You are on page 1of 27

1.

Definisi dan klasifikasi diabetes


Diabetes mellitus, adalah gangguan metabolisme yang dapat disebabkan berbagai
etiologi, disertai dengan hiperglikemi kronis akibat gangguan sekresi insulin atau
gangguan kerja insulin berupa kerusakan sel Beta Pankreas atau pun defisiensi dan
resistensi insulin
Menurut American Diabetes Association (ADA,2013), klasifikasi diabetes meliputi
empat kelas klinis :

 Diabetes Mellitus tipe 1

Hasil dari kehancuran sel β pankreas, biasanya menyebabkan defisiensi insulin yang
absolut.

 Diabetes Mellitus tipe 2

Hasil dari gangguan sekresi insulin yang progresif ynag menjadi latar belakang
terjadinya resistensi insulin.

 Diabetes tipe spesifik lain

Misalnya : gangguan genetik pada fungsi sel β, gangguan genetik pada kerja insulin,
penyakit eksokrin pankreas (seperti cystic fibrosis), dan yang dipicu oleh obat atau
bahan kimia (seperti dalam pengobatan HIV/AIDS atau setelah transplantasi organ).

 Gestational Diabetes Mellitus


2. Epidemioogi diabetes
1) Diabetes mellitus tipe 1
Pada tahun 2015, penderita diabetes di Indonesia diperkirakan mencapai 10 juta
orang dengan rentang usia 20-79 tahun (dikutip dari Federasi Diabetes
Internasional). Namun, hanya sekitar separuh dari mereka yang menyadari
kondisinya.
Asia Tenggara merupakan salah satu wilayah dengan prevalensi tinggi untuk
diabetes tipe 1. Pada tahun 2010, diperkirakan ada sekitar 113.000 anak di bawah
15 tahun yang mengidap diabetes tipe 1 dengan perkiraan 18.000 kasus baru pada
setiap tahunnya.

2) Diabetes mellitus tipe 2

Kejadian DM Tipe 2 pada wanita lebih tinggi daripada laki-laki.Wanita lebih


berisiko mengidap diabetes karena secara fisik wanita memiliki peluang
peningkatan indeks masa tubuh yang lebih besar. Hasil Riset Kesehatan Dasar
pada tahun 2008, menunjukan prevalensi DM di Indonesia membesar sampai
57%, pada tahun 2012 angka kejadian diabetes melitus didunia adalah sebanyak
371 juta jiwa, dimana proporsi kejadiandiabetes melitus tipe 2 adalah 95%
dari populasi dunia yang menderita diabetesmellitus dan hanya 5% dari jumlah
tersebut menderita diabetes mellitus tipe 1.

Pada tahun 2000 menurut WHO diperkirakan sedikitnya 171 orang diseluruh
dunia menderita Diabetes Melitus, atau sekitar 2.8% dari total populasi,
insidennya terus meningkat dengan cepat dan diperkirakan tahun 2030 angka
ini menjadi 366 juta jiwa atau sekitar 4.4% dari populasi dunia, DM terdapat
diseluruh dunia, 90% adalah jenis Diabetes Melitus tipe 2 terjadi di negara
berkembang, peningkatan prevalensi terbesar adalah di Asia dan di Afrika ,
ini akibat tren urbanisasi dan perubahan gaya hidup seperti pola makan yang
tidak sehat, di Indonesia sendiri, berdasarkan hasil Riskesdas (2007) dari 24417
responden berusia > 15 tahun , 10,2% mengalami toleransi glukosa tergangggu
(kadar glukosa 140-200 mgdl setelah puasa selama 4 jam diberikan beban
glucosa sebanyak 75 gram), DM lebih banyak ditemukan pada wanita dibanding
dengan pria, lebih sering pada golongan tingkat pendidikan dan status sosial
yang rendah, daerah dengan angka penderita DM yang tertinggi adalah
Kalimantan Barat dan Maluku Utara, yaitu 11.1% sedangkan kelompok usia
terbanyak DM adalah 55-64 tahun yaitu 13.5%, beberapa hal yang dihubungkan
dengan faktor resiko DM adalah Obesitas, hipertensi, kurangnya aktivitas fisik
dan rendahnya komsumsi sayur dan buah (Riskesdas, 2007). Prevalensi nasional
DM berdasarkan pemeriksaan gula darah pada penduduk usia >15 tahun
diperkotaan 5,7%, prevalensi kurang makan buah dan sayur sebesar 93,6%, dan
prevalensi kurang aktifitas fisik pada penduduk >10 tahun sebesar 48,2%
disebutkan pula bahwa prevalensi merokok setiap hari pada penduduk >10 tahun
sebesar 23,7% (Depkes, 2008). Hasil penelitian epidemiologi yang dilakukan
pada tahun 1993 di Jakarta daerah urban membuktikan adanya peningkatan
prevalensi DM dari 1.7% pada tahun 1982 menjadi 5.7% kemudian tahun 2001
di Depok dan didaerah Jakarta Selatan menjadi 12.8%, demikian juga di Ujung
Pandang daerah urban meningkat dari 1.5% pada tahun 1981 menjadi 3,5%
pada tahun1998, kemudian pada akhir 2005 menjadi 12.5%, di daerah rural
yang dilakukan oleh Arifin di Jawa Barat 1,1% didaerah terpencil, di tanah
Toraja didapatkan prevalensi DM hanya 0,8% dapat dijelaskan perbedaan
prevalensi daerah urban dan rural (Soegondo dkk, 2009).

3) Diabetes gestasional
Insidens DMG bervariasi antara 1,2 – 12%. Kepustakaan lain mengatakan 1 –
14%.
Di Indonesia insidens DMG berkisar 1,9 -2,6%. Perbedaan insidens DMG ini
terutama disebabkan oleh karena perbedaan kriteria diagnosis materi penyaringan
yang diperiksa. Di Amerika Serikat insidens kira-kira 4%.6 Kejadian DMG juga
sangat erat hubungannya dengan ras dan budaya seseorang. Contoh yang khas
adalah DMG pada orang kulit putih yang berasal dari Amerika bagian barat hanya
1,5-2% sedangkan penduduk asli Amerika yang berasal dari barat daya Amerika
mempunyai angka kejadian sampai 15%. Pada ras Asia, Afrika –Amerika dan
Spanyol insidens DMG sekitar 5-8% 7 sedangkan pada ras Kaukasia sekitar 1,5%.

3. Etiologi dan factor resiko diabetes


1) Diabetes mellitus tipe 1

Etiologi

DM tipe 1 diakibatkan oleh factor genetic, adanya gen HLA tipe tertentu yang
jika dipicu oleh lingkungan atau agen infeksi (racun, virus rubella, mumps,
coxsackie virus dan cytomegalovirus) dan makanan (gula, kopi, kedelai, gandum,
dan susu sapi), akan menyebabkan proses autoimun sehingga terjadi dekstruksi
sel B pancreas.

Factor Risiko

 Hipotesis sinar matahari


Menyatakan bahwa kekurangan paparan sinar matahari akan mengakibatkan
kurangnya kadar vitamin D. Bukti menyebutkan bahwa vitamin D berperan
dalam sensitivitas dan sekresi insulin.
 Hipotesis hygiene
Anak yang terlalu dijaga kebersihannya akan meningkatkan risiko
hipersensitivitas autoimun.
 Hipotesis susu sapi
Protein susu sapi hampir identik dengan protein pada permukaan sel B
pancreas, sehingga pada anak yang rentan terhadap susu sapi, leukositnya
akan ikut menyerang sel B pancreas.

2) Diabetes mellitus tipe 2


Mekanisme yang tepat yang menyebabkan resistensi insulin dan gangguan sekresi
insulin pada diabetes tipe II masih belum diketahui. Faktor genetik memegang
peranan dalam proses terjadinya resistensi insulin.
Faktor-faktor resiko :

a. Usia (resistensi insulin cenderung meningkat pada usia di atas 65 th)

b. Obesitas

c. Riwayat keluarga
Diabetes Mellitus mempunyai etiologi yang heterogen, dimana berbagai lesi dapat
menyebabkan insufisiensi insulin, tetapi determinan genetik biasanya memegang
peranan penting pada mayoritas DM. Faktor lain yang dianggap sebagai
kemungkinan etiologi DM yaitu :
a. Kelainan sel beta pankreas, berkisar dari hilangnya sel beta sampai
kegagalan sel beta melepas insulin.
b. Faktor – faktor lingkungan yang mengubah fungsi sel beta, antara lain
agen yang dapat menimbulkan infeksi, diet dimana pemasukan
karbohidrat dan gula yang diproses secara berlebihan, obesitas dan
kehamilan.
c. Gangguan sistem imunitas. Sistem ini dapat dilakukan oleh autoimunitas
yang disertai pembentukan sel - sel antibodi antipankreatik dan
mengakibatkan kerusakan sel - sel penyekresi insulin, kemudian
peningkatan kepekaan sel beta oleh virus.
d. Kelainan insulin. Pada pasien obesitas, terjadi gangguan kepekaan
jaringan terhadap insulin akibat kurangnya reseptor insulin yang terdapat
pada membran sel yang responsir terhadap insulin.

3) Diabetes gestasional
Etiologi
Selama kehamilan, peningkatan kadar hormon tertentu dibuat dalam
plasenta (organ yang menghubungkan bayi dengan tali pusat ke rahim) nutrisi
membantu pergeseran dari ibu ke janin. Hormon lain yang diproduksi oleh
plasenta untuk membantu mencegah ibu dari mengembangkan gula darah rendah.
Selama kehamilan, hormon ini menyebabkan terganggunya intoleransi
glukosa progresif (kadar gula darah yang lebih tinggi). Untuk mencoba
menurunkan kadar gula darah, tubuh membuat insulin lebih banyak supaya sel
mendapat glukosa bagi memproduksi sumber energi. Biasanya pankreas ibu
mampu memproduksi insulin lebih (sekitar tiga kali jumlah normal) untuk
mengatasi efek hormon kehamilan pada tingkat gula darah. Namun, jika pankreas
tidak dapat memproduksi insulin yang cukup untuk mengatasi efek dari
peningkatan hormon selama kehamilan, kadar gula darah akan
naik, mengakibatkan GDM.

Faktor Risiko
Faktor-faktor berikut meningkatkan risiko terkena GDM selama kehamilan:
- Kelebihan berat badan sebelum hamil (lebih 20% dari berat badan ideal).
- Merupakan anggota kelompok etnis risiko tinggi (Hispanik, Black,
penduduk asli Amerika, atau Asia).
- Gangguan toleransi glukosa atau glukosa puasa terganggu (kadar gula
darah yang tinggi, tetapi tidak cukup tinggi untuk menjadi diabetes).
- Riwayat keluarga diabetes (jika orang tua atau saudara kandung memiliki
diabetes).
- Sebelumnya melahirkan bayi lebih dari 4 kg.
- Sebelumnya melahirkan bayi lahir mati.
- Mendapat diabetes kehamilan dengan kehamilan sebelumnya.
- Memiliki terlalu banyak cairan ketuban (suatu kondisi yang disebut
polihidramnion).
Banyak wanita yang mengalami GDM tidak memiliki faktor risiko yang
diketahui.
4. Patofisiologi dan pathogenesis diabetes
1) Diabetes mellitus tipe 1
DM tipe 1 adalah penyakit autoimun kronis yang berhubungan dengan
kehancuran selektif sel beta pankreas yang memproduksi insulin. Timbulnya
penyakit klinis merupakan tahap akhir dari kerusakan sel beta yang mengarah ke
tipe 1 DM. Berbagai lokus gen telah dipelajari untuk menentukan hubungan
mereka dengan DM tipe 1. Pada awalnya diduga bahwa antigen B8 dan B15 HLA
kelas I sebagai penyebab diabetes karena meningkat pada frekuensi di penderita
diabetes dibandingkan dengan kelompok kontrol. Namun, baru-baru fokus telah
bergeser ke lokus HLA-DR kelas II dan ditemukan bahwa DR3 dan DR4 lebih
menonjol daripada HLA-B pada DM tipe 1. Akhirnya lokus alel HLA DQ telah
terlibat dalam kerentanan penyakit, melalui analisis Pembatasan fragmen panjang
polimorfisme (RFLP) dan disekuensi langsung, dengan menggunakan polymerase
chain reaction (PCR) untuk memperkuat urutan DNA spesifik, telah
meningkatkan pemahaman kami tentang kompleks HLA dan keterlibatan alel
HLA dalam kerentanan penyakit. Bukti diajukan menunjukkan bahwa
kemampuan untuk memberikan kerentanan atau resistensi terhadap DM tipe 1
berada dalam residu asam amino tunggal dari rantai b-HLA-DQ. Penggunaan
lokus spesifik oligonukleotida untuk menyelidiki derivat dari rantai b-HLA urutan
DQ telah membantu untuk memperjelas hubungan antara subtipe DR4 dan jenis
DM tipe 1 terkait DQ alel. Ditemukan bahwa hanya mereka positif DR4 haplotipe
yang membawa alel DQW8 pada lokus HLA DQ yang terkait dengan DM tipe
1. Perbandingan urutan rantai-b-DQ dari DM tipe 1 dan kontrol menunjukkan
bahwa haplotype yang positif dengan penyakit ini berbeda dengan yang secara
negatif berhubungan dengan asam amino dari posisi 57 dalam domain pertama
rantai b-HLA-DQ. Pada haplotype yang positif memiliki alanin, valin atau serin
pada posisi 57,sedangkan haplotype negatif memiliki asam aspartat ditemukan
pada posisi 57, tapi beberapa pengamatan tidak mendukung hipotesis "posisi 57".
Yang terpenting adalah ditemukan DQW4 dan DQW9 spesifik yang memiliki
asam aspartat pada posisi 57, di Jepang pasien DM tipe 1 sangat berhubungan
dengan DQW4 dan DQW9, ini menunjukkan bahwa mekanisme lain harus
terlibat untuk menjelaskan kerentanan terhadap DM tipe 1 di beberapa kelompok.
Hubungan yang diamati antara DM tipe 1 dan HLA telah ditafsirkan sebagai
konsekuensi dari keterlibatan fungsional molekul HLA kelas II pada DM tipe 1.
Keterlibatan rantai b-DQ itu sendiri atau sebuah heterodimer DQ a/b dapat
menunjukkan bahwa fungsi presentasi antigen molekul kelas II adalah relevan
untuk kerentanan DM tipe 1.
Setelah pendekatan "seleksi epitop" untuk menjelaskan fenomena
autoimun Nepons telah menyarankan model dimana alel HLA kelas II
mempengaruhi kerentanan IDDM sebagai berikut: a). susunan dimer kelas II yang
dikode oleh beberapa kompleks HLA setiap individu, bervariasi afinitasnya untuk
peptida tertentu yang dapat menimbulkan autoimun ke sel beta; b). hanya dimer
kelas II tertentu, produk dari gen rentan yang benar-benar mempromosikan
autoimunitas untuk sel beta setelah mengikat peptida, c). individu rentan jika
produk dari gen kerentanan mengikat peptida lebih kuat dari produk-produk gen
tidak rentan yang ada dalam individu tersebut. Dengan demikian, dalam model ini
produk-produk dari alel HLA tertentu yang berkaitan dengan DM tipe 1 karena
mereka mengikat dan menyajikan peptida khusus untuk merangsang respon imun
terhadap sel beta pankreas.
Antigen yang terlibat dalam tipe 1 DM meliputi antigen 64kD, asam
glutamat dekarboksilase (GAD) dan antigen sitoplasma sel islet. Antibodi sel islet
(ICA) mengikat komponen sitoplasma sel islet pada bagian pankreas manusia dan
endapan antibodi 64kDa merupakan protein 64kDa dari ekstrak sel islet.
Sedangkan antibodi 64kDa yang ditampilkan untuk menjadi sel beta tertentu di
dalam islet, beberapa sera ICA positif telah dijelaskan untuk bereaksi dengan
semua sel islet. Antigen target dari Antibodi 64kDa diidentifikasi sebagai GAD
enzim. Sel Islet tertentu pada baris sel beta memproduksi antibodi IgG yang
terikat ke antigen sitoplasma sel islet yang ditemukan. Anehnya semua
monoklonal antibodi yang diproduksi oleh baris, dikenali GAD target
autoantigen. Dengan demikian, GAD mungkin target antigen utama pada DM tipe
1, makanya antibodi untuk GAD dijadikan penanda sensitif untuk perkembangan
diabetes, walaupun antibodi GAD ada dalam individu yang rentan secara genetik
tetapi yang tidak mungkin untuk mengembangkan disease. Antibodi juga bereaksi
dengan insulin dapat juga dideteksi dalam klinis pada periode prediabetik yang
laten, tetapi autoantibodi insulin memiliki sensitivitas lebih rendah sebagai
penanda untuk perkembanagn diabetes dibandingkan antibodi GAD atau ICA.
Kontribusi dari autoantigens disebutkan di atas untuk induksi dan atau
kelangsungan penyakit masih harus diklarifikasi. Jelas, bahwa identifikasi dari
autoantigens dalam DM tipe 1 adalah penting baik untuk tujuan diagnostik dan
untuk potensi intervensi terapi imun dalam proses penyakit.
Berikut ini dijelaskan mekanisme penurunan pengaturan yang telah
dianalisis dalam model hewan DM tipe 1, melalui tiga model hewan untuk tipe
DM 1, yaitu tikus BB, tikus NOD dan tikus MLD STZ dengan diabetes yang
diinduksi, telah meningkatkan kemampuan kita untuk memahami proses yang
menyebabkan kerusakan sel beta. Namun, karena semua kesimpulan yang diambil
dari model hewan didasarkan pada asumsi analogi dengan penyakit manusia,
maka analogi perlu divalidasi lebih teliti. Aktivasi antigen islet kepada sel T
CD4+ spesifik menunjukan prasyarat mutlak bagi perkembangan diabetes di
semua model hewan DM tipe 1. Sel T CD4+ spesifik untuk islet yang berasal dari
tikus NOD diabetes, saat disuntikkan ke tikus prediabetes atau nondiabetes,
menginduksi insulitis dan diabetes. Dilaporkan juga bahwa sel T CD4+ cukup
untuk menimbulkan insulitis sedangkan sel T CD8+ berkontribusi pada kerusakan
yang lebih parah. Temuan ini bersama dengan bukti bahwa insulitis di
pencangkokan kronis dibandingkan penyakit pada host dapat terjadi dengan tidak
adanya sel T CD8+ menunjukkan bahwa sel T CD4+ mungkin hanya sel
imunokompeten yang diperlukan dalam proses penyakit. Namun, tampaknya
hanya satu subset sel T CD4+ yang bertanggung jawab untuk induksi penyakit.
Penurunan regulasi respon autoimun diabetogenik oleh sel limpa berasal dari
hewan yang dirawat dengan adjuvan juga dapat dijelaskan oleh subset sel T CD4+
saling mempengaruhi. Hasil awal oleh kelompok Lafferty (akan diterbitkan)
menunjukkan bahwa perlakuan awal dengan ajuvan tidak menghalangi respon
autoimun, melainkan dapat menyimpang respon dari profil sitokin Th-1 ke Th-2.
Bahkan, tingkat tinggi sitokin tipe Th-1 yaitu IL-2 dan interferon gamma
ditemukan berkorelasi atau dan untuk meningkatkan induksi diabetes autoimun
model eksperimental. Sel Th-1 menghasilkan produk yaitu IFN-gamma yang akan
mengaktifkan makrofag. Pada penelitian dengan model hewan DM tipe 1
menggunakan mikroskopis elektron untuk mengamati pankreas menunjukkan
bahwa makrofag adalah sel pertama yang menyerang islets.
Dalam penelitian in vitro dan studi pada perfusi pankreas menunjukkan
bahwa Interleukin 1 (IL-1) dan tumor necrosis factor (TNF-α), dua sitokin
terutama diproduksi oleh makrofag, menyebabkan perubahan struktural sel beta
pankreas dan menekan kapasitas sel beta pankreas untuk melepaskan insulin.
Namun, tampaknya bahwa IL-1 dan TNF tidak berkontribusi dengan aktivitas
sitotoksik makrofag. Interferon gamma merupakan aktivator kuat untuk makrofag
dalam mensintesis nitrat oksida. Pada saat ini, ada bukti yang menunjukkan
bahwa aktivitas sintesis Nitrat oksida terlibat dalam perkembangan diabetes DM
tipe 1, dimana data ini menunjukkan untuk pertama kalinya, bahwa nitrat oksida
dapat menjadi faktor patogen dalam autoimunitas dan disarankan kemungkinan
adanya kelas baru pada agen immunofarmakologi, dimana mampu memodulasi
sekresi nitrat oksida untuk dapat diuji dalam pencegahan perkembangan DM tipe
1.
Meskipun bukti yang kuat untuk hubungan dengan faktor genetik, tingkat
kesesuaian untuk DM tipe 1 adalah mengherankan rendah pada anak kembar
identik. Kesesuaiannya kurang dari 100% pada kembar identik untuk DM tipe I
telah memberikan kontribusi ke sebuah penelusuran faktor lingkungan yang
terkait dengan penyakit. Satu-satunya yang jelas bahwa faktor lingkungan
meningkatkan risiko untuk perkembangan diabetes tipe 1 adalah infeksi rubella
congenital, dimana sampai 20% dari anak-anak tersebut di kemudian hari
mengembangkan diabetes. Pengamatan ini menunjukan bahwa selain temuan
bahwa urutan asam amino dari rantai DQ-b juga ditemukan di protein envelope
virus rubella yang akan mendukung mimikri antigen virus sebagai faktor etiologi
dalam DM tipe I. Peran faktor lingkungan juga disarankan oleh analisis respon
imun terhadap protein susu sapi, dimana hampir semua pasien DM tipe 1
memiliki antibodi ke peptida serum albumin sapi dan menunjukkan respon sel T
untuk peptida serum albumin sapi yang sama dengan protein yang ada di
permukaan sel beta di pankreas, dibandingkan dengan hanya sekitar 2% dari
kontrol.
Pada saat terjadi kekurangan insulin akibat kerusakan dari sel beta di
pankreas, maka hiperglikemia berkembang sebagai hasil dari tiga proses: (1)
peningkatan glukoneogenesis (pembuatan glukosa dari asam amino dan gliserol),
(2) glikogenolisis dipercepat (pemecahan glukosa disimpan) dan (3) pemanfaatan
glukosa oleh perifer jaringan.
2) Diabetes mellitus tipe 2
a. Resistensi insulin
Penurunan kemampuan insulin untuk beraksi pada jaringan target perifer
(terutama otot dan hati) merupakan ciri yang menonjol pada DM tipe II dan
merupakan kombinasi dari kerentanan genetik dan obesitas. Resistensi insulin
mengganggu penggunaan glukosa oleh jaringan yang sensitif insulin dan
meningkatkan keluaran glukosa hepatik, keduanya menyebabkan hiperglikemia
(Powers, 2005).
Pada prinsipnya resistensi insulin dapat terjadi di tingkat reseptor insulin atau
di salah satu jalur sinyal pascareseptor. Pada DM tipe II jarang terjadi defek
kualitatif dan kuantitatif pada reseptor insulin. Oleh karena itu, resistensi insulin
diperkirakan terutama berperan dalam pembentukan sinyal pascareseptor
(Clare-Salzler, et al., 2007). Polimorfisme pada IRS-1 mungkin berhubungan
dengan intoleransi glukosa, meningkatkan kemungkinan bahwa polimorfisme
dalam berbagai molekul postreceptor dapat menyebabkan resistensi insulin.
Patogenesis resistensi insulin saat ini berfokus pada defek sinyal PI-3-kinase,
yang menurunkan translokasi GLUT 4 pada membran plasma, diantara kelainan
lainnya (Powers, 2005).
Asam lemak bebas juga memberikan kontribusi pada patogenesis DM tipe II.
Asam lemak bebas menurunkan ambilan glukosa pada adiposit dan otot serta
meningkatkan keluaran glukosa hepatik yang terkait dengan resistensi insulin
(Thẻvenod, 2008).
b. Gangguan Sekresi Insulin
Defek pada sekresi insulin bersifat samar dan secara kuantitatif kurang berarti
jika dibandingkan dengan yang terjadi pada DM tipe I. Pada awal perjalanan
penyakit DM tipe II, sekresi insulin tampaknya normal dan kadar insulin
plasma tidak berkurang. Namun pola sekresi insulin yang berdenyut dan
osilatif lenyap, dan fase pertama sekresi insulin (yang cepat) yang dipicu oleh
glukosa menurun.

c. Diabetes gestasional

PATOGENESIS DIABETES GESTATIONAL

- Autoimun
- Genetik : Islet Cell
PATOFISIOLOGI DIABETES GESTATIONAL

Hamilpeningkatan deposit lemak penurunan adiponectin


penurunansentivitas insulin

Peningkatanhormokehamilan (HPL) merubahreseptor insulin penurunan


uptake glukosajaringan

5. Diagnosis dan diagnosis banding diabetes


1) Diabetes mellitus tipe 1
Tanda dan Gejala
 Sebagian besar DMT1(70%) bersifat asimtomatis
 Gejala klasik DM berupa poliuria, polidipsia, polifagia, serta berat badan
yang menu cepat pada umumnya muncul secara akut(1-2 minggu sebelum
diagnosis ditegakkan). Gejala/tanda poliuria yang sering ditemui berupa
enuresis nokturnal(pada anak besar atau pada anak dengan dehidrasi sedang-
berat tetapi masih diuresis(poliuria)
 Gejala lain akibat hiperglikemia: luka sulit sembuh, kulit kering dan gatal,
parestesia pada kaki, atau pandangan kabur
 Pada kasus yang terlambat terdiagnosis, dapat ditemui komplikasi DMTI
berupa ketoasidosis(pernapasan Kussmaul, napas berbau keton, penurunan
kesadaran, tanda-tanda asidosis)

Perjalanan Penyakit

1. Periode pre-diabetes. Karena adanya kerentanan genetik dan dantai dengan


ditemukannya antibodi (IAA, GAD, IA, dan sebagainya) yang merupakan
prediktor terjadinya diabetes.
2. Manifestasi klinis diabetes; namun 73% pasien tidak menunjukkan gejala
yang khas (asimptomatis)
3. Periode "honeymoon". Merupakan fase remisi, baik itu parsial atau total
yakni berfungsinya kembali jaringan residual pankreas, sehingga pankreas
mensekresikan kembali sisa insulin yang ada, Secara klinis pada fase ini
pasien DMT1 yang telah mendapatkan insulin akan sering mengalami
hipoglikemia sehingga dosis insulin harus dikurangi. Namun, hal tersebut
tidak berarti "sembuh" karena cadangan insulin akan terus berkurang hingga
habis.
4. Ketergantungan insulin yang menetap. Apabila kebutuhan insulin sudah
mencapai 0,25 U/Kg BB/hari maka dikatakan pasien telah mengalami fase
"remisi total"

Kriteria diagnosis (apabila memenuhi salah satu kriteria berikut ):

1. Ditemukan gejala klasik DM poliuria, polidipsia polifagja, maupun


penurunan berat badan) dan kadar glukosa darah sewaktu 3200 mg/dL(l 1,1
mmol/L);
2. Pada pasien yang asimtomatis, ditemukan kada glukossa darah sewaktu >200
mg/dL (11,1 mmol/L) atau kadan glukosa puasa lebih tinggi dari normal (>/=
126 mg/dL atau 7 mmol/L), dengan hasil tes toleransi glukosa (TTG)
terganggu pada lebih dar satu kali pemeriksaan.

Pemeriksaan Penunjang

 Deteksi autoantibodi pada serum:


 Islet cell autoantibodies(ICAs),
 Glutamic acid decarboxylase(GAD65A)
 Insulin autoantibodies(IAA),
 Transmembrane tyrosine phosphatase (ICA512A)
 Zinc transporter 8 autoantibody(ZnT8A)
 Keton darah
 Urinalisis(reduksi, keton, protein);
 C-peptide(50,85 ng/mL menggambarkan kadar insulin secara tidak langsung;
 HbA1c, sebagai parameter kontrol metabolik.

2) Diabetes mellitus tipe 2


Kriteria Diagnosis
Diabetes mellitus ditegakkan berdasarkan ada tidaknya gejala. Bila dengan gejala
(polidipsi, poliuria, polifagia), maka pemeriksaan gula darah abnormal satu kali
sudah dapat menegakkan diagnosis DM. sedangkan bila tanpa gejala, maka
diperlukan paling tidak 2 kali pemeriksaan gula darah abnormal pada waktu yang
berbeda (Rustama DS, dkk. 2010; SIPAD Clinical Practice Consencus Guidelines
2009).
Kriteria hasil pemeriksaan gula darah abnormal adalah :
1) Kadar gula darah sewaktu > 200 mg/dL atau
2) Kadar gula darah puasa > 126 mg/dL atau
3) Kadar gula darah postpandrial > 200 mg/dL

Untuk menegakkan diagnosis DM Tipe 1, maka perlu dilakukan pemeriksaan


penujang, yaitu C-peptide 0.85 ng/ml. C-peptide ini merupakan salah satu penanda
banyaknya sel β-pankreas yang masih berfungsi. Pemeriksaan lain adalah adanya
autoantibody, yaitu Islet cell autoantibodies (ICA), Glutamic acid decarboxylase
autoantibodies (65K GAD), IA2 (dikenal sebagai ICA 512 atau tyrosine
posphatase) autoantibodies dan Insuline autoantibodies (IAA). Adanya
autoantibody mengkonfirmasi DM tipe 1 karena proses autoimun. Sayangnya
autoantibody ini relatif mahal (Rustama DS, dkk. 2010; ISPAD Clinical Practice
Consencus Guidelines 2009).

Perjalanan Penyakit

Perjalanan penyakit ini melalui beberapa periode menurut ISPAD Clinical Practice
Consencus Guidelines tahun 2009.
- Periode pra-diabetes
- Periode manifestasi klinis
- Periode honey moon
- Periode ketergantungan insulin yang menetap

Periode Pra-Diabetes
Pada periode ini, gejala-gejala klinis DM mulai muncul. Pada periode ini
sudah terjadi sekitar 90% kerusakan sel β-pankreas. Predisposisi genetik tertentu
memungkinkan terjadinya proses destruksi ini. Sekresi insulin mulai berkurang
ditandai dengan mulai berkurangnya sel β-pankreas yang berfungsi. Kadar C-petide
mulai menurun. Pada periode ini autoantibody mulai ditemukan apabila dilakukan
pemeriksaan laboratorium.

Periode Manifestasi Klinis


Pada periode ini, gejala klinis DM mulai muncul. Pada periode ini sudah
terjadi sekitar 90% kerusakan sel β-pankreas. Karena sekresi insulin sangat kurang,
maka kadar gu;a darah akan tinggi/meningkat. Kadar gula darah yang melebihi
180mg/dL akan menyebabkan dieresis osmotik. Keadaan ini menyebabkan
terjadinya pengeluaran cairan dan elektrolit melalui urin (poliuri, dehidrasi,
polidipsi). Karena gula darah tidak dapat di-uptake ke dalam sel, penderita akan
merasa lapar (polifagi), tetapi berat badan akan semakin kurus. Pada periode ini
penderita memerlukan insulin dari luar agar gula darah di-uptake ke dalam sel.

Periode Honey Moon


Periode ini disebut juga fase remisi parsial atau sementara. Pada periode ini
sisa-sisa sel β-pankreas akan bekerja optimal sehingga akan diproduksi insulin dari
dalam tubuh sendiri. Pada saat ini kebutuhan insulin dari luar tubuh akan berkurang
hingga kurang dari 0,5 U/kgBB/hari. Namun periode ini hanya berlangsung
sementara, bisa dalam hitungan hari ataupun bulan, sehingga perlu adanya edukasi
pada orang tua bahwa periode ini bukanlah fase remisi yang menetap.

Periode Ketergantungan Insulin yang Menetap


Periode ini merupakan periode terakhir dari penderita DM. pada periode ini
penderita akan membutuhkan insulin kembali dari luar tubuh seumur hidupnya.

Pitfall dalam diagnosis


Diagnosis diabetes seringkali salah, disebabkan gejala-gejala awalnya tidak terlalu
khas dan mirip dengan penyakit lain, terkadang tenaga medis juga tidak menyadari
kemungkinan penyakit ini karena jarangnya kejadian DM tipe 1 yang ditemui
ataupun belum pernah menemui kasus DM tipe 1 pada anak. Beberapa gejala yang
sering menjadi pitfall dalam diagnosis DM tipe 1 pada anak di antaranya adalah :
1) Sering Kencing : Kemungkinan diagnosisnya adalah infeksi saluran
kencing atau terlalu banyak minum (selain DM). Variasi dari keluhan ini
adalah adanya enuresis (mengompol) setelah sebelumnya anak tidak pernah
enuresis lagi.
2) Berat badan turun atau tidak mau naik lagi : Kemungkinan diagnosis adalah
asupan nutrisi yang kurang atau adanya penyebab organik lain. Hal ini
disebbkan karena masih tingginya kejadian malnutrisi di negara kita. Sering
pula dianggap sebagai salah satu gejala tuberculosis pada anak.
3) Sesak nafas : Kemungkinan diagnosanya dalah bronkopneumonia. Apabila
disertai gejala lemas, kadang juga didiagnosis sebagai malaria. Padahal
gejala sesak nafasnya apabila diamati pola nafasnya adalah tipe Kusmaull
(nafas cepat dan dalam) yang sangat berbeda dengan tipe nafas pada
bronkopneumonia. Nafas Kusmaull adalah tanda dari ketoasidosis.
4) Nyeri perut : Seringkali dikira sebagai peritonitis atau appendicitis. Pada
penderita DM tipe 1, nyeri perut ditemui pada keadaan ketoasidosis.
5) Tidak sadar : Keadaan ketoasidosis dapat dipikirkan pada kemungkinan
diagnosis seperti malaria serebral, meningitis, ensefalitis, ataupun cedera
kepala
3) Diabetes gestasional
Anamnesis dan pemeriksaan fisik hampir sama dengan diabetes lain.
Pemeriksaan TTGO, GDM didiagnosis jika kadar gula puasa >95 mg/dL atau
lebih, gula 1 jam >180 mg/dL, gula 2 jam >155 mg/dL, dula 3 jam >140 mg/dL.

6. Tatalaksana diabetes
1) Diabetes mellitus tipe 1
Penatalaksanaan untuk semua kasus DM tentunya membutuhkan pendekatan dari
multidisiplin. Ada 4 pilar pengelolaan DM, yakni

1. Diet

2. Latihan jasmani

3. Medikamentosa

4. Edukasi

· Pasien-pasien DM tipe 1 membutuhkan terapi insulin untuk mengontrol


hiperglikemi dan mempertahankan elektrolit serta status hidrasi nya. Pada saat
insidensi ketoasidosis pertama, biasanya akan diikuti periode dimana pasien seolah-
olah membaik dan tidak membutuhkan terapi insulin. Periode ini disebut sebagai
“honeymoon period” akibat kembalinya sebagian fungsi insulin endogen yang
mungkin bertahan beberapa minggu bahkan 1-2 bulan.

· Inisiasi terapi insulin pada orang dewasa : dosis inisial harian dihitung
berdasarkan berat badan pasien. Dosis ini biasanya dibagi tiga, ½ dosis diberikan
sebelum sarapan, ¼ nya sebelum makan malam, dan ¼ nya diberikan sebelum tidur.
Setelah pemilihan dosis inisial, sesuaikan jumlah, jenis, dan waktu penggunaan
sesuai kadar glukosa. Sesuiakan dosis untuk mempertahankan glukosa plasma pre
prandial 80-150 mg/dL. Dosis insulin sering disesuaikan dengan penambahan 10%
dan efeknya dinilai setelah 3 hari sebelum mengubah keputusan.

· Jadwal-jadwal insulin
o Injeksi insulin subkutan multipel diberikan untuk mengontrol hiperglikemia
setelah makan dan untuk mempertahankan kadar glukosa plasma sepanjang hari.
Pasine-pasine harus diedukasi tentang penyakitnya dan bagaimana memonitor
kadar glukosa plasma.

o Intermediate acting insulin diberikan menjelang tidur dengan dosis sekitar 25%
dari dosis total harian. Kemudian dosis tambahan rapid acting insulin diberikan
sebelum makan (regimen 4 dosis). Pasien-pasien ini bisa juga membutuhkan
intermediate atau long acting insulin di pagi hari untuk mencakup sepanjang hari.
Pasien-pasien ini seharusnya dapat menyesuaikan dosis hariannya berdasarkan
monitor mandiri dari kadar glukosa darah sebelum makan dan menjelang tidur.
Mereka menilai sendiri kadar glukosanya pada jam 2-4 pagi minimal satu kali per
minggu selama beberapa minggu pertama terapi insulin.

o Infus insulin sub kutan kontinu : merupakan terapi insulin intensif menggunakan
infus-pump yang memberikan infus rapid acting insulin kontinu subkutan sebagai
insulin basal dan selanjutnya diberikan bolus manual masing-masing sebelum
makan. Monitor glukosa mandiri preprandial untuk menyesuaikan dosis bolus.
Metode ini dikatakan lebih baik daripada injeksi multipel. Hipoglikemia sering
terjadi pada awal penggunaan metode ini.

PENDEKATAN BEDAH
Jika memungkinkan, dapat dicoba transplantasi pankreas.

Diet

Salah satu langkah pertama dalam menangani DM tipe 1 adalah dengan kontrol
diet. Penatalaksanaan diet meliputi edukasi waktu, jumlah, jadwal, atau jenis
makanan untuk mencegah hipoglikemia atau hiperglikemia post prandial. Semua
pasien dengan insulin sebaiknya memiliki perencanaan diet yang baik seperti intake
kalori perhari; jumlah karbohidrat, lemak, dan protein; dan bagaimana membagi
kalori antara makan dan snack. Idealnya, diet tap pasien DM dibuat individual
sesuai kebutuhan.

· Distribusi kalori sangat penting diperhatikan; rekomendasi yang biasa adalah 20%
dari kalori harian untuk sarapan, 35% untuk makan siang, 30% untuk makan
malam, dan 15% untuk snack sore.

· Kebutuhan protein minimum untuk nutrisi yang baik adalah 0,9 g/kg/hari (range
= 1-1,5 g/kg/hari) tetapi intake protein harus dikurangi bila ada nefropati.
· Intake lemak sebaiknya dibatasi hingga 30% atau kurang dari kalori total. Diet
rendah kolesterol direkomendasikan untuk DM.

· Pasien sebaiknya mengkonsumsi sukrosa dan menambah intake serat. Pada


beberapa kasus, snack pagi dan siang penting untuk mencegah hipoglikemia.

Olahraga

Pasien seharusnya dimotivasi untuk berolahraga teratur. Edukasi pasien tentang


bagaimana efek olahraga terhadap kadar glukosa darah. Jika pasien berolahraga
keras atau lebih dari 30 menit, dikhawatirkan kemungkinan hipoglikemia. Untuk
mencegah hipoglikemia, mereka di edukasi untuk menurunkan insulinnya 10-20%
atau menambah ekstra snack. Pasien-pasien ini juga harus dapat mempertahankan
status hidrasinya selama olahraga.

Insulin

Insulin subkutan merupakan terapi lini pertama untuk DM tipe 1. Perbedaan jenis
insulin hanyalah berdasarkan onset dan durasinya. Insulin yang dapat diberika
intravena adaah insulin reguler, lispro, dan aspart sedangkan menurut onset dan
durasi kerjanya, ada yang short, intermediate dan panjang.
Follow-up

PASIEN RAWAT

Hipoglikemia/hiperglikemia (ketoasidosis)

Evaluasi kondisi-kondisi yang dapat memperberat hiperglikemi seperti infeksi,


CAD (coronary arteri disease), demam.

Evaluasi keadaan yang dapat menyebabkan hipoglikemi seperti anoreksia,


gastroparesis, muntah.

Pemberian insulin intermediate (seperti NPH, lente) 50-70% per hari dalam dosis
dibagi dua disertai tambahan regular insulin dengan sliding scale, cukup baik
mengendalikan glukosa darah. Gukosa darah sebaiknya dipantau sebelum makan
dan menjelang tidur.

PASIEN RAWAT JALAN


Edukasi pasien tentang kondisinya, komplikasi yang akan dihadapi dan
meyakinkan bahwa mereka harus menjalankan modifikasi gaya hidup seta
mengontrol penyakitnya.

Pemantauan glukosa plasma

Semua pasien dengan DM tipe 1 sebaiknay belajar bagaimana memantau sendiri


gukosanya, membuat catatan dan menyesuaikan dosis insulinnya.

2) Diabetes mellitus tipe 2


Terapi Non Farmakologi
 Edukasi
 Diet
 Latihan / olahraga
TerapiFarmakologi
a. Biguanid, cth : Metformin, bekerjapada membrane sel,
meningkatkansensitivitasinsulim
b. Tiazolidinedionebekerjapada nucleus, meningkatkansensitivitas insulin
c. Sulfonylurea bekerjapadasel Beta Langerhans, meningkatkansekresi insulin
d. Alfa-glukosidase inhibitor menghambatpenyerapan lemak
danglukosadanmencegahpenyerapanglukosa post-prandial
e. Incretin hormone menyerapglukosa, agar ada signal ke pancreas
untukmeningkatkansekresi insulin
f. SGLT2-inhibitor menghambatreabsorpsiglukosadaritubulusproksimalginjal
g. Terapisuntik insulin

3) Diabetes gestasional
Pengelolaan medis
Sesuai dengan pengelolaan medis DM pada umumnya, pengelolaan DMG juga
terutama didasari atas pengelolaan gizi/diet dan pengendalian berat badan ibu.
1) Kontrol secara ketat gula darah, sebab bila kontrol kurang baik upayakan
lahir lebih dini, pertimbangkan kematangan paru janin. Dapat terjadi
kematian janin memdadak. Berikan insulin yang bekerja cepat, bila
mungkin diberikan melalui drips.
2) Hindari adanya infeksi saluran kemih atau infeksi lainnya. Lakukan upaya
pencegahan infeksi dengan baik.
3) Pada bayi baru lahir dapat cepat terjadi hipoglikemia sehingga perlu
diberikan infus glukosa.
4) Penanganan DMG yang terutama adalah diet, dianjurkan diberikan 25
kalori/kgBB ideal, kecuali pada penderita yang gemuk dipertimbangkan
kalori yang lebih mudah.
5) Cara yang dianjurkan adalah cara Broca yaitu BB ideal = (TB-100)-10%
BB.
6) Kebutuhan kalori adalah jumlah keseluruhan kalori yang diperhitungkan
dari:

− Kalori basal 25 kal/kgBB ideal


− Kalori kegiatan jasmani 10-30%
− Kalori untuk kehamilan 300 kalor
− Perlu diingat kebutuhan protein ibu hamil 1-1.5 gr/kgBB
Jika dengan terapi diet selama 2 minggu kadar glukosa darah belum mencapai
normal atau normoglikemia, yaitu kadar glukosa darah puasa di bawah 105 mg/dl
dan 2 jam pp di bawah 120 mg/dl, maka terapi insulin harus segera dimulai.

Pemantauan dapat dikerjakan dengan menggunakan alat pengukur glukosa darah


kapiler. Perhitungan menu seimbang sama dengan perhitungan pada kasus DM
umumnya, dengan ditambahkan sejumlah 300-500 kalori per hari untuk tumbuh
kembang janin selama masa kehamilan sampai dengan masa menyusui selesai.

Pengelolaan DM dalam kehamilan bertujuan untuk :

− Mempertahankan kadar glukosa darah puasa < 105 mg/dl

− Mempertahankan kadar glukosa darah 2 jam pp < 120 mg/dl

− Mempertahankan kadar Hb glikosilat (Hb Alc) < 6%

− Mencegah episode hipoglikemia

− Mencegah ketonuria/ketoasidosis deiabetik

− Mengusahakan tumbuh kembang janin yang optimal dan normal.

Dianjurkan pemantauan gula darah teratur minimal 2 kali seminggu (ideal setiap
hari, jika mungkin dengan alat pemeriksaan sendiri di rumah). Dianjurkan kontrol
sesuai jadwal pemeriksaan antenatal, semakin dekat dengan perkiraan persalinan
maka kontrol semakin sering. Hb glikosilat diperiksa secara ideal setiap 6-8 minggu
sekali.

Kenaikan berat badan ibu dianjurkan sekitar 1-2.5 kg pada trimester pertama dan
selanjutnya rata-rata 0.5 kg setiap minggu. Sampai akhir kehamilan, kenaikan berat
badan yang dianjurkan tergantung status gizi awal ibu (ibu BB kurang 14-20 kg,
ibu BB normal 12.5-17.5 kg dan ibu BB lebih/obesitas 7.5-12.5 kg).
Jika pengelolaan diet saja tidak berhasil, maka insulin langsung digunakan. Insulin
yang digunakan harus preparat insulin manusia (human insulin), karena insulin
yang bukan berasal dari manusia (non-human insulin) dapat menyebabkan

terbentuknya antibodi terhadap insulin endogen dan antibodi ini dapat menembus
sawar darah plasenta (placental blood barrier) sehingga dapat mempengaruhi janin.

Pada DMG, insulin yang digunakan adalah insulin dosis rendah dengan lama kerja
intermediate dan diberikan 1-2 kali sehari. Pada DMH, pemberian insulin mungkin
harus lebih sering, dapat dikombinasikan antara insulin kerja pendek dan
intermediate, untuk mencapai kadar glukosa yang diharapkan.

Obat hipoglikemik oral tidak digunakan dalam DMG karena efek teratogenitasnya
yang tinggi dan dapat diekskresikan dalam jumlah besar melalui ASI

Pengelolaan obstetrik

Pada pemeriksaan antenatal dilakukan pemantauan keadaan klinis ibu dan janin,
terutama tekanan darah, pembesaran/ tinggi fundus uteri, denyut jantung janin,
kadar gula darah ibu, pemeriksaan USG dan kardiotokografi (jika memungkinkan).

Pada tingkat Polindes dilakukan pemantauan ibu dan janin dengan pengukuran
tinggi fundus uteri dan mendengarkan denyut jantung janin.

Pada tingkat Puskesmas dilakukan pemantauan ibu dan janin dengan pengukuran
tinggi fundus uteri dan mendengarkan denyut jantung janin.

Pada tingkat rumah sakit, pemantauan ibu dan janin dilakukan dengan cara :

Pengukuran tinggi fundus uteri :

NST – USG serial


Penilaian menyeluruh janin dengan skor dinamik janin plasenta (FDJP),
nilai FDJP < 5 merupakan tanda gawat janin.
Penilaian ini dilakukan setiap minggu sejak usia kehamilan 36 minggu.
Adanya makrosomia, pertumbuhan janin terhambat (PJT) dan gawat janin
merupakan indikasi untuk melakukan persalinan secara seksio sesarea.
Pada janin yang sehat, dengan nilai FDJP > 6, dapat dilahirkan pada usia
kehamilan cukup waktu (40-42 mg) dengan persalinan biasa. Pemantauan
pergerakan janin (normal >l0x/12 jam).
Bayi yang dilahirkan dari ibu DMG memerlukan perawatan khusus.
Bila akan melakukan terminasi kehamilan harus dilakukan amniosentesis
terlebih dahulu untuk memastikan kematangan janin (bila usia kehamilan < 38 mg).
Kehamilan DMG dengan komplikasi (hipertensi, preeklamsia, kelainan
vaskuler dan infeksi seperti glomerulonefritis, sistitis dan monilisasis) harus
dirawat sejak usia kehamilan 34 minggu. Penderita DMG dengan komplikasi
biasanya memerlukan insulin.
Penilaian paling ideal adalah penilaian janin dengan skor fungsi dinamik
janin-plasenta (FDJP).

7. Prognosis dan komplikasi diabetes


1) Diabetes mellitus tipe 1
Prognosis
Diabetes Mellitus tipe 1 adalah penyakit kronis yang serius,menurut beberapa
literatur mengenai penyakit ini disebutkan bahwa umur dari penderita 10 tahun
lebih pendek dibandingkan dengan yang bukan penderita. Pada anak yang
menderita kemungkinan akan mengalami penghambatan pertumbuhan sehingga
akan menjadi lebih pendek, dibandingkan dengan orang normal. Sedangkan
perkembangan seksual dari anak penderita diabetes mellitus tipe 1 juga akan
terhambat sehingga pencapaian umur pubertas akan lebih tua dari anak yang
normal. Prognosis akan menjadi buruk bila penyakit tidak dideteksi secara cepat.
Hal ini juga akan mengakibatkan komplikasi akut maupun kronis yang cukup
berat sehingga dapat mengancam jiwa penderita. Prognosis baik akan didapatkan
apabila pengelolaan status hiperglikemia dan ketogenesis terlaksana dengan baik,
kecepatan dan ketepatan deteksi dini penyakit serta pendidikan tentang penyakit
T1DM serta pengelolaannya yang jelas kepada orangtua pasien akan membantu
mencegah komplikasi yang mengancam jiwa

Komplikasi

a. Komplikasi Akut.
Komplikasi akut terjadi jika kadar glukosa darah seseorang meningkat atau
menurun dengan tajam dalam waktu relative singkat.
1. Hipoglikemia

2. Ketoasidosis diabetik-koma diabetic

3. Koma Hiperosmoler non ketotik

4. Koma laktoasidosis

b. Komplikasi Kronis
1. Penyakit makrovaskuler
karena aterosklerosis. Ini terutama mempengaruhi pembuluh darah besar
dan sedang. Pada keadaan kekurangan insulin, lemak diubah menjadi
glukosa untuk energi. Perubahan pada sintesis dan katabolisme lemak
mengakibatkan peningkatan kadar VLDL (Very Low-Density
Lipoprotein) dan LDL (Low-Density Lipoprotein). Oklusi vaskuler dan
aterosklerosis dapat menyebabkan penyakit arteri koroner, penyakit
vaskuler perifer dan penyakit vaskuler serebral.
2. Penyakit mikrovaskuler terutama mempengaruhi pembuluh darah kecil
dan disebabkan oleh penebalan membrane dasar kapiler dari peningkatan
kadar glukosa darah secara kronis. Ini menyebabkan diabetic retinopati,
neuropati, dan nefropati.
3. Neuropati diyakini disebabkan oleh kerusakan kecepatan konduksi saraf
karena konsentrasi glukosa tinggi dan penyakit mikrovaskuler. Neuropati
motorik sensorik berperan dalam ulkus dan infeksi kaki dan telapak kaki.
Neuropati autonomic berperan dalam kandung kemih neurogenik,
impotensi, konstipasi yang berubah-ubah dengan diare, penurunan
keringat, gastroenteritis dan hipotensi ortostatik. ( Mirza, 2008 ;
Baughman, 2000).
4. Rentan infeksi seperti tuberkulosis paru dan infeksi saluran kemih.
2) Diabetes mellitus tipe 2
Prognosis
Lebih dari 75% dari pasien diabetes tipe 2 akan meninggal akibat penyakit
jantung dan 15% akibat stroke.

Komplikasi dari diabetes melitus dapat dikelompokkan menjadi 3, yaitu


makroangiopati, mikroar giopati dan neuropati. Mikroangiopati merupakan
komplikasi yang terjadi paling dini diikuti dengan makroangiopati dan neuropati.
Berikut beberapa komplikasi dari diabetes melitus:
1. Makroangiopati:
 Penyakit jantung koroner
 Penyakit arteri perifer
 Penyakit serebrovaskular
 Kaki diabetes
2. Mikroangiopati
 Retinopati diabetik
 Nefropati diabetik
 Disfungsi ereksi
3. Neuropati
 Neuropati perifer
 Neuropati otonom
 Charcot arthropathy
Kriteria American Diabetes Association

American Diabetes Association menggunakan skrining diabetes melitus


gestasional melalui pemeriksaan glukosa darah dua tahap. Tahap pertama dikenal
dengan nama tes tantangan glukosa yang merupakan tes skrining. Pada semua
wanita hamil yang datang di klinik diberikan minum glukosa sebanyak 50 gram
kemudian diambil contoh darah satu jam kemudian. Hasil glukosa
darah(umumnya contoh darah adalah plasma vena) >140 mg/dl disebut tes
tantangan positif dan harus dilanjutkan dengan tahap kedua yaitu tes toleransi
glukosa oral. Untuk tes toleransi glukosa oral harus dipersiapkan sama dengan
pada pemeriksaan bukan pada wanita hamil. Perlu diingat apabila pada
pemeriksaan awal ditemukan konsentrasi glukosa plasma puasa >126 mg/dl atau
glukosa plasma sewaktu >200 mg/dl, maka mereka hanya dilakukan pengulangan
tes darah, apabila hasilnya sama maka diagnosis diabetes melitus sudah dapat
ditegakkan dan tidak diperlukan lagi pemeriksaan tes toleransi glukosa oral

Untuk tes toleransi glukosa oral American Diabetes Association mengusulkan dua
jenis tes yaitu yang disebut tes toleransi glukosa oral tiga jam, dan tes toleransi
glukosa oral dua jam. Perbedaan utama ialahjumlah beban glukosa, yaitu pada
yang tiga jam menggunakan beban glukosa 100 gram sedang yang pada dua jam
hanya 75 gram

Penilaian hasil tes toleransi glukosa oral untuk menyatakan diabetea melitus
gestasional, baik untuk tes toleransi glukosa tiga jam maupun yang hanya dua jam
berlaku sama yaitu ditemukannya dua atau lebih angka yang abnormal.
Kriteria Menurut WHO

WHO dalam buku Diagnosis and classification of diabetes mellitus tahun 1999
menganjurkan untuk diagnosis diabetes melitus gestasional harus dilakukan tes
toleransi glukosa oral dengan beban glukosa 75 gram. Kriteria diagnosis sama
dengan yang bukan wanita hamil yaitu puasa >126 mg/dl dan dua jam pasca
beban 200 mg/ dl, dengan tambahan mereka yang tergolong toleransi glukosa
terganggu didiagnosis juga sebagai diabetes melitus gestasional. Tabel 2)

Dinyatakan diabetes melitus gestasional bila glukosa plasma puasa 126 mg/dl
dan/atau 2 jam setelah beban glukosa 200 mg. atau toleransi glukosa terganggu.

Definition, Diagnosis and classification of diabetes mellitus and its


complications. Report ofa WHO Consultation. World Health Organization,
Geneva 1999 (Tech Rep Ser 894).

3) Diabetes gestasional
Prognosis

• Wanita yang menderita DM gestasional memiliki risiko untuk menderita DM


dalam kurun waktu 10 tahun pasca persalinan
• Perlu dilakukan pemeriksaan TTGO pada minggu 6 dan 12 pasca persalinan serta
tahun pertama dan kedua
• Anak yang dilahirkan juga memiliki risiko untuk menderita DM di masa yang
akan datang oleh karena itu berat badannya harus dijaga agar tetap ideal

Kehamilan kedua dalam waktu 1 tahun dari kehamilan sebelumnya yang


mempunyai GDM memiliki tingkat kekambuhan tinggi. Wanita didiagnosa dengan
GDM memiliki peningkatan risiko terkena diabetes melitus di masa depan. Wanita
yang membutuhkan insulin pengobatan sewaktu kehamilan karena didiagnosa
dengan GDM mempunyai risiko tinggi untuk mendapat diabetes kerana telah
mempunyai antibodi yang terkait dengan diabetes (seperti antibody terhadap
dekarboksilase glutamat, islet sel antibodi dan / atau antigen insulinoma- 2),
berbanding wanita dengan dua kehamilan sebelumnya dan pada wanita yang
gemuk.

Wanita membutuhkan insulin untuk mengelola gestational diabetes memiliki resiko


50% terkena diabetes dalam lima tahun ke depan. Tergantung pada populasi yang
diteliti, kriteria diagnostik dan panjang tindak lanjut, risiko dapat bervariasi sangat
besar. Risiko tampaknya tertinggi dalam 5 tahun pertama, mencapai dataran tinggi
setelahnya. Penelitian lain menemukan risiko diabetes setelah GDM lebih dari 25%
setelah 15 tahun.

Ada data statistik terhadap risiko kondisi lain pada wanita dengan GDM, dalam
studi Perinatal Yerusalem, 410 dari 37.962 pasien dilaporkan telah GDM, dan ada
kecenderungan lebih mendapat kanker payudara dan kanker pankreas , tetapi lebih
banyak penelitian diperlukan untuk mengkonfirmasi temuan ini.
(Sumber : Journal Clinical Diabetes January 2005 Vol 23)

Komplikasi
• Pada ibu: meningkatkan risiko preeklampsia, seksio sesarea, dan DM tipe 2 di
kemudian hari.
• Pada janin: meningkatkan risiko mortalitas perinatal, makrosomia, trauma
persalinan hiperbilirubinemia,
dan hipoglikemi neonatal.

8. Kasus rujukan
DM T 1 dan DM T 2 : level kompetensi 4A tuntasolehdokterlayanan primer
DM dengankomplikasisptneuropati diabetic, retinopati diabetic, nefropati diabetic,
dllrujuk
Daftar Pustaka

1. Sudoyo, A.W. Setiyohadi, B. Alwi, I. Simadibrata, M. Setiati, S.Eds. Buku ajar ilmu
penyakit dalam. Ed 4. Vol. III. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam
FKUI; 2006.
2. Perkumpulan Endokrinologi Indonesia. Konsensus Pengelolaan dan Pencegahan Diabetes
Melitus Tipe 2 di Indonesia. 2011. (Perkumpulan Endokrinologi Indonesia, 2006)
3. Departemen Ilmu Kedokteran Komunitas FKUI dan Persadia. Penatalaksanaan Diabetes
Mellitus pada Layanan Primer, ed.2, 2012. (Departemen Ilmu Kedokteran Komunitas
Indonesia FKUI, 2012)

You might also like