Professional Documents
Culture Documents
BAB 1
PENDAHULUAN
dan Cu dalam cuplikan, dan untuk mengetahui reaksi-reaksi yang terjadi dalam
analisa kuantitatif Pb dan Cu.
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
Analisis kimia kuantitatif berkaitan dengan penetapan berupa banyak zat
tertentu yang terkandung dalam sampel. Zat yang ditetapkan tersebut yang seringkali
dinyatakan sebagai konstituen atau analit, menyusun entah sebagian kecil atau
sebagian besar sampel yang dianalisis. Jika zat yang dianalisa (analit) tersebut
menyusun lebih dari sekitar 1% dari sampel,maka analit ini dianggap sebagai
konstituen utama. Zat itu dianggap konstituen minor jika jumlahnya berkisar antara
0,01 hingga 1% dari sampel. Terakhir, suatu zat yang hadir hingga kurang dari 0,01%
dianggap sebagai konstituen perunut. (Underwood, 2002)
Timbal dan tembaga dapat berada di dalam badan perairan secara alamiah dan
sebagai dampak aktivitas manusia. Konsumsi Cu dan Pb dalam jumlah yang besar
dapat menyebabkan tembaga dan timbal bersifat toksik dan menimbulkan gejala-
gejala yang akut.(Deswati. Jurnal Optimasi Pb & Cu)
Unsur logam berat secara alamiah terdapat dalam air laut sangat rendah antara
10-5-10-2 ppm, sementara matrik sampel (kadar garam) cukup tinggi. Berbagai metode
analisis telah banyak dilakukan untuk penentuan logam Pb dan Cu seperti :
potensiometri dengan menggunakan elektroda selektif ion, polarografi dan
spektrofotometri serapan atom, tetapi metode tersebut tidak dapat mengukur kadar
ion-ion logam yang sangat kecil, walaupun sebelumnya telah dilakukan
prakonsentrasi (pemekatan) dengan cara ekstraksi pelarut. Oleh karena itu diperlukan
metoda alternatif yang dapat mengatasi masalah tersebut di atas (Deswati. Jurnal
Optimasi Pb & Cu)
Suatun metode analisis gravimetrik biasanya didasarkan pada reaksi kimia
seperti :
aA + rR AaRr
dimana a molekul analit, A bereaksi dengan r molekul reagennya R, produknya yakni
AaRr biasanya merupakan suatu substansi yang sedikit larut yang bisa ditimbang
120
setelah pengeringan, atau yang bisa dibakar menjadi senyawa lain yang komposisinya
diketahui, untuk kemudian ditimbang. Sebagai contoh, kalsium bisa ditetapkan secara
gravimetrik melalui pengendapan kalsium oksalat dan pembakaran oksalat tersebut
menjadi kalsium oksida (Underwood, 2002)
Mengukur volume larutan adalah jauh lebih cepat dibandingkan dengan
menimbang suatu berat suatu zat dengan suatu metode gravimetrik. Akurasinya sama
dengan metode gravimetri. Analisis volumetri juga dikenal sebagai titrimetri dimana
zat yang akan dianalisis dibiarkan bereaksi dengan zat lain yang konsentrasinya
diketahui dan dialirkan dari buret dalam bentuk larutan. Konsentrasi larutan yang
tidak diketahui (analit) kemudian dihitung. Syaratnya adalah reaksi harus berlangsung
secara cepat, reaksi berlangsung kuantitatif dan tidak ada reaksi samping. Selain itu
jika reagen penitrasi yang diberikan berlebih, maka harus dapat diketahui dengan
suatu indikator. (Khopkar, 2008)
Secara umum prosedur pembuatan larutan termasuk larutan baku primer dari
tahap-tahap yang hampir sama, namun di muka telah disinggung bahwa untuk zat
baku primer tertentu harus dilakukan langkah tambahan seperti pengeringan atau
pemurnian sebelum ditimbang. (Mulyono, 2005)
Iodometri, titrasi tak langsung ; semua oksidator yang akan ditetapkan
konsentrasi atau kadarnya direaksikan dengan ion iodida (I-) berlebih sehingga I2
dibebaskan. Baru kemudian I2 bebas ini dititrasi dengan larutan baku sekunder
Na2S2O3 dengan indikator amilum.
Iodimetri, titrasi langsung ; larutan I2 digunakan mengoksidasi reduktor secara
kuantitatif pada titik ekuivalennya. Namun, cara pertama ini jarang diterapkan karena
I2 merupakan oksidator lemah dan adanya oksidator kuat akan memberikan reaksi
samping dengan reduktor tadi. Adanya reaksi samping ini mengakibatkan
penyimpangan hasil penetapan. (Mulyono,2005)
Dalam hal lain, larutan Na2S2O3 yang terlibat dalam analisis iodium,
padatannya berair kristal sebagai Na2S2O3.5H2O (biasanya jumlah air kristalnya sukar
121
diduga seperti tertulis ). Ketika pembuatan larutan (saat pelarutan) terjadi reaksi (jika
ada CO2 dalam larutan) :
Na2S2O3 + CO2(g) + H2O NaHCO3 + NaHSO3 + S (s)
Larutan yang diperoleh karenanya menjadi lemah, namun larutan ini akan jernih oleh
mengendapnya belerang ke dasar bejana (dapat didekantasi). Efek reaksi penguraian
Na2S2O3 dengna adanya CO2 akan meningkatkan konsentrasi larutan (menyebabkan
penyimpangan pemakaian larutan). (Mulyono,2005)
Jika suatu zat larut sangat sedikit, katakan kurang dari 0,1gr zat terlarut dalam
1000gr pelarut, maka zat itu disebut tak larut (insoluble). Agaknya tak satupun zat
bersifat mutlak tak larut dalam suatu pelarut tertentu, tetapi banyak zat yang untuk
maksud-maksud praktis dianggap tak larut misalnya, kaca dalam air (Keenan, 1980)
Standarisasi larutan-larutan tiosulfat. Sejumlah substansui dapat dipergunakan
sebagai standar-standar primer untuk larutan-larutan tiosulfat. Iodin murni adalah
stamdar yang paling jelas namun jarang dipergunakan dikarenakan kesulitannya
dalam penanganan dan penimbangan yang lebih sering dipergunakan adalah standar
yang terbuat dari suatu agen pengoksidasi kuat yang akan membebaskan iodin dan
iodida, sebuah proses iodometrik (Underwood, 2002)
Analisis kualitatif berkaitan dengan identifikasi zat-zat kimia; mengenali
unsur atau senyawa apa yang ada di dalam suatu sampel. Umumnya dalam kuliah
kimia, para mahasiswa pertama kali dihadapkan dengan analisis identifikasi melalui
pengendapan dengan hidrogen sulfida. Produk-produk organik yang disintesis dalam
laboratorium bisa diidentifikasi dengan menggunakan teknik-teknik instrumentasi
seperti spektroskopi inframerah dan resonansi magnetik nuklir (Underwood, 2002)
122
BAB 3
METODOLOGI PERCOBAAN
3.1.2 Bahan
- Larutan cuplikan
- Larutan H2SO4 4 N
- Larutan KIO3 20%
- Larutan KIO3 0,1 N
123
- Amilum 1 %
- Etanol 70 %
- Kertas saring Whatman 12
- Larutan Na2S2O3
- Plastik hitam
- Karet gelang
- Aquadest
- Tissue
BAB 4
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.2 Reaksi
4.2.1 Reaksi Iodometri pembakuan Na2S2O3
Oksidasi : I- ½ I2
I- ½ I2 + e-
Reduksi : IO3- ½I2
IO3- ½I2 + 3H2O
IO3- + 6H+ ½I2 + 3H2O
IO3- + 6H+ + 5e- ½I2 + 3H2O
Redoks : I- ½ I2 + e- x5
IO3- + 6H+ + 5e- ½I2 + 3H2O x 1
5I- 5/2 I2 + 5e-
IO3- + 6H+ + 5e- ½I2 + 3H2O
½ Reaksi Erlenmeyer :
IO3- + 5I- + 6H+ 3I2 + 3H2O
Jumlah I2 yang dihasilkan bereaksi dengan Na2S2O3
Reduksi : 3I2 6 I-
3I2 + 6e- 6 I-
Oksidasi : 2S2O32- S4O62-
2S2O32- S4O62- + 2e-
Reduksi : I2 2I-
I2 + 2e- 2I-
Oksidasi : 2S2O32- S4O62-
2S2O32- S4O62- + 2e- Jumlah Na2S2O3 sama
dengan jumlah Cu2+
Redoks : I2 + 2e- 2I-
129
4.2.4 Amilum + I2
CH2OH CH2OH
H H H H
O O
H H + n I2
O OH H O O
OH H
n
H OH H OH
CH2I CH2I
H H H H
O O
H H
O O O + nHIO
OH H OH H
n
H OH H OH
4.3 Perhitungan
4.3.1. Konsentrasi Pb
𝐴𝑟 𝑃𝑏 1
% Pb = 𝑀𝑟 𝑃𝑏𝑆𝑂 x % endapan x 50
x 100%
4
207 1
= 303 x 0,99 x 50
x 100%
= 0,068 N
52,1 . M 1 = 25 . 0,1 N
25 .0,1
M1 = 52,1
2,5
= 52,1
= 0,04 N
4.4 Pembahasan
Iodimetri, titrasi langsung; larutan I2 digunakan untuk mengoksidasi reduktor
secara kuantitatif pada titik ekivalennya. Namun, cara ini jarang diterapkan karena I2
merupakan oksidator lemah dan adanya oksidator kuat akan memberikan reaksi
samping dengan reduktor tadi.
Iodometri, titrasi tidak langsung; semua oksidator yang akan ditetapkan
konsentrasi atau kadarnya direaksikan dengan ion iodida (I-) berlebih sehingga I2
dibebaskan. Kemudian I2 bebas ini dititrasi dengan larutan baku sekunder Na2S2O3
dengan indikator amilum.
Pada percobaan ini dilakukan analisa kunatitatif campuran Pb dan Cu.
Percobaan ini didasarkan atas metode gravimetri dan volumetri. Dimana untuk
menentukan kadar Pb digunakan metode gravimetri (pengendapan). Dan untuk
menentukan kadar Cu digunakan metode volumetri yaitu dengan titrasi iodometri.
Untuk menentukan kadar Pb digunakan metode gravimetri (pengendapan) dimana
dalam cuplikan yang mengandung Pb akan diendapkan sebagai PbSO4. Pada
gravimetri dihitung berat akhir dari endapan PbSO4 yang dikurang berat kertas saring
awal yang digunakan. Dan untuk menentukan kadar Cu digunakan metode volumetri
yaitu titrasi iodometri dimana dalam cuplikan yang mengandung Cu akan dititrasi
dengan Na2S2O3 dengan bantuan KI sebagai pemberi I2 bebas dan indikator amilum.
Pada volumetri dihitung kadar Cu dalam cuplikan dari seberapa banyak Na2S2O3
yang terpakai.
Pertama disiapkan larutan KIO3 0,1 N sebagai larutan standar primer lalu pada
larutan diberi H2SO4 4N. Larutan asam sulfat ini berfungsi sebagai autokatalisator,
131
pemberi suasana asam dan juga agar reaksi redoks pada KIO3 dan Na2S2O3 dapat
berlangsung. Tanpa asam sulfat reaksi redoks tidak akan terjadi. Kemudian
ditambahkan larutan KI 20%, larutan ini berfungsi sebagai pemberi I2 pada larutan.
Karena pemberian larutan KI berlebih akan membebaskan ion I2 sehingga dapat
bereaksi dengan indikator amilum, membuat warna larutan menjadi biru. Dalam
percobaan, ketika ditambahkan indikator amilum larutan memberi warna abu-abu
kebiruan, hal ini disebabkan oleh rusaknya indikator amilum sehingga warna larutan
tidak terlalu biru. Larutan amilum ini mudah rusak dikarenakan mudah
didekomposisi oleh bakteri, dan biasanya sebuah substansi, seperti asam borat,
ditambahkan sebagai bahan pengawet. Pemberian indikator amilum ini dilakukan
setelah larutan KIO3 diberi larutan KI, kemudian setelah larutan berubah warna
menjadi kuning gading (hampir mencapai TAT) baru ditambahkan indikator amilum
dan kemudian dititrasi kembali sampai larutan berubah warna menjadi bening.
Dilakukan penambahan amilum sebelum mencapai TAT dikarenakan, apabila
diberikan di awal maka I2 bebas akan bereaksi terhadap indikator amilum dan
menyebabkan pada saat titrasi, Na2S2O3 tidak bereaksi dengan I2 karena indikator
amilum telah mengikat I2 dengan kuat dari KI sehingga kadar Na2S2O3 sulit untuk
ditentukan. Setelah penambahan indikator tadi, kemudian dititrasi kembaliu dengan
Na2S2O3 sampai TAT, yang ditandai larutan berubah warna menjadi bening. Dan
didapatkan volume titrasi adalah 52.1 mL dan konsentrasi N2S2O3 yang didapatkan
adalah 0.04 N.
Pada saat pembakuan larutan Na2S2O3, larutan standar primer yang digunakan
yaitu KIO3 direaksikan dengan KI dan H2SO4 dimana warna larutan akan menjadi
coklat yang menandakan ion I2 bebas yang terkandung dalam larutan masih banyak.
Pada saat dititrasi dengan Na2S2O3 larutan berubah menjadi kuning gading yang
menandakan I2 telah bereaksi dengan Na2S2O3 namun tidak semua I2 bereaksi / belum
sempurna. Kemudian pada saat penambahan indikator amilum larutan menjadi
berwarna abu – abu kebiruan yang menandakan amilum berikatan dengan I2 bebas.
132
Dan dititrasi kembali dengan Na2S2O3 sehingga larutan sampai larutan bening yang
menandakan I2 dalam larutan telah habis bereaksi dengan Na2S2O3.
Pada tahap selanjutnya dilakukan penentuan kadar Pb dalam cuplikan.
Dimana penentuan kadar Pb ini dilakukan secara gravimetri yaitu dengan menghitung
berat endapan ion Pb. Untuk mendapatkan ion Pb, larutan cuplikan yang mengandung
campuran Pb dan Cu dipanaskan. Hal ini dilakukan untuk memekatkan larutan,
sehingga konsentrasi larutan menjadi besar dan juga untuk menghilangkan sedikit
hidrat yang terkandung dalam cuplikan. Setelah dipanaskan, larutan kemudian diberi
larutan H2SO4 4N. Larutan ini berfungsi untuk mengikat ion Pb yang terkandung
dalam cuplikan sehingga dapat membentuk endapan PbSO4 (endapan putih). Namun,
H2SO4 juga akan bereaksi dengan ion Cu sehingga membentuk larutan CuSO4 yang
larut dalam air. Perbedaan Ksp dari kedua ion ini membuat keduanya dapat terpisah
menjadi larutan ( CuSO4) dan endapan ( PbSO4). Hal ini disebabkan oleh nilai Ksp
CuSO4 lebih besar daripada nilai Ksp Pb yaitu, Ksp Pb = 2 x 10-8 dan Ksp dari Cu = 1
x 10-12. Larutan CuSO4 berwarna biru muda dan enadpan PbSO4 berwarna putih.
Setelah dilakukan proses pengendapan, kertas saring whatman 12 yang telah
dipanaskan kemudian disiapkan. Dipanaskan kertas saring ini untuk menghilangkan
kandungan air yang terdapat pada kertas saring, sehingga untuk mengukur berat
PbSO4 dapat diketahui dengan pasti. Dipanaskan pada suhu 105°C, agar air yang
terkandung dalam kertas saring dapat menguap. Dan pada suhu ini juga tidak
membuat kertas saring terlalu hangus. Suhu ini merupakan suhu optimum untuk
menguapkan air karena air memiliki titik didih sebesar 100°. Sehingga air menguap
pada suhu tersebut. Kemudian campuran larutan tadi, yang telah diendapkan
kemudian disaring dengan kertas saring whatman 12 dengan bantuan pompa vakum
dan corong Buchner. Digunakan kertas saring whatman 12 agar endapan Pb tidak ikut
tersaring, dengan cara melewati celah – celah pada kertas saring. Kemudian
campuran larutan tadi disaring, PbSO4 akan tertahan pada kertas saring dan larutan
CuSO4 akan tersaring dan tertampung pada Erlenmeyer Buchner. Kemudian setelah
133
disaring, endapan kemudian ditimbang endapan dan dilakukan perhitungan kadar Pb.
Didapatkan kadar Pb dalam cuplikan adalah 1.352 %.
Pada tahap selanjutnya dilakukan penentuan kadar Cu dalam cuplikan, dimana
larutan / filtrat yang telah disaring tadi, yang merupakan larutan yang mengandung
CuSO4, ditentukan kadarnya dengan cara titrasi iodometri. Pertama – tama cuplikan
tersebut diencerkan dalam labu takar 100 mL kemudian diambil sebanyak 50 mL
cuplikan. Pengenceran ini dilakukan untuk memperkecil konsentrasi larutan agar
pada saat titrasi, titran yang digunakan tidak terlalu banyak dan dapat ditentukan
dengan cepat dan mudah kadar dari Cu tersebut. Setelah dilakukan pengenceran,
kemudian cuplikan diberi larutan KI 20% yang berfungsi sebagai pemberi I2 bebas
pada larutan agar dapat bereaksi dengan Na2S2O3 dan indikator amilum. Pada saat
penambahan KI, larutan berubah menjadi warna kuning kecoklatan. Kemudian
larutan tersebut ditambahkan H2SO4 4N yang berfungsi sebagai autokatalisator dan
pemberi suasana asam. Kemudian dititrasi dengan larutan Na2S2O3 yang akan
membuat larutan berubah warna menjadi kuning gading.
Berubahnya warna larutan menandakan jumlah I2 yang terdapat dalam
cuplikan telah berkurang. Hal ini disebabkan Na2S2O3 telah mengikat I2 bebas yang
terdapat dalam larutan, namun masih ada I2 yang tersisa sehingga warna larutan
menjadi kuning gading. Kemudian penambahan indikator amilum membuat larutan
berubah menjadi warna abu – abu kebiruan yang disebabkan oleh diikatnya I2 bebas
oleh amilum. Kemudian dititrasi kembali sampai larutan berubah warna menjadi
bening. Dan didapatkan volume titrasi adalah 34 mL dan didapatkan kadar Cu dalam
larutan sebesar 0.068 N.
Adapun faktor kesalahan dalam percobaan ini adalah :
- Kesalahan dalam melakukan proses titrasi sehingga titran yang diberikan
berlebih.
- Kesalahan membaca skala pada buret.
- Kesalahan pengocokan sehingga larutan tidak bercampur.
134
BAB 5
PENUTUP
5.1 Kesimpulan
- Berdasarkan hasil percobaan dan perhitungan didapatkan kadar Pb dalam
cuplikan adalah sebesar 1, 352 % dan kadar Cu dalam cuplikan adalah sebesar
0,068 N.
- Berdasarkan percobaan didapatkan volume titrasi Na2S2O3 pada penentuan
kadar Cu dalam cuplikan adalah 52,1 mL sehingga dapat ditentukan
konsentrasi dari Na2S2O3 adalah 0,04 N.
- Berdasarkan hasil percobaan berat endapan PbSO4 adalah 0,99 gr.
5.2 Saran
Sebaiknya pada percobaan selanjutnya menggunakan air pembuangan dari
bengkel agar dapat ditentukan kadar Pb dan Cu di dalamnya.
136
DAFTAR PUSTAKA
Alaerts, G.Dr.Ir dan Ir. Sri Simestri Santika.1984. Metode Penelitian Air. Surabaya: Usaha
Nasional.
A.l. Underwood dan R.A Day, Jr.2002.Analisis Kimia Kuantitatif. Jakarta : Erlangga
Deswati, dkk. Jurnal Optimasi Penentuan Pb dan Cu Secara Serempak Dengan Voltametri
Stripping Adsorptif (AdSV). Universitas Andalas.