hal ini terjadi
karena disamping video yang disajikan menarik, juga adanya
interaksi tanya jawab yang dilakukan oleh para guru kepada
peneliti sebagai pemberi informasi berdasarkan masalah-
masalah yang mereka peroleh selama mendidik siswi di
sekolahnya, Pengetahuan merupakan salah satu domain yang
sangat penting dalam membentuk tindakan seseorang. Adanya
bimbingan yang dilakukan setiap saat oleh guru kelas akan
merangsang para siswa untuk merubah pola perineal hygiene
yang biasa mereka lakukan selama ini menjadi perilaku yang
sehat. Penelitian Curtis, et all (2001) di Burkina Faso
membuktikan bahwa pendidikan kesehatan tentang hygiene
dapat merubah perilaku menjadi sehat.
377
Simpulan
Penelitian ini menemukan perbedaan yang bermakna
peningkatan rata-rata tingkat pengetahuan dan sikap guru
sebelum dan setelah periode intervensi (p<0,005).
Saran
Peningkatan pengetahuan guru tentang kesehatan diperlukan
untuk meningkatkan perilaku sehat siswa di sekolah. Untuk
kesinambungan pola sehat anak sekolah, khususnya perineal
hygiene, di perlukan pendampingan dan pengawasan dari guru
penanggung jawab PHBS/UKS secara berkesinambungan, dan
diperlukan dukungan dari pihak puskesmas dan UPTD
Pendidikan Kecamatan Dayeuhkolot baik material mupun
dukungan moral bagi sekolah dalam melanjutkan program
sehat sekolah.
Daftar Pustaka
Curtis, Kanki,B., Cousens,S., Diallo,I., Kpozehouen,A.,
Sangare,M.´& Nikiema,M. 2001. Evidence of behaviour
change following a hygiene promotion programme in
Burkina Faso Valerie. Bulletin of the World Health
Organization. 79 (6):518-527
378
Gustina, E. & Djanah, S.N. (2015). Sumber informasi dan
pengetahuan tentang menstrual hygiene pada remaja
putri. Jurnal Kemas.10 (2) 147-152
Hamida,K., Zulaekah,S.,& Mutalazimah. 2012. Penyuluhan
Gizi Dengan Media Komik Untuk Meningkatkan
Pengetahuan Tentang Keamanan Makanan Jajanan.
Jurnal Kemas.8 (1) 67-73
Wakhidiyah & Zainafree, I. 2010. Hubungan antara tingkat
pengetahuan, sikap dan Keikutsertaan penyuluhan gizi
dengan perilaku diit. Jurnal Kemas. 6(1): 64-70.
Widagdo, L., Husodo, B.T. & Bhinuri. 2008. Kepadatan Jentik
Nyamuk Aedes Aegypti Sebagai Indikator Keberhasilan
Praktek PSN (3M Plus) Studi Di Kelurahan Srondol
Wetan Semarang. Makara, Kesehatan, 12(1): 13-19
Wijaya, I.M.K. 2013. Pengetahuan, sikap dan motivasi
terhadap keaktifan kader Dalam pengendalian
tuberkulosis. Jurnal Kemas. 8(2): 137-144.
Zulaekah,S. 2012. Efektivitas Pendidikan Gizi Dengan Media
Booklet Terhadap Pengetahuan Gizi Anak SD.
JurnalKemas.7(2): 121-128.
379
Efikasi Diri (Self Efficacy) pada Orangtua dalam Menjalani
Pengobatan Kanker Anak di Kota Bandung
Abstrak
Pendahuluan
Kanker merupakan kumpulan sel abnormal yang
terbentuk oleh sel-sel yang tumbuh secara terus-menerus, tidak
terbatas, tidak terkoordinasi dengan jaringan sekitarnya dan
tidak berfungsi secara fisiologis (Price & Wilson, 2005).
Kanker terjadi karena adanya sel yang bersifat mutagenik. Sel
kanker dapat menjadi sel mutagenik karena adanya mutasi
genetik pada sel germinal maupun pada sel somatik. Hal
tersebut terjadi karena berbagai faktor, baik faktor keturunan
maupun faktor lingkungan (Baggot et al., 2002). Sel mutagenik
memiliki sifat infiltratif (menginfiltrasi jaringan sekitarnya)
serta destruktif (merusak jaringan sekitar). Hal ini
menyebabkan sel tersebut membelah secara tidak terkendali
dan akhirnya akan menyerang sel lainnya. Selanjutnya hal ini
akan menyebabkan serangkaian perubahan metabolisme sel
381
yang pada akhirnya akan mengganggu fungsi-fungsi fisiologis
tubuh (Price & Wilson, 2005).
Saat ini, kanker menjadi penyakit serius yang
mengancam kesehatan anak di dunia. Ancaman kanker di
seluruh dunia sangat besar, karena setiap tahun terjadi
peningkatan jumlah penderita baru penyakit kanker. Menurut
National Cancer Institute atau NCI (2009), diperkirakan
terdapat lebih dari enam juta penderita baru penyakit kanker
setiap tahun. NCI (2009) juga memperkirakan dalam dekade ini
terjadi sembilan juta kematian akibat kanker per tahun. Dari
seluruh kasus kanker yang ada, NCI (2009) memperkirakan
empat persen diantaranya adalah kanker pada anak. Pada tahun
2009 saja diperkirakan terjadi 10.730 kasus baru kanker pada
anak usia 0-14 tahun di Amerika Serikat (NCI, 2009). Di
Amerika Serikat, kanker menjadi penyebab utama kematian
pada bayi sampai anak umur lima belas tahun. Angka
mortalitas akibat kanker cukup besar, yaitu sekitar 50 persen
(NCI, 2009).
Permasalahan kanker anak di Indonesia saat ini menjadi
persoalan yang cukup besar (Sujudi, 2002). Menurut Gatot
(2008), prevalensi kanker anak di Indonesia mencapai empat
persen, artinya dari seluruh angka kelahiran hidup anak
Indonesia, empat persen diantaranya akan mengalami kanker.
Saat ini kanker menjadi sepuluh besar penyakit utama yang
menyebabkan kematian anak di Indonesia (Depkes RI, 2011).
Kanker pada anak harus ditangani secara berkualitas.
Penanganan kanker pada anak bertujuan untuk mengendalikan
jumlah dan penyebaran sel-sel kanker. Menurut NCI (2009),
382
penanganan kanker pada anak meliputi kemoterapi, terapi
biologi, terapi radiasi, cryotherapy, transplantasi sumsum
tulang, dan transplantasi sel darah perifer (peripheral blood
stem cell). Penanganan kanker pada anak dilakukan secara
berkesinambungan dan berlangsung lama, sehingga peran
orangtua dalam mendukung pengobatan anak dengan kanker
sangat penting. Peran orangtua ini sangat menentukan
keberhasilan pengobatan dan perawatan serta angka survival
kanker pada anak.
Orangtua merupakan faktor penting dalam penerapan
family centered care pada pengobatan dan perawatan anak
dengan kanker. Family centered care menekankan pada
pentingnya sinergi antara orangtua dan perawat dalam
perawatan anak dengan kanker. Pada penerapan family centered
care, orangtua diharapkan dapat mengetahui informasi
mengenai kondisi dan perawatan anak-anak mereka. Kehidupan
pada anak tersebut tergantung pada dukungan keluarga. Saat
anak mengalami sakit kanker, keluarga tentu akan terlibat
penuh dalam perawatan dan proses pengobatan terutama saat
menjalani kemoterapi. Dukungan keluarga tersebut mampu
menurunkan tingkat kecemasan seorang anak. Anak akan
merasa senang, aman, nyaman, sehingga memiliki semangat
hidup untuk menjalani pengobatan kemoterapi. Bentuk
dukungan keluarga yang paling penting adalah dengan
mengetahui secara utuh tugas dan peran mereka dalam
melakukan perawatan anak. Peran keluarga dalam
menyelesaikan masalah kesehatan sangat penting bagi setiap
383
aspek perawatan kesehatan anggota keluarganya (Northouse et
al., 2010).
Peran keluarga dipengaruhi oleh keyakinan mereka
dalam menjalankan tugasnya terhadap pengobatan sang anak.
Dalam sebuah penelitian yang dilakukan oleh Dunst dan
Trivette (2009), menyebutkan bahwa penerapan family
centered care sangat dipengaruhi oleh kepercayaan akan self
efficacy orangtua (self efficacy beliefs). Self efficacy merupakan
kepercayaan yang dimiliki seseorang mengenai kompetensi
atau efektivitasnya dalam area tertentu (Woolfolk, 2004).
Selain itu, self efficacy juga dapat didefinisikan sebagai
kepercayaan seseorang mengenai kemampuannya untuk
mengatur dan memutuskan tindakan tertentu yang dibutuhkan
untuk memperoleh hasil tertentu (Bandura, 2005). Sehingga
dapat disimpulkan bahwa self efficacy merupakan tingkat
kepercayaan seseorang terhadap kemampuan dirinya untuk
melakukan tindakan sehingga mencapai tujuan yang telah
ditentukan. Orangtua yang memiliki self efficacy yang tinggi
diharapkan dapat menjalankan tugasnya dalam menjalani
pengobatan kemoterapi pada anak kanker dengan baik.
Penelitian Streisand dan Mackey (2010) menunjukkan
bahwa rendahnya self efficacy turut berpengaruh dalam
tingginya tingkat stres yang dialami orangtua yang memiliki
anak dengan sakit kronis. Stres yang dialami orangtua akan
memengaruhi orang tua dalam manajemen penyakit anak,
sehingga akan memperburuk perawatan anak (Streisand &
Mackey, 2010). Orangtua yang sedang merawat anak dengan
sakit kronis dapat mengalami stres, tidak percaya diri, dan
384
depresi dalam merawat anak dengan kanker. Orangtua akan
menghadapi berbagai stresor yang datang dari lingkungan anak
atau orangtua terkait pengobatan dan perawatan anak kanker.
Menurut Harper et al. (2013) pada fase awal pengobatan anak
kanker, orangtua dapat mengalami distres berupa kecemasan,
mood negatif, tidak percaya diri, dan depresi. Distres emosi
yang dialami orangtua dapat menyebabkan long-term reaction
dan akan memperlambat pengobatan anak serta meningkatkan
cost perawatan anak dengan kanker (Harper et al., 2013).
Orangtua harus dapat mengendalikan diri sendiri
sebagai caregiver pada anak kanker, dengan memahami tugas
masing-masing dalam keluarga. Perawatan pada anak kanker
harus berfokus pada keluarga (family centered care). Peran
orangtua dalam penanganan anak yang sedang sakit kanker
tersebut adalah dengan memahami keadaan anak secara apa
adanya, baik positif, negatif, kelebihan, maupun kekurangan,
mengupayakan alternatif penanganan yang sesuai dengan
kebutuhan anak, melakukan intervensi di rumah, melakukan
evaluasi secara periodik terhadap apapun proses penanganan
yang diterapkan kepada anak, dan bersikap positif serta percaya
diri dalam menangani perkembangan anak (Northouse et al.,
2010).
Pengendalian orangtua tersebut didukung oleh
keyakinan akan kemampuan diri sendiri mengorganisasikan
sumber-sumber yang dimiliki untuk menghadapi situasi-situasi
dalam hidup atau yang disebut oleh Melander (2002) sebagai
self efficacy. Self efficacy yang dimiliki oleh orangtua yang
memiliki anak penderita leukemia berhubungan dengan
385
keyakinan bahwa dirinya memiliki kemampuan untuk
melakukan tindakan yang diharapkan. Upaya untuk pengobatan
pada anak kanker dipengaruhi oleh harapan akan hasil
(expectation of outcome) berupa kesembuhan anak dan harapan
diri orangtua yang berbeda-beda.
Rumah Kanker Anak Cinta Bandung merupakan salah
satu rumah singgah yang didirikan oleh orangtua survivor
kanker anak di Bandung, yang menjadi binaan Rumah Sakit
Umum Pusat (RSUP) Dr. Hasan Sadikin Bandung, sebagai
rumah singgah bagi anak kanker yang akan menjalani
pengobatan kanker anak. Rumah Kanker Anak Cinta setiap
bulannya dapat menampung sekitar 120 orangtua dengan anak
yang menderita kanker yang akan berobat di RSUP Dr. Hasan
Sadikin Bandung. Data dari RSUP Dr. Hasan Sadikin
menunjukkan bahwa sebagian besar anak dengan kanker tidak
tepat waktu dalam menjalani kemoterapi dan mengalami drop
out kemoterapi. Hal ini mengakibatkan perburukan keadaan
anak dengan kanker, menurunkan angka harapan hidup pada
anak kanker, dan memperlambat pengobatan. Hasil wawancara
yang dilakukan pada orangtua dengan anak kanker di Rumah
Kanker Anak Cinta menunjukkan bahwa dari 10 orangtua, 6
orangtua mengatakan tidak yakin dengan pengobatan anaknya,
3 merasa yakin, dan 1 orang merasa ragu-ragu. Sebagian besar
orangtua tidak tepat waktu membawa anaknya untuk
kemoterapi, dan sebagian lagi mengatakan tidak akan
melanjutkan kemoterapi.
Keadaan tersebut tentu harus disikapi oleh perawat anak
untuk meningkatkan keyakinan orangtua dengan mengetahui
386
penyebab yang memengaruhi keyakinan tersebut. Sebagai
perawat anak, dalam memberikan pelayanan keperawatan harus
mampu memfasilitasi keluarga dalam berbagai bentuk
pelayanan kesehatan secara holistik, contohnya sebagai
konselor yang memberikan konseling keperawatan ketika
keluarga membutuhkan, mendengarkan semua keluhan
keluarga, bertukar pikiran, dan membantu mencari alternatif
penyelesaian masalahnya dengan melakukan pendidikan
kesehatan atau dengan menolong orangtua memahami proses
pengobatan kemoterapi anak. Dengan demikian maka
penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi efikasi diri (self
efficacy) pada orangtua dalam menjalani pengobatan kanker
anak di Rumah Kanker Anak Cinta Bandung.
Metode
Desain yang digunakan dalam penelitian ini adalah
deskriptif kuantitatif untuk mengetahui gambaran efikasi diri
pada orangtua dalam menjalani pengobatan pada anak dengan
kanker. Sampel dalam penelitian ini dipilih dengan cara
consecutive sampling. Dalam sebulan, rata-rata terdapat 32
orangtua anak dengan kanker yang singgah di Rumah Kanker
Anak Cinta Bandung. Penelitian dilakukan terhadap orangtua
yang singgah di Rumah Kanker Anak Cinta Bandung yang
akan menjalani pengobatan kanker di RSUP Dr. Hasan Sadikin
Bandung. Penelitian ini dilaksanakan selama bulan Desember
2015 dan didapatkan jumlah sampel pada penelitian ini
sebanyak 40 orangtua anak dengan kanker. Penelitian ini
berpegang pada prinsip-pinsip etik, yaitu self determination,
387
anonymity dan confidentiality, protection from discomfort,
beneficience, dan justice (Polit & Beck, 2008).
Data efikasi diri orangtua diperoleh dengan kuesioner
efikasi diri orangtua dalam menjalankan pengobatan pada anak
kanker yang dimodifikasi dari Teori Bandura. Kuesioner efikasi
diri pada penelitian ini menggunakan skala likert. Kuesioner
dikembangkan berdasarkan teori Bandura (1997) mengenai tiga
dimensi self efficacy yaitu magnitude, strength, dan generality.
Uji validitas dilakukan pada 12 orang responden. Untuk tabel tα
= 0,05 derajat kebebasan (dk = n-2), jika nilai t hitung > t tabel
berarti valid. Instrumen dinyatakan valid jika nilai t hitung >
0,4973. Pada penelitian ini didapatkan nilai t hitung berkisar
antara 0,516 – 0,887; maka dengan demikian instrumen efikasi
diri (self efficacy) dinyatakan valid. Pada penelitian ini nilai
rata-rata untuk uji reliabilitas sekitar 0,765 dimana nilai uji
reliabilitas > 0,600 sehingga instrumen dinyatakan reliabel.
Data penelitian dianalisis secara univariat. Peneliti
melakukan analisis univariat dengan tujuan untuk menganalisis
variabel penelitian secara deskriptif. Analisis deksriptif
dilakukan untuk menggambarkan karakteristik responden dan
efikasi diri orangtua. Data hasil analisis univariat disajikan
dalam bentuk frekuensi dan persentase.
Hasil Penelitian
Karekteristik responden anak dengan kanker di Rumah
Kanker Anak Cinta Bandung dapat digambarkan pada tabel
berikut ini.
388
Tabel 1 Karekteristik Anak dengan Kanker
di Rumah Kanker Anak Cinta Bandung (n = 40)
Pembahasan
Penyakit kronis yang muncul pada masa anak-anak,
salah satu diantaranya penyakit kanker yang dapat
memengaruhi kualitas tumbuh kembang dan potensi anak di
masa depan. Kanker merupakan penyakit kronis yang dapat
membawa banyak masalah bagi penderitanya baik sebagai
dampak dari proses penyakitnya itu sendiri ataupun akibat dari
392
pengobatannya. Hasil penelitian ini, seperti dapat terlihat pada
tabel 1, menunjukkan bahwa sebagian besar anak menderita
ALL yaitu sebanyak 29 orang (72,5%) serta sebagian besar
anak dengan kanker berusia 1-6 tahun yaitu sebanyak 24 orang
(60%). Adapun sebagian besar anak dengan kanker berjenis
kelamin laki-laki sebanyak 23 orang (57,5%). Hal ini sesuai
update terkini dari NCI (2010) yang menyatakan bahwa
leukemia merupakan jenis kanker yang paling banyak diderita
oleh anak yang berusia antara 0-19 tahun.
Penyakit kanker memerlukan pengobatan dan
perawatan yang berkelanjutan diantaranya dengan kemoterapi.
Kemoterapi memperlihatkan efektifitas tinggi dalam
penanganan kanker pada anak, terutama pada kanker yang tidak
dapat ditangani dengan pembedahan atau radiasi saja.
Berdasarkan penelitian ini menunjukkan bahwa seluruh anak
sedang menjalankan kemoterapi dengan berbagai siklus yaitu
sebanyak 40 orang (100%). Hasil penelitian menunjukkan
bahwa sebagian besar anak sedang menjalani siklus kemoterapi
dalam rentang siklus 1 sampai siklus 10 yaitu sebanyak 23
orang (57,5%).
Pengobatan kemoterapi yang berkelanjutan pada anak
dengan kanker, selain memiliki efek terapeutik, agen tersebut
juga menyebabkan berbagai efek samping. Efek samping
tersebut diantaranya masalah fisik, seperti anak mudah
mengalami infeksi, mudah mengalami perdarahan, lemah
(fatigue), lesu, rambut rontok, mukositis, mual, muntah, diare,
konstipasi, nafsu makan menurun, neuropati, sistitis
hemoragika, retensi urin, wajah yang menjadi bulat dan
393
tembam (moonface), gangguan tidur, serta berpengaruh
terhadap kesuburan pasien dewasa. Selain masalah fisik, anak
yang menjalani kemoterapi juga dapat mengalami masalah
psikososial, seperti gangguan mood, kecemasan, kehilangan
kepercayaan diri, penurunan persepsi diri, depresi, dan
perubahan perilaku yang berdampak anak tidak dapat
bersekolah (Hockenberry & Wilson, 2011). Semua masalah ini
sangat berpengaruh besar terhadap kualitas hidup anak.
Kualitas hidup pada anak dapat menurun. Untuk mengatasi hal
ini maka sangat diperlukan peran aktif dari orangtua dalam
melakukan perawatan pada anak dengan kanker.
Orangtua merupakan orang yang sangat penting dalam
perawatan pada anak kanker. Hal ini sesuai dengan konsep
family centered care dalam perawatan pada anak kanker. Dua
konsep penerapan family centered care adalah enabling dan
empowerment. Professional enabling keluarga dibentuk dengan
menciptakan kesempatan bagi keluarga untuk menunjukkan
kemampuan dan kompetensi keluarga untuk mendapatkan
kemampuan baru untuk memenuhi kebutuhan anak.
Empowerment menggambaran interaksi professional dengan
keluarga untuk memelihara atau mendapatkan sense of control
dalam kehidupan sehari-hari dan menghargai perubahan positif
yang dihasilkan dari perilaku keluarga dalam memperkuat
kemampuan keluarga (Hockenberry, Wilson, & Wong, 2009).
Hasil penelitian (tabel 2) menunjukkan bahwa hampir
setengahnya dari orangtua berada dalam rentang usia 31 sampai
40 tahun yaitu sebanyak 18 orang (45,0%). Hal ini
menunjukkan bahwa orangtua berada dalam rentang usia
394
produktif. Pada masa ini orang tua akan berusaha semaksimal
mungkin mencari pengobatan dan melakukan perawatan demi
kesembuhan anaknya.
Efikasi diri (self efficacy) merupakan model keyakinan
kesehatan sebagai alat yang bermanfaat dalam memprediksi
derajat dimana individu kemungkinan memainkan peran aktif
dalam perawatan kesehatan mereka dan orang lain. Dalam hal
ini maka kemampuan dan keyakinan orangtua dalam merawat
anak dengan kanker dapat dilihat dari efikasi diri (self efficacy)
yang orang tua miliki dalam merawat anak dengan kanker.
Penelitian efikasi diri (self efficacy) pada orangtua dalam
menjalani pengobatan kanker anak di Rumah Kanker Anak
Cinta Bandung ini menunjukkan bahwa sebagian besar
orangtua dalam menjalani pengobatan kanker anak memiliki
efikasi diri (self efficacy) tinggi yaitu sebanyak 23 orang
(57,5%). Adapun hampir setengahnya orangtua memiliki
efikasi diri (self efficacy) rendah yaitu sebanyak 17 orang
(42,5%). Dengan demikian maka orangtua dengan anak kanker
pada penelitian ini memiliki kemampuan atau keyakinan yang
tinggi dalam merawat anak dengan kanker. Sehingga hal ini
dapat sangat menunjang terhadap proses perawatan,
pengobatan, dan penyembuhan anak yang pada akhirnya
diharapkan dapat meningkatkan kualitas hidup anak dengan
kanker.
Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian Harper et
al. (2013) yang dilakukan di tiga rumah sakit di USA terhadap
orangtua anak yang anaknya terdiagnosis penyakit kanker yang
menunjukkan hasil bahwa sebagian besar orangtua memiliki
395
self efficacy yang tinggi. Self efficacy yang tinggi pada orangtua
dapat membuat anak tenang dan nyaman sebelum menjalani
pengobatan dan atau membuat anak nyaman dan tenang selama
menjalani prosedur pengobatan, salah satunya kemoterapi. Hal
ini membuat kecemasan orangtua menurun selama anak
menjalani pengobatan kanker. Self efficacy orangtua
memengaruhi distres jangka menengah dan jangka panjang
selama prosedur pengobatan anak sehingga kemampuan koping
orangtua dalam mengatasi tantangan selama prosedur
pengobatan anak pun menjadi adaptif.
Sementara itu penelitian di Brazil yang dilakukan oleh
Alves et al. (2013) menunjukkan hasil yang berbeda dimana
orangtua anak dengan kanker memiliki level stres dan
kecemasan yang lebih tinggi pada orangtua dengan usia dewasa
muda, usia anak masih terlalu kecil, dan baru saja mengetahui
kalau anaknya menderita kanker. Ketakutan terhadap kematian
anak dan dampak penyakit terhadap kualitas hidup anak
merupakan kondisi penuh stres yang membuat orangtua
semakin stres dan cemas. Sehingga hal ini menyebabkan
orangtua memiliki self efficacy yang lebih rendah dan tidak
mampu melakukan perawatan terhadap anaknya yang
menderita kanker. Pada akhirnya hal ini berdampak pada
kualitas hidup anak yang lebih buruk. Dalam hal ini maka
perawat harus mampu memberikan support untuk membantu
orangtua mengatasi stres yang dialaminya dan memiliki koping
positif dalam menghadapi penyakit kanker anaknya. Adapun
penelitian Goldbeck (2006) menemukan bahwa diagnosis
kanker pada anak, terutama anak usia awal, memiliki dampak
396
yang negatif terhadap kualitas hidup orangtua. Penelitian di
Jerman ini menunjukkan bahwa kualitas hidup yang buruk pada
orangtua menyebabkan orangtua memiliki self efficacy yang
rendah dalam menjalani pengobatan anak dengan kaker.
Orangtua yang memiliki self efficacy lebih tinggi dapat
menjalankan perannya dalam perawatan pada anaknya bukan
hanya pada tingkat kesulitan yang rendah, namun juga dapat
menjalankan perannya pada tingkat kesulitan yang tinggi,
seperti pada saat anaknya mengalami berbagai keluhan pasca
kemoterapi dibandingkan dengan orangtua yang memiliki self
efficacy lebih rendah. Besarnya usaha yang dilakukan orangtua
dalam menjalankan perannya dapat terlihat pada peningkatan
usaha ketika menghadapi kegagalan atau kesulitan dan
bagaimana orangtua melaksanakan alternatif usaha yang dapat
membuatnya mencapai keberhasilan ketika menghadapi
kegagalan atau kesulitan atau hambatan dalam perawatan dan
pengobatan anaknya. Selain itu, orangtua yang memiliki self
efficacy yang tinggi akan dapat menjalankan perannya dalam
lingkup yang lebih luas. Orangtua akan belajar dari berbagai
pengalaman yang pernah dialaminya atau belajar dari
pengalaman orang lain dalam melakukan perawatan pada
anaknya.
Orangtua yakin bahwa dirinya mampu merawat anak
selama menjalani pengobatan kemoterapi serta mampu dalam
mengatasi keluhan sebelum kemoterapi dan efek samping
setelah di kemoterapi. Pengetahuan tentang dampak positif
kemoterapi semakin meningkatkan keyakinan orangtua dalam
menjalani usaha demi kesembuhan anaknya. Dengan usaha
397
semaksimal mungkin orangtua yakin anaknya dapat sembuh
kembali. Self efficacy yang tinggi akan menjadikan pengalaman
untuk menghadapi dan menyelesaikan hambatan yang dialami
melalui usaha yang terus-menerus dan berkelanjutan. Kesulitan
dan hambatan yang dialami biasanya mempunyai tujuan untuk
mengajarkan bahwa keberhasilan harus diiringi dengan usaha
yang terus-menerus. Dengan adanya self efficacy yang dimiliki,
orangtua akan menetapkan tindakan apa yang akan dilakukan
demi kesembuhan anaknya, diantaranya dengan terus
menjalankan pengobatan kemoterapi pada anaknya sampai
anaknya sembuh.
Simpulan
Orangtua merupakan orang yang sangat penting dalam
perawatan pada anak kanker. Hal ini sesuai dengan konsep
family centered care dalam perawatan pada anak kanker. Dua
konsep penerapan family centered care adalah enabling dan
empowerment. Professional enabling keluarga dibentuk dengan
menciptakan kesempatan bagi keluarga untuk menunjukkan
kemampuan dan kompetensi keluarga untuk mendapatkan
kemampuan baru untuk memenuhi kebutuhan anak.
Empowerment menggambaran interaksi professional dengan
keluarga untuk memelihara atau mendapatkan sense of control
dalam kehidupan sehari-hari dan menghargai perubahan positif
yang dihasilkan dari perilaku keluarga dalam memperkuat
kemampuan keluarga. Dalam hal ini maka kemampuan dan
keyakinan orangtua dalam merawat anak dengan kanker dapat
398
dilihat dari efikasi diri (self efficacy) yang orang tua miliki
dalam merawat anak dengan kanker.
Penelitian efikasi diri (self efficacy) pada orangtua
dalam menjalani pengobatan kanker anak di Rumah Kanker
Anak Cinta Bandung ini menunjukkan bahwa sebagian besar
orangtua dalam menjalani pengobatan kanker anak memiliki
efikasi diri (self efficacy) tinggi yaitu sebanyak 23 orang
(57,5%). Adapun hampir setengahnya orangtua memiliki
efikasi diri (self efficacy) rendah yaitu sebanyak 17 orang
(42,5%). Dengan demikian maka orangtua dengan anak kanker
pada penelitian ini memiliki kemampuan atau keyakinan yang
tinggi dalam merawat anak dengan kanker. Sehingga hal ini
dapat sangat menunjang terhadap proses perawatan,
pengobatan, dan penyembuhan anak yang pada akhirnya
diharapkan dapat meningkatkan kualitas hidup anak dengan
kanker.
Berdasarkan hasil penelitian tersebut, maka orangtua
yang memiliki self efficacy yang tinggi diharapkan dapat
menjalankan tugasnya dalam menjalani pengobatan kemoterapi
pada anak kanker dengan baik. Di samping itu, perawat sebagai
tenaga kesehatan yang paling sering kontak dengan pasien anak
kanker dan orangtuanya maka harus dapat meningkatkan
asuhan keperawatan tidak hanya pada anak dengan kanker
tetapi juga pada orangtua anak. Orangtua merupakan orang
yang sangat penting dalam perawatan pada anak kanker. Hal ini
sesuai dengan konsep family centered care dalam perawatan
pada anak kanker. Dengan demikian maka keluarga harus
dilibatkan dalam perawatan anak dengan kanker. Perawat juga
399
harus memberikan kesempatan dan dukungan bagi keluarga
untuk menunjukkan kemampuan dan kompetensi keluarga
untuk mendapatkan kemampuan baru untuk memenuhi
kebutuhan anak. Sehingga hal ini dapat meningkatkan efikasi
diri (self efficacy) pada orangtua dalam menjalani pengobatan
kanker anak.
Daftar Pustaka
400
Dunst, C. J., & Trivette, C. M. (2009). Meta-analytic structural
equation modelling of the influences of family
centered care on parent and child psychological health.
International Journal of Pediatric, 1-9.
401
National Cancer Institute. (2010). Surveillance, epidemiology
and end result (SEER). Diperoleh melalui
www.seer.cancer.gov/canque/incidence.html tanggal
11 Mei 2011.
402
Woolfolk, H. A. (2004). Educational psychology (9th edition).
USA: Pearson.
403
Strategi Koping Anak dalam Mengalami atau
MenyaksikanKekerasan dalam Rumah Tangga (KDRT)
Abstrak
404
keras, membaca buku sambil menutup telinga, bermain video
game, ikut bertengkar, melapor pada polisi, meminta bantuan
tetangga, membela diri, pergi dari rumah, distraksi untuk
mengajak ayah bermain, dan tindakan asertif (mengungkapkan
kemarahan dan kekesalannya terhadap orang tuanya).Strategi
yang diterapkan adalah emotional focus coping(mengelola dan
mengatasi stress) dan problem focus coping (merubah situasi
yang bermasalah). Anak menunjukkan reaksi dan strategi
koping yang berbeda pada saat mengalami atau menyaksikan
KDRT. Oleh sebab itu anak memerlukan perhatian dari
berbagai pihak termasuk perawat sebagai tenaga kesehatan
profesional untuk dapat menerapkan strategi koping yang
konstruktif dalam menghadapi permasalahan ini sehingga
dampak jangka pendek dan jangka panjang terhadap anak dapat
teratasi.
Pendahuluan
Anak merupakan aset bangsa, sebagai generasi penerus
yang diharapkan kontribusinya terhadap keberlangsungan masa
depan bangsa ini. Kelangsungan hidup anak merupakan hak
asasi yang harus dipenuhi. Menurut Konvensi Hak Anak yang
diadopsi oleh majelis Umum PBB pada tahun 1989, dan
Indonesia telah mensyahkannya melalui Undang-Undang RI
No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, yang
menyebutkan bahwa setiap anak tanpa memandang ras, suku
bangsa, jenis kelamin, asal usul keturunan, agama maupun
bahasa mempunyai empat bidang hak, yaitu: (a) hak untuk
405
hidup, (b) hak untuk tumbuh dan berkembang, (c) hak untuk
memperoleh perlindungan, dan (d) hak untuk berpartisipasi.
Hal ini pun dipertegas dengan dikeluarkannya Undang-undang
tentang Perlindungan Anak nomor 23 tahun 2002 pasal 4 yang
menyatakan bahwa setiap anak berhak untuk dapat hidup,
tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara wajar sesuai
dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapatkan
perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.
Namun pada kenyataannya anak seringkali mengalami
kekerasan diantaranya kekerasan dalam rumah tangga. Dari
tahun ketahun angka kejadian kekerasan terhadap anak semakin
lama semakin meningkat. Tindak Kekerasan ini banyak terjadi
di berbagai belahan dunia diantaranya Mediterania Timur 37%,
Afrika 37%, Amerika 30%, Eropa 25%, pasifik Barat 24%
(WHO, 2013). Indonesia merupakan negara yang mempunyai
angka tertinggi dalam kasus KDRT (Zubir, 2013). Berdasarkan
data dari Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI)
mendapatkan bahwa terdapat peningkatan kekerasan terhadap
anak, baik secara seksual, fisik maupun eksploitasi seksual
komersil. Sejak bulan Januari hingga bulan Oktober 2013,
jumlah kasus tersebut mencapai 525 kasus atau 15,85 persen
dari kasus yang terjadi. Data KPAI menyebutkan bahwa pada
tahun 2012 terdapat 746 kasus. Jumlah ini meningkat 226
persen dari tahun sebelumnya, dengan jumlah kasus sebanyak
329 kasus. Adapun sumber data didapatkan dari pengaduan
yang masuk, baik melalui pengaduan langsung, surat, telepon,
email, dan berita. Komnas Perlindungan Anak mencatat dalam
semester I di tahun 2013 atau mulai bulan Januari sampai akhir
406
Juni 2013 ada 1032 kasus kekerasan anak yang terjadi di
Indonesia. Dari jumlah itu kekerasan fisik tercatat ada 294
kasus atau 28 persen, kekerasan psikis 203 kasus atau 20 persen
dan kekerasan seksual 535 kasus atau 52 persen (Mutiah,
2015). KPAI menyatakan bahwa Jawa Barat menjadi daerah
darurat kekerasan terhadap anak dari 21 juta laporan kekerasan
yang di terima KPAI selama tahun 2013, sebanyak 38%
diantaranya terjadi di Jawa Barat (Harian Tempo, 2014).
Anak sebagai korban kekerasan merupakan fenomena
sosial yang memerlukan perhatian dari berbagai pihak termasuk
perawat sebagai tenaga kesehatan profesional. Hampir setiap
hari pemberitaan mengenai anak-anak dengan kasus kekerasan
fisik dan psikologis dapat dilihat pada berbagai macam media
masa maupun media elektronik. Banyaknya kasus yang terjadi
tentu menimbulkan pertanyaan mendasar tentang bagaimana
melindungi anak-anak dari berbagai tindak kekerasan.
Pengalaman menyaksikan dan mengalami KDRT
merupakan suatu peristiwa traumatis karena kekerasan
dilakukan oleh orang-orang yang terdekat bagi anak. Keluarga
yang semestinya memberikan rasa aman, justru menampilkan
dan memberikan kekerasan yang dapat menciptakan rasa takut
serta kemarahan pada anak. Masalah KDRT pada anak dapat
menimbulkan berbagai persoalan baik dalam jangka pendek
maupun jangka panjang. Dalam jangka pendek anak dapat
mengalami ancaman terhadap keselamatan hidup, merusak
struktur keluarga, munculnya berbagai gangguan mental,
seperti depresi, cemas, agresi, dan perilaku marah (Overlien &
Hyden, 2009). Pengalaman traumatis anak dalam menyaksikan
407
dan mengalami KDRT sering ditemukan sebagai resiko
munculnya masalah psikologis di masa depan, seperti:
penelantaran dan pelecehan secara fisik dan psikologis pada
anak (McGuigan & Pratt, 2001); masalah perilaku eksternal
atau internal, serta berbagai perilaku beresiko seperti merokok,
penyalahgunaan zat dan perilaku seks beresiko (Kitzmann,
Gaylord, Holt, & Kenny, 2003; Skopp, McDonald, Jouriles, &
Rosenfield, 2007); dan hubungan sosial yang buruk serta Post
Traumatic Stress Disorder (PTSD) (Overlien & Hyden, 2009).
Meskipun terjadi peningkatan kesadaran terhadap
dampak KDRT baik secara jangka pendek maupun jangka
panjang pada anak dan meningkatnya pemahaman terhadap
pengalaman anak dengan KDRT tetapi penelitian di Indonesia
lebih banyak berfokus terhadap orang dewasa yang dalam hal
ini orang tua yang mengalami KDRT dan masih sangat sedikit
penelitian yang berfokus tentang reaksi anak terhadap KDRT
dan strategi koping yang diterapkannya. Perawat memiliki
peranan penting dalam hal ini yaitu melakukan upaya promotif
dan preventif. Salah satu peran perawat dalam upaya promotif
adalah untuk mengurangi angka kejadian dan dampak dari
KDRT terhadap anak tersebut yang dapat dilakukan dengan
meningkatkan mekanisme koping anak ke arah yang adaptif.
Penelitian di luar negeri menunjukan bahwa anak yang
mengalami KDRT dapat menunjukan mekanisme koping yang
adaptif dan maladaptif (Overlien & Hyden, 2009). Strategi
yang diterapkan adalah emotional focus coping (dengan
mengelola dan mengatasi stress) dan problem focus coping
(merubah situasi yang bermasalah) (Folkman & Lazarus,
408
1991). Berdasarkan penelitian Overlien dan Hyden (2009) dan
Hogan dan O‘Reilly (2007) berbagai macam reaksi
ditunjukkan oleh anak pada saat menghadapi KDRT
diantaranya menghindar dari keributan, mengurung diri di
kamar dengan mendengarkan musik yang keras, membaca buku
sambil menutup telinga, bermain video game, ikut bertengkar,
melapor pada polisi, meminta bantuan kepada tetangga,
membela diri dan ibu, pergi dari rumah, distraksi kepada ayah
untuk mengajaknya bermain, dan tindakan asertif, seperti
mengungkapkan kemarahan dan kekesalannya terhadap orang
tuanya. Maka dari itu, literature review ini bertujuan untuk
mengidentifikasi strategi koping anak dalam mengalami atau
menyaksikan (KDRT).
Metode
Artikel dikumpulkan melalui Google Scholar, CINAHL
dari EBSCOhost, dan Proquest electronic database
menggunakan kata kunci anak, strategi koping, mekanisme
koping dan kekerasan dalam rumah tangga. Terdiri dari
penelitian kualitatif dan kuantitatif; full text; dan dipublikasikan
dalam bahasa Inggris maupun Indonesia tahun 2001 sampai
2015. Didapatkan sebanyak 20 artikel, dan hanya terdapat 8
artikel yang secara spesifik berkaitan dengan strategi koping
anak dalam mengalami atau menyaksikan KDRT.
Simpulan
Anak menunjukkan reaksi dan strategi koping yang
berbeda pada saat mengalami atau menyaksikan KDRT. Oleh
sebab itu anak memerlukan perhatian dari berbagai pihak
termasuk perawat sebagai tenaga kesehatan profesional untuk
dapat menerapkan strategi koping yang konstruktif dalam
menghadapi permasalahan ini sehingga dampak jangka pendek
dan jangka panjang terhadap anak dapat teratasi.
Daftar Pustaka
413
Hogan, F., & O‘Reilly, M. (2007). Listening to children:
Children’s stories domestic violence. Centre for Social
and Family Research, Department of Applied Arts,
Waterford Institute of Technology. Dublin 2, Irlandia.
Kitzmann, K., Gaylord, N., Holt, A., & Kenny, E. (2003). Child
witnesses to domestic violence: A metaanalytic review.
Journal of Consulting and Clinical Psychology, 71,
339- 352.
414
Undang-Undang RI No. 23 Tahun 2002 tetang Perlindungan
Anak
415
Literature Review: Penggunaan Madu untuk Oral Care
pada Pasien Anak yang Mengalami Mukositis Setelah
Pemberian Kemoterapi
Abstrak
Pendahuluan
Saat ini penyakit kanker bisa terjadi pada setiap tingkat
usia bahkan banyak juga ditemukan penyakit kanker pada usia
anak.Dari data Kementrian Kesehatan RI dalam Buletin Jendela
Data dan Informasi Kesehatan, 2015 menurut Union for
International Cancer Control (UICC) setiap tahun terdapat
176.000 anak yang didiagnosis kanker dan merupakan salah
satu penyebab utama kematian 90.000 anak setiap tahunnya.Di
Indonesia kanker mulai menggeser posisi serangan jantung
sebagai penyebab utama kematian (Sabrida 2015).RSUP Dr
Hasan Sadikin Bandung sebagai pusat rujukan se Jawa Barat
maka di ruangan rawat inap anak (Ruangan Kenanga) terdapat
pasien kanker yang mendapatkan kemoterapi, bahkan
kemoterapi pada pasien neoplasma sebagai peringkat pertama
untuk 10 penyakit terbanyak pada tahun 2015 sebanyak 696
pasien. Batasan usia anak menurut Undang-Undang Republik
Indonesia Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan anak
417
pasal 1 ayat 1 menjelaskan bahwa yang dikatakan anak adalah
seseorang yang belum berusia 18 tahun termasuk anak dalam
kandungan.
Salah satu pengobatan penyakit kanker adalah
kemoterapi disamping pembedahan, radioterapi dan pemberian
hormonal. Kemoterapi yang merupakan tindakan pemberian
obat kimiawi yang bertujuan untuk membatasi pertumbuhan
jumlah sel kanker dan menghambat proses metastase dapat juga
menimbulkan rasa takut dan pengalaman yang buruk akibat
efek samping dari pemberian kemoterapi. Efek samping yang
terjadi dapat menimbulkan gangguan sistem hematologi, nyeri,
fatique, mual muntah, konstipasi, diare, mukositis, perubahan
indera perasa, rambut rontok dan perubahan kulit. Sedangkan
pada anak usia remaja ditemukan 6 gejala umum selama
pemberian kemoterapi, yaitu gangguan tidur, kelelahan
(fatique), mual, nyeri, gangguan mood dan perubahan
penampilan (Erickson et al., 2013) .
Selama pemberian kemoterapi anak akan mengalami
hospitalisasi.Hal yang perlu dipertimbangkan dalam perawatan
pasien anak adalah stressor dan reaksi anak selama hospitalisasi
, yaitu cemas akibat perpisahan,kehilangan control dan
orientasi terhadap penyakit dan rasa sakit.Menurut Sposito et
al. (2015) anak yang dirawat di rumah sakit selama pengobatan
kemoterapi ada beberapa hal yang harus diperhatikan seperti
adaptasi selama perawatan di rumah sakit, rasa nyeri, efek
samping pengobatan, waktu yang terbuang dan ketidakpastian
dalam keberhasilan pengobatan.Sehingga pasien anak yang
418
sedang dirawat perlu dimotivasi untuk mengembangkan
kopingnya sendiri.
Sebagai seorang perawat anak maka harus mengetahui
tentang filosofi keperawatan anak yaitu family centred care
dan atraumatic care perlu diperhatikan. Anak dengan kanker
akan merasa trauma akibat beberapa tindakan invasive yang
dilakukan baik saat pemeriksaan diagnostic lumbal punksi
ataupun pengambilan sampel darah yang berkelanjutan yang
dapat menimbulkan rasa nyeri untuk itu sebagai perawat anak
harus berusaha meminimalkan rasa trauma tersebut.Selain itu
pasien anak yang mendapatkan kemoterapi akan mengalami
perawatn yang lama dan berulang sehingga memerlukan
dukungan secara emosional dan psikososial dari lingkungan
sekitar terutama dari keluarga yang terdekat karena kemoterapi
efek samping yang dapat mengakibatkan trauma
berkepanjangan pada pasien. Family centred care pada pasien
anak dengan penyakit kronis sangat diperlukan, sehingga
pentingnya melibatkan keluarga terutama ayah dan ibu dalam
program pengobatan kemoterapi.Karena ayah dan ibu harus
mengetahui penjadwalan dan jenis kemoterapi yang akan
berlangsung serta efek samping yang bisa terjadi setelah
pemberian kemoterapi baik saat masih perawatan di rumah
sakit atau setelah pulang ke rumah.Peran perawat anak adalah
bertanggung jawab dalam meningkatkan promosi kesehatan
dan hidup yang lebih baik bagi anak dan keluarganya.
Salah satu efek samping pada pasien yang mendapatkan
kemoterapi yang adalah insidensi mukositis. Selain karena efek
samping kemoterapi tetapi dapat juga karena daya tahan tubuh
419
yang menurun karena pemberian kemoterapi dan juga karena
kurangnya perhatian orang tua terhadap kebersihan daerah
rongga mulutnya.Mukositis disebabkan karena rusaknya sel
epitel pada mukosa mulut dan terhambatnya pertumbuhan
sekunder karena pengobatan antineoplastic dalam bentuk
kemoterapi atau radioterapi (Martin & Perez 2014).
Dari penelitian Nurhidayah,Sholehati & Nuraeni
(2013) di Ruangan Kenanga RSUP Dr Hasan Sadikin Bandung
dengan menggunakan deskriptif eksploratif didapatkan dari 21
responden yang didapatkan dari consecutive sampling terjadi
peningkatan skor mukositis sebanyak 3,83% setelah diberikan
kemoterapi. Banyak factor yang dapat menyebabkan mukositis
menurut Lubis & Silvana (2007) komplikasi rongga mulut
dapat terjadi karena dua hal, pertama akibat langsung dari efek
samping obat kemoterapi terhadap rongga mulut dan akibat
tidak langsung yang dikarenakan penurunan daya tahan tubuh
pasien. Selain itu yang perlu diperhatikan pada efek samping
ini selain status nutrisi, neutropenia, kebersihan mulut yang
kurang juga harus dilihat tingkat usia (Hashemi et al., 2015)
Insiden kejadian mukositis juga bisa dilihat dari
pemberian dosis kemoterapi .Pasien mengalami mukositis
sebanyak 40% yang mendapatkan standard dosis pada
kemoterapi dan sebanyak 100% pada pasien yang mendapatkan
kemoterapi dosis tinggi atau kombinasi antara kemoterapi dan
radiasi pada kanker kepala dan leher (Gibson et al., 2013).
Terjadinya peningkatan pasien anak dan remaja yang menderita
kanker dari data The American Cancer Society (ACS) terjadi
peningkatan dari 58% menjadi 80% sehingga lebih difokuskan
420
pada perawatan suportif untuk peningkatan kualitas
hidupnya.Perawatan suportif diutamakan pada asupan nutrisi
yang adekuat dan berat badan yang optimal (Green , Horn , &
Erickson 2010)
Mukositis yang terjadi pada anak akan menurunkan
nafsu makan anak sehingga kecukupan nutrisinya akan
terganggu. Pada pasien anak dan remaja memerlukan energi
yang cukup untuk dapat tumbuh dan berkembang sesuai dengan
perkembangannya.Anak yang kekurangan nutrisi akan cepat
lelah sehingga anak tidak dapat bermain, belajar, berkarya
dengan teman sebayanya.Apalagi pada anak usia sekolah
bermain dan belajar adalah tugas perkembangan yang utama
(Hockenberry & Wilson, 2007). Selain itu kurangnya asupan
gizi juga dapat meningkatkan resiko terkena infeksi karena
daya tahan tubuh menurun sehingga anak mudah terserang
penyakit. Hal ini akan mengganggu pertumbuhan dan
perkembangan anak sehingga kualitas hidup anak akan
menurun. Dan dapat menimbulkan rasa nyeri dan rasa tidak
nyaman di mulut.Bahkan pada usia remaja dari hasil
pengamatan di lapangan merasa harga diri rendah sehingga
menarik diri dari teman sebayanya.
Pada penelitian Green, et al (2010) yang menggunakan
metode kualitatif menemukan beberapa kebiasaan makan pada
pasien anak dan remaja yang dilakukan kemoterapi.Ketika
terdapat mukositis maka sebagian besar partisipan mengatakan
bahwa pengalaman dengan luka di mulut sangat mengganggu,
menyakitkan,kesulitan menggerakan lidah serta sulit dan sakit
ketika makan.Sehingga asupan makanan yang masuk juga tidak
421
banyak. Bahkan ada yang tidak masuk makanan sama sekali
tetapi ada yang mecoba untuk makan yang mengandung kuah
atau makanan lunak.
Untuk mencegahnya harus dilakukan oral
hygiene.Dalam panduan MASCC (Multinational Assosciation
of Suportive Cancer Care) oral hygiene yang efektif dapat
menggunakan sikat gigi yang lembut sehari dua kali, flossing
sehari sekali dan berkumur teratur dengan obat kumur dan
pelembab mulut yang bertujuan untuk menghindari terjadinya
disfungsi kelenjar ludah.Obat kumur yang digunakan termasuk
Natrium Chlorida 0,9%, Larutan Sodium bikarbonat dan
air.(Bensinger et al., 2008)
Jika terjadi mukositis pada pasien setelah pemberian
kemoterapi dapat dilakukan oral care dengan beberapa
cara.Seperti dalam systematic review yang dilakukan oleh Mc
Guire et al.(2013) bahwa tedapat tujuh tindakan oral care yang
dapat dilakukan , yaitu : protocol oral care , dental care ,
normal saline , sodium bicarbonate , chlorhexidine ,
pengobatan dengan mouth wash dan calcium phosphate
Dalam systematic review lain yang dilakukan oleh Hashemi, et
al. (2015) dari hasil pencariannya didapatkan 30 artikel yang
menyimpulkan bahwa chlorhexidine 0,12 – 0,2%, normal saline
0,9%, sodium bicarbonate,iseganan,benzydamine,sucralfate dan
Granulocyte Macrophage Colony Stimulating Factor dapat
digunakan untuk mouth rinse untuk pencegahan terjadinya
mukositis pada kemoterapi.
Selain media di atas dapat juga dalam melakukan oral
care menggunakan madu. Madu adalah produk alami yang
422
dapat memiliki efek terapeutik.Dalam kandungan madu
terdapat 200 substansi.Madu memiliki komposisi utama
fruktosa dan glukosa tetapi terkandung juga frukto-
oligosakarida dan beberapa asam amino. Telah digunakan sejak
8000 tahun yang lalu di daerah mesir kuno, syiria china,yunani
dan roma digunakan untuk menyembuhkan luka dan penyakit
usus.(Oskouei & Najafi 2013).
Dalam artikel yang ditulis oleh Vallianou, Gounari,
Skourtis, Panavos & Kazazis (2014) madu secara umum terdiri
dari gula dan air, kandungan fruktosa dalam gula adalah yang
terbanyak. Tetapi sebagian juga mengandung vitamin terutama
vitamin B kompleks dan vitamin C dengan beberapa
kandungan mineral.Madu dapat digunakan sebagai pengobatan,
makanan dan terapi yang sudah ada sejak jaman dulu. Dapat
berfungsi sebagai anti inflamasi, anti bakteri dan anti oksidan.
Bahkan keistimewaan madu yang berasal dari lebah
tercantum dalam kitab suci umat Muslim, yaitu Al Qur‘an
dalam surat An-Nahl ayat 69 yang berbunyi
423
Penggunaan madu selain digunakan oleh dokter dan
perawat sudah digunakan juga oleh para ahli gigi sebagai
pencegahan pembentukan plaque, pencegahan periodontitis,
anti halitosis atau bau mulut, anti kariogenik, yaitu
menghambat pertumbuhan bakteri,penyembuhan post ekstraksi
gigi dan mukositis yang disebabkan oleh radasi. (Duggal 2012)
Hasil Penelitian
Penelitian Nurhidayah (2011) terhadap pasien
mukositis akibat kemoterapi di RS Cipto Mangunkusumo
dengan pemberian oral care dengan madu dan didapatkan hasil
bahwa terjadi penurunan yang signifikan terhadap rerata skor
mukositis.Sehingga disimpulkan bahwa oral care dengan
madu efektif untuk menurunkan mukositis pada pasien setelah
pemberian kemoterapi.
Dalam penelitiannya dijelaskan pemberian oral care
dilakukan sehari tiga kali, dalam sekali pemberian jumlah madu
yang digunakan sebanyak 35 ml, 20 ml digunakan sebagai
topical dengan mengusap rongga mulut, 15 ml dicampur 50 ml
air digunakan sebagai mouth wash dengan cara berkumur dan
425
sebagian digunakan untuk lip balm.Penggunaan oral care
dengan penggunaan madu di ruangan anak pernah dilakukan
sebagai salah satu edukasi untuk personal hygine pada pasien
dengan immunocompromise , tetapi belum optimal dalam
pelaksanaan dan evaluasinya, serta belum terdokumentasi pada
rekam medis.
Selain dari penelitian Nurhidayah (2011) dari hasil
pencarian artikel dengan menggunakan beberapa electronic
database didapat 4 (empat) artikel yang menjelaskan tentang
penggunaan madu pada pasien anak yang mengalami mukositis
setelah pemberian kemoterapi.
Artikel pertama yang dituliskan oleh Sutari , Ayu Anik
, Gunahariati & Suindrayasa (2014) dengan judul Pengaruh
systematic oral dengan madu terhadap disfungsi rongga mulut
akibat kemoterapi pada anak usia 3-12 tahun.Bertujuan dapat
memberikan alternative bagi pasien untuk pelaksanaan
systematic oral care dengan madu.Metode yang digunakan Pre
experimental dengan pendekatan one grup pre test dan post test
design tanpa kelompok control. Jumlah sampel 24 pasien yang
menjalani kemoteapi di RSUP Sanglah sesuai kriteria inklusi ,
yaitu dalam masa pengobatan kemoterapi,berusia 3-12
tahun,kooperatif dan bersedia menjadi responden. Cara
pengambilan sampel non probability sampling dengan teknik
total sampling.Skala penilaian menggunakan instrument Beck
Oral Assessment Scale (BOAS) yang melakukan penilaian
fungsi dari rongga mulut dan gigi meliputi bibir,mukosa
mulut,gusi,gigi,lidah dan saliva yang dilakukan pada saat
sebelum dan sesudah pemberian oral care pada hari pertama
426
dan kelima.. Sebelum diberikan systematic oral care 100%
responden mengalami disfungsi rongga mulut sedang dengan
skor 11-15 sedangkan setelah mendapatkan perlakuan sebagian
besar responden (95,8%) mengalami disfungsi rongga mulut
ringan dengan skor 6-10 sehingga didapatkan hasil dengan uji
T test bahwa terdapat pengaruh systematic oral care dengan
madu terhadap disfungsi rongga mulut akibat kemoterapi
(p<0,05).
Artikel kedua yang dituliskan oleh
Nurhidayatun,Allenidekania & Syahreni (2012) dengan judul
Oral Hygiene menggunakan Larutan Madu Mengurangi
Stomatitis. Bertujuan membandingkan efektivitas madu dan
chlorhexidine 0,12%. Metode yang digunakan adalah
Randomized Clinical Trial dengan desain double blind. Sampel
yang digunakan sebanyak 28 Responden, 5 orang drop out
dikarenakan pulang.Sehingga kelompok control 12 orang dan
kelompok intervensi 11 orang.Dengan jenis kelamin laki-laki
sebanyak 10 orang dan perempuan 13 orang.Rentang usia 4
tahun sampai 17 tahun.Instrumen yang digunakan hanya
dijelaskan menggunakan skala stadium stomatitis yang meliputi
jumlah ulserasi,luas ulserasi,nyeri pada mulut dan kemampuan
makan. Penilaian stomatitis 3 kali, sebelum intervensi, hari ke
tiga intervensi dan hari ke 6 intervensi.Dibagi menjadi
kelompok intervensi yang menggunakan oral care dengan
madu 15 ml yang diencerkan dengan air 1:1 dan kelompok
control yang menggunakan oral care dengan chlorhexidine
0,12% 15 ml diencerkan dengan air 1:1.Pada anak dengan
stadium 1-2 dilakukan oral care sebanyak 4 kali sehari
427
sedangkan pada stadium 3-4 dilakukan 6 kali sehari. Hasilnya
penggunaan madu dapat menurunkan stadium stomatitis
sebanyak 75% dan perbedaan stomatitis antara pasien yang
mendapatkan madu dan yang tidak mendapatkan madu untuk
oral care sebanyak 21%.Sehingga terdapat perbedaan yang
signifikan terhadap proporsi stadium stomatitis sebelum dan
setelah oral hygiene dengan madu (p=0,0000).Disimpulkan
bahwa penggunaan madu dapat menurunkan stadium stomatitis
pada anak kanker.
Artikel ketiga yang dituliskan oleh Abdul El Karim,
Yousef , Ahmed & Hadhood (2013) dengan judul The
Therapeutic Effects of Honey on Stomatitis Complicating
Chemotherapy in Children at Sohag Governorate. Bertujuan
untuk mengkaji efek terapeutik dari madu pada pasien maligna
anak yang mengalami stomatitis karena kemoterapi.Metode
yang digunakan adalah Quasi Eksperimen. Sampel yang
digunakan sebanyak 100 anak usia 6-12 tahun yang mengalami
stomatitis akibat kemoterapi. 50 anak kelompok intervensi yang
menggunakan madu dan 50 anak kelompok control
menggunakan obat yang biasa digunakan dengan jenis kelamin
46 laki-laki dan 54 perempuan. Penilaian tanda stomatitis dari
kelembaban,nyeri,kemerahan, sekresi dan
laserasi.Dikategorikan ringan,sedang dan berat. Pada kelompok
intervesi Tiga kali sehari menggunakan madu sebanyak satu
sendok (5 mg) untuk dipakai secara topical dengan
mengoleskan ke rongga mulut atau daerah stomatitis.Dikaji
setiap 2 hari sampai sembuh total.Pada kelompok control
mengkaji penggunaan obat yang biasa digunakan seperti nama
428
obat, dosis.Dikaji setiap 2 hari sampai sembuh total.Hasil yang
didapat 48% anak dari kelompok intervensi mengalami
perbaikan pada hari ke 4 sedangkan yang lainnya perbaikan
pada hari ke 5-7, sedangkan dari kelompok control 25% terjadi
perbaikan pada hari ke 4, 56% pada hari ke 7 dan 20% pada
hari ke 10.Sehingga dapat disimpulkan bahwa penggunaan
madu murni dapat digunakan untuk penyembuhan stomatitis
setelah pemberian kemoterapi pada anak.
Artikel keempat ditulis oleh Abdulrhman, El Barbary,
Amin & Ebrahim (2012) yang berjudul Honey and a Mixture
of Honey,Beeswax and Olive Oil-Propolis Extract in Treatment
of Chemotherapy-Induced Oral Mucositis:A Randomized
Controlled Pilot Study.Bertujuan mengevaluasi efektivitas
penggunaan madu dan campuran madu, lilin lebah dan ekstrak
propolis brazil (HOPE) sebagai topical. Metode yang
digunakan Randomized Clinical Trial dengan menggunakan
kelompok control. Sampel berjumlah 90 pasien anak berusia
antara 2 tahun sampai 18 tahun dengan Acute Lymphoblastic
Leukemia (ALL) yang mengalami oral mucositis grade 2 dan 3
dan sedang mengalami perawatan di RS Ain Shams
University,Mesir.Jenis kelamin sampel adalah 33 perempuan
dan 57 laki-laki. Rata – rata usia pasien adalah 6,9
tahun.Kriteria inklusi pasien dengan ALL yang sedang dalam
pengobatan fase konsolidasi. Penelitian dilakukan dengan 90
0rang pasien dibagi menjadi 3 kelompok, kelompok 1
menggunakan madu murni yang diambil langsung dari
peternakan lebah, kelompok 2 menggunakan HOPE dan
kelompok 3 menggunakan benzocaine gel 7,5%.Sehari
429
diberikan tiga kali secara topical.Diberikan sampai sembuh atau
selama 10 hari.Selama pelaksanaan terdapat 8 orang yang
mengeluhkan ada rasa terbakar saat penggunaan HOPE tetapi
kemudian hilang dengan sendirinya, kemungkinan dari rasa
pedas propolis brazil.Sedangkan untuk madu tidak ada keluhan
sama sekali.Dan dari keduanya tidak ada keluhan gangguan
pencernaan karena tertelannya madu dan HOPE serta tidak ada
reaksi hipersensitif. Hasilnya pada mukositis grade 2 waktu
penembuhan dengan madu lebih cepat secara signifikan jika
dibandingkan dengan HOPE atau kelompok control
(P<0,05).Pada mukositis grade 3 waktu penyembuhannya tidak
berbeda secara signifikan antara madu dan HOPE (P=0,6108),
tapi jika dibandingkan dengan kelompok control maka madu
dan HOPE secara signifikan lebih cepat penyembuhannya
(P<0,01).jika dikombinasikan dari kedua grade maka madu
lebih cepat penyembuhannya dibandingkan kelompok control
(P=0,0005) atau dengan HOPE (P=0,0056).Maka dapat
disimpulkan penggunaan madu untuk oral care
memperlihatkan penyembuhan yang lebih cepat pada pasien
dengan mukositis karena kemoterapi pada grade 2 atau 3.
Direkomendasikan oleh peneliti untuk penggunaan madu dan
produksi lebah lainnya dan olive oil di masa datang untuk
penyembuhan mukositis karena kemoterapi.
Simpulan
Angka kejadian mukositis pada anak sering terjadi dan
reaksi yang terjadi akibat mukositis pada anak akan berbeda
daripada orang dewasa karena anak lebih rapuh. Respon anak
430
ketika mengalami mukositis akibat efek samping kemoterapi
akan mengalami rasa nyeri, kesulitan makan,menelan dan
berbicara.Sehingga mereka akan mengurangi bahkan menolak
asupan makanan yang menyebabkan kondisinya akan semakin
menurun dan beresiko untuk terjadinya infeksi.Sehingga tugas
perkembangan anak bermain dan belajar akan terganggu
dengan adanya mukositis.
Untuk anak yang lebih besar ,seperti anak usia sekolah
dan usia remaja, akan lebih banyak menarik diri dari
lingkungan dan teman sebayanya.Seharusnya sesuai tugas
perkembangannya usia remaja akan lebih sering bermain
dengan teman yang berjenis kelamin sama atau berbeda.Pada
remaja awal mereka akan berfokus pada tubuhnya sendiri
sehingga jika ada perbedaan dari teman sebayanya akan timbul
rasa rendah diri
Dari beberapa jurnal kajian literature menggambarkan
penggunaan madu dapat digunakan pada anak yang mengalami
mukositis.Karena madu aman bisa ditelan oleh anak,mudah
didapat dan tersedia dimanapun.Dan karena rasanya yang
manis maka anak akan merasa nyaman dibandingkan dengan
pemberian dengan media yang lain.Hanya yang perlu diingat
penggunaan madu disini adalah madu murni.
Maka selama perawatan pasien dengan kemoterapi
seorang perawat harus memperhatikan memonitor tanda-tanda
mukositis secara dini dengan menggunakan instrument
penilaian yang sudah ada secara dini, meningkatkan oral care
dan melakukan edukasi kepada pasien atau
keluarganya.Mengingat respon anak yang berbeda dari orang
431
dewasa maka penanganannya pada anak perlu diperhatikan
dengan memandang filosofi keperawatan anak adalah family
centred care, maka seorang perawat anak bisa minta bantuan
ayah atau ibu dalam melakukan penanganan mukositis yang
terjadi baik selama perawatan maupun setelah perawatan.
Daftar Pustaka
432
Duggal , P. (2012). Honey bees : The healer. Guide on the past
Dentistry.
433
Hockenberry, J., M, & Wilson, D. (2007). Wong’s Nursing
Care of Infants and Children (8 ed.). Canada: Mosby
Company.
Abstrak
Hospitalisasi merupakan pengalaman yang menakutkan bagi
anak dan orangtua karena perpisahan dan perubahan
lingkungan. Akibatnya, anak menjadi stres sehingga
berpengaruh pada tingkat kesembuhan. Pediatric Intensif Care
Unit (PICU) merupakan salah satu tempat perawatan yang
memiliki tingkat stres yang tinggi. Oleh karena itu, diperlukan
suatu pendekatan asuhan keperawatan yang melibatkan
orangtua sebagai sistem pendukung untuk mengurangi dampak
hospitalisasi. Family Centered Care (FCC) dalam
penerapannya di PICU merupakan suatu model asuhan
keperawatan yang menggabungkan hubungan kerjasama antara
keluarga dengan penyedia layanan kesehatan yang berfokus
pada keterlibatan dan kehadiran keluarga untuk mendukung
proses penyembuhan anak. Studi literatur ini bertujuan untuk
menjelaskan hasil penelitian tentang aplikasi FCC di PICU agar
dapat menjadi evidence base practice bagi unit pelayanan
intensif. Pencarian artikel didapatkan melalui electronik data
base Proquest, Ebsco, Pubmed dalam bentuk jurnal, artikel
yang telah dipublikasikan sejak tahun 2006-2016. Dari total 69
penelitian didapatkan 6 jurnal yang direview dengan kata kunci
Family Centered Care dan Pediatric Intensive Care Unit. Hasil
436
penelitian terkait didapatkan bahwa aplikasi FCC di PICU pada
4 area penting yaitu family visitation, family centered rounds,
family presence during invasive prosedures and
cardiopulmonary resuscitation dan family conferences terbukti
dapat menurunkan stres pada anak maupun orangtua dan
meningkatkan kepuasan keluarga. Studi ini menyimpulkan
bahwa FCC pada keempat area tersebut sangat penting
diimplementasikan di PICU sebagai salah satu pendekatan
asuhan keperawatan pada anak untuk mengurangi dampak
hospitalisasi.
Pendahuluan
Pengalaman dirawat di ruang Pediatric Intensive Care
Unit (PICU) dapat menjadi peristiwa yang sangat traumatik
bagi anak (2009). Anak mendapatkan stressor berupa stressor
fisik, stressor lingkungan, stressor psikologis dan stressor
sosial. Berdasarkan data dari Society of Critical Care Medicine
pada tahun 2000 di Amerika Serikat didapatkan data bahwa
terdapat 6.3 juta (18%) anak dan remaja dirawat dirumah sakit
(Halpern & Pastores, 2010). Dalam penelitian yang dilakukan
oleh Chan et al. (2016) menyatakan bahwa pasien yang dirawat
di ruang PICU sebagian besar mengalami penyakit yang
kompleks (medical complexity). Sebanyak 136.133 anak yang
dirawat diruang PICU, 53% termasuk dalam kategori
mengalami penyakit kronis yang komplek (Complex Cronic
Desease). Beberapa pasien didiagnosa karena masalah
437
pernafasan dan infeksi, bayi premature, bayi kuning (jaundice),
bayi dengan berat badan lahir rendah, ketidakseimbangan
cairan dan elektrolit (dehidrasi), asma dan kelainan konginetal
(Kingsinger, 2015).
Hospitalisasi dapat menjadi stresor bagi anak dan
orangtua (Frazier, Frazier, & Warren, 2010). Bagi anak,
hospitalisasi merupakan suatu pengalaman yang mengancam,
menakutkan, kesepian, dan membingungkan sehingga anak bisa
mengalami stres. Hospitalisasi merupakan stressor besar yang
harus dihadapi oleh anak karena lingkungan asing, kebiasaan
berbeda atau perpisahan dengan keluarga (Wong, 2004). Oleh
karena itu, dibutuhkan sistem pendukung (support system)
untuk mengurangi efek hospitalisasi yang dapat mempengaruhi
perkembangan anak yaitu keluarga. Dalam merawat anak di
rumah sakit, keluarga perlu bekerjasama dengan perawat
sebagai pemberi perawatan melalui asuhan keperawatan dengan
pendekatan Family- Centered Care (FCC).
Family-Centered Care (FCC) adalah suatu model
perawatan yang melibatkan hubungan antara keluarga dengan
penyedia layanan kesehatan (Health Care Provider). FCC
dalam keperawatan anak adalah memberikan kesempatan pada
orangtua untuk merawat anak mereka selama proses
hospitalisasi dengan pengawasan dari perawat sesuai dengan
aturan yang berlaku. FCC sangat direkomendasikan
penerapannya oleh berbagai organisasi profesional, diantaranya
Institute of Medicine (IOM), The American Collage of Critical
Care Medicine (ACCM) dan The American Academy of
Pediatrics (AAP).
438
FCC bertujuan untuk meningkatkan outcome pasien dan
keluarga, meningkatkan kepuasan pasien dan keluarga,
membangun kekuatan anak dan keluarga, meningkatkan
kepuasan profesional, menurunkan biaya kesehatan, dan
peningkatan penggunaan sumber kesehatan secara efektif
(American Academy of Pediatrics (AAP) (2012)). Selain itu,
FCC juga bertujuan untuk meminimalkan trauma selama
perawatan anak di rumah sakit dan meningkatkan kemandirian
sehingga peningkatan kualitas hidup (Quality of Life) dapat
tercapai.
PICU merupakan ruangan intensif yang memiliki
karakteristik ruang yang berbeda dengan bangsal perawatan
anak. FCC yang diterapkan di ruang PICU berfokus pada
keterlibatan orangtua dan kehadiran orangtua disamping anak.
Orangtua berperan sebagai advokat untuk anak mereka dan
memberi dukungan bagi keluarga lain (Frazier et al., 2010).
Keluarga dapat berpartisipasi dalam pengambilan keputusan
dan ikutserta dalam keterlibatan perawatan anak sakit selama
dirawat di ruang PICU.
Terdapat 4 area penting dalam pelaksanaan FCC di
ruang PICU yaitu family visitation, family centered rounding,
family presence during invasive prosedures and
cardiopulmonary resuscitation (CPR) dan family conferences
(Meert, Clark, & Eggly, 2013). Berdasarkan rekomendasi dari
ACCM bahwa orangtua diperbolehkan untuk mengunjungi
anaknya selama 24 jam sehari. Saudara kandung juga
diperbolehkan menjenguk setelah mereka diberikan edukasi
oleh petugas kesehatan dan meyakinkan bahwa immunitas
439
(daya tahan tubuh) mereka dalam kondisi baik. ACCM dan
AAP juga telah merekomendasikan kehadiran dan keterlibatan
orangtua pada saat pelaksanaan ronde, prentasi kasus dan
diskusi yang dilakukan disamping tempat tidur pasien atau
diluar tempat tidur pasien. Hal ini dilakukan agar orangtua
mendapatkan penjelasan yang lebih akurat dari dokter dan
terlibat dalam pengambilan keputusan. Pada tahun 2000, the
American Heart Association (AHA) menjadi organisasi pertama
yang merekomendasikan kehadiran orangtua selama tindakan
CPR dan tindakan invasif di ruang intensif care unit dan
emergency room dengan harapan dapat meningkatkan kepuasan
orangtua terhadap tindakan yang sudah dilakukan (Meert et al.,
2013)
Di Indonesia sendiri aplikasi FCC di ruang PICU belum
optimal. Keterbatasan pelibatan orangtua dalam perawatan
anak sakit menimbulkan dampak negatif berupa perasaan takut,
frustasi, sedih, cemas karena perpisahan antara anak dengan
orangtua sehingga anak cenderung untuk bersikap menarik diri,
menghindar dari orang lain,tidak aktif dan tidak komunikatif.
Dengan keterbatasan jam kunjungan orangtua tidak leluasa
untuk dapat terus menerus berada disisi anak selama perawatan.
Orangtua lebih sering berada diluar ruangan daripada bersama
anak. Ketidakhadiran orangtua bersama anak membuat anak
merasa tidak nyaman dan pada akhirnya akan menimbulkan
gangguan pada tumbuh kembang anak.
Perasaan takut dan cemas tidak hanya dirasakan oleh
anak tetapi juga dirasakan oleh orangtua. Perubahan peran
orangtua sebagai primary health care giver dalam keluarga
440
terjadi karena orangtua tidak dapat berpartisipasi atau ikut serta
dalam keterlibatan perawatan disamping tempat tidur pasien,
bahkan dalam tindakan invasif maupun resusitasi yang sering
dilakukan di ruang PICU. Keterbatasan orangtua untuk ikut
serta dalam berdiskusi dengan tenaga kesehatan menjadi andil
kurangnya keterlibatan keluarga dalam perawatan anak sakit.
Studi literatur ini bertujuan untuk menjelaskan berbagai
hasil penelitian tentang aplikasi Family Center Care di ruang
Pediatric Intensif Care Unit kemudian mengevaluasi publikasi
ilmiah sehingga dapat dijadikan evidence base practice bagi
unit pelayanan keperawatan anak khususnya di area intensif
dimana konsep FCC belum diterapkan secara optimal.
Metode
Pemilihan jurnal yang akan direview hanya berfokus
pada jenis penelitian kuantitatif. Review ini disusun dari
penelitian-penelitian original yang dipublikasikan secara
online. Hasil pencarian literature dilakukan pada database
Proquest, EBSCO, Pubmed. Keyword yang digunakan adalah
Family Centered Care dan Pediatric Intensive Care Unit.
Pencarian literatur dibatasi pada tahun 2006-2016.
Hasil Penelitian
Terdapat 6 jurnal yang direview. Semua jurnal yang
direview memfokuskan pentingnya aplikasi FCC pada 4 area
utama dalam menurunkan tingkat stres dan meningkatkan
kepuasan pada orangtua. Keempat area utama itu adalah family
visitation, family centered rounding, family presence during
441
invasive procedures and cardiopulmonary resuscitation (CPR)
dan family conferences.
1. Family visitation
The American Collage of Critical Care Medicine
(AACM) merekomendasikan kebijakan open visitation pada
setiap rumah sakit dimana orangtua diperbolehkan
mengunjungi anaknya di ruang PICU selama 24 jam setiap hari.
Hal ini merupakan langkah awal dalam meningkatkan
kehadiran dan keterlibatan perawatan anak oleh orangtuanya.
Penelitian yang dilakukan oleh Smith (2007) tentang pengaruh
penggunaan ruang tempat tidur bagi orangtua yang anaknya
dirawat di ruang PICU terhadap efek stres yang dialami oleh
orangtua. Design penelitian menggunakan comparative
descriptive study dengan membandingkan 2 kelompok yaitu
kelompok yang menggunakan ruang tempat tidur bagi orangtua
dan kelompok tanpa ruang tempat tidur bagi orangtua. Tingkat
stres pada orangtua diukur dengan alat ukur Parental Stressor
Scale : Pediatric Intensive Care (PSS:PICU.) Hasil penelitian
didapatkan dari 92 orangtua yang berada dalam satu ruangan
bersama anaknya didapatkan skor stres dengan level yang
rendah pada kelompok orangtua yang menggunakan ruang
tempat tidur (p=.02) daripada kelompok orangtua yang tidak
menggunakan ruang tempat tidur.
4. Family Conferences
Family Conferences (FCs) merupakan salah satu faktor
yang berkontribusi dalam FCC. Penelitian yang dilakukan oleh
(Michelson et al., 2013) diruang PICU pada bulan Januari-Juni
2011 yang bertujuan untuk menggambarkan manfaat dan
isi/content dari FCs. Metode penelitian menggunakan
prospektif chart review melalui Medical Record pasien dengan
membandingkan pasien yang diikutsertakan conference dengan
pasien yang tidak diikutsertakan. Hasil penelitian menyatakan
bahwa dari 661 pasien yang terdaftar, terdapat 74 kali
conference yang melibatkan 49 pasien. Sebanyak 64 kali
conference (86%) dari 40 pasien pada umumnya menderita
cronic care condition. Pelaksanaan conference dihubungkan
dengan lama hari rawat di PICU, palliative care, penggunaan
ventilasi yang lama, penggunaan extracorporeal, penggunaan
Continous Renal Replacement Therapy (CRRT),
Cardiopulmonary Resuscitation (CPR), kematian, perubahan
lingkungan dan keterbatasan perawatan (p<0.05). Sebanyak
21% pasien yang terpasang tracheostomy dan gastrostomy tube
melakukan conference sebelum dilakukan tindakan tersebut.
Kesimpulan dari penelitian tersebut adalah pelaksanaan FCs
melibatkan pasien dengan kondisi yang kompleks atau pasien
yang menghadapi sebuah keputusan yang berhubungan dengan
445
kualitas hidup (quality of life) atau pasien yang menghadapi
kematian.
Penelitian lain yang menunjang dengan penelitian diatas
adalah penelitian yang dilakukan oleh Stapleton, Engelberg,
Wenrich (2006) tentang pernyataan klinis dan kepuasan
keluarga dengan pelaksanaan conference di ruang intensif care
unit. Penelitian ini dilakukan di empat rumahsakit kepada
anggota keluarga pasien yang menjalani withholding atau
withdrawing life support di ICU. Sebanyak 169 anggota
keluarga diberikan kuisioner kepuasaan berkaitan dengan
komunikasi yang dilakukan.
Hasil penelitian menyatakan bahwa terdapat hubungan
antara pernyataan dukungan emosional yang diberikan oleh
dokter dengan kepuasaan anggota keluarga selama conference
berlangsung. Terdapat tiga pernyataan dukungan emosional
yaitu jaminan bahwa pasien tidak akan ditelantarkan sebelum
meninggal (p=.015), jaminan bahwa pasien tidak akan
menderita dan memperoleh kenyamanan (p=.029) dan
dukungan terhadap keputusan keluarga berkaitan dengan end of
life, termasuk keputusan keluarga untuk melakukan atau tidak
melakukan tindakan withdraw (p=.005).
Pembahasan
Keperawatan anak adalah asuhan keperawatan yang
berpusat pada keluarga dan upaya pencegahan trauma pada
anak. Terdapat dua aspek yang menjadi filosofi keperawatan
anak. Pertama, aspek Family Center Care (FCC) dan kedua
adalah aspek a traumatic care (Wong & Hockenbery-Eaton,
446
2013). Kedua filosofi ini memperkenalkan keluarga sebagai
suatu kehidupan yang konstan dan seorang individu yang
mendukung, menghargai, dan meningkatkan kekuatan dan
kompetensi dalam memberikan asuhan keperawatan terhadap
anak.
Daftar Pustaka
450
Complexity the Journal of Pediatrics. doi:
10.1016/jpeds.2016.06.035
451
Kingsinger, V. (2015). Family Centered Care in ICU settings.
Western Michigan University, United State Retrieved
from http://scholarworks.wmich.edu/honors_theses
Meert, K. L., Clark, J., & Eggly, S. (2013). Family Center Care
in Pediatric Intensif Care Unit. (60). USA.
452
family satisfaction with family conferences in the
intensive care unit. Critical Care Med, 34(6), 85-1679.
453
Studi Literatur : Efektivitas Perawatan Luka
Menggunakan Serbuk Kopi Robusta
Yeni Yulianti¹, Kusman Ibrahim²
¹Mahasiswa Pascasarjana Keperawatan, Fakultas Keperawatan Universitas
Padjajaran, Indonesia
2
Fakultas Keperawatan Universitas Padjadjaran
Email:yeniyulianti_22@yahoo.com
Abstrak
Diabetic Gangren merupakan komplikasi yang umum bagi
pasien Diabetes Melitus. Penyembuhan luka yang lambat,
kerentanan terhadap infeksi cenderung terjadi sehingga
beresiko dilakukannya tindakan amputasi. Kondisi rawat inap
yang lama, serta penggunaan antibiotik yang berspektrum luas
dapat peningkatan prevalensi terjadinya MRSA (methicillin-
resistant S. Aureus). Tujuan penulisan untuk menganalisa
bahan yang terkandung dari kopi robusta dalam
menyembuhkan diabetic gangren. Metode yang digunakan
dalam penulisan literatur revieuw ini adalah dengan
penelusuran yang bersumber dari electronic data base
mencakup EBSCO, Proquest, google scholar dan Pubmed.
Peneliti hanya menjaring artikel yang dipublikasikan dalam
kurun waktu antara tahun 2006-2016. Data yang diperoleh
ditelaah, disusun secara sistematis, dibandingkan satu sama lain
dan dibahas berdasarkan literature terkait. Hasil studi literature
dari 9 sumber di dapatkan dalam kopi robusta terdapat
kandungan Chlorogenic Acids yang memiliki aktivitas kuat
terhadap permeabilitas membran intraseluler sehingga mikroba
kehilangan patogenitasnya, bersifat bioaktivitas anti jamur dan
mampu menginhibisi biofilm dari Stenotrophomonas
maltophilia dan selain itu Chlorogenik Acids bisa
454
menyumbangkan atom hidrogennya untuk mengurangi radikal
bebas dan menghambat reaksi oksidasi lalu senyawa Phenolic
dalam kopi robusta juga dapat menstimulasi sintesis kolagen.
Berdasarkan percobaan pada binatang, serbuk biji kopi Robusta
berefek mempercepat waktu penutupan luka pada mencit jantan
yang diinduksi aloksan dan menurut penelitian Yuwono (2014)
di RSHS serbuk kopi robusta dapat meyembuhkan luka kronis
yang dirawat selama 4 minggu. Simpulan studi diperoleh
Serbuk kopi robusta efektif dalam menyembuhkan luka
gangren karena didalamnya terkandung zat-zat yang dapat
mempercepat proses regenerasi sel dan mempunyai efektivitas
sebagai anti mikroba.
Pendahuluan
455
oleh karena berkurangnya atau terhentinya aliran darah
kejaringan tersebut.
456
peningkatan prevalensi terjadinya MRSA (methicillin-resistant
S. Aureus ) terinfeksi bakteri patogen yang bersifat resisten.
459
Metode
Hasil Penelitian
Pembahasan
a. Antibakteri
b. Antioksidan
464
Hasil penelitian Wei Cheng (2013) juga menunjukkan
bahwa asam Chlorogenat memiliki aktivitas antioksidan kuat
dengan meningkatkan superoksida dismutase, katalase,
glutation dan mengurangi peroksidasi lipid. Kesimpulannya,
percobaan ini menunjukkan bahwa aplikasi topikal asam
Chlorogenat dapat mempercepat proses penyembuhan luka
eksisi oleh kemampuannya untuk meningkatkan sintesis
kolagen melalui peningkatan regulasi TNF α dan mengubah
faktor pertumbuhan-β1 dalam fase yang berbeda dari luka
penyembuhan serta dengan potensi antioksidan.
c. Pembentukan Angiogenesis.
466
CGA dapat memblokir hipoksia dengan menekan aktivitas
transkripsi HIF-1α dibawah kondisi hipoksia sehingga dapat
menstimulasi VEGF merangsang angiogenesis in vitro dan
stimulated angiogenesis in vivo menggunakan sel HUVEC.
Sebagai tambahan, CGA dapat menghambat HIF-1α / AKT,
yang memainkan peran penting dalam aktivasi VEGF dan
Angiogenesis (Park, 2011).
Simpulan
Daftar Pustaka
Alexandru, V., Gaspar, A., Savin, S., Toma, A., Tatia, R., &
Gille, E. (2015). Phenolic Content, Antioxidant Activity
And Effect On Collagen Synthesis Of A Traditional
Wound Healing Polyherbal Formula. Studia Universitatis
Vasile Goldis Seria Stiintele Vietii (Life Sciences Series),
25(1).
Bagdas, D., Etoz, B. C., Gul, Z., Ziyanok, S., Inan, S.,
Turacozen, O & Ozyigit, M. O. (2015). In vivo systemic
chlorogenic acid therapy under diabetic conditions: Wound
healing effects and cytotoxicity/genotoxicity profile. Food
and Chemical Toxicology, 81, 54-61.
468
Balitbang Kemenkes RI. 2013. Riset Kesehatan Dasar;
RISKESDAS. Jakarta: Balitbang Kemenkes RI
Chen, W. C., Liou, S. S., Tzeng, T. F., Lee, S. L., & Liu, I. M.
(2013). Effect of topical application of chlorogenic acid on
excision wound healing in rats. Planta medica, 79(08),
616-621.
469
Guyton, A.C., dan Hall, J.E. 2008. Buku Ajar Fisiologi
Kedokteran. Edisi 11. Jakarta: EGC
470
Lou, Zaixiang, et al. (2011) "Antibacterial activity and
mechanism of action of chlorogenic acid." Journal of Food
Science 76.6
471
Widowati, W. (2010). Potensi Antioksidan sebagai
Antidiabetes. Jurnal Kedokteran Maranatha, 7(2).
472
Gambaran Kualitas dan Kuantitas Tidur Perawat IGD
dengan Rotasi Shift Di RSUD Sumedang
Abstrak
Gangguan pola tidur pada perawat dengan rotasi shift seringkali
menyebabkan terjadinya kelalaian dan kecelakan kerja.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran kualitas
dan kuantitas tidur perawat IGD dengan rotasi shift di RSUD
Sumedang. Jenis penelitian ini adalah deskriptif dengan
menggunakan desain cross sectional. Teknik pengambilan
sampel dalam penelitian ini adalah total sampling yaitu seluruh
perawat IGD dengan rotasi shift kerja yang berjumlah 30 orang.
Dalam penelitian ini, Pittsburgh Sleep Quality Index (PSQI)
digunakan untuk menilai kualitas dan kuantitas tidur perawat.
PSQI dimodifikasi oleh peneliti kedalam bentuk Sleep Diary
yang diisi oleh reponden dengan pola tidur harian selama dua
minggu pada saat penelitian sedang berlangsung (record) dan
pola tidur pada dua minggu sebelumnya (recall). Hasil yang
diperoleh dari 30 responden diketahui bahwa hampir seluruh
responden (86,67%) memiliki kualitas tidur buruk, hanya
13,33% yang memiliki kualitas tidur baik. Sementara itu, dapat
diketahui bahwa sebagian besar responden (63,33%) memiliki
kuantitas tidur kurang, hanya 36,33% responden yang memiliki
kuantitas tidur yang termasuk kategori cukup. Kualitas tidur
dapat dipengaruhi beberapa komponen tidur yang terganggu
yaitu durasi tidur, gangguan-gangguan tidur dan gangguan
473
fungsi tubuh di siang hari. Kualitas dan kuantitas tidur yang
buruk dapat mempengaruhi kualitas pelayanan keperawatan.
Maka dari itu, perawat diharapkan dapat memperbaiki kualitas
dan kuantitas tidur mereka sehingga dapat memberikan
pelayanan keperawatan terbaik untuk pasien.
Pendahuluan
Keperawatan sebagai bagian integral dari Sistem Kesehatan
Nasional, dikembangkan sebagai bagian integral dari sistem
pemberian pelayanan kesehatan di rumah sakit dimana
didalmnya terdapat Instalasi Gawat Darurat (IGD) yang
memberikan pelayanan pertama kepada pasien dengan ancaman
kematian dan kecacatan secara terpadu.
Perawat sebagai bagian dari pelayanan IGD harus dapat
bertindak secara cepat dan tepat dalam membuat keputusan dan
menangani pasien dengan kondisi kritis. Pelayanan
keperawatan yang harus senantiasa tersedia 24 jam di ruang
IGD menyebabkan rumah sakit memberlakukan adanya rotasi
shift kerja terhadap perawat yang tidak jarang menimbulkan
berbagai dampak negatif terhadap perawat, salah satunya
adalah gangguan tidur.
Tidur merupakan salah satu kebutuhan fisiologis paling
dasar dan memiliki prioritas tertinggi dalam hirarki maslow
(Potter & Perry, 2005). Tidur terdiri dari kualitas dan kuantitas
tidur. Kualitas tidur adalah kemampuan tiap orang untuk
474
mempertahankan keadaan tidur dan untuk mendapatkan tahap
tidur REM dan NREM yang pantas. Sementara Kuantitas tidur
adalah keseluruhan waktu tidur seseorang (Kozier, et al., 2008).
Tiap individu membutuhkan jumlah yang berbeda untuk
istirahat dan tidur (Potter & Perry, 2005).
Walaupun bervariasi, pada perawat yang termasuk dalam
kelompok dewasa membutuhkan rata–rata 7 jam–8 jam
perharinya (Kozier,et al., 2008). Tanpa tidur yang cukup,
kemampuan untuk berkonsentrasi, membuat keputusan,
berpartisipasi dalam aktivitas harian akan menurun, dan
iritabilitas meningkat (Potter & Perry, 2005).
Banyak faktor yang mempengaruhi tidur, menurut Kozier,
et al., (2008) faktor-faktor yang mempengaruhi tidur yaitu
penyakit fisik, lingkungan, gaya hidup, stress emosional,
stimultan dan alkohol, asupan nutrisi, merokok, motivasi, serta
pengobatan (Kozier, et al., 2008). Dalam hal ini, faktor gaya
hidup merupakan rutinitas harian seseorang yang dapat
mengganggu tidur perawat secara berkepanjangan. Gaya hidup
tersebut erat kaitannya dengan dunia kerja yaitu sistem rotasi
shift yang diterapkan terhadap perawat yang bekerja di rumah
sakit.
Kualitas dan kuantitas tidur yang tidak optimal pada
perawat dengan rotasi shift menyebabkan perawat seringkali
mengantuk saat bekerja yang secara langsung maupun tidak
langsung menurunkan efisiensi kerja perawat (Knauth, et al.,
1980). Selain itu, perawat yang bekerja dengan rotasi shift
dilaporkan dua kali lebih banyak mengalami kecelakaan atau
kesalahan akibat mengantuk dibandingkan perawat yang
475
bekerja hanya shift siang atau malam saja (Gold, et al., 1992).
Hal ini tentunya memiliki dampak yang serius khususnya bagi
perawat yang bekerja di ruangan yang membutuhkan
konsentrasi penuh dan tindakan yang cepat dan tepat seperti
pada ruangan IGD.
Rumah Sakit Umum daerah (RSUD) Sumedang
merupakan rumah sakit kelas B yang menjadi rumah sakit
rujukan daerah priangan timur. Rata–rata kunjungan pasien
IGD RSUD Sumedang sebanyak 60 orang perhari. IGD RSUD
Sumedang memilki 38 perawat dimana setiap shift terdiri atas
6–7 orang perawat. 30 perawat mendapatkan rotasi shift, 5
perawat primer dan 3 orang perawat yang sedang menyusui
mendapatkan shift tetap.
Hasil studi pendahuluan yang dilakukan dengan wawancara
terhadap lima orang perawat di IGD RSUD Sumedang
menunjukan bahwa perawat mengalami gangguan tidur yang
menyebabkan mengantuk saat bekerja, gangguan kesehatan,
sulit mengendalikan emosi dan kecelakan kerja yang terjadi
akibat kurang tidur.
Mengingat tidur sangat penting untuk perawat juga
keselamatan pasien dan kualitas pelayan rumah sakit, maka
penulis tertarik untuk melakukan penelitian dengan judul
―Gambaran Kualitas dan Kuantitas Tidur Perawat IGD dengan
Rotasi Shift di RSUD Sumedang‖.
Metode
Penelitian ini menggunakan metode penelitian deskriptif
dengan pendekatan kuantitatif.
476
1. Variabel Penelitian
Variabel dalam penelitian ini adalah kualitas dan kuantitas
tidur perawat IGD dengan rotasi shift.
2. Populasi dan Sampel
Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh perawat IGD
dengan rotasi shift di RSUD Sumedang. Teknik
pengambilan sampel dalam penelitian ini adalah total
sampling yaitu seluruh perawat IGD dengan rotasi shift
kerja yang berjumlah 30 orang.
3. Tehnik Pengumpulan Data
Data dikumpulkan dengan menggunakan instrumen
penelitian berupa kuesioner. Kuesioner yang digunakan
dalam penelitian ini yaitu PSQI yang dimodifikasi kedalam
bentuk Sleep Diary. Sleep Diary diisi oleh reponden dengan
pola tidur setiap hari selama dua minggu penelitian (record)
dan dua minggu sebelumnya (recall).
4. Analisa Data
Teknik analisa yang digunakan adalah statistik deskriptif
dan teknik yang digunakan untuk pengolahan data
dilakukan dengan teknik presentase yaitu dengan distribusi
frekuensi.
Hasil Penelitian
Tabel 1. Distribusi Frekuensi Kualitas Tidur Perawat IGD
dengan Rotasi Shift di RSUD Sumedang
Kategori F %
477
Baik 4 13,33%
Buruk 26 86,67%
Total 30 100%
Kurang 19 63,33%
Total 30 100%
Pembahasan
Kualitas Tidur
Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan bahwa hampir
seluruh responden (86,67%) memiliki kualitas tidur yang
478
termasuk kategori buruk. Tingginya persentase perawat IGD
dengan rotasi shift yang memiliki kualitas tidur buruk dapat
dilihat dari jumlah skor ketujuh komponen indikator kualitas
tidur.
Komponen tersebut yaitu kualitas tidur subjektif, latensi
tidur, durasi tidur, efisiensi kebiasaan tidur, gangguan tidur,
penggunaan obat tidur dan ganguuan fungsi tubuh di siang hari
(Buysee, et al., 1989). Kondisi kualitas tidur yang buruk
tersebut dipengaruhi oleh adanya beberapa komponen kualitas
tidur yang terganggu yaitu durasi tidur, gangguan - gangguan
tidur dan gangguan fungsi tubuh di siang hari.
Komponen kualitas tidur lainnya seperti kualitas tidur
subjektif, latensi tidur, efisiensi kebiasaan tidur dan
penggunaan obat tidur hampir seluruh perawat IGD dengan
rotasi shift dalam kondisi baik.
Perawat IGD dengan rotasi shift hampir sebagian besar
memiliki latensi tidur 16-30 menit dan masih terdapat sebagian
kecil dari perawat yang mengalami latensi tidur lebih dari 30
menit. Latensi tidur yang normal biasanya kurang dari 15 menit
(Buysee, et al., 1989).
Berdasarkan kondisi tersebut, maka beberapa perawat IGD
dengan rotasi shift masih harus memperbaiki komponen latensi
tidurnya agar dapat memulai tidur dalam waktu kurang dari 15
menit sehingga dapat memperbaiki kualitas tidurnya. Beberapa
cara yang dapat dilakukan untuk mendapatkan latensi tidur
yang baik adalah dengan rajin berolahraga, mengatur waktu
tidur rutin pada setiap jadwal shift kerja, melakukan kebiasaan
relaksasi rutin sebelum tidur dan keluar dari tempat tidur jika
479
dalam waktu lebih dari 30 menit masih belum dapat tertidur
(Kozier, et al., 2008).
Durasi tidur adalah lamanya tidur yang didapat pada malam
hari. Perawat yang termasuk dalam kelompok dewasa
membutuhkan rata–rata 7 jam–8 jam perharinya (Kozier, et al.,
2008). Dalam penelitian ini, tidak seorangpun perawat IGD
dengan rotasi shift yang tidur lebih dari 7 jam dalam sebulan
terakhir.
Selain itu, berdasarkan hasil sleep diary yang diisi selama
dua minggu untuk menilai tidur perawat selama satu bulan,
diketahui 3 orang perawat bahkan tidak tidur dalam sehari
semalam setelah bekerja shift malam. Padahal pada seorang
perawat diperlukan waktu selama 7 sampai 8 jam untuk
mendapatkan fungsi tidur secara optimal.
Menurut pendapat peneliti, durasi tidur yang kurang juga
dapat disebabkan oleh jam kerja shift malam yang terlalu
panjang dan lebih lama dari shift lainnya. Hal ini menyebabkan
waktu untuk tidur perawat shift malam menjadi lebih pendek.
Jadwal shift perawat IGD RSUD Sumedang untuk shift pagi
mulai dari pukul 07:00 – 14:00, shift siang mulai dari pukul 14
: 00 – 20:00 dan shift malam mulai dari pukul 20:00 – 07:00.
Pengaturan shift kerja akan lebih baik jika mengikuti teori
Scwartzenan yaitu dengan pola 8-16-24 (Grandjean, 1993).
Jumlah tidur yang kurang dapat menyebabkan seseorang
mudah tersinggung, sulit berkonsentrasi dan sulit membuat
keputusan (Kozier,et al, 2008). Kondisi tersebut harus dihindari
oleh seorang perawat khususnya perawat IGD yang
480
membutuhkan emosi yang stabil, konsentrasi yang penuh dan
dapat mengambil keputusan secara cepat dan tepat.
Modifikasi lingkungan dan meminimalkan gangguan -
gangguan tidur adalah beberapa cara yang dapat dilakukan
untuk mendapatkan durasi tidur yang sesuai.
Gangguan - gangguan tidur memberikan pengaruh terhadap
kualitas tidur seseorang. Semakin banyak gangguan tidur yang
didapatkan maka akan semakin buruk kualitas tidur seseorang.
Gangguan tidur tersebut dapat berupa terbangun tengah malam,
terbangun untuk ke kamar mandi, tidak nyaman saat tidur
karena tidak dapat bernapas, batuk, merasa kepanasan dan
kedinginan, mimpi buruk, merasa nyeri, maupun karena alasan
lainnya (Buysse, et al., 1989).
Dalam penelitian ini, gangguan tidur merupakan faktor
yang memberikan pengaruh cukup besar terhadap kualitas tidur
perawat. Sebagian besar responden (53,33%) memiliki
gangguan tidur yang terjadi kurang dari satu kali seminggu.
Faktor gangguan tidur yang paling sering dialami oleh perawat
IGD dengan rotasi shift yaitu terbangun tengah malam atau dini
hari.
Terdapat banyak hal yang menyebabkan seseorang tidak
dapat mempertahankan tidurnya sehingga sering terbangun.
Faktor-faktor yang mempengaruhi tidur seperti lingkungan,
penyakit, gaya hidup, stress, stimultan dan alkohol, nutrisi,
merokok, motivasi dan pengobatan dapat menjadi penyebab
munculnya masalah tidur (Kozier, et al., 2008). Sedangkan
faktor yang paling sering menyebabkan seorang perawat
seringkali terbangun adalah stress emosional.
481
Gaya hidup dengan rotasi shift kerja pada perawat sudah
dipastikan menjadi salah satu faktor yang ikut berpengaruh
pada kondisi tidur perawat (Kozier, et al., 2008). Ritme
sikardian yang seringkali berubah membuat perawat mengalami
kesulitan dalam penyesuaiannya. Hal inilah yang
mengakibatkan perawat dengan rotasi shift seringkali
mengalami tidur terputus, sulit mempertahankan tidurnya dan
akhirnya seringkali terbangun saat tidur. Selain itu responden
juga menyatakan seringkali terbangun karena adanya gangguan
yang berasal dari keributan, ganggguan binatang seperti
nyamuk, nyeri kepala, mimpi buruk, terbangun untuk ke kamar
mandi, merasa kepanasan dan kedinginan serta terbangun oleh
tangisan anak.
Kondisi ini sebaiknya dapat diminimalkan agar perawat
dapat memperoleh tidur yang lelap dengan cara membuat
lingkungan senyaman mungkin (Berger, 2006). Lebih lanjut
Berger (2006) menjelaskan bahwa untuk membuat lingkungan
yang nyaman dapat dilakukan dengan cara mematikan seluruh
alat yang dapat menimbulkan bunyi, menutup pintu dan
jendela, mengatur suhu ruangan yang nyaman, memasang obat
anti nyamuk ataupun kelambu dan persiapkan anak untuk
tidur pulas.
Pada penelitian ini, sebagian besar (66,67%) responden
mengalami gangguan fungsi tubuh di siang hari kurang dari
satu kali seminggu. Adapun item gangguan fungsi tubuh
disiang hari yang diukur yaitu frekuensi mengantuk yang sering
di siang hari pada saat berada di kendaraan, setelah makan atau
482
saat bekerja serta banyaknya masalah yang mengganggu
pikiran (Buysse, et al., 1989).
Dari kedua item yang mempengaruhi gangguan fungsi
tubuh disiang hari, frekuensi mengantuk merupakan item
pertanyaan yang memiliki skor lebih tinggi dibandingkan
dengan adanya masalah yang dipikirkan oleh perawat yang
menyebabkan perawat mengalami gangguan fungsi tubuh.
Jawaban responden untuk item pertanyaan frekuensi
mengantuk sangat beragam. Namun hampir seluruh responden
(76,66%) menyatakan merasa mengantuk dan hampir setengah
dari responden (43,33%) menyatakan mengantuk kurang dari
1x seminggu.
Sementara itu, komponen kualitas tidur lainnya seperti
kualitas tidur subjektif, latensi tidur, efisiensi kebiasaan tidur
dan penggunaan obat tidur pada perawat IGD dengan rotasi
shift telah berada dalam kondisi baik dan hal ini dapat terus
dipertahankan dan ditingkatkan untuk tetap mendapatkan tidur
yang senantiasa berkualitas.
Kuantitas Tidur
Kuantitas tidur yang diukur dalam penelitian ini adalah
jumlah jam tidur ≥ 100 menit baik dilakukan di rumah maupun
di tempat kerja. Kozier, et al., (2008) menjelaskan bahwa satu
siklus tidur lengkap pada orang dewasa berlangsung sekitar 90-
110 menit. Satu siklus tidur tersebut umumnya terdiri atas
tahap tidur NREM selama 90 menit dan selanjutnya diikuti oleh
tahap tidur REM selama 10-20 menit.
483
Sebagian besar responden (63,67%) memiliki kuantitas
tidur yang termasuk kategori kurang. Sebagian besar perawat
yang bekerja dengan rotasi shift di IGD RSUD Sumedang tidur
5 sampai 6 jam sehari. Secara teori dijelaskan bahwa perawat
yang termasuk dalam kelompok dewasa membutuhkan tidur 7
sampai 8 jam perhari. Seseorang dengan jumlah tidur yang
kurang cenderung lebih mudah tersinggung, sulit
berkonsentrasi dan membuat keputusan (Kozier,et al., 2008).
Kurangnya kuantitas tidur perawat IGD dengan rotasi shift
terjadi hampir setiap hari selama sebulan terakhir. Kondisi ini
menjadi semakin parah khususnya ketika perawat bekerja shift
malam. Beberapa orang perawat menyatakan hanya tidur satu
sampai dua jam sehari. Sebagian dari perawat bahkan
terkadang tidak dapat tidur sama sekali dalam sehari semalam
setelah bekerja shift malam.
Kuantitas tidur yang kurang pada perawat perlu
mendapatkan perhatian karena perawat yang tidak
mendapatkan tidur yang cukup dapat mengancam keselamatan
pasien (Dean, 2007). Terdapat beberapa hal dapat dilakukan
untuk tetap mendapatkan kuantitas tidur yang cukup seperti
memodifikasi lingkungan dan meminimalkan gangguan
(Berger, 2006).
Simpulan
Berdasarkan hasil penelitian mengenai kualitas dan
kuantitas tidur perawat IGD dengan rotasi shift di RSUD
Sumedang, dari 30 responden dapat diketahui bahwa hampir
seluruh responden (86,67%) memiliki kualitas tidur yang
484
termasuk kategori buruk, hanya 13,33% yang memiliki kualitas
tidur yang termasuk kategori baik.
Tingginya persentase perawat IGD dengan rotasi shift yang
memiliki kualitas tidur buruk dapat dilihat dari adanya
beberapa komponen kualitas tidur yang terganggu yaitu durasi
tidur, gangguan-gangguan tidur dan gangguan fungsi tubuh di
siang hari.
Sementara itu, dapat diketahui bahwa sebagian besar
responden (63,33%) memiliki kuantitas tidur yang termasuk
kategori kurang, hanya 36,33% responden yang memiliki
kuantitas tidur yang termasuk kategori cukup.
Saran
Berdasarkan hasil penelitian, maka terdapat beberapa
saran sebagai berikut:
1. Institusi atau pihak RSUD Sumedang dapat membantu
meningkatkan kualitas dan kuantitas tidur perawat
dengan memberikan informasi mengenai cara
meningkatkan kualitas dan kuantitas tidur perawat
melalui seminar maupun selebaran yang dibagikan
kepada perawat.
2. Institusi atau pihak RSUD Sumedang dapat membantu
meningkatkan kualitas dan kuantitas tidur perawat
dengan menetapkan jumlah jam kerja yang seimbang
pada setiap shift (pagi,siang,malam).
3. Perawat mencari informasi melaui institusi maupun
media informasi lainnya seperti internet, majalah dan
485
buku mengenai cara dan terapi yang dapat digunakan
untuk meningkatkan kualitas dan kuantitas tidur.
4. Untuk peneliti selanjutnya diharapkan dapat dilakukan
penelitian lebih lanjut mengenai faktor yang paling
mempengaruhi masalah kualitas dan kuantitas tidur
perawat.
5. Untuk peneliti selanjutnya diharapkan dapat dilakukan
penelitian lebih lanjut mengenai terapi yang dapat
digunakan untuk membantu meningkatkan kualitas dan
kuantitas tidur perawat.
Daftar Pustaka
486
Berger, A.M & Hobbs, B.B. 2006. Impact of shift work on the
health and safety of nurses and patients. Clinical Journal of
Oncology Nursing, 10(4), 456 - 471.
Buysse, D.J., Reynolds III, C.F., Monk, T.H., Berman, S.R., &
Kupfer, D.J. (1989). The pittsburgh sleep quality index: A
new instrument for psychiatric practice and research.
Psychiatric Research, 28 (2), 193-213.
Kelly, R.J. and Sceneider, R.F., (1982). The twelve hour shift
revisited: Recent Trends in Electric Power Industry. J. of
Human Ercology 11: 369 – 384.
488
Lower, J. Bonsack,C. & Guion,J. (2003). Peace and quiet.
Nursing Management. 34 (4). 40A - 40D.
489
Sugiyono. 2007. Metode Penelitian Administrasi. Bandung:
Alfabeta
490
Terapi Bekam (Cupping Theurapy) Pada Pasien Hipertensi :
Literatur Review
Abstrak
Pendahuluan
494
mengemukakan manfaat dari bekam diantaranya mengobati
rasa sakit, herpes zooster, batuk, dispnea, rehabilitasi stroke,
dan hipertensi. Sedangkan penelitian yang dilakukan oleh
Jansen, Karim, dan Misrawati (2014) menunjukkan bahwa
terapi bekam efektif dalam menurunkan tekanan darah pada
pasien dengan hipertensi primer.
Metode
Extraksi Data
495
Hasil Penelitian
497
stroke dan hipertensi
498
design hipertensi primer
Pembahasan
Simpulan
Saran
Daftar Pustaka
502
Jansen.S, Karim.D, & Misrawati. (2014). Efektifitas Terapi
Bekam Terhadap Penurunan Tekanan Darah Pada
Penderita Hipertensi Primer
http://repository.unri.ac.id/xmlui/bitstream/handle/123
456789/5265/susianajansen.pdf?sequence=1.
diperoleh pada tanggal 10 september 2016.
Kasmui, (2011). Bekam Pengobatan Menurut Sunnah Nabi.
http://assunnah-
qatar.com/phocadownload/PDF/BEKAM.pdf.
diperoleh pada tanggal 10 september 2016.
Lee, Myeong Soo.Kim, Jong-In, Edzard Ernst 92011). Is
Cupping an Effective Treatment? An Overview of
Systematic Review. Elsevier.diperoleh tanggal 10
september 2016.
Purwanto, B. (2013). Herbal dan Keperawatan Komplementer.
Yogyakarta : Nuha
Medika.http://www.depkes.go.id/resources/download/g
eneral/Hasil%20Riskesdas%202013.pdf, diperoleh
pada tanggal. diperoleh pada tanggal 10 september
2016.
Sayed,El.,Mahmoud., & Nabo.(2013). Medical and Scientific
of wet cupping therapy (Al-hijamah): in Light of
modern Medicine and Prophetic Medicine.Altern Integ
Med.
Umar, WA. (2012). Sembuh dengan Satu Titik 2 Bekam untuk
7Penyakit Kronis. Solo:Thibbia. diperoleh pada tanggal
10 september 2016.
503
Zarei, Mohammad. Shirin Hejazi. Seyad Ali Javadi. Hojatollah
Faharani. (2012). The effecacy of wet cupping in
treatment of hypertension.ResearchGate. diperoleh
tanggal 10 september 2016.
504
Depresi Pada Pasien dengan Penyakit Jantung Koroner
Abstrak
505
Pendahuluan
506
Depresi secara cepat menjadi penyebab utama
seseorang hidup dengan kecacatan di seluruh dunia (Lopez,
Mathers, Ezzati, Jamison, & Murray, 2006). Di Amerika, tujuh
juta pasien dengan PJK mengalami depresi klinis yang
signifikan dan setengah juta kasus baru yang menjadi beban
kesehatan masyarakat. Adanya gangguan depresi dan/atau
peningkatan gejala depresi minimal menjadi risiko dan penanda
prognostik kekambuhan PJK dan semua penyebab kematian
(Khawaja, Westermeyer, Gajwani, Feinstein, 2009).
Metode
507
ini diambil dengan teknik simple random sampling dengan
ukuran sampel 100 pasien.
Instrumen yang digunakan untuk mengukur depresi
adalah Beck Depression Inverntory II (BDI-II) versi bahasa
Indonesia sudah dilakukan uji contruct validity oleh Ginting,
Naring, Veld, Srisayekti, & Becker (2013) dalam penelitian
Validating the Beck Depression Inventory II in Indonesia’s
general population and coronary heart disease patients dengan
nilai validasi r = 0,55, p < 0,01 dan reliabilitas yang diukur
dengan alpha cronbach sebesar 0,90.
Instrumen BD II terdiri dari 21 pertanyaan. Setiap
pertanyaan terdapat empat jawaban dengan nilai 0 sampai 3.
Hasil Penelitian
508
___________________________________________________
_________________
509
Pembahasan
510
Depresi merupakan salah satu hal yang harus
diperhatikan baik oleh dokter maupun perawat dalam
pengelolaan pasien dengan PJK. Perhatian dapat dilakukan
dengan menangani depresi pada pasien, maupun dengan
merujuk pada pusat pelayanan yang lebih memenuhi standar
dalam perawata pasien dengan depresi. berdasarkan hasil
penelitian, hanya setengah dari dokter jantung yang merawat
pasien dengan PJK yang mengatakan menangani masalah
depresi pada pasiennya. Sebagian menganggap bahwa depresi
merupakan hal yang normal pada saat kondisi akut (Litchman,
et al, 2008).
Simpulan
511
Pada penelitian ini, mayoritas responden tidak mengalami
depresi / tanda depresi minimal. Perlu dilakukan pencegahan
agar pasien dengan penyakit jantung koroner tidak mengalami
depresi yang lebih lanjut. Pencegahan yang dilakukan dapat
Daftar Pustaka
513
Efektivitas Pemberdayaan Kader Dalam Pencegahan
Demam Berdarah Terhadap Peningkatan Angka Bebas
Jentik Di Desa Cikidang Kecamatan Bantarujeg
Abstrak
Pendahuluan
Indonesia merupakan negara tropis yang memiliki dua
musim yaitu musim kemarau dan musim penghujan. Perubahan
kedua musim tersebut dapat menimbulkan berbagai penyakit
tropis diantaranya adalah demam berdarah. Pada tahun 2014,
sampai pertengahan bulan desember tercatat penderita DBD
515
sekitar 71.668 kasus, dan 641 orang meninggal dunia (Pusat
Data dan Informasi Kementerian Kesehatan Indonesia, 2014).
Sebagaimana di Indonesia, angka kejadian demam berdarah di
Majalengka Provinsi Jawa Barat pun meningkat. Berdasarkan
data Dinas Kesehatan Kabupaten Majalengka, angka kejadian
demam berdarah dari bulan januari – maret 2015 di kabupaten
majalengka tercatat 159 kasus. Demam berdarah tidak hanya
terjadi di perkotaan yang padat penduduk atau di dataran
rendah saja, saat ini demam berdarah terjadi di dataran tinggi
seperti di kecamatan Bantarujeg kabupaten Majalengka.
Desa Cikidang dan Desa Cinambo adalah dua desa yang
berada di Kecamatan Bantarujeg Kabupaten Majalengka.
Kedua desa ini termasuk daerah dataran tinggi, namun pada
awal tahun 2015 beberapa orang warga di desa ini pernah
mengalami demam berdarah. Berdasarkan wawancara dengan
aparat desa Cikidang, beberapa orang warganya pernah
mengalami demam berdarah dan sudah dilakukan fogging pada
awal tahun 2015. Tidak jauh berbeda dengan desa Cikidang, di
Cinambo pun pada awal tahun 2015 beberapa orang warganya
pernah mengalami demam berdarah dan sudah diusulkan untuk
dilakukan fogging, namun tidak ada respon dari Dinas
Kesehatan Majalengka. Hasil observasi yang dilakukan di
kedua desa tersebut, menunjukkan terdapat banyak tempat yang
berresiko dijadikan sarang oleh nyamuk, seperti banyak barang-
barang bekas yang menampung air, dan selokan yang
tergenang. Oleh karena itu diperlukan tindakan pencegahan
demam berdarah di kedua desa tersebut, agar demam berdarah
tidak terjadi lagi.
516
Pencegahan demam berdarah di suatu wilayah akan
lebih efektif apabila dilakukan secara terus – menerus.
Kepedulian dan peran aktif dari masyarakat sangat diperlukan.
Keberadaan kader kesehatan memegang peranan penting yaitu
sebagai penggerak untuk meningkatkan derajat kesehatan
masyarakat. Oleh karena itu, diperlukan pemberdayaan kader
dalam pencegahan demam berdarah di Desa Cikidang dan Desa
Cinambo Kecamatan Bantarujeg Kabupaten Majalengka.
Program pengabdian masyarakat untuk memberdayakan
kader dalam pencegahan demam berdarah dilakukan dengan
tujuan meningkatkan pengetahuan kader mengenai demam
berdarah dan penanganan awal di rumah, serta pemberantasan
sarang nyamuk (PSN). Selain itu, program ini dilakukan agar
terbentuknya juru pemantau jentik (jumantik), serta adanya
gerakan masyarakat dalam memberantas sarang nyamuk (PSN)
secara terus menerus. Semu tujuan tersebut dimaksudkan untuk
mencegah demam berdarah di Desa Cikidang dan Desa
Cinambo Kecamatan Bantarujeg, Kabupaten Majalengka.
Metode
Metode yang digunakan dalam program ini adalah
metode penyuluhan dan pembentukan jumantik, serta
penggerakan secara langsung dalam memberantas sarang
nyamuk. Materi penyuluhan yang diberikan adalah demam
berdarah dan penanganan awal di rumah, serta pemberantasan
sarang nyamuk (PSN) di Desa Cikidang dan Desa Cinambo.
Juru pemantau jentik (Jumantik) di kedua desa ini belum ada,
oleh karena itu, jumantik di bentuk untuk memfasilitasi
517
keberlangsungan program pencegahan demam berdarah di Desa
Cikidang dan Desa Cinambo bisa dilakukan terus menerus.
Pemberantasan sarang nyamuk (PSN) dilakukan melalui
pendekatan jumsih (jumat bersih) berupa kegiatan gortong
royong masyarakat dalam membersihkan lingkungannya
masing-masing. Pemberantasan sarang nyamuk difokuskan
dalam mengubur barang-barang bekas yang dapat menampung
air, serta membersihkan selokan yang tersumbat.
Keberhasilan program pemberdayaan kader dalam
mencegah demam berdarah ini dievaluasi melalui perubahan
pengetahuan kader mengenai demam berdarah, penanganan
awal di rumah, serta pemberantasan sarang nyamuk dengan
melihat perubahan rata-rata nilai pre-test dan post-test yang
dilakukan pada saat penyuluhan. Selain itu, evaluasi terhadap
angka bebas jentik (ABJ) dilakukan dengan melihat perubahan
ABJ pada saat sebelum dan setelah program dilaksanakan.
518
1 Desa Cikidang 19,37 79,37 60
519
hanya sedikit. Tapi, dengan adanya penyuluhan ini,
mereka menjadi lebih jelas dan faham.
Peningkatan pengetahuan peserta di Desa Cinambo
(40%) lebih kecil dibanding dengan Desa Cikidang
(60%). Hal ini dikarenakan pelaksanaan penyuluhan di
Desa Cinambo dilakukan pada siang hari yang dimulai
pukul 13.00 sehingga kemampuan konsentrasi peserta
sudah menurun. Selain itu, sebagian besar dari mereka
harus bekerja dahulu sehingga peserta sudah merasakan
kelelahan.
Kelompok Juru Pemantau Jentik (Jumantik)
dibentuk setelah kegiatan penyuluhan. Semua Kader yang
hadir di acara penyuluhan tersebut bersedia menjadi
jumantik. Ketua jumantik di Desa Cikidang diketuai oleh
ibu Tuti Herlina, sedangkan Desa Cinambo diketuai oleh
Bpk. Richi. Program kerja yang dirancang di kedua Desa
sama yaitu mengadakan jumsih seminggu sekali dan
melakukan pemantauan jentik satu bulan satu kali.
Hambatan yang ditemui pada pembentukan
jumantik adalah tidak ada yang mencalonkan diri untuk
menjadi ketua jumantik. Mereka beranggapan ketua
jumantik adalah amanah yang besar. Hal ini dapat diatasi
dengan diskusi antara aparat desa, tim dan para peserta.
Aparat desa sangat mendukung sepenuhnya
pembentukan jumantik di desa nya. Dengan adanya
jumantik, kegiatan-kegiatan pencegahan demam berdarah
khususnya pemberantasan sarang nyamuk (PSN) dapat
dilaksanakan secara berkelanjutan. Selain itu, aparat desa
520
pun sangat mendukung program kerja yang direncanakan
oleh jumantik. Aparat desa berjanji akan
ikutmenggerakkan warga dalam setiap kegiatan PSN.
521
8 Senang 70% 75% 5%
rasa
Simpulan
Angka kejadian demam berdarah di Indonesia terus
meningkat, tidak hanya di kota-kota besar dan padat penduduk,
demam berdarah banyak terjadi di daerah dataran tinggi dan
kota-kota kecil seperti Majalengka. Oleh karena itu, diperlukan
langkah pencegahan demam berdarah yang lebih efektif dengan
melibatkan masyarakat untuk berperan aktif dalam berbagai
program pencegahannya. Penelitian ini merupakan salah satu
langkah untuk mencegah demam berdarah di Desa Cikidang
dan Desa Cinambo dengan melibatkan kader kesehatan melalui
kegiatan penyuluhan, pembentukan jumantik, dan melakukan
PSN secara bergotong royong.
Setelah program ini selesai dilaksanakan, terdapat
peningkatan pengetahuan peserta mengenai demam berdarah
dan penanganan awal di rumah, dan Pemberantasan Sarang
Nyamuk (PSN). Pembentukan jumantik dengan ketua beserta
program kerja sementara sudah dibentuk. Jumantik beserta tim
PKM dan aparat desa menggerakkan masyarakat untuk
melakukan jumsih khususnya PSN di lingkungannya masing-
masing.
523
Saran
Program pencegahan demam berdarah dengan
melibatkan masyarakat untuk berperan aktif akan lebih efektif
apabila disertai dengan monitoring, evaluasi dan ada sistem
reward yang sesuai dari pemerintah khususnya dinas kesehatan.
Oleh karena itu, dinas kesehatan melalui puskesmas atau
petugas kesehatan terdekat di desa dapat bekerja sama dalam
melakukan monitoring dan evaluasi dalam semua program
kerja yang melibatkan masyarakat.
Daftar Pustaka
Abstrak
525
NICU merupakan asuhan yang memberikan manfaat bagi orang
tua dan dapat mengurangi stres. Simpulan. Dengan demikian,
para pembuat kebijakan dapat menggunakan informasi ini
untuk menerapakan asuhan paliatif di NICU
Pendahuluan
526
kelahiran hidup dan Angka Kematian Neonatal (NMR) adalah
19 kematian / 1000 kelahiran hidup (SDKI, 2012).
527
kritis di NICU dan situasi ini berpotensi menyebabkan stres
pada orangtua (Ruddle, 2006). Selain itu, pelayanan kesehatan
neonatal juga didukung oleh teknologi canggih, berfokus untuk
meningkatkan kelangsungan hidup bayi, dapat mengidentifikasi
anomali kongenital, dan secara keseluruhan dapat memperbaiki
morbiditas dan mortalitas (Bhatia, 2006). Meskipun pelayanan
kesehatan neonatal didukung oleh teknologi yang canggih, akan
tetapi anomali kongenital dan faktor-faktor lainnya, termasuk
kurangnya perawatan prenatal, dapat menyebabkan bayi
dengan kondisi tak terduga yang dapat menyebabkan kematian.
Trend saat ini, muncul konsep asuhan paliatif yang dapat
menjadi pilihan untuk memberikan perawatan pada bayi yang
dirawat di NICU.
Metode
Kritiria inklusi
530
Semua kata kunci kemudian dihubungkan menggunakan
Boolean ―OR‖ untuk menemukan sebanyak mungkin kutipan.
Dan memakai ―AND‖ yang digunakan untuk meningkatakan
spesifisitas atau relevansi kutipan. Tujuan dari strategi
penelusuran adalah untuk menemukan studi yang sudah
dipublikasikan. Pencarian terbatas diawali di data based
MEDLINE dan Pubmed, setelah itu dilakukan analisis dari
judul, abstrak, kata kunci hingga isi dari studi yang ditemukan.
Penelitian yang diterbitkan dalam Bahasa Inggris dan di
publikasikan dari tahun 2004 hingga 2014 dipertimbangkan
untuk dimasukan dan tinjauan sistematis ini.
Hasil Penelitian
532
Journal
MED Cochr Pubm palliativ
LINE ane ed e care
36 174 172 19
Total
combined
401 Exclude
duplicate
157
Final
combined Exclude with the reason
244 (n=244):
No Parent (n= 84)
No infant/neonates
(n= 97)
No palliative care
19 Fully (n=24)
assess for Not met study design
eligibility (n=20)
Hand Exclude with the
searching reason (n=19):
0 Not met criteria for
5 Fully outcomes (14)
assess for
eligibility
533
Pembahasan
(Pette Untuk 33 orang tua Mixed 2 Asuhan Tidak ada perbedaan yang sign
ys et mengetahui NICU (23 method paliatif 0,267-1,000) ditemukan dalam
al., efek dari asuhan dan PSS: ditemukan bahwa orang t
2014) Perawatan biasa/ussual asuhan mengalami stress dengan tingk
menunjukkan mayoritas stres b
Paliatif di care [UC] and biasa
adanya perubahan dalam peran
NICU 10 asuhan 100% orang tua merespon ''san
terhadap paliatif/PC) paliatif sedangkan hanya 50%
kepuasan biasa/UC merespon ―sangat pu
dan stress
534
orang tua
(Bros Untuk Orang tua Studi 3 End-of- Persepsi orang tua mengenai ke
ig et mengidentif (n=19 keluarga) kualitatif life Care Experience Inventory instrume
al., ikasi faktor- yang memiliki dengan berbeda secara signifikan antar
2007) faktor yang bayi (< 1 thn) semi keterlibatan dalam asuhan palia
Tujuh aspek yang penting bagi
orang tua yang telah structure
dalam proses mengambil keput
anggap meninggal interview kepercayaan dalam asuhan kep
penting dari pelayanan kesehatan, dukungan
dalam end- revisi tetap hidup, spiritualitas, altruis
of-life care Grief kehidupan, memvalidasi keputu
Experien dalam berkabung, rekomendasi
ce
Inventory
instrume
nt
(RGEI),
(22-item;
skala
535
likert),
Bran Untuk 57 orang tua Studi 3 Neonatal 8 tema yang muncul adalah: Me
chett menentukan yang kehilangan kualitatif Palliative dan waktu; bantuan yang praktis
komunikasi dengan orang tua; p
536
& apa yang anak pada Care dan komunikasi; dan dukungan sesu
Strett orang tua periode End of
on, telah benar- neonatal yang Life Care
2012 benar alami termasuk 54 Ibu
berkaitan dan 3 bapak
dengan
asuhan
paliatif pada
pasien
neonatal dan
end-of-life
care dan
menentukan
bagaimana
pengetahuan
ini dapat
digunakan
untuk
537
meningkatk
an
pengalaman
bagi
keluarga di
masa depan
Widg Untuk 38 orang tua Sebuah 3 End of Komunikasi : 95% memiliki kes
er & menggamba memiliki studi Life Care Hubungan: 89.2% merasa diper
Picot, rkan bayi/anak kualitatif: saying dan peduli
2008 kualitas end survey Asuhan pada saat waktu kemati
of life care pada dalam perawatan rutin
Secara keseluruhan, 84% orang
pada pasien kelurga
puas
pediatrik menggun Prioritas perbaikan; komunikasi
dan akan Pada perinatal, orang tua menek
perinatal instrume bersama bayi mereka
nt untuk
menguku
r end of
538
lige care
(Teno,
Clarridge
, Casey,
Edgman-
Levitan,
&
Fowler,
2001)
Hasil tinjauan sistematis diatas menunjukan bahwa asuhan paliatif dapat membantu
mengurangi stress akut yang dialami oleh orang tua dengan bayi yang dirawat di NICU
Hasil penelitian menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan yang signifikan secara statistik
ditemukan dalam skor stres antara kohort tapi studi lain mengungkapkan bahwa
perawatan paliatif membantu orang tua untuk mengurangi stres akut. Untuk kepuasan
539
orangtua melaporkan bahwa orang tua menjadi "sangat puas" dengan hati-hati.
Pengalaman duka antara orang tua yang menerima kehidupan akhir perawatan, bukan
tidak berbeda secara signifikan. Keterlibatan orang tua dan pengambilan keputusan,
negara tua bahwa mereka membutuhkan konsisten dan memperbarui informasi medis
bayi mereka dengan komunikasi yang baik. Temuan dari penelitian kualitatif memiliki
kesamaan, tema emerge yang menciptakan kenangan; empati; Ruang dan waktu;
bantuan praktis dan pemahaman; Kepekaan; Komunikasi dengan orang tua; pencatatan
yang akurat dan komunikasi; Dalam kandungan; dan Dukungan sesudahnya. Dan faktor
penting yang dinyatakan oleh orang tua adalah kejujuran, diberdayakan pengambilan
keputusan, pengasuhan, lingkungan, iman / kepercayaan dalam asuhan keperawatan,
dokter saksi dan dukungan dari penyedia perawatan di rumah sakit lain, hal-hal yang
membantu mengatasi, dukungan keluarga, menjaga memori hidup , spiritualitas / iman,
altruisme, memfokuskan kembali pada kehidupan, validasi keputusan, kelompok
pendukung berkabung, rekomendasi orangtua.
540
Simpulan
Daftar Pustaka
542
Karekteristik dan Pengetahuan Perineal Hygiene Siswi
SD Umul Mukminin Bandung
Abstrak
Latar Belakang: Keputihan (lecorheae) merupakan masalah
kesehatan reproduksi wanita termasuk remaja yang menjadi
persoalan sejak lama. Salah satu penyebabnya adalah perineal
hygiene yang buruk. Hal ini terjadi karena kurang
memadainya informasi tentang perineal hygiene yang
memadai, yang akhirnya berdampak pada pola perineal
hygiene mereka. Tujuan: tujuan penelitian untuk mengetahui
karakteristik dan pengetahuan hygiene siswi sekolah dasar.
Metodologi:Rancangan penelitian deskriptif kuantitatif.
Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh remaja putri
kelas 4-6 SD Umul Mukminin Soreang berjumlah 61 orang
dengan sample total sampling. Instrumen penelitian berupa
quisioner berjumlah 20 pertanyaan. Pengambilan data
dilakukan pada bulan Mei 2016. Data dianalisa dengan analisa
univariat. Hasil: Hasil penelitian menunjukan bahwa sebagian
besar responden sebanyak 24 orang berusia 10 tahun (39,3%),
sebagian responden besar mendapatkan informasi tentang
perineal hygiene sebanyak 60 orang (98,4%), sebagian besar
informasi perineal hygiene di peroleh dari ibu sebanyak 38
orang (62,3), sebagian besar responden sudah mengalami
menstruasi sebanyak 32 orang (52,5%), dan sebagian
responden mengalami menarche pada usia 11 tahun sebanyak
543
14 orang (43,8 %). Dilhat dari pendidikan orang tua, sebagian
besar responden memiliki orang tua dengan pendidikan tinggi
sebanyak 43 orang (70,5%), dan seluruh orang tua mereka
bekerja sebanyak 61 orang (100%). Dilihat dari tingkat
pengetahuan, sebagian besar responden memiliki tingkat
pengetahuan baik sebanyak 41 orang (67,2%). Kesimpulan:
sebagian responden memiliki tingkat yang baik, hal ini
dikarenakan responden telah mendapatkan informasi entang
perineal hygiene yang diperoleh dari ibu mereka. Selain itu
responden telah mengalami menarche sejak usia 11 tahun.
Informasi yang benar tentang perineal hyginen akan
menentukan baik tidaknya pengetahuan responden. Saran
untuk penelitian ini, bagi pihak sekolah untuk dapat
berfartisifasi aktif dalam meningkatkan pengetahuan siswinya
tentang perineal hygiene. Bagi pihak puskesmas agar dapat
memasukan materi perineal hygiene kedalam promosi
kesehatan yang di edukasikan kepada siswi di seluruh
sekolah.
Pendahuluan
Metode
547
mendapat menstruasi, usia menarche, sumber informasi). (B)
Quisioner pengetahuan. Instrumen menggunakan modifikasi
instrument Rohimah, I (2014) yang berjumlah 20 pertanyaan,
berbentuk tes multiple choice. Pada instrumen ini, jawaban
benar diberi skor 1 dan 0 untuk jawaban salah. Semakin tinggi
total skor semakin baik pengetahuan. Jika skor ≥ 80% dari
total skor dikategorikan baik. Jika skor ≤ 79% dari total skor
dikategorikan buruk.
Hasil :
Tabel 1. Karakteristik Responden di SD Ummul Mukminin
Usia (Tahun):
9 5 8,2
10 24 39,3
11 21 34,4
12 11 18,0
Pengalaman mendapat
informasi:
Ya 60 98,4
Tidak 1 1,6
548
Sumber Informasi:
Ibu 38 62,4
Saudara 1 1,6
Guru 9 14,8
Teman 1 1,6
Petugas puskesmas 1 1,6
Semuanya 10 16,4
Tidak mendapatkan 1 1,6
Pengalaman mendapat
menstruasi:
32 52,5
Sudah menstruasi
29 47,5
Belum menstruasi
Usia menarche
10 13 40,6
11 14 43,8
12 5 15,6
PT 43 70,5
SMA 16 26,2
SMP 2 3,3
549
SD 0 0
Bekerja 61 100
Tidak bekerja 0 0
550
Baik 41 67,2
Buruk 20 32,8
Pembahasan
551
penelitian dimana sebagian besar siswi sudah mengalami
menstruasi. Sebagian responden mengalami menarche pada
usia 11 tahun. Oleh karena itu pemberian informasi tentang
perineal hygine diperlukan sejak usia dini, karena dengan
memiliki pengetahuan tentang perinela hygiene yang memadai,
maka mereka akan siap untuk merawat area kelaminnya baik
saat menstruasi ataupun tidak. Perawatan perineal hygiene yang
buruk akan beresiko menimbulkan penyakit lecorheae, apalagi
bila siswi tersebut telah mengalami menstruasi.
.
553
Simpulan
Kesimpulan: sebagian responden memiliki tingkat yang baik,
hal ini dikarenakan responden telah mendapatkan informasi
entang perineal hygiene yang diperoleh dari ibu mereka.
Selain itu responden telah mengalami menarche sejak usia 11
tahun. Informasi yang benar tentang perineal hyginen akan
menentukan baik tidaknya pengetahuan responden.
Saran
Saran untuk penelitian ini, bagi pihak sekolah untuk dapat
berfartisifasi aktif dalam meningkatkan pengetahuan siswinya
tentang perineal hygiene. Bagi pihak puskesmas agar dapat
memasukan materi perineal hygiene kedalam promosi
kesehatan yang di edukasikan kepada siswi di seluruh
sekolah.
Daftar Pustaka
Djalalinia, S. 2012. Parents or School Health Trainers, which of
Them is Appropriate for Menstrual Health Education.
International Journal of Preventive Medicine, Vol 3, No
9, 2012;3:622-7.
Indah, I.L. 2012. Gambaran pengetahuan remaja putri tentang
perineal hygiene di SMPIT As Salam Pasar Minggu.
www.lib.ui.ac.id, (diakses tanggal 10 Januari 2016).
554
Kemenkes. 2012. Aku Bangga Aku Tahu. Jakarta: Pusat
Promosi Kesehatan Kementrian Kesehatan
RI.www.promkes.depkes.go.id, (diakses tanggal 5
Januari 2016).
Rahman, W., Hidayah, N., & Azizah, N. 2013. Pengaruh
Sikap, Pengetahuan dan Praktik Vulva Hygiene dengan
Kejadian Keputihan pada Remaja Putri di SMPN 01
Mayong Jepara. www.ppnijateng.org, (diakses tanggal
3 Januari 2016).
Sari, R. 2012. Hubungan pengetahuan dan perilaku remaja
putri dengan kejadian keputihan di kelas XII SMA
Negeri 1 Seunuddon Kabupaten Aceh Utara.
scholar.google.co.id, (diakses tanggal 10 Januari 2016).
Yulrina. dkk. 2012. Panduan Lengkap Keterampilan Dasar
Kebidanan 1. Yogyakarta: Deepublish.
555
PERBEDAAN KREATIVITAS SETELAH DIBERI TERAPI MUSIK
KLASIK (MOZART) DAN MODERN JAZZ PADA ANAK PRASEKOLAH
(Studi Pada Anak Usia 4-5 Tahun Di TK Negeri Pembina Mojoanyar
Mojokerto)
ABSTRAK
Kreativitas merupakan kemampuan dari seseorang untuk menghasilkan
komposisi, produk atau gagasan yang ada dasarnya baru, dan sebelumnya tidak
dikenal pembuatannya. Terapi musik klasik mozart dan modern (jazz) merupakan
salah satu metode untuk meningkatkan kreativitas pada anak. Meski demikian,
belum diketahui musik mana yang lebih baik dalam menstimulasi kreativitas anak,
Tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis perbedaan kreativitas anak
prasekolah yang mendengarkan musik klasik (mozart) dan anak pra sekolah yang
mendengarkan musik modern (jazz).
Penelitian ini menggunakan rancangan quasy eksperimental dengan
melibatkan 30 anak pra sekolah usia 4-5 tahun di TK Negeri Pembinan Mojoanyar
Mojokerto yang diambil dengan purposive sampling. Responden dibagi menjadi 2
kelompok, masing-masing 15 responden. Kelompok 1 mendengarkan mozart dan
kelompok 2 mendengarkan jazz selama 15 menit setiap hari selama 2 minggu
efektif menggunakan headset secara individu setiap kali datang pagi. Data
kreativitas anak dikumpulkan dengan menggunakan lembar observasi kreativitas
dan dan kemudian data dianalisis menggunakan Mann Whitney.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pada kelompok responden yang
sudah mendengarkan musik klasik (mozart) memiliki tingkat kreativitas rendah
berjumlah 2 (13.3%) responden dan tinggi sebanyak 8 (53.4%) responden dan pada
kelompok terapi musik Jazz memiliki tingkat kreativitas rendah sebanyak 9
responden (60%) dan tinggi sebanyak 1 (6.7%) respoden. Analisis data dengan
menggunakan Mann Whitney diperoleh hasil bahwa kreativitas anak setelah
mendengar mozart berbeda secara signifikan daripada anak yang mendengarka n
musik jazz (p=0,014).
Dengan demikian disimpulkan bahwa tingkat kreativitas anak yang
mendengarkan musik Mozart secara signifikan lebih baik dari anak yang
mendengarkan musik modern (jazz). Oleh sebab itu, musik klasik bisa menjadi
salah satu pilihan untuk menstimulisi pengembangan kreativitas anak.
556
A. Pendahuluan
Kreatif adalah kemampuan seseorang untuk melahirkan sesuatu yang
baru, baik berupa gagasan maupun karya nyata, baik dalam bentuk karya baru
maupun kombinasi dengan hal-hal yang sudah ada, yang belum pernah ada
sebelumnya dengan menekankan kemampuan yaitu yang berkaitan dengan
kemampuan untuk mengkombinasikan, memecahkan atau menjawab masalah,
dan cerminan kemampuan operasional anak kreatif. Akan tetapi dalam
kehidupan sehari-hari banyak kita dapati perlakuan dan tindakan anak dengan
berbagai polah dan tingkah laku, sehingga ekspresi kreativitas anak kurang
berkenan pada orangtua. Padahal tiap anak memiliki ekspresi kreativitas yang
berbeda, ada yang terlihat suka mencoret-coret, beraktivitas gerak, berceloteh,
melakukan eksperimen, dan sebagainya. Penyikapan seperti itu berarti
merupakan salah satu contoh dari sekian banyak faktor yang mengha mbat
kreativitas seoran anak,sehingga anak akan cenderung berdiam dan tidak mau
melakukan apa-apa (pasif) (Ramli, 2004). Hasil penelitian di Indonesia
mengungkapkan bahwa lembaga pendidikan maupun orang tua cenderung
untuk mendidik siswa berfikir secara linier (searah) atau konvergen (terpusat).
Subjek didik kurang didorong untuk berfikir divergen (menyebar, tidak
searah),yang merupakan ciri kreativitas (Nasori dan Diana, 2002).
Kreativitas anak dapat ditingkatkan melalui terapi musik. Terapi
musik dapat digunakan untuk mempertajam pikiran dan menyehatkan tubuh,
karena musik terbukti dapat meningkatkan fungsi otak dan intelektual manusia
secara optimal (Cambell, 2002). Akan tetapi kebanyakan pendidikan di
sekolahan jarang sekali menggunakan musik sebagai suatu bahan untuk
meningkatkan daya kreativitas maupun intelegensi anak. Lembaga pendidikan
lebih sering menggunakan terapi bermain padahal musik juga mempunyai efek
yang sama baiknya dengan bermain, dan musik dapat diberikan padawaktu
kegiatan belajar mengajar dimulai dan juga anak menjelang mau tidur. Menurut
Harlock, (2005) kondisi sekolah juga mempengaruhi perkembangan kreativitas,
apabila tidak menguntungkan kondisi ini dapat menghambat rangsangan
kreativitas yang disediakan dalam lingkingan rumah yang baik. Inilah salah satu
557
alasan mengapa usia masuk sekolah merupakan “periode kritis” bagi
perkembangan kreativitas.
Bagi negara berkembang diperkirakan angka kreativitas anak usia
prasekolah sekitar 0,3% dari seluruh populasi dunia dan hampir 3% mempunyai
kreativitas yang rendah. Angka ini diperkirakan akan semakin bertambah pada
setiap tahunnya (Wahyuni, 2004). Berdasarkan hasil studi pendahuluan di TK
Negeri Pembina Desa Jabon Mojoanyar Mojokerto tanggal 21 April 2016
didapatkan data dari 9 anak yang diuji tingkat kreativitasnya dengan cara
menggambar bentuk orang didapatkan hasil sebagai berikut: 2 anak (0,18%)
dengan nilai 13 dan 16 termasuk kategori tinggi, 5 anak (0,45%) dengan nilai
6, 7, 7, 8, 9 kategori kreativitas sedang, 2 anak (0,18%) dengan nilai 3 dan 4
termasuk kategori dengan kreativitas rendah.
Proses pembelajaran pada hakekatnya untuk mengembangka n
aktivitas dan kreativitas peserta didik, melalui berbagai interaksi dan
pengalaman belajar. Begitupun dengan musik, musik sangat identik dengan
proses pembelajaran di TK. Mulai dari proses kegiatan awal sampai kegiatan
akhir, hampir memakai musik. Kegiatan belajar hendaknya diselingi dengan
kegiatan terapi yang berfungsi untuk meningkatkan kreativitas suatu anak salah
satunya adalah menggunakan terapi musik klasik maupun musik modern jazz.
Musik klasik terutama mozart dapat merangsang dan mencas wilayah-wilayah
kreatif dan motivasi di otak. Namun, mungkin kunci keluarbiasaannya adalah
bahwa semuanya terdengar murni dan sederhana (Campbell, 2002). Musik
klasik juga ditandai oleh aksen dan dinamika yang bisa berubah secara tiba-tiba
dan mengejutkan sehingga iramanya tidak monoton. Oleh karena itu, musik
zaman klasik sangat efektif untuk merangsang keterkaitannya didalam otak,
memicu ingatan dan kreativitas (Musbikin, 2009). Namun untuk
memperkenalkan musik, untuk membentuk karakter, jiwa dan kreativitas pada
anak bisa dilakukan dengan jenis musik lain seperti pop, jazz, atau yang lebih
easy listening, dan usahakan yang alunannya cenderung tenang (Riki, 2011).
Anak TK dapat lebih cerdas 34% bila diajarkan piano daripada ketika
diajarkan komputer.Berdasarkan hasil penelitian dari institusi hukum di florida
serta ahli dari prancis Dr. Alfred Tomatis mendengarkan musik klasik 15-20
558
menit sehari dapat meningkatkan kemampuan motorik dan kreativitas bervikir.
Dengan mendengarkan musik yang tenang dan teratur, otak kita akan
merangsang sebuah hormon yang membuat daya kreatif kita berkembang. Oleh
karena itu, jika kita menerapkan terapi musik secara rutin paling tidak selama
15 menit setiap hari maka kita dapat memaksimalkan potensi kreatif yang kita
milki (Aizid, 2011). Jadi terapi musik mozart atau jazz dapat diberikan salama
15-20 menit setiap hari selama 2 minggu untuk meningkatkan kemampuan
motorik dan kreativitas bervikir.Terapi musik mozart maupun modern jazz
merupakan kegiatan yang sangat bermanfaat bagi anak-anak dan dapat
dilaksanakan sebelum memulai suatu pelajaran.
Dari uraian diatas, maka peneliti tertarik untuk melakukan penelitian
tentang perbedaan terapi musik klasik (mozart) dan modern jazz tarhadap
kreativitas anak pra sekolah usia 4-5 tahun.
B. Metode Penelitian
Desain yang digunakan dalam penelitian ini adalah pre eksperimental
design dengan pendekatan static group comparison merupakan rancangan pre
ekspeimental dengan mnambah kelompok kontrol, dengan cara setelah
perlakuan dilakukan pengamatan pada kelompok perlakuan dan pada kelompok
kontrol dilakukan pengamatan saja. Penelitian ini dilaksanakan di TK Negeri
Pembina Desa Jabon Mojoanyar Mojokerto pada tanggal 1 sampai dengan 30
Juni 2016. Variabel independen atau variabel bebas dalam penelitian ini adalah
terapi musik klasik (mozart) dan modern jazz, sedangkan variabel dependen
atau variabel terikat dalam penelitian ini adalah Kreativitas anak prasekolah
usia 4-5 tahun. Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh anak prasekolah
usia 4-5 tahun di TK Negeri Pembina Desa Jabon Mojoanyar Mojokerto dengan
jumlah populasi 56 anak.
Tekhnik pengambilan sampel yang digunakan dalam penelitian ini
adalah purposive sampling, yaitu suatu tehnik penetapan sampel dengan cara
memilih sampel diantara populasi dengan yang dikehendaki peneliti
(tujuan/masalah dalam penelitian), sehingga sampel tersebut dapat mewakili
karakteristik populasi yang telah dikenal sebelunnya (Nursalam, 2008). Jumlah
559
sampel dalam penelitian ini sebanyak 30 anak yang kemudian dibagi menjadi 2
kelompok. Kelompok 1 mendengarkan mozart dan kelompok 2 mendengarkan
jazz selama 15 menit setiap hari selama 2 minggu efektif menggunakan headset
secara individu setiap kali datang pagi. Dalam penelitian ini, peneliti membatasi
subjek penelitian dengan kriteria sebagai berikut:
Kriteria inklusi pada penelitian ini adalah:
a. Anak prasekolah dengan usia 4-5 tahun.
b. Responden yang kooperatif (mau diajak kerjasama).
Kriteria eksklusi adalah menghilangkan atau mengeluarkan subjek yang
memenuhi kriteria inklusi dari studi (Nursalam, 2008). Kriteria eksklusi pada
penelitian ini adalah:
a. Anak prasekolah yang sakit/tidak hadir saat penelitian dilakukan.
b. Anak prasekolah yang mengalami gangguan pendengaran.
Tehnik pengumpulan data pada penelitian ini menggunakan tehnik observasi.
Alat yang digunakan antara lain:
a. Kertas kosong, media yang digunakan anak untuk menggambar atau
menilai kreativitas pada anak usia 4-5 tahun.
b. Alat tulis atau pensil warna, media yang digunakan anak untuk
menggambar dikertas kosong tersebut.
c. Alat untuk melakukan terapi musik seperti, lagu-lagu klasik (mozart)
dan lagu jazz.
Data yang diperoleh akan diolah dengan melakukan analisis menggunakan uji
statistik Mann witney, dengan signifikasi α (0,05) yaitu uji untuk
membandingkan nilai variabel dependen setelah perlakuan yang bersekala data
ordinal, dengan derajat kemaknaan p < 0,05.
560
C. Hasil Penelitian
1. Data Umum
a. Kelompok Anak yang Mendengarkan Musik Klasik (mozart).
1) Karakteristik Responden Berdasarkan Jenis Kelamin Anak
Tabel 1 Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Jenis
Kelamin Anak di TK Negeri Pembina Mojoanyar
Mojokerto Juni 2016
Jenis Kelamin Jumlah Persentase %
Laki-laki 8 anak 62
Perempuan 7 anak 38
Total 15 anak 100
561
4) Karakteristik Responden Berdasarkan Pendidikan Orang Tua
Tabel 4
Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan
Pendidikan Orang Tua Anak di TK Negeri
Pembina Mojoanyar Mojokerto Juni 2016
Pendidikan Jumlah Persentase %
SD 0 0
SLTP 5 orang 31
SLTA 6 arang 46
PT 4 orang 23
Total 15 orang 100
562
3) Karakteristik Responden Berdasarkan Jenis Pekerjaan Orang Tua.
563
Tabel 9 diatas menggambarkan bahwa lebih dari setengah
responden mempunyai kreativitas yang tinggi yaitu sebanyak 8
responden (54%).
b. Kreativitas Anak Usia Prasekolah Sesudah Mendengarkan Musik Jazz.
1) Karakteristik Responden Berdasarkan Kreativitas Anak Usia
Prasekolah Sesudah Mendengarkan Musik Jazz.
Tabel 10 Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan
Kreativitas Anak Prasekolah Sesudah
Mendengarkan Musik Modern/ Jazz di TK Negeri
Pembina Mojoanyar Mojokerto Juni 2016
Kreativitas Jumlah Persentase %
Rendah 9 60.00
Sedang 5 33.33
Tinggi 1 0.07
Total 15 100
564
jadi p<α maka H0 ditolak dan H1 diterima artinya ada perbedaan terapi musik
klasik (mozart) dan modern Jazz terhadap kreativitas anak prasekolah usia
4-5 tahun di TK Negeri Pembina Mojokerto.
D. Pembahasan
Setelah dilakukan analisis data dan melihat hasil penelitian yang telah
diperoleh maka sesuai dengan tujuan penelitian maka pada bab ini akan
diuraikan pembahasan tentang perbedaan terapi musik klasik (mozart) dan
modern jazz terhadap kreativitas anak prasekolah usia 4-5 tahun di TK Negeri
pembina Mojoanyar Mojokerto.
1. Tingkat kreativitas anak prasekolah sesudah diberikan terapi musik mozart.
Hasil penelitian diatas menggambarkan bahwa pada kelompok yang
diberikan musik mozart terdapat 8 responden (54%) yang memiliki tingkat
kreativitas yang tinggi, 5 responden (33%) memiliki kreativitas sedang dan
2 responden (13%) yang memilki tingkat kreativitas yang rendah. Getaran
musik klasik, seperti karya Mozart dan Bethoven, memiliki nada yang sama
dengan getaran otak. Karena getarannya sama, maka musik dapat
merangsang saraf otak untuk berosilasi (berayun atau bergetar). Osilasi
saraf otak seorang tidak pernah berhenti meskipun dalam keadaan tidur
(Aizid, 2011). Dengan getaran nada yang dimiliki oleh musik klasik mozart
maka daya kreativitas dan imajinasi anak dalam berfikir semakin meningkat
dan anak akan dapat mengembangkan kreativitasnya dengan mudah,
sehingga daya kreativitas yang dimiliki oleh anak yang mendengarkan
musik klasik (mozart) dapat meningkat sesuai dengan yang diinginkan oleh
sang anak.
Hasil penelitian menggambarkan bahwa sebagian besar responden
berjenis kelamin laki-laki. Menurut Masoffa (2011), anak laki-laki
cenderung lebih besar kreativitasnya daripada anak perempuan. Hal ini
disebabkan adanya perbedaan perlakuan antara anak laki-laki dan
perempuan, anak laki-laki dituntut lebih mandiri, sehingga anak laki-laki
biasanya lebih berani mengambil resiko dibandingkan anak perempuan.
Pada hasil penelitian diatas terdapat perbedaan kreativitas mungkin bisa
565
dikarenakan oleh perbedaan jenis kelamin, biasanya anak laki-laki
cenderung lebih suka melakukan kegiatan-kegiatan yang bersifat fisik dari
pada anak perempuan. Jadi anak laki-laki cenderung lebih dapat berfikir
dengan kreativ karena kegiatan-kegiatan yang dilakukan akan sangat
memerlukan gerakan fisik yang hasilnya akan menimbulkan suatu
kreativitas.
Hasil riset menggambarkan bahwa sebagian besar responden berumur
5 tahun. Sedangkan menurut Ummutia (2011), Pertumbuhan otak anak ini
berlangsung pada usia 5 tahun pertama atau biasa disebut periode emas
pertumbuhan. Usia juga bisa mempengaruhi tingkat kreativitas seorang
anak karena pada umur 5 tahun tingkat berfikir suatu anak lebih berkembang
daripada usia 4 tahun, anak yang berumur lima tahun jauh akan lebih dapat
meneima rangsangan dari luar sehingga anak akan jauh lebih krativ dalam
brfikir.
Hasil penelitian menjelaskan bahwa hampir setengah pendidikan
orang tua adalah SLTA. Faktor yang ke dua yang mempengaruhi munculnya
kreativitas menurut Masoffa (2011), adalah pendidikan orang tua, dari segi
pendidikan orang tua anak yang orang tuanya berpendidikan tinggi
cenderung lebih kreativ dibandingkan pendidikannya rendah. Hal ini
disebabkan karena banyaknya prasarana serta tingginya dorongan dari
orang tua sehingga memupuk anak untuk menampilkan daya inisiatif dan
kreativitasnya. Perbedaan kreativitas juga bisa disebabkan oleh tingkat
pendidikan orang tua karena orang tua dengan pendidikan tinggi akan
mudah menerima informasi, sehingga semakin banyak pula pengetahuan
yang dimiliki, orang tua yang tingkat pendidikannya lebih tinggi akan lebih
tahu stimulasi yang sesuai umur, yang akan diberikan kepada anak-
anaknya, sedangkan orang tua yang tingkat pendidikannya lebih rendah
belum tentu tahu stimulasi untuk anak-anaknya.
566
2. Tingkat kreativitas anak prasekolah setelah diberikan terapi musik modern
jazz.
Hasil penelitian menjelaskan bahwa pada kelompok kontrol,
responden yang mendengarkan musik modern jazz terdapat hanya 1
responden (7%) yang memiliki tingkat kreativitas yang tinggi dan 9
responden memiliki tingkat kreativitas yang rendah (60%).
Selama periode usia prasekolah, usahakan anak mendapatkan terapi
bernuansakan musikal. Karena warna musik mendorong anak melakukan
gerakan yang akan mempengaruhi perkembangan motoriknya secara
menyeluruh. Oleh karena musik jazz mempunyai irama yang sangat lembut
maka musik jazz juga dapat digunakan dalam melakukan terapi (Djohan,
2006). Perbedaan kreativitas pada tabel diatas mukin disebabkan oleh
karena kelembutan musik jazz tidak dapat digunakan secara maksimal
karena kurang merasuk dalam jiwa anak-anak sehingga daya kreativitas
yang dimiliki oleh anak-anak akan kurang tepacu oleh rangsangan dari luar
seperti mendengarkan musik yang tidak seirama dengan getaran pada otak.
Hasil riset menggambarkan bahwa sebagian besar responden berumur
5 tahun. Menurut Ummutia (2011), Pertumbuhan otak anak ini berlangsung
pada usia 5 tahun pertama atau biasa disebut periode emas pertumbuhan.
Usia juga bisa mempengaruhi tingkat kreativitas seorang anak karena pada
umur 5 tahun tingkat berfikir suatu anak lebih berkembang daripada usia 4
tahun. Biasanya anak yang berumur lima tahun jauh akan lebih dapat
meneima rangsangan dari luar sehingga anak akan jauh lebih krativ dalam
brfikir.
Hasil penelitian menjelaskan bahwa sebagian besar responden
berjenis kelamin laki-laki. Patmonodewo (2003), juga berpendapat, anak
laki-laki biasanya lebih besar dan anak perempuan lebih kecil dalam bidang
kreativitas, tapi anak perempuan lebih terampil dalam tugas yang bersifat
praktis.Hal ini mungkin disebabkan oleh anak laki-laki sering sekali
bermain diluar yang melibatkan fisik daripada anak perempuan sehingga
anak laki-laki lebih berimajinatif daripada anak perempuan, anak
perempuan biasanya lebih telaten ketimbang anak laki-laki dalam hal
567
keterampilan tangan, sedangkan anak laki-laki lebih cenderung dengan
permainan yang sifatnya bermain fisik atau motorik kasar.
Hasil riset menggambarkan bahwa hampir setengah pendidikan orang
tua responden adalah SLTP. Menurut Kuntjoroningrat yang dikutip oleh
Nursalam dan Pariani (2001: 133), bahwa semakin tinggi tingkat pendidikan
seseorang semakin mudah menerima informasi, sehingga semakin banyak
pula pengetahuan yang dimiliki. Pendidikan orang tua juga berpengaruh
terhadap kreativitas responden karena semakin tinggi tingkat pendidikan
rang tua akan semakin mudah memberikan stimulus yang diperlukan untuk
meningkatkan kreativitas anaknya.
3. Perbedaan kreativitas anak prasekolah setelah diberikan musik mozart dan
jazz.
Hasil penelitian diatas menggambarkan bahwa pada kelompok
perlakuan (mendengarkan musik mozart) memiliki kreativitas tinggi
sedangkan pada kelompok kontrol (mendengarkan musik jazz) responden
yang memiliki tingkat kreativitas tinggi. Dalam musik klasik itu sendiri
dasar-dasarnya sendiri menyerupai ritme denyut nadi manusia. Jenis ini
lebih dimungkinkan untuk bisa masuk dalam perkembangan otak,
pembentukan jiwa, karakter, bahkan raga. Berdasarkan penelitian, musik
klasik yang mengandung komposisi nada berfluktuasi antara nada tinggi dan
nada rendah akan merangsang kuadran C pada otak. Sampai usia 4 tahun,
kuandaran B dan C pada otak anak-anak akan berkembang hingga 80%
dengan musik (Sudrajat, 2011).
Jenis musik yang bermanfaat bagi anak TK bukan hanya musik klasik
(mozart), jenis musik yang ritmenya seperti detakan jantung ini memang
lebih memungkinkan untuk mengembangkan otak, jiwa, karakter serta
kreativitas pada anak. Namun untuk memperkenalkan musik, untuk
membentuk karakter, jiwa dan kreativitas pada anak bisa dilakukan dengan
jenis musik lain seperti pop, jazz, atau yang lebih easy listening, dan
usahakan yang alunannya cenderung tenang (Riki, 2011).
Menurut Safaria (2005), hal yang dapat menghambat kreativitas anak
antara lain ketakutan akan perubahan dan ketidakpastian, kemalasan,
568
kurang percaya diri, dan sifat ingin mendapat segala sesuatu dengan
mudah.Sehingga tingginya kreativitas anak pada kelompok yang
mendengarkan musik klasik (mozart) disebabkan oleh adanya fasilitas yang
mendukung atau mendengarkan musik yang sesuai dengan irama denyut
nadi manusia sehingga dapat mengakibatkan anak menjadi lebih
berimajinasi dan juga daya kreativitas anak terpacu.
Rendahnya daya kreativitas anak pada kelompok mendengarka n
musik modern (jazz) mungkin disebabkan oleh faktor penghambat
kreativitas seperti kemalasan dan rasa kurang percaya diri pada anak, sifat
ingin mendapat segala sesuatu dengan mudah dan juga mungkin bisa
disebabkan oleh irama musik yang tidak sesuai dengan irama jantung dan
nadi anak sehingga kurang bisa masuk dalam perkembangan otak,
pembentukan jiwa, karakter, bahkan raga sehingga daya kreativitas anak
kurang terpacuseperti halnya mendengarkan musik klasik mozart. Jadi
dapat disimpulkan bahwa musik klasik mozart dapat memacu suatu
keinginan anak, dengan merangsang daya kreativitas anak dibandingkan
mendengarkan musik modern (jazz).
Terapi musik yang baik diharapkan mampu menjadi sarana yang
dapat mendorong anak untuk mengembangkan daya fantasi, kreativitas
dalam bervikir, sehingga kreativitas anak akan berkembang dengan
sendirinya. Berdasarkan uji Mann Witney dengan menggunakan software
pengolahan data statistik SPSS diperoleh hasil tingkat kreativitas pada anak
prasekolah antara kelompok mendengarkan musik Mozart dan Jazz di Tk
negeri pembina Mojoanyar Mojokerto dengan nilai p=0,014 dan α=0,05,
jadi p<α maka H0 ditolak dan H1 diterima artinya ada perbedaan terapi musik
klasik (mozart) dan Jazz terhadap kreativitas anak prasekolah usia 4-5 tahun
di TK Negeri Pembina Mojokerto. Hal ini sesuai dengan penelitian dari Dr.
Alfred Tomatis bahwa mendengarkan musik klasik (mozart) selama 5-20
menit setiap hari dapat meningkatkan kemampuan motorik dan kreativitas
bervikir pada anak. Musik klasik mozart pada dasarnya sendiri menyerupai
ritme denyut nadi manusia. Sedangkan pada musik jazz iramanya yang tidak
sesuai dengan irama jantung dan nadi anak sehingga kurang bisa masuk
569
dalam perkembangan otak, pembentukan jiwa, karakter, bahkan raga
sehingga daya kreativitas anak kurang terpacu seperti halnya mendengarkan
musik klasik mozart.
F. Daftar Pustaka
Aizid, Rizem (2011). Sehat dan Cerdas Dengan Terapi Musik. Jakarta: Laksana
Al-Hajjaj, Yusuf Abu (2010). 30 Kiat Meledakkan Kreativitas Anda Kreatif Atau
Mati. Surakarta: Al-Jadid
570
Kurniati, Euis & Rahmawati, Yeni (2010). Strategi Pengembangan Kreativitas
Pada Anak. Jakarta: Prenada Media Group
Nirwana, Ade Benih (2011). Psikologi Ibu, Bayi dan Anak. Yogyakarta: Nuha
Medika
Notoatmojo, Soekidjo (2010). Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta: Rineka
Cipta
Nursalam (2008). Konsep dan Penerapan Metodologi Penelitian Ilmu
Keperawatan. Jakarta: Salemba Medika
Olivia, Femi & Ariani Lita (2012). Menstimulasi Otak Anak Dengan Stimulasi
Auditori. Jakarta: Kompas Gramedia
Rasyid, Fathur (2010). Cerdaskan Anakmu Dengan Musik. Jogjakarta: Diva Pres
571