You are on page 1of 575

See

discussions, stats, and author profiles for this publication at: https://www.researchgate.net/publication/313893142

PERBEDAAN KREATIVITAS SETELAH DIBERI


TERAPI MUSIK KLASIK (MOZART) DAN
MODERN JAZZ PADA ANAK PRASEKOLAH
USI....

Conference Paper · September 2016

CITATIONS READS

0 9,735

2 authors, including:

Yudha Laga Hadi Kusuma


Politeknik Kesehatan Majapahit, Mojokerto, Indonesia
3 PUBLICATIONS 0 CITATIONS

SEE PROFILE

Some of the authors of this publication are also working on these related projects:

kesehatan jiwa, psikologi remaja, minuman keras View project

mozart, terapi musik, anak pra sekolah View project

All content following this page was uploaded by Yudha Laga Hadi Kusuma on 23 February 2017.

The user has requested enhancement of the downloaded file.


i
DAFTAR ISI

Pengaruh Self Management pada Pasien Hemodialisis 1

Pengalaman Perawat Icu dalam Perawatan End Of Life: Review Literatur 8

Model-Model Jenjang Karir Perawat di Dunia 26

Gambaran Resiliensi Korban Bencana Tanah Longsor Di Desa Margamukti 39


Kabupaten Bandung Jawa Barat

Kesejahteraan Subyektif, Penguasaan Peran, dan Kesejahteraan Hubungan 62


pada Pasien Stroke dengan tingkat ketergantungan rendah di Bandung,
Indonesia
Faktor Penyebab Ketidakpatuhan pada Orang Denga HIV/AIDS dalam 75
Menjalani Terapi Antiretroviral di Klinik Teratai RSUP Dr.Hasan Sadikin
Bandung

Risiko Penyakit Kardiovaskular Berdasarkan Skor Kardiovaskular Jakarta 123


Pada Masyarakat Desa Limus Gede Kecamatan Cimerak Kabupaten
Pangandaran
Pengaruh SMS Reminders terhadap Peningkatan Pengetahuan Ibu Hamil 144
Tentang Tablet Fe
Kebutuhan Orang Tua Saat Anak 160
di Rawat di Ruang Intensif : Kajian Literatur
Hubungan Efikasi Diri terhadap Kepatuhan menjalankan Pola Hidup Sehat 170
pada Pasien Pasca Intervensi Koroner Perkutan di RSUP Dr. Hasan Sadikin
Bandung
Terapi Musik Terhadap Penurunan Tingkat Kecemasan Pasien 185
Hemodialisis: Literature Review

Pengaruh Relaksasi Otot Progresif Terhadap Tingkat Kecemasan Pasien 207


Gagal Jantung Kongestif Kelas Fungsional I Dan Ii Di Ruang Rawat Inap
Penyakit Dalam RSU dr. SLAMET GARUT
Pengaruh Relaksasi Benson terhadap Fatigue pada Pasien Hemodialisis di 225
RS. Dustira cimahi

Exercise Dalam Penatalaksanaan Fatigue 263


Pada Anak Dengan Kanker : Literatur Review
Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kualitas Hidup Pasien DM tipe 2 291

Self Efficacy Lansia dalam Pemanfaatan Skrining Katarak di Puskesmas 306


Kademangan Kabupaten Cianjur
Pengaruh Sukrosa Terhadap Intensitas Nyeri Pada Bayi yang Mendapat 323
Imunisasi

ii
Literature Review: Efektivitas Developmental Care terhadap Fungsi 332
Fisiologis Bayi Berat Lahir Rendah di Neonatal Intensive Care Unit

Dukungan Teman Sebaya terhadap Manajemen Diabetes Melitus Tipe 1 354


Pada Remaja: Literature Review
Pengaruh Edukasi Perineal Hygiene Terhadap Pengetahuan dan Sikap Guru 370
Sekolah Dasar
Efikasi Diri (Self Efficacy) pada Orangtua dalam Menjalani Pengobatan 380
Kanker Anak di Kota Bandung
Strategi Koping Anak dalam Mengalami atau MenyaksikanKekerasan dalam 404
Rumah Tangga (KDRT)
Literature Review: Penggunaan Madu untuk Oral Care pada Pasien Anak 416
yang Mengalami Mukositis Setelah Pemberian Kemoterapi
Literatur Review : Aplikasi Family-Centered Care di Pediatric Intensive 436
Care Unit
Studi Literatur : Efektivitas Perawatan Luka Menggunakan Serbuk Kopi 454
Robusta
Gambaran Kualitas dan Kuantitas Tidur Perawat IGD dengan Rotasi Shift 473
Di RSUD Sumedang
TERAPI BEKAM (CUPPING THEURAPY) PADA PASIEN 491
HIPERTENSI : LITERATUR REVIEW
Depresi Pada Pasien dengan Penyakit Jantung Koroner 505

Efektivitas Pemberdayaan Kader Dalam Pencegahan Demam Berdarah 514


Terhadap Peningkatan Angka Bebas Jentik Di Desa Cikidang Kecamatan
Bantarujeg
Tinjauan Sistematis: Bagaimanakah Asuhan Paliatif Yang Dirasakan Oleh 525
Orang Tua Di Neonatal Intensive Care Unit?
Karekteristik dan Pengetahuan Perineal Hygiene 543
Siswi SD Umul Mukminin Bandung
Perbedaan Kreativitas Setelah Diberi Terapi Musik Klasik (Mozart) Dan 556
Modern Jazz Pada Anak Prasekolah
(Studi Pada Anak Usia 4-5 Tahun Di Tk Negeri Pembina Mojoanyar
Mojokerto)

iii
Pengaruh Self Management pada Pasien Hemodialisis

Ady Waluya1, Kusman Ibrahim2, Urip Rahayu2


1
Mahasiswa Magister Fakultas Keperawatan, Universitas Padjadjaran
2
Fakultas Keperawatan, Universitas Padjadjaran
Email : addi_waluya@rocketmail.com

Abstrak

Hemodialisis (HD) merupakan salah satu terapi efektif untuk


mempertahankan hidup pasien yang mengalami gagal ginjal
kronis. Meski demikian, hemodialisis tidak akan efektif tanpa
peran aktif pasien dalam pengelolaan kehidupan sehari-
hari.Pemahaman tentang kepentingan self management dapat
dilakukan dengan mengidentifikasi pengaruh self management.
Sehingga menjadi penting untuk menelaah lebih lanjut
pengaruh self management pada pasien HD. Artikel-artikel itu
didapatkan melalui pencarian dengan menggunakan electronic
database pada CINAHL dari EBSCO host dan Proquest dengan
menggunakan kata kunci chronic kidney disease, end stage
renal disease, hemodialisis, dan self management. melibatkan
artikel-artikel yang diterbitkan dalam kurun waktu antara tahun
1999-2014. menggunakan pasien hemodialisis sebagai
responden, ditulis dalam bahasa Indonesia dan Bahasa
inggris.Didapatkan 13 artikel yang sesuai dengan kriteria.
Secara umum komponen self management pasien HD
mencakup komunikasi, kemitraan dalam perawatan, aktivitas
perawatan diri, kepatuhan, dan perawatan diri self-efficacy.
Didapatkan bahwa self management dapat meningkatkan
perilaku sehat, memelihara atau meningkatkan status kesehatan,
menurunkan angka kunjungan ke gawat darurat dan rawat inap,
sehingga berpotensi menghemat biaya perawatan kesehatan.
1
Self management berpengaruh positif terhadap perilaku, kondisi
klinis pasien HD, dan biaya perawatan. Karenanya menjadi
penting bagi petugas kesehatan untuk mengembangkan
program guna meningkatkan self management pasien HD.

Kata Kunci: Chronic Kidney Disease, end stage renal disease,


hemodialisys, dan self management.

Pendahuluan
Gagal ginjal kronis adalah kerusakan fungsi ginjal yang
progresif dan tidak dapat pulih kembali, dimana kemampuan
ginjal untuk mempertahankan metabolisme serta keseimbangan
cairan dan elektrolit sehingga menyebabkan uremia berupa
retensi ureum dan sampah nitrogen lain dalam darah (Smeltzer,
& Bare, 2010). Karena bersifat progresif dan irreversibel maka
gagal ginjal kronis dibutuhkan pengelolaan yang kontinyu.
Pengelolaan gagal ginjal kronis ini meliputi pengelolaan diet
dan cairan, pengelolaan hiperkalemia, hiperfosfatemia, anemia,
gagal jantung kongestif, edema pulmoner, asidosis metabolik,
anemia, dialysis (hemodialisis dan peritoneal dialisis) dan
transplantasi ginjal.
Sebagian besar pasien yang mengalami gagal ginjal
tahap akhir di Indonesia tidak dilakukan transplantasi ginjal
tetapi dengan dialysis yang umumnya hemodialisis.
hemodialisis merupakan salah satu terafi yang paling penting
yang efektif yang dapat membantu untuk mempertahankan
hidup pasien yang mengalami end stage renal disease (Baraz,
Parvahdeh, Mohammadi, & Broumand, 2010). Hemodialisis
2
tidak akan efektif tanpa dibarengi pengelolaan kehidupan
sehari-hari.
Pengelolaan diri (self-management) merupakan
komponen penting dalam pengelolaan pasien dengan penyakit
kronis termasuk pada pasien hemodialisis. Pengelolaan diri
(Self-management) dapat didefinisikan sebagai kemampuan
individu untuk mengelola gejala, pengobatan, konsekuensi fisik
dan psikososial dan perubahan gaya hidup yang melekat dalam
hidup dengan gangguan jangka panjang (Departement of
Health, 2005 dalam Martin, Caramlau, Sutcliffe, Bayley,
Choudhry, 2010). Sedangkan menurut Curtin dan Mapes
(2001) mendefinisikan pengelolaan diri (self-management)
sebagai upaya positif pasien untuk mengawasi dan
berpartisipasi dalam perawatan kesehatan mereka untuk
mengoptimalkan kesehatan, mencegah komplikasi, mengontrol
gejala, dan meminimalkan gangguan penyakit ke dalam gaya
hidup yang mereka sukai.
Secara sederhana tujuan pengelolaan penyakit kronis
adalah untuk secara bersamaan mencapai tingkat tertinggi
fungsi dan tingkat terendah gejala dari penyakit (Clark, 2003).
Tujuan tersebut pada kasus ESRD tidak dapat tercapai tanpa
pasien aktif dan pengelolaan diri (self-management)
komprehensif dari semua aspek kehidupan dengan ESRD
(Curtin, Johnson, & Schatell, 2004, Curtin, Mapes, Petillo &
Oberley, 2002 dalam Curtin, Mapes, Schatell & Hudson,.
2005).
Secara umum , tujuan pelatihan manajemen diri untuk
membantu pasien memperoleh dan melatih keterampilan yang
3
mereka butuhkan untuk memandu perubahan kesehatan
perilaku dan untuk memberikan dukungan emosional untuk
memungkinkan pasien untuk menyesuaikan peran mereka
untuk fungsi dan pengendalian penyakit mereka sehingga
mendapatkan kualitas hidup yang lebih baik (Zwerink M,
Brusse-Keizer M, van der Valk PDLPM, Zielhuis GA,
Monninkhof EM, van der Palen J, Frith PA, Effing T, 2014).
Program pengelolaan diri (self-management) dapat
disampaikan oleh para profesional kesehatan, profesional
lainnya, atau kolaborasi dari berbagai jenis pendidik. Intervensi
pengelolaan diri (self-management) dapat fokus pada obat-
obatan, kepatuhan, nutrisi, olahraga, elemen tertentu perilaku
terapi atau mungkin pada beberapa sasaran intervensi. Inti dari
keterampilan pengelolaan diri (self-management) ini meliputi
pemecahan masalah, membuat keputusan, menemukan dan
menggunakan sumber daya, membentuk kemitraan dengan
profesional kesehatan, dan mengambil tindakan (Lorig &
Holman, 2003). Intervensi pengelolaan diri (self-management)
semakin banyak digunakan oleh orang-orang dengan kondisi
kronis untuk meningkatkan pengelolaan gejala (Warsi, Wang,
Lavalley, Avorn, Solomon, 2004).
Program pengelolaan diri (self-management) telah
menunjukkan hasil bahwa intervensi berhasil meningkatkan
perilaku sehat, memelihara atau meningkatkan status kesehatan,
dan tingkat penurunan rawat inap sehingga mempunyai potensi
penghematan besar dalam biaya perawatan kesehatan (Lorig,
Sobel, Stewart, Brown, Bandura, Ritter, Gonzalez, et al., 1999).

4
Hasil penelitian lain juga menunjukkan bahwa
penggunaan program pengelolaan diri (self-management
program) pada penyakit kronis memperbaiki hasil kesehatan
pasien dan memiliki kunjungan ke gawat darurat lebih sedikit
dan mengurangi biaya perawatan kesehatan (Lorig, Sobel,
Ritter, Laurent, & Hobbs, 2001). Intervensi pengelolaan diri
(self-management) ini dapat dirancang khusus untuk
meningkatkan kualitas hidup dan untuk mempromosikan aspek
manajemen diri dari perawatan kesehatan, seperti obat-obatan
dan kepatuhan (Martin, Caramlau, Sutcliffe, Bayley, Choudhry,
2010). Intervensi pengelolaan diri (self-management) telah
terbukti efektif dalam meningkatkan kepatuhan pada populasi
kronis lainnya (Griva, Mooppil, Seet, Krishnan, James, &
Newman, 2011).

Daftar Pustaka

Baraz, S. H., Parvahdeh, S., Mohammadi, E., & Broumand, B.


(2010) Dietary and fluid compliance: an educational
intervention for patients having haemodialysis. Journal
of Advanced Nursing, 66(1), 60–68. doi:
10.1111/j.1365-2648.2009.05142.x.
Clark, N. M. (2003). Management Of Chronic Disease By
Patiens. University of Michigan School of Public
Health, Ann Arbor, Michigan. Annual Review of Public
Health. 24:289-313. DOI:
10.1146/annurev.publhealth.24.100901.141021.
Curtin, R. B., & Mapes, D. (2001). Health Care
Management Strategies of Long-Term Dialysis

5
Survivors. Nephrology Nursing Journal, 28(4): 385-92,
Discussion 93-4.
Curtin, R. B, Mapes, D., Schatel, D., & Hudson, S. B. (2005).
Self- Management in Patients with End Stage Renal
Disease: Exploring Domains and Dimensions.
Nephrology Nursing Journal. 32(4):389.
Griva, K., Mooppil, N., Seet, P., Krishnan, D, S, P., James, H.,
& Newman, S, P. (2011). The NKF-NUS Hemodialysis
Trial Protocol – a Randomized Controlled Trial to
Determine The Effectiveness of a Self Management
Intervention for Hemodialysis Patients. Department of
Psychology, National University of Singapore, 12:34
Smeltzer, S. C., & Bare, B. G. (2010). Keperawatan Medikal
Bedah. Jakarta:EGC
Lorig, K. R., Sobel, D. S., Stewart, A. L., Brown, B.
W., Bandura, A., Ritter, P., Gonzalez, V., et al. (1999).
Evidence suggesting that a Chronic Disease Self-
Management Program Can Improve Health Status
While Reducing Hospitalization. A Randomized Trial.
Medical Care, 37(1):5-14.
Lorig, K. R., Sobel, D. S., Ritter, P. L., Laurent, D., &
Hobbs, M. (2001). Effect of a Self Management
Program on Patients with Chronic Disease. American
College of Physicians–American Society of Interna
Medicine, 4:256-262.
Lorig, K. R., & Holman, H. (2003). Self-Management
Education: History Definition, Outcomes, and
Mechanisms. Ann Behav Med 20, 26(1):1-7.
Martin F, Caramlau IO, Sutcliffe P, Martin S, Bayley J,
Choudhry K. (2010). Self-Management Interventions
for People Living with HIV/AIDS (Protocol). The
Cochrane Library. 12:1-8.
6
Warsi, A., Wang, P. S., LaValley, M. P., Avorn, J., & Solomon,
D. H., (2004). Self-Management Education Programs in
Chronic Disease. Archives Internal Medicine.
164(9):1641–9.
Zwerink M, Brusse-Keizer M, van der Valk PDLPM, Zielhuis
GA, Monninkhof EM, van der Palen J, Frith PA, Effing
T.(2014) Self Management for patiens wits chronic
obstructive pulmonary disease.

7
Pengalaman Perawat Icu dalam Perawatan End Of Life:
Review Literatur
1
Alfia Safitri , Yanny Trisyani2, Anastasia Anna2
1
Mahasiswa Magister Fakultas Keperawatan, Universitas Padjadjaran
2
Fakultas Keperawatan, Universitas padjadjaran
Email: Anastasia.anna@unpad.ac.id

Abstrak
Kebutuhan perawatan end of life semakin meningkat seiring
dengan perkembangan dan kemajuan teknologi yang
diharapkan dapat meningkatkan kualitas perawatan untuk
memperpanjang kehidupan. Keperawatan kritis merupakan
salah satu area kerawatan yang berperan dalam perawatan end
of life. Studi literature ini dilakukan untuk mendapatkan
gambaran tentang keperawatan end of life di Intensive Care
Unit (ICU). Penelusuran hasil penelitian Ebscohost, Proquest,
Google Scholar dengan kata kunci: ―experience”, “nurses”,
“critical care” “end of life care” dari tahun 2008-2015,
diperoleh sejumlah 20 penelitian. Sekitar 10 penelitian yang
memenuhi kriteria telah dipilih untuk studi literature ini.
Thematik analisis telah dilakukan untuk mendapatkan
gambaran tentang pengalaman perawat dalam perawatan end of
life di ICU. Hasil studi literature diperoleh 4 thema terkait
gambaran sebagai berikut: Pertama peran perawat dalam
perawatan end of life meliputi mengatasi penderitaan,
melakukan advokasi, memberikan dukungan, mempersiapkan
perawatan yang dibutuhkan, menciptakan kenangan positif, dan
mendorong keberadaan keluarga. Selanjutnya adanya
keterkaitan antara perawatan end of life dengan kondisi distress.
Hambatan dalam perawatan end of life baik dari segi
lingkungan ICU serta hubungan interprofesional perawat
8
dengan dokter. Yang ke empat, thema terkait kebutuhan
pengembangan profesional untuk perawatan end of life.
Kesimpulan, perawatan end of life di setting ICU perlu
mendapatkan perhatian terutama dalam hal pengembangan
pendidikan yang masih perlu ditingkatkan secara berkelanjutan.

Kata kunci: Experience, Nurses

Pendahuluan
Kebutuhan perawatan end of life semakin meningkat
seiring dengan perkembangan dan kemajuan teknologi yang
diharapkan dapat meningkatkan kualitas perawatan untuk
memperpanjang kehidupan. Vanderspank-Wright, et. al.,
(2011) menyatakan bahwa angka kematian di ICU semakin
meningkat. Kematian tersebut dapat disebabkan oleh penyakit
atau cedera, adanya keputusan untuk menghentikan pengobatan
atau bantuan hidup berhubungan dengan kelelahan terhadap
penggunaan teknologi dan ketidakadekuatan respon pasien
terhadap pengobatan. Keputusan menghentikan pengobatan
menyebabkan bergesernya kebutuhan perawatan dari kuratif
menjadi palliatif di ICU. Perawatan palliatif bertujuan untuk
meningkatkan kualitas hidup pasien dengan memberikan
perawatan terbaik pada fase end of life (WHO, 2004).

Perkembangan berbagai intervensi medis dan teknologi


membutuhkan peran penting keperawatan kritis dalam
monitoring dan observasi pasien (Urden, et. al., 2012). Kosier,
et., al., (2010) juga menyatakan bahwa lingkup praktek
keperawatan kepada individu, keluarga dan komunitas terdiri
9
dari empat area yaitu promosi kesehatan dan kesejahteraan,
pencegahan penyakit, pemulihan kesehatan, dan perawatan
pasien end of life. Fridh, et. al. (2009) merekomendasikan
bahwa perawat dituntut memberikan perawatan terbaik untuk
mendukung martabat dan memberikan kenyamanan pasien
pada fase end of life. Namun perawat tidak jarang menghadapi
konflik emosional, hambatan baik berupa karakteristik ICU dan
hubungan interprofesional.

Penelitian tentang pengalaman perawat dalam


perawatan end of life menggambarkan bahwa hampir seluruh
perawat mengalami distress akibat menghadapi kematian
pasien. Kondisi tersebut menghambat kemampuan perawat
dalam memberikan perawatan terbaik (Hudak & Gallo, 2010).
Menurut Gelinas, et.al. (2012) perawat yang merawat pasien
end of life di ICU menghadapi stressor dalam kategori
organisasional, profesional dan emosional. Stressor
organisasional meliputi rendahnya pendekatan perawatan
paliatif yang digunakan, kesulitan hubungan interprofesional,
minimalnya perencanaan tentang dukungan bantuan hidup dan
intervensi serta adanya konflik tuntutan. Stressor profesional
meliputi rendahnya kompetensi dan kesulitan komunikasi
dengan pasien, keluarga dan tim medis lainnya. Stresor
emosional berupa konflik nilai dan rendahnya dukungan
emosional.

Ledger, et., al. (2012) juga mengemukakan bahwa


praktisi kesehatan profesional yang bekerja di ICU seringkali
menghadapi situasi sulit dalam pengambilan keputusan
10
pengakhiran kehidupan. Dari hasil wawancara yang mendalam
tentang pengalaman dalam pengambilan keputusan tentang End
of Life diperoleh hasil bahwa diantara dokter, perawat dan
keluarga pasien yang menjadi pertisipan yang paling banyak
mengalami distress moral adalah perawat. Santiago (2011) juga
menjelaskan perawat mengalami dilema etik ketika ia
mendapat kendala yang mencegahnya melakukan tindakan
yang bertentangan dengan keyakinan moralnya. Perawat
mengetahui dengan sangat jelas tindakan yang dapat diberikan
pada pasien tetapi mereka tidak bisa melakukannya karena
berbagai pertimbangan. Kegagalan dalam melidungi pasien dari
bahaya, kegagalan pengobatan, kegagalan menghormati hak-
hak pasien, perpanjangan proses sekarat menimbulkan perasaan
empati lalu memicu distress moral dan perasaan tertekan.
Penjelasan diatas menunjukan bahwa pentingnya
mengetahui pengalaman perawat dalam melakukan perawatan
end of life. Pengalaman tersebut merupakan salah satu acuan
dalam meningkatkan kemampuan dan kualitas perawatan yang
diberikan. Beberapa penelitian telah menggambarkan
pengalaman perawatan pada fase end of life tetapi penelitian
yang membahas tentang pengalaman tersebut pada setting ICU
masih terbatas. Sehingga tujuan dari review literatur ini adalah
menemukan dan melakukan telah penelitian-penelitian tentang
pengalaman perawat ICU dalam perawatan end of life.

11
Metode

Proses pencarian secara sistematis sumber penelitian


yang berhubungan dengan kriteria dari januari hingga februari
2016 dengan menggunakan kata kunci experience”, “nurses”,
“critical care” “end of life care”. Dari sekitar 20 penelitian
diambil 10 penelitian sesuai dengan kriteria. Kriteria penelitian
tersebut adalah penelitian tahun 2008-2016 yang berfokus
tentang pengalaman perawat ICU dalam merawat pasien dan
keluarga dalam fase end of life, dipublikasikan dalam bahasa
inggris. Metode penelitian deskriptif kualitatif dan pengambilan
data dilakukan dengan teknik wawancara mendalam dan
observasi. Responden penelitian adalah perawat ICU dengan
pengalaman merawat pasien kritis dan keluarga pada fase end
of life minimal enam bulan. Analisa data kualitatif dilakukan
dengan tematik analisis.

Hasil Dan Pembahasan


Hasil diperoleh bahwa terdapat empat tema tentang
pengalaman perawat dalam perawatan end of life yaitu yaitu
peran perawat dalam perawatan end of life meliputi pemberian
kenyamanan dengan mengatasi penderitaan, melakukan
advokasi, mendukung keluarga, mempersiapkan perawatan
yang dibutuhkan pasien dan keluarga, menciptakan kenangan
positif, dan mendorong keberadaan keluarga disamping pasien;
dampak perawatan end of life yang menimbulkan distress; dan
hambatan perawatan end of life baik dari segi lingkungan ICU
12
serta hubungan interprofesional perawat dengan dokter; dan
kebutuhan pengembangan profesional berkelanjutan bagi
perawat seperti pendidikan dan pelatihan tentang perawatan
end of life.

Peran perawat dalam perawatan end of life


Peran perawat dalam perawatan end of life adalah
memberikan dukugan perawatan fisik dengan mangatasi gejala
penyakit atau penderitaan pasien meliputi memandikan pasien,
merawat area tekan, memberikan analgesik dan sedasi (Arbour
& Wiegand, 2014). Ketika tindakan penghentian dukungan
hidup ditetapkan, perawat menyatakan penting untuk mencegah
pasien mengalami kesulitan bernapas dan menciptakan suasana
yang nyaman (Fried, et.,al, 2009). Mengatasi gelaja penderitaan
merupakan peran penting dalam proses menjelang ajal. Perawat
merasa puas dengan kemampuan membantu pasien dalam
menghadapi kematian yang menyenangkan. ‗‗Once the
patient’s decision was made . . .the ventilator was discontinued
and the morphine drip wasstarted, he was finally able to get
what he and his familywished. In the end, I was happy to be
able to see that.’’ (Arbour & Wiegand, 2014).
Peran perawat dalam hal advokasi pasien dan keluarga
dilakukan dengan mendengarkan, memahami keinginan,
membantu dalam pembuatan keputusan yang dibutuhkan dan
mendukung pilihan keluarga terhadap perawatan pasien
(Arbour & Wiegand, 2014). Perawat merasa penting
menyediakan perhatian bagi pasien dan keluarga. Menjadi
advokat bagi pasien berkaitan dengan masalah etik seperti
13
perawat diharuskan mengikuti perintah dokter melanjutkan
resusitasi dibandingkan mengikuti pemikirannya tentang
kemampuan pasien bertahan hidup meskipun perawat
menyatakan bahwa penting baginya berusaha memberikan
perawatan menurut pandangan sendiri, pengalaman, ingatan
dan motivasi dalam diri (Valiee, et.al, 2012). Aspek yang
sangat penting bagi perawat adalah kewajiban melindungi
keselamatan pasien dan aspek legal untuk memastikan bahwa
keputusan perawatan yang diterima pasien tersebut tepat
(McMillen, 2008).
Perawat juga menyatakan bahwa perlu memberikan
dukungan emosional berupa menjalin hubungan yang baik
dengan keluarga, mendengarkan dan memberikan informasi
tentang kondisi pasien. Hal tersebut seperti yang dinyatakan
oleh salah satu responden yaitu ―The patient has to appear very
well cared for physically and has to be comfortable and pain-
free…” (Efstathiou & Walker, 2014). Dukungan emosional
yang diberikan perawat merupakan dukungan kenyamanan dan
bantuan bagi keluarga sehingga dalam hal ini perawat dan
keluarga saling memberi dan menerima dukungan emosi (Lee,
et., al., 2008). Perawat juga perlu memperhatikan keluarga
dengan memberikan informasi tentang lingkungan ICU, dan
alat yang terdapat di ICU serta mendukung keberadaan
keluarga disamping pasien (Fried, et.al., 2009).
Hal lainnya yang mejadi peran perawat adalah
menyiapkan perawatan end of life dalam tiga tahap. Persiapan
tahap pertama adalah perawat mengenali kematian yang tidak
bisa dihindarkan sebelum dokter dan keluarga, mendorong
14
dokter untuk mengkomunikasikan dan mendiskusikan beberapa
pilihan secara langsung dengan keluarga tentang tindakan
penghentian dukungan hidup dan penyampaian berita buruk.
Persiapan tahap kedua dilakukan dengan merencakan
pertemuan dengan keluarga atau family meeting untuk
membantu keluarga membuat keputusan sendiri dan siap
menghadapi tindakan penghentian dukungan hidup pasien. Hal
ketiga dilakukan ketika keluarga telah menentukan keputusan
untuk penghentian dukungan hidup dimana pasien dan keluarga
butuh waktu untuk bersama (Epstein, 2008). Jika
memungkinkan perawat mendorong dokter untuk mengatakan
kondisi yang sesungguhnya kepada keluarga. Perawat merasa
tidak nyaman dan takut dan mengatakan kondisi kematian
kepada keluarga di ICU. Dukungan dari perawat yang telah
berpengalaman sangat penting dalam kondisi seperti ini
(Calvin, et., al., 2009).
Selain persiapan diatas, keluarga membutuhkan waktu
yang cukup untuk menciptaan kenangan dengan pasien,
perawat dan dokter. Kebiasan yang dilakukan adalah
memandikan, mengambil gambar, keluarga memeluk pasien
hingga pasien meninggal (Epstein, 2008). Memberikan
kenangan merupakan hal yang dipertimbangkan perawat selain
berfokus pada penyakit kritis yang dialami pasien. Kesan
positif tersebut memberikan kesan bahwa kematian bukan hal
yang sangat menakutkan bagi keluarga (Vanderspank-
Wright,et., al., 2011).
Hal lainnya yang ditekankan adalah pasien
membutuhkan dukungan keberadaan keluarga dan perawat
15
apabila keluarga tidak ada (Calvin, et., al., 2009). Sebagian
besar perawat menyatakan pernah merawat pasien tanpa
keluarga dan penting baginya memberikan kehangatan dan
mendampingi pasien (Fridh, et. al., 2009). Rosser & Wals
(2014) mendukung pernyataan tersebut bahwa perawat perlu
berada didekat pasien untuk memberikan dukungan. Selain
kebutuhan pasien, keluarga juga ingin mendampingi pasien.
Kehadiran keluarga pada fase end of life juga merupakan hal
penting. Ketika keluarga pasien berada di ICU, perawat
memberikan privasi antara pasien dan keluarga disamping
perawat selalu meluangkan waktu saat dibutuhkan. Perawat
juga menyediakan lingkungan ICU yang tidak mengganggu
kebersamaan pasien dan keluarga, membatasi tindakan teknis
dan mengikutsertakan keluarga dalam perawatan pasien
(Efstathiou & Walker, 2014). Beberapa perawat menyatakan
bahwa mambatasi waktu kunjungan keluarga di ICU tidak
membantu memperbaiki kondisi pasien. membiarkan kehadiran
keluarga memberikan mereka kesempatan untuk meluangkan
banyak waktu bersama, menyatakan perpisahan yang baik, dan
membantu keluarga memahami apa yang terjadi pada pasien
(Arbour & Wiegand, 2014).
Terkait dengan peran perawat tersebut dinyatakan oleh
Rosser & Walsh (2014) bahwa perawatan end of life dilakukan
dengan mendukung martabat dan menghormati kehidupan akhir
pasien, menurunkan nyeri dan penderitaan. Setiap pasien
berhak memperoleh perawatan holistik dari segi fisik,
psikologis, sosial dan spiritual. Pelayanan yang diberikan harus
dikoordinasikan dengan baik. Campbell (2013) juga
16
menyatakan bahwa perawat pada akhir kehidupan penting
memiliki kemampuan melakukan pengkajian, berfikir kritis,
melakukan tata laksana manajemen gejala dan peningkatan
pengetahuan serta sikap dalam perawatan end of life. Perawat
profesional menjadi faktor penting dalam menggerakkan tim
pelayanan kesehatan mengenali situasi perawatan di akhir
kehidupan dan perawatan yang nyaman serta bantuan
psikologia yang dibutuhkan.
Dampak perawatan end of life.
Perawat menyatakan bahwa merawat pasien fase end of
life menimbulkan dampak negatif dan memunculkan perasaan
tidak berdaya. Selain merasa simpati dan kasihan kepada
pasien, perawat juga mengalami kecemasan dan depresi. Pada
beberapa kondisi ketidaknyaman emosional tersebut diartikan
sebagai konsekuensi dari kegagalannya dalam merawat pasien.
Hal tersebut juga dapat menjadi faktor penyebab terjadinya
burnout apabila tidak segera diatasi (Valiee, et.al, 2012).
Beberapa perawat menyatakan tidak berdaya, marah, frustasi
dan sedih. Hal tersebut disebabkan oleh rendahnya
pengalaman, buruknya komunikasi, kurangnya pelatihan
tentang perawatan end of life, rendahnya dukungan dari staf
lainnya terutama keterlibatan perawat dalam pengambilan
keputusan (Holms, et., al., 2014).
Perawat juga menyatakan kesulitan dan gangguan
emosional dalam menghadapi pasien yang telah dihentikan
bantuan dukungan hidup terutama apabila pasien dan keluarga
telah dikenal dan dirawat dalam waktu lama (McMillen, 2008).
Kesedihan perawat tidak hanya melihat kematian pasien tetapi
17
kesulitan menghadapi kecemasan, dan distress keluarga yang
ditinggalkan (Lee, et.,al., 2008). Hal tersebut disebabkan oleh
kesulitan komunikasi dengan keluarga terutama keluaga yang
tidak memahami kondisi pasien pada fase terminal dan
menyebabkan mereka menyangkal kondisi pasien (Valiee, et.
al, 2012). Perawat terkadang mengalami stress dikarenakan
permintaan keluarga agar pasien tidak merasakan penderitaan
seperti meminta perawat untuk menambahkan dosis analgetik
meskipun hasil pengkajian menunjukan bahwa dosis analgetik
telah sesuai (Fried, et.,al, 2009).
Perawat juga dihadapkan dengan kebingungan tentang
hal yang perlu dilakukan dikarenakan tidak adanya panduan
yang jelas di ICU tentang prosedur yang dilakukan selama
penghentian dukungan hidup pasien dihentikan, rendahnya
komunikasi antara perawat dan dokter tentang pengambilan
keputusan penghentian dukungan hidup. Ketika keputusan
penghentian tindakan dilakukan perawat berusaha tetap
menunjukan keberadaan didekat pasien dan kelarga namun
mengalami kebingungan harus berfokus pada keluarga yang
sedang berduka atau pasien (Efstathiou & Walker, 2014).
Gangguan emosional yang dialami oleh perawat dipengaruhi
oleh kondisi pasien meliputi usia, kesadaran, kemampuan
komunikasi, kemungkinan pasien menjadi pendonor, dan
lamanya perawatan yang dibutuhkan pasien. Semakin muda
usia pasien maka perasaan distress perawat semakin besar
dibandingkan pasien berusia tua. Pasien yang sadar dan dapat
berkomunikasi semakin menimbulkan kesulitan perawat. Hal
sebaliknya pada pasien yang berpotensi menjadi pendonor
18
membuat perawat lebih merasa bersemangat dalam melakukan
perawatan (Valiee, et.al, 2012).

Hambatan perawatan end of life


Perawat mempercayai bahwa hubungan yang baik
dengan dokter dapat membantu perawatan end of life karena
mereka dapat memfasiltasi keluarga agar terlibat dalam
perawatan pasien dan menciptakan situasi yang familiar dan
meningkatkan kepercayaan keluarga. Mengkaji kebutuhan
pasien sebagai pendekatan perawatan end of life menjadi lebih
mudah jika hubungan baik telah terbina (Epstein, 2008).
Komunikasi berguna untuk sharing pengetahuan dan informasi
dalam pengambilan keputusan, penerimaan pilihan dan emosi.
Komunikasi serta mencegah kesalahpahaman (Lee, et., al.,
2008). Seluruh perawat menyatakan bahwa komunikasi yang
baik sangat penting dalam tim tetapi komunikasi yang tebangun
tidak efektif antara sesama perawat, dokter, pasien dan
keluarga. Kerusakan dalam komunikasi menyebabkan pesan
yang tidak jelas dan ketidakpastian praktek end of life terutama
berkaitan dengan keputusan untuk penghentian dukungan hidup
pasien (Holms, 2014). Perawat berusaha meredam konflik
akibat kurangnya komunikasi tersebut dan menjadi penghubung
antara dokter dan pasien serta keluarga. Hal lainnya yang
menjadi hambatan adalah ketidaksesuaian penggunaan
teknologi dan pilihan pengobatan yang didiskusikan dan
ditawarkan kepada pasien (Vanderspank-Wright, 2011)
Perawat menyatakan bahwa lingkungan fisik ICU
memberikan dampak pada kemampuan dalam memberikan
19
perawatan pada pasien dan keluarga. Tidak terdapatnya
ruangan khusus membuat perawat berusaha keras untuk
menciptakan privasi bagi pasien dan keluarga, keluarga juga
sering menunggu di koridor atau ruang tunggu yang ramai
(Fridh, et, al, 2009). Lingkungan mempengaruhi perawatan end
of life dimana lingkungan yang ramai dan bising tidak cocok
untuk pasien menjelang ajal dan keluarga. Dari aspek yang
berbeda beberapa perawat menyatakan terdapat manfaat
kematian di ICU seperti rasio jumlah perawat dan pasien yang
tinggi yang memungkinkan perawat meluangkan banyak waktu
bagi pasien dan keluarga yang meninggal (Holms, 2014)
Perawat juga menghadapi hambatan dalam
mempersiapkan keluarga terhadap kematian pasien berkaitan
dengan perbedaan persepsi dengan dokter. Terkadang dokter
mempersepsikan bahwa tindakan dukungan hidup pasien tetapi
dilanjutkan meskipun bagi perawat hal tersebut tidak dapat
mendukung kesembuhan. Perawat tidak memahami kebijakan
dokter terkait penentuan keputusan dalam perawatan end of life
dan mempersepsikan bahwa dokter merupakan pengagas yang
tepat dalam memuai diskusi sekaligus penentu keputusan
(Calvin, et., al., 2009). Perawat menyatakan lebih memilih
memperhatikan kepentingan dan pendapat keluarga maupun
dokter dengan bijak daripada mementingkan keinginan sendiri.
Perawat menerima keputusan dokter untuk melanjutkan
pengobatan kuratif (Lee, et., al., 2008).
Hal lainnya terkait teknologi dimana perawat kurang
memahami tentang penggunaan teknologi untuk mencapai
tujuan yang ingin dicapai dalam perawatan pasien. Teknologi
20
tersebut bertujuan mendukung pasien bertahan hidup sementara
tidak bisa membantu pasien untuk dapat bertahan hidup dalam
waktu yang lama. Seperti yang disampaikan oleh perawat ―I got
paged that they were putting him on ECMO support, which I
knew was going to be the end of his life, and he died shortly
thereafter” (Lee, et., al., 2008).

Pengembangan profesional berkelanjutan


Pengembangan profesi membutuhkan sistem terintegras
tertentu. Salah satu sistem tersebut adalah LCP (Liverpool Care
Pathway). LCP meningkatkan praktek end of life dengan
memberikan implikasi positif yaitu menyediakan panduan yang
jelas, dan perawatan end of life yang terstruktur. Dengan
adanya LCP, perawat dapat menghentikan observasi klinis yang
tidak penting, menurunkan stress akibat perawatan penghentian
dukungan hidup pasien, memberikan autonomi dimana tidak
harus menghubungi dokter untuk meminta saran, membantu
memecahkan permasalahkan yang sulit dipahami berkaitan
dengan perawatan end of life (Holms, et., al., 2014).
Hal lainnya yang perlu ditingkatkan adalah pendidikan
dan pelatihan berkelanjutan tentang perawatan end of life.
Hanya sebagian kecil perawat yang menyatakan telah
memperoleh pendidikan atau pelatihan formal tentang end of
life khususnya pada setting ICU. Perawat memperoleh
keterampilan melalui pengalaman praktek ICU yang baik dan
buruk serta memperhatikan perawat lainnya. Sebagian kecil
perawat menyatakan bahwa perawatan end of life merupakan
21
hal yang cukup rumit untuk diajarkan dan lainnya menganggap
perawatan end of life dan mengatasi kesulitan dalam perawatan
perlu dipelajari secara mendalam (Holms, et., al., 2014).
Perawat menyatakan pentingnya pengalaman dalam
menentukan keputusan penghentian dukungan hidup pasien
dimana semakin banyak pengalaman yang dimiliki maka
perawat memiliki pandangan yang lebih diluas dalam
pengambilan keputusan. Sebaliknya perawat dengan
pengalaman terbatas memiliki kepercayaan diri yang rendah
dalam pengambilan keputusan. Pengambilan keputusan bukan
merupakan tanggungjawab perawat secara mandiri tetapi
berkolaborasi dengan dokter. Perawat memberikan saran dan
informasi tentang pasien dan keluarga kepada dokter. Perawat
juga menyatakan perlu menentukan waktu yang tepat untuk
penghentian dukungan hidup pasien. Apabila waktu yang
ditentukan terlalu cepat maka mempercepat kematian dan jika
terlalu lambat akan menimbulkan kesan bahwa tidak
menghargai mertabat pasien (McMillen, 2008).

Simpulan
Perawat ICU memiliki peran yang penting dalam
perawatan end of life. Perawatan end of life pada setting ICU
perlu mendapatkan perhatian terutama dalam hal
pengembangan profesional secara berkelanjutan dengan
menyediakan pendidikan dan pelatihan formal yang relevan.

22
Daftar Pustaka
Arboura,R.B, Wiegand., DL. (2014). Self-Described Nursing
Roles Experienced During Care of Dying Patients and
Their Families: A Phenomenological study. Intensive
and Critical Care Nursing (2014) 30, 211—218.
Calvin, A. O., Lindy, C.M, Clingon, S.L. (2009). The
Cardiovascular Intensive Care Unit Nurse‘s Experience
with End-of-Life Care: A Qualitative Descriptive Study.
Intensive and Critical Care Nursing (2009) 25, 214—
220
Campbell, M.L. (2013). Nurse to Nurse: Perawatan Paliatif.
Jakarta: Salemba Medika.
Efstathiou, N & Walker, W. (2014). Intensive Care Nurses‘
Experiences of Providing End-of-Life Care After
Treatment Withdrawal: A Qualitative Study. Journal of
Clinical Nursing, 23, 3188–3196, doi:
10.1111/jocn.12565.
Epstein,E.G. (2008). End-of-Life Experiences of Nurses and
Physicians in The Newborn Intensive Care Unit.
Journal of Perinatology (2008) 28, 771–778
Fridh, I., Forsberg, A., & Bergbom, I. 2009. Doing One‘s
Utmost: Nurse‘ Description of Caring for Dying
Patients in an Intensive Care Environtment. Intensive
and Critical Care Nursing; 25, 233-241.
Gelinas, C., Fillion, L., Robitaille, M.,& Truchon, M. (2012).
Stressor Experienced by Nurss Providing End-of-Life
Palliative Care in the Intensive Care Unit. CJNR 2012,
Vol. 44 No 1.
Holms, N., Milligan, S., & Kydd,A. (2014). A Study of The
Lived Experiences of Registered Nurses Who Have

23
Provided End-of-Life Care Within An Intensive Care
Unit. International Journal of Palliative Nursing 2014,
Vol 20, No 11,
Hudak, C., & Gallo, B. (2010). Keperawatan Kritis pendekatan
Holistik. Ed. 6, Vol. 1. Jakarta: Buku Kedokteran EGC.
Kozier, B., Erb, G., Berman, A., Snyder, S.J. (2010). Buku Ajar
Fundamental Keperawatan: Konsep, Proses dan
Praktik. Jakarta: EGC.
Ledger U.S, et al. (2012). Moral Distress In End Of Life Care
In Intensive Care Unit. Journal of Advanced Nursing.
Lee, K.J. Dupree, K.Y., Fellow. (2008).Staff Experiences with
End-of-Life Care in the Pediatric Intensive Care Unit.
Journal of Palliative Medicine, Volume 11, Number 7.
McMillen, R.E. (2008). End of Life Decisions: Nurses
Perceptions, Feelings and Experiences. Intensive and
Critical Care Nursing (2008) 24, 251—259
Rosser, M., & Walsh, H. (2014). Fundamental of Palliative
Care for Student Nurses. Willey Blackwell
Urden, L.D., Stacy, K.M., Lough, M.E. (2012). Critical Care
Nursing: Diagnosis and Management. St. Louis
Missouri: Mosby Elsevier.
Valiee, S., Negarandeh, R., & Nayeri, N.D. (2012). Exploration
of Iranian Intensive Care Nurses‘ Experience of End-of-
Life Care: A Qualitative Study. British Association of
Critical Care Nurses • Vol 17 No 6. doi:
10.1111/j.1478-5153.2012.00523.x
Vanderspank-Wright, B., Fothergill-Bourbonnais, F,, Malone-
Tucker, S. & Slivar, S. (2011). Learning end-of-life care
in ICU: strategies for nurses new to ICU. Dynamics 22,
22–25.

24
World Health Organization. (2004). Definition of Palliative
Care. Diakses pada 3 March 2016 dari
Http://tiny.cc/56flox.

25
Model-Model Jenjang Karir Perawat di Dunia

Asih Purwandari W. P.1, F Sri Susilaningsih2, Irman Somantri2


1
Mahasiswa Pascasarjana Fakultas Keperawatan Unpad
1
Staf dosen keperawatan UPI
2
Staf dosen keperawatan Unpad

Abstrak
Profesi keperawatan berkembang dengan pesat dis seluruh
dunia. Perkembangan profesi keperawatan sejalan dengan
kontribusi perawat dalam memberikan pelayanan yang
berkualitas bagi pasien serta penataan sistem jenjang karir
sesuai dengan kompetansi untuk meningkatkan keahlian
perawat. Keberhasilan profesi perawat bergantung pada
implementasi model jenjang karir perawat profesional yang
merupakan upaya pengembangan profesi keperawatan dan
penataan pelayanan keperawatan yang berkualitas. Penulisan
literatur review ini bertujuan untuk menjelaskan berbagai
macam model-model jenjang karir perawat yang menjadi
acuan bagi profesi keperawatan untuk melihat kemajuan profesi
di dunia. Metode yang digunakan dalam penulisan tulisan ini
adalah literatur review. Literatur diambil dari 20 jurnal yang
didapakan melalui google scholar, CINAHL, EBSCO Host dan
Medline Record dengan kata kunci pencarian ―career ladder‖,
―career patterns‖,―career development‖ dan ―nursing career‖.
Didapatkan hasil bahwa terdapat empat model utama yang
menjadi dasar pengembangan model jenjang karir di dunia.
Empat model tersebut yaitu model From Novice To Expert dari
Patricia Benner (1984), Model jenjang karir dari Swansburg
(2000), Model Career pathways Blakemore (2010) dan Model
Career Pathways Chiang-Hanisko (2008). Model jenjang karir
26
Swansburg (2000) dan Model Career pathways Blakemore
(2010) banyak dikembangkan oleh negara-negara di Benua
Eropa, Australia dan Amerika. Sementara itu Model Career
Pathways Chiang-Hanisko (2008) banyak dikembangkan oleh
negara-negara di Benua Asia dan Afrika. Upaya penelitian
berkelanjutan dibutuhkan untuk membandingkan keefektifan
model jenjang karir perawat.

Kata kunci: perawat, karir, model, jenjang

Pendahuluan
Karir adalah deretan posisi dalam suattu perkerjaan yang
dipegang oleh seseorang selama perjalanan kehidupan
(Robins,2006). Karir perawat menurut Depkes (2006) adalah
sistem untuk meningkatkan kinerja dan profesionalisme sesuai
dengan bidang pekerjaan melalui peningkatan kompetensi.
Pengembangan karir perawat merupakan suatu perencanaan
dan penerapan rencana karir yang dapat digunakan untuk
penempatan perawat pada jenjang yang sesuai dengan
keahliannya, serta menyediakan kesempatan yang lebih baik
sesuai dengan kemampuan dan potensi perawat (Marquis &
Huston, 2010).
Keberhasilan profesi perawat bergantung pada
implementasi model jenjang karir perawat profesional yang
merupakan upaya pengembangan profesi keperawatan dan
penataan pelayanan keperawatan yang
berkualitas.Implementasi model jenjang karir perawat telah
dikembangkan oleh banyak pakar keperawatan di dunia. Pada

27
perkembangannya model jenjang karir diterapkan dan
dikembangkan oleh berbagai negara dunia, antara lain di Eropa,
Australia, Amerika, Asia dan Afrika.

Metode
Metode yang digunakan dalam penulisan tulisan ini adalah
literatur review. Literatur diambil dari 20 jurnal yang
didapakan melalui google scholar, CINAHL, EBSCO Host dan
Medline Record dengan kata kunci pencarian ―career ladder‖,
―career patterns‖,―career development‖ dan ―nursing career‖.

Hasil dan Diskusi


Berikut ini paparan beberapa model sistem jenjang karir
perawat yang telah ada dan dikembangkan, sebagai berikut:
A. Model Teori From Novice To Expert dari Patricia Benner
(1984)
Teori From Novice To Expert yang dikembangkan oleh
Patricia Benner diadaptasi dari Model Dreyfus yang
dikemukakan oleh Hubert Dreyfus dan Stuart Dreyfus. Teori
ini menjelaskan 5 tingkat/tahap akuisisi peran dan
perkembangan profesi meliputi: (1) Novice, (2) Advance
Beginner, (3) competent, (4) proficient, dan (5) expert.

28
Gambar : visualisasi jenjang karir from novice to expert (
sumber : diolah dari Benner,1984 )
Penjelasan dari kelima tingkatan tersebut adalah sebagai
berikut:
1) Novice
Tingkat Novice pada akuisisi peran Model Dreyfus adalah
seseorang tanpa latar belakang pengalaman pada situasinya.
Perintah yang jelas dan atribut yang obyektif harus diberikan
untuk memandu penampilannya. Di sini sulit untuk melihat
situasi yang relevan dan irrelevan. Secara umum level ini
diaplikasikan untuk mahasiswa keperawatan.
2) Advance Beginner
Advance Beginner dalam Model Dreyfus adalah ketika
seseorang menunjukkan penampilan mengatasi masalah yang
dapat diterima pada situasi nyata. Advance beginner
mempunyai pengalaman yang cukup untuk memegang suatu
situasi. Fungsi perawat pada situasi ini dipandu dengan aturan
29
dan orientasi pada penyelesaian tugas. Advance beginner
mempunyai responsibilitas yang lebih besar untuk melakukan
manajemen asuhan pada pasien. Benner menempatkan perawat
yang baru lulus pada tahap ini.
3) Competent
Tahap competent dari Model Dreyfus ditandai dengan
kemampuan mempertimbangkan dan membuat perencanaan
yang diperlukan untuk suatu situasi dan sudah dapat
dilepaskan. Selain itu tahap competent ditandai dengan
konsisten dan kemampuan memprediksi serta manajemen
waktu. Advance beginner akan menjadi competent setelah
menyelesaikan pembelajaran praktik dalam situasi yang nyata.
Perawat competent dapat menunjukkan reponsibilitas yang
lebih pada respon pasien, lebih realistik dan dapat
menampilkan kemampuan kritis pada dirinya.
4) Proficient
Perawat pada tahap ini menunjukkan kemampuan baru
untuk melihat perubahan yang relevan pada situasi, meliputi
pengakuan dan mengimplementasikan respon keterampilan dari
situasi yang dikembangkan. Proficient akan menunjukan
peningkatan percaya diri pada pengetahuan dan
keterampilannya. Pada tingkatan ini perawat banyak terlibat
dengan keluarga dan pasien
5) Expert
Benner menjelaskan, perawat expert mempunyai
pegangan intuitiv dari situasi yang terjadi sehingga mampu
mengidentifikasi area dari masalah tanpa kehilangan
pertimbangan waktu untuk membuat diagnosa alternatif dan
30
penyelesaian. Perubahan kualitatif pada expert adalah
mengetahui pasien, yang berarti mengetahui tipe pola respon
dan mengetahui pasien sebagai manusia. Aspek kunci pada
perawat expert adalah:
a) Menunjukkan pegangan klinis dan sumber praktis
b) Mewujudkan proses know-how
c) Melihat gambaran yang luas
d) Melihat yang tidak diharapkan
B. Model karir dari Swansburg (2000)
Swansburg (2000), mengelompokkan jenjang karir
menjadi empat, yaitu perawat klinik, manajemen, pendidik dan
peneliti. Model tahapan perawat klinik adalah sebagai berikut :
1) Perawat klinis / perawatan I ( pemula / belum
berpengalaman )
2) Perawat klinis / Staf II ( pemula tahap lanjut)
3) Perawat klinis / staf III ( kompeten)
4) Perawat klinis / staf IV ( terampil)
5) Perawat klinis / staf V ( ahli)
Model jenjang karir Swansburg (2000) ini banyak
dikembangkan oleh negara-negara di Benua Eropa, Australia
dan Amerika.
C. Model Career pathways Blakemore Tahun 2010
Blakemore memaparkan Nursing Careers di United
Kingdom (UK) sejak tahun 2006 mengalami proses
modernisasi dengan model karir yang lebih fleksibel tertuang
dalam career pathways. Karir yang dikembangkan sejalan
dengan konsep Benner (84) dan Swansburg (2000), yang
menetapkan empat jalur karir, meliputi perawat klinik,
31
manajemen, pendidik dan peneliti. Namun demikian, konsep
pengembangan karir selanjutnya diarahkan pada lima career
pathways yang meliputi :
1. Family and public health
2. Acute and critical care
3. First contact, acces and urgent care
4. Supporting long-term care
5. Mental health and psychosocial care.
Model Career pathways Blakemore (2010) banyak
dikembangkan oleh negara-negara di Benua Eropa, Australia
dan Amerika.
D. Model Carier Pathways di Chiang-Hanisko Tahun 2008
Chiang–Hanisko, et al (2008), memaparkan jalur karir
perawat yang dikembangkan oleh negara-negara di Benua Asia
dan Afrika, antara lain Jepang, Taiwan dan Thailand. Model
Career Pathways Chiang-Hanisko (2008) banyak
dikembangkan. Jenjang karir di Negara- negara tersebut
dikembangkan mulai dari pendidikan keperawatan, dilanjutkan
dengan dikeluarkannya lisensi bagi perawat dengan kualifikasi
tertentu. Secara umum kenaikan karir perawat di tiga negara
tersebut sama-sama mensyaratkan kualifikasi pendidikan
formal, pengalaman kerja, pendidikan berkelanjutan dan uji
kompetensi.
Karir perawat di Jepang terdiri dari perawat generalis
dan advanced spesialis. Perawat general memiliki beberapa
tingkatan yang meliputi Licensed Practical Nurse (LPN),
Registered Nurse (RN), Public Health Nurse (PHN) dan Bidan.
Karir perawat lanjutan diberikan pada perawat yang memiliki
32
pendidikan dan pengalaman yang memenuhi syarat. Lisensi
lanjutan bagi perawat di Jepang meliputi Certified Nurse (CN),
Certified Nurse Administrator (CNA) dan Clinical Nurse
Specialist (CNS). CN memiliki 19 area spesialisasi perawat
yang meliputi; darurat, luka/ostomy/ continence, perawatan
intensif, perawatan paliatif, kemoterapi kanker, manajemen
nyeri kanker, visiting nursing, pengendalian infeksi, diabetes,
infertilitas, neonatal intensif, dialisis, perioperatif, kanker
payudara, disfagia, darurat pediatrik, dan keperawatan
demensia. CNS memiliki 10 area spesialis; kanker, kesehatan
mental kejiwaan, kesehatan masyarakat, ilmu mengenai usia
lanjut, kesehatan anak, kesehatan wanita, perawatan kronis,
perawatan kritis, dan keperawatan pengendalian infeksi.
Perawat di Taiwan memungkinkan mencapai jalur
lisensi lanjutan berupa Nurse Practitioner (NP) yang memiliki
dua area spesialis medis dan bedah. Perawat harus memiliki
izin Registered Nurse Practitioner (RNP), lima tahun praktek di
area khusus tersebut, dan mendapat pengesahan dari
manajemen rumah sakit untuk dapat memiliki spesialisasi
tersebut.
Sedangkan di Thailand terdapat dua jalur karir lanjutan
(Advanced Practice Nurses /APNs); Clinical Nurse Specialist
(CNS) yang memiliki lima area spesialis termasuk medis dan
bedah, anak, kesehatan mental dan kejiwaan, usia, dan
keperawatan bersalin. Nurse Practitioner (NP) yang saat ini
difokuskan pada kesehatan masyarakat. Dewan keperawatan
Thailand telah menetapkan standar nasional untuk lisensi dan
pemeriksaan semua program APN. Calon yang mengejar lisensi
33
sebagai APN, baik CNS maupun NP, harus menyelesaikan
gelar master dalam keperawatan melalui sistem berbasis
universitas.

Daftar Pustaka
Aiken, L., Clarke, S., Cheung, R., Sloane, D., & Silber,
J.H.(2003). Educational levels of hospital nurses and
surgical patient mortality. Journal of the American Medical
Association,290, 1617–1623.
Ashurst, A. (2010). Moving on up: career prospects for
registered nurses. Nursing & Residential Care, 12(8), 400-
402.
Benner, P. (1984). From novice to expert: excellence and
power in nursing practice. Menlo Park, Calif: Addison-
Wesley.
Blakemore, S. (2010). Helping nurses hit their career
targets. Nursing Management - UK, 16(9), 6-7.
Brown, P. (2012). Why Retire: Career Strategies for Third Age
Nurses. Kansas Nurse, 87(2), 13.
Chiang-Hanisko, L., Ross, R., Boonyanurak, P., Ozawa, M., &
Chiang, L. (2008). Pathways to Progress in Nursing:
Understanding Career Patterns in Japan, Taiwan and
Thailand. Online Journal Of Issues In Nursing, 13(3), 4.
Cleary, M., Horsfall, J., Muthulakshmi, P., Happell, B., &
Hunt, G. E. (2013). Career development: graduate nurse
views. Journal Of Clinical Nursing, 22(17/18), 2605-2613.
doi:10.1111/jocn.12080
Departemen Kesehatan RI. (2006). Pedoman Pengembangan
Jenjang Karir Profesional Perawat. Direktorat Bina

34
Pelayanan Keperawatan Direktorat Jendral Bina Pelayanan
Medik Departemen Kesehatan RI.
Donner, G., & Wheeler, M. (2001). Career planning and
development for nurses: the time has come. International
Nursing Review, 48(2), 79-85.
Duffield, C., Baldwin, R., Roche, M., & Wise, S. (2014). Job
enrichment: creating meaningful career development
opportunities for nurses. Journal Of Nursing
Management, 22(6), 697-706. doi:10.1111/jonm.12049
Eley, R., Francis, K., & Hegney, D. (2013). Career progression
- the views of Queensland's nurses. Australian Journal Of
Advanced Nursing, 30(4), 23-31.
Hauck A., Quinn M. & Fitzpatrick J. (2011) Structural
empowerment and anticipated turnover among critical care
nurses. Journal of Nursing Management 19 (2), 269–276.
Kaplan, R., Shmulevitz, C., & Raviv, D. (2009). Reaching the
top: career anchors and professional development in
nursing. International Journal Of Nursing Education
Scholarship, 6(1), 1p. doi:10.2202/1548-923X.1482
Koch, T. (1990). A new clinical career structure for nurses: trial
and evaluation. The South Australian experience. Journal Of
Advanced Nursing, 15(8), 869-876. doi:10.1111/j.1365-
2648.1990.tb01941.x
Li, Z., You, L., Lin, H., & Chan, S. W. (2014). The career
success scale in nursing: psychometric evidence to support
the Chinese version. Journal Of Advanced Nursing, 70(5),
1194-1203. doi:10.1111/jan.12285
Lai, H., Lin, Y., Chang, H., Wang, S., Liu, Y., Lee, H., & ...
Chang, F. (2008). Intensive care unit staff nurses: predicting
factors for career decisions. Journal Of Clinical
Nursing, 17(14), 1886-1896. doi:10.1111/j.1365-
2702.2007.02180.x
35
Marquis, B.L. & Huston, C., J. ( 2010). Kepemimpinan dan
manajemen keperawatan: teori & aplikasi, ed 4, alih Bahasa,
Widyawati dkk, Editor edisi bahasa Indonesia Egi komara
yuda dkk, Jakarta: EGC
Mrayyan, M., & Al-Faouri, I. (2008). Career commitment and
job performance of Jordanian nurses.Nursing Forum, 43(1),
24-37. doi:10.1111/j.1744-6198.2008.00092.x
Nelson, J., Sassaman, B., & Phillips, A. (2008). Career ladder
program for registered nurses in ambulatory care. Nursing
Economic$,26(6), 393-398.
Nelson, J., & Cook, P. (2008). Evaluation of a career ladder
program in an ambulatory care environment. Nursing
Economic$, 26(6), 353-360.
Perry, J., Bennett, C., & Lapworth, T. (2010). Education and
career opportunities for nurses in offender health
care. Nursing Standard, 24(43), 35-39.
Prayetni (2007), Pola Karir Perawat Profesional, Direktorat
Bina Pelayanan Keperawatan Ditjen Yanmed Depkes,
Materi Semiloka di RSKD Jakarta
Robbins, P.S. (2006). Perilaku organisasi. Edisi Bahasa
Indonesia, edisi 10. Jakarta: PT. Indeks
Ronaldson, S., Hayes, L., Aggar, C., Green, J., & Carey, M.
(2012). Spirituality and spiritual caring: nurses' perspectives
and practice in palliative and acute care
environments. Journal Of Clinical Nursing, 21(15/16),
2126-2135. doi:10.1111/j.1365-2702.2012.04180.x
Saragih, S. G. (2013). Hubungan Jenjang Karir dengan
Kepuasan Kerja Perawat Di Rumah Sakit Santo Borromeus.
E-journal STIkes Santo Borromeus, Juli 2013.
Sekarsari R., (2007) Pengalaman Penerapan Sistem Remunerasi
Berdasarkan Kompetensi di RSJK Harapan Kita Jakarta,
Materi Semiloka di RSKD Jakarta
36
Shea R., (2007), The Canadian Journal of Career
Development, volume 5 number 1
Sonmez, B., & Yildirim, A. (2009). What are the career
planning and development practices for nurses in hospitals?
Is there a difference between private and public
hospitals?. Journal Of Clinical Nursing, 18(24), 3461-3471.
doi:10.1111/j.1365-2702.2009.02906.x
Spence Laschinger, H. K., Wong, C. A., Macdonald-Rencz, S.,
Burkoski, V., Cummings, G., D'amour, D., & ... Grau, A.
(2013). Part 1: The influence of personal and situational
predictors on nurses' aspirations to management roles:
preliminary findings of a national survey of Canadian
nurses. Journal Of Nursing Management, 21(2), 217-230.
doi:10.1111/j.1365-2834.2012.01452.x
Stevens, J., Browne, G., & Graham, I. (2013). Career in mental
health still an unlikely career choice for nursing graduates:
A replicated longitudinal study. International Journal Of
Mental Health Nursing, 22(3), 213-220. doi:10.1111/j.1447-
0349.2012.00860.x
Susana A., (2007) Pola Pelatihan Perawat Fungsional di RS
Immanuel Bandung, Materi Semiloka di RSKD Jakarta
Sutiono. (2014). Model Logika Dalam Evaluasi RKAK/L.
Diperoleh dari
http://www.bppk.depkeu.go.id/webanggaran/index.php/c
omponent/content/article/92-artikel/640-model-logika-
logic-model-dalam-evaluasi-rkakl- pada tanggal 23 April
2014.
Tanaka, S., Serizawa, T., & Sakaguchi, C. (2008). Career
redevelopment programmes for inactive nurses in
Japan. Journal Of Clinical Nursing, 17(24), 3296-3305.
doi:10.1111/j.1365-2702.2008.02657.x

37
Thornley, T., & West, S. (2010). Concept formation: a
supportive process for early career nurses. Journal Of
Clinical Nursing,19(17/18), 2574-2579. doi:10.1111/j.1365-
2702.2009.03094.x
Tsai, C., Tsai, S., Chen, Y., & Lee, W. (2014). A study of
nursing competency, career self-efficacy and professional
commitment among nurses in Taiwan. Contemporary Nurse:
A Journal For The Australian Nursing Profession, 4996-102.
doi:10.5172/conu.2014.49.96
Wahyuni T.M.B., (2007) Pengalaman Penerapan Penilaian
Kinerja Berdasarkan Kompetensi di PK St. Carolus Jakarta,
Materi Semiloka di RSKD Jakarta
Whitehead, E., Mason, T., & Ellis, J. (2007). The future of
nursing: career choices in potential student nurses. British
Journal Of Nursing, 16(8), 491-496.
Wong, C. A., Spence Laschinger, H. K., Macdonald-Rencz, S.,
Burkoski, V., Cummings, G., D'amour, D., & ... Grau, A.
(2013). Part 2: Nurses' career aspirations to management
roles: qualitative findings from a national study of Canadian
nurses. Journal Of Nursing Management, 21(2), 231-241.
doi:10.1111/j.1365-2834.2012.01451.x
Young, Frost, Bigl, Clauson, McRae, Scarborough, & ...
Gillespie. (2010). Nurse Educator Pathway Project: a
competency-based intersectoral curriculum. International
Journal Of Nursing Education Scholarship, 7(1), 1p.
doi:10.2202/1548-923X.208.

38
Gambaran Resiliensi Korban Bencana Tanah Longsor
Di Desa Margamukti Kabupaten Bandung Jawa Barat

Ayu Prawesti, Etika Emaliyawati, Anastasia Anna, Aan Nuraeni,


Ristina Mirwanti
Fakultas Keperawatan Universitas Padjadjaran
Email: ristinamirwanti@gmail.com

Abstrak

Resiliensi masyarakat dalam bencana merupakan resiliensi


sekelompok orang, komunitas atau masyarakat untuk dapat
pulih dari dampak bencana. Resiliensi terhadap bencana harus
dikaitkan dengan kapasitas / kemampuan orang, sekelompok
orang,atau suatu komunitas atau masyarakat untuk menghadapi
bencana. Penelitian mengenai tingkat resiliensi masyarakat
perlu dilakukan untuk mengetahui hal apa yang bisa dilakukan
untuk membangun dan meningkatkan resiliensi masyarakat
terhadap bencana, agar masyarakat dapat segera beradaptasi
dan pulih terhadap dampak negatif dari bencana. Penelitian ini
bertujuan untuk mengidentifikasi gambaran tingkat resiliensi
masyarakat di Desa Margamukti Kabupaten Bandung.
Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini Connor-
Davidson Resilience Scale (CD-RISC), Connor dan Davidson
(2003) Analisis yang digunakan dalam penelitian ini
menggunakan statistik deskriptif univariat. data yang diperoleh
disajikan dalam bentuk tabel distribusi dan dipresentasikan.
Hasil penelitian menunjukkan tingkat resiliensi
masyarakat sebagian besar dalam kategori resiliensi sedang.
Berdasarkan domain resiliensi, domain resilensi yang tertinggi
dalam kategori sedang adalah domain kontrol diri, domain
39
tertinggi dari kategori sedang adalah domain spiritual dan
domain tertinggi dari kategori rendah adalah domain toleransi
terhadap hal negatif dan kekuatan menghadapi stres serta
domain kontrol diri. Saran : diperlukan pengkajian resiliensi
secara berkesinambungan dan membuat suatu kegiatan
pelatihan dan pembinaan untuk meningkatkan kapasitas
resiliensi masyarakat dalam menghadapi bencana

Kata kunci : bencana, korban, masyarakat, resiliensi

Pendahuluan
Jawa Barat salah satu provinsi lima besar nasional
rentan terjadi bencana gempa, longsor, pergerakan tanah, dan
banjir. Kecamata Pangelangan merupakan kecamatan yang
rentan terjadi longsor, dan di Dusun Cibitung Desa Margamukti
pada hari selasa, 5 Mei 2015 terjadi bencana longsor yang
mengakibatkan korban jiwa 6 orang dan 20 orang mengalami
luka-luka. Selain korban jiwa dan luka-luka terdapat korban
pengungsi yang terdiri dari anak-anak, orang dewasa dan juga
lansia yang memerlukan penanganan lanjut. Akibat yang
ditimbulkan dari bencana ini menimbulkan kerugian baik
materil dan non materil bagi masyarakat korban bencana.
Masyarakat korban bencana dapat kehilangan materil, nyawa,
dan anggota keluarga yang sangat berarti. Di sini diperlukan
resiliensi yaitu pencapaian adaptasi yang positif setelah
mendapatkan paparan ancaman atau kesulitan yang serius
(Lutharet et al . 2000). Resiliensi masyarakat adalah
kemampuan masyarakat yang berkelanjutan untuk bertahan
40
dan memulihkan diri dari keterpurukan (misalnya, tekanan
ekonomi, pandemi influenza, dan bencana alam). Hal ini
merupakan suatu isu penting, mengingat sumber daya yang
terbatas ketika dalam kondisi darurat (HHS, 2009; National
Security Strategy, 2010; DHS, 2010a). Hal itu yang
menyebabkan resiliensi dianggap penting bagi masyarakat
untuk menghindari waktu pemulihan yang lama setelah
masyarakat mengalami suatu kejadiaan atau keadaan darurat.

Pentingnya resiliensi masyarakat telah menjadi isu


penting, namun informasi tentang bagaimana resiliensi tersebut
dapat dibangun, masih kurang. Dengan kata lain, kita terbatas
dalam memahami tentang komponen atau faktor – faktor yang
dapat dimodifikasi untuk mempercepat proses pemulihan di
masyarakat ketika menghadapi keadaan yang kritis seberti
bencana alam. Beberapa literatur telah mengidentifikasi faktor-
faktor yang akan berkorelasi dengan pencapaian resiliensi
masyarakat, termasuk mengurangi kerentanan pra-bencana dan
melakukan kegiatan pencegahan untuk meminimalkan
konsekuensi negatif dari bencana. Namun belum ada domain
secara spesifik yang diperlukan untuk implementasi.
Timmerman (1981) berkaian dengan kondisi kegawatan
bencana alam (Klein, 2003). Setelah Timmerman (1981),
banyak beberapa definisi tentang konsep resiliensi di bidang
kegawatan bencana alam. Definisi mengenai resiliensi semakin
beragam. McEntire et al. (2002) berpendapat bahwa
keberagaman definisi resiliensi di kegawatan bencana alam
adalah karena setiap individu dalam kelompok masyarakat

41
memiliki derajat resiliensi yang berbeda dan bervariasi secara
signifikans terhadap waktu.

Resiliensi terhadap bencana harus dikaitkan dengan


kapasitas / kemampuan orang, sekelompok orang, atau suatu
komunitas atau masyarakat untuk menghadapi bencana.
Resiliensi masyarakat dalam bencana merupakan resiliensi
sekelompok orang, komunitas atau masyarakat untuk dapat
pulih dari dampak bencana. Dalam penelitian ini konsep
resiliensi masyarakat terhadap bencana sebagai suatu kapasitas
atau kemampuan masyarakat untuk mengantisipasi,
mempersiapkan, menanggapi, dan cepat pulih terhadap dampak
bencana. Hal ini berarti bahwa tidak hanya ukuran seberapa
cepat masyarakat bisa pulih dari dampak bencana, tetapi juga
kemampuan untuk belajar, mengatasi atau beradaptasi dengan
bahaya. Dengan demikian, keuletan masyarakat harus diatur
sedemikian rupa sehingga efek dari bencana seminimal
mungkin dan memiliki proses pemulihan yang cepat.

Berdasarkan uraian di atas mengingat seringnya wilayah


kabupaten Bandung mengalami bencana, kejadian bencana
sebanyak 245 kali sampai dengan tahun 2011. Kejadian
bencana paling sering adalah banjir dan yang paling banyak
menelan korban adalah tanah longsor. Hal ini dapat menberikan
dampak yang memanjang bagi kehidupan masyarakat, maka
perlu dilakukan penelitian mengenai bagaimana tingkat
resiliensi masyarakat pasca mengalami bencana alam.
Penelitian mengenai tingkat resiliensi masyarakat korban
bencana perlu dilakukan untuk mengetahui kemampuan mereka
42
dalam menghadapi masalah dan menentukkan hal apa yang bisa
dilakukan untuk membangun dan meningkatkan resiliensi
masyarakat terhadap bencana, agar masyarakat dapat segera
beradaptasi dan pulih terhadap dampak negatif dari bencana.
Masyarakat yang memiliki tingkat resiliensi yang lebih akan
mengalami sedikit dampak bencana yang minimalis, sementara
masyarakat yang kurang resiliensi akan menghadapi dampak
bencana yang signifikan dan lebih besar. Hal ini menunjukkan
bahwa masyarakat yang memiliki tingkat resiliensi kurang akan
memakan waktu lebih lama untuk pulih kembali ke fungsi
normal. Oleh sebab itu penelitian ini bertujuan untuk
mengetahui gambaran tingkat resiliensi masyarakat di Desa
Margamukti Kabupaten Bandung.

Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi resiliensi


masyarakat di Desa Margamukti Kabupaten Bandung.

Tujuan Khusus:

a. Mengidentifikasi tingkat resiliensi korban bencana


masyarakat Desa Margamukti Kecamatan Pengalengan

b. Mengidentifikasi rata-rata indikator setiap domain


resiliensi meliputi:

- Domain kompetensi, standar, dan kegigihan


personal.

- Domain kepercayaan terhadap insting, toleransi


terhadap hal negatif dan kekuatan menghadapi stres.
43
- Domain penerimaan positif terhadap perubahan
dengan orang lain.

- Domain kontrol diri

- Domain spiritual

Metode

Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif dengan


menggunakkan rancangan cross sectional, dengan populasi
target dalam penelitian ini adalah masyarakat Desa Marga
Mukti berusia di atas 18 tahun. Sample dalam penelitian ini
dengan menggunakan teknik total sampel, yaitu sejumlah
populasi masyakat Desa Marga Mukti. Instrumen penelitian
untuk pengumpulan data yaitu instrumen data demografi
Connor-Davidson Resilience Scale (CD-RISC), Connor dan
Davidson (2003) dalam jurnalnya dengan judul Development of
A New Resilience Scale: The Connor-Davidson Resilience
Scale (CD-RISC). Kuesioner ini terdiri atas 25 item pertanyaan
termasuk didalamnya: kompetensi personal, standar dan
kegigihan personal (8 pertanyaan); kepercayaan terhadap
insting, toleran terhadap hal negative dan kekuatan menghadapi
stress (6 pertanyaan); penerimaan positif terhadap perubahan
dan hubungan dengan orang lain ( 5 pertanyaan); control diri (3
pertanyaan); dan spiritual (2 pertanyaan) dengan menggunakan
skala Likert yaitu pilihan jawaban terdiri dari 5 macam yaitu

44
tidak setuju = 0, kurang setuju = 1, agak setuju = 2, setuju = 3,
dan sangat setuju = 4.

Instrumen penelitian ini telah dilakukan back


translation. Hal ini dikarenakan instrumen yang diberikan oleh
sumber kepada peneliti sudah dalam bentuk intrumen versi
Bahasa Indonesia. Pada instrumen tersebut dicantumkan dua
orang penerjemah asal Indonesia yang bernama Yuristie
Lamsinar dan Josephine Ratna. Instrumen telah dipakai oleh
beberapa peneliti asal Indonesia dalam versi Bahasa Indonesia.
Pengambilan data dikumpulkan selama periode 4
minggu kemudian dianalisis menggunakan statistik deskriptif
univariat dengan hasil perhitungan kuartil yang disarankan oleh
Connor dan Davidson. Dalam jurnalnya, Connor dan Davidson
mengkategorikan kuartil 1 menjadi tingkat resiliensi rendah dan
kuartil 4 menjadi nilai resiliensi tinggi serta kuartil 2 dan 3
menjadi kategori sedang. Nilai resiliensi secara keseluruhan
menurut Connor dan Davidson:

Kategori tinggi : 76 – 100


Kategori sedang : 26 – 75
Kategori rendah : 0 – 25
Sedangkan untuk rentang nilai setiap sub-variabel setelah
dihitung dengan rumus kuartil adalah sebagai berikut :
Tabel 3.1 Rentang Nilai Resiliensi Tiap Sub-Variabel
Kategori
No Sub-variabel
Tinggi Sedang Rendah
1. Kompetensi 33-36 9-32 0-8

45
personal,
standar dan
kegigihan
personal
Kepercayaan
terhadap
insting, toleran
terhadap hal
2. 22-28 8-21 0-7
negatif dan
kekuatan
menghadapi
stress
Penerimaan
positif terhadap
perubahan dan
3. 16-20 5-15 0-4
hubungan
dengan orang
lain
4. Kontrol diri 10-12 4-9 0-3
5. Spiritual 6-8 3-6 0-2

Kemudian data yang diperoleh disajikan dalam bentuk


tabel distribusi dan dipresentasikan menggunakan rumus :

46
Hasil Penelitian

Hasil penelitian ini ditampilkan dalam bentuk tabel


distribusi frekuensi berdasarkan domain-domainnya sedangkan
pembahasan disajikan dalam bentuk narasi. Data yang terdapat
pada tabel diperoleh dari angket yang diisi oleh responden yang
selanjutnya dilakukan interpretasi dan pembahasan masing-
masing domain.

Tabel 1. Gambaran Karakteristik Responden

Karakteristik Kategori Frekuensi Persentase


(f) (%)
Jenis Kelamin Laki – laki 24 70,59
Perempuan 10 29,41

Pendidikan SD 12 35,3
SMP 9 26,47
SMA 3 8,82
Tidak 10 29,41
menulis
Berdasarkan tabel 4.1. sebagian responden adalah berjenis
kelamin laki-laki Dengan tingkat pendidikan terbanyak adalah
tingkat Sekolah Dasar.

Tabel.2. Gambaran Distribusi Frekuensi Tingkat Resiliensi


Responden

Resiliensi Frekuensi (f) Presentase (%)

47
Tinggi 9 26,47
Sedang 16 47,06
Rendah 9 26,47
Berdasarkan tabel.2. menunjukkan bahwa sebagai besar
responden memiliki tingkat resliensi pada kategori sedang.

Tabel 3. Gambaran Distribusi Frekuensi Berdasarkan


Domain Resiliensi

N Tinggi Sedang Ren


Domain
o F % f % f

Kompetensi, Standar, dan


1. 8 23,53 21 61,76 5
Kegigihan Personal

Kepercayaan Terhadap
insting, toleransi terhadap
2. 7 20,59 20 58,82 7
hal negatif dan kekuatan
mengahadapi stres

Penerimaan Positif
Terhadap Perubahan dan
3. 5 14,71 21 61,76 8
Hubungan Dengan Orang
Lain

4. Kontrol Diri 9 26,47 17 50,00 8

5. Spiritual 3 8,82 24 70,59 7

48
Berdasarkan table 3. terlihat bahwa responden secara umum
berada pada tingkat sedang pada setiap domain resiliensi.
Domain spiritual memiliki kecenderungan lebih tinggi nilainya
dibandingkan dengan domain lainnya. Domain resiliensi yang
tertinggi dalam kategori sedang adalah domain spiritual
sebesar 70,59%. Domain resiliensi yang tertinggi dalam
kategori tinggi adalah domain kontrol diri sebesar 26,47 %.
Domain resiliensi yang terbanyak pada kategori rendah adalah
domain kontrol diri (23,53%), perubahan dan hubungan dengan
orang lain (23,53%) .

Tabel 4. Gambaran Distribusi Rata-rata Indikator setiap


Domain Resiliensi

Domain Resiliensi Indikator per domain mean

Kompetensi, Standar, Gigih dan memberikan usaha 3,2


dan Kegigihan Personal yang terbaik

Tidak putus asa 2,95

Kuat dalam menghadapi 2,57


tantanga

Bangga terhadap prestasi 2,53


yang dicapai

Kepercayaan Terhadap Mampu mengatasi sesuatu 2,2


insting, toleransi yang menyakitkan
terhadap hal negatif dan

49
kekuatan mengahadapi
stres

Pengalaman stres membuat 2,5


dirinya kuat

fokus dan berpikir jernih 2,17

Mampu secara mandiri 2,05


memecahkan masalah

Penerimaan Positif Mampu beradaptasi dan 2,67


Terhadap Perubahan kembali bangkit
dan Hubungan Dengan
Orang Lain

Memiliki teman-teman yang 2,64


membantu

Mengetahui apa yang harus 2,84


Kontrol Diri
dilakukan saat kritis

Yakin akan tujuan hidup 3,05

Spiritual Percaya Tuhan 3,15

Berdasarkan tabel 4. kemampuan untuk gigih dan


memberikan usaha terbaik pada domain pertama memiliki
mean tertinggi dengan kemampuan untuk meyakini atau
percaya kepada Tuhan. Mean terendah terdapat pada domain 3

50
yaitu pada kemampuan memecahkan masalah secara mandiri,
mampu mengatasi masalah yang sulit, mampu berpikir jernih.

Pembahasan

Masyarakat memiliki potensi untuk berfungsi secara


efektif dan berhasil beradaptasi setelah mengalami bencana.
Menurut McFarlane &Norris (2006), Bencana adalah suatu
peristiwa yang dapat menyebabkan traumatik yang dialami
secara kolektif secara tiba-tiba. Fokus utama dari penelitian ini
adalah resiliensi masyarakat ketika menghadapi suatu bencana.
Konsep resiliensi pada masyarakat sama halnya dengan konsep
resiliensi secara individual. Resiliensi adalah kemampuan
seseorang untuk dapat bernegosiasi dan beradaptasi untuk dapat
bangkit dari keterpurukan mentalnya setelah menghadapi
kejadian-kejadian terburuk atau traumatik dalam hidupnya
(Rutter, 1987 dalam Min, et al., 2013; Windle, Bennett, &
Noyes, 2001; Masten, 2001). Alliance (2005) mengungkapkan
resiliensi masyarakat adalah kapasitas masyarakat untuk
mentolerir gangguan tanpa mengalami kehancuran sistem
dengan proses mengendalikan berbagai hal . Dengan demikian,
masyarakat yang memiliki resiliensi dapat menahan guncangan
dan membangun kembali seistemnya secara mandir. Resiliensi
dalam sistem sosial tergantung kepada kapasitas manusia yang
ada di dalamnya untuk merencanakan masa depan.

Berdasarkan hasil penelitian pada korban bencana tanah


longsor di Dusun Cibitung Desa Margamukti Kecamatan
Pangalengan, gambaran tingkat relisiansi masyarakat sebagian
51
besar pada tingkat resiliensi sedang (47 %), namun masih
terdapat masyarakat yang memiliki tingkat resiliensi rendah (26
47 %). Hal ini menggambarkan pada umumnya masyarakat di
Desa Margamukti memiliki resiliensi yang cukup baik dalam
menghadapi musibah bencana longsor. Sebagian besar
responden pada penelitian ini adalah laki-laki sebesar 70, 59 %.
Hal ini merupakan salah satu faktor yang dapat mempengaruhi
tingkat resiliensi. Laki – laki memiliki kemampuan problem-
solving yang lebih baik dengan penggunaan pemikiran yang
rasional sehingga mereka lebih memilih untuk menyelesaikan
masalah langsung pada sumber masalahnya (Barends, 2004).

Tingkat resliensi responden sebagian besar berada pada


tingkat resiliensi sedang. Tingkat resiliensi seseorang meliputi
5 domain yaitu kompetensi, standar personal dan kegigihan;
kepercayaan terhadap insting, toleransi terhadap hal negatif dan
kekuatan menghadapi stres; penerimaan positif terhadap
perubahan dan hubungan dengan orang lain; kontrol diri; dan
spiritual.(Connor dan Davidson , 2003). Berdasarkan hasil
penelitian pada tabel 4.3, secara umum berada pasa tingkat
sedang pada setiap domain resiliensi.

Domain spiritual memiliki kecenderungan lebih tinggi


nilainya dibandingkan domain lainnya. Nilai spiritulitas dapat
membuat seseorang memiliki pandangan yang baik terhadap
suatu masalah dan tujuan. Spiritualitas membuat seseorang
menjadi lebih kuat dalam mengahadapi permasalahan
(Kuhlman, 2007). Pada kondisi mengalami trauma, korban
sering harus berdamai dengan kenyataan bahwa dunia masih
52
aman, tidak adil, tidak terduga dan tanpa makna. Dengan
pendekatan spiritual dapat membantu seseorang dalam
memulihkan harapan, dan memperoleh pandangan yang lebih
seimbang tentang keadilan dan ketidakadilan, keselamatan dan
bahaya, baik dan jahat (Drescher & Foy, 1995). Hal ini
menunjukkan bahwa keyakinan agama yang kuat dapat
menyebabkan rasa yang lebih besar dari kontrol, makna, dan
keintiman yang lebih dalam (Pargament et al, 1990;. Tedeschi
& Calhoun, 1996).Tinggi domain spiritual karena sebagian
besar mayarakat Indonesia memiliki tingkat religius yang
tinggi, dan sebagan besar responden beragama islam

Berdasarkan hasil penelitian domain kontrol diri dan


domain penerimaan positif terhadap perubahan dan hubungan
dengan orang lain adalah domain resiliensi yang terbanyak
pada kategori rendah (23,53%). Pada domain penerimaan
positif Sebagian besar responden mengalami hambatan dalam
kemampuan beradaptasi dan kembali bangkit dengan mean 2,
67 dan memiliki teman-teman yang membantu dengan mean 2,
64, karena memang hampir seluruh kerabat dan temannya juga
mengalami hal yang sama yaitu menjadi korban bencana
longsor. Pada domain kontrol diri sebagan besar responden
mengalami hambatan dalam mengetahui apa yang harus
dilakukan pada kindisi kritis dengan mean (2,84). Hal ini
menunjukan bahwa pembekalan masyarakat yang beresiko
mengalami bencana mengenai manajemen bencana mulai dare
persiapan sampai dengan penanganan pasca bencana adalah
penting.

53
Kejadian bencana alam merupakan suatu kejadian yang
dapat menyebabkan dampak negatif atau kerusakan pada suatu
sistem, oleh sebab itu bencana alam dianggap sebagai suatu
masalah besar. Dampak bencana alam dapat berlangsung lama
dan bisa pulih kembali seperti semula adapula yang sulit untuk
kembali pulih. Kemampuan suatu sistem untuk pulih kembali
diantaranya tergantung kepada kapasitas resiliensinya.
Kapasitas resiliensi suatu sistem sangat tergantung juga pada
resiliensi masing-masing individu pendukungnya.

Kejadian bencana terdiri dari beberapa tahapan yaitu


pre disaster, disaster, restoration dan recovery. Zhang (2006)
mengungkapkan bahwa komunitas yang memiliki resiliensi
yang baik akan memiliki keampuan pulih lebih cepat dan
mampu menghadapi segala kesulitan pada setiap tahan bencana
lebih baik sedangkan pada komunitas yang memiliki resiliensi
yang rendah ,akan mengalami waktu pemulihan yang lama
pada fase recovery.

Berdasarkan hasil penelitian pada tabel 4.4.


menunjukaan bahawa mean terendah pada indikator
pembangangun resiliensi yaitu pada indikator mampu
mengatasi sesuatu yang menyakitkan (mean 2,2), fokus dan
berpikir jernih (mean 2,17) dan mampu memecahkan masalah
secara mandiri (mean 2, 05). Ketiganya merupakan indikator
pada domain kepercayaan terhadap insting, toleransi terhadap
hal negatif dan kekuatan menghadapi stres. Ketika seseorang
yang mengalami suatu peristiwa yang sifatnya traumatik maka
adalah normal apabila seseorang tersebut mengalami stress.
54
Flynn (1994) mengutarakan bahwa dikatakan memiliki
resiliensi bukan berarti tidak memiliki kesusahan. Adalah suatu
kondisi yang manusiawi apabila seseorang mengalami
kesusahan atau stres ketika menghadapi sutu kondisi yang sulit,
namun disfungsi atau kesusahan tersebut harus bersifat
sementara dan harus segera kembali berfungsi sebagaimana
mestinya.

Resiliensi adalah kemampuan adaptasi dalam


menghadapi stress dan keragaman masalah (wagnild, 2003).
Mereka yang mampu bertahan setelah mengalami suatu
kejadian yang traumatis memiliki resiliensi tinggi, terkait
dengan kondisi kesehatan yang lebih baik dan lebih sedikit
yang mengalami stress disorder pasca trauma (PTSD) (Connor
et al,2003). Mengkaji tingkat resiliensi adalah sangat penting
untuk skrining populasi berisiko tinggi yang rentan terhadap
masalah psikologis dan masalah perkembangan pada kondisi di
bawah tekanan dan mengidentifikasi faktor pelindung yang
dapat meningkatkan adaptasi positif. Penelitian Rew et al
(2001) dan Wills et al (1999) menunjukan mereka dengan
resiliensi yang rendah melaporkan memiliki masalah kesehatan
(depresi, putus asa dan kesepian), gangguan hubungan
interpersonal, gangguan perilaku ( kekerasan, merokok, drug
abuse dan aaktivitas seksual) lebih banyak daripada mereka
dengan resiliensi tinggi.

Secara umum masyarakat Di Desa cibitung yang


menjadi korban bencana tanah longsor memiliki resiliensi yang
cukup baik, namun apabila dilihat dari setiap domain dan
55
indikator setiap domain masih terdapat beberapa hal yang harus
ditingkatkan Kemampuan yang harus ditingkatkan terutama
pada domain kepercayaan terhadap insting, toleran terhadap
hal negatif dan kekuatan menghadapi stress, domain
penerimaan positif terhadap perubahan dan hubungan dengan
orang lain, serta domain kontrol diri. Mengkaji resiliensi
masyarakat merupakan suatu proses yang sangat kompleks
karena melibatkan interaksi yang dinamik dari masyarakat,
komunitas, sosial dan lingkungan. Dengan mengkaji resilieni
masyarakat maka dapat disusun suatu perencanaan berkaitan
dengan meningkatakan kapasitas building masing-masing
individu dalam masyarakat pada fase pra bencana , sehingga
apabila mengalami suatu kondisi bencana , masyarakat
memerlukan waktu untuk beradaptasi dan pemulihan yang
lebih singkat pada fase disaster, restorasi dan long term
recovery (Zhang, 2006). Selain meningkatkan resiliensi masng-
masing individu dalam masyarakat, faktor lain yang berdampak
pada peningkatan resiliensi masyarakat dalam kondisi bencana
juga perlu dipersiapkan. Faktor tersebut adalah sumber
ekonomi, aset dan keterampilan, informasi, ilmu pengetahuan,
suportive networks, akses terhadap pelayanan.(Brown &
Kulig,1997; Tobin 1999; Adger, 2000; Buckle, 2006).

Simpulan

Tingkat resiliensi masyarakat Desa Cibitung sebagian


besar dalam kategori resiliensi sedang. Berdasarkan domain
resiliensi, domain resilensi yang tertinggi dalam kategori
sedang adalah domain kontrol diri, domain tertinggi dari
56
kategori sedang adalah domain spiritual dan dmain tertinggi
dari kategori rendah adalah domain toleansi terhadap hal
negatif dan kekuatan menghadapi stres serta domain kontrol
diri.berdasarkan indikator setip domain, domain kepercayaan
terhadap insting, toleransi terhadap hal negatif dan kekuatan
menghadapi stres memiliki rata-rata (mean) yang rendah pada
setiap indikatornya, yaitu kemampuan mampu mengatasi sesuat
yang menyakitkan, fokus dan berpikir jernih, mampu secara
mandiri menyelesaikan masalah.

Saran

Masyarakat di Desa Margamukti yang menjadi korban


bencana tanah longsor memiliki resiliensi yang cukup baik.
Diperlukan beberapa hal untuk meningkatkan resiliensi
masyarakat terutama pada kemampuan kepercayaan terhadap
insting, toleran terhadap hal negatif dan kekuatan menghadapi
stress, penerimaan positif terhadap perubahan dan hubungan
dengan orang lain, serta kemampuan kontrol diri. Mengkaji
resiliensi masyarakat harus dilakukan secara
berkesinambungan . Dengan mengkaji resiliensi masyarakat
maka dapat disusun suatu perencanaan berkaitan dengan
kegiatan pelatihan dan pembinaan untuk meningkatakan
kapasitas resiliensi masing-masing individu dalam masyarakat
pada fase pra bencana , sehingga apabila mengalami suatu
kondisi bencana , masyarakat memerlukan waktu untuk
beradaptasi dan pemulihan yang lebih singkat pada fase
disaster, restorasi dan long term recovery.

57
Daftar Pustaka

Adger, W.C.,(2000).Social and ecological resilience are


they related?progress in human Geography,, 24(3) 347-364.
Alwang, J., Siegel, P.S. & Jorgensen, S.L. (2001).
Vulnerability: A view from different disciplines.
Socialprotection discussion paper # 115, The World Bank,
Social protection Unit, Human
Department,http://www1.worldbank.org, accessed March 2006.
Brown D & Kulig (1996/1997). The concept of
resilience : theoretical lesson from community research. Health
and Canadian Society, 4 (1), 29-50.
Buckle P (2006). Assessing Social Resilience .In D
Paton & D Johnston. Disaster Resilience : an integrated
Approach (pp 88-103) SpringfieldIL : Charles C Thomas.
Cardona, O.D. (2003). The notions of disaster risk:
Conceptual framework for integrated management. Information
and Indicators Program for Disaster Risk Management. Inter-
American Development Bank, Manizales.of the crisis
counseling program. NCPTSD clinical quarterly, 4, 11-12
Connor KM, Davidson JR, Lee LC. Spirituality,
resilience, and anger in survivors of violent trauma: a
community survey. J Trauma Stress2003;16:487-94.
Drescher & Foy (1995). Spirituality and trauma
treatment : suggestion for including spirituality as a coping
resource. National Center for PTSD Clinical Quarterly, 4-5.

58
Flynn B (1994). Mental health service i large scale
disasters : an overview
Holling, C.S. (1973). Resilience and stability of
ecological systems. Annual Review of Ecology and Systematics,
4, 2-23.
Holling, C.S., Schindler, D.W., Walker, B.W. &
Roughgarden, J. (1995). Biodiversity in the functioning of
ecosystems: An ecological synthesis. In C. Perrings, K.G.
Maler, C. Folke, C.S. Holling & B.O.Jansson (eds.)
Biodiversity loss: Economic and ecological issues (pp. 44–83).
Cambridge: Cambridge University Press.
Joseph (2007), understanding and applying the concept
of community disaster resilience : capital –based approach, a
draft papper prepared for the summer academy for social
vulnerability and resilance building, Munich, Germany
Kathryn M Connor (2006). Assessment of resilience in
the aftermath of trauma. J clin Psychiatric 67.
Kathryn M Connor.et al (2003). Spirituality, resiliencce,
and Anger in survivors of violent trauma : A communty
Survey.journal of traumatic stress vol 16 no 5 (487-494).
Klein, R.J.T., Nicholls, R. J., & Thomalla, F. (2003).
Resilience to natural hazards: How useful is this concept?
Environmental Hazards, 5, 35-45.
Koenig, H. G., George, L. K., & Peterson, B. L. (1998).
Religiosity and remission of depression in medically ill older
patients. American Journal of Psychiatry, 155, 536–542.

59
Pargament, K. I., Royster, B. J. T., Albert, M., Crowe,
P., Cullman,E. P., Holley, R., et al. (1990, August). A
qualitative approach to 494 Connor, Davidson, and Lee the
study of religion and coping: Four tentative conclusions. Paper
presented at the Annual Convention of the American
Psychological Association, Boston.
Rew L, Taylor-Seehafer M, Thomas NY, Yockey RD.
Correlates of resilience in homeless adolescents. J Nurs
Scholarsh 2001;33:33-40.
Tobin G.A. (1999). Sustainability and community
resiliencce : the holy grail of hazards planning Enviironmental
Hazards 1, 13 – 25.
Wagnild GM. Resilience and successful aging:
comparison among low and high income older adults. J
Gerontol Nurs 2003;29:42-9.
Walker, B.H., Anderies, J.M., Kinzig, A.P. & Ryan, P.
(2006). Exploring resilience in social- ecological systems
through comparative studies and theory development:
Introduction to the special issue. Ecology and Society, 11(1),
12.
Wills TA, Sandy JM, Shinar O, Yaeger A.
Contributions of positive and negative affect to adolescent
substance use: test of a bidimensional model in a longitudinal
study. Psychol Addict Behav 1999;13:327-38.
Xiaou nan yu et al (2011). Factor structure and
psycometric properties of the Connor Davidson Resilience
Scale Among Chinese adolescent. Comprehensive psychiatic
52 (218-224), Elvesier.
60
Zhang, Y. (2006). Modeling single family housing
recovery after hurricane Andrew in Miami-Dade County,
Florida. A PhD dissertation, College Station, TX: Texas A&M
University.

61
Kesejahteraan Subyektif, Penguasaan Peran, dan Kesejahteraan
Hubungan pada Pasien Stroke dengan tingkat ketergantungan
Rendah di Bandung, Indonesia

Cecep Eli Kosasih1, Busakorn Punthmatharith2, Umaporn


Bunyasopun3
1
Fakultas Keperawatan Unpad,
2,3
Fakultas Keperawatan Universitas Prince of Songkla, Thailand
email:ek_cecep@yahoo.co.id

Abstrak

Insiden stroke di Indonesia terus meningkat tiap tahunnya.


Stroke dapat menimbulkan dampak terhadap fisik, psikologis,
sosial, dan emosional. Sehingga stroke bisa menyebabkan
penurunan kesejahteraan, keterbatasan dalam kemampuan
mereka untuk melakukan peran, dan gangguan hubungan dalam
keluarga. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk
mengidentifikasi kesejahteraan, penguasaan peran, dan
hubungan dalam keluarga khusunya pada pasien stroke dengan
tingkat ketergantungan rendah. Desain pada penelitian ini
adalah deskriptif kuantitatif. Populasi pada penelitian ini adalah
semua pasien stroke ringan dengan tingkat ketergantungan
rendah. Sample diambil menggunakan teknik purposive
sampling berdasarkan kriteria inklusi. Analisa data dilakukan
menggunakan analisa univariat berupa rata-rata, dan
prosentase. Berdasarkan hasil analisa data didapatkan bahwa
rata-rata kesejahteraan pasien stroke adalah 67 dengan kategori
sedang, sebagian besar 66,66% memiliki tingkat kesejahteraan
sedang, rata-rata penguasaan peran adalah 13,11 dengan
kategori sedang mengalami gangguan peran, hampir sebagian
62
(44,44%) mengalami gangguan peran sedang, dan rata-rata
hubungan dengan keluarga adalah 42 dengan kategori baik.,
sebagian besar (88,88%) memiliki hubungan keluarga dengan
kategori baik. Sebagian besar pasien stroke ringan dengan
tingkat ketergantungan rendah memiliki kesejahteraan dan
tingkat penguasan peran yang sedang walaupun hubungan
dengan keluarga yang baik masih. Perlu dipertimbangakan oleh
perawat ruangan saraf untuk meningkatkan pelayanan
keperawatan yang berfokus pada perbaikan kesejahteraan
pasien dan penguasaan peran pasien stroke walaupun tingkat
ketergantungan pasien tersebut pada tingkatan rendah.

Kata kunci : Stroke, kesejahteraan, penguasaan peran,


hubungan keluarga

Pendahuluan
Sebagai penyakit tidak menular, stroke menjadi masalah
seluruh di dunia. Jumlah kematian tahunan akibat penyakit
kardiovaskular diproyeksikan akan meningkat dari 17 juta pada
tahun 2008 menjadi 25 juta tahun 2030 (World Health
Organization, 2012). Stroke adalah penyebab utama kematian
ketiga di Indonesia. Insiden stroke di Indonesia adalah 8,3 per
1.000 pada tahun 2007, dan ini meningkat menjadi 12,1 per
1.000 pada tahun 2013 (Departemen Kesehatan, 2013). Pasien
dengan stroke biasa menghadapi sejumlah masalah yang
mencakup fisik, sosial, emosional, psikologis, dan masalah
spiritual. (Chau, et al, 2010;. Edwards, Hahn, Baum, &
Dromerick, 2006; Hoffmann, Kasus, Hoffmann, & Chen, 2010;
Lamb, Buchanan, Godfrey, Harrison, & Oakley, 2008).

63
Stroke bisa menyebabkan penurunan kesejahteraan pada
pasien (Clarke, Marshall, Black, & Colantonio, 2002;
Dhamoon et al, 2014;. Nilsson, Axelsson, Gustafson, Lundman,
& Norberg, 2001). stroke dapat menyebabkan tubuh di luar
kendali, seperti hemiplegia, gangguan sensorik, dan aphasia.
Stroke memaksa individu untuk mengubah peran kehidupan
dramatis dan tiba-tiba. perubahan mendadak dan tidak
terencana ini dapat menimbulkan stres bagi kedua orang setelah
stroke. Pasien stroke yang melalui masa kritis akan mengalami
keterbatasan dalam kemampuan mereka untuk berfungsi seperti
dalam aktivitas sehari-hari, penyesuaian dalam keluarga dan
cara di mana peran aktif muslim untuk melakukan shalat dalam
kehidupan keluarga Muslim (Norris, Allotey , & Barrett, 2012).
Sebelum stroke, orang dapat melakukan aktivitas sehari-hari
sendiri, namun, setelah menderita stroke orang tidak dapat
melakukan aktivitas sehari-hari mereka hidup secara mandiri.
Selain itu, sebagian besar pasien stroke laki-laki memiliki
pengendalian yang rendah yang dapat berkontribusi untuk
depresi (Kim & Kim, 2008).
Pasien dengan stroke mengalaman perubahan dalam
semua aspek kehidupan mereka, seperti dalam domain fisik,
sosial, psikologis, dan spiritual. Perubahan-perubahan dalam
segala aspek mempengaruhi kesejahteraan hubungan antara
pasien stroke dan anggota keluarga mereka. Ada disfungsi
keluarga yang signifikan dalam sembilan bulan pertama setelah
stroke dan signifikan konflik anggota keluarga telah dilaporkan
dalam keluarga (Anderson, Linto, Stewart-Wynne, 1995; Clark,
Dunbar, Shields, Viswanathan, Aycock, Wolf, 2004) . Pound,
64
Gompertz, dan Ebrahim (1998) menemukan bahwa satu dari
empat penderita stroke mengalami masalah dalam hubungan
nya dengan pasangannya. Selain itu, bukti-bukti menunjukkan
bahwa kepuasan hubungan cenderung berkurang dari waktu ke
waktu (Green & Raja, 2009; Visser-Meily et al, 2009.)
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengidentifikasi
kesejahteraan subjektif, penguasaan peran, dan hubungan
dengan keluarga pada pasien stroke dewasa di Bandung,
Indonesia.

Metode
Desain penelitiannya adalah deskriptif kuantitatif,
pengukuran dilakukan secara langsung pada pasien stroke,
untuk melihat gambaran kesejahteraan subjektif, penguasaan
peran dan kesejahteraan hubungan pasien stroke dengan tingkat
ketergantungan rendah. Penelitian dilakukan di rumah sakit
pendidikan umum di Bandung. Tempat penelitain di bangsal
neurologis. Populasi dalam penelitian ini adalah semua pasien
dengan stroke yang dirawat di bangsal rawat inap Rumah di
Bandung. Sampel dari penelitian ini adalah pasien stroke
dewasa dirawat di bangsal neurologis, yang memenuhi kriteria
inklusi. Kriteria inklusi dari penelitian ini adalah 1) semua
pasien stroke berusia antara 45-75 tahun, 2), stroke ringan (The
Barthel Index: 40-60 moderat), 3) mampu berkomunikasi
dalam Bahasa Indonesia. Para pasien dan keluarga mereka akan
dikeluarkan jika mereka memiliki kriteria sebagai berikut: 1)
pasien stroke yang memiliki masalah bahasa ekspresif atau
reseptif yang parah, dan 2) pasien telah didiagnosis dengan
65
psikosis atau depresi. Jumlah sampel pada penelitian ini adalah
9 orang. Instrumen pengumpulan data terdiri dari 1) data
demografis, 2) Subjective Well-Being Invetory (SUBI), 3) Role
Fungtion Mode (RFM), dan 4) Brief family relationship (BFR).
Pengumpulan data
Peneliti mendapatkan dari direktur Rumah Sakit tempat
penelitian. Peneliti merekrut 1 perawat dari bangsal. Perawat
yang dipilih dilatih untuk membantu dalam pengumpulan data.
Perawatan rutin diberikan untuk pasien stroke dan keluarga
mereka. Peneliti mengunjungi pasien stroke dan keluarga
mereka dalam waktu 72 jam setelah masuk untuk
mengembangkan hubungan tanpa dilakukan intervensi. Peneliti
meminta persetujuan pasien (informed consent) sebelum
melakukan pengumpulan data.
Analisis data
Analisis deskriptif, informasi demografi dan sosial
ekonomi tentang status kesehatan sekarang dan masa lalu dari
penderita stroke akan dianalisis dengan statistik deskriptif. Data
tersebut akan dianalisis untuk mengetahui mean, variabel
dipresentasikan oleh frekuensi dan persentase.

Hasil Penelitian
Tabel 1. Karakteristik responden pasien stroke dengan
tingkat ketergantungan ringan di rumah sakit tahun 2016
(n=9)

Karakteristik Frekuensi (f) Presentase


(%)
66
Usia (Mean/ rata-rata:
60,56)
40 – 50 1 11,1
51 – 60 5 55,5
61 – 70 1 11,1
71 – 80 2 22,2
Jenis kelamin
 Pria 2 22,2
 Wanita 7 77,8

Karakteristik Frekuensi (f) Presentase


(%)
Hubungan dengan keluarga
 Pasangan 4 44,4
 Anak 3 33,3
 Lainnya 2 22,2
Pekerjaan
 Tidak bekerja 4 44,4
 PNS 1 11,1
 Wiraswasta 2 22,2
 Pensiunan 2 22,2
Pendidikan
 Tidak sekolah 1 11,1
 Sekolah dasar 2 22,2
 Sekolah
2 22,2
menengah
67
pertama
 Sekolah
2 22,2
menengah atas
 Perguruan tinggi 2 22,2
Pendapatan
 Memadai 4 44,4
 Tidak memadai 5 55,6

Dari tabel 1 diatas nampak bahwa responden memiliki


rata-rata usia 60,56 tahun, sebagian besar adalah wanita (77,8
%), keluarga yang mendampingi pasien hampir sebagian adalah
pasangan baik istri atau suami (44,4 %), hampir setengahnya
responden (44,4 %) tidak memiliki pekerjaan, sebagian besar
responden (88,8 %) mendapatkan pendidikan dimulai sekolah
dasar sampai perguruan tinggi, dan lebih dari setengah dari
responden (55,6 %) tidak memiliki pendapatan yang memadai.
Untuk melihat tingkat kesejahteraan subjektif,
penguasaan peran dan kesejahteraan hubungan pasien stroke,
dapat dilihat pada tabel 2 dibawah ini.

Table 2 Distribusi frekuensi tingkat kesejahteraan


subjektif, penguasaan peran dan kesejahteraan hubungan
pasien stroke dengan tingkat ketergantungan ringan di
rumah sakit tahun 2016 (n=9)
Item Frekuensi (f) Presentase
(%)
Kesejahteraan subjektif (mean: 67)
68
 Kurang 2 22,2
 Sedang 6 66,7
 Baik 1 11,1
Penguasaan peran (mean: 13,11)
 Ringan 2 22,2
 Sedang 4 44,4
Karakteristik Frekuensi (f) Presentase
(%)
 Berat 3 33,3
Kesejahteraan hubungan (mean:
42,44)
 Kurang 0 0
 Sedang 1 11,1
 Baik 8 88,9

Dari tabel 1 diatas terlihat bahwa responden memiliki


rata-rata kesejahteraan subjektif 67 sebagian besar responden
(66,7 %) memiliki kesejahteraan subjektif yang sedang,
responden memiliki rata-rata penguasaan peran 13,11 hampir
sebagian (44,4 %) memiliki gangguan dalam penguasaan peran,
responden memiliki rata-rata kesejahteraan hubungan 42,44
hampir semua resonden (88,9 %) memiliki kesejahteraan
hubungan yang baik.

Pembahasan
Berdasarkan hasil penelitian diperoleh data bahwa
responden memiliki rata-rata usia 60,56 tahun, sebagian besar

69
adalah wanita (77,8 %). Hal ini menunjukan bahwa sebagian
besar rata-rata pasien stroke berkisar pada usia lansia yaitu
seseorang yang mencapai usia 60 tahun ke atas baik pria
maupun wanita (UU No. 13 Tahun 1998). Pada usia ini
seseorang rentan terhadap berbagai penyakit pembuluh darah
sehingga orang tersebut mudah mengalami penyumbatan
pembuluh darah yang memungkinkan terjadinya penyakit
stroke.
Selama dirawat di rumah sakit pasien didampingi oleh
anggota keluarga, keluarga yang mendampingi pasien hampir
sebagian adalah pasangan, baik istri atau suami (44,4 %). Hal
ini menunjukan bahwa peran pasangan baik istri maupun suami
memiliki peran yang cukup penting dalam memberikan
dukungan terhadap pasien stroke berupa dukungan fisik
maupun dukungan non fisik seperti dukungan psikologis dan
empsional. Dari hasil penelitian juga didapatkan bahwa hampir
setengahnya responden (44,4 %) tidak memiliki pekerjaan. Hal
ini disebabkan usia pasien yang sudah masuk usia pensiun dan
kemampuan untuk bekerja menjadi menurun. Oleh karena itu
sebagian dari pasien bergantung pada anggota keluarganya
yaitu anak-anaknya dalam memenuhi kebutuhan sehari hari.
Data ini juga sesuai dengan data bahwa setengah dari
responden tidak memiliki pendapatan yang memadai dan
bergantung pada orang lain.
Untuk tingkat kesejahteraan subjektif, responden
memiliki rata-rata kesejahteraan subjektif 67 sebagian besar
responden (66,7 %) memiliki kesejahteraan subjektif yang
sedang. Hal ini menunjukan bahwa penyakit stroke ini
70
mempengaruhi kesejahteraan pasien stroke untuk menikmati
hidupnya walaupun tingkat ketergantungan pasien stroke masih
ringan tetapi sudah bisa mempengaruhi kesejahteraan subjektif
mereka. Bahkan diantara mereka masih ada yang memiliki
kesejahteraan subjektif yang rendah sebanyak 22 %.
Responden juga memiliki rata-rata penguasaan peran
13,11 hampir sebagian (44,4 %) memiliki gangguan dalam
penguasaan peran. Bahkan diantara pasien stroke ada yang
mengalami gangguan dalam penguasaan peran berat (33,3 %).
Hal ini menunjukan bahwa ketidak berdayaan akibat stroke
menyebabkan seseorang tidak mampu menunaikan peran yang
biasa dilakukan sebelum menderita stroke.
Dari hasil penelitian didapatkan data bahwa responden
memiliki rata-rata kesejahteraan hubungan 42,44 hampir semua
resonden (88,9 %) memiliki kesejahteraan hubungan yang baik.
Hal ini menunjukan bahwa kesejateraan hubungan dengan
keluarga masih terjaga baik walaupun dalam kondisi sakit.
Kondisi ini memungkinkan karena pada kondisi sakit anggota
keluarga yang lain memberikan perhatian yang lebih pada saat
ada anggota keluarga yang sakit. Sehinggi pada saat sakit pun
hubungan dengan keluarga bisa terjalin dengan baik.

Simpulan
Sebagian besar pasien stroke ringan dengan tingkat
ketergantungan rendah memiliki kesejahteraan subjektif yang
sedang dan gangguan dalam penguasan peran yang sedang
walaupun hubungan dengan keluarga yang baik masih.

71
Saran
Perlu dipertimbangakan oleh perawat ruangan saraf
untuk meningkatkan pelayanan keperawatan yang berfokus
pada perbaikan kesejahteraan pasien dan penguasaan peran
pasien stroke walaupun tingkat ketergantungan pasien tersebut
pada tingkatan rendah.

Daftar pustaka
Anderson, C. S., Linto, J., & Stewart-Wynne, E. G. (1995). A
population based assessment of the impact and burden
of caregiving for long-term stroke survivors. Stroke,
26(5), 843-849
Chau, J. P., Thompson, D. R., Chang, A. M., Woo, J., Twinn,
S., Cheung, S. K., & Kwok, T. (2010). Depression
among Chinese Stroke survivors six months after
discharge from a rehabilitation hospital. Journal of
Clinical Nursing, 19(21-22), 3042-3050.
doi:10.1111/j.1365-2702.2010.03317.x
Clark, P. C., Dunbar, S. B., Shields, C. G.,Viswanathan, B.,
Aycock, D. M., & Wolf, S. L. (2004) Influence of
stroke survivor characteristics and family conflict
surrounding recovery on caregivers‘ mental and
physical health. Nursing Research, 53(6), 406-413.
Clarke, P., Marshall, V., Black, S. E., & Colantonio, A. (2002).
Well-being after stroke in Canadian seniors: Findings
from the Canadian study of health and aging. Stroke,
33(4), 1016-1021.
Departemen Kesehatan, 2013).
72
Dhamoon, M. S., McClure, L. A., White, C. L., Lau, H.,
Benavente, O., & Elkind, M. S. (2014). Quality of life
after lacunar stroke: The secondary prevention of small
subcortical strokes study. Journal of Stroke and
Cerebrovascular Diseases, 23(5), 1131-1137.
doi:10.1016/j.jstrokecerebrovasdis.2013.09.029
Edwards, D. F., Hahn, M., Baum, C., & Dromerick, A. W.
(2006). The impact of mild Stroke on meaningful
activity and life satisfaction. Journal of Stroke and
Cerebrovascular Diseases, 15(4), 151-157.
doi:10.1016/j.jstrokecerebrovasdis
Green, T. L. & King, K. M. (2009). Experiences of male
patients and wife-caregivers in the first year post-
discharge following minor stroke: A descriptive
qualitative study. International Journal of Nursing
Studies, 46(9), 1194-1200.
Hoffmann, M., Cases, L. B., Hoffmann, B., & Chen, R. (2010).
The impact of Stroke on emotional intelligence. BioMed
Central Neurology, 10(103). doi:10.1186/1471-2377-
10-103
Kim, J. H., & Kim, O. (2008). Influence of mastery and sexual
frequency on depression in Korean men after a stroke.
Journal of Psychosomatic Research, 65(6), 565-569.
doi:10.1016/j.jpsychores.2008.06.005
Lamb, M., Buchanan, D., Godfrey, C. M., Harrison, M. B., &
Oakley, P. (2008). The psychosocial spiritual
experience of elderly individuals recovering from
stroke: A systematic review. International Journal of
73
Evidence-Based Healthcare, 6(2), 173-205.
doi:10.1111/j.1744-1609.2008.00079.x
Ministry of Health. (2013). Riset Kesehatan Dasar
(RISKESDAS) 2013. Jakarta: Badan Penelitian dan
Pengembangan Kesehatan Departemen Kesehatan,
Republik Indonesia.
Nilsson, I., Axelsson, K., Gustafson, Y., Lundman, B., &
Norberg, A. (2001). Well-being, sense of coherence,
and burnout in stroke victims and spouses during the
first few months after stroke. Scandinavian Journal of
Caring Sciences,15(3), 203-214.
Norris, M., Allotey, P., & Barrett, G. (2012). 'It burdens me':
The impact of stroke in central Aceh, Indonesia.
Sociology Health Illness, 34(6), 826-840. doi:
10.1111/j.1467-9566.2011.01431.x
Pound, P., Gompertz, P., & Ebrahim, S. (1998). A patient-
centered study of the consequences of stroke. Clinical
Rehabilitation. 12(4), 338-347.
World Health Organization [WHO] (2012). World health
statistic 2012. Switzerland: World Health Organization,
(www.who.int). 20 Avenue Appia, 1211 Geneva 27.

74
Faktor Penyebab Ketidakpatuhan pada Orang Dengan
HIV/AIDS dalam Menjalani Terapi Antiretroviral di Klinik
Teratai RSUP Dr.Hasan Sadikin Bandung
Dian Hayati Usman1, Kusman Ibrahim2, Titis Kurniawan2
1
Staf Keperawatan RSUP. Dr. Hasan Sadikin Bandung
2
Dosen Fakultas Keperawatan Universitas Padjadjaran

Abstrak
Ketidakpatuhan dalam menjalani terapi antiretroviral (ARV)
mengakibatkan terjadinya resistensi obat, penurunan CD4,
infeksi oportunistik dan akhirnya menurunkan kualitas hidup
ODHA. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk
mengidentifikasi faktor penyebab ketidakpatuhan ODHA
dalam menjalani pengobatan ARV di Bandung, Indonesia.
Metoda penelitian ini adalah deskriptif kualitatif yang
dilakukan terhadap 8 partisipan yang terdiri dari 4 laki – laki
dan 4 perempuan, berusia 20 sampai dengan 40 tahun, dan
memiliki riwayat ketidakpatuhan. Data didapatkan dengan
wawancara semi terstruktur, dan dianalisis secara content
analysis. Hasil penelitian menemukan bahwa ketidakpatuhan
terjadi pada awal terapi, 6 bulan, 1 tahun, 2 tahun dan 3 tahun
setelah menjalani terapi. Pada awal terapi ketidakpatuhan
terjadi karena efek samping obat. Ketidakpatuhan pada pasien
yang menjalani terapi lebih lama, terjadi akibat akumulasi
tekanan psikologis yang dialami pasien baik terkait penyakit
maupun terapi yang dijalaninya. Secara keseluruhan ditemukan
11 tema tentang faktor penyebab ketidakpatuhan yang
dikelompokan ke dalam 3 domain faktor yaitu faktor pasien,
faktor rejimen, faktor pelayanan kesehatan. Tema baru yang
didapatkan dalam penelitian ini adalah ―merasa sehat‖ dan
75
―adanya pemahaman bahwa dosis terlewat dapat diganti dengan
tindakan alternatif‖.
Penyebab ketidakpatuhan pada awal terapi adalah efek
samping ARV dan pemahaman yang kurang baik tentang terapi
ARV. Pada pasien yang lebih lama menjalani terapi terjadi
akibat akumulasi tekanan psikologis terkait penyakit dan
pengobatannya. Untuk mengantisipasi munculnya
ketidakpatuhan perlu ditingkatkan kualitas konseling
kepatuhan, konseling pada awal terapi harus ditekankan pada
proses terapi ARV, efek samping dan penganggulangannya,
dan untuk konseling kepatuhan berkelanjutan lebih difokuskan
pada penanggulangan dampak psikologis dari terinfeksi HIV
dan terapi ARV.
Kata Kunci :Bandung, HIV/AIDS, Ketidakpatuhan, Terapi
Antirteroviral

Pendahuluan
Ketidakpatuhan dalam menjalani terapi antiretroviral
(ARV) mengakibatkan terjadinya resistensi obat, kepatuhan
yang tidak penuh dapat menciptakan potensi berkembangnya
virus yang bermutasi menjadi strain baru (Bangbergs, et. al.,
2000). Virus yang resisten terhadap obat HIV tersebut dapat
ditularkan kepada individu yang baru terinfeksi, lebih lanjut
dapat menyebabkan potensi penularan yang lebih luas di
masyarakat (Jose et al., 2000). Ketidakpatuhan dalam menjalani
terapi ARV merupakan salah satu tantangan terbesar untuk
keberhasilan dalam pengelolaan penyakit HIV (Hellman, 2001.,
Sankar et al., 2002).

76
Pengalaman yang didapat peneliti selama bekerja
sebagai perawat klinik di ruang perawatan penyakit infeksi
menemukan adanya masalah terkait ketidakpatuhan pada Orang
Dengan HIV/AIDS (ODHA) dalam menjalakan terapi
Antiretroviral (ARV). Ketidakpatuhan ODHA dalam menjalani
terapi ARV menimbulkan dampak yang buruk. ODHA yang
menghentikan terapi ARV-nya datang kembali untuk dirawat
karena mengalami infeksi oportunistik seperti TB paru, diare
kronik, meningitis TB, Toxoplasmosis, wasting syndrome, dan
lain – lain. Hal tersebut muncul akibat resistensi obat,
peningkatan viral load dan penurunan imunitas (Li, et. al.,
1998).
Sejak ditemukanya pada tahun 1990-an, pengobatan
antiretroviral (ARV) memberikan harapan baru bagi orang
dengan HIV/AIDS (ODHA). Terbukti pada tahun 1996, telah
terjadi penurunan yang signifikan secara global penyakit yang
berkaitan dengan HIV dan menunda perkembangan AIDS dan
kematian (Palella F.J. et.al, 1998,UNAIDS, 2005). Dengan
adanya terapi ARV juga tercatat secara dramatis telah
meningkatkan tingkat kelangsungan hidup dan menurunkan
kejadian infeksi oportunistik pada penderita AIDS (UNAIDS,
2005).
Munculnya masalah ketidakpatuhan ODHA dalam
menjalani terapi ARV dapat menimbulkan masalah kegagalan
pengobatan (O‘Brien et. al., 2000). Hal tersebut terjadi akibat
dari adanya peningkatan resistensi terhadap ARV (Bangbergs,
et. al., 2006) penurunan CD4 ODHA yang lebih lanjut dapat
meningkatkan angka kejadian infeksi oportunistik dan
menurunkan kualitas hidup penderita (Deuffic-Burban et.al,
2007). Dengan kata lain, keberhasilan terapi ARV sangat

77
memerlukan kepatuhan yang sangat tinggi untuk jangka waktu
yang tidak terbatas (Haynes et al. 2005).
ARV bekerja melawan infeksi dengan cara menghambat
replikasi HIV dalam tubuh, sangat efektif dalam
mengendalikan virus, bahkan dapat mengurangi tingkat virus
sampai ke titik di mana HIV tidak mungkin lagi terdeteksi
dalam darah (Hardon, et. al., 2006). Penekanan replikasi virus
secara maksimal dan terus menerus akan berakibat langsung
ataupun tidak langsung pada pemulihan atau pemeliharaan
fungsi kekebalan tubuh, perbaikan kualitas hidup, dan
penurunan angka penularan, kesakitan dan kematian akibat
HIV.
Pada umumnya ARV efektif digunakan dalam bentuk
kombinasi untuk mengurangi kesempatan terjadinya resistensi
obat HIV (Autran, 1994). Akan tetapi terdapat faktor lain yang
dapat mengakibatkan terjadinya resistensi obat. Menurut
penelitian OʹBrien et al., 2000, faktor – faktor penyebab
terjadinya resistensi obat diantaranya jika ODHA membagi
ARV – nya kepada ODHA lainnya atau terputus rejimen dosis
hariannya, serta penggunaan ARV yang tidak tepat, sehingga
obat menjadi kurang efektif dan akan terjadi resistensi obat dan
berkontribusi secara langsung terhadap kegagalan pengobatan.
Dalam berbagai penelitian telah dijelaskan bahwa
banyak faktor yang dapat mempengaruhi kepatuhan ODHA
dalam menjalani terapi ARV. Faktor – faktor tersebut
diantaranya adalah usia, jenis kelamin, pendidikan, status
pekerjaan, pendapatan, jenis keluarga, jarak dari klinik dan
ketersediaan transportasi, biaya pengobatan, ketidaknyamanan
dengan pengungkapan status HIV, pengetahuan yang memadai
tentang penyakit dan obat-obatan, penggunaan alkohol dan
78
obat-obatan, keyakinan agama dan spiritual, muncul atau
tidaknya gejala AIDS, tingkat pendidikan kesehatan dan
kepuasan terhadap pelayanan kesehatan, dan kondisi co-morbid
yang terjadi pada pasien yang berkorelasi dapat mempengaruhi
kepatuhan ODHA dalam menjalani terapi ARV (Johnson, et.
al., 2005, Wang, et.al., 2008, Cauldbeck, et.al., 2009, Dietz E,
et.al., 2010).
Di Klinik Teratai RSUP dr. Hasan Sadikin Bandung
sendiri, Nirmala dkk (2010) menemukan 35 pasien yang beralih
ke ARV lini 2, yang berarti adanya ketidakpatuhan penderita
dalam menjalani pengobatan ARV. Lebih lanjut, data yang
didapat dari Klinik Teratai RSUP dr. Hasan Sadikin Bandung
selama periode Juli 2011 sampai dengan Januari 2013,
menunjukkan bahwa dari 659 pasien yang terinfeksi HIV,
sebanyak 70 orang (10,62%) pindah, 95 orang (14,41%) droup
out dan 475 (71,6%) orang yang masih aktif (Laporan Klinik
Teratai RSUP.Dr.Hasan Sadikin Bandung, 2013). Selain itu
tercatat tiga Kabupaten/Kota dengan kasus infeksi HIV
tertinggi di Jawa Barat yaitu Kota Bandung sebanyak 229
kasus, kota Bekasi sebanyak 202 kasus,dan kota Bogor 187
kasus (Laporan Jumlah Kasus HIV/AIDS Jawa Barat, 2012).
Padahal berbagai bentuk upaya penanggulangan
ketidakpatuhan ODHA dalam menjalankan terapi ARV di Jawa
Barat telah dikembangkan, salah satunya Program konseling
kepatuhan (adherence). Program ini berguna untuk
meningkatkan kepatuhan ODHA dalam menjalani pengobatan
ARV, kegiatan tersebut didukung dan menjadi bagian dari
rencana strategis penanggulangan HIV/AIDS Jawa Barat 2010-
2014. Meski demikian, jumlah kasus HIV/AIDS di Jawa Barat
sampai dengan tahun 2012 terus meningkat.

79
Di Indonesia, pada tahun 2011 tercatat 81.960 orang
yang positif HIV, terdapat 55.516 orang yang memenuhi syarat
untuk mendapat pengobatan ARV, tapi yang mendapat terapi
hanya berjumlah 39.128 orang. Dari 39.128 orang yang
mendapat ARV, meninggal 8.005 orang (20,5%), masih
mendapatkan ARV 21.775 orang (55,7%), Loss Follow Up
(LFU) 4.918 orang (12,6%), pindah 2.777 orang (7,1%) dan
yang menghentikan ARV 1.641 orang (4,2%) (Laporan
Perawatan HIV/AIDS Kemenkes RI 2011). Masih terdapatnya
ODHA yang menghentikan pengobatan ARV perlu ditelaah
lebih lanjut penyebab – penyebab ketidakpatuhan mereka
dalam menjalani pengobatan ARV.
Kecenderungan yang terjadi di kawasan Asia, terutama
Asia Tenggara berbeda dengan benua lain, dimana jumlah
penderita yang terinfeksi HIV di beberapa wilayah Asia
cenderung tidak mengalami penurunan (WHO, UNAIDS,
UNICEF, 2011). Penderita HIV justru meningkat di enam
Negara di Benua Asia, yaitu Cina, Indonesia, Malaysia,
Myanmar, Thailand dan Vietnam (UNAIDS & WHO, 2007).
Keadaan secara global berbeda dengan Asia, pada tahun 2012
jumlah orang yang terinfeksi HIV baru pada tahun 2012
mengalami penurunan 33%, bila dibandingkan dengan jumlah
orang yang terinfeksi HIV baru pada tahun 2001 (dari 3,4 (3,1–
3,7) juta menjadi 2.3 (1.9–2.7 juta) (WHO, 2013). Saat ini
diperkirakan 35,3 (32,2–38,8) juta orang yang hidup dengan
HIV/AIDS di dunia (UNAIDS, 2013). Kondisi ini merupakan
tantangan besar bagi WHO dan negara-negara anggotanya
dalam mewujudkan target zero new infections, zero
discrimination, and zero AIDS-related death pada tahun 2015
(KPAN, 2011).

80
Penelitian tentang faktor – faktor yang berhubungan
dengan ketidakpatuhan ODHA dalam menjalankan pengobatan
ARV telah banyak dilakukan, akan tetapi kondisi yang
menjelaskan tentang masalah tersebut di Indonesia belum
banyak diteliti. Hal tersebut penting untuk diidentifikasi lebih
lanjut dalam suatu penelitian, karena dengan karakteristik
ekonomi, sosial budaya yang unik, di Indonesia memungkinkan
adanya temuan – temuan baru yang spesifik (new insight).
Sebagaimana dituliskan di awal tentang pengalaman
peneliti pasien yang cenderung tidak patuh justru karena
merasa sudah sehat dan akhirnya menganggap tidak perlu
melanjutkan pengobatan. Hal ini tidak ditemukan dalam
penelitian – penelitian sebelumnya, oleh karena itu perlu untuk
mengidentifikasi secara mendalam melalui pendekatan
kualitatif untuk mengungkap apa yang menjadi faktor – faktor
penyebab timbulnya ketidakpatuhan yang lebih khusus terjadi
pada ODHA yang berada di daerah Bandung dan sekitarnya.
Informasi yang diperoleh tersebut dapat digunakan sebagai
bahan evaluasi program yang sudah dijalankan dan dijadikan
dasar untuk merumuskan program atau intervensi baru yang
tepat guna meningkatkan kepatuhan dan efektifitas pengobatan
ARV pada ODHA.

Metode
Rancangan penelitian dalam penelitian ini
menggunakan pendekatan deskriptif kualitatif. Pendekatan
deskriptif kualitatif berfokus pada usaha mempelajari makna
yang disampaikan para partisipan tentang masalah dan isu
penelitian (Creswell, 2010), serta berkaitan dengan
pengalaman, pendapat dan perasaan individu (Hancock, 2002).
Metode kualitatif bertujuan untuk mempelajari fenomena
81
intensif (Polit & Beck, 2004) dan mengeksplorasi makna agar
hasil penelitian yang diperoleh lebih utuh dan mendalam dalam
memahami respon partisipan (Chao, et al, 2002). Perumusan
masalah dalam penelitian ini adalah ―Apa yang menjadi faktor
penyebab ketidakpatuhan ODHA dalam menjalani pengobatan
ARV di Klinik Teratai RSUP dr. Hasan Sadikin Bandung ?‖,
maka dilakukan wawancara semi terstruktur untuk
mengeksplorasi data secara kualitatif.

Tempat dan partisipan penelitian


Penelitian ini dilakukan di Klinik Teratai RSUP. dr.
Hasan Sadikin Bandung, dengan melakukan wawancara
terhadap 8 orang partisipan dengan pemilihan partisipan secara
purposive sampling merupakan suatu metoda pemilihan sampel
yang dilakukan berdasarkan maksud atau tujuan tertentu yang
ditentukan oleh peneliti (Dharma, 2011). Kriteria partisipan
dalam penelitian ini ditentukan untuk mengidentifikasi faktor
penyebab ketidakpatuhan ODHA dalam menjalani terapi ARV.
Ketidakpatuhan ODHA dalam menjalani terapi ARV yaitu
ODHA yang menyelesaikan pengobatan secara teratur dan
lengkap tanpa terputus minimal 6 bulan sampai dengan 9 bulan,
kemudian disebut lalai jika tidak datang lebih dari 3 hari
sampai 2 bulan dari tanggal perjanjian dan dikatakan droup out
jika lebih dari 2 bulan berturut – turut tidak datang berobat
setelah dikunjungi petugas kesehatan (Depkes RI, 2000), oleh
karena itu, maka ditentukan kriteria inklusi sebagai berikut :
(1) O
DHA dewasa berusia > 18 tahun.

82
(2) O
DHA yang pernah mengikuti pengobatan ARV minimal
6 bulan, yang kemudian lalai atau droup out.
Kriteria eksklusi :
(1) P
asien yang sedang menderita infeksi oportunistik yang
berat.
(2) M
engalami efek samping obat yang sangat berat.

Pengumpulan data
Penelitian ini dilakukan wawancara semi terstruktur
dengan pertanyaan terbuka, yang merupakan bagian dari in-
depth interview dengan pelaksanaan yang lebih felksibel
dibandingkan dengan wawancara terstruktur (Sugiyono, 2013).
Tujuan dari wawancara jenis ini adalah untuk menemukan
permasalahan secara lebih terbuka, sehingga bisa didapatkan
informasi yang lebih terperinci sehubungan dengan topik
penelitian.
Pengumpulan data pada penelitian ini dengan
menggunakan teknik wawancara semi terstruktur. Melalui
teknik ini peneliti berusaha menggali informasi dari partisipan
tentang faktor – faktor yang berhubungan dengan
ketidakpatuhan Orang Dengan HIV/AIDS (ODHA) dalam
menjalani terapi Antiretrovirus (ARV). Pada pelaksanaannya
pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan alat bantu
yang berupa pertanyaan – pertanyaan tertulis sebagai pedoman
untuk wawancara, buku catatan, dan IC recorder untuk
merekam wawancara antara peneliti dengan partisipan.
83
Analisis data
Data yang didapat berupa narasi atau pernyataan,
sehingga analisis yang dilakukan adalah analisis isi (content
analysis) yang direkomendasikan oleh Hancock (2002).
Analysis content merupakan sebuah prosedur untuk
mengkategorikan data verbal atau perilaku, untuk tujuan
klasifikasi, membuat ringkasan dan perhitungan. Merujuk pada
Hancock (2002), content analisys tersebut dapat dianalisa pada
dua tingkat.
Content analysis terdiri dari coding dan
mengelompokkan data. Hal ini untuk mengidentifikasi
transkrip data dan untuk memilah – milah pesan penting yang
tersembunyi di setiap wawancara. Prosedur ini terdiri dari
serangkaian langkah, sebagai gambaran deskriptif mengenai
data, yaitu apa yang dimaksud dengan respon, apa yang tereka
atau tersirat. Hal tersebut disebut juga analisis tingkat laten.
Dalam proses content analysis melakukan peninjauan
kembali data dan kategorisasi data secara terus menerus sampai
peneliti yakin bahwa tema dan kategori yang digunakan untuk
menggambarkan penemuan adalah suatu refleksi jujur dan
akurat dari data. Setelah menentukan tema yang muncul dari
hasil wawancara dengan partisipan peneliti kemudian
melakukan validasi data kepada partisipan untuk meminta
klarifikasinya bila hal ini memungkinkan (kecuali klien pergi
ke luar kota atau meninggal). Hasil klarifikasi tersebut
dikonsultasikan dengan tim pakar. Kemudian melakukan
sintesis terhadap pernyataan – pernyataan yang ada, agar data
tidak bertolak belakang dengan isi transkrip yang ada. Tahap
terakhir adalah membuat laporan tertulis.

84
Trustworthiness (Keandalan data)
Seluruh transkrip dilakukan pemeriksaan data yang
akurat dan berulang untuk mendapatkan keabsahan dan
kekuatan ilmiah dari hasil penelitian berdasarkan keandalan
data (audability), dan kepastian atau konfirmasi ulang data
(confirmability). Untuk mendapatkan keabsahan
(trustworthiness) data, dilakukan pemeriksaan berdasarkan
kriteria tertentu, yaitu credibility, transferability, dependability
serta confirmability (Moleong, 2008).
Untuk mendapatkan kebenaran hasil penelitian
kualitatif apakah dapat dipercaya (credibility) peneliti
melakukan triangulasi yang bertujuan memeriksa kembali
kebenaran data tersebut. Triangulasi dilakukan dengan cara
mengkonfirmasi data ke sumber lain, diantaranya keluarga
partisipan, petugas di Klinik Teratai dan literatur – literature
yang berkaitan dengan penelitian ini. Prinsip transferability
dilakukan dengan melakukan penyusunan laporan secara jelas,
rinci, sistematis dan dapat dipercaya (Sugiyono, 2009).
Konsistensi data didapatkan dengan memverifikasi
langkah-langkah penelitian mulai dari data mentah, hasil
reduksi data dan catatan proses penelitian (Campbell, 1996).
Penelaah eksternal yang dilibatkan dalam menelaah konsistensi
data mulai dari data mentah sampai dengan hasil penelitian
dalam penelitian ini dilakukan oleh para pembimbing peneliti
selama melakukan penelitian dan penyusunan tesis serta pakar
di bidang penyakit HIV/AIDS
Menurut Polit & Hungler (1999) dalam Streubert &
Carpenter (2003) Confirmability adalah objektifitas atau
netralitas data, dimana tercapai persetujuan antara dua orang
85
atau lebih tentang relevansi dan arti data. Peneliti melakukan
confirmability dengan merekam dan mencatat data mentah
secara sistematis dengan disertakan pula catatan lapangan
dibawah pengawasan pembimbing, kemudian menunjukkan
transkrip, tabel pengkategorian awal, dan tabel analisis tema
pada pembimbing dan partisipan.Sebagai bukti partisipan telah
mengkonfirmasi data tersebut, maka transkrip tersebut
ditandatangani oleh partisipan.

Etika Penelitian
Untuk menjamin keamanan penelitian ini, peneliti
mengurus ethical clearance sebagai jaminan bahwa penelitian
ini aman Penelitian ini mendapatkan persetujuan dari Komite
Etik Penelitian RSUP. Dr Hasan Sadikin Bandung. Selama
mengikuti prosedur penelitian kenyamanan dan keamanan para
partisipan diperhatikan. Partisipan boleh berhenti atau tidak
melanjutkan partisipasinya jika dirasakan adanya
ketidaknyamanan. Dalam hal ini peneliti melakukan penelitian
sesuai prosedur yang telah direncanakan dan disepakati melalui
informed consent.

Hasil Penelitian
Hasil wawancara terhadap 8 orang partisipan dengan
karakteristik yang sudah dijelaskan di atas didapatkan 11 tema.
Informasi yang didapatkan dikelompokan berdasarkan faktor
penyebab ketidakpatuhan partisipan dalam menjalani terapi
ARV, faktor – faktor tersebut yaitu faktor pasien, faktor
rejimen dan faktor pelayanan.

86
Faktor pasien meliputi masalah kesehatan mental,
dukungan sosial dan keluarga, persepsi tentang HIV dan
pengobatannya. Faktor rejimen terkait dengan kompleksnya
rejimen pengobatan sehingga dapat mengakibatkan
ketidakpatuhan partisipan dalam menjalani terapi ARV.
Karakterisitik tersebut meliputi dosis obat dan efek samping
obat. Faktor pelayanan adalah hubungan antara pelayanan
kesehatan dengan pasien dapat terjadi antara institusi pelayanan
dengan pasien, petugas dengan pasien serta fasilitas dengan
pasien.

Faktor pasien
Permasalahan mental merupakan salah satu penyebab
ketidakpatuhan partisipan dalam menjalani terapi ARV. Hasil
analisis data terkait masalah kesehatan mental partisipan
menemukan 2 tema yaitu dampak psikososial terinfeksi
HIV/AIDS dan penyalahgunaan alkohol dan zat terlarang.
(1) Dampak psikososial terinfeksi HIV/AIDS
Para partisipan menyatakan bahwa dampak dari
terinfeksinya HIV/AIDS menimbulkan masalah – masalah
psikososial yang menyebabkan ketidakpatuhan partisipan
dalam menjalani terapi ARV. Ketidakpatuhan dalam menjalani
terapi ARV. Masalah psikososial yang timbul diantaranya
kurang percaya diri, mendapat tekanan secara psikis dan
merasa putus asa sehingga partisipan kurang memprioritaskan
pengobatannya.
Salah satu penyebab ketidakpatuhan adalah kepercayaan
diri yang kurang. Hal tersebut mengakibatkan ketergantungan
yang sangat tinggi terhadap sistem dukungannya. Salah satu
partisipan menyatakan bahwa keterlambatan minum obat
87
disebabkan suaminya tidak bisa mengantarnya untuk
mengambil obat. Pada saat wawancara pun P-2 ingin ditemani
oleh suaminya. Pernyataan yang menunjukkan adanya rasa
kurang percaya diri diungkapkan oleh salah satu partisipan di
bawah ini:
“(penyebab terlambat mengambil obat ke klinik)….itu
karena suami tidak bisa mengantar ke Klinik,……dampak
kesehatan karena terkena infeksi jadi kepikiran juga untuk
berhubungan dengan tetangga jadi kurang PD (percaya
diri)” (P-2).
Ada pula partisipan yang menyatakan bahwa minum obat
setiap hari membuat ia merasa tertekan secara psikis. Hal
tersebut tergambar oleh pernyataan partisipan berikut ini:
“Ya serasa ditekan sama obat,………”(P-1).
Hal tersebut diungkapkan pula oleh partisipan lainnya,
yaitu:
“…………… merasa tertekan karena saya kan hidup
sendiri jauh dari orang tua, saya harus menghidupi anak
dua, sendirian gitu.”(P-4).
Rasa tertekan yang dirasakan terus menerus setiap kali
minum obat membuat partisipan mengalami rasa putus asa, hal
tersebut dinyatakan oleh partisipan berikut ini:
“…………, mungkin sudah terlalu lama lah tiap hari harus
minum obat, harus tepat waktu ada rasa jenuh, ada rasa
putus asa kayak gitu.”(P-4).

88
“……….., istilahnya putus asa buat apa makan obat”(P-6).
(2) Penyalahgunaan alkohol dan zat terlarang lainnya
Tema penyalahgunaan alkohol dan zat terlarang lainnya
ditemukan sebagai satu alasan ketidakpatuhan partisipan
dalam menjalani terapi ARV. Penggunaan alkohol dan zat
terlarang lainnya dilakukan karena partisipan sudah
ketergantungan. Ketergantungan partisipan dalam
mengkonsumsi alkohol dan zat terlarang lainnya
mengakibatkan mereka tidak peduli terhadap program terapi
ARV yang sedang dijalaninya, hal tersebut diketahui dari
pernyataan partisipan di bawah ini:
“……….., saya minum (minuman yang mengandung
alkohol) lagi, Sudah berhenti obat (ARV),………….Ngga
dipikirin aja ARV sudah ngga dipikirin aja,….Saya make
mulainya tahun 1990, Make Putaw tahun 1990”(P-1).
“Waktu berhenti ARV make lagi (Alkohol dan zat terlarang
lainnya)………..., yang standar lah, Shabu – shabu, atau
apa ya? namanya lagi gitu (menggunakan alkohol dan zat
terlarang lainnya) seneng aja, seneng, Ah boro-boro
kepikiran (ARV)”(P-1).
Hal senada diungkapkan pula oleh P-8 yang
mengungkapkan kecanduannya pada minuman beralkohol dan
zat terlarang lainnya menyebabkan ia melupakan pengobatan
ARV yang sedang dijalaninya.
(3) Timbulnya rasa bosan minum obat
Timbulnya rasa bosan disebabkan partisipan harus
minum obat seumur hidupnya dengan frekuensi setiap 12 jam
secara terus menerus dan tak boleh berhenti ataupun menggeser

89
waktu minum obatnya. Sehingga timbul keinginan partisipan
untuk berhenti beberapa hari saja. Hal tersebut tergambar dari
pernyataan partisipan sebagai berikut:
“Iya kan harus makan obat seumur hidup, jadi bosan‖(P-
3).
“…….bosen aja, harus minum obat terus-terusan”(P-8).
Hal senada dinyatakan pula oleh P-6 tentang bosannya minum
obat.
Dukungan sosial dan keluarga sangat penting untuk
keberlangsungan kepatuhan dalam menjalani terapi ARV-nya.
Tingkat dukungan yang baik akan berkontribusi secara positif
terhadap kepatuhan minum obat ARV. Analisa dari data yang
telah dikumpulkan muncul 2 tema, yaitu takut dijauhi oleh
keluarga dan lingkungan sekitarnya dan penggunaan koping
yang tidak efektif.
(1) Takut dijauhi oleh keluarga dan lingkungan sekitarnya
Rasa takut dijauhi oleh keluarga dan lingkungannya
menyebabkan para partisipan menutupi status HIV-nya, mereka
takut jika keluarga tahu statusnya maka keluarga atau
masyarakat sekitarnya akan merasa jijik, takut tertular dan
dihindari. Stigma yang kuat di masyarakat saat ini terhadap
ODHA juga membuat partisipan takut untuk membuka status
HIV mereka, karena dapat mempengaruhi penerimaan
masyarakat terhadap keberadaan partisipan.
Hal tersebut di atas berdampak pada terhambatnya
program terapi ARV para partisipan yaitu minum obat menjadi
terlambat, bahkan terlewat. Permasalahan tersebut dinyatakan
oleh seluruh partisipan yang mengungkapkan status HIV-nya
90
hanya kepada orang tua, keluarga atau orang tertentu yang
dipercayainya.
“,…..yang tahu (status positif HIV) saya keluarga saya,
cuma ibu saya yang ketakutan,…..takut nular kali”(P-1).
“Ya cuma sembunyi sembunyi jangan sampai ketahuan
kan penyakit begini mah”(P-3).

“Kalau teman dekat tahu sih, tapi teman kerja mah


nggak,……..Jujur ya sama orangtua sendiri aja ya,
mungkin bapak saya baru-baru ini tahu dari keluarga.”(P-
4).
“………….., soalnya seperti dikeluarga cuma bapak saya
yang tahu ,kakak tidak tahu saya HIV" (P-5).
“(temen,tetangga) biasa nungguin, mijitin, tapi ga ada
yang tahu saya penyakit apa, saya bilang aja sakit paru-
paru,………… , takut menghina, takut,takut pada
menghindar, takut pada jijik,”(P-8).
Pernyataan di bawah ini mengungkapkan bahwa hanya
pasangannya saja yang mengetahui status HIV-nya
“Nggak ada yang tahu (status HIV positif), cuma suami
doang yang tahu,..…..yang tahu saya sedang terapi ARV,
cuma suami saya”(P-2).

“Sama sekali gak ada yang tahu (status positif HIV )


kecuali suami saya, bukannya kita gengsi atau gimana ya
91
bu, tapi kan kebanyakan dicapnya penyakit ini agak-agak
menyimpang gitu kayak suka gonta ganti pasangan, tapi
mungkin banyak orang diluar sana yang gak tahu, “(P-5).
Lain halnya dengan partisipan berikut ini yang
menyembunyikan status HIV-nya Karena takut diketahui
orientasi seksnya yang homoseksual, seperti terungkap di
bawah ini:
“ Mohon maaf bu saya gay, perempuan dimata saya
sebagai partner saja. …………. Biarlah saya seperti ini,
cukup saya dan keluarga yang mengetahui, biar apapun
gunjingan orang sudah konsekuensi saya itulah dibalik
selain faktor-faktor yang ketika ketidakpatuhan
meninggalkan pengobatan.”(P-7).
(2) Masalah dengan keluarga
Ketidakpatuhan terjadi karena kurangnya dukungan
keluarga. Pernyataan yang diungkapkan oleh partisipan
menggambarkan bahwa faktor penyebab mereka tidak patuh
dalam menjalani terapi ARV karena terjadi permasalahan
dengan keluarga.
Masalah tersebut didukung oleh pernyataan partisipan
seperti yang dikutip sebagai berikut:
“…………….., jadi waktu itu ada masalah, jadi kayaknya
pengen melarikan diri dari masalah ke luar kota, saya
jauh dari orangtua kabur lah istilahnya, ya mungkin
disana wilayahnya wilayah asing, boro-boro saya mikirin
kontrol untuk nyari kaya teratai gini yang menangani
orang ODHA, boro-boro minum obat juga bolong-bolong

92
kadang inget kadang nggak karena mungkin pikirannya
sudah kacau waktu itu.”(P-4).
Lain halnya dengan P-6 yang cenderung menyalahkan
orangtuanya sebagai penyebab ketidakpatuhannya, seperti yang
dikutip dari pernyataannya sebagai berikut:
“Penyebabnya sih banyak, mungkin bosen, masalah lain-
lain juga banyak, masalah orangtua, keluarga………..Yang
parah orangtua, yang bikin saya berhenti tuh orangtua
mungkin marah, atau gimana, kan anak bapak tuh banyak
ya udah mending buang aja lah, saya berhenti (minum
ARV) 2 bulan”(P-6).
Persiapan dan perencanaan awal terapi ARV sangat
penting untuk memberikan pengetahuan dan pemahaman yang
benar tentang HIV dan proses pengobatannya. Untuk mencapai
keberhasilan kepatuhan terutama tergantung pada negosiasi
pada saat perencanaan pengobatan agar pasien bersedia
menjalankan pengobatan dengan benar.
Pada saat pertama kali partisipan menjalani terapi ARV,
mereka belum mempunyai pengalaman baik secara nyata.
Partisipan hanya mengetahui fungsi dan efektifitas ARV
berdasarkan penjelasan dari petugas pemberi pelayanan terapi
ARV. Pada saat kondisi kesehatan partisipan baik serta tidak
mengalami perbedaan dengan orang – orang yang tidak
terinfeksi HIV, para partisipan mulai merasa ragu bahwa
dirinya terinfeksi HIV dan berpikir sudah sembuh, sehingga
tidak perlu lagi mengikuti program terapi ARV.

93
Hasil dari analisa data muncul 2 tema yaitu sudah
merasa sehat dan memiliki keyakinan pada saat dosis terlewat
bisa dibantu dengan asupan makanan yang baik.
(1) Merasa sehat
Setelah ODHA menjalani terapi ARV maka replikasi
virus dapat ditekan, kemudian CD4 menjadi meningkat,
sehingga berdampak adanya peningkatan kondisi fisik ODHA.
Saat itu ODHA merasa dirinya sudah sehat dan tidak perlu lagi
minum ARV. Hal tersebut diungkapkan oleh partisipan berikut
ini:
“Iya, saya paling bisa bertahan karena saya minum ARV,
disaat saya minum ARV badan saya sehat, semuanya jadi
terbuka, terang lagi, segala macem, saya bisa lagi usaha,
keadaan ekonomi saya bagus, CD4 saya tinggi, saya
ngerasa sehat, merasa sudah sehat, saya berhenti minum
ARV, nah itu….awalnya” “………ya berhenti gitu aja,
saya ngerasa sehat, ga minum (ARV) ga apa – apa.”(P-1).
Hal yang serupa diungkapkan pula oleh partisipan lainnya
saat mereka sering terlambat minum ARV, mereka merasa
keterlambatan tersebut tidak akan berdampak buruk pada
kesehatannya, seperti yang diungkapkan berikut ini:
“(saat terlambat minum ARV) ga ada terasa apa – apa
sih.”(P-2)
Untuk mendukung keyakinannya bahwa dirinya telah
sembuh, salah satu partisipan mencoba berobat ke pengobatan
alternatif China. Hal tersebut teridentifikasi dari pernyataannya
sebagai berikut:

94
“Sampai enak, sehat, saya coba-coba periksa ke Sinse
(pengobat tradisional China), sakit HIV gak?, percaya gak
percaya penyakit apaan ini mah normal lah katanya.”(P-3)
(2) Adanya pemahaman bahwa dosis terlewat dapat diganti
dengan tindakan alternatif
Partisipan meyakini bahwa ARV merupakan satu –
satunya pengobatan untuk menghambat perkembangan infeksi
HIV yang dideritanya, akan tetapi mereka berpikir ada tindakan
alternatif untuk mempertahankan kondisi kesehatannya bila
mereka mendapati dirinya telah melewatkan dosis yang
seharusnya diminum. Mereka meyakini bahwa di dalam
mempertahankan daya tahan tubuhnya dapat dibantu dengan
pengobatan alternatif atau makan yang banyak .
Partisipan berikut meyakini bila ia berhenti minum ARV,
kondisi daya tahan tubuhnya dapat dibantu oleh pengobatan
alternatif. Hal tersebut diketahui dari pernyataan Partisipan
berikut ini :
“……..kemudian saya berhenti (minum ARV) ada tiga
bulan lah, berhenti, saya diberi obat oleh Sinse untuk
meningkatkan daya tahan tubuh.”(P-3)

Partisipan lainnya menyebutkan bahwa dengan makan –


makanan yang banyak dapat membantu agar kondisi kesehatan
tetap terjaga meskipun telah melewatkan dosis seharusnya,
seperti yang diungkap di bawah ini:
“Ya saya karena tidak patuh saja, kemarin-kemarin saya
tidak patuh. Tapi saat saya tidak patuh meminum obat

95
kemarin-kemarin itu saya back-up dengan makan Bu,
sebanyak mungkin, sampai berat 80 kg,……..”(P-7)

Faktor rejimen
Hasil pengumpulan data didapatkan bahwa kompleksnya
rejimen pengobatan dapat menyebabkan ketidakpatuhan
partisipan dalam menjalani terapi ARV. Karateristik tersebut
meliputi dosis obat dan efek samping obat.
Hasil analisa data didapat 1 tema yaitu kesulitan minum
obat. Obat ARV jenis tertentu berbentuk tablet yang cukup
besar, terutama jenis obat dosis kombinasi tetap (Fix Dose
Combination). Bentuk obat yang demikian itu membuat
beberapa partisipan mengeluh sulit menelan obat. Berikut
kutipan pernyataan salah satu partisipan tentang kesulitan
tersebut:
―gede-gede sih obatnya, biasanya pake pisang makannya,
susah‖(P-8).
Efek samping obat merupakan keluhan partisipan dalam
menjalani terapi ARV. Efek samping yang tidak dapat
ditoleransi dan terus menerus terjadi selama masa terapi
menjadi salah satu penyebab terjadinya ketidakpatuhan dalam
menjalani terapi ARV. Keluhan ini terjadi pada fase awal
pemberian terapi.
Efek samping yang terjadi pada para partisipan
diantaranya pusing, mual dan gatal – gatal. Hal tersebut
dinyatakan oleh partisipan sebagai berikut:
“Trus..kalau misalnya minum efavirenz, udahnya pusing
sekali. Duh, pusing.”(P-1).
96
“Cuman pertama minum obat itu kaki lemes,…..Iya gatel-
gatel,……… pas pertama sih ada mual-mual kayak
gitu”.(P-2).
“Iya sampai malam, kalo reaksi efavirenz kalo lagi malem
gak enak bu, kalo waktu kerja kan epapiren gak enak bu,
harus istirahat 15 menit baru normal lagi.” (P-3).

“kadang-kadang mual, tapi ditidurin,……. mualnya terus-


terusan, yang bikin mual obat yang gede itu…lupa
namanya”(P-8).
Jadwal terapi yang harus tepat waktu menjadi kesulitan
tersendiri bagi para partisipan, karena kadang – kadang waktu
minum obat mengganggu aktifitas sehari – hari partisipan
seperti istirahat/tidur, pola makan, dan aktifitas lain. Pernyatan
– pernyataan partisipan menunjukkan 1 tema yaitu
terganggunya pola aktifitas dan istirahat tidur.
Aktifitas dan istirahat tidur merupakan kebutuhan dasar
manusia yang harus terpenuhi dalam menjaga keseimbangan
tubuh. Pada saat partisipan merasa lelah atau harus melakukan
suatu kegiatan kadang – kadang hal tersebut terhambat oleh
kewajiban minum obat yang harus tepat waktu setiap harinya.
Kebutuhan tubuh untuk istirahat dan kegiatan sehari – hari
lainnya harus menyesuaikan dengan jadwal minum obat.
Terganggunya kebutuhan istirahat tidur teridentifikasi
dari pernyataan berikut ini:

97
“Ga enaknya…ada waktu..yang..misalnya kalau jam
Sembilan udah ngantuk, ga bisa tidur…harus nunggu.”(P-
1)
Partisipan lain menyatakan bahwa pola makannya
menggeser jadwal minum obatnya. Hal tersebut diketahui dari
pernyataan berikut ini:
―Kan kalau pagi-pagi saya makannya agak susah,
mendingan agak siangan ajah minum obatnya”(P-2)
Ada pula yang menyatakan bahwa salah satu efek
samping obatnya mengganggu aktifitas bekerja partisipan,
yaitu:
“Iya kerja sampai malam, kalo reaksi efavirenz kalo lagi
malem gak enak bu, kalo waktu kerja kan efavirenz gak
enak bu, harus istirahat 15 menit baru normal lagi.”(P-3)

Faktor pelayanan kesehatan


Hubungan antara pelayanan kesehatan dengan pasien
dapat terjadi antara institusi pelayanan dengan pasien, petugas
dengan pasien serta fasilitas dengan pasien. Salah satu faktor
penyebab ketidakpatuhan ODHA dalam menjalankan terapi
ARV jika hubungan tersebut tidak terjalin secara baik. Hal
tersebut termasuk menyangkut kepuasan dan kepercayaan
pasien secara keseluruhan terhadap staf klinik dan penyedia
pelayanan kesehatan, pendapat pasien tentang kompetensi
penyedia pelayanan kesehatan, kesediaan petugas untuk
menyertakan pasien dalam proses membuat keputusan,
hubungan yang afektif (misalnya kehangatan, keterbukaan,
kerjasama), Kompatibilitas ras/etnis antara pasien dan
penyedia, dan rujukan yang adekuat.
98
Hasil wawancara dengan partisipan P-2 dan P-8 secara
umum didapatkan 1 tema yaitu peran konseling kepatuhan. Hal
tersebut diungkapkan saat menjawab pertanyaan apa yang
dijelaskan oleh dokter atau petugas kesehatan sebelum
partisipan memulai menjalani terapi ARV:
“Ya dokternya gak bilang apa-apa sih, cuman dikasih obat
dan disuruh minum itu”(P-2)
Hal yang sama pun diungkapkan oleh partisipan P-3
dalam menjawab pertanyaan yang berhubungan dengan proses
konseling kepatuhan sebelum menjalani terapi.

Pembahasan
Berdasarkan karakteristik pasien, ketidakpatuhan terjadi
pada partisipan usia 18 sampai dengan 40 tahun, baik laki – laki
maupun perempuan. Tingkat pendidikan partisipan
mempengaruhi cara mereka mengekspresikan
permasalahannya. Partisipan dengan pendidikan menengah dan
tinggi tampak lebih mudah mengungkapkan permasalahan yang
mereka rasakan selama menjalani terapi ARV dibandingkan
dengan yang berpendidikan dasar.
Jarak tempat tinggal dengan tempat pengambilan ARV ,
penghasilan, jenis pekerjaan partisipan ditemukan bukan
merupakan faktor penyebab utama terjadinya ketidakpatuhan
partisipan. Ketidakpatuhan terjadi pada partisipan yang
mempunyai jarak tempat tinggal yang dekat maupun yang jauh,
partisipan yang tidak berpenghasilan dan yang berpenghasilan
tinggi, partisipan yang bekerja maupun yang tidak bekerja.
Kecenderungan ketidakpatuhan yang terjadi pada
partisipan yaitu pada awal terapi yaitu kurang dari 6 bulan,
99
ketidakpatuhan terjadi akibat timbulnya efek samping dan
kurangnya pemahaman tentang HIV dan pengobatannya. Pada
tahun pertama dan kedua, ketidakpatuhan timbul disebabkan
adanya permasalahan kurangnya dukungan psikososial dan
ketidakpatuhan yang terjadi setelah dari 3 tahun terapi karena
adanya akumulasi tekanan psikologis terkait penyakit dan
pengobatan ARV. Penelitian lain juga menunjukkan sekitar 30-
40% orang dengan seropositif HIV yang memulai terapi ARV
tidak menunjukkan respon pengobatan secara baik, dan respon
tersebut terjadi pada periode 2 tahun setelah pemberian terapi
(Halkitis, 1999).
Ketidakpatuhan dalam menjalani terapi ARV dapat
disebabkan oleh masalah kesehatan mental. Hasil penelitian
terdahulu menyebutkan bahwa masalah – masalah kesehatan
mental berperan sebagai penghambat kepatuhan terhadap
perawatan dan minum obat, diantaranya aspek umum gangguan
mental, yaitu, depresi, kecemasan, PTSD, dan penyalahgunaan
zat, dan pengaruhnya pada kepatuhan terhadap terapi ARV
(Nel & Kagee, 2011). Masalah tersebut berhubungan dengan
kepatuhan jadwal, dosis dan diet, karena orang yang
mempunyai masalah mental mengalami gangguan konsentrasi
dapat mengalami kesulitan untuk memahami suatu hal (Sadock
& Sadock, 2007).
Dampak dari terinfeksinya HIV/AIDS menimbulkan
masalah – masalah psikososial, menurut para partisipan
merupakan salah satu penyebab ketidakpatuhan partisipan
dalam menjalani terapi ARV. Masalah psikososial yang terkait
dengan terinfeksi HIV dengan yang ditemukan dalam
penelitian ini diantaranya kurang percaya diri, mendapat
tekanan secara psikis dan merasa putus asa. Hal tersebut terjadi

100
karena ketidakpastian terkait penyakit HIV (Brashers et al.,
2003; Brashers, Neidig, & Goldsmith, 2004), sehingga
menjalani terapi ARV sehingga mereka menjadi cemas dan
putus asa dan tidak yakin akan terhadap kemampuannya
menjalani terapi tersebut (Reynolds, 2004).
Ketidakyakinan terhadap kemampuannya dalam
menjalani terapi terkait dengan rendahnya efikasi diri dalam
menjalani terapi ARV. Efikasi diri mempunyai dampak yang
kuat dalam menginisiasi perubahan perilaku (DeLaune &
Ladner, 2002), dalam hal ini perubahan perilaku yang
diharapkan yaitu meningkatnya kepatuhan dalam menjalani
terapi ARV. Untuk meningkatkan kepatuhan tersebut perlu
diberikan intervensi yang berorientasi kognitif untuk
meningkatkan efikasi diri (Parson, Rosof, & Mustansky, 2008)
dengan fokus pada tugas untuk memulihkan rasa mampu
setelah mengalami kegagalan, dan menghadapi stressor atau
ancaman dengan keyakinan bahwa mereka mampu
mengontrolnya (Bandura, 2007).
Penyalahgunaan alkohol dan zat terlarang lainnya
merupakan salah satu faktor penyebab ketidakpatuhan ODHA
dalam menjalani terapi ARV, sesuai dengan hasil penelitian
lain, yang mana disebutkan bahwa faktor-faktor utama yang
terkait dengan ketidakpatuhan adalah penyalahgunaan zat dan
alkohol (Chesney, 2000). Penyalahgunaan alkohol dan zat
terlarang merupakan comorbid dari masalah gangguan mental
(Cunningham-Williams, R., L. Cottler, et al., 2000). Hal
tersebut secara langsung dapat mempengaruhi tingkat
kepatuhan terhadap terapi ARV, karena pada umumnya orang
yang terintoksikasi akan mengalami kerusakan memori,

101
konsentrasi, dan koordinasi fisik (Nevid, Rathus, & Greene,
2006 dalam Nel & Kagee, 2011).
Hasil penelitian yang terkait dengan masalah
penyalahgunaan alkohol dan zat terlarang lainnya menunjukkan
bahwa: (1) masalah minum dikaitkan dengan penurunan
kepatuhan minum obat, terutama dengan mengambil obat dari
jadwal selama seminggu sebelumnya; (2) beratnya minum
(kuantitas/frekuensi lebih tinggi) dan tingkat bahaya minum
adalah pola minum yang paling kuat terkait dengan masalah
kepatuhan; dan (3) orang dengan masalah minum mungkin
lebih cenderung melewatkan dosis obat karena aktif
mengkonsumsi alkohol atau obat-obatan, melupakan atau
kehabisan obat (Do, et al., 2013, Cook, et al., 2001).
Timbulnya rasa bosan disebabkan partisipan harus
minum obat seumur hidup dengan frekuensi setiap 12 jam.
Program terapi ARV yang harus dijalankan tepat waktu dan
tidak memungkinkan partisipan menghentikan pengobatan
sementara untuk menghilangkan kejenuhan. Hal tersebut dapat
menambah tekanan psikologis dari dalam diri ODHA.
Tekanan psikologis yang tinggi dapat mengakibatkan
ODHA menghentikan terapinya meskipun faktor pengalaman
kognitif dapat mempengaruhi efikasi diri (Bandura, 1997)
dimana mereka tahu bahwa menghentikan pengobatan akan
berdampak buruk bagi kondisi mereka.
ODHA membutuhkan dukungan sosial dan keluarga pada
saat menjalani terapi ARV. Hal tersebut tergambar dari hasil
pengumpulan data yang terkait dengan kebutuhan mereka
untuk dihargai, karena proses penyesuaian diri terhadap
penyakit sangat dipengaruhi oleh ketersediaan sumber
102
dukungan sosial dan emosional terhadap individu dan
menunjukkan dampak yang signifikan terhadap kepatuhan
pengobatan (Catz, 2000; DiMatteo, & Kravitz, 1991).
Salah satu bentuk dukungan yang dibutuhkan ODHA
dari jaringan sosial mereka adalah dukungan emosional ,
meyakinkan orang bahwa ia akan dberikan perawatan, dihargai
dan dicintai (Coyne, et al., 1981), akan tetapi stigma yang
berkembang di masyarakat membuat para ODHA merasa
mereka tidak akan mendapat dukungan yang diharapkan jika
mereka membuka staus HIV-nya. Mereka menyakatakan jika
keluarga tahu statusnya maka keluarga atau masyarakat
sekitarnya akan merasa jijik, takut tertular dan dihindari.
Kebanyakan partisipan menutupi status HIV-nya akibat
masih kuatnya stigma sosial yang berkembang di lingkungan
mereka. Stigma sosial membuat orang-orang yang hidup
dengan HIV tidak mau mengungkapkan status mereka kepada
orang lain, hal tersebut dapat menjadi penghambat kepatuhan
pengobatan HIV. Orang-orang dengan stigma HIV tinggi
cenderung memiliki nilai CD4+ 2,5 kali yang lebih rendah
3.3 kali lebih , hal itu terjadi karena tidak patuh pada rejimen
obat yang telah ditentukan (Rintamaki, 2006). Berkurangnya
stigma dapat meningkatkan dukungan psikososial yang baik
dapat meningkatkan kepatuhan minum ARV pada ODHA
(Elliott-Scanlon, 2006) dan menunjukkan dampak yang sangat
signifikan terhadap kepatuhan pengobatan (Catz,2000;
Sherboume, Hays, Ordway, DiMatteo, & Kravitz, 1991).
Ketidakpatuhan partisipan dalam menjalani terapi ARV
juga disebabkan oleh adanya masalah dengan keluarga.
Partisipan merasakan adanya akumulasi masalah yang dimulai
dari terinfeksi HIV sampai dengan konsekuensi dari menjalani
103
terapi ARV. Pada proses tersebut mereka membutuhkan
dukungan dari orang – orang terdekatnya terutama keluarga.
Adanya masalah antara partisipan dan keluarganya
dapat menurunkan dukungan keluarga terhadap partisipan.
Dalam sebuah penelitian kualitatif terhadap individu dengan
HIV-positif, Halkitis dan Kirton (1999) menemukan bahwa
sistem dukungan yang signifikan, termasuk keluarga, teman,
dan profesional kesehatan, memainkan peran kunci dalam
meningkatkan kepatuhan dalam pengobatan. Partisipan yang
tidak patuh secara signifikan ditemukan keadaannya lebih
tertekan, lebih banyak merasakan efek samping obat-obatan,
dan dilaporkan kurang mendapat dukungan emosional.
Pengetahuan dan tentang HIV/ AIDS dan pengobatannya
sangat penting dijelaskan pada saat ODHA akan memulai terapi
ARV, mereka belum mempunyai pengalaman baik secara
nyata. Partisipan hanya mengetahui fungsi dan efektifitas ARV
berdasarkan penjelasan dari petugas pemberi layanan terapi
ARV. Pada saat kondisi kesehatan partisipan baik serta tidak
mengalami perbedaan dengan orang - orang yang tidak
terinfeksi HIV, para partisipan mulai merasa ragu bahwa
dirinya terinfeksi HIV dan berpikir sudah sembuh, sehingga
tidak perlu lagi mengikuti program terapi ARV. Kepatuhan
dapat dicapai tergantung pada saat penerimaan tentang
penyakitnya, sehingga pasien mempunyai komitmen untuk
patuh, selain itu pemantauan terkait kepatuhan secara
berkesinambungan (Fowler, 1998; Williams & Friedland,
1997).
Setelah ODHA menjalani terapi ARV maka replikasi
virus dapat ditekan, kemudian CD4 menjadi meningkat
(Voldberding, 2008), sehingga berdampak adanya peningkatan
104
kondisi fisik ODHA. Saat itu ODHA merasa dirinya sudah
sehat dan tidak perlu lagi minum ARV. Pada keadaan sehat,
ODHA berkeyakinan dirinya telah sembuh dan tak perlu lagi
minum ARV, sehingga menghentikan terapi ARV-nya. Hal
tersebut dipengaruhi pemahaman partisipan mengenai penyakit
dan pengobatan HIV, oleh karena itu perlu ditekankan pada
awal pemberian terapi bahwa tujuan terapi ARV untuk
mencapai efek supresi viral load yang maksimal selama
mungkin, menunda resistensi pengobatan, meningkatkan
jumlah sel T CD4, dan meningkatkan keadaan klinis yang
substansial (Durham & Lashley, 2006) bukan untuk membunuh
virusnya.
Beberapa partisipan mengungkapkan bahwa terdapat
pengobatan atau tindakan lain yang dapat mempertahankan
kondisi kesehatannya. Dimana mereka meyakini bahwa
pengobatan alternatif dan makan yang banyak dapat
mempertahankan daya tahan tubuhnya pada saat mereka tidak
minum ARV. Pada saat ODHA melewatkan dosisnya tidak
merasakan efek yang berarti, sehingga timbul pemikiran bahwa
dosis terlewat bisa dibantu dengan asupan makanan yang baik.
Pengetahuan yang baik dan pendidikan tinggi tidak selalu
berdampak pada tingkat pemahaman penyakit HIV dan proses
terapi ARV. Penelitian menunjukkan bahwa tingkat pendidikan
yang tinggi merupakan salah satu faktor ketidakpatuhan dalam
menjalani terapi ARV (Bhat, 2010). Hal yang penting dalam
meningkatkan pengetahuan dan pemahaman ODHA dalam
menjalani terapi ARV adalah Untuk mencapai keberhasilan
kepatuhan terutama tergantung pada negosiasi perencanaan
pengobatan dimana pasien bersedia menjalankannya dan

105
assesmen kepatuhan yang berkelanjutan ((Fowler, 1998;
Williams & Friedland, 1997).
Upaya ODHA dalam mencari terapi alternatif
disebabkan proses pengobatan medis yang terlalu lama yang
menyebabkan penderita bosan menerima peran sebagai pasien
dan ingin segera mengakhirinya, oleh karena itu dia mencari
alternatif pengobatan lain yang mempercepat proses
penyembuhannya ataupun hanya memperingan rasa sakitnya
(illness) (Foster & Anderson, 1996).
Hasil pengumpulan data didapatkan bahwa kompleksnya
rejimen pengobatan dapat menyebabkan ketidakpatuhan
partisipan dalam menjalani terapi ARV. Karateristik tersebut
meliputi dosis obat dan efek samping obat. Fungsi ARV untuk
menghambat reflikasi virus menimbulkan konsekuensi bagi
partisipan untuk mengikuti dosis obat seumur hidup, dengan
frekuensi setiap 12 jam, dan tak boleh terlewat walaupun satu
kali. Selain itu terbatasnya rejimen membuat partisipan tidak
dapat memilih jenis obat tertentu yang ukurannya cukup kecil
untuk ditelan.
Obat ARV jenis tertentu memang bentuknya besar,
terutama jenis obat dosis kombinasi tetap (Fix Dose
Combination). Bentuk obat yang demikian itu membuat
beberapa partisipan mengeluh sulit menelan obat. Kesulitan
menelan obat dapat diatasi jika mereka mendapatdukungan
psikososial yang adekuat. Dukungan psikososial yang baik
dapat meningkatkan kepatuhan minum ARV pada ODHA
(Elliott-Scanlon, 2006).
Efek samping obat merupakan keluhan partisipan yang
terjadi pada awal menjalani terapi ARV. Efek samping yang
106
tidak dapat ditoleransi dan terus menerus terjadi selama masa
terapi menjadi salah satu penyebab terjadinya ketidakpatuhan
dalam menjalani terapi ARV. Efek samping yang terjadi pada
para partisipan diantaranya pusing, mual dan gatal – gatal.
Efek samping obat merupakan salah satu faktor penyebab
ketidakpatuhan ODHA dalam menjalani (Weiser, 2003), hal
tersebut terjadi pada partisipan dalam penelitian ini. Akses
Informasi yang baik dan penangan efek samping yang tepat
dapat mengurangi terjadinya ketidakpatuhan. Jadwal terapi
yang harus tepat waktu menjadi kesulitan tersendiri bagi para
partisipan. Waktu minum obat mengganggu aktifitas sehari –
hari partisipan seperti istirahat/tidur, pola makan, dan aktifitas
lain, sedangkan hal tersebut merupakan kebutuhan dasar
manusia yang harus dipenuhi untuk meningkatkan motivasi
manusia (Maslow, 1970).
Hubungan antara penyedia pelayanan kesehatan dengan
pasien dapat menyebabkan ketidakpatuhan dalam menjalankan
terapi ARV jika hubungan tersebut tidak terjalin secara baik.
Hal tersebut menyangkut termasuk kepuasan dan kepercayaan
pasien secara keseluruhan terhadap staf klinik dan penyedia
pelayanan kesehatan; pendapat pasien tentang kompetensi
penyedia pelayanan kesehatan , kesediaan petugas untuk
menyertakan pasien dalam proses membuat keputusan,
hubungan yang afektif (misalnya kehangatan, keterbukaan,
kerjasama); Kompatibilitas ras/etnis antara pasien dan
pelayana dan rujukan yang adekuat (WHO, 2006).
Partisipan yang memulai terapi ARV di luar klinik
Teratai menyatakan bahwa mereka hanya diberi penjelasan
minum obat seperti layaknya pasien – pasien lain. Mereka
diberi tahu bahwa minum obat seumur hidup dan tidak boleh
107
terlewat sesuai jadwal. Konseling kepatuhan berperan penting
dalam meningkatkan kepatuhan dan mencegah penularan lebih
luas (Kgaltwane, et.al., 2006). Dari hasil wawancara
didapatkan data bahwa seluruh partisipan pernah mengalami
ketidakpatuhan setelah 6 bulan, 1 tahun, 2 tahun dan lebih dari
5 tahun menjalankan terapi ARV, sehingga perlu adanya
intervensi konseling kepatuhan secara periodik.
Untuk mendapatkan perubahan perilaku yang
diharapkan petugas pemberi pelayanan kesehatan harus dapat
menerapkan model kepatuhan dengan memfasilitasi ODHA
untuk melakukan perilaku kepatuhan yang diharapkan. Hal
tersebut dilakukan dengan membantu ODHA seseorang
menjaga niat positif yang kuat atau kecenderungan untuk
melakukan perilaku, menganggap dirinya memiliki
keterampilan yang diperlukan untuk melakukan perilaku, tidak
menghadapi hambatan fisik, logistik, atau sosial lingkungan
untuk melakukan perilaku, percaya bahwa materi, sosial atau
penguatan lainnya akan membentuk perilaku, percaya bahwa
ada tekanan normatif untuk melakukan dan tidak
memerintahkan perilaku, percaya bahwa perilaku konsisten
dengan citra diri seseorang, memiliki efek positif mengenai
perilaku, dan isyarat dalam mendapatkan petunjuk atau
kemampuan untuk terlibat dalam perilaku pada waktu dan
tempat yang tepat (Loue,. Elder, et al., 1998, Fishbein, et. al.,
2003).

Keterbatasan Penelitian
Keterbatasan penelitian meliputi kondisi partisipan saat
menceritakan masalah – masalah yang berhubungan dengan
status HIV-nya, kondisi emosi partisipan yang tidak stabil saat
memberikan informasi menjadi salah satu hambatan dalam
108
proses pengumpulan data. Sehingga wawancara harus terhenti
sejenak sampai partisipan tenang, atau membuat kontrak baru
untuk melakukan wawancara ulang.
Terdapat 2 partisipan yang sedang dirawat di ruang
rawat inap, sehingga wawancara dilakukan di tempat tidur
partisipan yang tempatnya berdampingan dengan pasien –
pasien lain. Hal tersebut memungkinkan adanya distraksi
selama proses wawancara berlangsung.

Simpulan
Ketidakpatuhan dalam menjalani terapi antiretroviral
(ARV) mengakibatkan terjadinya resistensi obat, bahkan
kepatuhan yang hanya sebagianpun dapat menciptakan potensi
berkembangnya virus yang bermutasi menjadi strain baru
(Bangbergs, et. al., 2000, Robert, et. al.,1995). Untuk
mengetahui faktor penyebab ketidakpatuhan tersebut maka
dilakukan penelitian secara deskriptif kualitatif.
Faktor penyebab ketidakpatuhan ODHA dalam
menjalani terapi ARV yang telah teridentifikasi yaitu terdiri
dari 11 tema yang dikelompokan ke dalam 3 domain faktor
yaitu faktor pasien, faktor rejimen dan faktor pelayanan
kesehatan. Berdasarkan karakteristik pasien ketidakpatuhan
cenderung muncul pada periode awal terapi disebabkan oleh
efek samping obat, pada tahun pertama dan kedua terjadi akibat
adanya permasalahan dukungan sosial dan keluarga, sedangkan
lebih dari 3 tahun disebabkan adanya akumulasi tekanan
psikologis terkait penyakit dan pengobatan HIV yang
dirasakan oleh partisipan.

109
Tema baru yang muncul sebagai faktor penyebab
ketidakpatuhan ODHA dalam penelitian ini yaitu ―Merasa
sehat‖ dan ―Adanya pemahaman bahwa dosis terlewat dapat
diganti dengan tindakan alternatif‖. Atas dasar tema khusus
tersebut dapat dijadikan sebagai dasar intevensi selanjutnya
untuk mencegah ketidakpatuhan ODHA dalam menjalani terapi
ARV terutama di Klinik Teratai RSUP dr. Hasan Sadikin
Bandung.

Saran
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan
terdapat beberapa rekomendasi yang dapat dilakukan untuk
menindaklanjuti hasil penelitian Ketidakpatuhan ODHA dalam
menjalani terapi ARV adalah sebagai berikut:
(1) Perlu disiapkan calon tenaga keperawatan yang
mempunyai kompetensi sebagai perawat konselor,
sehingga kemampuan kliniknya dapat diaplikasikan untuk
membantu ODHA dalam meningkatkan kepatuhan dalam
menjalankan terapi ARV.
(2) Penelitian yang perlu dilakukan sebagai tindak lanjut
dari penelitian ini adalah untuk mengidentifikasi faktor
yang mendukung kepatuhan ODHA dalam menjalani
terapi ARV dan model konseling kepatuhan yang dapat
diterapkan Klinik Teratai RSUP dr. Hasan Sadikin
Bandung.
(3) Kegiatan konseling kepatuhan bagi ODHA yang sedang
menjalani terapi ARV dilakukan pada 6 bulan pertama
masa terapi ARV dengan berfokus pada terapi ARV yang
benar, efek samping dan penanganannya.

110
(4) Kegiatan tindak lanjut konseling kepatuhan pada periode
3 tahun setelah menjalani terapi ARV difokuskan pada
penanganan masalah tekanan psikologis yang dialami
ODHA terkait dengan penyakit dan terapinya.
(5) Meningkatkan fungsi jejaring eksternal untuk sistem
dukungan bagi ODHA untuk pemantauan kepatuhan
dalam menjalani terapi ARV secara berkesinambungan.

Daftar Pustaka
American Psychiatric Association (APA). (2000). Diagnostic
and statistical manual of mental disorders (4th ed.,text
revision: DSM-IV-TR). Washington,DC: American
Psychiatric Association.loads." AIDS Patient Care &
STDs 20(5): 326-334.
Australian Commission on Safety and Quality in Health Care
(ACSQHC) (2006) National Inpatient Medication
Chart. http://www.health.gov.au/
internet/safety/publishing.nsf/content/national-
inpatient-medicationchart.
Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (BAPPENAS)
(2012). LAPORAN PENCAPAIAN TUJUAN
PEMBANGUNAN MILENIUM DI INDONESIA
2011. Kementerian Perencanaan Pembangunan
Nasional.
Bandura, A. (1977). "Self-efficacy: Toward a unifying theory
of behavioral change." Psychological Review 84(2):
191-215.

111
Bangsberg, D. R., E. P. Acosta, et al. (2006).
"Adherenceâ€―resistance relationships for protease and
non-nucleoside reverse transcriptase inhibitors
explained by virological fitness." AIDS 20(2): 223-231
10.1097/01.aids.0000199825.34241.49.
Bangsberg, D. R., F. M. Hecht, et al. (2000). "Adherence to
protease inhibitors, HIV-1 viral load, and development
of drug resistance in an indigent population." AIDS
14(4): 357-366.
Besch, C. L. (1995). "Compliance in clinical trials." AIDS 9(1):
1-10.
Brashers, D., Neidig, J., & Goldsmith, D. (2004). Social
support and the management of uncertainty for people
living with HIV or AIDS. Health Communication, 16,
305–331.
Brashers, D., Neidig, J., Russell, J., Cardillo, L., Haas, S.,
Dobbs, L., et al. (2003). The medical, personal, and
social causes of uncertainty in HIV illness. Issues in
Mental Health Nursing, 24, 497–522.
Bhat, V. G., M. Ramburuth, et al. (2010) "Factors associated
with poor adherence to anti-retroviral therapy in
patients attending a rural health centre in South Africa."
European Journal of Clinical Microbiology and
Infectious Diseases 29(8): 947-53.
Bosworth H B.,. Oddone E Z, and Weinberger M. (2008).
Patient treatment adherence concepts, interventions, and
measurement. Taylor & Francis e-Library.

112
Bottonari, K., S. Safren, et al.(2010). "A longitudinal
investigation of the impact of life stress on HIV
treatment adherence." Journal of Behavioral Medicine
33(6): 486-495.
Campbell, S. (2004). "Management of HIV/AIDS transmission
in health care." Nursing Standard 18(27): 33-35.
Catz, S.L., Kelly, J.A., Bogart, L.M., Benotsch, E.G.,&
McAuliffe, T.L. (2000). Patterns, correlates and barriers
to medical adherence among persons prescribed new
treatments for HIV disease. Health Psychology. 19. 24-
133.
Cauldbeck MB, O‘Connor C, O‘Connor MB, Saunders JA, Rao
B, Mallesh VG, Praveen Kumar NK, Mamtha G,
McGoldrick C, Laing RB, Satish KS (2009) Adherence
to anti-retroviral therapy among HIV patients in
Bangalore, India. AIDS Research and Therapy 6:7.
doi:10.1186/1742-6405-6-7
Chesney, M. A. (2000). Factors Affecting Adherence to
Antiretroviral Therapy. CID. Oxford Journal. CID
2000;30 (Suppl 2)
Chou, F.-Y., W. L. Holzemer, et al. (2004). "Self-Care
Strategies and Sources of Information for HIV/AIDS
Symptom Management." Nursing Research 53(5): 332-
339.
Colibazzi T, Hsu T T, and . Gilmer W S.(2006).Human
Immunodeficiency Virus and Depression in Primary
Care: A Clinical Review. Primary Care Companion

113
Journal Clinic Psychiatry. 2006; 8(4): 201–211
PMCID: PMC1557477.
Cook, R. L. M. D. M. P. H., S. M. P. Sereika, et al. (2001).
"Problem drinking and medication adherence among
persons with HIV infection." Journal of General
Internal Medicine 16(2): 83-8.
Cotton, S., C. M. Puchalski, et al. (2006). "Spirituality and
Religion in Patients with HIV/AIDS." Journal of
General Internal Medicine 21(S5): S5-S13.
Coyne, J.C., Aldwin, C., & Lazarus, R.S. (1981). Depression
and coping in stressful episodes. Journal of Abnormal
Psychology. 90, 439- 447.
Creswell, J. W (2007). Qualitative inquiry & research design,
choosing among five approach, 2nded, Sage publication
thousand oaks, London, New Delhi
Cunningham-Williams, R., L. Cottler, et al. (2000). "Problem
Gambling and Comorbid Psychiatric and Substance Use
Disorders Among Drug Users Recruited from Drug
Treatment and Community Settings." Journal of
Gambling Studies 16(4): 347-376.
DeLaune, S C. & P K. Ladner (2002) Fundamentals of nursing:
Standards & practice. 2nd ed. Delmar, a division of
Thomson Learning, Inc.
Departemen Kesehatan RI Direktorat Jendral Pengendalian
Penyakit dan Penyehatan Lingkungan (2010). Modul
Pelatihan Konseling dan tes sukarela HIV untuk

114
konselor professional.cetakan kedua. Departemen
Kesehatan RI.

Departemen Kesehatan RI (2006).Situasi HIV/AIDS di


Indonesia tahun 1987 – 2006. Pusat Data dan Informasi
Departemen kesehatan RI.
Deuffic-Burban,S., et. al. (2007). ―Estimates of opportunistic
infection incidence or death within specific CD4 strata
in HIV-infected patients in Abidjan, Côte d‘Ivoire:
impact of alternative methods of CD4 count modeling‖.
Europe Journal Epidemiology. 22(10): 737–744.
Dewing, S., C. Mathews, et al. "Behavior Change Counseling
for ARV Adherence Support Within Primary Health
Care Facilities in the Western Cape, South Africa."
AIDS and Behavior 16(5): 1286-94.
Dharma, K. (2011). Metodologi Penelitian
Keperawatan,Panduan melaksanakan dan Menerapkan
Hasil Penelitan.CV. Trans Info Media.
Dietz E, Clum GA, Chung SE, Leonard L, Murphy DA, Perez
LV, Harper GW, Ellen JM (2010) Adherence to
scheduled appointments among HIV-infected female
youth in five U.S. cities. Journal Adolescene Health
46(3):278–283
DiMatteo MR (2004). Variations in patients‘ adherence to
medical recommendations. A quantitative review of 50
years of research. Medical Care, 42:200-209.

115
Do, H. M., M. P. Dunne, et al. "Factors associated with
suboptimal adherence to antiretroviral therapy in Viet
Nam: a cross-sectional study using audio computer-
assisted self-interview (ACASI)." BMC Infectious
Diseases 13.
Duffin, Jacalyn. (2005). ―Lovers and Livers: Disease Concepts
in History‖. Toronto: University of Toronto Press.
Durham JD., Lashley FR. (2009).The person with HIV/AIDS:
nursing perspectives,4th ed. Springer Publishing
Company, LLC.
Elliott-Scanlon, G. (2006). How relationship with healthcare
providers, social support and drug use, shape HIV
medication adherence behavior among men who have
sex with men. ProQuest Dissertations and Theses. Ann
Arbor, New York University: 158-158 p.
Fishbein, M. and M. C. Yzer (2003). "Using Theory to Design
Effective Health Behavior Interventions."
Communication Theory 13(2): 164-183.
French, M. A., P. Price, et al. (2004). "Immune restoration
disease after antiretroviral therapy." AIDS 18(12): 1615-
1627.
Halkitis, P.N., Shrem, M.T., Zade, D.D. & Wilton, L. (2005).
The physical, emotional and interpersonal impact of
HAART: exploring the realities of HIV seropositive
individuals on combination therapy. Journal of Health
Psychology, 10 (3) 345-358.

116
Hancock B. (2002)trent Focus For research and Development
in Primary health care An introduction to Qualitative
Research. Journal, 1-31.
Hardon A, et al.(2006).From access to adherence : the
challenges of antiretroviral treatment : studies from
Botswana, Tanzania and Uganda. World Health
Organization.
Haynes RB et al. (2005) Interventions for enhancing
medication adherence. The Cochrane Database of
Systematic Reviews, Issue 4. Art. No.: CD000011. DOI:
10.1002/ 14651858. CD000011.pub2.
Hellman N. (2001). High Prevalence of Drug-resistant HIV
Identified in the US. In program of the 41st Interscience
Conference on Antimicrobial Agents and
Chemotherapy, Chicago, IL, USA.
Jose M.I., Ramos J.T., Alvarez S., Jimenez J.L. & Munoz-
Fernandez M.A. (2000) Vertical transmission of
antiretroviral drug-resistant HIV-1 variants, Abstract
154c. In 4th International Workshop on HIV Drug
Resistance and Treatment Strategies. Available at
http://www.hivandhepatitis.com
Johnson MO, Charlebois E, Morin SF, Catz SL, Goldstein RB,
Remien RH, Rotherham-BorusMJ,Mickalian JD, Kittel
L, Samimy-Muzaffar F, Lightfoot MA, Gore-Felton C,
Chesney A; NIMH Healthy Living Project Team (2005)
Perceived adverse effects of antiretroviral therapy.
Journal Pain Symptom Manage 29(2):193–205.

117
Kalichman SC.(2005) Positive Prevention Reducing HIV
Transmission among People Living with HIV/AIDS.
Kluwer Academic/Plenum Publishers, New York.
Katz I T, et al. (2013). Impact of HIV-related stigma on
treatment adherence: systematic review and meta-
synthesis. Journal of the International AIDS Society.
2013; 16(3Suppl 2): 18640.
Kgatlwane, et., al. (2006). ―Factors that facilitate or constrain
adherence to antiretroviral therapy among adults at four
public health facilities in Botswana: a pre-intervention
study‖. From access to adherence:the challenges of
antiretroviral treatment Studies from Botswana,
Tanzania and Uganda 2006.
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia (2011). Laporan
Situasi Perkembangan HIV & AIDS di Indonesia.
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia Direktorat
Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan
Lingkungan (2011). Pedoman Nasional Tatalaksana
Klinis Infeksi HIV dan Terapi Antiretroviral pada orang
Dewasa. Kementerian Kesehatan RI.
Kikuchi, K., K. C. Poudel, et al. "High Risk of ART Non-
Adherence and Delay of ART Initiation among HIV
Positive Double Orphans in Kigali, Rwanda." PLoS One
7(7).
Kirton, C. (2008). ―Managing long-term complications of HIV
infection‖. Nursing 2008, 38 (8), 44–51.

118
KPAN (2011) Rangkuman Eksekutif Upaya Penanggulangan
HIV dan AIDS di Indonesia 2006 - 2011: Laporan 5
Tahun Pelaksanaan Peraturan Presiden No.75/2006
tentang Komisi Penanggulangan AIDS Nasional.
Kurtyka, D. E. (2008). The effects of a structured adherence
intervention to HAART on adherence and treatment
response outcomes. ProQuest Dissertations and Theses.
Ann Arbor, University of South Florida: 174-n/a.
Li, L., S. Lee, et al.(2010) "Antiretroviral therapy adherence
among patients living with HIV/AIDS in Thailand."
Nursing & Health Sciences 12(2): 212-220.
Loue, S., J. Elder, et al. (1998). Strategies for Health Education.
Handbook of Immigrant Health, Springer US: 567-585.
Maslow, AH. (1970). Motivation and Personality.3thed. Harper
& Row, Publishers 1954.
Moleong LJ. (2010) Metodologi penelitian Kualitatif (edisi
revisi) . Bandung. Remaja Rosdakarya.
Nel, A. and Kagee A.(2011) "Common mental health problems
and antiretroviral therapy adherence." AIDS Care
23(11): 1360-1365.
Parsons, J .T., Rosof, E., & Mustansky, B (2008). ―Medication
Adherence Mediates the Relationship between
Adherence Self-efficacy and Biological Assessments of
HIV Health among those with Alcohol Use Disorders‖.
AIDS Behaviour. 2008 January ; 12(1): 95–103.
doi:10.1007/s10461-007-9241-8

119
Polit DF, Beck CT.(2004). Nursing Research, principles and
methods, seventh edition. Lippincott Williams &
Wilkins.
Polkinghorne, DE (1989) Phenomenological research methods,
in Valle, RS and Halling, S (eds), Existential-
phenomenological perspectives in psychology:
exploring the breadth of human experience. New York:
Plenum Press.
Portillo, C. J., W. L. Holzemer, et al. (2007). "HIV symptoms."
Annual Review of Nursing Research 25: 259-291.
Reynolds, N. R. (2004). "The problem of antiretroviral
adherence: a self-regulatory model for intervention."
AIDS Care 15(1): 117-124.
Rintamaki, L. S., T. C. Davis, et al. (2006). "Social stigma
concerns and HIV medication adherence." AIDS Patient
Care & STDs 20(5): 359-368.
Sadock & Sadock. (2007) Kaplan & Sadock's Synopsis of
Psychiatry: Behavioral Sciences/clinical Psychiatry,
Wolters Kluwer Health, Lippincott Williams & Wilkins.
Sankar A., Luborsky M., Schuman P. & Roberts G. (2002)
Adherence discourse among African-American women
taking HAART. AIDS Care 14, 203–218.
Streubert, & Carpenter. (2003). Qualitative Research in
Nursing: Advancing the humanistic imperative.3th
ed.Philadelphia Lippincott.

120
Sugiyono.(2013). Metode penelitian Kuantitatif, Kualitatif dan
Kombinasi (Mixed Methods). Penerbit Alfabeta
Bandung.
Sumantri, R,Wisaksanana R, Sutantri Y. (2010).Buku
Panduan,Dukungan, Perawatan dan Pengobatan
Komprehensif HIV/AIDS. Penerbit Pusat Informasi
Ilmiah Departemen Ilmu Penyakit dalam FK UNPAD
RS.Dr. Hasan Sadikin Bandung.
UNAIDS (2013) Global report: UNAIDS report on the global
AIDS epidemic 2013. Joint United Nations Programme
on HIV/AIDS (UNAIDS).
United Nations.(2009). DISCUSSION PAPER PREPARED
FOR THE UNESCAP/UNAIDS EXPERT GROUP
MEETING, BANGKOK, MAY 12-13 2008, HIV and
AIDS in Asia and the Pacific A review of progress
towards Universal Access. United Nations publication
Sales No. E.09.II.F.8 ISBN: 978-92-1-120573-2.
Volberding PA, sande MA,Lange J,Greene WC.(2008).Global
HIV/AIDS Medicine. Saunders Elsevier Inc.
Wang H, He G, Li X, Yang A, Chen X, Fennie KP, Williams
AB (2008) Self-reported adherence to antiretroviral
treatment among HIV-infected people in Central China.
AIDS Patient Care STDs 22(1):71–80.
Williams A, Friedland G (1997). Adherence, compliance, and
HAART. AIDS Clinical Care,9(7):51‐53.
Williams P (2007) Medication errors. Journal Research Coll
Physicians Edinb 37(4): 343- 46.
121
World Health Organization (2013). Country Office for
Indonesia. WHO country cooperation strategy 2007-
2012 – Indonesia. WHO Library Cataloguing-in-
Publication data.
WHO, UNAIDS, dan UNICEF (2011). GLOBAL HIV/AIDS
RESPONSE; Epidemic update and health sector
progress towards Universal Access.

122
Risiko Penyakit Kardiovaskular Berdasarkan Skor
Kardiovaskular Jakarta Pada Masyarakat Desa Limus
Gede Kecamatan Cimerak Kabupaten Pangandaran

Eka Afrima Sari1, Sheizi Prista Sari2, Sri Hartati Pratiwi3


1, 2, 3
Fakultas Keperawatan Universitas Padjadjaran
Email: e.afrima@unpad.ac.id

Abstrak

Penyakit kardiovaskular merupakan penyebab utama


kematian didunia. Terjadinya penyakit kardiovaskular ini
dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya faktor risiko yang
dapat dikendalikan dan faktor risiko yang tidak dapat
dikendalikan. Banyaknya faktor yang memengaruhi penyakit
kardiovaskular ini, diperlukan upaya pencegahan yang
multifaktorial pula, diantaranya dengan deteksi dini risiko
penyakit kardiovaskular. Deteksi dini ini dilihat dari
karakteristik individu yang berhubungan dengan peningkatan
risiko untuk terjadinya penyakit kardiovaskular sehingga dapat
menekan angka kejadian penyakit kardiovaskular dimasa
mendatang. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui
gambaran risiko penyakit kardiovaskular pada masyarakat di
Desa Cimerak Kabupaten Pangandaran.
Penelitian ini menggunakan metode deskriptif survei.
Responden terdiri dari 69 orang masyarakat di Desa Cimerak
Kabupaten Pangandaran yang dipilih melalui teknik purposive
sampling dengan kriteria inklusi usia 25 – 64 tahun. Metode
pengumpulan data berupa kuisioner serta observasi tekanan
darah dan indeks massa tubuh responden yang merujuk pada
Skor Kardiovaskular Jakarta. Data dianalisis menggunakan
distribusi frekuensi.
123
Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebanyak 36
responden memiliki risiko penyakit kardiovaskular rendah
(52.17%), sebanyak 24 responden memiliki risiko penyakit
kardiovaskular sedang (34.78%), dan sebanyak 9 responden
memiliki risiko penyakit kadiovaskular tinggi (13.04%). Skor
risiko rendah memiliki persentase berkembangnya penyakit
kardiovaskular sebesar < 10%, skor risiko sedang memiliki
persentase 10 – 20%, dan skor risiko tinggi memiliki persentase
> 20%.
Semakin besar faktor risiko yang dimiliki oleh
seseorang maka akan semakin besar pula risiko timbulnya
penyakit kardiovaskular pada seseorang tersebut. Sehingga
perlu adanya upaya untuk mencegah penyakit kardiovaskular
yang dapat dilakukan melalui pencegahan primer (pada
individu yang memiliki faktor risiko penyakit kardiovaskular)
maupun pencegahan sekunder (pada individu yang telah
mengalami penyakit kardiovaskular).

Kata kunci: faktor risiko, penyakit kardiovaskular, Skor


Kardiovaskular Jakarta

Pendahuluan

Penyakit kardiovaskular merupakan penyakit jantung


dan pembuluh darah yang disebabkan oleh adanya penyempitan
atau penyumbatan pada arteri koroner. Penyakit ini menjadi
penyebab utama kematian didunia. Terjadinya penyakit
kardiovaskular ini dipengaruhi oleh beberapa faktor risiko,
yaitu faktor risiko yang dapat dikendalikan (modified risk
factor) dan faktor risiko yang tidak dapat dikendalikan (non
modified risk factor).
124
Adapun faktor risiko yang dapat dikendalikan adalah
hiperlipidemia, hipertensi, merokok, diabetes mellitus, obesitas,
inaktifitas fisik, konsumsi alkohol, stress (psikososial), serta
diet tinggi lemak jenuh, kolesterol, dan kalori. Sedangkan
faktor risiko yang tidak dapat dikendalikan yaitu usia, jenis
kelamin, dan riwayat keluarga. Adanya faktor risiko ini dalam
diri individu, dapat berarti bahwa individu tersebut memiliki
kemungkinan akan terkena penyakit kardiovaskular
dibandingkan dengan individu yang tidak memiliki faktor
risiko tersebut (Depkes, 2007).
Banyaknya faktor yang memengaruhi penyakit
kardiovaskular ini, diperlukan upaya pencegahan yang
multifaktorial pula, diantaranya dengan deteksi dini risiko
penyakit kardiovaskular. Deteksi dini ini dilihat dari
karakteristik individu yang berhubungan dengan peningkatan
risiko untuk terjadinya penyakit kardiovaskular sehingga dapat
mencegah dan menekan angka kejadian penyakit
kardiovaskular dimasa mendatang.
Salah satu upaya dalam mencegah terjadinya penyakit
kardiovaskular pada sepuluh tahun mendatang yaitu dengan
menghitung skor kardiovaskular individu pada saat ini. Skor
kardiovaskular dihitung dengan menggunakan Skor
Kardiovaskular Jakarta dengan sensitifitas (77,9%) dan
spesifisitas (90%) ini memberikan prediksi positif sebesar
92,2% dan prediksi negatif sebesar 72,8%. Adapun faktor
risiko yang termasuk kedalam Skor Kardiovaskular Jakarta
adalah jenis kelamin, usia, tekanan darah, indeks massa tubuh,

125
perilaku merokok, diabetes mellitus, dan aktifitas fisik
(Kusmana, 2002).
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran
risiko penyakit kardiovaskular pada masyarakat di Desa
Cimerak Kabupaten Pangandaran.

Metode
Penelitian ini menggunakan metode deskriptif.
Responden penelitian sebanyak 69 orang masyarakat di Desa
Limus Gede Kecamatan Cimerak Kabupaten Pangandaran yang
dipilih melalui teknik purposive sampling dengan kriteria
inklusi usia 25 – 64 tahun.
Metode pengumpulan data berupa kuisioner serta
observasi tekanan darah dan indeks massa tubuh responden
yang merujuk pada Skor Kardiovaskular Jakarta. Skor
Kardiovaskular Jakarta memiliki sensitifitas 77,9%, spesifisitas
90,0%, positive predictive value 92,2%, dan negative predictive
value 72,8%. Data dianalisis menggunakan distribusi frekuensi.
Variabel-variabel dalam Skor Kardiovaskular Jakarta
ini adalah:
1. Jenis kelamin
a. Perempuan : skor 0
b. Laki-laki : skor 1
2. Usia
a. 25 - 34 tahun : skor -4
b. 35 – 39 tahun : skor -3
c. 40 – 44 tahun : skor -2
d. 45 – 49 tahun : skor 0
126
e. 50 – 54 tahun : skor 1
f. 55 – 59 tahun : skor 2
g. 60 – 64 tahun : skor 3
3. Tekanan darah
a. Normal (<130/ <85 mmHg) : skor 0
b. Normal tinggi (130–139/ 85–89 mmHg) : skor 1
c. Hipertensi derajat 1 (140–159/ 90-99 mmHg) : skor 2
d. Hipertensi derajat 2 (160-179/ 100-109 mmHg) : skor 3
e. Hipertensi derajat 3 (≥180/ ≥110 mmHg) : skor 4
4. Indeks massa tubuh
a. 13,79 – 25,99 : skor 0
b. 26,00 – 29,99 : skor 1
c. 30,00 – 35,58 : skor 2
5. Perilaku merokok
a. Tidak merokok : skor 0
b. Bekas perokok : skor 3
c. Merokok : skor 4
6. Diabetes mellitus
a. Tidak : skor 0
b. Ya : skor 2
7. Aktifitas fisik
a. Tidak : skor 2
b. Ringan : skor 1
c. Sedang : skor 0
d. Berat : skor -3
Penjumlahan skor dari masing-masing variabel pada
Skor Kardiovaskular Jakarta ini dinterpretasikan sebagai
berikut:
127
1. Skor -7 sampai 1: Risiko rendah.
Individu memiliki persentase berkembangnya penyakit
kardiovaskular sebesar < 10%.
2. Skor 2 sampai 4: Risiko sedang
Individu memiliki persentase berkembangnya penyakit
kardiovaskular sebesar 10-20%.
3. Skor ≥ 5: Risiko tinggi
Individu memiliki persentase berkembangnya penyakit
kardiovaskular sebesar > 20%

Hasil Penelitian
Karakteristik responden dilihat berdasarkan Skor
Kardiovaskular Jakarta yang terdiri dari jenis kelamin, usia,
tekanan darah, indeks massa tubuh, perilaku merokok, diabetes
mellitus, dan aktifitas fisik.
Karakteristik responden berdasarkan jenis kelamin
didapatkan bahwa sebanyak 69 orang (100%) responden dalam
penelitian ini adalah perempuan. Hal ini dapat dilihat pada
Tabel 1 dibawah ini.

Tabel 1. Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Jenis


Kelamin
Jenis Kelamin Jumlah %
Perempuan 69 100
Laki-Laki 0 0
Total 69 100

128
Karakteristik responden berdasarkan usia didapatkan
bahwa sebanyak 13 orang (18,84%) responden berada pada
rentang usia 45 – 49 tahun, sebanyak 12 orang (17,39%)
responden berada pada rentang usia 40 – 44 tahun, sebanyak 11
orang (15,94%) responden berada pada rentang usia 60-64
tahun, sebanyak 9 orang (13,04%) responden berada pada
rentang usia 25 – 34 tahun, sebanyak 9 orang (13,04%)
responden berada pada rentang usia 50 – 54 tahun, sebanyak 9
orang (13,04%) responden berada pada rentang usia 55 – 59
tahun, dan sebanyak 6 orang (8,70%) responden berada pada
rentang usia 35 – 39 tahun. Hal ini dapat dilihat pada Tabel 2
dibawah ini.

Tabel 2. Distiribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Usia


Rentang Usia Jumlah %
25 – 34 9 13.04
35 – 39 6 8.70
40 – 44 12 17.39
45 – 49 13 18.84
50 – 54 9 13.04
55 – 59 9 13.04
60 – 64 11 15.94
Total 69 100

Karakteristik responden berdasarkan tekanan darah


didapatkan bahwa sebanyak 40 orang (57,97%) responden
memiliki tekanan darah normal, sebanyak 14 orang (20,29%)
responden memiliki hipertensi grade I, sebanyak 10 orang
129
(14,49%) responden memiliki tekanan darah normal tinggi,
sebanyak 4 orang (5,80%) responden memiliki hipertensi grade
II, dan sebanyak 1 orang (1,45%) responden memiliki
hipertensi grade III. Hal ini dapat dilihat pada Tabel 3 dibawah
ini.

Tabel 3. Distiribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Tekanan


Darah
Tekanan Darah Jumlah %
Normal 40 57.97
Normal Tinggi 10 14.49
Hipertensi Grade I 14 20.29
Hipertensi Grade II 4 5.80
Hipertensi Grade III 1 1.45
Total 69 100

Karakteristik responden berdasarkan indeks massa


tubuh didapatkan bahwa sebanyak 45 orang (65,22%)
responden memiliki indeks massa tubuh pada rentang 13,79 –
25,99; sebanyak 15 orang (21,74%) responden memiliki indeks
massa tubuh pada rentang 26,00 – 29,99; dan sebanyak 9 orang
(13,04%) responden memiliki indeks massa tubuh pada rentang
30,00 – 35,58. Hal ini dapat dilihat pada Tabel 4 dibawah ini.

Tabel 4. Distiribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Indeks


Massa Tubuh
Indeks Massa Tubuh Jumlah %
13.79 – 25.99 45 65.22
130
26.00 – 29.99 15 21.74
30.00 – 35.58 9 13.04
Total 69 100

Karakteristik responden berdasarkan perilaku merokok


didapatkan bahwa sebanyak 67 orang (97,10%) responden tidak
merokok dan sebanyak 2 orang (2,90%) responden merupakan
perokok. Hal ini dapat dilihat pada Tabel 5 dibawah ini.

Tabel 5. Distiribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Perilaku


Merokok
Perilaku Merokok Jumlah %
Tidak Merokok 67 97.10
Bekas Perokok 0 0
Merokok 2 2.90
Total 69 100

Karakteristik responden berdasarkan penyakit diabetes


melitus didapatkan bahwa sebanyak 69 orang (100%)
responden dalam penelitian ini tidak memiliki penyakit
diabetes mellitus. Hal ini dapat dilihat pada Tabel 6 dibawah
ini.

Tabel 6. Distiribusi Frekuensi Responden Berdasarkan


Penyakit Diabetes Melitus
Diabetes Melitus Jumlah %
Tidak 69 100
Ada 0 0
131
Total 69 100

Karakteristik responden berdasarkan aktifitas fisik


didapatkan bahwa sebanyak 53 orang (76,81%) responden
melakukan aktifitas fisik sedang, sebanyak 7 orang (10,14%)
responden melakukan aktifitas fisik berat, sebanyak 6 orang
(8,70%) responden melaakukan aktifitas fisik ringan, dan
sebanyak 3 orang (4,35%) responden tidak melakukan aktifitas
fisik. Hal ini dapat dilihat pada Tabel 7 dibawah ini.

Tabel 7. Distiribusi Frekuensi Responden Berdasarkan


Aktifitas Fisik
Aktifitas Fisik Jumlah %
Tidak 3 4.35
Ringan 6 8.70
Sedang 53 76.81
Berat 7 10.14
Total 69 100

Risiko penyakit kardiovaskular berdasarkan


karakteristik responden yang mengacu pada Skor
Kardiovakular Jakarta didapatkan bahwa sebanyak 36 orang
(52,17%) responden memiliki risiko rendah, sebanyak 24 orang
(34,78%) responden memiliki risiko sedang, dan sebanyak 9
orang (13,04%) responden memiliki risiko tinggi. Hal ini dapat
dilihat pada Tabel 8 dibawah ini.

132
Tabel 8. Risiko Penyakit Kardiovaskular Berdasarkan Skor
Kardiovaskular Jakarta
Risiko Penyakit Jumlah %
Kardiovaskular
Rendah 36 52.17
Sedang 24 34.78
Tinggi 9 13.04
Total 69 100

Pembahasan
Jenis Kelamin
Hasil penelitian menunjukkan bahwa 100 % responden
adalah perempuan. Hal ini dikarenakan pengambilan subjek
penelitian dilakukan pada saat kegiatan pengajian yang lebih
banyak dihadiri oleh perempuan sehingga didapatkan sebanyak
69 orang responden yang memenuhi kriteria inklusi adalah
perempuan.
Perempuan memiliki risiko penyakit jantung koroner
lebih rendah daripada laki-laki dan akan meningkat risikonya
setelah mengalami menopause (Galbut, B & Davidson, M,
2005). Hal ini dikarenakan perempuan dilindungi oleh hormon
estrogen yang melebarkan pembuluh darah. Setelah
menopause, kadar estrogen dalam tubuh ikut menurun sehingga
terjadi peningkatan risiko terjadinya penyakit kardiovaskular.

Usia
Pada hasil penelitian didapatkan bahwa sebanyak 13
orang (18,84%) responden berada pada rentang usia 45 – 49
133
tahun, sebanyak 12 orang (17,39%) responden berada pada
rentang usia 40 – 44 tahun, sebanyak 11 orang (15,94%)
responden berada pada rentang usia 60-64 tahun., dan sebanyak
9 orang (13,04%) responden berada pada rentang usia 25 – 34
tahun.
Penelitian menunjukkan bahwa kejadian aterosklerosis
pada arteri koronaria dipengaruhi oleh usia sebesar 42%. Usia
rata-rata timbulnya aterosklerosis adalah 28 tahun (Utama,
2007 dalam Islamee, 2008). Semakin bertambah usia maka
akan semakin berisiko terhadap penyakit kardiovaskular,
dimana peningkatan morbiditas dan mortalitas penyakit ini
terjadi pada usia 30-44 tahun (Anwar, 2004 dalam Islamee,
2008).

Hipertensi
Pada hasil penelitian didapatkan bahwa sebanyak 40
orang (57,97%) responden memiliki tekanan darah normal,
sebanyak 14 orang (20,29%) responden memiliki hipertensi
grade I, sebanyak 10 orang (14,49%) responden memiliki
tekanan darah normal tinggi, sebanyak 4 orang (5,80%)
responden memiliki hipertensi grade II, dan sebanyak 1 orang
(1,45%) responden memiliki hipertensi grade III.
Penelitian yang dilakukan oleh Nababan (2008)
menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang bermakna
kejadian penyakit jantung koroner dengan hipertensi.
Peningkatan tekanan darah menyebakan meningkatnya
tekanan dinding arteri yang mempercepat terjadinya
aterosklerosis dan arteriosklerosis sehingga 20 tahun
134
mempercepat terjadinya ruptur dan oklusi vaskuler
dibandingkan dengan orang yang memiliki tekanan darah
normal (Stem, 1992 dan Lipoeta, 2006).
Peningkatan tekanan darah sistemik akan meningkatkan
resistensi pemompaan darah ventrikel kiri, hal ini akan
mengakibatkan terjadinya hipertropi ventrikel yang akan
meningkatkan kebutuhan oksigen miokardium sehingga beban
kerja jantung akan meningkat dan menyebabkan angina dan
infark miokardium (Price and Wilson, 1994). Peningkatan
tekanan darah akan meningkatkan tekanan terhadap dinding
arteri dan merusak endotel yang akan memicu aterosklerosis.
Begitupula dengan perubahan aterosklerotik juga akan
menyebakan peningkatan tekanan darah (Lipoeta, 2006).
Penurunan tekanan darah diastolik sebesar 5 mmHg
akan mengurangi risiko penyakit jantung koroner sebesar 16%
(Gray, Dwakins, Morgan, and Simpson, 2002).

Indeks Massa Tubuh


Pada hasil penelitian didapatkan bahwa sebanyak 45
orang (65,22%) responden memiliki indeks massa tubuh pada
rentang 13,79 – 25,99; sebanyak 15 orang (21,74%) responden
memiliki indeks massa tubuh pada rentang 26,00 – 29,99; dan
sebanyak 9 orang (13,04%) responden memiliki indeks massa
tubuh pada rentang 30,00 – 35,58.
Hasil penelitian lain menunjukkan bahwa risiko
terjadinya penyakit jantung koroner lebih besar pada kelompok
overweight dibandingkan dengan kelompok ideal dan
underweight (Mawi, 2003). Peningkatan risiko penyakit
135
jantung koroner berbanding lurus dengan peningkatan berat
badan. Hal ini dipengaruhi oleh berbagai faktor risiko seperti
hipertensi, diabetes, dan hiperlipidemia (Wirakusumah, 2001).
Seseorang yang memiliki berat badan optimal akan mengalami
penurunan insiden penyakit jantung koroner sebesar 25%
(Nestle PJ, 1980 dalam Supriyono, 2008).
Penelitian yang berbeda menunjukkan bahwa tidak
terdapat hubungan yang bermakna kejadian penyakit jantung
koroner dengan obesitas. Namun terdapat peningkatan jumlah
pasien dengan penyakit jantung koroner yang mengalami
obesitas dibandingkan dengan pasien yang bukan penyakit
jantung koroner yang mengalami obesitas (Nababan, 2008).
Setiap peningkatan berat badan sebesar 10% juga berisiko
terhadap beberapa penyakit lain seperti hipertensi (peningkatan
tekanan sistolik 6,5 mmHg), hiperlipidemia, dan diabetes
mellitus (peningkatan gula darah 2 mg/dl) sehingga pengaruh
obesitas terhadap kejadian penyakit jantung koroner ini tidak
dapat berdiri sendiri (Hendramartono, 2002 dan Robert, 1997).

Merokok
Pada hasil penelitian didapatkan bahwa sebanyak 67
orang (97,10%) responden tidak merokok dan sebanyak 2
orang (2,90%) responden merupakan perokok. Pada penelitian
ini seluruh responden adalah perempuan. Supriyono (2008)
menyebutkan bahwa perempuan yang merokok akan
mengalami menopause dini dibandingkan dengan yang bukan
perokok.

136
Terjadi peningkatan risiko penyakit jantung koroner
sebesar dua kali lipat pada orang yang merokok. Hal ini
disebabkan oleh adanya nikotin yang terdapat pada rokok
sehingga merusak endotel dinding pembuluh darah melalui
pengeluaran katekolamin dan mempermudah terjadinya
penggumpalan pada pembuluh darah yang pada akhirnya akan
meningkatkan denyut jantung dan tekanan darah. Pada rokok
terdapat karbon monoksida (CO) yang akan menyebabkan
desaturasi hemoglobin sehingga menurunkan langsung
persediaan oksigen jaringan termasuk miokardium serta
mempercepat terjadinya aterosklerosis (Yanti, 2008).
Rokok menimbulkan aterosklerosis, meningkatkan
spasme pada arteri koroner, meningkatkan tekanan darah dan
denyut jantung, memicu terjadinya aritmia, meningkatkan
kebutuhan oksigen miokard, dan menurunkan kapasitas
pengangkutan oksigen (Supriyono, 2008).
Penelitian yang dilakukan oleh Nababan (2008)
menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang bermakna
kejadian penyakit jantung koroner dengan merokok.
Seseorang yang berhenti merokok selama satu tahun
akan menurunkan risiko terjadinya penyakit jantung koroner
sebesar 50% (Erikseen & Enger, 1978 dalam Supriyono, 2008).
Hasil penelitian menunjukkan bahwa orang yang
menghentikan kebiasaan merokok mengalami penurunan
kejadian vaskular sebesar 7 – 47% daripada golongan yang
merokok (Rose, Hamilton, Colwell & Shiply, 1982 dalam
Supriyono, 2008).

137
Diabetes Melitus
Pada hasil penelitian didapatkan bahwa sebanyak 69
orang (100%) responden dalam penelitian ini tidak memiliki
penyakit diabetes mellitus.
Penyakit diabetes mellitus berkaitan dengan sistem
kardiovaskular, seperti terjadinya disfungsi endotelial dan
gangguan pada pembuluh darah yang akan meningkatkan risiko
terjadinya Coronary Artery Diseases (CAD) (Bauters, Lamblin,
Fadden et al, 2003). Seseorang yang memiliki penyakit diabetes
mellitus berisiko lebih besar (200%) untuk mengalami penyakit
kardiovaskular dibandingkan dengan tidak memilki diabetes
mellitus. (Liu, Sempos, and Donahue, 2005).

Aktifitas Fisik
Pada hasil penelitian didapatkan bahwa sebanyak 53
orang (76,81%) responden melakukan aktifitas fisik sedang,
sebanyak 7 orang (10,14%) responden melakukan aktifitas fisik
berat, sebanyak 6 orang (8,70%) responden melaakukan
aktifitas fisik ringan, dan sebanyak 3 orang (4,35%) responden
tidak melakukan aktifitas fisik.
Aktifitas fisik akan mempengaruhi sistem
kardiovaskular melalui peningkatan curah jantung dan
redistribusi aliran darah dari organ yang kurang aktif ke organ
yang aktif (Ellestad, 1986 dalam Supriyono, 2008). Hal ini
akan menurunkan tekanan darah sistolik, menurunkan kadar
katekolamin, dan memperbaiki sirkulasi koroner (Stem &
Cleary, 1982 dalam Supriyono, 2008). Aktifitas fisik dapat
menurunkan risiko penyakit jantung koroner melalui
138
peningkatan kadar HDL kolesterol, perbaikan kolateral
koroner, serta perbaikan fungsi paru dan konsumsi oksigen ke
miokardium (Anwar, 2004 dalam Islamee, 2008).
Hasil penelitian lain menunjukkan bahwa terdapat
hubungan yang bermakna antara kejadian penyakit jantung
koroner dengan aktifitas fisik/ olahraga (Nababan, 2008). Hasil
penelitian di Harvard menunjukkan bahwa individu dengan
aktifitas fisik yang adekuat berisiko lebih rendah terhadap
penyakit jantung koroner dibandingkan dengan orang yang
kurang melakukan aktifitas fisik (Anwar, 1997).

Risiko Penyakit Jantung Koroner Berdasarkan Skor


Kardiovakular Jakarta
Pada hasil penelitian didapatkan bahwa sebanyak 36
orang (52,17%) responden memiliki risiko rendah, sebanyak 24
orang (34,78%) responden memiliki risiko sedang, dan
sebanyak 9 orang (13,04%) responden memiliki risiko tinggi.
Seseorang yang memiliki risiko rendah memiliki
persentase berkembangnya penyakit kardiovaskular sebesar <
10%. Upaya yang dapat dilakukan pada individu dengan skor
rendah adalah dengan mempertahankan pola hidup sehat yang
sudah dilakukan.
Seseorang yang memiliki risiko sedang memiliki
persentase berkembangnya penyakit kardiovaskular sebesar 10-
20%. Upaya yang dapat dilakukan pada individu dengan skor
risiko sedang adalah dengan mengubah gaya hidup untuk
mengurangi faktor risiko sehingga menurunkan skor yang
dimiliki.
139
Seseorang yang memiliki risiko tinggi memiliki
persentase berkembangnya penyakit kardiovaskular sebesar >
20%. Upaya yang dapat dilakukan pada individu dengan skor
risiko tinggi adalah dengan mengatasi faktor risiko yang sudah
ada, mengubah gaya hidup serta berkonsultasi dengan dokter
(Kusmana, 2002).

Simpulan
Berdasarkan Skor Kardiovaskular Jakarta, risiko
penyakit kardiovaskular pada masyarakat Desa Limus Gede
Kecamatan Cimerak Kabupaten Pangandaran didapatkan
bahwa :
1. Sebanyak 36 orang (52,17%) responden memiliki risiko
rendah sehingga memiliki persentase berkembangnya
penyakit kardiovaskular sebesar < 10%.
2. Sebanyak 24 orang (34,78%) responden memiliki risiko
sedang sehingga memiliki persentase berkembangnya
penyakit kardiovaskular sebesar 10-20%
3. Sebanyak 9 orang (13,04%) responden memiliki risiko
tinggi sehingga memiliki persentase berkembangnya
penyakit kardiovaskular sebesar > 20%).

Saran
Perlu adanya pencegahan dan pengendalian terhadap
faktor risiko terjadinya penyakit kardiovaskular melalui pola
hidup sehat seperti berhenti merokok, berolahraga secara

140
teratur (aktifitas fisik), diet, dan menghindari stres sehingga
dapat meminimalkan skor yang dimiliki.

Daftar Pustaka

Anwar, T.B. 1997. Faktor-Faktor Risiko PJK. Medan: Bagian


Ilmu Gizi FK USU.

Bauters, C; Lamblin, N; Fadden, E; Eric van Belle; Millare, A


and Pascal de Groote. 2003. Influence of Diabetes
Mellitus on Heart Failure Risk and Outcome.
Cardiovascular Diabetology, Centre Hospitalier
Universitaire de Little, January 8, 2003, 1-6.

Gray, H; Dawkins, K; Morgan, J; Simpson. 2002. Lecture


Notes Cardiology. Edisi 4. Jakarta: Erlangga Medical
Series.

Hendarmantono. 2002. Obesitas sebagai Faktor Risiko Penyakit


Kardiovaskuler. Surabaya. Majalah Kedokteran
Udayana, Volume 33 Nomor 116.

Islamee, A.U. 2008. Faktor-Faktor Risiko Kardiovaskular yang


Berhubungan dengan Ada atau Tidak Adanya Kelainan
pada Hasil Elektrokardiografi pada Jamaah Majelis
Dzikir SBY Nurussalam Tahun 2008. Skripsi.
Universitas Indonesia.

Kusmana, D. 2002. The Influence of Smoking Cessation,


Regular Physical Exercise and/or Physical Activity on
Survival: A 13 Tears Cohort Study of The Indonesian

141
Population in Jakarta. Medical Journal Indonesia.
Volume 11, Nomor 4, October-Desember 2002.
Lipoeta, I. 2006. Gizi dan Makanan pada Penyakit
Kardiovaskular. Yogyakarta: Andalah InsistPress.

Liu, J; Sempos, C and Donahue, R P. 2005. Joint Distribution


of Non-HDL and LDL Cholesterol and Coronary Heart
Disease Risk Prediction Among Individuals With and
Without Diabetes. Diabetes Care, Vol. 28, USA, August
8, 2005, 28: 1916-1921.

Mawi, M. 2003. Indeks Massa Tubuh Sebagai Determinan


Penyakit Jantung Koroner pada Orang Dewasa Berusia
diatas 35 Tahun. Jurnal Kedokteran Trisakti Volume 23
Nomor 3.

MD, B. H and Davidson MD, M. H. 2005. Cardiovascular


Disease: Practica Applications of The NCEP ATP III
Update. Patient Care – The Journal of Best Clinical
Pratices for Today‘s Physicians, March 2005, 1-4.

Nababan, D. 2008. Hubungan Faktor Risiko dan Karakteristik


Penderita dengan Kejadian Penyakit Jantung Koroner
di RSU Dr. Pirngadi Medan Tahun 2008. Tesis.
Universitas Sumatera Utara.

Price, S & Wilson, L. 1994. Patofisiologi – Konsep Klinis


Proses-Proses Penyakit. Edisi 4. Jakarta: EGC.

Robert, H.E. 1997. Obesity in Heart Disease. American Heart


Association.

142
Supriyono, M. 2008. Faktor-Faktor Risiko yang Berpengaruh
Terhadap Kejadian Penyakit Jantung Koroner pada
Kelompok Usia ≤ 45 Tahun-Studi Kasus di RSUP Dr.
Kariadi dan RS Telogorejo Semarang. Tesis.
Universitas Diponegoro.

Stem MP. 1992. The Recent Decline in Ischemic Heart Disease


Mortality. Anals Intern M Ed 1979; 91: 630-640.

Wirakusumah, E.S. 2001. Cara Aman dan Efektitf Menurunkan


Berat Badan. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama,
Cetakan Kelima.

Yanti, Suharyo, dan Tony. 2008. Faktor-Faktor Risiko


Kejadian Penyakit Jantung Koroner pada Penderita
Diabetes Melitus Tipe 2-Studi Kasus di RSUP Dr.
Kariadi Semarang. Tersedia dari: URL HYPERLINK
http://eprints.undip.ac.id/6495/1/Yanti.pdf.

143
Pengaruh SMS Reminders terhadap Peningkatan
Pengetahuan Ibu Hamil Tentang Tablet Fe

Ermiati, Mira Trisyani Koeryaman, Tetti Solehati


Fakultas keperawatan Universitas Padjadjaran
Email: ermiati@unpad.ac.id

Abstrak

Angka anemia ibu hamil di Puskesmas DTP Jatinangor masih


tinggi yaitu 16% dari 420 ibu hamil. Hal ini di sebabkan masih
banyak ibu hamil yang tidak tahu tentang tablet Fe. Perlu media
untuk mengingatkan ibu hamil tentang pentingnya tablet fe.
Tujuan penelitian ini yaitu mengetahui pengaruh SMS
Reminders terhadap tingkat pengetahuan pada ibu hamil.
Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif dengan metode
Quasi Eksperiment Design dengan menggunakan rancangan
Pre Test and Post Test Kontrol Group. Kelompok intervensi
diberikan SMS Reminders selama 30 hari, kelompok kontrol
diberikan pendidikan kesehatan dengan menggunkan leaflet.
Sampel pada penelitian ini 40 orang yang di bagi dalam 2
kelompok yang masing-masing 20 orang untuk kelompok
kontrol dan intervensi. Tingkat pengetahuan menggunakan
kuesioner berbentuk Multiple Choice. Analisis data untuk
tingkat pengetahuan menggunakan uji Marginal Homogeneity.
Sebelum diberikan SMS Reminders pada kelompok intervensi
tingkat pengetahuan responden sebelum SMS Reminders
adalah kurang sebanyak 18 orang (90%) pada kelompok
kontrol tingkat pengetahuan responden sebelum SMS Reminder
144
adalah kurang sebanyak 19 orang (95%). Setelah SMS
Reminders pada kelompok intervensi tingkat pengetahuan baik
sebanyak 15 orang (75%) pada kelompok kontrol tingkat
pengetahuan baik sebanyak 12 orang (60%). Terdapat
perbedaan tingkat pengetahuan pretest dan postest pada
kelompok intervensi dan kelompok kontrol dengan p value
0,000. Media SMS dapat meningkatkan pengetahuan. SMS
Reminders efektif digunakan untuk meningkatkan pengetahuan
ibu hamil.

Kata kunci: Ibu Hamil, Pengetahuan dan SMS Reminders

Pendahuluan

Anemia merupakan suatu kondisi penurunan kadar


hemoglobin (Hb). Pada keadaan hamil, ibu akan mengalami
penurunan kadar Hb jika dibandingkan dengan keadaan
tidak hamil. Hal tersebut merupakan reaksi fisiologis dari
tubuh ibu yang akan mengalami peningkatan volume
plasma yang lebih besar dibandingkan dengan peningkatan
volume sel darah merah sehingga terjadi hemodilusi
(pengenceran) dan penurunan kadar hemoglobin hingga 11
gr/dL (Cunningham, 2012). Pada awal kehamilan dan
menjelang aterm, kadar hemoglobin wanita sehat Fe adalah
11 g/dL atau lebih. Konsentrasi lebih rendah pada
pertengahan kehamilan. Oleh karena itu, Centers For
Disease Kontrol and Prevention (CDC) mendefinisikan

145
anemia pada ibu hamil terjadi jika kadar Hb yang kurang
dari 11 gr/dL pada trimester I dan trimester III, dan
dibawah 10,5 gr/dL pada trimester II (Leveno, 2009).
Di Indonesia data Rikesdas tahun 2013 yang
menunjukkan perdarahan sebagai presentase tertinggi
penyebab kematian ibu, yaitu sebesar 30,3% dari total
5.019 kematian (Kemenkes, 2013). Hal ini juga dibuktikan
oleh hasil penelitian yang dilakukan Sunarto (2010) yang
menyatakan bahwa 71,1% perdarahan post partum pada ibu
di Poned Ngawi terjadi akibat terapapar anemia selama
kehamilan.
Akibat tingginya angka kematian ibu di Indonesia,
pemerintah mengupayakan penyelenggaraan program
pemberian tablet Fe secara gratis kepada setiap ibu hamil
dalam rangka menurunkan angka kejadian anemia guna
mencegah komplikasi perdarahan selama persalinan.
Menurut Purnadhibrata (2011), setiap ibu hamil yang
mendapat 90 tablet Fe untuk tiga bulan, sudah memasok
900 mg Fe dalam tubuh. Dengan jumlah tersebut
diperkirakan ibu tidak akan mengalami kekurangan Fe
sehingga angka kejadian anemia pada ibu hamil dapat
diturunkan.
Program pemberian tablet Fe kepada ibu hamil juga
dilaksanakan oleh Puskesmas DTP Jatinangor. Berdasarkan
data Dinas Kesehatan Kabupaten Sumedang tahun 2014,
menunjukkan bahwa Kecamatan Jatinangor berada diposisi
pertama dengan dengan angka persalinan dan pemberian
tablet Fe terbanyak. Jumlah ibu hamil pada tahun 2014
146
sebanyak 2.155 orang dan pemberian tablet Fe1 (30 tablet)
sebesar 91,61% sedangkan Fe3 (90 tablet) sebesar 79,26%.
Namun, kejadian anemia pada ibu hamil masih terjadi. Dari
data pemeriksaan hemoglobin yang dilakukan di Puskesmas
DTP Jatinangor, terdapat 127 ibu hamil yang mengalami
anemia pada tahun 2014. Namun, pemeriksaan hemoglobin
memang tidak dilakukan pada setiap ibu hamil.
Puskesmas DTP Jatinangor juga mengadakan
pemeriksaan hemoglobin yang dilakukan rutin setiap tahun
pada bulan April di setiap desa yang terletak di Kecamatan
Jatinangor. Hasil pemeriksaan pada tahun 2014
menunjukkan bahwa 16% dari 420 ibu hamil mengalami
anemia.
Menurut Balitbang SDM Kemkominfo menyebutkan
bahwa penduduk Indonesia yang memakai telepon seluler
tahun 2009 semakin meningkat yaitu 82,41%. Banyaknya
penggunaan telepon seluler di Indonesia sangat berpotensi
untuk dijadikan metode dalam memberikan promosi
kesehatan kepada masyarakat. Handphone (HP) sekarang
ini sudah tidak dianggap sebagai barang mewah lagi, malah
sudah menjadi suatu kebutuhan bagi masyarakat untuk
melakukan komunikasi (Effendy, 2003). SMS merupakan
salah satu fasilitas yang ada di telepon seluler. SMS bukan
merupakan teknologi baru di masyarakat sehingga
penggunaannya tidak dapat dipisahkan dari kehidupan di
masyarakat (Setiadi, 2011). Dari fenomena di atas peneliti
tertarik untuk melakukan penelitian tentang Pengaruh SMS
(Short Message Service) Reminder Terhadap Tingkat
147
Pengetahuan, Pada Ibu Hamil Di Pukesmas Jatinangor
Kabupaten Sumedang.

Metode
Desain penelitian yang digunakan dalam penelitian
ini adalah Quasi Experimental Designs dengan pendekatan
pre test dan Posttest Kontrol Group Design. Variabel bebas
adalah SMS Reminder, dan variable terikat adalah tingkat
pengetahuan pada ibu hamil.
SMS Reminder dikirimkan kepada ibu hamil setiap
hari selama satu bulan. Isi SMS Reminder peneliti
mengingatkan kembali isi pendidikan kesehatan yang telah
diberikan kepada ibu hamil melalui leaflet dengan cara
membagi materi yang ada di leaflet untuk dikirimkan
kepada ibu hamil selama satu bulan melalui SMS. Sehingga
diharapkan dengan adanya SMS Reminder ini pengetahuan
ibu hamil tentang pentingnya mengkonsumsi Fe selama
kehamilan pun bisa menjadi bertambah. Isi SMS yang
dikirimkan kepada ibu hamil adalah bertanya kondisi ibu
hamil, dan memberikan pendidikan kesehatan tentang tablet
fe.
Populasi dalam penelitian ini adalah semua ibu hamil
di wilayah kerja Puskesmas Jatinangor Kabupaten
berjumlah 420 orang ibu hamil. Sampel berjumlah 40
orang, 20 orang sebagai kelompok intervensi dan 20 orang
sebagai kelompok kontrol dengan teknik pengambilan
sampel secara purposive sampling. Kriteria sampel:
Responden terdiri dari ibu hamil yang memeriksakan
148
kehamilannya di puskesmas. Bersedia mengikuti penelitian
(menandatangani informed consent). Ibu hamil yang
memiliki alat komunikasi seperti HP (Handphone) dan
dipegang sendiri.
Pada pengambilan data sebelumnya responden
diberikan penjelasan terlebih dahulu mengenai maksud dan
tujuan penelitian, kemudian peneliti meminta kesedian
responden untuk ikut serta dalam penelitian dengan
menandatangani lembar persetujuan atau informed consent.
Setelah proses informed consent dilaksanakan, setelah itu
memberikan pendidikan kesehatan terlebih dahulu
mengenai pentingnya mengkonsumsi Fe selama kehamilan
dengan menggunakan leaflet. Kemudian peneliti meminta
nomor handphone responden dan menjelaskan kepada
kelompok intervensi bahwa peneliti akan memberikan SMS
Reminder setiap hari dalam waktu satu bulan. Isi dari SMS
Reminder ini adalah selain mengingatkan responden untuk
mengkonsumsi tablet Fesetiap hari, peneliti juga
mengingatkan kembali isi pendidikan kesehatan tentang
pentingnya mengkonsumsi Fe selama kehamilan yang
sudah diberikan sebelumnya kepada ibu hamil melalui
leaflet. Ibu hamil tidak diminta untuk membalas SMS dari
peneliti, karena SMS Reminder ini bersifat hanya untuk
mengingatkan responden dalam mengkonsumsi tablet Fe
setiap hari.
Setelah itu, selama satu bulan peneliti melakukan
SMS Reminder kepada kelompok intervensi. Setelah proses
pengiriman SMS Reminder selesai, peneliti melakukan
149
kontrak waktu untuk bertemu dengan responden untuk
mengisi kuesioner pengetahuan tentang tablet fe. Data yang
sudah dikumpulkan selanjutnya dilakukan pengolahan data
dan analisa data.
Jenis data pengetahuan awalnya berbentuk numeric
yang akhirnya di jadikan data kategorik. Data kategorik ini
dilakukan analisis distribusi frekuensi dan persentase dari
tiap variable. Setelah diketahui frekuensi dan
persentasenya, data kemudian disajikan dalam bentuk tabel
distribusi. untuk pengetahuan akan di kategorikan sebagai
berikut: Baik > 76% pernyataan yang diajukan dijawab
dengan benar dawn Kurang < 76%, pernyataan yang
diajukan dijawab dengan benar.
Analisis bivariat adalah analisis yang digunakan
untuk mengetahui perbedaan atau keterkaitan antar dua
variabel. Dalam penelitian ini uji statistik yang digunakan
adalah chi square. Nilai taraf signifikan sebagai standar
diterima atau ditolaknya sebuah hipotesis adalah 0,05. Jika
nilai signifikan kurang dari 0,05 artinya Ha diterima dan Ho
ditolak (Sugiyono, 2013).

Hasil Penelitian
Gambaran tingkat pengetahuan ibu hamil pada
kelompok kontrol dan SMS Reminder sebelum dan
setelah SMS Reminder

Tabel 1 Distribusi Frekuensi Pengetahuan ibu hamil


sebelum diberikan SMS Reminder pada

150
intervensi dan kelompok kontrol
Kelompok intervensi Kelompok Kontrol
Tingkat
Frekuens Persentas Frekuens Persent
Pengetahua
i e i ase
n
(f) (%) (f) (%)
Baik 2 10 1 5
B
Kurang 18 90 19 95
e
rdasarkan dari table 1 bahwa tingkat pengetahuan mengenai
tablet Fe sebelum diberikan SMS Reminder pada kelompok
intervensi didapatkan yang memiliki pengetahuan kurang
sebanyak 18 orang (90%) dan pada kelompok kontrol yang
memiliki pengetahuan kurang 19 orang (95%).

Tabel 2 Distribusi Frekuensi Pengetahuan ibu hamil


Setelah diberikan SMS Reminder pada
intervensi dan kelompok kontrol
Kelompok intervensi Kelompok Kontrol
Tingkat
Frekuensi Persentase Frekuensi Persentase
Pengetahuan
(f) (%) (f) (%)
Baik 15 75 12 60
Kurang 5 25 8 40
B
erdasarkan dari table 2 bahwa tingkat pengetahuan
mengenai tablet Fe setelah diberikan SMS Reminder pada
kelompok intervensi didapatkan yang memiliki
pengetahuan baik 15 orang (75%) dan pada kelompok
kontrol yang memiliki pengetahuan baik 12 orang (60%).

151
Tabel 3 Perbedaan pengetahuan ibu hamil sebelum dan
setelah diberikan SMS Reminder pada
kelompok intervensi
Pengetahuan
Setelah
Kura
Baik Total P value
ng
B
Pengetahu Baik 2 0 2
B an
Kuran 0,000
Sebelum 13 5 18
g
15 5 20
Berdasarkan table 3 tingkat pengetahuan tentang
konsumsi tablet Fe pada ibu hamil pada kelompok
intervensi sebelum diberikan SMS Reminder yang memiliki
pengetahuan baik 2 orang dan setelah SMS Reminder
pengetahuan menjadi baik sebanyak 15 orang. Hasil
analisis di dapatkan p value 0,000 yang berarti terdapat
perbedaan pengetahuan yang signifikan sebelum dan
setelah di berikan SMS Reminder.

Tabel 4 Perbedaan pengetahuan ibu hamil sebelum


dan setelah diberikan SMS Reminder pada
kelompok kontrol
Pengetahuan
Setelah
Kura
Baik Total P value
ng

152
Pengetahu Baik 1 0 1
an Kuran 0,000
Sebelum 11 8 19
g
Total 12 8 20
B
Berdasar tabel 4 bahwa perbedaan tingkat
pengetahuan tentang konsumsi tablet Fe pada ibu hamil
pada kelompok kontrol sebelum diberikan pendidikan
kesehatan dengan leaflet yang memiliki pengetahuan baik 1
orang dan setelah SMS Reminder memiliki pengetahuan
baik sebanyak 12 orang. Hasil analisis di dapatkan p value
yaitu 0,000 yang berarti terdapat perbedaan pengetahuan
yang significant sebelum dan setelah di berikan pendidikan
kesehatan dengan leaflet.

Tingkat pengetahuan ibu hamil tentang tablet Fe


sebelum dan setelah SMS Reminder pada kelompok
kontrol dan kelompok intervensi
Hasil penelitian mengenai tingkat pengetahuan ibu
hamil sebelum mendapatkan SMS Reminder pada
kelompok intervensi memiliki tingkat pengetahuan baik
sebanyak 2 orang (10%) dan yang memiliki tingkat
pengetahuan kurang 18 orang (90%) dan pada kelompok
kontrol memiliki tingkat pengetahuan baik sebanyak 1
orang (5%) dan yang memiliki tingkat pengetahuan kurang
19 orang (95%). Berdasarkan indicator pertanyaan pada
pengetahuan, kelompok ibu hamil menjawab benar pada
pertanyaan yaitu kegunaan tablet Fe sedangkan pada

153
pertanyaan pengertian zat besi, kebutuhan Fe pada ibu
hamil, pemberian suplementasi Fe masih di bawah rata-rata
ibu hamil menjawab pertanyaan dengan benar. Berdasarkan
hasil distribusi data pada penelitian ini menunjukkan bahwa
hampir seluruh ibu hamil pada kelompok intervensi
maupun kontrol memiliki tingkat pengetahuan yang kurang
tentang tablet Fe.
Setelah di berikan SMS Reminder selama 30 hari
kepada kelompok intervensi dan memberikan pendidikan
kesehatan dengan leaflet pada kelompok kontrol kategori
tingkat pengetahuan pada kedua kelompok mengalami
peningkatan pada kedua kelompok. Pada kelompok
intervensi yang memiliki tingkat pengetahuan baik menjadi
15 orang (75%) dan pada kelompok kontrol yang tingkat
pengetahuan baik menjadi 12 orang (60%). Hal ini
menunjukkan pemberian pendidikan kesehatan dengan
menggunakan SMS Reminder atau menggunakan leaflet
dapat meningkatkan pengetahuan pada ibu hamil.
Berdasarkan jumlah skor jawaban masing-masing indicator
pada kuesioner pengetahuan bahwa ibu hamil kelompok
intervensi menjawab benar yaitu mengenai pengertian Fe,
suplementasi Fe, dan bahaya kekurangan Fe pada ibu hamil
dan janin sedangkan yang masih rendah yaitu kebutuhan Fe
pada ibu hamil dan pemberian tablet fe. Tingkat
pengetahuan pada kelompok intervensi setelah di berikan
SMS Reminder lebih banyak yang meningkat menjadi
tingkat pengetahuan baik di bandingkan kelompok kontrol.
Hal ini menunjukkan bahwa pengetahuan kelompok
154
intervensi setelah di berikan informasi melalui SMS
Reminder lebih banyak yang meningkat menjadi
berpengetahuan baik di bandingkan kelompok kontrol yang
diberikan informasi melalui leaflet saja.
Pada penelitian ini terjadi peningkatan pengetahuan
pada ke dua kelompok. Peningkatan pengetahuan seseorang
salah satunya melalui informasi atau promosi, dengan
memberikan promosi kesehatan diharapkan informasi yang
diberikan menjadi pengetahuan dan dapat meningkatkan
pengetahuan dan diharapkan pengetahuan yang baik dapat
mempengaruhi perilaku seseorang. Tujuan dari promosi
kesehatan yaitu dapat meningkatkan kognitif, afektif dan
psikomotor. Pendidikan kesehatan dengan menggunakan
SMS Reminder ataupun leaflet pada penelitian ini dapat
meningkatkan pengetahuan sehingga dapat disimpulkan
pemberian pendidikan kesehatan dengan leaflet ataupun
SMS Reminder dapat meningkatkan pengetahaun, sehingga
kedua media ini dapat di gunakan untuk meningkatkan
pengetahuan pada ibu hamil.

Perbedaan tingkat pengetahuan sebelum dan setelah


diberikan SMS Reminder pada kelompok intervensi
dan kontrol.
Berdasarkan hasil analisis bivariat tidak terdapat
perbedaan pengetahuan antara kelompok intervensi dan
kelompok kontrol baik sebelum dan setelah diberikan SMS
Reminder dan leatflet, akan tetapi SMS Reminder lebih
baik dari pada pendidikan kesehatan dengan leaflet dimana
155
jumlah peningkatan pengetahuan pada kelompok intervensi
sebelum SMS Reminder jumlah yang memiliki tingkat
pengetahuan baik 2 orang (10%) setelah di SMS Reminder
ibu hamil yang memiliki pengetahuan baik meningkat
menjadi 15 orang (75%). Sedangkan pada kelompok
kontrol mengalami peningkatan pengetahuan baik yang
awalnya 1 orang (5%) menjadi 12 orang (60%).
SMS Reminder dan leaflet merupakan media untuk
menyampaikan promosi kesehatan yang keduanya dapat
meningkatkan pengetahuan seseorang tenaga kesehatan
khususnya pemberi promosi kesehatan dapat menggunakan
berbagai jenis media kesehatan baik SMS Reminder atau
leaflet untuk menyampaikan informasi dengan
memperhatikan waktu, tempat biaya karena keberhasilan
promosi kesehatan tidak hanya dilihat dari media yang
digunakan saja tetapi banyak faktor pendukung.
Suatu proses promosi kesehatan yang menuju
tercapainya tujuan pendidikan yakni perubahan perilaku,
dipengaruhi oleh banyak factor yaitu factor metode, factor
materi ntau pesannya, pendidik atau petugas yang
melakukannya dan alat-alat bantu/peraga yang dipakai
(Notoadmodjo, 2007).

Simpulan
Sebelum diberikan SMS Reminder pada
kelompok intervensi tingkat pengetahuan kurang sebanyak 18
orang (90%) pada kelompok kontrol tingkat pengetahuan
kurang sebanyak 19 orang (95%). Setelah SMS Reminder pada
156
kelompok intervensi tingkat pengetahuan baik sebanyak 15
orang (75%) pada kelompok kontrol tingkat pengetahuan baik
sebanyak 12 orang (60%). Terdapat perbedaan pengetahuan
sebelum dan setelah SMS Reminder pada kelompok intervensi
dan kelompok kontrol p value 0,000. SMS Reminder dan
leatflet dapat meningkatkan pengetahuan, pada ibu hamil
sehingga tenaga kesehatan atau tempat pelayanan kesehatan
dapat menggunakan media dengan SMS Reminder dalam
meningkatkan pengetahuan,. Menjadikan SMS Reminder salah
satu media untuk promosi kesehatan di layanan kesehatan
masyarakat.

Daftar Pustaka

Arikunto. 2006. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan


Praktik Edisi Revisi VI. Jakarta : PT Rineka Cipta
Baraka, et al. 2012. Iron Status, Iron Supplementation and
Anemia in Pregnancy:Ethnic Differences. The
Journal of Maternal-Fetal and NeonatalMedicine.
25(8), 1305-1310 (diakses pada tanggal 27 Februari
2014)

Cunningham. 2012. Obstetri Williams. Jakarta : EGC

Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 2009.


Pedoman pemberian tabletbesi-folat dan sirup besi
bagi petugas. Jakarta: Departemen Kesehatan
Republik Indonesia

157
Dinas Kesehatan Kota Bandung. 2013. Rekapitulasi Data
Anemia pada Ibu Hamil tahun 2013. Bandung

Herlina, S., Sanjaya, F.Y., & Emilia,O. 2013. Pemanfaatan


Fasilitas SMS Telepon Seluler sebagai Media
Promosi Kesehatan Ibu Hamil di Daerah Terpencil.
http://is.its.ac.id/pubs/oajis/index.php/file/download/
5/436 .Pdf (Diakses pada tanggal 4 Maret 2014)

Kautshar, N., Suriah, & Jafar, N. 2013. Kepatuhan Ibu


Hamil dalamMengkonsumsi Tablet Fe (Fe) di
Puskesmas Bara-Baraya Tahun
2013.http://pasca.unhas.ac.id/jurnal/files/2838ec295d
dbb8912d283bac2b7 9fa48.pdf. (diakses pada
tanggal 28 Februari 2014)

Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. 2013. Riset


Kesehatan Dasar 2013. Jakarta : Kementerian
Kesehatan RI

Leveno, K. J. (2009). Obstetri Williams: Pnaduan


Ringkas Edisi 21. Jakarta:EGC

Ollivier, et al. 2009. Use of Short Message Service (SMS) to


Improve Malaria Chemoprophylaxis Compliance
After Returning from a Malaria Endemic Area.
http://www.malariajournal.com/content/8/l/236
(diakses pada tanggal 23 Februari 2014)

Prasad, S., and Anand, R. 2012. Use of Mobile Telephone


Short Message Service As a Reminder: The Effect on

158
Patient Attendance.International Dental Journal. 62:
21-26. (diakses pada tanggal 27 Februari 2014).

Purnadhibrata, M. 2011. Upaya Pencegahan Anemi Gizi


Besi Pada Ibu Hamil. Jurnal Ilmu Gizi, 2, 118-124

Rahmawati, F. 2012. Kepatuhan Konsumsi Tablet FeFolat


pada Ibu Hamil dan Faktor yang Mempengaruhi.
http://eprints.undip.ac.id/38397/.pdf. (diakses pada
tanggal 26 Februari 2014)

Setiadi, H., 2011. membangun SMS gateway dengan


gammu, mysql dan visual basic.
http://lecturer.d3ti.mipa.uns.ac.id/setiadi/2011/02/
membangun-SMS gateway-dengan gammu-mysql-
dan-visual-basic. (diakses pada tanggal 20 Februari
2014

Sugiyono. 2013. Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif


dan R&D. Bandung: Alfabeta

Tarwoto, W. 2007. Buku saku anemia pada ibu hamil


konsep dan penatalaksanaan. Jakarta : Trans Info
Media

Zolfaghari, et al. 2012. The Impact of Nurse Short Message


Services and Telephone Follow-ups on Diabetic
Adherence: Which One is MoreEffective?. Journal of
Clinical Nursing. 21: 1922-1931 (diakses pada
tanggal 25 Februari 2014)

159
Kebutuhan Orang Tua Saat Anak
di Rawat di Ruang Intensif : Kajian Literatur

Fanny Adistie, Sari Fatimah, Sri Hendrawati, Nenden Nur


Asriyani Maryam
Fakultas Keperawatan Universitas Padjadjaran
fanny.adistie@unpad.ac.id

Abstrak

Saat anak di rawat di ruang intensif orang tua dihadapkan pada


beberapa hal, diantaranya anak dalam keadaan kritis, anak yang
berada pada fase dying hingga kematian. Orang tua tentunya
memiliki kebutuhan-kebutuhan terkait perawatan anak selama
di ruang intensif. Namun, belum banyak penelitian terutama di
Indonesia yang mengkaji kebutuhan orang tua saat anak
dirawat di ruang intensif. Tujuan dari kajian literatur ini adalah
untuk mengidentifikasi hasil-hasil penelitian mengenai apa
yang dibutuhkan oleh orang tua saat anak dirawat di ruang
intensif. Kajian literatur ini merupakan kajian pada penelitian-
penelitian deskriptif mengenai kebutuhan orang tua saat anak
dirawat di ruang intensif. Pencarian hasil-hasil penelitian
dilakukan melalui Ebscohost, Proquest dan Cengage dengan
database tahun 2000 hingga April 2016. Kata kunci yang
digunakan dalam pencarian adalah ―parents‖, ―needs‖ dan
―pediatric intensive care unit‖ atau ―neonatal intensive care
unit‖. Kriteria inklusi pada tinjauan ini adalah artikel-artikel
yang berupa penelitian deskriptif berbahasa Inggris baik
penelitian kualitatif maupun kuantitatif. Sebanyak 2.233 artikel
160
didapatkan dari hasil pencarian, namun yang dikaji pada kajian
pustaka ini adalah 8 artikel penelitian yang terdiri dari 2
penelitian kuantitatif 1 penelitian mixed method, dan 5
penelitian kualitatif. Hasil dari penelitian-penelitian tersebut
mengungkapkan beberapa tema yang menjadi kebutuhan dari
orang tua. Tema pertama terkait informasi, orang tua
membutuhkan informasi yang jujur serta komprehensif, tema
selanjutnya kebutuhan akan sikap perawat yang baik, informatif
dan mampu. Tema selanjutnya terkait spiritualitas, orang tua
membutuhkan keyakinan akan kekuatan spiritual serta
menginginkan anaknya yang meninggal diperlakukan dengan
bermartabat. Selain itu orang tua juga membutuhkan jaminan
serta kepastian akan kondisi anak dan dapat mempertahankan
kedekatan secara fisik dengan anak saat anak di rawat di ruang
intensif. Hasil kajian literatur ini dapat menjadi panduan bagi
perawat di ruang rawat intensif dalam menyusun perencanaan
keperawatan yang berpusat pada keluarga. Hasil-hasil
penelitian ini juga dapat menjadi data dasar bagi penelitian
selanjutnya terkait kebutuhan orang tua dari anak yang di rawat
di ruang intensif.

Kata kunci : Kebutuhan, NICU, Orang tua, PICU.

Pendahuluan

Masuknya anak ke ruangan pediatric intensive care unit


(PICU) seringkali menjadi fase transisional kesembuhan anak
dari penyakit kritis (Latour et.al., 2011). Orang tua dihadapkan
161
pada beberapa hal, diantaranya anak dalam keadaan kritis, anak
yang berada pada fase dying hingga kematian. Hal tersebut
dapat menimbulkan berbagai reaksi psikologis pada orang tua.
Ward (2001) menyebutkan bahwa lingkungan neonatal
intensive care unit (NICU) menjadi sumber stres yang
signifikan bagi orang tua. Pengalaman stres yang dirasakan
oleh orang tua dapat menyebabkan hambatan dalam interaksi
antara orang tua-bayi.
Jika tujuan penting dari asuhan keperawatan di NICU
adalah untuk memberikan perawatan holistik, yang berpusat
pada keluarga dan meningkatkan hasil yang terbaik, maka
perawat perlu mengenali kebutuhan yang dirasakan oleh
orangtua (Perehudoff dalam Ward, 2001). Respon yang kurang
baik terhadap kebutuhan orang tua, dapat menyebabkan
anggota keluarga mengalami tingkat kecemasan yang tinggi,
ketakutan, dan kesalahpahaman (Gardner & Stewart dalam
Ward, 2001).
Maka dari itu, penting bagi perawat untuk dapat mengkaji
dengan baik apa yang menjadi kebutuhan orang tua terkait
perawatan anak selama di ruang intensif. Namun, belum
banyak penelitian terutama di Indonesia yang mengkaji
kebutuhan orang tua saat anak dirawat di ruang intensif.
Tujuan dari kajian literatur ini adalah untuk
mengidentifikasi hasil-hasil penelitian mengenai apa yang
dibutuhkan oleh orang tua saat anak dirawat di ruang intensif.

162
Metode
Kajian literatur ini merupakan kajian pada penelitian-
penelitian deskriptif mengenai kebutuhan orang tua saat anak
dirawat di ruang intensif. Pencarian hasil-hasil penelitian
dilakukan melalui Ebscohost, Proquest dan Cengage dengan
database tahun 2000 hingga April 2016. Kata kunci yang
digunakan dalam pencarian adalah ―parents‖, ―needs‖ dan
―pediatric intensive care unit‖ atau ―neonatal intensive care
unit‖. Kriteria inklusi pada tinjauan ini adalah artikel-artikel
yang berupa penelitian deskriptif berbahasa Inggris baik
penelitian kualitatif maupun kuantitatif.

Hasil Penelitian
Sebanyak 2.233 artikel didapatkan dari hasil pencarian,
namun yang dikaji pada kajian pustaka ini adalah 8 artikel
penelitian yang terdiri dari 2 penelitian kuantitatif 1 penelitian
mixed method, dan 5 penelitian kualitatif.
Hasil dari penelitian-penelitian tersebut mengungkapkan
beberapa tema yang menjadi kebutuhan dari orang tua. Tema-
tema tersebut antara lain :
1) Kebutuhan terkait informasi

Kebutuhan orang tua terkait informasi teridentifikasi pada


beberapa hasil penelitian. Penelitian yang dilakukan oleh
Ward (2001), mengidentifikasi kebutuhan orang tua dari
infant yang dirawat di ruang NICU dengan menggunakan
kuesioner NICU Family Needs Inventory yang dimodifikasi
dari Critical Care Family Needs Inventory (CCFNI).

163
Penelitian ini menyebutkan bahwa kepastian dan kebutuhan
yang berkaitan dengan informasi merupakan hal yang
paling penting, sementara kebutuhan akan dukungan
terdapat pada ranking yang kurang penting. Penelitian ini
menyimpulkan bahwa kebutuhan orang tua antara lain :
informasi kepada orang tua mengenai rencana tindakan
serta prosedur yang akan diberikan pada infant, menjawab
pertanyaan-pertanyaan orang tua dengan jujur,
mendengarkan secara aktif apa yang menjadi ketakutan
serta harapan-harapan orang tua, membantu orang tua
dalam memahami respon bayi saat hospitalisasi.

Kebutuhan akan informasi juga menjadi tema yang muncul


pada penelitian yang dilakukan oleh Meyer, Ritholz, Burns,
dan Truog (2006). Penelitian yang dilakukan pada 56 orang
tua di ruang PICU ini menyebutkan bahwa informasi yang
lengkap dan jujur termasuk ke dalam 6 prioritas bagi
perawatan end-of-life pada anak. Hal ini juga diperkuat oleh
penelitian yang dilakukan oleh Meert et.al. (2008), yang
menyebutkan bahwa orang tua dalam menghadapi kondisi
terminal illness anak membutuhkan informasi yang jujur
dan komprehensif. Pada penelitian ini juga membahas
pengaruh informasi terutama yang berupa kabar buruk bagi
orang tua yang disampaikan oleh dokter. Informasi yang
ditunda mengakibatkan timbulny harapan palsu yang
dirasakan oleh orang tua. Selain itu, kompleksitas kosakata,
laju memberikan informasi, informasi yang bertentangan,

164
dan bahasa tubuh dari dokter menjadi hal yang harus
diperhatikan.

2) Kebutuhan terkait sikap perawat dan tenaga kesehatan

Tema lain yang teridentifikasi adalah yang baik kebutuhan


terkait sikap perawat dan tenaga kesehatan. Hall (2005)
menyatakan dari hasil penelitiannya bahwa para orang tua
memiliki kepercayaan yang tinggi terhadap perawat yang
bersikap baik, penolong, informatif dan memiliki
kapabilitas. Semakin rendah kapabilitas perawat dan
perawat yang distress, membuat orang tua merasa tidak
nyaman dan insecure. Meyer, Ritholz, Burns, dan Truog
(2006) juga menyebutkan bahwa ekspresi emosional dari
tenaga kesehatan serta dukungan dari staf menjadi hal yang
diperhatikan serta dibutuhkan oleh para orang tua. Begitu
pula dengan cara dokter mendiskusikan kabar buruk pada
orang tua dirasakan sangat penting, karena dapat
mengakibatkan adanya harapan palsu yang dirasakan oleh
orang tua yang berujung kepada kekecewaan, kemarahan,
dan ketidakpercayaan. Sehingga orang tua mengharapkan
dalam berkomunikasi petugas kesehatan atau dokter
bersikap terbuka, caring dan menggunakan bahasa awam
(Meert et.al. 2008).

Penelitian lain yang dilakukan oleh Brosig, Pierucci, Kupst,


dan Leuthner (2007), menyebutkan bahwa aspek dari
perawatan yang sangat penting bagi orang tua diantaranya
adalah kejujuran serta orang tua selalu dilibatkan dalam
165
pengambilan keputusan terkait perawatan anak. Selain itu,
dalam penelitian yang dilakukan oleh Mundy (2010)
menyimpulkan bahwa kebutuhan akan jaminan mendapat
skor yang paling tinggi yang merupakan hasil identifikasi
dengan menggunakan Neonatal Intensive Care Unit
Family Needs Inventory. Pada penelitian ini juga
menyebutkan bahwa kebutuhan orang tua akan dukungan
dari petugas kesehatan lebih tinggi dirasakan pada saat anak
masuk ke ruang perawatan intensif dibandingkan saat anak
discharge.

3) Kebutuhan terkait spiritualitas

Tema berikutnya yang teridentifikasi adalah kebutuhan


orang tua terkait dengan spiritualitas. Dalam menghadapi
anak dengan kondisi kritis hingga kematian orang tua
membutuhkan keyakinan serta kekuatan spiritual. Hal ini
teridentifikasi oleh penelitian yang dilakukan Sadeghi,
Hasanpour, Heidarzadeh, Alamolhoda, Waldman (2016)
yang mengungkapkan 3 tema utama yaitu keyakinan
spiritual akan kekuatan supranatural, kebutuhan akan
kenyamanan bagi jiwa, dan memperlakukan bayi baru lahir
yang meninggal dengan bermartabat. Hasil penelitian ini
memberikan pandangan baru mengenai kebutuhan spiritual
dari keluarga yang memiliki pengalaman kematian dari bayi
baru lahir. Selain itu jaminan serta kepastian akan kondisi
anak dan dapat mempertahankan kedekatan secara fisik
dengan anak saat anak di rawat di ruang intensif juga
merupakan kebutuhan yang berkaitan dengan spiritualitas
166
yang dirasakan oleh orang tua. Hal tersebut diungkapkan
oleh Meert, Briller, Schim, Thurston, Kabel (2009). Pada
penelitian tersebut disebutkan bahwa para orang tua
menjelaskan kebutuhan mereka untuk mempertahankan
hubungan dengan anak mereka melalui kehadiran, kata-
kata, atau simbol-simbol. Para orang tua yang menjadi
partisipan penelitian tersebut mengatakan mereka
membutuhkan kedekatan secara fisik, termasuk didalamnya
kebutuhan untuk menyentuh, memegang dan hadir pada
saat anak melalui proses dying, beberapa orang tua juga
merasa khawatir dengan perpisahan.

Simpulan
Mengidentifikasi kebutuhan-kebutuhan orang tua terkait
perawatan anak di ruang intensif memungkinkan integrasi dari
keperawatan individual serta memberikan pengalaman positif
dalam perawatan berpusat keluarga baik bagi pasien maupun
keluarganya. Sehingga hasil kajian literatur ini dapat menjadi
panduan bagi perawat di ruang rawat intensif dalam menyusun
perencanaan keperawatan yang berpusat pada keluarga. Hasil-
hasil penelitian ini juga dapat menjadi data dasar bagi
penelitian selanjutnya terkait kebutuhan orang tua dari anak
yang di rawat di ruang intensif.

Daftar Pustaka
Brosig, CL., Pierucci, RL., Kupst, MJ., and Leuthner, SR.
(2007). Infant End-of-Life Care : The Parents‘
Perspective. Journal of Perinatology. 27 : 510-516

167
Hall, E. OC., (2005). Danish Parents‘ Experiences When Their
Newborn or Critically Ill Small Child is Transferred to
The PICU – a Qualitative Study. British Association of
Critical Care Nurses, Nursing in Critical Care. 10(2) :
90-97

Latour, J. M., Goudoever, J. B., Schuurman, B. E., Albers, M.


J. I., Dam, N. A. M., …. et.al. (2011). A Qualitative Study
Exploring The Experiences of Parents of Children
Admitted to Seven Dutch Pediatric Intensive Care Unit.
Intensive Care Med. 37 : 319-325

Meert, K. L. Briller, S. H., Schim, S. M., Thurston, C., Kabel,


A. (2009). Examining The Needs of Bereaved Parents in
The Pediatric Intensive Care Unit: a Qualitative Study.
Death Studies. 33: 712–740

Meert, K. L., Eggly, S., Pollack, M., Anand, K. J. S.,


Zimmerman, P. J., Carcillo, J.,... et.al. (2008). Parents‘
Perspectives on Physician-Parent Communication Near
The Time of a Child‘s Death in The Pediatric Intensive
Care Unit. Pediatric Critical Care Medicine. 9(1) : 2-7

Meyer, E. C., Ritholz, M. D., Burns, J. P., dan Truog, R. D.


(2006). Improving The Quality of End-of-Life Care in
The Pediatric Intensive Care Unit : Parents‘ Priorities and
Recommendations. Pediatrics. 117(3) : 649-657

Mundy, C. A. (2010). Assesment of Family Needs in Neonatal


Intensive Care Unit. American Journal Of Critical Care.
19(2) : 156-163

168
Sadeghi, N. Hasanpour, M., Heidarzadeh, M., Alamolhoda, A.,
and Waldman, E. Spiritual Needs of Families With
Bereavement and Loss of an Infant in the Neonatal
Intensive Care Unit: A Qualitative Study. Journal of Pain
and Symptom Management. 52(1) : 35-42

Ward, K. (2001). Perceived Needs of Parents of Critically Ill


Infants in a Neonatal Intensive Care Unit (NICU).
Pediatric Nursing. 27(3) : 281-286

169
Hubungan Efikasi Diri terhadap Kepatuhan menjalankan
Pola Hidup Sehat pada Pasien Pasca Intervensi Koroner
Perkutan di RSUP Dr. Hasan Sadikin Bandung

Hasniatisari Harun, Kusman Ibrahim, Imas Rafiyah


Fakultas Keperawatan Universitas Padjadjaran
Email: hasniatisari.harun@gmail.com,

Abstrak

Penyakit jantung koroner (PJK) merupakan ancaman serius


bagi kehidupan seseorang. Salah satu penatalaksanaan PJK
adalah dengan intervensi koroner perkutan (IKP), Namun
demikian tindakan IKP tetap mempunyai risiko mengalami
kekambuhan, karena adanya faktor risiko PJK yang dimiliki
sebelumnya. Faktor risiko tersebut dapat diturunkan salah
satunya dengan cara menjalankan pola hidup sehat pasca IKP.
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan
Efikasi Diri dengan kepatuhan menjalankan pola hidup sehat
pada pasien pasca IKP. Penelitian ini adalah penelitian
kuantitatif. Sampel pada penelitian ini adalah pasien pasca IKP
yang sedang berobat di Instalasi Pelayanan Jantung RSUP Dr.
Hasan Sadikin Bandung sebamyak 48 orang Teknik
pengambilan sampel dengan menggunakan purposive sampling.
Instrumen yang digunakan merupakan; modifikasi instrumen
Cardiac Self Efficacy (CSE) dan instrumen Medication
Adherence Scale (MAS). Data dianalisis menggunakan uji chi-
square. Hasil penelitian menunjukan adanya hubungan yang
bermakna antara efikasi diri (x2=12,000, p=0,001) terhadap
kepatuhan menjalankan pola hidup sehat. Penelitian ini dapat
disimpulkan bahwa terdapat hubungan Efikasi Diri terhadap
kepatuhan dalam menjalankan pola hidup sehat. Efikasi diri
170
yang tinggi dapat mendorong timbulnya perilaku hidup sehat
pasien pasca tindakan IKP.Saran dari penelitian ini perawat
sebaiknya memperhatikan Efikasi Diri pasien saat memberikan
intervensi dalam meningkatkan kepatuhan menjalankan pola
hidup sehat pada pasien pasca IKP.

Kata Kunci : Efikasi Diri, Intervensi koroner perkutan (IKP) ,


pola hidup sehat.

Pendahuluan
Pembuluh darah koroner merupakan penyalur aliran
darah, membawa oksigen dan makanan yang dibutuhkan
miokard agar dapat berfungsi dengan baik. Penyakit jantung
koroner (PJK) adalah salah satu akibat utama proses
aterosklerosis. Pada keadaan ini pembuluh darah nadi
menyempit karena terjadi endapan-endapan lemak (ateroma
dan plak) pada dindingnya (Djohan, 2004). Faktor-faktor yang
berpengaruh terhadap risiko kejadian PJK adalah penyakit
diabetes mellitus (DM), dislipidemia, hipertrigliseridemia (≥
150 mg/dl), kebiasaan merokok dan riwayat penyakit DM
dalam keluarga (Supriyono, 2008).
Penyakit jantung koroner merupakan salah satu penyebab
utama kematian dan merupakan ancaman serius bagi kehidupan
seseorang. Menurut World Heart Organization (2011), angka
kematian PJK sekitar 17 juta (sekitar 30%) kematian setiap
tahunnya di seluruh dunia. Dan diperkirakan pada tahun 2020
PJK menjadi pembunuh utama dan tersering yakni sebesar
(36%) dari seluruh angka kematian.

171
Berdasarkan akibat yang dapat ditimbulkan dari penyakit
PJK tersebut, beberapa upaya dapat dilakukan, baik dari
pemerintah, medis maupun individu itu sendiri. Upaya berasal
dari pemerintah yaitu pemberian bantuan alat kesehatan untuk
pelayanan intervensi non-bedah. Sesuai dengan Keputusan
Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor
984/MENKES/SK/X/2007 pemberian alat kesehatan tersebut
berupa ballon dan stent untuk masyarakat miskin melalui
beberapa rumah sakit di seluruh Indonesia (Kemenkes, 2009).
Upaya selanjutnya dari sisi medis, pasien dapat menjalani
intervensi untuk mengatasi permasalahan PJK yaitu dengan
intervensi koroner perkutan (IKP) atau operasi bedah pintas
koroner. Intervensi koroner perkutan adalah usaha untuk
memperbaiki aliran darah arteri koroner dengan memecah plak
atau ateroma yang telah tertimbun dan mengganggu aliran
darah ke jantung. Dalam penelitian Patel et al. (2010) di New
York pada 2400 pasien IKP, menemukan hasil setelah
dilakukan IKP menunjukan penurunan kejadian infark,
vaskularisasi membaik, kekambuhan penyakit berkurang dan
komplikasi perdarahan berkurang.
Sedangkan upaya yang dapat dilakukan dari individu itu
sendiri adalah patuh menjalankan pola hidup sehat. Pola hidup
adalah nilai dan perilaku yang diambil seseorang dalam
kehidupan sehari-hari (Engelbrecht, Nel & Jacobs, 2008). Pola
hidup yang sehat akan meningkatkan kualitas hidup pasien.
Pasien pasca IKP akan selalu dianjurkan untuk menerapkan
pola hidup sehat untuk menurunkan faktor risiko PJK. Pola
hidup sehat ini meliputi : berhenti merokok, diet rendah lemak,
172
menurunkan kadar kolesterol darah, latihan secara teratur,
kontrol tekanan darah bagi penderita hipertensi, dan kontrol
glukosa darah bagi penderita diabetes, mengurangi berat badan,
patuh terhadap pengobatan dan manajemen stress (Ignatavisius
& Workman, 2006; European Society of Cardiology, 2008;
Smeltzer & Bare, 2008; Black & Hawks, 2009).
Perilaku hidup sehat tersebut sangat dipengaruhi oleh
kepatuhan. Kepatuhan pasien untuk menjalankan pola hidup
sehat adalah penting untuk kesuksesan intervensi. Akan tetapi,
ketidakpatuhan menjadi masalah yang besar terutama pada
pasien pasca IKP terkait dengan menjalankan pola hidup
sehatnya. Pasien yang tidak mau dan tidak mampu menerapkan
kepatuhan menjalankan pola hidup sehat akan mempunyai
dampak yang sangat merugikan yaitu meningkatnya morbiditas
dan mortalitas. Meningkatnya morbiditas akan meningkatkan
biaya perawatan yang harus di tanggung pasien, yang tentunya
akan berdampak pula pada keluarga, masyarakat dan beban
negara juga akan meningkat (Widyastuti, 2011).
Banyak faktor yang dapat mempengaruhi seseorang dapat
patuh menjalankan pola hidup sehat, faktor-faktor yang paling
erat hubungan dengan kepatuhan salah satu diantaranya adalah
efikasi diri. Menurut Bandura (dalam Tomey & Alligood 2006)
efikasi diri adalah keyakinan sejauhmana individu
memperkirakan kemampuan dirinya dalam melaksanakan tugas
atau melakukan suatu tugas yang diperlukan untuk mendukung
perilaku kesehatan. Keyakinan akan seluruh kemampuan ini
meliputi kepercayaan diri, kemampuan menyesuaikan diri,
kapasitas kognitif, kecerdasan dan kapasitas bertindak pada
173
situasi yang penuh tekanan. Faktor efikasi diri didukung oleh
Penelitian Sarkar, Alli & Whooley (2007) di Amerika pada
1024 responden menyimpulkan bahwa efikasi diri yang rendah
berhubungan dengan penurunan status kesehatan, keparahan
penyakit jantung koroner dan gejala depresi.
Rumah Sakit Umum Pusat Dr. Hasan Sadikin Bandung
adalah rumah sakit rujukan Jawa Barat yang memiliki sumber
daya, sarana dan prasarana yang memadai dan terus menerus
dikembangkan sebagai rumah sakit pendidikan. Rumah sakit ini
memiliki berbagai instalasi salah satunya adalah Instalasi
Pelayanan Jantung. Berdasarkan data dari RSHS, jumlah pasien
dewasa yang menjalani tindakan di Ruang Angiografi Rumah
Sakit Hasan Sadikin Bandung kurang lebih 679 pasien pada
tahun 2012 dan sebanyak 386 pasien diantaranya adalah
tindakan IKP. Tindakan IKP cukup tinggi yakni lebih dari 50%
diantara tindakan-tindakan lainnya seperti tindakan angiografi
koroner 20%, TPM/PPM 15%, perikardiosentesis 10%, dll 5%.
Berdasarkan data diatas, pasien pasca IKP harus menjaga
pola hidup sehat, pasien yang tidak mau dan tidak mampu
menerapkan pola hidup sehat akan mempunyai dampak yang
sangat merugikan yaitu meningkatnya morbiditas dan
mortalitas. Pasien pasca IKP yang tidak dapat menjalankan
pola hidup sehat akan menimbulkan kembali sumbatan koroner
dan akan mengakibatkan aliran darah akan terhenti kecuali
aliran darah dari pembuluh darah kolateral yang sangat kecil.
Daerah otot jantung yang tidak mendapatkan aliran darah akan
mengalami infark serta akan mempengaruhi luasnya kerusakan
miokardium, hal ini berdampak pada proses penyembuhan dan
174
jika tidak ditangani dapat menyebabkan kematian (Guyton,
1996).
Untuk mengatasi hal tersebut diperlukan tenaga
kesehatan yang dapat membantu pasien dalam menerapkan
pola hidup sehat. Tenaga kesehatan disini adalah perawat,
karena perawat merupakan seseorang yang terdepan dan
pemberi pelayanan kesehatan yang paling sering kontak dengan
pasien, diharapkan mampu memahami permasalahan secara
holistik dan berperan penting dalam meningkatkan derajat
kesehatan. Perawat bersama pasien dapat menggali berbagai
faktor pendukung dan penghambat, mengenali harapan dan
keinginan pasien selama perawatan, serta mampu memotivasi
pasien untuk meningkatkan adaptasi (Hudak & Gallo, 2010).
Dalam memberikan intervensi kesehatan, banyak faktor
yang dapat mempengaruhi outcomes dari intervensi tersebut
mengingat pasien adalah individu yang unik dan memiliki
perasaan dan pemikiran yang berbeda-beda. Faktor-faktor
pendukung yang bersifat positif perlu ditingkatkan. Sedangkan
faktor yang berefek negatif pada pasien perlu diminimalkan
(Wisyastuti, 2011).
Berdasarkan latar belakang masalah yang diuraikan diatas,
maka dapat dirumuskan masalah penelitian sebagai berikut :
―Apakah terdapat hubungan antara efikasi diri dengan
kepatuhan menjalankan pola hidup sehat pada pasien pasca
intervensi koroner perkutan (IKP) di Instalasi Pelayanan
Jantung RSUP Dr. Hasan Sadikin Bandung―
Penelitian ini bertujuan untuk menguji hubungan efikasi diri
dengan kepatuhan menjalankan pola hidup sehat pada pasien
175
pasca Intervensi koroner perkutan (IKP) di Instalasi Pelayanan
Jantung RSUP Dr. Hasan Sadikin Bandung.
- Tujuan Khusus
1) Mengidentifikasi kepatuhan menjalankan pola hidup
sehat pasien pasca IKP
2) Mengidentifikasi efikasi diri pada pasien pasca IKP
terkait dengan pola hidup sehat.
3) Menguji hubungan antara efikasi diri terhadap
kepatuhan menjalankan pola hidup sehat pada pasien
pasca IKP.

Metode
 Jenis penelitian
Penelitian ini adalah menggunakan metode kuantitatif.
 Variabel dan sub variabel Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah mengidentifikasi hubungan
efikasi diri dengan kepatuhan menjalankan pola hidup
sehat. Variabel dalam penelitian ini adalah sebagai
berikut :
1. Variabel bebas (Independen) dalam penelitian ini
adalah Efikasi Diri pasien pasca intervensi koroner
perkutan (IKP).
2. Variabel terikat (Dependen) pada penelitian ini
adalah kepatuhan menjalankan pola hidup sehat pada
pasien pasca Intervensi koroner perkutan (IKP)
 Populasi dan sampel
Populasi dalam penelitian ini diambil dari seluruh
pasien setelah tindakan intervensi koroner perkutan yang
176
sedang berobat di Instalasi Pelayanan Jantung RSUP Dr.
Hasan Sadikin Bandung. Pengambilan sampel
menggunakan teknik purposive sampling, yaitu
pengambilan sampel berdasarkan pada suatu
pertimbangan tertentu yang dibuat peneliti, berdasarkan
ciri atau sifat-sifat populasi yang sudah diketahui
sebelumnya. Adapun kriteria sampel yang diambil dalam
penelitian ini, meliputi;
Kriteria inklusi :
1. Pasien pasca IKP ≥ 3 bulan
2. Pasien dalam kondisi hemodinamik stabil, tidak
sedang nyeri dada.
3. Pasien dapat berkomunikasi dengan baik
4. Pasien dewasa berusia 18-80 tahun baik pria maupun
wanita.
Besar sampel yang digunakan dalam penelitian ini
menggunakan rumus koefisien korelasi 0,4, maka
didapatkan sampel penelitian sebanyak 48 orang pasien
pasca IKP yang sedang berobat di Instalasi Pelayanan
Jantung RSUP Dr. Hasan Sadikin Bandung.

 Analisa Data
Penelitian ini dilakukan dengan tahapan analisis
univariat dan bivariat Selanjutnya analisis secara bertahap,
dapat dilihat sebagai berikut :
1. Analisis Univariat
Pada tahapan ini menyajikan kepatuhan pasien pasca IKP
dalam menjalankan pola hidup sehat dan Efikasi Diri
177
menjalankan pola hidup sehat. Dalam penyajiannya analisis
univariat akan ditampilkan dalam distribusi frekwensi.
2. Analisis Bivariat
Analisis bivariat dilakukan untuk mengetahui hubungan
antara dua variabel (variabel bebas dan terikat). Data variabel
bebas yaitu Efikasi Diri dengan variabel terikat yaitu
kepatuhan menjalankan pola hidup sehat pasien pasca IKP.
Karena skala pengukuran variabel independen dan variabel
dependen dalam penelitian ini merupakan kategorik Efikasi
Diri dengan kepatuhan menjalankan pola hidup sehat pasien
pasca IKP maka untuk membuktikan adanya hubungan dan
menguji hipotesa digunakan uji Chi Square.

Hasil Penelitian
Kepatuhan Menjalankan Pola Hidup Sehat pada
Pasien Pasca IKP
Untuk mengetahui kepatuhan menjalankan pola hidup
sehat pada pasien pasca IKP di ruang Instalasi Pelayanan
Jantung RSUP Dr. Hasan Sadikin Bandung dilakukan dengan
cara memberikan jawaban pada kuesioner yang telah diberikan
kepada responden, yang hasilnya ditampilkan pada tabel di
bawah ini.

Tabel 1 Gambaran Kepatuhan menjalankan pola hidup


pasien pasca IKP di Instalasi Pelayanan Jantung
RSHS (n=48)
Variabel Frekuensi %
Patuh 24 50
178
Tidak Patuh 24 50

Bedasarkan tabel 1 di atas menunjukan bahwa gambaran


kepatuhan menjalankan pola hidup pasien pasca intervensi
koroner perkutan (IKP), seimbang antara responden yang patuh
dan tidak patuh yaitu masing-masing (50%).

Analisis univariat kepatuhan menjalankan pola hidup


sehat.
Analisis univariat kepatuhan menjalankan pola hidup
sehat sebagai variabel dependen di dalam penelitian ini adalah
Efikasi Diri. Hasil analisis univariat untuk variabel independen
ditampilkan sebagaimana tabel di bawah ini.
Tabel 2 Analisis univariat Efikasi Diri menjalankan pola
hidup sehat pasca IKP di Instalasi Pelayanan
Jantung (n=48)
Variabel Katagori f %
Efikasi Diri Baik 24 50
Kurang 24 50

Berdasarkan tabel 2 di atas, hasil analisis hubungan antara


efikasi diri dengan kepatuhan menjalankan pola hidup sehat
pada pasien pasca intervensi koroner perkutan (IKP) diperoleh
data yang seimbang yaitu (50%).

179
4.1.2. Analisis Bivariat
Analisis bivariat terhadap efikasi diri serta hubungannya
dengan kepatuhan menjalankan pola hidup sehat sebagai
variabel dependen dapat di lihat pada tabel berikut ini.

Tabel 3 Hubungan Efikasi diri dengan kepatuhan


menjalankan pola hidup sehat pasien pasca IKP
di Instalasi Pelayanan Jantung RSHS (n=48)

Kepatuhan
menjalankan
pola hidup sehat Total p-
Pengetahuan X2 OR
Tidak value
patuh Patuh
F % f % f %
Kurang 18 75 6 25 24 50
Baik 6 25 18 75 24 50 12.000 12.558 0.001
Jumlah 24 50 24 50 48 100

Bedasarkan tabel 3 diatas, hasil analisis hubungan antara


efikasi diri dengan kepatuhan menjalankan pola hidup sehat
pada pasien pasca intervensi koroner perkutan (IKP) diperoleh
data yang seimbang, sebanyak (75%) responden yang baik
efikasi dirinya serta patuh menjalankan pola hidup sehat. Hasil
uji statistik Chi square α 0,05 diperoleh nilai p=0,001 maka
dapat disimpulkan bahwa ada perbedaan proporsi kepatuhan
menjalankan pola hidup sehat antara pasien yang memiliki

180
efikasi diri baik dengan pasien yang memiliki efikasi diri
kurang baik.

Pembahasan
Kepatuhan Menjalankan Pola Hidup Sehat Pada Pasien
Pasca IKP
Kepatuhan adalah istilah yang dipakai untuk
menjelaskan ketaatan atau pasrah pada tujuan yang telah
ditentukan. Komitmen atau keterikatan pada suatu program
disebut sebagai kesetiaan (Adherence). Baik kepatuhan maupun
kesetiaan mengacu pada kemampuan untuk mempertahankan
program-program yang berkaitan dengan promosi kesehatan.
Konsep mengenai kepatuhan berbanding lurus dengan tujuan
yang dicapai pada program yang telah ditentukan. Kepatuhan
pada program kesehatan merupakan perilaku yang dapat
diobservasi dan dapat langsung diukur (Bastable, 2002).
Kepatuhan merupakan hasil akhir dari sebuah hubungan
yang dibentuk berdasarkan saling menghargai, berpartisipasi
aktif dan kerja sama antara pasien dan petugas kesehatan, tanpa
ada paksaan atau manipulasi dari satu sama lainnya. Kepatuhan
seseorang memainkan peranan yang sangat penting di dalam
pencegahan penyakit (Falvo, 2004) .
Kepatuhan pasien terhadap rekomendasi dan perawatan
dari petugas kesehatan adalah penting untuk kesuksesan
intervensi. Akan tetapi, ketidakpatuhan menjadi masalah yang
besar terutama pada pasien pasca IKP terkait dengan
menjalankan pola hidup sehatnya. Tindakan intervensi koroner
perkutan akan tetap mempunyai risiko mengalami
181
kekambuhan, karena adanya faktor risiko PJK yang dimiliki
sebelumnya. Faktor risiko yang dapat mencetuskan terjadinya
PJK secara garis besar dibagi menjadi dua yaitu; (1) faktor
yang tidak dapat dimodifikasi, meliputi; riwayat keluarga
dengan PJK, jenis kelamin dan usia, (2) Faktor risiko yang
dapat dimodifikasi, meliputi; merokok, hipertensi, inaktivitas
fisik, obesitas dan stres (Smeltzer & Bare, 2008; Black &
Hawks, 2009).

Hubungan antara pengetahuan dengan kepatuhan


menjalankan pola hidup sehat
Efikasi diri pada pasien pasca IKP sangat diperlukan untuk
mempertahankan agar pasien mampu mendapatkan status
kesehatan terbaiknya dan mempertahankan fungsi atau
kemampuan fisiknya seoptimal dan selama mungkin. Hasil
analisis hubungan antara efikasi diri dengan kepatuhan
menjalankan pola hidup sehat pasien pasca intervensi koroner
perkutan (IKP) diperoleh bahwa sebanyak (75%) responden
memiliki efikasi diri baik serta pasien patuh dalam menjalankan
pola hidup sehat. Hasil uji statistik Chi Square diperoleh ada
hubungan yang signifikan antara dukungan keluarga dengan
kepatuhan menjalankan pola hidup pasien, dengan nilai
p=0,001 < 0,005.
Penelitian ini seiring dengan penelitian yang dilakukukan
oleh Lau-Walker (2004) di Inggris mengenai hubungan antara
representasi penyakit dan efikasi diri menunjukan hasil bahwa
ada hubungan signifikan antara persepsi tentang penyakit
dengan efikasi diri. Secara lebih lanjut dikatakan bahwa
182
semakin besar penerimaan/pengetahuan pasien akan dampak
akibat penyakit jantung, semakin rendah efikasi diri secara
umum untuk melakukan koping. Hasil juga mengemukakan
bahwa semakin lama waktu penerimaan terhadap kondisi
penyakit akan mempengaruhi efikasi diri pasien, semakin tinggi
efikasi diri spesifik untuk mempertahankan perubahan pola diet
dan aktvitas.
Faktor yang mempengaruhi efikasi diri salah satunya
adalah dukungan orang terdekat atau keluarga. Memberikan
dukungan pada pasien pasca IKP akan meningkatkan efikasi
diri karena adanya perhatian untuk melakukan pengelolaan
pencegahan kekambuhan. Seperti pendapat dari Kim et al.
(2008), yang menyatakan bahwa adanya dukungan sosial dari
keluarga dan teman terkait dengan pengaturan diet yang lebih
baik dengan tidak mengkonsumsi makanan yang tidak sehat.
Hal tersebut disebabkan karena adanya orang-orang yang akan
selalu mengingatkan atau membantu pasien untuk tidak
mengkonsumsi makanan yang tidak sehat untuk jantung atau
berperilaku yang dapat mempererat kondisinya.
Faktor lain yang berpengaruh adalah pengetahuan.
Penelitian yang dilakukan oleh Almas et al. (2008) bahwa
pengetahuan tentang faktor risiko terhadap penyakit jantung
mempengaruhi perilaku individu terhadap kesehatan. Informasi
yang jelas diberikan kepada pasien akan meningkatkan efikasi
diri dalam melaksanakan aktivitas fisik dalam meningkatkan
kemampuan beraktivitas pada tingkatan yang lebih tinggi

183
Daftar Pustaka
Abbate, A., L. Giuseppe., Zoccai, B., Agostoni, P, J. Michael.,
Lipinski et al (2007). Recurrent angina after coronary
revascularization: a clinical challenge. European Heart
Journal (28): 1057–1065
Aldana, S.G., Whitmer, W.R., Greenlaw, R., Avins, A.L.,
Thomas, D., Salberg, A., et al (2006). Effect of intense
lifestyle modification and cardiac rehabilitation on
psychosocial cardiovascular disease risk factors and quality
of life. Behavior Modification (30): 507-525.
Byrne, M., Waksh, J., Murphy, A.W. (2005). Secondary
prevention of coronary heart disease: Patient beliefs and
health-related behaviour. Journal of Psychosomatic
Research (58): 403-415
Citrakesumasari., Syam, A & Yatim, Y. (2009). Pola makan
pasien penyakit jantung koroner di RSUP Wahidin
Sudirohusodo dan RSD. Labuang Baji Makassar. The
Indonesian Journal of Medical Science 1(8): 435-441
Cobb, S.L., Brown, D.J & Davis. L.L. (2006). Effective
interventions for lifestyle change after myocardial
infarction or coronary artery revascularization. Journal of
the American Academy of Nurse Practitioners (18): 31-39.
Daly, J., Sindone, A.P & Thompson. (2002). Barrier to
participation in and adherence to cardiac rehabilitation
programs : A. Critical literature review. Program
Cardiovascular Nursing (1) 8-17.
Dehdari, T., Heidarnia, A., Ramezankhani, A., Sadenghian, S
& Ghofranipour, F. (2008). Anxiety, self efficacy
184
expectation and social support in patient after coronary
angioplasty and coronary bypass. Iranian Journal
Publication Health (37): 119-125.
Glanz, K., Rimer, B.K & Viswanath, K. (2008). Health
behavior and health education theory, research, and
practice 4th edition. Published by Jossey-Bass, San
Francisco.
Joseph, V., Mark, C., Walker, S.P., James, O., C. Keith, H., et
al. (2004). Testing the performance of the ENRICHD
social support instrument in cardiac patients. Health and
Quality of Life Outcomes 2004 2:24
Kementrian Kesehatan RI Direktorat Jendral pemberantasan
penyakit & Pengendalian Lingkungan direktorat
pengendalian penyakit tidak menular. (2011). Pedoman
pengendalian faktor risiko penyakit jantung dan pembuluh
darah (1): 7-9
Sarkar, Alli & Whooley. (2007). Self efficacy and health status
in patient with coronary heart disease: findings from heart
and soul study. Psychosomatic Medicine (69): 306-312.
Sullivan, M., Lacroix, A.,Russo, J & Katon, W. (1998). Self-
efficacy and self-reported functional status in coronary
heart disease: A six-month prospective study.
Psychosomatic Medicine (60): 473-478.

185
Terapi Musik Terhadap Penurunan Tingkat Kecemasan
Pasien Hemodialisis: Literature Review

Mustopa Saepul¹, Laili Rahayu², Chandra Isabella2


1
Mahasiswa Magister Keperawatan UNPAD Bandung
2
Fakultas Keperwatan Universitas Padjadjaran
Email: Lailira2002@yahoo.com

Abstrak

Pasien GGK yang menjalani hemodialisis mengalami


kecemasan, banyak penelitian mengenai hal tersebut.
Kecemasan merupakan salah satu gangguan yang bila dibiarkan
dapat mengarah pada gangguan kejiwaan. Terapi untuk
mengurangi kecemasan pasien hemodialisis dapat dilakukan
secara farmakologi dan non farmakologi. Terapi non
farmakologi yang bersifat alternatif dan komplemen untuk
pasien hemodialisis adalah terapi musik. Tujuan dari penulisan
literatur review ini adalah untuk menjelaskan tentang terapi
musik dalam menurunkan tingkat kecemasan pasien
hemodialisis berdasarkan pada sumber literatur jurnal
penelitian ilmiah terkait. Metode yang digunakan dalam
penulisan literatur review ini melalui data base CINAHL dari
EBSCOhost, Proquest, dan Google Scholar dengan
menggunakan kata kunci Music Therapy, Anxiety,
hemodialysis, Music Therapy and Hemodialysis dengan rentang
tahun terbit dari tahun 2005-2015. Dari hasil beberapa
penelitian menunjukkan bahwa terapi musik tradisional dapat
memberikan respon relaksasi dan distraksi, serta dapat
menurunkan tingkat kecemasan, nadi, pernafasan dan tekanan
darah.

186
Terapi musik adalah terapi komplementer yang dapat
diberikan pada pasien hemodialisis yang relatif murah dan tidak
ada efek samping bagi pasien. Terapi musik tradisional telah
terbukti efektifitasnya dapat menurunkan kecemasan pada
pasien yang memiliki diagnosa yang berbeda dan pada
tingkatan usia yang berbeda juga. Tidak adanya batasan-
batasan bagi pengguna pada terapi musik, sehingga dapat
diterapkan pada semua pasien.

Kata kunci: Music Therapy, Anxiety, Hemodialysis, Music


therapy and hemodialysis.

Pendahuluan

Hemodialisis adalah terapi pengganti ginjal yang paling


banyak dilakukan oleh pasien GGK. Secara global pasien yang
menjalani hemodialisis pada tahun 2014 mencapai lebih dari
1,5 juta orang, dan sekitar 60.000 pasien meninggal per tahun
sebelum dilakukan hemodialisis, diperkirakan akan terus
meningkat seiring dengan peningkatan angka kejadian gagal
ginjal kronis sebanyak 20-25% setiap tahunnya. Sementara itu,
Indonesia sendiri pasien yang menjalani hemodialisis tahun
2011 berjumlah 22.304 pasien, tahun 2012 sebanyak 24.524
pasien, tahun 2013 sebanyak 27.782 pasien dan tahun 2014
sebanyak 28.882 pasien, meningkat 10% setiap tahunnya dan
60% pasien hemodialisis adalah usia dewasa dan lansia, dimana
sebanyak 2.476 pasien meninggal per tahun (Pernefri,
2015;WHO, 2015 ).

187
Tindakan hemodialisis merupakan faktor pencetus
terjadinya stressor yang berpengaruh terhadap masalah
psikologis pasien, dan yang paling sering muncul seperti stress,
depresi, dan kecemasan. Kecemasan yang dialami oleh pasien
hemodialisis terjadi pada awal hemodialisis sampai enam bulan
menjalani hemodialisis. Kecemasan pasien hemodialisis
disebabkan oleh beberapa faktor stressor (Cukor et al., 2008;
Finnegan, Jennifer & Veronica, 2013; Brunner and Suddarth,
2007)
Penatalaksanaan untuk pasien hemodialisis yang
mengalami kecemasan dapat dilakukan secara farmakologi dan
non farmakologis. Terapi yang diberikan pada pasien
hemodialisis yang mengalami kecemasan dengan pemberian
obat seperti sedative atau anti cemas, mempunyai pengaruh
atau efek samping terhadap pasien yang dapat menimbulkan
ketidaknyamanan dan masalah baru dari pasien. Dan yang di
kuatirkan jika pasien lupa untuk mengkonsumsi obat dapat
menimbulkan gejala kekambuhan pada pasien. Salah satu terapi
yang bisa bersifat komplemen, atau alternatif yang dapat
diberikan pada pasien hemodialisis yang mengalami kecemasan
adalah terapi musik (Kessler, Soukup, Davis, & Foster, 2001).
Terapi musik memiliki beberapa keunggulan
dibandingkan dengan terapi lainnya diantaranya lebih bersifat
ekonomis, bersifat naluriah yaitu musik dapat beresonansi
secara naluriah sehingga dapat langsung masuk ke otak tanpa
melalui jalur kognitif. Musik tidak membutuhkan kemampuan
intelektual untuk menginterpretasikan. Dengan tidak adanya
batasan batasan bagi pengguna terapi musik sehingga dapat
188
diterapkan pada semua pasien tanpa memperhatikan latar
belakang pendidikan dan budayanya. Namun pada pelaksanaan
terapi musik ini ada beberapa hal yang harus diperhatikan,
maka dibutuhkan review lebih lanjut pada literatur terkait terapi
musik terhadap pasien hemodialisis.
Studi literature ini bertujuan untuk memberikan
gambaran mengenai berbagai hasil penelitian tentang terapi
musik, kemudian mengevaluasi publikasi ilmiah sehingga dapat
dijadikan bukti/evidence base pactice untuk menentukan
tindakna terbaik bagi pasien.

Metode
Hasil-hasil penelitian yang ditelaah berasal dari pencarian
media elektronik melalui data base CINAHL dari EBSCOhost,
Proquest, dan Google Scholar. Kata kunci yang digunakan
meliputi Music Therapy, Anxiety, hemodialysis, Music Therapy
and Hemodialysis Music Therapy, Anxiety, hemodialysis,
Music Therapy and Hemodialysis dengan rentang tahun terbit
dari 2005-2015. Jumlah literatur yang diperoleh sebanyak 36.
Metode analisa yang digunakan dalm studi literature ini adalah
analisis isi (Content Analisis) untuk mengidentifikasi dan
membedakan tema-tema dari penelitian/jurnal yang telah
diperoleh sehingga dapat memberikan wawasan yang berguna
untuk membuka jalan penelitian selanjutnya mengenai terapi
musik.

189
Hasil Penelitian
Hasil studi literature yang akan diuraikan meliputi terapi musik,
kecemasan pasien hemodialisis, pentingnya hemodialisis untuk
pasien GGK, dampak kecemasan pasien hemodialisis, efek
terapi musik untuk menurunkan kecemasan pasien
hemodialisis.

Terapi Musik
Terapi musik merupakan terapi komplementer yang
mengandung unsur-unsur musik yaitu nada, irama, dan
intensitas yang disusun untuk dapat menimbulkan efek
relaksasi. Terapi musik dapat mengatasi berbagai macam
stressor yang dihadapi oleh pasien, pasien mampu
mengendalikan atau beradaptasi terhadap stressor yang
memiliki kekuatan luar biasa yang berdampak terhadap
kejiwaan pasien. Musik dapat membantu seseorang menjadi
lebih rileks, mengurangi cemas, menimbulkan rasa aman dan
sejahtera, melepaskan rasa sedih, membuat jadi gembira,
membantu dan melepaskan rasa sakit bagi pasien yang
menjalani terapi seperti kemoterapi, hemodialisis, pasien pre
operasi dan post operasi (Kessler, Soukup, Davis, & Foster,
2001; Martinez, 2009; ).

Kecemasan Pasien Hemodialisis


Kecemasan adalah suatu respon emosional terhadap
perasaan yang tidak menyenangkan dan tidak berdaya akibat
stressor yang muncul terhadap objek yang jelas maupun yang
tidak spesifik yang dicirikan dengan adanya perasaan takut,
190
khawatir dan perasaan terancam yang sumbernya secara nyata
atau dikenal maupun yang tidak diketahui (Stuart & Sundeen,
2007; Kaplan & Saddock, 2005). Kecemasan yang dialami oleh
pasien hemodialisis terjadi pada awal hemodialisis sampai
enam bulan menjalani hemodialisis dan cenderung mengalami
kecemasan sedang sampai berat (Rahmi, 2008; Romani,
Hendarsi, Asmarani, 2012; Jangkup, Elim & Kandou, 2015).
Kecemasan yang muncul pada pasien hemodliasis
dapat disebabkan oleh berbagai macam stressor. Sumber
stressor akibat dari tindakan hemodialisis seperti: nyeri
didaerah penusukan fistula, adanya komplikasi pada saat
dialisis (gatal-gatal pada kulit pada akhir hemodialisis, otot
mengalami kram pada saat hemodialisis, hipotensi, serta
adanya nyeri dada), adanya keterbatasan dalam melakukan
aktivitas karena jadwal untuk melakukan terapi hemodialisis
yang padat dan harus dilakukan secara teratur dan rutin,
masalah pembiayaan/financial untuk pengobatan, seringnya
hemodialisis yang membuat bosan untuk melakukan terapi
hemodialisis, jarak ke tempat pelayanan kesehatan (tempat
terapi hemodialisis), serta merasa jadi beban dan
ketergantungan dengan keluarga dan kelemahan fisik sering
dirasakan oleh pasien seperti mual, muntah, kelemahan otot dan
edema (Finnegan, Jennifer & Veronica, 2013; Fatemeh,
Fatemeh &Tayebeh,(2008).
Tubuh akan berespon terhadap stressor pada saat
pasien mengalami kecemasan, respon tubuh seseorang dapat
berupa respon fisiologis dan respon psikologi. Respon fisiologi
seperti gemetar, berkeringat, dan detak jantung meningkat, rasa
191
sesak napas, gangguan tidur, mudah lelah, sering kencing, dan
mulut kering. Sedangkan respon psikologi seperti gelisah,
tegang, bingung, cepat marah, susah tidur, mudah tersinggung,
dan susah untuk berkonsentrasi (Stuart & Sundeen, 2007).

Pentingnya Hemodialisis untuk pasien GGK


Hemodialisis adalah sebagai terapi pengganti ginjal
untuk mengeluarkan sisa hasil metabolisme, menurunkan kadar
ureum, kreatinin, zat toksik lainnya, dan zat-zat yang tidak
dibutuhkan tubuh di dalam darah pasien, yang mengalami
kerusakan fungsi ginjal baik yang akut maupun kronis (Cukor
et al., 2008; Baykan, & Yargic, 2012).
Tindakan hemodialisis ini dapat memperbaiki
keadaan ketidakseimbangan zat-zat sisa produk metabolisme
(seperti dapat peningkatan pada ureum, nitrogen, pospat) dan
mengeluarkan cairan yang berlebih melalui suatu proses
dengan menggunakan mesin hemodialisis dan berbagai
aksesorisnya dimana terjadi difusi partikel terlarut (salut) dan
air secara pasif melalui darah menuju kompartemen cairan
dialisat melewati membran semi permeabel dalam mesin
dialyzer (mesin cuci darah) yang berfungsi sebagai ginjal
buatan. Mesin dialyzer (mesin cuci darah) ini bekerja sama
seperti ginjal yang dimulai dari darah dipompa keluar dari
tubuh, masuk kedalam mesin dialiser untuk dibersihkan melalui
proses difusi dan ultrafiltrasi dengan dialisat (cairan khusus
untuk dialisis), kemudian di alirkan kembali kedalam tubuh
pasien setelah dibersihkan. Terapi hemodialisis ini dilakukan
sepanjang hidup pasien secara teratur, dan proses cuci darah ini
192
dilakukan pasien l-3 kali dalam seminggu di rumah sakit, dan
setiap kalinya memerlukan waktu sekitar 2-5 jam setiap sekali
melakukan tindakan terapi hemodialisis (Price & Wilson, 2006;
Brunner and Suddarth ,2007).

Dampak Kecemasan pada Pasien GGK yang menjalani


Hemodialisis
Kecemasan yang dialami oleh pasien gagal ginjal
kronis dapat menimbulkan pengaruh terhadap masalah klinis
dan juga masalah psikologis. Masalah klinis yang paling sering
terjadi pada pasien gagal ginjal kronis seperti adanya
peningkatan tekanan darah, pasien mengalami susah tidur,
adanya penurunan daya tahan tubuh, hal ini sering terjadi pada
pasien selama dialisis pertama kali (Brunner and
Suddarth,2007). Sedangkan hipertensi transient yang terjadi
pada pasien hemodialisis disebabkan adanya pengaktivasi pada
sistem saraf simpatis dimana tubuh berespon ketika pasien
sedang mengalami kecemasan. Pengaktivasi pada system saraf
simpatis ini dapat menimbulkan pengaruh pada penyempitan
sistem pembuluh darah dan hipertensi. Dampak yang sering
terjadi akibat adanya hipertensi transient adalah karena adanya
otak yang mengalami kerusakan akibat dari pembuluh darah
yang mengalami blockade, serta pembuluh darah diotak yang
pecah (Son et al., 2009; Fatemeh, Fatemeh, & Tayebeh (2008).

193
Efek Terapi Musik untuk Menurunkan Kecemasan Pasien
Hemodialisis
Terapi musik merupakan salah satu bentuk
intervensi keperawatan yang dapat dilakukan oleh perawat
sebagai stimulasi kepada pasien hemodialisis yang mempunyai
dampak terhadap pemulihan dan penyembuhan bagi kejiwaan
pasien (Cantekin & Tan, 2013; Kim, Feroze et al., 2012).
Menurut Kemper & Danhauer, 2005; Suhartini,
(2008) terapi musik dapat memberikan dampak terhadap
peningkatan kesehatan, mengurangi stress, mengurangi nyeri,
dapat meningkatkan memori, meningkatkan kemampuan
komunikasi, dan mempercepat rehabilitasi fisik. Selain itu,
terapi musik juga dapat menurunkan kecemasan dan
meningkatkan perasaan positif bagi pasien medikal dan bedah.
Terapi musik berpengaruh terhadap mekanisme kerja sistem
saraf otonom dan hormonal, yang secara tidak langsung dapat
berpengaruh tehadap kecemasan dan nyeri. Pasien yang diterapi
dengan menggunakan musik akan merasa lebih rileks dan
tenang serta efek relaksasi yang diperoleh melalui terapi musik
berpengaruh terhadap stabilitas dan penurunan tekanan darah,
nadi dan pernafasan.
Terapi musik mempunyai manfaat diantaranya
mampu menutupi bunyi dan perasaan tidak tenang, mampu
memperlambat dan menyeimbangkan gelombang dalam otak,
mempengaruhi pernafasan, mempengaruhi denyut jantung,
nadi, dan tekanan darah manusia, dapat mengurangi ketegangan
otot, memperbaiki gerak dan koordinasi tubuh, dapat
mempengaruhi suhu tubuh manusia, meningkatkan endorfin,
194
dan mengatur hormon (hubungannya dengan stres), dapat
menimbulkan rasa aman dan sejahtera, serta dapat mengurangi
rasa sakit. Bagi yang belum terbiasa mendengarkan musik,
sebaiknya dimulai dengan belajar menikmati musik yang
disukai yang berirama lembut karena tidak semua orang dapat
menerima untuk mendengarkan musik, apalagi bagi pasien
gagal ginjal kronis yang sedang menjalani terapi hemodialisis
dan sedang mengalami kecemasan akan merasa terganggu jika
harus mendengarkan musik yang tidak disukai (Martinez, 2009;
Heidari Gorji, Davanloo & Heidarigorji, 2014).).

Menurut penelitian Kim & Lee, Sok, (2012)


menujukkan bahwa terapi musik efektif menurunkan tingkat
kecemasan dan depresi pada pasien hemodialisis. Sama hal nya
dengan penelitian Cantekin & Tan, (2013) menunjukkan
terdapat perbedaan yang signifikan antara skor rata-rata pre test
dan post test psikososial, psikologi dan stressor pada pasien
hemodialisis. Berbeda dengan penelitian Zachariah &
Gopalkrishnan (2014) bahwa secara signifikan dapat
menurunkan kelelahan pada pasien hemodialisis, namun tidak
ada perbedaan untuk tekanan darah pasien hemodialisis.

Pemilihan musik yang tepat pada pasien


hemodialisis dapat menjadikan efek terapeutik terhadap
penurunan kecemasan pada pasien. Salah satu jenis musik yang
tepat untuk pasien hemodialisis dan sesuai dengan karakteristik
dan budaya pasien adalah musik tradisional kecapi suling ―ayun
ambing‖. Musik tradisional kecapi suling ‖ayun ambing‖
sangat efektif diberikan pada pasien hemodialisis karena
195
mayoritas pasien adalah suku sunda yang sangat mudah
menerima musik sunda dan karakter musik yang mudah
dikenali oleh pasien, dan musik kecapi suling ―ayun ambing‖
masuk kedalam bentuk nyanyian rakyat (Muslim, 2009; Arini
& Supriadi, 2011; Supriadi, Hutabarat & Monica., 2015;
Nillson, 2009)

Musik tradisional kecapi suling ―ayun ambing‖


sangat tepat diberikan pada pasien hemodialisis yang disajikan
secara instrumental dengan tempo 40-60 beat permenit (128
kbps) atau dengan frekuensi sedang 750-3000 Hz. Tempo ini
sangat sinergis dengan alat musik yang digunakan untuk
menimbulkan efek terapi pada pasien hemodialisis, sehingga
dapat menghasilkan alunan nada yang harmoni, indah dan
lembut, serta memberikan efek tenang dan relaksasi pada tubuh
pasien, yang dapat menurunkan kecemasan pasien selama
menjalani hemodialisis. Alat musik yang dianjurkan agar
menghasilkan getaran untuk efek terapeutik adalah lebih
banyak string, misalnya kecapi, suling, kecapi dan suling terdiri
dari 2-4 unsur (Arini & Supriadi, 2011; Supriadi, Hutabarat &
Monica; Edi, 2006; Asrin, Maulidah, &Triyanto,2009)
Menurut Mucci & Mucci (2012) Suara musik yang
lembut dan menenangkan dapat meminimalkan dampak dari
suara-suara yang negatif baik suara mesin hemodialisis maupun
suara dirumah sakit. Dampaknya membuat para pasien
hemodialisis menjadi lebih nyaman, rileks dan lebih bahagia
serta membuat tubuh pasien mengeluarkan getaran pada tingkat
yang lebih sehat.

196
Menurut para pakar terapi musik, tubuh manusia
memiliki pola getar dasar, kemudian vibrasi musik yang terkait
erat dengan frekuensi dasar tubuh atau pola getar dasar
memiliki efek penyembuhan yang sangat hebat pada seluruh
tubuh, pikiran, dan jiwa manusia, yang menimbulkan
perubahan emosi, organ, hormone, enzim, sel-sel dan atom (
Kozier, Berman & Synder, 2010)

Musik tradisional kecapi suling memiliki


komponen nada dan irama yang dapat memberi pengaruh
psikologis dan fisiologis pada tubuh. Saat rangsangan suara
menggetarkan gendang telinga yang kemudian akan diteruskan
ke susunan saraf pusat tepatnya pada sistem limbik. Sistem
limbik memiliki fungsi sebagai neurofisiologi yang
berhubungan dengan emosi, perasaan dan sensasi. Tepatnya
berkaitan dengan emosi yang kuat seperti kesedihan, nyeri dan
kegembiraan serta kenangan yang mendalam bagi pasien (Edi,
2006).
Musik kecapi suling memiliki efek terhadap
gelombang alfa. Dengan sampainya stimulus dari musik akan
membentuk gelombang alfa yang sempurna dan merangsang
pelepasan neurotransmiter yaitu serotonin. Selanjutnya,
serotonin akan dirubah menjadi hormon melatonin yang
memberikan efek relaksasi dan perubahan mood sehingga dapat
menurunkan kecemasan yang dirasakan oleh pasien
(Purbowinoto & Kartinah, 2011). Sejalan dengan Music Mood
and Movement therapy, sesampainya stimulus suara (musik) di
sistem limbik, musik akan memanggil memori ataupun

197
kenangan yang mendalam bagi pasien yang mengakibatkan
terjadinya perubahan mood pada pasien (Chan, et al., 2011).
Beberapa penelitian menunjukkan efektivitas
musik tradisional terhadap penurunan tingkat kecemasan pasien
hemodialisis diantaranya penelitian Varghese & Joshi, (2015)
dengan judu Kalawati Raag di India yang menujukkan bahwa
terapi musik tradisional sangat efektif menurunkan tekanan
darah dan kecemasan pasien hemodialisis. Selain itu, penelitian
Busakorn & Somrat, (2013) menunjukkan bahwa secara
signifikan dapat meningkatkan tekanan darah dan nadi, dan
hasil statistik secara signifikan dapat mengurangi kecemasan
dan nyeri pasien hemodialisis.
Selain itu menurut penelitian Supriadi, Hutabarat &
Monica (2015) bahwa terapi musik tradisional juga efektif
dapat menurunkan tekanan darah. Hal yang sama menurut
penelitian Lengga, (2015) menujukkan bahwa musik klasik,
musik tradisional dan murotal sangat efektif dalam menurunkan
tekanan darah pada pasein hipertensi primer.
Untuk menghasilkan dampak terapi musik terhadap
pasien, maka harus diperhatikan unsur-unsur musik, agar dapat
memberikan efek yang terapeutik terhadap psikologis pasien.
Ada lima unsur penting yaitu pitch (frekuensi), volume
(intensity), timbre (warna nada), interval, dan rhtym (tempo
atau durasi). Misalnya pitch yang tinggi, dengan rhythm cepat
dan volume yang keras akan meingkatkan ketegangan otot atau
menimbulkan perasaan tidak nyaman. Sebaliknya, pada pitch
yang rendah dengan rhtyhm yang lambat dan volume yang
rendah akan menimbulkan efek rileks dan menurunkan
198
kecemasan pada pasien hemodialisis (Nillson, 2008; Andrzej,
2009; Heather, 2010; Chiang, 2012)
Ketika seseorang merasa cemas maka sistem tubuh
akan bekerja dengan meningkatkan kerja saraf simpatis sebagai
respon terhadap stress. Sistem saraf simpatis bekerja melalui
aktivasi medulla adrenal untuk meningkatkan pengeluaran
epinephrine, norepinephrine, kortisol serta menurunkan nitric
oxide. Keadaan tersebut akan menyebabkan perubahan respon
tubuh seperti peningkatan denyut jantung, pernafasan, tekanan
darah, aliran darah ke berbagai organ meningkat serta
peningkatan metabolisme tubuh. Untuk menghambat kerja
saraf simpatis dapat dilakukan dengan meningkatkan aktivasi
kerja saraf parasimpatis untuk menimbulkan relaksasi (Kessler
et al., 2001; Chan et al., 2011)

Simpulan
Berbagai penelitian yang terkait dengan terapi musik yang
bertujuan untuk mengurangi tingat kecemasan pasien
hemodialisis telah banyak dilakukan, dimana hasil penelitian-
penelitian tersebut menyimpulkan bahwa terapi musik sangat
efektif menurunkan kecemasan. Salah satu jenis musik yang
sangat efektif menurunkan kecemasan pasien hemodialisis
adalah musik tradisional kecapi suling yang berasal dari
Kebudayaan Sunda Jawa Barat, meskipun masih banyak jenis
musik yang dapat diterapkan pada pasien hemodialisis.

199
Daftar Pustaka

Andrzej, W., M. (2009). Stimulation methods in music therapy:


short discussion toward the bio-cybernetic aspect.
Journal of Medical informatics and Technologies,
13,255-258

Arini, D, HS. & Supriadi, D. (2011). Kecapi Suling


Instrumentalia Sebagai Salah satu Kesenian Khas
Sunda. Harmonia. Vol XI, No 1, Juni.

Asrin, Maulidah, Triyanto. (2009). Upaya Pengendalian


Respon Emosional Pasien Hipertensi Dengan Terapi
Musik Dominan Frekuensi Sedang. Jurnal Keperawatan
Soedirman (The Soedirman Journal of Nursing),
Volume 4 No.1 Maret 2009.

Baykan, H., & Yargic, I. (2012). Depression, anxiety disorders,


quality of life and stress coping strategies in
hemodialysis and continuous ambulatory peritoneal
dialysis patients. Klinik Psikofarmakoloji Bulteni, 22(2),
167-176. Retrieved from
http://search.proquest.com/docview/1030139280?acc
ountid=48290

Brunner and Suddarth, (2007). Medical Surgical Nursing, 10th


Edition. Philadelphia: Lippincott Williams and Wilkins
publishers

Bussakorn B, Somrat L, (2013) Effects of Music Intervention


on Patients Undergoing Hemodialysis in the Bangkok
Metropolitan Administration Hospitals. Music and
200
Medicine Juli; 5(3):188-193. DOI:
10.1177/194386211349570.

Cantekin, I., & Tan, M. (2013). The influence of music therapy


on perceived stressors and anxiety levels of
hemodialysis patients. Renal Failure, 35(1), 105-109.

Chan, M. F., Wong, Z. Y., Onishi, H., & Thayala, N. V. (2011).


Effects of music on depression in older people: a
randomised controlled trial. Journal Oc Clinical
Nursing, 21, 776–783.

Chiang, L (2012). The effect of music and nature sounds on


cancers pain and anxiety in hospice cancer patients.
Frances Payne Bolton School of Nursing Case Western
Reserve University (Unpublished dissertation appeer)

Cukor, D., Coplan, J., Brown, C., & Friedman, S. (2008).


Anxiety disorders in adults treated by hemodialysis.
Clinical Journal of the American Society of Nephrology :
CJASN: 52(1), 128–136. doi:10.1053/j.
ajkd.2008.02.300.

Edy Sedyawati. 2006. Keragaman Silang Budaya. Dialog Art


Sumit Jurnal Seni Pertunjukan, Bandung : 2000/2001

Fatemeh, Fatemeh, & Tayebeh (2008). Evaluation of


depression and anxiety in hemodialysis patients. Med J
MashadUniv Med Sci. ;3(51):171-6. [Persian]

Feroze, U., Martin, D., Kalantar-Zadeh, K., Kim, J.C., Reina-


Patton, A., & Kopple, J.D. (2012). Anxiety and
201
depression in maintenance dialysis patients: Preliminary
data of a crosssectional study and brief literature review.
Journal of Renal Nutrition, 22(1), 207-210.

Finnegan, J., Jennifer, T., & Veronica, J. (2013). The


psychosocial experience of patients with end-stage
renal disease and its impact on quality of life: findings
from a needs assessment to shape a service. ISRN
Nephrology, 308986. doi:10.5402/2013/308986

Heather, S. (2010). The healing power of sound: the latest


research related to health and music therapy.
(www.tlfi.com/2010/06/the-latest-reserach - related-
to-health-and-music.pdf, diperoleh tanggal 4 Maret
2012)

Heidari Gorji, M., Davanloo, A., & Heidarigorji, A. (2014).


The efficacy of relaxation training on stress, anxiety,
and pain perception in hemodialysis patients. Indian
Journal of Nephrology, 24(6), 356-361.
doi:http://dx.doi.org/10.4103/0971-4065.132998

Juanita Jaine Martinez. (2009) Is music therapy? Nephrology


nursing Journal; May-June, 36(2) 54-9. Available from;
http:///C:/Users/compaq/Music therapy, anxiety
prevention/junieta%20is%20music%20therapy.htm

Jangkup, K.YJ. Elim, C. & Kandou, J.FL. (2015). Tingkat Kecemasan


pada Pasien Penyakit Ginjal Kronik (PJK) yang Menjalani
Hemodialisis di BLU RSUP Prof.DR.R.D. Kandou Manado.
Jurnal e-Clinic (eCl), Volume 3, Nomor 1, Januari-April 2015

202
Kaplan, B., & Sadock, V. (2005). Kaplan and Sadock’s
synopsis of psychiatry: Behavioral Sciences/Clinical
Psychiatry. (9th ed.). Philadelphia: Lippincott Williams
& Wilkins.

Kemper KJ, Danhauer SC. (2005) Music as therapy. Southern


Medical Association 3:282–288.

Kim KB, Lee MH and Sok SR. (2012). The effect of music
therapy in anxiety and depression in patients
undergoing haemodialysis, Taehan Kanho Hokhoe Chi,
36(2), 321-9 Available from;
http://stti.confex.com/stti/inrc15/techprogramme/pa
per_1 8/23.htm

Kozier, B. Erb, G. Berman, A., & Snyder, S. (2010).


Fundamental of Nursing, Concepts, Proces, and
Parctice (8th ed), California. Addsion Wesley.

Lengga, M.V. (2015). Efektifitas Musik Klasik, Musik


Tradisional, dan Murotal sebagai Adjuvant dari
Terapi Standar, dalam Menurunkan Tekanan Darah
Klien Hipertensi Prime diPuskesmas ledeng Kota
Bandung. Tesis. Bandung: Fakultas Keperawatan
Universitas Padjadjaran.

Mucci., K & Mucci., R (2012). The Healing Sound of Music:


Manfaat musik untuk kesembuhan, kesehatan dan
kebahagiaan anda. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

203
Muslim, E.J. (2009). Pengaruh Terapi Musik Terhadap
Penurunan Tekanan Darah Pada Lansia di PSTW Budi
Pertiwi Kota Bandung. Cimahi: Stikes Jendral A.Yani.

Nillson. U. (2008). Soothing music can increase oxytocin level during


bed rest after open-hearth surgery: A Randomized Control
Trial. Journal of Clinical Nursing, 18, 2153-2161.

Perkumpulan Nefrologi Indonesia. (2015). Retrieved January 2,


2015, from pravelensi penderita gagal ginjal kronis:
http://www.pernefri.inasn.org/laporan/
5th%20annual%20report%20of%20IR R%202011

Price & Wilson, (2006). Patofisiologi konsep klinis proses –


proses penyakit. EGC. Jakarta

Purbowinoto, S. E., & Kartinah. (2011). Pengaruh Terapi


Musik terhadap Perubahan Tingkat Depresi pada
Lansia di PSRW (Panti Sosial Tresna Wredha) Unit
Budi Luhur, Kasongan, Bantul Yogyakarta. Publikasi
Ilmiah UMS, 4, 44-49.

Rihiantoro, T. Nurachmah, E. & Hariyati, ST. (2008).


Pengaruh Terapi Musik Terhadap Status
Hemodinamika pada Pasien Koma di Ruang ICU

Rahmi W. Gambaran tentang tingkat kecemasan pasien yang


pertama kali menjalani Hemodialisa di Ruang
Hemodialisa RSUD Kraton. Penelitian Keperawatan
Medikal Bedah, 2008; p. 1-3.

204
Romani, N.K., Hendarsih, S., & Asmarani, F.L (2015).
Hubungan mekanisme koping individu dengan tingkat
kecemasan pada pasien gagal ginjal kronis di unit
hemodialisa RSUP dr. Soeradji tirtonegoro klaten.
(2012). Retrieved 18 June, from
http://journal.respati.ac.id/index.php/medika/article/
viewFile/60/56

Son, Y.J., Choi, K.S., Park, Y.R., Bae, J.S. & Lee, J.B. (2009).
Depression, symptoms and the quality of life in patients
on hemodialysis for end-stage renal disease. Am J
Nephrol, 29, 36-42

Supriadi, D. Hutabarat, E. & Monica, V. (2015). Pengaruh


Terapi Musik Tradisional Kecapi Suling Sunda
terhadap Tekanan Darah pada Lansia dengan
Hipertensi. Artike Penenlitian. Vol 1 No 2. ISSN: 2443
– 0935. E-ISSN: 2443 – 1699

Suhartini. (2008). Effectiveness of Music Therapy Toward


Reducing Patient’s Anxiety in Intensive Care Unit. Ilmu
Keperawatan Fakultas Kedokteran Universitas
Diponegoro

Stuart G. W. & Sundeen, S.J. (2007), Buku saku keperawatan


jiwa, edisi 5, Jakarta: ECG.

Varghese, J. & Joshi, J (2015). Effect of Music Therapy on


Blood Pressure and Axiety in Haemodialysis
Patients.Vol 3 (11), 1-8 December

205
WHO (2015). Retrieved January 2, 2015, from Pravelensi
chronic kidney disease:
http://who.int//bulletin/volumes/86/3/0 7-041715/en

Zachariah, L. & Gopalkrishnan, S. (2014). Impact of music


therapy during hemodialysis on selected physiological
parameters of patients undergoing hemodialysis in
selected hospitals. International Journal Of
Comprehensive Nursing. Volume 1; Issue 2; Juli. ISSN:
2349 – 5413.http://ijcn.mainspringer.com

206
Pengaruh Relaksasi Otot Progresif
Terhadap Tingkat Kecemasan Pasien Gagal Jantung
Kongestif Kelas Fungsional I Dan Ii Di Ruang Rawat Inap
Penyakit Dalam RSU dr. SLAMET GARUT

Sulastini, Henny Suzana M, Nita Fitria


Fakultas Keperawatan Universitas Padjadjaran

Abstrak

Kecemasan merupakan salah satu permasalahan psikologis


yang sering muncul pada pasien Gagal jantung Kongestif
(GJK) yang dapat menurunkan kualitas hidup pasien sehingga
meningkatkan angka kesakitan. Intervensi nonfamakologis
sangat dibutuhkan untuk menangani masalah kecemasan
tersebut salah satunya adalah relaksasi otot progresif yang
merupakan salah satu teknik relaksasi yang paling mudah,
sederhana, minimal biaya serta sudah digunakan secara luas
dan dapat diaplikasikan pada pasien GJK kelas fungsional I dan
II. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh
relaksasi otot progresif terhadap tingkat kecemasan pasien GJK
di ruang rawat inap RSU dr. Slamet Garut. Desain penelitian
quasi experimental dengan rancangan one group pretest and
postest. Teknik sampel yang digunakan adalah consecutive
sampling sehingga didapat jumlah sampel sebanyak 23 pasien.
Instrumen tingkat kecemasan menggunakan Hamilton Anxiety
Rating Scale (HARS). Data dianalisis dengan wilcoxon test.
Hasil penelitian menunjukan sebagian pasien (34%) mengalami
kecemasan sedang sebelum diberikan intervensi relaksasi otot
progresif. Sebagian besar pasien mengalami kecemasan ringan
(52%) setelah diberikan intervensi relaksasi otot progresif.
207
Terdapat penurunan yang bermakna antara tingkat kecemasan
pasien GJK saat sebelum dan sesudah dilakukan intervensi
relaksasi otot progresif dengan nilai p = 0,001 (α<0,05).
Relaksasi otot progresif dapat meurunkan tingkat kecemasan
pada pasien GJK di ruang rawat inap RSU dr. Slamet Garut.
Disarankan relaksasi otot progresif diterapkan di rumah sakit
sebagai salah satu terapi komplementer non farmakologis untuk
mengatasi kecemasan dan dibuat dalam prosedur tetap dalam
intervensi keperawatan.

Kata Kunci: Gagal jantung kongestif, relaksasi otot progresif,


tingkat kecemasan,

Daftar Pustaka : 27 Buku, 67 Jurnal (2001 – 2016)

Pendahuluan

Gagal Jantung Kongestif (GJK) atau gagal jantung


kongestif adalah ketidakmampuan jantung untuk memompa
darah yang adekuat untuk memenuhi kebutuhan jaringan akan
oksigen dan nutrisi (Smeltzer, Bare, Hinkle, & Cheever,
2010). Menurut data World Health Organization (WHO)
(2013) 17,3 juta orang meninggal akibat gangguan
kardiovaskular pada tahun 2008 dan lebih dari 23 juta orang
akan meninggal setiap tahun dengan gangguan kardiovaskular.
Data dan Riset Kesehatan Dasar tahun 2007 menyebutkan
bahwa penyakit jantung masih merupakan penyebab utama
dari kematian terbanyak pasien di rumah sakit Indonesia.
Berdasarkan diagnosis gejala estimasi jumlah penderita

208
penyakit gagal jantung terbanyak terdapat di Provinsi Jawa
Barat sebanyak 96.487 orang (0,3%).
Pada tahun 2014 angka kesakitan GJK di Kabupaten
Garut berjumlah 1.460 pasien sedangkan jumlah pasien rawat
inap GJK periode Januari 2015 sampai dengan Februari 2016
berjumlah 1.680. Hal ini menunjukan bahwa prevalensi GJK
di kabupaten garut mengalami peningkatan sebanyak 220
kasus sejak tahun 2014.
Manifestasi klinis yang muncul pada pasien dengan
GJK adalah dyspnea, takikardi, kelelahan, intoleransi aktifitas,
retensi cairan, penurunan kadar oksigen darah arteri, edema
paru, edema perifer, ketidaknyamanan, dan gangguan pola
tidur (Yancy et al., 2013). Tidak hanya permasalahan fisik,
permasalahan psikologis juga muncul pada pasien GJK. Faktor
predisposisi seperti pasien takut akan kondisi fisiknya yang
lemah, khawatir bila penyakitnya tidak bisa sembuh karena
jantung adalah organ yang penting dan ketika jantung mulai
rusak maka kesehatan juga terancam, menjalani terapi
pengobatan yang lama dan sering keluar masuk rumah sakit,
prognosis penyakit dan manifestasi yang memburuk,
bagaimana cara pengobatan yang akan ditempuh selanjutnya,
berapa besar biaya yang akan dihabiskan, berapa lama waktu
penyembuhan penyakitnya, sampai memikirkan tentang
kematiannya sehingga pasien terlihat gelisah, sulit istirahat
dan tidak bergairah saat makan (Fitriyani, 2015). Faktor
predisposisi tersebut dapat menyebabkan masalah psikologis
diantaranya gangguan psikososial seperti stress, kecemasan,
dan ketidakberdayaan (powerlessness), selain itu ketakutan
209
dan depresi juga bisa dialami pasien GJK (Polikandrioti et al,
2015).
Kecemasan adalah suatu keadaan patologis yang
ditandai oleh perasaan ketakutan disertai tanda somatik
pertanda sistem saraf otonom yang hiperaktif (Kaplan,
Saddock, & Grebb 2010). Berbagai permasalahan yang
muncul akibat kecemasan yang dialamai pasien GJK dapat
menimbulkan penurunan kualitas hidup dari pasien itu sendiri,
hal ini sejalan dengan hasil penelitian Schweitzer, et al (2007)
yang menyatakan bahwa kecemasan adalah salah satu faktor
penyebab ketidakpatuhan pasien GJK untuk menjalani
pengobatan dan mempengaruhi kualitas hidup pasien GJK.
Tindakan mandiri yang dapat dilakukan oleh perawat
untuk mengatasi kecemasan adalah terapi individu seperti
terapi kognitif, terapi perilaku, thought stopping, CBT
(Cognitive Behaviour Therapy), logotherapy, SEFT (Spiritual
Emotional Freedom Technique), dan tehnik relaksasi
(Hofmann, 2008). Relaksasi merupakan salah satu bentuk
mind body therapy dalam Coplementary and Alternatif
Therapy (Black & Hawks, 2009). Relaksasi otot progresif
merupakan salah satu tehnik relaksasi yang paling mudah dan
sederhana yang sudah digunakan secara luas. Menurut
Richmond (2004) relaksasi otot progresif merupakan suatu
prosedur untuk mendapatkan relaksasi pada otot dengan tehnik
mengencangkan dan merelaksasikan otot.
Mekanisme fisiologi relaksasi otot progresif dalam
mengatasi kecemasan adalah hasil kontraksi dari serat otot
rangka yang mengarah kepada sensasi dari tegangan otot yang
210
merupakan hasil dari interaksi yang kompleks dari sistem saraf
pusat dan sistem saraf tetapi dengan otot dan sistem otot
rangka Conrad dan Roth (2007). Gerakan relaksasi otot
progrsif dengan cara menegangkan dan merelaksasikan
beberapa kumpulan otot akan merangsang sistem limbik di
hipotalamus untuk mengeluarkan Cortcotropin Realising
Factor (CRF) yang akan merangsang hipofisis untuk
meningkatkan produksi endorphine dan Pro Opioid Melano
Cortin (POMC) yang akan meningkatkan produksi enkephalin
oleh medula adrenal sehingga akan mempengaruhi suasana
hati dan memberikan perasaan rileks (Black & Hawks, (2009).
Sehingga dengan adanya perasaan rileks maka kecemasan
akan berkurang sehingga bisa mempercepat proses
penyembuhan dan meningkatkan kualitas hidup pasien gagal
jantung kongestif.
Penelitian mengenai pengaruh pemberian relaksasi otot
progresif pada pasien GJK belum pernah dilakukan, relaksasi
otot progresif terbukti bisa mengatasi kecemasan pada pasien
kanker payudara yang sedang menjalani kemoterapi dan
pasien yang menjalani hemodialisa, namun dalam penelitian
lainnya ternyata relaksasi otot progresif tidak efektif mengatasi
kecemasan di bandingkan terapi musik dan qigong pada pasien
dengan penyakit jantung. Masalah kecemasan pada pasien
GJK bila tidak ditangani secara tepat dan efektif dapat menjadi
faktor penyebab kejadian ulang rawat inap, penurunan quality
of life, menimbulkan masalah psikologis yang lebih berat
seperti depresi, kecanduan dari efek samping pemberian obat
anti cemas yang akhirnya bisa meningkatkan morbiditas dari
211
penyakit GJK. Perawat mempunyai peran dalam memberikan
pelayanan keperawatan pada pasien dewasa dengan
memperhatikan aspek bio-psiko-sosio-spiritual sehingga
diharapkan pelayanan yang diberikan tidak hanya melihat
permasalahan fisik saja namun juga harus mempertimbangkan
permasalahan lain seperti aspek psikologis yang dimiliki
pasien seperti stres dan kecemasan. Tujuan penelitian ini
adalah untuk mengetahui pengaruh relaksasi otot progresif
terhadap tingkat kecemasan pasien Gagal Jantung Kongestif
kelas fungsional I dan II di ruang rawat inap RSU dr. Slamet
Garut.

Metode

Penelitian ini menggunakan desain penelitian quasi


experimental dengan rancangan one group pretest and postest
design tanpa menggunakan kelompok kontrol. Tehnik
pemilihan sampel dalam penelitian ini adalah consecutive
sampling dengan kriteria inklusi pasien rawat inap yang
mengalami GJK grade I dan II (Functional Class NYHA)
dengan tingkat cemas ringan, sedang, atau berat setelah di ukur
dengan Hamilton Anxiety Rating Scale (HARS). Pasien sadar
penuh (compos mentis). Pasien yang bersedia menjadi
responden penelitian dari awal hingga akhir. Berdasarkan
perhitungan jumlah sampel pada penelitian ini berjumlah 23
responden. Instrumen yang digunakan untuk mengukur
kecemasan dalam rencana penelitian ini adalah Hamilton
Rating Scale For Anxiety (HRS-A). Alat ukur ini terdiri dari 14
kelompok gejala yang masing-masing kelompok dirinci lagi
212
dengan gejala-gejala yang lebih spesifik. Masing-masing
kelompok gejala diberi penilaian angka antara 0-4, yang artinya
nilai 0 berarti tidak ada gejala, nilai 1 gejala ringan, nilai 2
gejala sedang, nilai 3 gejala berat, dan nilai 4 gejala berat
sekali. Perlakuan relaksasi otot progresif dilakukan sebanyak
dua kali pada pagi dan sore hari kepada kelompok intervensi
dengan latihan panduan secara langsung pada pasien yang
sedang di rawat inap di ruang penyakit dalam karena GJK.
Perlakuan relaksasi otot progresif dilakukan secara bertahap,
konsentrasi dan fokus perhatian pasien dipusatkan pada
kontraksi dan relaksasi otot kemudian dipraktekan dengan
posisi berbaring atau semi fowler di tempat tidur dengan kepala
di topang dengan bantal. Setiap kelompok otot di tegangkan
selama 5-10 detik dan di relaksasikan selama 10-20 detik.
Pelaksanaan Relaksasi otot progresif dilakukan dalam 3 sesi
dengan 14 gerakan. 14 gerakan yang dilakukan dalam 3 sesi
akan memudahkan pasien untuk mengingat gerakan-gerakan
yang telah dilatih oleh peneliti.

Hasil Penelitian
Berdasarkan karakteristik umur dari 23 pasien sebagian
berada pada rentang lanjut usia (56-65 tahun) yaitu sebanyak 8
orang (34,8%). Berdasarkan karakteristik jenis kelamin dari 23
pasien sebagian besar pasien berjenis kelamin perempuan yaitu
sebanyak 17 orang (73,9%). Berdasarkan lama menderita GJK
dari 23 pasien sebagian besar pasien yaitu sebanyak 15 orang
(65,2%) telah menderita GJK lebih dari 6 bulan.

213
Gambaran Tingkat Kecemasan Responden Sebelum
Intervensi Relaksasi Otot Progresif
Untuk melihat gambaran tingkat kecemasan sebelum
dilakukan intervensi relaksasi otot progresif, berikut disajikan
data dalam diagram dibawah ini :
Tabel 1. Gambaran Tingkat Kecemasan Sebelum dilakukan
Intervensi Relaksasi Otot Progresif
Tingkat Kecemasan n %
Ringan 2 8,7
Sedang 11 47,8
Berat 10 43,5
Total 23 100

Dilihat dari table diatas sebelum dilakukan relaksasi


otot progresif sebagian pasien mengalami kecemasan sedang
yaitu sebanyak 11 orang (48%).

Gambaran Tingkat Kecemasan Responden Setelah


Intervensi Relaksasi Otot Progresif
Tabel 2. Gambaran Tingkat Kecemasan Setelah dilakukan
Intervensi Relaksasi
Otot Progresif

Tingkat Kecemasan n %
Ringan 12 52,2
Sedang 9 39,1
Berat 2 8,7

214
Total 23 100
Dilihat dari table diatas setelah dilakukan relaksasi otot
progresif sebagian besar pasien mengalami kecemasan ringan
yaitu sebanyak 12 orang (52,2%).

Perbedaan Rerata Kecemasan Sebelum dan Sesudah


Intervensi Relaksasi Otot Progresif.
Peneliti menggunakan uji Wilcoxon untuk menganalisis
perbedaan rata- rata tingkat kecemasan sebelum dan sesudah
dilakukan intervensi relaksasi otot progresif. Berikut disajikan
perbedaan rerata tingkat kecemasan sebelum dan sesudah
intervensi.
Tabel 3. Perbedaan Rerata Tingkat Kecemasan Sebelum dan
Sesudah Intervensi Relaksasi Otot Progresif
Pengukura Rerat Mi Ma p
Variabel Sd
n a n x Value
Kecemasa 4,10 15 30
Sebelum 23,13
n 4 0,00
4,67 12 29 1
Sesudah 19,00
1

Hasil uji statistik perbedaan rerata tingkat kecemasan


sebelum dan sesudah intervensi menunjukan terdapat
perbedaan rerata tingkat kecemasan sebelum dan sesudah
intervensi relaksasi otot progresif dengan nilai p=0,001
(p<0,05) yang diartikan terdapat perbedaan rerata tingkat
kecemasan sebelum dan sesudah intervensi relaksasi otot
progresif.
215
Pembahasan

Berdasarkan karakteristik usia pada penelitian ini


sebagian pasien GJK yang mengalami kecemasan berada
pada rentang lanjut usia akhir (56-65 tahun) yaitu sebanyak 8
orang (34,8%). Hasil penelitian ini didukung oleh penelitian
yang dilakukan oleh Debasree, Smita, Nitin, & James (2013)
pada populasi pasien GJK di India yang mengalami cemas
diperoleh hasil bahwa kecemasan pada pasien GJK lebih
banyak dialami oleh pasien yang rata-rata berumur 61 tahun.
Hasil penelitian ini didukung oleh pernyataan Yancy et al
(2013) bahwa kejadian GJK lebih banyak dialami oleh oleh
lanjut usia karena proses degeneratif. Ada beberapa faktor
yang menyebabkan usia lanjut rentan terkena penyakit gagal
jantung kongestif, faktor penyebab tersebut diantaranya
menurunnya respon terhadap stimulasi beta adrenergik akibat
bertambahnya usia akibatnya adalah denyut jantung menurun
dan kontraktilitas terbatas saat menghadapi beban.
Berdasarkan karakteristik jenis kelamin pada hasil
penelitian ini sebagian besar pasien berjenis kelamin
perempuan yaitu sebanyak 17 orang (73, 9%) meskipun
berdasarkan teori penyakit gagal jantung banyak dialami oleh
laki-laki namun dalam hasil penelitian ini ternyata perempuan
yang lebih banyak menderita gagal jantung kongestif. Pada
umumnya laki-laki lebih beresiko terkena gagal jantung
daripada perempuan hal ini disebabkan karena perempuan
mempunyai hormon estrogen yang berpengaruh terhadap
bagaimana tubuh menghadapi lemak dan kolesterol. Menurut

216
panelitian He et al di Amerika (2001) laki-laki mamiliki resiko
relatif sebesar 1,24 kali (p=0,001) dibandingkan dengan
perempuan untuk terjadinya gagal jantung. Faktor hormonal
juga mempengaruhi tingkat stress pada perempuan karena
perempuan cenderung mempunyai hormon yang tidak stabil
daripada laki-laki sehingga perempuan mempunyai sifat lebih
emosional dibandingkan laki-laki (Mc Sweeney, Pettey, Lefler
& Heo, 2012).
Pada penelitian ini semua pasien mengalami kecemasan
baik yang menderita GJK di bawah 6 bulan dengan jumlah 8
orang (34,8%) maupun yang menderita GJK lebih dari 6 bulan
dengan jumlah 15 orang (65,2%) dan jumlah pasien yang
cemas karena sudah menderita GKJ lebih dari 6 bulan lebih
besar dibandingkan dengan pasien yang baru menderita kurang
dari 6 bulan. Kecemasan merupakan masalah yang
kosntitusional pada pasien dengan penyakit kronis seperti gagal
jantung oleh karena itu semua pasien GJK kronis akan
mengalami kecemasan. Fluktuasi skor kecemasan tidak
berkaitan dengan durasi menderita GJK (Serafini et al, 2010).
Tingkat Kecemasan Pasien Sebelum Intervensi Relaksasi
Otot Progresif
Berdasarkan hasil penelitian dilihat dari distribusi
kategori kecemasan, sebelum dilakukan intervensi relaksasi
otot progresif kategori kecemasan pasien yang mengalami GJK
sebagian besar berada dalam kategori kecemasan sedang yaitu
sebanyak 11 orang (47,8%). Easton, et al (2016) dari hasil
telaah meta analisisnya mengatakan bahwa kecemasan yang
dialami pada pasien gagal jantung yang menjalani rawat
217
jalan sebanyak 13,1%, kecemasan pada pasien jantung yang
dirawat inap 28.79%, dan 55,5% pasien gagal jantung yang
mengalami perburukan klinis mengalami kecemasan.
Yohannes, Willgoss, Baldwin & Connolly (2010) juga
mengatakan bahwa prevalensi kecemasan pada pasien GJK
berkisar antara 11-45%.
Kecemasan yang dialami individu pada dasarnya
dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya tingkat
usia, pengalaman, konsep diri, tingkat pendidikan, tingkat
ekonomi serta dukungan keluarga (Stuart & Sunden, 2006).
Haworth, et al (2005) menyebutkan bahwa faktor-faktor
yang bisa mempengaruhi kecemasan pada pasien GJK adalah
status demografi (usia dan jenis kelamin), tingkat keperahan
penyakit, adanya komplikasi penyakit lain seperti diabetes,
dan kurangnya dukungan sosial.

Tingkat Kecemasan Pasien Sesudah Intervensi Relaksasi


Otot Progresif

Setelah dilakukan teknik relaksasi otot progresif


kategori kecemasan pasien GJK mengalami perubahan dimana
sebagian besar pasien berada dalam kategori kecemasan ringan
yaitu sebanyak 12 orang (52,2%), 9 orang mengalami
kecemasan sedang (39,1%), dan 2 orang (8,7%) mengalami
kecemasan berat. Berdasarkan hasil penelitian ini dapat dilihat
bahwa tingkat kecemasan pasien GJK mengalami penurunan
tingkat kecemasan dimana sebelum dilakukan intervensi
relaksasi otot progresif tingkat kecemasan pasien GJK
sebagian besar berada pada kategori sedang dan setelah
218
dilakukan relaksasi otot progresif tingkat kecemasan pasien
GJK sebagian besar berada pada kategori ringan. Hal ini
sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Chen, et al
(2009) yang menyatakan bahwa dengan relaksasi otot progresif
tingkat kecemasan pasien skizoprenia mengalami penurunan
dimana sebelum dilakukan intervensi tingkat kecemasan
pasien berada dalam kategori ringan dan setelah dilakuakan
intervensi tingkat kategori pasien berada dalam kategori ringan
(p=0,0446). Herizchi, et al (2012) juga menjelaskan bahwa
terdapat penurunan tingkat kecemasan pada pasien yang
mengalami kemoterapi setelah mendapat ientervensi relaksasi
otot progresif selama 1 bulan dengan nilai p=0,001.
Hasil penelitian ini didukung oleh teori yang
menyatakan bahwa relaksasi otot progresif merupakan
komponen dari terapi komplementer yang digunakan untuk
menurunkan kecemasan dan memberikan kenyamanan sebagai
contoh, relaksasi otot sering menjadi bagian dari guided
imagery. (Snyder, Pestka & Bly, 2006).
Mekanisme relaksasi otot progresif dalam menurunkan
angka kecemasan pada seorang individu yang penting dikenali
adalah tegangan otot ketika otot berkontraksi (tegang) maka
rangsangan akan disampaikan ke otot melalui jalur saraf
aferent. Tension merupakan kontraksi dari serat otot rangka
yang menghasilkan sensasi tegangan. Relaksasi adalah
pemanjangan dari serat-serat otot tersebut yang dapat
menghilangkan sensasi ketegangan setelah memahami dalam
mengidentifikasi sensasi tegang, kemudian dilanjutkan dengan
merasakan relaks. Ini merupakan sebuah prosedur umum untuk
219
mengidentifikasi lokalisasi ketegangan, relaksasi dan
merasakan perbedaan antara keadaan tegang dan relaksasi
yang akan diterapkan pada semua kelompok otot utama.
Dengan demikian, dalam relaksasi otot progresif diajarkan
untuk mengendalikan otot-otot rangka sehingga
memungkinkan setiap bagian merasakan sensasi tegang dan
relaks secara sistematis (Mc Guigan dan Lehrer, 2005).

Perbedaan Tingkat Kecemasan Responden GJK Sebelum


dan Sesudah Intervensi Relaksasi Otot Progresif
Hasil Uji statistik dengan menggunakan wilcoxon
menunjukan adanya perbedaan rerata tingkat kecemasan
sebelum dan sesudah dilakukan intervensi relaksasi otot
progresif dengan nilai p=0,001 (p<0,05) yang diartikan
terdapat perbedaan rerata tingkat kecemasan sebelum dan
sesudah intervensi relaksasi otot progresif.
Pada penelitian ini pemberian intervensi relaksasi otot
progresif secara signifikan dapat menurunkan kecemasan pada
responden GJK. Menurut Snyder, Pestka & Bly (2006) manfaat
dari relaksasi otot progresif adalah menurunkan ketegangan otot,
meningkatkan aliran darah ke otak, dan meningkatkan produksi
Endorphin dan ensefalin.

Mekanisme relaksasi otot progresif dalam mengatasi


kecemasan adalah dengan cara menegangkan dan
merelaksasikan beberapa kumpulan otot yang akan merangsang
sistem limbik di hipotalamus untuk mengeluarkan
Corticotropin Releasing Factor (CRF) yang akan merangsang
220
hipofisis untuk meningkatkan produksi endorfine dan Pro
Opioid Melano Cortin (POMC) yang akan meningkatkan
produksi ensefalin oleh medula adrenal sehingga akan
mempengaruhi suasana hati dan memberikan perasaan rileks
(Black & Hawks, 2010). Endorfine adalah hormon berbentuk
polipeptida yang mengandung 30 unit asam amino yang
mengikat pada reseptor opiat di otak, Hormon ini bertindak
seperti morphine, bahkan dikatakan 200 kali lebih efektif dari
morphine. Endorfine mampu menimbulkan perasaan euforia,
bahagia, nyaman, menciptakan ketenangan dan memperbaiki
suasana hati (mood) seseorang hingga membuat seseorang
relaks (Black and Hawks, 2009).

Simpulan

Terdapat pengaruh relaksasi otot progresif terhadap


penurunan tingkat kecemasan pasien gagal jantung kongestif
kelas fungsional I dan II di ruang rawat inap RSU dr. Slamet
Garut.

Daftar Pustaka

Black, J.M., & Hawks, J.K. (2009). Medical Surgical Nursing :


Clinical Management for Positive Outcomes, Volume II,
7thEdition. Elsevier‘s Health Sciences Right
Departement : Philadelphia.
Chen, W., Chu, H., Lu, R., Chou, Y., Chen, C., Chang, Y.,
Chou, K. (2009). Efficacy of progressive muscle
221
relaxation training in reducing anxiety in patients with
acute schizophrenia. Journal Of Clinical
Nursing, 18(15), 2187-2196. doi:10.1111/j.1365-
2702.2008.02773.x.
Easton, Katherine., Coventry, Peter., Lovell, Karina., Lesley-
Anne, Carter., Christi, Deaton. (2016). Prevalence and
Measurement of Anxiety in Samples of Patients With
Heart Failure Meta-analysis. Journal of Cardiovascular
Nursing. Vol. 31, No. 4, pp 367Y379. DOI:
10.1097/JCN.0000000000000265.
Fitriyani, Reni. (2015). Hubungan tingkat kecemasan dengan
kualitas tidur pasien congestive heart failure (CHF) di
ruang ICU RS PKU Muhammadyah Sruweng. Jurnal
Ilmiah Kesehatan Keperawatan. Vol 11 no 1.
Haworth, E, J., Cook, E, Moniz., Clark, A, L., Wang, M.,
Waddington, R.,& Cleland, J,G,F. (2005). Prevalence
and predictors of anxiety and depression in a sample of
chronic heart failure patients with left ventricular
systolic dysfunction. The European Journal of Heart
Failure. www.elsevier.com/locate/heafai.
He, J., Ogden, L,G., Bazzano, L,A., Vupputuri ,S., Loria, C.,
Whelton P,K. (2001). Risk Factors for Congestive Heart
Failure in US Men and Women: NHANES I
Epidemiologic Follow-up Study. Arch Intern
Med. 161(7):996-1002. doi:10.1001/archinte.161.7.996.
Herizchi, S., Asvadi, I., Piri, I., Golchin, M., Shabanlui, R., &
Sanaat, Z. (2012). Efficacy of Progressive Muscle
Relaxation Training on Anxiety, Depression and
Quality of Life in Cancer Patients Undergoing
Chemotherapy at Tabriz Hematology and Oncology
Research Center. Middle East Journal Of Cancer, 3(1),
9-13.
222
Hofmann, SG. (2008). The efficacy of cognitive behavioral
therapy: A Review of Meta-analyses. NIHPA Author
Manuscripts, 36(5): 427-440.
Kapplan, H,I. Saddock, B,J. Grabbs, J.A. (2010). Buku Ajar
Psikiatri, Edisi 2. Jakarta: EGC.
Mc Sweeney, Jean., Pettey, Christina., Lefler, Leanne., and
Heo, Seongkum. (2012). Disparities in heart failure and
other cardiovascular diseases among women. Womens
Health (Lond Engl). 8(4): 473–485. doi:
10.2217/whe.12.22.
McGuigan, F. J., & Lehrer, M. P. (2007). Progressive
relaxation: Origin, principles, and clinical application.
Diakses pada tanggal 20 Juli 2016 dari:
www.bodypsychyoga.com.
Polikandrioti, Maria., Goudevenos, John., K, Lampros.,
Michalis, John., Koutelekos.. Helen, Kyristi.,
Dimitrios., Tzialas., & Moses, Elisaf. (2015). Factors
Associated with Depression and Anxiety of
Hospitalized Patients with Heart Failure. Hellenic J
Cardiol ; 56: 26-35.
Richmond, R.L. (2004). A Guide to psychology and its
practice. Diakses pada tanggal 3 Maret 2016 dari
http://www.guidetopsychology.com/progressive muscle
relaxation.htm.
Schweitzer, R, D., Head, K., & Dwyer, J,W. (2007).
Psychological Factors and Treatment Adherence
Behavior in Patients With Chronic Heart Failure.
Journal of Cardiovascular Nursing 22(1):pp. 76-83.
Serafini, Gianluca., Maurizio,Pompili.,Marco, Innamorati.,
Giulia, Iacorossi., Ilaria, Cuomo., Mariarosaria, Della
Vista., David, Lester., Luciano De Biase., Paolo,
Girardi., Roberto, Tatarelli. (2010). The Impact of
223
Anxiety, Depression, and Suicidality on Quality of Life
and Functional Status of Patients With Congestive Heart
Failure and Hypertension. Prim Care Companion J Clin
Psychiatry. doi: 10.4088/PCC.09m00916gry.
Smeltzer, S. C., Bare, B. G., Hinkle, J. L., & Cheever, K. H.
(2010). Brunner & suddarth textbook of medical-
surgical nursing. Philadelphia: Lippincott Williams &
Wilkins.
Snyder, M & Lindquist, R. (2006). Complementary/alternative
terapies in nursing(fifth edition). New York: Springer
Publishing Company.
Stuart & Sundeen. (2006). Principles and practice of
psychiatric nursing. St. Louis: Mosby.
World Health Organization. (2013). World health statistic. Di
ambil dari http://search.who.int/search di akses pada
tanggal 20 Februari 2016.
Yancy,W,C., Jessup,Mariell., Chair,Vice., Bozkurt., Biykem.,
Butler, Javed., & Casey, Donald, E. (2013). Conrad, A.
Roth, TW. (2007). Muscle Relaxation Therapy for
anxiety disorders: It works but how?. Journal of Anxiety
disorder. 21, 243-264.ACCF/AHA Guideline for the
Management of Heart Failure.
http://circ.ahajournals.org/. Di akses tanggal 15
februari 2016.
Yohannes, A., Willgoss, T., Baldwin, R., & Connolly, M.
(2010). Depression and anxiety in chronic heart failure
and chronic obstructive pulmonary disease: prevalence,
relevance, clinical implications and management
principles. International Journal Of Geriatric
Psychiatry, 25(12), 1209-1221 13p.
doi:10.1002/gps.2463.

224
Pengaruh Relaksasi Benson terhadap Fatigue pada Pasien
Hemodialisis di RS. Dustira cimahi

Novi Malisa1, Kusman Ibrahim2, Wiwi Mardiah3


1
Akademi Keperawatan RS.Dustira Cimahi.
2
Fakultas Keperawatan Universitas Padjadjaran Bandung.
Email: novimalisa53@gmail.commailto:amanda.kurniasih@yahoo.com

Abstrak

Fatigue merupakan keluhan tertinggi yang dirasakan pasien


Hemodialisis (HD) menyebabkan konsentrasi menurun,
malaise, gangguan tidur, gangguan emosional, penurunan
kemampuan pasien dalam melakukan aktivitas sehari-hari dan
berdampak negatif terhadap kualitas hidup. Intervensi
keperawatan yang dapat dilakukan oleh pasien secara mandiri,
aman, tanpa efeksamping dan tidak memerlukan biaya menjadi
penting untuk menurunkan fatigue. Relaksasi Benson
merupakan merupakan salah satu jenis relaksasi yang
melibatkan faktor keyakinan pasien dan penguatan visualisasi
yang dapat mengatasi keluhan fisik dan psikologis. Penelitian
ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh Relaksasi Benson
terhadap fatigue pasien HD di RS. Dustira Cimahi. Penelitian
ini menggunakan metode penelitian quasi eksperimental
dengan pendekatan two groups pretest and posttest design.
Sebanyak 50 pasien dipilih sebagai responden yang terbagi
dalam dua kelompok menggunakan consecutive sampling. Data
dianalisis menggunakan uji statistik analisis univariat (berupa
distribusi frekuensi, persentase dan mean dari setiap variabel)
dan analisis bivariat (paired t test, independent t test, repeated
anova dan post hoc). Hasil penelitian menunjukkan bahwa
225
terdapat perbedaan rerata skor fatigue antara skor sebelum dan
sesudah dilakukan intervensi Relaksasi Benson pada kelompok
intervensi (pretest 27,16±3,325 dan posttest 28,76±3,728) dan
kelompok kontrol (pretest 28,16±2,609 dan posttest
28,36±3,040). Terdapat perbedaan bermakna selisih skor
fatigue kelompok intervensi dengan kelompok kontrol (p =
0,000). Perbaikan level fatigue terlihat setelah lima kali
melakukan Relaksasi Benson secara rutin pada dua jam
pertama intradialisis (p = 0,000). Secara umum hasil penelitian
ini menemukan ada pengaruh Relaksasi Benson terhadap
tingkat fatigue pasien HD dengan perubahan skor fatigue
setelah perlakuan kelima. Relaksasi Benson terbukti aman,
tanpa efek samping, dan mudah dilakukan. Disarankan kepada
pasien HD agar melaksanakan Relaksasi Benson pada 2 jam
pertama intradialisis secara rutin (minimal lima kali
pelaksanaan) untuk mengurangi keluhan fatigue post HD.

Kata Kunci: Fatigue, Hemodialisis, Relaksasi Benson

Pendahuluan
Paradigma pola penyakit di seluruh dunia telah mengalami
pergeseran dari communicable diseases (CDs) menjadi
noncommunicable diseases (NCDs). Hal ini merupakan
tantangan bagi pembangunan dan masalah kesehatan terbesar di
abad 21 karena selain mengakibatkan penderitaan, NCDs ini
juga dapat berimplikasi terhadap kondisi sosioekonomi suatu
negara terutama negara yang memiliki tingkat pendapatan
menengah kebawah yang salah satunya adalah Indonesia.
Mayoritas terbesar dari NCDs ini adalah penyakit kronis yang

226
menyebabkan tingginya angka kesakitan dan kematian di
seluruh dunia (World Health Organization, 2014).
Karakteristik dari penyakit kronis seringkali memunculkan
gejala distres dan kelemahan yang berat. Jenis penyakit kronis
terbanyak yang menyebabkan gejala stres secara fisik dan
psikologis adalah Congestive Heart Failure (CHF), Chronic
Obstructive Pulmonary Disease (COPD) dan Chronic Renal
Failure (CRF) (Janssen, Spruit, Wouters, & Maastricht, 2008).
End Stage Renal Disease (ESRD) atau dikenal dengan istilah
Gagal Ginjal Terminal (GGT) merupakan stadium akhir dari
CRF yang menyebabkan berbagai keluhan bagi pasien seperti
fatigue (O'Sullivan & McCarthy, 2009), depresi (Kimmel &
Peterson, 2006) dan penurunan kemampuan fungsi fisik (Cleary
& Drennan, 2005 dalam O‘ Sullivan & McCarthy, 2009)
sehingga berdampak pada buruknya kualitas hidup pasien
(Morsch, Goncalves, & Barros, 2006).
Hemodialisis (HD) merupakan penatalaksanaan utama pada
pasien GGT selain pembatasan cairan, pengaturan diet,
pemberian pengobatan untuk mengurangi gejala dan tindakan
preventif untuk mencegah penyakit semakin bertambah parah
(Thomas-Hawkins & Zazworsky, 2005). Prevalensi pasien baru
yang menjalani HD di Indonesia dari tahun ke tahun semakin
bertambah, tetapi pasien yang kemudian masih aktif menjalani
HD pada akhir tahunnya tetap sedikit, pada tahun 2013 hanya
9.396 pasien aktif sementara pasien baru pada tahun 2013
sebanyak dua kali lipatnya yaitu 15.128 pasien. Provinsi Jawa
Barat merupakan Provinsi urutan pertama dengan penambahan
pasien baru yang menjalani HD selama tahun 2013 yaitu
227
sebanyak 4.846 orang (30,03%). Penyakit utama penyebab
tingginya angka pelaksanaan HD di Indonesia adalah GGT
yaitu sebanyak 11.456 pasien (82%) dari keseluruhan pasien
gagal ginjal yang menjalani terapi HD (Pernefri, 2013).
HD adalah suatu prosedur darah dikeluarkan dari tubuh
pasien dan beredar dalam sebuah mesin di luar tubuh yang
disebut dialiser sebagai pengganti ginjal yang telah rusak.
Frekuensi tindakan HD bervariasi tergantung banyaknya fungsi
ginjal yang tersisa, rata–rata pasien menjalani dua sampai tiga
kali dalam seminggu, sedangkan lama pelaksanaan hemodialisa
paling sedikit tiga sampai empat jam tiap sekali tindakan terapi.
Hal ini dibuktikan juga oleh data statistik dari Indonesian Renal
Registry tahun 2013 bahwa pada tahun 2013 frekuensi tindakan
HD terbanyak adalah dua kali perminggu (39,84%) dengan
durasi tindakan HD terbanyak selama tiga sampai empat jam
(52,94%) (Pernefri, 2013).
Jhamb et al. (2011) menyatakan bahwa fatigue merupakan
gejala yang paling sering dikeluhkan oleh pasien GGT yang
menjalani terapi HD yaitu sebanyak 60-97% dari total pasien
yang menjalani HD, menyebabkan konsentrasi menurun,
malaise, gangguan tidur, gangguan emosional, dan penurunan
kemampuan pasien dalam melakukan aktivitas sehari harinya
sehingga dapat menurunkan kualitas hidup pasien HD.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh O'Sullivan and
McCarthy (2009) menemukan fakta bahwa pasien GGT selalu
mengalami fatigue, semakin rendah level fatigue maka semakin
tinggi tingkat fungsi fisik pasien. Fatigue merupakan keluhan
subjektif yang dialami pasien ketika mengalami kelemahan,
228
kekurangan atau ketiadaan energi dan keletihan. Munculnya
keluhan fatigue bisa disebabkan oleh banyak faktor, termasuk
status nutrisi yang buruk, gangguan psikologis, perubahan
kondisi kesehatan, dan gangguan tidur yang buruk (Evans &
Lambert, 2007).
GGT merupakan suatu kondisi inflamasi yang mempunyai
ciri khas peningkatan kadar zat-zat (ureum dan kreatinin) yang
merangsang proses inflamasi di dalam darah seperti sitokin
yang dapat menyebabkan fatigue. Selain itu sitokin juga
berhubungan dengan gangguan tidur, depresi, kecemasan dan
penurunan fungsi fisik yang turut serta menimbulkan fatigue
(Jhamb, Weisbord, Steel, & Unruh, 2008).
Beberapa faktor yang mempengaruhi fatigue; uremia,
anemia, gangguan tidur, dan stress psikologis merupakan faktor
yang dapat di atasi oleh intervensi (Jhamb, Weisbord, Steel, &
Unruh, 2008). Pengukuran kadar hemoglobin dapat
mendeteksi terjadinya anemia pada pasien HD. Anemia
merupakan keadaan yang dapat menggambarkan adanya
fatigue secara fisiologis disamping keadaan fisik lain
(Aaronson, et al., 1999; Piper, et al., 1987 dalam Petchrung,
2004). Pasien akan mulai merasakan fatigue jika kadar
hemoglobin sebesar 10 gr/dL (Rosenthai, Majeroni,
Pretorius, & Malid 2008).
Poses HD sendiri merupakan intervensi untuk menurunkan
uremia, mengatasi anemia, memperbaiki status gizi pasien
(Lewis, 2010). Jika mengacu pada teori faktor penyebab fatigue
maka seharusnya intervensi HD ini dapat menurunkan keluhan
fatigue pasien namun kenyataan yang terjadi bahwa intervensi
229
HD ini tidak dapat mengatasi keluhan fatigue yang dialami oleh
pasien sehingga diperlukan intervensi lain sebagai kombinasi
intervensi untuk mengatasi keluhan fatigue pasien.
Fatigue yang terjadi setelah HD dinamakan postdialysis
fatigue. Pasien yang mengalami fatigue setelah HD biasanya
membutuhkan tidur lima jam untuk perbaikan kondisi dan lebih
mengalami keluhan gangguan fisik dan masalah psikologis
seperti depresi, insomnia serta keluhan pegal-pegal
dibandingkan dengan pasien yang tidak mengalami postdialysis
fatigue. Selanjutnya, pasien yang mengalami postdialysis
fatigue mengalami keterbatasan fungsional dan aktivitas sosial
pada hari dilaksanakannya HD. Postdialysis fatigue tidak
diprediksi oleh pemeriksaan klinis seperti nutrisi, hasil
pemeriksaan laboratorium ataupun adekuasi HD (O‘Sullivan &
McCarthy, 2007). Postdialysis fatigue disebabkan oleh adanya
simulasi peningkatan sitokin akibat adanya interaksi komponen
darah dengan membran dialisis sehingga memicu sel
mononuklear darah perifer untuk memproduksi sitokin
proinflamasi (Memoli, Minutolo & Bisesti, 2002).
Pendalaman lebih lanjut mengenai fenomena yang terjadi di
lapangan terkait dengan keluhan fatigue pada pasien GGT yang
menjalani HD dilakukan dengan melakukan studi pendahuluan
di RS. Dustira Cimahi. RS. Dustira merupakan salah satu RS
yang mempunyai unit HD dengan jumlah pasien HD sebanyak
123 orang dan merupakan salah satu RS dijajaran Angkatan
Darat yang memiliki kapasitas pelayanan HD terbanyak setelah
RS. Pusat Angkatan Darat Gatot Soebroto. GGT merupakan
diagnosa utama pasien yang menjalani HD di Unit HD RS.
230
Dustira dengan prevalensi mencapai 96%. Dari hasil
pengukuran fatigue menggunakan instrumen FACIT Fatigue
Scale (Version 4) terhadap 10 orang pasien GGT, semua pasien
mengeluhkan fatigue yang menyebabkan terganggunya aktifitas
sehari-hari. Wawancara dilakukan untuk mengetahui intervensi
apa saja yang biasa dilakukan untuk mengatasi keluhan fatigue
tersebut, didapatkan data bahwa pada umumnya pasien tidak
mengetahui apa yang harus dilakukan untuk mengatasi fatigue
tersebut selain beristirahat. Dua orang pasien mengatakan jika
keluhan fatigue yang dirasakan terasa sangat berat sekali,
mereka mengalami penurunan semangat untuk melakukan
terapi pengobatan.
Beberapa penelitian menyatakan bahwa pasien GGT
kemungkinan besar (60-97%) mengalami keluhan fatigue yang
mengganggu kondisi fisik dan psikologis pasien. Kurangnya
pengetahuan pasien mengenai intervensi apa saja yang dapat
dilakukan secara mandiri untuk mengurangi keluhan fatigue
semakin memperberat kondisi yang dialami pasien. Horigan
(2012) menemukan fenomena yang sama dengan pernyataan
bahwa semua responden dalam penelitiannya (120 orang pasien
yang menjalani HD) mengalami fatigue dan tidak ada satu pun
yang merasa bisa melakukan intervensi atau tindakan untuk
mengatasi fatigue tersebut. Keluhan fatigue menyebabkan
terganggunya proses sosialisasi pasien dengan lingkungannya
dan kesulitan menjalankan aktivitas sehari-hari. Fatigue pada
pasien GGT yang menjalani HD merupakan salah satu masalah
keperawatan yang harus diatasi menggunakan pendekatan
asuhan keperawatan yang komprehensif mulai dari pengkajian,
231
diagnosis, perencanaan, implementasi dan evaluasi (North
American, Nursing Diagnosis Association, 2015).
Kurangnya penelitian dalam mengeksplorasi fatigue pada
pasien GGT memungkinkan perawat gagal untuk mendeteksi
tanda dan gejala fatigue dan juga perawat tidak mengetahui
bagaimana melakukan intervensi untuk mengatasi fatigue pada
pasien GGT sehingga keluhan fatigue dianggap keluhan yang
normal dialami pasien yang menjalani HD (Jhamb, Weisbord,
Steel, & Unruh, 2008). Fatigue yang tidak teratasi dengan baik
akan meningkatkan berbagai macam resiko yang menyebabkan
kematian, gagal jantung, komplikasi akibat gagal jantung atau
dirawat untuk pertamakalinya akibat gagal jantung selama
menjalani terapi HD (Jhamb et al., 2011).
Jhamb, Weisbord, Steel, dan Unruh (2008)
merekomendasikan penelitian yang penting dalam fatigue pada
pasien GGT yaitu penelitian tentang intervensi yang low-cost,
menggunakan metode yang dapat diakses dan digunakan pasien
secara mandiri serta dapat diaplikasikan oleh perawat ketika
mengatasi keluhan fatigue yang dialami pasien. Jhamb et al.
(2011) menjelaskan kerangka kerja teori untuk memahami
fatigue mencakup teori mengenai tanda dan gejala fatigue, teori
fatigue peripheral dan sentral dan teori multidimensi fatigue
pada pasien GGT. Pendekatan yang digunakan adalah dengan
memperhatikan faktor fisiologis, psikologis dan
sosiodemografis. Target intervensi non farmakologis adalah
pemenuhan nutrisi, istirahat dan tidur, manajemen stres dan
perawatan depresi.

232
Berdasarkan target intervensi di atas, diperlukan suatu
intervensi yang dapat mencakup aspek fisiologis dan psikologis
untuk mengatasi fatigue. Kaushal, Narendra & Smitha (2013)
membandingkan intervensi latihan aerobik dengan relaksasi
nafas dalam terhadap tingkat fatigue pasien acute
lymphoblastic leukemia yang menjalani kemoterapi. Hasil
penelitian menunjukan bahwa terjadi penurunan level fatigue
pada kedua kelompok intervensi relaksasi dan latihan aerobik
tetapi lebih signifikan terjadi penurunan pada kelompok
relaksasi.
Relaksasi merupakan intervensi yang dapat berdampak pada
aspek fisiologis dan psikologis pasien. Jenis relaksasi lainnya
yang terbukti dapat menurunkan fatigue pada pasien HD adalah
qigong training. Relaksasi qigong memadukan relaksasi dengan
latihan gerakan bertempo lambat disertai pemusatan fikiran
terhadap pernafasan. Hasil penelitian Wu, Han, Huang, Chen,
Yu, & Weng (2014) memperlihatkan pengaruh qigong terhadap
penurunan fatigue, hanya saja perlu waktu minimal 8 minggu
untuk terjadi penurunan fatigue tidak seperti relaksasi nafas
dalam pada penelitian Kaushal, Narendra & Smitha (2013).
Permasalahan fatigue pada pasien HD sangat komplek,
mengingat pasien sangat tergantung pada terapi HD sebagai
terapi pengganti ginjalnya sementara dari proses HD itu sendiri
menjadi salah satu faktor yang menyebabkan terjadinya
postdialysis fatigue. Kecenderungan dilaksanakan terapi HD
seumur hidup pada pasien GGT seringkali menimbulkan
permasalahan psikologis yang menuntut terbentuknya
mekanisme koping pasien yang adaptif. Untuk meningkatkan
233
mekanisme koping pasien GGT yang mengalami fatigue
hendaknya pasien diberikan sensasi humor, ditingkatkan
kepercayaan terhadap Tuhan, dan keyakinan terhadap diri
sendiri untuk tidak khawatir dan tetap berfikir positif (Horigan,
2012).
Salah satu tehnik relaksasi yang memadukan unsur
keyakinan kepada Tuhan dan keyakinan kepada diri sendiri
serta tetap berfikir positif adalah Relaksasi Benson. Relaksasi
Benson menanamkan keyakinan pada pasien dengan kata-kata
yang menenangkan sesuai dengan agama yang dianut pasien
dan senantiasa memacu pasien untuk berfikir positif. Relaksasi
Benson dapat mengatasi keluhan yang diakibatkan oleh
gangguan fisik maupun psikologis seperti meningkatkan
kepatuhan pasien HD dalam mengontrol diet dan asupan cairan,
selain itu Relaksasi Benson dapat mengontrol kadar gula darah
pasien HD dan dapat menurunkan kadar sel darah putih pasien
sehingga bermanfaat terhadap metabolisme dan kondisi fisik
tubuh serta dapat meningkatkan fungsi hemodinamik pasien
(Pasyar, Rambod, Sharif, Rafii & Pourali-Mohammadi, 2015),
meningkatkan kualitas tidur akibat insomnia (Mau, Kiik, &
Banin, 2012; Jhamb et al, 2011), dan menurunkan tingkat stres
(Aryana & Novitasari, 2013)
Relaksasi Benson merupakan pengembangan metode respon
relaksasi pernafasan dengan melibatkan faktor keyakinan
pasien dan penguatan visualisasi. Proses pernafasan yang tepat
dapat meningkatkan asupan oksigen (O2) ke dalam tubuh dan
meningkatkan suplai O2 ke dalam sel sehingga sel dapat
melakukan metabolisme dengan baik untuk menghasilkan
234
energi. Faktor keyakinan dapat berpengaruh terhadap sistem
limbik dimana terdapat organ hipotalamus yang mengontrol
sistem saraf otonom. Penurunan daerah limbik dapat
menjelaskan bagaimana relaksasi mengurangi stres dan
meningkatkan stabilitas otonomnya dengan meningkatnya kerja
inti hipotalamus yang mengatur sistem saraf parasimpatis.
Selanjutnya fase visualisasi menggabungkan antara harapan
terhadap kesembuhan, keyakinan dan ingatan terhadap hal-hal
yang membuat pasien lebih semangat dalam menjalani terapi.
Penguatan ini ditujukan untuk mengontrol aktivitas dari sistem
limbik terhadap peningkatan kerja saraf parasimpatis sebagai
respon yang diharapkan dari pelaksanaan relaksasi (Benson &
Proctor, 2010).
Relaksasi Benson dapat digunakan sebagai bagian dari
intervensi keperawatan untuk pasien HD dan pasien penyakit
kronis dengan mengajarkan kepada pasien bagaimana
melakukan tehnik Relaksasi Benson sampai bisa mandiri
melakukan di rumah. Intervensi Relaksasi Benson ini terbukti
aman dan tehnik yang efektif digunakan pada pasien GGT yang
menjalani HD (Pasyar, Rambod, Sharif, Rafii & Pourali-
Mohammadi, 2015).
Fokus intervensi pasien dengan GGT adalah dengan
meningkatkan self-management (Horigan, 2012). Hasil
penelitian dari Moattari, Ebrahimi, Sharifi, and Rouzbeh (2012)
menyatakan bahwa pemberdayaan pasien HD seharusnya
dipikirkan oleh pusat pelayanan HD untuk membantu pasien
mengontrol masalah kesehatannya. Keberhasilan pencapaian
outcome akan tercapai apabila pasien dapat secara mandiri dan
235
konsisten melakukan manajemen pengelolaan diri serta
bekerjasama secara sinergis dengan tim kesehatan dalam
menjalankan program terapi untuk mencapai kualitas hidup
yang optimal (Richard, 2006). Peningkatan manajemen diri
dapat secara efektif mengurangi prevalensi morbiditas maupun
mortalitas pasien yang menjalani HD (Griva et al., 2011).
Beberapa penelitian terkait manajemen diri pasien HD telah
dilakukan diantaranya adalah edukasi self-management
(Lingerfelt & Thornton, 2011), partnership care model
(Bahadori, Ghavidel, Mohammadzadeh & Ravangard, 2014),
terapi konitif dan dukungan sosial (Henry, 2014), dan self-
monitoring (Dowell & Welch, 2006) namun belum ada studi
yang fokus terhadap pengelolaan diri terkait dengan gejala
fatigue pasien GGT yang menjalani HD.
Berdasarkan hasil literatur review yang dilakukan oleh
peneliti terkait dengan intevensi untuk mengatasi fatigue, ada
enam artikel penelitian yang dikategorikan ke dalam tiga
kelompok jenis intervensi yaitu latihan fisik, penggunaan sinar
infra merah dan relaksasi: yoga. Keseluruhan intervensi ini
terbukti menurunkan fatigue, tetapi dalam pelaksanaan
intervensinya memerlukan guide atau pemandu agar pasien
dapat menjalani intervensi tersebut. Rekomendasi dari hasil
literatur review yang dilakukan oleh peneliti adalah perlunya
penelitian mengenai empowering intervention yang melibatkan
pasien secara langsung dan pelaksanaannya dapat dilaksanakan
secara mandiri oleh pasien sehingga pasien dapat mengelola
kondisi yang dialaminya setiap saat sehingga dapat
menurunkan tingkat ketergantungan pasien yang berdampak
236
pada peningkatan kualitas hidup pasien. Hal ini sejalan dengan
hasil penelitian dari Moattari, Ebrahimi, Sharifi, and Rouzbeh
(2012) bahwa pemberdayaan pasien HD seharusnya difikirkan
oleh pusat pelayanan HD untuk membantu pasien mengontrol
masalah kesehatannya.

Metode
Penelitian ini menggunakan desain penelitian quasi
experimental dengan rancangan two groups pretest and postest
design. Penelitian yang dilakukan, meneliti pengaruh intervensi
Relaksasi Benson terhadap level fatigue pada pasien GGT yang
menjalani HD, dengan melihat level fatigue sebelum dan
setelah dilakukan intervensi. Intervensi Relaksasi Benson
dilakukan saat pasien menjalani HD. Sampel penelitian untuk
masing masing kelompok adalah 25 orang. Kelompok
intervensi dan kelompok kontrol diambil dari RS. yang sama
yaitu RS. Dustira Cimahi. Jumlah sampel penelitian dari awal
hingga ke akhir penelitian tetap berjumlah 50 orang, tidak ada
responden yang drop out. Instrumen dalam penelitian ini terdiri
dari instrumen kuesioner informasi umum pasien, instrumen
Functional Assessment of Chronic Illness Therapy (FACIT)
Fatigue Scale (Version 4) dan instrumen protokol pelaksanaan
Relaksasi Benson.

Hasil Penelitian
Tabel Distribusi frekuensi, persentase dan uji
homogenitas karakteristik responden dan skor

237
fatigue kelompok intervensi dan kelompok
kontrol (n=50)
Intervensi Kontrol
Karakteristik (n=25) (n=25) Nilai P
f (%) f (%)

Usia (Tahun)

26-35 (dewasa 4 16 5 20
awal)
5 20 6 24
36-45 (dewasa
10 40 8 32 0,935a
akhir)
6 24 6 24
46-55 (lansia
awal) 0 0 0 0
56-65 (lansia
akhir)

>65 (manula)

Jenis Kelamin

Laki-laki 12 48 16 64 0,254a

Perempuan 13 52 9 36

Status Bekerja 0,569a

238
Bekerja 13 52 15 60

Tidak Bekerja 12 48 10 40

Tingkat
Pendidikan
0 0 0 0
Tidak sekolah
7 28 7 28
SD
5 20 3 12
0,674a
SLTP
13 52 14 56
SLTA
0 0 1 4
Sarjana

Lama HD (bulan)

<12 6 24 4 16

12-23 12 48 8 32
0,138b
24-36 4 16 8 32

>36 3 12 5 20

Skor Fatigue
Pretest
7 28 7 28

239
Ringan 18 72 18 72

Berat

Skor Fatigue
Posttest
12 48 9 36
Ringan
13 52 16 64
Berat

*a : Chi Square
*b : Man Whitney

Berdasarkan tabel di atas diketahui bahwa kelompok usia


yang paling banyak pada kelompok intervensi dan kelompok
kontrol adalah lansia awal, jenis kelamin terbanyak adalah pada
kelompok kontrol laki-laki (64%) sementara pada kelompok
intervensi adalah perempuan (52%). Sebagian besar sampel
masih aktif bekerja pada kedua kelompok dengan tingkat
pendidikan terbanyak adalah SLTA. Riwayat mendapatkan
terapi HD terbanyak berada pada rentang 12-23 bulan yaitu
sebanyak 12 orang (48%). Hasil uji homogenitas semua
karakteristik menunjukan nilai signifikansi > 0,05 (homogen).
Tingkat fatigue sebelum intervensi pada kelompok intervensi
dan kelompok kontrol secara umum berada pada tingkat fatigue
berat dengan persentasi 72% masing-masing kelompok.
Adapun tingkat fatigue setelah intervensi pada kelompok
intervensi terjadi perbaikan yaitu 5 orang responden mengalami
penurunan tingkat dari berat menjadi ringan. Hal ini juga
240
ditemukan pada kelompok kontrol, 2 orang mengalami
perbaikan tingkat fatigue dari berat menuju ke ringan.
Tabel Perbedaan rerata skor fatigue pretest dan
posttest kelompok intervensi dan kontrol
Variabel Mean SD T p

Skor Fatigue
Pretest
27,16 3,325 -1,183 0,243a
Intervensi
28,16 2,608
Kontrol

Skor Fatigue
Posttest
28,76 3,72 0,416 0,679a
Intervensi
28,36 3,03
Kontrol

*a : Independent t-test
Berdasarkan tabel di atas diketahui bahwa tidak ada
perbedaan skor fatigue sebelum intervensi antara kelompok
intervensi dengan kelompok kontrol ditandai dengan nilai p =
0,243. Tidak ada perbedaan secara signifikan skor fatigue
sesudah intervensi antara kelompok intervensi dan kelompok
kontrol dengan nilai p 0,697.
Tabel Perbedaan rerata skor fatigue pretest dan
posttest kelompok kontrol dan intervensi
Variabel Mean SD t p

241
Skor Fatigue
Kelompok
Kontrol

Pretest 28,16 2,609 -0,775 0,446b

Posttest 28,36 3,040

Skor Fatigue
Kelompok
Intervensi

Pretest 27,16 3,325 -10,474 0,000b

Posttest 28,76 3,722

*b : Paired t-test
Berdasarkan tabel di atas diketahui bahwa tidak terjadi
perubahan signifikan skor fatigue sebelum dan sesudah pada
kelompok kontrol dengan nilai p 0,446. Terjadi perubahan
signifikan skor fatigue sebelum dan sesudah intervensi pada
kelompok intervensi dengan nilai p 0,000. Keseluruhan
responden pada kelompok intervensi ini tidak ada yang
mengalami kesulitan melaksanakan Relaksasi Benson secara
mandiri selama proses penelitian. Selain itu, seluruh responden
pada kelompok intervensi tidak ada yang mengalami efek
samping setelah melaksanakan Relaksasi Benson selama
penelitian.

242
Tabel Perbedaan selisih rerata skor fatigue pada
kelompok intervensi dan kontrol
Variabel ∆ Mean SD t p

Skor Fatigue

Intervensi -1,600 0,764 -4,667 0,000a

Kontrol -0.200 1,291 -4,667

*a : Independent t-test
Berdasarkan tabel tersebut diketahui bahwa terdapat
perbedaan selisih mean skor fatigue sebelum dan sesudah
intervensi pada kelompok intervensi dan kelompok kontrol.
Nilai mean kelompok intervensi dan kontrol bernilai negatif
yang artinya terjadi peningkatan skor fatigue setelah intervensi,
dimana pada kelompok intervensi peningkatan skor fatigue ke
arah yang lebih baik rata-rata 1,600. Angka ini lebih besar
dibandingkan peningkatan skor fatigue pada kelompok kontrol
yang hanya 0,200. Secara statistik, terdapat perbedaan secara
signifikan selisih skor fatigue antara kelompok intervensi
dengan kelompok kontrol (p=0,000).
Tabel Hasil uji repeated anova skor fatigue posttest
perlakukan intervensi Relaksasi Benson ke
satu sampai dengan ke delapan pada
kelompok intervensi
Perlakuan intervensi Mean SD p
relaksasi benson ke-

243
1 27,160 0,665

2 27,160 0,665

3 27,160 0,665

4 27,160 0,665 0,000

5 28,000 0,678

6 28,240 0,686

7 28,680 0,723

8 28,760 0,744

Hasil uji repeated anova dan post hoc menunjukan adanya


perubahan mean skor fatigue pada kelompok intervensi setelah
dilakukan intervensi Relaksasi Benson sebanyak lima
perlakuan intradialisis yang mengandung makna bahwa
intervensi Relaksasi Benson intradialisis dapat memberikan
pengaruh signifikan terhadap fatigue setelah perlakuan kelima
dengan nilai p < 0,01.

Pembahasan
Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi pengaruh
Relaksasi Benson terhadap fatigue pasien GGT yang menjalani
HD di RS. Dustira Cimahi. Secara umum tingkat fatigue
sebelum intervensi yang dialami oleh kelompok intervensi
berada pada tingkat berat (72%) dengan rata-rata skor 27,16.
244
Setelah dilakukan intervensi Relaksasi Benson selama 1 bulan,
terjadi peningkatan skor fatigue dengan rata-rata peningkatan
1,600 menjadi 28,76 yang berarti telah terjadi perbaikan level
fatigue. Dari hasil analisis korelasi paired t test, terjadi
perubahan skor fatigue yang signifikan (p < 0,05) pada
kelompok intervensi. Protokol benson yang diterapkan pada
penelitian ini merujuk pada protokol Henry-Benson (Benson &
Proctor, 2010). Signifikansi perubahan skor fatigue setelah
dilakukan intervensi Relaksasi Benson ini sejalan dengan hasil
penelitian Stahl, Dossett, LaJoie, Denninger, Mehta, Goldman
et al (2015) yang menyatakan bahwa relaksasi dengan protokol
Henry-Benson dapat meningkatkan ketahanan tubuh pasien HD
sehingga dapat mengelola kondisi yang seringkali dikeluhkan
oleh pasien HD salah satunya adalah fatigue.
Benson and Proctor (2010) menjelaskan bahwa Relaksasi
Benson merupakan pengembangan metode respon relaksasi
pernafasan dengan melibatkan faktor keyakinan pasien, yang
dapat menciptakan suatu lingkungan internal sehingga dapat
membantu pasien mencapai kondisi kesehatan dan
kesejahteraan yang lebih tinggi. Selain itu proses pernafasan
yang tepat dapat meningkatkan asupan O2 ke dalam tubuh dan
meningkatkan suplai O2 ke dalam sel sehingga sel dapat
melakukan metabolisme dengan baik untuk menghasilkan
energi. Energi ini dapat digunakan sel yang injury untuk
melakukan proses perbaikan. Pernyataan ini diperkuat dengan
hasil penelitian Kaushal, Narendra & Smitha (2013) yang
menemukan bahwa relaksasi dengan pendekatan nafas dalam
lebih signifikan menurunkan fatigue dibandingkan latihan fisik,
245
latihan fisik tidak direkomendasikan untuk dilakukan secara
rutin pada pasien yang menjalani HD (Van Vilsteren, de Greef,
& Huisman, 2005; Matsumoto et al, 2007).
Keluhan fatigue pada pasien HD merupakan keluhan
multidimensi yang meliputi keluhan fisik, psikologis dan
sosiodemografis. Keluhan kelelahan yang signifikan dirasakan
setiap hari atau hampir setiap hari selama periode 2 minggu
pada bulan terakhir. Selain kelelahan juga terdapat keluhan
kelemahan umum atau tungkai terasa berat, konsentrasi
berkurang, penurunan minat untuk terlibat dalam kegiatan
sehari-hari, insomnia atau hipersomnia, penurunan kualitas
tidur, peningkatan status emosional, kesulitan menyelesaikan
tugas sehari-hari, adanya masalah dengan memori jangka
pendek, keletihan (malaise) postexertional yang berlangsung
beberapa jam (Cella et al, 1998). Berdasarkan hasil analisis
data skor fatigue pre-post pada kelompok intervensi, keluhan
multidimensi pada fatigue dapat diatasi dengan Relaksasi
Benson. Hal ini sejalan dengan hasil dari beberapa penelitian
mengenai pengaruh Relaksasi Benson terhadap tubuh yaitu
bahwa Relaksasi Benson dapat meningkatkan kualitas tidur
(Rambod, Pourali-Mohammadi, Pasyar, Rafii, & Sharif, 2013;
Mau, Kiik, & Banin, 2012), menurunkan stres (Aryana and
Novitasari, 2013), meningkatkan fungsi hemodinamik pasien
(Pasyar, Rambod, Sharif, Rafii & Pourali-Mohammadi, 2015)
dan meningkatkan stabilitas saraf otonom (Satyanegara, 2012).
Sama halnya dengan skor fatigue sebelum intervensi pada
kelompok intervensi, secara umum tingkat fatigue sebelum
intervensi yang dialami oleh kelompok kontrol berada pada
246
tingkat berat (72%). Namun rata-rata skor fatigue-nya berbeda
dari kelompok intervensi yaitu 28,16. Pada skor fatigue setelah
intervensi terjadi peningkatan rata-rata sebesar 0,200 menjadi
28,36. Walaupun terjadi peningkatan, tetapi dari hasil analisis
korelasi paired t test, tidak terjadi perubahan yang signifikan (p
< 0,05) antara skor fatigue sebelum dan sesudah di kelompok
kontrol.
Merujuk pada hasil analisis selisih mean skor fatigue pada
kelompok intervensi dan kontrol, terdapat signifikansi
perbedaan selisih skor fatigue antara kelompok intervensi
dengan kelompok kontrol dengan nilai p = 0,000. Pelaksanaan
Relaksasi Benson ini dianjurkan dilakukan rutin lebih dari lima
kali perlakuan sesuai dengan hasil penelitian yang menunjukan
perubahan skor fatigue pada kelompok intervensi baru terlihat
pada perlakuan intervensi kelima. Hal ini sesuai dengan konsep
Relaksasi Benson yang diungkapkan oleh Benson and Proctor
(2010) bahwa inti keberhasilan dari pelaksanaan Relaksasi
Benson adalah terletak pada pelaksanaannya yang rutin, teratur,
dan berkesinambungan bukan pada benar tidaknya tahapan
pelaksanaaannya sehingga pelaksanaan Relaksasi Benson yang
dilakukan secara rutin, dapat mengaktifkan kerja sistem saraf
parasimpatis sebagai respon dari relaksasi untuk mengatasi
berbagai keluhan.
Hasil penelitian ini menemukan ada pengaruh Relaksasi
Benson terhadap tingkat fatigue pasien HD, sehingga Relaksasi
Benson ini dapat dijadikan sebagai intervensi keperawatan
mandiri dalam pengelolaan fatigue pasien HD. Peran perawat
dalam pengelolaan pasien HD yang mengalami fatigue secara
247
umum adalah mengelola pengontrolan status nutrisi,
pemenuhan kebutuhan istirahat dan tidur, manajemen stress dan
pemenuhan kebutuhan kenyamanan yang meliputi pengelolaan
keluhan ketidaknyamanan yang dialami oleh pasien seperti
keluhan faitigue. Peran ini sejalan dengan yang disampaikan
oleh Jhamb et al (2011) bahwa target intervensi non
farmakologis pada pasien GGT yang menjalani HD dan
mengalami fatigue adalah pemenuhan nutrisi, istirahat dan
tidur, manajemen stress dan perawatan depresi.
Keterbatasan dalam penelitian ini adalah pada saat
dilaksanakan intervensi Relaksasi Benson, telinga responden
ditutup menggunakan headset untuk mengurangi stimulus dari
lingkungan yang dapat mengganggu proses Relaksasi Benson.
Beberapa responden mengeluhkan lepasnya headset ketika
dilakukan Relaksasi Benson. Hal ini menjadi keterbatasan
dalam aplikasi teknik Relaksasi Benson pada penelitian ini,
diharapkan pada penelitian selanjutnya yang menerapkan
tehnik Relaksasi Benson dapat melakukan pengembangan
intervensi untuk lebih dapat memfasilitasi empat unsur
pelaksanaan Relaksasi Benson yaitu suasana tenang, perangkat
mental, sikap pasif dan posisi nyaman. Sebagaimana yang
dijelaskan oleh Benson & Proctor (2010) bahwa pendekatan
yang benar mengenai intervensi yang dapat memicu respon
relaksasi adalah dengan menggabungkan empat unsur (suasana
tenang, perangkat mental, sikap pasif dan posisi nyaman) bukan
hanya menggunakan salah satu unsur saja.

248
Simpulan
Secara umum hasil penelitian ini menemukan ada pengaruh
Relaksasi Benson terhadap tingkat fatigue pasien HD dengan
perubahan skor fatigue setelah perlakuan kelima.

Saran
Hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai salah satu evidance
based nursing yang dijadikan landasan rasional pelaksanaan
Relaksasi Benson sebagai intervensi keperawatan mandiri
untuk mengurangi tingkat fatigue pasien HD. Selain itu, hasil
penelitian ini dapat digunakan sebagai rujukan pustaka dan
pengembangan intervensi Relaksasi Benson dalam hal
mengakomodasi empat unsur pelaksanaan Relaksasi Benson
pada penelitian selanjutnya.

Daftar Pustaka
Arikunto, S. (2010). Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan
Praktik. Jakarta: Rineka Cipta.
Ariyanto. (2009). Pengelolahan dan Analisis Data Kesehatan.
Yogyakarta: Nuha medika.
Armiyati, Y., & Rahayu, D. A. (2014). Faktor yang berkorelasi
terhadap mekanisme koping pasien ckd yang menjalani
hemodialisis di rsud kota semarang (Correlating factors
of coping mechanism on CKD patients undergoing
Hemodialysis in RSUD Kota Semarang). In Prosiding
Seminar Nasional & Internasional.
Aryana, K. O., & Novitasari, D. (2013). Pengaruh Tehnik
Relaksasi Benson Terhadap Penurunan Tingkat Stres
249
Lansia Di Unit Rehabilitas Sosial Wening Wardoyo
Ungaran. Jurnal Keperawatan Jiwa, 1 (2), 186-195.
Bayliss, D. (2006). Starting and managing an intradialytic
exercise program. Nephrol News Issues. 20(9):47-9.
Benson, H., & Proctor, W. (2010). Relaxation Revolution : The
Science and Genetics of Mind Body Healing. New York
: Simon & Schuster, Inc. ISBN 978-1-4391-4865-5
________________. (2016). Fatigue in Women. Retriefed from
http://www.bodylogicmd.com/for-women/fatigue, 9th
of July, 2016, 07.20 a.m.
Black, J., & Hawks, J. H. (2009). Medical Surgical Nursing :
Clinical Management for Positive Outcome (8th ed.).
St. Louis: Elsevier.
Bonner, A., Wellard, S., & Caltabiano, M. (2010). The impact
of fatigue on daily activity in people with chronic
kidney disease. Journal of Clinical Nursing, 19(21/22),
3006-3015.
Cella, D., Peterman, A., Passik, S., Jacobsen, P., & Breitbart,
W. (1998). Progress toward guidelines for the
management of fatigue. Oncology (Williston Park),
12:369-377
Chandran, V., Bella, S., Schentang, C., & Gladman, D. (2007).
Fungtional assesment fn chronic illnes therapy-fatigue
scale is valid in patients with psoriatric arthritis. Annals
of Rheumatic Diseases, 66 (7), 936-939
Chaudhuri, A., & Behan, P.O. (2000). Fatigue and basal
ganglia. J Neurol Sci, 179:S34-S42

250
Dagnelie, P.C., Pijls-Johannesma, M.C., & Pijpe, A. (2006).
Psychometric properties of the revised Piper Fatigue
Scale in Dutch cancer patients were satisfactory. J Clin
Epidemiol, 59: 642-649
Dahlan, S.M. (2011). Statistik untuk kedokteran dan kesehatan.
Jakarta: Salemba Medika.
Datak, G. (2008). Pengaruh Relaksasi Benson terhadap Nyeri
Pasca Bedah Transurethral Resection oh the Prostate
di RSUP Fatmawati Jakarta. (Program Pasca Sarjana),
Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia,
Depok.
Davison, S.N., Jhangri, G.S., & Johnson, J.A. (2006). Cross-
sectional validity of a modified Edmonton symptom
assessment system in dialysis patients: Asimple
assessment of symptom burden. Kidney Int, 69 :1621-
1625
Dharma, K.K. (2011). Metodologi Penelitian Keperawatan
(Pedoman Melaksanakan dan Menerapkan Hasil
Penelitian). Jakarta : Trans Info Media
Dusek J, Benson H (2009) Mind-Body Medicine: A Model of
the Comparative Clinical Impact of the Acute Stress and
Relaxation Responses. Minn Med 92: 47–50.
Evans, W.J., & Lambert, C.P. (2007). Physiological basis of
fatigue. American Journal of Physical Medicine &
Rehabilitation, 86(1, Suppl.), S29-S46.
Gorji, M.A.H., Abbaskhani, A.M.D., Heidarigorji. (2014). The
efficacy of relaxation training on stress, anxiety, and

251
pain perception in hemodialysis patients. Indian Journal
of Nephrology, 24.
Green, & Setyawati. (2005). Terapi Alternatif. Yogyakarta:
Yayasan Spiritia.
Heidenheim, A.P., Muirhead, N., Moist, L., & Lindsay, R.M.
(2003). Patient quality of life on quotidian
hemodialysis. Am J Kidney Dis, 42:S36-S41
Hidayat, A. (2009). Metode penelitian keperawatan dan
analisis data. Jakarta : Salemba Medika
Horigan, A. E. (2012). The Experience and Self-Management of
Fatigue in Adult Hemodialysis Patients. (3523263
Ph.D.), Duke University, Ann Arbor. Retrieved from
http://search.proquest.com/docview/1041232712?acc
ountid=48290 ProQuest Nursing & Allied Health
Source database.
Horigan, A.E. (2012). Fatigue in hemodialysis patients: a
review of current knowledge. J Pain Symptom Manag
2012;44: 715—24.
Janssen, D. J. A., Spruit, M. A., Wouters, W. F. M., &
Maastricht. (2008). Daily symptom burden in end-stage
chronic organ failure: a systematic review. Palliative
Medicine, 22, 938-948.
Jhamb, M., Pike, F., Ramer, S., Argyropoulos, C., Steel, J.,
Dew, M. A., . . . Unruh, M. (2011). Impact of Fatigue
on Outcomes in the Hemodialysis (HEMO) Study.
American Journal of Nephrology, 33(6), 515-523. doi:
http://dx.doi.org/10.1159/000328004

252
Jhamb, M., Weisbord, S. D., Steel, J. L., & Unruh, M. (2008).
Fatigue in patiens receiving maintenance dialysis : a
review of definition, measures and contributing factors.
American Journal of Kidney Diseases, 52 (2), 353-365.
Kalantar-Zadeh, K., & Unruh, M. (2005). Health related quality
of life in patients with chronic kidney disease. Int Urol
Nephrol, 37:367-378
Kaushal, B. D., Narendra, D. B., & Smitha, D. (2013). A
comparative study between relaxation technique and
aerobic exercise in fatigue during chemotherapy in
acute lymphoblastic leukemia in children. Indian
Journal of Physiotherapy and Occupational Therapy,
7(3), 140-145. Retrieved from
http://search.proquest.com/docview/1464664175?accou
ntid=48290
Kim, K. H., Kim, T. H., Kang, J. W., Sul, J. U., Lee, M. S.,
Kim, J. I., & Choi, S. M. (2011). Acupuncture for
symptom management in hemodialysis patients: A
prospective, observational pilot study. Journal of
Alternative and Complementary Medicine (New York,
N.Y.), 17(8), 741-748. doi: doi:10.1089/acm.2010.0206
Kimmel, P. L., & Peterson, R. A. (2006). Depression in patients
with end stage renal disease treated with dialysis: Has
the time to treat arrived. Clinical Journal of American
Society of Nephrology, 1(3), 349- 352.
Kosmadakis, G.C., Bevington, A., Smith, A.C., Clapp, E.L.,
Viana, J.L., Bishop, N. C.,et al. (2010). Physical

253
exercise in patients with severe kidney disease. Nephron
Clin Pract. 115(1):c7-c16.
Lee, B.O., Lin, C.C., Chaboyer, W., Chiang, C.L., & Hung,
C.C. (2007). The fatigue experience of haemodialysis
patients in Taiwan. J Clin Nurs, 16:407-413
Lerdal, A., Celius, E.G., & Moum, T. (2003). Fatigue and its
association with sociodemographic variables among
multiple sclerosis patients. Mult Scler. 9:509-514.
Lewis, S. M., Dirksen, S. R., Heitkemper, M. M., & Bucher, L.
(2007). Medical-Surgical Nursing: Assessment and
Management of Clinical Problems. 7th ed. St. Louis:
Mosby
Lin, C. H., Lee, L. S., Su, L. H., Huang, T. C., & Liu, C. F.
(2011). Thermal therapy in dialysis patients – A
randomized trial. The American Journal of Chinese
Medicine, 39(5, 839-851. doi:
doi:10.1142/S0192415X1100924X
Lindsay, R.M., Heidenheim, P.A., Nesrallah, G., Garg, A.X., &
Suri, R. (2006). Minutes to recovery after a
hemodialysis session: A simple health-related quality of
life question that is reliable, valid, and sensitive to
change. Clin J Am Soc Nephrol, 1:952-959
Liu, H.E. (2006). Fatigue and associated factors in
hemodialysis patients in Taiwan. Res Nurs Health,
29:40-50
Malagoni, A. M., Catizone, L., Mandini, S., Soffritti, S.,
Manfredini, R., Boari, B., & ... Manfredini, F. (2008).
Acute and long-term effects of an exercise program for
254
dialysis patients prescribed in hospital and performed at
home. Journal of Nephrology, 21(6), 871-878.
Matsumoto, Y., Furuta, A., Furuta, S., Miyajima, M., Sugino, T.,
Nagata, K., & Sawada, S. (2007). The impact of pre-dialytic
endurance training on nutritional status and quality of life in
stable hemodialysis patients (Sawada study). Renal Failure,
29(5), 587-593. doi:10.1080/08860220701392157
Mau, A., Kiik, S. M., & Banin, S. R. (2012). Pengaruh
penerapan teknik Relaksasi Benson terhadap gangguan
tidur (insomnia) pada lansia di upt panti sosial
penyantunan lanjut usia budi agung kupang. STIKES
Maranatha, Kupang.
McCann, K., & Boore, J.R. (2000). Fatigue in persons with
renal failure who require maintenance haemodialysis. J
Adv Nurs, 32:1132-1142
Memoli, B., Minutolo, R., & Bisesti, V. (2002). Changes of
serum albumin and C-reactive protein are related to
changes of interleukin-6 release by peripheral blood
mononuclear cells in hemodialysis patients treated with
different membranes. Am J Kidney Dis, 39:266-273
Moattari, M., Ebrahimi, M., Sharifi, N., & Rouzbeh, J. (2012).
The effect of empowerment on the self-efficacy, quality
of life and clinical and laboratory indicators of patients
treated with hemodialysis: a randomized controlled
trial. Health and Quality of Life Outcomes, 10, 115. doi:
http://dx.doi.org/10.1186/1477-7525-10-115
Mollaoglu, M. (2009). Fatigue in People Undergoing
Hemodialysis. June 2009 Dialysis & Transplantation.
255
Molsted, S., Eidemak, I., Sorensen, H.T., & Kristensen, J.H. (2004).
Five months of physical exercise in hemodialysis patients:
Effects on aerobic capacity, physical function and self-rated
health. Nephron.Clinical Practice, 96(3), c76-81.
doi:10.1159/000076744
Morsch, C. M., Goncalves, L. F., & Barros, E. (2006). Health-
related quality of life among haemodialysis patients:
Relationship with clinical indicators, morbidity and
mortality. Journal of Clinical Nursing, 15(4), 498- 504.
NANDA International.(2015), Nursing Diagnosis and
Classification 2015-2017, Wiley Blackwell, 2015.
Nichols, L. M., & Hunt, B. (2011). The significance of
spirituality for individuals with chronic illness:
Implications for mental health counseling. Journal of
Mental Health Counseling, 33(1), 51-66. Retrieved
from
http://search.proquest.com/docview/851297755?acco
untid=48290
Notoatmodjo, S. (2005). Metodologi Penelitian Kesehatan.
Jakarta: Rineka Cipta.
Nuri, A.K. (2015). Pengaruh Teknik Relaksasi Benson
Terhadap Kecemasan pada Pasien Hemodialisis di RS
PKU Muhammadiyah Yogyakarta. Diunduh
darihttp://etd.repository.ugm.ac.id/index.php?act=view
&buku_id=84470&mod_penelitian_detail&sub=Penelit
ianDetail&typ=html. Tanggal 25 Juli 2016, Pukul.
11.00 WIB.

256
Omran, N. E. E., & Khedr, A. M. (2015). Structure elucidation,
protein profile and the antitumor effect of the biological
active substance extracted from sea cucumber
holothuria polii. Toxicology and Industrial Health,
31(1), 1-8.
doi:http://dx.doi.org/10.1177/0748233712466135
O'Sullivan, D., & McCarthy, G. (2009). Exploring the
Symptom of Fatigue in Patients with End Stage Renal
Disease. Nephrology Nursing Journal, 36(1), 37-39, 47.
O‘Sullivan, D., & McCarthy, G. (2007). An exploration of the
relationship between fatigue and physical functioning in
patients with end stage renal disease. J Clin Nurs.
(16):276e284.
Painter, P., Carlson, L., Carey, S., Paul, S. M., & Myll, J.
(2000). Low-functioning hemodialysis patients improve
with exercise training. American Journal of Kidney
Diseases, 36(3), 600-608. doi: doi:10.1053/ajkd.
2000.16200
Park ER, Traeger L, Vranceanu AM, Scult M, Lerner JA,
Benson H, et al. (2013) The development of a patient-
centered program based on the relaxation response: the
Relaxation Response Resiliency Pro- gram (3RP).
Psychosomatics 54: 165–174. doi:
10.1016/j.psym.2012.09.001 PMID: 23352048
Pasyar, N., Rambod, M., Sharif, F., Rafii, F., & Pourali-
Mohammadi, N. (2015). Improving adherence and
biomedical markers in hemodialysis patients: The
effects of relaxation therapy. Complementary Therapies
257
in Medicine, 23(1), 38-45.
doi:http://dx.doi.org/10.1016/j.ctim.2014.10.011
Pernefri. (2013). 6th Annual Report of Indonesian Renal
Registry. Bandung: Indonesian Renal Registry.
Petchrung, T. (2004). Experience management: Strategies
and outcomes of fatique in hemodia- lysis patient
(Thesis Master, Faculty of Gra- duate Studies
mahidol Univercity). Diperoleh dari
http://mulinet10.li.mahidol.ac.th/e-thesis/
4437025.pdf.
Polit, D. F., & Beck, C. T. (2008). Nursing research:
Generating and assessing evidence for nursing practice.
Lippincott Williams & Wilkins.
Purwanto, S. (2006). Relaksasi dzikir. Jurnal psikologi
universitas Muhammadiayah semarang. 18(1).6-48.
Rambod, M., Pourali-Mohammadi, N., Pasyar, N., Rafii, F., &
Sharif, F. (2013). The effect of Benson's relaxation
technique on the quality of sleep of Iranian
hemodialysis patients: A randomized trial.
Complementary Therapies in Medicine, 21(6), 577-584.
doi: http://dx.doi.org/10.1016/j.ctim.2013.08.009
Reboredo, M. D. M., Henrique, D. M., Faria, R. S., Chaoubah,
A., Bastos, M. G., & de Paula, R. B. (2010). Exercise
training during hemodialysis reduces blood pressure and
increases physical functioning and quality of life.
Artificial Organs, 34(7), 586-593. doi:
doi:10.1111/j.1525-1594.2009.00929.x

258
Risnas, N. (2005). Pengaruh Relaksasi Benson terhadap
pemenuhan kebutuhan tidur pad alansia, jurnal
kesehatan hlm: 1-26,
http://www.scribd.com/doc/126027 156 Scale: is it
valid for children and adolescents? Journal of Clinical
Psychology, 66 (9). pp. 996-1007. ISSN 1097-4679.
Rizkha, C. (2009). Pengaruh Suhu Pengeringan Oven Terhadap
Kualitas Serbuk Albumin Ikan Gabus (Ophiocephalus
striatus). Skripsi. Fakultas Perikanan dan Ilmu
Kelautan. Universitas Brawijaya. Malang.
Rosenthai, T.C., Majeroni, B. A., Pretorius, R.P., & Malid,
K. (2008). Fatique: an overview. American Family
Phisician. Diperoleh dari www.aafp.org.
Saryono. (2011). Metodologi penelitian keperawatan.
Purwokerto: UPT. Percetakan dan Penerbitan Unsoed.
Sklar, A., Newman, N., Scott, R., Semenyuk, L., Schultz, J., &
Fiacco, V. (1999). Identification of factors responsible
for postdialysis fatigue. Am J Kidney Dis, 34:464-470
Smeltzer, S. C., Bare, B. G., Hinkle, J. L., & Cheever, K. H.
(2010). Brunner & suddarth textbook of medical-
surgical nursing. Philadelphia: Lippincott Williams &
Wilkins.
Stahl, J. E., Dossett, M. L., LaJoie, A. S., Denninger, J. W.,
Mehta, D. H., Goldman, R., . . . Benson, H. (2015).
Relaxation response and resiliency training and its
effect on healthcare resource utilization. PLoS One,
10(10)
doi:http://dx.doi.org/10.1371/journal.pone.0140212
259
Su, L.H., Wu, K.D., Lee, L.S., Wang, H., & Liu, C.F. (2009).
Effects of far infrared acupoint stimulation on
autonomic activity and quality of life in hemodialysis
patients. The American Journal of Chinese Medicine,
37(2), 215-226.
Sulistini, R., Yetti, K., & Hariyati, T.S. (2012). Faktor faktor yang
mempengaruhi fatigue pada pasien yang menjalani HD.
Jurnal Keperawatan Indonesia, Volume 15, No. 2, Juli
2012; hal 75-82
Suprayitno , E., A. Chamidah dan Carvallo. 1998. Studi Profil
Asam Amino, Albumin dan Seng Pada Ikan Gabus
(Ophiocephalus striatus) dan Ikan Tomang
(Ophiocephalus mikropeltes). Disertasi. Fakultas
Perikanan. Universitas Brawijaya. Malang
Tennant, K. F. (2012). Assessment of fatigue in older adults :
the facit fatigue scale (Version 4). Best Practices in
Nursing Care to Older Adults, 30.
Thomas-Hawkins, C., & Zazworsky, D. (2005). Self-
management of chronic kidney disease: Patients
shoulder the responsibility for day-to-day management
of chronic illness. How can nurses support their
autonomy? . American Journal of Nursing, 10 5( 10),
40- 48.
Unruh, M.L., Weisbord, S.D., & Kimmel, P.L. (2005).
Healthrelated quality of life in nephrology research and
clinical practice. Semin Dial, 18:82-90
van Vilsteren, M.C., de Greef, M.H., & Huisman, R.M. (2005).
The effects of a low-to-moderate intensity
260
preconditioning exercise programme linked with
exercise counselling for sedentary haemodialysis
patients in the netherlands: Results of a randomized
clinical trial. Nephrology, Dialysis, Transplantation,
20(1), 141-146. doi:10.1093/ndt/gfh560
Weisbord, S.D., Fried, L.F., & Arnold, R.M. (2005).
Prevalence, severity, and importance of physical and
emotional symptoms in chronic hemodialysis patients. J
Am Soc Nephrol, 16 : 2487-2494
Wood, M. J., & Ross-Kerr, J. C. (2011). Basic Steps in
Planning Nursing Research (7th ed.). United States of
America: Jones and Bartlett Publishers.
World Health Organization. (2014). Global Status Report on
Noncommunicable diseases.
Yan, F., Tian, X., & Dong, S. (2014). Effect of bacillus
baekryungensis YD13 supplemented in diets on growth
performance and immune response of sea cucumber
(apostichopus japonicus). Journal of Ocean University
of China.JOUC, 13(5), 805-810.
doi:http://dx.doi.org/10.1007/s11802-014-2238-9
Yanti, N. (2012). Perbandingan terapi zikir dengan Relaksasi
Benson terhadap kadar glukosa darah pasien diabetes
melitus di sumaterra barat. (Program Pasca Sarjana),
Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia,
Depok.
Yosep, Iyus. 2007. Keperawatan jiwa. Bandung : PT Refika
Aditama.

261
Yurtkuran, M., Alp, A., Yurtkuran, M., & Dilek, K. (2007). A
modified yogabased exercise program in hemodialysis
patients: A randomized controlled study.
Complementary Therapies in Medicine, 15(3)(164-171).
doi: doi: 10.1016/j.ctim.2006.06.008.

262
Exercise Dalam Penatalaksanaan Fatigue
Pada Anak Dengan Kanker : Literatur Review

Novi Novianti¹, Henny Suzana Mediani2, Ikeu Nurhidayah2


Mahasiswa Magister Keperawatan Anak Universitas Padjadjaran
Fakultas Keperawatan Universitas Padjadjaran
Email : Novi15003@mail.unpad.ac.id

Abstrak

Fatigue (kelelahan) merupakan gejala paling sering dialami


anak dengan kanker selama pengobatan. National
Comprehensive Cancer Network (2014) menyatakan 80%
pasien kanker mengalami fatigue. Karakteristik fatigue adalah
kelelahan yang sangat dirasakan dan tidak hilang dengan
istirahat. Exercise dengan aerobic programme merupakan
intervensi yang direkomendasikan untuk mengurangi fatigue,
akantetapi beberapa peneliti masih meragukannya. Tujuan
literatur review ini untuk mengidentifikasi feasibilitas dan
efektifitas exercise sebagai intervensi dalam penatalaksanaan
fatigue pada anak dengan kanker. Penelaahan dilakukan dengan
melakukan review terhadap hasil penelitian dari database
Proquest, Ebscohost, Pubmed, dan Google Scholar
menggunakan kata kunci exercise, fatigue, childhood cancer.
Kriteria penelitian yang diambil adalah penelitian original
menggunakan desain kuasi eksperimen dan ujicoba acak
terkontrol dipublikasikan tahun 2009-2014. Berdasarkan
skrining kesesuaian tujuan review diperoleh 9 artikel penelitian
untuk dilakukan narrative analysis.
263
Dari 9 artikel yang memenuhi kriteria, 8 artikel
mengkonfirmasi bahwa 67%-83% responden dapat
menyelesaikan intervensi secara penuh, sehingga exercise
merupakan intervensi yang aman dan layak digunakan. Adapun
efektifitasnya, 7 artikel menunjukkan exercise aerobic program
baik mandiri maupun disertai latihan seperti ROM aktif,
progressive stretching, strengthening, dan leg exercise dapat
menurunkan tingkat fatigue, meningkatkan fungsi
kardiorespirasi, mengaktivasi fungsi kapasitas fisik, dan
meningkatkan beberapa aspek kualitas hidup. Exercise
merupakan intervensi yang aman, layak (feasible) dan efektif
pada anak dengan kanker selama menjalani pengobatan.

Kata kunci : Exercise, fatigue, childhood cancer.

Pendahuluan

Kanker merupakan penyakit kronik yang mengancam


kesehatan anak di dunia. Meskipun menurut Data Riskesdas
tahun 2013, prevalensi penyakit kanker pada anak terendah
yaitu sebesar 0,1% dari kelompok umur lainnya, tetapi kanker
menjadi penyebab kematian cukup bermakna pada anak
terutama anak usia pra sekolah dan anak sekolah. Hal tersebut
dikarenakan gejalanya sukar untuk dideteksi, sehingga anak
mendapatkan penanganan setelah stadium lanjut. Depkes RI
memperkirakan kasus kanker tahunan akan meningkat dari 14
juta pada 2012 menjadi 22 juta dalam dua dekade berikutnya,

264
sedangkan angka kematian disebabkan oleh kanker tahun 2012
sekitar 8,2 juta orang (Depkes RI, 2015).
Menurut National Cancer Institute (NCI) Tahun 2009,
diperkirakan terdapat lebih dari enam juta penderita baru
penyakit kanker setiap tahun, dan angka kematian akibat
kanker per tahun sekitar sembilan juta kematian. Dari seluruh
kasus kanker yang ada, NCI memperkirakan empat persen (4%)
diantaranya adalah kanker pada anak. Pada tahun 2009
diperkirakan terjadi 10.730 kasus baru kanker pada anak usia 0-
14 tahun di Amerika Serikat (NCI, 2009).
Di Indonesia, Yayasan Onkologi Anak Indonesia
mengungkapkan bahwa 2-3% penderita kanker di Indonesia
adalah anak-anak atau sekitar 150 dari 1 juta anak menderita
kanker. Hal tersebut berarti diperkirakan setiap tahunnya ada
sekitar 4000 kasus baru kanker pada anak di Indonesia (Umiati,
2010). Menurut Infodatin Depkes Tahun 2012, kanker menjadi
sepuluh besar penyakit utama yang menyebabkan kematian
anak di Indonesia (Depkes RI, 2015).
Penanganan kanker pada anak bertujuan untuk
mengendalikan jumlah dan penyebaran sel-sel kanker. Menurut
NCI (2009), penanganan kanker pada anak meliputi
kemoterapi, terapi biologi, terapi radiasi, cryotherapy,
transplantasi sumsum tulang dan transplantasi sel darah perifer
(peripheral blood stem cell). Selama mendapat pengobatan
kanker tersebut, anak-anak cenderung memiliki berbagai
keluhan. Kelelahan (fatigue), mual dan nyeri merupakan gejala
yang paling sering dilaporkan bagi sebagian besar anak-anak
dengan kanker yang dirawat di rumah sakit. Tetapi kebanyakan
265
pasien kanker lebih terganggu akibat timbulnya fatigue
daripada nyeri kanker itu sendiri (Yeh et al., 2012 dalam dalam
Arini, Widjajanto, dan Haryanti, 2015).
Fatigue merupakan gejala yang paling sering dialami
dan menjadi prevalensi tertinggi masalah fisik yang dilaporkan
oleh pasien onkologi pediatrik selama pengobatan. National
Comprehensive Cancer Network/ NCCN (2014) menyatakan
bahwa sekitar 80% pasien kanker mengalami fatigue. Selain itu
dalam proses pengobatan kanker sendiri meningkatkan
kebutuhan energi anak (Whitsett et al., dalam Arini,
Widjajanto, dan Haryanti, 2015). Hinds, Hockenberry, Gattuso,
et al. (2007) menemukan peningkatan yang signifikan dalam
kelelahan dan perubahan kualitas tidur dalam 5 (lima) hari
selama pengobatan leukemia limfositik akut (Hockenberry,
Hooke, McCarthy, et al., 2011).
Fatigue atau dikenal dengan istilah Cancer Related
Fatigue, merupakan suatu kondisi yang menimbulkan stress,
terjadi terus menerus, perasaan subjektif, emosi, kognitif, atau
menjalani pengobatan yang mengganggu fungsi tubuh (NCCN,
2014). Pengalaman fatigue yang dialami oleh pasien kanker
berbeda dengan keluhan fatigue jika dialami oleh individu yang
sehat. Cancer related fatigue tidak muncul sebagai akibat dari
aktifitas fisik ataupun aktifitas mental yang keras,
kecenderungannya fatigue ini menjadi keluhan yang kronis dan
tidak hilang dengan istirahat (Flinton, Thorne, Waller, et al.,
2002). Meskipun tidak semua anak dengan kanker berisiko
mengalami gejala fatigue, namun beberapa penyebab dapat
diidentifikasi, diantaranya kanker itu sendiri, kemoterapi,
266
transplantasi sumsum tulang, imunoterapi, terapi radiasi, dan
anemia; faktor yang diidentifikasi berkontribusi terhadap
fatigue termasuk rasa sakit, penderitaan emosional, gangguan
tidur, anemia, kekurangan gizi, gagal jantung, dan komorbidity
(Wang & Woodruff, 2008).
Karakteristik khas dari fatigue adalah kelelahan yang
dirasakan amat sangat dan tidak dapat hilang dengan istirahat.
Dalam perspektif anak, fatigue adalah keadaan dimana anak
merasa fisiknya sangat lemah dan lelah, mengalami kesulitan
dengan gerakan tubuh seperti menggerakkan lengan dan kaki
atau membuka mata. Pada remaja fatigue digambarkan sebagai
suatu keadaan yang dapat mencakup keletihan pada fisik,
mental dan emosional (Hockenberry, MJ et al., 2003).
Berdasarkan Linear Mixed Model (LMM), didapatkan bahwa
remaja yang mengalami peningkatan fatigue dan gangguan
tidur memiliki gejala lebih besar untuk mengalami depresi dan
perubahan perilaku. Dan peningkatan fatigue pada usia anak-
anak juga meningkatkan gejala depresi. Para orang tua
melaporkan peningkatan fatigue yang dirasakan pada anak-
anak dan remaja mereka, meningkatkan perilaku emosional dan
kesulitan mengontrol emosional (Hockenberry, Hooke,
McCarthy, et al., 2011).
Anak-anak dengan kanker diklasifikasikan sebagai
kelompok berisiko tinggi yang cenderung mengabaikan
masalah fatigue dikarenakan anak mengasumsikan fatigue
sebagai perasaan subjektif dan konsekuensi yang tidak dapat
dihindari akibat terapi kanker. Padahal anak berada dalam masa
pertumbuhan dan perkembangan, kondisi fatigue dan adanya
267
disfungsi fisiologis dapat mengganggu pembentukan indentitas
personal dan kehilangan kepercayaan diri. Fatigue menjadi
sebuah emosi yang kompleks dipengaruhi oleh motivasi dan
dorongan, takut dan marah, dan memori aktifitas sebelumnya.
Sehingga tanpa penatalaksanaan yang tepat, fatigue dapat
mengurangi keefektifan pengobatan dan kualitas hidup anak
(Arini, Widjajanto, Haryanti, 2015). Oleh karena itu
memberikan intervensi keperawatan yang tepat merupakan hal
yang penting untuk dilakukan oleh perawat anak.
Penanganan fatigue dapat dilakukan melalui berbagai
strategi keperawatan, bahkan banyak program intervensi
direkomendasikan baik strategi aktif maupun pasif. Strategi
tersebut diantaranya adalah: latihan fisik yang rutin, terapi
perilaku, psikostimulan, edukasi dan konseling pasien dan
keluarganya, penanganan faktor yang memengaruhi seperti
nyeri, distress emosional, gangguan tidur, anemia, dan
hipotiroidisme (Wang and Woodruff, 2008).
Exercise merupakan salah satu intervensi keperawatan
yang dapat dilakukan baik oleh perawat anak pada saat anak
dalam perawatan di rumah sakit dan dapat dilakukan pula oleh
keluarga dirumah setelah diberikan pelatihan. Exercise
merupakan intervensi yang direkomendasikan untuk
mengurangi keluhan fatigue akibat kanker (Kirsbaum, Marilyn,
2010). Dahulu jika anak dengan kanker melaporkan bahwa
mereka merasa lelah, mereka akan diberitahu untuk beristirahat
dan membatasi aktifitas. Saat ini beberapa bukti menunjukkan
bahwa yang terjadi adalah sebaliknya, aktivitas fisik berupa
exercise dapat mencegah atau mengurangi fatigue yang dialami
268
oleh anak-anak dengan kanker. Evidence base pertama tentang
pengaruh aktivitas fisik pada mood pasien kanker berasal dari
sebuah studi oleh Winningham dan MacVicar tahun 1983.
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa latihan fisik
terstruktur ini aman untuk pasien anak, dapat mengurangi
kelelahan, mual, dan meningkatkan aktifitas fisik (Flinton,
Thorne, Waller, Nelson, Francis, Cherry, 2002).
Beberapa manfaat exercise adalah dapat meningkatkan
efisiensi penggunaan oksigen, menurunkan istirahat denyut
jantung dan tekanan darah, meningkatkan fleksibilitas,
meningkat kekuatan (otot dan tulang) dan meningkatkan
kualitas tidur. Dalam aspek mental dan emosional, exercise
dapat mengurangi stres, meningkatkan perasaan sehat, harga
diri, self-efficacy dan rasa berada dalam kontrol dan kualitas
hidup secara keseluruhan (Kirshbaum, 2005; 2007). Semua
bentuk latihan fisik yang direkomendasikan untuk membantu
penurunan fatigue diantaranya adalah latihan aerobik, berjalan,
berenang, bersepeda, dan mendayung. Agar menghasilkan
manfaat fisik dan psikologis yang signifikan, latihan yang
dilakukan harus berirama, gerakan dilakukan berulang
melibatkan otot besar, dilakukan secara kontinu, berada pada
intensitas sedang (60-85% dari perkiraan denyut jantung
maksimum), dan idealnya dilakukan beberapa kali dalam satu
minggu. Latihan harus progresif, yaitu meningkat secara
bertahap dalam hal waktu dan frekuensi (Watson dan Mock,
2004 dalam Kirshbaum dan Marylin, 2010).
Studi literatur ini bertujuan untuk memberikan gambaran
berbagai hasil penelitian tentang feasibilitas dan efektifitas
269
exercise dalam penatalaksanaan fatigue pada anak dengan
kanker. Selanjutnya mengevaluasi publikasi ilmiah sehingga
dapat dijadikan bukti/ evidence based practice untuk
menentukan bahwa exercise dapat digunakan sebagai
pendekatan yang layak dan efektif untuk menangani fatigue
pada anak dengan kanker.

Metode
Studi ini merupakan tinjauan literatur (literature review)
yang menggali tentang feasibilitas dan efektifitas exercise
sebagai salah satu intervensi dalam penatalaksanaan fatigue
pada anak dengan kanker. Penelaahan dilakukan dengan
melakukan review terhadap hasil penelitian dari database
Proquest, Ebscohost, Pubmed, dan Google Scholar
menggunakan kata kunci exercise, fatigue, childhood cancer.
Kriteria penelitian yang diambil adalah penelitian original
menggunakan desain kuasi eksperimen dan ujicoba acak
terkontrol terhadap pasien anak dengan kanker. Pencarian
dilakukan pada bulan Agustus 2016 dengan batasan-batasan
meliputi artikel publikasi menggunakan Bahasa Inggris yang
dipublikasikan pada tahun 2009-2014. Berdasarkan skrining
kesesuaian tujuan review diperoleh 9 buah artikel penelitian
untuk kemudian dirangkum dan dilakukan narrative analysis.

Hasil Penelitian
Hasil penelusuran melalui database Proquest,
Ebscohost, Pubmed/Medline, dan Google Scholar dengan kata
kunci yang telah ditentukan, didapatkan 9 (sembilan) buah
270
artikel yang memenuhi kriteria melalui skrining kesesuaian
tujuan review. Exercise yang dilakukan dalam penelitian yang
ditelaah ini berupa latihan aerobik (exercise aerobic program)
baik latihan aerobik yang dilakukan di rumah (homebase
exercise aerobic program) maupun latihan aerobik di rumah
sakit. Beberapa penelitian mengkombinasi latihan aerobik
dengan latihan fisik lain seperti ROM aktif dan leg exercise
(penelitian Tanir dkk), atau mengkombinasinya dengan
progressive stretching dan strengthening (penelitian
Esbenshde, dkk), progressive resistance training (penelitian
Gordon, dkk), bahkan ada yang mengkombinasi dengan
konseling (penelitian Jarden, dkk). Menurut systematic review
dan meta analisis yang dilakukan oleh Echavez, Imenez, dan
Velez yang dipublikasikan tahun 2014 disebutkan bahwa
intervensi exercise dengan jenis aerobik, resistance training,
dan stretching dinilai efektif dalam mengendalikan cancer
related fatigue.
Dari 9 buah artikel penelitian, aerobic exerice telah
dilakukan terhadap 152 anak yang mengalami kanker yang
merupakan kelompok intervensi dan 98 anak sebagai kelompok
kontrol. Dalam proses penelitian terdapat responden yang
mengundurkan diri, sehingga dari seluruh artikel
mengkonfirmasi bahwa terdapat 67%-83% responden yang
dapat menyelesaikan intervensi secara penuh. Berikut ini
merupakan review beberapa hasil penelitian yang telah
dipublikasikan mengenai exercise sebagai penatalaksaan
fatigue pada anak dengan kanker.

271
Penelitian yang berkaitan salah satunya adalah
penelitian Yeh, Wai, Lin, et al., tahun 2011 yang bertujuan
menguji kelayakan dan efektifitas program home base aerobic
exercise untuk mengurangi fatigue pada anak dengan Leukemia
Limfoblastik Akut (LLA). Desain menggunakan kuasi
eksperimen dengan sampel sebanyak 22 anak. Program latihan
aerobik dilakukan kepada 12 responden sebagai kelompok
intervensi, sedangkan 10 anak pada kelompok kontrol
menerima perawatan biasa. Intervensi home base aerobic
exercise dilakukan dengan mengikuti langkah-langkah dalam
video yang dirancang khusus untuk studi, dilakukan dalam
waktu 30 menit setiap sesi sebanyak 3 kali seminggu selama 6
minggu. Home base aerobic terdiri dari: pemanasan, (5 menit),
latihan aerobik (25 menit), dan cooldown (5 menit), yang
direkomendasikan oleh American College Olahraga Medicine.
Pengumpulan data terdiri dari self reported meliputi The
PedsQL Multidimensional Fatigue Scale, The Physical Activity
Log, The Children’s OMNI-Walk/ Run Scale, and Stage of
Change-Exercise Behavior. Pengukuran secara objektif
menggunakan tes latihan maksimal untuk menilai fungsi
kardiorespirasi.
Hasil penelitian didapatkan mean difference dari skor
fatigue secara umum antara kelompok kontrol dengan
kelompok intervensi moderate significan (P= 0,06). Anak-anak
pada kelompok intervensi melaporkan mengalami penurunan
skala fatigue secara umum dibandingkan kelompok kontrol
setelah 1 bulan pemberian exercise. Kepatuhan responden
untuk mengikuti intervensi sebanyak 67-83%, temuan
272
menunjukkan bahwa home base aerobic exercise mempunyai
feasibilitas dan dapat digunakan untuk mengurangi fatigue pada
anak dengan LLA yang sedang menjalani kemoterapi (Yeh,
Wai, Lin, et al., 2011).
Sejalan dengan penelitian diatas, Tanir dan Kuguoglu
tahun 2011 melakukan Randomized Controlled Trial untuk
mengetahui pengaruh program exercise terhadap kualitas hidup
anak dengan LLA. Partisipan terdiri dari 19 anak sebagai
kelompok intervensi (15 anak laki-laki, 4 anak perempuan) dan
21 anak kelompok kontrol, selain itu terdapat 1 anak gugur.
Program exercise meliputi Range Of Motion (ROM) aktif, leg
exercises untuk memperkuat otot, dan aerobic exercise. ROM
aktif dilakukan 3 sesi/ hari selama 5 hari setiap minggu,
pengulangan dalam setiap sesi dilakukan 20x. Leg exercises
dilakukan 3x/hari sebanyak 3 hari/minggu, sedangkan aerobic
exercise dilakukan 3x/ minggu selama 0.5 jam setiap latihan.
Pengukuran kualitas hidup anak berdasarkan self reported
menggunakan instrumen PedsQL 3.0 dan 4.0. Sedangkan
Pengukuran kebugaran fisik secara objektif menggunakan The
9 Minute Walk Test untuk mengukur kapasitas fungsi maksimal
dan ketahanan kardiorespirasi.
Hasil penelitian setelah 3 (tiga) bulan diberikan
program exercises, didapatkan beberapa hasil, diantaranya yang
berhubungan dengan kualitas hidup anak terdapat penurunan
yang signifikan pada sub skala nyeri, sakit, dan kecemasan
terkait prosedur yang dilakukan baik pada kelompok intervensi
maupun kelompok kontrol. Sedangkan pengukuran kebugaran
fisik pada kelompok intervensi didapatkan perbedaan sangat
273
signifikan (p = 0.001) antar pre dan post exercise. Hal tersebut
berbeda dengan kelompok kontrol, dimana pengukuran
kebugaran tidak ditemukan perbedaan yang signifikan
(p=0.785). Selain itu, berdasarkan pengukuran menggunakan
The 9 Minute Walk Test, didapatkan peningkatan kemampuan 9
menit berjalan kaki, kekuatan otot kaki, dan peningkatan nilai
hemoglobin dan hematokrit. Sehingga dapat disimpulkan
program exercises pada anak penderita LLA sangat bermanfaat
untuk meningkatkan kemampuan fisik dan direkomendasikan
untuk diimplementasikan di lapangan.
Penelitian lain yang berhubungan dengan program
exercise adalah penelitian yang dilakukan Jarden, et al., tahun
2013 tentang Pengaktifan Pasien melalui Konseling dan
Exercises pada Pasien Leukemia Akut (PACE-AL). Studi ini
merupakan ujicoba terkontrol secara acak (Randomized
Controlled Trial) untuk menentukan apakah pasien Leukemia
Akut bisa mendapatkan manfaat dengan pemberian konseling
dan pemberian exercise terstruktur. Intervensi dilakukan
kepada 70 anak penderita Leukemia Akut setelah menjalani
induksi kemoterapi yang dikelola di Rawat Jalan. Sebanyak 35
partisipan merupakan kelompok intervensi, 35 partisipan
sisanya sebagai kelompok kontrol. Program exercise dan
konseling dilakukan selama 12 minggu dengan rincian 3.5 jam
per minggu dilakukan latihan aerobik terstruktur (intensitas
sedang hingga tinggi 70-80%), kekuatan latihan menggunakan
beban tangan dan latihan relaksasi. Sedangkan pemberian
konseling mencakup peningkatan fungsional dan kapasitas fisik
dengan melakukan program berjalan di rumah. Konseling
274
dilakukan tiga kali selama 30-60 menit minggu ke-1, ke-6 dan
ke-12. Prinsip utama konseling untuk menciptakan kemitraan
dengan pasien dan meningkatkan kepatuhan terhadap intervensi
selama periode penelitian. Selain itu memotivasi perilaku
kesehatan partisipan yang positif, termasuk mempertahankan
atau meningkatkan aktivitas fisik selama maupun diluar sesi
latihan, dan setelah selesai program.
Hasil primer yang ingin didapatkan adalah fungsional
kapasitas kinerja/ olahraga (6 menit berjalan kaki). Hasil
sekunder adalah pasien melaporkan tingkat aktivitas fisik,
kualitas hidup, kecemasan dan depresi, prevalensi gejala,
intensitas dan gangguan. Hasil penelitian didapatkan bahwa
efek exercise dan konseling dapat mengaktivasi fungsional dan
kapasitas fisik pasien, mengurangi beban gejala dan
meningkatkan kualitas hidup pasien dengan leukemia akut
selama pasien diluar pengelolaan.
Adapun studi kelayakan dan efektifitas program
exercise bagi anak dengan kanker dilakukan oleh Esbenshade,
Friedman, Smith, et al., yang dipublikasikan tahun 2014. Studi
ini merupakan percontohan untuk menilai kelayakan dan
efikasi awal terhadap exercise sebagai intervensi untuk anak
dengan Leukemia Limfoblastik Akut (LLA) yang menjalani
terapi secara teratur. Partisipan dalam studi ini adalah anak
yang menderita LLA pada rentang usia 5-10 tahun yang
mendapatkan pengobatan teratur. Intervensi dilakukan selama 6
bulan dirumah menggunakan instruksi dari video dan dilakukan
supervisi dari pelatih setiap minggu. Exercise dirancang untuk
mengatasi penurunan kebugaran dan tujuh gangguan umum
275
pada neuromuskuloskeletal dengan metode progressive
stretching (peregangan secara progresif), strengthening
(penguatan), dan aerobic exercise (latihan aerobik). Pre dan
post intervensi dilakukan evaluasi kekuatan, fleksibilitas,
kebugaran, dan fungsi motorik. Hasil penelitian didapatkan 17
(63%) partisipan dapat berpartisipasi dalam intervensi dan 12
partisipan tersebut dapat menyelesaikan intervensi secara penuh
yaitu 81.7±7.2% dari sesi yang ditentukan. Perbaikan > 5%
terjadi pada 67% lutut dan 75% kekuatan peregangan, 58%
pinggang dan 83% untuk fleksibilitas pergelangan kaki, 75%
untuk test berjalan 6 menit dan 33% untuk penampilan sesuai
Bruininks-Oseretsky Test of Motor Proficiency Version 2.
Sehingga studi percontohan ini menunjukkan bahwa intervensi
exercise dapat digunakan (feasible) dan memberikan manfaat
pada anak dengan LLA yang menjalani terapi pengobatan.

Penelitian lain yang berhubungan dengan


penatalaksanaan fatigue dilakukan oleh Gordon, Knapman, dan
Lubitz yang dipublikasikan tahun 2010. Penelitian ini
merupakan studi percontohan ujicoba acak terkontrol tentang
exercise training dan progressive resistence training pada
remaja dengan Chronic Fatigue Syndrome. Studi ini bertujuan
untuk mengetahui perbedaan pengaruh aerobic graded exercise
dan progressive resistance training pada latihan yang dapat
ditoleransi, kelelahan dan kualitas hidup pasien dengan sindrom
fatigue kronik. Partisipan terdiri dari 22 remaja usia 13-18
tahun yang mengalami sindrom fatigue kronik dan
mendapatkan program rehabilitasi fatigue kronis. Intervensi

276
dilakukan dengan memberikan aerobic exercise training
bertingkat dan progressive resistance training untuk 5 hari/
minggu selama 4 minggu. Aerobic exercise training dilakukan
selama 20-40 menit bersepeda dan treadmill. Progressive
resistance training melibatkan 16 latihan, beban sedang dan
berulang-ulang. Pengukuran dilakukan dengan mengukur
exercise tolerance (waktu muncul kelelahan), tingkat maksimal
treadmill test, keseimbangan metabolisme, kualitas hidup,
kekuatan muskuler (maksimum push-up) dan daya tahan (sit-
to-stand), dan kuesioner evaluasi gejala depresif, serta tingkat
fatigue. Hasil utama dari penelitian ini bahwasanya progressive
resistance training merupakan latihan aerobik yang efektif
untuk meningkatkan kualitas hidup dan toleransi fisik remaja
dengan sindrom fatigue kronik. Ini menjadi temuan penting
karena penelitian sebelumnya melaporkan bahwa progressive
resistance exercise hanya dapat diimplementasikan sebagai
bagian dari exercise setelah menyelesaikan latihan arobik
selama 4 minggu. Untuk menurunkan tingkat fatigue, tidak ada
intervensi secara signifikan lebih baik dari yang lain, akan
tetapi kapasitas fisik dan kualitas hidup secara signifikan
meningkat dengan intervensi ini, sedangkan tingkat fatigue dan
gejala depresi berkurang hanya dengan latihan aerobik. Secara
umum, partisipan yang dapat menyelesaikan intervensi baik
progressive resistance training maupun aerobic training
mengalami peningkatan yang signifikan dalam kapasitas fisik,
kualitas hidup serta menurunkan tingkat fatigue.
Exercise dengan latihan aerobik juga bermanfaat
dilakukan pada anak kanker yang mendapat terapi stem cell.
277
Penelitian oleh Guilcher, Khan, et al., tahun 2012 dengan
percobaan acak terkontrol untuk mempelajari pengaruh
program latihan aerobik pada pemulihan sel kekebalan pada
pasien yang menjalani sebuah transplantasi sel induk autologus.
Percobaan ini juga mengidentifikasi apakah intervensi dapat
mengurangi kerusakan dalam kualitas hidup, kebugaran fisik,
dan gaya hidup. Exercise dilakukan terhadap 24 anak (usia 5-18
tahun) dengan 12 anak sebagai kelompok intervensi dan
sisanya sebagai kontrol. Program exercise meliputi kekuatan,
fleksibilitas dan latihan aerobik dilakukan pada fase rawat inap
5x/ minggu selama 20-30 menit dalam 10 minggu selanjutnya
fase latihan dirumah 3x/minggu selama 60 menit (aerobik,
strength dan stretching). Hasil penelitian didapatkan bahwa
aktivitas fisik memiliki kemampuan mempromosikan modulasi
kekebalan tubuh dengan melibatkan beberapa jalur biologis,
termasuk pengurangan peradangan, peningkatan respon anti
tumor dan memodulasi sel pembunuh reseptor immunoglobulin
(KIRs). Aerobic exercise juga meningkatkan kapasitas kardio
respirasi, kekuatan, menurunkan tingkat fatigue dan
meningkatkan kualitas hidup anak.
Pada anak yang lebih besar, untuk mendapatkan hasil
yang lebih baik, latihan aerobik dapat digabungkan dengan
strength training program. Hal tersebut berdasarkan penelitian
yang dilakukan Perondi, Gualano, Artioli, et al., yang
dipublikasikan tahun 2012. Penelitian ini merupakan studi
kuasi eksperimental terhadap 6 anak berusia 5-16 tahun untuk
meneliti efek program latihan yang menggabungkan latihan
ketahanan intensitas tinggi dan intensitas sedang dalam latihan
278
aerobik pada pasien muda yang menjalani pengobatan ALL.
Responden menjalani program latihan aerobic selama 12
minggu di rumah sakit yang melibatkan intensitas tinggi latihan
kekuatan dan latihan aerobik dengan konsumsi oksigen puncak
70%. Setelah 12 minggu, dinilai kekuatan sub maksimal,
kualitas hidup termasuk fatigue, dan efek samping yang
mungkin muncul. Hasil menunjukkan sebuah perbaikan
signifikan diamati dalam kekuatan sub maksimal yaitu leg
press (73%), leg extension (64%), bench press (71%), dan lat
pull down (50%) sebagai hasil exercise (P=<0,01). Sepanjang
periode pelatihan, tidak ada laporan nyeri, cedera otot, kram,
nyeri otot, ekimosis, kelelahan berlebihan, perdarahan otot,
infeksi, supresi ematologi atau perubahan dalam parameter
darah biokimia. Evaluasi orangtua mengungkapkan adanya
perbaikan kualitas hidup anak-anak mereka dan
mengungkapkan perbaikan fatigue (p < 0.05).
Adapun menurut penelitian yang dilakukan Kaushal,
Narendra, dan Smitha (2013) menunjukkan temuan yang lain.
Penelitian ini membandingan efektifitas antara teknik relaksasi
dan latihan aerobik dalam mengurangi gejala fatigue selama
pemberian kemoterapi pada anak LLA, dilakukan pada 40
partisipan dibagi dalam dua kelompok. Kelompok A diberikan
intervensi latihan aerobik sedangkan kelompok B diberikan
intervensi teknik relaksasi Jacobson. Latihan aerobik
merupakan sub maksimal ritmik, exercise berulang-ulang pada
otot besar selama oksigen yang dibutuhkan tersedia dari
inspirasi. Intervensi dilakukan selama 20 menit setiap hari
selama 3 minggu. Hasil penelitian menunjukkan terdapat
279
penurunan tingkat fatigue yang signifikan baik pada kelompok
yang diberikan latihan aerobik maupun teknik relaksasi,
meskipun penurunan lebih terlihat pada kelompok teknik
relaksasi Jacobson (P = 0.001).
Sedangkan penelitian yang dialakukan Takken, Torre,
Zwerink, et al., tahun 2009 juga menunjukkan hasil berbeda.
Penelitian ini bertujuan untuk mengembangkan exercise
training program selama 12 minggu (meliputi aerobik dan
latihan fisik), dan studi kelayakan serta efikasi program
exercise pada anak penderita Leukimia Limfoblastik Akut
(ALL) yang bertahan hidup. Penelitian ini dilakukan terhadap 9
(sembilan) orang anak penderita ALL berusia 6-18 tahun
sebagai sampel dengan metode pemberian exercise training
program selama 45 menit setiap sesi latihan dilakukan 2 kali
seminggu selama 12 minggu. Hasil penelitian menunjukkan
hanya 1 anak/ orang tua yang menyelesaikan program exercise
dan mengembalikan kuesioner. Empat anak melaporkan
berbagai gejala fisik selama exercise (sakit kepala, nyeri otot,
kelelahan, dan hiperventilasi). Berbagai keprihatinan tentang
tingkat kelelahan diungkapkan oleh anak-anak, durasi
pelatihan, peralatan pelatihan yang diperlukan, dan kurangnya
variasi program pelatihan di rumah oleh sebagian besar pelatih.
Keberhasilan program terletak pada kekuatan otot, kapasitas
latihan, mobilitas fungsional. Akantetapi untuk tingkat fatigue
tidak menunjukkan perbedaan yang signifikan antara pra dan
paska intervensi.

280
Pembahasan
Perawat anak harus mengenali adanya gejala fatigue
akibat kanker. Melakukan pengkajian secara kontinu dan
konsisten akan menentukan intervensi dan penanganan yang
tepat. Memberikan penanganan yang cepat serta tepat
merupakan hal yang penting untuk dilakukan oleh perawat
anak.
Berdasarkan hasil penelaahan terhadap 9 (sembilan)
buah artikel yang memenuhi kriteria, secara umum exercise
yang dilakukan dalam menurunkan tingkat fatigue pada anak
dengan kanker adalah latihan aerobik (exercise aerobic
program). Latihan aerobik tersebut sebagian besar dilakukan di
rumah (homebase exercise aerobic program) dengan adanya
pengawasan atau instruktur. Ada beberapa penelitian
mengkombinasi latihan aerobik dengan latihan fisik lain seperti
ROM aktif, leg exercise, progressive stretching, strengthening,
progressive resistance training, strength training program,
bahkan dikombinasi dengan memberikan konseling.
Pelaksanaan latihan aerobik rata-rata didapatkan 2-5x/ minggu
selama 20-45 menit setiap sesi. Latihan tersebut dilaksanakan
selama 6-12 minggu.
Dari 152 anak yang melaksanakan intervensi aerobic
exercise, satu artikel mengkonfirmasi terdapat 5 anak yang
mengundurkan diri, dan satu buah artikel yang lain
mengkonfirmasi 4 anak melaporkan gejala fisik selama
exercise seperti sakit kepala, nyeri otot, dll. Akantetapi secara
umum seluruh artikel mengkonfirmasi sebanyak 67%-83%
responden dapat menyelesaikan intervensi secara penuh.
281
Feasibilitas atau kelayakan sebuah studi diukur jika terdapat
sebagian besar responden yang dapat menyelesaikan secara
penuh intervensi yang dilakukan (Yeh et al.,). Berdasarkan hal
tersebut, intervensi exercise dengan jenis aerobic exercise
program merupakan intervensi yang aman dan layak (feasible)
digunakan pada anak dengan kanker.
Hal tersebut sejalan dengan sistematik review yang
dilakukan oleh Baumann, Bloch dan Beulertz, yang
dipublikasikan tahun 2012 tentang ―Clinical Exercise
Interventions in Pediatric Oncology” yang bertujuan
mengevaluasi bukti-bukti ilmiah terkait exercise yang
direkomendasikan untuk anak dengan kanker. Hasil
penelusuran literatur menunjukkan seluruh studi
mengkonfirmasi bahwa intervensi exercise yang dilakukan
pada anak dengan kanker bersifat layak dan aman. Tidak ada
efek samping atau komplikasi yang terkait dengan exercise
sebagai intervensi yang dilaporkan dari 17 studi terkait. Bahkan
dalam 4 studi mengkonfirmasi bahwa feasibilitas atau
kelayakan merupakan hasil yang utama.
Adapun efektifitas exercise dalam menurunkan tingkat
fatigue pada anak dengan kanker, didapatkan 1 buah penelitian
menyebutkan cukup signifikan (moderate significant), 6 buah
penelitian lainnya menyebutkan exercise dapat menurunkan
fatigue secara signifikan, dan 1 buah penelitian menyebutkan
meskipun terdapat penurunan tingkat fatigue yang signifikan
akan tetapi nilai signifikansi lebih tinggi pada teknik relaksasi
Jacobson. Sedangkan terdapat 1 buah penelitian yang
menunjukkan bahwa pada pre dan post exercise tidak terdapat
282
perbedaan tingkat fatigue. Dalam penelitian ini mungkin
disebabkan intensitas latihan aerobik dengan intensitas tinggi
dan durasi waktu latihan yang lebih lama dengan latihan pada
penelitian lain.
Tingkat fatigue dalam beberapa penelitian diukur
menggunakan instrumen PedsQL Multidimensional Fatigue
Scale, dimana instrumen ini memiliki reliabilitas tinggi yaitu
0,83-0,93 (Cronbach α Coefficient). Peneliti juga menggunakan
instrumen PedsQL 4.0 dari Varini (2001), dan The European
Organization for Research and Treatment of Cancer Quality of
Life Questionnaire (C30 EORTC QLQ-C30) untuk mengukur
kualitas hidup anak yang berhubungan dengan fatigue. Atau
adapula yang menggunakan instrumen Patient Reported
Outcomes (PRO), dimana pasien melaporkan sendiri gejala-
gejala fatigue yang dialami. Seluruh instrumen tersebut dapat
digunakan oleh peneliti dapat mengukur sesuai dengan tujuan
penelitian.
Untuk mengukur efektifitas dan manfaat intervensi,
beberapa penelitian mengukur tingkat kebugaran fisik
responden pre dan post intervensi. Tingkat kebugaran diukur
menggunakan beberapa instrumen diantaranya The 9 Minute
Walk Test, OMNI Walk-Run Scale, dan The Modified Six
Minute Walk Test (6MWT).
Berdasarkan pengukuran menggunakan instrumen
diatas, didapatkan responden mengalami peningkatan
kemampuan 6-9 menit berjalan kaki dan peningkatan jarak
berjalan, meningkatkan kekuatan otot kaki, peningkatan
kapasitas fungsi kardiorespirasi, peningkatan toleransi fisik,
283
juga peningkatan nilai hemoglobin dan hematokrit. Sehingga
dapat disimpulkan program exercise pada anak dengan kanker
sangat bermanfaat pula untuk meningkatkan kemampuan fisik
anak. Hal ini sejalan dengan sebuah meta analisis yang
dilakukan oleh Zhuo, Zhu, Gu, et al., yang dipublikasikan tahun
2016 tentang manfaat intervensi exercise pada pasien Leukimia
Akut. Penelitian ini menyebutkan bahwa exercise memiliki
efek menguntungkan pada kebugaran kardiorespirasi, kekuatan
otot dan mobilitas fisik anak dengan leukemia akut.
Pengobatan untuk kanker pada anak mempunyai efek
negatif yang berpengaruh terhadap pertumbuhan dan
perkembangan, disfungsi kognitif dan psikologis, penurunan
fungsi neurologis, dan penurunan kualitas masa depan anak.
Anak yang tumbuh tidak aktif, dimasa depan akan menjadi
orang dewasa yang tidak aktif pula. Exercise yang dilakukan
teratur dapat membantu mengurangi efek samping yang timbul
pada anak dengan kanker yang bertahan hidup, sehingga dapat
meningkatkan kapasitas fisik dan kualitas hidupnya (Patti,
Paoli, Bianco, 2013). Saat ini belum ada standarisasi exercise
yang dapat dijadikan protokol tunggal untuk penatalaksanaan
fatigue pada anak dengan kanker. Oleh karena itu, diperlukan
kerjasama yang baik antara tenaga kesehatan di tempat
pelayanan kesehatan dan tenaga kesehatan yang bertugas di
komunitas, juga membutuhkan kerjasama profesi lain yang
terkait karena dimasa depan, exercise akan memegang peranan
penting terutama bagi anak dengan kanker yang bertahan
hidup.

284
Simpulan
Berdasarkan tinjauan literatur yang telah dipaparkan,
menunjukkan bahwa intervensi exercise dengan jenis aerobic
exercise program baik yang dilakukan mandiri maupun disertai
latihan lain seperti ROM aktif, progressive stretching,
progressive resistance training, strengthening, dan leg exercise
merupakan intervensi yang aman dan layak (feasible)
digunakan pada anak dengan kanker.
Adapun dari segi efektifitasnya, penurunan tingkat
fatigue pada anak dengan kanker sangat beragam, namun
secara umum exercise yang dilakukan dapat menurunkan
tingkat fatigue pada anak dengan kanker secara signifikan.
Akantetapi perlu dikaji kembali aspek waktu, durasi, dan
intensitas dari exercise yang dilakukan. Berdasarkan
pengukuran menggunakan instrumen kebugaran fisik, exercise
bermanfaat bagi anak dalam mengaktifasi fungsi dan
meningkatkan kapasitas kardiorespirasi, meningkatkan
kemampuan berjalan, meningkatkan kekuatan otot kaki,
meningkatkan toleransi fisik, meningkatkan nilai hemoglobin
dan hematokrit, meningkatkan beberapa aspek dalam kualitas
hidup anak dengan kanker. Sehingga exercise mempunyai
peranan penting dimasa depan terutama bagi anak penderita
kanker yang dapat bertahan hidup.

285
Daftar Pustaka
Arini, Widjajanto, Haryanti. (2015). The Relationship Between
Fatigue And Play Activities Of Children With Acute
Lymphoblastic Leukemia Receiving Chemotherapy.
International Journal of Research in Medical Sciences
Arini T et al. Int J Res Med Sci. 2015 Dec;3 (Suppl
1):S53-S60 .
www.msjonline.org.DOI:http://dx.doi.org/10.18203/2
320-6012.ijrms 20151521

Baumann, Bloch, Beulertz. Clinical Exercise Interventions In


Pediatric Oncology: A Systematic Review. Pediatric
Research Volume 74, No.4, October 2013 DOI:
10.1038/pr.2013.123

Bertorello, Manicone, Galletto, Barisone, & Fagioli (2011).


Physical Activity and Late Effects in Childhood Acute
Lymphoblastic Leukemia Long-Term Survivors.
Pediatric Hematology and Oncology, 28:354–363,
2011. Informa Healthcare USA, Inc.ISSN: 0888-0018
print / 1521-0669 online. DOI:
10.3109/08880018.2010.550987

Depkes RI. 2011. Pedoman Penemuan Dini Kanker Pada


Anak. Jakarta : Direktorat Jendral Pengendalian
Penyakit dan Penyehatan Lingkungan. Direktorat
Penyakit Tidak Menular

Depkes RI. 2015. Stop Kanker. Jakarta : Pusat Data dan


Informasi Kementrian Republik Indonesia
286
Esbenshade, Friedman, Smith, Jeha, Pui, Robison, & Ness
(2014). Feasibility and Initial Effectiveness of Home
Exercise During Maintenance Therapy for Childhood
Acute Lymphoblastic Leukemia. Pediatrics Phys
Therapy. 2014 ; 26(3): 301–307.
DOI:10.1097/PEP.0000000000000053.

Echavez, Imenez, & Velez (2014). Effects of Supervised


Multimodal Exercise Interventions on Cancer-Related
Fatigue: Systematic Review and Meta-Analysis of
Randomized Controlled Trials. Hindawi Publishing
Corporation. BioMed Research International Volume
2015, Article ID 328636, 13 pages.
http://dx.doi.org/10.1155/2015/328636

Evans, J., & Flavin S. (2008). Honey : A Guide For Healthcare


Professionals. British Journal of Nursing, 17 (15), 24-
30

Flinton, Thome, Waller, Francis, & Cherry. (2002). The Effect


Of The Recommendation Of Two Different Physical
Activity Strategies On Fatigue Experienced During
Radiotherapy. Department of Radiography, City
University, London. Journal of Radiotherapy in Practice
2002, 2, 207-214 Greenwich Medical Media Ltd.

Gordon, Knapman. (2010). Graduated Exercise Training And


Progressive Resistance Training In Adolescents With
Chronic Fatigue Syndrome: A Randomized Controlled

287
Pilot Study. Clinical Rehabilitation 2010; 24: 1072–
1079

Hockenberry, M.J et al. (2003). Three Instrument To Asses


Fatigue In Children With Cancer: The Child Parent
And Staff Perspectives. Journal of Pain and Symptom
Management, Vol. 25 No. 4 April 2003

Hockenberry, M.J., & Wilson, D. (2007). Wong’s Nursing Care


Of Infants And Children. Canada: Mosby Elsevier.

Hockenberry, M.J., Hooke, M.C., Gregurich, M., McCarthy,


K., Sambuco, G., & Krull, K. (2010). Symptom Cluster
In Children And Adolencents Receiving Cisplatin,
Doxorubicin, Or Ifosfamide. Oncology Nursing Forum,
37 (1), E16-E27.

Jarden, Moller, Kjeldsen, et al. (2013). Patient Activation


through Counseling and Exercise – Acute Leukemia
(PACE-AL) – A Randomized Controlled Trial. BMC
Cancer 2013, 13:446.
http://www.biomedcentral.com/1471/2407/ 13/446

Kaushal, Narendra, & Smitha. A Comparative Study between


Relaxation Technique and Aerobic Exercise in Fatigue
During Chemotherapy in Acute Lymphoblastic
Leukemia in Children. Indian Journal of Physiotherapy
& Ocupational Therapy. July-September 2013, Vol.7,
No. 3

Kirshbaum, M. (2010). Cancer Related Fatigue: A review of


Nursing interventions. British Journal of Community
288
Nursing, 15 (5), 214-219. National Cancer Institute.
2009. A snapshot of pediatric cancer.Diperoleh melalui
http://www.cancer.gov/aboutnci/servingpeople/cance
r-snapshot.

National Comprehensive Cancer Network. (2014). Cancer


Related Fatigue. Version I-2014. NCCN Clinical
Practice Guidelines In Oncology.

Patti, Paoli, Bianco. (2013). Pediatric Exercise Programs In


Children With Hematological Cancer: A Systematic
Review. University of Palermo - Via E. Duse, 2 – 90146
Palermo. EJSS Journal 1(2):71-86 - ISSN 2282-5673

Perondi, Gualano, Artioli, et al. (2012). Effects Of A Combined


Aerobic And Strength Training Program In Youth
Patients With Acute Lymphoblastic Leukemia. Journal
of Sports Science and Medicine (2012) 11, 387-392.
http://www.jssm.org
Takken, Torre, Zwerink, et al. (2009). Development, feasibility
and efficacy of a community-based exercise training
program in pediatric cancer survivors. Psychooncology,
18, 440-8.

Tanir MK, Kuguoglu S. (2013). Impact Of Exercise On Lower


Activity Levels In Children With Acute Lymphoblastic
Leukemia : A Randomized Controlled Trial From
Turkey. Jurnal Rehabilitasi Nursing. 2013; 38: 48–59.
DOI: 10.1002/rnj.58 PMID: 23365005

Umiati. (2010). Gambaran kualitas hidup anak usia 6-18 tahun


yang menjalani kemoterapi di Rumah Sakit Kanker
289
Dharmais, Jakarta Barat. Journal of Cancer, Vol 4, No
2.

Vina, Guilcher, Khan, et al., (2012). Exercise In Pediatric


Autologous Stem Cell Transplant Patients: A
Randomized Controlled Trial Protocol. BMC Cancer
2012, 12:401. http://www.biomedcentral.com/1471-
2407/12/401

Wang X.S. & Woodruff. (2008). Pathophysiology Of Cancer-


Related Fatigue. Clinical Journal of Oncology Nursing,
12 (5), 11-22.

Yeh, Wai, Lin, Chiang. (2011). A Pilot study to examine the


feasibility and effects of a homebased aerobic program
on reducing fatigue in children with acute
lymphoblastic leukemia. Jurnal Cancer Nursing. 2011;
34: 3–12. DOI: 10.1097/NCC.0b013e3181e4553c
PMID: 20706112

Zhou, Zhu, Gu, et al. (2016). Efficacy of Exercise Interventions


in Patients with Acute Leukemia: A Meta-Analysis.
PLoS ONE 11(7): e0159966.
Doi:10.1371/journal.pone.0159966

290
Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kualitas Hidup Pasien
DM tipe 2

Putu Inge Ruth Suantika1, Titis Kurniawan2


1
Mahasiswa Magister Keperawatan Medikal Bedah Universitas Padjajaran,
2
Dosen Magister Keperawatan Medikal Bedah Universitas Padjajaran
Email:ing.nge@gmail.com

Pendahuluan

Diabetes melitus tipe 2 adalah penyakit


metabolisme yang bisa diturunkan baik secara genetis maupun
klinik yang heterogen dengan hilangnya toleransi karbohidrat
dalam tubuh (Price & Wilson, 2006). WHO menyebutkan
diabetes merupakan salah satu penyakit kronis dikarenakan
tubuh tidak mampu memproduksi kadar insulin yang cukup di
dalam tubuh (WHO,2011). Prevalansi penderita diabetes
mellitus semakin hari kian bertambah. Jumlah kasus diabetes
diperkirakan meningkat dari 135 juta pada tahun 1995 menjadi
380 juta pada tahun 2025 di negara berkembang. Diperkirakan
kasus DM meningkat 42% dari 51 menjadi 72 juta di negara
maju, sementara di negara berkembang diperkirakan meningkat
170% dari 84 mencapai 228 juta penduduk (Nwankwo et al,
2010). Phumtong (2015) juga menyebutkan pada tahun 2012,
lebih dari 4,8 juta penduduk meninggal dikarenakan penyakit
diabetes beserta komplikasinya dan hampir setengah dari
penduduk dunia tidak mengetahui bahwa mereka terdiagnosa
diabetes mellitus. Data yang didapatkan dari jurnal berita ilmu
keperawatan, International Diabetic Federation (IDF)
291
memperkirakan jumlah penderita diabetes melitus tipe 2 di
Indonesia meningkat dua kali lipat dari 2.548.000 tahun 2003
menjadi 5.210.000 penderita pada tahun 2025 (Rahmadiliyani,
2008). WHO menyebutkan bahwa Indonesia menempati urutan
ke 6 di dunia sebagai negara dengan jumlah penderita diabetes
mellitus terbanyak setelah India, China, Uni Soviet, Jepang dan
Brazil. (Rahmadiliyani, 2008).

Diabetes melitus tipe 2 erat kaitannya dengan


beberapa komplikasi yang mempengaruhi kualitas kehidupan
penderita dari segi fisik, kognitif dan psikologis (Saragih,
2010). Adapun komplikasi yang terjadi, yaitu komplikasi
metabolic akut dan komplikasi diabetes jangka panjang.
Komplikasi metabolic akut meliputi hipoglikemia, ketoasidosis
diabetic, Koma Hiperglikemik Hiperosmolar Non Ketotik.
Sedangkan komplikasi jangka panjang meliputi mikroangiopati
terdiri dari kerusakan sistem saraf (neuropati), kerusakan sistem
ginjal (nefropati) dan kerusakan mata (retinopati) dan
makroangiopati termasuk penyakit jantung, stroke, dan
penyakit pembuluh darah perifer. Penyakit pembuluh darah
perifer dapat menyebabkan cedera yang sulit tidak sembuh,
gangren, bahkan amputasi. Komplikasi yang lain termasuk
kerusakan gigi, penurunan resistensi infeksi seperti influenza
dan pneumonia, makrosomia (Phumtong, 2015; Rosyada, 2013;
Dewi, 2012; Desphande, 2008).

Kualitas hidup menjadi salah satu indikator dari


keberhasilan pengobatan dan perawatan pasien. Menurut World
Health Organization Quality of Life – BREF (WHOQOL-
292
BREF) kualitas hidup terbagi dalam 4 domain yaitu Physical
Health (kesehatan fisik), psychological (psikologis), sosial
relationship (hubungan sosial), dan environment (lingkungan)
(WHOQOL-BREF, 2004). Dalam kasus diabetes mellitus,
kualitas hidup menjadi indikator keberhasilan dalam proses
perawatan pasien (Wild, 2004; Khairani, 2007). Kualitas hidup
bagi pasien diabetes digambarkan sebagai persepsi individu di
kehidupan mereka dalam konteks kebudayaan, norma
kehidupan dan hubungannya dengan tujuan, harapan, standar
dan perhatian mereka terhadap kesehatan mereka. Hal ini
dikarenakan perubahan pada kesehatan fisik, mental, psikologi,
kepercayaan pribadi dan hubungan sosial mereka dengan
lingkungan sekitar (Khairani, 2007).

Hasil penelitian sebelumnya mengenai faktor-


faktor yang mempengaruhi kualitas hidup pasien diabetes,
seperti adanya dukungan sosial dan keluarga, self care, self
efficacy (Koh. 2014). Dalam penanganan diabetes dukungan
keluarga dijadikan sebagai salah satu pendukung bagi pasien
dalam hal ketaatan diet, sehingga memiliki hubungan yang
signifikan terhadap kualitas hidup (Yusra, 2010). Self efficacy
berkaitan dengan kemampuan seseorang dalam mencapai target
kehidupannya sehingga akan mempengaruhi kepuasaan dalam
dirinya sendiri (Hutama, 2016). Self efficacy pasien diabetes
memiliki hubungan yang signifikan terhadap kualitas hidup
dikarenakan ketika pasien diabetes mampu untuk memenuhi
kebutuhan dan kepatuhannya terhadap terapi sehingga mampu
untuk mengontrol kadar gula darahnya maka akan timbul

293
perasaan bahagia dan puas akan kemampuan dirinya sendiri
(Reisi, 2016). Sementara self care juga memegang peranan
penting terhadap kualitas hidup. Self care dalam diabetes terdiri
dari kemampuan pasien dalam menaati program diet, latihan
fisik, pengontrolan kadar gula darah, pengobatan dan
perawatan kaki yang bertujuan untuk mencegah komplikasi
lanjut dan mengontrol gula darah. Ketika pasien mampu
melakukan perawatan secara mandiri maka kualitas hidupnya
akan meningkat pula, sementara pasien yang kurang mampu
melakukan self care diabetes, kualitas hidupnya akan menurun
(Shehri, Amer, et al, 2008). Telaah literatur ini bertujuan untuk
mengidentifikasi faktor yang mempengaruhi kualitas hidup
penderita diabetes.

Metode

Metode yang digunakan dalam literatur review ini adalah


mengumpulkan artikel-artikel penelitian dan menganalisis
mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi kualitas hidup
pasien diabetes. Artikel yang digunakan dari beberapa data
base elektronik dari ProQuest dan PubMed serta google
cendekia scholarship dengan kata kunci kualitas hidup, sosial
support, diabetes type 1 and 2, self care, self efficacy, family
support, self management. Jurnal tersebut ditulis dalam bahasa
Inggris. Dari pencarian jurnal di didapatkan 53 jurnal yang
terkait dengan kata kunci, namun hanya 5 jurnal terbitan 2013-
2016.

294
Hasil Penelitian

Hasil dari telaah literatur ini, didapatkan beberapa artikel


penelitian yang menganalisis pengaruh dukungan sosial dan
keluarga, self care, self effiacy dengan kualitas hidup pasien
diabetes mellitus. Adapun rincian artikel yang telah ditelaah
dapat dilihat dalam table berikut ini:

Peneliti Tempat Metode Hasil


Penelitian penelitian Penelitian
Junling Gao, School of Penelitian Self care
et al (2013) Public menggunak memiliki
Effects of self- Health, an hubungan
care, self- Fudan pendekatan langsung
efficacy, University, cross dengan efek
sosial Key sectional. pengontrolan
support on Laboratory Penelitian gula darah (β
glycemic of Public dilakukan = −0.21, p =
control in Health Juni- .007),
adults with Safety, Oktober Terdapat
type 2 Ministry of 2011. hubungan
diabetes Education, Dengan positif dari
jumlah self efficacy
137 (β = 0.32, p <
responden. .001),
dukungan
sosial (β =
0.17, p =

295
.009)
terhadap self
care
diabetes.

Mahnoush Department Penelitian Ditemukan


Reisi, et al of Health menggunak responden
(2016) Education an dengan nilai
Impact of and Health pendekatan self efficacy
Health Promotion, cross tinggi akan
Literacy, Isfahan sectional. memiliki
Self-efficacy, University Jumlah dampak
and of Medical responden yang baik
Outcome Sciences, 187 orang. terhadap self
Expectations Isfahan, care diabetes
on Iran dimana akan
Adherence to berdampak
Self-care pula pada
Behaviors in kualitas
Iranians with hidup pasien
Type 2 diabetes.
Diabetes
296
Jan Study Penelitian Ditemukan
Koetsenruijte protocol menggunak dukungan
r, et al. (6 negara di an sosial yang
(2014) eropa) pendekatan paling besar
Sosial support cross adalah dari
systems as sectional. keluarga
determinants Jumlah atau orang
of responden terdekat
self- 1800 orang. pasien.
management Dengan
and quality adanya
of life of dukungan
people keluarga
with diabetes mampu
across mengubah
Europe: cara pasien
study memanajem
protocol en
for an perawatanny
observational a dengan
study baik.
Lindsay Diabetes Penelitian Dukungan
Satterwhite Research & menggunak keluarga
Mayberry, Training an dihubungkan
MS, PhD Center, pendekatan dengan
(2014) Center for cross ketaatan self
Family Diabetes sectional. care pasien
involvement Translation Jumlah (β=0.20–0.50,
297
is helpful al responden p<.05),
and harmful Research, 192 orang.
to patients‘ Vanderbilt
self-care and University
glycemic Medical
control Center,
Nashville,
TN, USA
Junling Gao, Primary care Penelitian Dengan
Jingli Wang, center in menggunak memiliki
Yaocheng Shanghai, an dukungan
Zhu and China pendekatan sosial yang
Jinming Yu cross baik, nilai self
(2013) sectional. efficacy yang
Validation of Dilakukan tinggi dan
an pada bulan dihubungkan
information– juni-oktober dengan
motivation– 2011. kebiasaan self
behavioral Jumlah care, maka
skills model responden mampu untuk
menurunkan
of self-care adalah 222
kadar lipid
among orang.
dalam tubuh
Chinese adults
pasien
with type 2
sehingga
diabetes
mempengaru
hi kualitas
hidup pasien.

298
Azar Tol, Department Penelitian ini Ditemukan
Gholamreza of Health menggunak hubungan
Sharifirad, Education an cross yang
Ahmadali and sectional signifikan
Eslami, Promotion, study antara
Davoud School of dengan peningkatan
Shojaeizadeh Public responden self efficacy
(2015) Health, 140 orang di dan kualitas
Isfahan Om-ol-Banin hidup pasien
Analysis of University of Diabetes diabetes.
some Medical Center,
predictive Sciences, Isfahan
Isfahan
factors of
quality of
life among
type 2 diabetic
patients

Dari 6 jurnal yang telah ditelaah, 2 jurnal menyatakan bahwa


terdapat hubungan yang signifikan antaran dukungan sosial
yang ditunjukkan oleh keluarga terhadap kualitas hidup pasien
diabetes. Sementara 2 jurnal lainnya menyebutkan bahwa
dengan nilai self efficacy yang tinggi maka kualitas hidup
pasien diabetes akan baik pula. Sementara jurnal lainnya
menyebutkan self efficacy dan dukungan sosial memiliki
pengaruh yang besar terhadap self care, sehingga jika nilai self

299
care pasien meningkat, maka terjadi pula peningkatan pada
nilai kualitas hidup pasien diabetes.

Pembahasan

Hampir dari keseluruhan jurnal yang ditelaah mengenai


hubungan self care, dukungan sosial, dan self efficacy dengan
kualitas hidup mengemukakan bahwa dukungan sosial dan self
efficacy memiliki pengaruh yang signifikan terhadap self care
dan berdampak pada kualitas hidup pasien penderita diabetes.
Akan tetapi pada jurnal yang dikemukakan oleh Jan (2014),
menyebutkan bahwa dukungan keluarga adalah pendukung
terkuat dalam peningkatan kualitas hidup pasien diabetes.
Penerapan dukungan sosial yang ditunjukkan oleh keluarga
pasien lebih mudah untuk diterapkan dalam perawatan pasien,
karena keluarga merupakan masyarakat terkecil yang memiliki
kedekatan pada pasien. Sehingga ketika pasien harus berfokus
pada perawatannya dan proses penerimaan terhadap
penyakitnya, keluarga adalah kelompok sosial terkecil yang
mampu untuk memahami kondisi pasien.

Akan tetapi berbeda dengan jurnal lainnya, Reisi (2016)


mengemukakan self efficacy didefinisikan sebagai pendukung
yang kuat dalam penerapan aktifitas self care dan pemberi nilai
pada tingkat kualitas hidup yang baik. Self efficacy memberikan
dampak yang bernilai positif terhadap self care yang
meningkatkan kualitas hidup yang dikaitkan dengan

300
management perawatan diabetes khususnya kontrol gula darah
diabetes. Dengan adanya informasi berkala mengenai
perawatan diabetes pada pasien, akan mampu menumbuhkan
rasa percaya diri dan motivasi terhadap kondisinya, sehingga
pasien akan memiliki aktivitas self care yang baik.

Hal tersebut didukung pula dengan pada beberapa jurnal


Junling (2013), yaitu dengan dukungan sosial yang baik,
percaya diri yang tinggi akan dikaitkan dengan aktivitas
perawatan diri dan aktivitas perawatan diri dikaitkan langsung
dengan pengontrolan gula darah yang baik.

Simpulan

Dalam telaah literatur ini menunjukkan bahwa dukungan sosial,


khususnya dari keluarga pasien dan self efficacy memiliki
pengaruh terhadap aktivitas self care pasein diabetes.
Ditunjukkan bahwa dengan adanya dukungan yang baik dari
keluarga serta peningkatan self efficacy mampu untuk
mengubah kebiasaan self care yang buruk dari pasien. Dengan
perubahan kemampuan self care dari pasien diabetes akan
mempengaruhi kualitas hidup pasien diabetes. Bagi perawat
dalam penatalaksanaan diabetes tidak hanya mengobati pasien,
melainkan juga memberikan informasi dan latihan yang secara
kontinu diberikan kepada keluarga yang akan mendampingi
pasien serta pasien selaku objek utama dalam perawatan
301
diabetes. Karena sesuai dengan fungsi dari perawat, perawat
tidak hanya bertindak sebagai care giver, melainkan sebagai
advokat, konselor, role model, dll. Dengan telaah literatur ini
diharapkan pada peneliti-peneliti selanjutnya untuk lebih
mengembangkan penelitian berkaitan dengan kualitas hidup
khususnya di Indonesia, sehingga dapat diaplikasikan pada
perawatan pasien.

Daftar Pustaka

Deshpande AD, Hayes MH, Schootman M. Epidemiology of


diabetes and diabetes-related complications. Physical
Therapy. 2008; 88 (11):1254-64.
Dewi, Kartika. 2012. Peranan Pengobatan dengan Akupuntur
pada Diabetes Mellitus dalam Era Globalisasi. Zenit
Volume 1 Nomor 2 Agustus 2012
Gao, Junling., et al. 2013. Effects of self-care, self-efficacy,
social support on glycemic control in adults with type 2
diabetes, (online).
(http://www.biomedcentral.com/1471-2296/14/66,
diakses tanggal 3 september 2016)
Gao, Junling., et al. 2013. Validation of an information–
motivation–behavioral skills model of self-care among
Chinese adults with type 2 diabetes, (online).
(http://www.biomedcentral.com/1471-2458/13/100,
diakses tanggal 3 september 2016)

302
Hutama, Reza. 2016. Pengaruh Antara Efikasi Diri Dan
Religiusitas Terhadap Kebahagiaan Penderita Diabetes
Tipe Ii (Rsud A.W Syahranie Samarinda). eJournal
Psikologi, 2016, 4 (3): 343-351 ISSN 2477-2674
Khairani, Rita. 2007. Prevalence of diabetes mellitus and the
relationship with quality of life of older people in the
community. Universa Medicina Vol. 26 no 1
Koetsenruijter, Jan.,et al. 2014. Social support systems as
determinants of self-management and quality of life of
people with diabetes across Europe: study protocol for
an observational study, (online.).
http://www.hqlo.com/content/12/1/29, (diakses
tanggal 2 September 2016)
Koh, Odelia; et al. 2014. Establishing the Thematic Framework
for a Diabetes-Specific Health-Related Quality of Life
Item Bank for Use in an English-Speaking Asian
Population. PLOS ONE |
DOI:10.1371/journal.pone.0115654 December 22, 2014
Mayberry, Lindsay Satterwhite.,et al. 2014. Family
involvement is helpful and harmful to patients’ self-care
and glycemic control. Patient Educ Couns. 2014
December ; 97(3): 418–425.
doi:10.1016/j.pec.2014.09.011
Nwankwo, C.H., et al. 2010. Factors influencing diabetes
managemen outcome among patients attending
government health facilities in south east, Nigeria.
International journal of tropical medicine, 5(2), 28-36

303
Phumptong, Ganiga., et al. 2015. Complementary and
alternative medicines for diabetes mellitus management
in ASEAN countries. Complementary Therapies in
Medicine (2015) 23, 617—625
Price & Wilson. 2006. Patofisiologi Konsep Klinis Prosess-
Proses Penyakit. Edisi VI Volume 2. Jakarta: EGC
Rahmadiliani, Nina. 2008. Hubungan Antara Pengetahuan
Tentang Penyakit Dan Komplikasi Pada Penderita
Diabetes Melitus Dengan Tindakan Mengontrol Kadar
Gula Darah Di Wilayah Kerja Puskesmas I Gatak
Sukoharjo. Berita Ilmu Keperawatan ISSN 1979-2697,
Vol. I, No. 2 , Juni 2008, 63-68
Reisi, Mahnoush; et al. 2016. Impact of Health Literacy, Self-
efficacy, and Outcome Expectations on Adherence to
Self-care Behaviors in Iranians with Type 2 Diabetes.
Oman Medical Journal [2016], Vol. 31, No. 1: 52–59
Rosyada, Amrina; Indang Trihandini. 2013. Determinan
Komplikasi Kronik Diabetes Melitus pada Lanjut Usia.
Jurnal Kesehatan Masyarakat Nasional Vol. 7, No. 9,
April 2013
Saragih, W. S. 2010. Hubungan Dukungan Keluarga Dengan
Harga Diri Pasien TB Paru Yang Dirawat di Rumah
Sakit Umum Daerah Sidikalang, (online),
(http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/265
18/7/Cover.pdf, diakses 1 September 2016)
Shehri, Amer, et al. 2008. Health-Related Quality Of Life In
Type 2 Diabetic Patients. Ann Saudi Med 2008; 28(5):
352-360
304
Tol, Azar.,et al. 2015. Analysis of some predictive factors of
quality of life among type 2 diabetic patients. Journal of
Education and Health Promotion | Vol. 4 | February
2015
WHO. 2011. Diabetes Melitus, (online),
(http://whqlibdoc.who.int/publications/2011/9789241
502283_eng.pdf, diakses 1 September 2016.
Wild S, Sicree R, Roglic G, King H, Green A.Global
prevalence of diabetes: estimates for the year 2000 and
projections for 2030. Diabetes Care 2004; 27: 1047-53.
World Health Organization. WHOQOL-BREF: introduction,
administration, scoring and generic version of the
assessment. Field trial version. Programme on mental
health. Geneva: World Health Organization; 1996.
Yusra, A. (2011). Hubungan antara Dukungan Keluarga dengan
Kualitas Hidup Pasien Diabetes Melitus Tipe 2 di
Poliklinik Penyakit Dalam Rumah Sakit Umum Pusat
Fatmawati Jakarta. Tesis: Universitas Indonesia. Tidak
dipublikasikan.

305
Self Efficacy Lansia dalam Pemanfaatan Skrining Katarak
di Puskesmas Kademangan Kabupaten Cianjur

Sheizi Prista Sari1, Mamat Lukman2, E. Hanny Windyalaras3.


1,2,3
Fakultas Keperawatan Universitas Padjadjaran.
Email: Sheizi.Pristasari@unpad.ac.id

Abstrak

Angka kejadian katarak terus meningkat seiring dengan


bertambahnya populasi lansia di Indonesia. Perilaku lansia
untuk melakukan pemeriksaan rutin sangat diperlukan agar
komplikasi lebih lanjut dapat dicegah. Puskesmas secara aktif
sudah melakukan sosialisasi dan skrining katarak namun target
yang diharapkan masih belum tercapai. Salah satu faktor yang
memengaruhi perilaku skrining adalah self-efficacy. Penelitian
ini bertujuan untuk melihat gambaran self-efficacy lansia dalam
pemanfaataan program skrining katarak di Puskesmas.
Jenis penelitian ini adalah deskriptif kuantitatif. Responden
terdiri dari 100 orang lansia dari Desa Kademangan, Desa
Sukamanah, Desa Bobojong, Desa Cikidang Bayabang dan
Desa Mekarjaya Kabupaten Purwakarta yang dipilih melalui
teknik purposive sampling. Instrumen self-efficacy
dikembangkan sendiri oleh peneliti dengan merujuk pada
guide for constructing self-efficacy scales Bandura dan telah
melalui uji validitas serta reabilitas dengan nilai reabilitas
0.924. Data dianalisis dan disajikan dalam bentuk distribusi
frekuensi. Hasil penelitian menunjukan bahwa lebih dari

306
setengah responden (51%) sudah memiliki self-efficacy tinggi
dalam pemanfaatan program katarak, dan sebagian besar
responden (49%) memiliki self-efficacy sedang. Hanya
sebagian kecil responden (17%) yang sudah pernah
mendapatkan informasi tentang katarak. Tingkat self-efficacy
lansia yang sedang dan tinggi dalam pemanfaatan program
skrining katarak menunjukan bahwa lansia akan datang ke
Puskesmas untuk memeriksakan dirinya jika mereka
mengetahui tujuan kenapa mereka perlu melakukan
pemeriksaan tersebut. Diperlukan evaluasi dari program
sosialisasi yang selama ini sudah dilakukan oleh Puskesmas
dan perlu kegiatan langsung untuk lebih menekankan tentang
pentingnya skrining katarak bagi lansia, misalnya melalui
gerakan pemberdayaan kader, agar kunjungan lansia ke
Puskesmas dapat ditingkatkan, sehingga komplikasi katarak
dapat dicegah lebih lanjut.

Kata Kunci : Skrining katarak, Lansia , Self Efficacy

Pendahuluan
Katarak merupakan penyebab kebutaan yang paling
utama di Indonesia maupun di dunia. Sebesar 51% dari seluruh
kebutaan di dunia disebabkan oleh katarak dan setidaknya
terdapat 18 juta orang di dunia menderita kebutaan akibat
katarak. Perkiraan insiden katarak adalah 0,1% per tahun atau
terdapat seorang penderita baru katarak di antara 1.000 orang
setiap tahunnya (WHO, 2010). Penduduk Indonesia juga
memiliki kecenderungan menderita katarak 15 tahun lebih
307
cepat dibandingkan penduduk di daerah subtropis. Sekitar 16-
22% penderita katarak yang dioperasi berusia di bawah 55
tahun (Kemenkes RI, 2014).

Katarak merupakan proses degeneratif yang sangat


dipengaruhi oleh faktor usia (katarak senil), oleh karena itu
kasus ini akan terus meningkat sejalan dengan meningkatnya
jumlah lanjut usia (Kemenkes RI, 2015). Lanjut usia adalah
seseorang yang sudah mencapai usia 60 tahun atau lebih
(Kemenkes, 2014). Berdasarkan studi potong lintang prevalensi
katarak pada usia 65 tahun adalah 50% dan prevalensi ini
meningkat hingga 70% pada usia lebih dari 75 tahun (Vaughan
& Asbury, 2007).

Sebuah penelitian di Cina mengatakan bahwa lansia


dengan katarak memiliki melek kesehatan (health literacy)
yang tidak memadai (43.6%), kemampuan komputer yang
sangat terbatas (96.7%) dan komunikasi yang rendah dengan
dokter sehingga lansia berisiko tinggi mempunyai
kesalahpahaman dalam mengenali dan mengelola kondisi mata
mereka (Lin. dkk, 2014). Sebuah survei cross-sectional
membuktikan (85,1%) responden menderita katarak, 47,4%
meyakini bahwa pemulihan penglihatan tergantung pada
kehendak Tuhan. Perempuan meyakini bahwa katarak
disebabkan menopause, bersalin, dan periode menstruasi serta
mereka mengaku menggunakan herbal dan teh untuk
mengobati katarak (p 0,0000). Kesalahpahaman terkait dengan
penyebab dan pengobatan katarak senilis, menunjukkan
kebutuhan pendidikan dan faktor budaya (Temporini, 2002).
308
Berdasarkan Riskesdas 2013 masih banyak penderita
katarak yang tidak mengetahui jika menderita katarak. Hal ini
terlihat dari tiga alasan terbanyak penderita katarak belum
dioperasi yaitu 51,6% karena tidak mengetahui menderita
katarak, 11,6% karena tidak mampu membiayai dan 8,1%
karena takut operasi. Intervensi pada lansia perlu dilakukan
supaya lansia dapat mengenali tanda dan gejala penyakit
katarak secara dini mengelola penyakit katarak sehingga
mendapatkan tindakan yang tepat dan terhindar dari kebutaan
permanen.

Berdasarkan beberapa penelitian menunjukan bahwa


katarak membuat penderitanya mengalami penurunan kualitas
hidup akibat gangguan penglihatan. Penelitian Polack et all
(2010) membuktikan bahwa penderita katarak menjadi tidak
produktif, memerlukan bantuan dan mempunyai status ekonomi
yang rendah. Penelitian yang dilakukan oleh To et all (2014)
penderita katarak juga mengalami penurunan depresi yang
signifikan dari gejala skala depresi (p=0,04) setelah operasi.
Penderita yang telah dioperasi katarak secara signifikan
meningkat kualitas hidupnya pada 1 sd 6 bulan setelah operasi
(Groessl, et all. 2013).

Skrining katarak adalah proses identifikasi individu yang


tampak sehat padahal memiliki resiko katarak melalui tes atau
pemeriksaan yang singkat dan sederhana. Skrining katarak
bertujuan untuk pencegahan primer katarak yang mengganggu
serta mengurangi dampak penyakit katarak yang lebih serius.
Skrining katarak jika dilihat dari sudut pandang perilaku
309
kesehatan termasuk kedalam perilaku pencarian layanan
kesehatan (health seeking behavior). Pada umumnya individu
tidak akan melakukan sesuatu yang baru kecuali mereka merasa
yakin jika mereka mampu melakukannya (self efficacy). Jika
seseorang percaya suatu perilaku baru yang berguna (manfaat
dirasakan), tetapi berpikir dia tidak mampu melakukan itu
(penghalang dirasakan), kemungkinan bahwa hal itu tidak akan
dilakukan.

Studi tentang faktor-faktor yang mempengaruhi skrining


katarak memang belum pernah dilakukan, namun berdasarkan
penelitian pada kasus kanker serviks dengan metode cross
sectional membuktikan bahwa faktor yang mempengaruhi
perilaku skrining antara lain persepsi ancaman penyakit
(OR=1,7), efikasi diri (OR=4,3) dukungan teman sebaya
(OR=2,07) dan niat (OR=3,4) (Zakiyya, 2015). Studi lain
membuktikan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi
skrining mamae adalah usia, tingkat pendidikan, kondisi
biologis persepsi kontrol prilaku dan self efficacy. Hasil dari
penelitian ini menunjukan bahwa prediktor utama dari skrining
mamae adalah self efficacy. Berdasarkan dua penelitian diatas,
self efficacy merupakan faktor yang paling kuat dan signifikan
dalam mempengaruhi pemanfaatan skrining.

Self-eficacy sangat besar pengaruhnya dalam diri


seseorang, karena self-eficacy dapat mempengaruhi tindakan
yang akan dilakukan. Hal ini sesuai dengan pendapat Bandura
yang menyatakan bahwa self-eficacy merupakan konstruksi
sentral dalam teori kognitif sosial yang dimiliki seseorang, dan
310
akan mempengaruhi tindakan yang akan dilakukannya serta
mempengaruhi pengambilan keputusannya. Individu yang
memiliki self-efficacy tinggi akan mampu mengelola gejala,
pengobatan, perubahan fisik, psikososial, dan gaya hidup,
sehingga dapat beradaptasi terhadap kondisinya (Lee et
al.,2010). Sebaliknya, individu yang memiliki self-efficacy
rendah, cenderung mengalami frustasi dan putus asa pada
keadaannya (Hergenhahn dan Olson, 1997). Lebih lanjut
Bandura (1997) mengatakan seseorang cenderung akan
menjalankan sesuatu apabila ia merasa kompeten dan percaya
diri dan akan menghindarinya jika ia merasa kurang kompeten.
Hal ini karena self-eficacy yang dimiliki seseorang akan
mempengaruhi pengambilan keputusan dan tindakan yang
dilakukan.

Berdasarkan data Dinas Kesehatan Kabupaten Cianjur


bahwa estimasi kasus penderita katarak di Kabupaten Cianjur
pada tahun 2015 adalah 262.594 kasus, sementara cakupan
jumlah orang diskrining katarak hanya 2.201 (1%), jumlah
orang diskrining dan menderita katarak sebanyak 817 (37%)
kasus dan jumlah kasus katarak yang dilakukan operasi hanya
273 (34% dari target Provinsi 80%). Data diatas menunjukan
bahwa cakupan operasi katarak masih rendah dikarenakan
jumlah orang yang diskrining katarak juga masih rendah.

Penelitian ini bertujuan untuk melihat gambaran self-


efficacy lansia dalam pemanfaataan program skrining katarak di
Puskesmas. Hasil penelitian diharapkan dapat menjadi dasar
bagi Dinas Kesehatan, khususnya Dinas Kesehatan Kabupaten
311
Cianjur maupun Puskesmas dalam menentukan upaya
peningkatan capaian partisipasi skrining katarak oleh lansia.

Metode
Jenis penelitian ini adalah deskriptif kuantitatif.
Responden terdiri dari 100 orang lansia dari Desa
Kademangan, Desa Sukamanah, Desa Bobojong, Desa
Cikidang Bayabang dan Desa Mekarjaya Kabupaten
Purwakarta yang dipilih melalui teknik purposive sampling.
Instrumen self-efficacy dikembangkan sendiri oleh peneliti
dengan merujuk pada guide for constructing self-efficacy
scales Bandura dan telah melalui uji validitas serta reabilitas
dengan nilai reabilitas 0.924. Data dikumpulkan dengan
mendatangi rumah setiap responden, kemudian dianalisis dan
disajikan dalam bentuk distribusi frekuensi.

Hasil dan Pembahasan


Jumlah responden dalam penelitian ini sebanyak 100
lansia. Karakteristik responden dilihat berdasarkan usia, jenis,
kelamin, pendidikan, agama, status pernikahan, tinggal bersama
siapa, penghasilan, informasi tentang katarak dan pengantar ke
faskes jika sakit. Sebagian besar resonden berjenis kelamin
Perempuan sebanyak (75%), hampir setengah dari responden
berusia 60 sd 74 tahun (elderly) (86%), tingkat pendidikan
hampir seluruhnya dari responden adalah SD (84%), seluruh
responden beragama Islam (100%), status pernikahan lebih dari
setengah responden menikah (51%) dan sebagian yang lain
312
(48%) berstatus janda/ duda , hampir setengah dari responden
tinggal bersama suami/istri dan anak (34%), hampir setengah
dari responden tidak memiliki penghasilan (39%), hampir
seluruhnya dari responden tidak memperoleh informasi tentang
katarak (83%), dan hampir seluruhnya dari responden ada yang
mengantarkan ke fasilitas kesehatan jika sakit (98%). Rincian
lengkap tentang karakteristik responden dapat dilihat pada tabel
1.

Tabel 1. Distribusi frekuensi karakteristik responden di


wilayah kerja Puskesmas Kademangan Kabupaten
Cianjur tahun 2016 (N = 100).

Variabel Responden
(n=50)
f %
Usia (thn)
60-74 elderly 86 86,0
75-90 old 14 14,0
>90 very old 0 0,0
Jenis Kelamin
laki-laki 25 25,0
perempuan 75 75,0
Pendidikan
Tidak sekolah 8 8,0
SD 84 84,0
SMP 4 8,0
SMA 1 1,0
313
Variabel Responden
(n=50)
f %
PT 3 3,0
Agama
Islam 50 100,0
Status Pernikahan
Belum menikah 1 2,0
Menikah 51 51,0
Janda/Duda 48 48,0

Tinggal bersama
Sendiri 13 13,0
Suami/istri 13 13,0
Suami/istri dan anak 24 24,0
Suami/istri, anak, 26 26,0
menantu dan cucu
Lainnya 24 24,0
Penghasilan
Tidak punya 39 39,0
penghasilan
Dibawah 500 rb 22 22,0
500 rb sd 1 jt 25 25,0
Diatas 1 jt 14 14,0
Pernah mendapat informasi tentang
katarak
Ya 17 17,0
Tidak 83 83,0
314
Variabel Responden
(n=50)
f %
Ada pengantar ke faskes jika sakit
Ya 98 98,0
Tidak 2 2,00

Self efficacy responden dalam memanfaatkan program


skrining katarak di di wilayah kerja Puskesmas Kademangan
ternyata sudah bagus. Hal ini dibuktikan dari hasil penelitian
yang menunjukan bahwa 49% responden memiliki self efficacy
sedang dan 51% responden memiliki self efficacy tinggi. Tidak
seorangpun responden yang memiliki self efficacy rendah.
Self-efficacy didefinisikan sebagai keyakinan individu atas
kemampuan menghasilkan kinerja yang mempunyai pengaruh
atas peristiwa yang mempengaruhi kehidupannya (Bandura, A,
1994). Sedangkan menurut (Snyder & Lopez, 2007) self-
efficacy adalah apa yang individu percaya ia bisa mencapai
menggunakan keterampilannya dalam keadaan tertentu
Pengertian lain Self-efficacy merupakan keyakinan seseorang
dapat melakukan kegiatan yang ditugaskan untuk mencapai
hasil tertentu (Glanz. 2002). Berdasarkan pendapat diatas dapat
disimpulkan bahwa self efficacy adalah keyakinan individu
untuk untuk menghadapi segala tantangan dan mampu
memprediksi seberapa besar usaha yang dibutuhkan untuk
mencapai suatu tujuan berdasarkan keterampilan atau
kemampuan yang dimiliki. Self-efficacy responden yang sudah
315
tergolong bagus pada penelitian ini menunjukan bahwa
perilaku akan mudah muncul jika responden memahami tujuan
dari sebuah perilaku. Responden yakin mereka akan mampu
datang ke Puskesmas untuk melakukan skrining asalkan
mereka mengetahui bahwa mereka perlu melakukan skrining.
Hal ini dapat dicapai dengan memberikan pendidikan kesehatan
kepada responden, yang dalam hal ini adalah lansia tentang
pentingnya skrining katarak secara teratur.
Menurut Bandura (1997) tinggi rendahnya self-efficacy
seseorang dalam tiap tugas sangat bervariasi. Hal ini
disebabkan adanya beberapa faktor yang berpengaruh dalam
mempersepsikan kemampuan diri individu. Menurut Bandura
(1997) ada beberapa yg mempengaruhi self-efficacy, antara lain
jenis kelamin, usia, tingkat pendidikan, pengalaman, budaya,
serta sifat tugas yang dihadapi. Pada dasarnya setiap individu
memiliki self efficacy dalam dirinya masing - masing. Hal yang
membedakan adalah seberapa besar tingkat self efficacy
tersebut dalam diri individu tersebut, apakah termasuk dalam
golong tinggi atau rendah. Bandura memberikan ciri-ciri pola
tingkah laku individu yang memiliki self efficacy tinggi dan self
efficacy rendah. (Septianingsih, 2009).
Tingginya self-efficacy responden namun belum muncul
sebagai sebuah perilaku pemanfaatan skrining juga dapat
diartikan bahwa responden memiliki karakter pendidikan dan
budaya yang cenderung menerima dan melakukan sebuah
tindakan jika ada faktor eksternal yang mendorong dan
mendukung timbulnya perilaku. Bandura memaparkan bahwa
self-efficacy yang tinggi menunjukan bahwa seseorang aktif
316
memilih kesempatan yang terbaik dan mampu mengolah situasi
serta menetralkan halangan. Oleh sebab itu, diperlukan
sosialisasi yang lebih besar dari pihak pemberi pelayanan
skrining katarak supaya lansia terpapar dan merasa perlu
memeriksakan dirinya ke Puskesmas.

Simpulan
Hasil penelitian menunjukan bahwa lebih dari setengah
responden (51%) sudah memiliki self-efficacy tinggi dalam
pemanfaatan program katarak, dan sebagian besar responden
(49%) memiliki self-efficacy sedang. Hanya sebagian kecil
responden (17%) yang sudah pernah mendapatkan informasi
tentang katarak.

Implikasi Keperawatan
Tingkat self-efficacy lansia yang sedang dan tinggi
dalam pemanfaatan program skrining katarak menunjukan
bahwa lansia akan datang ke Puskesmas untuk memeriksakan
dirinya jika mereka mengetahui tujuan kenapa mereka perlu
melakukan pemeriksaan tersebut. Diperlukan sosialisasi secara
langsung oleh petugas Puskesmas tentang pentingnya skrining
katarak bagi lansia agar kunjungan lansia ke Puskesmas dapat
ditingkatkan, sehingga komplikasi katarak dapat dicegah lebih
lanjut.
Daftar Pustaka

Aldersa, A. (2011). Feature Articles: Theory, Research,


Policy, and Practice Perceived Self-Efficacy and Its
317
Role in Education-Related Cognitive Performance in
Latino American Elderly. Journal of Latinos and
Education 299-319DOI: 10,1080 /
15348431.2011.605680.

Bandura, A. (1994). Self-efficacy. In V. S. Ramachaudran


(Ed.), Encyclopedia of human behavior (Vol. 4, pp. 71-
81). New York: Academic Press. (Reprinted in Bandura.
1997. A : Self-efficacy: the exercise of control. New
York: Freeman.

Chung, J., Singh, R., (2010). Desease management


:Preventive Measures and Screening for Ophthalmic
Problems. Retrieved from
http://www.clevelandclinicmeded.com/medicalpubs/dise
asemanagement/wome ns-health/preventive-measures-
screening-for-ophthalmic-problems/.

Craig. (2015). Nurses' role in early detection of cataracts.


Nursing Time.

Croix, Noelle La. (2010). Cataract Referral. Retrieved from


http://www.vmcli.com/veterinary-articles-cataract-referral.html.

Departement of health. (2016). Disease screening -


statistics teaching tools. Retrieved from
https://www.health.ny.gov/diseases/chronic/discreen.ht
m (04/27/16).

Glanz, K., Rimer.,B, Lewis., F. (2002). Health behaviour


and health education : Theori, research and practice.
San Francisco. Josseybass.
318
Groessel. (2013). Measuring the Impact of Cataract
Surgery on Generic and Vision-Specific Quality of
Life. HHS Public Access. doi: 10.1007/s11136-012-
0270-z

Jones, J. (2004). Effect of a health promotion program on


self-efficacy, health behaviors and blood pressure
within an adult hypertensive population.

Kemenkes RI (2013) Gambara Kesehatan Usia Lanjut di


Indonesia.
Kemenkes RI. (2010). Kepmenkes No
879/Menkes/SK/XI/2006 tentang Renstranas
Penanggulangan Gangguan Pendengaran dan Ketulian
(PGPKT) untuk mencapai Sound Hearing 2030.

Kemenkes RI. (2014). Situasi dan analisis lanjut usia.


Jakarta. Pusat data dan informasi.

Kemenkes RI. (2014). Situasi gangguan penglihatan dan


kebutaan. Retrieved from www.depkes.go.id.

Kementrian Kesehatan RI (2006). Kepmenkes RI No.


428/MENKES/SK/VI/2006 tentang Pedoman manajemen
kesehatan indera penglihatan dan pendengaran.

Mallick, D. (2010) Perceived Health Status, Perceived Self -


Efficacy,and Health Promoting Behaviors of
Bangladeshi Postpartum Women Prince of Songkla
University.

319
Maltry, A, and Kitzmann S., (2012). Morgagnian Cataract. Retrieved from
http://webeye.ophth.uiowa.edu/eyeforum/cases/146-Morgagnian-
Cataract.htm.

Maville, J. & Huerta,C. (2008). Health Promoting in


Nursing. United States of America. Thomson.

McElroy, K. (2002). Factors associated with high self-efficacy


among california’s public child welfare workers

Nguyen, B. H., Stewart, S. L., Nguyen, T. T., Bui-Tong, N.,


& McPhee, S. J. (2015). Effectiveness of lay health
worker outreach in reducing disparities in colorectal
cancer screening in vietnamese americans. American
Journal of Public Health, 105(10), 2083-2089.
Retrieved from
http://search.proquest.com/docview/1713658131?accounti
d=48290.

Nies, M., McEwen, M. (2011). Community/Public health


nursing : promoting the health of population. USA :
Elsevier Saunders.

Public Health England. 2016. Continuing Professional


Development for Screening. Retrieved from
http://cpd.screening.nhs.uk/induction-
resource/screening.

Sanders, J., Andrea. (2016). Measuring Self Efficacy for


Mammography Screening in Older African American
Women. Academic journal article ABNF Journal.
Retrieved from

320
https://www.questia.com/library/journal/1P3-
1823226381/measuring-self-efficacy-for-
mammography-screening.

321
Pengaruh Sukrosa Terhadap Intensitas Nyeri Pada Bayi
yang Mendapat Imunisasi

Siti Zulva1 , Wiwi Mardiyah, SKp., M. Kes2


1
Mahasiswa Magister Keperawatan Anak Universitas Padjadjaran
2
Dosen Program Studi Pasca Sarjana Universitas Padjadjaran

Pendahuluan

Anak adalah generasi penerus bangsa yang harus


dipersiapkan secara lahir maupun batin. Persiapan secara lahir
berbentuk pola asuh yang baik dan secara batin berbentuk
kesehatan secara fisik. Salah satunya adalah imunisasi.
Pengertian imunisasi adalah upaya yang dilakukan dengan
sengaja memberikan kekebalan ( imunitas) pada bayi atau anak
sehingga terhindar dari penyakit (DepKes, 2000).

Saat dilakukan imunisasi pada bayi akan dilakukan


beberapa tindakan dapat berupa invasif maupun non invasif.
Tindakan non invasif adalah pemberian imunisasi polio karena
dilakukan secara oral. Tindakan invasif adalah penyuntikan
BCG, Campak, DPT dan Hepatitis. Pada tindakan yang sifatnya
infasif mengakibatkan rusaknya jaringan dan mengakibatkan
pelepasan local dari prostaglandin,serotonin bradikinin.
Substansi ini menstimulasi respon dari nociceptor perifer
terhadap stimulasi nyeri.

322
Peran perawat anak menghadapi hal tersebut dengan
memberikan intervensi yang sifatnya atraumatic care. Definisi
atraumatic care adalah pemberian therapy dengan tujuan untuk
meminimalkan distress secara fisik maupun psycology saat
intervensi dilakukan (Hockenberry , Wilson 2007). Beberapa
bentuk intervensi non farmakologi untuk atraumatic care
diantaranya adalah sukrosa, glukosa, skin to skin contact,
facifier, metode kangguru, imagery guided (Effa dan Munar,
2006).

Beberapa penelitian yang peneliti sering dapati adalah


sukrosa. Sukrosa adalah jenis sakarida. Gabungan dari fruktosa
dan glukosa. Proses kerja sukrosa absorpsinya langsung
menyerap melalui pembuluh vena di bawah lidah dan mengalir
ke arah pembuluh darah ke susunan saraf pusat dan menembus
sawar otak karena sukrosa ini sifatnya mampu menyerap lipid
adapun susunan anatomi di otak terbanyak terdiri dari lipid
serta menstimulus hypothalamus bagian anterior untuk
mengeluarkan hormone endogenous non opioid yang terdapat
pada pituitary sehingga stimulus nyeri pada saat imunisasi
untuk prosedur invasif langsung di blok dan menimbulkan
reaksi berkurangnya nyeri yang dirasakan oleh bayi. Ada
kecendrungan pH dari sukrosa ini sifatnya basa karena mampu
berinteraksi dengan system syaraf pusat di otak. Bayi kurang
mampu melakukan pertahanan diri terhadap stimulus nyeri
karena keadaan tubuhnya yang immatury dan kondisi syarafnya
(Taddio, 2008). Namun bayi dapat terus mengingat dan

323
meningkatkan respon untuk setiap prosedur yang menyakitkan
pada kehidupannya ( Tansky dan Lindberg, 2010).

Tujuan penulisan ini adalah untuk mengidentifikasi


efektifitas penggunaan sukrosa pada bayi yang akan dilakukan
imunisasi

Metode

Studi ini merupakan tinjauan literature review untuk


mengidentifikasi keefektifan sukrosa. Kriteria penelitian yang
diambil dalam tinjauan literature review adalah systematic
review dengan rancangan quasi eksperiment, design
randomized double blind,dan randomized placebo controlled
trial.

Review Penelitian

Penelitian oleh Wiley & Blackwel (2014) melibatkan


infants usia – 12 bulan yang akan dilakukan imunisasi dan
penusukan lutut dengan implikasi pemberian sukrosa dengan
konsentrasi 24 % dengan cara 2 menit sebelum tindakan invasif
diberikan sukrosa 24 % diperoleh hasil kelompok yang
diberikan sukrosa 24 % terbukti effektif mengalami
pengurangan nyeri dibandingkan dengan kelompok control.

Penelitian Taddio, Marry, Robert, et al (2010)


melakukan penelitian pada 1452 infants dan anak diperoleh
hasi jika sukrosa dapat mengurangi nyeri akut saat prosedur
invasif dengan berbagai alasan pemberian sweet solution ini
324
diberikan pada infant yang tidak menyusui atau bisa
dikombinasikan dengan pemberian analgetik.

Penelitian Lewindon et al (1998) Australia dengan


design randomized double blind dengan karakter intervensi
pada infants menerima 75% dan air mineral yang diberikan
pada mulutnya dan digunakan pengukuran skala nyeri dengan
menggunakan oucher scale diperoleh hasil nilai mean rata-rata
durasi dari tangisan pertama mengalami pengurangan dari 42
menjadi 29 menit (p<0.0003), nilai mean rata-rata berkurang
dari 59 menjadi 36 menit (p<0.000008) pada 3 menit
pertama.Rata-rata durasi menangis dari awal hingga akhir
mengalami pengurangan dari 69 ke 43 menit ( p<0.00002).

Ramenghi, et al (2002) United Kingdom dengan


menggunakan Randomized placebo controlled trial dengan
pemberian sukcrosa 50% dan menggunakan durasi menangis
sebagai pengukuran skala nyeri diperoleh hasil waktu menangis
berkurang untuk pemberian sucrose 50%. The Mann – Whitney
U diperoleh hasil lamanya menangis menjadi berkurang
dibandingkan dengan placebo (p = 0.0303, 95% CI =-50.0 ke -
6,7%)

Reis et al (2003) USA dengan menggunakan metode


randomized control pada infants yang diberikan sukrosa 25%
yang telah dimasukkan ke dalam botol. Infants diberikan botol
untuk disedot kemudian dilakukan tindakan injeksi dan
dilakukan pengukuran nyeri dengan menggunakan durasi
menangis. Diperoleh hasil grup intervensi tampak memiliki
325
nilai yang significant di bandingkan kelompok control dengan
nilai CI -11 hingga 42 menit.

Hatfield et al (2008) USA dengan metode prospective


randomized, dengan cara 2 menit sebelum tindakan imunisasi
sejumlah 38 bayi menerima sukrosa 24% dan 45 bayi
menerima air steril dengan menggunakan skala pengukuran
nyeri keluaran Rumah Sakit Anak Wisconsin. Dari eksperimen
diperoleh hasil perbedaan rata-rata score nyeri memiliki nilai
kepercayaan 95% adalah -0.02. Pada menit kedua nilai mean
rata-rata -1.83 (P=.926). Pada menit kelima -1.34 (P<.0001).
Pada grup intervensi menerima sucrose memiliki mean
terhadap respon nyeri sangat menurun (P<.001) berbeda dengan
grup control.

Dari kesemuanya bila dilakukan kritisi kadar sucrose


bervariasi ada 24%, 25%, 50 % dan 75% namun dari
kesemuanya bisa disimpukan jika sucrose merupakan mediator
analgetik yang efektif sebagai intervensi atraumatik care pada
bayi yang akan dilakukan imunisasi maupun tindakan invasif
lainnya seperti penusukan lutut ataupun pemasangan infus.

Pengukuran nyeri yang digunakan pada masing-masing


penelitian menggunakan skala nyeri yang berpatokan pada
lamanya durasi menangis tidak berpatokan pada skala yang
dikhususkan pada bayi maupun anak. Skala nyeri penting sekali
digunakan untuk mengukur tingkat keberhasilan intervensi
yang diberikan.

326
Untuk pengukuran skala nyeri pada bayi dan anak yang
diambil dari jurnal yang berjudul ― The Measurement of Pain In
Infants, Children and Adolescent : From Policy to Practice”.
Terdapat beberapa skala yang bisa diambil sebagai rujukan,
diantaranya :

1. Neonatal Infant Pain Scale (NIPS) untuk grup


preterm dan full-term infants dengan type nyeri akut
dimensi yang diukur skala nyeri dengan nilai
reliability, validity cukup adekuat. Dimensi yang
diukur meliputi 5 indikator perilaku diantaranya
ekspresi wajah, ekspresi muka, pola pernafasan,
pergerakan lengan dan kaki, status
arousal.Digunakan pengukuran pada preterm hingga
1 tahun. Skor di bawah tiga nyeri dan skor maksimal
adalah tujuh. Dalam jurnal penelitian ― Validity and
Reability of Neonatal Infant Pain Scale in Neonatal
Intensive Care Unit in Iran (2010) nilai Interclass
correlation coefficient (ICC) sangat sempurna
(ICC>0.9). Nilai minimum correlation diantara
inter-rater 0.868. Nilai validitas memiliki hubungan
yang tinggi antara NIPS dan visual analog scale
(r=0.949 ; p<0.001).

2. PIPP (The premature Infant Pain Profile) digunakan


untuk mengukur skala nyeri pada bayi premature
dengan melihat usia gestasi, fisiologi dan ekspresi
wajah

327
3. Neonatal Facial Coding System (NFCS) dan Child
Facial Coding System (CFCS) adalah pengukuran
skala perilaku. NFCS merekam sembilam
pergerakan wajah meliputi brow bulge, pergerakan
mata, nasolabial , mulut, dagu ) dan NFCS meliputi
13 pergerakan wajah.

4. Pada skala CHEOPS menggunakan 6 pengukuran


pada menangis, verbal, menyentuh luka, dan
pergerakan tangan, kaki, torso Digunakan pada usia
1-7 tahun. Pengukuran dilakukan dengan melakukan
observasi. Skor di bawah 4 mengidentifikasikaan
nyeri skor maksimal 14( Dilek, Izzet, Yildiz. Et al,
2016).

5. Pada skala FLACC (Face, Legs, Activity, Cry dan


Consolability) diterapkan pada infant atau usia 2-7
tahun.

6. Visual Analogue Scale digunakan pada usia anak 5


tahun hingga dewasa.

7. Faces Pain Scale digunakan pada usia 3 tahun


hingga dewasa

8. Coloured Analogue Scale adalah skala yang


dianggap cukup representative untuk anak usia 5-7
tahun.

328
Kemampuan anak untuk menjelaskan nyerinya
akan meningkat seiring bertambahnya usia. Anak usia 2
tahun dapat menerangkan pada kita tentang rasa nyeri
yang dialaminya. Pada anak usia 3 tahunan mereka
hanya dapat menyebutkan tiga kategori tentang nyeri
yaitu tidak nyeri, sedikit nyeri dan sangat nyeri. Usia
anak 4 tahun dapat menjelaskan 4 kategori atau 5
kategori tentang nyeri. Usia 5 tahun anak dapat
menjelaskan dampak nyeri yang dirasakannya terhadap
tubuhnya adapun usia 8 tahun anak mampu menjelaskan
beberapa rentang nyeri yang dirasakannya. Pada bayi,
anak dan remaja yang mengalami sakit berat sangat
tidak memungkinkan untuk mengukur skala nyeri
melalui wawancara karena terjadinya gangguan pada
fungsi kognitif bilapun akan dilakukan pengukuran
dengan observasi dari wajah, pergerakan tubuh,
menangis, postur tubuh dan aktivitas sehari-hari.

Simpulan

Dari semua skala yang dipaparkan semuanya


dapat di gunakan untuk pengukuran nyeri namun harus
disesuaikan dengan masing-masing usia bayi, anak dan
remaja karena memiliki nilai rentang skore yang
berbeda-beda disesuaikan dengan jumlah skala nyeri
yang diukur. Adapun kadar sukrosa yang digunakan
nilai kadarnya berbeda-beda namun diambil dari jumlah
kadar yang digunakan yang terbanyak adalah kadar
sukrosa dengan persentase 24% yang miliki efek non
329
opiod dapat berperan sebagai intervensi atraumatic care
untuk meminimalkan nyeri pada bayi yang dilakukan
tindakan infasif.

Daftar Pustaka

Aznam (2011). Kimia farmasi. https://staff.uny.ac.id Diunduh 1


Agustus 2016
Dilek, Dilli., (2016). Tindakan-tindakan untuk mengurangi
nyeri selama vaksinasi paada anak.
https://globalmedzone.wordpress.com/mecine
Hatfield, L., Gusic, M., Dyer, A. and Polomano, R. (2008b).
Analgesic properties of oral sucrose during routine
immunizations at 2 and 4 months of age. Pediatrics.
121(2). e 327 - e334
Hatfield, L. (2008a). Sucrose decrease infant biobehavioral
pain response to immunizations: A randomized
controlled trial. Journal of Nursing Scholarship, 40(3).
219-225
Sarhangi, Forough., Mollahad, Mohse. (2010) Validity and
reability of Neonatal Infant Pain Scale in Neonatal
Intensive care Unit in Iran. www.pjms.com.pk Diakses
tgl 1 Agustus 2016
Suartini, Yupi.(2004). Buku Ajar Konsep Dasar Keperawatan
Anak.EGC: Jakarta
O‘ Rourke D (2004). The Measurement of Pain in Infants,
Children, and Adolescents : from Policy to Practice

330
Zuiliesikawati (2013). Nasib Obat Dalam Tubuh.
https://zuiliesikawati.staff.ugm.ac.id.

331
Literature Review: Efektivitas Developmental Care terhadap
Fungsi Fisiologis
Bayi Berat Lahir Rendah di Neonatal Intensive Care Unit

Sri Hendrawati, Ikeu Nurhidayah, Fanny Adistie, Nenden Nur


Asriyani Maryam
Departemen Keperawatan Anak, Fakultas Keperawatan, Universitas Padjadjaran
Jalan Raya Bandung - Sumedang KM 21 Jatinangor, Sumedang 45363
E-mail korespondensi: sri.hendrawati2016@unpad.ac.id

Abstrak

Bayi berat lahir rendah (BBLR) merupakan faktor risiko utama


meningkatnya morbiditas dan mortalitas. BBLR yang
mendapatkan perawatan di neonatal intensive care unit (NICU)
akan terpapar lingkungan yang bervariasi dan stimulus
berlebihan dengan berbagai prosedur yang dilakukan sehingga
menyebabkan stres pada bayi. Sementara itu, BBLR
membutuhkan stimulus adekuat dari lingkungan untuk tumbuh
dan berkembang. Strategi pengelolaan yang dapat dilakukan
untuk menurunkan stres akibat stimulus berlebihan ini adalah
dengan developmental care, diantaranya menutup inkubator
dan mengurangi pencahayaan, menutup telinga, minimal
handling, nesting, dan positioning. Stimulus lingkungan yang
adekuat menyebabkan terjadinya optimalisasi fungsi fisiologis
sehingga menurunkan stres. Maka dari itu, literature review ini
bertujuan untuk mengidentifikasi efektivitas developmental
care terhadap fungsi fisiologis BBLR di NICU.
Metode: Artikel dikumpulkan melalui Medline, CINAHL,
PubMed, dan Proquest electronic database menggunakan kata
kunci bayi berat lahir rendah, developmental care, fungsi
fisiologis, dan neonatal intensive care unit. Terdiri dari
penelitian kuantitatif; full text; dan dipublikasikan dalam
332
bahasa Inggris tahun 2006 sampai 2016. Sehingga didapatkan
18 artikel, dan hanya terdapat 10 artikel yang secara spesifik
berkaitan dengan developmental care pada BBLR di NICU.
Implementasi developmental care pada bayi di NICU efektif
dalam mengoptimalkan fungsi fisiologis bayi, diantaranya
menurunkan denyut nadi dan frekuensi nafas sehingga
membuat bayi lebih rileks. Developmental care juga dapat
meningkatkan saturasi oksigen, menurunkan nyeri, mengurangi
refluks gastroesofageal sehingga mengurangi risiko asfiksia,
meningkatkan waktu tidur tenang, dan meningkatkan maturitas
neuromuskular. Developmental care memfasilitasi bayi lebih
rileks, ditandai dengan keteraturan fungsi fisiologis dan
pencapaian perilaku tidur tenang. Keteraturan fungsi fisiologis
dan pencapaian tidur tenang dibutuhkan bayi untuk tumbuh dan
berkembang karena pada fase ini terjadi konservasi energi dan
sekresi hormon pertumbuhan dan imunitas tubuh. Sehingga
developmental care perlu diimplementasikan dalam merawat
BBLR di NICU.

Kata kunci: bayi berat lahir rendah, developmental care, fungsi


fisiologis, neonatal intensive care unit

Pendahuluan
Bayi Berat Lahir Rendah (BBLR) merupakan masalah
serius yang terjadi pada neonatus sebagai salah satu faktor
risiko utama terhadap meningkatnya angka morbiditas dan
mortalitas pada bayi (Valero de Barnade et al., 2004).
Penyebab utama kematian BBLR adalah prematuritas, infeksi,
asfiksia, hipotermia, dan pemberian ASI yang kurang adekuat
(Kemenkes, 2010). Data WHO menunjukkan bahwa prevalensi
BBLR terjadi sebanyak 17% dari 25 juta persalinan per tahun
333
di dunia dan hampir semua terjadi di negara berkembang
(WHO, 2012). Sedangkan menurut Riskesdas Tahun 2013, di
Indonesia terdapat sekitar 10,2% bayi lahir dengan berat badan
kurang dari 2500 gram.
Bayi berat lahir rendah memiliki berat lahir kurang dari
2500 gram tanpa memerhatikan usia kehamilannya. BBLR ini
dapat sesuai dengan masa kehamilan ataupun kecil masa
kehamilan. BBLR juga dapat terjadi pada kehamilan cukup
bulan ataupun kehamilan kurang dari 37 minggu (Lissauer &
Fanaroff, 2009). BBLR ini seringkali mengalami berbagai
masalah pada periode segera setelah bayi lahir sebagai akibat
dari karekteristik organ tubuhnya yang belum matur,
diantaranya surfaktan yang kurang dan sedikitnya alveoli dapat
menyebabkan bayi mengalami kesulitan bernafas; otot polos
pembuluh darah yang kurang dan rendahnya kadar oksigen
dapat menyebabkan terjadinya trauma pada susunan saraf pusat
bayi dan keterlambatan penutupan duktus arteriosus; dan
ketidakmampuan meregulasi stimulus dapat meyebabkan bayi
mengalami stres. Keadaan ini akan menjadi lebih buruk pada
bayi dengan berat lahir semakin rendah sehingga bayi dapat
mengalami gangguan pertumbuhan dan perkembangan (Bobak,
Lowdermilk, & Jensen, 2005; & Kosim et al., 2010).
Bayi baru lahir dengan berat lahir rendah ini seringkali
mengalami perawatan di NICU dengan berbagai alasan masuk,
diantaranya prematuritas, berat lahir rendah, sepsis, kesulitan
bernafas, atau gagal nafas. Perawatan BBLR di NICU
memerlukan waktu yang cukup lama, dari beberapa minggu
hingga beberapa bulan (Mundy, 2010). Bayi akan terpapar
334
lingkungan yang bervariasi dan stimulus berlebihan dengan
berbagai prosedur yang dilakukan sehingga menyebabkan stres
pada bayi. Stres tersebut dapat disebabkan oleh kebisingan dari
inkubator, ventilator, alat monitoring, dan percakapan tenaga
kesehatan di ruangan; pencahayaan di ruang perawatan;
prosedur invasif, seperti pemasangan infus, pengambilan darah,
dan pemasangan peripheral insertion central catheter (PICC);
penggantian popok; membuka dan menutup inkubator; dan
perpisahan dengan orangtua (Lissauer & Fanaroff, 2009).
Indikator stres pada bayi dapat diidentifikasi dari
perilaku yang ditampilkannya sebagai respon terhadap berbagai
stimulus baik internal maupun eksternal, meliputi berbagai
perubahan fungsi fisiologis, perhatian dan kewaspadaan, dan
aktivitas motorik (Hockenberry & Wilson, 2009). Perubahan
fungsi fisiologis tersebut, diantaranya hipoksemia dan apneu,
peningkatan nyeri dan hormon stres (kortisol), peningkatan
denyut nadi, dan penurunan saturasi oksigen. Sedangkan untuk
respon motorik, bayi menunjukkan tremor, tersedak, cegukan,
tangan dan jari terbuka, wajah meringis, tangan di wajah, serta
ekstensi lengan sebagai pertanda bayi mengalami stres (Sehgal
& Stack, 2006). Keadaan ini dapat menyebabkan bayi
mengalami kesulitan untuk istirahat sehingga kesulitan juga
dalam mencapai periode tidur tenang (Westrup et al., 2000; &
Symington & Pinelli, 2006). Sementara itu, BBLR
membutuhkan stimulus yang adekuat dari lingkungan untuk
dapat tumbuh dan berkembang.
Strategi pengelolaan yang dapat dilakukan untuk
menurunkan stres akibat stimulus berlebihan ini adalah dengan
335
developmental care. Developmental care (asuhan
perkembangan) merupakan asuhan keperawatan yang bertujuan
untuk memfasilitasi pencapaian perkembangan bayi melalui
pengelolaan lingkungan dan observasi perilaku individu
sehingga terjadi peningkatan stabilisasi fungsi fisiologis dan
penurunan stres (McGrath et al., 2002; Byer, 2003; Aita &
Snider, 2003; & Rick, 2006). Developmental care ini bertujuan
untuk meminimalkan efek jangka pendek dan jangka panjang
baik fisik, psikologis, dan emosional akibat pengalaman di
rumah sakit. Pengelolaan lingkungan yang tercakup dalam
developmental care, diantaranya menutup inkubator dan
mengurangi pencahayaan, menutup telinga, minimal handling,
nesting atau sarang untuk membatasi pergerakan yang
berlebihan dan memberi bayi tempat yang nyaman, dan
positioning atau pengaturan posisi untuk mempertahankan
normalitas batang tubuh dan mendukung regulasi diri (van der
Pal et al., 2008; Altimier, 2011; & Lucas, 2015). Stimulus
lingkungan yang adekuat menyebabkan terjadinya optimalisasi
fungsi fisiologis sehingga menurunkan stres dan bayi pun dapat
tumbuh dan berkembang dengan baik.
Namun, berdasarkan berbagai hasil penelitian tentang
pengalaman perawat dalam mengimplementasikan
developmental care dalam praktik keperawatan menunjukkan
bahwa masih banyak perawat yang tidak menerapkan
pengetahuan yang diperolehnya terkait developmental care
dalam memberikan asuhan keperawatan pada neonatus (Brown
& Mainous, 2009). Selain itu, penelitian yang dilakukan oleh
Ho-Mei dan Chen (2006) tentang penerapan perawat terkait
336
newborn individualized developmental care and assessment
programme (NIDCAP) di NICU menunjukkan bahwa adanya
ketidakpahaman (misconseption) bahwa developmental care
tidak dapat dilakukan pada bayi dengan kondisi kritis. Hal ini
dapat disebabkan oleh kurangnya pengetahuan perawat
mengenai aplikasi developmental care (Ho-Mei & Chen, 2006).
Maka dari itu, dengan mengetahui dan memahami berbagai
hasil evidence based practice tentang efektivitas developmental
care terhadap bayi berat lahir rendah di NICU, diharapkan
perawat dapat mengaplikasikan developmental care terhadap
bayi sakit kritis dengan berat lahir rendah di NICU.
Berdasarkan pemaparan di atas, maka tujuan dari
literature review ini yaitu untuk mengidentifikasi efektivitas
developmental care terhadap fungsi fisiologis bayi berat lahir
rendah di neonatal intensive care unit. Semua artikel yang
terkumpul dianalisis dengan pertanyaan utama, yaitu
bagaimana efektivitas developmental care terhadap fungsi
fisiologis bayi berat lahir rendah di neonatal intensive care
unit?.

Metode
Metode yang digunakan adalah dengan mengumpulkan
dan menganalisis artikel-artikel penelitian terkait. Literature
review dilakukan terhadap penelitian kuantitatif yang bertujuan
untuk mengidentifikasi efektivitas developmental care terhadap
fungsi fisiologis bayi berat lahir rendah di neonatal intensive
care unit. Artikel-artikel ini didapatkan melalui pencarian
dengan menggunakan electronic database Medline, CINAHL
337
dari EBSCOhost, PubMed, dan Proquest dengan menggunakan
kata kunci bayi berat lahir rendah, developmental care, fungsi
fisiologis, dan neonatal intensive care unit.
Artikel yang di review adalah seluruh artikel dari tahun
2006-2016 yang membahas mengenai developmental care, full
text, menggunakan bahasa Inggris, spesifik pada developmental
care pada bayi berat lahir rendah di Neonatal Intensive Care
Unit, dan spesifik pada pertanyaan utama yang menjadi fokus
review. Berdasarkan hasil pencarian, didapatkan 18 artikel
terkait developmental care secara umum. Dari 18 artikel
tersebut, hanya terdapat 10 artikel yang secara spesifik
berkaitan dengan developmental care pada bayi berat lahir
rendah di Neonatal Intensive Care Unit.

Hasil dan Pembahasan


Berbagai upaya telah dikembangkan untuk
meminimalkan dampak negatif akibat perawatan bayi di rumah
sakit, salah satunya adalah dengan developmental care.
Developmental care merupakan asuhan perawatan yang
dilakukan pada bayi untuk meningkatkan pertumbuhan dan
perkembangan bayi yang dirawat di rumah sakit (Aita &
Snider, 2003). Developmental care dapat meliputi menutup
inkubator dan mengurangi pencahayaan, menutup telinga,
minimal handling, nesting atau sarang untuk membatasi
pergerakan yang berlebihan dan memberi bayi tempat yang
nyaman, dan positioning atau pengaturan posisi untuk
mempertahankan normalitas batang tubuh dan mendukung

338
regulasi diri (van der Pal et al., 2008; Altimier, 2011; & Lucas,
2015).
Developmental care ini memiliki berbagai dampak
positif, diantaranya menurunkan angka kejadian penyakit,
menurunkan lama rawat, menurunkan biaya perawatan,
mempercepat kenaikan berat badan bayi prematur, dan
mempercepat kepulangan bayi ke rumah (Ludwig, Steichen,
Khuory, & Krieg, 2008; Hamilton, Moore, & Naylor, 2008; &
Gibbins et al., 2008). Developmental care juga memiliki
dampak positif bagi orangtua diantaranya orangtua akan merasa
lebih puas dengan perawatan yang diberikan berdasarkan
newborn individualized developmental care and assessment
program (NIDCAP) daripada perawatan tradisional (Wielenga,
Smit, & Unk, 2006). Selain itu, kecemasan dan stres orangtua
terkait perawatan bayinya di NICU juga menurun karena
orangtua lebih merasa dekat dan dilibatkan dalam perawatan
bayinya (van der Pal et al., 2008; & Bredemeyer, Reid,
Polverino, & Wocadlo, 2008).
Intervensi dasar developmental care yang dapat
diaplikasikan di NICU, diantaranya menurut Symington dan
Pinelli (2006), van der Pal et al. (2008), Best Practice (2010),
Altimier (2011), Spilker (2015), dan Lucas (2015), terdiri dari:
1. Meminimalkan pencahayaan
Penerangan yang konstan dapat mengganggu irama tubuh
dan penerangan yang tajam memungkinkan bayi tidak akan
membuka mata. Pola aktivitas dan istirahat terlambat pada
bayi yang terpapar penerangan redup terus menerus.
Penerangan yang dianjurkan di NICU yang aman bagi bayi
339
berkisar antara 1-60 footcandles (ftc). Pencahayaan yang
terang di NICU memberikan stimulus yang berlebihan dan
menyebabkan fungsi fisiologis tidak stabil. Ketidakstabilan
fungsi fisiologis dapat ditunjukkan dari perubahan denyut
nadi, saturasi oksigen, tekanan darah, dan pergerakan
tubuh. Tindakan yang dapat dilakukan untuk mengurangi
pencahayaan, diantaranya dengan melakukan siklus
penerangan dimana bayi diberikan stimulus siang hari
(terang) dan malam hari (gelap), menutup inkubator
dengan kain, mencegah pencahayaan langsung kepada
bayi, dan mencatat respon bayi terhadap cahaya yang
berlebihan. Perawat juga harus memerhatikan pencahayaan
dari sumber lain seperti lampu prosedur, lampu
penghangat, dan lampu fototerapi dari bayi lain (Bowden
et al., 2000).
2. Meminimalkan suara
Kebisingan suara di NICU berkisar antara 52,8-80,4
desibel dan kebisingan dalam inkubator berkisar antara
45,4-79,1 desibel. Hal ini menunjukkan bahwa rata-rata
kebisingan di atas level yang direkomendasikan American
Academy of Pediatrics Committee (tidak lebih dari 50
desibel). Kebisingan di lingkungan NICU dapat
membahayakan bagi bayi. Kebisingan dapat menyebabkan
kerusakan struktur auditori dan menyebabkan gangguan
fungsi fisiologis dan pola perilaku bayi, yang ditandai
dengan apnea, hipoksia, bradikardia, fatigue, perilaku tidur
terjaga yang irreguler, dan peningkatan tekanan darah
(Hockenberry & Wilson, 2009). Kebisingan ini dapat
340
bersumber dari alat monitoring, alarm, dan aktivitas umum
lainnya (Hockenberry & Wilson, 2009). Dengan demikian,
maka perawat harus dapat mengurangi kebisingan akibat
menutup pintu inkubator, berbicara terlalu keras, dan
memindahkan peralatan. Tindakan yang dapat dilakukan
untuk mengurangi suara atau kebisingan yaitu dengan
memasangkan penutup telinga pada bayi.
3. Minimal handling
Minimal handling atau tidak terlalu sering memanipulasi
bayi bertujuan untuk melindungi dan mempertahankan
stabilitas kondisi bayi. Minimal handling dapat dilakukan
dengan merencanakan dan mengelompokkan prosedur
tindakan keperawatan yang dilakukan terhadap bayi
sehingga manipulasi fisik dapat diminimalkan (Bowden et
al., 2000). Minimal handling dilakukan agar bayi memiliki
waktu istirahat dan tidur tanpa adanya gangguan dari
aktivitas pengobatan, perawatan, dan pemeriksaan lainnya.
Sehingga dapat memfasilitasi bayi untuk tumbuh dan
berkembang karena selama fase tidur terjadi sekresi
hormon pertumbuhan dan imunitas tubuh. Contoh tindakan
minimal handling adalah tindakan reposisi dan jadwal
pemberian obat yang dilakukan dalam waktu yang
bersamaan.
4. Nesting
Nesting atau sarang bertujuan untuk membatasi pergerakan
bayi yang berlebihan, memberikan bayi tempat yang
nyaman, support motor development bagi bayi, dan
stabilitas fungsi fisiologis bayi. Nesting dapat dilakukan
341
dengan menempatkan gulungan kain di bagian bawah sprei
untuk mempertahankan sikap fleksi saat posisi prone atau
miring. Posisi fleksi merupakan posisi terapeutik karena
posisi ini bermanfaat dalam mempertahankan normalitas
batang tubuh dan mendukung regulasi diri karena melalui
posisi ini memungkinkan bayi untuk meningkatkan
aktivitas tangan ke mulut dan tangan menggenggam
(McGrath et al., 2004; & Hockenberry & Wilson, 2009).
5. Positioning
Positioning atau pengaturan posisi untuk mempertahankan
normalitas batang tubuh dan mendukung regulasi diri.
Perubahan posisi yang teratur dengan posisi yang tepat
dapat mempertahankan fungsi neuromuskular dan
osteoarticular serta memberikan kesempatan terhadap
perkembangan dan fungsi motorik bayi prematur. Posisi
yang tepat dan anatomis merupakan komponen penting
dalam asuhan perkembangan.
Prinsip-prinsip dalam pemberian posisi, diantaranya: 1)
posisi hendaknya diubah secara teratur untuk mendukung
pertumbuhan dan perkembangan yang simetris, 2) posisi
prone, miring, atau supine hendaknya memfasilitasi
ekstremitas dalam keadaan fleksi dengan dipertahankan
menggunakan nesting yang dapat dibuat dari gulungan
kain. Beberapa posisi yang dapat dilakukan, diantaraya: 1)
posisi prone, dilakukan dengan menelungkupkan bayi
dimana ektremitas bagian bawah fleksi dan kepala
dimiringkan ke salah satu sisi, 2) posisi supine, dilakukan
dengan memfleksikan ekstremitas bagian bawah, 3) posisi
342
miring, dilakukan dengan memposisikan bayi ke salah satu
sisi dengan memfleksikan tangan dan kaki sehingga berada
di tengah-tengah tubuh.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Young (2010),
menunjukkan bahwa posisi prone dapat meningkatkan
oksigenasi, waktu tidur tenang yang lebih panjang, dan
meningkatkan digesti. Ketika bayi diposisikan secara tepat,
maka fase dystonic menjadi lebih pendek, hal ini
memfasilitasi tangan terhadap pergerakan ke tengah,
membantu kontrol kepala, membantu meningkatkan
keseimbangan dalam fleksi dan ekstensi untuk
meningkatkan postur, menurunkan stres, meningkatkan
pergerakan normal, mencegah pergerakan abnormal, dan
meningkatkan kemampuan motorik pada bayi.
Secara lebih spesifik, setelah dilakukan review dari
berbagai hasil penelitian, penulis mendapatkan 10 jurnal
penelitian yang mengidentifikasi efektivitas developmental
care terhadap fungsi fisiologis bayi berat lahir rendah di
neonatal intensive care unit. Berdasarkan hasil literature
review tersebut, implementasi developmental care pada bayi di
NICU efektif dalam mengoptimalkan fungsi fisiologis bayi
(Mirmiran & Ariagno, 2000; McGrath, 2002; Altimier et al.,
2004; Sehgal & Stack, 2006; Hamilton, Moore, Naylor, 2008;
& Gibbins et al., 2008), diantaranya menurunkan denyut nadi
dan frekuensi nafas sehingga membuat bayi lebih rileks.
Developmental care juga dapat meningkatkan saturasi oksigen,
menurunkan nyeri, mengurangi refluks gastroesofageal

343
sehingga mengurangi risiko asfiksia, meningkatkan waktu tidur
tenang, dan meningkatkan maturitas neuromuskular.
1. Denyut nadi
Symington dan Pinelli (2006) menyebutkan bahwa
indikator stres yang dapat diamati pada BBLR sebagai
akibat stimulus yang berlebihan dari lingkungan perawatan
adalah fungsi fisiologis berupa peningkatan denyut nadi
dan penurunan saturasi oksigen. Menurunnya denyut nadi
pada bayi dapat diidentifikasi dari perilaku yang bayi
tunjukkan (Holsti et al., 2004). Denyut nadi merupakan
gambaran dari setiap denyut jantung yang memompakan
sejumlah darah ke dalam arteri. Frekuensi denyut jantung
berperan dalam mempertahankan curah jantung. Apabila
curah jantung tidak adekuat, maka fungsi persarafan,
pertukaran oksigen, nutrisi, dan metabolisme juga dapat
terganggu. Rentang nilai normal denyut nadi pada bayi
termasuk BBLR berkisar antara 100 sampai dengan 160
kali per menit. Denyut nadi dapat dipengaruhi oleh tekanan
atmosfer, kondisi emosional, kondisi jantung, dan keadaan
demam. Denyut nadi dan saturasi oksigen ini dapat diukur
dengan pulse oxymetri. Best Practice (2010) menunjukkan
bahwa terdapat penurunan rerata denyut nadi yang
bermakna pada fase developmental care. Jadi selama fase
developmental care, didapatkan rerata denyut nadi yang
lebih rendah.
2. Frekuensi nafas
BBLR yang mendapatkan developmental care
menunjukkan penurunan pada periode apnea dan
344
bradikardia, serta cenderung memiliki pola nafas yang
teratur (Best Practice, 2010).
3. Saturasi oksigen
Saturasi oksigen merupakan persentase jumlah hemoglobin
yang teroksigenasi di dalam darah (Hockenberry &
Wilson, 2009). Saturasi oksigen merupakan gambaran
aliran darah dalam tubuh yang sangat penting bagi
optimalnya fungsi jantung dan organ tubuh lainnya karena
oksigen merupakan bahan bakar metabolisme. Sekitar 97%
oksigen ditransportasikan kedalam aliran darah dan
berikatan dengan hemoglobin dalam sel darah merah.
Sedangkan 3% lainnya larut dalam plasma. Kisaran normal
saturasi oksigen berkisar antara 90% sampai 99%. Saturasi
oksigen dipengaruhi oleh kadar hemoglobin dan saturasi.
Bayi yang mendapatkan developmental care mengalami
peningkatan dalam saturasi oksigen.
4. Nyeri
Intervensi developmental care dapat menurunkan respon
nyeri pada bayi prematur atau BBLR terutama pada saat
dilakukan prosedur invasif. Dengan dilakukannya
developmental care, input sensori menjadi lebih tepat dan
minimal sehingga bayi mampu melakukan adaptasi
terhadap rangsangan dan memperlihatkan perilaku yang
teratur dalam berespon terhadap stimulus tersebut.
Menurunnya nyeri pada bayi dapat diidentifikasi dari
menurunnya behavioral cues yang ditunjukkan bayi dan
fungsi fisiologis bayi yang stabil (Holsti et al., 2004).
Sebaliknya, ketika stimulus sensorik sangat banyak
345
umumnya bayi sulit melakukan adaptasi atau
memperlihatkan perilaku stres (Westrup et al., 2000).
Dengan demikian maka developmental care merupakan
strategi yang tepat dalam mengurangi respon nyeri pada
bayi prematur atau BBLR khususnya pada saat dilakukan
prosedur invasif.
5. Refluks gastroesofageal
Posisi miring pada saat tengkurap dan posisi miring kiri
secara signifikan dapat menurunkan angka kejadian dan
keparahan episode reflux pada bayi, durasi, dan jumlah
residu lambung 1 jam setelah makan (Best Practice, 2010).
Sehingga dapat mengurangi risiko asfiksia pada bayi.
6. Waktu tidur tenang
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Sehgal dan
Stack (2006) menyatakan bahwa developmental care dapat
meningkatkan periode tidur tenang pada bayi sehingga
dapat meningkatkan kualitas dan kuantitas tidur pada bayi
(Fiore, 2005). Meningkatnya periode tidur tenang pada
bayi dan kualitas tidur yang cukup ini akan menghemat
energi yang dapat digunakan untuk pertumbuhan bayi.
7. Maturitas neuromuskular
Bayi prematur atau BBLR menunjukkan peningkatan
problem behaviour apabila dibandingkan dengan bayi
aterm (van der Pal et al., 2008). Bayi yang telah
mendapatkan tindakan NIDCAP menunjukkan level tinggi
pada pergerakan motorik pada lengan atau tangan dan
badan; frekuensi yang lebih rendah pada fleksi lateral pada
pergerakan kepala, extension–external rotation–abduction,
346
dan extension–internal rotation–adduction (Bredemeyer,
Reid, Polverino, & Wocadlo, 2008; & Ullenhag, Persson,
& Nyqvist, 2009). Sehingga terdapat peningkatan maturitas
neuromuskular pada bayi. Spilker (2015) juga
menyebutkan bahwa developmental positioning dapat
meningkatkan relaksasi pada bayi.

Simpulan
Developmental care memfasilitasi bayi lebih rileks,
ditandai dengan keteraturan fungsi fisiologis dan pencapaian
perilaku tidur tenang. Keteraturan fungsi fisiologis dan
pencapaian tidur tenang dibutuhkan bayi untuk tumbuh dan
berkembang karena pada fase ini terjadi konservasi energi dan
sekresi hormon pertumbuhan dan imunitas tubuh. Sehingga
developmental care perlu diimplementasikan dalam merawat
BBLR di NICU.

Implikasi Keperawatan
Developmental care merupakan modifikasi lingkungan
bagi bayi, dimana perawat harus mampu membaca dan
merespon perilaku bayi dalam pemenuhan kebutuhannya.
Perawat memiliki peran penting dalam memberikan asuhan
keperawatan pada BBLR yang dirawat di NICU. Kepekaan
terhadap perilaku bayi merupakan dasar pemberian
developmental care. Pengetahuan dan keterampilan yang cukup
dari perawat diperlukan untuk dapat mengaplikasikan
developmental care pada BBLR di NICU dengan harapan
kualitas asuhan keperawatan pada BBLR dapat dioptimalkan.
347
Sehingga hal ini akan meningkatkan pertumbuhan dan
perkembangan BBLR, yang pada akhirnya akan meningkatkan
kualitas hidup bayi.

Daftar Pustaka

Aita, M., & Snider, L. (2003). The art of developmental care in


the NICU: A concept analysis. Journal of Advanced
Nursing, 41(3), 223-232.

Altimier, L. (2011). Mother and child integrative


developmental care model: A simple approach to a
complex population. Newborn & Infant Nursing Review,
11(3), 105-108.

Altimier, L.B., Eichel, M., Warner, B., Tedeschi, L., & Brown,
B. (2004). Developmental care: Changing the NICU
physically and behaviorally to promote patient outcomes
and contain costs. Neonatal Intensive Care, 17(2), 35-39.

Balitbangkes. (2013). Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2013.


Jakarta: Kementerian Kesehatan RI.

Best Practice: evidence-based information sheets for health


professionals. (2010). Positioning of preterm infants for
optimal physiological development. Best Practice,
14(18), 1-4.

Bobak, I.M., Lowdermilk, D.L., & Jensen, M.D. (2005). Buku


ajar keperawatan maternitas (edisi 4). Jakarta: EGC.

348
Bowden, V.R., Greenberg, C.S., & Donaldson, N.E. (2000).
Developmental care of the newborn. Online Journal of
Clinical Innovations, 3(7), 1-77.

Bredemeyer, S., Reid, S., Polverino, J., & Wocadlo, C. (2008).


Developmental care program in a neonatal intensive care
unit. JSPN, 13(4), 281-291.

Brown, T., & Mainous R.O. (2009). Research abstract:


Understanding staff nurses‘ experiences when
implementing neonatal developmental care. Advance in
Neonatal Care, 9(4), 186-187.

Byer, J.F. (2003). Components of developmental care and the


evidence for their use in the NICU. American Journal of
Maternal Child Nursing, 28(3), 174-180.

Fiore, T.D. (2005). Use of sleep studies in the neonatal


intensive care unit. Neonatal Networks, 24(1), 23-30.

Gibbins, S., Hoats, S. B., Coughlin, M., Gibbins, A., & Franck,
L. (2008). The uniberse of developmental care: A new
conceptual model for application in the neonatal intensive
care unit. Advance in Neonatal Care, 8(3), 141-146.

Hamilton; K.E.S., Moore, R., & Naylor, H. (2008).


Developmental care: The carer‘s perspective. Infant, 4(6),
190-195.

Hockenberry, M.J. & Wilson, D. (2009). Wong’s essentials of


pediatric nursing (8th ed.). St. Louis: Mosby Inc.

349
Ho-Mei, C., & Chen, C.H. (2006). Nurses applying Neonatal
Individualized Developmental Care Program a Neonatal
Intensive Care Unit in Taiwan. International Nursing
Research Congress.

Holsti, L., Grunau, R.E., Oberlander, T.F., & Whitfield, M.F.


(2004). Specific newborn individualized developmental
care and assessment program movements are associated
with acute pain in preterm infants in the neonatal
intensive care unit. Pediatrics, 114(1), 65-72.

Kemenkes. (2010). Pelayanan kesehatan neonatal esensial:


Pedoman teknis pelayanan kesehatan dasar. Jakarta:
Kementerian Kesehatan RI.

Kosim, M.S., Yunanto, A., Dewi, R., Sarosa, G.I., & Usman,
A. (2010). Buku ajar neonatologi. Jakarta: Ikatan Dokter
Anak Indonesia.

Lissauer, T., & Fanaroff, A. (2009). At a glance: Neonatologi.


Jakarta: Erlangga.

Lucas, N. (2015). Current practice: Developmental care in the


neonatal unit. Sri Lanka Journal of Child Health, 44(1),
45-52.

Ludwig, S., Steichen, J., Khuory, J., & Krieg, P. (2008).


Quality improvement analysis of developmental care in
infants less than 1500 grams at birth. Newborn & Infant
Reviews, 8(2), 94-100.

350
McGrath, C.M., Lutes, L., Kenner, C., Lott, J.W., & Stodbeck,
F.S. (2002). Commentary: Developmental care:
Accaptable or not?. Newborn & Infant Nursing Reviews,
2(1), 46-48.

Mirmiran, M., & Ariagno, R. (2000). Influence of light in the


NICU on the development of circadian rhythms in
preterm infants. Seminars in Perinatology, 24, 247-257.

Mundy, C. A. (2010). Assessment of family needs in neonatal


intensive care units. Am J Crit Care, 19, 156-163. doi:
10.4037/ajcc2010130.

Rick, S.L. (2006). Developmental care on newborn intensive


care units: Nurses experinces and neurodevelopmental,
behavioral, and parenting outcomes, a critical review of
loterature. Journal of Neonatal Nursing, 12(2), 56-61.

Sehgal, A., & Stack, J. (2006). Developmentally supportive


care and NIDCAP. Indian J Pediatr, 73(11), 1007-1010.

Spilker, A. (2015). The effectiveness of a standardized


positioning tools and bedside education on the
developmental positioning proficiency of NICU nurses.
Doctoral Projects San Jose State University. SJSU
ScholarWorks.

Symington A.J., & Pinelli, J. (2006). Developmental care for


promoting development and preventing morbidity in
preterm infants. Cochrane Database of Systematic
Reviews 2006, CD001814.

351
Ullenhag, A., Persson, K., & Nyqvist, K.H. (2009). Motor
performance in very preterm infants before and after
implementation of the newborn individualized
developmental care and assessment programme in a
neonatal intensive care unit. Acta Pædiatrica, 98, 947–
952.

Valero de Barnade, J., Soriano, T., Albaladejo, R., Juarranz,


M., Calle, M. E., Martinez, D., & Dominguez-Rojas, V.
(2004). Risk factor for low birth weight: A review.
Europian Journal of Obstetrics & Gynecology and
Reproductive Biology, 11(6), 3-15.

van der Pal, S.M., Maguire, C.M., Bruil, J., le Cessie, S., van
Zwieten, P., Veen, S., Wit, J.M., & Walther, F.J. (2008).
Very pre-term infants‘ behaviour at 1 and 2 years of age
and parental stress following basic developmental care.
British Journal of Developmental Psychology, 26, 103–
115.

Westrup, B., Kleberg, A., Eichwald, K.V., Stjernqvist, K., &


Lagercrantz, H. (2000). A randomized, controlled trial to
evaluate the effects of the newborn individualized
developmental care and assessment program in a Swedish
setting. Pediatrics, 105, 66-72.

Wielenga, J.M., Smit, B.J., & Unk, L.K.A. (2006). How


satisfied are parents supported by nurses with the
NIDCAP model of care for their preterm infant?. Nurs
Care Qual, 21(1), 41-48.

352
World Health Organization (WHO). (2012). Preterm birth
[Internet]. Available at:
http://www.who.int/mediacentre/factsheets/fs363/en/.
Retrieved May 15, 2014.

Young, D. (2010). Developmental positioning in the NICU.


American Sentinel, 1-8.

353
Dukungan Teman Sebaya terhadap
Manajemen Diabetes Melitus Tipe 1 pada Remaja:
Literature Review

Suci Nurmala1, Mira Trisyani2


1
Magister Keperawatan Unpad
2
Fakultas Keperawatan Universitas Padjadjaran

Pendahuluan
Diabetes Melitus (DM) adalah sindrom kelainan
metabolic akibat gangguan metabolism karbohidrat, lemak, dan
protein dengan karakteristik defisiensi insulin partial atau total
(Hockenberry & Wilson, 2009; Kyle & Ricci, 2009; Leifer,
2015). Diabetes mellitus dikelompokan dalam beberapa
klasifikasi berdasarkan penyebabnya yaitu DM tipe 1 terjadi
karena kerusakan sel Langerhans oleh autoimun, DM tipe 2
terjadi karena resistensi dan defisiensi insulin, dan DM
sekunder.
Diabetes mellitus tipe 1 (DMT1) merupakan kelainan
metabolic paling banyak diderita oleh anak (Behrman et al.,
2004 & Burg et al., 2002 dalam (Kyle & Ricci, 2009)).
Penderita diabetes memiliki ketergantungan seumur hidup
terhadap insulin sehingga permasalahan yang ditemukan akan
lebih kompleks dibanding diabetes tipe 2 yang sebenarnya
dapat dihindari sejak dini dengan kualitas gaya hidup yang
baik.

354
Secara global jumlah penderita DMT1 terus mengalami
peningkatan (Philips, 2016). Negara Finlandia merupakan
negara dengan insiden diabetes tipe 1 tertinggi di dunia dengan
angka 64 per 100000/tahun, sedangkan terendah berada di
negara China dan Venezuela yaitu 0,1 per 100000/tahun (IDF,
2011). World Health Organization (WHO) (2011)
menyebutkan lebih dari 220 juta orang didiagnosis penyakit
DM, lebih dari 80% diantaranya berada di negara dengan
pendapatan menengah kebawah.
Indonesia sebagai salah satu negara berkembang dengan
jumlah populasi anak mencapai 83 juta jiwa terus mengalami
peningkatan penderita diabetes dari tahun ke tahun tanpa
diketahui jumlahnya secara pasti (Pulungan, 2013). Sumber
yang sama menyebutkan bahwa, Ikatan Dokter Anak Indonesia
mencatat terdapat 825 kasus anak penderita diabetes tipe 1
yang terdaftar dari seluruh Indonesia sejak bulan Februari
2009-Juli 2012. Sebagai perbandingan, Pulungan dan
Herqutanto tahun 2009 menyebutkan jumlah anak yang
bergabung di Ikatan Keluarga Penderita DM anak dan Remaja
mencapai 400 orang..
Onset terjadinya DMT1 dapat terjadi sejak bayi usia 6
bulan sampai dewasa awal (IDF, 2011). Namun insiden paling
sering terjadi pada usia sekolah dan remaja yang dipicu oleh
stress sekolah, peningkatan eksposur terhadap infeksi, dan
faktor pertumbuhan dan perkembangan yang terjadi secara
cepat (Leifer, 2015).
Diabetes mellitus tipe 1 merupakan salah satu penyakit
yang tidak dapat disembuhkan namun kondisi optimal untuk
355
mencapai kualitas hidup yang baik dapat dicapai dengan cara
mempertahankan metabolic pada kondisi terkontrol.
Pengelolaan diabetes pada anak dapat dilakukan secara terpadu
antara penderita, keluarga, dan tim kesehatan dengan
melakukan pemberian terapi insulin, pengaturan makan,
olahraga, dan edukasi yang didukung oleh pemantauan secara
mandiri terhadap glukosa darah (IDAI, 2009).
UKK Endokrinologi Anak dan Remaja-IDAI dan World
Diabetes Foundation (WDF) tahun 2009 dalam Konsensus
Nasional Pengelolaan Diabetes Mellitus Tipe 1 menyebutkan
kontrol metabolic yang baik adalah kondisi kadar glukosa darah
berada pada batas normal atau mendekati normal tanpa
menyebabkan hipoglikemia. Standar nilai tersebut adalah nilai
HbA1c <7% berarti kontrol metabolic baik, <8% berarti cukup,
dan >8% dianggap buruk.
Remaja merupakan usia yang paling rentan mengalami
permasalahan psikis (cemas, depresi, eating disorder, dan
permasalahan eksternal lain) dan fisik akibat proses
pertumbuhan yang cepat serta peningkatan jumlah hormone sex
yang dapat menyebabkan gagalnya kondisi metabolik
terkontrol yang memicu terjadinya berbagai komplikasi (Leifer,
2015; Wherrett, Hout, Mitchell, & Pacaud, 2013).
Remaja merupakan fase akhir pada tahap perkembangan
anak dimana terjadi perubahan fisik, social , akademik, dan
berbagai perubahan lingkungan yang menyebabkan anak
memasuki masa transisi psikososial (Blakemore, Burnett, &
Dahl, 2010). Pada masa transisi ini terjadi peralihan tanggung
jawab dari orang tua kepada anak dalam pengambilan
356
keputusan dan berperilaku (Flora & Gameiro, 2016).
(Blakemore et al., 2010). Remaja menjadi kurang tertarik
dalam aktivitas bersama keluarga bergeser pada peningkatan
kualitas kebersamaanya bersama teman (Sanders, 2013).
Sebuah artikel hasil penelitian Allen, Uchino, dan Hafen
yang dipublikasikan dalam website Association Psychological
Sciences tahun 2015 menyebutkan bahwa kesehatan pada saat
dewasa dapat diprediksi dari hubungan kedekatan dengan
teman selama masa remaja. Penelitian ini melibatkan 171
responden dengan mengikuti mereka sejak usia 13 sampai 27
tahun. Tidak hanya responden, namun teman dekat dari
responden dilibatkan untuk mengisi kuisioner yang
menjelaskan hubungan pertemanan diantaranya tingkat
kepercayaan, komunikasi, serta kondisi rentang diantara
mereka. Selain itu, data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas)
menyebutkan teman merupakan pilihan utama bagi remaja laki-
laki dan perempuan dalam mencari informasi dan diskusi
(Kemenkes RI, 2015).
Permasalahan yang dialami adalah remaja sering kali
mengalami kesulitan dalam mencapai kemandirian
menyebabkan terjadinya penyimpangan dalam perawatan diri
(Flora & Gameiro, 2016). Remaja yang masih berpikir konkrit
cenderung tidak mampu menganalisis konsekuensi dari
tindakan yang dilakukan, sebab-akibat, dan tidak mampu
melakukan pencegahan terjadinya risiko (Sanders, 2013).
Teman sebaya memberikan pengaruh yang besar bagi remaja
yang dapat berdampak positif maupun negatif.
Telah banyak hasil penelitian yang membahas pengaruh
teman sebaya terhadap remaja penderita DMT1 dalam
menjalani manajemen diabetes. Dengan demikian perawat
357
diharapkan mampu mengapliksikan hasil penelitian yang
relevan terhadap peningkatan kualitas pelayanan terhadap
remaja penderita DMT1 dalam menjalani manajemen diabetes.
Studi literatur ini bertujuan untuk memberikan gambaran
tentang peran teman sebaya terhadap remaja penderita DMT1
dalam menjalani manajemen diabetes.

Metode
Penelaahan artikel dilakukan melalui media elektronik
yaitu database CINAHL Ebscohost dan Proquest. Kata kunci
yang digunakan adalah children or adolescent, diabetes
mellitus type 1, dan friends or peers support. Artikel yang
dipilih berupa hasil penelitian kualitatif dan kuantitatif pada
rentang tahun 2006-2016.
Diperoleh artikel sebanyak 20 dan 69 dari masing-masing
database namun hanya 9 artikel yang sesuai dengan kriteria.
Kemudian hasil telaah jurnal akan dideskripsikan dukungan
teman sebaya bagi remaja penderita DMT1 dalam menjalani
manajemen diabetes.

Hasil Penelitian
Berdasarkan sembilan artikel yang ditelaah terdapat 3
tema yang dapat diidentifikasi yaitu persepsi teman dan remaja
penderita DMT1 terhadap penyakit diabetes melitus tipe 1,
dukungan spesifik dari teman sebaya, dan pengaruh dukungan
teman sebaya terhadap manajemen diabetes.
1. Persepsi teman dan remaja DMT1 terhadap penyakit
diabetes
358
Persepsi merupakan sebuah proses individu untuk
mengetahui, mengartikan, dan memahami sebuah stimulus
yang berada di dalam tubuh atau diuar tubuhnya diawali
dengan proses fisik yaitu penginderaan, proses fisiologis yaitu
menghantarkan stimulus ke otak, dan terakhir proses psikologis
(Sunaryo, 2004). Proses untuk mempersepsikan setiap stimulus
yang diterima individu berkaitan dengan kemampuan kognitif.
Remaja mengalami perkembangan cara berpikir anak
yaitu berpikir secara konkrit menjadi cara berpikir dewasa yaitu
berpikir secara abstrak, reasoning skill, memiliki pandangan
yang luas, dan berpikir tentang apa yang dipikirkan (University
Rochester Medical Center [URMC], n.d). Cara berpikir ini
membantu remaja memahami secara rasional suatu kejadian,
memperkirakan konsekuensi suatu tindakan tanpa harus dialami
sendiri, dan memikirkan tentang apa yang orang lain terutama
teman sebaya pikirkan tentang dirinya (Sanders, 2013).
Pada masa remaja, teman sebaya merupakan bagian yang
sangat penting seiring berkurangnya kebersamaan mereka
dalam aktivitas keluarga maupun peran nasihat orang tua
(Sanders, 2013). Hal tersebut, terjadi seiring dengan
perkembangan psikososial, emosional, serta sosial.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Karina and
Karin (2007) pada 8 remaja penderita DMT1 mengenai
pengalamannya menjalani kehidupan. Mereka mengungkapkan
merasakakan dirinya berbeda dengan temannya, diperlakukan
berbeda oleh orang disekeliling mereka, menjalani kehidupan
secara teratur merupakan sebuah tantangan, lebih memahami
tubuhnya serta mampu merawat dirinya sendiri.
359
Hasil yang sama ditunjukan penelitian mix method
LehmKuhl et al. (2009) bertujuan untuk mengetahui persepsi
dan perilaku penderita diabetes dan teman sebaya terhadap
manajemen diabetes yang mengikuti diabetic summer camp.
Penelitian ini melibatkan 2 kelompok responden yaitu remaja
penderita DMT1 dan sahabatnya. Remaja penderita DMT1
merasakan penyakitnya berdampak terhadap kehidupan sosial
seperti terganggunya aktivitas bersama teman baik aktivitas
fisik maupun terkait diet yang membuat mereka merasa
berbeda dengan teman sebaya. Selain itu mereka mengharapkan
teman sebayanya dapat memahami penyebab serta diet dalam
manajemen diabetes.
Berdasarkan sudut pandang sahabat dari penderita
diabetes, sebagian besar menunjukkan sikap positif seperti
menunjukan sikap simpati, empati, dan menunjukkan
ketertarikan mengetahui penyakit diabetes. Mereka
beranggapan bahwa tidak ada hambatan dalam berbagai
aktivitas yang mereka lakukan bersama baik di sekolah, di luar
sekolah, maupun di rumah.
Berdasarkan dua penelitian tersebut, remaja penderita
diabetes menginginkan kehidupan layaknya teman yang sehat,
tidak perlakukan berbeda, serta dukungan dari teman sebaya.
Pemaparan informasi mengenai penyakit diabetes dan
manajemennya bagi remaja sehat dapat membentuk persepsi
serta sikap positif terhadap remaja penderita penyakit ini
walaupun hal ini menjadi stresor bagi remaja penderita diabetes
untuk dapat menjelaskannya (LehmKuhl et al., 2009).
2. Dukungan spesifik dari teman sebaya
360
Dukungan dari teman diartikan sebagai sikap teman yang
dapat meningkatkan kesadaran remaja penderita diabetes
terhadap tanggung jawab melakukan manajemen diabetes
(Malik & Koot, 2012). Terdapat penelitian yang meneliti
bentuk dukungan yang dapat diberikan oleh teman sebaya.
Beberapa diantaranya ditunjukan dalam penjabaran berikut.
Penelitian Peters, Nawijn, and Kesteren (2014) dan Malik
and Koot (2012) merupakan dua penelitian dengan desain
berbeda yaitu kualitatif dan kuantitatif yang bertujuan
mengetahui bentuk dukungan yang dapat diberikan oleh teman
sebaya. Penelitian pertama melakukan dua penelitian secara
berkelanjutan dengan pendekatan yang berbeda, penelitian 1
melakukan wawancara terhadap remaja penderita diabetes tipe
1 terhadap dukungan positif yang dapat diberikan oleh teman
sedangkan penelitian 2 wawancara terhadap remaja penderita
diabetes tipe 2 dan sahabatnya mengenai dukungan yang dapat
diberikan kepada penderita diabetes. Pada penelitian kedua,
peneliti melakukan analisis eksporatori dan konfirmatori
terhadap Modified Spesific Support Questionnaire-Friend
(MDSSQ-F) yang korelasikan dengan beberapa instrumen
lainnya yang diberikan kepada 434 remaja.
Hasil penelitian tersebut didapatkan bahwa dukungan
spesifik yang lebih dibutuhkan oleh remaja penderita diabetes
adalah dukungan emosional yaitu sikap empati, dapat
diandalkan, serta bersenang-senang bersama. Sikap empati
dapat ditunjukkan dengan memperlakukan remaja dengan
diabetes layaknya orang sehat dan menunjukkan ketertarikan
untuk mengetahui penyakit diabetes. Sedangkan dapat
361
diandalkan dalam manajemen diabetes yaitu menemani saat
akan injeksi terapi insulin sampai selesai, menyediakan
makanan yang aman bagi penderita diabetes, menunjukkan
solidaritas, mengingatkan dan memberi motivasi, dan
membantu dalam situasi penting. Terakhir, bersenang-senang
bersama dapat menjadi distraksi sehingga mereka dapat
melupakan dirinya menderita diabetes atau membutuhkan
motivasi agar mereka bersemangat kembali dalam menjadi
kehidupan sebagai penderita diabetes.
Tidak semua remaja mempersepsikan sama setiap bentuk
dukungan, sehingga memengaruhi dukungan seperti apa yang
diharapkan olehnya (Peters et al., 2014). Akan tetapi, pada
penelitian lanjutan Peters, et al., sahabat dan remaja penderita
diabetes memiliki persepsi yang hampir sama mengenai
dukungan yang harus diberikan. semakin tinggi dukungan
teman maka terjadi peningkatan kemandirian terhadap orang
tua, kepatuhan terhadap manajemen diabetes serta
kesejahteraan diri, namun berbanding terbalik dengan faktor
dukungan spesifik tertentu yaitu remaja yang sering
mendapatkan bimbingan dan motivasi serta bantuan dalam
situasi kritis dari teman menunjukkan nilai HbA1C yang relatif
tinggi (Malik & Koot, 2012).
3. Pengaruh dukungan teman sebaya terhadap manajemen
diabetes
Telah banyak penelitian yang bertujuan untuk
mengetahui pengaruh sikap teman sebaya terhadap manajemen
diabetes yang dilakukan oleh remaja penderita diabetes tipe 1.
Penelitian kualitatif yang dilakukan oleh Sparapani, Borges,
362
Dantas, Pan, and Nascimento (2012) terhadap 19 anak usia
remaja awal di Brazil menunjukkan bahwa manajemen diabetes
dipengaruhi oleh sikap positif maupun negatif temannya serta
sikap penderita diabetes terhadap temannya tersebut. Sikap
positif tersebut diantaranya adalah teman menunjukan sikap
empati, solidaritas dan pemahamannya terhadap restriksi
makanan bagi penderita diabetes sedangkan sikap negatif
ditunjukan sebaliknya. Remaja penderita diabetes merasa malu,
takut terhadap penolakan, kurang pengetahuan serta tidak
memiliki kemampuan yang baik untuk menjelaskan
penyakitnya kepada teman. Mereka menyebutkan sangat
senang apabila temannya dapat memahami tentang penyakit
diabetes dan cara mengontrolnya.
Penelitian sejenis yang menghubungkan dukungan sosial
terhadap status metabolik anak dilakukan oleh Lehmkuhl and
Nabors (2008) terhadap anak usia 8-14 tahun sebanyak 58
orang. Dalam hal ini peneliti tidak hanya mengkaji peran
dukungan teman namun dukungan sosial pihak yang berada
disekolah yaitu guru dan perawat sekolah. Anak yang
menunjukan sikap positif terhadap penyakit diabetes dan
dukungan yang diberikan sekolah relative memiliki nilai
HbA1C yang rendah. Bila diurutkan berdasarkan tingkat
kepuasan mereka terhadap dukungan yang diberikan pihak
yang berada di sekolah, guru menempati urutan pertama diikuti
perawat dan teman.
Bertolakbelakang dengan beberapa penelitian diatas.
Penelitian longitudinal yang dilakukan oleh Helgeson et al.
(2013) terhadap 117 remaja penderita diabetes tipe 1 dan 121
363
remaja sehat menemukan bahwa orang tua memiliki kontribusi
yang lebih penting dalam manajemen diabetes pada saat remaja
hingga memasuki dewasa awal. Remaja penderita diabetes
yang memiliki hubungan yang baik serta kontrol dari orang tua
menunjukkan perilaku sehat yang berpengaruh langsung
terhadap status metabolik, sebaliknya pada kelompok remaja
sehat. Teman sebagai salah satu faktor dalam sistem pemberi
dukungan menunjukkan buruknya status glikemik dewasa
dengan diabetes dan konflik dengan teman dapat meningkatkan
risiko terbentuknya perilaku self-care management yang tidak
baik. Namun peneliti memberikan catatan terhadap hasil
tersebut, bahwa dukungan dari teman kemungkinan diartikan
oleh responden bukan sebagai dukungan yang baik dalam
menjalani manajemen diabetes.
Peneltian Hains, Berlin, Davies, Parton, and Alemzadeh
(2006) mendukung penelitian sebelumnya yang menyatakan
bahwa konflik dapat memperburuk status glikemik. Penelitian
ini bertujuan untuk mengetahui atribusi negatif sikap teman
terhadap kepatuhan melaksanakan manajemen diabetes, stres
diabetes, dan status glikemik. Sebanyak 104 remaja di Amerika
mengikuti penelitian ini. Hasil penelitian adalah remaja yang
mengalami atribusi negatif terhadap reaksi teman cenderung
mengalami kesulitan mematuhi manajemen diabetes yang dapat
memicu stres diabetes. Farrel, et al, 2004 dan Aiken, et al, 1992
dalam Hains et al 2006 menyebutkan stres diabetes secara
langsung memengaruhi status metabolik.
Remaja penderita diabetes menginginkan teman
sebayanya memahami penyakit dan dampaknya bagi kehidupan
364
mereka (Peters et al., 2014). Namun untuk memberikan
penjelasan kepada teman sebayanya merupakan sebuah stresor
(LehmKuhl et al., 2009). Program terencana terbukti mampu
meningkatkan proses adaptasi remaja penderita diabetes. Hal
tersebut ditunjukan oleh sebuah penelitian kuantitatif yang
dilakukan oleh Altundag and Bayat (2016) dengan cara
melakukan pelatihan interaktif dan interaksi teman sebaya dan
mengetahui pengaruhnya terhadap adaptasi remaja penderita
diabetes tipe 1 yang berada di Turki. Setelah diberikan
intervensi terjadi peningkatan self-esteem, pengetahuan dan
dukungan yang diterima remaja penderita DMT1 sehingga
dapat meningkatkan managemen diabetes yang dilakukannya
serta tercapai status glikemik yang baik yang ditunjukan
dengan nilai HbA1C yang rendah dibanding nilai rujukan.
Self-esteem adalah bagaimana individu merasa puas
terhadap pribadinya yang berhubungan dengan konsep diri
(Sanders, 2013). Berdasarkan penelitian diatas, maka remaja
penderita DMT1 yang memiliki self-esteem yang baik maka
mereka cenderung berperilaku hidup sehat dan menunjukkan
status glikemik yang baik.

Pembahasan
Penyakit kronis membuat remaja merasa berbeda dengan
teman sebayanya. Ketakutan akan penolakan dari teman sebaya
dan ketidakmampuan dalam menjelaskan penyakitnya dan
upaya yang dapat dilakukan menjadi stresor bagi mereka.
Teman merupakan aspek yang penting bagi dunia remaja.

365
Dukungan dari teman sangat diperlukan oleh remaja penderita
diabetes.
Sikap yang ditunjukan oleh teman sebaya baik dukungan
suportive maupun sebaliknya dapat memengaruhi perilaku
sehat terkait manajemen diabetes. Sikap positif dan negatif
berupa atribusi negatif terhadap dukungan yang diberikan dapat
mempengaruhi status glikemik. Sikap positif terhadap
dukungan yang diberikan menunjukan korelasi positif terhadap
penurunan nilai HbA1C. Sedangkan sikap negatif berupa
adanya konflik dan atribusi negatif secara jelas memicu stres
diabetes yang berakibat langsung pada status metabolik.
Persepsi merupakan sesuatu yang subjektif. Dukungan
teman sebaya terkadang diartikan berbeda dipengaruhi
bagaimana remaja penderita diabetes memahaminya. Sehingga
perlu disepakati bahwa dukungan teman sebaya adalah sikap
yang dapat meningkatkan kepatuhan remaja terhadap
manajemen diabetes. Pelatihan terprogram seperti adanya
pelatihan dan summer camp dapat memfasilitasi remaja
penderita diabetes untuk dapat beradaptasi dengan penyakitnya
maupun dampaknya bagi kehidupan.

Simpulan
Dukungan teman sebaya memberikan pengaruh positif
terhadap manajemen diabetes yang dilakukan oleh remaja
penderita DMT1 sehingga dapat tercapai status glikemik yang
baik. Salah satu bentuk dukungan yang dapat diharapkan dari
teman adalah dukungan emosional. Walaupun bentuk

366
dukungan yang dipersepsikan oleh masing-masing individu
tersebut tidak sama.

Daftar Pustaka
Altundag, S., & Bayat, M. (2016). Peer Interaction and Group
Education for Adaptation to Disease in Adolescents
with Type 1 Diabetes Mellitus. Pakistan Journal of
Medicine Science, 32(4). doi:
http://dx.doi.org/10.12669/pjms.324.9809
APS. (2015). Close Friend in Adolescent Predict Health in
Adulthood. Retrieved 26 Agustus, 2016, from
http://www.psychologicalscience.org
Blakemore, S., Burnett, S., & Dahl, B. E. (2010). The Role of
Puberty in the Developing Adolescent Brain. Human
Brain Mapping, Volume 31, 926-933.
Flora, M. C., & Gameiro, M. G. H. (2016). Self-care of
Adolescent with Type 1 Diabetes: Responsibility for
Disease Management. Journal of Nursing Referencia,
6(9). doi: http://dx.doi.org/10.12707/RIV16010
Hains, A. A., Berlin, K. S., Davies, W. H., Parton, E. A., &
Alemzadeh, R. (2006). Attributions of Adolescents
With Type 1 Diabetes in Social Situations: Relationship
with expected adherence, diabetes stress, and metabolic
control. Diabetes Care, 29(4), 818-822.
Helgeson, V. S., Palladino, D. K., Reynold, K. A., Becker, D.,
Escobar, O., & Siminerio, L. (2013). Early Adolescent
Relationship Predictor of Emerging Adult Outcome:
Youth with and Without Type 1 Diabetesq. The Society
367
of Behavior Medicine, 47, 270-279. doi:
10.1007/s12160-013-9552-0
Hockenberry, M. J., & Wilson, D. (2009). Wong's Essential of
Pediatric Nursing 9th Edition. Missouri: Elsevier.
IDAI. (2009). Konsensus Nasional Pengelolaan Diabetes
Melitus Tipe 1. IDAI.
IDF. (2011). Global IDF/ISPAD Guidline for Diabetes in
Childhood and Adolescene. Belgium: IDF.
Karina, H., & Karin, E. (2007). Adolescents's Experience of
Living with Diabetes. Pediatric Nursing, 19(3), 29-31.
Kemenkes RI. (2015). Situasi Kesehatan Reproduksi Remaja.
Jakarta.
Kyle, T., & Ricci, S. S. (2009). Maternity and Pediatric
Nursing. China: Lippincott Williams & Wilkins.
LehmKuhl, H., Merio, L. J., Devine, K., Gaines, J., Storch, E.
A., Silverstein, J. H., & Geffken, G. R. (2009).
Perception of Type 1 Diabetes among Affected Youth
and Their Peers. Journal of Clinical Psychology in
Medical Setting, 2009(16), 209-215. doi:
10.1007/s10880-009-9164-9
Lehmkuhl, H., & Nabors, L. (2008). Children with Diabetes:
Satisfaction with School Support, Illness Perception and
HbA1C Level. Journal of Development & Physical
Disability, 20, 101-114. doi: 10.1007/s10882-007-9082-
4
Leifer, G. (2015). Introduction to Maternity and Pediatric
Nursing 7th Edition. Missouri: Elsevier.

368
Malik, J. A., & Koot, H. M. (2012). Assessing Diabetes
Support in Adolescent: Factor Structure of the Modified
Diabetes Social Support Questionnaire (DSSQ-Friend).
Diabetic Medicine.
Peters, L. W., Nawijn, L., & Kesteren, N. M. (2014). How
Adolescents with Diabetes Experience Social Support
from Friend: Two Qualitatif Studies. Hindawi
Publishing Corporation Scientifica, 2014.
Philips, A. (2016). Supporting Patient with Type 1 Diabetes.
British Journal of Nursing, Volume 25(6).
Pulungan, A. (2013). Increasing Inciden of DM type 1 in
Indonesia International Journal of Pediatric
Endocrinology, 2013 (Suppl 1):O12.
Sanders, R. A. (2013). Adolescent Psychosocial, Social, and
Cognitive Development. Peiatric in Review, 34(8).
Sparapani, V. C., Borges, A. L. V., Dantas, I. R. O., Pan, R., &
Nascimento, L. C. (2012). Children with Type 1
Diabetes Mellitus and Their Friend: the Influence of this
Interaction in the Management of the Disease. Revista
Latino-Americana Enfermagen, 20.
Sunaryo. (2004). Psikologi untuk Keperawatan. Jakarta: EGC.
Wherrett, D., Hout, C., Mitchell, B., & Pacaud, D. C. (2013).
Type 1 Diabetes in Children and Adolescents. Canadian
Journal Article, Volume 37, pages 153-162.
WHO. (2011). Endocrin Disorder and Children. Retrieved 28
April 2016, from who.org.int/ceh.

369
Pengaruh Edukasi Perineal Hygiene Terhadap
Pengetahuan dan Sikap
Guru Sekolah Dasar

Tetti Solehati, Sri Susilawati, Mamat Lukman, Cecep Eli


Kosasih
Fakultas Keperawatan Universitas Padjadjaran
Email:tsh_tetti@yahoo.com

Abstrak

Guru, disamping orang tua, merupakan figur yang sangat


penting dalam meningkatkan pengetahuan dan perilaku anak
dalam hal kesehatan, salah satunya meningkatkan perilaku
perineal hygiene. Perilaku anak SD dipengaruhi oleh guru
karena pada usia ini guru merupakan idola bagi siswinya yang
akan diikuti ucapan dan perilakunya. Masih kurang
memadainya pengetahuan dan sikap guru mengenai perineal
hygiene anak sekolah dasar (SD) menyebabkan perilaku yang
kurang mendukung pada anak tersebut. Hal ini jika dibiarkan
terus, maka anak akan beresiko mengalami masalah reproduksi,
seperti keputihan. Tujuan mengetahui pengaruh edukasi
perineal hygiene terhadap pengetahuan dan sikap guru sekolah
dasar. Desain penelitian quasi eksperimen dengan rancangan
pre test dan post test. Penelitian dilakukan di SDN Bojong Asih
1, SDN Pasawahan 2, SDN Leuwi Bandung 3, SDN
Cangkuang VIII kecamatan Dayeuhkolot Kabupaten Bandung.
Populasi pada penelitian ini adalah seluruh guru yang berada di
empat sekolah tersebut berjumlah 28 orang. Sample yang
digunakan adalah total sampling. Semua guru diberikan
quisioner sebelum intervensi dilakukan kemudian diberikan
370
penyuluhan tentang perineal hygiene dan diberiknan quisioner
kembali untuk mengukur tingkat pengetahuan dan sikap. Hasil
penelitian diperoleh bahwa rata-rata tingkat pengetahuan guru
sebelum intervensi 69,76 meningkat menjadi 83,09 setelah
intervensi (pv= 0.001). Hasil penelitian pada sikap guru
sebelum intervensi adalah 75,43 meningkat menjadi 79,86 (pv=
0.001). Hasil penelitian juga menemukan bahwa rata-rata skill
CTPS sebelum intervensi adalah 43,44 meningkat menjadi
84,72 (pv= 0.007. Penelitian ini menemukan perbedaan yang
bermakna peningkatan rata-rata tingkat pengetahuan dan sikap
guru sebelum dan setelah periode intervensi. Untuk
kesinambungan pola sehat anak sekolah, khususnya perineal
hygiene, di perlukan pendampingan dan pengawasan dari guru
penanggung jawab PHBS/UKS secara berkesinambungan, dan
diperlukan dukungan dari pihak puskesmas dan UPTD
Pendidikan Kecamatan Dayeuhkolot baik material mupun
dukungan moral bagi sekolah dalam melanjutkan program
sehat sekolah.

Kata kunci: Edukasi, Guru, Perineal Hygiene, Pengetahuan,


Sikap,

Pendahuluan
Praktik perineal hygiene yang buruk menjadi salah satu
faktor masalah kesehatan organ reproduksi wanita, termasuk
remaja. Meningkatnya masalah keputihan pada remaja salah
satu penyebabnya dalah kurangnya informasi memadai yang
mereka peroleh. Informasi tentang perineal hygiene dapat
diberikan oleh orang tua anak sendiri, keluarga, media masa,
internet, petugas kesehatan, dan guru. Orang tua dan guru
371
sangat berperan penting dalam pemberian informasi tersebut
kepada anak. Guru, merupakan figur yang sangat penting dalam
meningkatkan pengetahuan dan perilaku anak di sekolah dalam
hal kesehatan, salah satunya meningkatkan perilaku perineal
hygiene. Perilaku anak Sekolah dasar (SD) dipengaruhi oleh
guru karena pada usia ini guru merupakan idola bagi siswinya
yang akan diikuti ucapan dan perilakunya. Guru merupakan
role model disamping orang tua anak didiknya. Guru berperan
penting dalam menyampaikan informasi dan sikap mengenai
perineal hygiene kepada anak didiknya karena anak usia
sekolah merupakan usia sangat peka untuk menanamkan
pengertian dan kebiasaan hidup sehat. Apa yang disampaikan
guru kepada anak didiknya, mereka biasanya akan
menurutinya.
Masih kurang memadainya pengetahuan dan sikap guru
mengenai perineal hygiene anak sekolah dasar (SD)
menyebabkan perilaku yang kurang mendukung pada anak
tersebut. Hal ini jika dibiarkan terus, maka anak akan beresiko
mengalami masalah reproduksi, seperti keputihan.
Hasil pengkajian pada 377 siswa di SDN Bojong Asih 1,
SDN Leuwi Bandung, SDN Pasawahan, SDN Cangkuang
Dayeuhkolot Kecamatan Dayeuhkolot Kabupaten Bandung
diperoleh bahwa hampir seluruh siswa kurang memahami
perawatan perineal seperti: mengganti celana dalam, jenis
pakaian dalam yang sehat, mengeringkan daerah perineal
setelah cebok, memiliki kebiasaan cebok yang tidak benar (95,2
%). Menurut informasi dari kepala sekolah dan guru dari
keempat SDN tersebut mengatakan belum pernah diberikan
372
pelatihan mengenai perineal hygiene, baik untuk guru maupun
untuk muridnya. Mereka beranggapan bahwa materi tersebut
tepatnya diberikan di tingkat SMP atau SMA saja.

Metode
Desain penelitian quasi eksperimen dengan rancangan
pre test dan post test. Penelitian dilakukan di SDN Bojong Asih
1, SDN Pasawahan 2, SDN Leuwi Bandung 3, SDN
Cangkuang VIII kecamatan Dayeuhkolot Kabupaten Bandung.
Populasi pada penelitian ini adalah seluruh guru yang berada di
empat sekolah tersebut berjumlah 28 orang. Sample yang
digunakan adalah total sampling. Semua guru diberikan
quisioner sebelum intervensi dilakukan kemudian diberikan
penyuluhan tentang perineal hygiene dan diberiknan quisioner
kembali untuk mengukur tingkat pengetahuan dan sikap.
Quisioner dibuat oleh peneliti sendiri dan telah dilakukan uji
rebilitas.

Hasil Penelitian
Tabel 1 Distribusi frkuensi tingkat pengetahuan dan sikap guru
tentang perineal hygiene di SDN Bojong Asih 1, SDN Leuwi
Bandung 3, SDN Pasawahan 2, SDN Cangkuang 8
Dayeuhkolot
Kecamatan Dayeuhkolot tahun 2016 (n=28)
Sebelum Setelah
Tingkat pengetahuan f % f %
Baik 11 39,3 21 75,0

373
Buruk 17 60,7 7 25,0
Total 28 100 28 100
Mendukung 8 28,6 10 35,7
Sikap Tidak mendukung 20 71,4 18 64,3
Total 28 100 28 100

Pada tabel 1 dapat diketahui bahwa dari 28 guru,


ternyata hampir setengah dari responden memiliki
pengetahuan yang baik tentang PHBS yakni sebanyak 11
orang (39,3%) sebelum dilakukan intervensi meningkat
menjadi sebagia besar memiliki pengetahuan yang baik
yakni sebanyak 21 orang (75%). Hasil penelitian pada sikap
dapat diketahui bahwa hampir setengah dari responden
memiliki sikap mendukung tentang perineal hygiene yakni
sebanyak 8 orang (28,6%) sebelum dilakukan intervensi
meningkat menjadi 10 orang (35,7) setelah dilakukan
intervensi.
Untuk mengetahui pengaruh penyuluhan tentang
tentang perineal hygiene terhadap pengetahuan dan sikap
guru, maka perlu diketahui perbedaan rata-rata tingkat
pengetahuan dan sikap guru sebelum dan setelah periode
intervensi. Berikut ini akan dijelaskan mengenai perbedaan
tersebut, yaitu:
Tabel 2. Perbedaan rata-rata tingkat pengetahuan guru dan
sikap sebelum dan setelah intervensi di di SDN Bojong Asih
1, SDN Leuwi Bandung 3, SDN Pasawahan 2, SDN
Cangkuang 8 Dayeuhkolot Kecamatan Dayeuhkolot tahun
2016 (n=28)
374
Sebelum Setelah
Tingkat
Mean 69,76 83,09
pengetahuan
SD 15,233 13,019
Mean 75,43 79,86
Skill
SD 5,757 6,323
Dari tabel 2 tersebut diatas dapat diketahui bahwa
bahwa rata-rata tingkat pengetahuan guru sebelum intervensi
69,76 meningkat menjadi 83,09 setelah intervensi (pv= 0.001).
Hasil penelitian pada sikap guru sebelum intervensi adalah
75,43 meningkat menjadi 79,86 (pv= 0.007). Hasil penelitian
juga menemukan bahwa rata-rata skill CTPS sebelum
intervensi adalah 43,44 meningkat menjadi 84,72 (pv= 0.007).

Pembahasan
Berdasarkan hasil penelitian didapatkan hasil bahwa
tingkat pengetahuan guru tentang perineal hygiene di SDN
Bojong Asih 1, SDN Leuwi Bandung 3, SDN Pasawahan 2,
SDN Cangkuang 8 Dayeuhkolot mengalami peningkatan. Hal
ini sejalan dengan penelitian Salaudeen (2011) yang
menemukan bahwa pendidikan kesehatan secara statistik
berpengaruh pada peningkatan pengetahuan. Para guru
mengatakan memahami perineal hygene dan pentingnya siswa
diajarkan sejak dini di sekolah. Para Guru berantusias untuk
mengajarkan ilmu tentang perineal hygiene kepada para siswa
mereka. Selain itu para guru termotivasi untuk menghimbau
seluruh siswi untuk melakukan praktik perineal hygiene yang
benar dan berkelanjutan.

375
Kondisi tingkat pengetahuan guru seperti itu menunjukan
bahwa secara umum pengetahuan mereka cukup baik, hal ini
dikarenakan mereka mau bekerjasama. Dari segi usia, peserta
guru sebagian besar masih usia muda (produktif) dan memiliki
motivasi untuk meningkatkan diri baik ilmu maupun prestasi
kerja hal ini yang mendorong mereka untuk tetap belajar.
Motivasi yang tinggi akan mendorong seseorang untuk aktif
melakukan suatu kegiatan. Hal ini sejalan dengan penelitian
Wijaya, I.M.K. (2013) pada kader kesehatan yang menemukan
bahwa kader kesehatan dengan motivasi tinggi memiliki
kemungkinan untuk aktif 15 kali lebih besar daripada motivasi
rendah.
Metode penyuluhan yang dilakukan dua arah dan
menggunakan video, merupakan hal yang penting dalam
menyampaikan informasi. Hal ini sejalan dengan penelitian
Hamida (2012) yang menyatakan bahwa media yang digunakan
dalam proses pembelajaran akan menyebabkan proses
pembelajaran menjadi lebih menarik perhatian sehingga dapat
mudah dipahami dan menyebabkan sasaran tidak menjadi cepat
bosan. Guru menjadi tidak bosan dan mudah mengerti tentang
materi apa yang kita sampaikan. Hasil penelitian menunjukan
bahwa penyuluhan yang dilakukan secara signifikan berbeda
antara pretest dan post test tentang PHBS (p<0.05). Hal ini
sejalan dengan hasil penelitian Zulaekah(2012) yang
menemukan bahwa penggunaan media penyuluhan dapat
mempengaruhi peningkatan pengetahuan. Hal ini menujukan
bahwa pelatihan, penyuluhan atau bentuk penyegaran lain
sangatlah diperlukan bagi para guru sekolah dan siswa untuk
376
updating pengetahuan mereka yang selama ini belum pernah
terpapar dengan apa yang namanya perineal hygiene. Para guru
merupakan sumber informasi yang penting bagi siswanya. Bila
guru memiliki pengetahuan perineal hygiene yang benar maka
diharapkan informasi ini akan disampaikan dengan baik kepada
para siswanya. Menurut penelitian Gustina, E. & Djanah, S.N.
(2015) membuktikan bahwa ada pengaruh antara sumber
informasi dengan pengetahuan seseorang. Dengan
meningkatnya pengetahuan dapat memotivasi seseorang untuk
merubah perilakunya dan perilaku orang lain. Hal ini sesuai
dengan penelitian Wakhidiyah & Zainafree (2010), Widagdo
(2008), yang membuktikan bahwa pengetahuan mempengaruhi
perilaku.
Pada penelitian ini ditemukan juga bahwa terjadi
peningkatan sikap guru tentang perineal hygiene. Hal ini terjadi
karena disamping video yang disajikan menarik, juga adanya
interaksi tanya jawab yang dilakukan oleh para guru kepada
peneliti sebagai pemberi informasi berdasarkan masalah-
masalah yang mereka peroleh selama mendidik siswi di
sekolahnya, Pengetahuan merupakan salah satu domain yang
sangat penting dalam membentuk tindakan seseorang. Adanya
bimbingan yang dilakukan setiap saat oleh guru kelas akan
merangsang para siswa untuk merubah pola perineal hygiene
yang biasa mereka lakukan selama ini menjadi perilaku yang
sehat. Penelitian Curtis, et all (2001) di Burkina Faso
membuktikan bahwa pendidikan kesehatan tentang hygiene
dapat merubah perilaku menjadi sehat.

377
Simpulan
Penelitian ini menemukan perbedaan yang bermakna
peningkatan rata-rata tingkat pengetahuan dan sikap guru
sebelum dan setelah periode intervensi (p<0,005).

Saran
Peningkatan pengetahuan guru tentang kesehatan diperlukan
untuk meningkatkan perilaku sehat siswa di sekolah. Untuk
kesinambungan pola sehat anak sekolah, khususnya perineal
hygiene, di perlukan pendampingan dan pengawasan dari guru
penanggung jawab PHBS/UKS secara berkesinambungan, dan
diperlukan dukungan dari pihak puskesmas dan UPTD
Pendidikan Kecamatan Dayeuhkolot baik material mupun
dukungan moral bagi sekolah dalam melanjutkan program
sehat sekolah.

Ucapan Terima Kasih


Ucapkan terima kasih kami sampaikan kepada Dirjen Dikti dan
LPPM Universitas Padjajaran yang telah membiayai penelitian
ini melalui skema IbW, serta kepada semua pihak yang telah
berpartisipasi dalam penyelesaian penelitian

Daftar Pustaka
Curtis, Kanki,B., Cousens,S., Diallo,I., Kpozehouen,A.,
Sangare,M.´& Nikiema,M. 2001. Evidence of behaviour
change following a hygiene promotion programme in
Burkina Faso Valerie. Bulletin of the World Health
Organization. 79 (6):518-527
378
Gustina, E. & Djanah, S.N. (2015). Sumber informasi dan
pengetahuan tentang menstrual hygiene pada remaja
putri. Jurnal Kemas.10 (2) 147-152
Hamida,K., Zulaekah,S.,& Mutalazimah. 2012. Penyuluhan
Gizi Dengan Media Komik Untuk Meningkatkan
Pengetahuan Tentang Keamanan Makanan Jajanan.
Jurnal Kemas.8 (1) 67-73
Wakhidiyah & Zainafree, I. 2010. Hubungan antara tingkat
pengetahuan, sikap dan Keikutsertaan penyuluhan gizi
dengan perilaku diit. Jurnal Kemas. 6(1): 64-70.
Widagdo, L., Husodo, B.T. & Bhinuri. 2008. Kepadatan Jentik
Nyamuk Aedes Aegypti Sebagai Indikator Keberhasilan
Praktek PSN (3M Plus) Studi Di Kelurahan Srondol
Wetan Semarang. Makara, Kesehatan, 12(1): 13-19
Wijaya, I.M.K. 2013. Pengetahuan, sikap dan motivasi
terhadap keaktifan kader Dalam pengendalian
tuberkulosis. Jurnal Kemas. 8(2): 137-144.
Zulaekah,S. 2012. Efektivitas Pendidikan Gizi Dengan Media
Booklet Terhadap Pengetahuan Gizi Anak SD.
JurnalKemas.7(2): 121-128.

379
Efikasi Diri (Self Efficacy) pada Orangtua dalam Menjalani
Pengobatan Kanker Anak di Kota Bandung

Ikeu Nurhidayah, Henny Suzana Mediani, Ai Mardhiyah, Sri


Hendrawati
Fakultas Keperawatan, universitas Padjadjaran
Email: ngkeu_mail@yahoo.com

Abstrak

Saat ini, kanker menjadi penyakit serius yang mengancam


kesehatan anak di dunia. Insidensi kanker pada anak semakin
meningkat dan sudah masuk menjadi sepuluh besar penyakit
terbanyak pada anak. Kanker anak memberikan dampak
perubahan, baik fisik maupun psikososial pada anak, yang
dapat terjadi akibat perjalanan penyakit maupun efek samping
pengobatan. Penanganan kanker pada anak dilakukan secara
berkesinambungan dan berlangsung lama, sehingga peran
orangtua dalam mendukung pengobatan anak dengan kanker
sangat penting. Orangtua merupakan faktor penting dalam
penerapan family centered care pada pengobatan dan
perawatan anak dengan kanker. Penerapan family centered care
ini sangat dipengaruhi oleh kepercayaan akan self efficacy
orangtua. Dengan demikian maka perawat harus dapat
mengidentifikasi self efficacy pada orangtua anak dengan
kanker untuk membuat suatu intervensi keperawatan yang tepat
untuk meningkatkan self efficacy orangtua, sehingga dapat
mendukung perawatan anak kanker. Penelitian ini bertujuan
untuk mengidentifikasi self efficacy pada orangtua dalam
menjalani pengobatan kanker anak di Rumah Kanker Anak
Cinta Bandung. Penelitian ini menggunakan metode deskriptif
380
kuantitatif. Data dianalisis dengan menggunakan analisis
deskriptif dan disajikan dalam bentuk frekuensi dan persentase.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar orangtua
dalam menjalani pengobatan kanker anak memiliki self efficacy
tinggi yaitu sebanyak 23 orang (57,5%). Orangtua dengan anak
kanker pada penelitian ini memiliki kemampuan atau
keyakinan yang tinggi dalam merawat anak dengan kanker.
Sehingga hal ini dapat sangat menunjang terhadap proses
perawatan, pengobatan, dan penyembuhan anak yang pada
akhirnya diharapkan dapat meningkatkan kualitas hidup anak
dengan kanker.

Kata kunci: anak kanker, efikasi diri, orangtua

Pendahuluan
Kanker merupakan kumpulan sel abnormal yang
terbentuk oleh sel-sel yang tumbuh secara terus-menerus, tidak
terbatas, tidak terkoordinasi dengan jaringan sekitarnya dan
tidak berfungsi secara fisiologis (Price & Wilson, 2005).
Kanker terjadi karena adanya sel yang bersifat mutagenik. Sel
kanker dapat menjadi sel mutagenik karena adanya mutasi
genetik pada sel germinal maupun pada sel somatik. Hal
tersebut terjadi karena berbagai faktor, baik faktor keturunan
maupun faktor lingkungan (Baggot et al., 2002). Sel mutagenik
memiliki sifat infiltratif (menginfiltrasi jaringan sekitarnya)
serta destruktif (merusak jaringan sekitar). Hal ini
menyebabkan sel tersebut membelah secara tidak terkendali
dan akhirnya akan menyerang sel lainnya. Selanjutnya hal ini
akan menyebabkan serangkaian perubahan metabolisme sel

381
yang pada akhirnya akan mengganggu fungsi-fungsi fisiologis
tubuh (Price & Wilson, 2005).
Saat ini, kanker menjadi penyakit serius yang
mengancam kesehatan anak di dunia. Ancaman kanker di
seluruh dunia sangat besar, karena setiap tahun terjadi
peningkatan jumlah penderita baru penyakit kanker. Menurut
National Cancer Institute atau NCI (2009), diperkirakan
terdapat lebih dari enam juta penderita baru penyakit kanker
setiap tahun. NCI (2009) juga memperkirakan dalam dekade ini
terjadi sembilan juta kematian akibat kanker per tahun. Dari
seluruh kasus kanker yang ada, NCI (2009) memperkirakan
empat persen diantaranya adalah kanker pada anak. Pada tahun
2009 saja diperkirakan terjadi 10.730 kasus baru kanker pada
anak usia 0-14 tahun di Amerika Serikat (NCI, 2009). Di
Amerika Serikat, kanker menjadi penyebab utama kematian
pada bayi sampai anak umur lima belas tahun. Angka
mortalitas akibat kanker cukup besar, yaitu sekitar 50 persen
(NCI, 2009).
Permasalahan kanker anak di Indonesia saat ini menjadi
persoalan yang cukup besar (Sujudi, 2002). Menurut Gatot
(2008), prevalensi kanker anak di Indonesia mencapai empat
persen, artinya dari seluruh angka kelahiran hidup anak
Indonesia, empat persen diantaranya akan mengalami kanker.
Saat ini kanker menjadi sepuluh besar penyakit utama yang
menyebabkan kematian anak di Indonesia (Depkes RI, 2011).
Kanker pada anak harus ditangani secara berkualitas.
Penanganan kanker pada anak bertujuan untuk mengendalikan
jumlah dan penyebaran sel-sel kanker. Menurut NCI (2009),
382
penanganan kanker pada anak meliputi kemoterapi, terapi
biologi, terapi radiasi, cryotherapy, transplantasi sumsum
tulang, dan transplantasi sel darah perifer (peripheral blood
stem cell). Penanganan kanker pada anak dilakukan secara
berkesinambungan dan berlangsung lama, sehingga peran
orangtua dalam mendukung pengobatan anak dengan kanker
sangat penting. Peran orangtua ini sangat menentukan
keberhasilan pengobatan dan perawatan serta angka survival
kanker pada anak.
Orangtua merupakan faktor penting dalam penerapan
family centered care pada pengobatan dan perawatan anak
dengan kanker. Family centered care menekankan pada
pentingnya sinergi antara orangtua dan perawat dalam
perawatan anak dengan kanker. Pada penerapan family centered
care, orangtua diharapkan dapat mengetahui informasi
mengenai kondisi dan perawatan anak-anak mereka. Kehidupan
pada anak tersebut tergantung pada dukungan keluarga. Saat
anak mengalami sakit kanker, keluarga tentu akan terlibat
penuh dalam perawatan dan proses pengobatan terutama saat
menjalani kemoterapi. Dukungan keluarga tersebut mampu
menurunkan tingkat kecemasan seorang anak. Anak akan
merasa senang, aman, nyaman, sehingga memiliki semangat
hidup untuk menjalani pengobatan kemoterapi. Bentuk
dukungan keluarga yang paling penting adalah dengan
mengetahui secara utuh tugas dan peran mereka dalam
melakukan perawatan anak. Peran keluarga dalam
menyelesaikan masalah kesehatan sangat penting bagi setiap

383
aspek perawatan kesehatan anggota keluarganya (Northouse et
al., 2010).
Peran keluarga dipengaruhi oleh keyakinan mereka
dalam menjalankan tugasnya terhadap pengobatan sang anak.
Dalam sebuah penelitian yang dilakukan oleh Dunst dan
Trivette (2009), menyebutkan bahwa penerapan family
centered care sangat dipengaruhi oleh kepercayaan akan self
efficacy orangtua (self efficacy beliefs). Self efficacy merupakan
kepercayaan yang dimiliki seseorang mengenai kompetensi
atau efektivitasnya dalam area tertentu (Woolfolk, 2004).
Selain itu, self efficacy juga dapat didefinisikan sebagai
kepercayaan seseorang mengenai kemampuannya untuk
mengatur dan memutuskan tindakan tertentu yang dibutuhkan
untuk memperoleh hasil tertentu (Bandura, 2005). Sehingga
dapat disimpulkan bahwa self efficacy merupakan tingkat
kepercayaan seseorang terhadap kemampuan dirinya untuk
melakukan tindakan sehingga mencapai tujuan yang telah
ditentukan. Orangtua yang memiliki self efficacy yang tinggi
diharapkan dapat menjalankan tugasnya dalam menjalani
pengobatan kemoterapi pada anak kanker dengan baik.
Penelitian Streisand dan Mackey (2010) menunjukkan
bahwa rendahnya self efficacy turut berpengaruh dalam
tingginya tingkat stres yang dialami orangtua yang memiliki
anak dengan sakit kronis. Stres yang dialami orangtua akan
memengaruhi orang tua dalam manajemen penyakit anak,
sehingga akan memperburuk perawatan anak (Streisand &
Mackey, 2010). Orangtua yang sedang merawat anak dengan
sakit kronis dapat mengalami stres, tidak percaya diri, dan
384
depresi dalam merawat anak dengan kanker. Orangtua akan
menghadapi berbagai stresor yang datang dari lingkungan anak
atau orangtua terkait pengobatan dan perawatan anak kanker.
Menurut Harper et al. (2013) pada fase awal pengobatan anak
kanker, orangtua dapat mengalami distres berupa kecemasan,
mood negatif, tidak percaya diri, dan depresi. Distres emosi
yang dialami orangtua dapat menyebabkan long-term reaction
dan akan memperlambat pengobatan anak serta meningkatkan
cost perawatan anak dengan kanker (Harper et al., 2013).
Orangtua harus dapat mengendalikan diri sendiri
sebagai caregiver pada anak kanker, dengan memahami tugas
masing-masing dalam keluarga. Perawatan pada anak kanker
harus berfokus pada keluarga (family centered care). Peran
orangtua dalam penanganan anak yang sedang sakit kanker
tersebut adalah dengan memahami keadaan anak secara apa
adanya, baik positif, negatif, kelebihan, maupun kekurangan,
mengupayakan alternatif penanganan yang sesuai dengan
kebutuhan anak, melakukan intervensi di rumah, melakukan
evaluasi secara periodik terhadap apapun proses penanganan
yang diterapkan kepada anak, dan bersikap positif serta percaya
diri dalam menangani perkembangan anak (Northouse et al.,
2010).
Pengendalian orangtua tersebut didukung oleh
keyakinan akan kemampuan diri sendiri mengorganisasikan
sumber-sumber yang dimiliki untuk menghadapi situasi-situasi
dalam hidup atau yang disebut oleh Melander (2002) sebagai
self efficacy. Self efficacy yang dimiliki oleh orangtua yang
memiliki anak penderita leukemia berhubungan dengan
385
keyakinan bahwa dirinya memiliki kemampuan untuk
melakukan tindakan yang diharapkan. Upaya untuk pengobatan
pada anak kanker dipengaruhi oleh harapan akan hasil
(expectation of outcome) berupa kesembuhan anak dan harapan
diri orangtua yang berbeda-beda.
Rumah Kanker Anak Cinta Bandung merupakan salah
satu rumah singgah yang didirikan oleh orangtua survivor
kanker anak di Bandung, yang menjadi binaan Rumah Sakit
Umum Pusat (RSUP) Dr. Hasan Sadikin Bandung, sebagai
rumah singgah bagi anak kanker yang akan menjalani
pengobatan kanker anak. Rumah Kanker Anak Cinta setiap
bulannya dapat menampung sekitar 120 orangtua dengan anak
yang menderita kanker yang akan berobat di RSUP Dr. Hasan
Sadikin Bandung. Data dari RSUP Dr. Hasan Sadikin
menunjukkan bahwa sebagian besar anak dengan kanker tidak
tepat waktu dalam menjalani kemoterapi dan mengalami drop
out kemoterapi. Hal ini mengakibatkan perburukan keadaan
anak dengan kanker, menurunkan angka harapan hidup pada
anak kanker, dan memperlambat pengobatan. Hasil wawancara
yang dilakukan pada orangtua dengan anak kanker di Rumah
Kanker Anak Cinta menunjukkan bahwa dari 10 orangtua, 6
orangtua mengatakan tidak yakin dengan pengobatan anaknya,
3 merasa yakin, dan 1 orang merasa ragu-ragu. Sebagian besar
orangtua tidak tepat waktu membawa anaknya untuk
kemoterapi, dan sebagian lagi mengatakan tidak akan
melanjutkan kemoterapi.
Keadaan tersebut tentu harus disikapi oleh perawat anak
untuk meningkatkan keyakinan orangtua dengan mengetahui
386
penyebab yang memengaruhi keyakinan tersebut. Sebagai
perawat anak, dalam memberikan pelayanan keperawatan harus
mampu memfasilitasi keluarga dalam berbagai bentuk
pelayanan kesehatan secara holistik, contohnya sebagai
konselor yang memberikan konseling keperawatan ketika
keluarga membutuhkan, mendengarkan semua keluhan
keluarga, bertukar pikiran, dan membantu mencari alternatif
penyelesaian masalahnya dengan melakukan pendidikan
kesehatan atau dengan menolong orangtua memahami proses
pengobatan kemoterapi anak. Dengan demikian maka
penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi efikasi diri (self
efficacy) pada orangtua dalam menjalani pengobatan kanker
anak di Rumah Kanker Anak Cinta Bandung.

Metode
Desain yang digunakan dalam penelitian ini adalah
deskriptif kuantitatif untuk mengetahui gambaran efikasi diri
pada orangtua dalam menjalani pengobatan pada anak dengan
kanker. Sampel dalam penelitian ini dipilih dengan cara
consecutive sampling. Dalam sebulan, rata-rata terdapat 32
orangtua anak dengan kanker yang singgah di Rumah Kanker
Anak Cinta Bandung. Penelitian dilakukan terhadap orangtua
yang singgah di Rumah Kanker Anak Cinta Bandung yang
akan menjalani pengobatan kanker di RSUP Dr. Hasan Sadikin
Bandung. Penelitian ini dilaksanakan selama bulan Desember
2015 dan didapatkan jumlah sampel pada penelitian ini
sebanyak 40 orangtua anak dengan kanker. Penelitian ini
berpegang pada prinsip-pinsip etik, yaitu self determination,
387
anonymity dan confidentiality, protection from discomfort,
beneficience, dan justice (Polit & Beck, 2008).
Data efikasi diri orangtua diperoleh dengan kuesioner
efikasi diri orangtua dalam menjalankan pengobatan pada anak
kanker yang dimodifikasi dari Teori Bandura. Kuesioner efikasi
diri pada penelitian ini menggunakan skala likert. Kuesioner
dikembangkan berdasarkan teori Bandura (1997) mengenai tiga
dimensi self efficacy yaitu magnitude, strength, dan generality.
Uji validitas dilakukan pada 12 orang responden. Untuk tabel tα
= 0,05 derajat kebebasan (dk = n-2), jika nilai t hitung > t tabel
berarti valid. Instrumen dinyatakan valid jika nilai t hitung >
0,4973. Pada penelitian ini didapatkan nilai t hitung berkisar
antara 0,516 – 0,887; maka dengan demikian instrumen efikasi
diri (self efficacy) dinyatakan valid. Pada penelitian ini nilai
rata-rata untuk uji reliabilitas sekitar 0,765 dimana nilai uji
reliabilitas > 0,600 sehingga instrumen dinyatakan reliabel.
Data penelitian dianalisis secara univariat. Peneliti
melakukan analisis univariat dengan tujuan untuk menganalisis
variabel penelitian secara deskriptif. Analisis deksriptif
dilakukan untuk menggambarkan karakteristik responden dan
efikasi diri orangtua. Data hasil analisis univariat disajikan
dalam bentuk frekuensi dan persentase.

Hasil Penelitian
Karekteristik responden anak dengan kanker di Rumah
Kanker Anak Cinta Bandung dapat digambarkan pada tabel
berikut ini.

388
Tabel 1 Karekteristik Anak dengan Kanker
di Rumah Kanker Anak Cinta Bandung (n = 40)

No. Karekteristik Frekuensi (n) Persentase (


1. Usia Anak
1 – 3 Tahun (Toddler) 11 27,5
4 – 6 Tahun (Prasekolah) 13 32,5
7 – 12 Tahun (Sekolah) 10 25,0
13 – 19 Tahun (Remaja) 6 15,0
2. Jenis Kelamin
Laki-Laki 23 57,5
Perempuan 17 42,5
3. Jenis Kanker
ALL 29 72,5
AML 2 5,0
Retinoblastoma 6 15,0
Limfoma 1 2,5
Williem Tumor 1 2,5
SLE 1 2,5
4. Pertama Kali Terdiagnosis
2015 16 40,0
2014 12 30,0
2013 8 20,0
2012 2 5,0
2011 2 5,0
5. Pengobatan
Kemoterapi 40 100,0
Radioterapi 0 0
389
6. Siklus Kemoterapi
Siklus 1-10 23 57,5
Siklus 11-20 3 7,5
Siklus 21-30 0 0,0
Siklus 31-40 1 2,5
Siklus 41-50 2 5,0
Siklus 51-60 2 5,0
Siklus 61-70 3 7,5
Siklus 71-80 5 12,5
Siklus 81-90 1 2,5
7. Pendamping Anak di Rumah
Singgah
Ibu 31 77,5
Ayah 4 10,0
Ibu dan Ayah 5 12,5

Karekteristik orangtua anak dengan kanker yang


singgah di Rumah Kanker Cinta Bandung dapat digambarkan
sebagai berikut.
Tabel 2 Karekteristik Orangtua Anak dengan Kanker yang
Singgah di Rumah Kanker Anak Cinta Bandung (n = 40)

No. Karekteristik Frekuensi Persentase (%)


(n)
1. Usia Orangtua
21 – 30 Tahun 15 37,5
31 – 40 Tahun 18 45,0
41 – 50 Tahun 5 12,5
390
51 – 60 Tahun 1 2,5
>60 Tahun 1 2,5
2. Hubungan dengan Anak
Ibu 35 87,5
Ayah 5 12,5
3. Jenis Kelamin Orangtua
Laki-Laki 5 12,5
Perempuan 35 87,5
4. Pendidikan Orangtua
SD 18 45,0
SMP 17 42,5
SMA 5 12,5
PT 0 0
5. Pekerjaan Orangtua
IRT 34 85,0
Buruh 2 5,0
Supir 1 2,5
Wiraswasta 1 2,5
Tani 2 5,0
6. Penghasilan Keluarga
< 1,5 juta 40 100,0
1,5-2,5 juta 0 0,0
2,5-3,5 juta 0 0,0
> 3,5 juta 0 0,0
7. Budaya
Sunda 35 87,5
Jawa 4 10,0
Sumatera 1 2,5
391
Efikasi diri (self efficacy) pada orangtua dalam
menjalani pengobatan kanker anak di Rumah Kanker Anak
Cinta Bandung dapat digambarkan sebagai berikut.

Tabel 3 Efikasi Diri (Self Efficacy) pada Orangtua dalam


Menjalani Pengobatan Kanker Anak di Rumah Kanker
Cinta Bandung (n = 40)

Efikasi Diri (Self Efficacy) Frekuensi (n) Persentase


(%)
Efikasi diri (self efficacy) tinggi 23 57,5
Efikasi diri (self efficacy) rendah 17 42,5

Tabel 3 menunjukkan bahwa sebagian besar orangtua


dalam menjalani pengobatan kanker anak di Rumah Kanker
Anak Cinta Bandung memiliki efikasi diri (self efficacy) tinggi
yaitu sebanyak 23 orang (57,5%). Adapun hampir setengahnya
orangtua memiliki efikasi diri (self efficacy) rendah yaitu
sebanyak 17 orang (42,5%).

Pembahasan
Penyakit kronis yang muncul pada masa anak-anak,
salah satu diantaranya penyakit kanker yang dapat
memengaruhi kualitas tumbuh kembang dan potensi anak di
masa depan. Kanker merupakan penyakit kronis yang dapat
membawa banyak masalah bagi penderitanya baik sebagai
dampak dari proses penyakitnya itu sendiri ataupun akibat dari
392
pengobatannya. Hasil penelitian ini, seperti dapat terlihat pada
tabel 1, menunjukkan bahwa sebagian besar anak menderita
ALL yaitu sebanyak 29 orang (72,5%) serta sebagian besar
anak dengan kanker berusia 1-6 tahun yaitu sebanyak 24 orang
(60%). Adapun sebagian besar anak dengan kanker berjenis
kelamin laki-laki sebanyak 23 orang (57,5%). Hal ini sesuai
update terkini dari NCI (2010) yang menyatakan bahwa
leukemia merupakan jenis kanker yang paling banyak diderita
oleh anak yang berusia antara 0-19 tahun.
Penyakit kanker memerlukan pengobatan dan
perawatan yang berkelanjutan diantaranya dengan kemoterapi.
Kemoterapi memperlihatkan efektifitas tinggi dalam
penanganan kanker pada anak, terutama pada kanker yang tidak
dapat ditangani dengan pembedahan atau radiasi saja.
Berdasarkan penelitian ini menunjukkan bahwa seluruh anak
sedang menjalankan kemoterapi dengan berbagai siklus yaitu
sebanyak 40 orang (100%). Hasil penelitian menunjukkan
bahwa sebagian besar anak sedang menjalani siklus kemoterapi
dalam rentang siklus 1 sampai siklus 10 yaitu sebanyak 23
orang (57,5%).
Pengobatan kemoterapi yang berkelanjutan pada anak
dengan kanker, selain memiliki efek terapeutik, agen tersebut
juga menyebabkan berbagai efek samping. Efek samping
tersebut diantaranya masalah fisik, seperti anak mudah
mengalami infeksi, mudah mengalami perdarahan, lemah
(fatigue), lesu, rambut rontok, mukositis, mual, muntah, diare,
konstipasi, nafsu makan menurun, neuropati, sistitis
hemoragika, retensi urin, wajah yang menjadi bulat dan
393
tembam (moonface), gangguan tidur, serta berpengaruh
terhadap kesuburan pasien dewasa. Selain masalah fisik, anak
yang menjalani kemoterapi juga dapat mengalami masalah
psikososial, seperti gangguan mood, kecemasan, kehilangan
kepercayaan diri, penurunan persepsi diri, depresi, dan
perubahan perilaku yang berdampak anak tidak dapat
bersekolah (Hockenberry & Wilson, 2011). Semua masalah ini
sangat berpengaruh besar terhadap kualitas hidup anak.
Kualitas hidup pada anak dapat menurun. Untuk mengatasi hal
ini maka sangat diperlukan peran aktif dari orangtua dalam
melakukan perawatan pada anak dengan kanker.
Orangtua merupakan orang yang sangat penting dalam
perawatan pada anak kanker. Hal ini sesuai dengan konsep
family centered care dalam perawatan pada anak kanker. Dua
konsep penerapan family centered care adalah enabling dan
empowerment. Professional enabling keluarga dibentuk dengan
menciptakan kesempatan bagi keluarga untuk menunjukkan
kemampuan dan kompetensi keluarga untuk mendapatkan
kemampuan baru untuk memenuhi kebutuhan anak.
Empowerment menggambaran interaksi professional dengan
keluarga untuk memelihara atau mendapatkan sense of control
dalam kehidupan sehari-hari dan menghargai perubahan positif
yang dihasilkan dari perilaku keluarga dalam memperkuat
kemampuan keluarga (Hockenberry, Wilson, & Wong, 2009).
Hasil penelitian (tabel 2) menunjukkan bahwa hampir
setengahnya dari orangtua berada dalam rentang usia 31 sampai
40 tahun yaitu sebanyak 18 orang (45,0%). Hal ini
menunjukkan bahwa orangtua berada dalam rentang usia
394
produktif. Pada masa ini orang tua akan berusaha semaksimal
mungkin mencari pengobatan dan melakukan perawatan demi
kesembuhan anaknya.
Efikasi diri (self efficacy) merupakan model keyakinan
kesehatan sebagai alat yang bermanfaat dalam memprediksi
derajat dimana individu kemungkinan memainkan peran aktif
dalam perawatan kesehatan mereka dan orang lain. Dalam hal
ini maka kemampuan dan keyakinan orangtua dalam merawat
anak dengan kanker dapat dilihat dari efikasi diri (self efficacy)
yang orang tua miliki dalam merawat anak dengan kanker.
Penelitian efikasi diri (self efficacy) pada orangtua dalam
menjalani pengobatan kanker anak di Rumah Kanker Anak
Cinta Bandung ini menunjukkan bahwa sebagian besar
orangtua dalam menjalani pengobatan kanker anak memiliki
efikasi diri (self efficacy) tinggi yaitu sebanyak 23 orang
(57,5%). Adapun hampir setengahnya orangtua memiliki
efikasi diri (self efficacy) rendah yaitu sebanyak 17 orang
(42,5%). Dengan demikian maka orangtua dengan anak kanker
pada penelitian ini memiliki kemampuan atau keyakinan yang
tinggi dalam merawat anak dengan kanker. Sehingga hal ini
dapat sangat menunjang terhadap proses perawatan,
pengobatan, dan penyembuhan anak yang pada akhirnya
diharapkan dapat meningkatkan kualitas hidup anak dengan
kanker.
Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian Harper et
al. (2013) yang dilakukan di tiga rumah sakit di USA terhadap
orangtua anak yang anaknya terdiagnosis penyakit kanker yang
menunjukkan hasil bahwa sebagian besar orangtua memiliki
395
self efficacy yang tinggi. Self efficacy yang tinggi pada orangtua
dapat membuat anak tenang dan nyaman sebelum menjalani
pengobatan dan atau membuat anak nyaman dan tenang selama
menjalani prosedur pengobatan, salah satunya kemoterapi. Hal
ini membuat kecemasan orangtua menurun selama anak
menjalani pengobatan kanker. Self efficacy orangtua
memengaruhi distres jangka menengah dan jangka panjang
selama prosedur pengobatan anak sehingga kemampuan koping
orangtua dalam mengatasi tantangan selama prosedur
pengobatan anak pun menjadi adaptif.
Sementara itu penelitian di Brazil yang dilakukan oleh
Alves et al. (2013) menunjukkan hasil yang berbeda dimana
orangtua anak dengan kanker memiliki level stres dan
kecemasan yang lebih tinggi pada orangtua dengan usia dewasa
muda, usia anak masih terlalu kecil, dan baru saja mengetahui
kalau anaknya menderita kanker. Ketakutan terhadap kematian
anak dan dampak penyakit terhadap kualitas hidup anak
merupakan kondisi penuh stres yang membuat orangtua
semakin stres dan cemas. Sehingga hal ini menyebabkan
orangtua memiliki self efficacy yang lebih rendah dan tidak
mampu melakukan perawatan terhadap anaknya yang
menderita kanker. Pada akhirnya hal ini berdampak pada
kualitas hidup anak yang lebih buruk. Dalam hal ini maka
perawat harus mampu memberikan support untuk membantu
orangtua mengatasi stres yang dialaminya dan memiliki koping
positif dalam menghadapi penyakit kanker anaknya. Adapun
penelitian Goldbeck (2006) menemukan bahwa diagnosis
kanker pada anak, terutama anak usia awal, memiliki dampak
396
yang negatif terhadap kualitas hidup orangtua. Penelitian di
Jerman ini menunjukkan bahwa kualitas hidup yang buruk pada
orangtua menyebabkan orangtua memiliki self efficacy yang
rendah dalam menjalani pengobatan anak dengan kaker.
Orangtua yang memiliki self efficacy lebih tinggi dapat
menjalankan perannya dalam perawatan pada anaknya bukan
hanya pada tingkat kesulitan yang rendah, namun juga dapat
menjalankan perannya pada tingkat kesulitan yang tinggi,
seperti pada saat anaknya mengalami berbagai keluhan pasca
kemoterapi dibandingkan dengan orangtua yang memiliki self
efficacy lebih rendah. Besarnya usaha yang dilakukan orangtua
dalam menjalankan perannya dapat terlihat pada peningkatan
usaha ketika menghadapi kegagalan atau kesulitan dan
bagaimana orangtua melaksanakan alternatif usaha yang dapat
membuatnya mencapai keberhasilan ketika menghadapi
kegagalan atau kesulitan atau hambatan dalam perawatan dan
pengobatan anaknya. Selain itu, orangtua yang memiliki self
efficacy yang tinggi akan dapat menjalankan perannya dalam
lingkup yang lebih luas. Orangtua akan belajar dari berbagai
pengalaman yang pernah dialaminya atau belajar dari
pengalaman orang lain dalam melakukan perawatan pada
anaknya.
Orangtua yakin bahwa dirinya mampu merawat anak
selama menjalani pengobatan kemoterapi serta mampu dalam
mengatasi keluhan sebelum kemoterapi dan efek samping
setelah di kemoterapi. Pengetahuan tentang dampak positif
kemoterapi semakin meningkatkan keyakinan orangtua dalam
menjalani usaha demi kesembuhan anaknya. Dengan usaha
397
semaksimal mungkin orangtua yakin anaknya dapat sembuh
kembali. Self efficacy yang tinggi akan menjadikan pengalaman
untuk menghadapi dan menyelesaikan hambatan yang dialami
melalui usaha yang terus-menerus dan berkelanjutan. Kesulitan
dan hambatan yang dialami biasanya mempunyai tujuan untuk
mengajarkan bahwa keberhasilan harus diiringi dengan usaha
yang terus-menerus. Dengan adanya self efficacy yang dimiliki,
orangtua akan menetapkan tindakan apa yang akan dilakukan
demi kesembuhan anaknya, diantaranya dengan terus
menjalankan pengobatan kemoterapi pada anaknya sampai
anaknya sembuh.

Simpulan
Orangtua merupakan orang yang sangat penting dalam
perawatan pada anak kanker. Hal ini sesuai dengan konsep
family centered care dalam perawatan pada anak kanker. Dua
konsep penerapan family centered care adalah enabling dan
empowerment. Professional enabling keluarga dibentuk dengan
menciptakan kesempatan bagi keluarga untuk menunjukkan
kemampuan dan kompetensi keluarga untuk mendapatkan
kemampuan baru untuk memenuhi kebutuhan anak.
Empowerment menggambaran interaksi professional dengan
keluarga untuk memelihara atau mendapatkan sense of control
dalam kehidupan sehari-hari dan menghargai perubahan positif
yang dihasilkan dari perilaku keluarga dalam memperkuat
kemampuan keluarga. Dalam hal ini maka kemampuan dan
keyakinan orangtua dalam merawat anak dengan kanker dapat

398
dilihat dari efikasi diri (self efficacy) yang orang tua miliki
dalam merawat anak dengan kanker.
Penelitian efikasi diri (self efficacy) pada orangtua
dalam menjalani pengobatan kanker anak di Rumah Kanker
Anak Cinta Bandung ini menunjukkan bahwa sebagian besar
orangtua dalam menjalani pengobatan kanker anak memiliki
efikasi diri (self efficacy) tinggi yaitu sebanyak 23 orang
(57,5%). Adapun hampir setengahnya orangtua memiliki
efikasi diri (self efficacy) rendah yaitu sebanyak 17 orang
(42,5%). Dengan demikian maka orangtua dengan anak kanker
pada penelitian ini memiliki kemampuan atau keyakinan yang
tinggi dalam merawat anak dengan kanker. Sehingga hal ini
dapat sangat menunjang terhadap proses perawatan,
pengobatan, dan penyembuhan anak yang pada akhirnya
diharapkan dapat meningkatkan kualitas hidup anak dengan
kanker.
Berdasarkan hasil penelitian tersebut, maka orangtua
yang memiliki self efficacy yang tinggi diharapkan dapat
menjalankan tugasnya dalam menjalani pengobatan kemoterapi
pada anak kanker dengan baik. Di samping itu, perawat sebagai
tenaga kesehatan yang paling sering kontak dengan pasien anak
kanker dan orangtuanya maka harus dapat meningkatkan
asuhan keperawatan tidak hanya pada anak dengan kanker
tetapi juga pada orangtua anak. Orangtua merupakan orang
yang sangat penting dalam perawatan pada anak kanker. Hal ini
sesuai dengan konsep family centered care dalam perawatan
pada anak kanker. Dengan demikian maka keluarga harus
dilibatkan dalam perawatan anak dengan kanker. Perawat juga
399
harus memberikan kesempatan dan dukungan bagi keluarga
untuk menunjukkan kemampuan dan kompetensi keluarga
untuk mendapatkan kemampuan baru untuk memenuhi
kebutuhan anak. Sehingga hal ini dapat meningkatkan efikasi
diri (self efficacy) pada orangtua dalam menjalani pengobatan
kanker anak.

Daftar Pustaka

Alves, D. F. S., Guirardello, E. B., & Kurashima, A. Y. (2013).


Stress related to care: The impact of childhood cancer
on the lives of parents. Rev. Latino-Am. Enfermagem,
21(1), 356-62. Retrieved from www.eerp.usp.br/rlae.

Baggot, R. B., Kelly, K. P., Fochtman, D., & Folley, G. (2001).


Nursing care of children and adolescent with cancer
(3rd edition). Pennsylvania: W.B Saunders Company.

Bandura, A. (2005). Self efficacy: The exercise and control.


New York: Freeman.

_________. (2002). Exercise of human agency through


collective efficacy. Curent Directions in Psychological
Science, 9, 75-79.

Depkes RI. (2011). Press release hari kanker anak sedunia.


Diperoleh dari
http://www.tv1.com/press_release_hari_kanker_an
ak_sedunia_html tanggal 26 Februari 2011.

400
Dunst, C. J., & Trivette, C. M. (2009). Meta-analytic structural
equation modelling of the influences of family
centered care on parent and child psychological health.
International Journal of Pediatric, 1-9.

Gatot, D. (2008). Deteksi dini kanker anak. Diperoleh dari


http://www.dinkesjabar.go.id/info/deteksi_dini_kan
ker_anak/html tanggal 12 Desember 2010.

Goldbeck, L. (2006). The impact of newly diagnosed chronic


paediatric conditions on parental quality of life.
Germany: University Clinic Ulm, Department for
Child and Adolescent Psychiatry/ Psychotherapy Ulm.

Harper, F. W., Peterson, A. M., Uphold, H., Albrecth, T. L.,


Taub, J. W., Orom, H., & et al. (2013). Longitudinal
study of parent caregiving self-efficacy and parent
stess reaction with pediatric cancer treatment
procedures. Psycooncologi, 22(7), 1658-64.
Doi:10.1002/pon.3199.

Hockenberry, M. J., & Wilson, D. (2011). Wong’s book 2


nursing care of infants and children (9th edition).
USA: Mosby Elseiver.

Hockenberry, M. J., Wilson, D., & Wong, D. L. (2009).


Wong’sessential of pediatric nursing (8th edition).
Missouri: Mosby Company.

Melander. (2002). Health psychology: Integrating mind and


body. Singapore: Allyn and Balcon.

401
National Cancer Institute. (2010). Surveillance, epidemiology
and end result (SEER). Diperoleh melalui
www.seer.cancer.gov/canque/incidence.html tanggal
11 Mei 2011.

______________________. (2009). A snapshot of pediatric


cancer. Diperoleh melalui
http://www.cancer.gov/aboutnci/servingpeople/canc
er-snapshot tanggal 10 Januari 2011.

Northouse, L. L., Katapodi, M. C., Song, L., Zhang, L., &


Mood, D. W. (2010). Intervention with family
caregivers of cancer patients: Meta analysis of
randomized trials. CA Cancer J Clin, 60, 317-339.

Polit, D. F., & Beck, C. T. (2008). Nursing research:


Generating and assessing evidence for nursing
practice (8th edition). Philadelphia: Lippincott
Williams & Wilkins.

Price, S. A., & Wilson, L. M. (2005). Patofisiologi: Konsep


klinis proses-proses penyakit. Jakarta: EGC.

Streisand, R., & Mackey, E. R., (2010). Associations of parent


coping, stress, and well-being in mothers of children
with diabetes: Examination of data from a national
sample. Materna Child Health, 14, 612–617.

Sujudi, A. (2002). Kanker anak bisa disembuhkan. Diperoleh


dari www.republika.co.id tanggal 14 Januari 2011.

402
Woolfolk, H. A. (2004). Educational psychology (9th edition).
USA: Pearson.

403
Strategi Koping Anak dalam Mengalami atau
MenyaksikanKekerasan dalam Rumah Tangga (KDRT)

Habsyah Saparidah Agustina, Efri Widianti, Sri Hendrawati


Fakultas Keperawatan, Universitas Padjadjaran
Email: habsyah.rida@gmail.com

Abstrak

Anak merupakan aset bangsa, sebagai generasi penerus yang


diharapkan kontribusinya terhadap keberlangsungan masa
depan bangsa ini.Namun pada kenyataannya anak seringkali
mengalami kekerasan diantaranya kekerasan dalam rumah
tangga (KDRT). Dari tahun ketahun angka kejadian kekerasan
terhadap anak semakin meningkat.Masalah KDRT pada anak
dapat menimbulkan berbagai persoalan baik dalam jangka
pendek maupun jangka panjang. Dalam menghadapi KDRT ini,
anak menunjukkan berbagai strategi koping yang berbeda.
Maka dari itu, literature review ini bertujuan untuk
mengidentifikasi strategi koping anak dalam mengalami atau
menyaksikan (KDRT).Artikel dikumpulkan melalui Google
Scholar, CINAHL dari EBSCOhost,dan Proquest electronic
databasemenggunakan kata kunci anak, strategi koping,
mekanisme kopingdan kekerasan dalam rumah tangga. Terdiri
dari penelitian kualitatif dan kuantitatif; full text;dan
dipublikasikan dalam bahasa Inggris maupun Indonesia tahun
2001 sampai 2015.Didapatkan sebanyak 20artikel, dan hanya
terdapat 8 artikel yang secara spesifik berkaitan dengan strategi
koping anak dalam mengalami atau menyaksikan KDRT.
Berbagai macam reaksi ditunjukkan oleh anak pada saat
menghadapi KDRT diantaranya menghindar dari keributan,
mengurung diri di kamar dengan mendengarkan musik yang

404
keras, membaca buku sambil menutup telinga, bermain video
game, ikut bertengkar, melapor pada polisi, meminta bantuan
tetangga, membela diri, pergi dari rumah, distraksi untuk
mengajak ayah bermain, dan tindakan asertif (mengungkapkan
kemarahan dan kekesalannya terhadap orang tuanya).Strategi
yang diterapkan adalah emotional focus coping(mengelola dan
mengatasi stress) dan problem focus coping (merubah situasi
yang bermasalah). Anak menunjukkan reaksi dan strategi
koping yang berbeda pada saat mengalami atau menyaksikan
KDRT. Oleh sebab itu anak memerlukan perhatian dari
berbagai pihak termasuk perawat sebagai tenaga kesehatan
profesional untuk dapat menerapkan strategi koping yang
konstruktif dalam menghadapi permasalahan ini sehingga
dampak jangka pendek dan jangka panjang terhadap anak dapat
teratasi.

Kata kunci: Anak, Strategi Koping, Mekanisme Koping Dan


Kekerasan Dalam Rumah Tangga

Pendahuluan
Anak merupakan aset bangsa, sebagai generasi penerus
yang diharapkan kontribusinya terhadap keberlangsungan masa
depan bangsa ini. Kelangsungan hidup anak merupakan hak
asasi yang harus dipenuhi. Menurut Konvensi Hak Anak yang
diadopsi oleh majelis Umum PBB pada tahun 1989, dan
Indonesia telah mensyahkannya melalui Undang-Undang RI
No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, yang
menyebutkan bahwa setiap anak tanpa memandang ras, suku
bangsa, jenis kelamin, asal usul keturunan, agama maupun
bahasa mempunyai empat bidang hak, yaitu: (a) hak untuk
405
hidup, (b) hak untuk tumbuh dan berkembang, (c) hak untuk
memperoleh perlindungan, dan (d) hak untuk berpartisipasi.
Hal ini pun dipertegas dengan dikeluarkannya Undang-undang
tentang Perlindungan Anak nomor 23 tahun 2002 pasal 4 yang
menyatakan bahwa setiap anak berhak untuk dapat hidup,
tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara wajar sesuai
dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapatkan
perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.
Namun pada kenyataannya anak seringkali mengalami
kekerasan diantaranya kekerasan dalam rumah tangga. Dari
tahun ketahun angka kejadian kekerasan terhadap anak semakin
lama semakin meningkat. Tindak Kekerasan ini banyak terjadi
di berbagai belahan dunia diantaranya Mediterania Timur 37%,
Afrika 37%, Amerika 30%, Eropa 25%, pasifik Barat 24%
(WHO, 2013). Indonesia merupakan negara yang mempunyai
angka tertinggi dalam kasus KDRT (Zubir, 2013). Berdasarkan
data dari Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI)
mendapatkan bahwa terdapat peningkatan kekerasan terhadap
anak, baik secara seksual, fisik maupun eksploitasi seksual
komersil. Sejak bulan Januari hingga bulan Oktober 2013,
jumlah kasus tersebut mencapai 525 kasus atau 15,85 persen
dari kasus yang terjadi. Data KPAI menyebutkan bahwa pada
tahun 2012 terdapat 746 kasus. Jumlah ini meningkat 226
persen dari tahun sebelumnya, dengan jumlah kasus sebanyak
329 kasus. Adapun sumber data didapatkan dari pengaduan
yang masuk, baik melalui pengaduan langsung, surat, telepon,
email, dan berita. Komnas Perlindungan Anak mencatat dalam
semester I di tahun 2013 atau mulai bulan Januari sampai akhir
406
Juni 2013 ada 1032 kasus kekerasan anak yang terjadi di
Indonesia. Dari jumlah itu kekerasan fisik tercatat ada 294
kasus atau 28 persen, kekerasan psikis 203 kasus atau 20 persen
dan kekerasan seksual 535 kasus atau 52 persen (Mutiah,
2015). KPAI menyatakan bahwa Jawa Barat menjadi daerah
darurat kekerasan terhadap anak dari 21 juta laporan kekerasan
yang di terima KPAI selama tahun 2013, sebanyak 38%
diantaranya terjadi di Jawa Barat (Harian Tempo, 2014).
Anak sebagai korban kekerasan merupakan fenomena
sosial yang memerlukan perhatian dari berbagai pihak termasuk
perawat sebagai tenaga kesehatan profesional. Hampir setiap
hari pemberitaan mengenai anak-anak dengan kasus kekerasan
fisik dan psikologis dapat dilihat pada berbagai macam media
masa maupun media elektronik. Banyaknya kasus yang terjadi
tentu menimbulkan pertanyaan mendasar tentang bagaimana
melindungi anak-anak dari berbagai tindak kekerasan.
Pengalaman menyaksikan dan mengalami KDRT
merupakan suatu peristiwa traumatis karena kekerasan
dilakukan oleh orang-orang yang terdekat bagi anak. Keluarga
yang semestinya memberikan rasa aman, justru menampilkan
dan memberikan kekerasan yang dapat menciptakan rasa takut
serta kemarahan pada anak. Masalah KDRT pada anak dapat
menimbulkan berbagai persoalan baik dalam jangka pendek
maupun jangka panjang. Dalam jangka pendek anak dapat
mengalami ancaman terhadap keselamatan hidup, merusak
struktur keluarga, munculnya berbagai gangguan mental,
seperti depresi, cemas, agresi, dan perilaku marah (Overlien &
Hyden, 2009). Pengalaman traumatis anak dalam menyaksikan
407
dan mengalami KDRT sering ditemukan sebagai resiko
munculnya masalah psikologis di masa depan, seperti:
penelantaran dan pelecehan secara fisik dan psikologis pada
anak (McGuigan & Pratt, 2001); masalah perilaku eksternal
atau internal, serta berbagai perilaku beresiko seperti merokok,
penyalahgunaan zat dan perilaku seks beresiko (Kitzmann,
Gaylord, Holt, & Kenny, 2003; Skopp, McDonald, Jouriles, &
Rosenfield, 2007); dan hubungan sosial yang buruk serta Post
Traumatic Stress Disorder (PTSD) (Overlien & Hyden, 2009).
Meskipun terjadi peningkatan kesadaran terhadap
dampak KDRT baik secara jangka pendek maupun jangka
panjang pada anak dan meningkatnya pemahaman terhadap
pengalaman anak dengan KDRT tetapi penelitian di Indonesia
lebih banyak berfokus terhadap orang dewasa yang dalam hal
ini orang tua yang mengalami KDRT dan masih sangat sedikit
penelitian yang berfokus tentang reaksi anak terhadap KDRT
dan strategi koping yang diterapkannya. Perawat memiliki
peranan penting dalam hal ini yaitu melakukan upaya promotif
dan preventif. Salah satu peran perawat dalam upaya promotif
adalah untuk mengurangi angka kejadian dan dampak dari
KDRT terhadap anak tersebut yang dapat dilakukan dengan
meningkatkan mekanisme koping anak ke arah yang adaptif.
Penelitian di luar negeri menunjukan bahwa anak yang
mengalami KDRT dapat menunjukan mekanisme koping yang
adaptif dan maladaptif (Overlien & Hyden, 2009). Strategi
yang diterapkan adalah emotional focus coping (dengan
mengelola dan mengatasi stress) dan problem focus coping
(merubah situasi yang bermasalah) (Folkman & Lazarus,
408
1991). Berdasarkan penelitian Overlien dan Hyden (2009) dan
Hogan dan O‘Reilly (2007) berbagai macam reaksi
ditunjukkan oleh anak pada saat menghadapi KDRT
diantaranya menghindar dari keributan, mengurung diri di
kamar dengan mendengarkan musik yang keras, membaca buku
sambil menutup telinga, bermain video game, ikut bertengkar,
melapor pada polisi, meminta bantuan kepada tetangga,
membela diri dan ibu, pergi dari rumah, distraksi kepada ayah
untuk mengajaknya bermain, dan tindakan asertif, seperti
mengungkapkan kemarahan dan kekesalannya terhadap orang
tuanya. Maka dari itu, literature review ini bertujuan untuk
mengidentifikasi strategi koping anak dalam mengalami atau
menyaksikan (KDRT).

Metode
Artikel dikumpulkan melalui Google Scholar, CINAHL
dari EBSCOhost, dan Proquest electronic database
menggunakan kata kunci anak, strategi koping, mekanisme
koping dan kekerasan dalam rumah tangga. Terdiri dari
penelitian kualitatif dan kuantitatif; full text; dan dipublikasikan
dalam bahasa Inggris maupun Indonesia tahun 2001 sampai
2015. Didapatkan sebanyak 20 artikel, dan hanya terdapat 8
artikel yang secara spesifik berkaitan dengan strategi koping
anak dalam mengalami atau menyaksikan KDRT.

Hasil dan Pembahasan


Kekerasan dalam rumah tangga merupakan masalah
kekerasan dalam keluarga yang banyak terjadi menimpa rumah
409
tangga-rumah tangga di Indonesia saat ini. Kekerasan dalam
rumah tangga kadang dikaitkan dengan istilah kekerasan
terhadap pasangan (spouse abuse). Adapun kekerasan pasangan
didefinisikan sebagai penggunaan kekerasan fisik oleh
pasangannya yang terjadi pada hubungan yang telah intim pada
pasangannya. Kekerasan pasangan ini mencakup kekerasan
secara psikologis seperti intimidasi, ancaman, penghinaan
dimuka umum, dan kata-kata kasar yang dilakukan secara
berulang-ulang. Perkembangan ruang lingkup kekerasan dalam
rumah tangga selanjutnya ialah bentuk kekerasan terhadap
anak, yang sering ikut menjadi korban kekerasan dalam rumah
tangga.
Berbagai macam reaksi ditunjukkan oleh anak pada saat
menghadapi KDRT diantaranya menghindar dari keributan,
mengurung diri di kamar dengan mendengarkan musik yang
keras, membaca buku sambil menutup telinga, bermain video
game, ikut bertengkar, melapor pada polisi, meminta bantuan
tetangga, membela diri, pergi dari rumah, distraksi untuk
mengajak ayah bermain, dan tindakan asertif (mengungkapkan
kemarahan dan kekesalannya terhadap orang tuanya). Strategi
yang diterapkan adalah emotional focus coping (mengelola dan
mengatasi stress) dan problem focus coping (merubah situasi
yang bermasalah).
Masalah KDRT pada anak dapat menimbulkan berbagai
persoalan baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang.
Dalam jangka pendek anak dapat mengalami ancaman terhadap
keselamatan hidup, merusak struktur keluarga, munculnya
berbagai gangguan mental, seperti depresi, cemas, agresi, dan
410
perilaku marah (Overlien & Hyden, 2009). Pengalaman
traumatis anak dalam menyaksikan dan mengalami KDRT
sering ditemukan sebagai resiko munculnya masalah psikologis
di masa depan, seperti: penelantaran dan pelecehan secara fisik
dan psikologis pada anak (McGuigan & Pratt, 2001); masalah
perilaku eksternal atau internal, serta berbagai perilaku beresiko
seperti merokok, penyalahgunaan zat dan perilaku seks
beresiko (Kitzmann, Gaylord, Holt, & Kenny, 2003; Skopp,
McDonald, Jouriles, & Rosenfield, 2007); dan hubungan sosial
yang buruk serta Post Traumatic Stress Disorder (PTSD)
(Overlien & Hyden, 2009). Selain itu, dampak yang paling
mendominasi korban adalah rasa takut. Rasa takut tersebut
mengendalikan perilakunya, dan mewarnai segala tindak
tanduknya bahkan ketakutan dapat mengganggu tidurnya,
memunculkan insomnia dan mimpi-mimpi buruk. Juga masih
banyak dampak pada korban yang menyebabkan kondisi fisik
dan kejiwaan korban terganggu.
Penderitaan akibat penganiayaan dalam rumah tangga
tidak terbatas kepada istri saja, tetapi menimpa anak-anak juga.
Anak-anak bisa mengalami penganiayaan secara langsung atau
merasakan penderitaan akibat menyaksikan penganiayaan yang
dialami oleh ibunya. Paling tidak, setengah dari anak-anak yang
hidup di dalam rumah tangga yang di dalamnya terjadi
kekerasan, juga mengalami perlakuan kejam. Sebagian besar
tidak diperlakukan kejam secara fisik, sebagian lagi secara
emosional maupun secara seksual. Kehadiran anak di rumah
tidak membuat suami untuk tidak melakukan KDRT kepada
istrinya. Bahkan dalam banyak kasus, orang tua yang
411
melakukan penganiayaan memaksa anaknya menyaksikan
pemukulan terhadap ibunya. Sebagian menggunakan perbuatan
itu sebagai cara tambahan untuk menyiksa dan menghina
pasangannya. Menyaksikan kekerasan merupakan pengalaman
yang sangat traumatis bagi anak-anak. Mereka sering kali diam
terpaku, ketakutan, dan tidak mampu berbuat sesuatu ketika
sang ayah menyiksa ibu mereka. Sebagian berusaha
menghentikan tindakan sang ayah atau meminta bantuan orang
lain.
Masyrakat masih memiliki kesadaran yang rendah untuk
berani melapor tentang kejadian KDRT dikarenakan dari
masyarakat sendiri yang enggan untuk melaporkan
permasalahan dalam rumah tangganya, maupun dari pihak-
pihak yang terkait yang kurang mensosialisasikan tentang
kekerasan dalam rumah tangga, sehingga data kasus tentang
(KDRT) pun, banyak dikesampingkan ataupun dianggap
masalah yang sepele. Banyak sekali kekerasan dalam rumah
tangga ( KDRT) yang tidak tertangani secara langsung dari
pihak yang berwajib, bahkan kasus kasus KDRT yang kecil pun
lebih banyak dipandang sebelah mata daripada kasus – kasus
lainnya. Sedangkan KDRT memiliki dampat yang sangat serius
untuk masa depan anak sebagai korban dari KDRT ini, baik
dampak dalam jangka pendek maupun jangka panjang.
Petugas kesehatan dalam hal ini salah satunya adalah
perawat mempunyai peran dalam menanggulangi masalah
KDRT terutama kepada anak sebagai korban. Perawat dalam
hal ini dapat berperan dalam konselor agar dampak yang
dialami oleh anak tersebut tidak sampai menjadi pengalaman
412
traumatis bagi anak. Penelitian di Indonesia tentang mekanisme
koping anak dalam menghadapi KDRT masih sangat terbatas,
sehingga peneliti memandang perlu untuk dilakukannya
penelitian mengenai Mekanisme Koping Anak ketika
Mengalami atau Menyaksikan Kekerasan dalam Rumah
Tangga (KDRT) di Jawa Barat, mengingat penelitian
sebelumnya lebih banyak dilakukan pada anak-anak di negara
barat yang tentunya memiliki budaya yang berbeda dengan
anak-anak di negara timur, terutama di negara Indonesia,
sehingga kemungkinan respon dan strategi dalam menghadapi
masalah pun akan berbeda.

Simpulan
Anak menunjukkan reaksi dan strategi koping yang
berbeda pada saat mengalami atau menyaksikan KDRT. Oleh
sebab itu anak memerlukan perhatian dari berbagai pihak
termasuk perawat sebagai tenaga kesehatan profesional untuk
dapat menerapkan strategi koping yang konstruktif dalam
menghadapi permasalahan ini sehingga dampak jangka pendek
dan jangka panjang terhadap anak dapat teratasi.

Daftar Pustaka

Folkman, S. & Lazarus, R. S. (1991) ‟Coping and emotion‟ in


A. Monat &amp; R. S. Lazarus (eds.) Stress and
Coping, pp. 207-227. New York: Columbia University
Press.

413
Hogan, F., & O‘Reilly, M. (2007). Listening to children:
Children’s stories domestic violence. Centre for Social
and Family Research, Department of Applied Arts,
Waterford Institute of Technology. Dublin 2, Irlandia.

Kitzmann, K., Gaylord, N., Holt, A., & Kenny, E. (2003). Child
witnesses to domestic violence: A metaanalytic review.
Journal of Consulting and Clinical Psychology, 71,
339- 352.

McGuigan, W., & Pratt, C. (2001). The predictive impact of


domestic violence on three types of child maltreatment.
Child Abuse & Neglect, 25, 869-883.

Mutiah, D. (2015). Faktor-faktor yang mempengaruh


kekerasan terhadap anak. Fakultas Psikologi UIN
Jakarta. Tersedia dalam repository.uinjkt.ac.id. Diakses
pada 20 April 2016 Pkl. 19.41.

Overlien, C., & Hydén, M. (2009). Children‘s actions when


experiencing domestic violence. A Journal of Global
Child Research.

Skopp, N., McDonald, R., Jouriles, E., & Rosenfield, D.


(2007). Partner aggression and children‘s externalizing
problems: Maternal and partner warmth as protective
factors. Jurnal of Family Psychology, 21, 459-467.

Undang-Undang RI No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi


Manusia

414
Undang-Undang RI No. 23 Tahun 2002 tetang Perlindungan
Anak

Undang-Undang RI No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan


Kekerasan Dalam Rumah Tangga (PKDRT)

World Health Organization. 2013. Global and regional


estimates of violence againts women: Prevalence and
health efect of intimte partner violence and non partner
sexual violence.

Zubir, A., & Harahap, A. H. (2012). Faktor-faktor yang


berhubungan dengan kejadian perceraian di
pengadilan agama kecamatan sail, kota pekan baru
Tahun 2012. Jurnal Kebidanan Stikes Tuanku Tambusai
Riau.

415
Literature Review: Penggunaan Madu untuk Oral Care
pada Pasien Anak yang Mengalami Mukositis Setelah
Pemberian Kemoterapi

Triliana Purwadesi Yuliar1, Henny Suzana Mediani2 , Ikeu


Nurhidayah Karim2
1
Mahasiswa Magister Peminatan Kepearawatan Anak Universitas Padjdajaran
2
Fakultas Keperawatan Universitas Padjadajaran
Email : triliana_py@yahoo.co.id

Abstrak

Mukositis merupakan salah satu efek samping kemoterapi.Pada


anak, mukositis menyebabkan nyeri,kesulitan makan,menelan,
berbicara , menurunkan status gizi, meningkatkan risiko infeksi
serta menurunkan kualitas hidup pasien yang selanjutnya akan
mengganggu proses tumbuh kembang.Penggunaan madu
diklaim memiliki potensi dalam perawatan mukositis
ini.Dengan demikian menjadi penting menelaah literature
terkait untuk mengidentifikasi aplikasi,kemananan dan
efektivitas madu dalam perawatan mukositis. Telaah literature
ini ditujukan untuk mengidentifikasi evidence terkait aplikasi
madu dalam perawatan mukositis akibat kemoterapi pada
anak.Telaah mencakup artikel penelitian yang didapatkan
melalui electronic database; Proquest, EBSCO, Pubmed dan
Google Scholar yang menggunakan desain quasi eksperimen
dan Randomized Clinical Trial (RCT) melibatkan pasien
kanker pada usia anak 2 tahun sampai 18 tahun, dipublikasikan
pada tahun 2006-2016 menggunakan kata kunci Chemotherapy,
Children , Honey, Mucositis, Oral Care. Didapatkan 4 artikel
yang memenuhi kriteria. Penggunaan madu dapat digunakan
secara topical, mouth wash dan lip balm. Empat artikel tersebut
416
menyimpulkan bahwa madu lebih efektif menurunkan skor
mukositis dibandingkan media oral care lainnya.Selain itu
waktu penyembuhan mukositis pada pasien yang dirawat
menggunakan madu lebih pendek.Selain efektif madu juga
memiliki rasa yang manis sehingga relative lebih mudah
diaplikasikan pada anak saat mendapatkan oral care. Dapat
disimpulkan bahwa madu efektif mengatasi gejala mukositis
pada anak yang menjalani kemoterapi

Kata kunci: Chemotherapy, Children , Honey, Mucositis, Oral


Care

Pendahuluan
Saat ini penyakit kanker bisa terjadi pada setiap tingkat
usia bahkan banyak juga ditemukan penyakit kanker pada usia
anak.Dari data Kementrian Kesehatan RI dalam Buletin Jendela
Data dan Informasi Kesehatan, 2015 menurut Union for
International Cancer Control (UICC) setiap tahun terdapat
176.000 anak yang didiagnosis kanker dan merupakan salah
satu penyebab utama kematian 90.000 anak setiap tahunnya.Di
Indonesia kanker mulai menggeser posisi serangan jantung
sebagai penyebab utama kematian (Sabrida 2015).RSUP Dr
Hasan Sadikin Bandung sebagai pusat rujukan se Jawa Barat
maka di ruangan rawat inap anak (Ruangan Kenanga) terdapat
pasien kanker yang mendapatkan kemoterapi, bahkan
kemoterapi pada pasien neoplasma sebagai peringkat pertama
untuk 10 penyakit terbanyak pada tahun 2015 sebanyak 696
pasien. Batasan usia anak menurut Undang-Undang Republik
Indonesia Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan anak

417
pasal 1 ayat 1 menjelaskan bahwa yang dikatakan anak adalah
seseorang yang belum berusia 18 tahun termasuk anak dalam
kandungan.
Salah satu pengobatan penyakit kanker adalah
kemoterapi disamping pembedahan, radioterapi dan pemberian
hormonal. Kemoterapi yang merupakan tindakan pemberian
obat kimiawi yang bertujuan untuk membatasi pertumbuhan
jumlah sel kanker dan menghambat proses metastase dapat juga
menimbulkan rasa takut dan pengalaman yang buruk akibat
efek samping dari pemberian kemoterapi. Efek samping yang
terjadi dapat menimbulkan gangguan sistem hematologi, nyeri,
fatique, mual muntah, konstipasi, diare, mukositis, perubahan
indera perasa, rambut rontok dan perubahan kulit. Sedangkan
pada anak usia remaja ditemukan 6 gejala umum selama
pemberian kemoterapi, yaitu gangguan tidur, kelelahan
(fatique), mual, nyeri, gangguan mood dan perubahan
penampilan (Erickson et al., 2013) .
Selama pemberian kemoterapi anak akan mengalami
hospitalisasi.Hal yang perlu dipertimbangkan dalam perawatan
pasien anak adalah stressor dan reaksi anak selama hospitalisasi
, yaitu cemas akibat perpisahan,kehilangan control dan
orientasi terhadap penyakit dan rasa sakit.Menurut Sposito et
al. (2015) anak yang dirawat di rumah sakit selama pengobatan
kemoterapi ada beberapa hal yang harus diperhatikan seperti
adaptasi selama perawatan di rumah sakit, rasa nyeri, efek
samping pengobatan, waktu yang terbuang dan ketidakpastian
dalam keberhasilan pengobatan.Sehingga pasien anak yang

418
sedang dirawat perlu dimotivasi untuk mengembangkan
kopingnya sendiri.
Sebagai seorang perawat anak maka harus mengetahui
tentang filosofi keperawatan anak yaitu family centred care
dan atraumatic care perlu diperhatikan. Anak dengan kanker
akan merasa trauma akibat beberapa tindakan invasive yang
dilakukan baik saat pemeriksaan diagnostic lumbal punksi
ataupun pengambilan sampel darah yang berkelanjutan yang
dapat menimbulkan rasa nyeri untuk itu sebagai perawat anak
harus berusaha meminimalkan rasa trauma tersebut.Selain itu
pasien anak yang mendapatkan kemoterapi akan mengalami
perawatn yang lama dan berulang sehingga memerlukan
dukungan secara emosional dan psikososial dari lingkungan
sekitar terutama dari keluarga yang terdekat karena kemoterapi
efek samping yang dapat mengakibatkan trauma
berkepanjangan pada pasien. Family centred care pada pasien
anak dengan penyakit kronis sangat diperlukan, sehingga
pentingnya melibatkan keluarga terutama ayah dan ibu dalam
program pengobatan kemoterapi.Karena ayah dan ibu harus
mengetahui penjadwalan dan jenis kemoterapi yang akan
berlangsung serta efek samping yang bisa terjadi setelah
pemberian kemoterapi baik saat masih perawatan di rumah
sakit atau setelah pulang ke rumah.Peran perawat anak adalah
bertanggung jawab dalam meningkatkan promosi kesehatan
dan hidup yang lebih baik bagi anak dan keluarganya.
Salah satu efek samping pada pasien yang mendapatkan
kemoterapi yang adalah insidensi mukositis. Selain karena efek
samping kemoterapi tetapi dapat juga karena daya tahan tubuh
419
yang menurun karena pemberian kemoterapi dan juga karena
kurangnya perhatian orang tua terhadap kebersihan daerah
rongga mulutnya.Mukositis disebabkan karena rusaknya sel
epitel pada mukosa mulut dan terhambatnya pertumbuhan
sekunder karena pengobatan antineoplastic dalam bentuk
kemoterapi atau radioterapi (Martin & Perez 2014).
Dari penelitian Nurhidayah,Sholehati & Nuraeni
(2013) di Ruangan Kenanga RSUP Dr Hasan Sadikin Bandung
dengan menggunakan deskriptif eksploratif didapatkan dari 21
responden yang didapatkan dari consecutive sampling terjadi
peningkatan skor mukositis sebanyak 3,83% setelah diberikan
kemoterapi. Banyak factor yang dapat menyebabkan mukositis
menurut Lubis & Silvana (2007) komplikasi rongga mulut
dapat terjadi karena dua hal, pertama akibat langsung dari efek
samping obat kemoterapi terhadap rongga mulut dan akibat
tidak langsung yang dikarenakan penurunan daya tahan tubuh
pasien. Selain itu yang perlu diperhatikan pada efek samping
ini selain status nutrisi, neutropenia, kebersihan mulut yang
kurang juga harus dilihat tingkat usia (Hashemi et al., 2015)
Insiden kejadian mukositis juga bisa dilihat dari
pemberian dosis kemoterapi .Pasien mengalami mukositis
sebanyak 40% yang mendapatkan standard dosis pada
kemoterapi dan sebanyak 100% pada pasien yang mendapatkan
kemoterapi dosis tinggi atau kombinasi antara kemoterapi dan
radiasi pada kanker kepala dan leher (Gibson et al., 2013).
Terjadinya peningkatan pasien anak dan remaja yang menderita
kanker dari data The American Cancer Society (ACS) terjadi
peningkatan dari 58% menjadi 80% sehingga lebih difokuskan
420
pada perawatan suportif untuk peningkatan kualitas
hidupnya.Perawatan suportif diutamakan pada asupan nutrisi
yang adekuat dan berat badan yang optimal (Green , Horn , &
Erickson 2010)
Mukositis yang terjadi pada anak akan menurunkan
nafsu makan anak sehingga kecukupan nutrisinya akan
terganggu. Pada pasien anak dan remaja memerlukan energi
yang cukup untuk dapat tumbuh dan berkembang sesuai dengan
perkembangannya.Anak yang kekurangan nutrisi akan cepat
lelah sehingga anak tidak dapat bermain, belajar, berkarya
dengan teman sebayanya.Apalagi pada anak usia sekolah
bermain dan belajar adalah tugas perkembangan yang utama
(Hockenberry & Wilson, 2007). Selain itu kurangnya asupan
gizi juga dapat meningkatkan resiko terkena infeksi karena
daya tahan tubuh menurun sehingga anak mudah terserang
penyakit. Hal ini akan mengganggu pertumbuhan dan
perkembangan anak sehingga kualitas hidup anak akan
menurun. Dan dapat menimbulkan rasa nyeri dan rasa tidak
nyaman di mulut.Bahkan pada usia remaja dari hasil
pengamatan di lapangan merasa harga diri rendah sehingga
menarik diri dari teman sebayanya.
Pada penelitian Green, et al (2010) yang menggunakan
metode kualitatif menemukan beberapa kebiasaan makan pada
pasien anak dan remaja yang dilakukan kemoterapi.Ketika
terdapat mukositis maka sebagian besar partisipan mengatakan
bahwa pengalaman dengan luka di mulut sangat mengganggu,
menyakitkan,kesulitan menggerakan lidah serta sulit dan sakit
ketika makan.Sehingga asupan makanan yang masuk juga tidak
421
banyak. Bahkan ada yang tidak masuk makanan sama sekali
tetapi ada yang mecoba untuk makan yang mengandung kuah
atau makanan lunak.
Untuk mencegahnya harus dilakukan oral
hygiene.Dalam panduan MASCC (Multinational Assosciation
of Suportive Cancer Care) oral hygiene yang efektif dapat
menggunakan sikat gigi yang lembut sehari dua kali, flossing
sehari sekali dan berkumur teratur dengan obat kumur dan
pelembab mulut yang bertujuan untuk menghindari terjadinya
disfungsi kelenjar ludah.Obat kumur yang digunakan termasuk
Natrium Chlorida 0,9%, Larutan Sodium bikarbonat dan
air.(Bensinger et al., 2008)
Jika terjadi mukositis pada pasien setelah pemberian
kemoterapi dapat dilakukan oral care dengan beberapa
cara.Seperti dalam systematic review yang dilakukan oleh Mc
Guire et al.(2013) bahwa tedapat tujuh tindakan oral care yang
dapat dilakukan , yaitu : protocol oral care , dental care ,
normal saline , sodium bicarbonate , chlorhexidine ,
pengobatan dengan mouth wash dan calcium phosphate
Dalam systematic review lain yang dilakukan oleh Hashemi, et
al. (2015) dari hasil pencariannya didapatkan 30 artikel yang
menyimpulkan bahwa chlorhexidine 0,12 – 0,2%, normal saline
0,9%, sodium bicarbonate,iseganan,benzydamine,sucralfate dan
Granulocyte Macrophage Colony Stimulating Factor dapat
digunakan untuk mouth rinse untuk pencegahan terjadinya
mukositis pada kemoterapi.
Selain media di atas dapat juga dalam melakukan oral
care menggunakan madu. Madu adalah produk alami yang
422
dapat memiliki efek terapeutik.Dalam kandungan madu
terdapat 200 substansi.Madu memiliki komposisi utama
fruktosa dan glukosa tetapi terkandung juga frukto-
oligosakarida dan beberapa asam amino. Telah digunakan sejak
8000 tahun yang lalu di daerah mesir kuno, syiria china,yunani
dan roma digunakan untuk menyembuhkan luka dan penyakit
usus.(Oskouei & Najafi 2013).
Dalam artikel yang ditulis oleh Vallianou, Gounari,
Skourtis, Panavos & Kazazis (2014) madu secara umum terdiri
dari gula dan air, kandungan fruktosa dalam gula adalah yang
terbanyak. Tetapi sebagian juga mengandung vitamin terutama
vitamin B kompleks dan vitamin C dengan beberapa
kandungan mineral.Madu dapat digunakan sebagai pengobatan,
makanan dan terapi yang sudah ada sejak jaman dulu. Dapat
berfungsi sebagai anti inflamasi, anti bakteri dan anti oksidan.
Bahkan keistimewaan madu yang berasal dari lebah
tercantum dalam kitab suci umat Muslim, yaitu Al Qur‘an
dalam surat An-Nahl ayat 69 yang berbunyi

― Kemudian makanlah dari tiap-tiap (macam) buah-buahan


dan tempuhlah jalan Tuhanmu yang telah
dimudahkan(bagimu).Dari perut lebah itu keluar minuman
(madu) yang bermacam-macam warnanya,di dalamnya
terdapat obat menyembuhkan bagi manusia.Sesungguhnya
pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda (kebesaran
Tuhan) bagi orang yang memikirkannya.‖

423
Penggunaan madu selain digunakan oleh dokter dan
perawat sudah digunakan juga oleh para ahli gigi sebagai
pencegahan pembentukan plaque, pencegahan periodontitis,
anti halitosis atau bau mulut, anti kariogenik, yaitu
menghambat pertumbuhan bakteri,penyembuhan post ekstraksi
gigi dan mukositis yang disebabkan oleh radasi. (Duggal 2012)

Banyak penelitian yang sudah dilakukan untuk oral


care dengan madu pada orang dewasa salah satunya dari
penelitian Kahanal , Baliqa & Uppal (2010) dengan teknik
random yang membandingkan penggunaan madu dengan
lignocaine, didapatkan hasil bahwa madu lebih protektif dalam
menghambat perkembangan mukositis yang dioleskan pada
mukosa mulut pasien yang akan dilakukan radiasi.

Penggunaan madu pada oral care pada pasien mukositis


banyak digunakan dikarenakan madu sudah tersedia,mudah
didapatkan dan dapat diterima dengan baik oleh pasien.
Tetapi pada literature review ini penulis merasa tertarik
untuk mencari artikel mengenai penelitian oral care pasien
dengan mukositis setelah pemberian kemoterapi pada usia
anak.Karena pada anak penggunaan madu lebih mudah
digunakan disebabkan rasa yang manis,madu boleh tertelan
sehingga akan aman dan anak merasa nyaman.
Tujuan penulisan ini adalah menelaah literature untuk untuk
mengidentifikasi aplikasi,keamanan efektifitas penggunaan
madu sebagai oral care pada pasien anak yang mengalami
mukositis setelah pemberian kemoterapi
424
Metode
Telaah literature ini ditujukan untuk mengidentifikasi
evidence terkait aplikasi madu dalam perawatan mukositis
akibat kemoterapi pada anak.Telaah mencakup artikel
penelitian yang didapatkan melalui electronic database;
Proquest, EBSCO, Pubmed dan Google Scholar yang
menggunakan desain quasi eksperimen dan Randomized
Clinical Trial (RCT) melibatkan pasien kanker pada usia anak
2 tahun sampai 18 tahun, dipublikasikan pada tahun 2006-2016
menggunakan kata kunci Chemotherapy, Children , Honey,
Mucositis, Oral Care.
Dari pencarian dengan menggunakan electronic
database didapatkan 4 artikel yang sesuai kriteria dengan 2
artikel berasal dari Indonesia dan 2 artikel dari luar negeri.

Hasil Penelitian
Penelitian Nurhidayah (2011) terhadap pasien
mukositis akibat kemoterapi di RS Cipto Mangunkusumo
dengan pemberian oral care dengan madu dan didapatkan hasil
bahwa terjadi penurunan yang signifikan terhadap rerata skor
mukositis.Sehingga disimpulkan bahwa oral care dengan
madu efektif untuk menurunkan mukositis pada pasien setelah
pemberian kemoterapi.
Dalam penelitiannya dijelaskan pemberian oral care
dilakukan sehari tiga kali, dalam sekali pemberian jumlah madu
yang digunakan sebanyak 35 ml, 20 ml digunakan sebagai
topical dengan mengusap rongga mulut, 15 ml dicampur 50 ml
air digunakan sebagai mouth wash dengan cara berkumur dan
425
sebagian digunakan untuk lip balm.Penggunaan oral care
dengan penggunaan madu di ruangan anak pernah dilakukan
sebagai salah satu edukasi untuk personal hygine pada pasien
dengan immunocompromise , tetapi belum optimal dalam
pelaksanaan dan evaluasinya, serta belum terdokumentasi pada
rekam medis.
Selain dari penelitian Nurhidayah (2011) dari hasil
pencarian artikel dengan menggunakan beberapa electronic
database didapat 4 (empat) artikel yang menjelaskan tentang
penggunaan madu pada pasien anak yang mengalami mukositis
setelah pemberian kemoterapi.
Artikel pertama yang dituliskan oleh Sutari , Ayu Anik
, Gunahariati & Suindrayasa (2014) dengan judul Pengaruh
systematic oral dengan madu terhadap disfungsi rongga mulut
akibat kemoterapi pada anak usia 3-12 tahun.Bertujuan dapat
memberikan alternative bagi pasien untuk pelaksanaan
systematic oral care dengan madu.Metode yang digunakan Pre
experimental dengan pendekatan one grup pre test dan post test
design tanpa kelompok control. Jumlah sampel 24 pasien yang
menjalani kemoteapi di RSUP Sanglah sesuai kriteria inklusi ,
yaitu dalam masa pengobatan kemoterapi,berusia 3-12
tahun,kooperatif dan bersedia menjadi responden. Cara
pengambilan sampel non probability sampling dengan teknik
total sampling.Skala penilaian menggunakan instrument Beck
Oral Assessment Scale (BOAS) yang melakukan penilaian
fungsi dari rongga mulut dan gigi meliputi bibir,mukosa
mulut,gusi,gigi,lidah dan saliva yang dilakukan pada saat
sebelum dan sesudah pemberian oral care pada hari pertama
426
dan kelima.. Sebelum diberikan systematic oral care 100%
responden mengalami disfungsi rongga mulut sedang dengan
skor 11-15 sedangkan setelah mendapatkan perlakuan sebagian
besar responden (95,8%) mengalami disfungsi rongga mulut
ringan dengan skor 6-10 sehingga didapatkan hasil dengan uji
T test bahwa terdapat pengaruh systematic oral care dengan
madu terhadap disfungsi rongga mulut akibat kemoterapi
(p<0,05).
Artikel kedua yang dituliskan oleh
Nurhidayatun,Allenidekania & Syahreni (2012) dengan judul
Oral Hygiene menggunakan Larutan Madu Mengurangi
Stomatitis. Bertujuan membandingkan efektivitas madu dan
chlorhexidine 0,12%. Metode yang digunakan adalah
Randomized Clinical Trial dengan desain double blind. Sampel
yang digunakan sebanyak 28 Responden, 5 orang drop out
dikarenakan pulang.Sehingga kelompok control 12 orang dan
kelompok intervensi 11 orang.Dengan jenis kelamin laki-laki
sebanyak 10 orang dan perempuan 13 orang.Rentang usia 4
tahun sampai 17 tahun.Instrumen yang digunakan hanya
dijelaskan menggunakan skala stadium stomatitis yang meliputi
jumlah ulserasi,luas ulserasi,nyeri pada mulut dan kemampuan
makan. Penilaian stomatitis 3 kali, sebelum intervensi, hari ke
tiga intervensi dan hari ke 6 intervensi.Dibagi menjadi
kelompok intervensi yang menggunakan oral care dengan
madu 15 ml yang diencerkan dengan air 1:1 dan kelompok
control yang menggunakan oral care dengan chlorhexidine
0,12% 15 ml diencerkan dengan air 1:1.Pada anak dengan
stadium 1-2 dilakukan oral care sebanyak 4 kali sehari
427
sedangkan pada stadium 3-4 dilakukan 6 kali sehari. Hasilnya
penggunaan madu dapat menurunkan stadium stomatitis
sebanyak 75% dan perbedaan stomatitis antara pasien yang
mendapatkan madu dan yang tidak mendapatkan madu untuk
oral care sebanyak 21%.Sehingga terdapat perbedaan yang
signifikan terhadap proporsi stadium stomatitis sebelum dan
setelah oral hygiene dengan madu (p=0,0000).Disimpulkan
bahwa penggunaan madu dapat menurunkan stadium stomatitis
pada anak kanker.
Artikel ketiga yang dituliskan oleh Abdul El Karim,
Yousef , Ahmed & Hadhood (2013) dengan judul The
Therapeutic Effects of Honey on Stomatitis Complicating
Chemotherapy in Children at Sohag Governorate. Bertujuan
untuk mengkaji efek terapeutik dari madu pada pasien maligna
anak yang mengalami stomatitis karena kemoterapi.Metode
yang digunakan adalah Quasi Eksperimen. Sampel yang
digunakan sebanyak 100 anak usia 6-12 tahun yang mengalami
stomatitis akibat kemoterapi. 50 anak kelompok intervensi yang
menggunakan madu dan 50 anak kelompok control
menggunakan obat yang biasa digunakan dengan jenis kelamin
46 laki-laki dan 54 perempuan. Penilaian tanda stomatitis dari
kelembaban,nyeri,kemerahan, sekresi dan
laserasi.Dikategorikan ringan,sedang dan berat. Pada kelompok
intervesi Tiga kali sehari menggunakan madu sebanyak satu
sendok (5 mg) untuk dipakai secara topical dengan
mengoleskan ke rongga mulut atau daerah stomatitis.Dikaji
setiap 2 hari sampai sembuh total.Pada kelompok control
mengkaji penggunaan obat yang biasa digunakan seperti nama
428
obat, dosis.Dikaji setiap 2 hari sampai sembuh total.Hasil yang
didapat 48% anak dari kelompok intervensi mengalami
perbaikan pada hari ke 4 sedangkan yang lainnya perbaikan
pada hari ke 5-7, sedangkan dari kelompok control 25% terjadi
perbaikan pada hari ke 4, 56% pada hari ke 7 dan 20% pada
hari ke 10.Sehingga dapat disimpulkan bahwa penggunaan
madu murni dapat digunakan untuk penyembuhan stomatitis
setelah pemberian kemoterapi pada anak.
Artikel keempat ditulis oleh Abdulrhman, El Barbary,
Amin & Ebrahim (2012) yang berjudul Honey and a Mixture
of Honey,Beeswax and Olive Oil-Propolis Extract in Treatment
of Chemotherapy-Induced Oral Mucositis:A Randomized
Controlled Pilot Study.Bertujuan mengevaluasi efektivitas
penggunaan madu dan campuran madu, lilin lebah dan ekstrak
propolis brazil (HOPE) sebagai topical. Metode yang
digunakan Randomized Clinical Trial dengan menggunakan
kelompok control. Sampel berjumlah 90 pasien anak berusia
antara 2 tahun sampai 18 tahun dengan Acute Lymphoblastic
Leukemia (ALL) yang mengalami oral mucositis grade 2 dan 3
dan sedang mengalami perawatan di RS Ain Shams
University,Mesir.Jenis kelamin sampel adalah 33 perempuan
dan 57 laki-laki. Rata – rata usia pasien adalah 6,9
tahun.Kriteria inklusi pasien dengan ALL yang sedang dalam
pengobatan fase konsolidasi. Penelitian dilakukan dengan 90
0rang pasien dibagi menjadi 3 kelompok, kelompok 1
menggunakan madu murni yang diambil langsung dari
peternakan lebah, kelompok 2 menggunakan HOPE dan
kelompok 3 menggunakan benzocaine gel 7,5%.Sehari
429
diberikan tiga kali secara topical.Diberikan sampai sembuh atau
selama 10 hari.Selama pelaksanaan terdapat 8 orang yang
mengeluhkan ada rasa terbakar saat penggunaan HOPE tetapi
kemudian hilang dengan sendirinya, kemungkinan dari rasa
pedas propolis brazil.Sedangkan untuk madu tidak ada keluhan
sama sekali.Dan dari keduanya tidak ada keluhan gangguan
pencernaan karena tertelannya madu dan HOPE serta tidak ada
reaksi hipersensitif. Hasilnya pada mukositis grade 2 waktu
penembuhan dengan madu lebih cepat secara signifikan jika
dibandingkan dengan HOPE atau kelompok control
(P<0,05).Pada mukositis grade 3 waktu penyembuhannya tidak
berbeda secara signifikan antara madu dan HOPE (P=0,6108),
tapi jika dibandingkan dengan kelompok control maka madu
dan HOPE secara signifikan lebih cepat penyembuhannya
(P<0,01).jika dikombinasikan dari kedua grade maka madu
lebih cepat penyembuhannya dibandingkan kelompok control
(P=0,0005) atau dengan HOPE (P=0,0056).Maka dapat
disimpulkan penggunaan madu untuk oral care
memperlihatkan penyembuhan yang lebih cepat pada pasien
dengan mukositis karena kemoterapi pada grade 2 atau 3.
Direkomendasikan oleh peneliti untuk penggunaan madu dan
produksi lebah lainnya dan olive oil di masa datang untuk
penyembuhan mukositis karena kemoterapi.

Simpulan
Angka kejadian mukositis pada anak sering terjadi dan
reaksi yang terjadi akibat mukositis pada anak akan berbeda
daripada orang dewasa karena anak lebih rapuh. Respon anak
430
ketika mengalami mukositis akibat efek samping kemoterapi
akan mengalami rasa nyeri, kesulitan makan,menelan dan
berbicara.Sehingga mereka akan mengurangi bahkan menolak
asupan makanan yang menyebabkan kondisinya akan semakin
menurun dan beresiko untuk terjadinya infeksi.Sehingga tugas
perkembangan anak bermain dan belajar akan terganggu
dengan adanya mukositis.
Untuk anak yang lebih besar ,seperti anak usia sekolah
dan usia remaja, akan lebih banyak menarik diri dari
lingkungan dan teman sebayanya.Seharusnya sesuai tugas
perkembangannya usia remaja akan lebih sering bermain
dengan teman yang berjenis kelamin sama atau berbeda.Pada
remaja awal mereka akan berfokus pada tubuhnya sendiri
sehingga jika ada perbedaan dari teman sebayanya akan timbul
rasa rendah diri
Dari beberapa jurnal kajian literature menggambarkan
penggunaan madu dapat digunakan pada anak yang mengalami
mukositis.Karena madu aman bisa ditelan oleh anak,mudah
didapat dan tersedia dimanapun.Dan karena rasanya yang
manis maka anak akan merasa nyaman dibandingkan dengan
pemberian dengan media yang lain.Hanya yang perlu diingat
penggunaan madu disini adalah madu murni.
Maka selama perawatan pasien dengan kemoterapi
seorang perawat harus memperhatikan memonitor tanda-tanda
mukositis secara dini dengan menggunakan instrument
penilaian yang sudah ada secara dini, meningkatkan oral care
dan melakukan edukasi kepada pasien atau
keluarganya.Mengingat respon anak yang berbeda dari orang
431
dewasa maka penanganannya pada anak perlu diperhatikan
dengan memandang filosofi keperawatan anak adalah family
centred care, maka seorang perawat anak bisa minta bantuan
ayah atau ibu dalam melakukan penanganan mukositis yang
terjadi baik selama perawatan maupun setelah perawatan.

Daftar Pustaka

Abdul El Karim , H. E., Yuousef , Y. E., Ahmed , S. M., &


Hadhood , S. E. (2013). The Therapeutic Effects of
Honey on stomatitis Complicating Chemotherapy in
Children at Sohag Governorate. Journal of American
Science, 9, 68-74.

Abdulrhman , M., El Barbary , N. S., Amin , D. A., & Ebrahim


, R. S. (2012). Honey and a Mixture of Honey,Beeswax
and Olive Oil-Propolis Extract in Treatment of
Chemotherapy-Induced Oral Mucositis:A Randomized
Controlled Pilot Study. Pediatric Hematology and
Oncology, 29, 285-292. doi:
10.3109/08880018.2012.669026

Bensinger , W., Schubert , M., Kian Ang , K., Brizel , D.,


Brown , E., Eilers , J. G., . . . Trotti , A., M. (2008).
Prevention and Management of Mucositis in Cancer
care. Journal of the National Comprehensive Cancer
Network, 6.

432
Duggal , P. (2012). Honey bees : The healer. Guide on the past
Dentistry.

Erickson , J. M., Macpherson , C. F., Ameringer , S., Baggot ,


C., Linder , L., & Stegenga , K. (2013). Symptoms and
Symptom Cluster in Adolescents Receiving Cancer
Treatment : A Review of the Literature. International
Journal of Nursing Studies, 50(6), 847-869.

Gibson , R. J., Keefe , D. M., Lalla , R. V., Bateman , E.,


Blijlevens , N., Fijlstra , M., & Bowen , J. M. (2013).
Systematic Review of agents for the management of
gastrointestinal mucositis in cancer patients. Supportive
care in Cancer, 21. doi: 10.1007/s00520-012-1644-z

Green , R., Horn , H., & Erickson , J. M. (2010). Eating


Experience of Children and Adolescents with
chemotherapy-Related Nausea and Mucositis. Journal
of Pediatrics Oncology Nursing, 27(4). doi:
10.1177/1043454209360779

Hashemi , A. M., Bahrololoumi , Z. M., Kahaksar , Y. M.,


Saffarzadeh , N. M., Neamatzade , H. M., & Foroughi ,
E. M. (2015). Mouth-rinses for prevention of
chemotherapy induced oral mucositis in children : a
systematic review. Iranian Journal of Pediatric
Hematology Oncology, 15.

433
Hockenberry, J., M, & Wilson, D. (2007). Wong’s Nursing
Care of Infants and Children (8 ed.). Canada: Mosby
Company.

Khanal , B., Baliqa , M., & Uppal , N. (2010). Effect of Topical


honey on limitation of Radiation-Induced Oral
Mucositis : An Intervention Study. Elsevier Ltd, 39(12).
doi: 10.1016/j.ijom.2010.05.014

Lubis , B., & Silvana , S. (2007). Perawatan Rongga Mulut


Pada Pasien Kanker Anak. Indonesian Journal of
Cancer, 4.

Martin , C. A., & Perez , M. G. S. (2014). Prevention and


treatment of oral mucositis in patients receiving
chemotherapy. Journal of Clinical and Experimental
Dentistry, 6. doi: 10.4317/jced.51313

Mc Guire , D. B., Fulton , J. S., Park , J., Brown , C. G., Correa


, M. E. P., Eilers , J., . . . Mascc. (2013). Systematic
Review of Basic oral care for The Management of Oral
Mucositis in Cancer Patients. Support Care Cancer, 21,
3165-3177.

Nurhidayah , I., Sholehati , T., & Nuraeni , A. (2013). Skor


Mukositis pada Anak dengan Kanker yang Menjalani
Kemoterapi di RSUP Dr Hasan Sadikin Bandung.
Jurnal Keperaawatan Soedirman, 8.
434
Nurhidayatun, Allenidekania, & Syahreni , E. (2012). Oral
Hygiene Menggunakan Larutan Madu Mengurangi
Stomatitis. Fatmawati Hospital Journal.
Oskouei , T. E., & Najafi , M. (2013). Traditional and Modern
Uses of Natural Honey in Human Diseases : A Review.
Iranian Journal of Basic Medical Sciences, 16.

Sabrida , H. (2015). Peranan Deteksi Dini Kanker untuk


Menurunkan Penyakit Kanker Stadium Lanjut. Buletin
Jendela Data dan Informasi Kesehatan (Kementrian
Kesehatan), 1.

Sposito , A. M. P., Silva-Rodrigues , F. M., Sparapani , V. C.,


Pfeifer , L. L., Garcia de Lima , R. A., & Nascimento ,
L. C. (2015). Coping Strategies Used by Hospitalized
Children with Cancer Undergoing Chemotherapy.
Journal of Nursing Scholarship, 47(2), 143-151.

Sutari, Ayu Anik , I. G., Gunahariati , N., & Suindrayasa , I. M.


(2014). Pengaruh Systematic Oral Care dengan madu
terhadap Disfungsi Rongga Mulut akibat Kemoterapi
pada Anak Usia 3-12 Tahun. COPING NERS
(Community Publishing in Nursing).

Vallianou , N. G., Gounari , P., Skourtis , A., Panagos , J., &


Kazazis , C. (2014). Honey and its anti-
inflamatory,anti-bacterial and anti-oxidant properties.
Gen Med, 2(2). doi: 10.4172/2327-5146.1000132
435
Literatur Review : Aplikasi Family-Centered Care
di Pediatric Intensive Care Unit

Whina Widyanti ˡ, Sari Fatimah², Ai Mardhiyah²


1
Mahasiswa Magister Keperawatan Anak Fakultas Keperawatan Universitas
Padjadjaran
2
Fakultas Keperawatan Anak Fakultas Keperawatan Universitas Padjadjaran
Email : whinawidiyanti@gmail.com

Abstrak
Hospitalisasi merupakan pengalaman yang menakutkan bagi
anak dan orangtua karena perpisahan dan perubahan
lingkungan. Akibatnya, anak menjadi stres sehingga
berpengaruh pada tingkat kesembuhan. Pediatric Intensif Care
Unit (PICU) merupakan salah satu tempat perawatan yang
memiliki tingkat stres yang tinggi. Oleh karena itu, diperlukan
suatu pendekatan asuhan keperawatan yang melibatkan
orangtua sebagai sistem pendukung untuk mengurangi dampak
hospitalisasi. Family Centered Care (FCC) dalam
penerapannya di PICU merupakan suatu model asuhan
keperawatan yang menggabungkan hubungan kerjasama antara
keluarga dengan penyedia layanan kesehatan yang berfokus
pada keterlibatan dan kehadiran keluarga untuk mendukung
proses penyembuhan anak. Studi literatur ini bertujuan untuk
menjelaskan hasil penelitian tentang aplikasi FCC di PICU agar
dapat menjadi evidence base practice bagi unit pelayanan
intensif. Pencarian artikel didapatkan melalui electronik data
base Proquest, Ebsco, Pubmed dalam bentuk jurnal, artikel
yang telah dipublikasikan sejak tahun 2006-2016. Dari total 69
penelitian didapatkan 6 jurnal yang direview dengan kata kunci
Family Centered Care dan Pediatric Intensive Care Unit. Hasil

436
penelitian terkait didapatkan bahwa aplikasi FCC di PICU pada
4 area penting yaitu family visitation, family centered rounds,
family presence during invasive prosedures and
cardiopulmonary resuscitation dan family conferences terbukti
dapat menurunkan stres pada anak maupun orangtua dan
meningkatkan kepuasan keluarga. Studi ini menyimpulkan
bahwa FCC pada keempat area tersebut sangat penting
diimplementasikan di PICU sebagai salah satu pendekatan
asuhan keperawatan pada anak untuk mengurangi dampak
hospitalisasi.

Kata Kunci : Hospitalisasi, Family Centered Care, Pediatric


Intensif Care Unit.

Pendahuluan
Pengalaman dirawat di ruang Pediatric Intensive Care
Unit (PICU) dapat menjadi peristiwa yang sangat traumatik
bagi anak (2009). Anak mendapatkan stressor berupa stressor
fisik, stressor lingkungan, stressor psikologis dan stressor
sosial. Berdasarkan data dari Society of Critical Care Medicine
pada tahun 2000 di Amerika Serikat didapatkan data bahwa
terdapat 6.3 juta (18%) anak dan remaja dirawat dirumah sakit
(Halpern & Pastores, 2010). Dalam penelitian yang dilakukan
oleh Chan et al. (2016) menyatakan bahwa pasien yang dirawat
di ruang PICU sebagian besar mengalami penyakit yang
kompleks (medical complexity). Sebanyak 136.133 anak yang
dirawat diruang PICU, 53% termasuk dalam kategori
mengalami penyakit kronis yang komplek (Complex Cronic
Desease). Beberapa pasien didiagnosa karena masalah
437
pernafasan dan infeksi, bayi premature, bayi kuning (jaundice),
bayi dengan berat badan lahir rendah, ketidakseimbangan
cairan dan elektrolit (dehidrasi), asma dan kelainan konginetal
(Kingsinger, 2015).
Hospitalisasi dapat menjadi stresor bagi anak dan
orangtua (Frazier, Frazier, & Warren, 2010). Bagi anak,
hospitalisasi merupakan suatu pengalaman yang mengancam,
menakutkan, kesepian, dan membingungkan sehingga anak bisa
mengalami stres. Hospitalisasi merupakan stressor besar yang
harus dihadapi oleh anak karena lingkungan asing, kebiasaan
berbeda atau perpisahan dengan keluarga (Wong, 2004). Oleh
karena itu, dibutuhkan sistem pendukung (support system)
untuk mengurangi efek hospitalisasi yang dapat mempengaruhi
perkembangan anak yaitu keluarga. Dalam merawat anak di
rumah sakit, keluarga perlu bekerjasama dengan perawat
sebagai pemberi perawatan melalui asuhan keperawatan dengan
pendekatan Family- Centered Care (FCC).
Family-Centered Care (FCC) adalah suatu model
perawatan yang melibatkan hubungan antara keluarga dengan
penyedia layanan kesehatan (Health Care Provider). FCC
dalam keperawatan anak adalah memberikan kesempatan pada
orangtua untuk merawat anak mereka selama proses
hospitalisasi dengan pengawasan dari perawat sesuai dengan
aturan yang berlaku. FCC sangat direkomendasikan
penerapannya oleh berbagai organisasi profesional, diantaranya
Institute of Medicine (IOM), The American Collage of Critical
Care Medicine (ACCM) dan The American Academy of
Pediatrics (AAP).
438
FCC bertujuan untuk meningkatkan outcome pasien dan
keluarga, meningkatkan kepuasan pasien dan keluarga,
membangun kekuatan anak dan keluarga, meningkatkan
kepuasan profesional, menurunkan biaya kesehatan, dan
peningkatan penggunaan sumber kesehatan secara efektif
(American Academy of Pediatrics (AAP) (2012)). Selain itu,
FCC juga bertujuan untuk meminimalkan trauma selama
perawatan anak di rumah sakit dan meningkatkan kemandirian
sehingga peningkatan kualitas hidup (Quality of Life) dapat
tercapai.
PICU merupakan ruangan intensif yang memiliki
karakteristik ruang yang berbeda dengan bangsal perawatan
anak. FCC yang diterapkan di ruang PICU berfokus pada
keterlibatan orangtua dan kehadiran orangtua disamping anak.
Orangtua berperan sebagai advokat untuk anak mereka dan
memberi dukungan bagi keluarga lain (Frazier et al., 2010).
Keluarga dapat berpartisipasi dalam pengambilan keputusan
dan ikutserta dalam keterlibatan perawatan anak sakit selama
dirawat di ruang PICU.
Terdapat 4 area penting dalam pelaksanaan FCC di
ruang PICU yaitu family visitation, family centered rounding,
family presence during invasive prosedures and
cardiopulmonary resuscitation (CPR) dan family conferences
(Meert, Clark, & Eggly, 2013). Berdasarkan rekomendasi dari
ACCM bahwa orangtua diperbolehkan untuk mengunjungi
anaknya selama 24 jam sehari. Saudara kandung juga
diperbolehkan menjenguk setelah mereka diberikan edukasi
oleh petugas kesehatan dan meyakinkan bahwa immunitas
439
(daya tahan tubuh) mereka dalam kondisi baik. ACCM dan
AAP juga telah merekomendasikan kehadiran dan keterlibatan
orangtua pada saat pelaksanaan ronde, prentasi kasus dan
diskusi yang dilakukan disamping tempat tidur pasien atau
diluar tempat tidur pasien. Hal ini dilakukan agar orangtua
mendapatkan penjelasan yang lebih akurat dari dokter dan
terlibat dalam pengambilan keputusan. Pada tahun 2000, the
American Heart Association (AHA) menjadi organisasi pertama
yang merekomendasikan kehadiran orangtua selama tindakan
CPR dan tindakan invasif di ruang intensif care unit dan
emergency room dengan harapan dapat meningkatkan kepuasan
orangtua terhadap tindakan yang sudah dilakukan (Meert et al.,
2013)
Di Indonesia sendiri aplikasi FCC di ruang PICU belum
optimal. Keterbatasan pelibatan orangtua dalam perawatan
anak sakit menimbulkan dampak negatif berupa perasaan takut,
frustasi, sedih, cemas karena perpisahan antara anak dengan
orangtua sehingga anak cenderung untuk bersikap menarik diri,
menghindar dari orang lain,tidak aktif dan tidak komunikatif.
Dengan keterbatasan jam kunjungan orangtua tidak leluasa
untuk dapat terus menerus berada disisi anak selama perawatan.
Orangtua lebih sering berada diluar ruangan daripada bersama
anak. Ketidakhadiran orangtua bersama anak membuat anak
merasa tidak nyaman dan pada akhirnya akan menimbulkan
gangguan pada tumbuh kembang anak.
Perasaan takut dan cemas tidak hanya dirasakan oleh
anak tetapi juga dirasakan oleh orangtua. Perubahan peran
orangtua sebagai primary health care giver dalam keluarga
440
terjadi karena orangtua tidak dapat berpartisipasi atau ikut serta
dalam keterlibatan perawatan disamping tempat tidur pasien,
bahkan dalam tindakan invasif maupun resusitasi yang sering
dilakukan di ruang PICU. Keterbatasan orangtua untuk ikut
serta dalam berdiskusi dengan tenaga kesehatan menjadi andil
kurangnya keterlibatan keluarga dalam perawatan anak sakit.
Studi literatur ini bertujuan untuk menjelaskan berbagai
hasil penelitian tentang aplikasi Family Center Care di ruang
Pediatric Intensif Care Unit kemudian mengevaluasi publikasi
ilmiah sehingga dapat dijadikan evidence base practice bagi
unit pelayanan keperawatan anak khususnya di area intensif
dimana konsep FCC belum diterapkan secara optimal.

Metode
Pemilihan jurnal yang akan direview hanya berfokus
pada jenis penelitian kuantitatif. Review ini disusun dari
penelitian-penelitian original yang dipublikasikan secara
online. Hasil pencarian literature dilakukan pada database
Proquest, EBSCO, Pubmed. Keyword yang digunakan adalah
Family Centered Care dan Pediatric Intensive Care Unit.
Pencarian literatur dibatasi pada tahun 2006-2016.

Hasil Penelitian
Terdapat 6 jurnal yang direview. Semua jurnal yang
direview memfokuskan pentingnya aplikasi FCC pada 4 area
utama dalam menurunkan tingkat stres dan meningkatkan
kepuasan pada orangtua. Keempat area utama itu adalah family
visitation, family centered rounding, family presence during
441
invasive procedures and cardiopulmonary resuscitation (CPR)
dan family conferences.

1. Family visitation
The American Collage of Critical Care Medicine
(AACM) merekomendasikan kebijakan open visitation pada
setiap rumah sakit dimana orangtua diperbolehkan
mengunjungi anaknya di ruang PICU selama 24 jam setiap hari.
Hal ini merupakan langkah awal dalam meningkatkan
kehadiran dan keterlibatan perawatan anak oleh orangtuanya.
Penelitian yang dilakukan oleh Smith (2007) tentang pengaruh
penggunaan ruang tempat tidur bagi orangtua yang anaknya
dirawat di ruang PICU terhadap efek stres yang dialami oleh
orangtua. Design penelitian menggunakan comparative
descriptive study dengan membandingkan 2 kelompok yaitu
kelompok yang menggunakan ruang tempat tidur bagi orangtua
dan kelompok tanpa ruang tempat tidur bagi orangtua. Tingkat
stres pada orangtua diukur dengan alat ukur Parental Stressor
Scale : Pediatric Intensive Care (PSS:PICU.) Hasil penelitian
didapatkan dari 92 orangtua yang berada dalam satu ruangan
bersama anaknya didapatkan skor stres dengan level yang
rendah pada kelompok orangtua yang menggunakan ruang
tempat tidur (p=.02) daripada kelompok orangtua yang tidak
menggunakan ruang tempat tidur.

2. Family centered rounds


Berdasarkan penelitian Aronson, Yau, Helfaer,
Morrison (2009) tentang dampak Family centered rounds
442
terhadap keluarga dan tim medis didapatkan hasil penelitian
dari total 411 pasien yang diobsevasi, 98 pertanyaan ditujukan
kepada keluarga dan 33 pertanyaan ditujukan kepada residen.
Sebanyak 98% keluarga menyukai kehadiran mereka didalam
ronde. Pada hari pertama terdapat keluarga yang kurang
mengerti tentang rencana perawatan (p=.03), terdapat keluarga
yang mendapatkan kenyamanan dalam mengungkapkan
pertanyaan (p=.007), terdapat keluarga yang siap mendapatkan
informasi yang buruk (p=.009), terdapat keluarga yang ingin
mendapatkan penyampaian secara pribadi (privacy concern)
(p=.02), terdapat keluarga yang menginginkan penyampaian
secara individual (p=.01). Pendidikan tinggi dapat dihubungkan
dengan penurunan privacy concern tetapi tidak berpengaruh
pada rencana perawatan itu sendiri. Sebanyak 52% dokter
residen mempercayai bahwa kehadiran keluarga dapat
menurunkan pengajaran yang biasa tim medis lakukan kepada
pasien. Kesimpulan dari penelitian diatas menyatakan bahwa
kepuasan keluarga terhadap Family centered rounds tinggi
namun keluarga tetap membutuhkan perhatian khusus terutama
pada hari pertama pelaksanaan ronde.
Penelitian yang dilakukan oleh Ladak, Premji,
Ammanullah (2012) di Private Hospital Karachi Pakistan
terhadap 82 orangtua yang anaknya dirawat diruang PICU
(minimal dalam 48 jam) dan 25 petugas kesehatan profesional.
Design penelitian menggunakan non randomized before-after
study design. Hasil penelitian menyatakan bahwa family
centered rounds secara signifikan meningkatkan kepuasan
orangtua dari sisi kehadiran team work (p=0.007), penggunaan
443
bahasa sederhana (p=0.002), kepuasan saat diikutsertakan
selama diskusi (p=0.03), pengambilan keputusan (p=0.01),
acuan family centered rounds (p=<0.001). Hari rawat pasien
(Lenght of Stay) pasien mengalami penurunan secara signifikan
pada kelompok yang dilakukan ronde. Tidak ada perbedaan
secara signifikan tentang lamanya waktu ronde.

3. Family presence during invasive prosedures and


cardiopulmonary resuscitation (CPR)
Pada tahun 2006, 18 organisasi nasional secara
konsensus telah merekomendasikan kehadiran keluarga (family
presence) selama anak mendapatkan tindakan perawatan dan
Cardiac Pulmonal Resusitation (CPR) (Henderson & Knapp,
2006). Kehadiran dan partisipasi keluarga dalam aktifitas sehari
hari selama anak dirawat di rumah sakit dapat menurunkan
stres pada anak maupun orangtua terutama saat tindakan
invasif.
Penelitian yang dilakukan oleh Johnston, Rennick,
Filion, Tucci, Ranger, (2012) di tiga Universitas yang
berafiliansi dengan PICU di Kanada tentang sentuhan dan
bicara yang dilakukan ibu selama tindakan invasif di ruang
PICU. Hasil penelitian terhadap 65 pasien dalam 2 kelompok
(33 pasien kelompok intervensi, 32 kelompok kontrol)
menyebutkan tidak ada perubahan yang signifikan dari
parameter stabilitas fisiologi yang diukur saat tindakan invasif
dilakukan yaitu denyut jantung, variabel denyut jantung dan
rentang saturasi oksigen dan perubahan dari base line.
Walaupun hasil penelitian menunjukan tidak ada perubahan
444
stabilitas fisiologi yang signifikan namun penelitian ini
menunjukan bahwa waktu pemulihan anak yang dilakukan
tindakan rata rata lebih singkat 24 detik.

4. Family Conferences
Family Conferences (FCs) merupakan salah satu faktor
yang berkontribusi dalam FCC. Penelitian yang dilakukan oleh
(Michelson et al., 2013) diruang PICU pada bulan Januari-Juni
2011 yang bertujuan untuk menggambarkan manfaat dan
isi/content dari FCs. Metode penelitian menggunakan
prospektif chart review melalui Medical Record pasien dengan
membandingkan pasien yang diikutsertakan conference dengan
pasien yang tidak diikutsertakan. Hasil penelitian menyatakan
bahwa dari 661 pasien yang terdaftar, terdapat 74 kali
conference yang melibatkan 49 pasien. Sebanyak 64 kali
conference (86%) dari 40 pasien pada umumnya menderita
cronic care condition. Pelaksanaan conference dihubungkan
dengan lama hari rawat di PICU, palliative care, penggunaan
ventilasi yang lama, penggunaan extracorporeal, penggunaan
Continous Renal Replacement Therapy (CRRT),
Cardiopulmonary Resuscitation (CPR), kematian, perubahan
lingkungan dan keterbatasan perawatan (p<0.05). Sebanyak
21% pasien yang terpasang tracheostomy dan gastrostomy tube
melakukan conference sebelum dilakukan tindakan tersebut.
Kesimpulan dari penelitian tersebut adalah pelaksanaan FCs
melibatkan pasien dengan kondisi yang kompleks atau pasien
yang menghadapi sebuah keputusan yang berhubungan dengan

445
kualitas hidup (quality of life) atau pasien yang menghadapi
kematian.
Penelitian lain yang menunjang dengan penelitian diatas
adalah penelitian yang dilakukan oleh Stapleton, Engelberg,
Wenrich (2006) tentang pernyataan klinis dan kepuasan
keluarga dengan pelaksanaan conference di ruang intensif care
unit. Penelitian ini dilakukan di empat rumahsakit kepada
anggota keluarga pasien yang menjalani withholding atau
withdrawing life support di ICU. Sebanyak 169 anggota
keluarga diberikan kuisioner kepuasaan berkaitan dengan
komunikasi yang dilakukan.
Hasil penelitian menyatakan bahwa terdapat hubungan
antara pernyataan dukungan emosional yang diberikan oleh
dokter dengan kepuasaan anggota keluarga selama conference
berlangsung. Terdapat tiga pernyataan dukungan emosional
yaitu jaminan bahwa pasien tidak akan ditelantarkan sebelum
meninggal (p=.015), jaminan bahwa pasien tidak akan
menderita dan memperoleh kenyamanan (p=.029) dan
dukungan terhadap keputusan keluarga berkaitan dengan end of
life, termasuk keputusan keluarga untuk melakukan atau tidak
melakukan tindakan withdraw (p=.005).

Pembahasan
Keperawatan anak adalah asuhan keperawatan yang
berpusat pada keluarga dan upaya pencegahan trauma pada
anak. Terdapat dua aspek yang menjadi filosofi keperawatan
anak. Pertama, aspek Family Center Care (FCC) dan kedua
adalah aspek a traumatic care (Wong & Hockenbery-Eaton,
446
2013). Kedua filosofi ini memperkenalkan keluarga sebagai
suatu kehidupan yang konstan dan seorang individu yang
mendukung, menghargai, dan meningkatkan kekuatan dan
kompetensi dalam memberikan asuhan keperawatan terhadap
anak.

Didalam aspek FCC terdapat dua konsep penting yaitu


konsep enabling dan empowering. Konsep enabling
memandang keluarga punya andil dalam asuhan yang
diberikan. Perawat harus melibatkan keluarga dalam pemberian
asuhan keperawatan dalam memenuhi kebutuhan anak. Pada
konsep empowering memandang bahwa orangtua dapat
ikutserta dalam pengambilan keputusan terhadap tindakan yang
akan dilakukan kepada anak. Alasannya adalah karena pada
umumnya anak belum dapat mengambil keputusan secara
mandiri dan tingkat ketergantungan anak pada orangtua masih
tinggi.

Oleh karena itu, untuk mendukung proses penyembuhan


anak, orangtua sebisa dan sesering mungkin berada disamping
anak dan turut serta dalam merawat anak. Hal ini dilakukan
agar anak minimal tidak mengalami trauma karena berada
ditempat asing dan jauh dari orangtua.
Berdasarkan penelitian diatas, bahwa dengan adanya
kebebasan waktu kunjungan keluarga dapat meningkatkan
kehadiran serta kedekatan keluarga dengan anak sehingga
memberikan kesempatan kepada keluarga untuk berpartisipasi
dalam perawatan anak sakit kritis. Blom et al., (2013)
menjelaskan kehadiran keluarga didekat pasien untuk
447
berpartisipasi merupakan hal yang penting dalam perawatan
pasien kritis. Bentuk partisipasi orangtua dalam merawat
anaknya diruang PICU yaitu mengganti pakaian, memberi
makanan, menyentuh, mengganti posisi dan memegang anak.
Oleh karena itu, partisipasi keluarga dapat mengurangi
kecemasan baik pada anak maupun orangtua. anak merasa
aman ketika ada orang terdekat berada disampingnya dan
keluarga juga dapat menjalankan fungsinya seperti biasa dalam
meningkatkan status kesehatan yang berkelanjutan.
Kebijakan open visitation tidak hanya berlaku pada
orangtua saja tetapi juga bagi saudara kandung (sibling). Reaksi
kecemasan dan kesedihan yang dialami oleh sibling dapat
disebabkan karena adanya perasaan kehilangan perhatian
orangtua (perhatian orangtua lebih tertuju pada saudaranya
yang sakit), perubahan pengasuhan dan perubahan hubungan
antara anggota keluarga (Meert et al., 2013). Oleh karena itu,
sibling perlu diberi penjelasan, diikutsertakan dan dipersiapkan
dalam open visitation. Kehadiran sibling di samping pasien
membantu terjadinya interaksi dan ikatan yang baik antar
anggota keluarga dan mengatasi perubahan yang terjadi.
ACCM dan APP telah merekomendasikan family
centered rounds dalam setiap kegiatan yang dilakukan oleh tim
kesehatan pada saat memeriksa pasien, presentasi kasus, dan
berbagai diskusi yang seharusnya dilakukan disamping pasien
dengan melibatkan kehadiran keluarga. Orangtua diberikan
kesempatan untuk bertanya, mengklarifikasi informasi dan
berpatisipasi dalam pengambilan keputusan selama ronde
berlangsung. Dengan adanya kolaborasi antara orangtua
448
dengan tim kesehatan dapat meningkatkan pemahaman
orangtua mengenai kondisi kesehatan anaknya, mengetahui
rencana perawatan selanjutnya, mendukung peran orangtua,
dan mengurangi kebutuhan perawat dalam mediasi komunikasi
antara dokter dan keluarga (Meert et al., 2013)
Dalam implementasi FCC saat CPR sangat penting
dilakukan karena komunikasi, sikap caring dan empati tetap
diperlukan walapun pasien dalam kondisi kritis dan tidak sadar.
Bagi keluarga, komunikasi serta memberikan kesempatan
untuk memilih tindakan terkait dengan perawatan pasien sangat
diharapkan. Walaupun terdapat penelitian yang tidak
menyetujui kehadiran orangtua pada saat CPR berlangsung
dengan berbagai alasan tetapi sebaiknya perawat dapat
memberikan pilihan kepada orangtua apakah orangtua akan
menemani anaknya atau tidak karena orangtua juga mempunyai
hak untuk mengambil keputusan berkaitan dengan tindakan
CPR.
Family conferences sangat penting dilakukan untuk
meningkatkan dan memaksimalkan komunikasi antara petugas
dengan orangtua sebagai pengambil keputusan dengan berbagai
situasi klinis yang terjadi di ruang intensif. Banyak pasien kritis
yang tidak dapat berkomunikasi dengan petugas atau tidak
dapat bekerjasama dalam pengambilan keputusan karena
pertimbangan beratnya penyakit (severity of ilness),
penggunaan sedasi dan pemasangan endotracheal tube dan
keterbatasan usia. Dengan adanya komunikasi diharapkan
keluarga mendapatkan penjelasan tentang rencana perawatan
kedepan.
449
Simpulan
Berdasarkan review 6 jurnal diatas dapat disimpulkan
bahwa aplikasi Family Centered Care sangat penting
dimplementasikan pada keempat area penting di ruang PICU
yaitu family visitation, family centered rounding, family
presence during invasive prosedures and cardiopulmonary
resuscitation (CPR) dan family conferences. Penerapan FCC ini
dapat memberi keuntungan kepada pasien, keluarga maupun
staf dalam mengurangi efek hospitalisasi yang dihadapi oleh
pasien maupun keluarganya sehingga anak mencapai
kesembuhan secara optimal

Daftar Pustaka

AAP. (2012). Patient-and Family -Center Care and the


Pediatrician's Role. American Academy of Pediatrics
129(394). doi: 10.1542/peds.2011-3084

Aronson, P. L., Yau, J., Helfaer, M. A., & Morrison, W.


(2009). Impact of Family Presence During Pediatric
intensive Care Unit Rounds on the Family and Medical
Team. American Academy of Pediatrics, 124, 1119. doi:
10.1542/peds.2009-0369

Chan, T., Rodean, J., Richardson, T.Farris, R., Bratton, S. L.,


Di Gennaro, J. L., & Simon, T. D. (2016). Pediatric
Critical Care Resource Use by Children with Medical

450
Complexity the Journal of Pediatrics. doi:
10.1016/jpeds.2016.06.035

Frazier, A., Frazier, H., & Warren, N. A. (2010). A Discussion


of Family-Center Care within the Pediatric Intensive
Care Unit (Vol. 33): Lippincott Williams & Wilkins.

Halpern, N. A., & Pastores, S. M. (2010). Critical Care


Medicine in The United States 2000-2005: An Analysis
of Bed Number, Occupancy Rates, Payer Mix, and
Costs. Critical Care Medicine, 38(1), 65-71.

Henderson, D. P., & Knapp, J. F. (2006). Report of the


National Consensus Conference on Family Pesence
During Pediatric Cardiopulmonary Resuscitation and
Procedures. Emergency nursing, 32, 23-29.

Hockenberry, M. J., & Wilson , D. (2009). Wong's Essestials of


Pediatric Nursing (8 ed.). St.Louis: : Mosby Elsevier.

Johnston, C. C., Rennick, J. E., F, F., Yeo , M. C., Goulet , C.,


Bell , L., . . . Ranger , M. (2012). Maternal Touch and
Talk for Invasif Prosedures in Infant and Toodlers in
Pediatric Intensif Care Unit. Journal of Pediatric
Nursing, 27, 14-53. doi: 10.1016/j.pedn.2010.12.016

451
Kingsinger, V. (2015). Family Centered Care in ICU settings.
Western Michigan University, United State Retrieved
from http://scholarworks.wmich.edu/honors_theses

Ladak, L. A., Premji, S. s., & Ammanullah, M. M. (2012).


Family-centered rounds in Pakistani pediatric intensive
care settings: Non-randomized pre- and post-study
design

Journal of Nursing Studies, 50(6), 717-726. doi:


http://dx.doi.org/10.1016/j.ijnurstu.2012.05.009

Meert, K. L., Clark, J., & Eggly, S. (2013). Family Center Care
in Pediatric Intensif Care Unit. (60). USA.

Michelson, K. N., Clayman, M. L., Haber, N., Ryan, C.,


Rychlik, K., Emanuel, L., & Frader, J. (2013). The Use
of Family Conferences in the Pediatric Intensif Care
Unit. Jornal of Palliative Medicine, 16(12). doi:
10.1089/jpm.2013.0284

Smith, A. B., Hefley, G. C., & Anand, K. J. (2007). Parent Bed


Spaces in the PICU: Effect on Parental Stress. Pediatric
Nursing, 33(3), 215-221.

Stapleton, R. D., Engelberg, R. A., Wenrich, M. D., Goss, C.


H., & Curtis, J. R. (2006). Clinician statements and

452
family satisfaction with family conferences in the
intensive care unit. Critical Care Med, 34(6), 85-1679.

Wong, D. L. (2004). Pedoman Klinis Keperawatan Pediatrik (4


ed.). Jakarta: EGC.

Wong , D. L., & Hockenbery-Eaton. (2013). Essentials of


Pediatric Nursing. Missouri: Mosby.

453
Studi Literatur : Efektivitas Perawatan Luka
Menggunakan Serbuk Kopi Robusta
Yeni Yulianti¹, Kusman Ibrahim²
¹Mahasiswa Pascasarjana Keperawatan, Fakultas Keperawatan Universitas
Padjajaran, Indonesia
2
Fakultas Keperawatan Universitas Padjadjaran
Email:yeniyulianti_22@yahoo.com

Abstrak
Diabetic Gangren merupakan komplikasi yang umum bagi
pasien Diabetes Melitus. Penyembuhan luka yang lambat,
kerentanan terhadap infeksi cenderung terjadi sehingga
beresiko dilakukannya tindakan amputasi. Kondisi rawat inap
yang lama, serta penggunaan antibiotik yang berspektrum luas
dapat peningkatan prevalensi terjadinya MRSA (methicillin-
resistant S. Aureus). Tujuan penulisan untuk menganalisa
bahan yang terkandung dari kopi robusta dalam
menyembuhkan diabetic gangren. Metode yang digunakan
dalam penulisan literatur revieuw ini adalah dengan
penelusuran yang bersumber dari electronic data base
mencakup EBSCO, Proquest, google scholar dan Pubmed.
Peneliti hanya menjaring artikel yang dipublikasikan dalam
kurun waktu antara tahun 2006-2016. Data yang diperoleh
ditelaah, disusun secara sistematis, dibandingkan satu sama lain
dan dibahas berdasarkan literature terkait. Hasil studi literature
dari 9 sumber di dapatkan dalam kopi robusta terdapat
kandungan Chlorogenic Acids yang memiliki aktivitas kuat
terhadap permeabilitas membran intraseluler sehingga mikroba
kehilangan patogenitasnya, bersifat bioaktivitas anti jamur dan
mampu menginhibisi biofilm dari Stenotrophomonas
maltophilia dan selain itu Chlorogenik Acids bisa

454
menyumbangkan atom hidrogennya untuk mengurangi radikal
bebas dan menghambat reaksi oksidasi lalu senyawa Phenolic
dalam kopi robusta juga dapat menstimulasi sintesis kolagen.
Berdasarkan percobaan pada binatang, serbuk biji kopi Robusta
berefek mempercepat waktu penutupan luka pada mencit jantan
yang diinduksi aloksan dan menurut penelitian Yuwono (2014)
di RSHS serbuk kopi robusta dapat meyembuhkan luka kronis
yang dirawat selama 4 minggu. Simpulan studi diperoleh
Serbuk kopi robusta efektif dalam menyembuhkan luka
gangren karena didalamnya terkandung zat-zat yang dapat
mempercepat proses regenerasi sel dan mempunyai efektivitas
sebagai anti mikroba.

Kata kunci: diabetic gangren, chlorogenic acids, wound


healing.

Pendahuluan

Insidensi Penyakit Diabetes Melitus (DM) di Indonesia dari


tahun 2007 sampai tahun 2013 terjadi peningkatan yaitu 1,1
persen (Riskesda, 2013) hal ini diakibatkan karena terjadi
perubahan pola perilaku dari masyarakat. Peningkatan insidensi
penyakit akan menimbulkan berbagai macam masalah
kesehatan yang diakibatkan dari terjadinya hiperglikemia.
Keadaan Hiperglikemia dapat menimbulkan berbagai
komplikasi yang cukup fatal, seperti penyakit jantung, ginjal,
kebutaan, pembusukan kaki / gangren (gangrene foot), dan
aterosklerosis. Gangren diabetik adalah merupakan suatu
bentuk dari kematian jaringan pada penderita diabetes mellitus

455
oleh karena berkurangnya atau terhentinya aliran darah
kejaringan tersebut.

Penderita DM sering mengalami komplikasi pada


pembuluh darah berupa makroangiopati, mikroangiopati,
neuropati, penurunan daya tahan tubuh sehingga memudahkan
terjadi infeksi, inflamasi, iskemia dan kematian sel. Mekanisme
terjadinya kematian sel pada penderita DM melalui penurunan
glukosa intraseluler maupun peningkatan glukosa ekstraseluler.
Peningkatan glukosa ekstraseluler mengakibatkan glukosa
dapat teroksidasi sebelum berikatan dengan protein demikian
juga glukosa setelah berikatan dengan protein (glycated
protein) dapat teroksidasi menghasilkan Reactive Oxygen
Species (ROS). Kombinasi glikasi dan oksidasi glukosa
menghasilkan pembentukan AGEs (advanced glycogen end-
products). Oleh karena itu ROS disebut fixatives of glycation.
Akumulasi AGEs pada protein lebih lanjut diikuti dengan
browning, peningkatan fluorescence dan cross-linking. Proses
pembentukan AGEs merupakan proses irreversible yang
berlangsung lama dan dapat menimbulkan kerusakan jaringan
(Widowati, 2010).
Diantara banyaknya patogen penyebab ulkus diabetik
gangren yang paling dominan adalah Staphylococcus aureus.
Prevalensi terjadinya MRSA (methicillin-resistant S. Aureus )
di ulkus kaki terinfeksi adalah sekitar 15-30% dan ada
kecenderungan akan meningkat kejadianya di banyak negara
(Loana, 2010). Kondisi rawat inap yang lama serta penggunaan
antibiotik yang berspektrum yang luas dapat mengakibatkan

456
peningkatan prevalensi terjadinya MRSA (methicillin-resistant
S. Aureus ) terinfeksi bakteri patogen yang bersifat resisten.

Pada perawatan luka konvensional masih menggunakan


balutan kasa NaCl dengan menggunakan kasa, antibiotik, dan
antiseptik. Pada perawatan luka konvensional cenderung luka
lebih sering diganti balutannya sehingga dapat
menimbulkannya cedera ulang pada dasar luka yang akan
menstimulasi terjadinya inflamasi ulang. Penggunaan
antiseptik, seperti iodine 1% dan H2O2 pada kelompok
konvensional dapat memicu rusaknya calon calon kapiler
darah. Secara psikologis pasien akan lebih sering mengeluh
kesakitan sebagai dampak terjadinya cidera ulang pada dasar
luka. Pada perawatan luka konvensional interleukin 1
mengalami peningkatan yang menunjukkan bahwa proses fase
inflamasi memanjang sehingga penyembuhan luka lambat
(Nontji dkk, 2015).

Kondisi rawat inap yang lama, prosedur bedah


(debridement) serta penggunaan antibiotik yang berspektrum
yang luas dapat mengakibatkan peningkatan prevalensi
terjadinya MRSA (methicillin-resistant S. Aureus ) terinfeksi
bakteri patogen yang bersifat resisten. Pasien yang kaki ulkus
terinfeksi oleh MRSA lebih lama waktu penyembuhan dari
pasien yang luka terinfeksi oleh methicillin-sensitif S. aureus
(mean (kisaran) 35,4 (19 ± 64) dan 17,8 (8 ± 24) minggu,
masing-masing, P = 0,03). Prevalensi MRSA secara signifikan
lebih tinggi di pasien dengan ulkus kaki yang terinfeksi tetapi
faktor yang mempengaruhi kejadiannya bisa juga didapatkan
457
dari peningkatan prevalensi MRSA di masyarakat (Tentorius,
2006). Menurut Liana (2014) Spesimen terbanyak isolat MRSA
berasal dari pus yang sebagian besar akibat infeksi kulit dan
jaringan lunak. Evaluasi dan pemantauan penggunaan
antibiotika perlu dilakukan untuk mengkontrol dan mencegah
peningkatan kejadian MRSA. Dalam perawatan luka gangren
sebaiknya menghindari penggunaan antibiotik pada ulkus luka
yang tidak terinfeksi karena penggunaan antibiotik yang tidak
rasional dapat mengakibatkan terjadinya resistensi bakteri yang
pada akhirnya akan mengakibatkan biaya perawatan akan lebih
mahal.

Penyembuhan luka gangren relatif lama dan membutuhkan


biaya perawatan yang cukup besar. Berdasarkan hasil kajian
(Alam, 2014) total biaya yang harus dikeluarkan untuk
perawatan luka ganggren berkisar antara $17.500 sampai
$30.000 jika dengan tindakan amputasi. Sedangkan di
Indonesia penderita ulkus diabetik memerlukan biaya yang
tinggi sebesar 1,3 juta sampai Rp. 1,6 juta perbulan dan
Rp.43,5 juta per tahun untuk seorang penderita (Suyono, 2009).
Tingginya biaya perawatan luka ganggren menuntut
dikembangkannya dan diteliti treatmen apa yang tepat untuk
mempercepat proses penyembuhan luka. Beberapa tahun ini
telah banyak penelitian yang mencari bahan-bahan alamiah
yang dapat digunakan sebagai alternatif dressing luka.

Pengobatan luka menggunakan serbuk kopi diketahui


sebagai salah satu pengobatan tradisional yang telah
dikembangkan oleh masyarakat di Indonesia. Berdasarkan
458
penelitian Susanto dkk (2007) Serbuk biji kopi Robusta berefek
mempercepat waktu penutupan luka pada mencit jantan yang
diinduksi aloksan. Penelitian Kenisa (2012) menunjukkan
bahwa salep ekstrak biji kopi Robusta dapat meningkatkan
jumlah limfosit, sel plasma, makrofag, fibroblas, dan pembuluh
darah yang dipengaruhi oleh chlorogenic acid (CGA) dan
caffeic acid. Salep ekstrak biji kopi Robusta memiliki efek
dapat meningkatkan proses penyembuhan luka full-thickness
pada kulit Cavia cabaya.Dalam kopi robusta terdapat senyawa
Cholorogenic acid yang memiliki fungsi biologi sebagai
antibakterial, antioksidan, dan aktivitas antiinflamasi (Liang, N
& Kitts, 2016).

Penelitian efektifitas perawatan luka menggunakan kopi


serbuk kopi robusta sudah dilakukan di RS Hasan Sadikin pada
tahun 2003. Berdasarkan hasil penelitian Yuwono (2014)
mengenai efektifitas perawatan luka menggunakan serbuk kopi
robusta dibandingkan dengan normal saline (NaCl 0,9%) pada
pasien dengan diameter luka sekitar 3-5 cm secara signifikan
terdapat perbedaan dalam penyembuhan luka. Perawatan luka
menggunakan kopi robusta dapat mempercepat pengeringan
luka dimana proses pengeringan luka terjadi pada awal minggu
ke 8 sampai minggu ke 12 tergantung pada luas dan ukuran
luka.

Tujuan dari literatur review ini adalah untuk mereview literatur


terkait bahan yang terkandung dari kopi robusta sehingga
efektif dalam menyembuhkan luka gangren.

459
Metode

Metode yang digunakan dalam penulisan literatur reviuw


ini adalah dengan penelusuran yang bersumber dari electronic
data base mencakup EBSCO, Proquest, google scholar dan
Pubmed dengan kata kunci Chlorogenic Acid, Diabetic Foot
Gangren, Antioxidant, wound care, wound healing. Peneliti
hanya menjaring artikel yang dipublikasikan dalam kurun
waktu antara tahun 2006-2016. Data yang diperoleh ditelaah,
disusun secara sistematis, dibandingkan satu sama lain dan
dibahas berdasarkan literature terkait.

Hasil Penelitian

Berdasarkan penelusuran data mengunakan kata kunci dan


kriteria pada electronic data based diatas, di dapatkan 9 artikel.
Dari artikel-artikel tersebut didapatkan : Phenolic Content,
Antioxidant Activity And Effect On Collagen Synthesis Of A
Traditional Wound Healing Polyherbal Formula. In vivo
systemic chlorogenic acid therapy under diabetic conditions:
Wound healing effects and cytotoxicity/genotoxicity profile,
Effect of topical application of chlorogenic acid on excision
wound healing in rats, Peran Monosit (Makrofag) Pada
Proses Angiogenesis Dan Fibrosis. Pengaruh Ekstrak Biji
Kopi Robusta Terhadap Daya Fagositosis Sel Monosit Yang
Dipapar Candida albicans, Evaluation of the anti-
inflammatory, analgesic and antipyretic activities of the
natural polyphenol chlorogenic acid. Biological and
Pharmaceutical , In vitro antibacterial and antibiofilm
460
activities of chlorogenic acid against clinical isolates of
Stenotrophomonas maltophilia including the
trimethoprim/sulfamethoxazole resistant strain, Microbial
biofilms and wound healing: an ecological hypothesis, Role of
Chlorogenic Acids in Controlling Oxidative and Inflammatory
Stress Conditions. Nutrients, Antibacterial activity and
mechanism of action of chlorogenic acid, , Chlorogenic acid
inhibits hypoxia-induced angiogenesis via down-regulation of
the HIF-1α/AKT pathway, Antifungal action of chlorogenic
acid against pathogenic fungi, mediated by membrane
disruption. Dari artikel-artikel tersebut, didapatkan hasil
bahwa perawatan luka dengan menggunakan kopi robusta
efektif terhadap penyembuhan luka diabetik gangren.

Pembahasan

Beberapa komponen dalam biji kopi robusta yaitu kafein,


senyawa fenolik, trigonelline dan asam chlorogenik memiliki
aktifitas antibakteri, antioksidan, pembentukan kapiler darah
dan anti inflamasi.

a. Antibakteri

Menurut Mat Saad (2013) dan Clinton, & Rumbaugh (


2013) dalam Hurlow (2015) pengelolaan luka diabetik
gangren diperlukan suatu tindakan pengendalian infeksi dan
kontrol inflamasi dengan salah satunya mengembalikan
keseimbangan lingkungan luka dengan menghilangkan
461
aktivitas biofilm pada bakteri. Biofilm bakteri adalah
kumpulan mikroba kompleks tinggal di Zat Polimer
Ekstraseluler (EPS) membentuk struktur tiga dimensi
yang mengandung sel terselubung dalam beberapa
kelompok yang saling terhubung, tertanam dalam tebal,
berlapiskan selaput gula dan protein. Lendir biofilm ini dapat
dirasakan pada bagian dalam permukaan seperti timbunan
flaks. Zat Polimer Ekstraseluler (EPS) bertindak sebagai
penghalang, melindungi mikroorganisme dari serangan seluler
dan kimia. Ketika dalam kumpulan bakteri berlendir ini,
bakteri dilindungi dari kekebalan alami hingga 5.000 kali lebih
toleran terhadap antibiotik.

Asam chlorogenic yang terkandung dalam Kopi Robusta


dapat meningkatkan permeabilitas membran sel bakteri,
sehingga mengakibatkan kebocoran pada membran sel. Cara
kerja CGA berbeda dengan cara kerja antibiotik dimana
membunuh mikroba dengan membentuk pori-pori pada
membran sel, CGA bekerja dengan meningkatkan
permeabilitas membran sel ( Lou, 2011).

Asam chlorogenic memiliki aktivitas kuat untuk membunuh


mikroba dimana targetnya yaitu bagian intraseluler.
Berdasarkan data eksperimen, dapat disimpulkan bahwa asam
chlorogenic membunuh strain bakteri patogen (Shigella
dysenteria dan S. pneumoniae) dengan meningkatkan
permeabilitas pada membran sel, menyebabkan sel-sel
kehilangan kemampuan untuk mempertahankan potensial
kegiatan infeksiusnya. Selain itu, Asam chlorogenat memiliki
462
bioaktivitas terhadap mikroorganisme seperti anti jamur dan
menginhibisi biofilm dari Stenotrophomonas maltophilia yang
merupakan patogen nosokomial yang sering berkolonisasi
pada cairan sekresi seperti lendir pernafasan, urine, cairan
eksudat pada luka dan tempat-tempat yang terpasang alat
invasif seperti infus, kateter dan implan (W. S Sung dkk, 2008;
Karunanidhi, 2003).

b. Antioksidan

Penyembuhan luka adalah respon mendasar untuk


jaringan pada saat terjadi cedera. Terdapat tiga fase dari proses
penyembuhan luka yaitu fase inflamasi, fase proliferasi dan
fase pematangan. Pada fase proliferasi, fibroblas
menghasilkan berbagai zat, penting untuk perbaikan luka,
termasuk glikosaminoglikan dan kolagen. Berdasarkan hasil
penelitian Alexandru (2015) didapatkan hasil bahwa herbal
yang memiliki kandungan phenolic seperti asam chlorogenic,
asam caffeic, luteolin dan apigenin memiliki kandungan
antioksidan yang tinggi yang bisa menstimulasi sintesis
kolagen oleh fibroblast, yang dapat berkontribusi terhadap
kekuatan luka. Antioksidan yang berasal dari kandungan
phenolic yaitu asam Chlorogenik bisa menyumbangkan atom
hidrogennya untuk mengurangi radikal bebas dan menghambat
reaksi oksidasi.

Radikal-radikal bebas yang membahayakan tersebut


memerlukan adanya suatu antioksidan untuk menangkalnya.
Bila antioksidan endogen tidak mampu mengatasi radikal
463
bebas dalam tubuh, maka diperlukan antioksidan eksogen
seperti yang terdapat dalam tanaman untuk melindungi tubuh
dari efek radikal bebas. Serbuk biji kopi Robusta mengandung
asam chlorogenic yang diduga kuat memiliki efek sebagai
antioksidan sehingga mampu melindungi tubuh dari efek
radikal bebas. Oleh karenanya, kopi Robusta digunakan untuk
mempercepat penyembuhan luka pada gangren

Berdasarkan Penelitian Wei Cheng (2013) yang bertujuan


mengevaluasi efek terapi topikal asam Chlorogenat 1 % pada
luka eksisi pada tikus Wistar. Asam Chlorogenat 1% dan salep
Silver Sulvadiazide yang dioleskan sehari sekali selama 15
hari pada tikus dengan luka eksisi buatan full-thickness. Salep
asam Chlorogenat 1% ampuh menyembuhan luka terlihat dari
keadaan luka pada hari ke 15 pasca operasi, yang mirip dengan
yang dihasilkan oleh salp 1% silver sulfadiazin. Peningkatan
tingkat epitelisasi diamati pada tikus percobaan. Selain itu juga
terlihat meningkatkan proliferasi sel, meningkatkan TNF α
selama fase inflamasi (12 jam, 24 jam, 48 jam, dan 72 jam
pasca-melukai) pada fase penyembuhan luka, terjadi regulasi
mengubah faktor pertumbuhan-β1 dan sintesis kolagen IV
ditinggikan pada luka yang diamati. Berdasarkan penelitian
Dos Santos (2006) CGA memiliki kemampuan anti-
edematogenic dan antinociceptive. CGA dapat menghambat
pelepasan mediator inflamasi yaitu TNF α yang merupakan
sitokin utama yang terlibat dalam inisiasi respon inflamasi
dengan cara menginduksi sitokin lainnya seperti interleukin 1
(IL-1) dan interleukin 6 (IL-6).

464
Hasil penelitian Wei Cheng (2013) juga menunjukkan
bahwa asam Chlorogenat memiliki aktivitas antioksidan kuat
dengan meningkatkan superoksida dismutase, katalase,
glutation dan mengurangi peroksidasi lipid. Kesimpulannya,
percobaan ini menunjukkan bahwa aplikasi topikal asam
Chlorogenat dapat mempercepat proses penyembuhan luka
eksisi oleh kemampuannya untuk meningkatkan sintesis
kolagen melalui peningkatan regulasi TNF α dan mengubah
faktor pertumbuhan-β1 dalam fase yang berbeda dari luka
penyembuhan serta dengan potensi antioksidan.

Dalam penelitian Baghdas (2015) Jika terdapat


keseimbangan yang baik antara stres oksidatif dan sistem
pertahanan antioksidan endogen dapat bermanfaat untuk
penyembuhan luka berdasarkan hasil eksperimen dengan
membuat luka pada tikus diabetes winstar yang sebelum
diinduksi dengan streptozotocin lalu diberikan perlakuan
pemberian CGA (50 mg / kg / hari) secara intraperitoneal
ternyata berdasarkan hasil pengamatan CGA mempercepat
penyembuhan luka.

c. Pembentukan Angiogenesis.

Diabetes Melitus jangka panjang memberi dampak


terhadap sistem vaskularisasi yaitu terjadi kerusakan pada
mikrovaskuler dan makrovaskuler. Dampak kerusakan pada
mikrovaskuler terjadi di arterial kecil, kapiler dan venula.
Sementara kerusakan makrovaskuler terjadi di arteri besar
dan sedang. Kondisi mikrovaskuler yang buruk akan
465
mengganggu reaksi imun dan inflamasi karena kedua hal
ini bergantung pada perfusi jaringan yang baik untuk
menyalurkan sel sel imun dan mediator inflamasi
(Corwin, 2009). Penurunan perfusi perifer akan
mengawali terjadinya hipoksia jaringan. Kondisi demikan
menjadikan oksigen dalam jaringan berkurang sehingga akan
mempengaruhi aktivitas vaskuler dan seluler jaringan.
Dampak lebih lanjut berakibat terjadinya kerusakan
jaringan dan timbullah ulkus kaki diabetik pada penderita
DM (Guyton, 2011).

Angiogenesis adalah pembentukan pembuluh darah baru


yang sangat penting dalam pertumbuhan normal. Makrofag
diketahui berperan dalam menginduksi angiogenesis dengan
cara mensekresikan beberapa faktor: tumor necrosis factor-
alfa (TNF-α), vascular endothelial growth factor (VEGF),
angiogenin dan urokinase (Rouby H, 2010).

Pada angiogenesis (gambar 1), makrofag menginduksi


terbentuknya pembuluh darah baru dengan cara mensekresikan
tumor necrosis factor-alfa (TNF-α), vascular endothelial
growth factor (VEGF), angiogenin, urokinase dan platelet
derived growth factor (PDGF). Faktor ini akan ditangkap oleh
pembuluh darah yang telah lebih dulu ada sebagai suatu sinyal
untuk membentuk suatu cabang pembuluh darah yang baru.
Jika angiogenesis tidak terjadi, maka jaringan akan
kekurangan nutrisi sehingga tidak dapat berkembang bahkan
dapat mati.

466
CGA dapat memblokir hipoksia dengan menekan aktivitas
transkripsi HIF-1α dibawah kondisi hipoksia sehingga dapat
menstimulasi VEGF merangsang angiogenesis in vitro dan
stimulated angiogenesis in vivo menggunakan sel HUVEC.
Sebagai tambahan, CGA dapat menghambat HIF-1α / AKT,
yang memainkan peran penting dalam aktivasi VEGF dan
Angiogenesis (Park, 2011).

Simpulan

Serbuk kopi robusta efektif dalam menyembuhkan luka


gangren karena didalamnya terkandung zat Chlorogenic Acids
yang memiliki aktivitas kuat untuk membunuh mikroba serta
memiliki bioaktivitas terhadap mikroorganisme seperti anti
jamur dan menginhibisi biofilm dari Stenotrophomonas
maltophilia yang merupakan patogen nosokomial yang sering
berkolonisasi salah satunya pada cairan eksudat luka. Selain
itu chlorogenic acids dan asam caffeic yang terkandung pada
kopi robusta memiliki kandungan antioksidan yang tinggi
sehingga dapat menstimulasi sintesis kolagen serta dapat
467
menyumbangkan atom hidrogennya untuk mengurangi radikal
bebas yang selanjutnya dapat menghambat reaksi oksidasi
yang terjadi pada kondisi hiperglikemia. Kondisi
hiperglikemia berdampak terhadap terjadinya kerusakan pada
mikrovaskuler dan makrovaskuler, keadaan ini dapat
mengakibatkan terjadinya hipoksia jaringan. Chlorogenic
Acids dapat menghambat kondisi hipoksia jaringan dengan
menekan aktivitas transkripsi HIF-1α sehingga dapat
menstimulasi VEGF merangsang angiogenesis pada jaringan.

Daftar Pustaka

Alam, F., Islam, M. A., Gan, S. H., & Khalil, M. I. (2014).


Honey: a potential therapeutic agent for managing diabetic
wounds. Evidence-Based Complementary and Alternative
Medicine.

Alexandru, V., Gaspar, A., Savin, S., Toma, A., Tatia, R., &
Gille, E. (2015). Phenolic Content, Antioxidant Activity
And Effect On Collagen Synthesis Of A Traditional
Wound Healing Polyherbal Formula. Studia Universitatis
Vasile Goldis Seria Stiintele Vietii (Life Sciences Series),
25(1).

Bagdas, D., Etoz, B. C., Gul, Z., Ziyanok, S., Inan, S.,
Turacozen, O & Ozyigit, M. O. (2015). In vivo systemic
chlorogenic acid therapy under diabetic conditions: Wound
healing effects and cytotoxicity/genotoxicity profile. Food
and Chemical Toxicology, 81, 54-61.

468
Balitbang Kemenkes RI. 2013. Riset Kesehatan Dasar;
RISKESDAS. Jakarta: Balitbang Kemenkes RI

Chen, W. C., Liou, S. S., Tzeng, T. F., Lee, S. L., & Liu, I. M.
(2013). Effect of topical application of chlorogenic acid on
excision wound healing in rats. Planta medica, 79(08),
616-621.

Christina, B. B. H., Fransisca, C., Kristin, K., & Sudiono, J.


(2016, April). Peran Monosit (Makrofag) Pada Proses
Angiogenesis Dan Fibrosis. In SEMINAR NASIONAL
CENDEKIAWAN.

Corwin, E. J. (2009). Patofisiologi: buku saku. Alih Bahasa


Nike Budhi Subekti. Jakarta: EGC.

Dewi, A. K. (2016). Pengaruh Ekstrak Biji Kopi Robusta


Terhadap Daya Fagositosis Sel Monosit Yang Dipapar
Candida albicans.

Dos Santos, M. D., Almeida, M. C., Lopes, N. P., & De Souza,


G. E. P. (2006). Evaluation of the anti-inflammatory,
analgesic and antipyretic activities of the natural
polyphenol chlorogenic acid. Biological and
Pharmaceutical Bulletin, 29(11), 2236-2240.

Ferrazzano, Amato, Ingenito, Zarelli, Pinto, dan Pollio. 2011.


Plant Polyphenol and Their Anti-Cariogenic Properties : A
Review. Molecules Vol. 16. 2011 : 1486

469
Guyton, A.C., dan Hall, J.E. 2008. Buku Ajar Fisiologi
Kedokteran. Edisi 11. Jakarta: EGC

Hurlow, J. (2015). Biofilm as the cause of non-healing wounds.


MedSurg Nursing, 24(2), S12-S12.

Karunanidhi, A., Thomas, R., Van Belkum, A., & Neela, V.


(2012). In vitro antibacterial and antibiofilm activities of
chlorogenic acid against clinical isolates of
Stenotrophomonas maltophilia including the
trimethoprim/sulfamethoxazole resistant strain. BioMed
research international

Kenisa, Y. P., & Istiati, I. (2012). Effect of robusta coffee beans


ointment on full thickness wound healing. Dental Journal
(Majalah Kedokteran Gigi), 45(1), 52-57.

Krom, B. P., & Oskam, J. (2014). Microbial biofilms and


wound healing: an ecological hypothesis. Phlebology,
29168-173. doi:10.1177/0268355514528845

Liana, P. (2014). Gambaran Kuman Methicillin-Resistant


Staphylococcus Aureus (MRSA) di Laboratorium
Mikrobiologi Departemen Patologi Klinik Rumah Sakit
Dr. Cipto Mangunkusumo (RSCM) Periode Januari-
Desember 2010. Majalah Kedokteran dan Kesehatan,
46(3), 171-175.

Liang, N., & Kitts, D. D. (2015). Role of Chlorogenic Acids in


Controlling Oxidative and Inflammatory Stress Conditions.
Nutrients, 8(1), 16.

470
Lou, Zaixiang, et al. (2011) "Antibacterial activity and
mechanism of action of chlorogenic acid." Journal of Food
Science 76.6

Mat Saad, A. Z., Khoo, T. L., & Halim, A. S. (2013). Wound


bed preparation for chronic diabetic foot ulcers. ISRN
endocrinology

Park, J. J., Hwang, S. J., Park, J. H., & Lee, H. J. (2015).


Chlorogenic acid inhibits hypoxia-induced angiogenesis
via down-regulation of the HIF-1α/AKT pathway. Cellular
Oncology, 38(2), 111-118.

Sung, W. S., & Lee, D. G. (2010). Antifungal action of


chlorogenic acid against pathogenic fungi, mediated by
membrane disruption. Pure and Applied Chemistry, 82(1),
219-226.

Susanto, Y., Puradisastra, S., & Ivone, J. (2010). Efek serbuk


biji kopi Robusta (Coffea Robusta Lindl. Ex de Willd)
terhadap waktu penutupan luka pada mencit jantan galur
Balb/C yang diinduksi aloksan. Jurnal Kedokteran
Maranatha, 8(2), pp-121.

Tentolouris, N., Petrikkos, G., Vallianou, N., Zachos, C.,


Daikos, G. L., Tsapogas, P & Katsilambros, N. (2006).
Prevalence of methicillin‐resistant Staphylococcus aureus
in infected and uninfected diabetic foot ulcers. Clinical
microbiology and infection, 12(2), 186-189.

471
Widowati, W. (2010). Potensi Antioksidan sebagai
Antidiabetes. Jurnal Kedokteran Maranatha, 7(2).

Yuwono, H. S. (2014). The new paradigm of wound


management using coffee powder. J Surg, 2, 25-29.

472
Gambaran Kualitas dan Kuantitas Tidur Perawat IGD
dengan Rotasi Shift Di RSUD Sumedang

Yusshy Kurnia Herliani, Hana Rizmadewi Agustina, Dian


Adiningsih
Fakultas Keperawatan, Universitas Padjadjaran
yusshy.herliani@gmail.com

Abstrak
Gangguan pola tidur pada perawat dengan rotasi shift seringkali
menyebabkan terjadinya kelalaian dan kecelakan kerja.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran kualitas
dan kuantitas tidur perawat IGD dengan rotasi shift di RSUD
Sumedang. Jenis penelitian ini adalah deskriptif dengan
menggunakan desain cross sectional. Teknik pengambilan
sampel dalam penelitian ini adalah total sampling yaitu seluruh
perawat IGD dengan rotasi shift kerja yang berjumlah 30 orang.
Dalam penelitian ini, Pittsburgh Sleep Quality Index (PSQI)
digunakan untuk menilai kualitas dan kuantitas tidur perawat.
PSQI dimodifikasi oleh peneliti kedalam bentuk Sleep Diary
yang diisi oleh reponden dengan pola tidur harian selama dua
minggu pada saat penelitian sedang berlangsung (record) dan
pola tidur pada dua minggu sebelumnya (recall). Hasil yang
diperoleh dari 30 responden diketahui bahwa hampir seluruh
responden (86,67%) memiliki kualitas tidur buruk, hanya
13,33% yang memiliki kualitas tidur baik. Sementara itu, dapat
diketahui bahwa sebagian besar responden (63,33%) memiliki
kuantitas tidur kurang, hanya 36,33% responden yang memiliki
kuantitas tidur yang termasuk kategori cukup. Kualitas tidur
dapat dipengaruhi beberapa komponen tidur yang terganggu
yaitu durasi tidur, gangguan-gangguan tidur dan gangguan
473
fungsi tubuh di siang hari. Kualitas dan kuantitas tidur yang
buruk dapat mempengaruhi kualitas pelayanan keperawatan.
Maka dari itu, perawat diharapkan dapat memperbaiki kualitas
dan kuantitas tidur mereka sehingga dapat memberikan
pelayanan keperawatan terbaik untuk pasien.

Kata Kunci : Kualitas dan kuantitas tidur, Perawat IGD,


Rotasi shift

Pendahuluan
Keperawatan sebagai bagian integral dari Sistem Kesehatan
Nasional, dikembangkan sebagai bagian integral dari sistem
pemberian pelayanan kesehatan di rumah sakit dimana
didalmnya terdapat Instalasi Gawat Darurat (IGD) yang
memberikan pelayanan pertama kepada pasien dengan ancaman
kematian dan kecacatan secara terpadu.
Perawat sebagai bagian dari pelayanan IGD harus dapat
bertindak secara cepat dan tepat dalam membuat keputusan dan
menangani pasien dengan kondisi kritis. Pelayanan
keperawatan yang harus senantiasa tersedia 24 jam di ruang
IGD menyebabkan rumah sakit memberlakukan adanya rotasi
shift kerja terhadap perawat yang tidak jarang menimbulkan
berbagai dampak negatif terhadap perawat, salah satunya
adalah gangguan tidur.
Tidur merupakan salah satu kebutuhan fisiologis paling
dasar dan memiliki prioritas tertinggi dalam hirarki maslow
(Potter & Perry, 2005). Tidur terdiri dari kualitas dan kuantitas
tidur. Kualitas tidur adalah kemampuan tiap orang untuk

474
mempertahankan keadaan tidur dan untuk mendapatkan tahap
tidur REM dan NREM yang pantas. Sementara Kuantitas tidur
adalah keseluruhan waktu tidur seseorang (Kozier, et al., 2008).
Tiap individu membutuhkan jumlah yang berbeda untuk
istirahat dan tidur (Potter & Perry, 2005).
Walaupun bervariasi, pada perawat yang termasuk dalam
kelompok dewasa membutuhkan rata–rata 7 jam–8 jam
perharinya (Kozier,et al., 2008). Tanpa tidur yang cukup,
kemampuan untuk berkonsentrasi, membuat keputusan,
berpartisipasi dalam aktivitas harian akan menurun, dan
iritabilitas meningkat (Potter & Perry, 2005).
Banyak faktor yang mempengaruhi tidur, menurut Kozier,
et al., (2008) faktor-faktor yang mempengaruhi tidur yaitu
penyakit fisik, lingkungan, gaya hidup, stress emosional,
stimultan dan alkohol, asupan nutrisi, merokok, motivasi, serta
pengobatan (Kozier, et al., 2008). Dalam hal ini, faktor gaya
hidup merupakan rutinitas harian seseorang yang dapat
mengganggu tidur perawat secara berkepanjangan. Gaya hidup
tersebut erat kaitannya dengan dunia kerja yaitu sistem rotasi
shift yang diterapkan terhadap perawat yang bekerja di rumah
sakit.
Kualitas dan kuantitas tidur yang tidak optimal pada
perawat dengan rotasi shift menyebabkan perawat seringkali
mengantuk saat bekerja yang secara langsung maupun tidak
langsung menurunkan efisiensi kerja perawat (Knauth, et al.,
1980). Selain itu, perawat yang bekerja dengan rotasi shift
dilaporkan dua kali lebih banyak mengalami kecelakaan atau
kesalahan akibat mengantuk dibandingkan perawat yang
475
bekerja hanya shift siang atau malam saja (Gold, et al., 1992).
Hal ini tentunya memiliki dampak yang serius khususnya bagi
perawat yang bekerja di ruangan yang membutuhkan
konsentrasi penuh dan tindakan yang cepat dan tepat seperti
pada ruangan IGD.
Rumah Sakit Umum daerah (RSUD) Sumedang
merupakan rumah sakit kelas B yang menjadi rumah sakit
rujukan daerah priangan timur. Rata–rata kunjungan pasien
IGD RSUD Sumedang sebanyak 60 orang perhari. IGD RSUD
Sumedang memilki 38 perawat dimana setiap shift terdiri atas
6–7 orang perawat. 30 perawat mendapatkan rotasi shift, 5
perawat primer dan 3 orang perawat yang sedang menyusui
mendapatkan shift tetap.
Hasil studi pendahuluan yang dilakukan dengan wawancara
terhadap lima orang perawat di IGD RSUD Sumedang
menunjukan bahwa perawat mengalami gangguan tidur yang
menyebabkan mengantuk saat bekerja, gangguan kesehatan,
sulit mengendalikan emosi dan kecelakan kerja yang terjadi
akibat kurang tidur.
Mengingat tidur sangat penting untuk perawat juga
keselamatan pasien dan kualitas pelayan rumah sakit, maka
penulis tertarik untuk melakukan penelitian dengan judul
―Gambaran Kualitas dan Kuantitas Tidur Perawat IGD dengan
Rotasi Shift di RSUD Sumedang‖.

Metode
Penelitian ini menggunakan metode penelitian deskriptif
dengan pendekatan kuantitatif.
476
1. Variabel Penelitian
Variabel dalam penelitian ini adalah kualitas dan kuantitas
tidur perawat IGD dengan rotasi shift.
2. Populasi dan Sampel
Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh perawat IGD
dengan rotasi shift di RSUD Sumedang. Teknik
pengambilan sampel dalam penelitian ini adalah total
sampling yaitu seluruh perawat IGD dengan rotasi shift
kerja yang berjumlah 30 orang.
3. Tehnik Pengumpulan Data
Data dikumpulkan dengan menggunakan instrumen
penelitian berupa kuesioner. Kuesioner yang digunakan
dalam penelitian ini yaitu PSQI yang dimodifikasi kedalam
bentuk Sleep Diary. Sleep Diary diisi oleh reponden dengan
pola tidur setiap hari selama dua minggu penelitian (record)
dan dua minggu sebelumnya (recall).
4. Analisa Data
Teknik analisa yang digunakan adalah statistik deskriptif
dan teknik yang digunakan untuk pengolahan data
dilakukan dengan teknik presentase yaitu dengan distribusi
frekuensi.

Hasil Penelitian
Tabel 1. Distribusi Frekuensi Kualitas Tidur Perawat IGD
dengan Rotasi Shift di RSUD Sumedang
Kategori F %

477
Baik 4 13,33%

Buruk 26 86,67%

Total 30 100%

Dapat diketahui bahwa hampir seluruh responden


(86,67%) memiliki kualitas tidur yang termasuk kategori buruk.
Hanya 13,33% yang memiliki kualitas tidur yang termasuk
kategori baik.

Tabel 2. Distribusi Frekuensi Kuantitas Tidur Perawat IGD


dengan Rotasi Shift di RSUD Sumedang
Kategori F %
Cukup 11 36,67%

Kurang 19 63,33%
Total 30 100%

Dapat diketahui bahwa sebagian besar responden


(63,33%) memiliki kuantitas tidur yang termasuk kategori
kurang. Hanya 36,67% responden yang memiliki kuantitas
tidur yang termasuk kategori cukup.

Pembahasan
Kualitas Tidur
Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan bahwa hampir
seluruh responden (86,67%) memiliki kualitas tidur yang

478
termasuk kategori buruk. Tingginya persentase perawat IGD
dengan rotasi shift yang memiliki kualitas tidur buruk dapat
dilihat dari jumlah skor ketujuh komponen indikator kualitas
tidur.
Komponen tersebut yaitu kualitas tidur subjektif, latensi
tidur, durasi tidur, efisiensi kebiasaan tidur, gangguan tidur,
penggunaan obat tidur dan ganguuan fungsi tubuh di siang hari
(Buysee, et al., 1989). Kondisi kualitas tidur yang buruk
tersebut dipengaruhi oleh adanya beberapa komponen kualitas
tidur yang terganggu yaitu durasi tidur, gangguan - gangguan
tidur dan gangguan fungsi tubuh di siang hari.
Komponen kualitas tidur lainnya seperti kualitas tidur
subjektif, latensi tidur, efisiensi kebiasaan tidur dan
penggunaan obat tidur hampir seluruh perawat IGD dengan
rotasi shift dalam kondisi baik.
Perawat IGD dengan rotasi shift hampir sebagian besar
memiliki latensi tidur 16-30 menit dan masih terdapat sebagian
kecil dari perawat yang mengalami latensi tidur lebih dari 30
menit. Latensi tidur yang normal biasanya kurang dari 15 menit
(Buysee, et al., 1989).
Berdasarkan kondisi tersebut, maka beberapa perawat IGD
dengan rotasi shift masih harus memperbaiki komponen latensi
tidurnya agar dapat memulai tidur dalam waktu kurang dari 15
menit sehingga dapat memperbaiki kualitas tidurnya. Beberapa
cara yang dapat dilakukan untuk mendapatkan latensi tidur
yang baik adalah dengan rajin berolahraga, mengatur waktu
tidur rutin pada setiap jadwal shift kerja, melakukan kebiasaan
relaksasi rutin sebelum tidur dan keluar dari tempat tidur jika
479
dalam waktu lebih dari 30 menit masih belum dapat tertidur
(Kozier, et al., 2008).
Durasi tidur adalah lamanya tidur yang didapat pada malam
hari. Perawat yang termasuk dalam kelompok dewasa
membutuhkan rata–rata 7 jam–8 jam perharinya (Kozier, et al.,
2008). Dalam penelitian ini, tidak seorangpun perawat IGD
dengan rotasi shift yang tidur lebih dari 7 jam dalam sebulan
terakhir.
Selain itu, berdasarkan hasil sleep diary yang diisi selama
dua minggu untuk menilai tidur perawat selama satu bulan,
diketahui 3 orang perawat bahkan tidak tidur dalam sehari
semalam setelah bekerja shift malam. Padahal pada seorang
perawat diperlukan waktu selama 7 sampai 8 jam untuk
mendapatkan fungsi tidur secara optimal.
Menurut pendapat peneliti, durasi tidur yang kurang juga
dapat disebabkan oleh jam kerja shift malam yang terlalu
panjang dan lebih lama dari shift lainnya. Hal ini menyebabkan
waktu untuk tidur perawat shift malam menjadi lebih pendek.
Jadwal shift perawat IGD RSUD Sumedang untuk shift pagi
mulai dari pukul 07:00 – 14:00, shift siang mulai dari pukul 14
: 00 – 20:00 dan shift malam mulai dari pukul 20:00 – 07:00.
Pengaturan shift kerja akan lebih baik jika mengikuti teori
Scwartzenan yaitu dengan pola 8-16-24 (Grandjean, 1993).
Jumlah tidur yang kurang dapat menyebabkan seseorang
mudah tersinggung, sulit berkonsentrasi dan sulit membuat
keputusan (Kozier,et al, 2008). Kondisi tersebut harus dihindari
oleh seorang perawat khususnya perawat IGD yang

480
membutuhkan emosi yang stabil, konsentrasi yang penuh dan
dapat mengambil keputusan secara cepat dan tepat.
Modifikasi lingkungan dan meminimalkan gangguan -
gangguan tidur adalah beberapa cara yang dapat dilakukan
untuk mendapatkan durasi tidur yang sesuai.
Gangguan - gangguan tidur memberikan pengaruh terhadap
kualitas tidur seseorang. Semakin banyak gangguan tidur yang
didapatkan maka akan semakin buruk kualitas tidur seseorang.
Gangguan tidur tersebut dapat berupa terbangun tengah malam,
terbangun untuk ke kamar mandi, tidak nyaman saat tidur
karena tidak dapat bernapas, batuk, merasa kepanasan dan
kedinginan, mimpi buruk, merasa nyeri, maupun karena alasan
lainnya (Buysse, et al., 1989).
Dalam penelitian ini, gangguan tidur merupakan faktor
yang memberikan pengaruh cukup besar terhadap kualitas tidur
perawat. Sebagian besar responden (53,33%) memiliki
gangguan tidur yang terjadi kurang dari satu kali seminggu.
Faktor gangguan tidur yang paling sering dialami oleh perawat
IGD dengan rotasi shift yaitu terbangun tengah malam atau dini
hari.
Terdapat banyak hal yang menyebabkan seseorang tidak
dapat mempertahankan tidurnya sehingga sering terbangun.
Faktor-faktor yang mempengaruhi tidur seperti lingkungan,
penyakit, gaya hidup, stress, stimultan dan alkohol, nutrisi,
merokok, motivasi dan pengobatan dapat menjadi penyebab
munculnya masalah tidur (Kozier, et al., 2008). Sedangkan
faktor yang paling sering menyebabkan seorang perawat
seringkali terbangun adalah stress emosional.
481
Gaya hidup dengan rotasi shift kerja pada perawat sudah
dipastikan menjadi salah satu faktor yang ikut berpengaruh
pada kondisi tidur perawat (Kozier, et al., 2008). Ritme
sikardian yang seringkali berubah membuat perawat mengalami
kesulitan dalam penyesuaiannya. Hal inilah yang
mengakibatkan perawat dengan rotasi shift seringkali
mengalami tidur terputus, sulit mempertahankan tidurnya dan
akhirnya seringkali terbangun saat tidur. Selain itu responden
juga menyatakan seringkali terbangun karena adanya gangguan
yang berasal dari keributan, ganggguan binatang seperti
nyamuk, nyeri kepala, mimpi buruk, terbangun untuk ke kamar
mandi, merasa kepanasan dan kedinginan serta terbangun oleh
tangisan anak.
Kondisi ini sebaiknya dapat diminimalkan agar perawat
dapat memperoleh tidur yang lelap dengan cara membuat
lingkungan senyaman mungkin (Berger, 2006). Lebih lanjut
Berger (2006) menjelaskan bahwa untuk membuat lingkungan
yang nyaman dapat dilakukan dengan cara mematikan seluruh
alat yang dapat menimbulkan bunyi, menutup pintu dan
jendela, mengatur suhu ruangan yang nyaman, memasang obat
anti nyamuk ataupun kelambu dan persiapkan anak untuk
tidur pulas.
Pada penelitian ini, sebagian besar (66,67%) responden
mengalami gangguan fungsi tubuh di siang hari kurang dari
satu kali seminggu. Adapun item gangguan fungsi tubuh
disiang hari yang diukur yaitu frekuensi mengantuk yang sering
di siang hari pada saat berada di kendaraan, setelah makan atau

482
saat bekerja serta banyaknya masalah yang mengganggu
pikiran (Buysse, et al., 1989).
Dari kedua item yang mempengaruhi gangguan fungsi
tubuh disiang hari, frekuensi mengantuk merupakan item
pertanyaan yang memiliki skor lebih tinggi dibandingkan
dengan adanya masalah yang dipikirkan oleh perawat yang
menyebabkan perawat mengalami gangguan fungsi tubuh.
Jawaban responden untuk item pertanyaan frekuensi
mengantuk sangat beragam. Namun hampir seluruh responden
(76,66%) menyatakan merasa mengantuk dan hampir setengah
dari responden (43,33%) menyatakan mengantuk kurang dari
1x seminggu.
Sementara itu, komponen kualitas tidur lainnya seperti
kualitas tidur subjektif, latensi tidur, efisiensi kebiasaan tidur
dan penggunaan obat tidur pada perawat IGD dengan rotasi
shift telah berada dalam kondisi baik dan hal ini dapat terus
dipertahankan dan ditingkatkan untuk tetap mendapatkan tidur
yang senantiasa berkualitas.

Kuantitas Tidur
Kuantitas tidur yang diukur dalam penelitian ini adalah
jumlah jam tidur ≥ 100 menit baik dilakukan di rumah maupun
di tempat kerja. Kozier, et al., (2008) menjelaskan bahwa satu
siklus tidur lengkap pada orang dewasa berlangsung sekitar 90-
110 menit. Satu siklus tidur tersebut umumnya terdiri atas
tahap tidur NREM selama 90 menit dan selanjutnya diikuti oleh
tahap tidur REM selama 10-20 menit.

483
Sebagian besar responden (63,67%) memiliki kuantitas
tidur yang termasuk kategori kurang. Sebagian besar perawat
yang bekerja dengan rotasi shift di IGD RSUD Sumedang tidur
5 sampai 6 jam sehari. Secara teori dijelaskan bahwa perawat
yang termasuk dalam kelompok dewasa membutuhkan tidur 7
sampai 8 jam perhari. Seseorang dengan jumlah tidur yang
kurang cenderung lebih mudah tersinggung, sulit
berkonsentrasi dan membuat keputusan (Kozier,et al., 2008).
Kurangnya kuantitas tidur perawat IGD dengan rotasi shift
terjadi hampir setiap hari selama sebulan terakhir. Kondisi ini
menjadi semakin parah khususnya ketika perawat bekerja shift
malam. Beberapa orang perawat menyatakan hanya tidur satu
sampai dua jam sehari. Sebagian dari perawat bahkan
terkadang tidak dapat tidur sama sekali dalam sehari semalam
setelah bekerja shift malam.
Kuantitas tidur yang kurang pada perawat perlu
mendapatkan perhatian karena perawat yang tidak
mendapatkan tidur yang cukup dapat mengancam keselamatan
pasien (Dean, 2007). Terdapat beberapa hal dapat dilakukan
untuk tetap mendapatkan kuantitas tidur yang cukup seperti
memodifikasi lingkungan dan meminimalkan gangguan
(Berger, 2006).

Simpulan
Berdasarkan hasil penelitian mengenai kualitas dan
kuantitas tidur perawat IGD dengan rotasi shift di RSUD
Sumedang, dari 30 responden dapat diketahui bahwa hampir
seluruh responden (86,67%) memiliki kualitas tidur yang
484
termasuk kategori buruk, hanya 13,33% yang memiliki kualitas
tidur yang termasuk kategori baik.
Tingginya persentase perawat IGD dengan rotasi shift yang
memiliki kualitas tidur buruk dapat dilihat dari adanya
beberapa komponen kualitas tidur yang terganggu yaitu durasi
tidur, gangguan-gangguan tidur dan gangguan fungsi tubuh di
siang hari.
Sementara itu, dapat diketahui bahwa sebagian besar
responden (63,33%) memiliki kuantitas tidur yang termasuk
kategori kurang, hanya 36,33% responden yang memiliki
kuantitas tidur yang termasuk kategori cukup.

Saran
Berdasarkan hasil penelitian, maka terdapat beberapa
saran sebagai berikut:
1. Institusi atau pihak RSUD Sumedang dapat membantu
meningkatkan kualitas dan kuantitas tidur perawat
dengan memberikan informasi mengenai cara
meningkatkan kualitas dan kuantitas tidur perawat
melalui seminar maupun selebaran yang dibagikan
kepada perawat.
2. Institusi atau pihak RSUD Sumedang dapat membantu
meningkatkan kualitas dan kuantitas tidur perawat
dengan menetapkan jumlah jam kerja yang seimbang
pada setiap shift (pagi,siang,malam).
3. Perawat mencari informasi melaui institusi maupun
media informasi lainnya seperti internet, majalah dan

485
buku mengenai cara dan terapi yang dapat digunakan
untuk meningkatkan kualitas dan kuantitas tidur.
4. Untuk peneliti selanjutnya diharapkan dapat dilakukan
penelitian lebih lanjut mengenai faktor yang paling
mempengaruhi masalah kualitas dan kuantitas tidur
perawat.
5. Untuk peneliti selanjutnya diharapkan dapat dilakukan
penelitian lebih lanjut mengenai terapi yang dapat
digunakan untuk membantu meningkatkan kualitas dan
kuantitas tidur perawat.

Daftar Pustaka

Al-Rasyid, 1994. Teknik Pemeriksaan dan Penyusunan Skala.


Bandung: Program Pasca Sarjana Unpad

Arikunto, S. 2006. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan


Praktik. Jakarta: Rineka cipta

Arikunto, S. 2002. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan


Praktik.edisi revisi V. Jakarta: Rineka cipta

Asmadi. 2008. Teknik Prosedural Keperawatan: Konsep dan


Aplikasi Kebutuhan Dasar Klien. Jakarta: Salemba Medika

Aziz, A.H. 2008. Pengantar Kebutuhan Dasar Manusia -


Aplikasi Konsep dan Proses Keperawatan. Jakarta: Salemba
Medika

486
Berger, A.M & Hobbs, B.B. 2006. Impact of shift work on the
health and safety of nurses and patients. Clinical Journal of
Oncology Nursing, 10(4), 456 - 471.

Buysse, D.J., Reynolds III, C.F., Monk, T.H., Berman, S.R., &
Kupfer, D.J. (1989). The pittsburgh sleep quality index: A
new instrument for psychiatric practice and research.
Psychiatric Research, 28 (2), 193-213.

Carpenter and Camazian, P., (1978). Night work. Second


Edition, International. Labour Office, Geneva.

Chung, Min – Huey. et,.al. 2008. Sleep quality and


morningness-eveningness of Shift nurses. Journal of
Clinical Nursing, 18, 279-284

Dean, G.E., & Dinges, D.F. (2007). The relationship between


nurse work schedules, sleep duration, and drowsy driving.
Sleep, 30(12).1801-1807.

Fletcher, A & Dawson, D. (1997). A predictive model of work-


related fatigue based on hours of work. Journal of
Occupational Health and Safety–Australia and New
Zealand 13(5), 471–485.

Gold,D.R., Rogacz, S., Bock, N., Tosteson, T.D.,Baum,T.M.,


Speizer, F.E., et al. (1992). Rotating shift work, sleep, and
accidents related to sleepiness in hospital nurses.
American Journal of Public Health, 82(7),1011-1014.

Grandjean, E., (1993). Fitting the task to the man, 4 th ed.Taylor


& Francis Inc.London.
487
ILO, (1983). Ecyclopedia of occupational health and safety.
Vol II. International Labour Office, Geneva.

Kelly, R.J. and Sceneider, R.F., (1982). The twelve hour shift
revisited: Recent Trends in Electric Power Industry. J. of
Human Ercology 11: 369 – 384.

Knauth P, Landau K, Droge C, Schwitteck M, Widynski M &


Rutenfranz J. (1980). Duration of sleep depending on the
type of shift work. International Archives of Occupational
Environmental Health. 46.167- 177.

Kozier, Barbara. et,.al. 2004. Fundamental of Nursing


(Concept, Process and Practice). 7thedition. US: Prentice
Hall.

___________________. 2008. Fundamental of Nursing


(Concept, Process and Practice). 8th edition. US: Prentice
Hall.

LaDou, Y., (1990). Occupational medicine. Prentice-Hall


International, America.

Lamond N., Dorrian J., Roach G., McCulloch K., Holmes


A.,Burgess H., Fletcher A. & Dawson D. (2003) The
impact of a week of simulated night work on sleep,
circadian phase, and performance.Occupational and
Environmental Medicine 60(11), e13.

Lavie P. (2001). Sleep – wake as a biological rhythm. Annual


Review of Psychology 52, 277–303.

488
Lower, J. Bonsack,C. & Guion,J. (2003). Peace and quiet.
Nursing Management. 34 (4). 40A - 40D.

McCormick, W.J and Ilgen, D.R., (1985). Industrial and


organizational psychology. Prentice-Hall, Englewood
Cliffs, New Jersey.

Moon Fai Chan. 2008 . Factors associated rotating


shifts.Journal of Clinical Nursing, 18, 285–293

Muecke S. (2005). Effect of rotating night shift. Journal of


Advanced Nursing 50(4), 433–439

Notoatmodjo, S. 2002. Metodologi Penelitian Kesehatan.


Jakarta: Rineka cipta

____________. 2005. Metodologi Penelitian Kesehatan.


Jakarta: Rineka cipta

Perkins L. (2001). Is the night shift worth the risk? RN 64(8),


65 – 66, 68.

Potter & Perry. 2005. Fundamental Keperawatan.Volume 2:


Konsep,Proses dan Praktik. Jakarta: EGC .

Pulat, B.M., (1992). Fundamentals of industrial ergonomics.


Prentice Hall,Englewood Cliffs, New Yersey.

Ruggiero, J.S. (2003). Correlates of fatigue in critical care


nurses. Research in Nursing & Health, 26, 434-444.

489
Sugiyono. 2007. Metode Penelitian Administrasi. Bandung:
Alfabeta

________.2009. Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif dan R


& D. Bandung: Alfabeta

Syam, R.J. 2007. Analisis pengaturan shift kerja yang tepat


untuk menjaga kestabilan performansi kerja karyawan
dengan menggunakan psychophysiology method. Skripi
Program Sarjana Universitas Islam Indonesia. Yogyakarta

William, J.G., (1992). Fatique free how to revitalize your life.


Picnum Press, New York.

IOM. Keeping patients safe: Transforming the Work


Environment of Nurses. 2003.
http://www.wikipedia.com/Sleep diary/, diakses 27 Maret
2010.

490
Terapi Bekam (Cupping Theurapy) Pada Pasien Hipertensi :
Literatur Review

Yuyun Solihatin1, Urip Rahayu2


1
Mahasiswa Magister Fakultas Keperawatan
2
Fakultas Keperawatan Universitas Padjadjaran

Abstrak

Hipertensi biasa disebut the silent killer, penyakit ini


merupakan suatu keadaan yang tidak selalu menunjukan gejala,
akan tetapi apabila dibiarkan dan berlangsung dalam waktu
yang lama dapat mengakibatkan kerusakan yang permanen
pada organ- organ vital sehingga meningkatkan resiko penyakit
jantung, stroke, dan gangguan ginjal. Penatalaksanaan
hipertensi terbagi menjadi terapi farmakologis dan non
farmakologis. Terapi Bekam atau Cupping Theraphy
merupakan salah satu jenis terapi komplementer non
farmakologis yang dilaporkan dapat digunakan dalam
penatalaksanaan hipertensi. Terapi bekam bertujuan untuk
memperlancar aliran darah dengan cara melakukan
penghisapan atau vakumisasi menggunakan cup untuk
mengeluarkan darah dari permukaan kulit. studi ini merupakan
tinjauan literatur yang bertujuan untuk menggali pengaruh
terapi bekam terhadap tekanan darah pada pasien hipertensi.
literature dilakukan menggunakan beberapa database (Google
scholar, Pubmed penelusuran, Proques) dengan kata kunci
terapi bekam,tekanan darah, cuping teraphy, hypertension.
artikel jurnal yang digunakan ada 8 jurnal dibatasi dari tahun
2006 – 2016. Hasil review, beberapa penelitian menyatakan
bahwa terapi bekam basah (wet Cupping Therapy) efektif
dalam menurunkan tekanan darah , dimana akan mengaktivasi
organ yang mengatur aliran darah, merangsang saraf- saraf
491
periper, dan merangsang pengeluaran beberapa zat seperti
serotonin, histamin, bradikinin, slow reactio substance (SRS)
sehingga akan menyebabkan dilatasi pembuluh darah kapiler
dan arteriol. Selain itu efek yang dihasilkan dari terapi bekam
juga dilaporkan mengurangi nyeri kepala dan pegal pundak
pada pasien hipertensi dan tidak ada keluhan efek samping
berat yang dirasakan oleh pasien.akan tetapi, terdapat juga
beberapa penelitian yang melaporkan tidak ada pengaruh yang
signifikan terapi bekam terhadap tekanan darah, hal tersebut
sangat dipengaruhi jumlah sesi bekam, interval antar sesi, dan
titik yang tepat (potent point). tiga kali sesi bekam dalam
interval tertentu terbukti dapat mengurangi hypertensi.
Kesimpulannya terapi bekam yang dilakukan dengan jumlah
sesi yang tepat, interval antar sesi dan titik point yang tepat
dapat menurunkan tekanan darah pada pasien hypertensi.
Kata kunci: Bekam, Bus untuk Lantai 3

Pendahuluan

Hipertensi sering disebut the silent killer karena gangguan


ini sering tidak menunjukan gejala, akan tetapi jika dibiarkan
dan berlangsung dalam waktu yang lama dapat mengakibatkan
kerusakan yang permanen pada organ- organ tubuh vital seperti
jantung, ginjal, dan otak. Hipertensi merupakan salah satu
faktor resiko yang paling sering menyebabkan penyakit
kardiovaskuler yang bisa berakhir dengan kematian. Penyakit
hipertensi ini telah membunuh 9,4 juta warga dunia setiap
tahunnya. World Health Organization (WHO) memperkirakan
jumlah penderita hipertensi akan terus meningkat seiring
dengan bertambahnya jumlah penduduk, dan pada tahun 2025
492
diperkirakan sekitar 29 persen warga dunia terkena hipertensi.
Di Asia penyakit hipertensi telah membunuh 1,5 juta orang
setiap tahunnya, (Baradero, Dayrit, & Siswadi, 2008; Widiyani,
2013;Zarei, 2012)

di Indonesia, prevalensi hipertensi dari tahun ke tahun


mengalami peningkatan. terjadi peningkatan prevalensi
hipertensi dari 7,6 persen pada tahun 2007 menjadi 9,5 persen
pada tahun 2013. Di Jawa Barat telah terjadi peningkatan angka
kejadian hipertensi (yang terdiagnosa) dari 8,8% pada tahun
2007 menjadi 10,5% pada tahun 2013 (Riskesdas, 2013).

Untuk mencegah terjadinya komplikasi yang dialami


pasein hipertensi, maka diperlukan penanganan yang tepat, baik
itu terapi farmakologi maupun nonfarmakologi. Terapi
farmakologi yaitu dengan penggunaan obat- obatan atau
senyawa kimia yang harus dijalani secara teratur dan terus-
menerus oleh pasien hipertensi, seperti obat diuretik,
simpatolitik, vasodilator arteriol langsung, antagonis
angiotensin.terapi non farmakologis adalah jenis terapi diluar
bahan kimia, seperti self management dengan pola makan yang
baik, olah raga teratur, tidak merokok, manajemen stress, dan
terapi komplementer (Jansen, Karim,&Misrawati, 2014).

Efek samping yang ditimbulkan oleh obat- obatan


antihipertensi secara terus menerus dapat menimbulkan
perasaan jenuh dan menyebabkan pasien mencari pengobatan
alternatif dengan harapan dapat mengurangi gejala yang
dirasakan.terapi komplementer merupakan salah satu pilihan
493
terapi yang dipergunkan pasien untuk mengatasi hipertensi,
salah satunya adalah terapi bekam (Zarei, Hejazi, Javadi,
Farahani, 2012)

. Bekam merupakan salah satu terapi tradisional yang


dilakukan oleh seorang terapis yang terdiri dari empat proses,
yaitu penghisapan kulit dan jaringan bawah kulit, pembiaran
gelas dalam posisi tekanan negatif, pengeluaran darah, dan titik
yang tepat (Purwanto, 2013; Umar, 2012).

Secara umum terdapat dua jenis bekam, yaitu bekam


kering dan bekam basah, bekam kering yaitu teknik menghisap
kulit dengan gelas /cup tanpa mengeluarkan darah, sedangkan
bekam basah dilakukan dengan membuat sayatan dipermukaan
kulit sehingga darah akan tertampung pada cup pada saat
dihisap. (Kasmui, 2011; Zarei, Hejazi, Javadi, Farahani, 2012).

Terapi bekam digunakan untuk memperlancar peredaran


darah subkutan dan merangsang sistem saraf , selain itu juga
berdasarkan kepada teori aktivasi organ, dimana bekam akan
mengaktivasi organ yang mengatur aliran darah seperti hati,
ginjal, dan jantung agar organ-organ ini tetap aktif dalam
mengatur peredaran darah sehingga tekanan darah tetap terjaga.
(Umar, 2012).

Penelitian yang dilakukan oleh Zarei, Hejazi, Javadi, dan


Farahani (2012) melaporkan bahwa tekanan darah sistole
setelah dilakukan bekam sebanyak tiga sesi mengalami
penurunan yang signifikan. Huljuan, Xun, dan Jianping (2012)

494
mengemukakan manfaat dari bekam diantaranya mengobati
rasa sakit, herpes zooster, batuk, dispnea, rehabilitasi stroke,
dan hipertensi. Sedangkan penelitian yang dilakukan oleh
Jansen, Karim, dan Misrawati (2014) menunjukkan bahwa
terapi bekam efektif dalam menurunkan tekanan darah pada
pasien dengan hipertensi primer.

Metode

Penelusuran literature dilakukan menggunakan Google


Scholar, Proquest, dan PubMed dengan kata kunci terapi
bekam, tekanan darah, hipertensi, cupping therapy, dan blood
pressure. Literatur yang diambil dibatasi dari tahun 2006-2016
yang dapat diakses fulltext. Jumlah artikel jurnak yang
digunakan 8 buah. Artikel yang ada kesamaan diambil yaitu
artikel jurnal yang membahas tentang pengaruh terapi bekam
terhadap, nyeri, penanganan nyeri herpes, Rheumatoid arthritis
lalu dianalisa. data diekstraksi dari artikel yang berkualitas dan
homogen dengan menggunakan metode review.

Extraksi Data

Hasil penelusuran artikel jurnal yang dilaksanakan


menggunakan kata kunci terapi bekam dan cupping wet pada
beberapa searching engine yang eligible. Apabila ada jurnal
yang sama dari hasil penelusuran di mesin pencari akan diambil
satu saja sehingga tidak ada jurnal yang sama untuk dilakukan
analisis. Kemudian ditampilkan dalam bentuk tabel.

495
Hasil Penelitian

Hasil literature didapatkan bahwa dalam hal efektifitas


pengaruh terapi bekam terhadap berbagai gangguan . Adapun
jurnal yang terkait adalah sebagai berikut :

Judul Jurnal Penulis Metode Kesimpulan

pertension patients : a Nouran A. a Hasil penelitian menunjukan bahwa


Aleyeidi, random terapi bekam basah dapat
Khaled zed menurunkan tekanan darah sistolik.
S.Aseri;, controll Setelah 4 minggu difollow up, rata-
Shaida ed trial rata tekanan darah sistolik pada grup
M.Matbou intervensi mengalami penurunan
li, Albaraa sebesar 8,4 mmHg dibandingkan
A.Sulaima dengan grup yang tidak dilakukan
ni, intervensi terapi bekam basah / grup
Sumayyah kontrol dengan nilai (p= 0,04).
A.Kobeisy Setalah 8 minggu difollow up
, 2015 kembali maka hasilnya tidak ada
perbedaan yang signifikan tekanan
darah antara grup inervensi dan grup
kontrol. Selain itu juga dilaporkan
bahwa terapi bekam basah tidak
menimbulkan efek samping yang
serius yang dikeluhkan oleh pasien
yang dilakukan intervensi

herapy (Al-Hijamah) El Sayed SM, Systema Hasil penelitian melaporkan bahwa


Mahmoud HS, tic terapi bekam basah merupakan
496
Medicine dan Nabo Review treatment yang efektif untuk
MMH, 2013 mengatasi berbagai gangguan dengan
penyebab dan patogenesis yang
berbeda seperti rheumatoid arthritis
(RA), Hipertensi, migren, cappal
turner syndrom, fibromyalgia,
cellulitis dan penyakit lainnya.dalam
teori taibah, bekam basah merupakan
tindakan bedah minor yang secara
keilmuan berhubungan dengn prinsip
filtrasi glomerulus ginjal dan
evakuasi abses. Dilaporkan juga
bahwa terapi bekam memiliki dasar
keilmuan yang dapat digunakan
untuk terap berbagai penyakit ,
dengan treatment membersihkan
darah dan cairan interstisial dari
substansi- substansi penyebab
penyakit .

es of Systematis Myeong Soo Systema Hasil penelitian secara systematik


lee, Jong-In tic review melaporkan bahwa terapi
Kim, Edzard Review bekam efektif untuk manajemen
Ernst, 2011 nyeri pada skala nyeri sedang, selain
itu juga terapi bekam digunakan
dalam penetalaksanaan pasien stroke
dan hipertensi, akan tetapi artikel
yang direview memiliki kualitas
yang kurang baik berkaitan dengan
jumlah responden yang minimal,
akibatnya tidak dilaporkan pengaruh
yang signifikan tindakan terapi
bekam terhadap penatalaksanaan

497
stroke dan hipertensi

of hypertension Mohammad Random Hasil penelitian menunjukan bahwa


Zarei, Shirin , tidak ada perbedaan yang signifikan
Hejazi, Seyed Controll antara grup intervensi dan grup
Ali Javadi, ed, kontrol dengan tes t-independen dari
Hojatollah Clinical segi usia, indeks masa tubuh, durasi
Farahani, 2012 Trial hipertensi, dan durasi penggunaan
obat antihipertensi. Sementara itu
hasil t- test independen menunjukan
perbedaan yang signifikan tekana
darah pada grup intervensi sebelum
dan sesuadah dilakukan terapi bekam
basah (p<0,05). Setelah 3 sesi
tindakan bekam basah, rata- rata
tekanan darah sitol pada kelompok
intervensi dan kelompok kontrol
terdapat perbedaan yang signifikan ,
dimana rata- rata tekanan darah
sistole pada kelompok intervensi
mengalami penurunan setelah
diobservasi selama minggu

urunan tekanan darah Susiana pre- Hasil penelitian menunjukan adanya


Jansen, experi penurunan tekanan darah yang
Darwin Karim, mental signifikan pada responden setelah
Misrawati, method dilakukan terapi bekam pada minggu
2014 pertama, minggu kedua dan minggu
with
ketiga dengan hasil uji statistik
one
dengan p value = (0,000) < α (0,05).
group dapat disimpulkan bahwa terapi
pretest- bekam efektif dalam menurunkan
posttest tekanan arah pada pasien dengan

498
design hipertensi primer

nts with carpal Andreas A Hasil penelitian menunjukan bahwa


al Michalsen, randomi Pasien syndrom kapal turner yang
Silke Bock, ze dilakukan tindakan bekam basah
Rainer Lu controll pada bagian travezius mengalami
dtke, Thomas ed Trial penuruna dalam nyeri dan gejala
Rampp, lain setelah dilakukan tindakan
Marcus bekam basah, selain itu juga
Baecker, 2009 dilaporkan meningkatkan
kemampuan secara fungsi dan
kualitas hidup serta menurunkan
gejal nyeri leher . severity dari gejala
syndrom karpal turner berkurang dari
61.5 ± 20.5 menjadi 24.6 ± 22.7mm
pada hari ke tujuh pada kelompok
intervensi dan dari 67.1 ± 20.2
menjadi 51.7 ± 23.9mm pada
kleompok (95%CI –36.1; –2.9, P <
.001)]

Pembahasan

Berdasarkan hasil dan kesimpulan dari 6 jurnal diatas


terdapat beberapa kesamaan yang terlihat antara lain lima
jurnal menunjukkan bahwa terapi bekam efektif untuk
menurunkan gejala dari beberapa penyakit seperti meurunkan
nyeri pada syndrom kappal tunnel, menurunkan tekanan darah
pada pasien hipertensi digunakan dalam penatalaksanaan
rheumatoid arthritis (RA), migren, fibromyalgia, cellulitis dan
499
penyakit lainnya.hal yang sejalan diungkapkan oleh Huljuan,
Xun, dan Jianping (2012) bahwa manfaat dari bekam
diantaranya mengobati rasa sakit, herpes zooster, batuk,
dispnea, rehabilitasi stroke, dan hipertensi. Satu jurnal
menyebutkan bahwa tidak ada pengaruh yang signifikan
tindakan bekam terhadap stroke dan hipertensi. Hal tersebut
dikarenakan oleh keterbatasan penelitian dalam hal jumlah
responden yang minimal sehingga memungkinkan terjadinya
biasa yang tinggi.

Beberapa penelitian melaporkan hasil bahwa terapi


bekam basah efektif untuk menurunkan tekanan darah pada
pasein hipertensi, dapat menurunkan tekanan darah sistolik.
Setelah 4 minggu difollow up, rata- rata tekanan darah sistolik
pada grup intervensi mengalami penurunan sebesar 8,4 mmHg
dibandingkan dengan grup yang tidak dilakukan intervensi
terapi bekam basah / grup kontrol dengan nilai (p= 0,04).
Setalah 8 minggu difollow up kembali maka hasilnya tidak ada
perbedaan yang signifikan tekanan darah antara grup inervensi
dan grup kontrol. Artinya bahwa tindakan bekam harus
dilakukan secara kontinyu untuk memperoleh hasil yang
maksimal Selain itu juga dilaporkan bahwa terapi bekam basah
tidak menimbulkan efek samping yang serius yang dikeluhkan
oleh pasien yang dilakukan intervensi (Aleyeidi,.Aseri,
.Matbouli, Sulaimani, Kobeisy , 2015 ; Jansen, Karim,
Misrawati, 2014).

Tujuan bekam adalah memperlancar aliran darah dan


meningkatkan stamina tubuh (Purwanto dan Indarto, 2013).
500
Prosedur bekam terdiri dari empat proses, yaitu penghisapan
kulit dan jaringan bawah kulit, pembiaran gelas dalam posisi
tekanan negatif, pengeluaran darah, dan titik yang tepat.Proses
pengisapan akan merangsang pada saraf-saraf pada permukaan
kulit. Efek yang dapat ditimbulkan antara lain pengumpulan
darah di bawah kulit yang disertai dengan dilatasi pembuluh
darah di kulit, terbukanya pori-pori kulit, sekaligus peningkatan
kerja jantung (Umar, 2012). Sehingga jika bekam dilakukan
dengan prosedur yang benar dan pada titik (potent point) yang
tepat dan sesi yang sesuai maka akan efektif terhadap
penurunan tekanan darah, sesuai hasil penelitian lee, at al
(1999) dalam Zarei (2012) bahwa bekam yang dilakukan
sebanyak tiga sesi pada sampel menunjukan 71 % pengurangan
tekanan darah

Bekam basah aman dilakukan pada pasien dengan


hipertensi. Selain itu efek yang dihasilkan dari terapi bekam
juga dilaporkan mengurangi nyeri kepala dan pegal pundak
pada pasien hipertensi dan tidak ada keluhan efek samping
berat yang dirasakan oleh pasien (Aleyeidi, Aseri, .Matbouli,
Sulaimani,Kobeisy, 2015; Michalsen, Bock, Lu dtke, Rampp
Baecke, 2009)

Simpulan

Dari beberapa literature yang direview mengenai terapi


bekam dapat disimpulkan bahwa terapi bekam yang
dilakukan dengan jumlah sesi yang tepat, interval antar sesi
dan titik point yang tepat dapat menurunkan tekanan darah
501
pada pasien hypertensi , selain itu bekam basah dinyatakan
aman untuk dilakukan dalam mengatasi masalah fisik lain
seperti nyeri pada herpes zoster, nyeri akut dan kronis, gejala
syndrom karpat tunnel, Rheumatoid Arthritis.

Saran

Bagi reviewer selanjutnya yang ingin melakukan


literature review khususnya yang berhubungan dengan Terapi
bekam agar mereview dengan menggunakan lebih banyak lagi
sumber atau jurnal yang direview yang homogen dan berasal
dari berbagai database. Sehingga output yang dihasilkan
memiliki kualitas yang sangat baik.

Daftar Pustaka

Aleyedi, Nouran A., Khaled S.Aseri.,Shadia


M.Matbouli.,Albaraa A.Sulaimani.,Sumayyah A
Kobeisy.(2015). Effect of wet cupping on blood
pressure in hypertensive patient: a randomized
controlled trial. Elsevier. diperoleh tanggal 10
September 2016.
Baradero, M., Dayrit, MW., & Siswadi, Y. (2008). Seri Asuhan
Keperawatan Klien Gangguan Kardiovaskular. Jakarta:
EGC.
Huljuan, C.Xun.L. & Jianpinh. L(2012). An Update Review of
the Efficacy of Cupping Therapy. PloS ONE (2) :
e31793. doi:10.1371/journal.pone.0031793, diperoleh
tanggal 10 September 2016.

502
Jansen.S, Karim.D, & Misrawati. (2014). Efektifitas Terapi
Bekam Terhadap Penurunan Tekanan Darah Pada
Penderita Hipertensi Primer
http://repository.unri.ac.id/xmlui/bitstream/handle/123
456789/5265/susianajansen.pdf?sequence=1.
diperoleh pada tanggal 10 september 2016.
Kasmui, (2011). Bekam Pengobatan Menurut Sunnah Nabi.
http://assunnah-
qatar.com/phocadownload/PDF/BEKAM.pdf.
diperoleh pada tanggal 10 september 2016.
Lee, Myeong Soo.Kim, Jong-In, Edzard Ernst 92011). Is
Cupping an Effective Treatment? An Overview of
Systematic Review. Elsevier.diperoleh tanggal 10
september 2016.
Purwanto, B. (2013). Herbal dan Keperawatan Komplementer.
Yogyakarta : Nuha
Medika.http://www.depkes.go.id/resources/download/g
eneral/Hasil%20Riskesdas%202013.pdf, diperoleh
pada tanggal. diperoleh pada tanggal 10 september
2016.
Sayed,El.,Mahmoud., & Nabo.(2013). Medical and Scientific
of wet cupping therapy (Al-hijamah): in Light of
modern Medicine and Prophetic Medicine.Altern Integ
Med.
Umar, WA. (2012). Sembuh dengan Satu Titik 2 Bekam untuk
7Penyakit Kronis. Solo:Thibbia. diperoleh pada tanggal
10 september 2016.

503
Zarei, Mohammad. Shirin Hejazi. Seyad Ali Javadi. Hojatollah
Faharani. (2012). The effecacy of wet cupping in
treatment of hypertension.ResearchGate. diperoleh
tanggal 10 september 2016.

504
Depresi Pada Pasien dengan Penyakit Jantung Koroner

Ristina Mirwanti; Aan Nuraeni


Departemen Kritis, Fakultas Keperawatan Unpad
Email : ristina.mirwanti@unpad.ac.id

Abstrak

Penyakit jantung koroner berdampak terhadap berbagai aspek


kehidupan pasien. Selain aspek fisik, juga aspek psikososial
seperti depresi. Depresi yang dialami pasien dapat
mengakibatkan kondisi yang lebih buruk pada pasien dengan
penyakit jantung koroner. Hal ini juga dianggap dapat
memengaruhi kualitas hidup pasien dengan penyakit jantung
koroner. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran
kejadian depresi pada pasien dengan penyakit jantung koroner
di Ruang Poli Jantung RS X di Bandung. Penelitian ini
merupakan deskriptif kuantitatif. Populasi pada penelitian ini
adalah,pasien dengan penyakit jantung koroner yang menjalani
rawat jalan dan telah menjalani rawat jalan minimal satu bulan.
Teknik sampling yang digunakan adalah teknik simple random
sampling dan didapatkan jumlah sampel 100 responden. Hasil
penelitian menunjukkan 60% responden mengalami tanda
depresi minimal, 22% mengalami depresi ringan, 15%
mengalami depresi sedang, dan hanya 3% yang mengalami
depresi berat. Kesimpulannya adalah mayoritas responden tidak
mengalami depresi. Perlu dilakukan pencegahan agar pasien
dengan penyakit jantung koroner tidak mengalami depresi yang
lebih lanjut.
Kata kunci : depresi, penyakit jantung koroner, rawat jalan

505
Pendahuluan

Penyakit jantung koroner (PJK) merupakan penyakit


dimana terdapat plak, yang merupakan substansi yang
menyerupai lilin di dalam pembuluh darah arteri koroner yang
menyuplai kebutuhan oksigen otot jantung (NHLBI, 2016). Di
Inggris, sekitar 2,3 juta orang menderita PJK (NHS, 2014).
Berdasarkan diagnosis dokter, prevalensi penyakit jantung
koroner di Indonesia tahun 2013 diperkirakan sekitar 883.447
orang, sedangkan berdasarkan gejala diperkirakan sekitar
2.650.340 orang (Kemenkes, 2014).

PJK merupakan penyebab kematian mayor di Inggris


dan seluruh dunia. Angka kematian yang disebabkan oleh PJK
sekitar 73.000 setiap tahun di Inggris (NHS, 2014). Sedangkan
di Indonesia, kematian yang disebabkan oleh penyakit
kardiovaskuler, terutama penyakit jantung koroner dan stroke
diperkirakan akan terus meningkat mencapai 23,3 juta kematian
pada tahun 2030 (Kemenkes, 2014).

PJK memberikan dampak terhadap pasien yang


menderitanya,. Dampak yang ditimbulkan pada beberapa
aspek. Dampak pada fisik penderita, pasien akan merasakan
sesak, mudah lelah, mengalami gangguan seksuaal, serta nyeri
dada (Rosidawati, Ibrahim, & Nur‘aeni, 2015). Pada aspek
psikososial, PJK dapat menyebabkan cemas dan depresi yang
sering dialami oleh pasien (Lane, Carroll, & Lip, 2003; Gustad,
Laugsand, Janszky, Dalen, & Bjerkeset, 2014).

506
Depresi secara cepat menjadi penyebab utama
seseorang hidup dengan kecacatan di seluruh dunia (Lopez,
Mathers, Ezzati, Jamison, & Murray, 2006). Di Amerika, tujuh
juta pasien dengan PJK mengalami depresi klinis yang
signifikan dan setengah juta kasus baru yang menjadi beban
kesehatan masyarakat. Adanya gangguan depresi dan/atau
peningkatan gejala depresi minimal menjadi risiko dan penanda
prognostik kekambuhan PJK dan semua penyebab kematian
(Khawaja, Westermeyer, Gajwani, Feinstein, 2009).

Depresi dapat memengaruhi perasaan seseorang


terhadap diri mereka sendiri. Mereka dapat kehilangan
ketertarikan untuk bekerja, pada hobi, dan melakukan hal – hal
yang biasanya disenangi. Beberapa orang merasa kehilangan
tenaga serta mengalami kesulitan untuk tidur atau tidur lebih
dari biasanya. Depresi juga dapat menyebabkan beberapa orang
merasa cemas dan sensitive serta susah untuk konsentrasi.

Metode

Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif


kuantitatif yang dilakukan secara potong silang (cross
sectional). Variabel pada penelitian ini adalah depresi. Populasi
dalam penelitian ini adalah pasien dengan PJK yang menjalani
rawat jalan di Ruang Poli Jantung RS X di Bandung dan sudah
menjalani rawat jalan minimal 1 bulan. Sampel pada penelitian

507
ini diambil dengan teknik simple random sampling dengan
ukuran sampel 100 pasien.
Instrumen yang digunakan untuk mengukur depresi
adalah Beck Depression Inverntory II (BDI-II) versi bahasa
Indonesia sudah dilakukan uji contruct validity oleh Ginting,
Naring, Veld, Srisayekti, & Becker (2013) dalam penelitian
Validating the Beck Depression Inventory II in Indonesia’s
general population and coronary heart disease patients dengan
nilai validasi r = 0,55, p < 0,01 dan reliabilitas yang diukur
dengan alpha cronbach sebesar 0,90.
Instrumen BD II terdiri dari 21 pertanyaan. Setiap
pertanyaan terdapat empat jawaban dengan nilai 0 sampai 3.

Hasil Penelitian

Tabel 1 Karakteristik Demografi

Karakteristik Frekuensi Persentase


(F) (%)
1. Usia (tahun)
- ≤ 45 9 9
- > 45 91 91
M = 57 SD = 9,99 R =
19 - 73
2. Jenis kelamin
- Laki-laki 77 77
- Perempuan 23 23

508
___________________________________________________
_________________

Mayoritas responden berusia lebih dari 45 tahun dan berjenis


kelamin laki – laki. Mayoritas responden tidak menjalani
program rehabilitasi jantung dan tidak mendapatkan terapi
revaskularisasi. Mayoritas responden saat ini tidak memiliki
kebiasaan merokok.

Tabel 2 Tingkat Depresi pada Pasien dengan Penyakit Jantung


Koroner
Kategori depresi Frekuensi Persentase
F (%)
Minimal 60 60
Ringan 22 22
Sedang 15 15
Berat 3 3
Total 100 100

Tingkat depresi yang dialami oleh responden pada tabel di atas


sebagian besar berada pada tingkat minimal yaitu sebanyak
60% artinya depresi yang dialami masih dalam taraf normal.
Namun demikian responden yang mengalami depresi dalam
kategori sedang dan berat pun cukup banyak mencapai 18%
dari total responden yang ada.

509
Pembahasan

Pada penelitian ini, mayoritas berusia lebih dari 45


tahun dan berjenis kelamin laki – laki. Pada laki – laki, faktor
PJK meningkat di usia 45 tahun, sedangkan pada perempuan,
resiko PJK meningkat sekitar usia 55 tahun. Mayoritas setiap
orang memiliki plak yang terbentuk dalam pembuluh darah
koroner ketika berusia tujuh puluh tahun (NHLBI, 2016).
Perbedaan usia terjadinya PJK juga karena dipengaruhi faktor
lain.

Angka kejadian PJK berbeda pada laki – laki dan


perempuan. Pada penelitian ini mayoritas responden dengan
PJK adalah laki – laki. Hormon estrogen pada perempuan
memberikan perlindungan terhadap perempuan mengalami PJK
Akan tetapi terdapat juga faktor pada perempuan yang dapat
meningkatkan resiko terjadinya PJK, seperti preeklamsi.
Demikian juga, faktor risiko yang dapat meningkatkan
terjadinya penyakit jantung seperti diabetes dan obesitas, juga
dapat meningkatkan risiko terjadinya preeklamsi. Diabetes
yang merupakan faktor risiko terjadinya PJK juga lebih sering
terjadi pada perempuan (NHLBI, 2016).

Depresi sering terjadi pada pasien jantung. Depresi


dapat tampak sebagai salah satu penyebab terjadinya penyakit
kardiovaskuler, maupun sebagai dampak dari penyakit
kardiovaskuler, atau keduanya.

510
Depresi merupakan salah satu hal yang harus
diperhatikan baik oleh dokter maupun perawat dalam
pengelolaan pasien dengan PJK. Perhatian dapat dilakukan
dengan menangani depresi pada pasien, maupun dengan
merujuk pada pusat pelayanan yang lebih memenuhi standar
dalam perawata pasien dengan depresi. berdasarkan hasil
penelitian, hanya setengah dari dokter jantung yang merawat
pasien dengan PJK yang mengatakan menangani masalah
depresi pada pasiennya. Sebagian menganggap bahwa depresi
merupakan hal yang normal pada saat kondisi akut (Litchman,
et al, 2008).

Deteksi dini depresi dirasa merupakan hal yang penting.


Belum ditemukan hasil penelitian yang menyatakan deteksi
dini depresi memberikan hasil yang lebih baik pada populasi
pasien dengan penyakit jantung, akan tetapi depresi
dihubungkan dengan peningkatan angka mortalitas dan
morbiditas, modifikasi faktor resiko yang lebih buruk, angka
rehabilitasi jantung yang lebih rendah, dan penurunan kualitas
hidup ( Litchman, et al, 2008).

Pada penelitian ini, untuk mencegah pasien jatuh ke


dalam kondisi depresi yang lebih buruk, perlu dilakukan
deteksi dini dan penanganan depresi. hal ini penting untuk
mencegah tingginya morbiditas dan mortalitas, memburuknya
angka rehabilitasi jantung, dan menurunnya kualitas hidup
pasien.

Simpulan
511
Pada penelitian ini, mayoritas responden tidak mengalami
depresi / tanda depresi minimal. Perlu dilakukan pencegahan
agar pasien dengan penyakit jantung koroner tidak mengalami
depresi yang lebih lanjut. Pencegahan yang dilakukan dapat

Daftar Pustaka

Gustad, L. ., Laugsand, L. ., Janszky, I., Dalen, H., & Bjerkeset,


O. (2014). Symptoms of anxiety and depression and risk
of acute myocardial infarction: the HUNT 2 study.
European Heart Journal, 35(21), 1394–403.
http://doi.org/10.1093/eurheartj/eht387.

Khawaja, Westermeyer, Gajwani, Feinstein. (2009). Depression


and coronary artery disease: the association,
mechanisms, and therapeutic implications. Psychiatry
(Edgmont). 2009 Jan;6(1):38-51.

Kemenkes . (2014). Situasi Kesehatan Jantung. Kemenkes RI :


Pusat data dan Informasi.

Lane, D., Carrol, D., & Lip, G. Y. H. (2003). Anxiety,


Depression, and Prognosis after Myocardial Infarction.
Journal of the American College of Cardiology, 42(10),
1808 – 1810. http://doi.org/10.1016/j.jacc.2003.08.018.

Lichtman, J.H., Bigger,J.T., Blumenthal,J,A., Frasure-


Smith,N., Kaufmann, P.G.,, Lespérance,F.,, Mark,D.B.,
Sheps,D.S., Taylor,C.B., Froelicher, E.S., (2008).
Depression and Coronary Heart Disease. AHA journals
doi
https://doi.org/10.1161/CIRCULATIONAHA.108.190
512
769. Retrieved from
http://circ.ahajournals.org/content/118/17/1768.

Lopez, Mathers, Ezzati, Jamison, & Murray. (2006). Global


Burden of Disease and Risk Factors. New York : Oxford
University Press.

NHLBI. (2016). What Are Coronary Heart Disease Risk


Factors? Retrieved from
https://www.nhlbi.nih.gov/health/health-
topics/topics/hd.

NHS. (2014). Coronary Heart Disease. Retrieved from


http://www.nhs.uk/conditions/coronary-heart-
disease/Pages/Introduction.aspx.

Rosidawati, I., Ibrahim, K., & Nur‘aeni, A. (2015). Kualitas


Hidup Pasien Pasca Bedah Pintas Arteri Koroner
(BPAK) Di RSUP DR Hasan Sadikin Bandung.
Padjadjaran.

513
Efektivitas Pemberdayaan Kader Dalam Pencegahan
Demam Berdarah Terhadap Peningkatan Angka Bebas
Jentik Di Desa Cikidang Kecamatan Bantarujeg

Sri Hartati Pratiwi, Chandra Isabella, Eka Afrima Sari


Fakultas Keperawatan Universitas Padjadjaran
Email: sri.hartati.pratiwi@unpad.ac.id

Abstrak

Angka kejadian demam berdarah disuatu tempat akan


meningkat seiring dengan bertambahnya sarang nyamuk.
Berbagai program sudah dilakukan untuk mencegah kejadian
demam berdarah. Salah satunya adalah program pencegahan
demam berdarah yang melibatkan kader kesehatan. Kepedulian
dan peran aktif masyarakat sangat diperlukan dalam
pencegahan demam berdarah agar program tersebut dapat
berlangsung lama. Perawat Penelitian ini bertujuan untuk
menganalisis efektivitas program pemberdayaan kader dalam
pencegahan demam berdarah. Dalam penelitian ini, kader
dilibatkan dalam penyuluhan kepada warga disekitarnya. Di
satu wilayah Rukun Tetangga, terdapat satu orang kader yang
bertanggung jawab untuk memberikan penyuluhan dan
memotivasi warga untuk melakukan pemberantasan sarang
nyamuk. Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif dengan
menggunakan rancangan pre experimental one group pre and
posttest design. Instrumen yang digunakan untuk mengukur
efektivitas pencegahan demam berdarah adalah dengan
pemeriksan jentik berkala sebagai indikator angka bebas jentik
514
(ABJ) yang menggambarkan kepadatan jentik. Teknik
pengambilan sampel yang digunakan adalah teknik simple
random sampling dengan jumlah sampel 166 rumah. Hasil
penelitian ini menunjukkan adanya peningkatan angka bebas
jentik yang signifikan antara pretest dan posttest (p-value 0.00)
setelah dilakukan program pencegahan demam berdarah oleh
kader Desa Cikidang. Peningkatan Angka Bebas Jentik dapat
terlihat di semua dusun di Desa Cikidang. Hal ini dapat
disebabkan oleh meningkatnya pemahaman warga mengenai
pentingnya pemberantasan nyamuk. Setelah kegiatan
penyuluhan warga menjadi lebih memahami mengenai
pentingnya mencegah demam berdarah dengan memberantas
sarang nyamuk yang ada di lingkungannya masing-masing.
Berdasarkan hasil penelitian ini, dapat disimpulkan bahwa
program pencegahan demam berdarah dengan memberdayakan
kader dapat meningkatkan angka bebas jentik (ABJ) di wilayah
desa Cikidang. Program pencegahan demam berdarah dengan
melibatkan masyarakat untuk berperan aktif akan lebih efektif
apabila disertai dengan monitoring, evaluasi dan ada sistem
reward yang sesuai dari pemerintah khususnya dinas kesehatan.

Kata Kunci : angka bebas jentik, demam berdarah, kader.

Pendahuluan
Indonesia merupakan negara tropis yang memiliki dua
musim yaitu musim kemarau dan musim penghujan. Perubahan
kedua musim tersebut dapat menimbulkan berbagai penyakit
tropis diantaranya adalah demam berdarah. Pada tahun 2014,
sampai pertengahan bulan desember tercatat penderita DBD
515
sekitar 71.668 kasus, dan 641 orang meninggal dunia (Pusat
Data dan Informasi Kementerian Kesehatan Indonesia, 2014).
Sebagaimana di Indonesia, angka kejadian demam berdarah di
Majalengka Provinsi Jawa Barat pun meningkat. Berdasarkan
data Dinas Kesehatan Kabupaten Majalengka, angka kejadian
demam berdarah dari bulan januari – maret 2015 di kabupaten
majalengka tercatat 159 kasus. Demam berdarah tidak hanya
terjadi di perkotaan yang padat penduduk atau di dataran
rendah saja, saat ini demam berdarah terjadi di dataran tinggi
seperti di kecamatan Bantarujeg kabupaten Majalengka.
Desa Cikidang dan Desa Cinambo adalah dua desa yang
berada di Kecamatan Bantarujeg Kabupaten Majalengka.
Kedua desa ini termasuk daerah dataran tinggi, namun pada
awal tahun 2015 beberapa orang warga di desa ini pernah
mengalami demam berdarah. Berdasarkan wawancara dengan
aparat desa Cikidang, beberapa orang warganya pernah
mengalami demam berdarah dan sudah dilakukan fogging pada
awal tahun 2015. Tidak jauh berbeda dengan desa Cikidang, di
Cinambo pun pada awal tahun 2015 beberapa orang warganya
pernah mengalami demam berdarah dan sudah diusulkan untuk
dilakukan fogging, namun tidak ada respon dari Dinas
Kesehatan Majalengka. Hasil observasi yang dilakukan di
kedua desa tersebut, menunjukkan terdapat banyak tempat yang
berresiko dijadikan sarang oleh nyamuk, seperti banyak barang-
barang bekas yang menampung air, dan selokan yang
tergenang. Oleh karena itu diperlukan tindakan pencegahan
demam berdarah di kedua desa tersebut, agar demam berdarah
tidak terjadi lagi.
516
Pencegahan demam berdarah di suatu wilayah akan
lebih efektif apabila dilakukan secara terus – menerus.
Kepedulian dan peran aktif dari masyarakat sangat diperlukan.
Keberadaan kader kesehatan memegang peranan penting yaitu
sebagai penggerak untuk meningkatkan derajat kesehatan
masyarakat. Oleh karena itu, diperlukan pemberdayaan kader
dalam pencegahan demam berdarah di Desa Cikidang dan Desa
Cinambo Kecamatan Bantarujeg Kabupaten Majalengka.
Program pengabdian masyarakat untuk memberdayakan
kader dalam pencegahan demam berdarah dilakukan dengan
tujuan meningkatkan pengetahuan kader mengenai demam
berdarah dan penanganan awal di rumah, serta pemberantasan
sarang nyamuk (PSN). Selain itu, program ini dilakukan agar
terbentuknya juru pemantau jentik (jumantik), serta adanya
gerakan masyarakat dalam memberantas sarang nyamuk (PSN)
secara terus menerus. Semu tujuan tersebut dimaksudkan untuk
mencegah demam berdarah di Desa Cikidang dan Desa
Cinambo Kecamatan Bantarujeg, Kabupaten Majalengka.

Metode
Metode yang digunakan dalam program ini adalah
metode penyuluhan dan pembentukan jumantik, serta
penggerakan secara langsung dalam memberantas sarang
nyamuk. Materi penyuluhan yang diberikan adalah demam
berdarah dan penanganan awal di rumah, serta pemberantasan
sarang nyamuk (PSN) di Desa Cikidang dan Desa Cinambo.
Juru pemantau jentik (Jumantik) di kedua desa ini belum ada,
oleh karena itu, jumantik di bentuk untuk memfasilitasi
517
keberlangsungan program pencegahan demam berdarah di Desa
Cikidang dan Desa Cinambo bisa dilakukan terus menerus.
Pemberantasan sarang nyamuk (PSN) dilakukan melalui
pendekatan jumsih (jumat bersih) berupa kegiatan gortong
royong masyarakat dalam membersihkan lingkungannya
masing-masing. Pemberantasan sarang nyamuk difokuskan
dalam mengubur barang-barang bekas yang dapat menampung
air, serta membersihkan selokan yang tersumbat.
Keberhasilan program pemberdayaan kader dalam
mencegah demam berdarah ini dievaluasi melalui perubahan
pengetahuan kader mengenai demam berdarah, penanganan
awal di rumah, serta pemberantasan sarang nyamuk dengan
melihat perubahan rata-rata nilai pre-test dan post-test yang
dilakukan pada saat penyuluhan. Selain itu, evaluasi terhadap
angka bebas jentik (ABJ) dilakukan dengan melihat perubahan
ABJ pada saat sebelum dan setelah program dilaksanakan.

Hasil dan Pembahasan


1. Pengetahuan Kader mengenai demam berdarah, penanganan
awal di rumah dan Pemberantasan Sarang Nyamuk (PSN)
Perubahan pengetahuan kader mengenai demam berdarah
dan pemberantasan sarang nyamuk dapat dilihat dari perubahan
rata-rata nilai kader pada pre-test dan post-test pada tabel 1.
Tabel 1.Peningkatan Pengetahuan Kader mengenai
Demam berdarah dan Pemberantasan Sarang Nyamuk
(PSN)
No Desa Pre-test Post-test Perubahan

518
1 Desa Cikidang 19,37 79,37 60

2 Desa Cinambo 40,5 80,5 40

Pengetahuan kader di Desa Cikidang meningkat


sebesar 60 (60%) dan kader desa cinambo 40 (40%). Hal
ini sesuai dengan hasil dari beberapa penelitian bahwa
pemberian penyuluhan dapat meningkatkan pengetahuan
kader mengenai demam berdarah dan pemberantasan
sarang nyamuk. Yustina, dkk pada tahun 2008
melakukan penelitian bahwa pengetahuan dokter kecil
mengenai demam berdarah mengalami peningkatan
setelah dilakukan penyuluhan.
Peserta di Desa Cikidang merupakan para kader
kesehatan yang sebagian besar merupakan ibu rumah
tangga. Mereka sangat antusias dan terlihat fokus dalam
mengikuti kegiatan penyuluhan. Berdasarkan wawancara
dengan salah satu peserta, materi demam berdarah dan
penanganan awal di rumah adalah materi yang baru bagi
mereka. Pada sesi tanya jawab, peserta tampak aktif
bertanya.
Peningkatan pengetahuan peserta di Desa Cinambo
terlihat dari peningkatan rata-rata nilai test sebesar 40.
Peserta mengikuti penyuluhan dengan baikSebagian besar
peserta adalah guru Paud, TK dan SD. Mereka mengaku
sudah pernah mendengar materi yang disajikan walaupun

519
hanya sedikit. Tapi, dengan adanya penyuluhan ini,
mereka menjadi lebih jelas dan faham.
Peningkatan pengetahuan peserta di Desa Cinambo
(40%) lebih kecil dibanding dengan Desa Cikidang
(60%). Hal ini dikarenakan pelaksanaan penyuluhan di
Desa Cinambo dilakukan pada siang hari yang dimulai
pukul 13.00 sehingga kemampuan konsentrasi peserta
sudah menurun. Selain itu, sebagian besar dari mereka
harus bekerja dahulu sehingga peserta sudah merasakan
kelelahan.
Kelompok Juru Pemantau Jentik (Jumantik)
dibentuk setelah kegiatan penyuluhan. Semua Kader yang
hadir di acara penyuluhan tersebut bersedia menjadi
jumantik. Ketua jumantik di Desa Cikidang diketuai oleh
ibu Tuti Herlina, sedangkan Desa Cinambo diketuai oleh
Bpk. Richi. Program kerja yang dirancang di kedua Desa
sama yaitu mengadakan jumsih seminggu sekali dan
melakukan pemantauan jentik satu bulan satu kali.
Hambatan yang ditemui pada pembentukan
jumantik adalah tidak ada yang mencalonkan diri untuk
menjadi ketua jumantik. Mereka beranggapan ketua
jumantik adalah amanah yang besar. Hal ini dapat diatasi
dengan diskusi antara aparat desa, tim dan para peserta.
Aparat desa sangat mendukung sepenuhnya
pembentukan jumantik di desa nya. Dengan adanya
jumantik, kegiatan-kegiatan pencegahan demam berdarah
khususnya pemberantasan sarang nyamuk (PSN) dapat
dilaksanakan secara berkelanjutan. Selain itu, aparat desa
520
pun sangat mendukung program kerja yang direncanakan
oleh jumantik. Aparat desa berjanji akan
ikutmenggerakkan warga dalam setiap kegiatan PSN.

2. Peningkatan Angka Bebas Jentik (ABJ) sebelum dan


setelah program
Pemeriksaan angka bebas jentik dilakukan dua kali
yaitu pada saat sebelum program PKM ini dilakukan dan
setelah program PKM dilakukan. Desa Cinambo dan
Cikidang mengalami peningkatan angka bebas jentik
(ABJ). Peningkatan Angka Bebas Jentik (ABJ) di Desa
Cikidang dan Desa Cinambo dapat terlihat pada tabel 2.
Tabel 2 Angka Bebas Jentik (ABJ)
No Desa Dusun ABJ ABJ Perubahan
1 2

1 Cikidang Cikidang 35% 50% 15%

2 Cidomas 60% 65% 5%

3 Cigunung 70% 80% 10%

4 Cinambo Cinambo 50% 60% 10%

5 Sukalaya 70% 80% 10%

6 Babakan 65% 70% 5%

7 Cilambur 60% 65% 5%

521
8 Senang 70% 75% 5%
rasa

Catatan : ABJ 1 = ABJ sebelum program, ABJ 2 = ABJ


setelah program
ABJ di hitung disetiap dusun di Desa Cikidang maupun
Desa Cinambo. Desa Cikidang terdiri dari 3 dusun yaitu dusun
cikidang, dusun cidomas dan dusun cigunung. ABJ di dusun
Cikidang naik dari 35 % pada saat sebelum program meningkat
menjadi 50 % ( Naik 15 %). Di dusun Cidomas ABJ naik dari
60% menjadi 65% (naik 5%). Dusun Cigunung ABJ naik dari
70% menjadi 80 % (naik 10%).
Desa Cinambo terdiri dari 5 dusun yaitu dusun
cinambo, dusun sukalaya, dusun babakan, dusun cilambur,
dusun senang rasa. ABJ di Dusun cinambo meningkat dari 50
% ke 60% (naik 10%), ABJ di dusun sukalaya naik dari 70% ke
80% (naik 10%). ABJ di dusun babakan naik dari 65% ke 70%
(naik 5%). ABJ di dusun cilambur naik dari 60% ke 65% (naik
5%). ABJ di dusun senang rasa naik dari 70 % menjadi 75%
(naik 5%).
Peningkatan ABJ dapat terlihat di semua dusun di Desa
Cikidang dan Desa Cinambo. Hal ini dapat disebabkan oleh
meningkatnya pemahaman warga mengenai pentingnya
pemberantasan nyamuk. Setelah kegiatan penyuluhan warga
menjadi lebih memahami mengenai pentingnya mencegah
demam berdarah dengan memberantas sarang nyamuk yang ada
di lingkungannya masing-masing. Berdasarkan wawancara
dengan warga di dusun Cikidang, tim jumantik sudah
522
menerangkan bahwa pencegahan demam berdarah ini sangat
penting terutama dengan cara pemberantasan sarang nyamuk
(PSN) dengan metoda 4M Plus yaitu menguras bak mandi,
menutup penampungan air, mengubur barang-barang bekas,
dan menaburkan abate.

Simpulan
Angka kejadian demam berdarah di Indonesia terus
meningkat, tidak hanya di kota-kota besar dan padat penduduk,
demam berdarah banyak terjadi di daerah dataran tinggi dan
kota-kota kecil seperti Majalengka. Oleh karena itu, diperlukan
langkah pencegahan demam berdarah yang lebih efektif dengan
melibatkan masyarakat untuk berperan aktif dalam berbagai
program pencegahannya. Penelitian ini merupakan salah satu
langkah untuk mencegah demam berdarah di Desa Cikidang
dan Desa Cinambo dengan melibatkan kader kesehatan melalui
kegiatan penyuluhan, pembentukan jumantik, dan melakukan
PSN secara bergotong royong.
Setelah program ini selesai dilaksanakan, terdapat
peningkatan pengetahuan peserta mengenai demam berdarah
dan penanganan awal di rumah, dan Pemberantasan Sarang
Nyamuk (PSN). Pembentukan jumantik dengan ketua beserta
program kerja sementara sudah dibentuk. Jumantik beserta tim
PKM dan aparat desa menggerakkan masyarakat untuk
melakukan jumsih khususnya PSN di lingkungannya masing-
masing.

523
Saran
Program pencegahan demam berdarah dengan
melibatkan masyarakat untuk berperan aktif akan lebih efektif
apabila disertai dengan monitoring, evaluasi dan ada sistem
reward yang sesuai dari pemerintah khususnya dinas kesehatan.
Oleh karena itu, dinas kesehatan melalui puskesmas atau
petugas kesehatan terdekat di desa dapat bekerja sama dalam
melakukan monitoring dan evaluasi dalam semua program
kerja yang melibatkan masyarakat.

Daftar Pustaka

Pusat Data dan Informasi Kementerian Kesehatan Republik


Indonesia. 2014. Infodatin Situasi Demam Berdarah
Dengue di Indonesia. Jakarta : Kementerian Kesehatan
Republik Indonesia.
Pusat Data dan Surveilans Epidemiologi Kementerian
Kesehatan Indonesia. 2010. Buletin Jendela Epidemiologi
vol.2. Jakarta : Kementerian Kesehatan Indonesia
Republik Indonesia.
World Health Organization (WHO). 2005. Panduan Lengkap
Pencegahan & Pengendalian Dengue & Demam
Berdarah Dengue. Jakarta : EGC.
Yustina, Ida. Cahaya, Rochadi. Naria. 2008. Pengaruh Metode
PenyuluhanTerhadap Peningkatan Pengetahuan dan
Sikap Dokter Kecil Dalam Pemberantasan Sarang
Nyamuk Demam Berdarah di Kecamatan Helvita. Medan
: Repositori USU.
524
Tinjauan Sistematis: Bagaimanakah Asuhan Paliatif Yang
Dirasakan Oleh Orang Tua Di Neonatal Intensive Care Unit?

Nenden Nur Asriyani Maryam, Fanny Adistie,, Sri Hendrawati


Fakultas Keperawatan Universitas Padjadjaran
Email: nenden.nur@unpad.ac.id

Abstrak

Kebutuhan asuhan paliatif di Neonatal Intensive Care Unit


semakin meningkat karena prognosis dan harapan hidup bayi
baru lahir yang tak terduga. Tujuan penulisan adalah untuk
melakukan tinjauan sistematis berdasarkan Evidence Based
mengenai asuhan paliatif yang dirasakan oleh orang tua di
NICU. Pencarian studi dilakukan di MEDLINE, Cochrane,
Pubmed dan Journal of Palliative Care. Kata kunci untuk
penelusuran adalah infant, palliative care, neonatal intensive
care. Kriteria inklusinya adalah studi yang diterbitkan dalam
Bahasa Inggris dari tahun 2005-2015. Studi dikritisi oleh
penulis dengan menggunakan Critical Appraisal Tool dari JBI
(Joanna Briggs Institute). Lima studi kualitatif memenuhi
syarat untuk dimasukkan dalam tinjauan sistematis. Hasil dari
tinjauan sistematis ini menunjukan bahwa asuhan paliatif
membantu orang tua dalam mengurangi stres akut dan orang
tua juga sangat puas dengan asuhan paliatif di NICU. Hasil dari
tinjauan ini memberikan informasi bahwa asuhan paliatif di

525
NICU merupakan asuhan yang memberikan manfaat bagi orang
tua dan dapat mengurangi stres. Simpulan. Dengan demikian,
para pembuat kebijakan dapat menggunakan informasi ini
untuk menerapakan asuhan paliatif di NICU

Kata Kunci: Bayi Baru Lahir, Asuhan Paliatif, Neonatal


Intensive Care Unit

Pendahuluan

Sasaran ketiga dari Suistainable Development Goals


(SDGs) adalah berkurangnya kematian anak di dunia (United
Nations Development Programme, 2016). Namun, tujuan ini
tidak dapat dipenuhi karena penurunan Angka Kematian Bayi
(AKB) kematian lebih lambat dibandingkan Angka kematian
anak keseluruhan. Seiring dengan itu, Angka Kematian Bayi
(AKB) di Indonesia juga mengalami situasi yang sama dengan
di seluruh dunia. Berdasarkan data dari Survei Demografi dan
Kesehatan Indonesia (SDKI) tahun 2012, di Indonesia enam
puluh persen dari kematian bayi terjadi selama bulan pertama
kehidupan (periode neonatal), dan delapan puluh persen
kematian anak terjadi pada masa bayi. Dengan Angka
Kematian Bayi di Indonesia adalah 32 kematian/1.000

526
kelahiran hidup dan Angka Kematian Neonatal (NMR) adalah
19 kematian / 1000 kelahiran hidup (SDKI, 2012).

Setiap tahun diperkirakan 15 juta bayi lahir prematur


(bayi lahir hidup sebelum 37 minggu kehamilan selesai) dan
sekitar 1 juta anak meninggal setiap tahun akibat komplikasi
dari kelahiran prematur. Secara global, prematuritas adalah
penyebab utama kematian bayi baru lahir (bayi dalam empat
minggu pertama kehidupan) dan penyebab kedua kematian
setelah pneumonia pada anak di bawah usia lima tahun (WHO,
2013). Selain itu pada tahun 2013, Indonesia berada pada dan
peringkat ke-9 dalam 10 negara tertinggi dengan tingkat
kelahiran prematur per 100 kelahiran hidup: 15,5 (World
Health Organization, 2013). Bayi-bayi lahir yang lahir
premature dan memiliki kondisi kesehatan tertentu memerlukan
perawatan di Neonatal Intensive Care Unit (NICU).

Di NICU, orang tua juga harus berhadapan dengan


tingkat keparahan penyakit, keadaan umum, lama rawat bayi
mereka di NICU (Dudek-Shriber, 2004). Kondisi stres di
NICU, dapat langsung mempengaruhi daya tahan orang tua
untuk mengatasi masalah karena memiliki bayi dalam kondisi

527
kritis di NICU dan situasi ini berpotensi menyebabkan stres
pada orangtua (Ruddle, 2006). Selain itu, pelayanan kesehatan
neonatal juga didukung oleh teknologi canggih, berfokus untuk
meningkatkan kelangsungan hidup bayi, dapat mengidentifikasi
anomali kongenital, dan secara keseluruhan dapat memperbaiki
morbiditas dan mortalitas (Bhatia, 2006). Meskipun pelayanan
kesehatan neonatal didukung oleh teknologi yang canggih, akan
tetapi anomali kongenital dan faktor-faktor lainnya, termasuk
kurangnya perawatan prenatal, dapat menyebabkan bayi
dengan kondisi tak terduga yang dapat menyebabkan kematian.
Trend saat ini, muncul konsep asuhan paliatif yang dapat
menjadi pilihan untuk memberikan perawatan pada bayi yang
dirawat di NICU.

National Association of Neonatal Nurse (NANN)


memberikan pernyataan bahwa asuhan paliatif untuk bayi baru
lahir dan bayi berfokus pada memaksimalkan kualitas end-of-
life care untuk mendukung "Kedamaian, kematian yang
bermartabat untuk bayi dan pemberian dukungan kasih sayang
kepada keluarga dan penyedia layanan kesehatan "(NANN,
2010). Menurut WHO, tujuan asuhan paliatif adalah
pendekatan yang dapat meningkatkan kualitas hidup pasien dan
528
keluarga dalam menghadapi masalah yang berhubungan dengan
penyakit yang mengancam kehidupan, melalui komprehensif
dan pengobatan nyeri dan masalah lainnya, fisik, psikososial,
dan spiritual (WHO, 2002).

Asuhan paliatif adalah pendekatan yang berfokus pada


peningkatan kualitas hidup, memberikan dukungan keluarga
selama perawatan di rumah sakit dan juga mengintegrasikan
pengelolaan gejala, perawatan dan berkabung (Leuthner, 2004).
Asuhan paliatif di NICU juga melibatkan orang tua atau
keluarga ke dalam perawatan sehari-hari, karena wali sah dari
bayi adalah orang tua. Sehingga kebutuhan orang tua,
pengalaman dan harapan juga harus harus diperhatikan oleh
tenaga kesehatan yang memberikan asuhan palitif di NICU.
Trend isu saat ini, berkembangnya asuhan paliatif yang
diintegrasikan untuk pelayanan kesehatan neonatal, tetapi
kebutuhan, pengalaman dan harapan orang tua akan asuhan
paliatif di NICU belum banyak dikaji. Bukti praktik ini
memberikan orangtua kebutuhan, pengalaman dan harapan
sehubungan dengan layanan perawatan paliatif dalam
perawatan kesehatan neonatal. Tujuan penulisan adalah untuk
membuat tinjauan sistematis dengan PICOT Question:
529
Bagaimanakah Asuhan Paliatif Yang Dirasakan Oleh Orang
Tua Di Neonatal Intensive Care Unit (NICU)?

Metode

Kritiria inklusi

1. Tipe partisipan: Orang tua dengan bayi dirawat di NICU


yang memiliki asuhan paliatif
2. Tipe Intervensi: komponen kualitatif dan kuantitatif dari
pengalaman orang tua dengan bayi dirawat di NICU
yang memiliki asuhan paliatif
3. Tipe outcome/hasil: ulasan ini akan mempertimbangkan
studi yang mencakup pengalaman, tingkat stress,
pengalaman dan keterlibatan orang tua
4. Tipe studi: deskriptif dan kualitatif
Strategi penelusuran

Penelusuran memakai kata kunci dalam bahasa inggris


sebagai berikut:

PIO Clinical Questions Search strategy / keyword


Patient/popul Parents whose Parent of infant or newborn
ation infant admission to
NICU
Intervention Palliative care Palliative care, hospice care, end of
care
Outcomes Parental Parental satisfaction, Parental stress
experience parents’ experience, parent involvem

530
Semua kata kunci kemudian dihubungkan menggunakan
Boolean ―OR‖ untuk menemukan sebanyak mungkin kutipan.
Dan memakai ―AND‖ yang digunakan untuk meningkatakan
spesifisitas atau relevansi kutipan. Tujuan dari strategi
penelusuran adalah untuk menemukan studi yang sudah
dipublikasikan. Pencarian terbatas diawali di data based
MEDLINE dan Pubmed, setelah itu dilakukan analisis dari
judul, abstrak, kata kunci hingga isi dari studi yang ditemukan.
Penelitian yang diterbitkan dalam Bahasa Inggris dan di
publikasikan dari tahun 2004 hingga 2014 dipertimbangkan
untuk dimasukan dan tinjauan sistematis ini.

Selanjutnya dilakukan pencarian kedua dengan


menggunakan kata kunci yang sama dan dilakukan di semua
data based yang memungkinkan. Data based yang digunakan
meliputi: Cochrane Library dan Journal of Palliative Care.
Daftar referensi untuk studi tambahan menggunakan dua buku
berikut: Oxford Textbook of Palliative Medicine (Hanks 2009)
and Oxford Textbook of Palliative Nursing (Ferrell 2010).
Semua studi diseleksi berdasarkan kriteria inklusi yang
diinginkan untuk mendapatkan studi yang memiliki kualitas
tertinggi dan memiliki validitas yang baik dan presisi. Tujuan
531
dari penilaian kritis yang dilakukan adalah untuk hanya
menyertakan hanya studi yang dianggap masuk kedalam studi
dengan kualitas yang baik dan mengecualikan studi yang
dianggap berkualitas kurang baik. PEnilaian kritis atau critical
appraisal tools yang dipakai dapam tinjauan sistematis ini
adalah Joanna Briggs Institute (JBI) dan Critical Appraisal
Skill Program (CASP).

Hasil Penelitian

Berdasarkan penelusuran literature pada empat data


based menemukan 401 studi yang berkaitan. Setelah di skrining
judul dan abstrak, kemudian dikeluarkan 225 studi. Setelah itu
penulis meninjau teks lengkap dar 19 studi yang tersisi untuk
dievaluasi lebih rinci. Dari jumlah tersebut, didapat 5 studi
yang memenuhi kriteria inklusi untuk dimasukan dalam
tinjauan sistematis.

532
Journal
MED Cochr Pubm palliativ
LINE ane ed e care
36 174 172 19

Total
combined
401 Exclude
duplicate
157
Final
combined Exclude with the reason
244 (n=244):
 No Parent (n= 84)
 No infant/neonates
(n= 97)
 No palliative care
19 Fully (n=24)
assess for  Not met study design
eligibility (n=20)
Hand Exclude with the
searching reason (n=19):
0  Not met criteria for
5 Fully outcomes (14)
assess for
eligibility

533
Pembahasan

Data sintesis dari hasil tinjauan sistematis sebagai berikut:

Penul Tujuan Partisipan Metode Level Interven Has


is Studi si

(Pette Untuk 33 orang tua Mixed 2 Asuhan  Tidak ada perbedaan yang sign
ys et mengetahui NICU (23 method paliatif 0,267-1,000) ditemukan dalam
al., efek dari asuhan dan PSS: ditemukan bahwa orang t
2014) Perawatan biasa/ussual asuhan mengalami stress dengan tingk
menunjukkan mayoritas stres b
Paliatif di care [UC] and biasa
adanya perubahan dalam peran
NICU 10 asuhan  100% orang tua merespon ''san
terhadap paliatif/PC) paliatif sedangkan hanya 50%
kepuasan biasa/UC merespon ―sangat pu
dan stress

534
orang tua

(Bros Untuk Orang tua Studi 3 End-of-  Persepsi orang tua mengenai ke
ig et mengidentif (n=19 keluarga) kualitatif life Care Experience Inventory instrume
al., ikasi faktor- yang memiliki dengan berbeda secara signifikan antar
2007) faktor yang bayi (< 1 thn) semi keterlibatan dalam asuhan palia
 Tujuh aspek yang penting bagi
orang tua yang telah structure
dalam proses mengambil keput
anggap meninggal interview kepercayaan dalam asuhan kep
penting dari pelayanan kesehatan, dukungan
dalam end- revisi tetap hidup, spiritualitas, altruis
of-life care Grief kehidupan, memvalidasi keputu
Experien dalam berkabung, rekomendasi
ce
Inventory
instrume
nt
(RGEI),
(22-item;
skala
535
likert),

Eden To evaluate Parents of An 3 End-of-  Untuk terlibat dalam pengambi


et al., parental Infant in NICU integrativ life Care  komunikasi yang baik
2010 involvement e review  Dengan asuhan paliatif interven
in end-of- orang mendapat dukungan yang
life care and  Orang tua mengidentifikasi per
membantu mereka untuk meme
decision
 Perawatan paliatif membangun
making for dukungan orangtua
their infant
in the
newborn
intensive
care unit

Bran Untuk 57 orang tua Studi 3 Neonatal  8 tema yang muncul adalah: Me
chett menentukan yang kehilangan kualitatif Palliative dan waktu; bantuan yang praktis
komunikasi dengan orang tua; p
536
& apa yang anak pada Care dan komunikasi; dan dukungan sesu
Strett orang tua periode End of
on, telah benar- neonatal yang Life Care
2012 benar alami termasuk 54 Ibu
berkaitan dan 3 bapak
dengan
asuhan
paliatif pada
pasien
neonatal dan
end-of-life
care dan
menentukan
bagaimana
pengetahuan
ini dapat
digunakan
untuk

537
meningkatk
an
pengalaman
bagi
keluarga di
masa depan

Widg Untuk 38 orang tua Sebuah 3 End of  Komunikasi : 95% memiliki kes
er & menggamba memiliki studi Life Care  Hubungan: 89.2% merasa diper
Picot, rkan bayi/anak kualitatif: saying dan peduli
2008 kualitas end survey  Asuhan pada saat waktu kemati
of life care pada dalam perawatan rutin
 Secara keseluruhan, 84% orang
pada pasien kelurga
puas
pediatrik menggun  Prioritas perbaikan; komunikasi
dan akan  Pada perinatal, orang tua menek
perinatal instrume bersama bayi mereka
nt untuk
menguku
r end of
538
lige care
(Teno,
Clarridge
, Casey,
Edgman-
Levitan,
&
Fowler,
2001)

Hasil tinjauan sistematis diatas menunjukan bahwa asuhan paliatif dapat membantu
mengurangi stress akut yang dialami oleh orang tua dengan bayi yang dirawat di NICU

Hasil penelitian menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan yang signifikan secara statistik
ditemukan dalam skor stres antara kohort tapi studi lain mengungkapkan bahwa
perawatan paliatif membantu orang tua untuk mengurangi stres akut. Untuk kepuasan

539
orangtua melaporkan bahwa orang tua menjadi "sangat puas" dengan hati-hati.
Pengalaman duka antara orang tua yang menerima kehidupan akhir perawatan, bukan
tidak berbeda secara signifikan. Keterlibatan orang tua dan pengambilan keputusan,
negara tua bahwa mereka membutuhkan konsisten dan memperbarui informasi medis
bayi mereka dengan komunikasi yang baik. Temuan dari penelitian kualitatif memiliki
kesamaan, tema emerge yang menciptakan kenangan; empati; Ruang dan waktu;
bantuan praktis dan pemahaman; Kepekaan; Komunikasi dengan orang tua; pencatatan
yang akurat dan komunikasi; Dalam kandungan; dan Dukungan sesudahnya. Dan faktor
penting yang dinyatakan oleh orang tua adalah kejujuran, diberdayakan pengambilan
keputusan, pengasuhan, lingkungan, iman / kepercayaan dalam asuhan keperawatan,
dokter saksi dan dukungan dari penyedia perawatan di rumah sakit lain, hal-hal yang
membantu mengatasi, dukungan keluarga, menjaga memori hidup , spiritualitas / iman,
altruisme, memfokuskan kembali pada kehidupan, validasi keputusan, kelompok
pendukung berkabung, rekomendasi orangtua.

540
Simpulan

Hasil tinjauan sistematis ini memberikan bukti kuat


bahwa asuhan paliatif untuk bayi adalah merupakan asuhan
yang efektif dalam meningkatkan kepuasan, keterlibatan orang
tua dan membantu meringankan stres akut pada orang tua
selama perawatan bayi di NICU. Dengan demikian pembuat
kebijakan dapat memanfaatkan data ini untuk menentukan
model asuhan paliatif yang efektif untuk bayi.Perhatian pada
variasi budaya harus dipertimbangkan karena Indonesia
memiliki kebudayaan yang beragam. Selain itu yang tak kalah
penting adalah persiapan untuk perawat yang akan memberikan
asuhan paliatif. Tinjauan sistematis ini menunjukkan manfaat
yang jelas dari asuhan paliatif untuk bayi dan orang tua,
terutama bayi dengan anomali kongenital dan disfungsi organ,
untuk dengan mengurangi beban gejala dan mempertahankan
kualitas hidup mereka. Selanjutnya, kedepan perlu pengukuran
dan pelaporan efektivitas asuhan paliatif untuk bayi di
menggunakan desain randomized controlled trial.

Daftar Pustaka

Branchett, K & Stretton, J. (2010). Neonatal palliative and end


of life care: What parents want from professionals.
Journal of Neonatal Nursing ,18, 40-44.
Brosig, C. L., Pierucci, R. L., Kupst, M. J., & Leuthner, S. R.
(2007) Infant end-of-life care: The parents‘ perspective.
Journal of Perinatalogy, 27, 510-516.
Dudek-Shriber, L. (2004). Parent stress in the neonatal
intensive care unit and the influence of parent and infant
characteristics. American Journal of Occuppation
Therapy, 58(5), 509-520.
541
Eden, L. M. & Callister, L. C. Parent involvement in end-of-life
care and decision making in the newborn intensive care
unit: An integrative review. Journal of Perinatal
Education, 19(1), 29–39, doi:
10.1624/105812410X481546
Leuthner, S. R. (2004). Fetal palliative care. Clinical Perinatal,
31(3), 649-655
National Association of Neonatal Nurses (NANN). (2010).
Palliative care for newborns and infants position
statement. Advances in Neonatal Care, 10 (6), 287-293.
Petteys, A. R., Goebel, J. R., & Singh-Carlson, S. (2014).
Palliative Care in Neonatal Intensive Care, Effects on
Parent Stress and Satisfaction: A Feasibility Study.
American Journal of Hospice & Palliative Medicine. 16
(9), doi: 10.1177/1049909114551014.
Ruddle T. (2006). ‗Being on the other side‘: a mother‘s
experience of intensive care. Paediatric Nursing.
May;18(4):27-8.
Widger, K. & Picot, Caroline. Parents‘ perceptions of the
quality of pediatric and perinatal end-of-life care.
Pediatric Nursing, Vol. 1.
World Health Organization. (2012.) Definition o f palliative
care. Retrieved November 1, 2014 from
http://www.who.int/cancer/palliative/definition/en/
World Health International. (2013). Indonesia: Neonatal and
Child Health Profile. Retrieved November 1, 2014
from:
http://www.who.int/maternal_child_adolescent/epidemi
ology/profiles/neonatal_child/idn.pdf?ua=1

542
Karekteristik dan Pengetahuan Perineal Hygiene Siswi
SD Umul Mukminin Bandung

Tetti Solehati, Yanti Hermayanti, Ermiati, Mira Trisyani


Fakultas Keperawatan Unpad
Email:tsh_tetti@yahoo.com

Abstrak
Latar Belakang: Keputihan (lecorheae) merupakan masalah
kesehatan reproduksi wanita termasuk remaja yang menjadi
persoalan sejak lama. Salah satu penyebabnya adalah perineal
hygiene yang buruk. Hal ini terjadi karena kurang
memadainya informasi tentang perineal hygiene yang
memadai, yang akhirnya berdampak pada pola perineal
hygiene mereka. Tujuan: tujuan penelitian untuk mengetahui
karakteristik dan pengetahuan hygiene siswi sekolah dasar.
Metodologi:Rancangan penelitian deskriptif kuantitatif.
Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh remaja putri
kelas 4-6 SD Umul Mukminin Soreang berjumlah 61 orang
dengan sample total sampling. Instrumen penelitian berupa
quisioner berjumlah 20 pertanyaan. Pengambilan data
dilakukan pada bulan Mei 2016. Data dianalisa dengan analisa
univariat. Hasil: Hasil penelitian menunjukan bahwa sebagian
besar responden sebanyak 24 orang berusia 10 tahun (39,3%),
sebagian responden besar mendapatkan informasi tentang
perineal hygiene sebanyak 60 orang (98,4%), sebagian besar
informasi perineal hygiene di peroleh dari ibu sebanyak 38
orang (62,3), sebagian besar responden sudah mengalami
menstruasi sebanyak 32 orang (52,5%), dan sebagian
responden mengalami menarche pada usia 11 tahun sebanyak
543
14 orang (43,8 %). Dilhat dari pendidikan orang tua, sebagian
besar responden memiliki orang tua dengan pendidikan tinggi
sebanyak 43 orang (70,5%), dan seluruh orang tua mereka
bekerja sebanyak 61 orang (100%). Dilihat dari tingkat
pengetahuan, sebagian besar responden memiliki tingkat
pengetahuan baik sebanyak 41 orang (67,2%). Kesimpulan:
sebagian responden memiliki tingkat yang baik, hal ini
dikarenakan responden telah mendapatkan informasi entang
perineal hygiene yang diperoleh dari ibu mereka. Selain itu
responden telah mengalami menarche sejak usia 11 tahun.
Informasi yang benar tentang perineal hyginen akan
menentukan baik tidaknya pengetahuan responden. Saran
untuk penelitian ini, bagi pihak sekolah untuk dapat
berfartisifasi aktif dalam meningkatkan pengetahuan siswinya
tentang perineal hygiene. Bagi pihak puskesmas agar dapat
memasukan materi perineal hygiene kedalam promosi
kesehatan yang di edukasikan kepada siswi di seluruh
sekolah.

Kata kunci : Karakteristik, Pengetahuan, Perineal Hygiene,


Siswi

Pendahuluan

Perineal hygiene/ genital hygiene merupakan kebersihan organ


perineum/ genitalia pada organ eksterna seperti mons veneris,
labia mayora, labia minora, klitoris, dan bagian sekitarnya
seperti uretra, vagina, perineum, serta anus (Yulrina et al,
2012). Dampak perineal hygiene yang kurang diantaranya
adalah infeksi saluran kemih, infeksi saluran reproduksi, infeksi
544
pada vagina atau vaginitis, dan keputihan atau flour albus yang
disertai gatal-gatal, iritasi, bau yang tidak menyenangkan
(Indah, I.L.,2012).

Keputihan (lecorheae) merupakan masalah kesehatan


reproduksi wanita termasuk remaja yang menjadi persoalan
sejak lama. Menurut Sari (2012) berdasarkan data dari Badan
Pusat Statistik Indonesia (2008), ada sejumlah 43,3 juta jiwa
remaja berperilaku tidak sehat yang beresiko menimbulkan
keputihan. Masih banyaknya remaja yang kurang mendapat
informasi memadai tentang perineal hygiene merupakan salah
satu faktor penyebab terjadinya keputihan pada remaja. Pada
penelitian Rahman, Hidayah, dan Azizah (2013) tentang
Pengaruh Sikap, Pengetahuan, dan Praktik Vulva Hygiene
dengan Kejadian Keputihan pada Remaja Putri di SMPN 01
Mayong Jepara ditemukan bahwa permasalahan pengetahuan
responden tentang vulva hygiene 52% vagina dibersihkan
menggunakan sabun atau pembersih, pada praktik responden
34,3% menggunakan celana dalam selain berbahan katun dan
kaos, 42,2% membersihkan alat kemaluan menggunakan air
menggenang, responden yang mengalami keputihan patologis
sebanyak 57 orang (89,1%). Pengetahuan mengenai perineal
hygiene ini menjadi penting, karena akan berdampak pada
kesehatan reproduksi remaja di masa yang akan datang.

Masa remaja adalah masa peralihan/perpindahan dari


kanak-kanak dan masa persiapan menuju dewasa. Menurut
BKKBN (2013) remaja adalah penduduk laki-laki atau
perempuan yang berusia 10-19 tahun dan belum menikah.
545
Masalah keputihan yang banyak dialami remaja putri SMP dan
SMA berawal dari kurangnya pengetahuan yang mereka miliki
sejak usia dini. Remaja memiliki risiko mengalami keputihan
sehingga perlu mengetahui tentang perineal hygiene. Menurut
Kemenkes (2012) dengan memiliki pengetahuan yang benar
tentang perineal hygiene, maka diharapkan remaja mengetahui
bagaimana cara untuk bersikap dan berperilaku sehat selama
masa proses pematangan fisik yang terjadi, khususnya proses
pematangan organ-organ reproduksi.

Pengetahuan tentang perineal hyginiene perlu


ditanamkan sejak mereka berusia dini yaitu sejak mereka
menginjak di sekolah dasar karena pada masa usia ini
merupakan masa anak remaja awal yang mudah menerima dan
menyerap pengetahuan yang diberikan oleh gurunya ataupun
tenaga kesehatan, serta mereka konsisten untuk menerapkan
pengetahuan yang telah mereka dapat di sekolahnya, sehingga
dengan demikian dapat merubah perilaku ke arah yang lebih
sehat.

SD Umul Soreang Bandung merupakan salah satu


sekolah dengan fasilitas sanitasi yang memadai dalam
mendukung hygiene para siswanya. Sekolah ini pernah
mendapatkan penghargaan sanitasi award tahun 2015. Sekolah
ini juga menerapkan hygiene sesuai dengan ajaran agama
Islam. Tetapi beberapa siswanya (11 orang) ada yang mengeluh
gatal-gatal pada area perinealnya dan ada yang mengeluh
keputihan. Kamar mandi kadang terlihat banyak tisue bekas
yang berserakan di lantai.
546
Perawat mempunyai peranan penting dalam melakukan
upaya preventif dengan mendidik remaja putri tentang
pentingnya perineal hygiene yang baik melalui pendidikan
kesehatan. Perawat tidak hanya berperan dalam merawat pasien
yang sakit saja, tetapi juga berperan dalam mencegah terjadinya
suatu penyakit pada individu maupun kelompok.

Penelitian ini untuk mengetahui karakteristik dan


pengetahuan perineal hygiene siswi SD Islam Umul Mukminin
Soreang

Metode

Penelitian ini menggunakan rancangan penelitian


deskriptif kuantitatif untuk melihat gambaran pengetahuan
perineal hygiene siswi. Penelitian dilakukan di SD Islam
Umul Mukminin Soreang, pengambilan data dilakukan pada
bulan Mei 2016 dibantu oleh mahasiswa S1 Keperawatan
tingkat akhir dan telah diberikan apersepsi pengetahuan
sebelumnya oleh peneliti. Populasi dalam penelitian ini adalah
seluruh remaja putri kelas 4-6 SD Islam Umul Mukminin
Soreang berjumlah 61 siswi. Sample yang digunakan adalah
total sampling. Instrument Penelitian yang digunakan terdiri
dari 3 bagian, yaitu: (A) data demograpik (nama, usia, kelas,
pendidikan orang tua, pekerjaan orang tua, pengalaman

547
mendapat menstruasi, usia menarche, sumber informasi). (B)
Quisioner pengetahuan. Instrumen menggunakan modifikasi
instrument Rohimah, I (2014) yang berjumlah 20 pertanyaan,
berbentuk tes multiple choice. Pada instrumen ini, jawaban
benar diberi skor 1 dan 0 untuk jawaban salah. Semakin tinggi
total skor semakin baik pengetahuan. Jika skor ≥ 80% dari
total skor dikategorikan baik. Jika skor ≤ 79% dari total skor
dikategorikan buruk.
Hasil :
Tabel 1. Karakteristik Responden di SD Ummul Mukminin

Tahun 2016 (n=61)

Karakteristik Frekuensi (f) Presentase (%)

Usia (Tahun):

9 5 8,2

10 24 39,3

11 21 34,4

12 11 18,0

Pengalaman mendapat
informasi:

Ya 60 98,4

Tidak 1 1,6

548
Sumber Informasi:

Ibu 38 62,4
Saudara 1 1,6
Guru 9 14,8
Teman 1 1,6
Petugas puskesmas 1 1,6
Semuanya 10 16,4
Tidak mendapatkan 1 1,6

Pengalaman mendapat
menstruasi:
32 52,5
Sudah menstruasi
29 47,5
Belum menstruasi

Usia menarche

10 13 40,6

11 14 43,8

12 5 15,6

Pendidikan orang tua:

PT 43 70,5

SMA 16 26,2

SMP 2 3,3

549
SD 0 0

Pekerjaan orang tua:

Bekerja 61 100

Tidak bekerja 0 0

Dari tabel 1 diatas diperoleh bahwa sebagian besar


responden sebanyak 24 orang berusia 10 tahun (39,3%),
sebagian responden besar mendapatkan informasi tentang
perineal hygiene sebanyak 60 orang (98,4%), sebagian besar
informasi perineal hygiene di peroleh dari ibu sebanyak 38
orang (62,3), sebagian besar responden sudah mengalami
menstruasi sebanyak 32 orang (52,5%), dan sebagian
responden mengalami menarche pada usia 11 tahun sebanyak
14 orang (43,8 %). Dilhat dari pendidikan orang tua, sebagian
besar responden memiliki orang tua dengan pendidikan tinggi
sebanyak 43 orang (70,5%), dan seluruh orang tua mereka
bekerja sebanyak 61 orang (100%).

Untuk melihat tingkat pengetahuan siswi tentang


perineal hygiene, dapat dilihat pada tabel 2 dibawah ini.

Tabel 2. Pengetahuan Perineal Hygiene Siswi di SD Ummul


Mukminin Tahun 2016 (n=61)

Menstrual Hygiene Frekuensi (f) Presentase (%)

550
Baik 41 67,2
Buruk 20 32,8

Dari tabel 2 tersebut diatas, diperoleh bahwa sebagian besar


responden memiliki tingkat pengetahuan baik sebanyak 41
orang (67,2%).

Pembahasan

Berdasarkan hasil penelitian karakteristik diperoleh


hasil sebagian besar responden sebanyak 24 orang berusia 10
tahun (39,3%), sebagian responden besar mendapatkan
informasi tentang perineal hygiene sebanyak 60 orang
(98,4%), sebagian besar informasi perineal hygiene di peroleh
dari ibu sebanyak 38 orang (62,3), sebagian besar responden
sudah mengalami menstruasi sebanyak 32 orang (52,5%), dan
sebagian responden mengalami menarche pada usia 11 tahun
sebanyak 14 orang (43,8 %). Dilhat dari pendidikan orang tua,
sebagian besar responden memiliki orang tua dengan
pendidikan tinggi sebanyak 43 orang (70,5%), dan seluruh
orang tua mereka bekerja sebanyak 61 orang (100%).

Usia 10 tahun merupakan usia remaja awal, dimana


sudah siap untuk mendapatkan informasi tentang perawatan diri
pada organ reproduksinya. Terlebih pada jaman sekarang, usia
menarche perempuan menjadi lebih muda dikarenakan tingkat
gizinya yang bertambah baik. Apalagi bila dilihat dari hasil

551
penelitian dimana sebagian besar siswi sudah mengalami
menstruasi. Sebagian responden mengalami menarche pada
usia 11 tahun. Oleh karena itu pemberian informasi tentang
perineal hygine diperlukan sejak usia dini, karena dengan
memiliki pengetahuan tentang perinela hygiene yang memadai,
maka mereka akan siap untuk merawat area kelaminnya baik
saat menstruasi ataupun tidak. Perawatan perineal hygiene yang
buruk akan beresiko menimbulkan penyakit lecorheae, apalagi
bila siswi tersebut telah mengalami menstruasi.

Dilihat dari pengalaman mendapatkan informasi,


sebagian besar siswi telah mendapatkan informasi tentang
perineal hygiene. Hal ini akan berdampak pada tingkat
pengetahuan siswi akan perineal hygiene yang nantinya akan
mempengaruhi perilakunya sehari-hari. Bila dilihat dari
sumber informasi ternyata sebagian besar informasi perineal
hygiene di peroleh dari ibu mereka, sedangkan dari guru dan
petugas kesehatan hanya sebagian kecil. Padahal guru
disamping orang tua siswi sangat berperan penting dalam
meningkatkan pengetahuan dan membentuk perilaku yang baik
bagi siswinya. Hal ini akan semakin baik jika pihak puskesmas
ikut berpartisipasi dalam meningkatkan pengetahuan siswi
tentang perineal hygiene, karena puskesmas memiliki tugas
dalam mempromosikan kesehatan kepada masyarakat, salah
satunya adalah tentang perineal hygiene.

Bila dilhat dari segi pendidikan orang tua, sebagian


besar siswi memiliki orang tua dengan pendidikan tinggi hal
ini akan berdampak pada penyampaian pengetahuan yang
552
diberikan oleh orang tua terhadap putrinya. Hal ini akan
berdampak pada tingkat pengetahuan siswi dimana pada
penelitian ini diperoleh bahwa tingkat pengetahuan siswi
sebagian besar berada dalam katagori baik, walaupun tidak
seluruhnya berkatagori baik. Selain itu tingkat penghasilan
orang tua juga memadai, dimana seluruh orang tua mereka
bekerja. Tingkat ekonomi yang memadai dapat membantu
pada penyedian fasilitas yang dibutuhkan anak bagi pola
perineal hygienenya sehari-hari. Selain itu fasilitas yang
mendukung perineal hygiene sudah lebih baik di sekolah ini
dimana sekolah sudah menyediakan tempat cuci tangan yang
memadai, menyediakan tisu di toilet dan memberikan
kemudahan siswinya untuk mendapatkan pembalut. Namun di
sekolah ini belum pernah dilakukan penyuluhan yang berkaitan
dengan perineal hygiene dari tenaga kesehatan terlatih. Bila
pihak guru dan puskesmas dapat berperan aktif dalam
pemberian pengetahuan tentang perineal hygiene tentunya
tingkat pemahaman siswi akan pentingnya perineal hyginen
akan lebih meningkat lagi. Menurut hasil penelitian Djalalinia
(2012) yang dilakukan pada remaja putri di Tehran didapatkan
hasil bahwa remaja yang mendapatkan informasi mengenai
menstruasi dari tenaga kesehatan terlatih berperilaku lebih baik
dalam menstrual hygiene dibandingkan dengan remaja yang
mendapatkan informasi dari guru atau keluarga terutama ibu.
Hal ini juga berlaku untuk masalah kesehatan perineal hygiene.

.
553
Simpulan
Kesimpulan: sebagian responden memiliki tingkat yang baik,
hal ini dikarenakan responden telah mendapatkan informasi
entang perineal hygiene yang diperoleh dari ibu mereka.
Selain itu responden telah mengalami menarche sejak usia 11
tahun. Informasi yang benar tentang perineal hyginen akan
menentukan baik tidaknya pengetahuan responden.

Saran
Saran untuk penelitian ini, bagi pihak sekolah untuk dapat
berfartisifasi aktif dalam meningkatkan pengetahuan siswinya
tentang perineal hygiene. Bagi pihak puskesmas agar dapat
memasukan materi perineal hygiene kedalam promosi
kesehatan yang di edukasikan kepada siswi di seluruh
sekolah.

Daftar Pustaka
Djalalinia, S. 2012. Parents or School Health Trainers, which of
Them is Appropriate for Menstrual Health Education.
International Journal of Preventive Medicine, Vol 3, No
9, 2012;3:622-7.
Indah, I.L. 2012. Gambaran pengetahuan remaja putri tentang
perineal hygiene di SMPIT As Salam Pasar Minggu.
www.lib.ui.ac.id, (diakses tanggal 10 Januari 2016).

554
Kemenkes. 2012. Aku Bangga Aku Tahu. Jakarta: Pusat
Promosi Kesehatan Kementrian Kesehatan
RI.www.promkes.depkes.go.id, (diakses tanggal 5
Januari 2016).
Rahman, W., Hidayah, N., & Azizah, N. 2013. Pengaruh
Sikap, Pengetahuan dan Praktik Vulva Hygiene dengan
Kejadian Keputihan pada Remaja Putri di SMPN 01
Mayong Jepara. www.ppnijateng.org, (diakses tanggal
3 Januari 2016).
Sari, R. 2012. Hubungan pengetahuan dan perilaku remaja
putri dengan kejadian keputihan di kelas XII SMA
Negeri 1 Seunuddon Kabupaten Aceh Utara.
scholar.google.co.id, (diakses tanggal 10 Januari 2016).
Yulrina. dkk. 2012. Panduan Lengkap Keterampilan Dasar
Kebidanan 1. Yogyakarta: Deepublish.

555
PERBEDAAN KREATIVITAS SETELAH DIBERI TERAPI MUSIK
KLASIK (MOZART) DAN MODERN JAZZ PADA ANAK PRASEKOLAH
(Studi Pada Anak Usia 4-5 Tahun Di TK Negeri Pembina Mojoanyar
Mojokerto)

Yudha Laga Hadikusuma1, Eka Diah Kartiningrum2


Prodi D3 Keperawatan Poltekkes Majapahit Mojokerto
Dusun Glonggongan RT 17 RW 5 Desa Sumber tebu Kecamatan Bangsal Kabupaten Mojokerto
lagayudha@gmail.com

ABSTRAK
Kreativitas merupakan kemampuan dari seseorang untuk menghasilkan
komposisi, produk atau gagasan yang ada dasarnya baru, dan sebelumnya tidak
dikenal pembuatannya. Terapi musik klasik mozart dan modern (jazz) merupakan
salah satu metode untuk meningkatkan kreativitas pada anak. Meski demikian,
belum diketahui musik mana yang lebih baik dalam menstimulasi kreativitas anak,
Tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis perbedaan kreativitas anak
prasekolah yang mendengarkan musik klasik (mozart) dan anak pra sekolah yang
mendengarkan musik modern (jazz).
Penelitian ini menggunakan rancangan quasy eksperimental dengan
melibatkan 30 anak pra sekolah usia 4-5 tahun di TK Negeri Pembinan Mojoanyar
Mojokerto yang diambil dengan purposive sampling. Responden dibagi menjadi 2
kelompok, masing-masing 15 responden. Kelompok 1 mendengarkan mozart dan
kelompok 2 mendengarkan jazz selama 15 menit setiap hari selama 2 minggu
efektif menggunakan headset secara individu setiap kali datang pagi. Data
kreativitas anak dikumpulkan dengan menggunakan lembar observasi kreativitas
dan dan kemudian data dianalisis menggunakan Mann Whitney.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pada kelompok responden yang
sudah mendengarkan musik klasik (mozart) memiliki tingkat kreativitas rendah
berjumlah 2 (13.3%) responden dan tinggi sebanyak 8 (53.4%) responden dan pada
kelompok terapi musik Jazz memiliki tingkat kreativitas rendah sebanyak 9
responden (60%) dan tinggi sebanyak 1 (6.7%) respoden. Analisis data dengan
menggunakan Mann Whitney diperoleh hasil bahwa kreativitas anak setelah
mendengar mozart berbeda secara signifikan daripada anak yang mendengarka n
musik jazz (p=0,014).
Dengan demikian disimpulkan bahwa tingkat kreativitas anak yang
mendengarkan musik Mozart secara signifikan lebih baik dari anak yang
mendengarkan musik modern (jazz). Oleh sebab itu, musik klasik bisa menjadi
salah satu pilihan untuk menstimulisi pengembangan kreativitas anak.

Kata Kunci : Musik, Mozart, Jazz,Kreativitas

556
A. Pendahuluan
Kreatif adalah kemampuan seseorang untuk melahirkan sesuatu yang
baru, baik berupa gagasan maupun karya nyata, baik dalam bentuk karya baru
maupun kombinasi dengan hal-hal yang sudah ada, yang belum pernah ada
sebelumnya dengan menekankan kemampuan yaitu yang berkaitan dengan
kemampuan untuk mengkombinasikan, memecahkan atau menjawab masalah,
dan cerminan kemampuan operasional anak kreatif. Akan tetapi dalam
kehidupan sehari-hari banyak kita dapati perlakuan dan tindakan anak dengan
berbagai polah dan tingkah laku, sehingga ekspresi kreativitas anak kurang
berkenan pada orangtua. Padahal tiap anak memiliki ekspresi kreativitas yang
berbeda, ada yang terlihat suka mencoret-coret, beraktivitas gerak, berceloteh,
melakukan eksperimen, dan sebagainya. Penyikapan seperti itu berarti
merupakan salah satu contoh dari sekian banyak faktor yang mengha mbat
kreativitas seoran anak,sehingga anak akan cenderung berdiam dan tidak mau
melakukan apa-apa (pasif) (Ramli, 2004). Hasil penelitian di Indonesia
mengungkapkan bahwa lembaga pendidikan maupun orang tua cenderung
untuk mendidik siswa berfikir secara linier (searah) atau konvergen (terpusat).
Subjek didik kurang didorong untuk berfikir divergen (menyebar, tidak
searah),yang merupakan ciri kreativitas (Nasori dan Diana, 2002).
Kreativitas anak dapat ditingkatkan melalui terapi musik. Terapi
musik dapat digunakan untuk mempertajam pikiran dan menyehatkan tubuh,
karena musik terbukti dapat meningkatkan fungsi otak dan intelektual manusia
secara optimal (Cambell, 2002). Akan tetapi kebanyakan pendidikan di
sekolahan jarang sekali menggunakan musik sebagai suatu bahan untuk
meningkatkan daya kreativitas maupun intelegensi anak. Lembaga pendidikan
lebih sering menggunakan terapi bermain padahal musik juga mempunyai efek
yang sama baiknya dengan bermain, dan musik dapat diberikan padawaktu
kegiatan belajar mengajar dimulai dan juga anak menjelang mau tidur. Menurut
Harlock, (2005) kondisi sekolah juga mempengaruhi perkembangan kreativitas,
apabila tidak menguntungkan kondisi ini dapat menghambat rangsangan
kreativitas yang disediakan dalam lingkingan rumah yang baik. Inilah salah satu

557
alasan mengapa usia masuk sekolah merupakan “periode kritis” bagi
perkembangan kreativitas.
Bagi negara berkembang diperkirakan angka kreativitas anak usia
prasekolah sekitar 0,3% dari seluruh populasi dunia dan hampir 3% mempunyai
kreativitas yang rendah. Angka ini diperkirakan akan semakin bertambah pada
setiap tahunnya (Wahyuni, 2004). Berdasarkan hasil studi pendahuluan di TK
Negeri Pembina Desa Jabon Mojoanyar Mojokerto tanggal 21 April 2016
didapatkan data dari 9 anak yang diuji tingkat kreativitasnya dengan cara
menggambar bentuk orang didapatkan hasil sebagai berikut: 2 anak (0,18%)
dengan nilai 13 dan 16 termasuk kategori tinggi, 5 anak (0,45%) dengan nilai
6, 7, 7, 8, 9 kategori kreativitas sedang, 2 anak (0,18%) dengan nilai 3 dan 4
termasuk kategori dengan kreativitas rendah.
Proses pembelajaran pada hakekatnya untuk mengembangka n
aktivitas dan kreativitas peserta didik, melalui berbagai interaksi dan
pengalaman belajar. Begitupun dengan musik, musik sangat identik dengan
proses pembelajaran di TK. Mulai dari proses kegiatan awal sampai kegiatan
akhir, hampir memakai musik. Kegiatan belajar hendaknya diselingi dengan
kegiatan terapi yang berfungsi untuk meningkatkan kreativitas suatu anak salah
satunya adalah menggunakan terapi musik klasik maupun musik modern jazz.
Musik klasik terutama mozart dapat merangsang dan mencas wilayah-wilayah
kreatif dan motivasi di otak. Namun, mungkin kunci keluarbiasaannya adalah
bahwa semuanya terdengar murni dan sederhana (Campbell, 2002). Musik
klasik juga ditandai oleh aksen dan dinamika yang bisa berubah secara tiba-tiba
dan mengejutkan sehingga iramanya tidak monoton. Oleh karena itu, musik
zaman klasik sangat efektif untuk merangsang keterkaitannya didalam otak,
memicu ingatan dan kreativitas (Musbikin, 2009). Namun untuk
memperkenalkan musik, untuk membentuk karakter, jiwa dan kreativitas pada
anak bisa dilakukan dengan jenis musik lain seperti pop, jazz, atau yang lebih
easy listening, dan usahakan yang alunannya cenderung tenang (Riki, 2011).
Anak TK dapat lebih cerdas 34% bila diajarkan piano daripada ketika
diajarkan komputer.Berdasarkan hasil penelitian dari institusi hukum di florida
serta ahli dari prancis Dr. Alfred Tomatis mendengarkan musik klasik 15-20

558
menit sehari dapat meningkatkan kemampuan motorik dan kreativitas bervikir.
Dengan mendengarkan musik yang tenang dan teratur, otak kita akan
merangsang sebuah hormon yang membuat daya kreatif kita berkembang. Oleh
karena itu, jika kita menerapkan terapi musik secara rutin paling tidak selama
15 menit setiap hari maka kita dapat memaksimalkan potensi kreatif yang kita
milki (Aizid, 2011). Jadi terapi musik mozart atau jazz dapat diberikan salama
15-20 menit setiap hari selama 2 minggu untuk meningkatkan kemampuan
motorik dan kreativitas bervikir.Terapi musik mozart maupun modern jazz
merupakan kegiatan yang sangat bermanfaat bagi anak-anak dan dapat
dilaksanakan sebelum memulai suatu pelajaran.
Dari uraian diatas, maka peneliti tertarik untuk melakukan penelitian
tentang perbedaan terapi musik klasik (mozart) dan modern jazz tarhadap
kreativitas anak pra sekolah usia 4-5 tahun.

B. Metode Penelitian
Desain yang digunakan dalam penelitian ini adalah pre eksperimental
design dengan pendekatan static group comparison merupakan rancangan pre
ekspeimental dengan mnambah kelompok kontrol, dengan cara setelah
perlakuan dilakukan pengamatan pada kelompok perlakuan dan pada kelompok
kontrol dilakukan pengamatan saja. Penelitian ini dilaksanakan di TK Negeri
Pembina Desa Jabon Mojoanyar Mojokerto pada tanggal 1 sampai dengan 30
Juni 2016. Variabel independen atau variabel bebas dalam penelitian ini adalah
terapi musik klasik (mozart) dan modern jazz, sedangkan variabel dependen
atau variabel terikat dalam penelitian ini adalah Kreativitas anak prasekolah
usia 4-5 tahun. Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh anak prasekolah
usia 4-5 tahun di TK Negeri Pembina Desa Jabon Mojoanyar Mojokerto dengan
jumlah populasi 56 anak.
Tekhnik pengambilan sampel yang digunakan dalam penelitian ini
adalah purposive sampling, yaitu suatu tehnik penetapan sampel dengan cara
memilih sampel diantara populasi dengan yang dikehendaki peneliti
(tujuan/masalah dalam penelitian), sehingga sampel tersebut dapat mewakili
karakteristik populasi yang telah dikenal sebelunnya (Nursalam, 2008). Jumlah

559
sampel dalam penelitian ini sebanyak 30 anak yang kemudian dibagi menjadi 2
kelompok. Kelompok 1 mendengarkan mozart dan kelompok 2 mendengarkan
jazz selama 15 menit setiap hari selama 2 minggu efektif menggunakan headset
secara individu setiap kali datang pagi. Dalam penelitian ini, peneliti membatasi
subjek penelitian dengan kriteria sebagai berikut:
Kriteria inklusi pada penelitian ini adalah:
a. Anak prasekolah dengan usia 4-5 tahun.
b. Responden yang kooperatif (mau diajak kerjasama).
Kriteria eksklusi adalah menghilangkan atau mengeluarkan subjek yang
memenuhi kriteria inklusi dari studi (Nursalam, 2008). Kriteria eksklusi pada
penelitian ini adalah:
a. Anak prasekolah yang sakit/tidak hadir saat penelitian dilakukan.
b. Anak prasekolah yang mengalami gangguan pendengaran.
Tehnik pengumpulan data pada penelitian ini menggunakan tehnik observasi.
Alat yang digunakan antara lain:
a. Kertas kosong, media yang digunakan anak untuk menggambar atau
menilai kreativitas pada anak usia 4-5 tahun.
b. Alat tulis atau pensil warna, media yang digunakan anak untuk
menggambar dikertas kosong tersebut.
c. Alat untuk melakukan terapi musik seperti, lagu-lagu klasik (mozart)
dan lagu jazz.
Data yang diperoleh akan diolah dengan melakukan analisis menggunakan uji
statistik Mann witney, dengan signifikasi α (0,05) yaitu uji untuk
membandingkan nilai variabel dependen setelah perlakuan yang bersekala data
ordinal, dengan derajat kemaknaan p < 0,05.

560
C. Hasil Penelitian
1. Data Umum
a. Kelompok Anak yang Mendengarkan Musik Klasik (mozart).
1) Karakteristik Responden Berdasarkan Jenis Kelamin Anak
Tabel 1 Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Jenis
Kelamin Anak di TK Negeri Pembina Mojoanyar
Mojokerto Juni 2016
Jenis Kelamin Jumlah Persentase %
Laki-laki 8 anak 62
Perempuan 7 anak 38
Total 15 anak 100

Tabel 1 diatas menggambarkan bahwa sebagian besar


responden berjenis kelamin laki-laki yaitu sebanyak 8 responden
(62%).
2) Karakteristik Responden Berdasarkan Umur Anak.

Tabel 2 Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Umur


Anak di TK Negeri Pembina Mojoanyar Mojokerto
Juni 2016
Umur Jumlah Persentase %
4 Tahun 7 anak 46
5 Tahun 8 anak 54
Total 15 anak 100

Tabel 2 diatas menggambarkan bahwa sebagian besar


responden berumur 5 tahun yaitu sebanyak 7 responden (54%).
3) Karakteristik Responden Berdasarkan Jenis Pekerjaan Orang Tua
Tabel 3 Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Jenis
Pekerjaan Orang Tua Anak TK Negeri Pembina
Mojoanyar Mojokerto Juni 2016
Jenis Pekerjaan Jumlah Persentase %
Karyawan Swasta 6 orang 31
Pegawai Negeri 3 orang 23
Wiraswasta 3 orang 23
Petani 3 orang 23
Total 15 orang 100
Tabel 3 diatas menggambarkan bahwa hampir setengah
pekerjaan orang tua responen bekerja sebagai karyawan swasta yaitu
4 orang sebesar (31%).

561
4) Karakteristik Responden Berdasarkan Pendidikan Orang Tua
Tabel 4
Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan
Pendidikan Orang Tua Anak di TK Negeri
Pembina Mojoanyar Mojokerto Juni 2016
Pendidikan Jumlah Persentase %
SD 0 0
SLTP 5 orang 31
SLTA 6 arang 46
PT 4 orang 23
Total 15 orang 100

Tabel 4 diatas menggambarkan bahwa hampir setengah


pendidikan orang tua responden adalah SLTA sebanyak 6 orang
(46%).
b. Kelompok Anak Yang Mendengarkan Musik Modern Jazz.

1) Karakteristik Responden Berdasarkan Jenis Kelamin.

Tabel 5 Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Jenis


Kelamin Anak di TK Negeri Pembina Mojoanyar
Mojokerto Juni 2016
Jenis Kelamin Jumlah Persentase %
Laki-laki 9 anak 69
Perempuan 6 anak 31
Total 15 anak 100
Tabel 5 diatas menggambarkan bahwa sebagian besar
responden berjenis kelamin laki-laki yaitu sebanyak 9 responden
(69%).
2) Karakteristik Responden Berdasarkan Umur Anak.
Tabel 6 Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Umur
Anak di TK Negeri Pembina Mojoanyar Mojokerto
Juni 2016
Umur Jumlah Persentase %
4 Tahun 7 anak 38
5 Tahun 8 anak 62
Total 15 anak 100
Tabel 6 diatas menggambarkan bahwa sebagian besar
responden berumur 5 tahun yaitu sebanyak 8 (62%).

562
3) Karakteristik Responden Berdasarkan Jenis Pekerjaan Orang Tua.

Tabel 7 Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Jenis


Pekerjaan Orang Tua Anak TK Negeri Pembina
Mojoanyar Mojokerto Juni 2016
Jenis Pekerjaan Jumlah Persentase %
Karyawan Swasta 3 orang 15
Pegawai Negeri 2 orang 8
Wiraswasta 4 orang 31
Petani 6 orang 46
Total 15 orang 100

Tabel 7 diatas menggambarkan bahwa hampir setengah


orang tua responden bekerja sebagai petani yaitu sebanyak 6 orang
(46%).
4) Karakteristik Responden Berdasarkan Pendidikan Orang Tua.

Tabel 8Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan


Pendidikan Orang Tua Anak di TK Negeri
Pembina Mojoanyar Mojokerto Juni 2016
Pendidikan Jumlah Persentase %
SD 3 orang 23
SLTP 6 orang 38
SLTA 4 orang 31
PT 2 orang 8
Total 15 orang 100
Tabel 8 diatas menggambarkan bahwa hampir setengah
pendidikan orang tua responden adalah SLTP yaitu 5 orang (38%).
2. Data Khusus
a. Kreativitas Anak Usia Prasekolah Sesudah Mendengarkan Musik
Klasik (Mozart).
1) Karakteristik Responden Berdasarkan Kreativitas Anak Usia
Prasekolah Sesudah Mendengarkan Musik Klasik (Mozart).
Tabel 9Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan
Kreativitas Anak Prasekolah Sesudah
Mendengarkan Musik Klasik (Mozart) di TK
Negeri Pembina Mojoanyar Mojokerto Juni 2016
Kreativitas Jumlah Persentase %
Rendah 2 anak 13
Sedang 5 anak 33
Tinggi 8 anak 54
Total 15 anak 100

563
Tabel 9 diatas menggambarkan bahwa lebih dari setengah
responden mempunyai kreativitas yang tinggi yaitu sebanyak 8
responden (54%).
b. Kreativitas Anak Usia Prasekolah Sesudah Mendengarkan Musik Jazz.
1) Karakteristik Responden Berdasarkan Kreativitas Anak Usia
Prasekolah Sesudah Mendengarkan Musik Jazz.
Tabel 10 Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan
Kreativitas Anak Prasekolah Sesudah
Mendengarkan Musik Modern/ Jazz di TK Negeri
Pembina Mojoanyar Mojokerto Juni 2016
Kreativitas Jumlah Persentase %
Rendah 9 60.00
Sedang 5 33.33
Tinggi 1 0.07
Total 15 100

Tabel 10 diatas menggambarkan bahwa sebagian besar


responden mempunyai kreativitas yang rendah yaitu 9 responden
(60%).
c. Perbedaan Kreativitas Anak Prasekolah Sesudah Mendengarkan Musik
Mozart Dan Jazz
Tabel 11 Kreativitas Anak Usia Prasekolah Sesudah Medengarkan
Musik Mozart dan Jazz Juni 2016
No Terapi Kreativitas anak prasekolah Jumlah
musik Rendah Sedang Tinggi
F % F % F % F %
1 Mozart 2 13 5 33 8 54 15 100
2 Jazz 9 60 5 33 1 7 15 100
p=0,014 dan α=0,05, p<α
Tabel 11 diatas menggambarkan bahwa pada kelompok Terapi
musik Mozart memiliki tingkat kreativitas rendah berjumlah 2 responden
sedang 5 responden dan tinggi sebanyak 8 responden dan pada kelompok
terapi musik Jazz memiliki tingkat kreativitas rendah sebanyak 9 responden
sedang 5 responden dan tinggi sebanyak 1 respoden
Berdasarkan uji Mann Witney dengan menggunakan software
pengolahan data statistik SPSS diperoleh hasil tingkat kreativitas pada anak
prasekolah antara kelompok mendengarkan musik Mozart dan Jazz di TK
negeri pembina Mojoanyar Mojokerto dengan nilai p = 0,014 dan α=0,05,

564
jadi p<α maka H0 ditolak dan H1 diterima artinya ada perbedaan terapi musik
klasik (mozart) dan modern Jazz terhadap kreativitas anak prasekolah usia
4-5 tahun di TK Negeri Pembina Mojokerto.

D. Pembahasan
Setelah dilakukan analisis data dan melihat hasil penelitian yang telah
diperoleh maka sesuai dengan tujuan penelitian maka pada bab ini akan
diuraikan pembahasan tentang perbedaan terapi musik klasik (mozart) dan
modern jazz terhadap kreativitas anak prasekolah usia 4-5 tahun di TK Negeri
pembina Mojoanyar Mojokerto.
1. Tingkat kreativitas anak prasekolah sesudah diberikan terapi musik mozart.
Hasil penelitian diatas menggambarkan bahwa pada kelompok yang
diberikan musik mozart terdapat 8 responden (54%) yang memiliki tingkat
kreativitas yang tinggi, 5 responden (33%) memiliki kreativitas sedang dan
2 responden (13%) yang memilki tingkat kreativitas yang rendah. Getaran
musik klasik, seperti karya Mozart dan Bethoven, memiliki nada yang sama
dengan getaran otak. Karena getarannya sama, maka musik dapat
merangsang saraf otak untuk berosilasi (berayun atau bergetar). Osilasi
saraf otak seorang tidak pernah berhenti meskipun dalam keadaan tidur
(Aizid, 2011). Dengan getaran nada yang dimiliki oleh musik klasik mozart
maka daya kreativitas dan imajinasi anak dalam berfikir semakin meningkat
dan anak akan dapat mengembangkan kreativitasnya dengan mudah,
sehingga daya kreativitas yang dimiliki oleh anak yang mendengarkan
musik klasik (mozart) dapat meningkat sesuai dengan yang diinginkan oleh
sang anak.
Hasil penelitian menggambarkan bahwa sebagian besar responden
berjenis kelamin laki-laki. Menurut Masoffa (2011), anak laki-laki
cenderung lebih besar kreativitasnya daripada anak perempuan. Hal ini
disebabkan adanya perbedaan perlakuan antara anak laki-laki dan
perempuan, anak laki-laki dituntut lebih mandiri, sehingga anak laki-laki
biasanya lebih berani mengambil resiko dibandingkan anak perempuan.
Pada hasil penelitian diatas terdapat perbedaan kreativitas mungkin bisa

565
dikarenakan oleh perbedaan jenis kelamin, biasanya anak laki-laki
cenderung lebih suka melakukan kegiatan-kegiatan yang bersifat fisik dari
pada anak perempuan. Jadi anak laki-laki cenderung lebih dapat berfikir
dengan kreativ karena kegiatan-kegiatan yang dilakukan akan sangat
memerlukan gerakan fisik yang hasilnya akan menimbulkan suatu
kreativitas.
Hasil riset menggambarkan bahwa sebagian besar responden berumur
5 tahun. Sedangkan menurut Ummutia (2011), Pertumbuhan otak anak ini
berlangsung pada usia 5 tahun pertama atau biasa disebut periode emas
pertumbuhan. Usia juga bisa mempengaruhi tingkat kreativitas seorang
anak karena pada umur 5 tahun tingkat berfikir suatu anak lebih berkembang
daripada usia 4 tahun, anak yang berumur lima tahun jauh akan lebih dapat
meneima rangsangan dari luar sehingga anak akan jauh lebih krativ dalam
brfikir.
Hasil penelitian menjelaskan bahwa hampir setengah pendidikan
orang tua adalah SLTA. Faktor yang ke dua yang mempengaruhi munculnya
kreativitas menurut Masoffa (2011), adalah pendidikan orang tua, dari segi
pendidikan orang tua anak yang orang tuanya berpendidikan tinggi
cenderung lebih kreativ dibandingkan pendidikannya rendah. Hal ini
disebabkan karena banyaknya prasarana serta tingginya dorongan dari
orang tua sehingga memupuk anak untuk menampilkan daya inisiatif dan
kreativitasnya. Perbedaan kreativitas juga bisa disebabkan oleh tingkat
pendidikan orang tua karena orang tua dengan pendidikan tinggi akan
mudah menerima informasi, sehingga semakin banyak pula pengetahuan
yang dimiliki, orang tua yang tingkat pendidikannya lebih tinggi akan lebih
tahu stimulasi yang sesuai umur, yang akan diberikan kepada anak-
anaknya, sedangkan orang tua yang tingkat pendidikannya lebih rendah
belum tentu tahu stimulasi untuk anak-anaknya.

566
2. Tingkat kreativitas anak prasekolah setelah diberikan terapi musik modern
jazz.
Hasil penelitian menjelaskan bahwa pada kelompok kontrol,
responden yang mendengarkan musik modern jazz terdapat hanya 1
responden (7%) yang memiliki tingkat kreativitas yang tinggi dan 9
responden memiliki tingkat kreativitas yang rendah (60%).
Selama periode usia prasekolah, usahakan anak mendapatkan terapi
bernuansakan musikal. Karena warna musik mendorong anak melakukan
gerakan yang akan mempengaruhi perkembangan motoriknya secara
menyeluruh. Oleh karena musik jazz mempunyai irama yang sangat lembut
maka musik jazz juga dapat digunakan dalam melakukan terapi (Djohan,
2006). Perbedaan kreativitas pada tabel diatas mukin disebabkan oleh
karena kelembutan musik jazz tidak dapat digunakan secara maksimal
karena kurang merasuk dalam jiwa anak-anak sehingga daya kreativitas
yang dimiliki oleh anak-anak akan kurang tepacu oleh rangsangan dari luar
seperti mendengarkan musik yang tidak seirama dengan getaran pada otak.
Hasil riset menggambarkan bahwa sebagian besar responden berumur
5 tahun. Menurut Ummutia (2011), Pertumbuhan otak anak ini berlangsung
pada usia 5 tahun pertama atau biasa disebut periode emas pertumbuhan.
Usia juga bisa mempengaruhi tingkat kreativitas seorang anak karena pada
umur 5 tahun tingkat berfikir suatu anak lebih berkembang daripada usia 4
tahun. Biasanya anak yang berumur lima tahun jauh akan lebih dapat
meneima rangsangan dari luar sehingga anak akan jauh lebih krativ dalam
brfikir.
Hasil penelitian menjelaskan bahwa sebagian besar responden
berjenis kelamin laki-laki. Patmonodewo (2003), juga berpendapat, anak
laki-laki biasanya lebih besar dan anak perempuan lebih kecil dalam bidang
kreativitas, tapi anak perempuan lebih terampil dalam tugas yang bersifat
praktis.Hal ini mungkin disebabkan oleh anak laki-laki sering sekali
bermain diluar yang melibatkan fisik daripada anak perempuan sehingga
anak laki-laki lebih berimajinatif daripada anak perempuan, anak
perempuan biasanya lebih telaten ketimbang anak laki-laki dalam hal

567
keterampilan tangan, sedangkan anak laki-laki lebih cenderung dengan
permainan yang sifatnya bermain fisik atau motorik kasar.
Hasil riset menggambarkan bahwa hampir setengah pendidikan orang
tua responden adalah SLTP. Menurut Kuntjoroningrat yang dikutip oleh
Nursalam dan Pariani (2001: 133), bahwa semakin tinggi tingkat pendidikan
seseorang semakin mudah menerima informasi, sehingga semakin banyak
pula pengetahuan yang dimiliki. Pendidikan orang tua juga berpengaruh
terhadap kreativitas responden karena semakin tinggi tingkat pendidikan
rang tua akan semakin mudah memberikan stimulus yang diperlukan untuk
meningkatkan kreativitas anaknya.
3. Perbedaan kreativitas anak prasekolah setelah diberikan musik mozart dan
jazz.
Hasil penelitian diatas menggambarkan bahwa pada kelompok
perlakuan (mendengarkan musik mozart) memiliki kreativitas tinggi
sedangkan pada kelompok kontrol (mendengarkan musik jazz) responden
yang memiliki tingkat kreativitas tinggi. Dalam musik klasik itu sendiri
dasar-dasarnya sendiri menyerupai ritme denyut nadi manusia. Jenis ini
lebih dimungkinkan untuk bisa masuk dalam perkembangan otak,
pembentukan jiwa, karakter, bahkan raga. Berdasarkan penelitian, musik
klasik yang mengandung komposisi nada berfluktuasi antara nada tinggi dan
nada rendah akan merangsang kuadran C pada otak. Sampai usia 4 tahun,
kuandaran B dan C pada otak anak-anak akan berkembang hingga 80%
dengan musik (Sudrajat, 2011).
Jenis musik yang bermanfaat bagi anak TK bukan hanya musik klasik
(mozart), jenis musik yang ritmenya seperti detakan jantung ini memang
lebih memungkinkan untuk mengembangkan otak, jiwa, karakter serta
kreativitas pada anak. Namun untuk memperkenalkan musik, untuk
membentuk karakter, jiwa dan kreativitas pada anak bisa dilakukan dengan
jenis musik lain seperti pop, jazz, atau yang lebih easy listening, dan
usahakan yang alunannya cenderung tenang (Riki, 2011).
Menurut Safaria (2005), hal yang dapat menghambat kreativitas anak
antara lain ketakutan akan perubahan dan ketidakpastian, kemalasan,

568
kurang percaya diri, dan sifat ingin mendapat segala sesuatu dengan
mudah.Sehingga tingginya kreativitas anak pada kelompok yang
mendengarkan musik klasik (mozart) disebabkan oleh adanya fasilitas yang
mendukung atau mendengarkan musik yang sesuai dengan irama denyut
nadi manusia sehingga dapat mengakibatkan anak menjadi lebih
berimajinasi dan juga daya kreativitas anak terpacu.
Rendahnya daya kreativitas anak pada kelompok mendengarka n
musik modern (jazz) mungkin disebabkan oleh faktor penghambat
kreativitas seperti kemalasan dan rasa kurang percaya diri pada anak, sifat
ingin mendapat segala sesuatu dengan mudah dan juga mungkin bisa
disebabkan oleh irama musik yang tidak sesuai dengan irama jantung dan
nadi anak sehingga kurang bisa masuk dalam perkembangan otak,
pembentukan jiwa, karakter, bahkan raga sehingga daya kreativitas anak
kurang terpacuseperti halnya mendengarkan musik klasik mozart. Jadi
dapat disimpulkan bahwa musik klasik mozart dapat memacu suatu
keinginan anak, dengan merangsang daya kreativitas anak dibandingkan
mendengarkan musik modern (jazz).
Terapi musik yang baik diharapkan mampu menjadi sarana yang
dapat mendorong anak untuk mengembangkan daya fantasi, kreativitas
dalam bervikir, sehingga kreativitas anak akan berkembang dengan
sendirinya. Berdasarkan uji Mann Witney dengan menggunakan software
pengolahan data statistik SPSS diperoleh hasil tingkat kreativitas pada anak
prasekolah antara kelompok mendengarkan musik Mozart dan Jazz di Tk
negeri pembina Mojoanyar Mojokerto dengan nilai p=0,014 dan α=0,05,
jadi p<α maka H0 ditolak dan H1 diterima artinya ada perbedaan terapi musik
klasik (mozart) dan Jazz terhadap kreativitas anak prasekolah usia 4-5 tahun
di TK Negeri Pembina Mojokerto. Hal ini sesuai dengan penelitian dari Dr.
Alfred Tomatis bahwa mendengarkan musik klasik (mozart) selama 5-20
menit setiap hari dapat meningkatkan kemampuan motorik dan kreativitas
bervikir pada anak. Musik klasik mozart pada dasarnya sendiri menyerupai
ritme denyut nadi manusia. Sedangkan pada musik jazz iramanya yang tidak
sesuai dengan irama jantung dan nadi anak sehingga kurang bisa masuk

569
dalam perkembangan otak, pembentukan jiwa, karakter, bahkan raga
sehingga daya kreativitas anak kurang terpacu seperti halnya mendengarkan
musik klasik mozart.

E. Simpulan dan Saran


Berdasarkan hasil penelitian, maka dapat diambil kesimpulan sebagai berikut:
Ada perbedaan tingkat kreativitas anak yang mendapatkan terapi musik klasik
(mozart) dan Jazz pada anak prasekolah usia 4-5 tahun di TK Negeri Pembina
Mojoanyar Mojokerto. Kreativitas anak yang mendapatkan musik klasik mozart
lebih tinggi dibandingkan modern (jazz). Oleh sebab itu mendengarkan musik
klasik Mozart dapat dijadikan alternatif tindakan dalam membentuk dan
meningkatkan kreativitas pada anak prasekolah usia 4-5 tahun.

F. Daftar Pustaka
Aizid, Rizem (2011). Sehat dan Cerdas Dengan Terapi Musik. Jakarta: Laksana

Al-Hajjaj, Yusuf Abu (2010). 30 Kiat Meledakkan Kreativitas Anda Kreatif Atau
Mati. Surakarta: Al-Jadid

Campbell, D (2002). Efek Mozart, (http://EfekMozart.blogspot.com). Diakses pada


tanggal 2 April 2012

Djohan (2009). Psikologi Musik. Yogyakarta: Galangpress

Djohan (2006). Terapi Musik. Yogyakarta: Galangpress

Dahlan, Djawad (2011). Psikologi Perkembangan Anak dan Remaja. Bandung: Pt


Remaja Rosdakarya

Gandasetiawan, Ratih Zimmer (2009). Mengoptimalkan IQ & EQ Anak Melalui


Metode Sensomotorik. Jakarta: Libri

Gay & Diehl (2009). Metodologi penelitian komunikasi, (http://metodologi


penelitiankomunikasi.html+rumus+gay+diehl.blogspot.com). diakses pada
tanggal 27 April 2012.

Hidayat, A.Aziz Alimul (2003). Pengantar Ilmu Keperawatan Anak 1. Jakarta:


Salemba Medika
Hurlock, Elizabeth B (2002). Perkembangan Anak Jilid 2. Jakarta: Erlangga.

Kasdu, Dini (2003). Anak Cerdas. Jakarta: Niaga Swadaya.

570
Kurniati, Euis & Rahmawati, Yeni (2010). Strategi Pengembangan Kreativitas
Pada Anak. Jakarta: Prenada Media Group

Musbikin, Imam (2009). Kehebatan Musik Untuk Mengasah Kecerdasan Anak.


Jakarta: Power Books
Massofa (2011). Mengenal Kreativitas Anak Sejak Dini,
(http://massofa.Wordpress.com/2011/09/23/mengenal-kreativitas-anak-
sejak-dini/)

Nashori & Fuad Diana Muchram (2002). Mengembangkan Kreativitas Dalam


Prespektif Psikologi Islam. Jogjakarta: Menera Kudus

Nirwana, Ade Benih (2011). Psikologi Ibu, Bayi dan Anak. Yogyakarta: Nuha
Medika
Notoatmojo, Soekidjo (2010). Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta: Rineka
Cipta
Nursalam (2008). Konsep dan Penerapan Metodologi Penelitian Ilmu
Keperawatan. Jakarta: Salemba Medika

Olivia, Femi & Ariani Lita (2012). Menstimulasi Otak Anak Dengan Stimulasi
Auditori. Jakarta: Kompas Gramedia

Potter (2005). Definisi terapi musik, (http://definisi terapi musik.blogspot.com)

Ramli (2002). Kreativitas Pada Anak Prasekolah, (http://Kreativitas-Pada-


Anak.wordpress.com). diakses pada tanggal 10 April 2012

Rasyid, Fathur (2010). Cerdaskan Anakmu Dengan Musik. Jogjakarta: Diva Pres

Riyanto, Agos (2011). Aplikasi Metodologi Penelitian Kesehatan. Yogyakarta:


Nuba Medika

Syafiq, Muhammad (2003). Ensiklopedia Musik Klasik. Jakarta: Adicita

Santrok, John W (2007). Perkembangan Anak Jilid 2. Jakarta: Erlangga

Ummutia (2011). Ragam Stimulasi Kecerdasan Anak Berdasarkan Usia,


(http://ummutia.wordpress.com/2011/04/13/ragam-stimulasi-kecerdasan-
anak-berdasar-usia/ ). Diakses pada tanggal 19 juli 2012

Wahyuni (2004). Prevalensi Kreativitas Anak Prasekolah, (http://prevalensi-


kreativitas-anak-prasekolah.Wahyuni.blogspot.com). Diakses pada tanggal
30 Maret 2012

571

View publication stats

You might also like