Professional Documents
Culture Documents
KRISIS MIASTENIA
Disusun oleh:
Raisha Triasari, S.Ked
N 111 17 136
I. Pendahuluan
Krisis miastenia didefinisikan sebagai setiap miastenia gravis yang diidentifikasi
mengalami eksaserbasi. Diagnosis krisis miastenia harus dicurigai pada semua pasien
dengan gagal pernafasan, terutama mereka dengan etiologi tidak jelas. Miastenia gravis
merupakan penyakit autoimun kronik yang ditandai oleh bermacam-macam tingkat
kelemahan dari otot skelet (volunter) tubuh. Nama miastenia gravis berasal dari bahasa
Latin dan Yunani yang secara harafiah berarti kelemahan otot yang berat atau gawat
(grave muscle weakness). Pada masa lampau kematian akibat dari penyakit ini bisa
mencapai 90%, tetapi setelah ditemukannya obat-obatan dan tersedianya unit-unit
perawatan pernafasan, maka sejak itulah jumlah kematian akibat penyakit ini bisa
dikurangi.1,2
Miastenia gravis adalah kelemahan otot yang cukup berat di mana terjadi
kelelahan otot-otot secara cepat dengan lambatnya pemulihan (dapat memakan waktu
10 hingga 20 kali lebih lama dari normal). Miastenia gravis mempengaruhi sekitar 400
per 1 juta orang. Usia awitan dari miastenia gravis adalah 20-30 tahun untuk wanita dan
40-60 tahun untuk pria. Kelemahan otot yang parah yang disebabkan oleh penyakit
tersebut membawa sejumlah komplikasi lain, termasuk kesulitan bernapas, kesulitan
mengunyah dan menelan, bicara cadel, kelopak mata turun, dan penglihatan kabur atau
ganda. Sekitar 15% orang mengalami peristiwa berat yang disebut dengan krisis
miastenia. Hal ini kadang kala dipicu oleh infeksi. Lengan dan kaki menjadi sangat
lemah dan pada beberapa orang, otot yang diperlukan untuk pernafasan melemah.
Keadaan ini dapat mengancam nyawa1,2,3,4
Krisis miastenia biasanya dicetuskan oleh kontrol yang buruk pada penyakit,
pengobatan miastenia bulbar (steroid dan antikolinesterase), obat-obatan, infeksi
sistemik yang melibatkan saluran pernafasan, aspirasi, dan pembedahan. Pencetus lain
yang diketahui pada krisis miastenia refraktori adalah stres emosional, lingkungan yang
panas, peningkatan yang mendadak dari suhu tubuh, dan hipertioridism, dengan
penyakit tiroid autoimun sering dikaitkan dengan miastenia gravis.5,6
Kematian dari penyakit miastenia gravis biasanya disebabkan oleh insufisiensi
pernafasan, tetapi dapat dilakukannya perbaikan dalam perawatan intensif sehingga
komplikasi yang timbul dapat ditangani dengan lebih baik. Pengelolaan akut krisis
miastenia memerlukan terapi suportif umum dan ventilasi serta langkah-langkah untuk
meningkatkan blokade neuromuskuler yang mencakup pertukaran plasma atau
immunoglobulin intravena, serta penghapusan pemicu. Terapi ini telah meningkatkan
secara signifikan harapan hidup penderita dengan krisis miastenia dan tingkat kematian
saat ini adalah sekitar 4-8%. Penyembuhan dapat terjadi pada 10-20% pasien dengan
melakukan timektomi elektif pada pasien-pasien tertentu.1,4
II. Definisi
Miastenia gravis adalah suatu kelainan autoimun yang ditandai oleh suatu
kelemahanabnormal dan progresif pada otot rangka yang dipergunakan secara terus-
menerus dandisertai dengan kelelahan saat beraktivitas. Penyakit ini timbul karena
adanya gangguandari synaptic transmission atau pada neuromuscular junction. Dimana
bila penderitaberistirahat, maka tidak lama kemudian kekuatan otot akan pulih kembali.2
Krisis miastenia didefinisikan sebagai setiap miastenia gravis yang diidentifikasi
mengalami eksaserbasi. Diagnosis krisis miastenia harus dicurigai pada semua pasien
dengan gagal pernafasan, terutama mereka dengan etiologi tidak jelas.2
III. Epidemiologi
Miastenia gravis merupakan penyakit yang jarang ditemui.Angka kejadiannya 20
dalam 100.000 populasi.Biasanya penyakit ini lebih sering tampak pada umur di atas 50
tahun.Wanita lebih sering menderita penyakit ini dibandingkan pria dan dapat terjadi
pada berbagai usia. Pada wanita, penyakit ini tampak pada usia yang lebih muda, yaitu
sekitar 28 tahun, sedangkan pada pria, penyakit ini sering terjadi pada usia 60 tahun.2,3,4
IV. Etiologi
Krisis miastenik biasanya dicetuskan oleh kontrol yang buruk pada penyakit,
pengobatan miastenia bulbar (steroid dan antikolinesterase), obat-obatan, infeksi
sistemik yang melibatkan saluran pernafasan, aspirasi, dan pembedahan. Pencetus lain
yang diketahui pada krisis miastenia refraktori adalah stres emosional, lingkungan yang
panas, peningkatan yang mendadak dari suhu tubuh, dan hipertioridism, dengan
penyakit tiroid autoimun sering dikaitkan dengan miastenia gravis.5,6
Infeksi Aminoglikosid
Kehamilan Streptomisin
Deprivasi tidur Ampisilin
Pembedahan Makrolida
Nyeri Siprofloksasin
Gabapentin
Antagonis β-adrenergik
Media kontras
Magnesium
Prednison
Procainamide
Quinidine
V. Patofisiologi
Mekanisme imunogenik memegang peranan yang sangat penting pada patofisiologi
miastenia gravis. Obsevasi klinik yang mendukung hal ini mencakup timbulnya
kelainan autoimun yang terkait dengan pasien yang menderita miastenia gravis,
misalnya autoimun tiroiditis, sistemik lupus eritematosus, arthritis rheumatoid, dan lain-
lain. Antibodi pada reseptor nikotinik aseltikolin merupakan penyebab utama kelemahan
otot pasien dengan miastenia gravis. Autoantobodi terhadap aseltikolin reseptor (anti-
AChRs), telah dideteksi pada serum 90% pasien yang menderita miastenia gravis
generalisata.4,7
Mekanisme pasti tentang hilangnya toleransi imunologik terhadap reseptor
asetilkolin pada penderita miastenia gravis belum sepenuhnya dapat dimengerti.
Miastenia gravis dapat dikatakan sebagai “penyakit terkait sel B,” di mana antibodi
yang merupakan produk dari sel B justru melawan reseptor asetilkolin. Peranan sel T
pada pathogenesis miastenia gravis mulai semakin menonjol. Timus merupakan organ
sentral terhadap imunitas yang terkait dengan sel T. Kelainan kelenjar timus terjadi pada
miastenia gravis. Pada 80% penderita miastenia didapati kelenjar timus yang abnormal.
Kira-kira 10% dari mereka memperlihatkan struktur timoma dan pada penderita-
penderita lainnya terdapat infiltrat limfositer pada pusat germinativa kelenjar timus
tanpa perubahan di jaringan limfoster lainnya.7,8
Gambar 1. Patofisiologi Miastenia Gravis9
Tabel 2. Tanda dan gejala ancaman gagal nafas pada krisis myasthenia14
Otot abdominal paradoksial
Penggunaan otot bantu nafas
Batuk setelah menelan
Disfagia
Hipofonia
Ketidakmampuan mengangkat kepala karena kelemahan otot leher
Berkeringat pada dahi
Kelemahan rahan (menutup rahang lebih lemah dibanding membuka rahang)
Regurgitasi nasal
Orthopnea
Berhenti sesaat selama bicara untuk menarik nafas
Nafas yang cepat dan dangkal
Cara bicara staccato atau sengau
Hanya bisa menghitung < 15 hitungan dalam satu tarikan nafas
Stridor
Takipnea
Kelemahan Lidah
Batuk yang lemah
Suara gurgling
VII. Diagnosis
Pemeriksaan fisik yang cermat harus dilakukan untuk menegakkan diagnosis suatu
krisis miastenia. Pada krisis miastenia akan terjadi:12,3,14
Kelemahan pada otot-otot pernapasan sehingga dapat menyebabkan gagal
napas akut, di mana hal ini merupakan suatu keadaan gawat darurat.
Kelemahan otot-otot interkostal serta diafragma dapat menyebabkan retensi
karbondioksida sehingga akan berakibat terjadinya hipoventilasi.
Kelemahan otot-otot faring dapat menyebabkan kolapsnya saluran napas
atas.
Kelemahan otot-otot ekstraokular yang terjadi secara asimetris. Kelemahan
seringkali mempengaruhi lebih dari satu otot ekstraokular, dan tidak hanya
terbatas pada otot yang diinervasi oleh satu nervus kranialis.
Kelemahan pada muskulus rektus lateralis dan medialis akan menyebabkan
terjadinya suatu pseudointernuclear ophthalmoplegia, yang ditandai dengan
terbatasnya kemampuan adduksi salah satu mata yang disertai nistagmus
pada mata yang melakukan abduksi.12,3,14
Untuk penegakan diagnosis krisis miastenia, dapat dilakukan pemeriksaan sebagai
berikut:
1. Penderita ditugaskan untuk menghitung dengan suara yang keras. Lama kelamaan
akan terdengar bahwa suaranya bertambah lemah dan menjadi kurang terang.
Penderita menjadi anartris dan afonis.15
2. Penderita ditugaskan untuk mengedipkan matanya secara terus-menerus. Lama
kelamaan akan timbul ptosis. Setelah suara penderita menjadi parau atau tampak ada
ptosis, maka penderita disuruh beristirahat. Kemudian tampak bahwa suaranya akan
kembali baik dan ptosis juga tidak tampak lagi.15
Untuk memastikan diagnosis miastenia gravis, dapat dilakukan beberapa tes
antara lain:
1. Uji Tensilon (edrophonium chloride)
Untuk uji tensilon, disuntikkan 2 mg tensilon secara intravena, bila tidak terdapat
reaksi maka disuntikkan lagi sebanyak 8 mg tensilon secara intravena. Segera
sesudah tensilon disuntikkan hendaknya diperhatikan otot-otot yang lemah seperti
misalnya kelopak mata yang memperlihatkan ptosis. Bila kelemahan itu benar
disebabkan oleh miastenia gravis, maka ptosis itu akan segera lenyap. Pada uji ini
kelopak mata yang lemah harus diperhatikan dengan sangat seksama, karena
efektivitas tensilon sangat singkat.13
2. Uji Prostigmin (neostigmin)
Pada tes ini, penderita disuntikkan 3 cc atau 1,5 mg prostigmin methylsulfat secara
intramuskular (bila perlu, diberikan pula atropin ¼ atau ½ mg). Bila kelemahan itu
benar disebabkan oleh miastenia gravis maka gejala-gejala seperti misalnya ptosis,
strabismus atau kelemahan lain tidak lama kemudian akan lenyap.13
3. Uji Kinin
Penderita diberikan 3 tablet kinin masing-masing 200 mg. Tiga jam kemudian
diberikan 3 tablet lagi (masing-masing 200 mg per tablet). Bila kelemahan itu benar
disebabkan oleh miastenia gravis, maka gejala seperti ptosis, strabismus, dan lain-
lain akan bertambah berat. Untuk uji ini, sebaiknya disiapkan juga injeksi
prostigmin, agar gejala-gejala miastenik tidak bertambah berat.13
VIII. Tatalaksana
Manajemen Respirasi pada Krisis Miastenik
1. Intubasi dan Ventilasi Mekanik
Dua per tiga sampai 90% penderita krisis miastenik memerlukan intubasi
dan ventilasi mekanik. Lebih dari 20% pasien memerlukan intubasi selama
evaluasi di unit gawat darurat, dan hampir 60% diintubasi setelah pasien
dirawat di ruang perawatan intensif. Ketika diintubasi, pernapasan pasien
sebaiknya berada di bawah bantuan ventilator dengan pengaturan volume
tidal 8-10 cc/kg BB ideal dan tekanan 8-15 cmH 2O untuk mencegah
atelektasis dan meminimalisasi beban pernapasan.5,6
Penghentian penggunaan ventilator harus diinisiasi setelah pasien
menunjukkan perbaikan klinis, biasanya pada kapasitas vital yang lebih dari
15mL/kg. Perbaikan pada kekuatan fleksor leher dan otot tambahan lain
biasanya dihubungkan dengan perbaikan kekuatan otot respirasi dan bulbar,
dan berguna sebagai penilaian terhadap perbaikan klinis. Ventilator pasien
sebaiknya ditransisi ke mode pernapasan spontan (misalnya ventilasi dengan
bantuan tekanan), di mana pasienlah yang menginisiasi pernapasan. Bantuan
pernapasan tersebut dapat dikurangi secara bertahap hingga mencapai
pengaturan minimal.6
Masih tidak jelas kapan sebaiknya pasien diekstubasi setelah mengalami
krisis miastenik. Terdapat 3 faktor risiko independen yang memperpanjang
masa intubasi (> 14 hari), umur>50 tahun, kapasitas vital puncak <25 mL/kg
pada post-intubasi hari 1-6, dan serum bikarbonat ≥ 30 mmol/L. Pasien tanpa
faktor risiko diintubasi selama kurang dari 2 minggu, sedangkan pasien
dengan ketiga faktor risiko tersebut memiliki masa intubasi yang lebih lama.
Untuk mencegah atelektasis dapat dilakukan intubasi dini, fisioterapi dada
yang agresif, dan suction yang sering, serta pemberian PEEP tinggi selama
pasien menggunakan ventilasi mekanik.5,6
2. Ventilasi non-invasif
Ventilasi non-invasif digunakan untuk mencegah intubasi dan re-intubasi
pada pasien dengan krisis miastenik. Dengan menggunakan bilevel positive
airway pressure (BiPAP), tekanan positif diberikan delama kedua fase
pernapasan, sehingga meningkatkan aliran udara dan mengurangi beban
pernapasan selama inspirasi dan mencegah kolaps jalan napas dan atelektasis
selama ekspirasi. Pada pasien yang awalnya mendapat ventilasi non-invasif
dan mengalami perburukan gejala seperti sesak napas, takipneu, atau
hiperkapni terus menerus sebaiknya dilakukan intubasi endotrakeal dan
ventilasi mekanik. Terdapat prediktor independen kesuksesan ventilasi non-
invasif, yaitu serum bikarbonat < 30mmol/L dan skor APACHE II <6.
Prediktor independen kegagalan metode ini adalah hiperkapnia (pCO2> 45
mmHg).5,6
Penggunaan ventilasi non-invasif dini diasosiasikan dengan durasi
penggunaan bantuan pernapasan yang lebih singkat. Pada pasien dengan
kelemahan bulbar, tindakan ini meningkatkan risiko aspirasi, namun pada
pasien yang berhasil dengan tindakan tersebut mengalami lebih sedikit
komplikasi pulmoner.5,6
Pengobatan Krisis Miastenik
Terdapat 2 terapi farmakologis yang tersedia untuk krisis miastenik, yakni
immunoglobulin intravena (IVIg) dan pertukaran plasma (PE). IVIg biasanya diberikan
400mg/kg setiap hari selama 5 hari. Pasien harus disapih terhadap adanya IgA defisiensi
untuk mencegah anafilaksis terhadap IVIg. Efek samping yang paling sering terjadi
adalah sakit kepala. Komplikasi lain termasuk demam, mual, ketidaknyamanan,
kemerahan, lemah, dan nyeri. Efek samping yang lebih serius adalah meningitis aseptik,
hipertensi, aritmia jantung, trombositopenia, stroke, infark jantung, dan emboli paru.5,6
Untuk PE, 5 kali penggantian (1 volume plasma atau 3-4 L setiap penggantian)
biasanya dilakukan selama 10 hari. Cairan pengganti umumnya adalah larutan normal
salin/5% albumin. Akses vena dilakukan dengan infus set besar, atau tunneled
double-lumen central venous catheters. Komplikasi PE yang biasanya
terjadi adalah demam, gejala hipokalemia (umumnya parestesia),
penurunan sementara tekanan darah, dan takikardia. Efek samping
yang lebih serius namun lebih jarang terjadi termasuk aritmia, infark
miokardial, dan hemolisis. Respon terhadap pengobatan biasanya
terjadi setelah 2 hari dengan PE dan setelah 4-5 hari dengan IVIg. Bila
respon yang terjadi tidak adekuat atau tidak ada respon sama sekali,
PE bisa diberikan setelah IVIg dan IVIg bisa diberikan setelah PE.
Beberapa studi menunjukkan bahwa pemberian PE lebih efektif
dibandingkan IVIg pada penderita krisis miastenik, namun
kemungkinan terjadinya komplikasi juga lebih tinggi pada
penggunaan PE, seperti infeksi dan instabilitas jantung.5,6
Kortikosteroid diberikan bersama dengan IVIg dan PE. Prednisone dosis tinggi
(60-100 mg per hari atau 1-1.5 mg/kg/hari) dapat dimulai bersamaan dengan IVIg atau
PE, karena prednisone mulai bekerja setelah 2 minggu, di mana efek PE dan IVIg mulai
berkurang. Pemberian kortikosteroid secara oral lebih dipilih, dan inisiasi pemberian
prednisone dapat ditunda sampai pasien telah diekstubasi bila pasien mununjukkan
perbaikan yang cepat setelah pengobatan dengan IVIg atau PE. Ketika pasien sudah
menunjukkan perbaikan klinis, dosis prednisone dapat dikurangi, dan secara gradual
dikonversi ke alternate-day dosing. Efek samping paling sering adalah penampakan
Chusingoid., katarak, dan peningkatan berat badan. Infeksi, diabetes yang tidak
terkontrol, dan osteoporosis merupakan kontraindikasi relatif dalam penggunaan
kortikosteroid.5,6
Cyclosporine dapat dipertimbangkan setelah dimulainya terapi IVIg atau PE
pada pasien yang tidak dapat mentolerasi atau tidak bereaksi terhadap kortikosteroid.
Namun, onset kerja cyclosporine adalah 1-2 bulan. Agen immunomodulating lain,
azathioprine dan mycophenolate, tidak berguna dalam krisis miastenik karena masa
laten kerjanya yang panjang.5,6
Nilai laboratorium yang abnormal yang dapat mempengaruhi kekuatan otot
harus dikoreksi. Kekurangan ion kalium, magnesium, dan fosfat dapat memperburuk
krisis miastenik dan harus dikoreksi. Hematokrit yang kurang dari 30% dapat
mempengaruhi kelemahan dengan menurunkan oxygen-carrying capacity. Nutrisi yang
cukup juga juga untuk menghindari keseimbangan energi yang negatif dan
memperburuk kekuatan otot.5,6
Pemberian inhibitor asetilkolinesterase biasanya dihentikan pada krisis
miastenik untuk menghindari sekresi bronkial yang berlebihan. Selain itu, bila
digunakan secara berlebihan, kelemahan otot dapat meningkat. Setelah pasien
menunjukkan perbaikan kekuatan otot yang jelas (biasanya beberapa hari setelah
dimulainya IVIg atau PE), inhibitor asetilkolinesterase, khususnya pyridostigmine oral
dapat dimulai kembali setelah ekstubasi. Pyridostigmine oral lebih dipilih, namun dapat
pula diberikan secara intravena. Satu milligram pyridostigmine intravena setara dengan
30 mg pyridostigmine oral. Pasien sebaiknya memulai pengobatan pada dosis yang
rendah terlebih dahulu yang ditingkatkan hingga gejala berkurang. Pemberian
pyridostigmine intravena secara terus menerus sebagai pengobatan krisis miastenik
dapat berefek sama dengan PE, namun hal ini dihubungkan juga dengan meningkatnya
risiko aritmia jantung yang mengancam nyawa.5,6
DAFTAR PUSTAKA
1. James F.H. Epidemilogy and Pathophysiology. Dalam Jr.M.D,penyunting.
Myasthenia Gravis A Manual For Health Care Provider. Edisi ke1.Amerika,2008;8-
14.
2. Hudak CM, Gallo BM. Keperawatan Kritis, Pendekatan Holistik. Edisi VI. Jakarta:
EGC; 2008.
3. Lewis RA, Selwa JF, Lisak RP. Myasthenia Gravis: Immunological Mechanisms and
Immunotherapy. Ann Neurol. 2009;37(S1):S51-S62.
4. Wendell LC, Levine JM. Myasthenic Crisis. The Neurohospitalist. 2011;1(1):16-22.
5. Chauduri A, Behan PO. Myasthenic Crisis. QJM. 2009;102:97-107.
6. Keesey JC. Clinical Evaluation and Management of Myasthenia Gravis. Muscle Nerve.
2004;29:484-505
7. Howard JF. Myasthenia Gravis, a Summary. NINDS 2011. [cited: March 22nd, 2012].
Available from: http://www.ninds.nih.gov/disorders/myasthenia_ gravis/
detail_myasthenia_gravis.htm
8. Lombardo MC. Penyakit Degeneratif dan Gangguan Lain Pada Sistem Saraf. In: Price
SA, Wilson LM, (eds). Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit. 4th ed.
Jakarta: EGC; 2008.
9. Sidharta P. Neurologi Klinis Dalam Praktek Umum. Jakarta: Dian Rakyat; 2011.
10. Romi F, Aarli JA, Gilhus NE. Seronegative myasthenia gravis: disease severity and
prognosis. European Journal of Neurology. 2005;12:413-418
11. Romi F, Gilhus NE, Aarli JA. Myasthenia Gravis: Clinical, Immunological, and
Therapeutic Advances. Acta Neurol Scand. 2005;111:134-141.
12. Bianca MC, Milani M, Kaminski HJ. Myasthenia Gravis: Past, Present, and Future.
The Journal of Clinical Investigation. 2006:116(11);2843-2854.
13. Goldenberg WD, Kulkarni R. Emergent Management of Myasthenia Gravis. Medscape
2011. [cited: March 25th, 2012]. Available from:http://emedicine.
medscape.com/article/793136-overview
14. Ping-hung K. Pi-Chuan F. Respiratory Care for Myasthenia Crisis. A Look into
Myasthenia Gravis. Dr. Joseph A, Pruitt(Ed.) ISBN:978-953-307-821-2