You are on page 1of 14

ANATOMI

A. Hidung Luar

Hidung luar berbentuk piramid dengan bagian-bagiannya dari atas ke bawah :

1. Pangkal hidung ( bridge )

2. Dorsum nasi

3. Puncak hidung ( apeks )

4. Ala nasi

5. Kolumela

6. Lubang hidung ( nares anterior )

Hidung luar dibentuk oleh tulang dan tulang rawan yang dilapisi oleh kulit,

jaringan ikat dan beberapa otot yang berfungsi untuk melebarkan atau menyempitkan

lubang hidung. Kerangka tulang terdiri dari :

1. Sepasang os nasalis ( tulang hidung )

2. Prosesus frontalis os maksila

3. Prosesus nasalis os frontalis

Sedangkan kerangka tulang rawan terdiri dari beberapa pasang tulang rawan

yang terletak dibagian bawah hidung, yaitu :

1. Sepasang kartilago nasalis lateralis superior

2. Sepasang kartilago nasalis lateralis inferior ( kartilago alar mayor )

3. Beberapa pasang kartilago alar minor

4. Tepi anterior kartilago septum nasi


Otot-otot ala nasi terdiri dari dua kelompok yaitu :

1. Kelompok dilator :

- M. Dilator nares ( anterior dan posterior )

- M. Proserus

- Kaput angulare m. kuadratus labii superior

2. Kelompok konstriktor :

- M. Nasalis

- M. Depresor septi

B. Hidung dalam

Rongga hidung atau kavum nasi berbentuk terowongan dari depan ke belakang,

dipisahkan oleh septum nasi dibagian tengahnya. Kavum nasi bagian anterior disebut

nares anterior dan bagian posterior disebut nares posterior (koana) yang menghubungkan

kavum nasi dengan nasofaring.

a. Vestibulum

Terletak tepat dibelakang nares anterior, dilapisi oleh kulit yang mempunyai banyak

kelenjar sebasea dan rambut-rambut panjang yang disebut vibrisae.

b. Septum nasi

Septum dibentuk oleh tulang dan tulang rawan. Bagian tulang terdiri dari :

- Lamina perpendikularis os etmoid

- Vomer

- Krista nasalis os maksila

- Krista nasalis os palatine


Bagian tulang rawan terdiri dari :

- Kartilago septum ( lamina kuadrangularis )

- Kolumela

c. Kavum nasi

- Dasar hidung

Dasar hidung dibentuk oleh prosesus palatina os maksila dan prosesus horisontal

os palatum.

- Atap hidung

Terdiri dari kartilago lateralis superior dan inferior, os nasal, prosesus frontalis os

maksila, korpus os etmoid dan korpus os sfenoid. Sebagian besar atap hidung

dibentuk oleh lamina kribrosa yang dilalui filamen-filamen n. olfaktorius yang

berasal dari permukaan bawah bulbus olfaktorius berjalan menuju bagian teratas

septum nasi dan permukaan kranial konka superior.

- Dinding lateral

Dinding lateral dibentuk oleh permukaan dalam prosesus frontalis os maksila, os

lakrimalis, konka superior, konka media, konka inferior, lamina perpendikularis os

palatum dan lamina pterigoideus medial.

- Konka

Pada dinding lateral hidung terdapat 4 buah konka. Yang terbesar dan letaknya

paling bawah ialah konka inferior, kemudian yang lebih kecil ialah konka media

dan konka superior, sedangkan yang terkecil disebut konka suprema. Konka

suprema ini biasanya rudimenter. Konka inferior merupakan tulang tersendiri yang
melekat pada os maksila dan labirin etmoid, sedangkan konka media, superior dan

suprema merupakan bagian dari labirin etmoid.

- Meatus nasi

Diantara konka-konka dan dinding lateral hidung terdapat rongga sempit yang

disebut meatus. Meatus inferior terletak diantara konka inferior dengan dasar

hidung dan dinding lateral rongga hidung. Pada meatus inferior terdapat muara

duktus nasolakrimalis. Meatus media terletak diantara konka media dan dinding

lateral rongga hidung. Disini terdapat muara sinus maksila, sinus frontal dan sinus

etmoid anterior. Pada meatus superior yang merupakan ruang diantara konka

superior dan konka media terdapat muara sinus etmoid posterior dan sinus sfenoid.

- Dinding medial

Dinding medial hidung adalah septum nasi.

Pendarahan Hidung

Pendarahan untuk hidung bagian dalam berasal dari 3 sumber utama:

1. A. Etmoidalis anterior, yang mendarahi septum bagian superior anterior dan dinding

lateral hidung.

2. A. Etmoidalis posterior ( cabang dari a. Oftalmika ), mendarahi septum bagian

superior posterior.

3. A. Sfenopalatina, terbagi menjadi a. Nasales posterolateral yang menuju ke dinding

lateral hidung dan a. Septi posterior yang menyebar pada septum nasi.
Bagian bawah rongga hidung mendapat pendarahan dari cabang A. Maksilaris

interna, diantaranya ialah ujung a. palatina mayor dan a. sfenopalatina yang keluar dari

foramen sfenopalatina bersama n. sfenopalatina dan memasuki rongga hidung di

belakang ujung posterior konka media. Bagian depan hidung mendapat pendarahan dari

cabang-cabang a. fasialis. Pada bagian depan septum terdapat anastomosis dari cabang-

cabang a. sfenopalatina, a. etmoid anterior, a. labialis superior dan a. palatina mayor,

yang disebut pleksus Kiesselbach ( Little’s area ) yang letaknya superfisial dan mudah

cedera oleh trauma, sehingga sering menjadi sumber epistaksis.

Vena-vena hidung mempunyai nama yang sama dan berjalan berdampingan dengan

arterinya. Vena di vestibulum dan struktur luar hidung bermuara ke vena oftalmika

superior yang berhubungan dengan sinus kavernosus.

Persarafan hidung

1. Saraf motorik oleh cabang n. fasialis yang mensarafi otot-otot hidung bagian luar.

2. Saraf sensoris.

Bagian depan dan atas rongga hidung mendapat persarafan sensoris dari n. etmoidalis

anterior, merupakan cabang dari n. nasosiliaris, yang berasal dari n. oftalmika ( N.V-1

). Rongga hidung lainnya , sebagian besar mendapat persarafan sensoris dari n.

maksila melalui ganglion sfenopalatina.

3. Saraf otonom.

Terdapat 2 macam saraf otonom yaitu :

1. Saraf post ganglion saraf simpatis (Adrenergik).


Saraf simpatis meninggalkan korda spinalis setinggi T1 – 3, berjalan ke atas dan

mengadakan sinapsis pada ganglion servikalis superior. Serabut post sinapsis

berjalan sepanjang pleksus karotikus dan kemudian sebagai n. petrosus profundus

bergabung dengan serabut saraf parasimpatis yaitu n. petrosus superfisialis mayor

membentuk n. vidianus yang berjalan didalam kanalis pterigoideus. Saraf ini tidak

mengadakan sinapsis didalam ganglion sfenopalatina, dan kemudian diteruskan

oleh cabang palatine mayor ke pembuluh darah pada mukosa hidung. Saraf

simpatis secara dominan mempunyai peranan penting terhadap sistem vaskuler

hidung dan sangat sedikit mempengaruhi kelenjar.

2. Serabut saraf preganglion parasimpatis (kolinergik).

Berasal dari ganglion genikulatum dan pusatnya adalah di nucleus salivatorius

superior di medula oblongata. Sebagai n. pterosus superfisialis mayor berjalan

menuju ganglion sfenopalatina dan mengadakan sinapsis didalam ganglion

tersebut. Serabut-serabut post ganglion menyebar menuju mukosa hidung. Peranan

saraf parasimpatis ini terutama terhadap jaringan kelenjar yang menyebabkan

sekresi hidung yang encer dan vasodilatasi jaringan erektil. Pemotongan n.

vidianus akan menghilangkan impuls sekretomotorik / parasimpatis pada mukosa

hidung, sehingga rinore akan berkurang sedangkan sensasi hidung tidak akan

terganggu.

4. Olfaktorius ( penciuman )
Nervus olfaktorius turun melalui lamina kribosa dari permukaan bawah bulbus

olfaktorius dan kemudian berakhir pada sel-sel reseptor penghidu pada mukosa

olfaktorius didaerah sepertiga atas hidung.

FISIOLOGI

Secara fisiologis hidung memiliki fungsi primer dan sekunder. Fungsi primer dari

hidung ada empat, yaitu sebagai alat penciuman, sebagai pintu masuk fisiologis udara

pernafasan, sebagai alat penyaring udara serta sebagai alat pengatur suhu dan kelembaban

udara pernafasan. Fungsi sekunder dari hidung adalah sebagai resonator box.

Fungsi penciuman dilakukan oleh n. olfactorius melalui komponen-komponen

penunjangnya yang melekat pada lamina kribriformis, sehingga setiap gangguan aliran

udara pada hidung dapat menyebabkan timbulnya anosmia.

Sebagai alat penyaring udara pernafasan, silia berperan untuk mengarahkan kotoran-

kotoran termasuk bakteri kearah faring untuk kemudian tertelan atau dikeluarkan,

sedangkan rambut-rambut pada bagian anterior berperan untuk menyaring partikel-partikel

yang lebih besar.

Fungsi pengaturan suhu dan kelembaban dilakukan oleh pembuluh-pembuluh darah

(kavernosa) pada mukosa konka dan septum, dengan mengatur suhu udara agar mendekati

36° C. sedangkan pengaturan kelembaban udara dikerjakan oleh kelenjar-kelenjar

tuboalveolar dan bila perlu juga oleh sel-sel goblet, sehingga akan didapatkan kelembaban

yang berkisar antara 75% - 80%.


RINITIS VASOMOTOR

Rinitis vasomotor adalah suatu keadaan idiopatik yang didiagnosis tanpa adanya infeksi,

alergi, eosinofilia, perubahan hormonal(kehamilan, hipertiroid) dan pajanan obat

(kontrasepsi oral, anti hipertensi, β – bloker, aspirin, klorpromazin dan obat topikal hidung

dekongestan).

Rinitis ini digolongkan menjadi non-alergi bila adanya alergi/allergen spesifik tidak

dapat diidentifikasi dengan pemeriksaan alergi yang sesuai (anamnesis, tes cukit kulit,

kadar antibody IgE spesifik serum).

Kelainan ini disebut juga vasomotor catarrh, vasomotor rinorhea, nasal vasomotor

instability, atau juga non-allergic perennial rhinitis.

Etiologi dan Patofisiolog

Etiologi dan patofisiologi yang pasti belum diketahui. Beberapa hipotesis telah

dikemukakan untuk menerangkan patofisiologi rhinitis vasomotor:

1. Neurogenik (disfungsi sistem otonom)

Saraf simpatis hidung berasal dari korda spinalis segmen Th 1-2, menginervasi terutama

pembuluh darah mukosa dan sebagian kelenjar. Serabut simpatis melepaskan ko-

trasmitter nonadrenalin dan neuropeptide Y yang menyebabkan vasokonstriksi dan

penurunan sekresi hidung. Tonus simpatis ini berfluktuasi sepanjang hari yang

menyebabkan adanya peningkatan tahanan rongga hidung yang bergantian setiap 2-4

jam. Keadaan ini disebut sebagai ‘siklus nasi’. Dengan adanya siklus ini, seseorang akan

mampu untuk dapat bernafas dengan tetap normal melalui rongga hidung yang berubah-

ubah luasnya.
Serabut saraf parasimpatis berasal dari nucleus salivatori superior menuju ganglion

sfenopalatina daan membentuk n. Vidianus, kemudian menginervasi pembuluh darah

dan terutama kelenjar eksokrin. Pada rangsangan akan terjadi pelepasan ko-transmiter

asetilkolin dan vasoaktif intestinal peptide yang menyebabkan peningkatan

sekresihidung dan vasodilatasi, sehingga terjadi kongesti hidung. Bagaimana tepatnya

saraf otonom ini bekerja belumlah diketahui dengan pasti, tetapi mungkin hipotalamus

bertindak sebagai pusat penerima impuls eferens termasuk rangsang emosional dari

pusat yang lebih tinggi. Dalam keadaan hidung normal, persarafan simpatis lebih

dominan. Rhinitis vasomotor diduga sebagai akibat dari ketidakseimbangan impuls saraf

otonom dimukosa hidung yang berupa bertambahnya aktifitas system parasimpatis.

2. Neuropeptida

Pada mekanisme ini terjadi disfungsi hidung yang diakibatkan oleh meningkatnya

rangsangan terhadap saraf sensoris serabut C di hidung. Adanya rangsangan abnormal

saraf sensoris ini akan diikuti dengan peningkatan pelepasan neuropeptide seperti

substance P dan calcitonin gene-related protein yang menyebabkan peningkatan

pemeabilitas vascular dan sekresi kelenjar. Keadaan ini menerangkan terjadinya

peningkatan respon pada hiper-reaktifitas hidung.

3. Nitrik Oksida

Kadar nitric oksida (NO) yang tinggi dan persisten dilapisan epitel hidung dapat

menyebabkan terjadinya kerusakan atau nekrosis epitel, sehingga rangsangan non

spesifik berinteraksi langsung ke lapisan sub-epitel. Akibat terjadi peningkatan


reaktifitas serabut trigeminal dan recruitment reflex vascular dan kelenjar mukosa

hidung.

4. Trauma

Rhinitis vasomotor dapat merupakan komplikasi jangka panjang dari trauma hidung

melalui mekanisme neurogenic dan atau neuropeptide.

Gejala Klinik

Pada rhinitis vasomotor, gejala sering dicetuskan oleh berbagai rangsangan non-spesifik,

seperti asap/rokok, bau yang menyegat, parfum, minuman beralkohol, makanan pedas

udara dingin, pendingin dan pemanas ruangan, perubahan kelembaban, perubahan suhu

luar, kelelahan dan stes/emosi. Pada keadaan normal factor-faktor tadi tidak dirasakan

sebagai gangguan oleh individu tersebut.

Kelainan ini mempunyai gejala yang mirip dengan rhinitis alergi, namun gejala yang

dominan adalah hidung tersumbat, bergantian kiri dan kanan, tergantung pada posisi pasien.

Selain itu terdapat rinore yang mukoid atau serosa. Keluhan ini jarang disertai dengan

gejala mata.

Gejala dapat memburuk pada pagi hari waktu bangun tidur oleh karena adanya

perubahan suhu yang ekstrim, udara lembab, juga oleh asap rokok dan sebagainya.

Berdasarkan gejala yang menonjol, kelainan ini digolongkan dalam 3 golongan, yaitu 1)

golongan bersin (sneezers), gejala biasanya memberikan respon yang baik dengan terapi

anti histamindan glukokortikosteroid topical; 2) golongan rinore (runners), gejala dapat

diatasi dengan pemberian anti kolinergik topical; dan 3) golongan tersumbat (blockers),
kongesti umumnya memberikan respon yang baik dengan terapai glukokortikosteroid

topical dan vasokontriktor oral.

Diagnosis

Diagnosis umumnya ditegakkan dengan cara eksklusi yaitu menyingkirkan adanya rhinitis

alergi, infeksi, okupasi, hormonal dan akibat obat. Dalam anamnesis dicari faktor yang

mempengaruhi timbulnya gejala.

Pada pemeriksaan rhinoskopi anterior tampat berupa edema mukosa hidung sehingga cavum nasi

terlihat sempit, konka berwarna merah gelap atau merah tua/livide (khas) tapi dapat pula pucat. Hal

ini perlu dibedakan dengan rhinitis alergi. Permukaan konka dapat licin atau berbenjol-benjol.

Sekret mukoid atau serus dapat ditemukan dalam jumlah yang sedikit maupun banyak seperti yang

ditemukan pada golongan rhinorrhea.

Pemeriksaan laboratorium yang perlu dilakukan adalah ada tidaknya faktor alergi seperti sitologi

nasal untuk mencari sel-sel eosinofil dan sel radang dan pemeriksaan RAST. Hasil pemeriksaan

penunjang pada rhinitis vasomotor tersebut biasanya normal.

Penatalaksanaan

Pengobatan rinitis vasomotor bervariasi, tergantung kepada faktor penyebab dan gejala

yang menonjol. Secara garis besar, pengobatan dibagi dalam :

1. Menghindari penyebab / pencetus ( Avoidance therapy )

2. Pengobatan konservatif ( Farmakoterapi ) :

- Dekongestan atau obat simpatomimetik digunakan untuk mengurangi keluhan hidung

tersumbat. Contohnya : Pseudoephedrine dan Phenylpropanolamine ( oral ) serta

Phenylephrine dan Oxymetazoline ( semprot hidung ).


- Anti histamin : paling baik untuk golongan rinore.

- Kortikosteroid topikal mengurangi keluhan hidung tersumbat, rinore dan bersin-bersin

dengan menekan respon inflamasi lokal yang disebabkan oleh mediator vasoaktif. Biasanya

digunakan paling sedikit selama 1 atau 2 minggu sebelum dicapai hasil yang memuaskan.

Contoh steroid topikal : Budesonide, Fluticasone, Flunisolide atau Beclomethasone

- Anti kolinergik juga efektif pada pasien dengan rinore sebagai keluhan utamanya. Contoh

: Ipratropium bromide ( nasal spray )

3. Terapi operatif ( dilakukan bila pengobatan konservatif gagal ) :

- Kauterisasi konka yang hipertrofi dengan larutan AgNO3 25% atau triklorasetat pekat (

chemical cautery ) maupun secara elektrik ( electrical cautery ).

- Diatermi submukosa konka inferior ( submucosal diathermy of the inferior turbinate )

- Bedah beku konka inferior ( cryosurgery )

- Reseksi konka parsial atau total (partial or total turbinate resection)

- Turbinektomi dengan laser ( laser turbinectomy )

- Neurektomi n. vidianus ( vidian neurectomy ), yaitu dengan melakukan pemotongan pada

n. vidianus, bila dengan cara diatas tidak memberikan hasil. Operasi sebaiknya dilakukan

pada pasien dengan keluhan rinore yang hebat. Terapi ini sulit dilakukan, dengan angka

kekambuhan yang cukup tinggi dan dapat menimbulkan berbagai komplikasi.

Prognosis

Pengobatan golongan obstruksi lebih baik daripada golongan rinore. Oleh karena

golongan rinore sangat mirip dengan rhinitis alergi, perlu anamnesis dan pemeriksaan yang

teliti untuk menentukan diagnosisnya.


Hal yang menyebabkan gejala semakin berat di pagi hari adalah tingginya

kelembaban udara di pagi hari, sehingga saat udara dingin maka akan semakin banyak

histamine yang di hasilkan. Seperti yang diketahui histamine adalah mediator yang

dihasilkan dari proses granulasi pada sel mast, setelah IgE bertemu dengan antigen.

Histamine akian merangsang n. vidianus sehingga menimbulkan gatal dan bersin

merangsang hipersekresi mukus dan vasodilatasi pembulh darah.

REFERENSI

Buku ajar Ilmu Kesehatan THTKL Ed. VI FKUI

Buku ajar Ilmu Kesehatan THTKL Ed. VII FKUI

Yunita, Andriana. Rinitis Vasomotor. Fakultas Kedokteran Bagian Ilmu Penyakit

Telinga Hidung Tenggorok Universitas Sumatera Utara. 2003

You might also like