You are on page 1of 13

PSIKOTROPIKA (ANTIPSIKOTIK) YANG

MENGINDUKSI GANGGUAN METABOLIK

REFERAT

Oleh:
Abdurrozzaq 122011101086
Annafira Yuniar 132011101026
Dokter Pembimbing:
dr. Justina Evy Tyaswati, Sp.KJ

KSM. PSIKIATRI RSD DR. SOEBANDI JEMBER


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS JEMBER
2018

1
PSIKOTROPIKA ( ANTIPSIKOTIK)
YANG MENGINDUKSI GANGGUAN METABOLIK

REFERAT

disusun untuk melaksanakan tugas Kepaniteraan Klinik Madya


KSM Psikiatri RSD dr. Soebandi Jember

Oleh:
Abdurrozzaq 122011101086
Annafira Yuniar 132011101026

Dokter Pembimbing:
dr. Justina Evy Tyaswati, Sp.KJ

KSM. PSIKIATRI RSD DR. SOEBANDI JEMBER


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS JEMBER
2018

2
BAB I
PENDAHULUAN

Psikofarmaka atau obat psikotropik adalah obat yang bekerja secara


selektif pada sistem saraf pusat (SSP) dan mempunyai efek utama terhadap
aktivitas mental dan perilaku, digunakan untuk terapi gangguan psikiatri yang
berpengaruh terhadap taraf kualitas hidup pasien.2
Psikotropik adalah obat yang mempengaruhi fungsi perilaku, emosi dan
pikiran yang biasa digunakan dalam bidang psikiatri atau ilmu kedokteran
jiwa.Sedangkan psikofarmakologi adalah ilmu yang mempelajari kimiawi,
mekanisme kerja serta farmakologi klinik dari psikotropik. Psikofarmakologi
berkembang dengan pesat sejak ditemukannya reserpine dan klorpromazin yang
ternyata efektif untuk mengobatan kelainan psikiatrik. Psikotropik hanya
mengubah keadaan jiwa pasien sehinga lebih kooperatif dan dapat menerima
psikoterapi dengan baik. Berdasarkan penggunaan klinik, psikotropi dapat
dibedakan menjadi 4 golongan yaitu antipsikosis, antidepresan, antianxietas dan
antimania.
Pada pengobatan menggunakan psikotropika selain diperoleh efek primer
yaitu sesuai target sindrom (indikasi penyakit) ,efek sekunder yang biasanya
membantu memperbaiki keadaan sementera semisal karena efek sedatif, terdapat
juga efek samping yang mana bisa menimbulkan berbagai macam gangguan,
salah satunya gangguan metabolik. Berbagai efek metabolik yang merugikan
terkait dengan obat psikotropika, termasuk antipsikotik,stabilisator mood dan
antidepresan diantaranya adalah diabetes mellitus, dislipidemia, endokrin,
hiperkalsemia ,hiperglikemia, hiperprolaktinemia, hyperosmolar, hyponatremia,
ketoacidosis , metabolisme lipid dan penambahan berat badan. Selain itu
berdasarkan beberapa penelitian, disebutkan bahwa efek samping dari obat
psikotropika muncul juga karena dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya
jenis kelamin dan umur.
Sindrom metabolik adalah sekelompok faktor resiko yang muncul pada
individu dan dapat menginduksi terjadinya penyakit arteri koroner, stroke dan

3
diabetes tipe 2. Gejala pada sindrom metabolik meliputi kadar kolesterol tinggi,
peningkatan tekanan darah, peningkatan gula darah dan obesitas. Terdapat dua
hubungan langsung antara gangguan psikiatri dan sindrom metabolik. Yang
pertama terkait kurangnya pengaturan pola makan dan olahraga pada pasien
dengan gangguan jiwa (psikiatrik), kedua penggunaan obat-obatan anti psikotik
yang beresiko tinggi terhadap timbulnya efek metabolik.
Sejak diperkenalkannya obat antipsikotik generasi kedua yang dimulai
dengan clozapine dan diikuti dengan risperidone, olanzapine, quetiapine,
ziprasidone, aripiprazole, asenapine, iloperidone, dan obat potensial lainnya,
seperti lurasidone terdapat perhatian yang lebih besar terhadap efek samping
penambahan berat badan dan gangguan metabolik. Meski efek metabolik pada
masing-masing obat anti psikotik tidak seragam, tetapi prevalensi terjadinya
gangguan metabolik pada penggunaan anti psikotik lebih besar dibandingkan
penggunaan obat-obatan golongan lainnya, terutama pada penggunaan jangka
panjang obat golongan olanzapine dan clozapine.
Berdasarkan terapi dengan regimen anti psikotik, pasien skizofrenia
memiliki resiko paling besar terhadap terjadinya efek metabolik, diikuti dengan
pasien dengan gangguan bipolar karena keduanya seringkali membutuhkan
pengobatan dengan anti psikotik yang dapat menimbulkan peningkatan gula darah
dan kolesterol pada level yang amat tinggi sehingga terjadi kenaikan berat badan
yang signifikan. Sebenarnya efek samping gangguan metabolik tersebut tidak
hanya ditimbulkan oleh obat golongan anti psikotik saja, namun juga dapat timbul
sebagai akibat penggunaan anti depresan seperti amitriptilin dan pengobatan
dengan agen anti mania misalnya valproat. Oleh karena itu, perlu dicari solusi
agar klinisi dapat mengontrol efek samping metabolik tersebut.

4
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 PSIKOTROPIKA (ANTIPSIKOSIS)

Psikofarmaka atau obat psikotropik adalah obat yang bekerja secara


selektif pada Sistem Saraf Pusat (SSP) dan mempunyai efek utama terhadap
aktivitas mental dan perilaku, digunakan untuk terapi gangguan psikiatrik yang
berpengaruh terhadap taraf kualitas hidup pasien. Obat psikotropik dibagi menjadi
beberapa golongan, diantaranya: antipsikosis, anti-depresi, anti-mania, anti-
ansietas, anti-insomnia, anti-panik, dan anti obsesif-kompulsif,. Pembagian
lainnya dari obat psikotropik antara lain: transquilizer, neuroleptic,
antidepressants dan psikomimetika.

ANTI PSIKOSIS
Obat anti psikosis mempunyai beberapa sinonim antara lain; neuroleptik
dan tranquilizer mayor. Salah satunya adalah chlorpromazine (CPZ), yang
diperkenalkan pertama kali tahun 1951 sebagai premedikasi dalam anastesi akibat
efeknya yang membuat relaksasi tingkat kewaspadaan seseorang. CPZ segera
dicobakan pada penderita skizofrenia dan ternyata berefek mengurangi delusi dan
halusinasi tanpa efek sedatif yang berlebihan.

2.1.1 Antipsikosis Golongan Tipikal


A. Golongan Fenotiazin .
Indikasi utama fenotiazin adalah skizofrenia gangguan psikosis yang
sering ditemukan. Gangguan yang sering diatasi oleh fenotiazin dan golongan
antipsikosis lain adalah: ketegangan, hiperaktivitas, combativennes, hostality,
halusinasi, delusi akut, anoreksia, negativisme dan menarik diri.
Pengaruhnya terhadap insight, judgement, daya ingat dan orientasi kurang.
Pemberian antipsikotik sangat memudahkan perawatan pasien. Domperidon
secara invitro merupakan antagonis dopamin, seperti CPZ. Obat ini diindikasikan
pada pasien mual dan muntah. Jadi efek obat ini mirip metoclopramid. Walaupun

5
antipsikosis ini sangat bermanfaat untuk mengatasi gejala psikosis akut, namun
penggunaan antipsikosi saja tidak mencukupi untuk merawat pasien psikotik.
Kontra indikasi untuk obat ini adalah penyakit hati, penyakit darah, epilepsi,
kelainan jantung, febris yang tinggi, ketergantungan alkohol, penyakit susunan
saraf pusat dan gangguan kesadaran.

B. Golongan Butirofenon
Indikasi utama obat golongan ini , semisal haloperidol ,adalah untuk
psikosis. Haloperidol mampu menenangkan keadaan mania penderita psikosis
yang karena hal tertentu tidak dapat diberi fenotiazin. Reaksi ekstrapiramidal
timbul pada 80% penderita yang diobati haloperidol. Struktur haloperidol berbeda
dengan fenotiazin pada orang normal efek haloperidol mirip fenotiazin piperazin.
Haloperidol memperlihatkan antipsikotik yang kuat dan efektif untuk fase mania
penyakit manik depresif dan skizofrenia.
Pada beberapa organ ,golongan ini mempunyai efek yaitu menenangkan dan
menyebabkan tidur pada orang yang eksitasi. Efek sedatif haloperidol kurang
kuat dibanding CPZ namun keduanya sama-sama memperlambat gelombang teta
jika dilihat dengan EEG. Keduanya juga sama-sama kuat dalam menurunkan
ambang konvulsi. Haloperidol cepat diserap dari saluran cerna. Kadar puncaknya
dalam plasma tercapai dalam 2-6 jam sejak menelan obat, menetap sampai 27 jam
dan masih ditemukan dalam plasma sampai berminggu-minggu. Obat ini
ditimbun dalam hati dan 1% obat diekskresikan lewat empedu. Ekskresinya
lambat melalui ginjal.

2.1.2 Antipsikosis Golongan Atypical


Risperidone dibandingkan dengan semua jenis antipsikotik atipikal,
risperidone merupakan yang paling banyak diteliti. Hal tersebut disebabkan
efektifitas risperidone yang memberikan perbaikan yang nyata pada pasien
skizofrenia . Rainer et al meneliti , penggunaan Risperidone dalam rentang dosis
fleksibel 0,5-2mg/hari dapat mengatasi agresi, agitasi dan gangguan psikotik

6
Risperidone juga secara umum dapat ditoleransi dan tidak menimbulkan efek
samping ekstra piramidial yang bermakna.
Kepustakaan mencatat risperidone dan olanzapine adalah dua
antipsikotik atipikal yang paling sering digunakan pada populasi pasien usia
lanjut. Penelitian tersamar berganda dilakukan selama 8 minggu terhadap 175
pasien rawat jalan, pasien rawat inap dan panti werdha yang berusia 60 tahun ke
atas menggunakan risperidone (1 mg to 3 mg/hari) atau olanzapine (5 mg to 20
mg/hari). Hasilnya terdapat perbaikan pada nilai skor PANSS pada kedua
kelompok. Efek samping ektrapiramidal terlihat pada 9,2% pasien kelompok
risperidone dan 15,9% pasien kelompok olanzapine. Secara umum skor total dari
Extrapyramidal Symptom Rating Scale menurun pada kedua kelompok di akhir
penelitian. Peningkatan berat badan juga didapatkan di dua kelompok namun
lebih jarang terjadi pada pasien yang menggunakan risperidone1.

2.2 SINDROM METABOLIT


Sindrom metabolik adalah istilah kedokteran untuk menggambarkan
kombinasi dari sejumlah kondisi, yaitu hipertensi (tekanan darah tinggi),
hiperglikemia (kadar gula darah tinggi), hiperkolesterolemia (kadar kolesterol
tinggi), dan obesitas, yang dialami secara bersamaan. Karena itu, seseorang tidak
dianggap mengalami sindrom ini apabila hanya menderita salah satu kondisi
tersebut.
Kriteria diagnosis sindrom metabolik dikeluarkan oleh Third Report of
the National Cholesterol Education Program (NCEP) dan Expert Panel on
Detection, Evaluation, and Treatment of High Blood Cholesterol in Adults adalah
yang paling umum dan secara luas digunakan, meski tidak diterima secara
universal. Keduanya mendeskripsikan sindrom metabolik dengan kriteria: obesitas
(lingkar pinggang yang besar; >40 inci pada laki-laki dan >35 inci pada
perempuan), BMI >30, dislipidemia (HDL<40 mg/dL dan trigliserida >150 mg/dL,
hipertensi (>130/85 mmHg) dan glukosa darah puasa >110 mg/dL.
Adanya prothombotic dinyatakan dengan elevasi plasminogen activator
inhibitor 1 (PAI-1) dan sitokin proinflamasi ditunjukkan dengan protein C-reaktif

7
yang meningkat adalah tanda lain dari sindrom metabolik. Sindrom metabolik
semakin meningkat secara umum di Amerika Serikat dan di negara berkembang
lainnya karena diet dan olahraga yang terbatas. Diperkirakan sekitar 20-25 persen
orang dewasa AS memiliki sindrom metabolik.

2.3 HUBUNGAN PSIKOPTROPIKA (ANTIPSIKOTIK) DENGAN


SINDROM METABOLIT
Pada pengobatan menggunakan psikotropika selain diperoleh efek primer
yaitu sesuai target sindrom (indikasi penyakit) ,efek sekunder yang biasanya
membantu memperbaiki keadaan sementera semisal karena efek sedatif, terdapat
juga efek samping yang mana bisa menimbulkan berbagai macam gangguan,
salah satunya gangguan metabolik. Berbagai efek metabolik yang merugikan
terkait dengan obat psikotropika, termasuk antipsikotik,stabilisator mood dan
antidepresan diantaranya adalah diabetes mellitus, dislipidemia, endokrin,
hiperkalsemia ,hiperglikemia, hiperprolaktinemia, hyperosmolar, hyponatremia,
ketoacidosis , metabolisme lipid dan penambahan berat badan. Selain itu
berdasarkan beberapa penelitian, disebutkan bahwa efek samping dari obat
psikotropika muncul juga karena dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya
jenis kelamin dan umur. Berikut efek metabolik terutama Sindrom metabolik
yang sering ditemukan pada penggunaan psikotropika golongan antipsikotik.

2.3.1 Antipsikotik dan Diabetes Melitus

Antipsikotik atipikal dianggap terobosan signifikan dalam pengobatan


gangguan psikotik, dengan frekuensi rendah atau tidak adanya efek samping
ekstrapiramidal. Secara bertahap muncul laporan kasus yang menunjuk ke
peningkatan kadar hiperglikemia dan diabetes melitus terkait dengan penggunaan
atypicals. Pada tahun 1999, Lindenmayer & Patel melaporkan kasus olanzapine-
induced diabetes ketoasidosis (DKA), yang memutuskan penghentian pengobatan
dengan olanzapine. Para penulis membahas peran olanzapine dalam menekan
pengeluaran insulin dan dalam menghasilkan respon hiperglikemia. Tovey et al.

8
(2005) membahas dua pasien yang dirawat dengan clozapine, yang kemudian
menderita diabetes melitus, saat tes darah rutin. Tingkat gula darah kembali ke
dalam kisaran normal setelah penghentian clozapine di salah satu pasien, tapi
tidak di yang lain. Para penulis membahas mekanisme clozapine yang mungkin
berkontribusi terhadap resistensi insulin melalui penurunan uptake glukosa dalam
otak dan jaringan perifer maupun gangguan fungsi sel β. Mereka menekankan
perlunya monitoring sebelum dan setelah memulai pengobatan dengan clozapine.

Penelitian Preklinis telah menunjukkan perbedaan antara antipsikotik


dalam respon terhadap pelepasan insulin. Best et al. (2005) mempelajari efek
clozapine dan haloperidol pada sel β pankreas tikus in-vitro. Para penulis
menunjukkan efek kontras clozapine dan haloperidol pada fungsi sel β pankreas.
Clozapine tidak berpengaruh pada membran potensial sel β saatkadar glukosa
darah puasa tapi hyperpolarizedmembran potensial ketika konsentrasi glukosa
tinggi. Sebaliknya haloperidol depolarized membran pada keadaan puasa dan saat
kadar glukosa terstimulasi. Efek dari dua obat pada aktivitas listrik hanya
sebagian menjelaskan efeknya pada pelepasan insulin. Clozapine menghambat
sekresi insulin dalam respon terhadap glukosa, yang dapat menjelaskan
hiperglikemia dan diabetes yang terkait dengannya, namun tidak mempengaruhi
'pelepasan insulin basal'. Menariknya, haloperidol tidak berpengaruh pada
pelepasan insulin.

2.3.2 Antipsikotik dan Penambahan Berat Badan

Peningkatan berat badan, terutama adipositas viseral, yang diukur dengan


lingkar pinggang, merupakan salah satu komponen kunci dari sindrom metabolik
dan pada kenyataannya adalah kriteria utama dalam definisi IDF. Meskipun kedua
Kraepelin dan Bleuler telah menjelaskan tentang perubahan berat badan pada
pasien jiwa selama perjalanan penyakit psikotik (Alison & Casey 2001), telah
membangkitkan hubungannya dengan penggunaan obat antipsikotik atipikal.
Penelitian obat psikiatri di Cina dari pasien yang memenuhi kriteria DSM-IV
untuk skizofrenia, dipelajari sebelum dan setelah 10 minggu pengobatan

9
antipsikotik, Zhang et al. (2004). Empat puluh enam pasien dibandingkan dengan
38 kontrol sehat. Selain pengukuran fisik dan tes biokimia, MRI digunakan untuk
mempelajari lemak abdomen subkutan (SUF) dan lemak intra-abdomen (IAF).
Setelah 10 minggu pengobatan, kelompok pasien menunjukkan peningkatan yang
signifikan dalam SUF dan IAF, dalam kadar leptin plasma, glukosa plasma dan
kadar lemak. Menariknya tidak ada perbedaan yang signifikan antara risperidone
dan chlorpromazine dan tidak ada korelasi yang nyata antara perubahan di Indeks
Masa Tubuh dan perbaikan klinis.

Allison et al. (1999) melakukan review komprehensif tentang literatur


penelitian untuk memperkirakan dan membandingkan efek antipsikotik
konvensional dan atipikal pada berat badan, menggunakan metodologi pencarian
yang sangat teliti. Hal ini diikuti oleh meta-analisis, dengan berat rata-rata
estimasi perubahan dihitung menggunakan kedua efek tetap dan model acak.
Terhadap pasien dengan dosis standar selama 10 minggu, para penulis
menghitung perkiraan titik berat badan untuk setiap obat. Berat badan yang
berhubungan dengan lima antipsikotik atipikal diperiksa dalam penelitian ini -
ziprasidone (0,04 kg), risperidone (2,10 kg), sertindole (2,92 kg), olanzapine (4,15
kg) dan clozapine (4,45 kg). Subjek yang menerima plasebo kehilangan berat
badan dalam kisaran 0,74 kg. Walaupun kedua antipsikotik konvensional
molindone dan pimozide berhubungan dengan berat badan, efek tidak signifikan
pada 10 minggu. Penelitian tersebut menunjukkan bahwa pasien bisa
mendapatkan peningkatan lebih dari 5% dari berat badan awal, dengan berat
badan menjadi lebih jelas dengan waktu, dan berdampak untuk kesehatan fisik
umum pasien. Almeras et al. (2004) mempelajari indeks antropometri dan
metabolik yang berhubungan dengan pengobatan antipsikotik atipikal, dalam
open-label, cross sectional, penelitian multi-center. Pasien diobati dengan
risperidone (n = 45) atau olanzapine (n = 42) sebagai pertama mereka 'dan
antipsikotik hanya' dipelajari. Dibandingkan dengan kelompok referensi, pasien
yang diobati dengan antipsikotik atipikal memiliki gula darah puasa yang tinggi,
kadar insulin dan resistensi insulin. Hasil penelitian menunjukkan perbedaan yang

10
signifikan antara olanzapine dan risperidone. Pasien diobati dengan olanzapine
memiliki profil metabolik secara signifikan lebih buruk dibandingkan dengan
mereka yang dirawat dengan risperidone, dengan lebih dari sepertiga dari
kelompok menunjukan adanya pinggang yanghypertriglyceridemic (lingkar
pinggang ≥ 90 cm, trigliserida ≥ 2,0 mmol / L).

2.3.3 Antipsikotik dan Trigliserida

Dyslipidaemia merupakan komponen penting dari sindrom metabolik,


yang terjadi bersama dengan disregulasi glukosa dan peningkatan berat badan
pada pasien yang diobati dengan antipsikotik atipikal. Pengobatan dengan
antipsikotik, baik konvensional maupun
atipikal, telah ditemukan untuk meningkatkan tingkat lipid dalam subjek yang
dipilih dari Kohort Finlandia Utara Kelahiran 1966. Dari 5.654% (67) dari 8.463
subjek dari kohort asli yang berpartisipasi dalam studi ini, 45 subyek menerima
pengobatan antipsikotik. 32 (71%) digunakan tipikal, 6 (13%) digunakan atipikal
dan 7 (16%) kedua jenis antipsikotik. Studi ini menemukan prevalensi tinggi
kolesterol total dan trigliserida dalam 45 subyek ditangani dengan antipsikotik
dibandingkan dengan 5609 yang tidak, bahkan setelah disesuaikan untuk faktor
resiko untuk hiperlipidemia. (Saari et al 2004). Peneliti menyarankan bahwa
patogenesis hiperlipidemia berhubungan dengan berat badan, dengan akumulasi
lemak perut meningkatkan pelepasan asam lemak bebas dalam hati dan
mempercepat sintesis trigliserida hati (VLDL). Mereka lebih lanjut menunjukkan
bahwa lipid meningkat mengganggu metabolisme glukosa, menyebabkan
hiperglikemia dan DM tipe 2.

2.3.4 Antipsikotik dan Hipertensi

Sebagaimana disebutkan di atas, Gupta et al. (2003) melaporkan prevalensi 29%


untuk hipertensi antara 208 pasien yang diobati dengan obat antipsikotik.
Meskipun demikian, hipertensi merupakan salah satu komponen dari sindrom
metabolik yang tidak umumnya terkait dengan pengobatan dengan antipsikotik

11
atipikal, dalam studi yang diidentifikasi oleh pencarian kita dan di literatur secara
umum

12
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Seseorang dengan gangguan jiwa berat memiliki perilaku yang berisiko
bagi kesehatan mereka pula. Mereka mungkin tidak mendapatkan perawatan yang
optimal untuk kondisi kesehatan mereka. Beban kondisi medis mereka bisa jadi
menghalangi pemulihan sepenuhnya dari kondisi kesehatan mereka. Pengobatan
menggunakan anti psikotik seringkali membuat penderita gangguan jiwa dapat
berpikir jernih, meningkatkan kemampuan kerja, keterampilan interaksi sosial
yang lebih baik dan sangat efektif bagi mereka dengan gangguan pikiran yang
mempengaruhi kemampuan mereka untuk berfungsi dalam masyarakat.

Meskipun pengobatan menggunakan anti psikotik terus dikembangkan


misal seperti anti psikosis atipikal yang menggantikan tipikal,yang mana memiliki
lebih banyak manfaat dibandingkan generasi sebelumnya, namun telah dibuktikan
juga bahwa ternyata obat tersebut juga memiliki efek samping yang berhubungan
sindrom metabolit. Sindrom metabolit tersebut ditandai dengan gejala
hipertensi ,peningkatan berat badan, diabetes dan hipertrigliseridemia. Oleh
karena itu, skrining untuk resiko metabolik dan kardiovaskular sebaiknya
dilakukan sebelum klinisi memberi anti psikotik pada pasien.
Skrining dasar ini harus meliputi pertanyaan mengenai riwayat individu
maupun keluarga dengan faktor resiko diabetes, pengukuran tekanan darah,
glukosa darah dan serum lipid. Pengurangan resiko diabetes termasuk peningkatan
aktivitas fisik, pengaturan pola makan, kontrol tekanan darah dan penurunan berat
badan dapat memberi dampak positif pada pasien dengan diabetes dan gangguan
jiwa, sehingga pasien dengan skizofrenia pun dapat diobati dengan tuntas.

13

You might also like