You are on page 1of 112

PENGARUH KOMUNIKASI PETUGAS PELAYANAN INFORMASI OBAT

TERHADAP KEPATUHAN MINUM OBAT PASIEN DIABETES MELITUS


RAWAT JALAN DI RSUD. dr. H. KUMPULAN PANE
KOTA TEBING TINGGI

TESIS

Oleh

HERITA AMALIA SARI ASIH


NIM. 097032013/IKM

PROGRAM STUDI S2 ILMU KESEHATAN MASYARAKAT


FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
2011

Universitas Sumatera Utara


THE INFLUENCE OF COMMUNICATION OF THE MEDICAL
INFORMATION SERVICE STAFF ON THE MEDICATION
COMPLIANCE BY THE OUT-PATIENT OF DIABETES
MELLITUS PATIENTS AT dr. H. KUMPULAN PANE
GENERAL HOSPITAL TEBING TINGGI

THESIS

By

HERITA AMALIA SARI ASIH


097032013/IKM

MAGISTER OF PUBLIC HEALTH SCIENCE PROGRAM STUDY


FACULTY OF PUBLIC HEALTH
UNIVERSITY OF SUMATERA UTARA
MEDAN
2011

Universitas Sumatera Utara


PENGARUH KOMUNIKASI PETUGAS PELAYANAN INFORMASI OBAT
TERHADAP KEPATUHAN MINUM OBAT PASIEN DIABETES MELITUS
RAWAT JALAN DI RSUD. Dr. H. KUMPULAN PANE
KOTA TEBING TINGGI

TESIS

Diajukan sebagai Salah satu Syarat


untuk Memperoleh Gelar Magister Kesehatan (M.Kes)
dalam Program Studi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat
Minat Studi Administrasi dan Kebijakan Kesehatan
pada Fakultas Kesehatan Masyarakat
Universitas Sumatera Utara

Oleh

HERITA AMALIA SARI ASIH


097032013/IKM

PROGRAM STUDI S2 ILMU KESEHATAN MASYARAKAT


FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
2011

Universitas Sumatera Utara


Judul Tesis : PENGARUH KOMUNIKASI PETUGAS
PELAYANAN INFORMASI OBAT
TERHADAP KEPATUHAN MINUM OBAT
PASIEN DIABETES MELLITUS RAWAT
JALAN DI RSUD. dr. H. KUMPULAN PANE
KOTA TEBING TINGGI
Nama Mahasiswa : Herita Amalia Sari Asih
Nomor Induk Mahasiswa : 097032013
Program Studi : S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat
Minat Studi : Administrasi dan Kebijakan Kesehatan

Menyetujui
Komisi Pembimbing

(Prof. Dr. Aznan Lelo, Ph.D., Sp. FK) (Dra. LinaTarigan, M.S., Apt)
Ketua Anggota

Ketua Program Studi Dekan

(Prof. Dr. Dra. Ida Yustina, M.Si) (Dr. Drs. Surya Utama, M.S)

Tanggal Lulus : 18 Agustus 2011

Universitas Sumatera Utara


Telah diuji
Pada tanggal : 18 Agustus 2011

PANITIA PENGUJI TESIS

Ketua : Prof. Dr. Aznan Lelo, Ph.D., Sp.FK

Anggota : 1. Dra. Lina Tarigan, MS., Apt


2. Dr. Drs. R. Kintoko Rochadi, M.K.M
3. dr. Fauzi, S.K.M

Universitas Sumatera Utara


PERNYATAAN

PENGARUH KOMUNIKASI PETUGAS PELAYANAN INFORMASI OBAT


TERHADAP KEPATUHAN MINUM OBAT PASIEN DIABETES MELLITUS
RAWAT JALAN DI RSUD. dr. H. KUMPULAN PANE
KOTA TEBING TINGGI

TESIS

Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam tesis ini tidak terdapat karya yang
pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan
tinggi, dan sepanjang pengetahuan saya juga tidak terdapat karya atau pendapat
yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain kecuali yang secara tertulis
dalam naskah ini dan disebutkan dalam daftar pustaka.

Medan, September 2011

(Herita Amalia Sari Asih)

Universitas Sumatera Utara


ABSTRAK

Pelayanan Informasi Obat adalah kegiatan yang dilakukan oleh Apoteker


Rumah Sakit dalam memberikan informasi penggunaan obat yang benar kepada
sejawat kesehatan dan pasien. Namun kenyataannya masih banyak pasien belum
patuh dalam penggunaan obat.
Penelitian ini menggunakan desain cross-sectional dengan jumlah sampel 46
pasien diabetes mellitus rawat jalan di RSUD.dr.H.Kumpulan Pane Kota Tebing
Tinggi. Data diperoleh melalui wawancara langsung dengan pasien menggunakan
kuesioner terstruktur. Analisis data dilakukan melalui uji multivariat dengan uji
regresi logistik.
Hasil penelitian menunjukkan secara statistik komunikasi petugas pelayanan
informasi obat mempunyai pengaruh signifikan terhadap kepatuhan minum obat
dengan nilai p < 0,05, yaitu variabel isi informasi dengan nilai p = 0,032, metode
informasi dengan nilai p = 0,014, dan peran petugas dengan nilai p = 0,001. Peran
petugas memiliki pengaruh dominan terhadap kepatuhan minum obat
Disarankan pada pihak terkait agar menggalakkan peran petugas informasi
obat sebagai salah satu bentuk program Promosi Kesehatan Masyarakat Rumah Sakit
(PKMRS).

Kata kunci : Diabetes Mellitus, Informasi, Kepatuhan.

Universitas Sumatera Utara


ABSTRACT

Medical Information Service is an activity have been done by Hospital


Pharmacists in providing information the use of medicine to their health colleagues
and patients. Unfortunately,, there are still many patients whose uncompliance to
take their medicine.
This research was cross-sectional study conducted with 46 patients suffering
from diabetes mellitus as sample at dr. H. Kumpulan Pane General Hospital, Tebing
Tinggi The data obtained from the interview with the patients by using the
structured questioner. The data obtained was analyzed by multivariate analysis by
using multiple logistic regression tests.
The result showed statistically that the communication of medical information
service staff gave a significant influenced on the compliance to take drugs with p <
0.05, namely, variables of drug information with p = 0.032, information method with
p = 0.014, and the role of medical information service staff with p = 0.001. The role
of medical information service staff was the dominant variable influencing the
compliance to take drugs.
The stakeholders is suggested to support the role of medical information
service staff as one of Hospital Society Health Promotion Program (PKMRS).

Keywords : Diabetes Mellitus, Information, Compliance.

Universitas Sumatera Utara


KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, atas segala Rahmat

dan Karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian dan penyusunan

tesis yang berjudul ” Pengaruh Komunikasi Petugas Pelayanan Informasi Obat

terhadap Kepatuhan Minum Obat Pasien Diabetes Mellitus Rawat Jalan di

RSUD.dr.H.Kumpulan Pane Kota Tebing Tinggi ”.

Penulisan tesis ini merupakan salah satu persyaratan akademik untuk

menyelesaikan pendidikan pada Program S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat Minat Studi

Administrasi dan Kebijakan Kesehatan pada Fakultas Kesehatan Masyarakat

Universitas Sumatera Utara.

Dalam penulisan tesis ini, penulis mendapat bantuan, dukungan dan

bimbingan dari berbagai pihak baik secara langsung maupun tidak langsung, untuk

itu penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada :

1. Prof. Dr. dr. Syahril Pasaribu, DTM&H., M.Sc.(CTM)., Sp. A(K) selaku

Rektor Universitas Sumatera Utara

2. Dr. Drs. Surya Utama, M.S selaku Dekan Fakultas Kesehatan Masyarakat

Universitas Sumatera Utara

3. Prof. Dr. Dra. Ida Yustina, M.Si selaku Ketua Program Studi S2 Ilmu

Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara

4. Prof. Dr. dr. Aznan Lelo, Ph.D., Sp. F(K) selaku komisi pembimbing yang

telah memberikan masukan dan arahan selama proses pelaksanaan tesis ini

Universitas Sumatera Utara


5. Dra. Lina Tarigan, M.S., Apt selaku komisi pembimbing yang telah

memberikan masukan dan arahan selama proses pelaksanaan tesis ini

6. Dr. Drs. R. Kintoko Rochadi, M.K.M dan dr. Fauzi, S.K.M selaku penguji

tesis yang telah banyak memberikan arahan dan masukan demi kesempurnaan

penulisan tesis ini

7. Suamiku tercinta dan tersayang Mhd. Ismail Lubis, S.T serta buah hatiku

Farhan Abiyyu Syafiq Lubis dan Faiz Rhayzan Thabrani Lubis, Ayahanda

dan Ibunda tercinta H. Hasdar Amir Saragih dan Hj. Aminah serta Ayahanda

dan Ibunda Mertua tercinta H. Mhd. Isya Lubis dan Hj. Farida Hanum

Nasution, serta kakanda dan abangda tersayang, yang penuh pengertian,

kesabaran, motivasi dan doa dalam memberikan dukungan moril agar dapat

menyelesaikan pendidikan ini tepat waktu.

8. Dr. Nanang Fitra Aulia, Sp.PK selaku Direktur RSUD. dr. H. Kumpulan Pane

Kota Tebing Tinggi dan seluruh staf yang telah mendukung penulis dalam

proses pendidikan ini.

9. Para Dosen dan Staf di lingkungan Program Studi S2 Ilmu Kesehatan

Masyarakat Universitas Sumatera Utara.

10. Rekan-rekan mahasiswa angkatan 2009, khususnya Minat Studi Administrasi

dan Kebijakan Kesehatan atas dukungan dan kebersamaan yang diberikan

selama ini.

11. Rekan-rekan sekerja di Instalasi Farmasi RSUD. dr. H. Kumpulan Pane Kota

Tebing Tinggi atas pengertian dan dukungannya selama proses pendidikan ini.

Universitas Sumatera Utara


12. Rekan-rekan Ikatan Apoteker Indonesia (IAI) Kota Tebing Tinggi atas

motivasi dan doa dalam memberikan dukungan moril agar dapat

menyelesaikan pendidikan ini tepat waktu.

13. Semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu yang telah

membantu dalam proses penyelesaian tesis ini.

Hanya Allah SWT yang dapat memberikan balasan atas kebaikan yang telah

diperbuat. Penulis menyadari atas segala keterbatasan tesis ini, untuk itu penulis

sangat mengharapkan saran dan kritik yang membangun demi kesempurnaan tesis ini

dengan harapan tesis ini dapat bermanfaat bagi pengembangan ilmu pengetahuan dan

penelitian selanjutnya.

Medan, September 2011

Penulis

Herita Amalia Sari Asih


097032013

Universitas Sumatera Utara


RIWAYAT HIDUP

Herita Amalia Sari Asih lahir di Tebing Tinggi pada tanggal 20 Maret 1976,

merupakan anak keempat dari 4 bersaudara dari pasangan Ayahanda H. Hasdar

Amir Saragih dan Ibunda Hj. Aminah, saat ini bertempat tinggal di Jalan Ahmad

Yani Lingk. IV kel. Durian kec. Bajenis Kota Tebing Tinggi.

Menamatkan pendidikan formal dimulai dari Pendidikan Sekolah Dasar

Negeri No. 164326 Tebing Tinggi tahun 1988, Sekolah Menengah Pertama Negeri 5

Tebing Tinggi tahun 1991, Sekolah Menengah Atas Negeri 1 Tebing Tinggi tahun

1994, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Jurusan Farmasi Universitas

Sumatera Utara tahun 1999, Pendidikan Profesi Apoteker Universitas Sumatera Utara

tahun 2000. Tahun 2009 penulis mengikuti pendidikan lanjut S2 di Program Studi S2

Ilmu Kesehatan Masyarakat Minat Studi Administrasi dan Kebijakan Kesehatan pada

Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara.

Penulis menikah pada tanggal 04 Maret 2005 dengan Muhammad Ismail

Lubis, S.T dan sampai saat ini telah dikaruniai 2 orang putra yang bernama Farhan

Abiyyu Syafiq Lubis dan Faiz Rhayzan Thabrani Lubis.

Saat ini penulis bekerja sebagai Kepala Instalasi Farmasi RSUD. dr. H.

Kumpulan Pane Kota Tebing Tinggi sejak tahun 2007.

Universitas Sumatera Utara


DAFTAR ISI

Halaman
ABSTRAK .............................................................................................................. i
ABSTRACT ............................................................................................................. ii
KATA PENGANTAR ............................................................................................ iii
RIWAYAT HIDUP ................................................................................................ vi
DAFTAR ISI ........................................................................................................... vii
DAFTAR TABEL .................................................................................................. ix
DAFTAR GAMBAR .............................................................................................. xi
DAFTAR LAMPIRAN .......................................................................................... xii

BAB 1. PENDAHULUAN ................................................................................ 1

1.1 Latar Belakang............................................................................... 1


1.2 Permasalahan ................................................................................. 8
1.3 Tujuan Penelitian ........................................................................... 8
1.4 Hipotesis ........................................................................................ 8
1.5 Manfaat Penelitian ......................................................................... 8

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA ...................................................................... 10

2.1 Diabetes Melitus ............................................................................ 10


2.1.1 Definisi Diabetes Mellitus ................................................... 10
2.1.2 Epidemiologi Diabetes Mellitus .......................................... 11
2.1.3 Patofisiologi dan Riwayat Alamiah Diabetes Mellitus
Tipe 2................................................................................... 16
2.2 Komunikasi Petugas Pelayanan Informasi Obat (PIO) ................. 17
2.2.1 Definisi Komunikasi ............................................................ 17
2.2.2 Pelayanan Informasi Obat ................................................... 22
2.2.3 Promosi Kesehatan Masyarakat Rumah Sakit (PKMRS) ... 35
2.3 Kepatuhan Pasien .......................................................................... 38
2.4 Landasan Teori .............................................................................. 44
2.5 Kerangka Konsep Penelitian ......................................................... 48

BAB 3. METODE PENELITIAN.................................................................... 49

3.1 Jenis Penelitian .............................................................................. 49


3.2 Lokasi dan Waktu Penelitian ......................................................... 49
3.3 Populasi dan Sampel...................................................................... 50
3.4 Metode Pengumpulan Data ........................................................... 51
3.5 Variabel dan Definisi Operasional ................................................ 52

Universitas Sumatera Utara


3.6 Metode Pengukuran ....................................................................... 54
3.6.1. Variabel Bebas (Variabel Independen) ............................... 55
3.6.2. Variabel Terikat (Variabel Dependen) ................................ 56
3.7 Metode Analisis Data .................................................................... 56

BAB 4. HASIL PENELITIAN ........................................................................ 57

4.1 Gambaran Umum Lokasi Penelitian ............................................. 57


4.2 Analisa Univariat ........................................................................... 66
4.2.1 Karakteristik Responden ..................................................... 66
4.2.2 Variabel Independen ............................................................ 69
4.2.3 Variabel Dependen .............................................................. 70
4.3 Analisis Bivariat ............................................................................ 71
4.3.1 Hubungan Isi Informasi dengan Kepatuhan Pasien
DM ...................................................................................... 71
4.3.2 Hubungan Metode Informasi dengan Kepatuhan Pasien
DM ...................................................................................... 72
4.3.3 Hubungan Peran Petugas PIO dengan Kepatuhan Pasien
DM ...................................................................................... 73
4.4 Analisis Multivariat ....................................................................... 74

BAB 5. PEMBAHASAN................................................................................... 76

5.1 Pengaruh Isi Informasi dengan Kepatuhan Minum Obat ............... 76


5.2 Pengaruh Metode Informasi dengan Kepatuhan Minum Obat ....... 80
5.3 Pengaruh Peran Petugas PIO dengan Kepatuhan Minum Obat...... 83
5.4 Pengaruh Komunikasi Petugas PIO terhadap Kepatuhan
Minum Obat Pasien DM Rawat Jalan ........................................... 86
5.5 Keterbatasan Penelitian .................................................................. 89

BAB 6. KESIMPULAN DAN SARAN ........................................................... 90

6.1 Kesimpulan ...................................................................................... 90


6.2 Saran ................................................................................................ 91

DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................. 92

LAMPIRAN ............................................................................................................ 96

Universitas Sumatera Utara


DAFTAR TABEL

Nomor Judul Halaman

4.1 Jumlah Ketenagaan RSUD. dr. H. Kumpulan Pane Kota Tebing Tinggi
berdasarkan Jenis Pendidikan Tahun 2011................................................... 64

4.2 Gambaran Sepuluh Penyakit Terbesar Rawat Jalan RSUD.


dr. H. Kumpulan Pane Kota Tebing Tinggi Tahun 2010 ............................. 65

4.3 Gambaran Jumlah Kunjungan Pasien DM RSUD. dr. H. Kumpulan


Pane Kota Tebing Tinggi ............................................................................. 66

4.4 Distribusi Karakteristik Responden di RSUD. dr. H. Kumpulan Pane


Kota Tebing Tinggi ...................................................................................... 67

4.5 Distribusi Frekuensi berdasarkan Isi Informasi yang diperoleh


responden Pada PIO di RSUD. dr. H. Kumpulan Pane Kota
Tebing Tinggi ............................................................................................... 69

4.6 Distribusi Frekuensi berdasarkan Metode Informasi yang dilaksanakan


pada PIO RSUD. dr. H. Kumpulan Pane Kota Tebing Tinggi ..................... 69

4.7 Distribusi Frekuensi berdasarkan Peran Petugas PIO di RSUD.


dr. H. Kumpulan Pane Kota Tebing Tinggi ................................................. 70

4.8 Distribusi Frekuensi Kepatuhan Responden di RSUD. dr. H. Kumpulan


Pane Kota Tebing Tinggi ............................................................................. 70

4.9 Hubungan Isi Informasi dengan Kepatuhan Pasien DM Rawat Jalan di


RSUD. dr. H. Kumpulan Pane Kota Tebing Tinggi ..................................... 71

4.10 Hubungan Metode Informasi dengan Kepatuhan Pasien DM Rawat


Jalan di RSUD. dr. H. Kumpulan Pane Kota Tebing Tinggi ....................... 72

4.11 Hubungan Peran Petugas PIO dengan Kepatuhan Pasien DM Rawat


Jalan di RSUD. dr. H. Kumpulan Pane Kota Tebing Tinggi ....................... 73

4.12 Hasil Uji Regresi Logistik Pengaruh Komunikasi Petugas PIO


terhadap Kepatuhan Minum Obat Pasien DM RawatJalan di RSUD.
dr. H. Kumpulan Pane Kota Tebing Tinggi ................................................. 74

Universitas Sumatera Utara


DAFTAR GAMBAR

Nomor Judul Halaman

2.1 Proses Komunikasi................................................................................... 19

2.2 Alur Menjawab Pertanyaan dalam Pelayanan Informasi Obat................. 27

2.3 Kerangka Konsep Penelitian ................................................................... 48

Universitas Sumatera Utara


DAFTAR LAMPIRAN

Nomor Judul Halaman

1. Jadwal Pelaksanaan Penelitian ................................................................. 95

2. Kuesioner Penelitian ................................................................................. 96

3. Uji Validitas dan Reliabilitas ............................................................. .... 100

4. Hasil Univariat dari Variabel Independen dan Dependen ....................... . 105

5. Hasil Bivariat dengan Uji Chi-Square ........................................................ 108

6. Analisis Multivariat dengan Uji Regresi Logistik ..................................... 117

7. Master Data Penelitian ................................................................................ 120

8. Surat Izin Penelitian ................................................................................... 121

Universitas Sumatera Utara


ABSTRAK

Pelayanan Informasi Obat adalah kegiatan yang dilakukan oleh Apoteker


Rumah Sakit dalam memberikan informasi penggunaan obat yang benar kepada
sejawat kesehatan dan pasien. Namun kenyataannya masih banyak pasien belum
patuh dalam penggunaan obat.
Penelitian ini menggunakan desain cross-sectional dengan jumlah sampel 46
pasien diabetes mellitus rawat jalan di RSUD.dr.H.Kumpulan Pane Kota Tebing
Tinggi. Data diperoleh melalui wawancara langsung dengan pasien menggunakan
kuesioner terstruktur. Analisis data dilakukan melalui uji multivariat dengan uji
regresi logistik.
Hasil penelitian menunjukkan secara statistik komunikasi petugas pelayanan
informasi obat mempunyai pengaruh signifikan terhadap kepatuhan minum obat
dengan nilai p < 0,05, yaitu variabel isi informasi dengan nilai p = 0,032, metode
informasi dengan nilai p = 0,014, dan peran petugas dengan nilai p = 0,001. Peran
petugas memiliki pengaruh dominan terhadap kepatuhan minum obat
Disarankan pada pihak terkait agar menggalakkan peran petugas informasi
obat sebagai salah satu bentuk program Promosi Kesehatan Masyarakat Rumah Sakit
(PKMRS).

Kata kunci : Diabetes Mellitus, Informasi, Kepatuhan.

Universitas Sumatera Utara


ABSTRACT

Medical Information Service is an activity have been done by Hospital


Pharmacists in providing information the use of medicine to their health colleagues
and patients. Unfortunately,, there are still many patients whose uncompliance to
take their medicine.
This research was cross-sectional study conducted with 46 patients suffering
from diabetes mellitus as sample at dr. H. Kumpulan Pane General Hospital, Tebing
Tinggi The data obtained from the interview with the patients by using the
structured questioner. The data obtained was analyzed by multivariate analysis by
using multiple logistic regression tests.
The result showed statistically that the communication of medical information
service staff gave a significant influenced on the compliance to take drugs with p <
0.05, namely, variables of drug information with p = 0.032, information method with
p = 0.014, and the role of medical information service staff with p = 0.001. The role
of medical information service staff was the dominant variable influencing the
compliance to take drugs.
The stakeholders is suggested to support the role of medical information
service staff as one of Hospital Society Health Promotion Program (PKMRS).

Keywords : Diabetes Mellitus, Information, Compliance.

Universitas Sumatera Utara


BAB 1
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Diabetes Mellitus (DM) merupakan salah satu penyakit degeneratif yang

banyak diderita oleh penduduk dunia dan hingga saat ini belum ditemukan

pengobatan yang efektif untuk menyembuhkannya. (Depkes RI, 2006).

Menurut American Diabetes Association (ADA, 2003) dalam Soegondo

(2004), DM adalah suatu kelompok penyakit metabolik dengan karakteristik

hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja insulin atau kedua-

duanya.

Penyakit DM sering disebut The Great Imitator, karena penyakit ini dapat

mengenai semua organ tubuh dan menimbulkan bermacam keluhan. Gejala sangat

bervariasi dan secara perlahan-lahan sehingga penderita tidak menyadari akan adanya

perubahan seperti minum menjadi lebih banyak, buang air kecil menjadi lebih sering

ataupun berat badan yang menurun (Basuki, 2003).

Penderita DM dapat mengalami cacat seumur hidup, dan berisiko terhadap

terjadinya penyakit lain yaitu 24 kali berisiko terjadi penyakit jantung, 25 kali

berisiko terjadi kebutaan, 17 kali terjadi gagal ginjal, 5 kali terjadi gangren dan 2 kali

terjadi gangguan pembuluh darah otak. Dampak lain dari penyakit DM adalah

terjadinya gangguan secara psikologis akibat rendahnya penerimaan penderita di

masyarakat. Hal ini terjadi karena masih ada stigma masyarakat yang menganggap

penyakit DM merupakan penyakit menular (Soegondo, 2004).

Universitas Sumatera Utara


Berdasarkan hasil Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) Tahun 2004,

bahwa dari 14 juta orang menderita DM, 50% diantaranya sadar telah mengidapnya

(30% diantaranya yang mau berobat teratur dan 70% lainnya belum mengikuti

pengobatan secara teratur), selain itu masih ada 50% lainnya yang tidak menyadari

dirinya menderita DM. Keadaan ini mencerminkan bahwa pemahaman masyarakat

tentang penyakit DM dan upaya pencegahannya masih rendah.

Berdasarkan laporan Centers for Disease and Prevention (CDP) Tahun

2007, bahwa prevalensi DM mencapai 4% diseluruh dunia yang diprediksi mencapai

5,4% pada tahun 2025. Jumlah penderita DM di Cina dan India mencapai 50 juta

orang. Sedangkan di Amerika Serikat merupakan jenis penyakit peringkat ke-enam

penyebab kematian. Selanjutnya dinyatakan bahwa 10% jenis DM tipe 1 dan 90%

jenis DM tipe 2 dapat menyerang semua kelompok umur, biasanya menyertai

penyakit-penyakit lainnya seperti jantung koroner, infeksi pankreas, dan jenis

penyakit degeneratif lainnya.

Angka kesakitan dan kematian akibat DM di Indonesia cenderung

berfluktuasi setiap tahunnya sejalan dengan perubahan gaya hidup masyarakat. Pada

tahun 2010 diperkirakan jumlah penderita DM di Indonesia lebih dari 5 juta penderita

dan di dunia 239,9 juta penderita (Depkes RI, 2009).

Berdasarkan laporan pola penyakit RSUD.dr.H.Kumpulan Pane Kota

Tebing Tinggi pada tahun 2010, diketahui penyakit DM menempati urutan nomor 1

dari 10 kunjungan penyakit degeneratif. Jumlah kunjungan penderita DM selama

kurun waktu satu tahun terakhir sebanyak 5100 kunjungan, yang terdiri dari 394

Universitas Sumatera Utara


kasus DM ( 7,73%) rawat inap dan 4706 kasus DM ( 92,3%) rawat jalan dengan 461

kasus baru. Keadaan tersebut menunjukkan bahwa penyakit DM merupakan masalah

kesehatan masyarakat yang perlu mendapatkan perhatian serius untuk ditanggulangi.

Kepatuhan yaitu tingkat/derajat dimana penderita DM mampu

melaksanakan cara pengobatan dan perilaku yang disarankan oleh petugas kesehatan

(Smet, 1994). Shilinger (1983) yang dikutip Travis (1997) menyatakan bahwa

kepatuhan mengacu pada proses dimana penderita DM mampu mengasumsikan dan

melaksanakan beberapa tugas yang merupakan bagian dari sebuah regimen

terapeutik. Trekas (1984) dalam Ratanasuwan, dkk (2005), kemampuan penderita

DM untuk mengontrol kehidupannya dapat mempengaruhi tingkat kepatuhan.

Seseorang yang berorientasi pada kesehatan cenderung mengadopsi semua kebiasaan

yang dapat meningkatkan kesehatan dan menerima regimen yang akan memulihkan

kesehatannya.

Upaya yang dapat dilakukan oleh petugas kesehatan dalam meningkatkan

kepatuhan penderita DM dalam menjalani pengobatan adalah dengan menciptakan

komunikasi yang terbuka dengan penderita DM dan memberikan suatu perhatian

dalam komunikasi tersebut. Tenaga kesehatan sangat diperlukan dalam memonitor

perkembangan kepatuhan penderita DM dan juga harus terfokus pada perkembangan

motivasi penderita DM dan berupaya mengintegrasikan penyakit kedalam konsep diri

penderita DM untuk meningkatkan kepatuhan jangka panjang, serta membantu

penderita DM melakukan perubahan gaya hidup yang sesuai dengan anjuran

kesehatan (Rowley, 1999).

Universitas Sumatera Utara


Konseling dapat mengatasi ketidakpatuhan penderita DM. Edukasi yang

baik dan tepat akan menggugah kesadaran penderita untuk mau melaksanakan

anjuran kesehatan. Nicolucci et al (1996) dalam Day (2002) melaporkan bahwa

penderita DM yang tidak mendapatkan edukasi memiliki risiko 4 kali lebih tinggi

terkena komplikasi dibandingkan yang mendapatkan edukasi.

Penerapan komunikasi dalam pelayanan kesehatan mempunyai peran yang

sangat besar terhadap kemajuan kesehatan pasien. Komunikasi meningkatkan

hubungan interpersonal dengan pasien sehingga akan tercipta suasana yang kondusif

dimana pasien dapat mengungkapkan perasaan dan harapan-harapannya (Sundberg,

1989). Kondisi saling percaya yang telah dibangun antara petugas kesehatan dan

pasien tersebut akan mempermudah pelaksanaan dan keberhasilan program

pengobatan (Stuart G.W.,et al, 1998). Komunikasi yang baik dapat meningkatkan

kepatuhan pasien dalam hal pengobatan dan perawatan penyakitnya

(Anggraini,2009).

Hasil penelitian yang dilakukan oleh Palestin (2000) pada pasien di

poliklinik penyakit dalam RSU.dr.Sardjito Yogyakarta menyatakan bahwa secara

statistik terdapat pengaruh yang bermakna setelah pemberian komunikasi terhadap

kepatuhan dalam pengobatan pada pasien diabetes mellitus. (Palestin, 2002).

Berdasarkan ketentuan Depkes (2004) Pelayanan Informasi Obat (PIO) oleh

Farmasi Rumah Sakit merupakan salah satu bentuk komunikasi yang dilakukan oleh

apoteker rumah sakit dalam memberikan informasi secara akurat, tidak bias dan

terkini baik kepada dokter, perawat, profesi kesehatan lainnya dan terutama kepada

Universitas Sumatera Utara


pasien. PIO terhadap pasien DM bertujuan untuk memberikan pemahaman yang

benar mengenai penggunaan obat dan pengobatan kepada pasien, meliputi: (1) nama

obat, (2) tujuan pengobatan, (3) jadwal pengobatan, (4) cara menggunakan obat, (5)

lama penggunaan obat, (6) efek samping obat, (7) tanda-tanda toksisitas, (8) cara

penyimpanan obat, dan (9) penggunaan obat lain-lain, serta upaya meningkatkan

kepatuhan pasien terhadap perintah pengobatannya.

Tingkat kepatuhan pasien DM dalam penggunaan obat dan pengobatan,

diharapkan dapat mencapai output PIO berupa penggunaan obat yang tepat dan benar

serta melaksanakan anjuran petugas terhadap tindakan pengobatan yang dijalani oleh

pasien.

Khususnya Pasien DM Rawat Jalan sangat membutuhkan informasi yang

lengkap tentang obatnya, karena informasi tersebut menentukan keberhasilan terapi

yang dilakukannya sendiri di rumah. Ketidaksepahaman (non corcondance) dan

ketidakpatuhan (non compliance) pasien dalam menjalankan terapi merupakan salah

satu penyebab kegagalan terapi. Hal ini sering disebabkan karena kurangnya

pengetahuan dan pemahaman pasien tentang obat dan segala sesuatu yang

berhubungan dengan penggunaan obat untuk terapinya (Rantucci, 2007).

Menurut Siregar (2004) PIO pada pasien rawat jalan sangat diperlukan

mengingat pasien rawat jalan tidak berada dalam lingkungan yang terkendali seperti

halnya pasien rawat inap. Pasien rawat jalan harus bertanggung jawab untuk

perawatan kesehatannya sendiri. Selain obat yang diresepkan oleh dokter, pasien

dapat menggunakan obat bebas yang diperolehnya dari luar Instalasi Farmasi Rumah

Universitas Sumatera Utara


Sakit (IFRS). Oleh sebab itu IFRS harus berperan aktif dalam penggunaan obat yang

tepat oleh pasien. Petugas IFRS merupakan anggota terakhir dari tim pelayanan

kesehatan yang bertemu dengan pasien rawat jalan sebelum menggunakan obatnya

tanpa pengawasan medik langsung. Petugas IFRS juga bertanggung jawab untuk

memastikan penggunaan obat yang aman dan tepat serta memberikan informasi yang

tepat terhadap penggunaan obat oleh pasien rawat jalan.

Menurut Rantucci (2007), lebih dari 200 penelitian tentang penggunaan obat

oleh pasien yang tidak dirawat inap menunjukkan bahwa 50% pasien akan

menggunakan obat secara tidak benar. Menurut laporan Department of Health and

Human Services (DHS) tahun 2004, 48% dari seluruh penduduk Amerika Serikat, dan

55% manula, gagal mengikuti regimen pengobatan. Selain itu, sebuah penelitian

menunjukkan bahwa 32% pasien yang mendapat perintah pengulangan resep dari

dokter tidak mengulangi pembelian resep tersebut.

Ketidakpatuhan pasien dalam penggunaan obat dapat memperlama masa

sakit atau meningkatkan keparahan penyakit. Selain itu ketidakpatuhan dapat

membuat dokter berasumsi bahwa diagnosis penyakit salah akibat buruknya respon

terhadap obat yang dianjurkan. Hal ini juga dapat mengakibatkan dokter melakukan

lebih banyak tes dan memberikan tambahan obat baru.

Berdasarkan survei awal di RSUD.dr.H.Kumpulan Pane Kota Tebing Tinggi

(April, 2010), dengan mewawancarai 38 orang pasien rawat jalan, diperoleh

informasi tentang beberapa hal yang menjadi keluhan pasien berkenaan dengan

penggunaan obat yang dianjurkan, diantaranya adalah: (1) 76 % menyatakan bahwa

Universitas Sumatera Utara


dokter, perawat, dan petugas farmasi/apotek sangat kurang dalam memberikan

informasi tentang khasiat/manfaat, efek samping, dan berbagai hal yang berkaitan

dengan obat yang tertulis dalam resep dokter; (2) 48 % menyatakan tidak mengetahui

adanya Pelayanan Informasi Obat (PIO) yang diselenggarakan oleh Instalasi Farmasi

Rumah Sakit; (3) 56 % menyatakan tidak mengetahui haknya untuk memperoleh

informasi yang lengkap tentang penggunaan obat secara tepat dan benar.

Selain itu PIO yang diselenggarakan oleh IFRS merupakan kegiatan yang

dilakukan hanya berdasarkan minat dan kesempatan yang dimiliki oleh IFRS guna

memenuhi Standar Pelayanan Minimal Farmasi Rumah Sakit (SPM-FRS), hal ini

disebabkan karena belum adanya kebijakan manajemen RS yang mengatur tentang

kegiatan pelayanan informasi di RSUD.dr.H.Kumpulan Pane Kota Tebing Tinggi

seperti yang diamanatkan oleh Depkes RI (1999) tentang Promosi Kesehatan

Masyarakat Rumah Sakit (PKMRS).

Berdasarkan uraian di atas, dapat diketahui bahwa kajian atas keterkaitan

komunikasi petugas pelayanan informasi obat terhadap kepatuhan minum obat

pasien diabetes mellitus rawat jalan di RSUD.dr.H.Kumpulan Pane Kota Tebing

Tinggi menjadi sangat penting dilakukan.

1.2 Permasalahan

Berdasarkan latar belakang masalah dapat dirumuskan permasalahan

penelitian adalah sebagai berikut : bagaimanakah pengaruh komunikasi petugas

Universitas Sumatera Utara


pelayanan informasi obat terhadap kepatuhan minum obat pasien diabetes mellitus

rawat jalan di RSUD.dr.H.Kumpulan Pane Kota Tebing Tinggi.

1.3 Tujuan Penelitian

Menganalisis Pengaruh Komunikasi Petugas Pelayanan Informasi Obat

terhadap Kepatuhan Minum Obat Pasien Diabetes Mellitus Rawat Jalan di

RSUD.dr.H.Kumpulan Pane Kota Tebing Tinggi.

1.4 Hipotesis

Hipotesis dalam penelitian ini adalah ada pengaruh komunikasi petugas

pelayanan informasi obat terhadap kepatuhan minum obat pasien diabetes mellitus

rawat jalan di RSUD.dr.H.Kumpulan Pane Kota Tebing Tinggi.

1.5 Manfaat Penelitian

1. Ilmu Pengetahuan

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memperkaya khasanah ilmu

pengetahuan khususnya dalam bidang Administrasi dan Kebijakan

Kesehatan.

2. Rumah Sakit

Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi sumber informasi bagi

RSUD.dr.H.Kumpulan Pane Kota Tebing Tinggi mengenai pentingnya

pelayanan informasi terhadap pasien khususnya pelayanan informasi obat

sebagai salah satu upaya Promosi Kesehatan Masyarakat Rumah Sakit

Universitas Sumatera Utara


(PKMRS) dan diharapkan dapat menjadi acuan dalam penyusunan

kebijakan rumah sakit yang terfokus pada pelayanan informasi kepada

konsumen.

3. Petugas PIO

Sebagai bahan pembelajaran dan sumber informasi dalam mengkaji

Pelayanan Informasi Obat untuk meningkatkan kepatuhan pasien dalam

penggunaan obat.

Universitas Sumatera Utara


BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Diabetes Mellitus

2.1.1 Definisi Diabetes Mellitus

Menurut American Diabetes Association (ADA, 2003) dalam Soegondo

(2004), diabetes mellitus adalah suatu kelompok penyakit metabolik dengan

karakteristik hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja insulin

atau kedua-duanya.

Diabetes mellitus adalah sindrom yang disebabkan oleh ketidakseimbangan

antara kebutuhan dan suplai insulin. Sindrom ini ditandai oleh adanya hiperglikemia

dan berkaitan dengan abnormalitas metabolisme karbohidrat, lemak dan protein.

Istilah diabetes mellitus sebenarnya mencakup 4 kategori yaitu tipe 1 (insulin

dependent diabetes mellitus atau IDDM), tipe 2 (non insulin dependent diabetes

mellitus atau NIDDM), diabetes mellitus sekunder dan diabetes mellitus yang

berhubungan dengan nutrisi. Selain itu terdapat dua kategori lain tentang

abnormalitas metabolisme glukosa yaitu kerusakan toleransi glukosa (KTG) dan

diabetes mellitus gestasional (DMG) (Waspadji, 2007).

Diabetes mellitus tipe 1 mempunyai latar belakang kelainan berupa kurangnya

insulin secara absolut akibat proses autoimun, sedangkan diabetes mellitus tipe 2

mempunyai latar belakang resistensi insulin. Pada awalnya resistensi insulin belum

menyebabkan diabetes klinis. Sel beta pankreas masih dapat mengkompensasi,

Universitas Sumatera Utara


sehingga terjadi hiperinsulinemia, kadar glukosa darah masih normal atau sedikit

meningkat, selanjutnya terjadi kelelahan sel beta pankreas, baru terjadi diabetes tipe 2

yang ditandai dengan peningkatan kadar glukosa darah (Waspadji, 2007).

Penderita diabetes mellitus tipe 2 mengalami penurunan sensitivitas terhadap

kadar glukosa, yang berakibat pada pembentukan kadar glukosa yang tinggi. Keadaan

ini disertai dengan ketidakmampuan otot dan jaringan lemak untuk meningkatkan

ambilan glukosa, sehingga mekanisme ini menyebabkan meningkatnya resistensi

insulin perifer (Perkeni, 2003).

Gejala klasik diabetes mellitus tipe 2 adalah adanya rasa haus yang

berlebihan, sering buang air kecil terutama di malam hari, dan berat badan turun

cepat, kadang-kadang ada keluhan lemah, kesemutan pada jari tangan dan kaki, cepat

lapar, gatal-gatal, penglihatan kabur, gairah seks menurun dan luka sukar sembuh

(Waspadji, 2007).

2.1.2 Epidemiologi Diabetes Mellitus

Diabetes mellitus tipe 2 meliputi lebih dari 90% dari semua populasi diabetes.

Prevalensi diabetes mellitus tipe 2 pada bangsa kulit putih berkisar antara 3-6% dari

orang dewasa.

Prevalensi diabetes mellitus tipe 2 dilaporkan lebih dari 40% adalah dewasa

dengan umur lebih dari 40 tahun, rata-rata prevalensi di Amerika Latin antara 15-41%

orang dewasa dengan umur lebih dari 45 tahun dengan gaya hidup barat dan sebesar

3% yang menderita diabetes mellitus tipe 2 dengan gaya hidup setempat. Prevalensi

umur 30-64 tahun di Pasific Island of Kiribati dan Samoa barat 11-16%, dan

Universitas Sumatera Utara


Melanesians Papua New Guinea 37% (The Diabetes Preventation Program Research

Group, 2003).

Prevalensi diabetes mellitus di Indonesia dilaporkan sebesar 6,15% di

Manado, Jakarta sebesar 12,8%, Jawa Barat sebesar 1,1%, dan Makasar sebesar 2,9%

(Soegondo, 2004).

Diabetes mellitus tipe 2 sangat sulit untuk ditanggulangi karena penyebab

terjadinya diabetes mellitus tipe 2 belum diketahui secara pasti, namun dari beberapa

penelitian diketahui beberapa faktor risiko yang meningkatkan kejadian diabetes

mellitus tipe 2 misalnya umur, riwayat keluarga, pola makan, obesitas, aktifitas fisik,

hiperlipidemia dan hipertensi (Rimbawan, 2004).

a. Agent (Bibit Penyakit)

Diabetes mellitus tipe 2 merupakan penyakit yang tidak disebabkan oleh

masuknya agent tertentu dari luar tubuh penderita, melainkan karena disebabkan

oleh faktor individu itu sendiri. Beberapa teori tentang penyebab diabetes

mellitus tipe 2 telah diajukan tetapi belum ditemukan hasil yang memuaskan.

b. Host (Penjamu)

Beberapa pendapat menyebutkan adanya hubungan faktor individu yang

berpengaruh terhadap terjadinya diabetes mellitus tipe 2, antara lain umur,

hipertensi, obesitas, riwayat keluarga (Turtle, 1999).

1. Umur

Penelitian yang dilakukan CDC (Centre Disease Control and Preventation) di

Atlanta dari suatu survey epidemiologi bahwa prevalensi penderita diabetes

Universitas Sumatera Utara


mellitus diderita dewasa berumur 18 tahun sebesar 20% jika ada faktor riwayat

keluarga. Prevalensi diabetes mellitus pada umur 40 tahun meningkat menjadi

40%. Berdasarkan Perkeni (2003) DM diderita usia lebih dari 45 tahun, dan

semakin tingginya usia harapan hidup maka kemungkinan akan menderita

diabetes.

2. Hipertensi

Penelitian di Hongkong China (1997) oleh Chan, dilaporkan bahwa prevalensi

hipertensi meningkat dari kurang 5% pada orang normal menjadi 15-25% dengan

intoleransi glukosa. Hipertensi menyebabkan resistensi insulin, dislipidemia,

meningkatnya albuminuria dan pencatatan tekanan darah selama 24 jam dengan

orang yang menderita diabetes mellitus.

3. Obesitas

Obesitas adalah faktor risiko utama untuk diabetes mellitus. Berat badan yang

lebih dapat membuat dan menggunakan hormon insulin dengan baik. Diabetes

Program Prevention (DPP) menunjukkan bahwa berkurangnya berat badan dapat

membantu mengurangi risiko peningkatan diabetes mellitus karena hal itu akan

membantu hormon insulin yang digunakan oleh tubuh lebih efektif. Orang-orang

yang berat badannya turun antara 5-7% akan mengurangi risiko terkena diabetes

mellitus sebesar 58%.

Moore, et.al (2003) menunjukkan bahwa penurunan berat badan 3,7 – 6,8 kg

pada individu yang berusia 30-50 tahun mengurangi risiko diabetes mellitus

sebesar 33% dibandingkan dengan berat badan yang tetap gemuk. Hal ini

Universitas Sumatera Utara


menunjukkan faktor risiko obesitas merupakan faktor utama untuk terjadinya

penyakit diabetes mellitus.

4. Riwayat Keluarga

Pada banyak keluarga dan studi kembar, komponen yang besar dari faktor

genetik pada etiologi diabetes mellitus. Rata-rata penderita diabetes mellitus

dengan kembar monozygot sebesar 70-80%, kembar dizygot sebesar 10-20%.

Hal yang menarik tentang diabetes mellitus dari beberapa studi menunjukkan

bahwa ibu kandung yang menderita diabetes mellitus lebih menurunkan kepada

anak dari pada bapaknya yang menderita diabetes mellitus (The Diabetes

preventation Research Group, 2003).

c. Environment (Lingkungan)

Faktor lingkungan merupakan salah satu pemicu timbulnya diabetes mellitus.

Faktor lingkungan yang mempengaruhi adalah gaya hidup (lifestyle) yang terdiri

dari pola makan dan aktifitas fisik. Kedua faktor ini sangat berperan

menyebabkan tingginya kasus diabetes mellitus.

1. Pola Makan

Diet merupakan salah satu determinan penting penyebab obesitas dan

banyak hal penting dalam perkembangan diabetes mellitus. Suatu studi

historical menunjukkan diabetes mellitus diantara orang-orang yang terpapar

dengan makanan yang kurang dan makanan yang lebih pada populasi yang

banyak di Nauruans, dengan masukan kalori yang tinggi dan tingkat obesitas

Universitas Sumatera Utara


yang tinggi, mendukung hubungan yang signifikan untuk terjadinya diabetes

mellitus.

Heather, et.al., (2001) menunjukkan bahwa karbohidrat yang berbeda

akan memberikan efek berbeda pada kadar glukosa darah dan respon insulin,

walaupun diberikan dalam jumlah sama. Jumlah karbohidrat bukan dasar yang

cukup untuk mengendalikan kadar glukosa darah. Hasil penelitian bahwa

pangan dengan Index Glicemi rendah dapat memperbaiki pengendalian

metabolik pada penderita diabetes mellitus (Rimbawan, 2004).

2. Aktifitas Fisik

Penelitian yang dilakukan di USA pada 21.217 dokter selama lima

tahun menemukan bahwa kasus diabetes mellitus lebih tinggi pada kelompok

yang melakukan latihan jasmani kurang dari satu kali perminggu

dibandingkan dengan kelompok yang melakukan latihan jasmani lima kali

perminggu. Penelitian lain yang dilakukan selama delapan tahun pada 87.353

perawat wanita yang melakukan latihan jasmani ditemukan penurunan risiko

diabetes mellitus (The Diabetes preventation Research Group, 2003).

2.1.3 Patofisiologi dan Riwayat Alamiah Diabetes Mellitus Tipe 2

Glukosa yang diserap dari usus ke pembuluh darah dan diedarkan keseluruh

tubuh untuk dipergunakan oleh organ-organ dalam tubuh sebagai bahan bakar, supaya

dapat berfungsi glukosa harus masuk kedalam sel untuk di metabolisme yang

menghasilkan energi. Dalam proses metabolisme insulin memegang peranan sangat

Universitas Sumatera Utara


penting untuk memasukkan glukosa kedalam sel. Insulin adalah suatu zat atau

hormon yang dikeluarkan oleh sel beta pankreas.

Pada diabetes mellitus tipe 2 jumlah insulin normal, malah bisa lebih dari

normal tetapi jumlah reseptor insulin yang terdapat pada permukaan sel berkurang.

Glukosa yang masuk kedalam sel sedikit, maka sel akan kekurangan bahan bakar

(glukosa) dan glukosa dalam pembuluh darah meningkat. Berbeda dengan diabetes

mellitus tipe 1, pada awalnya diabetes mellitus tipe 2 disamping kadar glukosa darah

tinggi, juga kadar insulin tinggi atau normal, hal ini disebut dengan resistensi insulin.

Penyebab resistensi insulin tidak begitu jelas, tetapi ada faktor-faktor yang berperan

seperti obesitas, diet tinggi lemak dan rendah karbohidrat, kurang aktifitas fisik dan

faktor keturunan.

Secara alamiah diabetes mellitus tipe 2 berawal dari beberapa kombinasi

herediter dan faktor lingkungan menuju ke keadaan diabetes mellitus tipe 2 yang

menetap. Munculnya diabetes mellitus tipe 2 biasanya terjadi pada awal usia 18 tahun

atau lebih (Soegondo, 2004).

2.2 Komunikasi Petugas Pelayanan Informasi Obat (PIO)

2.2.1 Defenisi Komunikasi

Komunikasi berasal dari bahasa latin Communicare atau Communis yang

berarti sama atau menjadikan milik bersama. Kalau kita berkomunikasi dengan orang

lain, berarti kita berusaha agar apa yang disampaikan kepada orang lain tersebut

menjadi miliknya.

Universitas Sumatera Utara


Secara terminologis, menurut Nueman (2000) komunikasi diartikan sebagai

pemberitahuan sesuatu (pesan) dari satu pihak ke pihak lain dengan menggunakan

suatu media. Sebagai makhluk sosial, manusia sering berkomunikasi satu sama lain.

Dalam kehidupan nyata mungkin ada yang menyampaikan pesan/ide; ada yang

menerima atau mendengarkan pesan; ada pesan itu sendiri; ada media dan tentu ada

respon berupa tanggapan terhadap pesan. Secara ideal, tujuan komunikasi bisa

menghasilkan kesepakatan-kesepakatan bersama terhadap ide atau pesan yang

disampaikan.

Menurut William (2004) dalam Yudistira (2009) manfaat yang dapat

diperoleh dengan berkomunikasi secara baik dan efektif diantaranya adalah :

1. Tersampaikannya gagasan atau pemikiran kepada orang lain dengan jelas

sesuai dengan yang dimaksudkan.

2. Adanya kesepahaman antara komunikator dan komunikan dalam suatu

permasalahan, sehingga terhindar dari salah persepsi.

3. Menjaga hubungan baik dan silaturahmi dalam suatu persahabatan atau

komunitas.

Adapun unsur-unsur dalam komunikasi menurut Green (2000) antara lain :

1. Komunikator : pengirim (sender) yang mengirim pesan kepada komunikan

dengan menggunakan media tertentu. Unsur yang sangat berpengaruh dalam

komunikasi karena merupakan awal (sumber) terjadinya suatu komunikasi

2. Komunikan : penerima (receiver) yang menerima pesan dari komunikator,

kemudian memahami, menerjemahkan dan akhirnya memberi respon.

Universitas Sumatera Utara


3. Media : saluran (chanel) yang digunakan untuk menyampaikan pesan sebagai

sarana berkomunikasi. Berupa bahasa verbal maupun non verbal, wujudnya

berupa ucapan, tulisan, gambar, bahasa tubuh, bahasa mesin, sandi dan lain

sebagainya.

4. Pesan : isi komunikasi berupa pesan (message) yang disampaikan oleh

komunikator kepada komunikan. Kejelasan pengiriman dan penerimaan pesan

sangat berpengaruh terhadap kesinambungan komunikasi

5. Tanggapan : merupakan dampak (effect) komunikasi sebagai respon atas

penerimaan pesan. Diimplementasikan dalam bentuk umpan balik (feed back)

atau tindakan sesuai pesan yang diterima.

Hewitt (2001) dalam Liliweri (2007), menjabarkan proses komunikasi secara

spesifik yaitu :

1. Mempelajari atau mengajarkan sesuatu

2. Mempengaruhi perilaku seseorang

3. Mengungkapkan perasaan

4. Menjelaskan perilaku sendiri atau perilaku orang lain

5. Berhubungan dengan orang lain

6. Menyelesaikan sebuah masalah

7. Mencapai sebuah tujuan

8. Menurunkan ketegangan dan menyelesaikan konflik

9. Menstimulasi minat pada diri sendiri atau orang lain

Universitas Sumatera Utara


Berikut ini diagram proses komunikasi menurut Liliweri (2007), terlihat pada

Gambar 2.1 :

Gangguan Gangguan
Balikan

Pengirim Penerima
pesan pesan

Simbol/Isyarat
Media (Saluran) Mengartikan
Kode/Pesan

Diagram 1 : Proses Komunikasi (Liliweri, 2007)

1. Pengirim pesan (sender) dan isi pesan/materi

Pengirim pesan adalah orang yang mempunyai ide untuk disampaikan kepada

seseorang dengan harapan dapat dipahami oleh orang yang menerima pesan

sesuai dengan yang dimaksudkannya. Pesan adalah informasi yang akan

disampaikan atau diekspresikan oleh pengirim pesan. Pesan dapat verbal

(dilakukan secara langsung melalui tanya jawab, wawancara, sharing) atau

non verbal (melalui media poster, gambar, leaflet dan lainnya) dan pesan akan

lebih efektif (dapat lebih mudah diserap oleh penerima pesan) bila diorganisir

secara baik dan jelas melalui teknik dan metode yang dapat disesuaikan

dengan situasi dan kondisi audience (lingkungan tempat si penerima pesan

berada).

Materi pesan dapat berupa :

Universitas Sumatera Utara


a. Informasi

b. Ajakan

c. Rencana kerja

d. Pertanyaan dan sebagainya.

2. Simbol/isyarat

Pada tahap ini pengirim pesan membuat kode atau simbol sehingga pesannya

dapat dipahami oleh orang lain. Biasanya pengirim pesan menyampaikan

pesan dalam bentuk kata-kata, gerakan anggota badan (tangan,kepala,mata,

dan bagian muka lainnya). Tujuan penyampaian pesan adalah untuk

mengajak, membujuk, mengubah sikap, perilaku atau menunjukkan arah

tertentu.

3. Media/penghubung

Adalah alat untuk penyampaian pesan seperti : TV, radio, surat kabar, papan

pengumuman, telepon dan lainnya. Pemilihan media ini dapat dipengaruhi

oleh isi pesan yang akan disampaikan, jumlah penerima pesan, situasi dsb.

4. Mengartikan kode/isyarat

Setelah pesan diterima melalui indera (telinga, mata dan seterusnya) maka

sipenerima pesan harus dapat mengartikan simbol/kode dari pesan tersebut,

sehingga dapat dimengerti/dipahaminya.

Universitas Sumatera Utara


5. Penerima pesan

Penerima pesan adalah orang yang dapat memahami pesan dari sipengirim

meskipun dalam bentuk kode/isyarat tanpa mengurangi arti pesan yang

dimaksud oleh pengirim

6. Balikan (feedback)

Balikan adalah isyarat atau tanggapan yang berisi kesan dari sipenerima pesan

dalam bentuk verbal maupun non verbal. Tanpa balikan seorang pengirim

pesan tidak akan tahu dampak pesannya terhadap si penerima pesan. Hal ini

penting bagi pengirim pesan untuk mengetahui apakah pesan sudah diterima

dengan pemahaman yang benar dan tepat. Balikan dapat disampaikan oleh

penerima pesan atau orang lain yang bukan penerima pesan. Balikan yang

disampaikan oleh penerima pesan pada umumnya merupakan balikan

langsung yang mengandung pemahaman atas pesan tersebut dan sekaligus

merupakan apakah pesan itu akan dilaksanakan atau tidak balikan yang

diberikan oleh orang lain didapat dari pengamatan pemberi balikan terhadap

perilaku maupun ucapan penerima pesan. Pemberi balikan menggambarkan

perilaku penerima pesan sebagai reaksi dari pesan yang diterimanya. Balikan

bermanfaat untuk memberikan informasi, saran yang dapat menjadi bahan

pertimbangan dan membant menumbuhkan kepercayaan serta keterbukaan

diantara komunikan, juga balikan dapat memperjelas persepsi.

Universitas Sumatera Utara


7. Gangguan

Gangguan bukan merupakan bagian dari proses komunikasi akan tetapi

mempunyai pengaruh dalam proses komunikasi, karena pada setiap situasi

hampir selalu ada hal yang mengganggu kita. Gangguan adalah hal yang

merintangi atau menghambat komunikasi sehingga penerima salah

menafsirkan pesan yang diterimanya.

2.2.2 Pelayanan Informasi Obat (PIO)

Informasi obat adalah setiap data atau pengetahuan objektif, diuraikan secara

ilmiah dan terdokumentasi mencakup farmakologi, toksikologi dan penggunaan

terapi dari obat. Informasi obat mencakup nama kimia, struktur kimia, identifikasi,

indikasi diagnostik atau indikasi terapi, ketersediaan hayati, bioekivalen, toksisitas,

mekanisme kerja, waktu mulai bekerja dan durasi obat, dosis dan jadwal pemberian,

dosis yang direkomendasikan, konsumsi, absorpsi, metabolisme, detoksifikasi,

ekskresi, efek samping, reaksi merugikan, kontraindikasi, interaksi, harga,

keuntungan, tanda, gejala, dan pengobatan toksisitas, efikasi klinik, data komparatif,

data klinik, data penggunaan obat, dan setiap informasi lain yang berguna dalam

diagnosis, dan pengobatan pasien dengan obat (Siregar,2004).

Menurut Santoso (1997), Informasi Obat adalah keterangan mengenai obat,

terutama yang dapat mendukung tercapainya tujuan pengobatan (terapi) yang tepat,

rasional, efisien dan aman dalam penggunaannya. Informasi yang diperlukan oleh

pasien, paling tidak mencakup dua hal yaitu : (1) Informasi mengenai jenis

penyakitnya dan pengobatannya, dan (2) Informasi mengenai obat yang diberikan

Universitas Sumatera Utara


padanya. Adapun hal-hal yang perlu diinformasikan kepada konsumen kesehatan

(pasien) terkait penggunaan obat antara lain : (a) Nama obat ( merek dagang ) dan

kegunaannya, (b) Tujuan dan manfaat terapi, (c) Cara penyediaan obatnya, (d) Dosis,

bentuk obat, rute pemberian dan lama pemberian, (e) Efek samping, interaksi dan aksi

obat, (f) Pantangan selama penggunaan obat, (g) Cara Penyimpanan obat, (h)

Informasi pengulangan obat, (i) Interaksi dan kontraindikasi, (j) Cara monitoring

terapi atau keberhasilan tercapai, (k) Tindakan terhadap persediaan obat yang tersisa

padahal sakit sudah dirasakan sembuh, (l) Tindakan apabila terjadi kesalahan dosis

maupun kesalahan makan obat, (m) Tindakan pencegahan dari jangkauan anak kecil.

Menurut SK Menkes RI No. 1197/MENKES/SK/X/2004, Pelayanan

Informasi Obat (PIO) merupakan kegiatan pelayanan yang dilakukan oleh apoteker

untuk memberi informasi secara akurat, tidak bias dan terkini kepada dokter,

apoteker, perawat, profesi kesehatan lainnya dan pasien.

Menurut Depkes RI (2004) kegiatan PIO meliputi : (1) Memberikan dan

menyebarkan informasi kepada pasien secara aktif dan pasif, (2) Menjawab

pertanyaan dari pasien maupun tenaga kesehatan melalui telepon, surat atau tatap

muka, dan (3) Membuat bulletin, leaflet, dan label obat.

Menurut SK Dirjen Pelayanan Kefarmasian dan Alat Kesehatan RI No.

HK.01.DJ.II.093 tahun 2004 tentang Pedoman Pelayanan Informasi Obat di Rumah

Sakit, tersedianya pedoman dalam rangka pelayanan informasi obat yang bermutu

dan berkesinambungan dalam rangka mendukung upaya penggunaan obat yang

Universitas Sumatera Utara


rasional di Rumah Sakit. Untuk itu diperlukan upaya penyediaan dan pemberian

informasi yang meliputi :

1. Lengkap, yaitu dapat memenuhi kebutuhan semua pihak sesuai dengan

lingkungan masing-masing rumah sakit.

2. Memiliki data cost effective obat, informasi yang diberikan terkaji dan tidak bias

komersial.

3. Disediakan secara berkelanjutan oleh institusi yang melembaga.

4. Disajikan selalu baru sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan

teknologi kefarmasian dan kesehatan.

Widayati dan Zairina (1996) menyatakan Apoteker merupakan tenaga ahli

dalam memberikan informasi tentang obat, baik kepada pasien maupun tenaga

kesehatan lain, dan mempunyai tanggung jawab untuk memberikan informasi

tersebut. Apoteker berkewajiban menjamin bahwa pasien memahami tujuan dari

pengobatan dan ketepatan penggunaannya, untuk itu apoteker perlu mengembangkan

tampilan dalam menyampaikan informasi agar pasien dapat mematuhinya. Pengertian

dan kerjasama pasien terhadap peraturan obat yang telah diresepkan merupakan

syarat penting untuk mencapai terapi yang efektif.

Juliantini dan Widayati (1996) menyatakan dalam memberikan PIO,

diperlukan langkah-langkah sistematis sebagai berikut:

1. Permintaan Informasi Obat, meliputi : (a) mencatat data permintaan informasi, dan

(b) mengkategorikan permasalahan, antara lain : (1) aspek farmasetika (identifikasi

obat, perhitungan farmasi, stabilitas, dan toksisitas obat) (2)ketersediaan obat, (3)

Universitas Sumatera Utara


harga obat, (4) efek samping obat, (5) dosis obat, (6) interaksi obat, (7)

Farmakokinetik, (8) Farmakodinamik, (9) aspek farmakoterapi, dan (10)

keracunan.

2. Mengumpulkan latar belakang masalah yang ditanyakan, meliputi : (a)

menanyakan lebih dalam tentang karakteristik pasien, dan (b) menanyakan tentang

informasi yang diperoleh pasien sebelumnya.

3. Penelusuran sumber data, meliputi : (a) Dimulai dari rujukan umum (b) Disusul

dengan rujukan sekunder (c) Bila perlu diteruskan dengan rujukan primer.

4. Formulasikan jawaban sesuai dengan permintaan, meliputi : (a) Jawaban harus

jelas, lengkap dan benar, (b) Jawaban dapat dicari kembali pada rujukan asal, dan

(c) Tidak boleh memasukkan pendapat pribadi.

5. Pemantauan dan Tindak Lanjut, yakni menanyakan kembali kepada penanya

manfaat informasi yang telah diberikan baik lisan maupun tertulis.

Langkah-langkah sistematis tersebut dapat digambarkan pada gambar 2.2 berikut ini :

Universitas Sumatera Utara


Penanya

PIO

Isi Formulir
Klasifikasi
Penanya
Pertanyaan

Umpan
Informasi latar balik
belakang

Kumpulan data dan


evaluasi data

Formulir jawaban
Dokumentasi

Komunikasi

Gambar 2.2. Alur menjawab pertanyaan dalam pelayanan informasi obat

Sumber : Juliantini dan Widayati, 1996.

Universitas Sumatera Utara


Gambar 2.2. Dapat dijelaskan bahwa penanya berada di ruang PIO, petugas

mengisi formulir mengenai klasifikasi, nama penanya dan pertanyaan yang

ditanyakan, setelah itu petugas menanyakan tentang informasi latar belakang penyakit

mulai muncul, petugas melakukan penelusuran sumber data dengan mengumpulkan

data yang ada kemudian data dievaluasi. Formulir jawaban didokumentasikan oleh

petugas lalu kemudian dikomunikasikan kepada penanya. Informasi yang

dikomunikasikan petugas kepada penanya akan menimbulkan umpan balik atau

respon penanya.

Menurut Depkes RI (2004), tujuan PIO adalah : (1) menyediakan informasi

mengenai obat kepada pasien dan tenaga kesehatan di lingkungan rumah sakit, (2)

menyediakan informasi untuk membuat kebijakan-kebijakan yang berhubungan

dengan obat, terutama bagi panitia/Komite Farmasi dan Terapi (KFT), (3)

meningkatkan profesionalisme Apoteker, dan (4) menunjang terapi obat yang

rasional.

Siregar (2004) menyatakan sasaran informasi obat adalah orang, lembaga,

kelompok orang, kepanitian, dan penerima informasi obat tersebut, seperti tertera di

bawah ini :

1. Dokter, dalam proses penggunaan obat, pada tahap penetapan pilihan obat serta

regimennya untuk seorang pasien tertentu, dokter memerlukan informasi dari

apoteker agar ia dapat membuat keputusan yang rasional, yang bertujuan untuk :

(a) Menetapkan sasaran terapi dan titik akhir dari terapi obat, (b) Pemilihan zat

aktif terapi yang paling tepat untuk terapi obat yang bergantung pada variabel

Universitas Sumatera Utara


penderita dan zat aktif, (c) Penulisan regimen obat yang paling tepat, (d)

Pemantauan efek dari terapi obat didasarkan pada indeks dari efek, dan (e)

Pemilihan metode untuk pemberian obat. Dokter harus dibuat waspada terhadap

efek samping yang mungkin timbul, sifat distribusi obat dalam tubuh, dan efek

obat pada metabolisme. Dokter juga harus diberi informasi tentang stabilitas

suatu sediaan obat dan harga obat.

2. Perawat, dalam tahap penyampaian atau distribusi obat kepada perawat dalam

rangkaian proses penggunaan obat, apoteker memberikan informasi obat tentang

berbagai aspek obat pasien tertentu, terutama tentang pemberian obat. Sebagai

contoh tentang kompatibilitas atau inkompatibilitas tiga obat parenteral yang

perlu diberikan pada waktu yang sama kepada pasien dengan hanya satu

pembuluh (pipa) intravena. Perawat adalah juga profesional kesehatan yang

paling banyak berhubungan dengan pasien. Oleh karena itu, perawatlah pada

umumnya yang pertama mengamati reaksi obat merugikan atau mendengar

keluhan mereka. Apoteker harus siap berfungsi sebagai sumber utama informasi

obat bagi perawat. Berbagai hal yang dipertanyakan oleh perawat misalnya bahan

pengencer suatu rekonstitusi sediaan obat, gejala efek samping, kecepatan

timbulnya gejala efek samping dan penanganan/tindakan jika terjadi efek

samping.

3. Pasien, dalam tahap pemantauan efek obat serta tahap edukasi dan konseling

dalam rangkaian proses penggunaan obat, apoteker secara aktif memberikan

informasi kepada pasien.

Universitas Sumatera Utara


4. Tenaga Farmasi, agar apoteker mampu menjawab pertanyaan sendiri dan

bertindak sebagai sumber utama dari informasi obat bagi professional kesehatan

lain, tenaga farmasi harus mempunyai akses kepustakaan sebagai acuan yang

memadai dan pengetahuan tentang sumber alternatif dari informasi obat.

5. Pihak lain, seperti manajemen, tim/kepanitiaan klinik, dan lain-lain yang

berguna dalam penyusunan kebijakan – kebijakan di Rumah Sakit.

Menurut Rantucci (2007), PIO dengan berbagai macam bentuknya,

membawa dampak yang positif baik bagi apoteker maupun bagi pasien yang

bersangkutan. Bagi Apoteker PIO memberi manfaat berupa : (1) legal protection,

karena sudah melakukan kewajiban profesi Apoteker yang diatur oleh undang-

undang, (2) pemilihan status keprofesian, dimana keberadaan Apoteker akan lebih

diakui oleh masyarakat, (3) terbangunnya kepercayaan masyarakat terhadap Apoteker

sehingga dapat mewujudkan hubungan yang lebih harmonis antara Apoteker dengan

pasien, (4) meningkatkan pendapatan, karena tambahan pelayanan yang diberikan

berupa informasi obat, sehingga menjaga kepuasan pasien, dan (5) peningkatan

kepuasan kerja (job satisfaction) dan mengurangi stress (job stress).

Pasien juga mendapat manfaat dengan adanya PIO, yaitu : (1) mengurangi

resiko terjadinya kesalahan dan ketidakpatuhan pasien terhadap aturan pemakaian

obat, (2) mengurangi resiko terjadinya efek samping obat, dan (3) menambah

keyakinan akan efektivitas dan keamanan obat yang digunakan.

Rantucci (2007) menyatakan bahwa, ada banyak faktor yang harus

diperhatikan dalam memberikan pelayanan informasi kepada pasien. Faktor-faktor ini

Universitas Sumatera Utara


meliputi karakteristik pasien, jenis obat yang diresepkan atau kondisi penyakit yang

sedang diobati, dan berbagai aspek yang berkaitan dengan situasi. Selain itu, ada

beberapa faktor yang berkaitan dengan apoteker sendiri.

(1) Karakteristik Pasien, karakteristik pasien akan mempengaruhi penekanan yang

perlu diberikan pada aspek tertentu dalam konseling. Usia pasien dapat

mempengaruhi konseling dengan berbagai cara. Pasien manula mungkin

menggunakan beberapa macam obat untuk mengatasi beberapa kondisi penyakit

dan mungkin mengalami reaksi yang tidak diinginkan terhadap obat sebagai

akibat dari perubahan fisiologis di usia yang semakin menua. Oleh karena itu

apoteker kemungkinan harus meluangkan lebih banyak waktu untuk pasien ini

dibandingkan untuk pasien lain dalam mengidentifikasi masalah, menjelaskan

petunjuk-petunjuk yang diperlukan, dan membantu pasien mengatur jadwal

dosis. Demikian juga, pasien pediatrik membutuhkan perhatian lebih dalam

mengidentifikasi masalah karena anak-anak memiliki kondisi fisiologis yang

berbeda dari orang dewasa. Latar belakang budaya pasien juga dapat

memengaruhi penekanan yang diberikan dalam konseling. Beberapa pasien

memiliki cacat tertentu yang memengaruhi pemilihan tempat yang tepat untuk

melaksanakan konseling, materi edukasi yang digunakan, dan jenis informasi

yang mungkin dibutuhkan. Jenis pekerjaan dan gaya hidup pasien kemungkinan

juga perlu diperhatikan. Bentuk sediaan, jadwal dosis, dan efek samping

kemungkinan perlu dimodifikasi dan pengaturan khusus mungkin perlu

dilakukan. Sebagai contoh pengemudi truk akan mendapat kesulitan bila minum

Universitas Sumatera Utara


obat yang membuatnya mengantuk. Jenis kelamin, status pekerjaan, atau situasi

sosial ekonomi pasien tidak seharusnya mengubah jenis konseling yang

diberikan; akan tetapi, faktor-faktor ini sebaiknya diperhitungkan oleh apoteker

saat melaksanakan suatu diskusi agar apoteker tidak membuat pasien malu atau

melukai hati pasien.

1. Karakteristik Obat, isi konseling bervariasi tergantung pada obat yang

didapatkan oleh pasien, apakah obat resep atau obat tanpa resep. Selain itu, obat

tertentu lebih cenderung menimbulkan masalah ketaatan penggunaan obat, efek

samping, atau tindakan pencegahan dibandingkan obat yang lain. Apoteker

harus memberi penekanan bila suatu obat diketahui beresiko tinggi mengalami

interaksi atau menimbulkan efek merugikan. Hal lain yang perlu

dipertimbangkan sehubungan dengan obat kemungkinan adalah waktu yang

diperlukan sampai pasien merasakan suatu efek, seperti pada obat

antihipertensi, dalam situasi seperti ini, hal yang penting dilakukan adalah

membantu pasien menemukan cara mengenali efek obat dengan tujuan

mendorong ketaatan pasien mengikuti pengobatan (misalnya, menyarankan

pasien mengecek sendiri tekanan darahnya).

3. Karakteristik Kondisi, kondisi tertentu kemungkinan lebih membangkitkan emosi

atau kekhawatiran pada pasien dibandingkan kondisi lain. Sebagai contoh,

diagnosis dan prognosis tekanan darah tinggi sering sulit dipahami. Demikian

juga, diagnosis gangguan psikiatri dapat membuat pasien merasa malu dan

cemas akan reaksi orang lain. Khususnya, bila sakit yang diderita pasien fatal,

Universitas Sumatera Utara


misalnya kanker atau AIDS, pasien akan memiliki berbagai kekhawatiran dan

emosi sehingga memerlukan perhatian khusus dari apoteker. Selain itu, sangat

penting menekankan bahwa obat bekerja untuk mengontrol atau mengurangi

gejala yang muncul dan bukan menyembuhkan penyakit, serta konsekuensi bila

terlewat minum obat. Beberapa kondisi lebih memerlukan adanya perubahan

gaya hidup pada pasien dibandingkan kondisi lain. Sebagai contoh, merokok,

kegemukan, atau diabetes memerlukan perubahan kebiasaan dan diet, Apoteker

perlu meluangkan waktu konseling yang cukup banyak untuk mendiskusikan

isu-isu ini, membuat rujukan bantuan lebih lanjut, dan memberikan konseling

lanjutan untuk terus mendukung pasien.

4. Karakteristik Situasi, situasi tertentu dapat menciptakan tantangan dan

membutuhkan penekanan yang berbeda dalam konseling. Situasi yang

menyebabkan pasien marah, ketakutan, atau kecewa secara emosional dapat

membuat konseling berjalan sangat sulit bagi apoteker. Selain itu, apoteker

sering dimintai konsultasi oleh pasien mengenai berbagai kekhawatiran yang

tidak berhubungan dengan terapi obat. Meskipun situasi tersebut tidak

memerlukan konseling pengobatan, namun apoteker harus menanggapi situasi

tersebut karena apoteker berkedudukan sebagai sumber daya kesehatan

masyarakat yang ada di komunitas dan sebagai individu yang mempedulikan

sesama manusia.

5. Karakteristik Pemberi Informasi (Apoteker), dalam pemberian informasi kepada

pasien (konseling), tidak saja dipengaruhi oleh faktor-faktor yang berasal dari

Universitas Sumatera Utara


pasien melainkan juga yang berasal dari apoteker sendiri. Tingkat pengetahuan

apoteker tentang pasien (kekhawatiran, situasi keluarga, kondisi, dan gejala

pasien) menentukan pemahaman apoteker tentang cara mendekati pasien,

jumlah informasi yang perlu diberikan, dan kenyamanan apoteker dalam

menghadapi pasien. Pengetahuan apoteker tentang kondisi dan pengobatan

pasien yang dibicarakan dalam konseling juga penting karena apoteker harus

mampu mengantisipasi isu-isu yang harus dibicarakan dan memberikan

informasi yang diperlukan. Kemampuan Apoteker untuk berkomunikasi dengan

pasien dan profesional kesehatan lain yang terlibat dalam pengobatan pasien

juga sangat penting. Penggunaan empatilah yang terpenting dalam menghadapi

situasi yang menantang sehingga apoteker mampu menghadapi emosi pasien

seperti kemarahan, rasa malu, rasa takut, dan kebingungan yang umumnya

muncul dalam situasi seperti ini. Apoteker harus memiliki toleransi, empati, dan

ketertarikan pada masing-masing pasien. Hal ini akan dirasakan oleh pasien dan

akan membantu mengembangkan hubungan yang berhasil.

2.2.3 Promosi Kesehatan Masyarakat Rumah Sakit (PKMRS)

PKMRS adalah upaya penyuluhan kesehatan yang dilaksanakan di rumah

sakit, yang bertujuan untuk mengembangkan pemahaman pasien dan keluarganya

tentang penyakit yang diderita pasien, serta hal-hal yang perlu dan dapat dilakukan

oleh keluarga, untuk membantu penyembuhan dan mencegah terulangnya kembali

penyakit yang diderita. Dalam hal ini PKMRS berusaha menggungah kesadaran serta

minat pasien dan keluarganya untuk berperan secara positif dalam penyembuhan dan

Universitas Sumatera Utara


pencegahan penyakit. Oleh karena itu penyuluhan kesehatan harus merupakan bagian

yang tidak terpisahkan dari upaya pelayanan kesehatan di RS, karena dengan PKMRS

upaya penyembuhan pasien akan lebih berhasil (Depkes RI, 1999).

Rumah Sakit mempunyai peran yang besar untuk menyebarkan informasi

kesehatan, pengembangan sikap dan perubahan perilaku kepada pasien, keluarga

pasien, masyarakat dilingkungan rumah sakit, dan juga kepada petugasnya.

A. Visi PKMRS

Mewujudkan ”rumah sehat” yang para warganya hidup dengan perilaku yang

bersih dan sehat, serta dalam lingkungan yang sehat pula.

B. MISI

1. Mengupayakan adanya kebijakan rumah sakit yang Bersih dan Sehat baik

warga, tampilan fisik rumah sakit, maupun lingkungan sekitarnya.

2. Mengembangkan iklim atau suasana kondusif bagi terselenggaranya

kegiatan penyuluhan di rumah sakit.

3. Meningkatkan kesadaran, kemauan dan kemampuan untuk berperilaku

hidup bersih dan sehat bagi warga dan lingkungan rumah sakit.

C. KEBIJAKAN PKMRS

1. PKMRS difokuskan pada upaya pemberdayaan masyarakat di rumah sakit

untuk hidup sehat dan mengembangkan lingkungan yang sehat.

2. PKMRS merupakan bagian dari program rumah sakit secara keseluruhan,

untuk meningkatkan kualitas pelayanan rumah sakit.

Universitas Sumatera Utara


3. PKMRS dilakukan secara edukatif-persuasif, dan praktis-pragmatis,

dengan membuka jalur komunikasi, menyediakan informasi dan

melakukan edukasi (proses pembelajaran).

4. PKMRS dilakukan dari, oleh dan untuk masyarakat di rumah sakit secara

kemitraan dan berkesinambungan.

5. PKMRS dilakukan sesuai dengan perkembangan jaman, serta sesuai

dengan budaya dan kondisi setempat.

Adapun pesan atau materi PKMRS disesuaikan dengan masalah kesehatan

yang sedang diderita pasien atau penyakit terbanyak yang ditemukan di rumah sakit

(masalah lokal/SMF), atau masalah penyakit yang bersifat nasional (yang cenderung

meningkat secara nasional seperti : penyakit jantung, tekanan darah tinggi, TBC,

kanker, dsb) dengan aspek pencegahannya.

Secara garis besar, isi penyuluhan dapat dibagi menjadi 3 hal, yaitu :

1. Memelihara dan meningkatkan derajat kesehatan individu maupun kelompok.

2. Mencegah terserang suatu penyakit atau penyakit yang diderita kambuh

kembali. Juga mencegah penularan penyakit kepada atau dari orang lain.

3. Membantu proses penyembuhan dan pemulihan.

Metode penyuluhan yang dapat dikembangkan dalam PKMRS dapat

dilakukan secara langsung maupun tidak langsung. Penyuluhan langsung adalah

penyuluhan/komunikasi tanpa menggunakan alat perantara, dimana penyuluh

berbicara langsung kepada seseorang/sekelompok orang di hadapan penyuluh seperti:

tanya jawab perorangan, ceramah pada kelompok, dan konseling. Penyuluhan tidak

Universitas Sumatera Utara


langsung adalah penyuluhan/komunikasi melalui alat bantu atau media perantara

seperti : radio kaset, video kaset, flipchart, poster, booklet, leaflet, dan pameran.

Indikator keberhasilan PKMRS di lihat dari :

1. Adanya Tim pengelola PKMRS

2. Adanya kegiatan PKMRS yang berkesinambungan dan didukung oleh sumber

dana yang memadai

3. Adanya sarana dan media PKMRS yang memadai

4. Adanya peningkatan penampilan RS yang bersih dan sehat

5. Adanya peningkatan Perilaku Bersih dan Sehat dari petugas,

pasien/pengunjung.

2.3 Kepatuhan Pasien

Kepatuhan berasal dari kata “patuh” yang berarti taat, suka menuruti, disiplin.

Kepatuhan menurut Trostle dalam Niven (2002), adalah tingkat prilaku penderita

dalam mengambil suatu tindakan pengobatan, misalnya dalam menentukan kebiasaan

hidup sehat dan ketetapan berobat. Dalam pengobatan, seseorang dikatakan tidak

patuh apabila orang tersebut melalaikan kewajibannya berobat, sehingga dapat

mengakibatkan terhalangnya kesembuhan.

Menurut Sacket (Niven, 2002) kepatuhan pasien adalah sejauhmana perilaku

pasien sesuai dengan ketentuan yang diberikan oleh profesional kesehatan.

Menurut Sarafino (Bart, 1994) secara umum, ketidaktaatan meningkatkan

resiko berkembangnya masalah kesehatan atau memperpanjang, atau memperburuk

Universitas Sumatera Utara


kesakitan yang sedang diderita. Perkiraan yang ada menyatakan bahwa 20% jumlah

opname di rumah sakit merupakan akibat dari ketidaktaatan pasien terhadap aturan

pengobatan. Faktor yang memengaruhi kepatuhan seseorang dalam berobat yaitu

faktor petugas, faktor obat, dan faktor penderita. Karakteristik petugas yang

memengaruhi kepatuhan antara lain jenis petugas, tingkat pengetahuan, lamanya

bekerja, frekuensi penyuluhan yang dilakukan. Faktor obat yang memengaruhi

kepatuhan adalah pengobatan yang sulit dilakukan tidak menunjukkan kearah

penyembuhan, waktu yang lama, adanya efek samping obat. Faktor penderita yang

menyebabkan ketidakpatuhan adalah umur, jenis kelamin, pekerjaan, anggota

keluarga.

Faktor-faktor yang memengaruhi ketidakpatuhan dapat digolongkan menjadi

empat bagian yaitu :

1. Pemahaman Tentang Informasi

Tak seorang pun mematuhi instruksi jika ia salah paham tentang instruksi

yang diberikan padanya. Ley dan Spelman (Niven, 2002) menemukan bahwa lebih

dari 60% yang diwawancarai setelah bertemu dengan dokter salah mengerti tentang

instruksi yang diberikan pada mereka. Hal ini disebabkan oleh kegagalan profesional

kesehatan dalam memberikan informasi yang lengkap, penggunaan istilah-istilah

medis, dan banyak memberikan instruksi yang harus diingat oleh pasien.

Pendekatan praktis untuk meningkatkan kepatuhan pasien ditemukan oleh

DiNicola dan DiMatteo (Niven, 2002) yaitu :

a. Buat instruksi tertulis yang jelas dan mudah diinterpretasikan.

Universitas Sumatera Utara


b. Berikan informasi tentang pengobatan sebelum menjelaskan hal-hal lain.

c. Jika seseorang diberikan suatu daftar tertulis tentang hal-hal yang harus diingat,

maka akan ada efek “keunggulan”, yaitu mereka berusaha mengingat hal-hal

yang pertama kali ditulis.

d. Instruksi-instruksi harus ditulis dengan bahasa umum (non medis) dan hal-hal

yang perlu ditekankan.

2. Kualitas Interaksi

Kualitas interaksi antara professional kesehatan dan pasien merupakan bagian

yang penting dalam menentukan derajat kepatuhan. Meningkatkan interaksi

professional kesehatan dengan pasien adalah suatu hal penting untuk memberikan

umpan balik pada pasien setelah memperoleh informasi tentang diagnosis. Pasien

membutuhkan penjelasan tentang kondisinya saat ini, apa penyebabnya dan apa yang

dapat mereka lakukan dengan kondisi seperti itu.

3. Isolasi Sosial dan Keluarga

Keluarga dapat menjadi faktor yang sangat berpengaruh dalam menentukan

keyakinan dan nilai kesehatan individu serta dapat juga menentukan tentang program

pengobatan yang dapat mereka terima. Keluarga juga memberi dukungan dan

membuat keputusan mengenai perawatan dari anggota keluarga yang sakit.

4. Keyakinan, Sikap dan Kepribadian

Ahli psikologis telah menyelidiki tentang hubungan antara pengukuran-

pengukuran kepribadian dan kepatuhan. Mereka menemukan bahwa data kepribadian

secara benar dibedakan antara orang yang patuh dengan orang yang gagal. Orang-

Universitas Sumatera Utara


orang yang tidak patuh adalah orang-orang yang lebih mengalami depresi, ansietas,

sangat memerhatikan kesehatannya, memiliki kekuatan ego yang lebih lemah dan

yang kehidupan sosialnya lebih memusatkan perhatian pada dirinya sendiri.

Blumenthal et al (Niven, 2002) mengatakan bahwa ciri-ciri kepribadian yang

disebutkan diatas tersebut menyebabkan seseorang cenderung tidak patuh dari

program pengobatan.

Menurut teori Feuerstein dalam Niven (2002), ada lima faktor yang

mendukung kepatuhan pasien, dimana jika faktor ini lebih besar daripada

hambatannya maka kepatuhan harus mengikuti. Kelima faktor tersebut yaitu :

1. Pendidikan

Pendidikan pasien dapat meningkatkan kepatuhan, sepanjang bahwa pendidikan

tersebut merupakan pendidikan yang aktif.

2. Akomodasi

Suatu usaha harus dilakukan untuk memahami ciri kepribadian pasien yang dapat

memengaruhi kepatuhan. Sebagai contoh, pasien yang lebih mandiri harus dapat

merasakan bahwa ia dilibatkan secara aktif dalam program pengobatan, sementara

pasien yang lebih mengalami ansietas dalam menghadapi sesuatu, harus

diturunkan dahulu tingkat ansietasnya dengan cara meyakinkan dia atau dengan

teknik-teknik lain sehingga ia termotivasi untuk mengikuti anjuran pengobatan.

3. Modifikasi Faktor Lingkungan dan Sosial

Hal ini berarti membangun dukungan social dari keluarga dan teman-teman.

Kelompok pendukung dapat dibentuk untuk membantu kepatuhan terhadap

Universitas Sumatera Utara


program-program pengobatan seperti pengurangan berat badan, berhenti

merokok, dan menurunkan konsumsi alkohol.

4. Perubahan model terapi

Program-program pengobatan dapat dibuat sesederhana mungkin, dan pasien

terlibat aktif dalam pembuatan program tersebut. Dengan cara ini komponen-

komponen sederhana dalam program pengobatan dapat diperkuat, untuk

selanjutnya dapat mematuhi komponen-komponen yang lebih kompleks.

5. Meningkatkan Interaksi Profesional Kesehatan dengan Pasien

Adalah suatu hal yang penting untuk memberikan umpan balik pada pasien

setelah memperoleh informasi. Pasien membutuhkan penjelasan tentang

kondisinya, apa penyebabnya dan apa yang dapat mereka lakukan dengan kondisi

seperti itu. Konsultasi dapat membantu meningkatkan kepatuhan.

Menurut Schwart dan Griffin (Bart, 1994), faktor yang berhubungan dengan

ketidaktaatan pasien didasarkan atas pandangan mengenai pasien sebagai penerima

nasihat dokter yang pasif dan patuh. Pasien yang tidak taat dipandang sebagai orang

yang lalai, dan masalahnya dianggap sebagai masalah kontrol. Riset berusaha untuk

mengidentifikasi kelompok-kelompok pasien yang tidak patuh berdasarkan kelas

sosio ekonomi, pendidikan, umur, dan jenis kelamin. Pendidikan pasien dapat

meningkatkan kepatuhan, sepanjang bahwa pendidikan tersebut merupakan

pendidikan yang aktif seperti penggunaan buku-buku dan kaset oleh pasien secara

mandiri. Usaha-usaha ini sedikit berhasil, seorang dapat menjadi tidak taat kalau

situasinya memungkinkan. Teori-teori yang lebih baru menekankan faktor situasional

Universitas Sumatera Utara


dan pasien sebagai peserta yang aktif dalam proses pengobatannya. Perilaku ketaatan

sering diartikan sebagai usaha pasien untuk mengendalikan perilakunya, bahkan jika

hal tersebut bisa menimbulkan resiko mengenai kesehatannya.

Macam-macam faktor yang berkaitan dengan ketidaktaatan disebutkan :

1. Ciri-ciri kesakitan dan ciri-ciri pengobatan

Menurut Dickson dkk (Bart, 1994), perilaku ketaatan lebih rendah untuk

penyakit kronis (karena tidak ada akibat buruk yang segera dirasakan atau

resiko yang jelas), saran mengenai gaya hidup umum dan kebiasaan yang lama,

pengobatan yang kompleks, pengobatan dengan efek samping, dan perilaku

yang tidak pantas.

Menurut Sarafino (Bart, 1994), tingkat ketaatan rata-rata minum obat untuk

menyembuhkan kesakitan akut dengan pengobatan jangka pendek adalah sekitar

78%, untuk kesakitan kronis dengan cara pengobatan jangka panjang tingkat

tersebut menurun sampai 54%.

2. Komunikasi antara pasien dan petugas kesehatan

Berbagai aspek komunikasi antara pasien dengan petugas kesehatan

memengaruhi tingkat ketidaktaatan, misalnya informasi dengan pengawasan

yang kurang, ketidakpuasan terhadap aspek hubungan emosional dengan

petugas kesehatan, ketidakpuasan terhadap pengobatan yang diberikan

(Bart,1994).

3. Variabel-variabel sosial

Universitas Sumatera Utara


Hubungan antara dukungan sosial dengan ketaatan telah dipelajari. Secara

umum, orang-orang yang merasa mereka menerima penghiburan, perhatian, dan

pertolongan yang mereka butuhkan dari seseorang atau kelompok biasanya

cenderung lebih mudah mengikuti nasihat medis, daripada pasien yang kurang

mendapat dukungan sosial. Jelaslah bahwa keluarga memainkan peranan yang

sangat penting dalam pengelolaan medis. Misalnya, penggunaan pengaruh

normatif pada pasien, yang mungkin mengakibatkan efek yang memudahkan

atau menghambat perilaku ketaatan.

4. Ciri-ciri individual

Variabel-variabel demografis juga digunakan untuk meramalkan ketidaktaatan.

Sebagai contoh : di Amerika Serikat, kaum wanita, kaum kulit putih, dan orang

tua cenderung mengikuti anjuran dokter (Bart,1994).

2.4 Landasan Teori

Diabetes Mellitus (DM) merupakan salah satu penyakit degeneratif yang

banyak diderita oleh penduduk dunia dan hingga saat ini belum ditemukan

pengobatan yang efektif untuk menyembuhkannya. (Depkes RI, 2006).

Berdasarkan hasil Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) Tahun 2004,

bahwa dari 14 juta orang menderita DM, 50% diantaranya sadar telah mengidapnya

(30% diantaranya yang mau berobat teratur dan 70% lainnya belum mengikuti

pengobatan secara teratur), selain itu masih ada 50% lainnya yang tidak menyadari

Universitas Sumatera Utara


dirinya menderita DM. Keadaan ini mencerminkan bahwa pemahaman masyarakat

tentang penyakit DM dan upaya pencegahannya masih rendah.

Kepatuhan yaitu tingkat/derajat dimana penderita DM mampu melaksanakan

cara pengobatan dan perilaku yang disarankan oleh petugas kesehatan (Smet, 1994).

Shilinger (1983) yang dikutip Travis (1997) menyatakan bahwa kepatuhan mengacu

pada proses dimana penderita DM mampu mengasumsikan dan melaksanakan

beberapa tugas yang merupakan bagian dari sebuah regimen terapeutik. Trekas

(1984) dalam Ratanasuwan, dkk (2005), kemampuan penderita DM untuk

mengontrol kehidupannya dapat mempengaruhi tingkat kepatuhan. Seseorang yang

berorientasi pada kesehatan cenderung mengadopsi semua kebiasaan yang dapat

meningkatkan kesehatan dan menerima regimen yang akan memulihkan

kesehatannya.

Menurut teori Feuerstein dalam Niven (2002), ada lima faktor yang

mendukung kepatuhan pasien, yaitu pendidikan, akomodasi, modifikasi faktor

lingkungan dan sosial, perubahan model terapi dan meningkatnya interaksi

professional kesehatan dengan pasien.

Konseling dapat mengatasi ketidakpatuhan penderita DM. Edukasi yang baik

dan tepat akan menggugah kesadaran penderita untuk mau melaksanakan anjuran

kesehatan. Nicolucci et al (1996) dalam Day (2002) melaporkan bahwa penderita DM

yang tidak mendapatkan edukasi memiliki risiko 4 kali lebih tinggi terkena

komplikasi dibandingkan yang mendapatkan edukasi.

Universitas Sumatera Utara


Meningkatnya interaksi tenaga kesehatan melalui komunikasi dengan pasien,

adalah suatu hal penting untuk memberikan umpan balik pada pasien setelah

memperoleh informasi. Pasien membutuhkan penjelasan tentang kondisinya, apa

penyebabnya dan apa yang dapat mereka lakukan dengan kondisi seperti itu.

Informasi yang diperoleh pasien dapat membantu pasien untuk lebih memahami

kondisi mereka dan tindakan pengobatan yang sedang mereka jalani, dalam hal ini

cara penggunaan obat yang benar. Untuk meningkatkan interaksi tenaga kesehatan

dengan pasien, diperlukan suatu komunikasi yang terjalin baik oleh tenaga kesehatan.

Dengan komunikasi, seorang tenaga kesehatan dapat memberikan informasi yang

lengkap guna meningkatkan pemahaman pasien dalam setiap instruksi yang diberikan

kepadanya, sehingga diharapkan dapat meningkatkan kepatuhan pasien dalam

menjalankan terapi (Niven, 2002).

Hasil penelitian yang dilakukan oleh Palestin (2000) pada pasien di poliklinik

penyakit dalam RSU.dr.Sardjito Yogyakarta menyatakan bahwa secara statistik

terdapat pengaruh yang bermakna setelah pemberian komunikasi terhadap kepatuhan

dalam pengobatan pada pasien diabetes mellitus. ( Palestin, 2002 ).

Pritchard (1989) menyatakan hubungan komunikasi dengan kepatuhan

merupakan variabel intermediet dari mengerti, kepuasan, dan memori. Membangun

suatu kepatuhan tergantung pada dua faktor disengaja atau tidak disengaja dan

biasanya didasari informasi yang benar harus selalu diberikan pada pasien yang tidak

patuh pada pelayanan medis yang mungkin secara langsung membantu mengingatkan

kembali. Sejak dia dipercaya dan patuh dengan nasehat, dia akan mengikuti

Universitas Sumatera Utara


pengalaman kesehatan masa lampau oleh karena perubahan perilaku memerlukan

banyak teknik persuasif (Palestin, 2002).

Menurut Smet (1994), salah satu strategi untuk meningkatkan kepatuhan

adalah pemberian informasi, pemberian informasi yang jelas pada pasien dan

keluarga mengenai penyakit yang dideritanya serta cara pengobatannya. Dalam hal

ini pemberian informasi yang jelas tentang penggunaan obat secara benar, sehingga

pasien dapat paham dan akhirnya patuh terhadap anjuran pengobatan.

Ley dan Spelman (Niven, 2002) menemukan bahwa lebih dari 60% pasien

yang diwawancarai setelah bertemu dengan dokter salah mengerti tentang instruksi

yang diberikan pada mereka. Hal ini disebabkan oleh kegagalan profesional

kesehatan dalam memberikan informasi yang lengkap, penggunaan istilah-istilah

medis, dan banyak memberikan instruksi yang harus diingat oleh pasien.

Merujuk pada teori dan penelitian diatas dan berdasarkan survei pendahuluan

yang dilakukan peneliti terkait dengan kepatuhan pasien dalam konsumsi obat, maka

kajian komunikasi petugas informasi obat terhadap kepatuhan minum obat pasien

diabetes mellitus menjadi sangat penting untuk dilakukan.

Universitas Sumatera Utara


2.5 Kerangka Konsep

Berdasarkan landasan teori tersebut di atas maka sebagai kerangka konsep

dalam penelitian ini dapat kita lihat dalam bagan dibawah ini :

Variabel Bebas Variabel Terikat

Komunikasi Petugas Pelayanan


Informasi Obat
Kepatuhan Minum Obat
1. Isi informasi
2. Metode informasi
3. Peran petugas

Gambar 2.3. Kerangka Konsep Penelitian

Universitas Sumatera Utara


BAB 3
METODE PENELITIAN

3.1 Jenis Penelitian

Jenis penelitian ini adalah survei analitik (explanatory research) yaitu

penelitian yang dirancang untuk menjelaskan hubungan kausal antara variabel-

variabel melalui pengujian hipotesa (Singarimbun, 1989), yang bertujuan untuk

menganalisis pengaruh komunikasi petugas pelayanan informasi obat terhadap

kepatuhan minum obat pasien diabetes mellitus rawat jalan di RSUD.dr.

H.Kumpulan Pane Kota Tebing Tinggi.

3.2 Lokasi dan Waktu Penelitian

Lokasi penelitian adalah RSUD.dr.H.Kumpulan Pane Kota Tebing Tinggi,

dengan pertimbangan : (1) adanya keluhan pasien rawat jalan atas kurangnya

informasi yang diberikan petugas dalam penggunaan obat, (2) tingginya angka

ketidakpatuhan pasien diabetes mellitus terhadap pengobatannya, dan (3) kurangnya

pemanfaatan IFRS sebagai sarana pelayanan informasi obat kepada pasien.

Waktu penelitian dimulai dengan penelusuran pustaka, survei pendahuluan,

konsultasi, penyusunan proposal, kolokium dan dilanjutkan dengan penelitian

lapangan, pengumpulan data, analisa data serta penyusunan laporan penelitian atau

seminar hasil. Penelitian ini berlangsung selama 7 bulan yang dimulai dari bulan

Januari sampai dengan Juli 2011.

Universitas Sumatera Utara


3.3 Populasi dan Sampel

Populasi penelitian ini adalah pasien diabetes mellitus rawat jalan

RSUD.dr.H.Kumpulan Pane Kota Tebing Tinggi, dengan kriteria : (1) merupakan

pasien yang rutin berkunjung dalam waktu tertentu (≥ 2 bulan), (2) merupakan pasien

pemegang kartu Asuransi Kesehatan (Askes), Jaminan Kesehatan Masyarakat

(Jamkesmas), dan Jaminan Kesehatan Daerah (Jamkesda) Kota Tebing Tinggi

sehingga mempunyai kewajiban untuk memperoleh pengobatan sesuai waktu yang

ditentukan, dan (3) Merupakan pasien yang memperoleh hak menerima pelayanan

informasi obat dari Instalasi Farmasi RSUD.dr.H.Kumpulan Pane Kota Tebing

Tinggi.

Berdasarkan rentang waktu penelitian dan disesuaikan dengan kriteria

populasi, maka sampel dalam penelitian ini adalah seluruh pasien diabetes mellitus

rawat jalan RSUD.dr.H.Kumpulan Pane Kota Tebing Tinggi yang memenuhi kriteria

populasi selama waktu pengumpulan data yaitu sebanyak 46 orang.

Adapun syarat yang ditentukan adalah responden bisa berkomunikasi dengan

baik dan bersedia untuk diwawancarai.

3.4 Metode Pengumpulan Data

Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer dan data

sekunder. Data primer penelitian ini dihimpun melalui wawancara langsung dengan

menggunakan kuesioner penelitian. Data sekunder dihimpun melalui pengumpulan

dokumen yang ada di RSUD.dr.H.Kumpulan Pane Kota Tebing Tinggi dan

ketentuan-ketentuan yang berlaku di Departemen Kesehatan berkenaan dengan

Universitas Sumatera Utara


pelayanan di rumah sakit. Sebelum kuesioner diberikan kepada pasien terlebih dahulu

dilakukan uji coba pada 30 orang pasien diabetes mellitus di RS. dr. Djasamen

Saragih Kota Pematang Siantar, dengan pertimbangan bahwa rumah sakit tersebut

memiliki karakteristik yang sama dengan lokasi penelitian. Kuesioner yang

digunakan pada penelitian kepada responden yang kriterianya sama dengan sampel

terlebih dahulu dilakukan uji validitas dan reliabilitas.

Validitas adalah indeks yang menunjukkan sejauh mana suatu instrumen

penelitian mengukur apa yang seharusnya diukur atau untuk mengetahui kelayakan

butir-butir dalam daftar pertanyaan dalam mendefinisikan suatu variabel. Untuk

mengetahui validitas instrumen penelitian digunakan analisis item, yaitu

mengkorelasikan skor setiap pertanyaan dengan skor total yang merupakan jumlah

skor setiap pertanyaan. Syarat minimal untuk dianggap memenuhi adalah apabila

probabilitas lebih kecil dari α = 0,05. Uji validitas dalam penelitian ini menggunakan

analisis korelasi Pearson Product Moment (r), dengan ketentuan jika r hitung > r

tabel, maka dinyatakan valid atau sebaliknya (Riyanto, 2009).

Reliabilitas adalah hasil pengukuran yang dapat dipercaya hanya apabila

dalam beberapa kali pengukuran terhadap subjek yang sama diperoleh hasil yang

relatif sama, selama aspek yang diukur dalam diri subjek memang belum berubah.

Uji reliabilitas dilakukan untuk melihat konsistensi suatu alat ukur didalam

mengukur gejala yang sama. Suatu kuesioner dikatakan reliabel atau handal jika

jawaban dari responden terhadap pertanyaan yang sama adalah tetap atau konsisten

dari waktu ke waktu. Riyanto (2009) menyatakan teknik yang digunakan dalam

Universitas Sumatera Utara


pengujian reliabilitas instrumen adalah menggunakan uji cronbach’s alpha, dengan

ketentuan jika nilai r alpha > r tabel maka dinyatakan reliabel. Adapun hasil uji

validitas dan reliabilitas terhadap kuesioner penelitian (lampiran 3).

3.5. Variabel dan Definisi Operasional

Variabel dalam penelitian ini terdiri dari variabel bebas dan variabel terikat.

Variabel bebas terdiri dari: isi informasi, metode informasi, dan peran petugas.

Variabel terikat adalah kepatuhan minum obat. Sampel adalah pasien diabetes

mellitus rawat jalan di RSUD. dr. H. Kumpulan Pane Kota Tebing Tinggi.

Defenisi operasional dari variabel penelitian adalah sebagai berikut :

1. Isi informasi adalah segala sesuatu yang harus disampaikan oleh petugas PIO

kepada pasien dalam memberikan informasi yang berhubungan dengan :

a. Nama obat adalah uraian tentang obat yang digunakan meliputi identitas obat

(generik dan non generik), serta bentuk sediaan obat.

b. Tujuan pengobatan adalah hasil akhir yang ingin dicapai dalam pengobatan.

c. Jadwal pengobatan adalah uraian tentang waktu yang ditentukan untuk

melakukan kunjungan ke rumah sakit, pemeriksaan kadar gula darah dan

pengambilan obat kembali.

d. Cara menggunakan obat adalah rincian khusus yang berkaitan dengan dosis

obat, frekwensi penggunaan obat setiap hari, dan kapan saja obat digunakan

dalam waktu satu hari serta uraian tentang konsumsi makanan yang

berhubungan dengan penggunaan obat.

Universitas Sumatera Utara


e. Lamanya menggunakan obat adalah durasi penggunaan obat sejak pertama

kali obat diresepkan/dikonsumsi.

f. Efek samping obat adalah gejala/kemungkinan adanya akibat merugikan yang

timbul saat mengkonsumsi obat.

g. Tanda – tanda toksisitas adalah gejala atau indikasi keracunan obat yang

terjadi akibat pemakaian obat.

h. Cara penyimpanan obat adalah perlakuan terhadap obat sesuai bentuk sediaan

obat.

i. Penggunaan obat lain adalah pemakaian sediaan di luar resep dan sejauh mana

pengaruhnya terhadap keefektifan obat yang diresepkan oleh dokter.

2. Metode informasi adalah penilaian responden terhadap cara/teknik apoteker

sebagai petugas PIO dalam memberikan informasi kepada pasien.

3. Peran petugas adalah penilaian responden terhadap kemampuan Apoteker dalam

berkomunikasi dan memberikan informasi yang jelas dan lengkap kepada

responden selama mendapatkan PIO.

4. Kepatuhan pasien adalah penilaian terhadap ketaatan responden mengkonsumsi

obat yang diresepkan, melakukan pemeriksaan kadar gula darah secara rutin,

mengambil obat sesuai jadwal yang telah ditentukan dan menaati segala nasehat

dari petugas kesehatan.

Universitas Sumatera Utara


3.6 Metode Pengukuran

Pengukuran secara sederhana dapat didefinisikan sebagai pemberian batas

kuantifikasi tertentu pada variabel sehingga dapat diketahui nilai atau besaran

variasinya (Pratiknya, 2003).

Untuk mengukur variabel bebas yaitu komunikasi petugas PIO ( isi informasi,

metode informasi, dan peran petugas) dipergunakan alat ukur kuesioner dengan

melampirkan 32 buah pertanyaan yang terdiri dari 13 buah pertanyaan isi informasi, 8

buah pertanyaan metode informasi dan 11 buah pertanyaan peran petugas, dengan 5

pilihan jawaban yaitu : sangat setuju, setuju, ragu-ragu, tidak setuju, dan sangat tidak

setuju. Sedangkan untuk mengukur variabel terikat yaitu kepatuhan minum obat

pasien diabetes mellitus rawat jalan menggunakan 6 buah pertanyaan, dengan 2

pilihan jawaban yaitu, ya dan tidak.

3.6.1. Variabel Bebas (Variabel Independen)

Variabel bebas terdiri dari 3 (tiga) sub variabel yaitu : isi informasi, metode

informasi, dan peran petugas. Untuk mengukur variabel bebas dipergunakan alat ukur

berupa kuesioner. Pertanyaan menggunakan jawaban dengan skala Likert dimana

apabila jawaban yang dipilih sangat setuju maka nilainya adalah 5, setuju nilainya

4, ragu-ragu nilainya 3, tidak setuju nilainya 2, dan apabila jawaban yang dipilih

sangat tidak setuju maka nilainya adalah 1. Hasil pengkategorian kriteria interval

akan dibagi menjadi 3 (tiga) kategori yaitu : baik, kurang baik, dan tidak baik dengan

melakukan skoring terhadap jawaban kuesioner.

Universitas Sumatera Utara


Untuk mengukur isi informasi dipergunakan kuesioner dengan 13 buah

pertanyaan dengan skor tertinggi 65 dan skor terendah 13, kategori terdiri dari :

1. Baik, apabila responden memperoleh nilai 49 - 65

2. Kurang Baik, apabila responden memperoleh nilai 31 - 48

3. Tidak Baik, apabila responden memperoleh nilai 13 – 30.

Untuk mengukur metode informasi dipergunakan kuesioner dengan 8 buah

pertanyaan dengan skor tertinggi 40 dan skor terendah 8, kategori terdiri dari :

1. Baik, apabila responden memperoleh nilai 32 - 40

2. Kurang Baik, apabila responden memperoleh nilai 20 - 31

3. Tidak Baik, apabila responden memperoleh nilai 8 – 19.

Untuk mengukur peran petugas dipergunakan kuesioner dengan 11 buah

pertanyaan dengan skor tertinggi 55 dan skor terendah 11, kategori terdiri dari :

1. Baik, apabila responden memperoleh nilai 41 - 55

2. Kurang Baik, apabila responden memperoleh nilai 26 - 40

3. Tidak Baik, apabila responden memperoleh nilai 11 – 25.

3.6.2. Variabel Terikat (Variabel Dependen)

Variabel terikat yaitu kepatuhan pasien yang diukur dengan 6 buah

pertanyaan. Pertanyaan untuk kepatuhan pasien menggunakan jawaban dengan skala

Guttman dimana apabila jawaban yang dipilih ya maka nilainya adalah 2 dan apabila

jawaban yang dipilih tidak maka nilainya adalah 1. Skor tertinggi adalah 12 dan skor

terendah adalah 6. Kategori yang diberikan adalah :

1. Patuh, apabila responden memperoleh nilai 9 - 12

Universitas Sumatera Utara


2. Tidak Patuh, apabila responden memperoleh nilai 6 – 8.

3.7 Metode Analisis Data

Analisis data dalam penelitian ini adalah dengan analisis univariat yaitu untuk

menjelaskan setiap variabel penelitian dengan penyajian dalam tabel distribusi

frekuensi. Kemudian dilakukan analisis bivariat untuk mengetahui ada tidaknya

pengaruh yang bermakna antara variabel bebas dengan variabel terikat dengan uji chi-

square. Analisis multivariat untuk mengetahui faktor yang paling dominan

berpengaruh terhadap kepatuhan minum obat pasien diabetes mellitus rawat jalan di

RSUD. dr. H. Kumpulan Pane Kota Tebing Tinggi dilakukan dengan uji regresi

logistik yang didapatkan dari uji bivariat dengan nilai p<0,25.

Universitas Sumatera Utara


BAB 4
HASIL PENELITIAN

4.1 Gambaran Umum Lokasi Penelitian

Rumah Sakit Umum Daerah dr. H. Kumpulan Pane Kota Tebing Tinggi

terletak di lokasi yang strategis yaitu di tengah kota dan mudah dijangkau. Dari segi

pelayanan dan peralatan kedokteran masih lebih unggul dari rumah sakit swasta yang

ada di Kota Tebing Tinggi. Saat ini RSUD dr. H. Kumpulan Pane Kota Tebing

Tinggi juga masih merupakan pilihan bagi masyarakat kabupaten di luar Kota Tebing

Tinggi untuk tempat rujukan. Hal ini dibuktikan dengan tingginya tingkat kunjungan

pasien yang berasal dari luar Kota Tebing Tinggi.

Rumah Sakit Umum Daerah dr. H. Kumpulan Pane Kota Tebing Tinggi

berdiri tahun 1958 yang sebelumnya bernama Rumah Sakit Kota Praja. Dibangun di

atas areal tanah seluas 11.675 M2 dengan luas bangunan 3.296 M2. Berdasarkan

Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor : 233 / Menkes / S. K / VI /

1983 UPTD RSU Kota Tebing Tinggi ditetapkan sebagai Rumah Sakit Umum

Pemerintah Kelas C Non Pendidikan. Sesuai dengan tuntutan perkembangan zaman

dan mengenang jasa salah seorang dokter pribumi pertama yang berpraktek di Kota

Tebing Tinggi dan merupakan tokoh masyarakat yang banyak bergerak di bidang

kesehatan, maka nama Rumah Sakit diubah menjadi RSUD dr. H. Kumpulan Pane.

Perubahan ini ditetapkan dengan Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia

Nomor :1013/Menkes/SK/IX/2007 tanggal 6 Desember 2007 tentang perubahan

Universitas Sumatera Utara


nama Rumah Sakit Umum Kota Tebing Tinggi menjadi Rumah Sakit Umum Daerah

dr. H. Kumpulan Pane Kota Tebing Tinggi. Pada tanggal 28 Juli 2009 Rumah Sakit

Umum Daerah dr. H. Kumpulan Pane Kota Tebing Tinggi telah ditetapkan menjadi

Rumah Sakit kelas B Non Pendidikan berdasarkan Surat Keputusan Menteri

Kesehatan Republik Indonesia Nomor: 581/MENKES/VII/2009, tentang Peningkatan

Kelas Rumah Sakit Umum Daerah dr. H. Kumpulan Pane Kota Tebing Tinggi dengan

status kepemilikan adalah Pemerintah Kota Tebing Tinggi Provinsi Sumatera Utara.

Rumah Sakit Umum Daerah dr. H. Kumpulan Pane Kota Tebing Tinggi juga

telah memperoleh status Akreditasi penuh tingkat lanjut untuk 12 pelayanan

berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor :

YM.01.10/III/7960/10 tertanggal 31 Desember 2010. Dan sejak Januari 2011 Rumah

Sakit Umum Daerah dr. H. Kumpulan Pane Kota Tebing Tinggi juga telah ditetapkan

sebagai Badan Layanan Umum Daerah (BLUD) Kota Tebing Tinggi berdasarkan

Surat Keputusan Walikota Tebing Tinggi Nomor : 900/832 tahun 2011 tentang

Penetapan Status Pola Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum Daerah (PPK-

BLUD) pada Rumah Sakit Umum Daerah dr. H.Kumpulan Pane Kota Tebing Tinggi.

A. TUGAS DAN FUNGSI

Berdasarkan Peraturan Daerah Nomor 5 Tahun 2004 tanggal 27 Oktober 2004

tentang pembentukan Susunan Organisasi Perangkat Daerah Kota Tebing Tinggi,

maka tugas pokok dan fungsi Rumah Sakit Umum Daerah dr. H. Kumpulan Pane

Kota Tebing Tinggi adalah sebagai berikut :

Universitas Sumatera Utara


1. Tugas

Melaksanakan upaya kesehatan secara serasi, terpadu dengan upaya peningkatan

serta pencegahan dan melaksanakan upaya rujukan.

2. Fungsi

a. Menyelenggarakan Pelayanan Medis.

b. Menyelenggarakan pelayanan penunjang medis

c. Menyelenggarakan pelayanan dan asuhan keperawatan

d. Menyelenggarakan pelayanan rujukan

e. Menyelenggarakan pendidikan dan pelatihan

f. Menyelenggarakan penelitian dan pengembangan

g. Menyelenggarakan administrasi umum dan keuangan.

B. VISI, MISI, MOTTO DAN NILAI-NILAI DASAR

1. Visi

Rumah Sakit yang terpercaya, profesional, terkini, aman, nyaman dan terjangkau

oleh masyarakat Kota Tebing Tinggi dan sekitarnya.

2. Misi

a. Menyelenggarakan pelayanan rumah sakit dengan didasari komitmen tinggi

dan partisipasi seluruh pegawai

b. Meningkatkan mutu sumber daya manusianya melalui pendidikan dan

pelatihan yang berkelanjutan

c. Mengembangkan pelayanan unggulan

Universitas Sumatera Utara


d. Meningkatkan sarana dan prasarana yang mengikuti perkembangan ilmu

kesehatan dan teknologi secara terus menerus

e. Menyelenggarakan pelayanan rumah sakit yang berorientasi dan terfokus pada

kepuasan pelanggan termasuk masyarakat miskin

f. Meningkatkan efektivitas, efisiensi dan fleksibilitas pengelolaan keuangan

g. Penghargaan Profesional kerja dengan peningkatan kesejahteraan pegawai

3. Motto

Kami Peduli Kesehatan Anda

4. Nilai-Nilai Dasar

Nilai-nilai yang diterapkan di Rumah Sakit mengambil singkatan dari nama

Rumah Sakit KUMPULAN PANE

Komitmen menjalankan tugas


Unggul dalam pelayanan
Mau dan mampu untuk maju
Peduli pada masyarakat miskin
Utama dalam karya
Loyal pada pimpinan
Aktif dalam tugas
Nyaman untuk dikunjungi
Potensial untuk berkarya
Akuntabel dalam keuangan
Netral dalam pelayanan
Empati dalam rasa

Universitas Sumatera Utara


Rumah Sakit Umum Daerah dr. H. Kumpulan Pane memiliki berbagai macam

produk layanan yang terdiri dari berbagai instalasi. Sistem dan kegiatan utama dari

RSUD dr. H. Kumpulan Pane meliputi :

1. Pelayanan gawat darurat

2. Pelayanan diagnostik terpadu

3. Pelayanan rawat jalan

a. Poliklinik Umum

b. Poliklinik Spesialis Penyakit Dalam

c. Poliklinik Spesialis Anak

d. Poliklinik Spesialis Paru

e. Poliklinik Spesialis Bedah

f. Poliklinik Spesialis Kebidanan & Kandungan

g. Poliklinik Spesialis THT

h. Poliklinik Spesialis Mata

i. Poliklinik Spesialis Gigi & Mulut

j. Poliklinik Spesialis Kulit dan Kelamin

k. Poliklinik Jiwa

l. Poliklinik Jantung

m. Poliklinik Neurologi

n. Poliklinik DOTS

4. Pelayanan Rawat Inap

a. Kelas Super VIP

Universitas Sumatera Utara


b. Kelas VIP
c. Kelas I
d. Kelas II
e. Kelas III
f. Ruangan Isolasi
g. Ruang Anak dan Kebidanan
h. Ruang ICU
5. Pelayanan kamar operasi

6. Pelayanan radiologi

7. Pelayanan laboratorium patologi klinik

8. Pelayanan patologi anatomi

9. Pelayanan bank darah

10. Pelayanan haemodialisa

11. Pelayanan rehabilitasi medik

12. Pelayanan farmasi

13. Pelayanan gizi

14. Pelayanan keluarga miskin

15. Pelayanan rekam medis

16. Pelayanan administrasi manajemen

17. Pelayanan CSSD ( Central Sterilization Supply Department)

18. Pelayanan sanitasi

19. Pelayanan ambulance

20. Pelayanan pemulasaran jenazah

Universitas Sumatera Utara


21. Pelayanan pemeliharaan sarana rumah sakit.

Perkembangan Rumah Sakit cenderung mengalami peningkatan dengan

semakin meningkatnya kesadaran masyarakat akan kesehatan. Adanya kebijakan

Pemerintah untuk penduduk miskin yaitu Program Jaminan Kesehatan Masyarakat

(Jamkesmas) dan kebijakan Pemerintah Kota Tebing Tinggi untuk membantu

penduduk miskin Kota Tebing Tinggi yang tidak termasuk dalam cakupan program

Jamkesmas melalui program Jaminan Kesehatan Daerah (Jamkesda), memberikan

kemudahan bagi Rumah Sakit untuk memberikan pelayanan kepada penduduk

miskin. Jumlah kunjungan pasien yang terus meningkat menunjukkan Rumah sakit

semakin diminati masyarakat Kota Tebing Tinggi dan sekitarnya untuk berobat.

Perkembangan ini merupakan salah satu hasil peningkatan pelayanan baik dari segi

sumber daya manusia, sarana dan prasarana dan administrasi manajemen Rumah

Sakit. Pengembangan sumber daya manusia Rumah Sakit dilaksanakan melalui

peningkatan kuantitas dan kualitas, dimana peningkatan kualitas sumber daya

manusia dilakukan dengan pelaksanaan pendidikan dan pelatihan partisipatif dan

melalui in house training.

Secara rinci data ketenagaan RSUD dr. H. Kumpulan Pane dapat dilihat pada

tabel berikut:

Universitas Sumatera Utara


Tabel 4.1. Jumlah Ketenagaan RSUD dr. H. Kumpulan Pane Kota Tebing
Tinggi berdasarkan Jenis Pendidikan Tahun 2011
No Jenis Pendidikan Jumlah
1 Dokter Spesialis Penyakit Dalam 2
2 Dokter Spesialis Anak 3
3 Dokter Spesialis Konsultan Ginjal dan Hipertensi 1
4 Dokter Spesialis Bedah 2
5 Dokter Spesialis Kebidanan dan Kandungan 2
6 Dokter Spesialis Telinga Hidung dan Tenggorokan 1
7 Dokter Spesialis Mata 1
8 Dokter Spesialis Kulit dan Kelamin 1
9 Dokter Spesialis Paru dan Saluran Nafas 2
10 Dokter Spesialis Neurologi (Saraf) 1
11 Dokter Spesialis Jiwa 1
12 Dokter Spesialis Jantung 1
13 Dokter Spesialis Anastesi 1
14 Dokter Spesialis Patologi Klinik 1
15 Dokter Spesialis Patologi Anatomi 1
16 Dokter Umum 36
17 Dokter Gigi 5
18 Apoteker 7
19 S2 Kesehatan 5
20 S1 Keperawatan 18
21 Sarjana Kesehatan Masyarakat 12
22 Akademi Kebidanan 56
23 D3 Penata Gigi 5
24 D3 Rekam Medik 11
25 D3 Gizi 7
26 D3 Kesehatan Lingkungan 9
27 D3 Elektro Medik 11
28 D3 Analis Kesehatan 14
29 D3 Farmasi 13
30 D3 Keperawatan 109
31 D3 fisioterapy 6
32 D3 Kimia Analis 3
33 Penata Anastesi 2
34 D1 Gizi 2
35 AMRO 12
36 SMAK 3
37 SMF/SAA 3
38 SPK 25
39 D3 Fisika Instrument 2
40 D3 Komputer 4
41 D3 Pariwisata 2

Universitas Sumatera Utara


Tabel 4.1 (Lanjutan)

42 D3 Keuangan 5
43 Sarjana Ekonomi 6
44 Sarjana Hukum 4
45 Sarjana Psikologi 1
46 SLTA 43
47 SLTP 9
48 SD 4
Jumlah 485
Sumber : Data kepegawaian RSUD.dr.H.Kumpulan Pane Kota Tebing Tinggi, 2011.

Tabel 4.2. Gambaran Sepuluh Penyakit Terbesar Rawat Jalan RSUD dr. H.
Kumpulan Pane Kota Tebing Tinggi Tahun 2010

No Jenis Penyakit Jumlah Kunjungan Persentase (%)


1 Diabetes Mellitus 4706 11,18
2 Otitis Media 4514 10,73
3 ISPA (Infeksi Saluran Pernafasan) 4503 10,70
4 Bronchitis 3876 9,21
5 Dyspepsia 3260 7,75
6 Hipertensi 2902 6,90
7 Conjungtivitis 2816 6,70
8 Penyakit Jantung 2678 6,36
9 Rheumatoid Artritis 2206 5,24
10 Demam Typoid 1876 4,46
11 Lainnya 8751 20,79
Total 42088 100,00
Sumber : Data Rekam Medis RSUD.dr.H.Kumpulan Pane Kota Tebing Tinggi, 2011.

Dari Tabel 4.2 diatas, diketahui penyakit DM menempati urutan nomor 1

dari 10 kunjungan penyakit terbesar rawat jalan di RSUD.dr.H.Kumpulan Pane Kota

Tebing Tinggi. Jumlah kunjungan penderita DM rawat jalan selama kurun waktu satu

tahun terakhir sebanyak 4706 (11,18%). Keadaan tersebut menunjukkan bahwa

penyakit DM merupakan masalah kesehatan masyarakat yang perlu mendapatkan

perhatian serius untuk ditanggulangi.

Universitas Sumatera Utara


Tabel 4.3 Gambaran Jumlah Kunjungan Pasien Diabetes Mellitus
RSUD.dr.H.Kumpulan Pane Kota Tebing Tinggi

No Tahun Rawat Inap Rawat Jalan

1 2005 107 1524


2 2006 199 1883
3 2007 208 2685
4 2008 245 3705
5 2009 315 4151
6 2010 394 4706
Sumber : Data Rekam Medis RSUD.dr.H.Kumpulan Pane Kota Tebing Tinggi, 2011.

Dari Tabel 4.3 diatas, menunjukkan bahwa jumlah kunjungan pasien DM di

RSUD.dr.H.Kumpulan Pane Kota Tebing Tinggi terus meningkat dari tahun ketahun,

keadaan tersebut menunjukkan bahwa diperlukan pengembangan model pengendalian

kejadian penyakit DM di Kota Tebing Tinggi maupun pengelolaan DM untuk

memperpanjang usia harapan hidup penderitanya.

4.2 Analisis Univariat

4.2.1 Karakteristik Responden

Responden dalam penelitian ini adalah keseluruhan pasien diabetes mellitus

yang berobat jalan ke RSUD .dr. H. Kumpulan Pane Kota Tebing Tinggi yang

memenuhi kriteria populasi yang telah ditetapkan selama pengumpulan data sebanyak

46 orang, terdiri dari 7 orang peserta Jamkesmas, 10 orang peserta Jamkesda, dan 29

orang peserta Askes. Gambaran hasil distribusi karakteristik responden dalam

penelitian ini dapat dilihat pada tabel berikut :

Universitas Sumatera Utara


Tabel 4.4. Distribusi Karakteristik Responden di RSUD. dr. H. Kumpulan Pane
Kota Tebing Tinggi Tahun 2011

No Karakteristik Penderita DM Jumlah (n) Persentase (%)

1 Umur
a. ≥ 50 Tahun 21 45,7
b. < 50 Tahun 25 54,3
Total 46 100,0
2 Jenis Kelamin
a. Laki-laki 25 54,3
b. Perempuan 21 45,7
Total 46 100,0
3 Pendidikan
a. SD 7 15,2
b. SMP 11 23,9
c. SMA/Sederajat 20 43,5
d. Diploma/Universitas 8 17,4
Total 46 100,0
4 Pekerjaan
a. Pegawai/Pensiunan 30 65,2
b. Buruh, dsb 16 34,8
Total 46 100,0
5 Penghasilan
a. ≥ UMP (≥ Rp. 1.035.000) 30 65,2
b. < UMP (< Rp. 1.035.000) 16 34,8
Total 46 100,0
6 Lama Menderita Diabetes mellitus
a. ≤ 5 Tahun 29 63,0
b. > 5 Tahun 17 37,0
Total 46 100,0
Sumber : Lampiran 4 (diolah)

Berdasarkan Tabel 4.4. di atas diketahui bahwa karakteristik pasien DM

rawat jalan RSUD.dr.H.Kumpulan Pane Kota Tebing Tinggi sebagai responden

meliputi umur, jenis kelamin, pendidikan, pekerjaan, penghasilan, dan lama

menderita diabetes mellitus.

Universitas Sumatera Utara


Hasil penelitian menunjukkan bahwa mayoritas responden yang datang

berobat jalan ke RSUD .dr. H. Kumpulan Pane Kota Tebing Tinggi berusia dibawah


50 tahun yaitu sebanyak 25 orang (54,3%) dan berusia 50 tahun yaitu 21 orang

(45,7%).

Pengelompokan responden berdasarkan jenis kelamin menunjukkan bahwa

mayoritas responden berjenis kelamin laki-laki yaitu sebanyak 25 orang (54,3

%) dan 21 orang responden (45,7%) berjenis kelamin perempuan.

Berdasarkan pendidikan, diketahui mayoritas responden menamatkan

SMA/sederajat, yaitu sebanyak 20 orang (43,5%), diikuti SMP sebanyak 11 orang

(23,9%), Diploma/Universitas sebanyak 8 orang (17,4%), dan SD sebanyak 7 orang

(15,2%).

Pengelompokan berdasarkan pekerjaan menunjukkan bahwa mayoritas

responden merupakan pegawai/pensiunan, yaitu sebanyak 30 orang (65,2%), diikuti

buruh dan sebagainya sebanyak 16 orang (34,8%).

Mayoritas responden memiliki penghasilan ≥ dari Upah Minimum Propinsi

(UMP) tahun 2011 yaitu sebanyak 30 orang (65,2%), dan memiliki penghasilan lebih

kecil dari UMP sebanyak 16 orang (34,8%).

Pengelompokan responden berdasarkan lama menderita DM menunjukkan

bahwa mayoritas responden menderita DM ≤ 5 tahun yaitu sebanyak 29 orang (63,0

%), dan diatas 5 tahun sebanyak 17 orang (37%).

Universitas Sumatera Utara


4.2.2 Variabel Independen

Variabel independen dalam penelitian ini adalah komunikasi petugas

pelayanan informasi obat yang terdiri dari isi informasi, metode informasi, dan peran

petugas. Berdasarkan kuesioner yang disebarkan kepada 46 orang responden dapat

diketahui gambaran dari masing-masing variabel independen dalam penelitian ini.

a. Isi Informasi

Tabel 4.5. Distribusi Frekuensi Berdasarkan Isi Informasi yang diperoleh


Responden pada PIO di RSUD. dr. H. Kumpulan Pane
Kota Tebing Tinggi

No Isi Informasi Jumlah (n) Persentase (%)


1 Baik 17 37,0
2 Kurang Baik 15 32,6
3 Tidak Baik 14 30,4
Total 46 100,0
Sumber : Lampiran 4 (diolah)

Dari Tabel 4.5 diatas dapat dilihat bahwa mayoritas responden menyatakan

bahwa isi informasi yang disampaikan dalam PIO baik yaitu sebanyak 17 orang (37,0

%), kurang baik sebanyak 15 orang ( 32,6%), dan tidak baik sebanyak 14 orang

(30,4%).

b. Metode Informasi

Tabel 4.6. Distribusi Frekuensi Berdasarkan Metode Informasi yang


dilaksanakan pada PIO di RSUD. dr. H. Kumpulan Pane
Kota Tebing Tinggi

No Metode Informasi Jumlah (n) Persentase (%)


1 Baik 18 39,1
2 Kurang Baik 12 26,1
3 Tidak Baik 16 34,8
Total 46 100,0
Sumber : Lampiran 4 (diolah)

Universitas Sumatera Utara


Dari Tabel 4.6 diatas dapat dilihat bahwa mayoritas responden menyatakan

bahwa metode informasi yang dilaksanakan dalam PIO baik yaitu sebanyak 18 orang

(39,1%), diikuti tidak baik sebanyak 16 orang (34,8%), dan kurang baik sebanyak 12

orang (26,1%).

c. Peran Petugas

Tabel 4.7. Distribusi Frekuensi Berdasarkan Peran Petugas PIO di RSUD. dr.
H. Kumpulan Pane Kota Tebing Tinggi

No Peran Petugas Jumlah (n) Persentase (%)


1 Baik 13 28,3
2 Kurang Baik 23 50,0
3 Tidak Baik 10 21,7
Total 46 100,0
Sumber : Lampiran 4 (diolah)

Dari Tabel 4.7 diatas dapat dilihat bahwa mayoritas responden menyatakan

peran petugas PIO di RSUD.dr.H.Kumpulan Pane Kota Tebing Tinggi kurang baik

yaitu sebanyak 23 orang (50,0%), diikuti baik sebanyak 13 orang (28,3%), dan tidak

baik sebanyak 10 orang (21,7%).

4.2.3 Variabel Dependen

Tabel 4.8. Distribusi Frekuensi Kepatuhan Responden di RSUD. dr. H.


Kumpulan Pane Kota Tebing Tinggi

No Kepatuhan Jumlah (n) Persentase (%)


1 Patuh 22 47,8
2 Tidak patuh 24 52,2
Total 46 100,0
Sumber : Lampiran 4 (diolah)

Universitas Sumatera Utara


Berdasarkan Tabel 4.8 di atas, diketahui kepatuhan minum obat responden

mayoritas tidak patuh yaitu sebanyak 24 orang (52,2%), sedangkan patuh sebanyak

22 orang (47,8%).

4.3 Analisis Bivariat

Analisis bivariat dilakukan untuk mencari hubungan variabel independen

dengan variabel dependen. Pengujian ini menggunakan uji chi-square. Dikatakan ada

hubungan yang bermakna secara statistik jika diperoleh nilai p < 0,05.

4.3.1 Hubungan Isi Informasi dengan Kepatuhan Pasien Diabetes mellitus

Adapun hubungan isi informasi dengan kepatuhan pasien diabetes mellitus di

RSUD.dr.H.Kumpulan Pane Kota Tebing Tinggi dapat dilihat pada Tabel 4.9.

Tabel 4.9. Hubungan Isi Informasi dengan Kepatuhan Pasien Diabetes mellitus
di RSUD. dr. H. Kumpulan Pane Kota Tebing Tinggi

Kepatuhan
No Isi Informasi Patuh Tidak Patuh Nilai Sig.
n % n %
1 Baik 12 26,1 5 10,9
2 Kurang Baik 6 13,0 9 19,6 0,032
3 Tidak Baik 4 8,7 10 21,7
Total 22 47,8 24 52,2
*) nilai p = 0,032 dan dapat dimasukkan dalam analisis multivariat (p<0,25)

Pada tabel 4.9 hasil analisa uji chi-square menunjukkan dari 22 responden

yang patuh (47,8%) menyatakan bahwa isi informasi yang disampaikan dalam PIO

dengan kategori baik sebanyak 12 orang (26,1%), kurang baik sebanyak 6 orang

(13,0%), dan tidak baik sebanyak 4 orang (8,7%). Dari 24 responden yang tidak patuh

(52,2%) menyatakan bahwa isi informasi yang disampaikan dalam PIO dengan

Universitas Sumatera Utara


kategori baik sebanyak 5 orang (10,9%), diikuti kurang baik sebanyak 9 orang

(19,6%), dan tidak baik sebanyak 10 orang (21,7%). Secara statistik ada hubungan

antara isi informasi yang disampaikan dalam PIO dengan kepatuhan minum obat,

terlihat dari p value 0,032 < 0,05.

4.3.2 Hubungan Metode Informasi dengan Kepatuhan Pasien DM

Adapun hubungan metode informasi dengan kepatuhan pasien diabetes

mellitus di RSUD.dr.H.Kumpulan Pane Kota Tebing Tinggi dapat dilihat pada Tabel

4.10.

Tabel 4.10. Hubungan Metode Informasi dengan Kepatuhan Pasien Diabetes


Mellitus di RSUD. dr. H. Kumpulan Pane Kota Tebing Tinggi

Kepatuhan
No Metode Informasi Patuh Tidak Patuh Nilai Sig.
n % n %
1 Baik 12 26,1 6 13,0
2 Kurang Baik 7 15,2 5 10,9 0,014
3 Tidak Baik 3 6,5 13 28,3
Total 22 47,8 24 52,2
*) nilai p = 0,014 dan dapat dimasukkan dalam analisis multivariat (p<0,25)

Pada tabel 4.10 hasil analisa uji chi-square menunjukkan dari 22 responden

yang patuh (47,8%) menyatakan bahwa metode informasi yang dilaksanakan dalam

PIO dengan kategori baik sebanyak 12 orang (26,1%), kurang baik sebanyak 7 orang

(15,2%), dan tidak baik sebanyak 3 orang (6,5%). Dari 24 responden yang tidak patuh

(52,2%) menyatakan bahwa metode informasi yang dilaksanakan dalam PIO dengan

kategori baik sebanyak 6 orang (13,0%), diikuti kurang baik sebanyak 5 orang

(10,9%) dan tidak baik sebanyak 13 orang (28,3%). Secara statistik ada hubungan

Universitas Sumatera Utara


antara metode informasi yang dilaksanakan dalam PIO dengan kepatuhan minum

obat, terlihat dari p value 0,014 < 0,05.

4.3.3 Hubungan Peran Petugas PIO dengan Kepatuhan Pasien DM

Adapun hubungan peran petugas PIO dengan kepatuhan pasien diabetes

mellitus di RSUD.dr.H.Kumpulan Pane Kota Tebing Tinggi dapat dilihat pada Tabel

4.11.

Tabel 4.11. Hubungan Peran Petugas PIO dengan Kepatuhan Pasien Diabetes
Mellitus di RSUD. dr. H. Kumpulan Pane Kota Tebing Tinggi

Kepatuhan
No Peran Petugas Patuh Tidak Patuh Nilai Sig.
n % n %
1 Baik 12 26,1 1 2,2
2 Kurang Baik 6 13,0 17 37,0 0,001
3 Tidak Baik 4 8,7 6 13,0
Total 22 47,8 24 52,2
*) nilai p = 0,001 dan dapat dimasukkan dalam analisis multivariat (p<0,25)

Pada tabel 4.11 hasil analisa uji chi-square menunjukkan dari 22 responden

yang patuh (47,8%) menyatakan bahwa peran petugas PIO dengan kategori baik

sebanyak 12 orang (26,1%), kurang baik sebanyak 6 orang (13,0%), dan tidak baik

sebanyak 4 orang (8,7%). Dari 24 responden yang tidak patuh (52,2%) menyatakan

bahwa peran petugas PIO dengan kategori baik hanya 1 orang (2,2%), diikuti kurang

baik sebanyak 17 orang (37,0%), dan tidak baik sebanyak 6 orang (13,0%). Secara

statistik ada hubungan antara peran petugas PIO dengan kepatuhan minum obat,

terlihat dari p value 0,001 < 0,05.

Universitas Sumatera Utara


4.4 Analisis Multivariat

Berdasarkan analisis hubungan antara komunikasi petugas PIO yang terdiri

dari isi informasi, metode informasi, dan peran petugas dengan kepatuhan pasien

diabetes mellitus, maka dapat diidentifikasi secara keseluruhan variabel independen

dapat dimasukkan dalam analisis multivariat karena nilai pada uji chi square

menunjukkan nilai p < 0,25 (Ridwan, 2005).

Analisis multivariat merupakan analisis untuk mengidentifikasi variabel

independen yang mempunyai pengaruh paling dominan secara statistik terhadap

variabel dependen, dan dalam penelitian ini menggunakan uji regresi logistik dengan

metode enter. Hasil analisis statistik penelitian ini dapat dilihat pada Tabel 4.12

berikut ini.

Tabel 4.12. Hasil Uji Regresi Logistik Pengaruh Komunikasi Petugas PIO
Terhadap Kepatuhan Minum Obat Pasien DM Rawat Jalan di
RSUD. dr. H. Kumpulan Pane Kota Tebing Tinggi

Variabel (Exp) B P Value


Isi Informasi 1,072 0,029
Metode Informasi 1,101 0,026
Peran Petugas 1,137 0,003
Constant 0,000 0,001

Pada tabel 4.12 diatas menunjukkan bahwa berdasarkan hasil uji regresi

logistik ketiga variabel komunikasi petugas PIO yaitu isi informasi, metode

informasi, dan peran petugas memiliki pengaruh yang signifikan terhadap kepatuhan

minum obat pasien DM rawat jalan RSUD.dr.H.Kumpulan Pane Kota Tebing Tinggi

dengan nilai signifikansi masing-masing variabel < 0,05.

Universitas Sumatera Utara


Hasil analisis uji regresi logistik juga menunjukkan bahwa variabel yang

paling dominan mempengaruhi kepatuhan minum obat pasien DM rawat jalan

RSUD.dr.H.Kumpulan Pane Kota Tebing Tinggi adalah peran petugas dengan nilai p

value 0,003 dimana nilai p value tersebut paling kecil dari variabel lainnya.

Universitas Sumatera Utara


BAB 5
PEMBAHASAN

5.1 Pengaruh Isi Informasi terhadap Kepatuhan Minum Obat

Isi informasi dalam penelitian ini adalah segala sesuatu yang harus

disampaikan oleh petugas PIO kepada pasien DM ketika melakukan komunikasi yang

berkaitan dengan obat dan tindakan pengobatan yang akan dijalani oleh pasien.

Hasil penelitian menunjukkan dari 17 responden yang menyatakan isi

informasi yang disampaikan petugas PIO baik, 12 (70,6%) patuh minum obat, dari

15 responden yang menyatakan isi informasi kurang baik, 6 (40,0%) patuh minum

obat, dan dari 14 responden yang menyatakan isi informasi yang disampaikan petugas

PIO tidak baik, hanya 4 (28,6%) patuh minum obat. Hal ini menunjukkan bahwa isi

informasi yang disampaikan oleh petugas PIO penting dalam meningkatkan

kepatuhan minum obat pasien DM.

Menurut Smet (1994), salah satu strategi untuk meningkatkan kepatuhan

adalah pemberian informasi, pemberian informasi yang jelas pada pasien dan

keluarga mengenai penyakit yang dideritanya serta cara pengobatannya. Dalam hal

ini pemberian informasi yang jelas tentang penggunaan obat secara benar dan

tindakan pengobatan yang harus dijalani pasien DM, sehingga pasien dapat paham

dan akhirnya patuh terhadap anjuran pengobatan.

Menurut Niven (2002) tak seorang pun mematuhi instruksi jika ia salah

paham tentang instruksi yang diberikan padanya. Hasil penelitian Ley dan Spelman

Universitas Sumatera Utara


(Niven, 2002) menemukan bahwa lebih dari 60% yang diwawancarai setelah bertemu

dengan dokter salah mengerti tentang instruksi yang diberikan pada mereka. Hal ini

disebabkan oleh kegagalan profesional kesehatan dalam memberikan informasi yang

lengkap, penggunaan istilah-istilah medis, dan terlalu banyak memberikan instruksi

yang harus diingat oleh pasien.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa masih terdapat 10 responden (71,4%)

yang menyatakan bahwa isi informasi yang disampaikan oleh petugas PIO tidak baik,

dan 9 responden (60,0%) yang menyatakan isi informasi yang disampaikan kurang

baik, dan ini berdampak secara langsung terhadap kepatuhan minum obat pasien DM.

Hal ini kemungkinan disebabkan masih kurangnya sumber informasi yang dimiliki

oleh petugas PIO dalam memberikan informasi yang dibutuhkan oleh pasien, seperti

buku-buku tentang pengelolaan DM dan layanan informasi elektronik (internet) dan

kurangnya kemampuan petugas PIO dalam menyusun isi/pesan agar mudah dipahami

dan tepat pada sasaran. Hal ini kemungkinan karena tidak terfikirkan oleh pimpinan

untuk mendukung sarana dan prasarana PIO di IFRS.

Menurut Depkes RI (1999), dalam menyusun isi/pesan untuk Promosi

Kesehatan Masyarakat Rumah Sakit (PKMRS) harus menggunakan bahasa yang

mudah dipahami, jumlah pesan yang tidak terlalu banyak dan dikemukakan secara

sistematis, serta disesuaikan dengan pendidikan, tingkat ekonomi, dan adat istiadat

sasaran. Oleh sebab itu perlu dilakukan konsultasi redaksi kepada ahli bahasa agar isi

informasi lebih mudah dipahami oleh pasien.

Universitas Sumatera Utara


Hasil penelitian juga menunjukkan dari 17 responden yang menyatakan isi

informasi baik, 5 (10,9%) tidak patuh minum obat, dan dari 14 responden yang

menyatakan isi informasi tidak baik, 4 (8,7%) patuh minum obat. Berarti walaupun

telah dilakukan pemberian informasi yang baik kepada pasien tidak serta merta

menyebabkan kepatuhan, dan pemberian informasi yang tidak baik kepada pasien,

masih dapat menimbulkan sikap patuh minum obat pada pasien, hal ini kemungkinan

disebabkan oleh faktor karakteristik responden, seperti umur, jenis kelamin,

pendidikan, lama menderita penyakit dan lama menjalani pengobatan, serta dukungan

keluarga.

Menurut Joenoes (1998) untuk patuh minum obat berhubungan dengan

faktor individu penderita (faktor internal) antara lain umur penderita, jenis kelamin

dan pendidikan dan faktor di luar diri penderita (faktor eksternal) seperti lama

menderita penyakit dan faktor dukungan keluarga. Hasil penelitian diatas sama

dengan penelitian Masduki (1993) di Kabupaten Kuningan dan penelitian Hutabarat

(2008) di Kabupaten Asahan bahwa ada hubungan yang bermakna antara faktor

internal yaitu umur, jenis kelamin dan pendidikan, dan faktor eksternal yaitu lama

menderita penyakit dan dukungan keluarga dengan kepatuhan minum obat.

Menurut pendapat La Greca dalam Smet (1994) bahwa kepatuhan minum obat

pasien berusia lanjut lebih rendah karena daya ingat yang semakin berkurang, oleh

karena itu informasi disampaikan kepada keluarga pasien.

Menurut Skiner dalam Notoatmodjo (2005) bahwa kepatuhan minum obat

dipengaruhi faktor dari dalam penderita antara lain jenis kelamin. Menurut pendapat

Universitas Sumatera Utara


Smet (1994) kaum perempuan cenderung lebih patuh minum obat untuk

kesembuhannya dibanding dengan laki-laki, karena sesuai dengan kodrat wanita

untuk dapat berpenampilan menarik, karena setiap penyakit yang berakibat buruk

terhadap penampilannya diupayakan untuk tidak terjadi dengan mematuhi segala

anjuran teratur minum obat.

Menurut Schwart dan Griffin (Bart, 1994) pendidikan pasien dapat

meningkatkan kepatuhan sepanjang bahwa pendidikan tersebut merupakan

pendidikan yang aktif. Smet (1994) mengatakan bahwa pendidikan yang kurang akan

menyebabkan penderita tidak patuh minum obat, apalagi kalau penderita buta huruf,

perlu penanganan lebih teliti untuk mengartikan instruksi tatacara penggunaan obat.

Menurut Niven (2002), keluarga dapat menjadi faktor yang sangat

berpengaruh dalam menentukan keyakinan dan nilai kesehatan individu serta dapat

juga menentukan tentang program pengobatan yang dapat mereka terima. Keluarga

juga memberi dukungan dan membuat keputusan mengenai perawatan dari anggota

keluarga yang sakit.

Menurut Dickson dkk (Bart, 1994), perilaku ketaatan lebih rendah untuk

penyakit kronis (karena tidak ada akibat buruk yang segera dirasakan atau resiko

yang jelas), saran mengenai gaya hidup umum dan kebiasaan yang lama, pengobatan

yang kompleks, pengobatan dengan efek samping, dan perilaku yang tidak pantas.

Menurut Sarafino (Bart, 1994), tingkat ketaatan rata-rata minum obat untuk

menyembuhkan kesakitan akut dengan pengobatan jangka pendek adalah sekitar

Universitas Sumatera Utara


78%, untuk kesakitan kronis dengan cara pengobatan jangka panjang tingkat tersebut

menurun sampai 54%.

Menurut Feuerstein (Niven, 2002), ada lima faktor yang mempengaruhi

kepatuhan yaitu pendidikan, akomodasi (ciri kepribadian dan karakteristik pasien),

dukungan lingkungan sosial termasuk keluarga, model terapi dan lama pengobatan

yang dijalani pasien, serta interaksi/komunikasi petugas kesehatan.

Hasil uji chi-square menunjukkan secara statistik variabel isi informasi

mempunyai hubungan signifikan dengan kepatuhan minum obat pasien DM (p =

0,032), dan hasil uji regresi logistik menunjukkan variabel isi informasi berpengaruh

secara signifikan terhadap kepatuhan minum obat pasien DM. Hal ini

mengindikasikan bahwa semakin baik informasi yang disampaikan oleh petugas PIO

akan semakin meningkatkan kepatuhan minum obat pasien DM, maka akan semakin

besar kemungkinan pasien DM berhasil dalam pengelolaan penyakitnya sehingga

dapat meningkatkan produktivitasnya.

Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Palestin

(2000) pada pasien di poliklinik penyakit dalam RSU. dr. Sardjito Yogyakarta

menyatakan bahwa secara statistik terdapat pengaruh yang bermakna isi informasi

terhadap kepatuhan dalam pengobatan pada pasien diabetes mellitus. (Palestin, 2002).

5.2 Pengaruh Metode Informasi terhadap Kepatuhan Minum Obat

Metode Informasi dalam penelitian ini adalah cara/teknik yang digunakan

apoteker sebagai petugas PIO dalam memberikan informasi kepada pasien tentang

Universitas Sumatera Utara


segala sesuatu yang berhubungan dengan obat dan pengobatan DM. Dalam hal ini

petugas PIO melakukan teknik informasi dengan cara bertatap muka secara langsung

(konseling) dengan pasien.

Hasil penelitian menunjukkan dari 18 responden yang menyatakan metode

informasi yang dilakukan petugas PIO baik, 12 (66,7%) patuh minum obat, dari 12

responden yang menyatakan metode informasi kurang baik, 7 (58,3%) patuh minum

obat, dan dari 16 responden yang menyatakan metode informasi yang dilakukan

petugas PIO tidak baik, hanya 3 (18,8%) patuh minum obat. Hal ini menunjukkan

bahwa metode informasi yang dilakukan oleh petugas PIO penting dalam

meningkatkan kepatuhan minum obat pasien DM.

Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Palestin

(2000) pada pasien di poliklinik penyakit dalam RSU. dr. Sardjito Yogyakarta dengan

teknik komunikasi tatap muka secara langsung (face to face) secara statistik

mempunyai pengaruh yang bermakna terhadap kepatuhan dalam pengobatan pada

pasien diabetes mellitus. (Palestin, 2002).

Hasil penelitian menunjukkan bahwa masih terdapat 13 responden (81,3%)

yang menyatakan bahwa metode informasi yang dilakukan oleh petugas PIO tidak

baik, dan 5 responden (41,7%) yang menyatakan metode informasi yang dilakukan

petugas PIO kurang baik. Hal ini berdampak secara langsung terhadap kepatuhan

minum obat pasien DM. Berarti metode informasi yang dilakukan oleh petugas PIO

belum cukup efektif dalam memberikan pemahaman kepada pasien sehingga

berdampak terhadap kepatuhan minum obat pasien.

Universitas Sumatera Utara


Menurut Bloom yang dikutip oleh Notoatmodjo (2003), proses dalam

penyampaian informasi sampai dapat dipahami oleh seseorang tergantung pada

kemahiran intelektualnya. Untuk menangkap rangsangan atau stimulus dari orang

lain sangat dipengaruhi oleh karakteristik dari orang yang bersangkutan. Faktor

karakteristik seseorang digunakan untuk menggambarkan fakta bahwa tiap individu

mempunyai tingkat pemahaman yang berbeda-beda. Hal ini disebabkan karena

adanya ciri-ciri individu yang berbeda-beda. Oleh sebab itu dalam memberikan

informasi hendaknya dilakukan dengan memperhatikan kondisi penerima informasi

dan teknik penyampaian informasi itu sendiri.

Menurut Depkes RI (1999), dalam melaksanakan Penyuluhan Kesehatan

Masyarakat Rumah Sakit (PKMRS) dapat menggunakan metode yang beragam,

seperti ceramah dan konseling serta menggunakan media penyuluhan seperti poster,

leaflet, video/film, kaset suara, flipchart dan pameran. Dengan metode dan media

penyuluhan yang beragam diharapkan dapat lebih meningkatkan pemahaman sasaran

(pasien) terhadap informasi yang disampaikan.

Hasil uji chi-square menunjukkan secara statistik variabel metode informasi

mempunyai hubungan signifikan dengan kepatuhan minum obat pasien DM (p =

0,014), dan hasil uji regresi logistik menunjukkan variabel metode informasi

berpengaruh secara signifikan terhadap kepatuhan minum obat pasien DM. Hal ini

mengindikasikan bahwa semakin beragam metode dan media informasi yang

digunakan dalam pelayanan informasi obat akan semakin meningkatkan pemahaman

Universitas Sumatera Utara


pasien DM, dan akan semakin besar kemungkinan pasien DM patuh terhadap anjuran

pengobatan yang harus dijalani.

5.3. Pengaruh Peran Petugas PIO terhadap Kepatuhan Minum Obat

Peran petugas dalam penelitian ini adalah penilaian responden terhadap

kemampuan petugas dalam berkomunikasi dan kemampuan petugas dalam

memberikan informasi yang jelas dan lengkap kepada responden selama

mendapatkan PIO.

Hasil analisis uji regresi logistik menunjukkan bahwa variabel yang paling

dominan mempengaruhi kepatuhan minum obat pasien DM rawat jalan RSUD. dr. H.

Kumpulan Pane Kota Tebing Tinggi adalah peran petugas dengan nilai p value 0,003

dimana nilai p value tersebut paling kecil dari variabel lainnya.

Hasil uji chi-square menunjukkan bahwa dari 13 responden yang menyatakan

peran petugas PIO baik, 12 (92,3%) patuh minum obat, dari 23 responden yang

menyatakan peran petugas PIO kurang baik, 6 (26,1%) patuh minum obat, dan dari

10 responden yang menyatakan peran petugas PIO tidak baik, hanya 4 (40,0%) patuh

minum obat. Hal ini menunjukkan bahwa peran petugas PIO penting dalam

meningkatkan kepatuhan minum obat pasien DM.

Hasil uji chi-square penelitian diatas sama dengan penelitian yang dilakukan

Hutabarat (2008) di Kabupaten Asahan bahwa ada hubungan yang bermakna antara

peran petugas dengan kepatuhan minum obat. Hasil penelitian yang sama

Universitas Sumatera Utara


diperlihatkan oleh Rachmalina dan Sunanti (1999) bahwa ada pengaruh peran petugas

kesehatan terhadap ketaatan penderita berobat.

Niven (2002) menyatakan kualitas interaksi antara petugas kesehatan dan

pasien merupakan bagian yang penting dalam menentukan derajat kepatuhan.

Meningkatnya interaksi petugas kesehatan dengan pasien adalah suatu hal penting

untuk memberikan umpan balik pada pasien setelah memperoleh informasi tentang

diagnosis, dimana pasien membutuhkan penjelasan tentang kondisinya, apa

penyebabnya dan apa yang dapat mereka lakukan dengan kondisi tersebut.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa masih terdapat 6 responden (60,0%)

yang menyatakan bahwa peran petugas PIO tidak baik, dan 17 responden (73,9%)

yang menyatakan peran petugas PIO kurang baik. Dan hal ini berdampak secara

langsung terhadap kepatuhannya, berarti petugas belum berperan maksimal dalam

memberikan PIO kepada pasien.

Dari data kepegawaian RSUD. Dr .H. Kumpulan Pane Kota Tebing Tinggi

diketahui bahwa jumlah Apoteker yang melaksanakan PIO di RS tersebut hanya 7

(tujuh) orang, sedangkan untuk melaksanakan tugas pokok dan fungsi, Apoteker

harus membagi waktu diantara tugas-tugas kefarmasian lainnya. Kurangnya jumlah

dan waktu yang diberikan Apoteker sebagai petugas PIO dibandingkan dengan

jumlah pasien yang harus dilayani, menyebabkan kurang maksimalnya peran

Apoteker sebagai petugas PIO. Oleh karena itu perlu dilakukan pemetaan terhadap

pasien yang memperoleh PIO, misalnya PIO dilakukan hanya pada pasien dengan

penyakit kronik atau pasien yang tidak patuh saja atau dengan melakukan penyuluhan

Universitas Sumatera Utara


secara berkala berdasarkan jenis penyakit berdasarkan jadwal yang telah ditentukan.

Selain itu kurangnya pengetahuan dan kemampuan petugas dalam berkomunikasi

dengan pasien serta memberikan toleransi dan empati dalam komunikasi tersebut

juga berpengaruh terhadap kepatuhan pasien.

Menurut Bart (1994) berbagai aspek komunikasi antara pasien dengan petugas

kesehatan mempengaruhi tingkat ketidaktaatan, misalnya informasi dengan

pengawasan yang kurang, ketidakpuasan terhadap aspek hubungan emosional dengan

petugas kesehatan, dan ketidakpuasan terhadap pengobatan yang diberikan.

Menurut Joenoes (1998) seorang petugas kesehatan yang tidak komunikatif

terhadap penderita akan menyebabkan penderita tidak mematuhi atau tidak

menggunakan obat yang diberikan kepadanya. Penyuluhan yang efektif diberikan

petugas kesehatan akan memberikan motivasi untuk patuh oleh penderita. Efektivitas

komunikasi petugas dengan penderita akan membuat penderita patuh menggunakan

obat, dengan jelas mengutarakan berapa jumlah obat sekali pakai, berapa kali sehari

dan harus diteruskan berapa hari. Joenoes juga menyatakan apabila penderita tidak

dapat baca tulis maka petugas kesehatan memberikan keterangan secara lisan dan

berulang-ulang sehingga penderita merasa yakin atau mengerti informasi yang

diberikan.

Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa dari responden yang menyatakan

peran petugas baik, ternyata hanya 1 (2,2%) tidak patuh minum obat, dan responden

yang menyatakan peran petugas tidak baik, ternyata 4 (8,7%) patuh minum obat. Hal

ini kemungkinan disebabkan adanya faktor internal seperti : umur, jenis kelamin,

Universitas Sumatera Utara


pendidikan, dan faktor eksternal pasien seperti : dukungan keluarga, lama menderita

dan menjalani pengobatan, sehingga menimbulkan motivasi diri untuk patuh terhadap

perintah pengobatan.

Hal ini mengindikasikan bahwa semakin maksimal peran petugas PIO akan

semakin meningkatkan kepatuhan pasien dalam minum obat dan melaksanakan

anjuran pengobatan yang harus dijalani, sehingga akan meningkatkan daya hidup

penderita DM.

5.4 Pengaruh Komunikasi Petugas PIO dengan Kepatuhan Minum Obat


Pasien DM RSUD.dr.H.Kumpulan Pane Kota Tebing Tinggi

Upaya yang dapat dilakukan oleh petugas PIO dalam meningkatkan

kepatuhan penderita DM dalam menjalani pengobatan adalah dengan menciptakan

komunikasi yang terbuka dengan penderita DM dan memberikan suatu perhatian

dalam komunikasi tersebut. Tenaga kesehatan sangat diperlukan dalam memonitor

perkembangan kepatuhan penderita DM dan juga harus terfokus pada perkembangan

motivasi penderita DM dan berupaya mengintegrasikan penyakit kedalam konsep diri

penderita DM untuk meningkatkan kepatuhan jangka panjang, serta membantu

penderita DM melakukan perubahan gaya hidup yang sesuai dengan anjuran

kesehatan (Rowley, 1999).

Konseling dapat mengatasi ketidakpatuhan penderita DM. Edukasi yang

baik dan tepat akan menggugah kesadaran penderita untuk mau melaksanakan

anjuran kesehatan. Nicolucci et al (1996) dalam Day (2002) melaporkan bahwa

Universitas Sumatera Utara


penderita DM yang tidak mendapatkan edukasi memiliki risiko 4 kali lebih tinggi

terkena komplikasi dibandingkan yang mendapatkan edukasi.

Penerapan komunikasi dalam pelayanan kesehatan mempunyai peran yang

sangat besar terhadap kemajuan kesehatan pasien. Komunikasi meningkatkan

hubungan interpersonal dengan pasien sehingga akan tercipta suasana yang kondusif

dimana pasien dapat mengungkapkan perasaan dan harapan-harapannya (Sundberg,

1989). Kondisi saling percaya yang telah dibangun antara petugas PIO dan pasien

tersebut akan mempermudah pelaksanaan dan keberhasilan program pengobatan

(Stuart G.W.,et al, 1998). Komunikasi yang baik dapat meningkatkan kepatuhan

pasien dalam hal pengobatan dan perawatan penyakitnya (Anggraini, 2009).

Menurut Niven (2002), pasien membutuhkan penjelasan tentang kondisinya,

apa penyebabnya dan apa yang dapat mereka lakukan dengan kondisi seperti itu.

Informasi yang diperoleh pasien dapat membantu pasien untuk lebih memahami

kondisi mereka dan tindakan pengobatan yang sedang mereka jalani. Dengan

komunikasi, seorang tenaga kesehatan dapat memberikan informasi yang lengkap

guna meningkatkan pemahaman pasien dalam setiap instruksi yang diberikan

kepadanya, sehingga diharapkan dapat meningkatkan kepatuhan pasien dalam

menjalankan terapi.

Berdasarkan ketentuan Depkes (2004) PIO oleh Farmasi Rumah Sakit

merupakan salah satu bentuk komunikasi yang dilakukan oleh Apoteker rumah sakit

dalam memberikan informasi penggunaan obat yang benar kepada sejawat kesehatan

yang ada di rumah sakit dan pasien.

Universitas Sumatera Utara


PIO sudah cukup lama dilakukan di IF-RSUD.dr.H.Kumpulan Pane Kota

Tebing Tinggi, hanya saja tidak dilakukan secara sistematis dan tidak terorganisir

secara terarah, melainkan hanya berdasarkan minat dan kesempatan yang dimiliki

oleh unit kerja terkait. Hal ini disebabkan belum adanya kebijakan rumah sakit yang

mengatur tentang pelayanan informasi di rumah sakit sehingga sistem, prosedur dan

alur pasien yang harus mendapatkan informasi belum terlaksana. Adapun

kemungkinan penyebab dari kondisi tersebut adalah kurangnya informasi yang

diperoleh pimpinan tentang pentingnya dilakukan pelayanan informasi di rumah

sakit, sehingga dalam pelaksanaannya belum memenuhi kebutuhan pasien.

Berdasarkan data rumah sakit diketahui bahwa RSUD.dr.H.Kumpulan Pane

Kota Tebing Tinggi telah memperoleh status Pola Pengelolaan Keuangan Badan

Layanan Umum Daerah (PPK-BLUD) Kota Tebing Tinggi berdasarkan SK Walikota

No: 900/832 tahun 2011, hal ini berarti rumah sakit bertanggung jawab terhadap

pengelolaan keuangannya sendiri.

PKMRS sangat penting dilakukan karena bertujuan untuk mengembangkan

lingkungan rumah sakit yang bersih dan sehat guna mendukung pelayanan rumah

sakit yang paripurna, seperti : memperpendek waktu rawatan, mencegah terjadinya

komplikasi, dan mengurangi penyakit nosokomial. Hal ini tentu saja akan

meningkatkan citra positif rumah sakit sebagai sarana pelayanan kesehatan sehingga

menarik minat konsumen untuk memanfaatkan pelayanan yang ada di rumah sakit

dan akan berdampak secara langsung terhadap pendapatan (income) rumah sakit.

Universitas Sumatera Utara


Peranan stakeholder sangat dibutuhkan agar program PKMRS dapat

dilaksanakan di rumah sakit. Kebijakan pimpinan tentang program promosi kesehatan

masyarakat rumah sakit merupakan salah satu bentuk kepedulian rumah sakit dalam

pengelolaan kesehatan baik terhadap lingkungan rumah sakit maupun kepada

konsumen rumah sakit. PKMRS seharusnya merupakan suatu kepanitian atau

kelompok kerja (pokja) yang mempunyai jabatan fungsional dan bertanggung jawab

secara langsung kepada bidang pelayanan, sehingga dalam pelaksanaannya isi pesan,

metode dan media, serta petugas penyuluh dapat dipersiapkan dengan sebaik

mungkin.

5.5 Keterbatasan Penelitian

Responden sulit diperoleh karena ketika mengunjungi rumah sakit tidak

bersamaan waktunya, sehingga peneliti harus menunggu disetiap ruang tunggu

pasien.

Ketidakseragaman pendidikan responden menyebabkan pemahaman terhadap

isi kuesioner berbeda pada saat pengumpulan data, sehingga peneliti harus melakukan

wawancara langsung dan mendalam kepada responden.

Universitas Sumatera Utara


BAB 6

KESIMPULAN DAN SARAN

6.1 Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan tentang pengaruh komunikasi

petugas PIO terhadap kepatuhan pasien DM rawat jalan di RSUD.dr.H. Kumpulan

Pane Kota Tebing Tinggi, maka dapat diketahui bahwa :

1. Isi informasi mempunyai hubungan yang bermakna dengan kepatuhan minum

obat, dimana nilai p = 0,032 < 0,05.

2. Metode informasi mempunyai hubungan yang bermakna dengan kepatuhan

minum obat, dimana nilai p = 0,014 < 0,05.

3. Peran petugas mempunyai hubungan yang bermakna dengan kepatuhan

minum obat, dimana nilai p = 0,001 < 0,05.

4. Meskipun isi informasi, metode informasi dan peran petugas memengaruhi

kepatuhan minum obat, ternyata dengan analisis regresi logistik diketahui

bahwa variabel yang paling dominan berpengaruh terhadap kepatuhan minum

obat yaitu peran petugas PIO dengan nilai p = 0,003 dimana nilai p value

tersebut lebih kecil dari variabel lainnya.

Universitas Sumatera Utara


6.2 SARAN

Berdasarkan kesimpulan yang diperoleh, peneliti mengemukakan beberapa

saran antara lain :

1. Pimpinan RSUD. dr. H. Kumpulan Pane Kota Tebing Tinggi hendaknya

mempunyai komitmen untuk menjalankan pelayanan informasi di rumah sakit

dan melakukan langkah-langkah dalam menyusun sistem, prosedur, dan alur

pasien dalam memperoleh informasi di rumah sakit.

2. Manajemen RSUD. dr. H. Kumpulan Pane Kota Tebing Tinggi hendaknya

menjalankan program PKMRS, sehingga dapat memberikan pelayanan prima

dan efektif dalam mendukung pelayanan kesehatan di RS.

3. Kepada Petugas agar meningkatkan pengetahuan dan kemampuan

berkomunikasi agar dapat memberikan pelayanan informasi yang bermanfaat

dalam mendukung kesembuhan dan pemeliharaan kesehatan konsumen

dengan simpatik dan penuh empati. Isi informasi dan metode informasi

hendaknya disesuaikan dengan kemampuan konsumen dalam memahami

pesan yang disampaikan.

Universitas Sumatera Utara


DAFTAR PUSTAKA

Adnyana, dkk., 2003. Penatalaksanaan Pasien Diabetes Mellitus di Poliklinik RS.


Sanglah Denpasar, Jurnal Penyakit Dalam Nomor 7, September 2006.

Anggraini, F., 2008. Hubungan Komunikasi Terapeutik Perawat dalam Tindakan


Keperawatan dengan Tingkat Kepuasan Klien di Ruang rawat Inap RSUD.
Wates Kulonprogo Kota Yogyakarta. http ://skripsistikes.wordpress.com/.
Diakses 19 April 2010

Anief, Moh., 2008. Manajemen Farmasi, cetakan kelima, Yogyakarta: Gajah Mada
University Press.

Arikunto, S., 2000. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek. Yogyakarta :


Rineka Cipta.

Badan Pimpinan Pusat Ikatan Sarjana Farmasi Indonesia., 2001. Pedoman Pelayanan
Farmasi Rumah Sakit. Jakarta: Badan Pimpinan Pusat Ikatan Sarjana
Farmasi Indonesia.

Bart, Smet., 1994. Psikologi Kesehatan, PT.Grasindo, Jakarta.

Basuki., 2000. Penyuluhan Diabetes Mellitus, Pusat Diabetes dan Lipid RSUP
Nasional RSCM, Jakarta.

Centers Disease Control and Preventation., 2004. Primary preventation of Type 2


Diabetes Mellitus by Lifestyle Intervension : Implication For Health Policy.
www.cdc.gov/arsip/diabetes.html. Diakses 19 April 2010.

Chan, C., 1997. Obesity Albuminuria and Hypertension among Hongkong Chinese
with Non Insulin Dependent Diabetes Mellitus (NIDDM). Prosgrad Med
Journal. China.

Daris,Azwar.,2008. Himpunan Peraturan dan Perundang-undangan Kefarmasian,


cetakan pertama, Jakarta: Ikrar Mandiri Abadi.

Day, John L.et.al., 2002. Living With Diabetes. John Wiley and Sons, Ltd.

Depkes RI., 2004. Standar Pelayanan Rumah Sakit. Jakarta: Direktorat Jenderal
Pelayanan Medik Rumah Sakit Umum dan Pendidikan.

Universitas Sumatera Utara


------------- ., 2005. Standar Pelayanan Rumah Sakit. Jakarta: Direktorat Jenderal
Pelayanan Medik Rumah Sakit Umum dan Pendidikan.

-------------., 2009. Media Penelitian dan Pengembangan Sumber Daya Manusia,


Jakarta.

Ester, Monica., 2000. Psikologi Kesehatan, Penerbit Buku Kedokteran, Jakarta.

Foster,M.G.,1986. Antropologi Kesehatan, Jakarta : UI Press.

Green,L., 2000., Communication and Human Behaviour, Prentice Hall, New Jersey.

Heilbronn, L.K.Noakes, M.Clifton, P.M (2002). The effect of high and low glycemic
index energy restricted diet on plasma lipid and glucose profile in type 2
diabetic subject with varying glycemic control, Journal of the American
College of Nutrition, (21):2.

Juliantini dan Widayati., 1996. Laporan Penelitian Kualitas Pelayanan informasi Obat
Instalasi Farmasi Rumah sakit Daerah Dr. Moewardi Surakarta.

Liliweri., 2007, Komunikasi dan perubahan Perilaku, Gramedia, Jakarta.

Niven, N., 2002. Psikologi Kesehatan. Jakarta : Penerbit EGC.

Notoatmodjo,S., 2002. Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta: Rineka Cipta.

------------------.,2003. Pendidikan dan Prilaku Kesehatan, cetakan kedua, Jakarta:


Rineka Cipta.

Neuman,S., & Yoshida, T., 2002. Theories of Human Communication, Belmont,


California : Wadsworth Publishing Company.

Palestin, B; Ermawan; Donsu, J.D.T; Hendarsih; dan Bakri, M.H., 2002. Penerapan
Komunikasi Teurapetik untuk mengoreksi Perilaku Klien Rawat Jalan
dengan Diabetes Mellitus, http ://annagustinazblogspot.com/. Diakses 19
April 2010.

Parkeni., 2003. Konsensus Pengelolaan Diabetes Mellitus Type 2, Jakarta.

Rantucci,J., 2007. Komunikasi Apoteker – Pasien. Panduan Konseling Pasien, edisi


kedua, Jakarta: EGC.

Universitas Sumatera Utara


Ratanusawan, dkk., 2005. Health Belief Model about Diabetes Mellitus in Thailand:
The Culture Consensus Analysis. Journal Medical Association of Thailand
Vol.88.

Rimbawan., Albiner Siagian., 2004. Indeks Glikemik Pangan. Cetakan-1. Jakarta :


Penebar Swadaya.

Rowley.C., 1999. Factors Influence Patient Adherence in Diabetes. University of


Clargary.

Sabri,L dan Hastono,S.P., 1999. Biostatistik dan Statistika Kesehatan, Jakarta: FKM-
UI Press.

Santoso., 1997. Laporan Penelitian Pelayanan Informasi Obat Instalasi Farmasi


Rumah Sakit Islam Jakarta Timur.

Siregar, C.J.P., 2004. Farmasi Rumah Sakit. Teori dan Penerapan, Jakarta: EGC.

Soegondo. P. Soewondo., 2004. Penatalaksanaan Diabetes Mellitus Terpadu, Pusat


Diabetes dan Lipid RSUP Nasional RSCM, Jakarta.

Surat Keputusan Direktorat Jenderal Pelayanan Kefarmasian dan Alat Kesehatan


Republik Indonesia Nomor. HK.01.DJ.11.093 Tahun 2004, Tentang
Pedoman Pelayanan Informasi Obat di Rumah Sakit.

Surat Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor.


1197/Menkes/SK/X/2004, Tentang Standar Pelayanan Farmasi di Rumah
Sakit.

Stuart, G.W. and Sundeen, S.J., 1998. Principle and Practice of Psyciatric Nursing.
Ed ke-6. St.Louis, Mosby Year Book.

Sunberg, C.M., 1989. Fundamentals of Nursing with Clinical Procedures.


Boston:Jones and Bartlett Publishers.

The Diabetes Prevention Program Research Group., 2003. Cost Associated With the
Primary Prevention of Type 2 Diabetes Mellitus in the Diabetes Mellitus
Program.www.preventiveservice.ahrg.go/arsip/diabetes.html. Diakses 19
April 2010.

Travis. T., 1997. Patient Perceptions of Factors That Effect Adherence to Dietary
Regiments for Diabetes Mellitus. Journal The Diabetes Educator Vol.23.

Universitas Sumatera Utara


Turtle, J., et al., 1999. Diabetes in the New Millenium. Sydney: Endocrinology and
Diabetes Research Foundation.

Waspadji. S., 2007. Pedoman Diet Diabetes Mellitus, FK-UI Depok.

Widayati dan Zairina., 1996. Laporan Penelitian Kualitas Pelayanan Informasi Obat
Instalasi Farmasi Rumah Sakit Orthopedi Prof.Dr.R.Soeharso Surakarta.

Yudistira, 2009., Human Communication (Komunikasi antar Manusia), terjemahan


Agus Maulana. Jakarta.

Universitas Sumatera Utara

You might also like