You are on page 1of 1

Kepailitan pada sebuah perusahaan berdampak terhadap hubungan kerja antara

pekerja dengan pengusaha dan dapat menimbulkan akibat yang terjadi antara perusahaan
dengan karyaannya. Putusan terbaru No. 67/PUU-XI/2013, tanggal 11 September 2014.
Pekerja PT. Pertamina di dalam uji materi itu memohon supaya MK memberi penafsiran
terhadap frasa ‘didahukukan pembayarannya.’ Frasa dimaksud terdapat dalam Pasal 95 ayat
(4) UU tentang Ketenagakerjaan.
MK mengabulkan permohonan itu dengan membuat dua norma baru. Kalau
perusahaan diputus pailit, MK mengatakan bahwa Upah pekerja didahulukan
pembayarannya dari segala jenis tagihan dan kreditur-kreditur lainnya, termasuk dari kreditur
separatis dan tagihan pajak Negara dan Hak-hak pekerja lainnya dibayar lebih dahulu dari
segala macam tagihan dan kreditur-kreditur lainnya, kecuali jika debitor memiliki kreditur
separatis. MK memberi kedudukan berbeda terhadap upah dan hak-hak pekerja lainnya. Upah
ditempatkan pada posisi lebih utama dari pada hak-hak lainnya.
UU tentang Ketenagakerjaan tidak mengenal definisi hak-hak lainnya. Untuk
mengetahui apa saja yang disebut hak-hak lainnya dari pekerja, harus dikorelasikan dengan
pemutusan hubungan kerja (PHK). Ketika perusahaan diputus pailit, peristiwa yang lazim
terjadi adalah PHK. Pekerja yang di PHK bukan karena melakukan kesalahan, sesuai UU
Ketenagakerjaan, berhak memperoleh uang pesangon. Ketika pekerja di PHK, baik karena
alasan pailit maupun alasan lainnya, uang pesangon dihitung secara normatif, berpedoman
pada masa kerja, upah pokok, dan tunjangan tetap.

You might also like