Professional Documents
Culture Documents
Pengertian
Cardiac arrest adalah hilangnya fungsi jantung secara tiba-tiba dan
mendadak, bisa terjadi pada seseorang yang memang didiagnosa dengan
penyakit jantung ataupun tidak. Waktu kejadiannya tidak bisa diperkirakan,
terjadi dengan sangat cepat begitu gejala dan tanda tampak (American Heart
Association,2010).
Jameson, dkk (2005), menyatakan bahwa cardiac arrest adalah
penghentian sirkulasi normal darah akibat kegagalan jantung untuk
berkontraksi secara efektif. Berdasarkan pengertian di atas maka dapat
diambil suatu kesimpulan bahwa henti jantung atau cardiac arrest adalah
hilangnya fungsi jantung secara mendadak untuk mempertahankan sirkulasi
normal darah untuk memberi kebutuhan oksigen ke otak dan organ vital
lainnya akibat kegagalan jantung untuk berkontraksi secara efektif.
B. Etiologi
1. Faktor-faktor Risiko
a. Usia
Insiden CD meningkat dengan bertambahnya usia bahkan pada
pasien yang bebas dari CAD (coronary artery disease) simtomatik.
b. Jenis kelamin
Tampak bahwa pria mempunyai insiden SCD (kematiab jntung
mendadak) yang lebih tinggi dibandingkan wanita yang bebas dari
CAD yang mendasari.
c. Merokok
Merokok telah dilibatkan sebagai suatu factor yang meningkatkan
insiden SCD (ada efek aritmogenik langsung dari merokok sigaret atas
miokardium ventrikel). Tetapi menurut pengertian Framingham,
peningkatan resiko akibat merokok hanya terlihat pada pria. Yang
menarik, peningkatan resiko ini menurun pada pasien yang berhenti
merokok. Merokok juga meningkatkan insiden CAD yang tampil pada
kebanyakan pasien yang menderita henti jantung.
d. Penyakit jantung yang mendasari
1) Tidak ada penyakit jatung yang diketahui
Pasien ini mempunyai pengurangan resiko SCD, bila dibandingkan
dengan pasien CAD atau pasien dengan pengurangan fungsi
ventrikel kiri.
2) Penyakit arteri koronaria (CAD)
Data dari penelutian Framingham telah memperlihatkan pasien
CAD mempunyai frekuensi SCD Sembilan kali pasien dengan usia
yang sama tanpa CAD yang jelas. The Multicenter Post Infarction
Research Group mengevaluasi beberapa variable pada pasien
yang menderita MI. Kelompok ini berkesimpulan bahwa pasien
pasca MI dengan fraksi ejeksi ventrikel kiri yang kurang dari 40%,
10 atau lebih kontraksi premature ventrikel (VPC) per jam, sebelum
MI dan ronki dalam masa periinfark mempunyai peningkatan
mortalitas (1-2 tahun) dibandingkan dengan pasien tanpa masalah
ini. Jelas pasien CAD (terutama yang menderita MI) dengan resiko
SCD yang lebih besar.
3) Sindrom prolaps katup mitral (MVPS)
Tes elektrofisiologi (EP) pada pasien MVPS telah memperlihatkan
tingginya insiden aritmia ventrikel yang dapat di induksi, terutama
pada pasien dengan riwayat sinkop atau prasinkop. Terapi anti
aritmia pada pasien ini biasanya akan mengembalikan gejalanya.
4) Hipertrofi septum yang asimetrik (ASH)
Pasien ASH mempunyai peningkatan insiden aritmia atrium dan
ventrikel yang bisa menyebabkan kematian listrik atau
hemodinamik (peningkatan obstruksi aliran keluar). Riwayat VT
atau bahkan denyut kelompok ventrikel akan meningkatkan risiko
SCD.
5) Sindrom Wolff-Parkinson-White (WPW)
Perkembangan flutter atrium dengan hantaran AV 1:1 melalui suatu
jalur tambahan atau AF dengan respon ventrikel sangat cepat (juga
karena hantaran jalur tambahan antegrad) menimbulkan frekuensi
ventrikel yang cepat, yang dapat menyebabkan VF dan bahkan
kematian mendadak.
6) Sindrom Q-T yang memanjang
Pasien dengan pemanjangan Q-T yang kongenital atau idiopatik
mempunyai peningktan resiko SCD. Kematian sering timbul selama
masa kanak-kanak. Mekanisme ini bisa berhubungan dengan
kelainan dalam pernafasan simpatis jantung yang memprodisposisi
ke VF.
e. Lain-lainnya
1) Hipertensi: peningkatan tekanan darah sistolik dan diastolic
merupakan predisposisi SCD
2) Hiperkolesteremia: tidak ada hubungan jelas antara kadar
kolesterol serum dan SCD yang telah ditemukan
3) Diabetes mellitus: dalam penelitian Framingham hanya pada
wanita ditemukan peningkatan insiden SCD yang menyertai
intoleransi glukosa.
4) Ketidakaktifan fisik: gerak badan mempunyai manfaat tidak jelas
dalam mengurangi insiden SCD.
5) Obesitas: menurut data Framingham, obesitas meninggkatkan
resiko SCD pada pria, bukan wanita.
f. Riwayat aritmia
1) Aritmia supraventrikel
Pada pasien sindrom WPW dan ASH, perkembangan aritmia
supraventrikel disertai dengan peningkatan insiden SCD. Pasien
CAD yang kritis juga beresiko, jika aritmia supraventrikel
menimbulkan iskemia miokardium. Tampak bahwa iskemia dapat
menyebabkan tidak stabilnya listrik, yang mengubah sifat
elektrofisiologi jantung yang menyebabkan VT terus-menerus atau
VF. Tetapi sering episode iskemik ini asimtomatik.
2) Aritmia ventrikel
Pasien dengan penyakit jantung yang mendasari dan VT tidak
terus-menerus menpunyai peningkatan insiden SCD dibandingkan
pasien dengan VPC tersendiri. Kombinasi VT yang tidak terus-
menerus dan disfungsi ventrikel kiri disertai tingginya resiko SCD.
Pasien CAD dan VT spontan mempunyai ambang VT yang lebih
rendah dibandingkan pasien CAD dan tanpa riwayat VT. Sehingga
pasien CAD dengan fraksi ejeksi ventrikel kiri yang rendah dan VF
atau VT terus-menerus yang spontan mempunyai insiden SCD
tertinggi.
3) Faktor pencetus
a) Aktivitas
Hubungan antara SCD dan gerak badan masih tidak jelas.
Analisis 59 pasien yang meninggal mendadak memperlihatkan
bahwa setengah dari kejadian ini timbul selama atau segera
setelah gerak badan. Tampak bahwa gerak badan bisa
mencetuskan SCD, terutama jika aktivitas berlebih dan selama
tidur SCD jarang terjadi.
b) Iskemia
Pasien dengan riwayat MI dan Iskemia pada suatu lokasi yang
jauh (iskemia dalam distribusi arteri koronaria noninfark)
mempunyai insiden aritmia ventrikel yang lebih tinggi
dibandingkan dengan pasien iskemia yang terbatas pada zona
infark. Daerah iskemia yang aktif disertai dengan tidak
stabilnya listrik dan pasien iskemia pada suatu jarak
mempunyai kemungkinan lebih banyak daerah beresiko
dibandingkan pasien tanpa iskemia pada suatu jarak.
c) Spasme arteri koronaria
Spasme arteri koronaria (terutama arteri koronaria destra)
dapat menimbulkan brakikardia sinus, blok AV yang lanjut atau
AF. Semua aritmia dapat menyokong henti jantung. Tampak
bahwa lebih besar derajat peningkatan segmen S-T yang
menyertai spasme arteri koronaria, lebih besar resiko SCD.
Tetapi insiden SDC pada pasien spasme arteri koronaria
berhubungn dengan derajat CAD obsruktif yang tetap. Yaitu
pasien CAD multipembuluh darah yang kritis ditambah spasme
arteri koronaria lebih mungkin mengalami henti jantung
dibandingkan pasien spase arteri koronaria tanpa obstuksi
koronaria yang tetap.
C. Patofisiologi
Patofisiologi cardiac arrest tergantung dari etiologi yang mendasarinya.
Namun, umumnya mekanisme terjadinya kematian adalah sama. Sebagai
akibat dari henti jantung, peredaran darah akan berhenti. Berhentinya
peredaran darah mencegah aliran oksigen untuk semua organ tubuh. Organ-
organ tubuh akan mulai berhenti berfungsi akibat tidak adanya suplai
oksigen, termasuk otak. Hypoxia cerebral atau ketiadaan oksigen ke otak,
menyebabkan korban kehilangan kesadaran dan berhenti bernapas normal.
Kerusakan otak mungkin terjadi jika cardiac arrest tidak ditangani dalam 5
menit dan selanjutnya akan terjadi kematian dalam 10 menit (Sudden
cardiac death).
Berikut akan dibahas bagaimana patofisiologi dari masing-masing etiologi
yang mendasari terjadinya cardiac arrest.
1. Penyakit Jantung Koroner
Penyakit jantung koroner menyebabkan Infark miokard atau yang
umumnya dikenal sebagai serangan jantung. Infark miokard merupakan
salah satu penyebab dari cardiac arrest. Infark miokard terjadi akibat
arteri koroner yang menyuplai oksigen ke otot-otot jantung menjadi keras
dan menyempit akibat sebuah materia(plak) yang terbentuk di dinding
dalam arteri. Semakin meningkat ukuran plak, semakin buruk sirkulasi ke
jantung. Pada akhirnya, otot-otot jantung tidak lagi memperoleh suplai
oksigen yang mencukupi untuk melakukan fungsinya, sehingga dapat
terjadi infark. Ketika terjadi infark, beberapa jaringan jantung mati dan
menjadi jaringan parut. Jaringan parut ini dapat menghambat sistem
konduksi langsung dari jantung, meningkatkan terjadinya aritmia dan
cardiac arrest.
2. Stress Fisik
Stress fisik tertentu dapat menyebabkan sistem konduksi jantung gagal
berfungsi, diantaranya:
a) perdarahan yang banyak akibat luka trauma atau perdarahan dalam
b) sengatan listrik
c) kekurangan oksigen akibat tersedak, penjeratan, tenggelam ataupun
serangan asma yang berat
d) Kadar Kalium dan Magnesium yang rendah
e) Latihan yang berlebih. Adrenalin dapat memicu SCA pada pasien
yang memiliki gangguan jantung.
f) Stress fisik seperti tersedak, penjeratan dapat menyebabkan vagal
refleks
akibat penekanan pada nervus vagus di carotic sheed.
3. Kelainan Bawaan
Ada sebuah kecenderungan bahwa aritmia diturunkan dalam keluarga.
Kecenderungan ini diturunkan dari orang tua ke anak mereka. Anggota
keluarga ini mungkin memiliki peningkatan resiko terkena cardiac arrest.
Beberapa orang lahir dengan defek di jantung mereka yang dapat
mengganggu bentuk (struktur) jantung dan dapat meningkatkan
kemungkinan terkena SCA.
4. Perubahan struktur jantung
Perubahan struktur jantung akibat penyakit katup atau otot jantung dapat
menyebabkan perubahan dari ukuran atau struktur yang pada akhirnrya
dapat mengganggu impuls listrik. Perubahan-perubahan ini meliputi
pembesaran jantung akibat tekanan darah tinggi atau penyakit jantung
kronik. Infeksi dari jantung juga dapat menyebabkan perubahan struktur
dari jantung.
5. Obat-obatan
Antidepresan trisiklik, fenotiazin, beta bloker, calcium channel blocker,
kokain, digoxin, aspirin, asetominophen dapat menyebabkan aritmia.
Penemuan adanya materi yang ditemukan pada pasien, riwayat medis
pasien yang diperoleh dari keluarga atau teman pasien, memeriksa
medical record untuk memastikan tidak adanya interaksi obat, atau
mengirim sampel urin dan darah pada laboratorium toksikologi dapat
membantu menegakkan diagnosis.
6. Tamponade jantung
Cairan yang yang terdapat dalam perikardium dapat mendesak jantung
sehingga tidak mampu untuk berdetak, mencegah sirkulasi berjalan
sehingga mengakibatkan kematian.
7. Tension pneumothorax
Terdapatnya luka sehingga udara akan masuk ke salah satu cavum
pleura. Udara akan terus masuk akibat perbedaan tekanan antara udara
luar dan tekanan dalam paru. Hal ini akan menyebabkan pergeseran
mediastinum. Ketika keadaan ini terjadi, jantung akan terdesak dan
pembuluh darah besar (terutama vena cava superior) tertekan, sehingga
membatasi aliran balik ke jantung.
Pathway
Aritmia
Penurunan
Cardiac Arrest
Curah Jantung
Gangguan
Suplai O2 menurun Perfusi Jaringan
Cerebral
Hipoksia Cerebral
Penurunan Kesadaran
Pola Nafas
Apnea (Henti Nafas)
Tidak Efektif
E. Pemeriksaan Diagnostik
1. Elektrokardiogram
Biasanya tes yang diberikan ialah dengan elektrokardiogram (EKG).
Ketika dipasang EKG, sensor dipasang pada dada atau kadang-kadang di
bagian tubuh lainnya missal tangan dan kaki. EKG mengukur waktu dan
durasi dari tiap fase listrik jantung dan dapat menggambarkan gangguan
pada irama jantung. Karena cedera otot jantung tidak melakukan impuls
listrik normal, EKG bisa menunjukkan bahwa serangan jantung telah
terjadi. ECG dapat mendeteksi pola listrik abnormal, seperti interval QT
berkepanjangan, yang meningkatkan risiko kematian mendadak.
2. Tes darah
a) Pemeriksaan Enzim Jantung
Enzim-enzim jantung tertentu akan masuk ke dalam darah jika jantung
terkena serangan jantung. Karena serangan jantung dapat memicu
sudden cardiac arrest. Pengujian sampel darah untuk mengetahui
enzim-enzim ini sangat penting apakah benar-benar terjadi serangan
jantung.
b) Elektrolit Jantung
Melalui sampel darah, kita juga dapat mengetahui elektrolit-elektrolit
yang ada pada jantung, di antaranya kalium, kalsium, magnesium.
Elektrolit adalah mineral dalam darah kita dan cairan tubuh yang
membantu menghasilkan impuls listrik. Ketidak seimbangan pada
elektrolit dapat memicu terjadinya aritmia dan sudden cardiac arrest.
1) Test Obat
Pemeriksaan darah untuk bukti obat yang memiliki potensi untuk
menginduksi aritmia, termasuk resep tertentu dan obat-obatan
tersebut merupakan obat-obatan terlarang.
2) Test Hormon
Pengujian untuk hipertiroidisme dapat menunjukkan kondisi ini
sebagai pemicu cardiac arrest.
3. Imaging tes
a) Pemeriksaan Foto Torak
Foto thorax menggambarkan bentuk dan ukuran dada serta pembuluh
darah. Hal ini juga dapat menunjukkan apakah seseorang terkena
gagal jantung.
b) Pemeriksaan nuklir
Biasanya dilakukan bersama dengan tes stres, membantu
mengidentifikasi masalah aliran darah ke jantung. Radioaktif yang
dalam jumlah yang kecil, seperti thallium disuntikkan ke dalam aliran
darah. Dengan kamera khusus dapat mendeteksi bahan radioaktif
mengalir melalui jantung dan paru-paru.
c) Ekokardiogram
Tes ini menggunakan gelombang suara untuk menghasilkan gambaran
jantung. Echocardiogram dapat membantu mengidentifikasi apakah
daerah jantung telah rusak oleh cardiac arrest dan tidak memompa
secara normal atau pada kapasitas puncak (fraksi ejeksi), atau apakah
ada kelainan katup.
4. Electrical system (electrophysiological) testing and mapping
Tes ini, jika diperlukan, biasanya dilakukan nanti, setelah seseorang sudah
sembuh dan jika penjelasan yang mendasari serangan jantung Anda
belum ditemukan. Dengan jenis tes ini, dokter mungkin mencoba untuk
menyebabkan aritmia, sementara dokter memonitor jantung Anda. Tes ini
dapat membantu menemukan tempat aritmia dimulai. Selama tes,
kemudian kateter dihubungkan denga electrode yang menjulur melalui
pembuluh darah ke berbagai tempat di area jantung. Setelah di tempat,
elektroda dapat memetakan penyebaran impuls listrik melalui jantung
pasien. Selain itu, ahli jantung dapat menggunakan elektroda untuk
merangsang jantung pasien untuk mengalahkan penyebab yang mungkin
memicu - atau menghentikan – aritmia. Hal ini memungkinkan dokter
untuk mengamati lokasi aritmia.
5. Ejection fraction testing
Salah satu prediksi yang paling penting dari risiko sudden cardiac arrest
adalah seberapa baik jantung Anda mampu memompa darah. Dokter
dapat menentukan kapasitas pompa jantung dengan mengukur apa yang
dinamakan fraksi ejeksi. Hal ini mengacu pada persentase darah yang
dipompa keluar dari ventrikel setiap detak jantung. Sebuah fraksi ejeksi
normal adalah 55 sampai 70 persen. Fraksi ejeksi kurang dari 40 persen
meningkatkan risiko sudden cardiac arrest. Dokter Anda dapat mengukur
fraksi ejeksi dalam beberapa cara, seperti dengan ekokardiogram,
Magnetic Resonance Imaging (MRI) dari jantung Anda, pengobatan nuklir
scan dari jantung Anda atau computerized tomography (CT) scan jantung.
6. Coronary catheterization (angiogram)
Pengujian ini dapat menunjukkan jika arteri koroner Anda terjadi
penyempitan atau penyumbatan. Seiring dengan fraksi ejeksi, jumlah
pembuluh darah yang tersumbat merupakan prediktor penting sudden
cardiac arrest. Selama prosedur, pewarna cair disuntikkan ke dalam arteri
hati Anda melalui tabung panjang dan tipis (kateter) yang melalui arteri,
biasanya melalui kaki, untuk arteri di dalam jantung. Sebagai pewarna
mengisi arteri, arteri menjadi terlihat pada X-ray dan rekaman video,
menunjukkan daerah penyumbatan. Selain itu, sementara kateter
diposisikan, dokter mungkin mengobati penyumbatan dengan melakukan
angioplasti dan memasukkan stent untuk menahan arteri terbuka.
F. Komplikasi
Komplikasi cardiac arrest adalah:
1. Hipoksia jaringan perifer
2. Hipoksia cerebral
3. Kematian
G. Penatalaksanaan
Pasien yang mendadak kolaps ditangani melalui 5 tahap, yaitu:
1. Respons awal
2. Penanganan untuk dukungan kehidupan dasar (basic life support)
3. Penanganan dukungan kehidupan lanjutan (advanced life support)
4. Asuhan pasca resusitasi
5. Penatalaksanaan jangka panjang
Respons awal dan dukungan kehidupan dasar dapat diberikan oleh dokter,
perawat, personil paramedic, dan orang yang terlatih. Terdapat keperluan
untuk meningkatkan keterampilan saat pasien berlanjut melalui tingkat
dukungan kehidupan lanjut, asuhan pascaresusitasi, dan penatalaksanaan
jangka panjang.
1. Respons Awal
Respons awal akan memastikan apakah suatu kolaps mendadak benar-
benar disebabkan oleh henti jantung. Observasi gerakan respirasi, warna
kulit, dan ada tidaknya denyut nadi pada pembuluh darah karotis atau
arteri femoralis dapat menentukan dengan segera apakah telah terjadi
serangan henti jantung yang dapat membawa kematian. Gerakan
respirasi agonal dapat menetap dalam waktu yang singkat setelah henti
jantung, tetapi yang penting untuk diobservasi adalah stridor yang berat
dengan nadi persisten sebagai petunjuk adanya aspirasi benda asing
atau makanan. Jika keadaan ini dicurigai, maneuver Heimlich yang cepat
dapat mengeluarkan benda yang menyumbat. Pukulan di daerah
prekordial yang dilakukan secara kuat dengan tangan terkepal erat pada
sambungan antara bagian sternum sepertiga tengah dan sepertiga
bawah kadang-kadang dapat memulihkan takikardia atau fibrilasi
ventrikel, tetapi tindakan ini juga dikhawatirkan dapat mengubah
takikardia ventrikel menjadi fibrilasi ventrikel. Karena itu, telah dianjurkan
untuk menggunakan pukulan prekordial hanya pada pasien yang
dimonitor; rekomendasi ini masih controversial. Tindakan ke tiga selama
respons inisial adalah membersihkan saluran nafas. Gigi palsu atau
benda asing yang di dalam mulut dikeluarkan, dan maneuver Heimlich
dilakukan jika terdapat indikasi mencurigakan adanya benda asing yang
terjepit di daerah orofaring. Jika terdapat kecurigaan akan adanya henti
respirasi (respiratory arrest) yang mendahului serangan henti jantung,
pukulan prekordial kedua dapat dilakukan setelah saluran napas
dibersihkan.
Dr. Nugroho, Taufan. 2011. Asuhan Keperawatan Maternitas, Anak, Bedah Dan
Penyakit Dalam. Yogyakarta : Nuhu Medika
Di Susun Oleh :
Khairunnisa
13.IK.348