Professional Documents
Culture Documents
4. Patofisiologi
Cedera kepala dapat terjadi karena cedera kulit kepala, tulang kepala, jaringan
otak, baik terpisah maupun seluruh. Faktor yang mempengaruhi cedera kepala adalah
lokasi dan arah dari penyebab benturan, kecepatan kekuatan yang datang, permukaan dan
kekuatan yang menimpa, kondisi kepala ketika mendapat benturan. Tepat diatas
tengkorak terletak galea aponeurika, suatu jaringn fibrosa, padat dan dapat digerakan
dengan bebas yang membantu menyerap kekuatan eksternal. Diantara kulit dan galea
terdapat lapisan lemak dan membran dalam yang mengandung pembuluh-pembuluh
darah. Bila robek pembuluh ini akan sukar vasokontriksi. Tengkorak otak merupakan
ruangan keras sebagai pelindung otak atau rangka otak. Pelindung lain adalah meningen
yang merupakan selaput menutupi otak (Price dan Wilson, 2006).
Cedera kepala dapat bersifat terbuka (menembus durameter) atau truma tertutup
(trauma tumpul tanpa penetrasi menembus durameter). Cedera kepala terbuka
memungkinkan patogen lingkungan memiliki akses langsung ke otak. Pada kedua jenis
kepala akan terjadi kerusakan apabila pembuluh darah dan sel glia dan neuron hancur.
Kerusakan otak akan timbul apabila terjadi perdarahan dan peradangan yang
menyebabkan peningkatan tekanan intra kranial
Mekanisme cedera memegang peranan yang sangat besar dalam menentukan
berat ringannya konsekuensi patofisiologis dari suatu trauma kepala. Cedera percepatan
(aselerasi) terjadi jika benda yang sedang bergerak membentur kepala yang diam, seperti
trauma akibat pukulan benda tumpul, atau karena kena lemparan benda tumpul. Cedera
perlambatan (deselerasi) adalah bila kepala membentur objek yang secara relatif tidak
bergerak, seperti badan mobil atau tanah. Kedua kekuatan ini mungkin terjadi secara
bersamaan bila terdapat gerakan kepala tiba-tiba tanpa kontak langsung, seperti yang
terjadi bila posisi badan diubah secara kasar dan cepat. Kekuatan ini bisa dikombinasi
dengan pengubahan posisi rotasi pada kepala, yang menyebabkan trauma regangan dan
robekan pada substansi alba dan batang otak.
5. Klasifikasi
Cedera kepala bisa diklasifikasikan atas berbagai hal. Untuk kegunaan praktis,
tiga jenis klasifikasi akan sangat berguna, yaitu berdasar mekanisme, tingkat beratnya
cedera kepala serta berdasar morfologi (American College of Surgeon Committe on
Trauma, 2004, PERDOSSI, 2007).
I. Berdasarkan Mekanisme
a. Trauma Tumpul
Trauma tumpul adalah trauma yang terjadi akibat kecelakaan kendaraan bermotor,
kecelakaan saat olahraga, kecelakaan saat bekerja, jatuh, maupun cedera akibat
kekerasaan (pukulan).
b. Trauma Tembus
Trauma yang terjadi karena tembakan maupun tusukan benda-
bendatajam/runcing.
d. Perdarahan subarachnoid
Tanda dan gejala: Nyeri kepala, penurunan kesadaran, hemiparese, dilatasi pupil
ipsilateral dan kaku kuduk.
7. Pemeriksaan Fisik
Pada pemeriksaan fisik biasanya ditemukan:
1) Inspeksi
a) Pasien tampak meringis
b) Pasien tampak gelisah
c) Pasien berkeringat dingin
d) Pasien tampak pucat
e) Pasien kehilangan kesadaran
f) Pernafasan jadi dangkal dan cepat
g) Diaphoresis
h) Irama napas tidak teratur
2) Palpasi
a) Nyeri pada kepala
b) Denyut nadi meningkat
3) Auskultasi
a) Ada suara napas tambah
b) Bising usus menurun
Pemeriksaan status kesadaran dengan penilaian GCS (Glasgow Coma Scale) untuk
menilai tingkat kegawatan cedera kepala, yaitu:
1) Respon membuka mata (E):
Buka mata spontan :4
Bila dipanggil/rangsangan suara :3
Bila dirangsang nyeri :2
Tidak bereaksi dengan rangsang apapun : 1
2) Respon verbal (V):
Komunikasi verbal baik : 5
Bingung, disorientasi tempat, waktu dan orang : 4
Kata-kata tidak teratur : 3
Suara tidak jelas : 2
Tidak ada reaksi : 1
3) Respon motorik (M):
Mengikuti perintah :6
Melokalisir nyeri :5
Fleksi normal :4
Fleksi abnormal :3
Ekstensi abnormal :2
Tidak ada reaksi :1
8. Pemeriksaan Diagnostik
a. CT Scan (tanpa atau dengan kontras): mengidentifikasi adanya hemoragik,
menentukan ukuran ventrikuler, pergeseran jaringan otak. Catatan : Untuk
mengetahui adanya infark / iskemia jangan dilekukan pada 24 - 72 jam setelah injuri.
b. Angiografi serebral: menunjukkan kelainan sirkulasi serebral, seperti pergeseran
jaringan otak akibat edema, perdarahan, trauma.
c. X-Ray: mendeteksi perubahan struktur tulang (fraktur), perubahan struktur garis
(perdarahan / edema), fragmen tulang.
d. Serial EEG: Dapat melihat perkembangan gelombang yang patologis
e. Analisa Gas Darah: medeteksi ventilasi atau masalah pernapasan (oksigenasi) jika
terjadi peningkatan tekanan intrakranial.
f. Elektrolit: untuk mengkoreksi keseimbangan elektrolit sebagai akibat peningkatan
tekanan intrakranial.
g. BAER: Mengoreksi batas fungsi korteks dan otak kecil.
h. PET: Mendeteksi perubahan aktivitas metabolisme otak
i. CSF, Lumbal Punksi :Dapat dilakukan jika diduga terjadi perdarahan subarachnoid.
j. ABGs: Mendeteksi keberadaan ventilasi atau masalah pernapasan (oksigenisasi) jika
terjadi peningkatan tekanan intrakranial
k. Screen Toxicologi: Untuk mendeteksi pengaruh obat sehingga menyebabkan
penurunan kesadaran.
III. Terapi
Tujuan utama perawatan ini adalah mencegah terjadinya cedera sekunder terhadap
otak yang telah mengaalami cedera.
A. Cairan Intravena
Cairan intra vena diberikan secukupnya untuk resusitasi pasien agar tetap
normovolemik. Perlu diperhatikan untuk tidak memberikan cairan berlebih.
Penggunaan cairan yang mengandung glukosa dapat menyebabkan hyperglikemia
yang berakibat buruk pada otak yang cedera. Cairan yang dianjurkan untuk
resusitasi adalah NaCl 0,9 % atau RL. Kadar Natrium harus dipertahankan dalam
batas normal, keadaan hyponatremia menimbulkan odema otak dan harus dicegah
dan diobati.
B. Hyperventilasi
Tindakan hyperventilasi harus dilakukan secara hati-hati, hiperventilasi dapat
menurunkan PCO2 sehingga menyebabkan vasokonstriksi pembuluh darah otak.
Hiperventilasi yang lama dan cepat menyebabkan iskemia otak karena perfusi
otak menurun PCO2 < 25 mmHg , hiperventilasi harus dicegah. Pertahankan level
PCO2 pada 25 – 30 mmHg bila TIK tinggi.
C. Manitol
Diberikan dengan dosis 1 gram/kg BB bolus IV. Indikasi pasien koma yang
semula reaksi cahaya pupilnya normal, kemudian terjadi dilatasi pupil dengan atau
tanpa hemiparesis. Dosis tinggi tidak boleh diberikan pada pasien hypotensi
karena akan memperberat hypovolemia
D. Furosemid
Diberikan bersamaan dengan manitol untuk menurunkan TIK dan akan
meningkatkan diuresis. Dosis 0,3 – 0,5 mg/kg BB IV.
E. Steroid
Steroid tidak bermanfaat. Pada pasien cedera kepala tidak dianjurkan.
F. Barbiturat
Barbiturat bermanfaat untuk menurunkan TIK. Tidak boleh diberikan bila terdapat
hypotensi dan fase akut resusitasi, karena barbiturat dapat menurunkan tekanan
darah.
G. Antikonvulsan
Penggunaan antikonvulsan profilaksisi tidak bermanfaat untuk mencegah
terjadinya epilepsi pasca trauma. Phenobarbital & Phenytoin sering dipakai dalam
fase akut hingga minggu ke I. Obat lain yang bisa digunakan adalah diazepam dan
lorazepam.
10. Komplikasi
Komplikasi dari cedera kepala meliputi edema pulmonal, kejang, infeksi, bocor cairan
otak, hipertermia, masalah mobilisasi.
12. Prognosis
Pasien lansia mempunyai kemungkinan lebih rendah untuk pemuluhan dari cedera
kepala. Pasien anak-anak memiliki daya pemulihan yang baik.
3) Give comfort
Adanya nyeri kepala hebat yang bersifat akut dan dirasakan secara tiba-tiba,
nyeri yang dialami tersebut hilang timbul.
4) Head to toe
Daerah kepala : konjunctiva pucat, sclera jaundice.
Daerah dada : tidak ada jejas akibat trauma, bunyi jantung murmur, bunyi
napas wheezing.
Daerah abdomen : splenomegali
Daerah ekstremitas : penurunan kekuatan otot karena kelemahan, clubbing
finger (kuku sendok), perasaan dingin pada ekstremitas.
5) Inspect the posterior surface
Tidak ada jejas pada daerah punggung.
II. Diagnosa Keperawatan
1. Risiko ketidakefektifan perfusi jaringan serebral berhubungan dengan aliran arteri ke
cerebral terhambat
2. Nyeri akut berhubungan dengan agen cedera fisik
3. Mual berhubungan dengan peningkatan tekanan intrakranial
4. Resiko infeksi ditandai dengan pertahanan tubuh primer yang tidak adekuat (kerusakan
integritas kulit)
5. Hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan penurunan kekuatan otot
6. Kekurangan volume cairan berhubungan dengan perdarahan (kehilangan cairan tubuh
secara aktif).
7. Ketidakefektifan bersihan jalan napas berhubungan dengan gangguan sirkulasi pada
area batang otak.
8. Ketidakefektifan pola napas berhubungan dengan hiperventilasi
9. Defisiensi pengetahuan berhubungan dengan kurangnya pajanan informasi.
Arif, Mansjoer, dkk, 2009. Kapita Selekta Kedokteran. Media Aesculpius, Jakarta
Brunner & Suddarth. 2002. Buku Ajar Keperawatan Medikal-Bedah. Jakarta: Penerbit Buku
Kedokteran EGC.
Dochterman, Joanne McCloskey. 2004. Nursing Interventions Classification (NIC). St. Louis,
Missouri: Mosby Elsevier
Lynda Juall Carpenito, 2007. Buku Saku Diagnosis Keperawatan. Jakarta: EGC
Moorhead, Sue. 2008. Nursing Outcomes Classification (NOC). St. Louis, Missouri: Mosby
Elsevier
Price, Silvia A. Lorraine M. Wilson. 2006. Patofisiologi Konsep Klinis Proses Penyakit. Edisi
4 : EGC
Santosa, Budi. 2005. Panduan Diagnosa Keperawatan Nanda 2005-2006. Jakarta: Prima
Medika