You are on page 1of 15

Respons Imun Adaptif

Respons imun adaptif memerlukan waktu agar dapat mempersiapkan


sistem imun untuk menghadapi agen asing. Respons ini sangat spesifik, dan hanya
ditujukan untuk molekul-molekul yang spesifik pada bahan-bahan asing. Sebagai
contoh, darah seseorang yang baru sembuh dari sakit campak mengandung
antibodi yang mengadakan reaksi dengan virus campak. Berbeda dengan imunitas
innate terhadap mikroba dan parasit yang dimiliki oleh semua binatang, hanya
vertebrata yang dapat membentuk imunitas adaptif.
Respons imun didapat dibagi dalam 2 kategori yaitu imunitas humoral, yang
dilaksanakan oleh antibodi (protein dalam darah yang tergolong dalam superfamili
imunoglobulin), dan imunitas dimediasi sel, yang dilaksanakan oleh sel.
Kedua tipe imunitas didapat ini dimediasi oleh limfosit, yaitu leukosit
berinti, yang beredar di antara darah dan organ limfoid. Imunitas humoral
dimediasi oleh sel-B (limfosit-B), yang setelah diaktivasi mengsekresi antibodi.
Antibodi ditujukan terutama pada pada bahan asing di luar sel pejamu. Termasuk
disini komponen protein dan polisakharida dinding sel bakteri, toksin bakteri, dan
protein sampul virus. Dalam beberapa kasus antibodi dapat terikat pada toksin
bakteri atau partikel virus, sekaligus mencegah nya umtuk masuk ke dalam sel
pejamu. Selain itu antibodi dapat berfungsi sebagai molecular tags yang terikat
pada
4
patogen yang masuk dan menandainya untuk dimusnahkan. Sel bakteri
yang dilapisi molekul antibodi cepat dicerna oleh makrofag yang berkeliling
(wandering) atau dihancurkan molekul komplemen yang diangkut dalam darah.
Antibodi tidak efektif untuk patogen intraseluler, sehingga diperlukan sistem
senjata tipe ke dua.
Imunitas dimediasi sel dilaksanakan oleh limfosit T (sel-T), yang bila teraktivasi
dapat secara spesifik mengenal serta membunuh sel terinfeksi (atau asing).7
Sel Penolong T 1 (T Helper 1) / Sel Penolong T 2 (T Helper 2)
Berikut akan dibahas sekilas tentang sel-sel T yang berperan sebagai penghantar
imunitas yang dimediasi sel dalam respons imun adaptif yang digunakan untuk
mengontrol patogen intraseluler serta meregulasi respons sel B. Dalam proses ini
termasuk aktivasi sel imun lainnya dengan pelepasan sitokin.8
Terdapat 2 subset utama limfosit, yang dibedakan dengan keberadaan molekul
(petanda) permukaan CD4 dan CD8. Limfosit T yang mengekspresikan CD4 juga
dikenal sebagai sel T penolong, penghasil sitokin terbanyak. Subset ini dibagi lagi
menjadi Th1 dan Th2, dan sitokin yang dihasilkan disebut sebagai sitokin tipe Th1
dan sitokin tipe Th2. Sitokin tipe Th1 cenderung menghasilkan respons
proinflamatori yang bertanggung jawab terhadap killing parasit intraseluler dan
mengabadikan respons autoimun. Termasuk dalam sitokin tipe Th1 ini terutama
interferon gamma, selain interleukin-2, serta limfotoksin-α yang merangsang
imunitas tipe 1, ditandai aktivitas fagositik yang kuat. Respons proinflamatori
yang berlebihan akan mengakibatkan kerusakan jaringan yang tidak terkontrol.
Tubuh mempunyai suatu mekanisme untuk menetralkan aksi mikrobisidal
berlebih yang dimediasi Th1 ini, yaitu dengan respons Th2. Sitokin yang termasuk
dalam mekanisme Th2 ini adalah interleukin 4, 5, 9, dan 13, yang disertai IgE dan
respons eosinofilik dalam atopi, dan juga interleukin-10, dengan respons yang
lebih bersifat anti-inflamatori. Imunitas tipe 2 yang distimulasi Th2 ditandai
dengan kadar antibodi tinggi.9,10
Bagi kebanyakan infeksi, imunitas tipe 1 bersifat protektif, sedang respons tipe 2
membantu resolusi inflamasi yang dimediasi sel. Stres sistemik yang berat,
imunosupresi, atau inokulasi mikrobial yang berlebihan (overwhelming)
mengakibatkan sistem imun meningkatkan respons tipe 2 terhadap infeksi yang
seyogyanya dikendalikan oleh imunitas tipe 1.9
Apakah prekursor sel-T penolong akan menjadi sel tipe 1 atau tipe 2 tergantung
pada beberapa faktor, yaitu yang dipandang dari sudut patogen seperti sifat dan
kuantitas patogen, route infeksi, pengaruh komponen imunomodulator serta
infeksi bersamaan, serta faktor pejamu termasuk predisposisi genetik, jumlah sel-
T yang merespon, kompleks histokompatiliti mayor haplotype individu, sifat sel
yang mempresentasikan antigen, serta lingkungan sitokin sel-T selama dan pasca
aktivasi.11,12
5
Cytokine-Signaling pada Respons Imun
Sitokin diproduksi selama aktivasi imunitas innate dan didapat (adaptif),
dan merupakan alat komunikasi antar sel yang prinsipiil tentang adanya invasi
bakteri. Sitokin yang memulai repons inflamatori dan menentukan besaran serta
sifat respons imun yang didapat. Pada penderita sakit berat respons terhadap injuri
/ patogen yang mengadakan invasi sebagian besar tergantung pada pola sitokin
yang diproduksi. Respons imun bervariasi dari respons proinflamatori yang hebat,
ditandai dengan meningkatnya produksi TNF-α, interleukin-1, interferon-γ, dan,
IL-12, sampai keadaan anergi, ditandai peningkatan produksi sitokin Th2, seperti
IL-10 dan IL-4.
Regulasi cytokine signaling pada respons imun dapat diringkas sebagai
berikut:
Gb.2. Regulasi cytokine signaling pada respons imun. (Dikutip dari : Oberholzer
A, Oberholzer C, Moldawer LL. Cytokine signaling—regulation of the immune
response in normal and critically ill states Crit Care Med 2000(4);28: 3-12)
Respons imun spesifik diklasifikasikan berdasar komponen sistem imun yang
memediasi: imunitas humoral dimediasi limfosit B, dan imunitas dimediasi sel
terutama dimediasi limfosit T. Selanjutnya sel T efektor dibagi menjadi sel T
sitotoksik (CD8+) atau sel T helper (CD4+). Sel CD8+ melakukan killing terhadap
sel sasaran (target) yang terinfeksi dengan cara melepas lytic granula (perforin,
granzymes) atau dengan cara induksi produksi (FasL) atau TNF-α, yang melalui
ikatan dengan reseptornya memulai suatu kaskade bunuh diri sel menuju
apoptosis sel sasaran. Sel-sel CD4+ dapat berdiferensiasi menjadi 2 tipe sel
efektor: Th1 dan Th2, tergantung pada pola pelepasan sitokin. Sel Th2
mengsekresi IL-4, IL-5, dan IL-10, kesemuanya mengaktivasi proliferasi sel B
serta memacu respons imun humoral. Di sisi lain sel Th1 mengsekresi IFN-γ,
yang merupakan sitokin macrophage-activating primer.13
6
INFEKSI BAKTERI INTRASELULER
Bagaimana pejamu merespons terhadap patogen intraseluler antara lain tergantung
pada lokasi bermukimnya patogen tersebut. Setelah terjadi fagositosis oleh
makrofag, bakteri berada dalam fagosom, namun kejadian selanjutnya tergantung
pada strategi untuk mempertahankan hidup bagi bakteri masing-masing.
Penyesuaian aktivasi sel pejamu yang diinduksi oleh efek mikrobisidal dapat
berakibat bakteri intraseluler bertahan hidup atau mati. Berbagai imunomodulator,
yaitu sitokin, dapat meningkatkan kemampuan antimikrobial fagosit, sehingga
pembersihan bakteri intraseluler tejadi secara efisien dan cepat. Dalam hal bakteri
tidak mempunyai mekanisme survival, fagosom yang mengandung bakteri akan
mengadakan fusi dengan kompartemen lisosom, dan bakteri dicerna dalam waktu
15-30 menit. Berbagai bakteri memiliki strategi yang berbeda-beda untuk
memagari diri terhadap intracellular killing oleh fagosit yang tidak teraktivasi
(resting phagocytes). Patogen dapat mengadakan replikasi dalam sitoplasma
(cytosolic pathogens), termasuk di sini adalah Listeria. Selain itu terdapat patogen
yang berada dalam endosom (endosomal pathogens), seperti Legionella
pneumophila, Mycobacterium tuberculosis, Salmonella typhimurium, Listeria
monocytogenes.14,15
Intracellular Killing
Aktivitas antimikrobial fagosit dimediasi oleh mediator-mediator yang bervariasi
secara luas, dan dapat dikelompokkan dalam mekanisme oksidatif dan non-
oksidatif. Mekanisme oksidatif dimediasi oleh produksi reactive oxygen
intermediates (ROIs) dan reactive nitrogen intermediates (RNIs). Produksi ROIs
dan RNIs membekali fagosit dengan aktivitas sitostatik atau sitotoksik terhadap
virus, bakteri, jamur, cacing, dan sel tumor. Dalam mekanisme non-oksidatif
termasuk asidifikasi fagosomal, perampasan nutrien (nutritional deprivation ) dan
perlakuan polipeptida mikrobisid (hidrolase lisosomal dan defensin). Jalur
oksidatif dan non-oksidatif ini dapat berjalan sendiri-sendiri atau bersamaan demi
terwujudnya suatu lingkungan yang tidak menunjang bagi kehidupan patogen
selanjutnya. Fagosit harus diaktivasi, sedikitnya oleh sitokin, agar dapat
mengekspresikan satu atau lebih di antara mediator-mediator tersebut untuk
mengendalikan infeksi intraseluler.16
Berbagai sitokin dan faktor-faktor terlarut yang dimediasi sitokin memegang
peran penting dalam mengendalikan atau membunuh patogen intraseluler oleh
fagosit, dalam pertahanan dini pejamu.
Cara kerja sitokin pada lalu lintas bakteri intraseluler belum diketahui dengan
jelas. Sitokin-sitokin tertentu dapat menyebabkan Listeria monocytogenes,
Mycobacterium avium, Legionella pneumophila, dan Chlamydia spp tidak dapat
lolos dari sasaran dalam lisosom.17,18 Sebagai contoh, interferon-γ menghalangi L.
monocytogenes untuk melarikan diri ke dalam
7
sitosol dan mengurung bakteri dalam vakuol fagosom yang asidik,17 sehingga
menjadi lebih sensitif terhadap efek toksik ROIs dan RNIs. Interferon-γ juga
mempercepat pematangan sepenuhnya fagosom yang mengandung M. avium, dan
L. pneumophila dan fusinya dengan lisosom. Ini terjadi melalui asidifikasi
fagosom, yang berhubungan dengan peningkatan proton ATP-ase dalam fagosom,
sehingga dapat membunuh bakteri lebih banyak.
Produk respiratory burst dan nitric oxide (NO) memegang peran penting
dalam proses mikrobisidal oksidatif dan sitosidal dalam sel-sel fagositik. Jumlah
produk oksigen toksik dan NO yang dibebaskan oleh sel-sel fagositik tergantung
pada derajat diferensiasi sel dan sifat rangsangan yang diberikan. Pada umumnya
sitokin Th1 menyesuaikan respiratory burst dalam monosit, makrofag, dan
neutrophil secara positif, sedang sitokin Th2 sebaliknya.
Interferon-γ (profil Th1) meningkatkan oxidative burst dan produksi NO oleh sel-
sel fagositik, serta mempunyai peran dalam membunuh patogen intraseluler
melalui produksi ROIs dan RNIs yang toksik. Sebagai contoh, produksi ROIs
yang diinduksi oleh interferon-γ, oleh berbagai makrofag dan jajaran sel makrofag
berperan serta dalam membunuh Listeria monocytogenes,17,19 Leishmania
infantum, Penicillium marneffei, dan Candida albicans. Produksi NO yang
diinduksi interferon-γ, oleh fagosit dan sel fagosit non-profesional bersifat
mikrobisidal terhadap Listeria monocytogenes,17-19 Brucella spp, Pneumocystis
carinii, Bordetella pertussis,20 Rickettsia prowazekii, Mycobacterium avium,
Pseudomonas aeruginosa, serta patogen fungi.
Sitokin lain seperti TNF-α,(19) IL-12,(10) TNF-β,(21) IL-21, granulocyte
colony- stimulating factor dan granulocyte-macrophage colony- stimulating
factor dapat meningkatkan kadar produk oksigen reaktif dan NO yang dilepaskan
oleh sel-sel fagositik.
Di sisi lain, sitokin Th2 memegang peran penting dalam supresi oxidative burst
dalam fagosit, sehingga menunjang pertumbuhan patogen dalam sel serta
patogenesis penyakit infeksi. Sebagai contoh, IL-4 menghambat produksi anion
hidrogen peroksida dan superoksida dalam monosit (yang telah diaktivasi dengan
IFN-γ atau TNF-α), dan menekan aktivitas antifungal lekosit mononuklear
terhadap Candida albicans. Interleukin-4 dan IL-13 meningkatkan fagositosis
yang dimediasi reseptor mannose,14 mekanisme yang dianut patogen untuk
menyelamatkan diri dari ancaman intracellular killing. Interleukin-10 merupakan
sitokin lain yang meniadakan aktivasi makrofag, menghambat pembebasan
hidrogen peroksida, mengurangi imunitas antimycobacterial dan antilisterial,
meningkatkan pertumbuhan Legionella pneumophila dalam fagosit manusia dan
membalik efek protektif interferon-γ terhadap patogen ini. Interleukin-10 juga
menekan aktivitas bakterisidal monosit manusia terhadap Staphylococcus aureus
dan C. albicans. Sitokin penghambat tersebut penting karena mengurangi
oxidative burst agar jaringan normal terlindung dari kerusakan yang disebabkan
ROIs serta RNIs yang toksik, namun dapat pula meningkatkan replikasi bakteri.
8
Intracellular killing patogen intraseluler dengan mekanisme perampasan
nutrien antara lain adalah cara pengosongan asam amino esensial dan zat besi,
yang diinduksi oleh sitokin. Ini merupakan cara efisien bagi fagosit untuk
mengendalikan serta membunuh patogen. Dengan demikian sel-sel yang
diaktivasi menghambat replikasi Chlamydia psittaci, Chlamydia pneumoniae (22)
dan enterococci dengan cara menginduksi katabolisme triptofan melalui
indolamin-2,3-dioxygenase.
Pengosongan triptofan dalam makrofag secara aktivasi interferon-γ dan TNF-α
juga menghambat pertumbuhan Streptokokus grup B. Dengan suplementasi
triptofan tidak terjadi hambatan pertumbuhan bakteri. Pembunuhan yang
dimediasi interferon-γ terhadap Bordetella pertussis oleh makrofag alveolar,
terjadi sedikitnya sebagian melalui induksi tryptophan-degrading enzymes dan
pengosongan zat besi.20 Makrofag manusia yang telah diaktivasi interferon
membunuh Legionella pneumophila, antara lain dengan cara meregulasi ke bawah
(downregulate) reseptor transferrin, sehingga menurunkan kemampuan zat besi
dalam sel yang dibutuhkan untuk pertumbuhan Legionella spp. Efek listerisidal
juga berkaitan dengan kadar zat besi dalam makrofag.15
Defensin, protein yang sudah kodratnya bersifat antimikrobial (natural
antimicrobial protein), merupakan peptida kationik kecil dengan aktivitas anti-
bakteri luas. Terdapat 2 kelas, α dan β, berperan dalam pertahanan tubuh antara
lain dengan cara mematahkan struktur atau fungsi membran sitoplasma mikroba.
Biasanya defensin diinduksi oleh sitokin dalam respons terhadap infeksi atau
inflamasi, interleukin-1β, interferon-γ, dan TNF-α. Defensin mempunyai aktivitas
antimikrobial pada bakteri Escherichia coli, Salmonella typhimurium,
Staphylococcus aureus, Yersinia enterocolitica, Candida albicans, jamur serta
virus bersampul.23
Survival Bakteri Intraseluler
Di antara bakteria intraseluler, obligatori dan fakultatif, banyak yang lambat laun
memiliki mekanisme untuk menghindari atau melawan efek mikrobisidal fagosit,
sehingga dapat bertahan hidup di dalamnya. Mekanisme resistensi bakteri
terhadap intracellular killing bermacam-macam, antara lain dengan mengsekresi
eksotoksin yang membunuh fagosit dan membantu melawan atau mencegah
fagositosis.24,25 Bakteria tertentu dapat memodifikasi intracellular endocytic traffic
yang mentargetkan bakteri pada destruksi fagolisosomal, untuk selanjutnya
bermukim dalam fagosit profesional. Patogen yang memiliki pore-forming
cytolysins dapat melarikan diri dari fagosom, dan terdapat patogen yang
mengadakan replikasi dalam fagosom yang tidak diasamkan (nonacidified), serta
terlindung dari fusi dengan lisosom pada fagosit tidak teraktivasi (non-activated
phagocytes). Bakteria fagolisosomal tertentu menyesuaikan untuk melawan
aktivitas antimikrobial hydrolase serta
9
keasaman (pH) yang rendah dalam lisosom.16 Bakteri tertentu mampu menekan
produksi metabolit sitotoksik sel fagosit, sedang bakteri lain dilengkapi dengan
protein antioksidan sehingga dapat melawan efek ROIs dan RNIs , selanjutnya
mengganjal fungsi antimikrobial fagosit. Mekanisme lain dengan menghambat
produksi sitokin inflamatori yang terkait dengan pembersihan patogen, atau
menginduksi produksi sitokin imunoregulatori seperti interleukin-10 sehingga
terjadi deaktivasi fagosit.26 Bakteri dapat pula meningkatkan survival dengan
mengubah ekspresi gen.16
Atas dasar fakta-fakta tersebut, dalam keadaan tertentu pejamu tidak mampu
mengendalikan atau mengeradikasi agen infeksi, meskipun terdapat respons imun
yang efisien. Diperlukan antibiotik, terutama yang dapat bekerjasama dengan
imunitas adaptif maupun non-adaptif.
PEMILIHAN ANTIMIKROBA PADA INFEKSI BAKTERI
INTRASELULER
Pengobatan infeksi bakteri intraseluler merupakan tantangan dipandang dari segi
medis dan ekonomi. Patogen yang berkembang dan mempertahankan diri dalam
sel, sedikit banyak terlindung dari pertahanan tubuh humoral dan seluler, bahkan
demikian pula halnya terhadap antibiotik. Kesemuanya ini dapat menerangkan
mengapa bakteri intraseluler tidak hanya merugikan bagi sel pejamu, namun juga
merupakan reservoir bagi terulangnya infeksi dan terjadinya re-infeksi. Oleh
karena dampak antibiotik pada bakteri intraseluler tidak dapat dicapai secara
maksimal, hal ini akan menunjang terjadinya mutan yang resisten. Pertimbangan-
pertimbangan ini menekankan betapa pentingnya memahami apakah antibiotik
dapat bekerja dan seberapa jauh efek tersebut pada bakteri intraseluler, parameter
farmakokinetik serta farmakodinamik mana yang diperlukan untuk menunjang
kerja antibiotik, serta atas dasar kesemuanya bagaimana pemberian kemoterapi
yang lebih baik.28 Perlu diingat pula bahwa pada anak variasi yang luas dalam hal
usia dan tingkat perkembangan berhubungan erat dengan farmakokinetik serta
farmakodinamik antibiotik.29 Hanya kadar antibiotik bebas dalam jaringan pada
daerah target, biasanya lebih rendah dari kadar plasma total, yang menentukan
outcome klinik terapi anti-infeksi.30
Mekanisme Kerja Antimikroba
Antibiotika yang termasuk dalam masing-masing pengelompokan menurut
mekanisme kerja ini adalah sebagai berikut: sebagai inhibitor terhadap sintesis
dinding sel adalah penisilin dan sefalosporin, yang mempunyai struktur sama.
Yang tidak sama strukturnya adalah kelompok cycloserin, vancomycin, bacitracin,
antifungus azole (miconazole, ketoconazole, clotrimazole). Antibiotika yang
langsung bekerja pada membran sel mikroba, cenderung mempengaruhi
permeabilitas serta mengakibatkan kebocoran isi sel adalah detergen, polymyxin,
antifungus polyene yaitu nystatin dan amphotericin B, yang
10
mengikat sterol dinding sel. Dalam kelompok yang mempengaruhi sintesis
ribonukleat dibagi menjadi dua, yaitu yang mempengaruhi fungsi subunit
ribosome 30 S atau 50 S dengan akibat hambatan pada sinesis protein yang
reversibel (kloramfenikol, tetrasiklin, eritromisin, dan klindamisin,
pristinamycin), serta yang mengikat subunit ribosome 30 S dan merubah sintesis
protein, bahkan dapat berakibat kematian sel (aminoglikosida). Antibiotik yang
mempengaruhi metabolisme asam nukleat adalah rifamycin (misalnya rifampin),
yang menghambat RNA polymerase, dan quinolone, yang menghambat
topoisomerase. Kelompok antimetabolit adalah trimethoprim dan sulfonamid,
yang memblokir ensim esensial bagi metabolisme folat. Dalam kelompok
antivirus termasuk analog asam nukleat adalah acyclovir dan ganciclovir, yang
selektif menghambat DNA polymerase virus, zidovudin atau lamivudine, yang
menghambat reverse transcriptase, serta nonnucleoside reverse transcriptase
inhibitors, seperti nevirapine atau efavirenz, dan inhibitor ensim virus lain
misalnya inhibitor HIV protease atau influenza neuraminidase.31
Pengamatan bahwa antibiotik tertentu mempunyai efek bakterisidal tinggi dalam
sistem aseluler, namun bila diterapkan pada bakteri intraseluler kemampuan
membunuhnya sangat rendah, membuat para peneliti bertanya-tanya apakah
mediator respons imun dapat bekerja sama dengan antibiotik demi tercapainya
pembersihan infeksi intraseluler secara cepat. Dalam konsep ini, sitokin dapat
memperbaiki efek bakterisidal intrinsik antibiotik.
Aktivitas Intrafagositik Antibiotik
Antibiotik harus bisa mencapai dan berikatan dengan organ target, agar dapat
melakukan aktivitas kemoterapi; kontak antara bakteri dan antibiotik merupakan
prasyarat. Dari sisi aktivitas terhadap patogen intraseluler, antibiotik tergantung
pada kemampuannya untuk masuk dan berakumulasi dalam sel fagositik mencapai
kadar yang cukup tinggi (melebihi kadar hambat minimal -minimal inhibitory
concentration-). Dari hasil studi farmakokinetik seluler antibiotik berbeda dalam
cara pengambilan oleh sel (cellular uptake), kadar dalam sel, dan distribusi
subseluler. Selain itu, dalam pemilihan penggunaan antibiotik intraseluler perlu
diperhatikan pula faktor influx dan efflux, respons bakterial, serta kerjasama
dengan pertahanan tubuh.32
Antibiotik β-lactam dan aminoglikosida mempunyai efek bakterisidal yang kuat
terhadap bakteria ekstraseluler yang sensitif, tetapi efek bakterisidal intraseluler
rendah. Hal ini erat hubungannya dengan cellular uptake yang lemah dan lambat.
Antibiotik β-lactam tidak berakumulasi dalam fagosit, mungkin disebabkan oleh
sifatnya yang asam.33 Sebaliknya, makrolide seperti azithromycin dan
clarithromycin terasingkan (sequestered) dalam leukosit, sehingga terdapat pada
tempat infeksi dalam kadar yang tinggi, melebihi kadar dalam serum. Makrolide
mempertahankan kadar terapeutik pasca pemberhentian pengobatan. Obat-obat ini
11
secara efisien membunuh patogen berbeda-beda seperti Salmonella, Legionella,
dan Listeria.17,34 Fluoroquinolon seperti ofloxacin, ciprofloxacin, sparfloxacin dan
levofloxacin terpusat dalam sel fagositik dan secara efisien membunuh bakteria
intraseluler yang tinggal di kompartemen subseluler tertentu. 17,34 Seiring dengan
efek bakterisidal, antibiotik dapat pula mengatur fungsi fagositik. Meskipun
antibiotik tertentu (misalnya aminoglikosida) dapat bersifat toksik bagi sel pada
kadar yang tinggi, antibiotik yang lain (misalnya makrolide) dapat mengatur ke
bawah (downregulate) respons anti-inflamatori, sehingga pada pejamu terjadi
mekanisme pertahanan terhadap injuri.35 Oleh karena itu digunakan strategi yang
berbeda, keduanya untuk meningkatkan efek antimikrobial antibiotik serta
mengurangi efek sitotoksiknya. Jadi, dengan menyelimuti (encapsulate) antibiotik
seperti ampisilin di dalam liposom yang sensitif terhadap keasaman (pH-sensitive)
akan meningkatkan pengambilan ke dalam sel (cellular uptake) serta efek
bakterisidalnya di dalam sel. Pendekatan ini juga digunakan untuk mentargetkan
gentamisin ke dalam sitosol , sebagai pilihan terhadap lisosom, untuk mengurangi
efek toksik dan meningkatkan aktivitas bakterisidal, terutama ditujukan untuk
patogen sitosolik.36
Minat untuk mendalami pengobatan infeksi intraseluler lebih dipusatkan pada
kerjasama antara sitokin dan antibiotik. Bentuk pengobatan seperti ini diharapkan
dapat memperpendek lama pemberian antibiotik dan mencegah timbulnya
resistensi obat.
Pemilihan antibiotik intraseluler pada anak harus selalu memperhatikan faktor
umur serta perkembangan anak, disamping farmakokinetik dan
farmakodinamiknya yang merupakan kunci untuk menentukan efikasi
antimikroba yang diseleksi. Antibiotik intraseluler yang dapat diberikan kepada
anak adalah penisilin, aminopenisilin (ampisilin, amoksisilin), ampisilin-
sulbaktam, amoksisilin-clavulanate, sefalosporin generasi ke tiga (seftriakson,
sefotaksim, seftazidim), dan sefalosporin generasi ke empat (sefepim) yang
kesemuanya termasuk kelompok β-lactam. Selain itu macrolide (eritromisin,
azithromisin, clarithromisin), dan aminoglikosida juga bermanfaat pada infeksi
bakteri intraseluler.28,29 Meskipun fluoroquinolone terbukti mempunyai aktivitas
antibiotik intraseluler kuat, namun penggunaan pada anak masih terbatas terutama
pada penderita dengan cystic fibrosis.29 Peneliti lain mengamati pemberian
gatifloksasin untuk pengobatan otitis media akuta pada kelompok anak usia 6
bulan-7 tahun dan 6 bulan-4 tahun. Meskipun hasil yang dicapai cukup
menggembirakan belum terdapat persetujuan Food and Drug Administration
mengenai penggunaan fluoroquinolon pada anak.37
Dipandang dari sudut farmakodinamik seluler antibiotik β-lactam
mempunyai cara kerja lambat dan tidak tergantung pada kadar obat, namun
menjadi efektif bila terjadi kontak lama. Lokalisasi antibiotik subseluler terutama
dalam sitosol. Sebaliknya fluoro-quinolone intraseluler bekerja cepat dengan cara
tergantung pada kadar obat. Fluoroquinolone juga
12
terdapat dalam sitosol.28 Aminoglikosida mempunyai uptake lambat,sehingga
memerlukan waktu pengobatan lama. Di samping kadar obat, waktu merupakan
parameter penting. Efek bakterisidal tergantung kadar puncak yang adekuat. 29
Efek aminoglikosida dapat menurun karena suasana asam di dalam fagolisosom. 28
Berbeda dengan antibiotik β-lactam, hampir dalam setiap sel terjadi akumulasi
makrolide. Makrolide mempunyai uptake dan efflux cepat, kecuali azithromisin,
yang terikat pada struktur sel, terutama phospholipid. Lokalisasi antibiotik
makrolide subseluler dua per tiganya terdapat dalam lisosom, sepertiganya dalam
sitosol.28
PUSTAKA

1. Male DK, Roitt IM. Introduction to the Immune System. Dalam: Roitt IM,
Brostoff J, Male DK eds. Immunology 3rd Ed. London, Mosby-Year Book
Europe Ltd; 1993: 1.1-1.12

2. Goldman AS. Host responses to infection. Pediatrics in Rev 2000; 21(10):


342-9

3. Male DK, Roitt IM. Introduction to the Immune System. Dalam: Roitt IM,
Brostoff J, Male DK eds. Immunology 3rd Ed. London, Mosby-Year Book
Europe Ltd; 1993: 1.1-1.12

4. Sonveaux E, Tulkens PM, Van Bambeke F, Happaerts TH, et al.


Chemotherapy of the intracellular infection. http://www.facm.ucl.ac.be/
intracellular_chemotherapy.htm diakses 29/10/2004

5. Peterson JW. Bacterial pathogenesis. Dalam: Baron S ed. Medical


Microbiology 4th edition. http://gsbs.utmb.edu/microbook/ch007.htm
diakses 27/10/2004

13
6. Gray D, Springer T. Host Defense Against Infection. dalam: Janeway CA,
Travers P eds. Immunobiology. The Immune System In Health And
Disease. London, Current Biology Ltd. Garland Publishing Inc. 1994: 9.1-
9.49

7. Karp G ed. The Immune Response. Cell and Molecular Biology 2 nd ed. New
York, John Wiley & Sons, Inc; 1999: 733-67

8. Uzel G, Holland SV. Primary immune deficiencies: Presentation, Diagnosis,


and Management. Th1 T-cell and monocyte defects. Pediatr Clin North
Amer 2000; 47(6): 110-21

9. Spellberg B, Edwards JE, Jr. Type 1/ Type 2 Immunity in Infectious


Diseases Clin Infect Dis 2001; 32: 76-102. Abstrak

10. Berger A. Science commentary: Th1 and Th2 responses: what are they?
BMJ 2000; 321: 424

11. Nahid I, Bretscher PA. The Th1/Th2 Nature of Concurrent Immune


Responses to Unrelated Antigens Can Be Independent. J Immunol 1999;
163: 4842-50

12. Power CA. Factors that influence T helper cell response to infection.
Current Opin Inf Dis 2000; 13: 209-13

13. Oberholzer A, Oberholzer C, Moldawer LL. Cytokine signaling—


regulation of the immune response in normal and critically ill states Crit
Care Med 2000(4);28: 3-12

14. Davies DH, Halablab MA, Clarke J. eds. The Immune System. Infection
and Immunity London, Taylor & Francis Ltd 1999: 1-31

15. Ouadrhiri Y, Sibille Y. Phagocytosis and killing of intracellular pathogens:


Interaction between cytokines and antibiotiks. Curr Opin Infect Dis 2000;
13(3): 233-45 kutipan

16. Ernst RK, Guinea T, Miller SI. How intracellular bacteria survive: surface
modification that promotes resistance to host innate immune response. J
Infect Dis 1999; 179: 326-30

17. Ouadrhiri Y, Scorneaux B, Sibille Y, Tulkens PM. Mechanism of


intracellular killing and modulation of antibiotik susceptibility of Listeria
monocytogenes in THP-1 macrophages activated by gamma interferon.
Antimicrob Agents Chemother 1999; 43: 1242-51

18. Ouadrhiri Y, Sibille Y, Tulkens PM. Modulation of intracellular growth of


Listeria monocytogenes in human enterocyte Caco-2 cells by interferon-γ
and interleukin-6: role of nitric oxide and cooperation with antibiotiks. J
Infect Dis 1999; 180: 1195-1204 Abstrak

19. Muller M, Althaus R, Frohlish D, Frei K, Eugster HP. Reduced antilisterial


activity of TNF-deficient bone marrow- derived macrophages is due to
impaired superoxide production. Eur J Immunol 1999; 29: 3089-97
Abstrak

20. Mahon BP, Mills KH. Interferon gamma mediated immune effector
mechanisms against Bordetella pertussis Immunol Lett 1999; 68: 213-17

21. Matsushima H, Shirai S, Ouchi K, Yamashita K, et al. T lymphotoxin


inhibits Chlamydia pneumoniae growth in Hep-2 cells. Infect Immun
1999; 67: 3175-9

22. Hammerschlag MR. The intracellular life of chlamydiae. Seminars in


Pediatric Infectious Diseases 2002;13(4):

23. Rook G. Immunity to Viruses, Bacteria and Fungi. dalam: Roitt IM,
Brostoff J, Male DK eds. Immunology 3rd Ed. London, Mosby-Year Book
Europe Ltd; 1993: 15.1-15.22

24. Kuo CF, Wu JJ, Tsal PJ, Lei HY, Lin MT, Lin YS. Streptococcal pyrogenic
exotoxin B induces apoptosis and reduces phagocyrtic activity in U937
cells. Infect Immun 1999; 67: 126-30

25. Visser LJ, Seymonsbergen E, Nibbering PH, Van den Broek PJ, Vn Furth
R. Yops of Yersinia enterocolitica inhibit receptor –dependent superoxide
anion production by human granulocytes. Infect Immun 1999; 67: 1245-50

26. Jiang Y, Magli L, Russo M. Bacterium-dependent induction of cytokines in


mononuclear cells and their pathologic consequences in vivo. Infect
Immun 1999; 67: 2125-30

27. Kumar: Robbins and Cotran: Pathologic Basis of Disease, 7th ed.,
Copyright © 2005 Elsevier Bookmark URL:
http://www.das/book/view/41912150-4/1249/79.html/top diakses
27/10/2004

28. Carryn S, Chanteux H, Seral C, Mingeot-Leclercq MP, Van Bambeke F,


Tulkens PM. Intracellular pharmacodynamics of antibiotiks. Inf Dis Clin N
Am 2003;17(3):615-34

29. Bowlware KL, Stull T. Antibacterial agents in pediatrics. Infect Dis Clin N
Am 2004;18:513-31

30. Liu P, Derendorf H. Antimicrobial tissue concentrations. Inf Dis Clin N


Am 2003;17:599-613
31. Chambers HF, Sande MA. Chemotherapy of Microbial Diseases.
Antimicrobial Agents. dalam: Hardman JG, Gilman AG, Limbird LE eds.
Goodman & Gilman’s The Pharmacological Basis of Therapeutics 10th ed.
New York, Mc Graw-Hill; 2001:1143-1170

32. Tulkens PM. Intracellular Antibiotiks: what does it (really) mean? 2d


meeting of the Australian Society of Antimicrobials, Melbourne, Victoria,
April 6th, 2001

33. Renard C, Vanderhaeghe HJ, Claes PJ, Zenebergh A, Tulkens PM.


Influence of conversion of Penicillin G into a basic derivative on its
accumulation and subcellular localization in cultured
macrophagesAntimocrob Agents Chemother 1987 ; 31(3): 410-6 Abstrak

34. Scorneaux B, Ouadrhriri Y, Anzalone G, Tulkens PM. Effect of


Recombinant human gamma interferon on intracellular activities of
antibiotiks against Listeria monocytogenes in the human macrophage cell
line THP-1. Antimicrob Agents Chemother 1996; 40: 1225-30

35. Ianaro A, Ialenti A, Maffia P, Sautebin L, et al. Anti-inflammatory activity


of macrolide antibiotiks. J Pharmacol Exp Ther 2000; 292:156-63

14
36. Lutwyche P, Cordeiro C, Wiseman DJ, St-Louis M, et al. Intracellular
delivery and antibacterial properties activity of gentamycin encapsulated in
pH-sensitive liposomes. Antimicrob Agents Chemother 1998; 42:2511-20

37. O’Donnell JA, Gelone SP. The newer fluoroquinolones. Infect Dis Clin N
Am 2004; 18:691-716

You might also like