Professional Documents
Culture Documents
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Keberadaan penyakit kusta atau lepra sangat ditakuti dimana penyakit ini
disebabkan bakteri Microbakterium leprae. Morbus hansen atau yang sering
disebut penyakit kusta/lepra adalah penyakit infeksi kronis yang disebabkan oleh
kuman Mycrobacterium leprae yang menyerang saraf tepi (primer), kulit, dan
jaringan tubuh lainnya, kecuali susunan saraf pusat. Sedangkan menurut Djuanda
Adhi, kusta merupakan penyakit infeksi yang kronik, dan penyebabnya ialah
Mycobacterium leprae yang bersifat intraseluler obligat. Saraf perifer sebagai
afiitas pertama, lalu kulit dan mukosa traktus respiratorius bagian atas, kemudian
dapat ke organ lain kecuali susunan saraf pusat.
Penyebab penyakit kusta adalah Mycobacterium leprae (sering disebut
hansen), ditemukan oleh GH. A. Hansen (Norwegia) tahun 1987. Mycobacterium
leprae bersifat tahan asam, bentuk batang, ukuran panjang 1-2 mikron, lebar 0.2-
0.5 mikron. Dimana, terdapat tiga tanda cardinal pada penyakit kusta/lepra yang
meliputi; lesi kulit yang anestesi, penebalan saraf perifer (sensorik, motorik,
autonom) dan ditemukan Mycobacterium leprae.
Berdasarkan laporan Kemenkes RI, jumlah penderita kusta terbanyak
terdapat di Provinsi Jawa Timur baik pada tahun 2011-2013 dengan penurunan
1.152 kasus, sedangkan provinsi yang mengalami kenaikan dalam kurun waktu
2011-2013 terdapat di Provinsi Banten sebanyak 202 kasus. Berdasarkan jenis
kelamin pria memiliki tingkat terkena kusta dua kali lebih tinggi dari wanita.
Provinsi dengan proporsi kusta terbanyak berjenis kelamin laki-laki yaitu Jawa
Timur (23,25%), Jawa Barat (13,50%), dan Jawa Tengah (10,82%).
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Kusta
Berikut beberapa pengertian dari para ahli;
1. Kusta adalah penyakit infeksi kronis yang disebabkan oleh kuman
Mycrobacterium leprae yang menyerang saraf tepi (primer), kulit, dan jaringan
tubuh lainnya, kecuali susunan saraf pusat.
2. Kusta merupakan penyakit infeksi yang kronik, dan penyebabnya ialah
Mycobacterium leprae yang bersifat intraseluler obligat. Saraf perifer sebagai
afiitas pertama, lalu kulit dan mukosa traktus respiratorius bagian atas,
kemudian dapat ke organ lain kecualli susunan saraf pusat. (Djuanda Adhi,
2010)
3. Kusta (sering disebut penyakit Hansen) adalah infeksi kronis disebabkan oleh
bakteri Mycobacterium leprae, terutama ditandai oleh adanya kerusakan saraf
perifer (saraf diluar otak dan medulla spinalis), bila tidak ditangani akan
berakibat rusaknya kulit, selaput lendir hidung, buah zakar (testis) dan mata.
(Akhsin Zulkoni, 2010)
Menurut WHO, kusta dibagi menjadi sebagai berikut;
1. Tipe Paucibasiler (PB), lepra tipe ini ditemukan pada seseorang dengan sistem
imun seluler yang baik, mengandung sedikit basil yang termasuk TT, BT, I,
dengan BTA (-).
2. Tipe Multibasiler (MB), lepra pada tipe ini ditemukan pada seseorang dengan
sistem imun seluler yang rendah, mengandung banyak basil yang termasuk
BB, BL, LL, dengan BTA (+).
B. Penyebab Kusta
Penyebab penyakit kusta adalah Mycobacterium leprae (sering disebut hansen),
ditemukan oleh GH. A. Hansen (Norwegia) tahun 1987. Mycobacterium leprae
bersifat tahan asam, bentuk batang, ukuran panjang 1-2 mikron, lebar 0.2-0.5
mikron. Hidup dalam jaringan yang bersuhu dingin dan tidak dapat ditumbuhkan
dalam media muatan. Mycobacterium merupakan parasit obligat intraselular,
terutama pada makrofag disekitar pembuluh darah superfisial yang terletak pada
dermis atau sel schwan di jaringan saraf.
Faktor resiko tinggi seseorang terkena kusta adalah sebagai berikut;
a. Etnik atau suku dan geografis
Kejadian penyakit kusta menunjukkan adanya perbedaan distribusi dapat
dilihat karena faktor geografis. Penyakit kusta kebanyakan terdapat di daerah
tropis dan subtropis yang panas dan lembap, kemungkinan karena
perkembangbiakan bakteri sesuai dengan iklim tersebut. Mereka yang tinggal
di daerah endemik dengan kondisi yang buruk seperti tempat tidur yang tidak
memadai, air yang tidak bersih, asupan gizi buruk, dan adanya penyertaan
penyakit lain seperti HIV yang dapat menekan sistem imun. Namun jika
diamati dalam satu wilayah atau satu negara atau wilayah yang sama kondisi
lingkungannya ternyata perbedaan distribusi dapat terjadi karena faktor etnik.
Di Myanmar kejadian kusta lepramatosa lebih sering terjadi pada etnik Burma
dibandingkan dengan etnik India. Situasi di Malaysia juga mengindikasikan
hal yang sama : kejadian kusta lepromatosa lebih banyak pada etnik China
dibandingkan etnik Melayu atau India.
b. Faktor sosial ekonomi
Faktor sosial ekonomi berperan penting dalam kejadian kusta, hal ini terbukti
pada negara-negara di Eropa. Dengan adanya peningkatan sosial ekonomi,
maka kejadian kusta sangat cepat menurun bahkan hilang. Penderita kusta
import pada negara tersebut ternyata tidak menularkan kepada orang yang
sosial ekonominy tinggi.
c. Distribusi menurut umur
Kebanyakan penelitian melaporkan distribusi penyakit kusta menurut umur
berdasarkan prevalensi, hanya sedikit yang berdasarkan insiden karena pada
saat timbulnya penyakit sangat sulit di ketahui. Dengan kata lain kejadian
penyakit sering terkait pada umur pada saat diketemukan dari pada saat timbul
penyakit. Pada penyakit kronik seperti kusta, informasi berdasarkan data
prevalensi dan data umur pada saat timbulnya penyakit mungkin tidak
menggambarkan resiko spesifik umur. Kusta diketahui terjadi pada semua
umur berkisar antara bayi sampai umur tua (3 minggu sampai lebih dari 70
ahun). Namun yang terbanyak adalah pada umur muda dan produktif.
Berdasarkan penelitian di RSK Sitanala Tangerang oleh Tarusaraya dkk
(1996), dinyatakan bahwa dari 1153 responden diperoleh hasil bahwa
kecacatan lebih banyak terjadi pada usia prosuktif 19-55 tahun (76,1%).
d. Distribusi menurut jenis kelamin
Kusta dapat mengenai laki-laki dan perempuan. Pria memiliki tingkat terkena
kusta dua kali lebih tinggi dari wanita. Berdasarkan laporan, sebagian besar
negara di dunia kecuali di beberapa negara di Afrika menunjukkan bahwa laki-
laki lebih banyak terserang di bandingkan perempuan. Rendahnya kejadian
kusta pada perempuan kemungkinan karena faktor lingkungan atau faktor
biologi. Seperti penyakit lainnya. Laki-laki lebih banyak terpapar dengan
faktor resiko sebagai akibat gaya hidup.
e. Faktor kebersihan individu sangat berpengaruh terhadap penyakit ini.
C. Patofisiologi Kusta
Masuknya Mycobacterium leprae sering melalui kulit yang lecet dan mukosa
nasal. Mycobacterium leprae masuk lewat kulit tergantung pada faktor imunitas
seseorang. Bakteri masuk ke dalam tubuh, selanjutnya tubuh bereaksi
mengeluarkan makrofag (berasal dari sel monosit, darah, sel mononuklear,
histiosit). Apabila sistem imun seluler (SIS) memberikan perlindungan terhadap
penderita lepra dalam mengontrol infeksi dalam tubuh, lesi akan menghilang
secara spontan atau menimbulkan lepra dengan tipe Paucibasiler (PB). Apabila
SIS rendah, maka makrofag tidak dapat menghancurkan basil sehingga infeksi
menyebar tidak terkendali dan menimbulkan lepra dengan tipe Multibasiler (MB).
Sel Schwan pada jaringan saraf merupakan sel target untuk pertumbuhan
Mycobacterium leprae, berfungsi sebagai eliminator dan sedikit fungsinya sebagai
fagositosis. Gangguan imunitas tubuh dalam sel Schwan, mengakibatkan bakteri
bermigrasi dan beraktivasi, akibatnya regenerasi sel saraf berkurang dan terjadi
kerusakan saraf yang progresif.
E. Penatalaksanaan Kusta
Tujuan utama program pemberantasan kusta adalah menyembuhkan pasien kusta
(lepra) dan mencegah timbulnya cacat serta memutuskan mata rantai penularan
dari pasien kusta terutama tipe yang menular kepada orang lain untuk menurunkan
insiden penyakit. Rekomendasi untuk memutuskan mata rantai penularan kusta
antara lain :
1. Segera melakukan pengobatan sejak dini secara rutin terhadap penderita
kusta, agar bakteri yang dibawa tidak dapat lagi menularkan pada orang lain.
2. Menghindari atau mengurangi kontak fisik dengan jangka waktu yang lama
3. Meningkatkan kebersihan diri dan kebersihan lingkungan
4. Meningkatkan atau menjaga daya tahan tubuh, dengan cara berolahraga dan
meningkatkan pemenuhan nutrisi.
5. Tidak bertukar pakaian dengan penderita, karena basil bakteri juga terdapat
pada kelenjar keringat
6. Memisahkan alat-alat makan dan kamar mandi penderita kusta
7. Untuk penderita kusta, usahakan tidak meludah sembarangan, karena basil
bakteri masih dapat hidup beberapa hari dalam droplet
8. Isolasi pada penderita kusta yang belum mendapatkan pengobatan. Untuk
penderita yang sudah mendapatkan pengobatan tidak menularkan
penyakitnya pada orang lain.
9. Melakukan vaksinasi BCG pada kontak serumah dengan penderita kusta.
10. Melakukan penyuluhan terhadap masyarakat mengenai mekanisme penularan
kusta dan informasi tentang ketersediaan obat-obatan yang efektif di
puskesmas.
11. Pengobatan MDT pada penderita kusta
Obat diminum didepan petugas, anak dibawah 5 tahun dan ibu hamil tidak
diberikan ROM. Pengobatan sekali saja dan langsung dinyatakan RFT
(Released From Treatment = berhenti minum obat kusta). Dalam program
ROM yang tidak dipergunakan, penderita satu lesi diobati denga regimen
selama 6 bulan.
2. Penderita Paucibaciler (PB) lesi 2-5
Dapson Rifampisin
Pengobatan MDT untuk kusta tipe PB dilakukan dalam 6 dosis minimal yang
diselesaikan dalam 6-9 bulan dan setelah selesai minum 6 dosis maka
dinyatakan RFT meskipun secara klinis lesiya masih aktif. Menurut WHO
tidak ada lagi dinyatakan RFT tetapi menggunakan istilah Completion of
Treatment Cure dan pasien tidak ladi dalam pengawasan.
3. Penderita Multibasiler (MB)
Dapson Rifampisin Klofazimin
2. Diagnosa Keperawatan
a. Kerusakan integritas kulit b.d adanya lesi pada kulit
b. Nyeri akut b.d proses inflamasi
c. Gangguan citra tubuh b.d perubahan persepsi diri terhadap lesi kulit
d. Hambatan mobilitas fisik b.d kontraktur otot dan kaku sendi
3. Intervensi Keperawatan
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Morbus hansen (lepra, kusta) adalah penyakit infeksi kronis yang disebabkan oleh
kuma Mycrobacterium leprae yang menyerang saraf tepi (primer), kulit, dan
jaringan tubuh lainnya, kecuali susunan saraf pusat.
2. Menurut WHO, kusta dibagi 2 yaitu Tipe Paucibasiler (PB) dan Tipe .Multibasiler
(MB).
3. Ada tiga tanda cardinal pada penyakit kusta/lepra yang meliputi sebagai berikut;
lesi kulit yang anestesi, penebalan sarag perifer (sensorik, motorik, autonom) da
ditemukan Mycobacterium leprae.
4. Tujuan penatalaksanaan pada penyakit kusta bertujuan untuk menyembuhkan
pasien kusta (lepra) dan mencegah timbulya cacat serta memutuskan mata rantai
penularan dari pasien kusta terutama tipe yang menular kepada orang lain untuk
menurunkan insiden penyakit.
5. Regimen pengobatan kusta di Indonesia disesuaikan dengan rekomendasi WHO
(1995), yaitu program Multi Drug Therapy (MDT) dengan kombinasi obat
medikamentosa utama yang terdiri dari Rifampisin, Klofzimin (Lamprene) dan
DDS.
6. Pemeriksaan penunjang yang digunakan untuk membantu menegakkan diagnosa
pada penyakit kusta sebagai berikut; pemeriksaan bakterioskopik, pemeriksaan
histopatologi, pemeriksaan serologis.
4. Diagnosa keperawatan yang ditegakkan pada pasien dengan penyakit kusta
sebagai berikut; kerusakan integritas kulit b.d adanya lesi pada kulit, nyeri akut
b.d proses inflamasi, gangguan citra tubuh b.d perubahan persepsi diri terhadap
lesi kulit, hambatan mobilitas fisik b.d kontraktur otot dan kaku sendi.
DAFTAR PUSTAKA
Rahariyani, Dwi Lutfia. 2007. Buku Ajar Asuhan Keperawatan Klien Ganggauan Sistem
Integumen. Jakarta: ECG.
Hurarif, Amin Huda. 2015. Aplikasi Asuhan Keperawatan Berdasarkan Diagnosa Medis
& Nanda Nic Noc. Yogyakarta: Percertakan Mediaction Publising.
Zulkoni, Akhsin. 2010. Parasitologi. Yogyakarta: Nuha Medika.