You are on page 1of 33

BAB I

PENDAHULUAN

Thoraks adalah daerah pada tubuh manusia yang berada diantara leher dan
perut (abdomen). Thoraks dapat didefinisikan sebagai area yang dibatasi di superior
oleh thoracic inlet dan inferior oleh thoracic outlet, dengan batas luar adalah dinding
thoraks yang disusun oleh tulang-tulang vertebra thoracal, kosta dan sternum, serta
otot dan jaringan ikat. Pada rongga thoraks terdapat paru-paru dan mediastinum.
Mediastinum terletak diantara paru-paru kiri dan kanan dan merupakan daerah tempat
organ-organ penting thoraks selain paru-paru, yaitu: jantung, aorta, arteri pulmonalis,
vena kava, esofagus, trakea.[1]
Cedera toraks dapat meluas dari benjolan dan goresan yang relatif kecil
menjadi cedera yang dapat menghancurkan jaringan dan organ di bawahnya atau
terjadi trauma penetrasi. Cedera dapat berupa penetrasi atau tanpa penetrasi (tumpul).
Cedera toraks penetrasi mungkin disebabkan oleh luka terbuka yang memberi
kesempatan bagi udara atmosfir masuk ke permukaan pleura dan menganggu
mekanisme ventilasi normal. Cedera tersebut dapat menyebabkan kerusakan serius
bagi paru-paru, kavum pleura dan struktur toraks lainnya sehingga membatasi
kemampuan jantung untuk memompa darah atau kemampuan paru untuk pertukaran
udara dan oksigen darah[1]
Trauma thoraks adalah penyebab terbanyak dari mortalitas. Banyak pasien
dengan trauma thoraks meninggal setelah tiba di rumah sakit . Hipoksia, hiperkarbia
dan asidosis selalu muncul dikarenakan tauma thoraks. Hipoksia jaringan muncul
disebabkan karena inadekuat dari transfer oksigen kejaringan yang disebabkan karena
hipovolemik (kehilangan banyak darah), ventilasi pulmonal/ ketidakcocokan perfusi
(seperti kontusi, hematom, dan kolaps alveoli) dan yang berhubungan dengan
perubahan tekanan intrathoraks (seperti tension pneumothoraks dan pneumothoraks
terbuka). Hiperfusi ini mengarah ke asidosis metabolic. Hiperkarbia yang disebabkan

1
asidosis respiratori kadang banyak diikuti ventilasi yang inadekuat disebabkan oleh
perubahan yang berhubungan dengan tekanan intrathoraks dan penurunan dari level
kesadaran.[2]
Penilaian dan penanganan awal dari pasien dengan trauma thoraks terdiri dari
primary survey, resusitasi dari fungsi vital, secondary survey dan penanganan
defenitif. Karena hipoksia merupakan aspek yang serius dari trauma thoraks, tujuan
utama dari penanganan adalah mencegah dan memperbaiki hipoksia. Cedera yang
mengancam kehidupan harus ditangani secara cepat dan sedini mungkin. Kebanyakan
ancaman hidup cedera thoraks bisa ditangani degan mengontrol jalan nafas atau
pemasangan selang atau jarum thoraks (chest tube or needles) yang tepat. Secondary
survey dipengaruhi oleh riwayat cedera dan kecurigaan index tinggi untuk cedera
yang spesifik.[2]

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

1. Pengertian Trauma Thoraks


Cedera thoraks adalah luka atau cedera akibat benda tajam atau tumpul yang
mengenai rongga toraks dan dapat menyebabkan kerusakan baik dinding toraks
maupun isi kavum toraks yang berlanjut sebagai keadaan gawat thoraks akut.
Bahaya utama berhubungan dengan ceddera thoraks biasanya berupa perdarahan
dalam dan tusukan terhadap organ.[1]
Trauma thorax adalah luka atau cedera yang mengenai rongga thorax yang
dapat menyebabkan kerusakan pada dinding thoraks ataupun isi dari cavum
thoraks yang disebabkan oleh benda tajam atau benda tumpul dan dapat
menyebabkan keadaan gawat thorax akut.

2. Anatomi Thoraks[3]
Secara umum, thoraks merupakan bagian teratas batang tubuh yang terdiri
dari kavitas thoraks dan dinding thoraks yang membatasinya.
Thoracic cage (dinding thoraks)
Seperti yang telah disinggung di atas, dinding thoraks merupakan suatu
bangunan seperti sangkar yang membatasi kavitas thoraks yang ada di dalamnya,
selain itu, dinding thoraks juga berguna dalam :
 Mempertahankan tekanan negatif di dalam rongga dada oleh proses recoil
elastic saat inspirasi
 Perlekatan ekstrimitas atas
 Tempat origo otot – otot yang mepertahankan posisi tangan, leher dan lain
– lain
 Proteksi organ vital abdomen dan thorax, seperti lien yang terletak pada
VT9 – VT11

3
Saat inspirasi, bagian atas dinding dada naik ke atas, sedangkan bagian bawah
mengembang kearah lateral. Hal ini menyebabkan volum di dalam ruang dada
meningkat sehingga tekanannya menurun. Turunnya tekanan di dalam dinding
dada mengakibatkan udara dari luar yang tekanannya lebih besar dapat masuk ke
dalam rongga dada. Sebaliknya, pada saat ekspirasi, otot – otot pernapasan
mengalami relaksasi dan dinding dada kembali ke bentuk dan ukurannya yang
semula, hal ini mengakibatkan perubahan tekanan dan mendorong udara di dalam
keluar dari kavitas dada.

4
Thoracic cavity (rongga dada)
Rongga thorax di bagi menjadi 3 ruang kecil, yaitu rongga dada kanan yang
berisi paru kanan, rongga kiri yang berisi paru kiri dan pada bagian tengah
terdapat rongga yang disebut mediastinum yang diisi oleh trachea, esophagus,
bronkus, jantung, vasa, nervus dan nodus limfatikus yang melewatinya.
Mediastinum tersebut dibagi lagi menjadi :
1. Mediastinum superior
Berada di antara appertura thoracalis sup. Hingga ke garis imaginer
dari angulus sternalis – VT4. Mediastinum sup ditempati oleh thymus,
pembuluh besat seperti v.brachiocephalica, vena cava superior dan arcus
aorta, n.phrenicus dan n.vagus, plexus cardiacus, trachea, esophagus, duktus
thoracicus dan otot pravertebral.
2. Mediastinum inferior
Dibagi menjadi tiga ruang yang lebih kecil yaitu mediastinum anterior,
media dan posterior. Mediastinum anterior dan posterior tersebut di batasi
oleh yang media dimana berisi jantung dan pericardium. Jadi intinya, ruang
di depan jantung berarti mediastinum anterior dan yang dibelakangnya berarti
posterior.

5
Anatomi permukaan dada
 Jantung
o Batas :
o Atas : Kartilago costa 3 kanan – SIC 2 kiri pada linea sternalis
o Kanan : Kartilago kosta 3 – 6 kanan pada linea sternalis
o Bawah : Kartilago kosta 6 dx lin.sternalis – SIC 5 lin.Midclavicula kiri
o Kiri : SIC 5 lin.midclavicula kiri – SIC 2 lin.sternalis kiri
o Suara jantung :
o Aorta : SIC 2 lin.sternalis kanan
o Pulmonal : SIC 2 lin.Sternalis kiri
o Tricuspid : SIC 4 – 5 lin.Parasternalis kiri
o Mitral : SIC 5 lin.Midclavicula kiri
 Pleura
o Batas :
o Superior : di atas cartilago costae 1 dan clavicula
o Anterior : di atas sternum lin.mediana turun ke batas bawah
dan yang kiri mengikuti batas kiri jantung
o Inferior : ke pleura diafragma di atas costae VIII (midclav.),
X (mid axilla) dan XII (posterior).
 Paru
Saat akhir ekspirasi, batas paru beda 2 costae dengan pleura. Paru kanan
terdidir dari 3 lobus sedangkan yang kiri terdiri dari 2 lobus. Lobus – lobus
ini dipisahkan oleh fissure. Fisura oblique dimulai dari linea mediana setinggi
VT4 lalu ke lateral bawah sambil menyilang pada SIC 4 – 5 hingga ke costa
VI di post. Sedangkan fissure horizontal hanya terdapat di bagian anterior
paru kanan setinggi kosta IV.
o Suara paru :

6
o Apex : linea.midclavicula di atas clavicula/scapula
o Lobus superior : SIC2 sebelah medial dari lin.midclacicula /
SIC3 paravertebra
o Lobus medial : SIC4 lin.midclavicula
o Inferior : SIC6 lin.axillaris anterior / SIC8 paravertebra

7
3. Etiologi[4]
Pada trauma dada, penyebab cedera harus tentukan dahulu, kemudian baru
ditentukan macamnya, entah cedera tumpul atau cedera tajam. Trauma dada, yang
umumnya berupa trauma tumpul, kebanyakan disebabkan oleh kecelakan lalu

8
lintas. Trauma tajam terutama disebabkan oleh tikaman dan tembakan. Cedera
dada sering disertai dengan cedera perut, kepala dan ekstremitas sehingga
merupakan cedera majemuk.
Cedera dada yang memerlukan tindakan darurat adalah obstruksi jalan napas,
hemotoraks besar, temponade jantung, pneumotoraks desak, flail chest (dada
gail), pneumothoraks terbuka dan kebocoran udara trakea-bronkus. Semua
kelainan ini menyebabkan gawat dada akut yang analog dengan gawat perut akut,
dalam arti diagnosis harus ditegakkan secepat mungkin dan penanganan
dilakukan segera untuk mempertahankan pernapasan, ventilasi paru dan
perdarahan.

4. Mekanisme Trauma[1]
Mekanisme trauma toraks meliputi:
1. Akselerasi: kerusakan yang terjadi merupakan akibat langsung dari trauma.
Gaya perusak berbanding lurus dengan massa dan percepatan (akselerasi)
sesuai dengan hukum Newton II. Kerusakan yang terjadi juga bergantung
pada luas jaringan tubuh yang menerima gaya perusak dari trauma tersebut.
2. Deselerasi: kerusakan yang terjadi akibat mekanisme deselerasi jaringan.
Biasanya terjadi pada tubuh yang bergerak dan tiba-tiba terhenti akibat
trauma. Kerusakan yang terjadi oleh karena pada saat trauma organ-organ
dalam keadaan masih bergerak dan gaya yang merusak terjadi akibat
tumbukan pada dinding toraks/rongga tubuh lainnya atau oleh karena tarikan
dari jaringan pengikat organ tersebut.
3. Torsio dan rotasi: gaya torsio dan rotasi yang terjadi umumnya diakibatkan
oleh adanya deselerasi organ-organ dalam yang sebagian strukturnya memiliki
jaringan pengikat/terfiksasi.
4. Blast injury: kerusakan jaringan terjadi tanpa adanya kontak langsung dengan
penyebab trauma, sebagai contoh: ledakan kendaraan saat terjadi kecelakaan

9
lalu lintas (KLL). Gaya menrusak diterima oleh tubuh melalui penghantaran
gelombang energy.

5. Epidemiologi
Trauma thoraks adalah penyebab terbanyak dari mortalitas. Banyak pasien
dengan tauma thoraks meninggal setelah tiba di rumah sakit, bagaimanapun
jumlah kematian ini dapat dicegah engan diagnosis dan penatalaksanaan lebih
dini. Kurang dari 10 % cedera tumpul thoraks dan hanya 15% sampai 30% dari
cedera tajam thoraks membutuhkan tindakan operatif (seperti thorakoskopi atau
torakotomi). Kenyataannya, kebanyakan pasien yang mengalami trauma thoraks
bisa ditangani dengan kemampuan prosedur teknik dari klinisi yang
melakukannya dengan benar.[2]

6. Pemeriksaan[5]
Pada umumnya trauma tajam atau tembus thoraks berurusan dengan pihak
kepolisian atau hukum, oleh karena itu membuat laporan dalam status penyakit
harus baik dan lengkap, untuk mencegah hal-hal yang tidak diinginkan
dikemudian hari.
Penting pula untuk memperhatikan bukti-bukti yang mungkin ditemui.
Penting juga untuk menjaga baju penderita tetap utuh. Bila harus dikerjakan
operasi, laporan harus dibuat dengan baik dan lengkap.
Penanganan waktu pasien masuk:
1. Anamnesis yang lengkap dan cepat. Anamnesa termasuk dari pengantar yang
mungkin melihat kejadiannya. Yang ditanyakan:
a. Waktu kejadian
b. Tempat kejadian
c. Jenis senjata
d. Arah masuk dan keluarnya perlukaan

10
e. Bagaimana keadaan penderita selama dalam perjalanan menuju rumah
sakit
2. Pemeriksaan:
Harus cepat dan lengkap.
Baju penderita harus dibuka dan kalau mungkin seluruhnya.
Inspeksi:
a. Kalau mungkin penderita bisa duduk, kalau tidak mungkin dalam
posisi tidur. Tentukan luka masuk dan luka keluar.
b. Gerakan dan posisi pada akhir inspirasi gerakan simetris atau tidak.
c. Akhir dari ekspirasi
Palpasi:
a. Diraba ada atau tidaknya krepitasi
b. Nyeri tekan anteroposterior dan laterolateral
c. Banding fremitus kanan dan kiri
Perkusi:
a. Adanya sonor, timpanis atau hipersonor
b. Adanya pekak, dan batas antara yang pekak dan sonor seperti garis
lurus atau garis miring
Auskultasi:
a. Bandingkan bising napas kanan dan kiri
b. Bising napas melemah atau tidak
c. Bising napas hilang atau tidak
d. Batas antara bising napas melemah atau menghilang dengan normal
e. Bising napas abnormal dan sebutkan bila.
Pemeriksaan lainnya seperti pemeriksaan tekanan darah, jika perlu
pemasangan infus (jika diperlukan di dua tempat), pemeriksaan kesadaran,
pemeriksaan sirkulasi perifer, jika keadaan gawat lakukan pungsi, dan jika
perlu lakukan intubasi napas bantuan. Jika keadaan gawat darurat lakukan
massage jantung, kalau perlu trakeotomi, massage jantung internal.

11
3. Jika keadaan stabil dapat diminta pemeriksaan radiologik (foto thoraks). Bila
keadaan memungkinkan sebaiknya juga dilakukan foto PA.

7. Kegawatdaruratan Thoraks
a. Obstruksi Airway[6]
Sumbatan jalan napas adalah masalah yang dihadapi oleh semua
tenaga medis pada pasien yang mengalami penyakit sekitar thoraks. Sumbatan
jalan nafas bisa merupakan sebab dari berbagai macam proses penyakit dan
penyebab signifikan morbidities dan mortalitas. Bagaimana pun prevalensi
dari kasus ini tidak diketahui. Estimasi 20%-30% disebabkan karena
komplikasi penyakit kanker paru (atelectasis, pneumonia, dypnea, dll), 40%
karena penyakit locoregional dan bisa karena pemasangan intubasi enotrakeal
dan populasi usia lanjut.
Sumbatan jalan napas bisa disebabkan karena bermacam-macam
proses malignansi dan nonmalignansi. Jika sumbatan jalan napasnya ringan,
mungkin hanya memberi sedikit efek pada pernapasan dan akan
menampakkan gejala yang asimtomatik, seperti infeksi yang akan
menyebabkan pembengkakan mukosa dan produksi mucus, yang mungkin
bisa menyumbat lumen. Pada kondisi ini biasanya terjadi misdiagnosis
menjadi penyakit paru obstruktif kronik atau asma, kususnya karena gejala
seperti wheezing dan dyspnea meningkat dikarenakan terapi untuk menangani
infeksi.
Sumbatan jalan nafas atau airways obstruction terbagi menjadi 2, yaitu
total dan parsial. Sumbatan jalan nafas total, yaitu nafas tidak ada, gambaran
pasien tersedak dan sumbatan jalan nafas parsial, yaitu nafas masih ada, bunyi
nafas terhambat. Tanda dan gejala berkembang ketika sumbatan
mempengaruhi aliran udara yang menyebakan peningkatan kerja dari
pernapasan dan mengubah interaksi kardiopulmonari.

12
Alvin barach, pada 1935, mengatakan bahwa sensasi primer dari
kekurangan udara pada pasien dengan sumbatan jalan napas tidak
berhubungan dengan hipoksia atau hiperkapnea, tetapi lebih ke peningkatan
kerja paru untuk memenuhi kebutuhan udara kedalam dan keluar paru.
Walaupun wheezing mengindikasikan adanya penyempitan lubang udara,
tetapi lokasinya tidak selalu merupakan bagian dari obstruksi udara.
Wheezing terdengar jelas pada trakea bukan berarti mengindikasikan
sumbatan berada di trakea. Wheezing unilateral kadang mengindikasikan
adanya sumbatan pada distal karina. Persiten wheezing unilateral harus
diperiksa adanya obstruksi jalan napas fokal. Stridor menandakan adanya
sumbatan berat pada laring atau trakea. Pasien juga kadang mengalami tanda
yang kurang spesifik seperti dyspnea dan wheezing posisional. Sumbatan
karena perubahan anatomis, napas memendek dan wheezing tidak merespon
terhadap bronkodilator dan adanya tanda ini pada pasien berarti harus
dicurigai adalah sumbatan jalan napas.
Penegakan diagnostik biasanya dapat dilakukan menggunakan
radiografi. Seperti untuk mengetahui adanya deviasi jalur napas (lihat gambar)
bisa diidentifikasi. Bagaimanapun x-ray thoraks merupakan rencana awal
yang dilakukan untuk membantu diagnosis. Pemeriksaan standar
menggunakan CT scan dapat menambahkan lebih banyak informasi. Selain
itu, dapat juga digunakan bronkoskopi.

13
Penanganan awal untuk kasus ini adalah dengan memeriksa jalan nafas
dengan cara look, listen and feel. Posisikan kepala pasien head tilt, chinlift

14
and jaw trust maneuver. Jika detemukan sumbatan total yang dikenalkan
dengan istilah tersedak (chocking) dapat dilakukan tindakan:
a. Abdominal thust (maneuver hemlich) : dapat dilakukan pada posisi
duduk atau terlentang dengan cara memberikan tekanan pada ulu hati.
b. Back blow : tindakakn ini dilakukan untuk bayi dengan cara
memberikan hentakan keras pada bagian punggung diantara scapula.
c. Chest thrust : dikalukan pada bayi, anak yang gemuk dan wanita hamil
dengan cara menekan dada pasien pada bagian satu jari dibawah
pertengahan garis hayal kedua payudara.
Pada kasus sumbatan parsial seperti karena cairan dapat dilakukan
suction, dan bila karena lidah dapat dengan memposisikan kepala pasien
dengan benar, pemasangan orophringeal tube atau nasopharyngeal tube.
Pilihan tindakan lain yang dapat dilakukan pada kasus sumbatan jalan
nafas antara lain pemasangan endotrakeal tube, tindakan trakeostomi, dan
krikotitoidotomi (pada pasien yang mengalami trauma atau p-embengkakan
bagian wajah atau orofaringeal yang massif).
Banyak terapi lainnya yang dapat dilakukan antara lain pembebasan
jalan napas, elektrokauteri, argon plasma koagulasi (APC), terapi laser, terapi
fotodinamik, krioterapi, eksternal beam terapi dan brakiterapi, airay stents
serta reseksi bedah.

b. Pneumothoraks
Pneumothoraks timbul bila udara memasuki kavitas pleuralis potensial
serta memisahkan pleuralis visceral dan parietalis. Pneumothoraks bisa
spontan, seperti bila suatu bula, kista atau gelembung subpleurapecah. Sebab
lain yang mencakup trauma, baik yang disertai laserasi paru dengan alat tajam
atau dengan fraktur iga, rupture bronkus atau trakea, perforasi esofagus, atau
perforasi viskus abdomen dengan diseksi udara retroperitoneal.[7]

15
Pasien yang menderita pneumothoraks spontan biasanya dapat diterapi
non bedah pada episode pertama. Jika pneumothoraks kambuh, sekitar 60%
akan kambuh lagi, kecuali jika dilakukan sejumlah tindakan terapi. Senyawa
iritatif seperti tetrasiklin dapat disuntikkan kedalam kavitas pleuralis untuk
menimbulkan pleurodesis. Walaupun pleurektomi telah dianjurkan sebagai
terapi bedah, namun kebanyakan ahli bedah melakukan abrasi pleura, yang
lebih cepat, melibatkan lebih sedikit perdarahan dan diikuti oleh funsi paru
yang lebih baik. Pasien dengan respirator, tempat pneumothoraks timbul,
harus diterapi dengan torakostomi pipa, tanpa memandang ukuran kebocoran,
untuk mencegah tension pneumothoraks.[7]
Pneumotoraks dapat dikategorikan sebagain primer, sekunder,
iatrogenic atau trauma berdasarkan etiologi. Kadang,seorang individu
mengalami hemotoraks seiring terjadinya perdarahan karena pergeseran dari
pembuluh darah subpleural ketika paru kolaps.[8]
Primary spontaneous pneumothoraks terjadi lebih sering pada laki-laki
muda, tinggi, kurus dengan tanpa predisposisi penyakit paru atau riwayat
trauma toraks, walaupun rupture dari bula pada dasar subpleura kecil yang
bertanggung jawab pada banyak kasus (lihat gambar). Bagaimanapun,
kebiasaan merokok merupakan resiko terbesar terjadinya pneumothoraks lebih
dari sembilan kali. Penelitian mengatakan bahwa tingkat kejadian
pneumothoraks tidak menentu, walaupun kadang dilaporkan setiap tahun
sekitar 18-28 per 100.000 pada laki-laki dan 1,2-6 per 100.000 pada wanita.[8]

16
Secondary pneumothoraks terjadi ketika adanya abnormalitas pada
dasar paru. Banyak predisposisi yang menyebabkan terjadinya pneumothoraks
sekunder, walaupun penyakit paru obstruksi merupakan peenyebab paling
banyak.[8]
Pneumothoraks iatrogenic sering disebabkan karena pemasangan canul
melalui vena utama (subklavia lebih sering dibanding vena jugular), pleural
tap atau biopsy, biopsi transbronkial, fine needle aspiration biopsy (FNAB)
dan kadang biasanya disebabkan karena akupuntur. Pemberian obat secara
intravena melalui vena central juga memiliki resiko terjadinya pneumotoraks.
[8]

Tension pneumothoraks bisa terjadi karena banyak penyebab dan


diartikan sebagai semua bentuk dari pneumothoraks yang menyebabkan
mediastinal shift dan kolaps kardiovaskular. Individu yang mengalami

17
penyakit paru lanjut, walaupun pneumothoraks ringan bisa menyebabkan
kegagalan respirasi yang signifikan dan instabilitas cardiovascular.[8]

Tension pneumothoraks membutuhkan penanganan segera dengan


needle decompression dan mungkin harus dilakukan secepatnya dengan cara
memasukkan jarum yang berukuran panjang melalui spasium interkosta dua
pada linea midclavicula (lihat gambar)

Penanganan awal untuk pneumothoraks terbuka adalah menyelesaikan


dengan segera menutup defek dengan balutan oklusif yang steril (lihat
gambar). Penutupan luka harus cukup besar agar dapat menutupi semua sisi

18
luka dan kemudian fiksasi di ketiga sisi menggunakan plester. Luka ditutup
agar saat pasien bernafas, udara tidak masuk melalui luka. Salah satu sisi yang
tidak difiksasi berguna agar udara yang ada didalam paru bisa keluar. Bila
dilakukan fiksasi di semua sisi dapat menyebabkan akumulasi udara dalam
ruang intrapleura yang dapat berlanjut menjadi tension pneumothoraks.
Setelah itu surgical defenitif penutupan luka mungkin diperlukan.

Sangat mudah untuk mendiagnosis pneumothoraks termasuk


memikirkan kemungkinan diagnosis berdasarkan riwayat dan dan penemuan
pemeiksaan fisik. Paling sering pasien menglami nyeri pleuritik dan sesak.
Penemuan pada pemeriksaan tergantung ukuran dari pneumotoraks. Tanda
lainnya yang muncul termasuk penurunan bunyi nafas, penurunan ekspansi
paru ipsilateral dan didapatkan perkusi hipersonor. Pergeseran trakea dari arah
normal, takikardi, takipneu dan hipotensi terjadi pada tension pneumothoraks.
[8]

Manajemen dari pneumothoraks tergantung dari keparahan gejala,


ukuran, dan kemunculan penyakit paru. Radiografi thoraks kurang jelas jika
digunakan untuk menilai volume dari pneumotoraks, walaupun guideline
sebelumnya yang dipublikasi oleh British Thoracic Society menyarankan

19
ukuran dari pneumotoraks harus dikategorikan berdasarkan jumlah udara yang
tampak antara paru dan dinding dada:[8]
a. pneumothoraks kecil : < 2 cm ruang muncul antara paru dan dinding dada
b. pneumotoraks besar: ≥ 2 cm ruang muncul antara paru dan dinding dada.

c. Flail Chest dan kontusio Paru


Flail chest terjadi ketika segmen pada dinding dada tidak memiliki
kontinuitas dengan tulang lainnya pada tulang iga (lihat gambar). Kondisi ini
merupakan hasil dari trauma dengan fraktur multipel, dua atau lebih fraktur
tulang iga yang berdekatan pada dua atau lebih tempat.[2]

Kemunculan segmen flail chest merupakan hasil gangguan dari


pergerakan dinding dada. Walaupun instabilitas bisa mengarah ke pergerakan
berlawanan dari dinding dada selama ekspirasi dan inspirasi, defek ini sendiri
tidak menyebabkan hipoksia. Kesulitan mayor pada flail chest berasal dari
cedera paru yang mendasari (kontusio pulmonal). Jika cedera yang mendasar
pada paru signifikan, hipoksia yang serius bisa terjadi. Pergerakan dinding

20
dada yang terbatas berhubungan dengan nyeri dan cedera pasru merupakan
penyebab dari hipoksia.[2]
Penatalaksanaan awal pada kasus flail chest termasuk ventilasi yang
adekuat, pemberian oksigen dan cairan resusitasi. Tidak adanya hipotensi
sistemik, pemberian larutan kristaloid secara intravena harus dilakukan hati-
hati dan terkontrol untuk mencegah overload volume, dimana dapat
mempengaruhi kondisi pernapasan pasien.[2]
Terapi defenitif yang dilakukan termasuk mengawasi ventilasi yang
adekuat, pemberian cairan dan penambahan analgsik untuk meningkatkan
ventilasi. Target bisa tercapai dengan pemberian narkotik melalui intravena
atau anastesi local, untuk menghindari kemungkinan depresi pernapasan
dengan narkotika sistemik. Pilihan untuk pemberian anastesi local untuk
memblok nervus interkosta perlahan dan anastesi intrapleural, extrapleural
atau epidural. Ketika digunakan secepatnya, agen anastesi local bisa
meningkatkan kerja analgesic dan mencegah keperluan untuk intubasi.
Bagaimana pun, pencegahan hipoksia merupakan hal terpenting untuk setiap
pasien trauma, dan periode singkat dari intubasi dan ventilasi mungkin
dibutuhkan sampai diagnosis dari semua bentuk cedera sudah jelas. Penilaian
harus teliti pada laju respirasi, tekanan oksigenasi arteri dan kerja ddari
pernapasan akan dijadikan indikasi waktu tepat untuk intubasi dan ventilasi.[2]

d. Hemothoraks
Hemothoraks tidak menimbulkan nyeri selain dari luka yang berdarah
di dinding dada. Luka di pleura viseralis umumnya juga menimbulkan nyeri.
Di dalam rongga dada, dapat terkumpul banyak darah tanpa gejala yang
menonjol. Kadang, gejala dan tanda anemia atau syok hipovolemik menjadi
keluhan dan gejala yang pertama muncul. Diagnosis banding hemothoraks
adalah semua kelainan yang menyebabkan perdarahan dari sumber
nontraurma di rongga dada.[4]

21
Etiologi dari hemotoraks dibagi menjadi penyebab trauma dan non
trauma. Penyebab hemotoraks karenan trauma yaitu karena trauma tumpul
atau tusuk. Penyebab hemotoraks non trauma terjadi karena perkembangan
suatu penyakit adau kelainan seperti neoplasma, sequester paru, rupture adhesi
pleura pada kasus pneumothoraks, infrak pulmonal, tuberculosis, infeksi
pulmonal (contoh demam berdarah dengue), fistula arteovenosus pulmoal dan
anomaly abdomen dan patologis[9]
Pada penderita hematothoraks keluhannya dapat berupa nyeri dan
sesak napas yang mungkin sifatnya progresif. Bila ada keluahan yang
progresif harus hati-hati dengan adanya tension pneumothoraks.[5]

Hemotoraks kecil, yaitu yang tampak sebagai bayangan kurang dari


15% pada foto rontgen, cukup diobservasi dan tidak memerlukan tindakan
khusus. Hemotoraks sedang, yaitu yang tampak sebagai bayangan yang
menutup 15-35 % pada foto rontgen, ditangani dengan pungsi atau transfusi
darah. Jika ternyata terjadi kekambuhan, dipasang pengalir sekat air.
Hemotoraks besar (>35%), ditangani dengan penyalir sekat air dan transfusi.
Penyalir sekat air dipasang serendah mungkin pada dasar rongga dada untuk
mengosongkan rongga pleura dan memantau perdarahan. [4]

22
Besarnya Penanganan
Ukuran Bayangan foto Pemeriksaan fisik
rontgen
Kecil 0-15% Perkusi pekak Gerakan aktif
sampai iga IX (fisioterapi)
Sedang 15-35% Perkusi pekak Aspirasi dan
sampai iga VI transfusi
Besar >35% Perkusi pekak sampai Penyalir sekat air di ruang
kranial iga IV antariga, transfuse

Tabel 2.1 hemotoraks


Pada kasus trauma, pemeriksaan fisik harus dilakukan dengan benar.
Efusi pleura karena darah bisa terdistribusi pada posisi supinasi dan sangat
mudah terlewatkan saat melakukan pemeriksaan fisik. Sangat disarankan
untuk melakukan pemeriksaan fisik dengan posisi tegak atau posisi
Tredelenburg untuk mngidentifikasi hemotoraks kecil. Efusi pleura karena
darah yang volumenya kurang dari 500 ml pada sudut costofrenicus sering
diabaikan pada saat pemeriksaan fisik.[9]
Adanya perdarahan minimal (< 300 ml) pada cavitas pleura tidak
membutuhkan tindakan, darah akan direabsorbsi perlahan dalam beberapa
minggu. Jika pasien stabil dan menunjukkan distress respirasi yang minimal,
tindakan peratif tidak dibutuhkan. Pada pasien ini bisa ditangani dengan
pemberian analgesik seperlunya dan observasi dengan pengulangan radiografi
dada sekitar 4-6 jam dan 24 jam. [9]
Pada pasien hemothoraks steril, darah bisa direabsorbsi dengan terapi
konservatif. Tetapi jika hemothoraks terinfeksi atau disertai udara, maka
kesempatan reabsorbsi berkurang dan torakostomi pipa bisa diperlukan. Sebab
tindakan bedah pada thoraks, maka udara dan darah biasanya ada dan pipa
dada ditempatkan pada waktu operasi. Komplikasi yang kadang-kadang

23
mengikuti hemothoraks adalah fibrothoraks, yang merupakan hasil defibrinasi
darah intrapleura dan distribusi fibrin di atas permukaan pleura, menyebabkan
penyakit paru restrriktif yang kemudian bisa memerlukan dekortikasi bedah.[7]

e. Temponade Jantung
Temponade jantung dapat menyebabkan keadaan pasien yang cepat
memburuk dan kematian mendadak. Hasil operasi tergantung pada fase mana
penderita berada. Bila dibiarkan hampir selalu temponade menyebabkan
kematian dan tidak selalu temponade mudah untuk ditegakkan diagnosisnya.
Tamponade jantung terdapat pada 20% penderita dengan trauma thoraks yang
berat, trauma tajam yang mengenai jantung akan menyebabkan tamponade
jantung dengan gejala trias Beck yaitu distensi vena leher, hipotensi dan
menurunnya suara jantung.[5]
Bila luka tembus didaerah mediastinum/daerah jantung harus dicurigai
temponade sampai dapat dibuktikan tidak ada temponade. Beratnya
temponade tidak tergantung pada jumlah darah yang ada, mungkin sedikit saja
darah di dalam pericardium sudah dapat menimbulkan temponade. Gejala
temponade ditimbulkan karena penekanan darah yang kembali ke atrium
kanan dan kiri, oleh karena itu tidak tergantung pada jumlah darah di
pericardium.[5]

24
Keluhan dan gejala:[5]
1. Trauma tajam di daerah pericardium atau yang menembus jantung.
2. Gelisah
3. Pucat, keringat dingin
4. Mungkin terdapat peninggian tekanan vena jugularis
5. Pekak jantung melebar
6. Bunyin jantung tidak melemah
7. Bisa terdapat tanda-tanda “paradoxical pulse pressure”
8. Gambaran EKG terdapat “low voltage” seluruh “lead”
9. Perikardiosintesis keluar darah.
Bila dicurigai temponade atau memang ada temponade harus dilakukan
torakotomi eksplorasi segera.[5]
1. Pasien masuk dengan tanda-tanda syok dan luka tembus
2. Jahitan kedap udara dengan memperhatikan sterilisasi
3. Infus atau transfuse dan kalau perlu dua infus dengan jarum besar.
4. Sementara diperiksa adanya tanda-tanda temponade.
5. Bila dicurigai temponade atau dapat dibuktikan adanya temponade pasien
dikirim ke kamar bedah untuk torakotomi eksplorasi segera.

25
f. Rupture Trakeobronkial
Ruptur trakea dan bronkus utama (rupture trakeobronkial) dapat
disebabkan oleh trauma tajam maupun trauma tumpul dimana angka kematian
akibat penyulit ini adalah 50%. Pada trauma tumpul ruptur terjadi pada saat
glottis tertutup dan terdapat peningkatan hebat dan mendadak dari tekanan
saluran trakeobronkial yang melewati batas elastisitas saluran trakeobronkial
ini. Kemungkinan kejadian ruptur bronkus utama meningkat pada trauma
tumpul thoraks yang disertai dengan fraktur iga 1 sampai 3, lokasi tersering
adalah pada daerah karina dan percabangan bronkus. Pneumothoraks,
pneumomediatinum, emfisema subkutan dan hemoptisis, sesak nafas,dan
sianosis dapat merupakan gejala dari ruptur ini.[10]
Kebanyakan pasien dengan trauma ini meninggal segera. Walaupun
ada yang bisa diantara sampai ke rumah sakit memiliki tingkat mortalitas yang
tinggi. Jika sudah diketahui bahwa ini adalah trauma trakeobrankial, knsultasi
bedah diperlukan segera. Ekspansi inkomplit dari paru setelah pemasangan
chest tube dapat dicurigai sebagai trauma trakeobronkial. Pemasangan chest
tube lebih dari satu kadang diperlukan untuk mengatasi kebocoran udara yang
signifikan. Bronkoskopi dapat menegakkan diagnosis.[2]

26
Intubasi sementara dapat dilakukan untuk meningkatakan kebutuhan oksigen
yang adekuat. Walaupun, intubasi pada pasien dengan trauma trakeobronkial sulit
dikarenakan distorsi anatomis dari hematom paratrakeal. Untuk beberapa pasien,
penanganan segera tindakan bedah diperlukan. Pada pasien yang lebih stabil,

27
tindakan operatif dapat ditunda sampai inflamasi akut dan edema teratasi. Gejala
dan komplikasi dapat ditangani sesuai apa yang muncul, seperti tension
pneumothoraks dapat dilakukan needle decompression segera.[2]

8. Pemeriksaan Primary Survey


Primary survey dari pasien dengan cedera thoraks diawali dengan jalan napas
(airway), diikuti pernapasan (breathing) dan kemudian sirkulasi (circulation).
Penyebab utama harus ditangani jika telah diidentifikasi.
a. Airway
Sangatlah penting untuk mengenali dan mengetahui lokasi cedera yang
mempengaruhi jalan napas selama primary survey. Patensi jalan napas dan
pertukaran udara harus dinilai dengan mendengar pergerakan udara melalui
hidung pasien, mulut dan paru-paru pasien.; melakukan inspeksi orofaring
apakah terdapat sumbatan jalan napas karena benda asing; dan melakukan
observasi pada retraksi otot interkosta dan supraclavicular.[2]
Cedera laring bisa menyertai cedera tauma mayor. Walaupun
tampakan klinis terlihat ringan, obstruksi jalan napas akut dari trauma laring
merupakan cedera yang mengancam jiwa.[2]
Cedera dari bagian atas thoraks dapat memperlihatkan defek yang jelas
pada region sendi sternoclavicular, dengan dislokasi pada caput clavicula,
yang dapat mengebabkan obstruksi pernapasan atas. Identifikasi dari cedera
dilakukan dengan mendengarkan tanda sumbatan jalan napas atas (stridor)
atau terdapat perubahan kualitas suara, jika pasien bisa berbicara. Penanganan
terdiri dari reduksi tertutup dari cedera, yang dapat dilakukan dengan
ekstensikan baju atau menggenggam klavicula dengan alat, seperti penjepit
handuk, dan mengurangi fraktur secara manual. Sekali berkurang, cedera ini
akan stabil jika pasien tetap dipertahankan dalam posisi supinasi.[2]
b. Breathing

28
Leher dan dada pasien harus tampak jelas agar mempermudah untuk
menilai pernapasan dan vena dileher. Ini mungkin dibutuhkan untuk
melepaskan segera penopang leher pada pasien trauma tumpul. Pada kasus ini
imobilisasi cervical harus tetap dipertahankan dengan memegang kepala
pasien saat penopang leher dilepas. Pergerakan dan kualitas pernapasan dapat
dinilai dengan inspeksi, palpasi dan auskultasi.[2]
Sangatlah penting, walupun kadang kurang jelas, tanda dari cedera
dada atau hipoksia termasuk peningkatan laju pernapasan dan perubahan pola
napas, sering dimanifestasikan dengan respirasi yang dangkal. Sionosis adalah
tanda hipoksia yang lama muncul pada pasien trauma. Bagaimanapun, tidak
adanya sianosis bukan berarti tidak dialkukan oksigenasi jaringan yang
adekuat dan atau pemberian udara yang adekuat. Cedera thoraks mayor yang
dapat mempengaruhi pernapasan dan harus dikenali dan dilokalisir selama
survey primer yaitu tension pneumothoraks, pneumothoraks terbuka , flail
chest dan pulmonary kontusi dan massif hemothoraks.[2]
c. Circulation
Denyut pasien harus dinilai untuk kualitas, kecepatan dan keteraturan.
Pada pasien dengan hipovolemia, denyut nadi radial dan dorsal pedis mungkin
tidak teraba dikarenakan penipisan volume. Tekanan darah dan denyut nadi
dihitung dan sikulasi perifer dinilai dengan insperksi dan palpasi kulit untuk
warna dan suhu. Distensi vena leher harus dinilai, bagaimanapun, tetap diingat
bahwa vena dileher tidak akan mengalami distensi pada asin dengan
hipovolemia seiring dengan temponade jantung, tension pneumothoraks dan
atau cedera pada trauma diafragma.[2]
Monitor jantung dan oksimeter denyut harus dipasangkan pada pasien.
Pasien yang mengalami trauma khususnya pada area sternum atau membentuk
cedera cepat karena deselerasi, juga patut dicurigai kea rah cedera myocardial,
dimana bisa menngarah ke disaritmia. Hipoksia dan asidosis menambah
kemungkinan ini. disaritmia harus ditangani sesuai dengan standar protocol.

29
Pulse electric activity (PEA) dinilai menggunakan elektrokardiogram (EKG)
yang menampakkan irama ketika denyut nadi pasien tidak dapat diidentifikasi.
PEA dapat ditemukan pada kasus temponade jantun, tension pneumothoraks,
profound hipovolemia, hemothoraks masfi dan temponade jantung.[2]
Trauma thoraks yang paling utama mempengaruhi sirkulasi dan harus
dikenali dan dilokalisir selama primary survey adalah tension pneumothoraks,
hemothorakss massif dan temponade jantung.[2]

9. Pemeriksaan Secondary Survey


Secondary survey hanya dilakukan ketika ABC dari pasien sudah stabil. Jika
pada fase ini terjadi masalah, dapat kembali dilakukan primary survey.
Dokumentasi diperlukan pada semua prosedur yang dilakukan.
Survey sekunder merupakan pemeriksaan secara lengkap yang dilakukan
secara head to toe, dari depan hingga belakang. Secondary survey hanya
dilakukan setelah kondisi pasien mulai stabil, dalam artian tidak mengalami syok
atau tanda-tanda syok telah mulai membaik.
Pemeriksaan data subyektif didapatkan dari anamnesis riwayat pasien yang
merupakan bagian penting dari pengkajian pasien. Riwayat pasien meliputi
keluhan utama, riwayat masalah kesehatan sekarang, riwayat medis, riwayat
keluarga, sosial, dan sistem.. Pengkajian riwayat pasien secara optimal harus
diperoleh langsung dari pasien, jika berkaitan dengan bahasa, budaya, usia, dan
cacat atau kondisi pasien yang terganggu, konsultasikan dengan anggota keluarga,
orang terdekat, atau orang yang pertama kali melihat kejadian. Anamnesis yang
dilakukan harus lengkap karena akan memberikan gambaran mengenai cedera
yang mungkin diderita. Beberapa contoh:
a. Tabrakan frontal seorang pengemudi mobil tanpa sabuk pengaman: cedera
wajah, maksilo-fasial, servikal. Toraks, abdomen dan tungkai bawah.
b. Jatuh dari pohon setinggi 6 meter perdarahan intra-kranial, fraktur servikal
atau vertebra lain, fraktur ekstremitas.

30
c. Terbakar dalam ruangan tertutup: cedera inhalasi, keracunan CO.
Anamnesis juga harus meliputi riwayat AMPLE yang bisa didapat dari pasien
dan keluarga :
o A : Alergi (adakah alergi pada pasien, seperti obat-obatan, plester, makanan)
o M : Medikasi/obat-obatan (obat-obatan yang diminum seperti sedang
menjalani pengobatan hipertensi, kencing manis, jantung, dosis, atau
penyalahgunaan obat
o P : Pertinent medical history (riwayat medis pasien seperti penyakit yang
pernah diderita, obatnya apa, berapa dosisnya, penggunaan obat-obatan
herbal)
o L : Last meal (obat atau makanan yang baru saja dikonsumsi, dikonsumsi
berapa jam sebelum kejadian, selain itu juga periode menstruasi termasuk
dalam komponen ini)
o E : Events, hal-hal yang bersangkutan dengan sebab cedera (kejadian yang
menyebabkan adanya keluhan utama) Setelah dilakukan anamnesis, maka
langkah berikutnya adalah pemeriksaan tanda-tanda vital. Tanda tanda vital
meliputi suhu, nadi, frekuensi nafas, saturasi oksigen, tekanan darah, berat
badan, dan skala nyeri.
Setelah dilakukan anamnesis, maka langkah berikutnya adalah pemeriksaan
tanda-tanda vital. Tanda tanda vital meliputi suhu, nadi, frekuensi nafas, saturasi
oksigen, tekanan darah, berat badan, dan skala nyeri.

31
DAFTAR PUSTAKA

1. Labora JR, Kristanto EG, Siwu JS. Pola Cedera Toraks Pada Kecelakaan Lalu
Lintas Yang Menyebabkan Kematian di Bagian Forensik dan Medikolegal
RSUP Prof. Dr. R. D. Kandou Periode Januari 2013- januari 2014. Jurnal
Biomedik (JBM) Volume 7, Nomor 1, Maret 2015, hlm 42-43.
2. American collage of Surgeons. 2012. Advanced Trauma Life Support: ATLS,
Atudent Couse Manual Ninth Edition. American College of Surgeon, Saint
Clair Street Chicago. Page 95-107.
3. Faiz O, Moffat D. 2007. Anatomy At A Glance. Blackwell Science. Osney
Mead, Oxford. Hal. 6-28
4. Sjamsuhidajat R, Karnadihardja W, Prasetyono TOH, Rudiman R. 2013. Buku
Ajar Ilmu Bedah Edisi III. Penerbit buku kedokteran EGC. Jakarta. Hal. 501;
505-506.
5. Staff pengajar bagian ilmu bedah UI.2012. Kumpulan Kuliah Ilmu Bedah.
FK UI, Jakarta. Hal.198-199.
6. Ernst A, Feller-Kopman D, Becker HD, Mehta AC. State of the Art: Central
Airway Obstruction. Pulmonary and critical day division. Am J Repair Crit
Care Med. Vol 169. PP 1278-1297, 2004. Diakses pada tanggal 27 oktober
2017 dari www.atsjournals.org.
7. Sabiston, David C. 2010. Sabiston, Buku Ajar Bedah Bagian 2. Penerbit Buku
Kedokteran EGC, Jakarta. Hal. 666-667

32
8. Currie GP, Alluri R, Christie GL, Legge JS. Review: Pneumothorax: An
Update. Department of Respiratory Medicine, Aberdeen Royal Infirmary,
Foresterhill, Aberdeen, Accepted21February2007. Diakses pada 27 oktober
2017 dari www.postgradmedj.com
9. Mahoozi HR, Volmerig J, Hecker E. Modern Management of Trauma
Hemothorax. Journal Trauma and Treatment. Volume 5. Page 1-4. Department
of Thoracic Surgery, Evangelisches Krankenhaus, Herne, Germany. Diakses
pada tanggal 27 oktober 2017.
10. Zlotnik A, Gruenbaum SE, Gruenbaum BF, Dubilet Michael, Cherniavsky E.
Iatrogenic tracheobronchial rupture: A case report and review of the literature.
IJCRI – International Journal of Case Reports and Images, Vol. 2, No. 3,
March 2011 hal. 12-15. Diakses pada tanggal 27 oktober 2017 dari
www.ijcasereportsandimages.com

33

You might also like