You are on page 1of 27

MAKALAH

HUKUM KETENAGAKERJAAN

“KETIDAKSUAIAN PENGUPAHAN KERJA LEMBUR”

DISUSUN OLEH :

Achmad Landy : NPM:13030036

Sri supatmi : NPM:13030029

Didit Yogananto: NPM:13030027

Suherman : NPM:13030032

TEKNIK INDUSTRI

FAKULTAS TEKNIKINDUSTRI

UNIVERSITAS SURYADARMA
KATA PENGANTAR

Assalaamu’alaikum. Wr. Wb.

Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan limpahan nikmat

kepada umatnya terutama nikmat iman,umur serta kesempatan sehingga pada

kesempatan ini kami dapat menyelesaikan makalah ini tepat pada waktunya.

Shalawat dan salam kami haturkan kepada junjungan kita Nabi Muhammad SAW

yang telah membawa kita menuju alam yang penuh dengan teknologi canggih.

Maksud penulis menyusun makalah ini adalah untuk memenuhi nilai tugas

yang membahas tentang salah satu permasalahan dalam dunia kerja yaitu

“Ketidaksuaian Pengupahan Kerja Lembur”. Selain memenuhi nilai tugas juga

untuk mengembangkan potensi ilmu pengetahuan khususnya dibidang Tentang

Hukum Ketenagakerjaan yang bertujuan untuk memudahkan kita dalam

memahami tentang pentingnya pengetahuan akan hak dan kewajiban sebagai

tenaga kerja dan segala permasalahan yang menyertainya

Sebagai insan biasa kami sadar akan ketidak sempurnaan makalah ini,

kekhilafan dalam penulisan atau penyusunan kata demi kata, dari itu kami mohon

maaf yang sedalam-dalamnya serta kritik dan saran yang bersifat membangun

demi kesempurnanan Makalah ini.


Demikianlah kata pengantar ini kami buat, mudah-mudahan makalah ini dapat

bermanfaat bagi orang lain, terutama bagi saya sebagai penyusun.

Wasalamu’alaikum. Wr. Wb.

Jakarta, 1 November 2017

Penyusun
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar belakang

Mewujudkan masyarakat adil dan makmur adalah salah satu tujuan Indonesia

merdeka. Oleh karena itu negara mempunyai kewajiban untuk menciptakan

kesejahteraan bagi rakyatnya secara adil. Salah satu instrumen perwujudan

keadilan dan kesejahteraan itu adalah hukum. Melalui hukum, negara berupaya

mengatur hubungan-hubungan antara orang perorang atau antara orang dengan

badan hukum. Pengaturan ini dimaksudkan supaya jangan ada penzaliman dari

yang lebih kuat kepada yang lemah, sehingga tercipta keadilan dan ketentraman di

tengah-tengah masyarakat.

Salah satu peraturan yang dibuat oleh pemerintah adalah peraturan yang

mengatur hubungan seseorang di dunia kerja. Pakta menunjukkan bahwa banyak

sekali orang yang bekerja pada orang lain ataupun bekerja pada perusahaan. Oleh

sebab itu hubungan kerja antara seorang pekerja dengan majikannya atau antara

pekerja dengan badan usaha perlu diatur sedemikian rupa supaya tidak terjadi

kesewenang-wenangan yang bisa merugikan salah satu pihak.


B. Rumusan Masalah

1. Dasar hukum ketenagakerjaan

2. Hak dan kewajiban pekerja

3. Hak dan kewajiban pengusaha

4. Tata kelola Pengupahan pekerja sesuai dengan Undang-Undang

Ketenagakerjaan

C. Tujuan

1. Untuk mengetahui Undang-Undang tentang ketenagakerjaan

2. Untuk mengetahui hak dan kewajiban sebagai karyawan/pekerja

3. Untuk mengetahui hak dan kewajiban sebagai pengusaha

4. Untuk mengetahui syarat dan ketentuan mendapatkan upah layak bagi

penghidupan kemanusian tenaga kerja

D. Ruang Lingkup Pembahasan

1. Subyek Pekerja : Sdr. AB dan Sdr. BC

2. Subyek Pengusaha : PT. XXX Jakarta Selatan

3. Objek : Upah Lembur


BAB II

PEMBAHASAN

A. Dasar Hukum Ketenagakerjaan dan Istilah-Istilah yang menyertainya.

Dasar hukum tentang ketenagakerjaan di Negara Indonesia adalah UU No. 13

tahun 2003. Di dalam BAB 1 Ketentuan Umum Pasal 1 UU No. 13 tahun 2003

terdapat beberapa istilah seperti ketenagakerjaan, tenaga kerja,pekerja, pengusaha,

perusahaan, perjanjian kerja, hubungan kerja, dan upah.

Tenaga kerja disebutkan dalam UU No. 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan

yaitu “Tenaga kerja adalah setiap orang yang mampu melakukan pekerjaan guna

menghasilkan barang dan/atau jasa baik untuk memenuhi kebutuhan sendiri maupun untuk

masyarakat.” Sedangkan pengertian dari ketenagakerjaan sesuai dengan Pasal 1

angka 1 UU No. 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan adalah “Ketenagakerjaan

adalah segala hal yang berhubungan dengan tenaga kerja pada waktu sebelum, selama, dan

sesudah masa kerja.”

Dalam Pasal 1 angka 3, pekerja/buruh ditafsirkan sebagai “setiap orang yang

bekerja dengan menerima upah atau imbalan dalam bentuk lain.”

Dalam Pasal 1 angka 5, pengusaha juga memiliki beberapa arti yaitu sebagai

“orang perseorangan, persekutuan, atau badan hukum yang menjalankan suatu

perusahaan milik sendiri.” atau “orang perseorangan, persekutuan, atau badan

hukum yang secara berdiri sendiri menjalankan perusahaan bukan miliknya” atau

“orang perseorangan, persekutuan, atau badan hukum yang berada di Indonesia


mewakili perusahaan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan b yang

berkedudukan di luar wilayah Indonesia.”

Dalam Pasal 1 angka 6, perusahaan adalah “setiap bentuk usaha yang berbadan

hukum atau tidak, milik orang perseorangan, milik persekutuan, atau milik badan

hukum, baik milik swasta maupun milik negara yang mempekerjakan

pekerja/buruh dengan membayar upah atau imbalan dalam bentuk lain” atau

“usaha-usaha sosial dan usaha-usaha lain yang mempunyai pengurus dan

mempekerjakan orang lain dengan membayar upah atau imbalan dalam bentuk

lain.”

Dalam Pasal 1 angka 14, perjanjian kerja adalah “perjanjian antara pekerja/buruh

dengan pengusaha atau pemberi kerja yang memuat syarat-syarat kerja, hak, dan

kewajiban para pihak.”

Dalam Pasal 1 angka 15, hubungan kerja adalah hubungan antara pengusaha

dengan pekerja/buruh berdasarkanperjanjian kerja, yang mempunyai unsur

pekerjaan, upah, dan perintah.

Dalam Pasal 1 angka 30, upah adalah hak pekerja/buruh yang diterima dan

dinyatakan dalam bentuk uang sebagai imbalan dari pengusaha atau pemberi kerja

kepada pekerja/buruh yang ditetapkan dan dibayarkan menurut suatu perjanjian

kerja, kesepakatan, atau peraturan perundangundangan, termasuk tunjangan bagi

pekerja/buruh dan keluarganya atas suatu pekerjaan dan/atau jasa yang telah atau

akan dilakukan.
Dalam Pasal 1 angka 31, kesejahteraan pekerja/buruh adalah suatu pemenuhan

kebutuhan dan/atau keperluan yang bersifat jasmaniah dan rohaniah, baik di dalam

maupun di luar hubungan kerja, yang secara langsung atau tidak langsung dapat

mempertinggi produktivitas kerja dalam lingkungan kerja yang aman dan sehat.

B. Hak dan Kewajiban sebagai Pekerja.

 Kewajiban-Kewajiban sebagai Pekerja tertuang dalam UU No. 13 Tahun 2003

antara lain :

1. Pasal 102 ayat ( 2 ) : Dalam melaksanakan hubungan industrial, pekerja dan

serikat pekerja mempunyai fungsi menjalankan pekerjaan sesuai dengan

keWajibannya, menjaga ketertiban demi kelangsungan produksi, menyalurkan

aspirasi secara demokrasi, mengembangkan keterampilan dan keahliannya

serta ikut memajukan perusahaan dan memperjuangkan kesejahteraan anggota

beserta keluarganya.

2. Pasal 126 ayat (1): Pengusaha, serikat pekerja dan pekerja Wajib melaksanakan

ketentuan yang ada dalam perjanjian kerja bersama

3. Pasal 126 ayat ( 2 ) : Pengusaha dan serikat pekerja Wajib memberitahukan isi

perjanjian kerja bersama atau perubahannya kepada seluruh pekerja.

4. Pasal136 ayat (1) : Penyelesaian perselisihan hubungan

industrial Wajibdilaksanakan oleh pengusaha dan pekerja atau serikat pekerja

secara musyawarah untuk mufakat

5. Pasal 140 ayat ( 1 ) : Sekurang kurangnya dalam waktu 7 (Tujuh) hari kerja

sebelum mogok kerja dilaksanakan, pekerja dan serikat


pekerja Wajib memberitahukan secara tertulis kepada pengusaha dan instansi

yang bertanggung jawab dibidang ketenagakerjaan setempat

 Hak-hak sebagai pekerja tertuang dalam UU No. 13 Tahun 2003 antara lain :

1. Pasal 5 : Setiap tenaga kerja memiliki kesempatan yang sama tanpa

diskriminasi untuk memperoleh pekerjaan

2. Pasal 6 : Setiap pekerja berHak memperoleh perlakuan yang sama tanpa

diskriminasi dari pengusaha

3. Pasal 11 : Setiap tenaga kerja berHak untuk memperoleh dan/atau

meningkatkan dan/atau mengembangkan kompetensi kerja sesuai dengan

bakat, minat dan kemampuannya melalui pelatihan kerja

4. Pasal 12 ayat (3) : Setiap pekerja memiliki kesempatan yang sama untuk

mengikuti pelatihan kerja sesuai dengan bidang tugasnya

5. Pasal 18 ayat (1) : Tenaga kerja berHak memperoleh pengakuan kompetensi

kerja setelah mengikuti pelatihan kerja yang diselenggarakan lembaga

pelatihan kerja pemerintah, lembaga pelatihan kerja swasta atau pelatihan

ditempat kerja

6. Pasal 23 : Tenaga kerja yang telah mengikuti program pemagangan

berHak atas pengakuan kualifikasi kompetensi kerja dari perusahaan atau

lembaga sertifikasi

7. Pasal 31 : Setiap tenaga kerja mempunyai Hak dan kesempatan yang sama

untuk memilih, mendapatkan atau pindah pekerjaan dan memperoleh

penghasilan yang layak didalam atau diluar negeri


8. Pasal 67 : Pengusaha yang mempekerjakan tenaga kerja penyandang cacat

wajib memberikan perlindungan sesuai dengan jenis dan derajat kecacatannya

9. Pasal 78 ayat (2) : Pengusaha yang mempekerjakan pekerja melebihi waktu

kerja sebagaimana dimaksud pada Pasal 78 ayat (1) wajib membayar

upah kerja lembur

10. Pasal 79 ayat (1) : Pengusaha wajib memberi waktu istirahat dan cuti kepada

pekerja

11. Pasal 80 : Pengusaha wajib memberikan kesempatan yang secukupnya kepada

pekerja untuk melaksanakan ibadah yang diwajibkan oleh agamanya

12. Pasal 82 : Pekerja perempuan berhak memperoleh istirahat selama 1,5 (satu

setengah) bulan sebelum saatnya melahirkan anak dan 1,5 (Satu setengah)

bulan sesudah melahirkan menurut perhitungan dokter kandungan atau bidan

13. Pasal 84 : Setiap pekerja yang menggunakan hak waktu istirahat sebagaimana

dimaksud dalam Pasal 79 ayat (2) huruf b, c dan d, Pasal 80 dan Pasal 82

berHakmendapatkan upah penuh

14. Pasal 85 ayat (1) : Pekerja tidak wajib bekerja pada hari-hari libur resmi

15. Pasal 86 ayat (1) : Setiap pekerja mempunyai Hak untuk memperoleh

perlindungan atas : Keselamatan dan kesehatan kerja, Moral dan kesusilaan dan

Perlakuan yang sesuai dengan harkat dan martabat manusia serta nilai-nilai

agama

16. Pasal 88 : Setiap pekerja berHak memperoleh penghasilan yang memenuhi

penghidupan yang layak bagi kemanusiaan


17. Pasal 90 : Pengusaha dilarang membayar upah lebih rendah dari upah

minimum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 89

18. Pasal 99 ayat (1) : Setiap pekerja dan keluarganya berHak untuk memperoleh

jaminan sosial tenaga kerja

19. Pasal 104 ayat (1) : Setiap pekerja berHak membentuk dan menjadi anggota

serikat pekerja

20. Pasal 137 : Mogok kerja sebagai Hak dasar pekerja dan serikat pekerja

dilakukan secara sah, tertib dan damai sebagai akibat gagalnya perundingan

21. Pasal 156 ayat ( 1 ) : Dalam hal terjadi pemutusan hubungan kerja, pengusaha

diwajibkan membayar uang pesangon dan uang penghargaan masa kerja serta

uang penggantiHak yang seharusnya diterima

C. Hak dan Kewajiban sebagai Pengusaha

 Kewajiban-Kewajiban sebagai Pengusaha tertuang dalam UU No. 13 Tahun

2003 antara lain :

1. Memperkerjakan tenaga kerja penyandang cacat wajib memberikan

perlindungan sesuai dengan garis dan derajat kecacatan nya.(Pasal 67 ayat 1UU

No 13 tahun 2003)

2. Pengusaha wajib memberikan/ menyediakan angkutan antar Jemput Bagi

Pekerja /Buruh Perempuan yang berangkat dan pulang pekerja antara pukul

23.00 s.d pukul 05.00(Pasal 76 (5) UU No.13 Tahun 2003)

3. Setiap Pengusaha wajib melaksanakan ketentuan waktu kerja. (Pasal 77 ayat

(1) s.d (4) (UU Ketenagakerjaan )


4. Pengusaha wajib Memberi Waktu Istirahat Dan Cuti Kepada Pekerja/Buruh

(Pasal 79 UU ketenaga kerjaan)

5. Pengusaha Wajib memberikan Kesempatan Secukupnya Kepada Pekerja Untuk

Melaksanakan Ibadah yang diwajibkan Oleh Agamanya (Pasal 80 UU

Ketenagakerjaan)

6. Pengusaha yang memperkerjakan Pekerja / Buruh Yang melakukan pekerja

Untuk Melaksanakan Ibadah yang Di wajib kan oleh agama nya (Pasal 80 UU

Ketenagakerjaan)

7. Pengusaha Yang Memperkerjakan Pekerja /Buruh yang melakukan pekerjaan

pada hari libur resmi sebagai mana di maksud pada ayat (2) Wajib membayar

Upah kerja lembur (Pasal 85 (3) UU Ketenagakerjaan )

8. Pengusaha yang mempekerjakan pekerja/buruh sekurang-kurang nya 10

(Sepuluh orang wajib membuat peraturan perusahaan yang mulai berlaku

setelah disahkan oleh mentri atau pejabat yang ditunjuk (Pasal 108 (1) UU

Ketenagakerjaan .

9. Pengusaha Wajib memberitahukan dan menjelaskan isi serta memberikan

naskah peraturan perusahaan atau perubahannya kepada pekerja/buruh .

10. Pengusaha wajib memberitahukan secara tertulis kepada pekerja /serikat

buruh,serta instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenaga kerjaan

setempat sekurang-kurang nya 7(Tujuh) hari kerja (Pasal 148 UU Ketenaga

kerjaan)
11. Dalam Hal terjadi pemutusan Kerja pengusah di wajib kan membayar uang

pesangon dan atau uang penghargaan masa kerja dan uang penggantian hak

yang seharusnya diterima (pasal 156 (1) UU ketenagakerjaan)

12. Dalam hal pekerja /buruh di tahan pihak yang berwajib karena di duga

melakukan tindak pidana bukan bukan atas pengaduan pengusaha,maka

pengusaha tidak wajib memberikan bantuan kepada keluarga pekerja,buruh

yang menjadi tanggungannya. (Pasal 160 ayat (1) UU ketenagakerjaan)

13. Pengusaha wajib membayar kepada pekerja ,buruh yang mengalami pemutusan

hubungan kerja sebagaimana di maksud pada ayat (3)dan ayat (5), uang

penghargaan masa kerja 1(satu) kali ketentuan pasal 156 ayat (4)

14. Untuk Pengusaha di larang membayar upah lebih rendah dari upah minimum

sebagaimana di maksud dalam pasal 89 (Pasal 90 UU Ketenagakerjaan)

15. Pengusaha Wajib MembayarUpah/pekerja/buruh menurut peraturan

perundang-undangan yang berlaku (pasal 91 UU Ketenagakerjaan )

16. Kewajiban Pengusaha lainnya bisa dilihat dalam pasal 33 ayat (2) UU

ketenagakerjaan

 Hak-Hak sebagai Pengusaha tertuang dalam UU No. 13 Tahun 2003 antara lain

1. Berhak sepenuhnya atas hasil kerja pekerja.

2. Berhak atas ditaatinya aturan kerja oleh pekerja, termasuk pemberian sanksi

3. Berhak atas perlakuan yang hormat dari pekerja

4. Berhak melaksanakan tata tertib kerja yang telah dibuat oleh pengusaha.
D. Tata kelola Pengupahan pekerja sesuai dengan Undang-Undang Ketenagakerjaan.

1. Cakupan Pengupahan

Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (“UU

Ketenagakerjaan”) pada Bab 10 mengatur tentang Pengupahan. Menurut Pasal 88

ayat (1) UU Ketenagakerjaan, setiap pekerja/buruh berhak memperoleh

penghasilan yang memenuhi penghidupan yang layak bagi kemanusiaan.

Kebijakan pemerintah mengenai pengupahan yang melindungi pekerja/buruh

meliputi:

a). upah minimum;

b). upah kerja lembur;

c). upah tidak masuk kerja karena berhalangan;

d). upah tidak masuk kerja karena melakukan kegiatan lain di luar pekerjaannya;

e). upah karena menjalankan hak waktu istirahat kerjanya;

f). bentuk dan cara pembayaran upah

g). denda dan potongan upah;

h). hal-hal yang dapat diperhitungkan dengan upah;

i). struktur dan skala pengupahan yang proporsional;

j). upah untuk pembayaran pesangon; dan

k). upah untuk perhitungan pajak penghasilan.


Pasal 89 UU Ketenagakerjaan mengatur bahwa upah minimum ditetapkan

pemerintah berdasarkan kebutuhan hidup layak dan dengan memperhatikan

produktivitas dan pertumbuhan ekonomi. Upah minimum dapat terdiri atas upah

minimum berdasarkan wilayah provinsi atau kabupaten/kota dan upah minimum

berdasarkan sektor pada wilayah provinsi atau kabupaten/kota.

2. Larangan dalam Pengupahan

Pengusaha dilarang membayar upah lebih rendah dari upah minimum sebagaimana

yang diatur dalam Pasal 89 UU Ketenagakerjaan. Dalam hal pengusaha yang tidak

mampu membayar upah minimum yang telah ditentukan tersebut, dapat dilakukan

penangguhan yang tata cara penangguhannya diatur dengan Keputusan Menteri

Tenaga Kerja dan Transmigrasi Republik Indonesia Nomor: KEP.231/MEN/2003

tentang Tata Cara Penangguhan Pelaksanaan Upah Minimum.

Kemudian, pengaturan pengupahan yang ditetapkan atas kesepakatan antara

pengusaha dan pekerja/buruh atau serikat pekerja/serikat buruh tidak boleh lebih

rendah dari ketentuan pengupahan yang ditetapkan peraturan perundang-undangan

yang berlaku. Jika kesepakatan tersebut lebih rendah atau bertentangan dengan

peraturan perundang-undangan, maka kesepakatan tersebut batal demi hukum, dan

pengusaha wajib membayar upah pekerja/buruh menurut peraturan perundang-

undangan yang berlaku.

3. Struktur Skala Upah

Pengusaha menyusun struktur dan skala upah dengan memperhatikan golongan,

jabatan, masa kerja, pendidikan, dan kompetensi. Peninjauan upah secara berkala
tersebut dengan memperhatikan kemampuan perusahaan dan produktivitas.

Ketentuan mengenai struktur dan skala upah diatur lebih lanjut dengan Keputusan

Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Republik Indonesia Nomor :

KEP.49/MEN/2004 tentang Ketentuan Struktur dan Skala Upah.

4. Kewajiban Pembayaran Upah

Upah tidak dibayar apabila pekerja/buruh tidak melakukan pekerjaan. Namun,

pengusaha wajib membayar upah apabila:

a) pekerja/buruh sakit sehingga tidak dapat melakukan pekerjaan;

b) pekerja/buruh perempuan yang sakit pada hari pertama dan kedua masa haidnya,

sehingga tidak dapat melakukan pekerjaan.

c) pekerja/buruh tidak masuk bekerja karena pekerja/buruh menikah, menikahkan,

mengkhitankan, membaptiskan anaknya, isteri melahirkan atau keguguran

kandungan, suami atau isteri atau anak atau menantu atau orang tua atau mertua

atau anggota keluarga dalam satu rumah meninggal dunia;

d) pekerja/buruh tidak dapat melakukan pekerjaannya karena sedang menjalankan


kewajiban terhadap negara;

e) pekerja/buruh tidak dapat melakukan pekerjaannya karena menjalankan ibadah


yang diperintahkan agamanya;

f) pekerja/buruh bersedia melakukan pekerjaan yang telah dijanjikan tetapi


pengusaha tidak mempekerjakannya, baik karena kesalahan sendiri maupun
halangan yang seharusnya dapat dihindari pengusaha;
g) pekerja/buruh melaksanakan hak istirahat;

h) pekerja/buruh melaksanakan tugas serikat pekerja/serikat buruh atas persetujuan


pengusaha; dan

i) pekerja/buruh melaksanakan tugas pendidikan dari perusahaan.

Pengaturan pelaksanaan ketentuan di atas, ditetapkan dalam Perjanjian Kerja,

Peraturan Perusahaan atau Perjanjian Kerja Bersama.

5. Perhitungan Upah Pokok

Dalam hal komponen upah terdiri dari upah pokok dan tunjangan tetap, maka

besarnya upah pokok sedikit-dikitnya 75% (tujuh puluh lima perseratus) dari

jumlah upah pokok dan tunjangan tetap.

6. Sanksi

Pelanggaran yang dilakukan oleh pekerja/buruh karena kesengajaan atau

kelalaiannya dapat dikenakan denda. Kemudian, pengusaha yang karena

kesengajaan atau kelalaiannya mengakibatkan keterlambatan pembayaran upah,

dikenakan denda sesuai dengan persentase tertentu dari upah pekerja/buruh.

Pengenaan denda kepada pengusaha dan/atau pekerja/buruh, dalam pembayaran

upah diatur oleh Pemerintah.

Dalam hal perusahaan dinyatakan pailit atau dilikuidasi berdasarkan peraturan

perundang-undangan yang berlaku, maka upah dan hak-hak lainnya dari

pekerja/buruh merupakan utang yang didahulukan pembayarannya.

7. Kadaluarsa

Tuntutan pembayaran upah pekerja/buruh dan segala pembayaran yang timbul dari
hubungan kerja menjadi kadaluarsa, setelah melampaui jangka waktu 2 (dua) tahun

sejak timbulnya hak. Ketentuan mengenai penghasilan yang layak, kebijakan

pengupahan, kebutuhan hidup yang layak, dan perlindungan pengupahan,

penetapan upah minimum, dan pengenaan denda diatur dengan Peraturan

Pemerintah.

E. Kasus

Dalam makalah ini kami akan mengambil satu kasus yang dialami oleh : Sdr. AB

dan Sdr. BC

sebagai pekerja serta PT. XXX Jakarta Selatan sebagai Pengusaha. Dalam kasus

ini pihak pekerja merasa telah dirugikan oleh pihak pengusaha dalam urusan

pembayaran upah khususnya upah lembur. Pihak pekerja selama ini tidak

mendapatkan bayaran upah atas pekerjaan yang telah dilakukan di luar jam kerja

wajib atau lebih dikenal dengan lembur.

Dalam kasus ini pihak pengusaha tidak memenuhi salah satu kewajibannya sebagai

pemberi kerja yaitu pihak yang mempekerjakan tenaga kerja dengan membayar

upah atau imbalan dengan bentuk lain. Pihak pekerja telah memenuhi segala

ketentuan perusahaan dengan bersedia untuk melakukan kerja lembur maupun

perjalanan dinas untuk pekerjaan di luar kota. Namun begitu, pihak pengusaha

tidak memberikan upah lembur sesuai dengan ketentuan yang telah ditetapkan oleh

pemerintah.
Upaya-upaya telah dikerahkan oleh pihak pekerja untuk menuntut hak mereka.

Mulai dari berbicara dengan atasan langsung hingga menghadap ke Departemen

HRD PT. XXX Jakarta Selatan sebagai pihak perwakilan perusahaan yang

mengurusi permasalahan karyawan. Walaupun begitu hasilnya nihil. Pihak

perusahaan berdalih jika pembayaran upah lembur dan perjalanan dinas telah

digabungkan dalam pembayaran gaji bulanan pekerja. Menurut perusahaan, pihak

pekerja telah setuju dengan kesepakatan tersebut sebelumnya dengan bukti

penandatanganan perjanjian kerja di awal jenjang karir.

Faktanya, dalam pembayaran gaji pekerja memang hanya menyertakan 2

komponen upah yaitu Gaji pokok dan Tunjangan mutasi. Jelas ini merupakan

pelanggaran yag dilakukan oleh pengusaha dalam menunaikan kewajibannya dan

memberikan hak-hak pekerjanya yang tertuang dalam pasal 78 ayat (1) UU No.13

tahun 2003 tentang ketenagakerjaan. Dalam pasal itu disebutkan bahwa pengusaha

yang mempekerjakan pekerja/buruh (karyawan) melebihi ketentuan waktu kerja

normal sesuai dengan pola waktu kerja yang ditentukan (dalam Pasal 77 ayat [2]

UUK) wajib membayar upah kerja lembur sesuai peraturan perundang-undangan

(yakni pasal 78 ayat [2] dan ayat [3] dan pasal 11 jo. pasal 10 dan pasal 8

Kepmenakertrans No. KEP-102/MEN/VI/2004 tentang Waktu Kerja Lembur dan

Upah Kerja Lembur).

Ketentuan waktu kerja lembur dan upah kerja lembur tersebut, tidak berlaku bagi

sektor usaha atau pekerjaan tertentu. Berdasarkan pasal 78 ayat (4) UUK untuk
sektor usaha atau pekerjaan tertentu diatur lebih lanjut secara khusus oleh Menteri

Tenaga Kerja dan Transmigrasi. Namun, hingga saat ini pengaturan mengenai

ketentuanwaktu kerja/waktu kerja lembur serta upah kerja lembur bagi sektor

usaha atau pekerjaan tertentu, baru ada 2 (dua)Peraturan,yakni:

1. Kepmenakertrans. No. 234/Men/2003 tentang Waktu Kerja dan Waktu Istirahat

Pada Sektor Usaha Energi dan Sumber Daya Mineral Pada Daerah Tertentu.

2. Permenakertrans. No. 15/Men/VII/2005 tentang Waktu Kerja dan Waktu

Istirahat Pada Sektor Usaha Pertambangan Umum Pada Daerah Operasi Tertentu.

Sedangkan untuk sektor usaha atau pekerjaan tertentu lainnya yang hingga saat ini

belum diatur secara khusus, dapat diperjanjikan oleh para pihak dalam Perjanjian

Kerja (PK) dan Peraturan Perusahaan (PP) atau Perjanjian Kerja Bersama (PKB)

dengan tetap mengindahkan ketentuan umum, yaitu:

a. Maksimum 7 jam per-hari untuk pola waktu kerja 6:1 atau maksimum 8 jam per-

hari untuk pola waktu kerja 5:2 (Pasal 77 ayat (2) UUK;

b. Apabila melebihi ketentuan waktu kerja yang ditentukan sebagaimana tersebut,

wajib diperhitungkan sebagai waktu kerja lembur dengan hak memperoleh upah

kerja lembur.;

c. Pelaksanaan waktu kerja lembur, harus memenuhi syarat-syarat, antara lain :

persetujuan (masing-masing) dari pekerja yang bersangkutan; waktu kerja lembur

hanya maksimum 3 (tiga) jam per-hari (untuk lembur pada hari kerja; dan
komulatif waktu kerja lembur per-minggu maksimum 14 jam, kecuali lembur

dilakukan pada waktu hari istirahat mingguan/hari libur resmi (Pasal 78 ayat (1)

UUK jo Pasal 3 ayat (2) Kepmenakertrans No. KEP-102/MEN/VI/2004.

Pada dasarnya, ketentuan mengenai lembur secara umum telah diatur dalam Pasal

77 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (“UU

Ketenagakerjaan”). Dalam pasal ini disebutkan:

(1) Setiap pengusaha wajib melaksanakan ketentuan waktu kerja.

(2) Waktu kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) meliputi:

a. 7 (tujuh) jam 1 (satu) hari dan 40 (empat puluh) jam 1 (satu) minggu untuk 6

(enam) hari kerja dalam 1 (satu) minggu; atau

b. 8 (delapan) jam 1 (satu) hari dan 40 (empat puluh) jam 1 (satu) minggu untuk

5 (lima) hari kerja dalam 1 (satu) minggu.

(3) Ketentuan waktu kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) tidak berlaku

bagi sektor usaha atau pekerjaan tertentu.

(4) Ketentuan mengenai waktu kerja pada sektor usaha atau pekerjaan tertentu

sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) diatur dengan Keputusan Menteri.

Adapun aturan khusus yang mengatur mengenai waktu kerja lembur dan upah

kerja lembur adalah Keputusan Menteri Tenaga Kerja Dan Transmigrasi Republik

Indonesia No. KEP-102/MEN/VI/2004 Tahun 2004 tentang Waktu Kerja Lembur

dan Upah Kerja Lembur (“Kepmenakertrans 102/VI/2004”).


Menurut Pasal 1 Kepmenakertrans 102/VI/2004, waktu kerja lembur adalah waktu

kerja yang melebihi 7 (tujuh) jam sehari dan 40 (empat puluh) jam 1(satu) minggu

untuk 6 (enam) hari kerja dalam 1 (satu) minggu; atau 8 (delapan) jam sehari dan

40(empat puluh) jam 1 (satu) minggu untuk 5 (lima) hari kerja dalam 1 (satu)

minggu; atau waktu kerja padahari istirahat mingguan dan atau pada hari libur

resmi yang ditetapkan Pemerintah.

pada dasarnya pengusaha wajib mematuhi ketentuan waktu kerja yang disebut

dalam Pasal 77 UU Ketenagakerjaan dan apabila melebihi waktu-waktu yang

disebut dalam Pasal 1 Kepmenakertrans 102/VI/2004, maka dinamakan waktu

kerja lembur.

Pengusaha yang mempekerjakan pekerja/buruh melebihi waktu kerja sebagaimana

dimaksud di atas berdasarkan Pasal 78 ayat (1) UU Ketenagakerjaan harus

memenuhi syarat:

ada persetujuan pekerja/buruh yang bersangkutan; dan

waktu kerja lembur hanya dapat dilakukan paling banyak 3 (tiga) jam dalam 1

(satu) hari dan 14 (empat belas) jam dalam 1 (satu) minggu.

Dalam konteks pertanyaan Anda, maka waktu kerja lembur yang dilakukan oleh

karyawan hampir setiap 2 sampai 3 hari di setiap minggunya itu pada dasarnya

hanya dapat dilakukan paling banyak 3 jam dalam satu harinya dan 14 jam dalam
satu minggunya. Oleh karena itu, perlu dilihat kembali berapa lama waktu lembur

yang dilakukan oleh karyawan.

Hal penting lainnya adalah lembur itu harus didasari oleh persetujuan karyawan

yang bersangkutan dan pengusaha yang mempekerjakan karyawan melebihi waktu

kerja wajib membayar upah kerja lembur.

Ini artinya, pemberian uang lembur dalam konteks pertanyaannya sifatnya bagi

perusahaan tersebut adalah wajib. Pemberian upah lembur didasarkan pada

lebihnya ketentuan waktu kerja yang seharusnya dan tidak dikaitkan dengan

sudahnya upah karyawan di atas UMP.

Menurut Pasal 90 ayat (1) UU Ketenagakerjaan, pengusaha dilarang membayar

upah lebih rendah dari upah minimum, baik upah minimum (UM)

berdasarkan wilayah propinsi atau kabupaten kota(yang sering disebut Upah

Minimum Regional, UMR) maupun upah minimum berdasarkan sektor pada

wilayah propinsi atau kabupaten/kota (Upah Minimum Sektoral, UMS). Dengan

kata lain, dibayarnya upah karyawan yang sudah melebihi UMP tidak serta merta

menghapuskan kewajiban perusahaan untuk memberi upah kerja lembur bagi

karyawannya yang bekerja lembur.

Intinya adalah pekerja merasa sangat dirugikan karena dengan dan/atau tanpa

melaksanakan kerja lembur akan tetap menerima upah yang sama.


BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Dalam ringkasan Undang-undang tentang Ketenagakerjaan, Hak dan

Kewajiban terhadap para tenaga kerja diatas dapat kita simpulkan, bahwa

hubungan antara pengusaha dengan tenaga kerja haruslah diselingi dan diimbangi

dengan adanya hak-hak dan kewajiban diantara keduanya supaya tidak terjadi

kesetimpangan atau penyalahgunaan kekuasaan. Oleh karena itu para tenaga kerja

dan pengusaha selaku pemegang kekuasaan haruslah patuh dan tunduk kepada

aturan-aturan yang berlaku didalam ruang lingkup kerjanya (Perjanjian kerja)

Para tenaga kerja mempunyai beban kewajiban yang tidak dapat dipisahkan

dalan status kerjanya, diantaranya para tenaga kerja harus menjaga ketertiban demi

kelangsungan produksi, menyalurkan aspirasi secara demokrasi, mengembangkan

keterampilan dan keahliannya serta ikut memajukan perusahaan dan

memperjuangkan kesejahteraan anggota beserta keluarganya, yang terpenting

melaksanakan ketentuan yang ada dalam perjanjian kerja bersama. Dengan

demikian maka para tenaga kerja akan secara otomatis mendapatkan hak-haknya

selaku tenaga kerja diantaranya memperoleh perlakuan yang sama

Dalam hal pemberian upah pekerja maka perusahaan sebaiknya

mempertimbangkan dan mematuhi peraturan tentang ketenagakerjaan yaitu

mengacu kepada UU No.13 tahun 2003.


Perusahaan hendaknya memberikan upah yang penuh, baik itu gaji pokok,

upah lembur, maupun tunjangan-tunjangan lain yang telah tersurat dalam peraturan

tersebut. Hal ini juga hendaknya dipenuhi demi tercapainya kondisi kerja yang

ideal bagi pengusaha dan pekerja demi mencapai kesejahteraan bersama.

Sebagai pekerja hendaknya kita juga memahami segala peraturan

perundang-undangan sebagai payung hukum bagi tenaga kerja. Agar kedepannya

dapat menuntut hak-haknya secara penuh sebagai tenaga kerja apabila dikemudian

hari ditemukan pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan oleh pengusaha atau

perusahaan.

B. Saran

1. Pekerja wajib mengetahui peraturan perundang-undangan sebagai payung hukum

tenaga kerja di Indonesia.

2. Jangan ragu untuk berkomunikasi dengan pihak perusahaan jika dirasa ada hak-hak

sebagai pekerja yang belum dipenuhi.

3. Utamakan musyawarah dengan serikat pekerja jika dirasa perlu untuk membantu

kelancaran proses mendapatkan hak-hak tersebut.

4. Cermati segala poin yang tertuang dalam perjanjian kerja sebelum menyetujuinya

dan tanyakan jika ada poin yang belum jelas kepada pihak perusahaan.
Makalah kami ini masih banyak terdapat kekurangan dan kekeliruan dalam hal segi

penulisan maupun materinya. Kami harap saran dan kritik yang membangun dari

para pembaca sekalian demi mencapai hasil yang lebih baik kedepannya.
DAFTAR PUSTAKA

Keputusan Menteri Tenaga Kerja Dan Transmigrasi Republik Indonesia No. KEP-

102/MEN/VI/2004 Tahun 2004 tentang Waktu Kerja Lembur dan Upah Kerja

Lembur.

Manulang, SH., 1995, Pokok-Pokok Hukum Ketenagakerjaan di Indonesia, Rineka

Cipta, Jakarta, Cetakan kedua

Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan

You might also like