You are on page 1of 10

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Ginjal adalah salah satu organ penting dalam tubuh manusia. Ginjal berhasil
mengatur sekresi sisa metabolisme dan mempertahankan zat-zat yang
bermanfaat bagi tubuh, ginjal keseimbangan cairan tubuh, keseimbangan
asam-basa dan elektrolit tubuh. Selain itu ginjal juga darah, membentuk sel
darah merah (eritropoiesis) dan beberapa fungsi endokrin lainnya
(PERNEFRI, 2001).

Pada penyakit gagal ginjal kronik (GGK), ginjal artinya mengalami


kerusakan fungsional atau struktural. Kerusakan bersifat tidak dapat diubah
kembali semua fungsi ginjal akan dihentikan. Penderita gagal ginjal kronik
(GGK) di dunia tambahan lama semakin meningkat. Pada sebagian pasien
GGK sering anemia diikuti. Dari seluruh penderita yang membahas GGK,
sekitar 25%. transfusi darah berulang dan hanya 3% yang memiliki
hemoglobin (Hb) normal. Pada penderita GGK juga diperoleh penurunan
hematokrit (Ht) yang mulai tampak pada LFG (laju filtrasi glomerulus) 30-
35 ml/menit (PERNEFRI, 2003).

Anemia pada GGK terutama disebabkan karena defisiensi relatif dari


eritropoietin (EPO), namun ada faktor-faktor lain yang dapat mempermudah
terjadinya anemia, antara lain memendeknya umur sel darah merah, inhibisi
sumsum tulang, dan paling sering defisiensi zat besi dan folat. Anemia yang
terjadi pada pasien GGK dapat menyebabkan menurunnya kualitas hidup
pasien. Selain itu anemia pada pasien GGK juga meningkatkan terjadinya
morbiditas dan mortalitas (Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam,
2001).

1
2

1.2 Rumusan Masalah


a. Menjelaskan gagal ginjal kronik disertai dengan kejadian anemia ?
b. Menyebutkan terapi eritropoetin diindikasikan untuk pengobatan
anemia pada GGK ?
c. Apa saja tujuan penatalaksanaan anemia pada GGK ?
d. Apa saja anemia pada pasien dengan GGK ?

1.3 Tujuan
a. Untuk mengetahui gagal ginjal kronik disertai dengan kejadian anemia
b. Untuk mengetahui terapi eritropoetin diindikasikan untuk pengobatan
anemia pada GGK
c. Untuk mengetahui tujuan penatalaksanaan anemia pada GGK
d. Untuk mengetahui anemia pada pasien dengan GGK
3

BAB 2
PEMBAHASAN

2.1 Gagal Ginjal Kronik Disertai Dengan Kejadian Anemia


Gagal ginjal kronik hampir selalu disertai dengan kejadian anemia
(PERNEFRI, 2001). Anemia pada GGK disebabkan oleh banyak faktor.
Walaupun demikian kejadian anemia pada GGK tidak sepenuhnya berkaitan
dengan penyakit ginjalnya, adanya defisiensi zat besi ataupun kelainan pada
eritrosit harus lebih dahulu disingkirkan untuk menegakkan diagnosis
anemia pada GGK.2 pasien ini telah 2 tahun menjalani hemodialisis rutin di
unit hemodialisa RSAM. Seperti yang dijelaskan pada kepustakaan bahwa
GGK hampir selalu disertai dengan kejadian anemia. Pada pemeriksaan
terakhir didapatkan Hb pasien 8,6 g/dL. Anemia yang terjadi pada pasien ini
kemungkinan berkaitan dengan penyakit ginjalnya. Pasien tidak memiliki
riwayat kelainan eritrosit, namun anemia karena defisiensi zat besi belum
bisa disingkirkan karena pada pasien ini belum dilakukan pemeriksaan
status besi.

2.2 Anemia Pada Pasien Dengan GGK


Anemia pada pasien dengan GGK utamanya disebabkan kurangnya
produksi eritropoetin (EPO) oleh karena penyakit ginjalnya. Faktor
tambahan lainnya yang mempermudah terjadinya anemia antara lain
defisiensi zat besi, inflamasi akut maupun kronik, inhibisi pada sumsum
tulang dan pendeknya masa hidup eritrosit. Selain itu, kondisi komorbid
seperti hemoglobinopati dapat memperburuk anemia pada pasien GGK
(PERNEFRI, 2003).

2.3 Tujuan Penatalaksanaan Anemia Pada GGK


Tujuan penatalaksanaan anemia pada GGK adalah mencapai target Hb > 10
g/dL dan Ht > 30 % (PERNEFRI, 2003). Target Hb tersebut dapat dicapai
dengan cara pengelolaan konservatif ataupun dengan terapi eritropoetin
(EPO). Apabila pada terapi konservatif target Hb tidak tercapai maka

3
4

dilanjutkan dengan terapi EPO (KDIGO, 2012). Pada pasien ini terdapat
riwayat dirawat di rumah sakit karena keluhan lemah badan dan pucat. Hal
ini menandakan bahwa anemia pada pasien sudah terjadi berulang selama
pasien menjalani hemodialisis. Karena target Hb tidak dapat dicapai dengan
cara konservatif maka pada pasien ini dilakukan terapi eritropoetin.

2.4 Terapi Eritropoetin Diindikasikan Untuk Pengobatan Anemia Pada


GGK
Menurut kepustakaan, terapi eritropoetin diindikasikan untuk pengobatan
anemia pada GGK. Pemberian terapi EPO dilakukan apabila penyebab
anemia adalah karena defisiensi eritropoetin. Eritropoetin secara konsisten
menjaga dan memperbaiki kadar Hb dan Ht, penggunaan EPO juga dapat
menurunkan kebutuhan transfusi pada pasien GGK. Menurut rekomendasi
KDIGO, terapi EPO diindikasikan apabila pada beberapa kali pemeriksaan
didapatkan Hb <10 g/dl dan Ht <30%, selain itu juga harus sudah
disingkirkan penyabab lain dari anemia (KDIGO, 2012).

Terapi EPO pada pasien GGK dengan anemia diberikan dengan syarat kadar
feritin serum > 100 mcg/L dan saturasi transferin > 20 %, pasien juga
disyaratkan tidak sedang mengalami infeksi berat. Terapi EPO dibagi
menjadi 2 fase yaitu fase koreksi dan fase pemeliharaan. Tujuan fase koresi
adalah untuk mengoreksi anemia renal hingga target Hb dan Ht tercapai
(KDIGO, 2012).

Rekomendasi KDOQI menyebutkan bahwa target hemoglobin pada pasien


GGK adalah 11 hingga 12 g/dL. Menurut beberapa penelitian klinik
hemoglobin pada level tersebut terbukti meningkatkan kualitas hidup dan
menurunkan morbiditas (KDOQI, 2007).

Pada pasien ini mendapat terapi EPO 3000 IU subkutan, dan diulang 2 kali
seminggu. Hal ini sesuai dengan teori bahwa pada fase koreksi pemberian
terapi EPO dimulai dengan 2000-4000 IU subkutan, diulang 2-3 kali
5

seminggu selama 4 minggu.Respon yang diharapkan dari pasien adalah


kenaikan Hb 1-2 g/dL dalam 4 minggu atau kenaikan Ht 2-4 % dalam 2-4
minggu. Oleh karena itu perlu dilakukan pemantauan setiap 4 minggu.

Apabila target respon tercapai maka dosis EPO dipertahankan hingga target
Hb tercapai (> 10 g/dL). Namun bila masih belum mencapai target respon
maka dosis EPO dinaikkan 50 %. Apabila setelah kenaikan dosis tersebut
Hb naik > 2,5 g/dL atau Ht naik > 8 % dalam 4 minggu maka sosis EPO
diturunkan 25 %.5,6 Fase pemeliharaan dilakukan apabila Hb sudah
mencapai target > 10 g/dL. Fase pemeliharaan dimulai dengan dosis 1-2 kali
2000 IU/minggu. Pemantauan Hb dan Ht dilakukan setiap bulannya
sedangkan status besi diperiksa setiap 3 bulan. Apabila pada fase
pemelharaan Hb mencapai >12 g/dL (dan status besi cukup) maka dosis
EPO fase pemeliharaan perlu diturunkan 25%. Apabila pasien gagal
mencapai taget Hb dan Ht setelah pemberian EPO selama 4 sampai 8
minggu, artinya respon pasien terhadap terapi EPO tidak adekuat (Am J
Kidney Dis, 2007).

Gagalnya respon terhadap terapi EPO seringkali disebabkan karena


bersamaan dengan defisiensi besi, hal ini dapat dikoreksi dengan pemberian
zat besi per oral. Penambahan folat mungkin juga diperlukan pada beberapa
pasien. Pada pasien ini belum dilakukan pemeriksaan status besi secara
rutin, keterbatasan ini dikarenakan biaya pemeriksaan yang cukup mahal
sehingga tidak semua pasien dapat diperiksa status besi secara rutin.
Beberapa penelitian menyebutkan bahwa penyebab tersering gagalnya
respon terhadap terapi EPO adalah karena defisiensi besi. Namun diagnosis
pasti anemia defisiensi besi pada pasien ini belum dapat ditegakkan karena
pemeriksaan penunjang yang menilai kadar feritin serum belum dilakukan
(Foley RN et al, 2009).
6

Terapi penunjang lain terkadang diperlukan agar terapi EPO optimal, seperti
suplementasi asam folat, vitamin B6, vitamin B12, vitamin C, vitamin D
dan vitamin E. Pada pasien ini diberikan tablet asam folat 5 mg peroral
setiap hari. Pasien juga mendapat terapi penunjang lain berupa injeksi
vitamin C 100 mg setiap kali menjalani hemodialisis. Pada pasien anemia
defisiensi besi fungsional yang mendapat terapi EPO dosis vitamin C yang
dianjurkan pada pasien adalah 300 mg diberikan secara intravena (Singh
AK et al, 2006).

Pada pasien ini diberikan terapi iron sucrose 100 mg parenteral. Manfaat
suplementasi besi parenteral adalah untuk terapi pencegahan defisiensi besi
pada pasien hemodialisis. Suplementasi besi juga efektif mengisi cadangan
besi sumsum tulang Singh AK et al, 2006). Ada beberapa keadaan yang
merupakan Indikasi pemberian preparat besi parenteral. Pertama, apabila
penderita akan mendapat terapi EPO namun kadar feritin serum awal < 100
ng/ml. Kedua, pada keadaan defisiensi besi fungsional, ketika pemberian
EPO tidak memberikan respon optimal atau tidak berespon sama sekali.
Ketiga, pada keadaan defisiensi besi tapi preparat besi oral tidak ditoleransi
(KDIGO, 2012).

Pada pasien ini dilakukan injeksi iron sucrose 100 mg intravena bersamaan
dengan terapi EPO setiap kali hemodialisis, injeksi iron sucrose juga
diharapkan memberikan respon terapi EPO yang optimal (KDIGO, 2012).
Menentukan bentuk suplementasi zat besi yang akan diberikan pada pasien
yang menjalani hemodialisis diperlukan banyak pertimbangan. Pemberian
peroral banyak dipilih karena murah dan mudah, namun beberapa penelitian
menerangkan bahwa terapi besi peroral tidak dapat memperbaiki cadangan
besi sumsum tulang. Selain itu, efek samping dari pemberian peroral juga
sering menimbulkan keluhan tidak nyaman pada gastrointestinal seperti
gastritis, kejang perut, dan diare. Oleh karena itu, pada pasien ini dilakukan
pemberian besi parenteral untuk mengurangi efek samping yang merugikan
(Singh AK et al, 2006).
7

Pasien juga memiliki riwayat 4 kali transfusi darah sejak awal menjalani
hemodialisis. Setiap kali transfusi sebanyak 2 kantong. Pada pasien ini dapat
dilakukan pemberian transfusi darah pada apabila terdapat indikasi terjadi
perdarahan akut dengan gangguan hemodinamik, pasien dengan Hb < 7
g/dL dan tidak memungkinkan pemberian EPO, transfusi darah juga dapat
diberikan pada pasien dengan defisiensi besi ketika preparat besi IV/IM
belum tersedia (Mircescu G et al, 2006)

Berbeda dengan target Hb pada terapi EPO, target Hb pada transfusi darah
adalah 7 sampai 9 g/dL. Pemberian transfusi yang melebihi target hingga 10
sampai 12 g/dL tidak direkomendasikan karena tidak terbukti bermanfaat.11
Selain itu, transfusi juga harus diberikan secara hati-hati karena memiliki
risiko penularan penyakit seperti hepatitis virus B dan C, infeksi HIV dan
juga dapat terjadi reaksi transfusi (KDIGO, 2012).
8

BAB 3
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Penatalaksanaan anemia pada pasien GGK harus bersifat terpadu.
Penatalaksanaan secara tepat akan memberikan respon yang adekuat dan
secara nyata akan meningkatkan kualitas hidup pasien. Saat ini terapi EPO
masih menjadi pilihan utama terapi anemia pada pasien GGK. Agar
pemberian terapi EPO dapat memberikan hasil yang optimal, seorang dokter
hendaknya memperhatikan berbagai aspek dan mencari faktor utama
penyebab anemia. Terapi tambahan lain seperti injeksi iron sucrose, injeksi
vitamin C, dan suplementasi asam folat juga dapat diberikan sebagai
penunjang. Selain itu, Terapi yang adekuat dapat mempertahankan target Hb
pasien sehingga mengurangi kebutuhan pasien untuk dilakukan transfusi
darah.

3.2 Saran
Berharap agar mahasiswa lebih memahami tentang manajemen terapi
anemia pada pasien gagal ginjal kronik (GGK), bisa memberi pemahaman
untuk mahasiswa dan terakhir, makalah ini jauh dari kesempurnaan, oleh
karena itu agar pembaca senantiasa memberikan kritik dan sarannya.

8
9

DAFTAR PUSTAKA

Cable RG, Leiby DA. Risk and prevention of transfusion-transmitted babesiosis


and other tick-borne diseases. Curr Opin Hematol. 2003; 10:405–11.

Foley RN, Curtis BM, Parfrey PS. Erythropoietin therapy, hemoglobin targets,
and quality of life in healthy hemodialysis patients: a randomized trial.
Clin J Am Soc Nephrol. 2009.

Hemoglobin target. Am J Kidney Dis. 2007.

KDIGO. Diagnosis and evaluation of anemia in CKD. Kidney International


Supplements. 2012. hlm. 288–91.

KDIGO. Red cell transfusion to treat anemia in CKD. Kidney International


Supplements; 2012. hlm. 311–6.

KDIGO. Use of iron to treat anemia in CKD.Kidney International Supplements.


2012; 2:292–8.

Mircescu G, Garneata L, Capusa C, Ursea N. Intravenous iron supplementation


for the treatment of anaemia in pre-dialyzed chronic renal failure
patients. Nephrol Dial Transplant. 2006; 21: 120-4.

National Kidney Foundation. KDOQI Clinical Practice Guideline and Clinical


Practice Recommendations for anemia in chronic kidney disease:
2007.

National Kidney Foundation. NKFK/ DOQI Clinical Practice Guidelines for


Anemia of Chronic Kidney Disease:. Am J Kidney Dis. 2001.

Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam
Jilid ke-3. Jakarta: Balai Penerbit FKUI; 2001.

Perhimpunan Nefrologi Indonesia (PERNEFRI). Konsensus Manajemen Anemia


pada Pasien Gagal Ginjal Kronik. Jakarta: PERNEFRI; 2001.
10

Perhimpunan Nefrologi Indonesia (PERNEFRI). Penyakit Ginjal Kronik dan


Glomerulopati; aspek Klinik dan Patologi Ginjal. Jakarta:
PERNEFRI; 2003.

Singh AK, Szczech L, Tang KL, Banhart H, Sapp S, Wolfson M, dkk. Correction
of anemia with epoetin alfa in chronic kidney disease. N Engl J Med.
2006; 355.

You might also like