You are on page 1of 9

Serat Wedhatama merupakan kitab yang ditulis oleh K.G.P.A.A.

Sri Mangkunegara
IV. Serat Wedhatama mengandung makna yang sangat dalam sekali artinya
: Serat adalah Kitab, sedangkan Wedha mengandung arti Pengetahuan,
dan Tama ialah Utama. Maka Serat Wedhatama bermakna Kitab Pengetahuan yang
Utama.
Ajaran yang terkandung di dalamnya, mulanya oleh K.G.P.A.A. Mangkunegara IV,
ditujukan Untuk membangun budi pekerti dan olah spiritual bagi kalangan raja-raja
Mataram. Namun kemudian, diajarkan pula bagi siapapun yang berkehendak
menghayatinya.
Wedhatama menjadi salah satu dasar penghayatan bagi siapa saja yang ingin “laku”
spiritual dan bersifat universal lintas kepercayaan atau agama apapun. Karena
ajaran dalam Wedhatama bukan lah dogma agama yang erat dengan iming-iming
surga dan ancaman neraka, melainkan suara hati nurani, yang menjadi “jalan
setapak” bagi siapapun yang ingin menggapai kehidupan dengan tingkat spiritual yang
tinggi. Mudah diikuti dan dipelajari oleh siapapun, diajarkan dan dituntun step by
step secara rinci. Puncak dari “laku” spiritual yang diajarkan serat Wedhatama adalah
menemukan kehidupan yang sejati, lebih memahami diri sendiri, manunggaling kawula-
Gusti, dan mendapat anugrah Tuhan untuk melihat rahasia kegaiban (meminjam istilah
Gus Dur; dapat mengintip rahasia langit).
Serat yang berisi ajaran tentang budi pekerti atau akhlak mulia, digubah dalam bentuk
tembang agar mudah diingat dan lebih “membumi”. Sebab sebaik apapun ajaran itu
tidak akan bermanfaat apa-apa, apabila hanya tersimpan di dalam “menara gadhing”
yang megah.S
Serat ini terdiri dari 100 padha (bait) tembang macapat, yang dibagi dalam lima pupuh,
yaitu

 Pupuh Pangkur (14 padha, I – XIV))


 Pupuh Sinom (18 padha, XV – XXXII)
 Pupuh Pocung (15 padha, XXXIII – XLVII)
 Pupuh Gambuh (35 padha, XLVIII – LXXXII)
 Pupuh Kinanthi (18 padha, LXXXIII – C)

Saya pribadi, jatuh hati pada serat ini karena kuat falsafahnya. Dalam hal kesusastraan
dan falsafahnya, Sri Mangkunegara IV memang sealiran dengan R. Ng. Ranggawarsita
yang juga merupakan sahabatnya. Beberapa kalangan mengatakan bahwa Sri
Mangkunegaran IV sangat kuat dalam tataran filosofisnya sedangkan R. Ng.
Ranggawarsita menguasai kosa kata yang baik. Jadi wajar saja apabila Sri
Mangkunegara IV tercatat sebagai salah satu filosof dunia, sebagaimana tercatat
dalam “Le dictionnaire De Philosophie“.
Saya jatuh hati pada serat ini sudah cukup lama, namun sayang sekali untuk
mendapatkan serat ini berbentuk buku yang utuh sangat sulit ditemukan di pasaran.
Namun tiba-tiba pada suatu pameran buku di Semarang, saya menemukan Serat
Wedhatama yang diterjemahkan dan dipaparkan ulang oleh Ki Sabdacaraka dan
diterbitkan oleh Penerbit Narasi. Saya cukup puas dengan buku ini, karena terdapat
teks asli dalam aksara latin lengkap dengan terjemahan bebasnya, juga ada sedikit
ulasan singkat mengenai Serat Wedhatama dan Biografi Singkat Sri Mangkunegara IV.
Penampakan bukunya nih…
PADHA (BAIT) FAVORIT
Dalam Serat Wedhatama ini, saya mempunyai bait-bait yang membuat
saya sedikit berpikir keras untuk mengetahui apa makna tersirat yang ingin disuratkan
dibalik kata-kata di bait-bait tersebut. Selain itu, dalam bait-bait ini pula saya dibuat
kagum oleh kemampuan Sri Mangkunegara IV dalam memilih kata-kata dan
menyusunnya dalam bait-bait tembang yang pakemnya kaku. Bagaimana dengan cita
rasa seni dan falsafahnya, kata-kata dengan makna tak terbatas dapat diikat oleh
batas-batas guru gatra, guru lagu, dan guru wilangan dalam tembang jawa.
Bait favorit pertama saya yakni Pupuh Pangkur Padha I dalam serat ini. Bunyinya
seperti ini :
Mingkar-mingkuring angkara,
Akarana karenan mardi siwi,
Sinawung resmining kidung,
Sinuba sinukarta,
Mrih kretarta pakartining ngelmu luhung,
Kang tumrap neng tanah Jawa,
Agama ageming Aji.
Artinya kira-kira sebagai berikut :
Meredam nafsu angkara dalam diri,
Karena berkenan mendidik putra-putri,
Tersirat dalam indahnya tembang,
dihias penuh keindahan kata,
agar menjiwai hakekat ilmu luhur,
yang berlangsung di tanah Jawa (nusantara),
agama sebagai “pakaian” kehidupan.
Dalam padha (bait) ini, ada gatra (baris) yang membuat saya terngiang-ngiang tidak karuan
: “Agama ageming Aji”. Yah, agama memang seharusnya menjadi pakaian sejatinya
kehidupan. Tidak perlu ditanyakan dan dipertanyakan, apalagi dituliskan dalam KTP atau Kartu
Keluarga atau dokumen semacamnya. Apa yang tertulis di dalam dokumen-dokemen yang
katanya resmi itu belum tentu mencerminkan sejatinya apa yang jalan menjadi hidup dan
kehidupan kita. Karena agama adalah ageming aji, bukan ageming KTP. Apa yang tercermin
dalam tindak-tanduk kita adalah sejatinya agama kita. Bukan yang tertulis dalam dokumen-
dokumen yang katanya resmi tersebut. Karena yang tertulis tersebut belum tentu benar, dan
yang benar belum tentu bisa dituliskan.

Serat Wédhatama (serat mangenani ajaran utama) nggih niku satunggaling rumpaka sastra Jawa
Enggal kang saged digolongaken minangka moralistis-didaktis kang sekedik dipengaruhi Islam.
Rumpaka punika secaos formal diserat dening Ngarsa Dalem Ingkang Wicaksana Kanjeng Gusti
Pangeran Adipati Arya Sri Mangkunegoro IV. Raja teng keraton Mangkunegaran Solo. Sanese
kawentar keranten kapinterane marang elmu pangauning, piyambeke ugi kawentar keranten
piyambeke mangrupiaken satunggaling tokoh ingkang sakti mandraguna, adil, lan arif
bijaksana. Lantaran olah laku spiritual kang mumpuni, piyambeke sedah kaliyan kasampurnan
gesang sejati salebete ngadep Tuhan Ingkang Mahawisesa, nggih niku warangka manjing
curiga atanapi anggayuh kamuksan, ngadep Gusti kaliyan raganipun sirna tan winekas.

Wonten indikasi nyaniya serat punika mboten diserat dening tiyang setunggal (Pigeaud, Rangga
Warsita et all, 1967:110). Serat punika dianggep minangka salah satunggaling puncak estetika
sastra Jawa abad kaping 19 lan gadah karakter mistik kang kiat. Wangune nggih niku tembang,
kang biasa dipigunakaken teng zaman punika. Serat punika mangadeg ing atase 100 pupuh (bait,
canto) tembang macapat, kang dibagi teng selebete gangsal tembang, nggih niku :

Pangkur (14 pupuh,1 – 14)


Sinom (18 pupuh, 15 -32)
Pucung (15 pupuh, 33 – 47)
Gambuh (35 pupuh, 48-82)
Kinanthi (18 pupuh, 83-100)

Isi Serat Wédhatama ngrupiaken falsafah kagesangan, kados dene tenggang rasa, tepa salira,
kepripun dados janma kang sampurna, nglampahaken agami secaos bijak, lan dados tiyang kang
gadah watek ksatria.

TEMBANG PANGKUR
(Sembah Raga/Syariat)
1
Mingkar mingkuring angkara,
Akarana karanan mardi siwi,
Sinawung resmining kidung,
Sinuba sinukarta,
Mrih kretarta pakartining ngelmu luhung
Kang tumrap neng tanah Jawa,
Agama ageming aji.
Menahan diri dari nafsu angkara,
karena berkenan mendidik putra
disertai indahnya tembang,
dihias penuh variasi,
agar menjiwai tujuan ilmu luhur,
yang berlaku di tanah Jawa (nusantara)
agama sebagai landasan perbuatan.
Pengertene tembang pangkur :
Miturut maknane, tembang pangkur iku nggambarake mangsa nalika wis kliwat umur
kang wus ngungkurake babagan kadonyan.

Watak tembang pangkur : Watake tembang pangkur iku madhep manteb, banter, nesu.
Cocok kanggo ngandharake pitutur, katresnan, crita kang nyata, lan sapiturute.

Makna tembang pangkur : Pangkur saka tembung mungkur kang ateges nyingkiri hawa
nepsu angkara murka. Wos kang kamot ing tembang pangkur

1.Serat Wedhatama ngajarake tuntunan moral ing babagan etika pribadi minangka
pamangun karakter dhiri pribadi.
2.Ngajarake tuntutan moral minangka perangan saka pendidikan karakter ing babagan
etika sosial.
3.Serat Wedhatama ngajarake supaya aja tumindak kaya dene tumindake wong bodho,
kang omongane ora karu karuan lan ora tinemu nalar (ngandhar andhar angendhukur,
kandhane nora kaprah).
4.Serat Wedhatama uga ngajarake tuntunan moral ing babagan nembah mring kang
maha kuasa. TEMBANG PANGKUR Ajining wong ing wicara, resep sedep wijile rum
aririh, wosing sedya laras runtut, grapyak gampang tinampa, culing tutur tinampa datan
ngelantur, solah bawa mung samadya, karyenak tyasing sasami.
Dalam bahasa Indonesia syair dari tembang pangkur tersebut artinya kurang lebih
berbunyi : Manusia/ kita dinilai dari wicara (mulut), itu sebabnya bicara kita haruslah
bicara yang tidak keras/ bernada marah, mudah dimengerti, memiliki maksud yang baik,
mudah diterima di lingkungan apa pun, tidak berbelit-belit/ tidak berbohong, tidak
banyak tingkah, menyenangkan bagi siapapun. Itu adalah nasehat nenek moyang kita
(seorang pelaut) yang diwujudkan dalam tembang/ nyanyian dengan maksud supaya
mudah dimengerti oleh kita cucu-cunya semua.

Mingkar-mingkuring ukara
(Membolak-balikkan kata)
Akarana karenan mardi siwi
(Karena hendak mendidik anak)
Sinawung resmining kidung
(Tersirat dalam indahnya tembang)
Sinuba sinukarta
(Dihias penuh warna )
Mrih kretarta pakartining ilmu luhung
(Agar menjiwai hakekat ilmu luhur)
Kang tumrap ing tanah Jawa
(Yang ada di tanah Jawa/nusantara)
Agama ageming aji.
(Agama “pakaian” diri)

Dari tembang macapat pangkur diatas dapat ditafsirkan bahwa, perlu memilih dan
menggunakan kata-kata yang bijak dalam mendidik anak. Dari cara bertutur orang tua
harus bisa menjadi contoh yang baik, karena dengan kata-kata yang baik tentu akan
lebih nyaman untuk didengarkan. Mendidik bisa melalui tembang yang dirangkai indah
agar menarik, sehingga semua nasihat-nasihat tentang ilmu luhur yang ada di tanah
jawa dapat dihayati, dan agama bisa menjadi salah satu ajaran dalam kehidupan diri.

Dalam serat Wedhatama pupuh I ini, KGPAA Mangkunegoro IV memberi sebuah


gambaran akan pentingnya manusia untuk selalu belajar agar dapat menguasai ilmu
luhur. Yang dimaksut dengan ilmu luhur dalam konteks kekinian tentu cerdas secara
intelektual (IQ), cerdas secara emosi dan spiritual (ESQ). Cerdas secara intelektual
berarti dia pandai dalam menggunakan logika-logika, sedangkan cerdas secara emosi
dan spiritual berarti ia mampu mengelola emosi, sikap, mampu membawa diri, dan
memiliki kesadaran tinggi atas dirinya dengan lingkungan dan Tuhannya.

Tembang macapat pangkur di atas hanya merupakan tembang pembuka dalam serat
Wedhatama Pupuh I Pangkur. Dalam bait-bait tembang berikutnya KGPAA
Mangkunegoro IV dengan jelas juga memberi gambaran tentang perbedaan orang-
orang yang berilmu luhur dengan orang yang kurang ilmu.

Jinejer ing Wedhatama


(Tersaji dalam serat Wedhatama)
Mrih tan kemba kembenganing pambudi
(Agar jangan miskin budi pekerti)
Mangka nadyan tuwa pikun
(Padahal meskipun tua dan pikun)
Yen tan mikani rasa
(bila tak memahami rasa)
Yekti sepi sepa lir sepah asamun
(Tentu sangat kosong dan hambar seperti ampas buangan)
Samasane pakumpulan
(Ketika dalam pergaulan)
Gonyak-ganyuk nglelingsemi.
(Terlihat bodoh memalukan)

Dari Buku Penataran Seni Karawitan Guru SD Se Jawa Tengah tanggal 6 sampai
dengan 9 Mei tahun 1996 di Semarang yang memuat pengertian “ Macapat dipandang
dari nama, arti dan makna “ sebagaimana di bawah ini :
1. Dari Buku Baoesastra (Bausastra ejaan sekarang )
2. “ Macapat “ berarti kiblat papat ( empat kiblat )
3. “ Macapat “ ( gatek ) rekaan dari kata “ Moco – Mat “ ( membaca nikmat ) enak
didengar saat dilantunkan ( ditembangkan )
4. “ Macapat “ ( pigeaud ) yang berarti membaca dengan irama, netrum.
5. “ Macapat “ ( etimologi ) “ ma + capat, ada kaitannya dengan lupa-lupa ingat, karena
kadang hafal kadang tidak, sehingga “ capat berarti cepat “
6. Buku Poezie in Indonesia ( Slamet Mulyana ), “ Macapat “ itu perobahan dari kata “
Macakepan “ yang artinya membaca lontar, kejelasan ini dapat dilihat dalam buku “
Kalangwan “ ( Zoct Mulder ), lontar itu disebut cakepan ( Bali )
“ Macapat “ identik dengan kata ma – capak, “ capak “ jadi cakep, sehingga
“macakepan “ adalah “ membaca rontal “

B. Buku S. Padmo Sukotjo, telah banyak mengupas dan menjelaskan budaya jawa
sebagai “ Kagunan Adi Luhung “ ( manfaat perbuatan baik ). Dari masalah kesastraan
maupun bentuk kebudayaan jawa yang menyangkut ‘ lahir batin “

Pada buku S. Padmo Sukotjo, yang menjelaskan tentang tembang “ Macapat ‘ yang
memuat pengertian tembang dengan irama, netrum. Dengan perbedaan-perbedaan “
tembang cilik ( kecil ), tembang tengahan, tembang humor “

Sedangkan pada watak tembang-tembang “ Macapat “ banyak dikaitkan dengan


perasaan saat tembang “ Macapat “ dilantunkan serta pada urutan “ nama-nama
Macapat “ yang menyangkut nama seperti nama “ Mijil, sinom, dan seterusnya dari
tembang Macapat berbeda dengan penafsiran penulis, karena penulis lebih tertarik
nama-nama tembang Macapat” pada sifat filosofinya.

Dari jumlah 15 ( lima belas ) tembang yang dilahirkan pujangga R. Ng. Ronggo Warsito
maupun R. Harjo Wirogo peulis mengamati 11 ( sebelas ) nama tembang Macapat dan
1 ( satu ) nama tembang yang tidak masuk sebagai katagori tembang mocopat yaitu
yang namanya tembang “ Wirangrong “

Sedangkan secara berurutan dari 11 tembang Macapat dan 1 tembang wirangrong


mempunyai pengertian secara filosofi kalau diurutkan sebagai berikut :
1. Nama tembang “ mijil “ artinya = lahir
2. Nama tembang “ Maskumambang “ = emas yang mengapung diatas air mengandung
penafsiran sebagai ‘ air mata “. Air mata keluar karena suka ataupun duka, maka bisa
dibilang irama tembang maskumambang itu mengharukan, jika seseorang merasa “
terharu ‘ akan keluar air mata baik karena sedih atau senang.
3. Nama tembang “ Kinanti “ pengertian kinanti dari kinanten yang artinya di gandeng (
di tuntun )
4. Nama tembang “ Sinom “ asal kata si + enom yaitu berarti muda atau remaja
5. Nama tembang “ Dandanggula “ berasal dari dandang + gula . danfang artinya
angan-angan, gula artinya manis. Jadi danfanggula = angan-angan yang manis
6. Nama tembang “ Asmaradana “ asal kata , asmara + dahana, asmara = cinta,
dahono = api. Jadi asmorodono = api cinta
7. Nama tembang “ Durma “ dari kata “ Nundur toto kromo “ ( tidak beretika, kurang
mengenal sopan santun )
8. Nama tembang “ Gambuh “ dari kata “ gampang nambuh “ ( mempunyai pengertian
cuek, atau acuh tak acuh )
9. Nama tembang ‘ Pangkur ” dari pengertian “ ngepange pikir arep mangkur “ ( pikiran
yang bercabang karena usia tua )
10. Nama tembang “ Megatruh “ dari pengertian megat + ruh. Megat ( misah,
perpisahan ) ruh ( sukma, roch ) jadi megatruh = misahnya sukma raga ( meninggal )
11. Nama tembang “ Pucung “ dapat diartikan “ pocong “ ( orang meninggal di bungkus
kain putih )
12. Nama tembang “ Wirangrong “ pengertian sederhana. Wirang + rong. Wirang =
malu, rong = goa di tanah. Rong dapat diartikan “ lobang di tanah “. Jadi wirongrong
mengandung pengertian ‘ bila hidup tidak berperilaku baik, maka rasa malu terbawa
sampai ke liang lahat apabila telah meninggal dunia “

Maka jika dipahami dari nama-nama temvang “ mijil “ diurut sebagaimana tersebut
diatas sampai pada tembang wirangrong itu merupakan gambaran manusia dari lahir,
hidup dan mati.

Disamping itu ada gambaran watak ( sifat ) di masing-masing nama-nama dari 12 ( dua
belas ) tembang tersebut yang terbagi pada 3 ( tiga ) proses : lahir, hidup dan mati.
Dimana pada tiap-tiap masa, lahir, hidup dan mati mempunyai persamaan sifat, baik
bagaimana, sifat lahir ( sifat bayi ) sifat hidup ( rata-rata sifat manusia dengan cara
hidupnya ) dan sifat mati ( proses, upacara, cara menangani masa akhir hayat hidupnya
manusia ).

Disamping itu masing-masing manusia juga mempunyai sifat khusus yang biasa disebut
“ watak “, watak manusia yang satu dengan yang lainnya berbeda, sampai-sampai ada
pengertian watak orang itu disebut “ ciri wanci, cuplak andeng-andeng ginowo mati “ (
sifat watak manusia dari lahir yang tidak dapat atau jarang dapat dirubah ) seperti watak
mudah marah, mudah mutung (ngambek) atau watak lembut penuh kasih sangat
berbeda pengertiannya dengan watak sifat yang kami maksud, contoh : yang namanya
bayi rata-rata mempunyai kesamaan, cara cara menyusu ibunya, sifat remaja rata-rata
mempunyai kesamaan mudah emosi, pukul dulu main belakang ( tidak pakai unggah-
ungguh atau tata krama ). Maka sifat pemuda banyak dimanfaatkan sebagai kaum
pendobrak, pembaharuan reformis. Sedangkan sifat orang-orang tua rata-rata juga
mempunyai persamaan, kedewasaan berpikir, gerakan fisik yang lamban, mudah lupa.

Pengertian-pengertian sifat manusia yang tergambarkan pada nama-nama 12 ( dua


belas ) tembang yang telah penulis sampaikan diatas tercermin sebagai berikut :
1. Proses kelahiran bayi dari sejak lahir sampai menjelang remaja, tergambarkan pada
nama tembang
– Mijil
– Maskumambang
– Kinanti
2. Proses kehidupan remaja tergambarkan pada nama tembang
– Sinom
– Dandanggula
– Asmaradana
– Durmo
– Gambuh
3. Sedangkan proses kehidupan orang-orang tua sampai dengan saatnya meninggal
dunia, tergambarkan pada tembang
– Pangkur
– Megatruh
– Pucung
– Wirangrong
Maka jika diamati nama tembang “ macapat “ secara filosofi berarti maca + sifat (
membaca sifat ) sebagai mana di depan.
“ Macapat “ = membaca sifat oleh penulis merupakan tembang ( kidung ) kehidupan
manusia dari lahir, hidup dan mati.
Kidung penguripan = gambaran kehidupan manusia yang dilantunkan melalui “
tembang ‘

Agar kaum muda di era global sekarang ini tertarik untuk membaca potensi budaya “
adi luhung “ maka penulis menceritakan sifat-sifat 12 ( dua belas ) tembang mocopat
dalam bentuk puisi ( geguritan ) dan dalam tembang yang oleh penulis sukai ( pupuh
dandanggula ).

Penulis sungguh tertarik untuk menggali Potensi Kasanah Sastra Jawa dan
kebudayaanya yang cukup unik, enak didengar saat dilantunkanmenjadi tembang dan
dapat memberi panduan filosofi dan relegi dalam mengarungi bahtera kehidupan dalam
proses perubahan jaman. Apa itu jaman kolo bendu, pancaroba, atau jaman kencana
rukmi ( keemasan ).

Jaman kalo benda, penulis menganggap sebagai “ jaman edan “ karena pengatur lalu
lintas kehidupan di dominasi orang yang mempunyai sifat, watak yang tidak baik pada
jaman edan, manusia di uji moral, iman dan kekuatan batin untuk tetap berperilaku baik,
meski sulit sekali implementasinya sebagaimana digambarkan pada “ amenangi jaman
edan “ oleh R. Ng. Ronggo Warsito.

Amenangi jaman edan


Ewuh oyo ing pambudi

Melu edan ora tahan


Yen tan melu anglakoni
Boya kaduman melik
Kaliren wekasanipun

Ndilalah kersane Allah


Begjo-begjone kanglali
Luwih begja kang eling lan waspodo
Hidup di jaman edan
Betapa sulit berupaya dengan segenap cara

Ikut edan tidak tahan


Jika tidak ikut edan ( gila )
Berarti tidak punya keinginan
Akhirnya tidak dapat makan / lapar

Untung karena kehendak Tuhan


Untung, untungnya orang yang lupa
Lebih untung yang ingat Tuhan dan dari godaan iblis

Jaman edan sebuah gambaran-gambaran yang menyangkut situasi dan kondisi yang
sangat paradox, meski logika, ajaran Agama, tuntunan orang tua telah ditanamkan
sejak dini ( sejak lahir ). Betapa kuatnya pengaruh-pengaruh itu, sehingga sulit unuk
melakukan perbuatan-perbuatan yang baik, bajik dan santun. Itulah sebabnya kami
sangat tertarik untuk menghubungkan mocopat membaca sifat, dengan pengertian, sifat
yang perlu di baca yaitu sifat baik dan sifat buruk. Dimana sifat baik dan sifat buruk,
tergambarkan pada huruf jawa. Hana caraka data sawala, pada jayanya ma ga bha tha
nga.
Dari sejarah huruf jawa yang konon di ciptakan oleh seseorang yang bernama “ Aji
Saka “ yang mempunyai pengertian.
Aji : sangat berguna
Saka : cagak ( tiang dalam Bahasa Indonesia )
Contoh : rumah perlu cagak / tiang penyangga
Jika rumah perlu tiang penyangga ( cagak ) maka “ Aji Saka “ dapat diartikan
penyangga kehidupan.
Sedang terjemahan secara bebas tentang huruf jawa sebagai berikut :
Hana caraka : ada utusan
Data sawala : dhat dan suwolo ( manusia tak bisa menolak utusan tersebut )
Pada jayanya : sama-sama kuat, apa ? dan siapa ? utusan tersebut adalah
sebuah sifat baik dan sifat buruk yang mempunyai kekuatan
yang sama ( betapa sulit kehidupan ini di jalani, namun juga
mudah jika kita amay paham sifat baik dan sifat buruk )
maga bhathanga : sukmo lungo rogo dadi batang ( pisahnya sukma dan raga )
berarti pisahnya pengaruh sifat baik dan buruk yang selama
hidup di dunia mendampingi dan kedua sifat itu tidak lagi
mencampuri / mempengaruhi sukma ( ruh ) itulah sebabnya
kita menjadi sulit berbuat sesuatu di jaman edan saat masih
hidup di dunia sebagaimana nada tembang ilir-ilir.

“ lunyu-lunyu penekna blimbing kuwi, kanggo mbasuh dodotira “ akan kami perjelas
sebagai berikut :

Tapsir tembang ilir-ilir

Lir ilir lir ilir


Tandure wus sumilir
Tak ijo royo-royo
Tak sengguh penganten anyar

Cah angon, cah angon

Penekno blimbing kuwi

Pangkur berasal dari kata “mungkur” yang berarti pergi. Maksudnya yaitu pergi
meninggalkan hawa nafsu dan angkara murka. Dalam bahasa jawa "mungkur" berarti
menjauhi. Menggambarkan manusia yang menyingkirkan hawa nafsu angkara murka,
nafsu negatif yang menggerogoti jiwanya. Juga merenungkan apa yang dilakukan pada
masa lalu. Bhkan kadang kaget atas apa yang pernah ia lakukan, hingga kini yang
ada tinggalah menyesali diri. Kenapa dulu tidak begini tidak begitu. Watak lagu
ini sereng lan tegas.

Macapat adalah tembang atau puisi tradisional Jawa. Setiap bait macapat mempunyai baris
kalimat yang disebut gatra, dan setiap gatra mempunyai sejumlah suku kata (guru wilangan)
tertentu, dan berakhir pada bunyi sanjak akhir yang disebut guru lagu.Macapat dengan nama lain
juga bisa ditemukan dalam kebudayaan Bali, Sasak , Madura dan Sunda. Selain itu juga pernah
di temukan di Palembang dan Banjarmasin.Macapat diperkirakan muncul pada akhir Majapahit
dan dimulainya pengaruh Walisanga, namun hal ini hanya bisa dikatakan untuk situasi di Jawa
Tengah. Sebab di Jawa Timur dan Bali macapat telah dikenal sebelum datangnya Islam.
Beberapa contoh karya sastra Jawa yang ditulis dalam tembang macapat termasuk Serat
Wedhatama, Serat Wulangreh,dan Serat Kalatidha.

Puisi tradisional Jawa atau tembang biasanya dibagi menjadi tiga kategori: tembang cilik,
tembang tengahan dan tembang gedhé.Macapat digolongkan kepada kepada kategori tembang
cilik dan juga tembang tengahan, sementara tembang gedhé berdasarkan kakawin atau puisi
tradisional Jawa Kuna.
Pada umumnya macapat diartikan sebagai maca papat-papat (membaca empat-empat), yaitu
maksudnya cara membaca terjalin tiap empat suku kata. Namun ini bukan satu-satunya arti,
penafsiran lainnya ada pula. Arti lainnya ialah bahwa -pat merujuk kepada jumlah tanda diakritis
(sandhangan) dalam aksara Jawa yang relevan dalam penembangan macapat.
Kemudian menurut Serat Mardawalagu, yang dikarang oleh Ranggawarsita, macapat merupakan
singkatan dari frasa maca-pat-lagu yang artinya ialah “melagukan nada keempat”. Selain maca-
pat-lagu, masih ada lagi maca-sa-lagu, maca-ro-lagu dan maca-tri-lagu.
Sebuah karya sastra macapat biasanya dibagi menjadi beberapa pupuh, sementara setiap pupuh
dibagi menjadi beberapa pada.Setiap pupuh menggunakan metrum yang sama. Metrum ini
biasanya tergantung kepada watak isi teks yang diceritakan. Jumlah pada per pupuh berbeda-
beda, tergantung terhadap jumlah teks yang digunakan. Sementara setiap pada dibagi lagi
menjadi larik atau gatra. Sementara setiap larik atau gatra ini dibagi lagi menjadi suku kata atau
wanda. Setiap gatra jadi memiliki jumlah suku kata yang tetap dan berakhir dengan sebuah vokal
yang sama pula. Aturan mengenai penggunaan jumlah suku kata ini diberi nama guru wilangan.
Sementara aturan pemakaian vokal akhir setiap larik atau gatra diberi nama guru lagu.
Filosofi tembang pangkur
Kata Pangkur berasal dari kata ‘mungkur’ yang berarti pergi atau meninggalkan. Filosofi
dalam tembang pangkur adalah penggambaran dari kehidupan yang seharusnya dapat
menghindari berbagai hawa nafsu dan angkara murka.
Jadi, ketika mendapati sesuatu yang buruk, hendaknya kita pergi menghindar dan
meninggalkan yang buruk itu. Pangkur juga menggambarkan seseorang yang sudah mulai
bersiap untuk meninggalkan segala hal bersifat keduniawian untuk lebih mendekatkan diri
kepada Tuhan.
Watak tembang pangkur
Tembang pangkur memiliki watak atau karakter yang gagah, kuat, perkasa dan hati yang
besar. Tembang pangkur ini menjadi tembang yang cocok untuk mengungkapkan kisah
kepahlawanan, perjuangan juga peperangan.
Contoh tembang pangkur (8a – 11i – 8u – 7a – 8i – 5a – 7i)
Muwah ing sabarang karya
Ingprakara gedhe kalawan cilik
Papat iku datan kantun
Kanggo sadina-dina
Lan ing wengi nagara miwah ing dhusun
Kabeh kang padha ambegan
Papat iku nora lali

You might also like