Professional Documents
Culture Documents
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2007
PERNYATAAN MENGENAI TESIS
Tesis
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sain pada
Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2007
Judul Tesis : Kajian Pertumbuhan dan Kandungan Karaginan Rumput Laut
Kappaphycus alvarezii yang Terkena Penyaki Ice Ice di Perairan
Pulau Pari Kepulauan Seribu
Nama : Nur Masita Amiluddin
NRP : C 151030221
Program Studi : Ilmu Perairan
Disetujui
Komisi Pembimbing
Diketahui
Penulis
RIWAYAT HIDUP
DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR TABEL ...................................................................................... iii
DAFTAR GAMBAR ................................................................................. iv
DAFTAR LAMPIRAN ............................................................................. vi
PENDAHULUAN ...................................................................................... 1
Latar Belakang .................................................................................. 1
Perumusan Masalah .......................................................................... 2
Tujuan dan Manfaat .......................................................................... 3
Hipotesis ............................................................................................ 3
DAFTAR TABEL
Halaman
1 Komposisi kimia rumput laut K. alvarezii. ............................................. 6
2 Klasifikasi kriteria lokasi budidaya rumput laut K. alvarezii .................. 8
3 Parameter, alat dan satuan pengukuran ................................................... 21
4 Rata-rata parameter kualitas air di lokasi budidaya sebelah
barat dan utara pulau Pari......................................................................... 28
5 Perbandingan kualitas perairan di pulau Pari tahun 1997 dan 2002 ........ 38
6 Pertumbuhan mutlak, relatif dan sesaat rump ut laut di sebelah barat
dan utara pulau Pari.................................................................................. 46
7 Bobot dan penyusutan K. alvarezii di lokasi budidaya sebelah barat
dan utara pulau Pari.................................................................................. 48
iv
DAFTAR GAMBAR
Halaman
1 Alur pikir pendekatan masalah .............................................................. 4
2 Peta lokasi penelitian pulau Pari Kepulauan Seribu .............................. 18
3 Disain rakit dan pemasangan bibit rumput laut ..................................... 20
4 Bagan alir analisis karaginan ................................................................. 23
5 Rata-rata kecepatan arus di lokasi budidaya sebelah barat dan utara
Pulau Pari .............................................................................................. 29
6 Rata-rata kecerahan di lokasi budidaya sebelah barat dan utara
pulau Pari .............................................................................................. 30
7 Rata-rata suhu perairan di lokasi sebelah barat dan utara pulau
Pari ........................................................................................................ 31
8 Rata-rata pH di lokasi budidaya sebelah barat dan utara pulau Pari .... 32
9 Rata-rata kandungan oksigen terlarut di lokasi budidaya sebelah
barat dan utara.pulau Pari ...................................................................... 33
10 Rata-rata nitrat, nitrit dan amonia di lokasi budidaya sebelah
barat dan utara pulau Pari....................................................................... 35
11 Rata-rata kandungan total pospat dan ortho pospat di lokasi
budidaya sebelah barat dan utara pulau pari ......................................... 36
12 Luka bekas gigitan ikan pada tanaman uji .......................................... 37
13 Kotoran dan algae penempel pada tanaman uji yang menghalangi
Penyerapan ............................................................................................ 37
14 Sampah dan tumbuhan pengganggu di lokasi budidaya sebelah
barat dan utara pulau Pari ...................................................................... 38
15 Pertumbuhan rumput laut minggu 1-4 dan minggu ke5-8 dilokasi
budidaya barat pulau Pari ..................................................................... 40
17 Laju pengeroposan rumput laut tahap pertama (a) dan kedua (b)
di lokasi budidaya sebelah utara pulau Pari .......................................... 41
18 Permukaan thallus rumput laut yang kasar ........................................... 43
19 Rumput laut yang terkena penyakit di lokasi budidaya sebelah
barat dan utara pulau Pari ...................................................................... 43
20 Beberapa cara terinfeksi bakteri penyebab penyakit ice ice .................. 44
21 Pertumbuhan rumput laut normal di lokasi budidaya Halmahera
(Kusdi 2005) .......................................................................................... 45
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
1 Hasil pengukuran parameter kualitas air di lokasi budidaya
sebelah barat pulau Pari ......................................................................... 64
Latar Belakang
Rumput laut atau algae merupakan salah satu komoditas ekspor Indonesia
yang diandalkan untuk pemasukkan devisa negara. Komoditas ini memiliki nilai
ekonomis yang tinggi sebagai bahan makanan dan keperluan industri. Produksi
rumput laut untuk kebutuhan ekspor umumnya berasal dari algae merah
(Rhodophyceae).
Salah satu jenis rumput laut yang mempunyai potensi untuk dibudidayakan
di Indonesia adalah Kappaphycus alvarezii yang dulu dikenal sebagai Eucheuma
cottonii. Masyarakat pulau pari mengenal dan menyebut jenis rumput laut ini
dengan nama Eucheuma. Jenis ini menjadi komoditas ekspor karena permintaan
pasar sekitar 8 kali lebih banyak dari jenis lainnya (Sulistijo 2002). Bahkan
menurut Doty (1973) kebutuhan rumput laut jenis K. alvarezii adalah 10 kali lipat
dari persediaan alami di dunia. K. alvarezii adalah jenis rumput laut yang
diperlukan untuk usaha industri karena kandungan kappa karaginannya sangat
diperlukan sebagai bahan stabilisator, bahan pengental, pembentuk jel, dan
pengemulsi (Winarno 1996).
Komoditas rumput laut K. alvarezii mempunyai prospek yang cerah dalam
perdagangan untuk kebutuhan dalam negeri maupun luar negeri. Peningkatan
permintaan pasar dunia terhadap jenis ini memacu perkembangan budidaya.
Negara Filipina merupakan negara pertama yang dapat meningkatkan produksi
K. alvarezii melalui budidaya. Perkembangan budidaya di Indonesia mulai
tampak dapat memenuhi permintaan pasar sejak tahun 1980 setelah keberhasilan
budidaya di perairan Selatan Bali (Nusa Penida) dan terus meluas hampir
keseluruh perairan Indonesia termasuk pulau Pari.
Rumput laut K. alvarezii dewasa ini sedang giat dikembangkan oleh
pemerintah melalui usaha budidaya karena selain dapat meningkatkan pendapatan
nelayan juga menjadi sumber devisa negara. Rumput laut yang dibudidayakan
bertujuan untuk meningkatkan hasil dalam jumlah yang cukup besar dan kontinyu
dengan kualitas yang baik terutama untuk kebutuhan ekspor. Namun usaha
budidaya tersebut jika tidak ada pengelolaan yang baik dan tidak memperhatikan
2
kelestarian serta daya dukung lingkungan, maka dapat menurunkan kuantitas dan
kualitas hasil yang diperoleh.
Rumput laut yang dibudidayakan pada tahun 2000 mulai memperlihatkan
adanya kecenderungan penurunan hasil panen baik kuantitas maupun kualitas
dan menjadi permasalahan sampai sekarang. Masalah serius yang
menimbulkan kerugian cukup besar dalam budidaya rumput laut di pulau Pari
adalah penyakit ice ice (bercak putih). Penyakit ice ice merupakan penyakit
yang timbul pada musim laut tenang dan arus lemah dan berlangsung selama
1-2 bulan, setelah itu areal dapat ditanami kembali bila kondisi lingkungan
sudah normal (Sulistijo 2002). Namun apabila lahan ditanami terus tanpa
memperhatikan kondisi lingkungan, maka akan terjadi kerugian yang
berkelanjutan. Hal seperti ini terlihat di pulau Pari yakni para pembudidaya
terus menerus menggantikan tanaman yang rusak tanpa memperhatikan
kerugian dan kondisi kualitas lingkungan budidaya.
Sehubungan dengan hal tersebut maka perlu dilakukan penelitian untuk
mengetahui pertumbuhan dan kandungan karaginan pada saat rumput laut
terkena penyakit ice ice.
Perumusan Masalah
Musim barat tahun 2005 usaha budidaya rumput laut K. alvarezii di pulau
Pari menghadapi masalah penurunan produksi dan kualitas yang tidak dapat
diterima oleh pasar.
Permasalahan tersebut terjadi karena kekeroposan thallus rumput laut.
Proses kekeroposan thallus yang merupakan ciri dari penyakit ice ice sangat
cepat, sehingga sebagian besar produk tidak dapat dipanen.
Sumber penyebab timbulnya penyakit ice ice yaitu penurunan kualitas
lingkungan perairan. Munurunnya kualitas lingkungan perairan di pulau Pari
menyebabkan penurunan produksi, namun diperkirakan beberapa lokasi masih
mampu menunjang perkembangan budidaya rumput laut tersebut.
Sehubungan dengan permasalahan tersebut, maka perlu dilakukan
pengkajian usaha budidaya rumput laut di lokasi budidaya sebelah barat yang
merupakan perairan terbuka (luar gobah) dan utara yang merupakan perairan
3
Hipotesis
Produksi dan kualitas hasil budidaya rumput laut K. Alvarezii yang
dibudidayakan akan lebih baik di lokasi budidaya sebelah barat (luar gobah)
daripada di sebelah utara (gobah) pulau Pari walaupun terkena penyakit ice ice.
Unsur Hara
Intensitas Laju
Produksi Unsur Pertumbuhan
Primer Hara Rumput Laut
Suhu
Produksi
Keropos
Rumput Laut Rumput
Z<G
Laut
Oksigen Tingkat
Intensitas
perkembangan Biomassa
Serangan
Arus bakteri
Bakteri
Ice ice
Kappaphycus tumbuh pada daerah yang selalu terendam air (subtidal) atau
pada daerah surut (intertidal). Jenis ini sangat baik tumbuh pada daerah terumbu
karang (coral reef), sebab pada daerah inilah terdapat beberapa syarat untuk
pertumbuhan yaitu kedalaman perairan, cahaya, subsrat dan pergerakan air.
Selanjutnya Lobban dan Harison (1994) mengatakan bahwa alga tersebut tumbuh
dengan baik pada perairan terbuka dengan tingkat pergerakan arus yang tinggi. Di
alam bebas Kappaphycus tumbuh dan berkembang dengan baik pada salinitas
yang tinggi.
Komposisi kimia
Komposisi kimia rumput laut sebagian besar terdiri dari karbohidrat, juga
mengandung protein, lemak dan mineral (Hansen et al. 1981). Karbohidrat
merupakan komponen terbesar, terutama sebagai dinding sel dan sebagai jaringan
intraseluler. Menurut Kuntoro (1985) dalam Suryaningrum (1988) rumput laut
mengandung air 12,95-27,50%, protein 1,60-10,00%, karbohidrat 32,25-63,2%,
lemak 4,50-11,00%, serat kasar 3,00-11,40% dan abu 11,50-23%. Komposisi
kimia menurut Soegiarto dan Sulistijo (1985) dapat dilihat pada Tabel 1.
rendah hanya 1-2% saja. Selanjutnya dilaporkan juga kandungan vitamin seperti
vitamin A, B1, B2, B6, B12 dan C serta mengandung mineral seperti kalium,
kalsium, pospat, natrium, zat besi dan iodium (Araksi et al. 1984 dalam
Anggadireja et al. 1996). Rumput laut merupakan sumber koloid untuk agar-agar,
karaginan, algin, laminarin, fukoidin dll. Durant and Sanford (1970) membagi
koloid menjadi dua kelompok yaitu kelompok yang bernilai ekonomis tinggi yaitu
agar-agar, karaginan, algin dan ekonomis rendah yaitu laminarin, fukoidin dan
lainnya. Menurut Wei and Chin (1983) secara kimia karaginan mirip dengan
agar-agar, hanya karaginan mempunyai kandungan abu tinggi dan memerlukan
konsentrasi tinggi untuk membentuk larutan kental. Selajutnya menurut Food
chemical codex USA (1974) dalam Suryaningrum (1988) membedakan agar-agar
dan karaginan berdasarkan kandungan sulfatnya dimana karaginan minimal
mengandung 18% sedangkan agar-agar hanya mengandung sulfat sekitar 3-4%.
Budidaya K. alvarezii
Usaha budidaya terhadap beberapa jenis rumput laut telah berhasil
dikembangkan di beberapa negara. Di Indonesia baru jenis Eucheuma dan
Gracilaria saja yang dapat dibudidayakan. Percobaan budidaya rumput laut di
Indonesia pertama kali dilakukan oleh Soerjodinoto (1968) dari LON-LIPI
terhadap rumput laut jenis Eucheuma di perairan gugusan pulau Pari Kepulauan
Seribu (pulau Tikus) dengan menggunakan rakit dan substrat batu karang.
Kemudian sejak tahun 1974 LON-LIPI melanjutkan percobaan budidaya rumput
laut jenis Eucheuma di pulau Pari dengan mengikat bibit rumput laut pada tali
nilon dikerangka rakit bambu dan kerangka lepas dasar seperti yang telah
dilakukan di Philipina (Sulistijo 2002).
Kajian kriteria lokasi budidaya rumput laut dari segi kondisi tata letak dan
kualitas perairan sangat berperan dalam pencapaian hasil usaha budidaya rumput
laut. Indriani dan Sumiarsih (1999) mengatakan untuk memperoleh hasil yang
memuaskan dari usaha budidaya rumput laut hendaknya dipilih lokasi yang sesuai
dengan ekobiologi (persyaratan tumbuh) rumput laut sebagai berikut, (1) lokasi
budidaya harus bebas dari pengaruh angin topan, (2) tidak mengalami fluktuasi
salinitas yang besar, (3) mengandung makanan untuk pertumbuhan, (4) perairan
8
harus bebas dari predator dan pencemaran industri maupun rumah tangga, (5)
lokasi harus mudah dijangkau.
Secara rinci Atmadja et al.(1996) mengadakan klasifikasi penilaian lokasi
untuk budidaya hayati rumput laut K. alvareezii dengan kriteria baik dan cukup
baik (Tabel 2).
Parameter biologi antara lain rumput laut atau algae yang dibudidayakan
tidak terlepas dari pengaruh biologi perairan seperti hama dan penyakit. Salah
satu fungsi ekologi dari rumput laut dimana areal komonitas rumput laut dijadikan
spowning area dan nursery area oleh organisme laut yang dapat menjadi hama.
Hama rumput laut umumnya adalah organisme laut yang memangsa rumput laut
sehingga akan menimbulkan kerusakkan fisik terhadap thallus, dimana thallus
akan mudah terkelupas, patah ataupun habis dimakan hama.
Hama penyerang rumput laut dibagi menjadi dua menurut ukuran hama,
yaitu hama mikro merupakan organisme laut yang umumnya mempunyai panjang
kurang dari 2 cm dan hama makro yang terdapat dilokasi budidaya dan sudah
dalam bentuk ukuran besar atau dewasa. Hama mikro hidup menumpang pada
thallus rumput laut, misalnya larva bulu babi (Tripneustes sp.) yang bersifat
planktonik, melayang-layang di dalam air dan kemudian menempel pada tanaman
rumput laut. Beberapa hama makro yang sering dijumpai pada budidaya rumput
laut adalah ikan Beronang (Siganus sp.) bintang laut (Protoreaster nodosus), bulu
babi (Diademasetosum sp.), bulu babi duri pendek (Tripneustes sp.), Penyu Hijau
(Chelonia mydas), dan ikan Kerapu (Epinephellus sp.) (Ditjen Perikanan 2004).
Tumbuhan penempel dalam koloni yang cukup besar akan mengganggu
pertumbuhan rumput laut. Tumbuhan penempel tersebut antara lain adalah
Hipnea, Dictyota, Acanthopora, Laurensia, Padina, Amphiroa dan filamen seperti
Chaetomorpha, Lyngbya dan symploca (Atmadja dan Sulistijo 1977).
Metode budidaya
Metode yang akan digunakan tergantung pada kondisi lingkungan (lahan)
yang kita gunakan. Metode budidaya rumput laut dapat dilakukan dengan tiga
macam metode berdasarkan posisi tanaman terhadap dasar perairan yaitu :
(1) lepas dasar, (2) lepas dasar dan (3) metode rakit apung. Dari ketiga metode
tersebut yang sudah direkomendasikan oleh Direktorat Jenderal Perikanan (1997)
adalah metode lepas dasar dan metode rakit apung. Selanjutnya dikatakan metode
budidaya rumput laut jenis Eucheuma sp yang sudah memasyarakat di Indonesia
adalah :
10
dalam jaring agar sirkulasi air terjaga sementara. Bibit yang diperoleh adalah
bagian ujung tanaman (jaringan muda) umumnya memberikan pertumbuhan yang
baik dan hasil panenan mengandung karaginan yang lebih tinggi dibandingkan
dengan bibit dari sisa hasil panen atau tanaman tua (Indriani dan Sumiarsih 1999).
Saat yang baik untuk penebaran maupun penanaman bibit adalah pada saat
cuaca teduh (tidak mendung) dan yang paling baik adalah pagi hari atau sore hari
menjelang malam (Aslan 1998). Penanaman dengan sistem rakit ukuran 5 x 2 m
dengan jarak tanam 25 cm dibutuhkan bibit 8 kg sedangkan sistem tali rawe tiap
100 m tali rentang dengan jarak tanam 50 cm diperlukan bibit minimal 20 kg
(Sulistijo 2002). Selanjutnya dijelaskan bibit yang baik dan sehat pada lokasi
yang sesuai akan memberikan pertumbuhan yang baik, yang dapat diukur dengan
laju pertumbuhan. Laju pertumbuhan 3-5% per hari selama waktu penanaman
memberikan indikasi pertumbuhan rumput laut yang baik. Seminggu setelah
penanaman, bibit yang ditanam harus diperiksa dan dipelihara dengan baik
melalui pengawasan yang teratur dan kontinyu. Bila kondisi perairan kurang baik,
seperti ombak yang keras, angin serta suasana perairan yang dipengaruhi musim
hujan atau kemarau, maka perlu pengawasan 2-3 hari sekali, sedangkan hal lain
yang penting diperhatikan adalah menghadapi serangan predator dan penyakit
(Aslan 1998). Masa pemeliharaan rumput laut sampai saat panen apabila
menggunakan metode lepas dasar berkisar antara 1,5-2,0 bulan dan bahwa
pemanenan dilakukan bila rumput laut telah nencapai sekitar 4 kali berat awal
(Kolang et al. 1996).
Pasca panen
Rumput laut dapat dipanen dengan dua cara yaitu secara parsial dan total.
Pemanenan rumput laut secara parsial dilakukan dengan cara memisahkan
cabang-cabang dari tanaman induknya dan selanjutnya digunakan kembali untuk
penanaman berikutnya. Sedangkan pemanenan secara total dengan cara
mengangkat semua rumpun tanaman secara keseluruhan dan kemudian tanaman
yang muda (thallus bagian ujung) dipilih kembali untuk dijadikan bibit dan bagian
pangkalnya dikeringan (Anonymous 1990). Selanjutnya dikatakan bahwa cara
pertama lebih mudah, tetapi kecepatan tumbuh bibit yang berasal dari tanaman
12
induk lebih rendah dibandingkan dengan tanaman muda seperti pada pemanenan
total, kelebihan cara kedua selain kecepatan tumbuh bibit lebih tinggi juga
karaginan yang dikandungnya lebih tinggi.
Penanganan hasil panen yang tepat sangat penting karena pengaruh
langsung terhadap mutu dan harga penjualan di pasaran. Beberapa langkah yang
perlu dilakukan dalam proses pengeringan hasil panen adalah : (1) setelah
penimbangan berat basah kemudian ditebar untuk dikeringkan diatas para-para,
(2) setelah 2-3 hari rumput laut yang sudah cukup kering kemudian dicuci, (3)
pencucian dilakukan dengan air laut selama 5 menit, (4) dijemur kembali selama
0,5-1 hari, (5) selalu ditutupi pada malam hari atau pada saat hujan (6) Setelah
benar-benar kering dimasukkan ke dalam karung dan ditimbang, siap untuk
dipasarkan.
penetrasi pada badan tumbuhan yang tidak rentan, maka infeksi tidak akan terjadi.
Interaksi antara parasit dan tumbuhan inang terlihat dengan adanya gejala
penyakit dan biasanya gejala penyakit akan segera tampak setelah terjadinya
infeksi.
Infeksi mikroba penyebab penyakit ice ice sudah menjalar pada lokasi
perairan budidaya di pulau Pari, sehingga semua tanaman rumput laut yang
dibudidayakan di pulau Pari terkena penyakit ice ice dan menurunkan harga
dipasaran. Terjadinya penyakit dipengaruhi oleh berkembangnya jenis rumput
laut lain yang menempel atau epifit, ini didahului dengan rendahnya unsur hara
diperairan karena dengan berkembangnya rumput laut jenis lain akan
mengakibatkan penurunan unsur hara yang diperlukan oleh pertumbuhan
Kappaphycus (Direktorat Jederal Perikanan 1992). Sampai saat ini belum ada
metoda yang dapat diterapkan untuk mengendalikan penyakit ice ice tetapi untuk
mengurangi kerugian, maka tanaman harus dipanen sesegera mungkin kalau
penyakit telah berjangkit. Pencegahan penyakit dapat dilakukan dengan
memonitor adanya perubahan-perubahan lingkungan, terutama pada saat
terjadinya perubahan lingkungan disamping itu dilakukan penurunan posisi
tanaman lebih dalam untuk mengurangi penetrasi cahaya sinar matahari
(Direktorat Jenderal Perikanan 2004).
Penelitian terhadap bakteri yang menyebabkan penyakit pada K.
alvarezii ini pernah dilakukan oleh Laboratorium mikrobiologi P2O - LIPI dan
hasilnya diduga ada 8 jenis bakteri yang menimbulkan penyakit ice ice, namun
patogenitas bakteri tersebut belum diketahui. Kemudian dilanjutkan dengan
penelitian uji patogenitas dari 8 jenis bakteri tersebut yang hasilnya
menunjukkan hanya 5 bakteri yang dapat menimbulkan penyakit ice ice. Lima
bakteri tersebut adalah Pseudomonas nigricaciens, Pseudomonas fluorescens.
Vibrio granii, Bacillus cereus dan Vibrio agarliquefaciens. Sementara bakteri
Pseudomonas gelatica, Pseudomonas icthyodermis dan Bacillus megaterium
tidak memiliki patogenitas, sehingga tidak menyebabkan gejala penyakit ice
ice. Hasil uji patogenitas terhadap kelima bakteri tersebut dilanjutkan dan
ditemukan bakteri yang memiliki daya patogenitas tertinggi adalah Vibrio
agarliquefaciens (Nasution 2005). Sampai sekarang belum ditemukan cara
untuk membasmi penyakit ice-ice, namun upaya yang dilakukan adalah
berhenti menanam pada saat musim penyakit, sehingga dalam budidaya perlu
pemantauan lingkungan perairan dan memperhatikan musim dimana budidaya
harus dihentikan untuk sementara.
15
METODE PENELITIAN
Metode Pemeliharaan
Metode yang digunakan adalah metode rakit apung. Metode rakit apung
adalah penanaman yang dilakukan di permukaan air dengan menggunakan rakit
yang mengikuti gerakan naik turunnya air. Metode ini digunakan pada dasar
perairan yang keras, karena sukar untuk menancapkan pancang. Keuntungan dari
metode ini adalah pemangsaan oleh biota dasar dapat dikurangi karena tanaman
berada di atas jangkauan predator dan pencahayaan yang diterima lebih besar
untuk proses metabolisme dan pertumbuhan tanaman lebih baik.
Disain rakit
Penelitian ini menggunakan 10 buah rakit, berukuran masing - masing 120
x 120 cm dari bahan bambu sebagai kerangka tempat penanaman rumput laut.
Penghubung antar bambu digunakan tali nilon Polyethylen (P.E). Bahan-bahan
yang digunakan adalah potongan bambu berdiameter 10 cm yang dirangkai
dengan menggunakan tali nilon berdiameter 8 mm. Tali nilon berdiameter 4 mm
dianyam (tali ris) pada rakit dengan jarak anyam 30 cm. Pelampung botol plastik
dipasang pada ke empat sudut rakit sebagai penahan di permukaan, jerigen atau
gabus dengan bendera sebagai pelampung induk dipasang pada saat penebaran
dan pemberat (jangkar) dipasang pada tiap rakit dengan menggunakan tali nilon
berdiameter 9 mm (Gambar 3).
Rumput laut yang dijadikan benih adalah bagian ujung tallus (yang masih
muda) dari lokasi budidaya pulau Tikus yang ditimbang dengan bobot masing-
masing ikatan 125 g dan diikat pada anyaman tali ris dengan bantuan tali rafia.
Tiap rakit diperlukan 16 ikatan bibit rumput laut (2 kg), sehingga total bobot bibit
yang diperlukan untuk penanaman pada 10 buah rakit adalah 20 kg rumput laut K.
alvareezii. Disain rakit dan pengikatan benih rumput laut dilakukan di darat.
Penanaman benih
Sepuluh buah rakit ditebar pada kedalaman 30 cm di bawah permukaan air
yaitu 5 buah rakit di lokasi budidaya sebelah barat dan 5 buah rakit di lokasi
budidaya sebelah utara pada kedalaman laut 4 - 6 meter. Hasil yang diperoleh
diharapkan dapat diketahui parameter yang mempengaruhi pertumbuhan dan
20
kandungan karaginan dari dua lokasi yang berbeda saat rumput laut terkena
penyakit ice ice sebagai imformasi untuk pengembangan budidaya rumput laut
K. alvarezii selanjutnya.
Pengambilan air contoh untuk pengamatan pH, nitrat, nitrit, amonia, total pospat
dan ortho pospat dengan menggunakan botol plastik berwarna putih berukuran
250 ml. Sebelum dianalisis air contoh terlebih dulu disimpan pada suhu rendah
dalam peti es. Selajutnya air contoh di bawa ke laboratorium Produktivitas dan
Lingkungan Perairan (ProLing) Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan IPB.
Waktu perjalanan dari lokasi penelitian ke laboratorium Proling kurang lebih 7
jam.
Parameter biologi berupa biota pengganggu dan sampah diamati secara
visual. Pengukuran parameter lingkungan fisika, kimia dan biologi dirincikan
pada Tebel 3.
Teknik Pengamatan
Karakteristik pertumbuhan diamati dengan penimbangan bobot tanaman
satu ikatan untuk mengetahui pertambahan bobot. Pengamatan terhadap tanaman
dilakukan sekali setiap minggu pada kedua lokasi budidaya bersamaan dengan
pengukuran parameter lingkungan sampai minggu kedelapan (hari tanam kelima
puluh enam). Air contoh diambil pada kedua lokasi budidaya masing-masing 5
titik sampel di permukaan air dekat rakit rumput laut. Pengukuran bobot tanaman
menggunakan alat timbangan plastik 2 kg dengan ketelitian 0,1 g. Setiap rakit
22
diambil sampel sebanyak 2 ikat secara acak, sehingga tiap lokasi penanaman
diambil 10 ikatan rumput laut untuk pemantauan pertumbuhan. Pengambilan
sampel dengan memanen total yaitu mengangkat dua ikatan tanaman pada
masing-masing rakit dan ditimbang sebagai data bobot basah kemudian dilakukan
penjemuran + 3 hari. Agar hasilnya berkualitas tinggi rumput laut dijemur di atas
para-para dan tidak boleh ditumpuk. Rumput laut yang akan diambil karaginannya
tidak boleh terkena air tawar (dapat merusaknya) karena air tawar akan melarutkan
karaginan. Rumput laut yang telah kering ditimbang dengan menggunakan
timbangan digital untuk mendapatkan data bobot kering (bobot kering angin).
timbangan analitik. Berat hasil penimbangan dikurangi dengan berat wadah pada
waktu kosong, maka di peroleh berat karaginan bersih (g).
Analisis Data
1 Analisis pertumbuhan akan dilihat secara partumbuhan parsial yaitu
pertumbuhan yang dilihat antar waktu yang dinyatakan menurut (Affandi et al.
2002) dengan rumus sebagai berikut :
a. Pertumbuhan mutlak = Wt1 – Wt0
Wt 1 − Wt 0
b. Pertumbuhan relatif = x 100%
Wt 0
Dimana : Wt = Pertumbuhan pada waktu t
Wt0 = Pertumbuhan pada waktu awal
2 Analisis kualitas rumput laut meliputi kandungan karaginan, kadar air dan
kadar abu. Untuk mendapatkan persentase karaginan dihitung menurut
(Ainsworth and Blanshard 1980) dengan rumus sebagai berikut :
berat karaginan
Karaginan = x 100%
berat sampel algae
Untuk mendapatkan presentase kadar air dan kadar abu dihitung menurut
(Patadjai 1993) dengan rumus sebagai berikut:
kehilangan bobot
Kadar air = x 100%
berat contoh
Bobot abu
Kadar abu = x 100%
berat contoh
Hasil olahan data disajikan dalam bentuk gambar dan tabel.
3 Untuk melihat perbedaan parameter di lokasi budidaya sebelah barat dan utara
dilakukan uji beda dengan menggunakan uji t student (Bengen 2000).
Hipotesis
Ho = tidak terdapat perbedaan nyata antara lokasi barat dan utara
H1 = terdapat perbedaan nyata antara lokasi barat dan utara
Rumus t - hitung sebagai berikut :
Kaidah keputusan :
t hit < ttab (α = 0,05), n1+ n2-2, terima Ho
t hit > ttab (α = 0,05), n1+ n2-2, tolak Ho
4 Untuk melihat karakterisrik kedua lokasi budidaya digunakan analisis PCA
dengan menggunakan sover EXTAT versi 06.
5 Untuk analisis hubungan pertumbuhan dan karaginan dengan unsur hara
menggunakan analisis regresi ganda. Hasil analisis diuji dengan analisis ragam
(Anova) untuk melihat beda nyata pada taraf (P<0,05) dengan bantuan
program komputer Statistical Software Minitab versi 13.
6 Untuk analisis hubungan kandungan karaginan dengan waktu pengamatan
digunakan regresi kuadratik dan linear.
26
Faktor fisika
Arus
Kecepatan arus merupakan faktor penentu lama waktu keberadaan
substansi gas, unsur hara terlarut dan padatan partikel berada pada suatu habitat
dan kolom air. Kecepatan arus secara tidak langsung menjadi penentu suplai unsur
hara, pembersih / pengangkut padatan partikel yang dapat menempel pada rumput
laut dan mengatasi kenaikan tempratur air laut yang tajam.
29
Kecepatan arus di lokasi barat berkisar antara 2,50-5,56 cm/det dengan rata-
rata 4,5 cm/det dan standar deviasi 1,20, sedangkan lokasi budidaya utara
kecepatan arus berkisar antara 1,62-2,14 cm/det dengan rata-rata 1,88 cm/det dan
standar deviasi 0,179. kecepatan arus di lokasi barat mulai minggu kesatu sampai
minggu keempat hampir sama dengan kecepatan arus + 5 cm/det kemudian
menurun sampai minggu kedelapan. Kecepatan arus di lokasi utara dari minggu
kesatu sampai minggu kedelapan terus terjadi penurunan yaitu dari 2,10 cm/det
menjadi 1,66 cm/det (Gambar 5 Lampiran 1 & 2).
Barat
7 Utara
Kec Arus (cm/det)
6
5
4
3
2
1
0
0 1 2 3 4 5 6 7 8
Waktu pengamatan (minggu)
Kecerahan
Kecerahan perairan merupakan salah satu faktor penting untuk
pertumbuhan algae, sebab rendahnya kecerahan mengakibatkan cahaya matahari
yang masuk ke dalam perairan berkurang. Intensitas sinar yang diterima secara
sempurna oleh thallus merupakan faktor utama dalam proses fotosintesis, tetapi
30
barat
3 Utara
Kecerahan (m)
1
0 1 2 3 4 5 6 7 8
w aktu pengamatan (minggu)
Kecerahan perairan di lokasi barat dan utara secara statistik berbeda sangat
nyata (Lampiran 3), dimana kecerahan tertinggi di lokasi budidaya barat.
Kecerahan pada lokasi barat dari minggu kesatu sampai minggu kelima
berfluktuasi kemudian stabil. Kecerahan di lokasi utara dari minggu kesatu
sampai minggu kedelapan dapat dikatakan stabil. Tingkat kecerahan di kedua
lokasi masih di atas 1,5 m dan bila dibandingkan dengan kriteria kesesuaian lahan
budidaya, maka tergolong cukup baik. Berdasarkan pemantauan, lokasi budidaya
barat tergolong lebih baik dari lokasi utara karena masih terdapat kondisi air yang
jernih. Hal ini didukung oleh Direktorat Jenderal Perikanan (1997) bahwa kondisi
air yang jernih dengan tingkat transparansi sekitar 1,5 m cukup baik bagi
pertumbuhan rumput laut dan yang terbaik adalah 5 m ke atas.
Suhu
Rumput laut mempunyai kisaran suhu yang spesifik karena adanya enzim
pada rumput laut yang tidak dapat berfungsi pada suhu yang terlalu dingin
maupun terlalu panas Dawes (1981). Suhu perairan mempengaruhi laju
31
fotosintesis dan dapat merusak enzim serta membran sel yang bersifat labil
terhadap suhu yang tinggi. Pada suhu yang rendah, membran protein dan lemak
dapat mengalami kerusakan sebagai akibat terbentuknya kristal didalam sel,
sehingga mempengaruhi kehidupan rumput laut, seperti kehilangan hidup,
pertumbuhan dan perkembangan, reproduksi, fotosintesis dan respieasi (Laning,
1990).
Kisaran suhu di lokasi budidaya sebelah barat berkisar antara 27-30 °C
dengan rata-rata 28,6 °C dan standar deviasi 1,59, sedangkan suhu di lokasi utara
berkisar antara 30-31 °C dengan rata-rata 30,2 °C dan standar deviasi 0,67
(Gambar 7 Lampiran 1 & 2).
34 Barat
utara
33
32
Suhu ( oC)
31
30
29
28
27
26
0 1 2 3 4 5 6 7 8
Waktu pengamatan (minggu)
berhadapan dengan laut lepas. Sementara di lokasi utara (gobah) agak tertutup
karena terhalang oleh pulau, sehingga lokasi barat lebih baik daripada lokasi utara.
Hal ini didukung oleh Nontji (1993) bahwa di gobah (lagoon) yang terperangkap
dijumpai suhu yang panas dan apabila air surut pada siang hari kadang-kadang
bisa mencapai 35 °C. Suhu perairan yang tinggi akan mengakibatkan thallus
rumput laut pucat kekuning- kuningan yang menyebabkan rumput laut tidak sehat
dan inilah salah satu kondisi bisa terinfeksi bakteri ice ice (Sulistijo 1996).
Faktor kimia
pH
pH merupakan faktor penting dalam kehidupan rumput laut diantara
faktor-faktor lingkungan lainnya. Setiap organisme mempunyai toleransi tertentu
terhadap pH, sama halnya dengan rumput laut yang memerlukan kondisi pH
perairan yang khas untuk kehidupannya. Nilai pH di lokasi barat berkisar antara
8,0-8,4 dengan rata-rata 8,2, dan standar deviasi 0,1455, sedangkan di lokasi utara
berkisar antara 7,1-7,4 dengan rata-rata 7,3 dan standar deviasi 0,0807 (Gambar 8
Lampiran 1 & 2). Kadar pH selama masa pemeliharaan di kedua lokasi budidaya
tidak mempengaruhi pertumbuhan tanaman uji. Menurut Chapman (1962) hampir
seluruh algae menyukai kisaran pH 6,8-9,6, sehingga pH bukanlah masalah bagi
pertumbuhannya. pH yang baik bagi kehidupan dan pertumbuhan Eucheuma sp.
berkisar antara 7-9 dengan kisaran optimum 7,3-8,2. (Zatnika 1988).
Barat
9 utara
8
pH
6
0 1 2 3 4 5 6 7 8
Waktu pengamatan (minggu)
Oksigen terlarut
Oksigen dihasillkan dari tanaman rumput laut dan menjadi kelanjutan
kehidupan biota perairan karena dibutuhkan oleh hewan dan tanaman air,
termasuk bakteri untuk respirasi. Fitoplankton juga membantu menambah jumlah
kadar oksigen terlarut pada lapisan permukaan diwaktu siang hari sebagai hasil
dari proses fotosintesis. Proses pertukaran oksigen antara udara dan laut
dipengaruhi oleh difusi, pergantian air yang ada di permukaan dan oleh
gelembung udara yang terjadi pada saat turbulensi (Sijabat 1973 in Kusdi 2005).
Kandungan oksigen terlarut di lokasi budidaya barat berkisar antara 3,96-
6,96 mg/l dengan rata-rata 5,59 mg/l dan standar deviasi 0,10, sedangkan di lokasi
budidaya sebelah utara kisaran oksigen terlarut antara 3,90-4,86 mg/l dengan rata-
rata 4,63 mg/l dan standar deviasi 0,03 (Gambar 9 Lampiran 1 & 2). Perbedaan
kandungan oksigen kedua lokasi tersebut secara statistik berbeda nyata. Oksigen
terlarut di lokasi barat dari minggu kesatu sampai minggu keempat berkisar antara
6,52-6,78 mg/l kemudian menurun pada minggu kelima sampai minggu kedelapan
dengan kisaran 3,96-4,5 mg/l. Kandungan oksigen terlarut di lokasi utara pada
minggu kesatu sampai minggu kedelapan tidak ada perbedaan yang menyolok dari
rata-rata 4,6 mg/l. Perbedaan oksigen pada kedua lokasi budidaya ini diduga
karena gerakan air di lokasi utara sangat rendah, sehingga lokasi budidaya barat
masih lebih baik. Hal ini diacu dengan pernyataan Zatnika (1988) bahwa oksigen
terlarut untuk lahan budidaya berkisar antara 4,8 - 6,2 mg/l (Tabel 4).
8 Barat
Utara
O ksigen terlarut (mg/l)
7
6
5
4
3
2
1
0
0 1 2 3 4 5 6 7 8
Waktu pengamatan (minggu)
Nitrogen
NO3-, NO2- dan NH3
Konsentrasi nitrat, nitrit dan amonia di lokasi budidaya barat berturut-turut
berkisar antara 0,152-0,272 mg/l dengan rata-rata 0,1998, nitrit 0,0102-0,0113
mg/l dengan rata - rata 0,0105 dan amonia 0,1706-0,1821 mg/l dengan rata-rata
0,1772 mg/l, sedangkan lokasi budidaya utara berkisar antara 0,1097-0,1114 mg/l
dengan rata-rata 0,1105 mg/l, nitrit 0,0108-0,0110 mg/l dengan rata-rata 0,0109,
dan amonia 0,1714-0,1814 mg/l dengan rata-rata 0,1802. Konsentarasi nitrat di
lokasi budidaya barat berfluktuasi dan tertinggi pada minggu ketiga yaitu 0,27
mg/l kemudian menurun sampai minggu kedelapan yaitu 0,170, sedangkan
konsentrasi nitrat di lokasi budidaya utara selama masa pemeliharaan dari minggu
kesatu sampai minggu kedelapan lebih rendah dan relatif sama (Gambar 10
Lampiran 1 dan 2). Rata - rata konsentrasi nitrat di kedua lokasi budidaya rendah
sekali bila dibandingkan dengan konsentrasi yang ideal 1,0 - 3,2 (Tabel 4), namun
lokasi budidaya sebelah barat masih lebih baik daripada lokasi budidaya sebelah
utara.
35
N itrat (m g/l)
0.2
0.014
N itr it ( m g /l)
0.15
0.011
0.1 0.008
0.05 0.005
0 0 1 2 3 4 5 6 7 8
0 1 2 3 4 5 6 7 8 Waktu pengamatan (minggu)
w aktu pengamatan (minggu)
Barat
0.195 Utara
Amonia (mg/l)
0.185
0.175
0.165
0.155
0 1 2 3 4 5 6 7 8
Waktu pengamatan (mg/l)
Pospat
Total pospat dan ortho pospat
Pospat merupakan unsur penting bagi semua aspek kehidupan terutama
berfungsi dalam transformasi energi metabolik yang perannya tidak dapat
digantikan oleh unsur lain (Kuhl 1974). Unsur P di perairan terdapat dalam
senyawaan pospat dalam bentuk organik dan anorganik, namun hanya ortho
pospat yang terlarut dalam air dan dapat langsung digunakan oleh organisme
nabati (Haryadi et al. 1992).
Kandungan total pospat di lokasi budidaya sebelah barat berkisar antara
0,116-0,136 mg/l dengan rata- rata 0,1225 dan lokasi budidaya sebelah utara
berkisar antara 0,0056-0,0062 mg/l dengan rata-rata 0,0060. Ortho pospat di
lokasi budidaya barat berkisar antara 0,0060-0,0080 mg/l dengan rata-rata 0,0074
dan lokasi utara 0,0041-0,0054 mg/l dengan rata-rata 0,0049 (Gambar 11
Lampiran 1 dan 2). Secara statistik kandungan orhto pospat di kedua lokasi
budidaya berbeda nyata. Kandungan orhto pospat berada pada konsentrasi sangat
rendah bila dibandingkan dengan konsentrasi ortho pospat yang ideal (Tabel 4).
namun di lokasi budidaya barat masih lebih baik daripada lokasi budidaya sebelah
utara.
36
Faktor biologi
Algae yang dibudidayakan tidak terlepas dari pengaruh biologi perairan
seperti predator, pencemaran dan penyakit. Fungsi ekologis dari rumput laut
sebagai pendukung kehidupan akuatik di laut yaitu sebagai makanan dan
pelindung binatang akuatik selalu mempengaruhi persporaan rumput laut.
Binatang-binatang ini pada awalnya hanya memakan tumbuhan penempel di
sekitar tanaman tetapi kemudian memakan Kappaphycus. Saat pengamatan
dilakukan, banyak ditemukan benih ikan baronang dan algae penempel di kedua
lokasi penelitian barat dan utara hal ini diduga sedang terjadi musim pemijahan
ikan baronang di perairan pulau Pari. kepulauan Seribu pada bulan Mei dan
Oktober-Nopember merupakan musim ikan baronang dalam jumlah besar yang
dapat merugikan nelayan rumput laut ( Sulistijo 2002).
Selain predator ikan, ada juga tumbuhan yang menjadi pesaing bagi
pertumbuhan K. alvarezii dan tumbuh pada rakit penelitian. Di samping itu
tumbuhan penempel seperti tunikata yang menutupi thallus rumput laut akan
menyerap nutrisi dan menghalangi proses fotosintesis. Gangguan ini dapat
mengakibatkan tanaman menjadi tidak sehat dan dengan mudah terinfeksi bakteri
penyebab ice ice pada bagian yang tertutup total oleh koloni tunikata.
37
Sementara di lokasi utara mulai dari minggu kedua sudah banyak terdapat
tumbuhan penempel dan luka bekas gigitan ikan pada tanaman uji serta sampah
disekitar rakit (Gambar 13).
Secara historis lahan budidaya rumput laut di pulau Pari lebih efisien
dibanding lahan budidaya di gugusan pulau Pari. Namun dari parameter-
parameter kualitas lingkungan yang diamati selama masa pemeliharaan diacu
dengan hasil pengukuran biofisik kualitas perairan dari penelitian IPB (1997)
menunjukkan kualitas lingkungan perairan semakin menurun hampir tidak sesuai
untuk lahan budidaya (Tabel 4).
Tabel 5 Perbandingan kualitas perairan di pulau Pari tahun 1997 dan 2002
Kimia
a. pH 7 8-8.03
b. Salinitas ‰ 32 30
c. Nitrat mg/l 0.003 0.001-0.002
d.Phosphat mg/l 0.007 0.001-0.006
e.Timah hitam (Tb) mg/l 0.005 0.012-0.027
Biologi
a. Komunitas makro alga banyak sedang
b. Hewan-herbivor sedang banyak
Lingkungan
c.Pencemaran tidak ada ada/tinggi
Sumber: Besweni (2002)
39
laut ditentukan oleh faktor kecerahan, temperatur, unsur hara (N dan P) dan
keadaan biomassa. Bobot basah yang dihasilkan merupakan suatu produksi
pembentukan biomassa yang ditentukan oleh laju pertumbuhan (G) x bobot
−
biomassa ( B ). Apabila keadaan biomassa rumput laut mengalalami tekanan
lingkungan, maka kondisi biomassa dalam keadaan rentang terhadap penyakit.
Kondisi seperti ini mengakibatkan rumput laut terkena penyakit ice ice
(pengkroposan), sehingga produksi rumput laut ditentukan oleh laju pertumbuhan
−
(G) x laju pengkroposan (z) dan ( B ). Pada tahap awal G > z (minggu 1 - 4),
sehingga masih terdapat pertumbuhan biomassa. Apabila pengkroposan
meningkat maka G < z (minggu 5 - 8) mengakibatkan pembentukan biomassa
menurun. Sehubungan dengan proses laju pertumbuhan, maka penanaman rumput
laut dengan bobot awal yang sama di kedua lokasi budidaya (125 g) menunjukkan
karakter pertumbuhan yang tidak normal. Lokasi budidaya barat masih terlihat
adanya pertambahan bobot, namun pertumbuhan yang semestinya dalam keadaan
pesat mendadak menurun setelah mencapai puncak pada minggu keempat
Lokasi budidaya barat pertumbuhan biomassa dari minggu kesatu sampai
minggu keempat meningkat dari 125 ke 206,3g dan mengikuti pola hubungan
linear yaitu Y = 28,15x + 91,3 ; R2 = 0,88 (gambar 15). Laju pertumbuhan dari
minggu pertama sampai minggu keempat sebesar 28,15 g/minggu.
200
Bobot basah (g)
200
150 150
100 100
50
50
0
0
1 2 3 4
5 6 7 8
Waktu pengamatan (minggu)
Waktu pengamatan (m inggu)
y = -14.48x + 153.52
Bobot basah (g)
y = -9.8x + 127.7 90
Bobot basah (g)
140 R2 = 0.9934
120 R2 = 0.9288
70
100
80 50
60 30
40
20 10
1 2 3 4 5 6 7 8
Waktu pengam atan (m inggu) Waktu pengam atan (m inggu)
Kondisi rumput laut di lokasi budidaya sebelah barat maupun utara dari
hasil pemantauan memberikan indikasi bahwa rumput laut mengalami stress. Bila
dikaitkan dengan ilmu pemyakit tumbuhan, maka tanaman uji dalam kondisi
lemah / rentan terhadap penyakit. Hal ini dipermudah dengan keadaan lingkungan
yang mendukung patogen, sehingga tanaman dengan cepat terinfeksi bakteri
penyebab penyakit ice ice. Secara biologi tanaman tidak mampu melakukan
kegiatan fisiologinya secara normal, sehingga tidak mampu berkembang dan
secara ekonomi tanaman tidak mampu memberikan hasil yang cukup, baik
kuantitas maupun kualitasnya.
Secara umum bobot basah rumput laut pada kondisi yang normal dari
waktu ke waktu terus mengalami peningkatan dan secara nyata dimulai pada
minggu kedua sampai minggu ketuju bersamaan dengan meningkatnya kandungan
karaginan. Hal ini didukung oleh Salisbury dan Ross (1992) bahwa pada jaringan
muda rumput laut, aktivitas sel diarahkan untuk pertumbuhan yaitu melakukan
pembelahan dan pembesaran sel.
Perbedaan tingkat keberhasilan ini diduga karena posisi kedua lokasi
budidaya, dimana lokasi budidaya barat yang merupakan perairan terbuka (berada
diluar gobah buka) yang masih mendapat gerakan air, sedangkan di lokasi
budidaya utara yang merupakan perairan tertutup (berada di gobah) yang kurang
mendapat gerakan air, sehingga pasokan nutrien yang diperlukan tidak terpenuhi.
Pada musim barat 2005 terjadinya gagal panen, akibat sebagian besar hasil
budidaya terkena penyakit ice ice diikuti kualitas produk yang tidak dapat
diterima oleh pasaran. Dapat dijelaskan tentang permsalahan tersebut bahwa
akibat pengaruh musim yang mempengaruhi faktor-faktor ekologis seperti
intensitas cahaya, suhu air, unsur hara, sehingga mempengaruhi hasil panen.
Diantara pengaruh yang ditimbulkan adalah "Aging effect" yang ditandai dengan
perubahan morfologi yaitu tanaman menjadi kurus, percabangan sedikit,
permukaan thallus menjadi kasar (Gambar 18). Kondisi ini dapat pulih apabila
tidak ada komplikasi yang berkelanjutan, jika keadaan ini terus berlanjut maka
terjadi pertumbuhan yang lambat karena sel-sel tanaman tidak dapat berfungsi
dengan baik (DirJen. Perikanan 1997). Kondisi ini diperburuk dengan adanya
43
gigitan ikan yang membuat jalan masuk bakteri ke bagian jaringan dalam,
sehingga infeksi bakteri penyebab ice ice lebih cepat.
Tanaman budidaya akan lebih cepat terinfeksi apabila terdapat banyak bekas
luka karena akan menjadi jalan masuk bagi bakteri patogen. Hasil pengamatan di
lapangan menunjukkan infeksi bakteri penyebab penyakit ice ice pada thallus
dapat terjadi melalui beberapa cara yaitu terinfeksi pada luka bekas pemotongan
(stek untuk bibit), luka akibat gigitan ikan, luka akibat ikatan bibit terlalu erat dan
masuk melalui pori-pori thallus (Gambar 20).
c d
Gambar 20 beberapa cara terinfeksi bakteri penyebab penyakit ice ice.
: (a) bekas pemotongan (stek untuk bibit)
(b) luka akibat gigitan ikan
(c) luka karena ikatan bibit terlalu erat
(d) masuk melalui pori-pori thallus
45
Pertumbuhan parsial
Pertumbuhan parsial rumput laut adalah pertubuhan yang terjadi antar waktu
tertentu dan dinyatakan dalam bentuk pertumbuhan mutlak, relatif dan sesaat
(tabel 6).
Tabel 6 Pertumbuhan mutlak, relatif dan sesaat rumput laut di sebelah barat
dan utara pulau Pari
Barat Utara
Minggu
Mutlak (g) Relatif (%) Mutlak (g) Relatif (%)
1 1,84 1.472 -11 -9.040
2 8,21 6.473 -2 -2.111
3 21,15 15.661 -12 -8.805
4 50,10 32.074 -12 -11.626
5 -15,60 -7.562 -18 -20.290
6 -10,20 -5.349 -13 -18.321
7 -30,30 -16.787 -14 -24.486
8 -19,60 -13.049 -12 -29.025
determinasi R = 83%. Hasil uji variance diperoleh P-value lebih kecil dari (0,05)
berati regresi tersebut dapat digunakan untuk menjelaskan variabel-variabel
terikat yang berpengaruh terhadap variabel bebas atau dapat dikatakan nitrat dan
ortho pospat berpengaruh terhadap laju pertumbuhan. Nilai koefisien masing-
masing variabel menunjukkan bahwa variabel x yang berpengaruh terhadap y
adalah nitrat sebesar 0,001 (P<0,05) dan ortho pospat 0,001 ((P<0,05) (Lampiran
11). Dengan demikian disimpulkan bahwa hasil analisis tersebut terindikasi
bahwa ketersediaan unsur hara (nitrat dan ortho pospat) secara interaksi bersama
menentukan laju pertumbuhan.
rumput laut. Dari uraian tersebut, maka dapat dinyatakan bahwa laju
pertumbuhan biomassa rumput laut di lokasi budidaya barat dari minggu ke1-ke4
ditentukan oleh keberadaan nitrat dan ortho pospat, sedangkan laju degradasi /
pengkroposan di lokasi budidaya barat minggu ke5-k8 dan di utara minggu ke1-k8
ditentukan oleh faktor suhu,arus dan oksigen terlarut memicu perkembangan
populasi bakteri dalam menginfeksi dan mendegradasi biomassa rumput laut.
Bobot (g)
Pengamatan Penyusutan (%)
Basah kering
(munggu)
Barat Utara Barat Utara Barat Utara
0 125 125 5,9 6,15 95,20 95,08
1 126,8 113,7 6,1 5,88 95,28 94,83
2 135,1 111,3 7,1 5,89 95,19 94,71
3 156,2 101,5 10,4 5,9 94,74 94,19
4 206,3 89,7 17,3 5,91 93,34 93,41
5 190,7 71,5 16 5,92 91,61 91,72
6 178,5 58,4 14,6 5,93 91,61 89,85
7 150,2 44,1 11,2 5,94 91,82 86,53
8 130,6 31,3 9,2 5,95 92,54 80,99
Sumber : Hasil penelitian yang diolah
49
Tanaman uji yang terkena penyakit akan hancur dan putus juga ujung-
ujung thallus yang dimakan ikan, sehingga akan tumbuh tunas yang baru.
Mengacu dari kondisi tanaman uji, maka bobot kering tanaman yang diperoleh
tidak dipengaruhi oleh lama penanaman karena tanaman selalu berada pada
kondisi tanaman muda. Menurut Dawes (1974) berat kering tumbuhan muda
lebih rendah daripada tumbuhan tua. Jaringan rumput laut yang lebih tua dapat
mengakumulasi deposit garam-garam yang menyebabkan unsur keringnya
semakin tinggi (Simpson et al. 1978).
.
Kandungan Karaginan
Proses panen baik berdasarkan waktu atau bobot tidak menjamin mutu
rumput laut, tetapi mutu rumput laut ditentukan oleh mutu bibit dan kualitas
perairan. Satari (1998) melalui penelitiannya dengan variasi waktu pemeliharaan
K. alvarezii dari minggu kesatu sampai minggu keenam tidak mendapatkan
perbedaan yang berarti terhadap kandungan karaginan. Rahardjo (2000)
mendapatkan panen yang baik dengan biomassa dan kandungan karaginan
tertinggi pada waktu pemeliharaan selama 6 minggu di lokasi pulau Tidung
Kepulauan Seribu.
Kandungan karaginan K. alvarezii di lokasi budidya sebelah barat pulau
Pari mengalami peningkatan sampai minggu keempat. Pada minggu kesatu
kandungan karaginan 9,46% terus meningkat dan mencapai puncak di minggu
keempat dengan persentase 16,77% kemudian menurun di minggu kelima
seterusnya sampai minggu kedelapan hingga mencapai kandungan karaginan
terendah 4,51%. Kandungan karaginan di lokasi budidaya sebelah utara mulai
minggu kesatu sampai minggu kedelapan tidak ada peningkatan kandungan
karaginan, tetapi sebaliknya terus mengalami penurunan hingga mencapai
kandungan karaginan terendah sebesar 1,23% (Gambar 22 dan Lampiran 8).
Pola kandungan karaginan yang diperoleh pada penelitian di kedua lokasi
budidaya barat dan utara tidak sesuai dengan hasil penelitian sebelumnya.
Kandungan karaginan K. Alvarezii cenderung mengalami peningkatan menurut
lama penanaman dan kualitas terbaik kandungan karaginan maximum dicapai
pada usia 35 hari atau minggu kelima (Kusdi 2004). Selanjutnya Sulistijo (1994)
50
Barat
20 utara
Karaginan (% )
15
10
0
0 1 2 3 4 5 6 7 8
Waktu pengamatan(minggu)
Kadar Air
Kadar air pada rumput laut merupakan komponen kimia penting yang
berhubungan dengan mutu rumput laut. Kadar air yang dimaksud adalah besarnya
persentase kadar air persatuan bobot kering angin produk rumput laut. Kadar air
yang cukup tinggi akan menyebabkan menurunnya kualitas karaginan yang
dihasilkan. Dalam perdagangan, kadar air rumput laut kering untuk industri
51
pangan dan farmasi yang memenuhi syarat mutu dari Departemen Perdagangan
adalah maximum 32% (Soegiarto et al. 1978).
Secara statistik kadar air di lokasi budidaya berbeda nyata (Lampiran 6).
Kadar air rata-rata di lokasi budidaya sebelah barat sebesar 20,70%, maksimum
22,83% dan minimum19,10%, Sedangkan kadar air rata-rata di lokasi budidaya
utara sebesar 21,76%, maksimum 23,82% dan minimum 20,08%. Namun kadar
air setelah pengeringan di laboratorium dengan vacum dryer di peroleh nilai
persentase yang masih memenuhi standar pemasaran (Gambar 23).
barat
30
utara
25
Kadar air (%)
20
15
10
5
0
0 1 2 3 4 5 6 7 8
Waktu (minggu)
Kadar Abu
Kualitas hasil panen rumput laut ditentukan pula oleh persentase kadar abu
karena kadar abu yang relatif tinggi akan menyebabkan rendahnya kualitas hasil
panen. Nilai kadar abu diperoleh setelah dilakukan proses pembakaran atau
pengabuan dalam alat pembakaran (tanur). Bagian jaringan rumput laut berupa
serat dan bahan-bahan yang mengandung karbon serta beberapa mineral tersisa
menjadi abu setelah proses pembakaran, sedangkan bahan lainnya habis menguap
saat pembakaran. Kadar abu dalam tanaman rumput laut ditentukan oleh bahan
penyusun jaringan dimana semakin tinggi bahan serat dan senyawa-senyawa yang
mengandung karbon dalam jaringan, maka semakin tinggi pula kadar abu yang
dihasilkan saat pembakaran.
Menurut Hirao (1971) bahwa kadar abu pada rumput laut berkisar antara
15 - 40%. Kadar abu di kedua lokasi budidaya cukup tinggi yaitu di lokasi
budidya sebelah barat pulau Pari kadar abu rata-rata sebesar 20,30%, maksimum
52
22,3% dan minimum 16,9%. Sementara di lokasi budidaya sebelah utara kadar
abu rata-rata sebesar 22,78%, maksimum 26,23% dan minimum 10,64%. Kadar
abu di kedua lokasi budidaya sebelah barat dan utara secara statistik berbeda nyata
(Lampiran 6). Kadar abu berbeda dikedua lokasi disebabkan karena tanaman uji
yang dibudidayakan di kedua lokasi budidaya banyak terdapat alga penempel dan
kotoran-kotoran. Persentase kadar abu yang cukup tinggi ini juga menunjukkan
besarnya kandungan mineral pada rumput laut yang tidak terbakar selama
pengabuan. Kadar abu terutama terdiri dari garam natrium yang berasal dari air
laut yang menempel pada thallus rumput laut yang terjadi pada proses
pengeringan.
Kadar abu rumput laut bersih dari Eucheuma cottonii yang dilaporkan oleh
BPPT adalah 17,09%. Sementara kadar abu yang diperoleh di lokasi budidaya
sebelah barat adalah 20,30% dan kadar abu di lokasi budidaya sebelah utara
adalah 22,78%. Kadar abu yang diperoleh pada penelitian ini bila dibandingkan
dengan hasil yang diperoleh BPPT sebasar 17,09%, maka selisihnya adalah garam
dan kontaminan lain yaitu pada lokasi barat 3,21% dan lokasi utara 5,69%.
(Gambar 24).
barat
30
utara
25
Kadar abu (%)
20
15
10
5
0
0 1 2 3 4 5 6 7 8
Waktu (minggu)
dengan unsur hara di lokasi budidaya sebelah barat pulau Pari diperoleh
persamaan sebagai berikut
Karaginan = 21,7+39,2 nitrat +4321 ortho pospat -276 amonia.
Persamaan tersebut menggambarkan bahwa terdapat satu atau lebih parameter
yang berpengaruh terhadap peningkatan dan penurunan karaginan. Variabel unsur
hara yang berpengaruh terhadap karaginan adalah nitrat, ortho-pospat dan amonia.
Koefisien variasi masing-masing variabel menunjukkan bahwa variabel x
yang berpengaruh terhadap nilai Y adalah ortho pospat yang dapat dijelaskan
dengan 0,020 (P<0,5), sedangkan nitrat dan amonia masing-masing 0,130 dan
0,801 (P>0.05). Tabel nilai koefisien menunjukkan bahwa nitrat dan amonia tidak
nyata (p>0,05) yang berarti bahwa nitrat dan amonia bukan merupakan faktor
pembatas terhadap peningkatan kandungan karaginan (lampiran 12).
Hasil regresi ganda menunjukkan adanya hubungan karaginan dengan unsur
hara di lokasi budidaya sebelah utara yang dijelaskan dengan nilai determinasi
sebesar 79,6% dan sangat nyata (p<0,05) dengan ( Fhit. sebesar 6,52 > Ftab. sebesar
5,48). Data hasil analisis regresi berganda kandungan karaginan dengan unsur
hara diperoleh persamaan sebagai berikut :
Karaginan = -149+252 Nitrat +6049 ortho pospat +527 amonia.
Persamaan tersebut menunjukkan terdapat satu atau lebih parameter yang
berpengaruh terhadap peningkatan karaginan.
Koefisien variasi masing-masing variabel menunjukkan bahwa variabel x
yang berpengaruh terhadap nilai Y adalah ortho pospat yang dapat dijelaskan
dengan 0,007 (P<0,5), sedangkan nitrat dan amonia masing-masing 0,780 dan
0,943 (P>0.05). Tabel nilai koefisien menunjukkan bahwa nitrat dan amonia tidak
nyata (p>0,05) yang berarti bahwa nitrat dan amonia bukan merupakan faktor
pembatas terhadap peningkatan kandungan karaginan (lampiran 13).
Dengan demikian disimpulkan bahwa variabel yang sangat berpengaruh
terhadap kandungan karaginan rumput laut di kedua lokasi budidaya adalah ortho
pospat. Kisaran ortho-pospat yang diperoleh di kedua lokasi budidaya sangat
rendah, namun lokasi budidaya sebelah barat lebih baik, sehingga masih terjadi
penambahan peningkatan kandungan karaginan.
54
12
10
8
6
4
2
0
0 1 2 3 4 5 6 7 8 9
Waktu pengamatan (minggu)
10 y = -1.0615x + 8.9238
2
R = 0.948
8
Karaginan (%)
6
4
2
0
0 2 4 6 8 10
Waktu pengamatan (minggu)
Simpulan
1 Kualitas air di lokasi budidaya rumput laut K. alvarezii sebelah barat yang
merupakan perairan terbuka di minggu pertama sampai minggu keempat
masih memenuhi kreteria untuk budidaya rumput laut. dan menurun pada
minggu kelima sampai minggu kedelapan. Sedangkan di lokasi sebelah utara
pulau Pari yang merupakan perairan tertutup, kualitas air buruk dari minggu
pertama sampai minggu kedelapan.
2 Pertumbuhan Rumput laut K. alvarezii di lokasi budidaya sebelah barat (luar
gobah) dan utara (gobah) pulau Pari tidak memenuhi pola pertumbuhan
logistik normal mencapai biomassa maksimal.
3 Lokasi budidaya sebelah barat dari minggu ke1-ke4 masih mengalami
pertumbuhan yang dipengaruhi oleh nitrat dan ortho pospat, Selanjutnya
mulai minggu ke5-ke8 mengalami pengkroposan, sementara lokasi budidaya
sebelah utara dari minggu k1-k8 biomassa rumput laut langsung mengalami
pengkroposan. Pengkroposan biomassa rumput laut di lokasi budidaya
sebelah barat dan utara pulau Pari dipengruhi oleh suhu, arus dan oksigen
terlarut.
4 Karaginan sebagai indikasi kualitas rumput laut sebagai produk akhir di lokasi
budidaya sebelah barat dan utara pulau Pari selalu mengalami penurunan.
Saran
1 Perlu adanya penelitian terhadap karakteristik biofisik perairan selama
beberapa tahun untuk mendapatkan data yang lebih akurat terhadap budidaya
rumput laut K. alvarezii di pulau Pari.
2 Agar penyakit ice ice tidak meluas atau berkembang, maka kegiatan budidaya
dihentikan selama kualitas air memburuk dan dilakukan penanaman bila
kondisi perairan kembali mendukung usaha budidaya.
57
DAFTAR PUSTAKA
Atmadja WS dan Sulistijo. 1977. Usaha Pemanfaatan Bibit Stek Alga Laut
Euchema spinosum (L) J. AGRADH di Pulau-pulau Seribu Untuk
Dibudidayakan. Dalam: Teluk Jakarta, Sumberdaya, Sifat-sifat
Oseanologis Serta Permasalahannya. Editor: M. Hutomo, K
Romimohtarto dan Burhanudin. LON LIPI, Jakarta: hal 433-449.
Bengen DG. 2000. Teknik Pengambilan Contoh dan Analisa Data Biofisika
Sumberdaya Pesisir. PKSPL –IPB Bogor.
Chapman VJ. 1962. The Algae. Mc McMillan and Co Ltd. London. 383-411.
Chapman V J. and DJ Chapman. 1980. Seaweeds and Their Uses. Third Edition.
Chapman and Hall, London. N.Y.
58
Dawes CJ. 1981. Marine Botany. John Wiley and Sons University of South
Florida. New York. 268 p.
------------- 1973. Eucheuma Farming for Carrageenan. Univ. Hawai Sea Grant
Report. UNIHI SEAGRANT-AR 73-02: 21.
Eidman HM. 1991. Studi Efektivitas Bibit Algae Laut (Rumput Laut), Salah Satu
Upaya peningkatan Produksi Budidaya Algae Laut (Eucheuma sp).
Laporan Penelitian. Fakultas Perikanan. IPB.
Emor DW. 1993. Peranan Unsur N dan P Bagi Pertumbuhan Rumput Laut di
Perairan Pantai. Karya llmiah. Fakultas Perikanan-Universitas Sam
Ratulangi, Manado.
Furia TE. 1964. Food Hydrocollooids. Vol 1. CRS Press Inc. Boca Raton
Florida.
_______ 1981. Hand Book of Food Addives. 2nd. ed. Vol 1. CRC Pres. Florida.
308.
Guiseley KB, NF Stanley and F.M. Whitehouse. 1980. Carrageenan. Hand Book
of Water Soluble Gums and Resins. R.L. Davids on (ed). Mc Grow Hill
Book Company.N. Y. Toronto, London.
59
Hansen JE, FE Fackard and WT Doyle. 1981. Marine Culture of Red Seaweeds.
A. California Sea Grant. College Program Publ.
Hunter WD. 1970 Aquatic Productivity. MacMillan Publ. Co. Inc. New York.
320 p.
Moore AB. 1958. Marine Ecology. John Wiley and Sons, Inc. NY, 493p.
Ngangi ELA. 2001. Kajian Intensifikasi dan Analisis Finansial Usaha Budidaya
Rumput Laut Kappaphycus alvarezii di Desa Bentenan-Tumbak
Kecamatan Belang Propinsi Sulawesi Utara. . Tesis Program Studi Ilmu
Kelautan. Program Pascasarjana IPB. Bogor.
Ngangi ELA, Jusuf dan JD Kusen. 1998. Faktor Lingkungan Budidaya Rumput
Laut di Desa Serey Kecamatan Likupang Minahasa. Laporan Penelitian
Fakultas Perikanan Universitas Sam Ratulangi. Manado.
Patadjai RS. 1993. Pengaruh Pupuk TSP Pertumbuhan dan Kualitas Rumput
Laut Gracilaria gigas Harv. Tesis Program Studi Ilmu Perairan. Program
Pascasarjana IPB. Bogor.
61
Rahardjo A. 2000. Semarak Rumput Laut di Pulau Tidung. Trubus No. 364. Ed.
Maret 200. Thn XXX. Yayasan Sosial Tani Membangun. Jakarta.
Sharma SC. 1981. Gum and Hidrocolloids in Oil Water Emultions. Food
Technology. 5 (1) : 59.
Silva PC. 1979. The Binthic Algae Flora of Central San Francisco Bay. In San
Francisco Bay. The Urbanized Estuary (pp 287-345). San Francisco
Academy of Sceincer.
Silva PC, Basson PW and Moe RL. 1996. Cataloque of the Benthic
Marine Algae of the India Ocean. Univ. Of California Press.
Strickland dan Parson 1968. A Practical Handbook of Seawater Analysis. 2nd ed.
Fish . Res. Bd . Canada Bull. 167, 310 pp [4.7.1,5.2,6.3].
Suryaningrum TD. 1988. Kajian Sifat - Sifat Mutu Komoditi Rumput Laut
Budidaya Jenis Eucheuma cottonii dan Eucheuma spinosum. Thesis IPB.
Bogor.
Syret PJ. 1962. Nitrogen assimilation in: R. A. Levin and Phisiology and
Biochemisty of Alge. Academik Press, New York, N. Y. 171 -
188.
Towle GA. 1973. Carrageenan In Industrial Gums. R.L. Wistler and Be. Miller.
S.N. (eds) Academic Press. London.
Trono GC. 1992. Suatu Tinjauan Tentang Tehnologi Produksi Jenis Rumput
Laut Tropis yang Bernilai Ekonomis. Dirjen Perikanan Jakarta.
Trono GC, Trorino dan F.G. Fortes 1988. Philippine Seaweeds. National Book
Stone Inc. Manila.
63
Uyenco F, LS Sanmiel and GS Jacinto. 1981. The “Ice ice” Problem in Seaweed
Farming. Proc. International Seaweed Syimposium 10 : 625-630.
Zatnika A dan Angkasa WI. 1994. Teknologi Budidaya Rumput Laut. Makalah
pada Seminar Pekan Akuakultur V.tim Rumput Laut BPP Teknologi
Jakarta. Jakarta.
65
Lampiran 1 Hasil pengukuran parameter kualitas air di lokasi budidaya sebelah barat pulau Pari
Lampiran 2 Hasil pengukuran parameter kualitas air di lokasi budidaya sebelah utara pulau Pari
Lampiran 3 Hasil uji t terhadap parameter kualitas air di lokasi budidaya sebelah
barat dan utara pulau Pari periode Mei sampai Juni 2005.
Hasil Uji
Parameter Simpulan
t-hit t-tab 95% 99%
Arus 44,7051 1,7500 2,9200 **
Kecerahan 3,9675 1,7500 2,9200 **
Suhu 4,5900 1,7500 2,9200 **
pH 17,5856 1,7500 2,9200 **
Salinitas 11,5742 1,7500 2,9200 **
DO 31,4133 1,7500 2,9200 **
Nitrat 0,1212 1,7500 2,9200 tn
Ortho-P 20,3814 1,7500 2,9200 **
Amonia 3,1229 1,7500 2,9200 **
Nitrit 0,0004 1,7500 2,9200 tn
Total-P 0,1938 1,7500 2,9200 tn
Ket ** = sangat nyata
tn = tidak nyata
68
Pengamatan (minggu)
Ulangan
0 1 2 3 4 5 6 7 8
1 125 127,4 135,5 155,5 206,3 192,5 184,5 153,5 134,5
2 125 126,3 134,5 154,3 204,9 190,4 182,3 146,8 127,2
3 125 125,5 132,5 152,9 200 185,3 174,3 143,7 126,7
4 125 126,5 133,5 155,9 208,5 195 185,2 154,5 138,1
5 125 125,8 132,5 146,9 186,4 159,8 139,7 105,8 130,6
6 125 127 138,9 163,5 220,5 208,9 197,6 176,8 128,6
7 125 126,5 137,8 157,6 209 196,4 187,5 157,6 128,8
8 125 126,8 133,5 153,5 203,7 188,6 178,4 151,8 132,2
9 125 130,3 137,9 162,6 215,9 196,5 189,5 157,6 127,7
10 125 126,3 133,9 159,3 207,8 193,6 186 153,9 131,6
Jumlah 1250 1268,4 1350,5 1562 2063 1907 1805 1502 1306
Rata-rata 125 126,84 135,05 156,2 206,3 190,7 180,5 150,2 130,6
69
Pengamatan (minggu)
Ulangan
0 1 2 3 4 5 6 7 8
1 125 115,7 114,6 108,7 99,9 82,5 69,5 53,9 41,7
2 125 116,4 114,9 109,0 100,0 85,5 74,5 56,4 43,9
3 125 114,7 112,9 100,9 87,8 68,3 50,5 39,9 26,9
4 125 114,5 112,7 102,5 91,5 74,5 60,4 47,9 32,5
5 125 115,5 113,5 104,5 93,9 76,5 61,7 49,0 35,5
6 125 114,7 111,7 100,7 85,7 71,0 53,9 43,5 28,7
7 125 111,0 105,5 97,6 77,5 48,0 39,3 22,5 12,9
8 125 103,5 98,8 78,8 65,8 46,7 35,5 20,3 10,5
9 125 114,6 113,6 105,7 96,7 80,2 68,7 50,8 37,9
10 125 116,4 114,8 106,6 98,2 81,8 70,0 56,8 42,5
Total 1250 1137 1113 1015 897 715 584 441 313
Rata-rata 125 113,7 111,3 101,5 89,7 71,5 58,4 44,1 31,3
70
Lampiran 6 Hasil uji t terhadap bobot basah, Kandungan karaginan, kadar air
dan kadar abu di lokasi budidaya sebelah barat dan utara pulau Pari
periode Mei sampai Juni 2005.
Hasil Uji
Parameter Simpulan
t-hit t-tab 95% 99%
Karaginan 26,28 1,75 2,92 **
Kadar abu 63,96 1,75 2,92 **
Kadar air 120,42 1,75 2,92 **
Ket ** = sangat nyata
71
Lampiran 8 Kandungan karaginan, kadar air dan kadar abu di lokasi budidaya
sebelah barat (a) dan utara (b) pulau Pari
(a)
Pengamatan Kandungan Kadar Air Kadar Abu
Bobot basah (g)
(minggu) Karaginan (%) (%) (%)
0 125,0 8,5 20,2 17,8
1 126,8 8,6 22,6 16,9
2 135,1 9,2 22,8 19,8
3 156,2 13,2 20,8 20,2
4 206,3 16,8 19,1 21,2
5 190,7 13,8 19,9 21,2
6 180,5 13,7 20,6 22,3
7 150,2 9,6 21,2 21,5
8 130,6 4,5 21,4 21,6
Rata-rata 155,7 10,9 21,0 20,3
(b)
Pengamatan Bobot basah Kandungan Kadar Kadar
(minggu) (g) Karaginan (%) Air (%) Abu (%)
0 125 8,52 20,1 16,99
1 113,7 7,99 23,82 20,23
2 111,3 7,25 23,78 20,1
3 101,5 6,9 20,88 21,21
4 89,7 3,9 22,26 23
5 71,5 3,1 23,24 25,54
6 58,4 1,89 23,24 25,55
7 44,1 1,32 21,12 26,23
8 31,3 1,23 20,08 26,21
Rata-rata 82,94 4,68 22,06 22,78
72
F1 F2 F3
Suhu (°C) -0,954 0,105 -0,091
Salinitas (‰) -0,923 0,153 0,264
Arus (cm/dtk) 0,955 0,193 -0,083
Oksigen terlarut (mg/l) 0,974 0,126 -0,055
Kecerahan (m) 0,096 -0,441 0,808
pH -0,702 0,199 -0,255
Nitrat (mg/l) 0,513 0,482 0,215
Nitrit (mg/l) -0,768 -0,568 0,188
Amonia (mg/l) -0,915 0,276 0,030
Total-P (mg/l) 0,006 0,437 0,803
Ortho-P (mg/l) -0,194 0,875 0,068
Variabel F1 F2 F3
Suhu (°C) 13,47 0,57 0,53
Salinitas (‰) 12,60 1,20 4,51
Arus (cm/dtk) 13,50 1,92 0,44
Oksigen terlarut (mg/l) 14,03 0,82 0,20
Kecerahan (m) 0,14 10,06 42,16
pH 7,28 2,04 4,19
Nitrat (mg/l) 3,89 12,03 2,98
Nitrit (mg/l) 8,73 16,66 2,28
Amonia (mg/l) 12,38 3,94 0,06
Total-P (mg/l) 0,00 9,89 41,61
Ortho-P (mg/l) 0,55 39,63 0,30
.
73
D. Sebaran kualitas air (F1 x F2) dan Korelasi antara Variabel (F1 x F3) di
lokasi budidaya sebelah barat pulau Pari
1,5
1
Ortho-P
-- axis F2 (17 %) -->
0,5 Total-P
Amoniak Nitrat
(mg/l)
Salinitas
pH
Suhu Arus
DO
0
Kec
-0,5 Nitrit
-1
-1,5
-1,5 -1 -0,5 0 0,5 1 1,5
1,5
1
Kec
Total-P
-- axis F3 (14 %) -->
0,5
Salinitas
Nitrit Nitrat
Amoniak
0 Ortho-P DO
(mg/l)
Suhu Arus
pH
-0,5
-1
-1,5
-1,5 -1 -0,5 0 0,5 1 1,5
Parameter F1 F2 F3
Suhu (°C) 0,906 0,328 -0,099
Salinitas (‰) -0,526 0,191 0,343
Arus (cm/dtk) -0,855 0,230 0,083
Oksigen terlarut (mg/l) -0,673 0,224 0,564
Kecerahan (m) 0,603 0,711 0,186
pH -0,718 0,372 -0,555
Nitrat (mg/l) -0,122 0,761 -0,540
Nitrit (mg/l) 0,234 0,205 0,720
Amonia (mg/l) 0,629 0,451 0,324
Total-P (mg/l) -0,023 0,857 -0,037
Ortho-P (mg/l) -0,887 0,208 0,201
Parameter F1 F2 F3
Suhu (°C) 15,240 4,313 0,557
Salinitas (‰) 5,142 1,466 6,693
Arus (cm/dtk) 13,562 2,115 0,393
Oksigen terlarut (mg/l) 8,406 2,018 18,140
Kecerahan (m) 6,758 20,273 1,969
pH 9,570 5,544 17,547
Nitrat (mg/l) 0,275 23,209 16,603
Nitrit (mg/l) 1,018 1,681 29,576
Amonia (mg/l) 7,360 8,149 5,987
Total-P (mg/l) 0,010 29,406 0,079
Ortho-P (mg/l) 14,622 1,737 2,307
75
D. Sebaran kua litas air (F1 x F2) dan (F1 x F3) di lokasi budidaya sebelah utara
pulau Pari.
1,5
1
Total-P
Nitrat Kec
Amoniak
-- axis F2 (21 %) -->
0,5
pH (mg/l)
Suhu
ArusDOSalinitas
Ortho-P Nitrit
0
-0,5
-1
-1,5
-1,5 -1 -0,5 0 0,5 1 1,5
1,5
Nitrit
DO
-- axis F3 (15 %) -->
0,5
Amoniak
Salinitas
Ortho-P (mg/l)
Kec
Arus
0 Total-P
Suhu
-0,5 pH Nitrat
-1
-1,5
-1,5 -1 -0,5 0 0,5 1 1,5
(minggu ke1-ke4)
Source DF SS MS F P
Regression 2 7194,6 3597,3 57,82 0,000
Residual 5 5 311,1 62,2
Total 7 7505,6
R-Sq = 83%
Persamaan Regresi :
BB = - 281 + 1551 nitrat + 14596 ortho-P
(minggu ke5-ke8)
Source DF SS MS F P
Regression 3 4839,2 1613,1 115,89 0,000
Residual 4 55,7 13,9
Total 7 4894,9
R-Sq = 98,9%
Persamaan Regresi :
BB = 1852 - 10 Oksigen - 7,79 Arus - 34,7 Suhu
77
(Minggu 1 - 4)
Source DF SS MS F P
Regression 3 317,30 105,77 71,27 0,001
Residual 4 5,94 1,48
Total 7 323,24
R-Sq = 98,2%
Persamaan Regresi :
BB = -981 + 19,3 suhu + 4,74 arus + 8,52 oksigen
(Minggu 5 - 8)
Source DF SS MS F P
Regression 3 1786,84 595,61 128,83 0,000
Residual 4 18,49 4,62
Total 7 1805,33
R-Sq = 99%
Persamaan Regresi :
BB = -1489 + 45,1 suhu + 25,3 arus - 6,14 oksigen
78
Barat
Source DF SS MS F P
Regression 3 103.055 34.352 9.17 0.018
Residual Error 5 18.731 3.746
Total 8 121.786
R-Sq = 84.6%
Utara
Source DF SS MS F P
Regression 3 53.581 17.860 6.52 0.035
Residual Error 5 13.696 2.739
Total 8 67.277
R-Sq = 79.6%