You are on page 1of 20

A.

Pengertian
Cardiac arrest adalah hilangnya fungsi jantung secara tiba-tiba dan
mendadak, bisa terjadi pada seseorang yang memang didiagnosa dengan
penyakit jantung ataupun tidak. Waktu kejadiannya tidak bisa diperkirakan,
terjadi dengan sangat cepat begitu gejala dan tanda tampak (American Heart
Association,2010).
Jameson, dkk (2005), menyatakan bahwa cardiac arrest adalah
penghentian sirkulasi normal darah akibat kegagalan jantung untuk
berkontraksi secara efektif. Berdasarkan pengertian di atas maka dapat
diambil suatu kesimpulan bahwa henti jantung atau cardiac arrest adalah
hilangnya fungsi jantung secara mendadak untuk mempertahankan sirkulasi
normal darah untuk memberi kebutuhan oksigen ke otak dan organ vital
lainnya akibat kegagalan jantung untuk berkontraksi secara efektif.

B. Etiologi
1. Faktor-faktor Risiko
a. Usia
Insiden CD meningkat dengan bertambahnya usia bahkan pada
pasien yang bebas dari CAD (coronary artery disease) simtomatik.
b. Jenis kelamin
Tampak bahwa pria mempunyai insiden SCD (kematiab jntung
mendadak) yang lebih tinggi dibandingkan wanita yang bebas dari
CAD yang mendasari.
c. Merokok
Merokok telah dilibatkan sebagai suatu factor yang meningkatkan
insiden SCD (ada efek aritmogenik langsung dari merokok sigaret atas
miokardium ventrikel). Tetapi menurut pengertian Framingham,
peningkatan resiko akibat merokok hanya terlihat pada pria. Yang
menarik, peningkatan resiko ini menurun pada pasien yang berhenti
merokok. Merokok juga meningkatkan insiden CAD yang tampil pada
kebanyakan pasien yang menderita henti jantung.
d. Penyakit jantung yang mendasari
1) Tidak ada penyakit jatung yang diketahui
Pasien ini mempunyai pengurangan resiko SCD, bila dibandingkan
dengan pasien CAD atau pasien dengan pengurangan fungsi
ventrikel kiri.
2) Penyakit arteri koronaria (CAD)
Data dari penelutian Framingham telah memperlihatkan pasien
CAD mempunyai frekuensi SCD Sembilan kali pasien dengan usia
yang sama tanpa CAD yang jelas. The Multicenter Post Infarction
Research Group mengevaluasi beberapa variable pada pasien
yang menderita MI. Kelompok ini berkesimpulan bahwa pasien
pasca MI dengan fraksi ejeksi ventrikel kiri yang kurang dari 40%,
10 atau lebih kontraksi premature ventrikel (VPC) per jam, sebelum
MI dan ronki dalam masa periinfark mempunyai peningkatan
mortalitas (1-2 tahun) dibandingkan dengan pasien tanpa masalah
ini. Jelas pasien CAD (terutama yang menderita MI) dengan resiko
SCD yang lebih besar.
3) Sindrom prolaps katup mitral (MVPS)
Tes elektrofisiologi (EP) pada pasien MVPS telah memperlihatkan
tingginya insiden aritmia ventrikel yang dapat di induksi, terutama
pada pasien dengan riwayat sinkop atau prasinkop. Terapi anti
aritmia pada pasien ini biasanya akan mengembalikan gejalanya.
4) Hipertrofi septum yang asimetrik (ASH)
Pasien ASH mempunyai peningkatan insiden aritmia atrium dan
ventrikel yang bisa menyebabkan kematian listrik atau
hemodinamik (peningkatan obstruksi aliran keluar). Riwayat VT
atau bahkan denyut kelompok ventrikel akan meningkatkan risiko
SCD.
5) Sindrom Wolff-Parkinson-White (WPW)
Perkembangan flutter atrium dengan hantaran AV 1:1 melalui suatu
jalur tambahan atau AF dengan respon ventrikel sangat cepat (juga
karena hantaran jalur tambahan antegrad) menimbulkan frekuensi
ventrikel yang cepat, yang dapat menyebabkan VF dan bahkan
kematian mendadak.
6) Sindrom Q-T yang memanjang
Pasien dengan pemanjangan Q-T yang kongenital atau idiopatik
mempunyai peningktan resiko SCD. Kematian sering timbul selama
masa kanak-kanak. Mekanisme ini bisa berhubungan dengan
kelainan dalam pernafasan simpatis jantung yang memprodisposisi
ke VF.
e. Lain-lainnya
1) Hipertensi: peningkatan tekanan darah sistolik dan diastolic
merupakan predisposisi SCD
2) Hiperkolesteremia: tidak ada hubungan jelas antara kadar
kolesterol serum dan SCD yang telah ditemukan
3) Diabetes mellitus: dalam penelitian Framingham hanya pada
wanita ditemukan peningkatan insiden SCD yang menyertai
intoleransi glukosa.
4) Ketidakaktifan fisik: gerak badan mempunyai manfaat tidak jelas
dalam mengurangi insiden SCD.
5) Obesitas: menurut data Framingham, obesitas meninggkatkan
resiko SCD pada pria, bukan wanita.
f. Riwayat aritmia
1) Aritmia supraventrikel
Pada pasien sindrom WPW dan ASH, perkembangan aritmia
supraventrikel disertai dengan peningkatan insiden SCD. Pasien
CAD yang kritis juga beresiko, jika aritmia supraventrikel
menimbulkan iskemia miokardium. Tampak bahwa iskemia dapat
menyebabkan tidak stabilnya listrik, yang mengubah sifat
elektrofisiologi jantung yang menyebabkan VT terus-menerus atau
VF. Tetapi sering episode iskemik ini asimtomatik.
2) Aritmia ventrikel
Pasien dengan penyakit jantung yang mendasari dan VT tidak
terus-menerus menpunyai peningkatan insiden SCD dibandingkan
pasien dengan VPC tersendiri. Kombinasi VT yang tidak terus-
menerus dan disfungsi ventrikel kiri disertai tingginya resiko SCD.
Pasien CAD dan VT spontan mempunyai ambang VT yang lebih
rendah dibandingkan pasien CAD dan tanpa riwayat VT. Sehingga
pasien CAD dengan fraksi ejeksi ventrikel kiri yang rendah dan VF
atau VT terus-menerus yang spontan mempunyai insiden SCD
tertinggi.
3) Faktor pencetus
a) Aktivitas
Hubungan antara SCD dan gerak badan masih tidak jelas.
Analisis 59 pasien yang meninggal mendadak memperlihatkan
bahwa setengah dari kejadian ini timbul selama atau segera
setelah gerak badan. Tampak bahwa gerak badan bisa
mencetuskan SCD, terutama jika aktivitas berlebih dan selama
tidur SCD jarang terjadi.
b) Iskemia
Pasien dengan riwayat MI dan Iskemia pada suatu lokasi yang
jauh (iskemia dalam distribusi arteri koronaria noninfark)
mempunyai insiden aritmia ventrikel yang lebih tinggi
dibandingkan dengan pasien iskemia yang terbatas pada zona
infark. Daerah iskemia yang aktif disertai dengan tidak
stabilnya listrik dan pasien iskemia pada suatu jarak
mempunyai kemungkinan lebih banyak daerah beresiko
dibandingkan pasien tanpa iskemia pada suatu jarak.
c) Spasme arteri koronaria
Spasme arteri koronaria (terutama arteri koronaria destra)
dapat menimbulkan brakikardia sinus, blok AV yang lanjut atau
AF. Semua aritmia dapat menyokong henti jantung. Tampak
bahwa lebih besar derajat peningkatan segmen S-T yang
menyertai spasme arteri koronaria, lebih besar resiko SCD.
Tetapi insiden SDC pada pasien spasme arteri koronaria
berhubungn dengan derajat CAD obsruktif yang tetap. Yaitu
pasien CAD multipembuluh darah yang kritis ditambah spasme
arteri koronaria lebih mungkin mengalami henti jantung
dibandingkan pasien spase arteri koronaria tanpa obstuksi
koronaria yang tetap.
C. Patofisiologi
Patofisiologi cardiac arrest tergantung dari etiologi yang mendasarinya.
Namun, umumnya mekanisme terjadinya kematian adalah sama. Sebagai
akibat dari henti jantung, peredaran darah akan berhenti. Berhentinya
peredaran darah mencegah aliran oksigen untuk semua organ tubuh. Organ-
organ tubuh akan mulai berhenti berfungsi akibat tidak adanya suplai
oksigen, termasuk otak. Hypoxia cerebral atau ketiadaan oksigen ke otak,
menyebabkan korban kehilangan kesadaran dan berhenti bernapas normal.
Kerusakan otak mungkin terjadi jika cardiac arrest tidak ditangani dalam 5
menit dan selanjutnya akan terjadi kematian dalam 10 menit (Sudden
cardiac death).
Berikut akan dibahas bagaimana patofisiologi dari masing-masing etiologi
yang mendasari terjadinya cardiac arrest.
1. Penyakit Jantung Koroner
Penyakit jantung koroner menyebabkan Infark miokard atau yang
umumnya dikenal sebagai serangan jantung. Infark miokard merupakan
salah satu penyebab dari cardiac arrest. Infark miokard terjadi akibat
arteri koroner yang menyuplai oksigen ke otot-otot jantung menjadi keras
dan menyempit akibat sebuah materia(plak) yang terbentuk di dinding
dalam arteri. Semakin meningkat ukuran plak, semakin buruk sirkulasi ke
jantung. Pada akhirnya, otot-otot jantung tidak lagi memperoleh suplai
oksigen yang mencukupi untuk melakukan fungsinya, sehingga dapat
terjadi infark. Ketika terjadi infark, beberapa jaringan jantung mati dan
menjadi jaringan parut. Jaringan parut ini dapat menghambat sistem
konduksi langsung dari jantung, meningkatkan terjadinya aritmia dan
cardiac arrest.
2. Stress Fisik
Stress fisik tertentu dapat menyebabkan sistem konduksi jantung gagal
berfungsi, diantaranya:
a) perdarahan yang banyak akibat luka trauma atau perdarahan dalam
b) sengatan listrik
c) kekurangan oksigen akibat tersedak, penjeratan, tenggelam ataupun
serangan asma yang berat
d) Kadar Kalium dan Magnesium yang rendah
e) Latihan yang berlebih. Adrenalin dapat memicu SCA pada pasien
yang memiliki gangguan jantung.
f) Stress fisik seperti tersedak, penjeratan dapat menyebabkan vagal
refleks
akibat penekanan pada nervus vagus di carotic sheed.
3. Kelainan Bawaan
Ada sebuah kecenderungan bahwa aritmia diturunkan dalam keluarga.
Kecenderungan ini diturunkan dari orang tua ke anak mereka. Anggota
keluarga ini mungkin memiliki peningkatan resiko terkena cardiac arrest.
Beberapa orang lahir dengan defek di jantung mereka yang dapat
mengganggu bentuk (struktur) jantung dan dapat meningkatkan
kemungkinan terkena SCA.
4. Perubahan struktur jantung
Perubahan struktur jantung akibat penyakit katup atau otot jantung dapat
menyebabkan perubahan dari ukuran atau struktur yang pada akhirnrya
dapat mengganggu impuls listrik. Perubahan-perubahan ini meliputi
pembesaran jantung akibat tekanan darah tinggi atau penyakit jantung
kronik. Infeksi dari jantung juga dapat menyebabkan perubahan struktur
dari jantung.
5. Obat-obatan
Antidepresan trisiklik, fenotiazin, beta bloker, calcium channel blocker,
kokain, digoxin, aspirin, asetominophen dapat menyebabkan aritmia.
Penemuan adanya materi yang ditemukan pada pasien, riwayat medis
pasien yang diperoleh dari keluarga atau teman pasien, memeriksa
medical record untuk memastikan tidak adanya interaksi obat, atau
mengirim sampel urin dan darah pada laboratorium toksikologi dapat
membantu menegakkan diagnosis.
6. Tamponade jantung
Cairan yang yang terdapat dalam perikardium dapat mendesak jantung
sehingga tidak mampu untuk berdetak, mencegah sirkulasi berjalan
sehingga mengakibatkan kematian.
7. Tension pneumothorax
Terdapatnya luka sehingga udara akan masuk ke salah satu cavum
pleura. Udara akan terus masuk akibat perbedaan tekanan antara udara
luar dan tekanan dalam paru. Hal ini akan menyebabkan pergeseran
mediastinum. Ketika keadaan ini terjadi, jantung akan terdesak dan
pembuluh darah besar (terutama vena cava superior) tertekan, sehingga
membatasi aliran balik ke jantung.

Pathway

Penyakit jantung kelainan bawaan obat-obatan

Aritmia

Penurunan
Cardiac Arrest
Curah Jantung

Gangguan
Suplai O2 menurun Perfusi Jaringan
Cerebral

Hipoksia Cerebral

Penurunan Kesadaran

Pola Nafas
Apnea (Henti Nafas)
Tidak Efektif

Jantung Mati Mendadak (Sudden Cardiac Death)

Kematian jika tidak ditangani selama 10 menit


D. Gejala dan Tanda Henti Jantung
Henti jantung adalah penghentian tiba-tiba fungsi pompa jantung.
Karena tidak memadai perfusi otak, pasien akan tidak sadar dan akan
berhenti bernapas.
Tanda-tanda henti jantung :
- Kesadaran hilang (dalam 15 detik setelah henti jantung)
- Tak teraba denyut arteri besar (femoralis dan karotis pada orang
dewasa atau brakialis pada bayi)
- Nyeri
- Henti nafas atau mengap-megap (gasping)
- Terlihat seperti mati (death like appearance)
- Warna kulit pucat sampai kelabu
- Pupil dilatasi (setelah 45 detik)

E. Pemeriksaan Diagnostik
1. Elektrokardiogram
Biasanya tes yang diberikan ialah dengan elektrokardiogram (EKG).
Ketika dipasang EKG, sensor dipasang pada dada atau kadang-kadang di
bagian tubuh lainnya missal tangan dan kaki. EKG mengukur waktu dan
durasi dari tiap fase listrik jantung dan dapat menggambarkan gangguan
pada irama jantung. Karena cedera otot jantung tidak melakukan impuls
listrik normal, EKG bisa menunjukkan bahwa serangan jantung telah
terjadi. ECG dapat mendeteksi pola listrik abnormal, seperti interval QT
berkepanjangan, yang meningkatkan risiko kematian mendadak.
2. Tes darah
a) Pemeriksaan Enzim Jantung
Enzim-enzim jantung tertentu akan masuk ke dalam darah jika jantung
terkena serangan jantung. Karena serangan jantung dapat memicu
sudden cardiac arrest. Pengujian sampel darah untuk mengetahui
enzim-enzim ini sangat penting apakah benar-benar terjadi serangan
jantung.
b) Elektrolit Jantung
Melalui sampel darah, kita juga dapat mengetahui elektrolit-elektrolit
yang ada pada jantung, di antaranya kalium, kalsium, magnesium.
Elektrolit adalah mineral dalam darah kita dan cairan tubuh yang
membantu menghasilkan impuls listrik. Ketidak seimbangan pada
elektrolit dapat memicu terjadinya aritmia dan sudden cardiac arrest.
1) Test Obat
Pemeriksaan darah untuk bukti obat yang memiliki potensi untuk
menginduksi aritmia, termasuk resep tertentu dan obat-obatan
tersebut merupakan obat-obatan terlarang.
2) Test Hormon
Pengujian untuk hipertiroidisme dapat menunjukkan kondisi ini
sebagai pemicu cardiac arrest.
3. Imaging tes
a) Pemeriksaan Foto Torak
Foto thorax menggambarkan bentuk dan ukuran dada serta pembuluh
darah. Hal ini juga dapat menunjukkan apakah seseorang terkena
gagal jantung.
b) Pemeriksaan nuklir
Biasanya dilakukan bersama dengan tes stres, membantu
mengidentifikasi masalah aliran darah ke jantung. Radioaktif yang
dalam jumlah yang kecil, seperti thallium disuntikkan ke dalam aliran
darah. Dengan kamera khusus dapat mendeteksi bahan radioaktif
mengalir melalui jantung dan paru-paru.
c) Ekokardiogram
Tes ini menggunakan gelombang suara untuk menghasilkan gambaran
jantung. Echocardiogram dapat membantu mengidentifikasi apakah
daerah jantung telah rusak oleh cardiac arrest dan tidak memompa
secara normal atau pada kapasitas puncak (fraksi ejeksi), atau apakah
ada kelainan katup.
4. Electrical system (electrophysiological) testing and mapping
Tes ini, jika diperlukan, biasanya dilakukan nanti, setelah seseorang sudah
sembuh dan jika penjelasan yang mendasari serangan jantung Anda
belum ditemukan. Dengan jenis tes ini, dokter mungkin mencoba untuk
menyebabkan aritmia, sementara dokter memonitor jantung Anda. Tes ini
dapat membantu menemukan tempat aritmia dimulai. Selama tes,
kemudian kateter dihubungkan denga electrode yang menjulur melalui
pembuluh darah ke berbagai tempat di area jantung. Setelah di tempat,
elektroda dapat memetakan penyebaran impuls listrik melalui jantung
pasien. Selain itu, ahli jantung dapat menggunakan elektroda untuk
merangsang jantung pasien untuk mengalahkan penyebab yang mungkin
memicu - atau menghentikan – aritmia. Hal ini memungkinkan dokter
untuk mengamati lokasi aritmia.
5. Ejection fraction testing
Salah satu prediksi yang paling penting dari risiko sudden cardiac arrest
adalah seberapa baik jantung Anda mampu memompa darah. Dokter
dapat menentukan kapasitas pompa jantung dengan mengukur apa yang
dinamakan fraksi ejeksi. Hal ini mengacu pada persentase darah yang
dipompa keluar dari ventrikel setiap detak jantung. Sebuah fraksi ejeksi
normal adalah 55 sampai 70 persen. Fraksi ejeksi kurang dari 40 persen
meningkatkan risiko sudden cardiac arrest. Dokter Anda dapat mengukur
fraksi ejeksi dalam beberapa cara, seperti dengan ekokardiogram,
Magnetic Resonance Imaging (MRI) dari jantung Anda, pengobatan nuklir
scan dari jantung Anda atau computerized tomography (CT) scan jantung.
6. Coronary catheterization (angiogram)
Pengujian ini dapat menunjukkan jika arteri koroner Anda terjadi
penyempitan atau penyumbatan. Seiring dengan fraksi ejeksi, jumlah
pembuluh darah yang tersumbat merupakan prediktor penting sudden
cardiac arrest. Selama prosedur, pewarna cair disuntikkan ke dalam arteri
hati Anda melalui tabung panjang dan tipis (kateter) yang melalui arteri,
biasanya melalui kaki, untuk arteri di dalam jantung. Sebagai pewarna
mengisi arteri, arteri menjadi terlihat pada X-ray dan rekaman video,
menunjukkan daerah penyumbatan. Selain itu, sementara kateter
diposisikan, dokter mungkin mengobati penyumbatan dengan melakukan
angioplasti dan memasukkan stent untuk menahan arteri terbuka.

F. Komplikasi
Komplikasi cardiac arrest adalah:
1. Hipoksia jaringan perifer
2. Hipoksia cerebral
3. Kematian
G. Penatalaksanaan
Pasien yang mendadak kolaps ditangani melalui 5 tahap, yaitu:
1. Respons awal
2. Penanganan untuk dukungan kehidupan dasar (basic life support)
3. Penanganan dukungan kehidupan lanjutan (advanced life support)
4. Asuhan pasca resusitasi
5. Penatalaksanaan jangka panjang
Respons awal dan dukungan kehidupan dasar dapat diberikan oleh dokter,
perawat, personil paramedic, dan orang yang terlatih. Terdapat keperluan
untuk meningkatkan keterampilan saat pasien berlanjut melalui tingkat
dukungan kehidupan lanjut, asuhan pascaresusitasi, dan penatalaksanaan
jangka panjang.
1. Respons Awal
Respons awal akan memastikan apakah suatu kolaps mendadak benar-
benar disebabkan oleh henti jantung. Observasi gerakan respirasi, warna
kulit, dan ada tidaknya denyut nadi pada pembuluh darah karotis atau
arteri femoralis dapat menentukan dengan segera apakah telah terjadi
serangan henti jantung yang dapat membawa kematian. Gerakan
respirasi agonal dapat menetap dalam waktu yang singkat setelah henti
jantung, tetapi yang penting untuk diobservasi adalah stridor yang berat
dengan nadi persisten sebagai petunjuk adanya aspirasi benda asing
atau makanan. Jika keadaan ini dicurigai, maneuver Heimlich yang cepat
dapat mengeluarkan benda yang menyumbat. Pukulan di daerah
prekordial yang dilakukan secara kuat dengan tangan terkepal erat pada
sambungan antara bagian sternum sepertiga tengah dan sepertiga
bawah kadang-kadang dapat memulihkan takikardia atau fibrilasi
ventrikel, tetapi tindakan ini juga dikhawatirkan dapat mengubah
takikardia ventrikel menjadi fibrilasi ventrikel. Karena itu, telah dianjurkan
untuk menggunakan pukulan prekordial hanya pada pasien yang
dimonitor; rekomendasi ini masih controversial. Tindakan ke tiga selama
respons inisial adalah membersihkan saluran nafas. Gigi palsu atau
benda asing yang di dalam mulut dikeluarkan, dan maneuver Heimlich
dilakukan jika terdapat indikasi mencurigakan adanya benda asing yang
terjepit di daerah orofaring. Jika terdapat kecurigaan akan adanya henti
respirasi (respiratory arrest) yang mendahului serangan henti jantung,
pukulan prekordial kedua dapat dilakukan setelah saluran napas
dibersihkan.

2. Tindakan Dukungan Kehidupan Dasar (Basic Life Support)


Tindakan ini yang lebih popular dengan istilah resusitasi kardiopulmoner
(RKP;CPR;Cardiopulmonary Resuscitation) merupakan dukungan
kehidupan dasar yang bertujuan untuk mempertahankan perfusi organ
sampai tindakan intervensi yang definitive dapat dilaksanakan. Unsur-
unsur dalam tindakan RKP terdiri atas tindakan untuk menghasilkan
serta mempertahankan fungsi ventilasi paru dan tindakan kompresi
dada. Respirasi mulut ke mulut dapat dilakukan bila tidak tersedia
perlengkapan penyelamat yang khusus misalnya pipa napas orofaring
yang terbuat dari plastic, obturator esophagus, ambu bag dengan
masker. Teknik ventilasi konvensional selama RKP memerlukan
pengembangan paru yang dilakukan dengan menghembuskan udara
pernapasan sekali setiap 5 detik, kalau terdapat dua orang yang
melakukan resusitasi dan dua kali secara berturut, setiap 15 detik kalau
yang mengerjakan ventilasi maupun kompresi dinding dada hanya satu
orang.
Kompresi dada dilakukan berdasarkan asumsi bahwa kompresi jantung
memungkinkan jantung untuk mempertahankan fungsi pemompaan
dengan pengisian serta pengosongan rongga-rongganya secara
berurutan sementara katup-katup jantung yang kompeten
mempertahankan aliran darah ke depan. Telapak yang satu diletakkan
pada sternum bagian bawah, sementara telapak tangan yang lainnya
berada pada permukaan dorsum tangan yang di sebelah bawah.
Sternum kemudian ditekan dengan kedua lengan penolong tetap berada
dalam keadaan lurus. Penekanan ini dilakukan dengan kecepatan
kurang lebih 80 kali per menit. Penekanan dilakukan dengan kekuatan
yang cukup untuk menghasilkan depresi sternum sebesar 3 hingga 5 cm,
dan relaksasi dilakukan secara tiba-tiba. Teknik RKP konvensional ini
sekarang sedang dibandingkan dengan teknik baru yang didasarkan
pada ventilasi dan kompresi simultan. Sementara aliran arteri karotis
yang dapat diukur dapat dicapai dengan RKP konvensional, data
eksperimental dan pemikiran teoritis mendukung bahwa aliran dapat
dioptimalkan melaui kerja pompa yang dihasilkan oleh perubahan
tekanan pada seluruh rongga torasikus, seperti yang dicapai dengan
kompresi dan ventilasi simultan. Namun, tidak jelas apakah teknik ini
menyebabkan impedansi aliran darah koroner dan apakah peningkatan
aliran karotis menghasilkan peningkatan yang ekuivalen pada perfusi
serebral.
Langkah-langkah penting dalam resusitasi kardiopulmoner. A. Pastikan
bahwa saluran nafas korban dalam keadaan lapang/ terbuka. B. Mulailah
resusitasi respirasi dengan segera. C. Raba denyut nadi karotis di dalam
lekukan sepanjang jakun (Adam’s apple) atau kartilago tiroid. D. Jika
denyut nadi tidak teraba, mulai lakukan pijat jantung. Lakukan
penekanan sebanyak 60 kali per menit dengan satu kali penghembusan
udara untuk mengembangkan paru setelah setiap 5 kali penekanan
dada. (Isselbacher: 228)
3. Tindakan Dukungan Kehidupan Lanjut (Advance Life Support)
Tindakan ini bertujuan untuk menghasilkan respirasi yang adekuat,
mengendalikan aritmia jantung, menyetabilkan status hemodinamika
(tekanan darah serta curah jantung) dan memulihkan perfusi organ.
Aktivitas yang dilakukan untuk mencapai tujuan ini mencakup:
a) Tindakan intubasi dengan endotracheal tube
b) Defibrilasi/ kardioversi, dan/atau pemasangan pacu jantung
c) Pemasangan lini infuse.
Ventilasi dengan O2 atau udara ruangan bila O2 tidak tersedia dengan
segera, dapat memulihkan keadaan hipoksemia dan asidosis dengan
segera. Kecepatan melakukan defibrilasi atau kardioversi merupakan
elemen penting untuk resusitasi yang berhasil. Kalau mungkin, tindakan
defibrilasi harus segera dilakukan sebelum intubasi dan pemasangna
selang infuse. Resusitasi kardiopulmoner harus dikerjakan sementara
alat defibrillator diisi muatan arusnya. Segera setelah diagnosis
takikardia atau fibrilasi ventrikel ditentukan, kejutan listrik sebesar 200-J
harus diberikan. Kejutan tambahan dengan kekuatan yang lebih tinggi
hingga maksimal 360-J, dapat dicoba bila kejutan pertama tidak berhasil
menghilangkan takikardia atau fibrilasi ventrikel. Jika pasien masih
belum sadar sepenuhnya setelah dilakukan reversi, atau bila 2 atau 3
kali percobaan tidak membawa hasil, maka tindakan intubasi segera,
ventilasi dan analisis gas darah arterial harus segera dilakukan.
Pemberian larutan NaHCO3 intravena yang sebelumnya diberikan
dalam jumlah besar kini tidak dianggap lagi sebagai keharusan yang
rutin dan bisa berbahaya bila diberikan dalam jumlah yang lebih besar.
Namun, pasien yang tetap mengalami asidosis setalah defibrilasi dan
intubasi yang berhasil harus diberikan 1 mmol/kg NaHCO3 pada
awalnya dan tambahan 50% dosis diulangi setiap 10-15 menit.
Setelah upaya defibrilasi pendahuluan tanpa mempedulikan apakah
upaya ini berhasil atau tidak, preparat bolus 1mg/kg lidokain diberikan
intravena dan pemberian ini diulang dalam waktu 2 menit pada pasien-
pasien yang memperlihatkan aritmia ventrikel yang persisten atau tetap
menunjukkan fibrilasi ventrikel. Penyuntikan lidokain ini diikuti oleh
infuse lidokain dengan takaran 1-4 mg/menit. Jika lidokain tidak berhasil
mengendalikan keadaan tersebut, pemberian intravena prokainamid
(dosis awal 100mg/5 menit hingga tercapai dosis total 500-800mg,
diikuti dengan pemberian lewat infuse yang kontinyu dengan dosis 2-
5mg/menit). Atau bretilium tosilat (dosis awal 5-10mg/kg dalam waktu 5
menit; dosis pemeliharaan (maintanance) 0,5-2 mg/menit), dapat dicoba.
Untuk mengatasi fibrilasi ventrikel yang per sisten, preparat epinefrin
(0,5-1,0 mg) dapat diberikan intravena setiap 5 menit sekali selama
resusitasi dengan upaya defibrilasi pada saat-saat diantara setiap
pemberian preparat tersebut. Obat tersebut dapat diberikan secara
intrakardial jika cara pemberian intravena tidak dapat dilakukan.
Pemberian kalsium glukonat intravena tidak lagi dianggap aman atau
perlu untuk pemakaian yang rutin. Obat ini yang hanya digunakan pada
pasien dengan hiperkalemia akut dianggap sebagai pencetus VF
resisten, pada keadaan adanya hipokalsemia yang diketahui, atau pada
pasien yang menerima dosis toksik antagonis hemat kalsium.
Henti jantung yang terjadi sekunder akibat bradiaritmia atau asistol
ditangani dengan cara yang berbeda. Setelah diketahui jenis aritmianya,
terapi syok dari luar tidak memiliki peranan. Pasien harus segera
diintubasi, resusitasi kardiopulmoner diteruskan dan harus diupayakan
untuk mengendalikan keadaan hipoksemia serta asidosis. Epinefrin dan
atau atropine diberikan intravena atau dengan penyuntikan intrakardial.
Pemasangan alat pacing eksternal kini sudah dapat dilakukan untuk
mencoba menghasilkan irama jantung yang teratur, tetapi prognosis
pasien pada bentuk henti jantung ini umumnya sangat buruk. Satu
pengecualian adalah henti jantung asistolik atau bradiaritmia sekunder
terhadap obstruksi jalan napas. Bentuk henti jantung ini dapat
memberikan respons cepat untuk pengambilan benda asing dengan
maneuver Heimlich atau, pada pasien yang dirawat di rumah sakit.
Dengan intubasi dan penyedotan sekresi yang menyumbat di jalan
napas.
4. Perawatan Pasca Resusitasi
Fase penatalaksanaan ini ditentukan oleh situasi klinis saat terjadinya
henti jantung. Fibrilasi ventrikel primer pada infark miokard akut
umumnya sangat responsive terhadap teknik-teknik dukungan kehidupan
(life support) dan mudah dikendalikan setelah kejadian permulaan.
Pemberian infuse lidokain dipertahankan dengan dosis 2-4 mg/menit
selama 24-72 jam setelah serangan. Dalam perawatan rumah sakit,
bantuan respirator biasanya tidak perlu atau diperlukan hanya untuk
waktu yang singkat dan stabilisasi hemodinamik yang terjadi dengan
cepat setelah defibrilasi atau kardioversi. Dalam fibrilasi ventrikel
sekunder pada IMA (kejadian dengan abnormalitas hemodinamika
menjadi predisposisi untuk terjadinya aritmia yang dapat membawa
kematian), upaya resusitasi kurang begitu berhasil dan pada pasien yang
berhasil diresusitasi, angka rekurensinya cukup tinggi. Gambaran klinis
didominasi oleh ketidak stabilan hemodinamik. Dalam kenyataan, hasil
akhir lebih ditentukan oleh kemampuan untuk mengontrol gangguan
hemodiunamik dibandingkan dengan gangguan elektrofisiologi. Disosiasi
elektromekanis, asitol dan bradiaritmia merupakan peristiwa sekunder
yang umum pada pasien yang secara hemodinamis tidak stabil dan
kurang responsive terhadap intervensi.
Hasil akhir (outcome) setelah serangan henti jantung di rumah sakit yang
menyertai penyakit nonkardiak adalah buruk, dan pada beberapa pasien
yang berhasil diresusitasi, perjalanan pasca resusitasi didominasi oleh
sifat penyakit yang mendasari serangan henti jantung tersebut. Pasien
dengan kanker, gagal ginjal, penyakit system saraf pusat akut dan infeksi
terkontrol, sebagai suatu kelompok, mempunyai angka kelangsungan
hidup kurang dari 10 persen setelah henti jantung di rumah sakit.
Beberapa pengecualian utama terhadap hasil akhir henti jantung yang
buruk akibat penyebab bukan jantung adalah pasien dengan obstruksi
jalan nafas transien, gangguan elektrolit, efek proaritmia obat-obatan dan
gangguan metabolic yang berat, kebanyakan mereka yang mempunyai
harapan hidup baik jika mereka mendapat resusitasi dengan cepat dan
dipertahankan sementara gangguan transien dikoreksi.
5. Penatalaksanaan Jangka Panjang
Bentuk perawatan ini dikembangkan menjadi daerah utama aktivitas
spesialisasi klinis karena perkembangan system penyelamatan
emergency berdasar-komunitas. Pasien yang tidak menderita kerusakan
system saraf pusat yang ireversibel dan yang mencapai stabilitas
hemodinamik harus dilakukan tes diagnostik dan terapeutik yang
ekstensif untuk tuntutan penatalaksanaan jangka panjang. Pendekatan
agresif ini dilakukan atas dasar dorongan fakta bahwadata statistikdari
tahun 1970 mengindikasikan kelangsungan hidup setelah henti jantung
di luar rumah sakit diikuti oleh angka henti jantung rekuren 30 persen
pada 1 tahun, 45 persen pada 2 tahundan angka mortalitas total hampir
60 persen pada 2 tahun. Perbandingan historis mendukung bahwa
statistik buruk ini dapat diperbaiki dengan intervensi yang baru. Tetapi
seberapa besar perbaikannya idak diketahui karena kurangnya uji
intervensi bersamaan yang terkendali.
Diantara pasien ini dengan penyebab henti jantung di luar rumah sakit
adalah MI akut dan transmural, penatalaksanaan sama dengan semua
pasien lain yang menderita henti jantung selama fase akut MI yang
nyata. Untuk hampir semua kategori pasien, bagaimanapun, uji
diagnostic ekstensif dilakukan menentukan etiologi, gangguan fungsional
dan ketidakstabilan elektrofisiologik sebagai penuntun penatalaksanaan
selanjutnya. Secara umum, pasien yang mempunyai henti jantung di luar
rumah sakit akibat penyakit jantung iskemik kronik, tanpa MI akut,
dievaluasi untuk menetukan apakah iskemia transien atau
ketidakstabilan elektrofisologik merupakan penyebab yang lebih mungkin
dari peristiwa ini. Jika terdapat alas an untuk mencurigai suatu
mekanisme iskemik, pembedahan anti-iskemik atau Intervensi medis
(seperti angiografi, obat) digunakan untuk mengurangi beban iskemik.
Ketidakstabilan elektrofisiologik paling baik diidentifikasi dengan
menggunakan stimulasi elektris terprogram untuk menentukan apakah
VT atau VF tertahan dapat diinduksi pada pasien. Jika ya, informasi ini
dapat digunakan sebagai data dasar untuk mengevaluasi efektifitas obat
untuk pencegahan kekambuhan. Informasi ini juga dapat digunakan
untuk menentukan kecocokan untuk pembedahan antiaritmik dengan
tuntunan peta. Menggunakan teknik ini untuk menegakkan terapi obat
pada pasien dengan fraksi ejeksi 30 persen atau lebih, angka henti
jantung rekuren adalah kurang dari 10 persen selama tahun pertama
tindak lanjut. Hasil akhir tidak sebaik untuk pasien fraksi dengan fraksi
ejeksi dibawah 30 persen, tetapi tetap lebih baik dibandingkan riwayat
alami yang tampak dari kelangsungan hidup setelah henti jantung. Untuk
pasien yang keberhasilan dengan terapi obat tidak dapat diidentifikasi
dengan teknik ini, pengobatan empirik dengan amiodaron, penanaman
defibrillator/kardioverter (ICD, implantable cardioverter/defibrillator)
dalam tubuh, atau pembedahan antiaritmia (seperti bedah pintas
koroner, aneurismektomi, kriobliasi), dapat dianggap sebagai pilihan.
Sukses pembedahan primer, diartikan sebagai mempertahankan hidup
prosedur dan kembali pada keadaan yang tak dapat diinduksi tanpa
terapi obat, adalah lebih baik dari 90 persen bila pasien dipilih untuk
kemampuan dipetakan dalam ruang operasi. Terapi ICD juga
dikembangkan menjadi sistem yang lebih menarik, termasuk
kemampuan untuk memacu lebih baik dibandingkan mengejutkan (shock
out) beberapa aritmia pada pasien terpilih. Susunan Intervensi tersedia
untuk pasien ini, digunakan dengan pantas, menunjukkan perbaikan
perbaikan yang berlanjut pada hasil akhir jangka panjang.
H. Diagnosa Keperawatan
1. Penurunan curah jantung b.d kemampuan pompa jantung menurun
2. Gangguan perfusi jaringan cerebral b.d penurunan suplai O2 ke otak
3. Pola nafas tidak efektif b.d apnea (henti nafas)
DAFTAR PUSTAKA

Dr. Nugroho, Taufan. 2011. Asuhan Keperawatan Maternitas, Anak, Bedah Dan
Penyakit Dalam. Yogyakarta : Nuhu Medika

Mutahal, Apuranto H. 2007. Kematian Mendadak. In: Apuranto H, Hoediyanto,


Editors. Buku Ajar Ilmu Kedokteran Forensik Dan Medikolegal. Edisi 3.
Surabaya: Airlangga

Muttaqin, Arif. 2009. Pengantar Asuhan Keperawatan Klien Dengan Gannguan


Sistem Kardiovaskuler. Jakarta : Salemba Medika
LAPORAN PENDAHULUAN
CARDIAC ARREST
DI RUANG OK RSUD ULIN BANJARMASIN

Di Susun Oleh :
Khairunnisa
13.IK.348

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN


SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN SARI MULIABANJARMASIN
2017

You might also like