Professional Documents
Culture Documents
Hasil dari kehancuran sel β pankreas, biasanya menyebabkan defisiensi insulin yang
absolut.
Hasil dari gangguan sekresi insulin yang progresif ynag menjadi latar belakang
terjadinya resistensi insulin.
Misalnya : gangguan genetik pada fungsi sel β, gangguan genetik pada kerja insulin,
penyakit eksokrin pankreas (seperti cystic fibrosis), dan yang dipicu oleh obat atau
bahan kimia (seperti dalam pengobatan HIV/AIDS atau setelah transplantasi organ).
Pada tahun 2000 menurut WHO diperkirakan sedikitnya 171 orang diseluruh
dunia menderita Diabetes Melitus, atau sekitar 2.8% dari total populasi,
insidennya terus meningkat dengan cepat dan diperkirakan tahun 2030 angka
ini menjadi 366 juta jiwa atau sekitar 4.4% dari populasi dunia, DM terdapat
diseluruh dunia, 90% adalah jenis Diabetes Melitus tipe 2 terjadi di negara
berkembang, peningkatan prevalensi terbesar adalah di Asia dan di Afrika ,
ini akibat tren urbanisasi dan perubahan gaya hidup seperti pola makan yang
tidak sehat, di Indonesia sendiri, berdasarkan hasil Riskesdas (2007) dari 24417
responden berusia > 15 tahun , 10,2% mengalami toleransi glukosa tergangggu
(kadar glukosa 140-200 mgdl setelah puasa selama 4 jam diberikan beban
glucosa sebanyak 75 gram), DM lebih banyak ditemukan pada wanita dibanding
dengan pria, lebih sering pada golongan tingkat pendidikan dan status sosial
yang rendah, daerah dengan angka penderita DM yang tertinggi adalah
Kalimantan Barat dan Maluku Utara, yaitu 11.1% sedangkan kelompok usia
terbanyak DM adalah 55-64 tahun yaitu 13.5%, beberapa hal yang dihubungkan
dengan faktor resiko DM adalah Obesitas, hipertensi, kurangnya aktivitas fisik
dan rendahnya komsumsi sayur dan buah (Riskesdas, 2007). Prevalensi nasional
DM berdasarkan pemeriksaan gula darah pada penduduk usia >15 tahun
diperkotaan 5,7%, prevalensi kurang makan buah dan sayur sebesar 93,6%, dan
prevalensi kurang aktifitas fisik pada penduduk >10 tahun sebesar 48,2%
disebutkan pula bahwa prevalensi merokok setiap hari pada penduduk >10 tahun
sebesar 23,7% (Depkes, 2008). Hasil penelitian epidemiologi yang dilakukan
pada tahun 1993 di Jakarta daerah urban membuktikan adanya peningkatan
prevalensi DM dari 1.7% pada tahun 1982 menjadi 5.7% kemudian tahun 2001
di Depok dan didaerah Jakarta Selatan menjadi 12.8%, demikian juga di Ujung
Pandang daerah urban meningkat dari 1.5% pada tahun 1981 menjadi 3,5%
pada tahun1998, kemudian pada akhir 2005 menjadi 12.5%, di daerah rural
yang dilakukan oleh Arifin di Jawa Barat 1,1% didaerah terpencil, di tanah
Toraja didapatkan prevalensi DM hanya 0,8% dapat dijelaskan perbedaan
prevalensi daerah urban dan rural (Soegondo dkk, 2009).
3) Diabetes gestasional
Insidens DMG bervariasi antara 1,2 – 12%. Kepustakaan lain mengatakan 1 –
14%.
Di Indonesia insidens DMG berkisar 1,9 -2,6%. Perbedaan insidens DMG ini
terutama disebabkan oleh karena perbedaan kriteria diagnosis materi penyaringan
yang diperiksa. Di Amerika Serikat insidens kira-kira 4%.6 Kejadian DMG juga
sangat erat hubungannya dengan ras dan budaya seseorang. Contoh yang khas
adalah DMG pada orang kulit putih yang berasal dari Amerika bagian barat hanya
1,5-2% sedangkan penduduk asli Amerika yang berasal dari barat daya Amerika
mempunyai angka kejadian sampai 15%. Pada ras Asia, Afrika –Amerika dan
Spanyol insidens DMG sekitar 5-8% 7 sedangkan pada ras Kaukasia sekitar 1,5%.
Etiologi
DM tipe 1 diakibatkan oleh factor genetic, adanya gen HLA tipe tertentu yang
jika dipicu oleh lingkungan atau agen infeksi (racun, virus rubella, mumps,
coxsackie virus dan cytomegalovirus) dan makanan (gula, kopi, kedelai, gandum,
dan susu sapi), akan menyebabkan proses autoimun sehingga terjadi dekstruksi
sel B pancreas.
Factor Risiko
b. Obesitas
c. Riwayat keluarga
Diabetes Mellitus mempunyai etiologi yang heterogen, dimana berbagai lesi dapat
menyebabkan insufisiensi insulin, tetapi determinan genetik biasanya memegang
peranan penting pada mayoritas DM. Faktor lain yang dianggap sebagai
kemungkinan etiologi DM yaitu :
a. Kelainan sel beta pankreas, berkisar dari hilangnya sel beta sampai
kegagalan sel beta melepas insulin.
b. Faktor – faktor lingkungan yang mengubah fungsi sel beta, antara lain
agen yang dapat menimbulkan infeksi, diet dimana pemasukan
karbohidrat dan gula yang diproses secara berlebihan, obesitas dan
kehamilan.
c. Gangguan sistem imunitas. Sistem ini dapat dilakukan oleh autoimunitas
yang disertai pembentukan sel - sel antibodi antipankreatik dan
mengakibatkan kerusakan sel - sel penyekresi insulin, kemudian
peningkatan kepekaan sel beta oleh virus.
d. Kelainan insulin. Pada pasien obesitas, terjadi gangguan kepekaan
jaringan terhadap insulin akibat kurangnya reseptor insulin yang terdapat
pada membran sel yang responsir terhadap insulin.
3) Diabetes gestasional
Etiologi
Selama kehamilan, peningkatan kadar hormon tertentu dibuat dalam
plasenta (organ yang menghubungkan bayi dengan tali pusat ke rahim) nutrisi
membantu pergeseran dari ibu ke janin. Hormon lain yang diproduksi oleh
plasenta untuk membantu mencegah ibu dari mengembangkan gula darah rendah.
Selama kehamilan, hormon ini menyebabkan terganggunya intoleransi
glukosa progresif (kadar gula darah yang lebih tinggi). Untuk mencoba
menurunkan kadar gula darah, tubuh membuat insulin lebih banyak supaya sel
mendapat glukosa bagi memproduksi sumber energi. Biasanya pankreas ibu
mampu memproduksi insulin lebih (sekitar tiga kali jumlah normal) untuk
mengatasi efek hormon kehamilan pada tingkat gula darah. Namun, jika pankreas
tidak dapat memproduksi insulin yang cukup untuk mengatasi efek dari
peningkatan hormon selama kehamilan, kadar gula darah akan
naik, mengakibatkan GDM.
Faktor Risiko
Faktor-faktor berikut meningkatkan risiko terkena GDM selama kehamilan:
- Kelebihan berat badan sebelum hamil (lebih 20% dari berat badan ideal).
- Merupakan anggota kelompok etnis risiko tinggi (Hispanik, Black,
penduduk asli Amerika, atau Asia).
- Gangguan toleransi glukosa atau glukosa puasa terganggu (kadar gula
darah yang tinggi, tetapi tidak cukup tinggi untuk menjadi diabetes).
- Riwayat keluarga diabetes (jika orang tua atau saudara kandung memiliki
diabetes).
- Sebelumnya melahirkan bayi lebih dari 4 kg.
- Sebelumnya melahirkan bayi lahir mati.
- Mendapat diabetes kehamilan dengan kehamilan sebelumnya.
- Memiliki terlalu banyak cairan ketuban (suatu kondisi yang disebut
polihidramnion).
Banyak wanita yang mengalami GDM tidak memiliki faktor risiko yang
diketahui.
4. Patofisiologi dan pathogenesis diabetes
1) Diabetes mellitus tipe 1
DM tipe 1 adalah penyakit autoimun kronis yang berhubungan dengan
kehancuran selektif sel beta pankreas yang memproduksi insulin. Timbulnya
penyakit klinis merupakan tahap akhir dari kerusakan sel beta yang mengarah ke
tipe 1 DM. Berbagai lokus gen telah dipelajari untuk menentukan hubungan
mereka dengan DM tipe 1. Pada awalnya diduga bahwa antigen B8 dan B15 HLA
kelas I sebagai penyebab diabetes karena meningkat pada frekuensi di penderita
diabetes dibandingkan dengan kelompok kontrol. Namun, baru-baru fokus telah
bergeser ke lokus HLA-DR kelas II dan ditemukan bahwa DR3 dan DR4 lebih
menonjol daripada HLA-B pada DM tipe 1. Akhirnya lokus alel HLA DQ telah
terlibat dalam kerentanan penyakit, melalui analisis Pembatasan fragmen panjang
polimorfisme (RFLP) dan disekuensi langsung, dengan menggunakan polymerase
chain reaction (PCR) untuk memperkuat urutan DNA spesifik, telah
meningkatkan pemahaman kami tentang kompleks HLA dan keterlibatan alel
HLA dalam kerentanan penyakit. Bukti diajukan menunjukkan bahwa
kemampuan untuk memberikan kerentanan atau resistensi terhadap DM tipe 1
berada dalam residu asam amino tunggal dari rantai b-HLA-DQ. Penggunaan
lokus spesifik oligonukleotida untuk menyelidiki derivat dari rantai b-HLA urutan
DQ telah membantu untuk memperjelas hubungan antara subtipe DR4 dan jenis
DM tipe 1 terkait DQ alel. Ditemukan bahwa hanya mereka positif DR4 haplotipe
yang membawa alel DQW8 pada lokus HLA DQ yang terkait dengan DM tipe
1. Perbandingan urutan rantai-b-DQ dari DM tipe 1 dan kontrol menunjukkan
bahwa haplotype yang positif dengan penyakit ini berbeda dengan yang secara
negatif berhubungan dengan asam amino dari posisi 57 dalam domain pertama
rantai b-HLA-DQ. Pada haplotype yang positif memiliki alanin, valin atau serin
pada posisi 57,sedangkan haplotype negatif memiliki asam aspartat ditemukan
pada posisi 57, tapi beberapa pengamatan tidak mendukung hipotesis "posisi 57".
Yang terpenting adalah ditemukan DQW4 dan DQW9 spesifik yang memiliki
asam aspartat pada posisi 57, di Jepang pasien DM tipe 1 sangat berhubungan
dengan DQW4 dan DQW9, ini menunjukkan bahwa mekanisme lain harus
terlibat untuk menjelaskan kerentanan terhadap DM tipe 1 di beberapa kelompok.
Hubungan yang diamati antara DM tipe 1 dan HLA telah ditafsirkan sebagai
konsekuensi dari keterlibatan fungsional molekul HLA kelas II pada DM tipe 1.
Keterlibatan rantai b-DQ itu sendiri atau sebuah heterodimer DQ a/b dapat
menunjukkan bahwa fungsi presentasi antigen molekul kelas II adalah relevan
untuk kerentanan DM tipe 1.
Setelah pendekatan "seleksi epitop" untuk menjelaskan fenomena
autoimun Nepons telah menyarankan model dimana alel HLA kelas II
mempengaruhi kerentanan IDDM sebagai berikut: a). susunan dimer kelas II yang
dikode oleh beberapa kompleks HLA setiap individu, bervariasi afinitasnya untuk
peptida tertentu yang dapat menimbulkan autoimun ke sel beta; b). hanya dimer
kelas II tertentu, produk dari gen rentan yang benar-benar mempromosikan
autoimunitas untuk sel beta setelah mengikat peptida, c). individu rentan jika
produk dari gen kerentanan mengikat peptida lebih kuat dari produk-produk gen
tidak rentan yang ada dalam individu tersebut. Dengan demikian, dalam model ini
produk-produk dari alel HLA tertentu yang berkaitan dengan DM tipe 1 karena
mereka mengikat dan menyajikan peptida khusus untuk merangsang respon imun
terhadap sel beta pankreas.
Antigen yang terlibat dalam tipe 1 DM meliputi antigen 64kD, asam
glutamat dekarboksilase (GAD) dan antigen sitoplasma sel islet. Antibodi sel islet
(ICA) mengikat komponen sitoplasma sel islet pada bagian pankreas manusia dan
endapan antibodi 64kDa merupakan protein 64kDa dari ekstrak sel islet.
Sedangkan antibodi 64kDa yang ditampilkan untuk menjadi sel beta tertentu di
dalam islet, beberapa sera ICA positif telah dijelaskan untuk bereaksi dengan
semua sel islet. Antigen target dari Antibodi 64kDa diidentifikasi sebagai GAD
enzim. Sel Islet tertentu pada baris sel beta memproduksi antibodi IgG yang
terikat ke antigen sitoplasma sel islet yang ditemukan. Anehnya semua
monoklonal antibodi yang diproduksi oleh baris, dikenali GAD target
autoantigen. Dengan demikian, GAD mungkin target antigen utama pada DM tipe
1, makanya antibodi untuk GAD dijadikan penanda sensitif untuk perkembangan
diabetes, walaupun antibodi GAD ada dalam individu yang rentan secara genetik
tetapi yang tidak mungkin untuk mengembangkan disease. Antibodi juga bereaksi
dengan insulin dapat juga dideteksi dalam klinis pada periode prediabetik yang
laten, tetapi autoantibodi insulin memiliki sensitivitas lebih rendah sebagai
penanda untuk perkembanagn diabetes dibandingkan antibodi GAD atau ICA.
Kontribusi dari autoantigens disebutkan di atas untuk induksi dan atau
kelangsungan penyakit masih harus diklarifikasi. Jelas, bahwa identifikasi dari
autoantigens dalam DM tipe 1 adalah penting baik untuk tujuan diagnostik dan
untuk potensi intervensi terapi imun dalam proses penyakit.
Berikut ini dijelaskan mekanisme penurunan pengaturan yang telah
dianalisis dalam model hewan DM tipe 1, melalui tiga model hewan untuk tipe
DM 1, yaitu tikus BB, tikus NOD dan tikus MLD STZ dengan diabetes yang
diinduksi, telah meningkatkan kemampuan kita untuk memahami proses yang
menyebabkan kerusakan sel beta. Namun, karena semua kesimpulan yang diambil
dari model hewan didasarkan pada asumsi analogi dengan penyakit manusia,
maka analogi perlu divalidasi lebih teliti. Aktivasi antigen islet kepada sel T
CD4+ spesifik menunjukan prasyarat mutlak bagi perkembangan diabetes di
semua model hewan DM tipe 1. Sel T CD4+ spesifik untuk islet yang berasal dari
tikus NOD diabetes, saat disuntikkan ke tikus prediabetes atau nondiabetes,
menginduksi insulitis dan diabetes. Dilaporkan juga bahwa sel T CD4+ cukup
untuk menimbulkan insulitis sedangkan sel T CD8+ berkontribusi pada kerusakan
yang lebih parah. Temuan ini bersama dengan bukti bahwa insulitis di
pencangkokan kronis dibandingkan penyakit pada host dapat terjadi dengan tidak
adanya sel T CD8+ menunjukkan bahwa sel T CD4+ mungkin hanya sel
imunokompeten yang diperlukan dalam proses penyakit. Namun, tampaknya
hanya satu subset sel T CD4+ yang bertanggung jawab untuk induksi penyakit.
Penurunan regulasi respon autoimun diabetogenik oleh sel limpa berasal dari
hewan yang dirawat dengan adjuvan juga dapat dijelaskan oleh subset sel T CD4+
saling mempengaruhi. Hasil awal oleh kelompok Lafferty (akan diterbitkan)
menunjukkan bahwa perlakuan awal dengan ajuvan tidak menghalangi respon
autoimun, melainkan dapat menyimpang respon dari profil sitokin Th-1 ke Th-2.
Bahkan, tingkat tinggi sitokin tipe Th-1 yaitu IL-2 dan interferon gamma
ditemukan berkorelasi atau dan untuk meningkatkan induksi diabetes autoimun
model eksperimental. Sel Th-1 menghasilkan produk yaitu IFN-gamma yang akan
mengaktifkan makrofag. Pada penelitian dengan model hewan DM tipe 1
menggunakan mikroskopis elektron untuk mengamati pankreas menunjukkan
bahwa makrofag adalah sel pertama yang menyerang islets.
Dalam penelitian in vitro dan studi pada perfusi pankreas menunjukkan
bahwa Interleukin 1 (IL-1) dan tumor necrosis factor (TNF-α), dua sitokin
terutama diproduksi oleh makrofag, menyebabkan perubahan struktural sel beta
pankreas dan menekan kapasitas sel beta pankreas untuk melepaskan insulin.
Namun, tampaknya bahwa IL-1 dan TNF tidak berkontribusi dengan aktivitas
sitotoksik makrofag. Interferon gamma merupakan aktivator kuat untuk makrofag
dalam mensintesis nitrat oksida. Pada saat ini, ada bukti yang menunjukkan
bahwa aktivitas sintesis Nitrat oksida terlibat dalam perkembangan diabetes DM
tipe 1, dimana data ini menunjukkan untuk pertama kalinya, bahwa nitrat oksida
dapat menjadi faktor patogen dalam autoimunitas dan disarankan kemungkinan
adanya kelas baru pada agen immunofarmakologi, dimana mampu memodulasi
sekresi nitrat oksida untuk dapat diuji dalam pencegahan perkembangan DM tipe
1.
Meskipun bukti yang kuat untuk hubungan dengan faktor genetik, tingkat
kesesuaian untuk DM tipe 1 adalah mengherankan rendah pada anak kembar
identik. Kesesuaiannya kurang dari 100% pada kembar identik untuk DM tipe I
telah memberikan kontribusi ke sebuah penelusuran faktor lingkungan yang
terkait dengan penyakit. Satu-satunya yang jelas bahwa faktor lingkungan
meningkatkan risiko untuk perkembangan diabetes tipe 1 adalah infeksi rubella
congenital, dimana sampai 20% dari anak-anak tersebut di kemudian hari
mengembangkan diabetes. Pengamatan ini menunjukan bahwa selain temuan
bahwa urutan asam amino dari rantai DQ-b juga ditemukan di protein envelope
virus rubella yang akan mendukung mimikri antigen virus sebagai faktor etiologi
dalam DM tipe I. Peran faktor lingkungan juga disarankan oleh analisis respon
imun terhadap protein susu sapi, dimana hampir semua pasien DM tipe 1
memiliki antibodi ke peptida serum albumin sapi dan menunjukkan respon sel T
untuk peptida serum albumin sapi yang sama dengan protein yang ada di
permukaan sel beta di pankreas, dibandingkan dengan hanya sekitar 2% dari
kontrol.
Pada saat terjadi kekurangan insulin akibat kerusakan dari sel beta di
pankreas, maka hiperglikemia berkembang sebagai hasil dari tiga proses: (1)
peningkatan glukoneogenesis (pembuatan glukosa dari asam amino dan gliserol),
(2) glikogenolisis dipercepat (pemecahan glukosa disimpan) dan (3) pemanfaatan
glukosa oleh perifer jaringan.
2) Diabetes mellitus tipe 2
a. Resistensi insulin
Penurunan kemampuan insulin untuk beraksi pada jaringan target perifer
(terutama otot dan hati) merupakan ciri yang menonjol pada DM tipe II dan
merupakan kombinasi dari kerentanan genetik dan obesitas. Resistensi insulin
mengganggu penggunaan glukosa oleh jaringan yang sensitif insulin dan
meningkatkan keluaran glukosa hepatik, keduanya menyebabkan hiperglikemia
(Powers, 2005).
Pada prinsipnya resistensi insulin dapat terjadi di tingkat reseptor insulin atau
di salah satu jalur sinyal pascareseptor. Pada DM tipe II jarang terjadi defek
kualitatif dan kuantitatif pada reseptor insulin. Oleh karena itu, resistensi insulin
diperkirakan terutama berperan dalam pembentukan sinyal pascareseptor
(Clare-Salzler, et al., 2007). Polimorfisme pada IRS-1 mungkin berhubungan
dengan intoleransi glukosa, meningkatkan kemungkinan bahwa polimorfisme
dalam berbagai molekul postreceptor dapat menyebabkan resistensi insulin.
Patogenesis resistensi insulin saat ini berfokus pada defek sinyal PI-3-kinase,
yang menurunkan translokasi GLUT 4 pada membran plasma, diantara kelainan
lainnya (Powers, 2005).
Asam lemak bebas juga memberikan kontribusi pada patogenesis DM tipe II.
Asam lemak bebas menurunkan ambilan glukosa pada adiposit dan otot serta
meningkatkan keluaran glukosa hepatik yang terkait dengan resistensi insulin
(Thẻvenod, 2008).
b. Gangguan Sekresi Insulin
Defek pada sekresi insulin bersifat samar dan secara kuantitatif kurang berarti
jika dibandingkan dengan yang terjadi pada DM tipe I. Pada awal perjalanan
penyakit DM tipe II, sekresi insulin tampaknya normal dan kadar insulin
plasma tidak berkurang. Namun pola sekresi insulin yang berdenyut dan
osilatif lenyap, dan fase pertama sekresi insulin (yang cepat) yang dipicu oleh
glukosa menurun.
c. Diabetes gestasional
- Autoimun
- Genetik : Islet Cell
PATOFISIOLOGI DIABETES GESTATIONAL
Perjalanan Penyakit
Pemeriksaan Penunjang
Perjalanan Penyakit
Perjalanan penyakit ini melalui beberapa periode menurut ISPAD Clinical Practice
Consencus Guidelines tahun 2009.
- Periode pra-diabetes
- Periode manifestasi klinis
- Periode honey moon
- Periode ketergantungan insulin yang menetap
Periode Pra-Diabetes
Pada periode ini, gejala-gejala klinis DM mulai muncul. Pada periode ini
sudah terjadi sekitar 90% kerusakan sel β-pankreas. Predisposisi genetik tertentu
memungkinkan terjadinya proses destruksi ini. Sekresi insulin mulai berkurang
ditandai dengan mulai berkurangnya sel β-pankreas yang berfungsi. Kadar C-petide
mulai menurun. Pada periode ini autoantibody mulai ditemukan apabila dilakukan
pemeriksaan laboratorium.
6. Tatalaksana diabetes
1) Diabetes mellitus tipe 1
Penatalaksanaan untuk semua kasus DM tentunya membutuhkan pendekatan dari
multidisiplin. Ada 4 pilar pengelolaan DM, yakni
1. Diet
2. Latihan jasmani
3. Medikamentosa
4. Edukasi
· Inisiasi terapi insulin pada orang dewasa : dosis inisial harian dihitung
berdasarkan berat badan pasien. Dosis ini biasanya dibagi tiga, ½ dosis diberikan
sebelum sarapan, ¼ nya sebelum makan malam, dan ¼ nya diberikan sebelum tidur.
Setelah pemilihan dosis inisial, sesuaikan jumlah, jenis, dan waktu penggunaan
sesuai kadar glukosa. Sesuiakan dosis untuk mempertahankan glukosa plasma pre
prandial 80-150 mg/dL. Dosis insulin sering disesuaikan dengan penambahan 10%
dan efeknya dinilai setelah 3 hari sebelum mengubah keputusan.
· Jadwal-jadwal insulin
o Injeksi insulin subkutan multipel diberikan untuk mengontrol hiperglikemia
setelah makan dan untuk mempertahankan kadar glukosa plasma sepanjang hari.
Pasine-pasine harus diedukasi tentang penyakitnya dan bagaimana memonitor
kadar glukosa plasma.
o Intermediate acting insulin diberikan menjelang tidur dengan dosis sekitar 25%
dari dosis total harian. Kemudian dosis tambahan rapid acting insulin diberikan
sebelum makan (regimen 4 dosis). Pasien-pasien ini bisa juga membutuhkan
intermediate atau long acting insulin di pagi hari untuk mencakup sepanjang hari.
Pasien-pasien ini seharusnya dapat menyesuaikan dosis hariannya berdasarkan
monitor mandiri dari kadar glukosa darah sebelum makan dan menjelang tidur.
Mereka menilai sendiri kadar glukosanya pada jam 2-4 pagi minimal satu kali per
minggu selama beberapa minggu pertama terapi insulin.
o Infus insulin sub kutan kontinu : merupakan terapi insulin intensif menggunakan
infus-pump yang memberikan infus rapid acting insulin kontinu subkutan sebagai
insulin basal dan selanjutnya diberikan bolus manual masing-masing sebelum
makan. Monitor glukosa mandiri preprandial untuk menyesuaikan dosis bolus.
Metode ini dikatakan lebih baik daripada injeksi multipel. Hipoglikemia sering
terjadi pada awal penggunaan metode ini.
PENDEKATAN BEDAH
Jika memungkinkan, dapat dicoba transplantasi pankreas.
Diet
Salah satu langkah pertama dalam menangani DM tipe 1 adalah dengan kontrol
diet. Penatalaksanaan diet meliputi edukasi waktu, jumlah, jadwal, atau jenis
makanan untuk mencegah hipoglikemia atau hiperglikemia post prandial. Semua
pasien dengan insulin sebaiknya memiliki perencanaan diet yang baik seperti intake
kalori perhari; jumlah karbohidrat, lemak, dan protein; dan bagaimana membagi
kalori antara makan dan snack. Idealnya, diet tap pasien DM dibuat individual
sesuai kebutuhan.
· Distribusi kalori sangat penting diperhatikan; rekomendasi yang biasa adalah 20%
dari kalori harian untuk sarapan, 35% untuk makan siang, 30% untuk makan
malam, dan 15% untuk snack sore.
· Kebutuhan protein minimum untuk nutrisi yang baik adalah 0,9 g/kg/hari (range
= 1-1,5 g/kg/hari) tetapi intake protein harus dikurangi bila ada nefropati.
· Intake lemak sebaiknya dibatasi hingga 30% atau kurang dari kalori total. Diet
rendah kolesterol direkomendasikan untuk DM.
Olahraga
Insulin
Insulin subkutan merupakan terapi lini pertama untuk DM tipe 1. Perbedaan jenis
insulin hanyalah berdasarkan onset dan durasinya. Insulin yang dapat diberika
intravena adaah insulin reguler, lispro, dan aspart sedangkan menurut onset dan
durasi kerjanya, ada yang short, intermediate dan panjang.
Follow-up
PASIEN RAWAT
Hipoglikemia/hiperglikemia (ketoasidosis)
Pemberian insulin intermediate (seperti NPH, lente) 50-70% per hari dalam dosis
dibagi dua disertai tambahan regular insulin dengan sliding scale, cukup baik
mengendalikan glukosa darah. Gukosa darah sebaiknya dipantau sebelum makan
dan menjelang tidur.
3) Diabetes gestasional
Pengelolaan medis
Sesuai dengan pengelolaan medis DM pada umumnya, pengelolaan DMG juga
terutama didasari atas pengelolaan gizi/diet dan pengendalian berat badan ibu.
1) Kontrol secara ketat gula darah, sebab bila kontrol kurang baik upayakan
lahir lebih dini, pertimbangkan kematangan paru janin. Dapat terjadi
kematian janin memdadak. Berikan insulin yang bekerja cepat, bila
mungkin diberikan melalui drips.
2) Hindari adanya infeksi saluran kemih atau infeksi lainnya. Lakukan upaya
pencegahan infeksi dengan baik.
3) Pada bayi baru lahir dapat cepat terjadi hipoglikemia sehingga perlu
diberikan infus glukosa.
4) Penanganan DMG yang terutama adalah diet, dianjurkan diberikan 25
kalori/kgBB ideal, kecuali pada penderita yang gemuk dipertimbangkan
kalori yang lebih mudah.
5) Cara yang dianjurkan adalah cara Broca yaitu BB ideal = (TB-100)-10%
BB.
6) Kebutuhan kalori adalah jumlah keseluruhan kalori yang diperhitungkan
dari:
Dianjurkan pemantauan gula darah teratur minimal 2 kali seminggu (ideal setiap
hari, jika mungkin dengan alat pemeriksaan sendiri di rumah). Dianjurkan kontrol
sesuai jadwal pemeriksaan antenatal, semakin dekat dengan perkiraan persalinan
maka kontrol semakin sering. Hb glikosilat diperiksa secara ideal setiap 6-8 minggu
sekali.
Kenaikan berat badan ibu dianjurkan sekitar 1-2.5 kg pada trimester pertama dan
selanjutnya rata-rata 0.5 kg setiap minggu. Sampai akhir kehamilan, kenaikan berat
badan yang dianjurkan tergantung status gizi awal ibu (ibu BB kurang 14-20 kg,
ibu BB normal 12.5-17.5 kg dan ibu BB lebih/obesitas 7.5-12.5 kg).
Jika pengelolaan diet saja tidak berhasil, maka insulin langsung digunakan. Insulin
yang digunakan harus preparat insulin manusia (human insulin), karena insulin
yang bukan berasal dari manusia (non-human insulin) dapat menyebabkan
terbentuknya antibodi terhadap insulin endogen dan antibodi ini dapat menembus
sawar darah plasenta (placental blood barrier) sehingga dapat mempengaruhi janin.
Pada DMG, insulin yang digunakan adalah insulin dosis rendah dengan lama kerja
intermediate dan diberikan 1-2 kali sehari. Pada DMH, pemberian insulin mungkin
harus lebih sering, dapat dikombinasikan antara insulin kerja pendek dan
intermediate, untuk mencapai kadar glukosa yang diharapkan.
Obat hipoglikemik oral tidak digunakan dalam DMG karena efek teratogenitasnya
yang tinggi dan dapat diekskresikan dalam jumlah besar melalui ASI
Pengelolaan obstetrik
Pada pemeriksaan antenatal dilakukan pemantauan keadaan klinis ibu dan janin,
terutama tekanan darah, pembesaran/ tinggi fundus uteri, denyut jantung janin,
kadar gula darah ibu, pemeriksaan USG dan kardiotokografi (jika memungkinkan).
Pada tingkat Polindes dilakukan pemantauan ibu dan janin dengan pengukuran
tinggi fundus uteri dan mendengarkan denyut jantung janin.
Pada tingkat Puskesmas dilakukan pemantauan ibu dan janin dengan pengukuran
tinggi fundus uteri dan mendengarkan denyut jantung janin.
Pada tingkat rumah sakit, pemantauan ibu dan janin dilakukan dengan cara :
Komplikasi
a. Komplikasi Akut.
Komplikasi akut terjadi jika kadar glukosa darah seseorang meningkat atau
menurun dengan tajam dalam waktu relative singkat.
1. Hipoglikemia
4. Koma laktoasidosis
b. Komplikasi Kronis
1. Penyakit makrovaskuler
karena aterosklerosis. Ini terutama mempengaruhi pembuluh darah besar
dan sedang. Pada keadaan kekurangan insulin, lemak diubah menjadi
glukosa untuk energi. Perubahan pada sintesis dan katabolisme lemak
mengakibatkan peningkatan kadar VLDL (Very Low-Density
Lipoprotein) dan LDL (Low-Density Lipoprotein). Oklusi vaskuler dan
aterosklerosis dapat menyebabkan penyakit arteri koroner, penyakit
vaskuler perifer dan penyakit vaskuler serebral.
2. Penyakit mikrovaskuler terutama mempengaruhi pembuluh darah kecil
dan disebabkan oleh penebalan membrane dasar kapiler dari peningkatan
kadar glukosa darah secara kronis. Ini menyebabkan diabetic retinopati,
neuropati, dan nefropati.
3. Neuropati diyakini disebabkan oleh kerusakan kecepatan konduksi saraf
karena konsentrasi glukosa tinggi dan penyakit mikrovaskuler. Neuropati
motorik sensorik berperan dalam ulkus dan infeksi kaki dan telapak kaki.
Neuropati autonomic berperan dalam kandung kemih neurogenik,
impotensi, konstipasi yang berubah-ubah dengan diare, penurunan
keringat, gastroenteritis dan hipotensi ortostatik. ( Mirza, 2008 ;
Baughman, 2000).
4. Rentan infeksi seperti tuberkulosis paru dan infeksi saluran kemih.
2) Diabetes mellitus tipe 2
Prognosis
Lebih dari 75% dari pasien diabetes tipe 2 akan meninggal akibat penyakit
jantung dan 15% akibat stroke.
Untuk tes toleransi glukosa oral American Diabetes Association mengusulkan dua
jenis tes yaitu yang disebut tes toleransi glukosa oral tiga jam, dan tes toleransi
glukosa oral dua jam. Perbedaan utama ialahjumlah beban glukosa, yaitu pada
yang tiga jam menggunakan beban glukosa 100 gram sedang yang pada dua jam
hanya 75 gram
Penilaian hasil tes toleransi glukosa oral untuk menyatakan diabetea melitus
gestasional, baik untuk tes toleransi glukosa tiga jam maupun yang hanya dua jam
berlaku sama yaitu ditemukannya dua atau lebih angka yang abnormal.
Kriteria Menurut WHO
WHO dalam buku Diagnosis and classification of diabetes mellitus tahun 1999
menganjurkan untuk diagnosis diabetes melitus gestasional harus dilakukan tes
toleransi glukosa oral dengan beban glukosa 75 gram. Kriteria diagnosis sama
dengan yang bukan wanita hamil yaitu puasa >126 mg/dl dan dua jam pasca
beban 200 mg/ dl, dengan tambahan mereka yang tergolong toleransi glukosa
terganggu didiagnosis juga sebagai diabetes melitus gestasional. Tabel 2)
Dinyatakan diabetes melitus gestasional bila glukosa plasma puasa 126 mg/dl
dan/atau 2 jam setelah beban glukosa 200 mg. atau toleransi glukosa terganggu.
3) Diabetes gestasional
Prognosis
Ada data statistik terhadap risiko kondisi lain pada wanita dengan GDM, dalam
studi Perinatal Yerusalem, 410 dari 37.962 pasien dilaporkan telah GDM, dan ada
kecenderungan lebih mendapat kanker payudara dan kanker pankreas , tetapi lebih
banyak penelitian diperlukan untuk mengkonfirmasi temuan ini.
(Sumber : Journal Clinical Diabetes January 2005 Vol 23)
Komplikasi
• Pada ibu: meningkatkan risiko preeklampsia, seksio sesarea, dan DM tipe 2 di
kemudian hari.
• Pada janin: meningkatkan risiko mortalitas perinatal, makrosomia, trauma
persalinan hiperbilirubinemia,
dan hipoglikemi neonatal.
8. Kasus rujukan
DM T 1 dan DM T 2 : level kompetensi 4A tuntasolehdokterlayanan primer
DM dengankomplikasisptneuropati diabetic, retinopati diabetic, nefropati diabetic,
dllrujuk
Daftar Pustaka
1. Sudoyo, A.W. Setiyohadi, B. Alwi, I. Simadibrata, M. Setiati, S.Eds. Buku ajar ilmu
penyakit dalam. Ed 4. Vol. III. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam
FKUI; 2006.
2. Perkumpulan Endokrinologi Indonesia. Konsensus Pengelolaan dan Pencegahan Diabetes
Melitus Tipe 2 di Indonesia. 2011. (Perkumpulan Endokrinologi Indonesia, 2006)
3. Departemen Ilmu Kedokteran Komunitas FKUI dan Persadia. Penatalaksanaan Diabetes
Mellitus pada Layanan Primer, ed.2, 2012. (Departemen Ilmu Kedokteran Komunitas
Indonesia FKUI, 2012)