Professional Documents
Culture Documents
Mitra Bestari:
Prof. dr.Soenarjo,SpAn, KMN, KAKV
Prof. dr.Marwoto, SpAn, KIC, KAO
Seksi Usaha:
dr. Mochamat
Administrasi:
Maryani, Kamtini, Nik Sumarni
TINJAUAN PUSTAKA
Rindarto, Jati Listiyanto Pujo, Ery Leksana
Pengelolaan Pasca Operasi Dan Rawat Intensif Pada Pasien Trauma 36
Pengelolaan pasien trauma di ICU terutama difokuskan pada pengelolaan hipotermi,
koagulopati, asidosis, sindrom kompartemen abdomen dan ARDS, hal ini karena faktor-
faktor tersebut merupakan penyebab utama kematian pada jam-jam pertama pasca
trauma.
PENELITIAN
ABSTRACT
Background: Succinylcholine is commonly used for intubation and induction, short
operation emergency, day case anaesthesia and difficult airway controlled. Unexpected
complication after succinylcholine administration is fasciculation, myalgia and increase
of potassium blood level and creatin phosphokinase serum.
Methods: This research was a clinical trial stage I (human sample) for 60 patients benign
breast tumors undergoing surgery by general anesthesia. All patients were observe the 6
hours fasting period and give no premediacation. Peripheral blood sample were taken to
measure the potassium level and creatin phosphokinase serum before premedication given.
Patients randomly divided in to two grou., group I pretreatment with atrakurium 0,05
mg/kgBW and group II pretreotment with MgSO4 40mg/kgBW. Induction with
succinylcholine 1,5mg/kgBW fifteen minute after premedication. Seven minute after
induction, peripheral blood sample were taken on contralateral inffusion to measure
potassium blood level after induction and 24 hours post operation. Peripheral blood
sample were taken on contralateral infusion to measure creatine phosphokinase serum
level. Statistical analysis were performed by independent t-test, Mann-Whitney U test and
rank spearman correlation which were 𝛼 = 0,05 was considered significant.
Results: There was no difference for patients characteristics distribution data, creatin
phosphokinase serum and blood potassium level before induction between two groups, For
potassium blood level elevation between two group were significantly difference ( p =
0,029). Creatin phosphokinase level elevation between two group were no significantly
difference ( p > 0,05 ). There was no significantly correlation (p = -0,138; p = 0,466)
proved is between creatin phosphokinase serum and blood potassium level elevation on
atrakurium group such no significantly correlation (𝜌 = 0,186; p = 0,325) proved is
between creatine phosphokinase serum and blood potassium level elevation on atrakurium
group.
Conclusions: The administration of 40% magnesium sulphate 40 mg/kg BW could prevent
the elevation of serum creatin phosphokinase following succinylcholine induction and
blood potassium ion level, althought not as effective as atrakurium but better than other
pretreatment.
ABSTRAK
Latar belakang: Pemakaian suksinilkolin sebagai fasilitas intubasi dan induksi masih
merupakan pilihan untuk tindakan yang singkat, emergensi, rawat jalan dan keadaan
dimana jalan napas belum tentu dapat dikuasai. Efek samping yang sering timbul adalah
fasikulasi dan mialgia yang ditandai
meningkatnya kadar serum kreatin fosfokinase (CPK) dan ion kalium.
________________________________________________________________________________
1
Volume II, Nomor 1, Tahun 2010
Jurnal Anestesiologi Indonesia
Metode: Penelitian ini merupakan uji klinik tahap I ( subyek manusia ) pada 60 penderita
tumorjinak mama yang menjalani operasi dengan anestesi umum. Semua penderita
dipuasakan 6 jam dan tidak diberi obat premedikasi.Pengambilan sampel darah perifer di
daerah antebrakhii kontralateral infus untuk pemeriksaan kadar ion kalium dan kreatin
fosfokinase sebelum induksi. Penderita dikelompokkan secara random menjadi 2
kelompok. Kelompok I mendapat pretreatment atrakurium 0,05 mg/kgBB dan kelompok II
mendapat pretreatment MgSO4 40% 40 mg/kgBB. 15 menit kemudian dilakukan induksi
dengan suksinilkolin 1,5 mg/kgBB pada masing-masing kelompok. 7 menit setelah intubasi
dilakukan pengambilan sampel darah perifer kontralateral infus untuk pemeriksaan kadar
ion kalium pasca perlakuan dan 24 jam setelah operasi dilakukan pengambilan sampel
darah perifer kontralateral infus untuk pemeriksaan kadar kreatinin fosfokinase. Uji
statistik menggunakan independent t-test dan Mann-whitney U test serta uji korelasi
dengan rank Spearman dengan derajat kemaknaan 𝛼: 0,05.
Hasil: Tidak ada perbedaan yang bermakna pada distribusi karateristik penderita serta
kadar serum kreatin fosfokinase dan kadar kalium sebelum perlakuan. Peningkatan kadar
ion kalium antara kelompok atrakurium dan kelompok magnesium sulfat terdapat
perbedaan bermakna (p = 0,029) dan peningkatan kadar serum kreatin fosfokinase antara
kelompok atrakurium dan kelompok magnesium sulfat tidak terdapat perbedaan bermakna
( p > 0,05 ). Hasil uji hubungan menunjukkan tidak terdapat hubungan bermakna (𝜌 = -
0,138; p =0,466) peningkatan kadm kalium dan peningkatan kadar CPK pada kelompok
atrakurium demikian juga hasil uji hubungan menunjukkan tidak terdapat hubungan
bermakna (𝜌 = 0,186; p = 0,325) peningkatan kadar kalium dan peningkatan kadar CPK
pada kelompok MgSO4.
Kesimpulan: Pemberian Magnesium Sulfat 40% 40 mg/kgBB dapat mencegah
peningkatankadar kreatin fosfokinase serum dan kadar kalium darah, meskipun tidak
seefektif Atrakurium, tetapi lebih baik dibanding yang lain.
Kunci : suksinilkolin, magnesium sulfat, kalium, fasikulasi
________________________________________________________________________________
2
Volume II, Nomor 1, Tahun 2010
Jurnal Anestesiologi Indonesia
________________________________________________________________________________
3
Volume II, Nomor 1, Tahun 2010
Jurnal Anestesiologi Indonesia
dilihat dari kadar kreatin fosfokinase dan wan (informed consent), lama dan jenis
ion kalium. operasi (1-2 jam).
kelompok dengan independent t-test. kadar kalium dan selisih kadar CPK
Tidak terdapat perbedaan bermakna dilakukan dengan uji rank Spearman
berat badan, tinggi badan dan umur Hasil uji hubungan menunjukkan tidak
antara kelompok atrakurium danMgSO4 terdapat hubungan bermakna (p = -
(p> 0,05). (Tabel l) 0,138; p: 0,466) selisih kadar kalium dan
selisih kadar CPK pada kelompok
Hasil uji Kolmogornov Smirnov me- atrakurium. Diagram tebar selisih kadar
nunjukkan bahwa data kadar kalium awal CPK data dilihat pada hubungan antara
dan data kadar CPK awal tidak selisih kadar kalium dan Gambar 1. Pada
berdistribusi normal sehingga uji beda kelompok MgSO4, selisih kadar karium
kadar kalium awal dan kadar CPK awal dan serisih kadar CPK untuk kelompok
antara kelompok atrakurium dan MgSO4 MgSo4 tidak berdistribusi normal,
dengan uji Mann Whitney. Tidak terdapat sehingga uji hubungan selisih kadar
perbedaan bermakna kadar kalium awal kalium dan selisih kadar CPK dilakukan
dan kadar CPK awal antara kelompok dengian uji rank sparman. Hasil uji
atrakurium dan MgSO4. (Tabel 2) hubungan menunjukkan tidak terdapat
hubungan bermakna (p = 0,186; p =
Hasil uji Kolmogomov Smirnov me- 0,325) selisih kadar kalium dan selisih
nunjukkan bahwa data kadar kalium kadar CPK pada kelompok MgSo4.
akhir, data kadar CPK akhir tidak Diagram tebar hubungan antara selisih
berdistribusi normal. Sehingga uji beda kadar kalium dan selisih kadar CPK
kadar kalium akhir, kadar CPK akhir, kelompok MgSO4 dapat dilihat pada
antara kelompok atrakurium dan MgSO4 Gambar 2.
dengan Uji Mann Whitney. Tidak PEMBAHASAN
terdapat perbedaan bermakna kadar Pada penelitian ini kedua kelompok,
kalium akhir dan kadar CPK akhir antara kelompok Atrakurium dan kelompok
kelompok atrakurium dan MgSO4 (p > MgSO4 untuk karateristik penderita, jenis
0,05) (Tabel 3). operasi, sistolik, diastolik, MAP, kadar
Hasil uji Kolmogornov Smirnov me- kalium dan CPK preoperasi tidak
nunjukkan bahwa data selisih kadar didapatkan perbedaan yang bermakna
kalium dan data selisih kadar CPK, tidak dan berdistribusi normal sehingga data
berdistribusi normal,. sehingga uji beda dapat dikatakan homogen dan dapat
selisih kadar kalium dan selisih kadar dibandingkan.
CPK, antara kelompok atrakurium dan
MgSO4 dengan uji Mann Whitney. Secara statistik peningkatan serum
konsentrasi ion karium didapatkan
Tidak terdapat perbedaan bermakna perbedaan bermakna pada kedua
selisih kadar CPK antara kelompok kelompok. Fakta ini berbeda dengan
atrakurium dan MgSO4 (p > 0,05) namun penelitian Stoelting dan Peterson12 serta
terdapat perbedaan bermakna selisih Ferres15 dkk dalam penelitiannya
kadar kalium (p = 0,029), antara mengatakan peningkatan ion kalium
kelompok atrakurium dan MgsO4 (Tabel sama antara yang menggunakan
4). pretreatment atau tidak menggunakan
pretreatment obat golongan non
Pada kelompok Atrakurium, selisih kadar depolarisasi.
kalium dan selisih kadar CPK untuk
kelompok atrakurium tidak berdistribusi Kejadian ini dapat diterangkan secara
normal, sehingga uji hubungan selisih teori bahwa pelumpuh otot golongan
________________________________________________________________________________
5
Volume II, Nomor 1, Tahun 2010
Jurnal Anestesiologi Indonesia
Tabel 1. Rerata umur, antropometri dan Gambar 1. Diagram tebar antara selisih kadar
hemodinamik sampel pada kedua kelompok kalium dan selisih kadar MgSO4 + Kelompok
Variabel Rerata (± Rerata (± P Atrakurium
SD) SD)
Kelompok Kelompok
Atrakurium MgSO4
Berat 55,2 ± 8,01 51,4±7,26 0,057
badan
(kg)
Tinggi 157±0,06 158±0,05 0,811
(m)
Umur 36±8,7 31±11,3 0,073
(tahun)
Sistol 128±16,6 126±10,2 0,642
(mmHg)
Diastol 74±9,2 73±7,7 0,651
(mmHg)
MAP 91±10,4 91±8,4 0,870
Laju 89,8±12,6 90,6±11,9 0,810
jantung
________________________________________________________________________________
6
Volume II, Nomor 1, Tahun 2010
Jurnal Anestesiologi Indonesia
________________________________________________________________________________
7
Volume II, Nomor 1, Tahun 2010
Jurnal Anestesiologi Indonesia
Kim dkk dan Naguib M dkk. Mcloughlin antara peningkatan kadar CPK dengan
mencatat menurunnya kejadian mialgia angka kejadian mialgia
(CPK menurun) pada peningkatan ion
kalium tidak berbeda bermakna antara DAFTAR PUSTAKA
kelompok yang mendapatkan pre- 1. Mc Loughlin C, Elliot P, McCarthy JG,
treatment non depolarisasi atau tidak Mirakhur KR. Muscle pains and Biochemical
changes Following Suxamethonium
fakta ini berbeda dengan hasil penelitian Administration After Six pretreatrnent
Chatterji.18 Regimens. Anaesthesia 1993 : 41 : 202-206.
2. Laurence AS. Myalgia and Biochemical
Perbedaan ini semua dapat disebabkan change following intermittent
oleh perbedaan dosis yang digunakan Suxamethonium Administration. Anaesthesia
1987 ; 42 : 503-5 I 0
serta dimungkinkan oleh karena masing- 3. Cannon JE. Precurarization. Can J Anaes
masing obat mempunyai dominasi tempat 1994; 44:177-183
kerja yang berbeda disamping itu 4. PaseNL. Prevention of Succinylcholie
kelompok sebaran umur yang lebar Myalgias : A Meta Analysis. Anasthesia and
menyebabkan data tidak normal, ini Analgesia 1990; 70 : 477-483
5. Aitkenhead A.& G Smith. Neuromuscular
disebabkan jumlah pasien yang tidak Blockade-Textbook of Anaesthesia, 2nd Ed.
terlalu banyak sehingga merupakan salah New york, 1991:218-219, 417, 446447,
satu keterbatasan dari penelitian ini. 6. Shrivastava chatterji S, Kachhwa s, Daga SR
calcium Glukonate prctneatment for
SIMPULAN prevention of succinylcholine-induced
myalgia Anesthesia and analgesia 1983; 62 :
Penggunaan MgSO4 40% 40 mg/KgBB 59-62.
sebagai pretreatment tidak seefektif 7. Spence DLT, Domen & Herbert, Boulette E,
Atrakurium dalam mengurangi kenaikan Vachiano C, Maye J. A comparation of
kadar ion kalium darah meskipun lebih Rocuronium and Lidocain for The prevention
baik dibanding dengan obat preteatnent of Postoperative Myalgia After
Succinylcholine A&ninistration. AANA
yang lain akibat suksinilkolin. Joumal 2002:70 :367-372.
8. Hemmerling TIVI, schimidt J, wolf, Klein,
Penggunaan MgSO4 40% 40 mg/kgBB Jacobi. comparation of succinylcholine with
sebagai pretreatment dapat mengurangi two dosds of rocuronium using a new
kenaikan kadar kreatin fosfokinase darah methode of monitoring neuromuscular block
at the laryngeal muscles by surface laryngeal
akibat suksinilkolin. Tidak ada korelasi electromyography.Britis J Anaes 2000; 85
antara peningkatan serum CPK dan :251-255.
peningkatan ion kalium akibat induksi 9. Kim JH, [Iun Chq Lee [IW- Lim HJ, Chang
suksinilkolin antara kelompok yang SIf Yoon SM, Comparation of rocuronium
mendapatkan premedikasi MgSO4 40% and vecuronium hetreatment for Prevention
of Fasciculations, Myalgia and Biochemical
40 mg/kgBB dan kelompok yang Changes Following Succinylcholine
mendapatkan premedikasi Atrakurium Administration. Acta Anaethesia Sin 1999;
0,05 mg/kgBB. 37 : 173-177.
10. Naguib H. Effect of Pretreafinent with Lysine
Penggunaan MgSO4 40% 40 mg/kgBB Acetyl Salicylate on Suxamethonium-
induced myalgia. In : General issues W. Fitch
sebagai pretreatment dapat dijadikan ed. British J Anaes. 1987; 59 : 606-610.
alternatif untuk mengurangi kenaikan 11. Houghton IT. Aunt CST, Lau JTF.
kadar serum kreatin fosfokinase akibat Suxamethonium Myalgia : An Ethnic
pemberian suksinilkolin, sehingga Comparation With and Without pancuronium
kejadian mialgia dapat dikurangi. Perlu pretreatment. In : The Association of
Anaesthetists of Gt Britian and Irpland ed.
dilakukan penelitian lebih lanjut korelasi Anaesthesia 1992; 69:200-210.
________________________________________________________________________________
8
Volume II, Nomor 1, Tahun 2010
Jurnal Anestesiologi Indonesia
12. Leeson-Payng Nicoll, Hobbs. use ou 19. Myles PS, Hunt Jo, and Moloney JT.
Ketorolac in The hevention of Postoperativi: minor complications.
Suxamethonium Myalgia. In : British J Anaesthesia, 1997 ; 52: 300-306.
Anaes.1994:73 :788-790 20. Katnng, BG, Editor Bahsa Indonesia oleh :
13. Samad R. Muscle Pain After Succinylcholine sjabana D. dkk : Farmakologi Dasar dan
Injection and Its Management. Journal Klinilq Edisi 8-Buku 2 Jakarta; salemba
Surgery Pakistan. 2003;volume 09, Number Medika, 2002 : 177-203
03. 21. Sugiri. Penggunaan Magnesium Sulfat dalam
14. Krisnanto D, Saleh SC, Sylvaranto T,. tatalaksana Paroksismal Atrial Takikardi.
Pengaruh suksinitkholin dosis intubasi Media Medika Indonesiana 2002: 36(4): 127-
terhadap kalium pada penderita di RSUD Dr. 34.
Sutomo surabaya. Dalam : Kumpulan 22. Pokharel M.comparative study of Intravenous
Makalah Pra PIB VIII IDSAI Surakartq Magnesium sulphate and Lignocain in
1994. Attenuation of Hemodynamic response to
15. Vaugh RS. Potasssium and the perioperative raryngoscopy and tracheal Intubation. Can J
periods. British J Anaes l99l; 67:194-200. Anaesth 2004:49:11286
16. Worthley LIG. Fluid and elecholyte therapy. 23. Glaaser IW, clancy cE.cardiac Na+ channel as
In: T.E.OH, ed. Intensive care Manual. 3'd therapeutic Taget dor Antiarrhyhnic
ed. London: Butterworttrs. 1990:502-5 11. Agents.I.:Kass Rs, Clancy cE. Basis and
17. Dobb GJ. Electrolytes and Parenteral Treatment of cardiac Arrhyhnias Berlin ;
rherapy. In: Davidson c. wylie. A Practice of Springer 2006 :99 – 120
Anaesthesia 5s ed. singapore: Lroyd- 24. Chakraborti S, Makdal M, Ghosh S.
ruke.1996:566-568. Protective role of Magnesium in
18. Moir DD. Thorburn J. obstefic Anaesthesia Cardiovasculer disease : A Riview . J
and Analgesia. 3d ed. London: Balliere Molecular and Celluler biochemistry
Tindal, 1986: 13. 2002;238:163-179
________________________________________________________________________________
9
Volume II, Nomor 1, Tahun 2010
Jurnal Anestesiologi Indonesia
PENELITIAN
ABSTRACT
Background: Every patient undergoing surgery should receive proper pain management.
A non steroid antiinflamation drug, 30 mg ketorolac provide analgesic effect as well as 10
mg morphine or 100 mg meperidine without any cardio respiration depression side effect.
Ketorolac non selectively inhibit the function of cyclooxigenase enzyme and prostaglandin
synthesizes which cause endogenous vasoconstriction and decrease renal perfusion and
glomerular filtration.
Purpose: To detect effect of intravenous administration of ketorolac on Glomerular
Filtration Rate in anesthesia with isoflurane.
Method: This research was a second phase clinical trial, designed as double blind
randomize control trial. Sample of this study consisted of 48 patients, divided in to two
groups. Group Kl : receive intravenous 30 mg ketorolac (1 ml) 1 hour before the end of
surgery, and Group K2 : receive intravenous 1 ml saline 1 hour before the end of surgery.
Serum creatinine level was measured before and at 6 hours after surgery.
Result: There were no significant increase of serum creatinine and no significant decrease
of creatinine clearance in both ketorolac and plasebo group.
Conclusion: There were no significant increase of serum creatinine and decrease of
creatinine clearance in both ketorolac and plasebo group in anesthesia with isoflurane.
Key words: ketorolac, Glomerular Filtration Rate, isoflurane
ABSTRAK
Latar Belakang: Setiap penderita yang mengalami pembedahan sebaiknya diberikan
penanganan nyeri yang sempurna. Obat antiinflamasi non steroid ketorolak 30 mg
memberikan efek analgesia yang sebanding dengan morfin 10 mg atau meperidin 100 mg
dan tidak menimbulkan efek samping depresi respirasi. Ketorolak bekerja secara non
selektif menghambat fungsi enzim siklooksigenase dan sintesis prostaglandin yang
mengakibatkan terjadinya vasokonstriksi endogen, sehingga menyebabkan penurunan
perfusi ginjai dan filtrasi giomerulus.
Tujuan: Mengetahui pengaruh pemberian ketorolak intra vena terhadap laju filtrasi
giomerulus pada anestesi isofluran.
Metode : Penelitian ini merupakan uji klinis tahap II, dirancang sebagai double blind
randomized controlled trial Sampel 48 pasien, dibagi dalam 2 kelompok, yaitu kelompok
K1: diberikan ketorolak 30 mg (1 ml) intravena 1 jam sebelum operasi selesai, dan
kelompok K2: diberikan cairan salin 1 ml intravena 1 jam sebelum operasi selesai. Serum
kreatinin di periksa sebelum perlakuan dan 6 jam setelah operasi selesai.
Hasil : Terdapat peningkatan kreatinin serum secara tidak bermakna dan penurunan
klirens kreatinin secara tidak bermakna pada kelompok ketorolak dan plasebo.
Simpulan : Terdapat peningkatan kreatinin serum secara tidak bermakna dan terjadi
penurunan klirens kreatinin secara tidak bermakna, pada kelompok ketorolak dan plasebo,
dengan menggunakan agen inhalasi isofluran.
Kata kunci: ketorolak, laju filtrasi glomerulus, isofluran
________________________________________________________________________________
10
Volume II, Nomor 1, Tahun 2010
Jurnal Anestesiologi Indonesia
________________________________________________________________________________
11
Volume II, Nomor 1, Tahun 2010
Jurnal Anestesiologi Indonesia
________________________________________________________________________________
12
Volume II, Nomor 1, Tahun 2010
Jurnal Anestesiologi Indonesia
Tabel 1. Data numerik umur, BMI, serum kreatinin, dan klirens kreatinin menggunakan uji {(independent i
test dan paired t test) dengan derajat kemaknaan p< 0,05.
Variabel Kelompok Kelompok Uji Statistik P
K1 (n=24) K2 (n=24)
Umur (th) 31,58 ± 9,86 31,33 ± 9,16 Uji-t 0,928
Jenis Kelamin
Laki-laki 12 10 Mann Whitney 0,140
Perempuan 12 14
Berat badan (kg) 56,58 ± 7,19 53,79 ± 5,59 Uji t 0,140
BMI 21,62 ± 1,53 21,13 ± 1,07 Uji t 0,206
Status ASA (%)
ASA I 16 19 Mann Whitney 0,335
ASA II 8 5
Tabel 4. Data fungsi ginjal kelompok ketorolak dan plasebo sebelum operasi
Variabel Post operasi Uji P
Kelompok K1 Kelompok K2 Statistik
(n=24) (n=24)
Kreatinin 0,75 ± 0,18 0,746 ± 0,13 Independent 0,940
t test
Klirens 117,30 ± 21,91 111,44 ± 22,66 Independet 0,367
kreatinin t test
________________________________________________________________________________
13
Volume II, Nomor 1, Tahun 2010
Jurnal Anestesiologi Indonesia
Tabel 5. Data fungsi ginjal kelompok ketorolak dan plasebo setelah operasi
Variabel Post operasi Uji P
Kelompok K1 Kelompok K2 Statistik
(n=24) (n=24)
Kreatinin 0,777 ± 0,19 0,776 ± 0,15 Independent 0,987
t test
Klirens 113,65 ± 22,24 108,27 ± 24,76 Independet 0,432
kreatinin t test
________________________________________________________________________________
14
Volume II, Nomor 1, Tahun 2010
Jurnal Anestesiologi Indonesia
________________________________________________________________________________
15
Volume II, Nomor 1, Tahun 2010
Jurnal Anestesiologi Indonesia
________________________________________________________________________________
16
Volume II, Nomor 1, Tahun 2010
Jurnal Anestesiologi Indonesia
PENELITIAN
Hubungan Kadar Midazolam Plasma Ibu Dan Bayi Dengan Kondisi Fisik
Serta Waktu Persalinan Pada Pasien Sectio Caesaria Yang Mendapat
Premedikasi Midazolam Intravena
Eva Susana Putri Daya*, Uripno-Budiono*, Heru Dwi Jatmiko*
*Bagian Anestesiologi dan Terapi IntensifFK Undip/ RSUP Dr. Kariadi, Semarang
ABSTRACT
Background: Routine midazolam premedication is given in spinal anesthesia because very
useful to give sedation, amnesia, decrease anxiety so that the patients’ hemodynamic is
more stabile. To date, midazolam premedication for Cesarean section is still controversial
because can depress nenonate respiratory. It is because data about the pharmacology of
transplacental is still limited. In Cesarean section didn’t have bad effect to neonate. This
study want to add information about transplacental pharmacology so that analysis the
relation of blood plasma midazolam level of mother and baby with physical condition and
time of labor.
Objective: To prove the relation of blood plasma midazolam level of mother and baby with
physical condition and time of labor.
Method: There were 15 sample who fulfilled inclusion and exclusion criteria. Patient was
injected with 0,02 mg/kgBW intravenous midazolam premedication just before spinal
anesthesia (± 2 minute). After the umbilical cord cut, the maternal blood sample and
umbilical vein blood sample was taken. The level of midazolam plasma was measured by
HPLC. Statistic Corelation was analyzed using Person.
Result: The aged of mother had positive significant correlation with blood plasma
midazolam level of mother (r=0,932 ; =0,000) and baby ( r=0,578 ; =0,024 ). The aged
of pregnancy had negative significant correlation with mother blood plasma midazolam
level ( r= -0,648 ; = -0,009 ). The weight of the baby had negative significant correlation
with baby blood plasma midazolam level ( r= -0,954 ; =0,000 ). Time of labour have
negative significant correlation with blood plasma midazolam level of mother ( r= - 0,760;
=0,001 ) and the baby (r= -0,558 ; = -0,031 ).
Conclusion: There is relation of blood plasma midazolam level of mother and baby with
physical condition and time of labor
Keywords : Midazolam, Spinal Anesthesia, Sectio Caesaria
ABSTRAK
Latar belakang: Premedikasi midazolam rutin diberikan pada anestesi spinal karena
sangat bermanfaat untuk memberikan efek sedasi, amnesia, menghilangkan
kecemasan. Premedikasi midazolam untuk pasien section caesaria masih kontroversial
karena ditakutkan terjadinya depresi napas neonatus. Hal ini karena informasi
farmakologi transplasenta masih langka. Pada penelitian sebelumnya menyatakan dosis
0,02mg/kgbb iv aman bagi bayi. Penelitian ini bermaksud menambah informasi mengenai
studi farmakokinetika yaitu menganalisis hubungan kadar midazolam plasma ibu dan
bayi dengan kondisi fisik dan lamanya persalinan.
________________________________________________________________________________
17
Volume II, Nomor 1, Tahun 2010
Jurnal Anestesiologi Indonesia
Tujuan : Membuktikan adanya hubungan kadar midazolam plasma ibu dan bayi dengan
kondisi fisik serta waktu persalinan.
Metode : Ruang lingkup penelitian adalah Anestesiologi dan Farmakologi. Sample
sebanyak 15 orang yang telah melalui kriteria inklusi dan eklusi Pasien diberi premedikasi
midazolam dosis 0,02 mg/kgbb iv sesaat sebelum dilakukan anestesi spinal (± 2 menit).
Setelah bayi lahir dipotong tali pusat, maka diambil arah vena maternal dan diambil
sampel darah vena umbilikali Kadar midazolam plasma diukur menggunakan HPLC.
Analisa statistik korelasi dengan pearson.
Hasil : Usia ibu mempunyai hubungan bermakna positif dengan kadar midazolam plasma
ibu (r=0,932 ; =0,000) dan bayi (r=0,578 ; =0,024). Usia kehamilan mempunyai
hubungan bermakna negatif dengan kadar midazolam plasma ibu (r= -0,648 ; = -0,009).
Berat badan bayi mempunyai hubungan bermakna negatif dengan kadar midazolam
plasma bayi (r= -0,954 ; =0,000). Waktu persalinan mempunyai hubungan bermakna
negatif dengan kadar midazolam plasma ibu (r= - 0,760 ; =0,001) maupun bayi (r= -
0,558 ; = -0,031).
Kesimpulan : Ada hubungan kadar midazolam plasma ibu dan bayi terhadap kondisi fisik
serta waktu persalinan
Kata kunci : Midazolam, Anestesi Spinal, Sectio Caesaria
________________________________________________________________________________
18
Volume II, Nomor 1, Tahun 2010
Jurnal Anestesiologi Indonesia
Jakarta. Penelitian dilakukan sejak Adapun pelarut untuk HPLC grade antara
November 2008 sampai Januari 2009. lain : dichloromethane, hexane, isopropyl
Jumlah sampel yang diperlukan untuk alcohol, tetrahydrofuran, t-butyl methyl
penelitian ini seluruhnya adalah 15 ether, acetonitrile. Standar internal
sampel ibu dan 15 sampel bayi. menggunakan climazolam.
Pasien diberikan oksigen kanul nasal 3 Data-data meliputi data demografi dasar
l/mnt, dipasang alat monitoring, (usia ibu, tinggi badan, berat badan), lab
diberikan koloid HES 6% sebanyak pre operasi (darah rutin, elektrolit, ureum,
500ml dimana sebelumnya dari ruangan creatinin, albumin, GDS, ppt), status
telah diberikan kristaloid RL 500 ml dan obstetric (multiparitas, umur kehamilan),
dievaluasi monitoring hemodinamik. hemodinamik ibu (pre operasi, durante
Kemudian pasien mendapatkan operasi (tiap 5 menit), post op),
premedikasi midazolam 0,02 mg/kgbb iv manajemen operatif (waktu yang
sesaat ( ± 2 menit ) sebelum dilakukan diperlukan mulai dari premedikasi s/d
spinal anestesi. Anestesi spinal dengan bayi lahir, durasi operasi, total efedrin),
bupivakain 0,5% hiperbarik 12,5 mg, berat badan bayi baru lahir dan Skor
sebelum dilakukan insersi spinal needle apgar menit 1, 5, dan 10. Sampel plasma
25 G dilakukan infiltrasi subcutis dengan darah vena umbilikalis diambil sesaat
lidokain 2%. setelah bayi lahir bersamaan diambil
sampel darah vena ibu @ 2 cc. Sampel
Setelah bayi lahir dan tali pusar dipotong
darah vena diambil plasmanya dengan
diambil sampel darah pada vena
centrifuge kemudian besar kadar
umbilikalis bersamaan juga diambil
midazolam plasma diukur dengan metode
sampel darah vena maternal di regio ante
HPLC.
brachii ibu untuk mengukur kadar
midazolam dalam plasma darah vena Analisa Statistik deskriptif untuk masing-
umbilikalis dan plasma darah ibu. Sampel masing variabel numerik dinyatakan
darah masing-masing diambil 2 cc dan dalam rerata ± simpang baku ( mean ±
dimasukkan ke dalam tabung vakum SD ). Semua variabel numerik diuji
plastik berisi EDTA, dan segera dikirim normalitas untuk sebaran data. Analisa
ke laboratorium. Kemudian darah vena korelasi antara usia ibu, berat badan ibu,
diambil plasmanya dengan alat pemusing. BMI ibu, usia kehamilan, berat badan
Selain itu mencatat data penilaian Skor bayi serta waktu persalinan dengan kadar
APGAR menit ke 1 dan ke 5 oleh dokter midazolam plasma darah ibu dan bayi
anak/residen anak dan berat badan bayi. menggunakan statistik korelasi Pearson.
Penyaji dalam bentuk tabel dan grafik.
Masing-masing sampel darah vena
diambil plasmanya dengan sentrifus 3000
rpm selama 45 detik kemudian disimpan
HASIL
dalam lemari es -80º C. Media transport
sampel menggunakan cooling box yang Didapat 15 ibu hamil aterm yang
berisi dry ice. Kadar midazolam plasma menjalani section caesar dengan anestesi
darah diukur dengan menggunakan spinal yang memenuhi kriteria penelitian.
metode HPLC ( High Performance Karakteristik subyek penelitian dapat
Liquid Chromatography ) dengan sistem dilihat pada Tabel 1.
grading tehnik column switching. Reagen Berdasarkan American Society of
grade analistis yang digunakan antara Anesthesiologist (ASA) didapat 13 orang
lain : sodium hydroxide, orthophosporic subyek penelitian (86,7%) dengan
acid, disodium hydrogen orthophospat. kategori ASA I dan 2 orang subyek
________________________________________________________________________________
19
Volume II, Nomor 1, Tahun 2010
Jurnal Anestesiologi Indonesia
Tabel 2. Rerata waktu dari saat premedikasi sampai dengan bayi lahir, berat badan lahir bayi dan skor
APGAR (n=15)
Karakteristik Rerata (Simpang Baku)
Waktu dari premedikasi s/d lahir (menit) 17,2 (7,19
Berat Badan Lahir Bayi (gram) 3126,7 (278,94)
Skor APGAR menit ke-1 8,6 (0,63)
Skor APGAR menit ke-5 9,3 (0,59)
Skor APGAR menit ke-10 10,0 (0,00)
Tabel 3. Parameter hemodinamik subyek penelitian sebelum premedikasi, 1 menit setelah premedikasi dan
durante operasi
Karakteristik Sebelum 1 menit Durante operasi (menit ke-)
premedikasi setelah
premedikasi 5 10 15 30 45 60
Rerata (SB) Rerata (SB) Rerata Rerata Rerata Rerata Rerata Rerata
(SB) (SB) (SB) (SB) (SB) (SB)
Denyut 103,3 (4,98) 91,4 (4,01) 90,1 94,8 99,3 94,3 91,5 90,5
Jantung (3,73) (4,41) (6,40) (4,30) (4,78) (3,56)
(x/menit)
Sistol 118,6 (8,09) 113,2 (7,37) 109,9 108,5 111,1 112,9 117,1 117,9
(mmHg) (6,56) (3,81) (5,33) (6,51) (6,73) (7,03)
Diastol 73,9 (6,29) 67,6 (7,38) 64,1 62,5 62,9 66,5 70,5 68,9
(mmHg) (6,68) (7,06) (6,50) (6,72) (6,92) (7,53)
MAP 78,5 (5,20) 80,5 (4,53) 84,0 83,6 105,5 105,9 91,3 89,2
(mmHg) (5,04) (5,61) (2,15) (2,24) (2,10) (2,46)
SpO2 (%) 99,7 (0,59) 99,9 (0,35) 100,0 100,0 100,0 100,0 100,0 100,0
(0,00) (0,00) (0,00) (0,00) (0,00) (0,00)
________________________________________________________________________________
20
Volume II, Nomor 1, Tahun 2010
Jurnal Anestesiologi Indonesia
Tabel 4. Kadar midazolam plasma darah vena maternal, vena umbilikalis dan rasio fetomaternal kadar
midazolam
Tabel 5. Korelasi product moment pearson dengan variabel terikat kadar midazolam plasma darah ibu
Tabel 6. Korelasi product moment pearson dengan variabel terikat kadar midazolam plasma darah bayi
Gambar 2. Perbandingan kadar midazolam 2500 gram dengan berat teringan adalah
plasma darah vena maternal dan umbilical subyek 2700 gram dan terberat adalah 3600 gram
penelitian (n=15)
Kadar midazolam plasma darah vena
maternal (ibu), vena umbilikalis (bayi)
dan rasio fetomaternal kadar midazolam
stelah premedikasi midazolam dosis 0,02
mg/kgBB iv ditampilkan pada Tabel 4.
Dari Tabel 5 diketahui ada 3 indikator
yang mempunyai hubungan yang
bermakna dengan kadar midazolam
plasma darah ibu yaitu : usia ibu, usia
kehamilan dan waktu antara premedikasi
sampai bayi lahir, sedangkan usia dan
BMI ibu tidak bermakna.
Dari Tabel 6 dapat dilihat indikator
bermakna terhadap kadar midazolam
Waktu dari saat premedikasi sampai dalam plasma darah bayi yaitu : usia ibu,
dengan bayi lahir, berat badan lahir bayi waktu antara premedikasi sampai bayi
dan skor APGAR ditampilkan pada Tabel lahir dan berat badan bayi, sedangkan
2. Berat badan lahir bayi seluruhnya > berat badan ibu, BMI ibu, usia
________________________________________________________________________________
21
Volume II, Nomor 1, Tahun 2010
Jurnal Anestesiologi Indonesia
________________________________________________________________________________
23
Volume II, Nomor 1, Tahun 2010
Jurnal Anestesiologi Indonesia
PENELITIAN
ABSTRACT
Background : Perioperatif haemorrage is a serious problem often faced in every operation
process. It is said that the administration of volating anesthetic agents have an effect to
inhibit thrombocyte aggregation. Using the same capture point, ADP, as an inductor, we
will observe the difference effect between enflurane and halothane administration toward
thrombocyte aggregation.
Objective : To find out the effect between enflurane and halothane administration toward
thrombocyte aggregation.
Methods : Experimental study with sampling quota design to 48 patients underwent
general anesthetic procedures. The subjects was devided into two groups, 24 patients each,
The first group using enflurane as the anesthetic agent while the other group taken
halothane during operation process. Each agent was given start from induction until the
end of operation process, with the given rate 0,5-1 MAC along with O2 : N2O = 50% :
50% ( Enflurane and Halothane MAC is 1,2 and 0,8, respectively). The specimens were
taken from each group before intervention start which is before operation begin and after
intervention which is shortly before the administration of anesthetic agents stoped.
Specimens was collected from vein as much as 10 cc than stored in the plastic vaccum
tubes contain citrate anticoagulant. The speciments immidietly sended to Clinical
Pathology Laboratory of Kariadi Hospital to do the thrombocyte aggregation examination.
The statistical test using pair t-test and independent samples test (significancy degree <
0,05).
Result : The distributionbetween patients’ characteristic data and variable data was
statisticly normal. This study shows that the administration of Halothane using ADP 2 µM
as inductor causing a significant decrease (p=0,003) on thrombocyte maximal aggregation
percentage, but there was no significant difference (p= 0,340) with enflurane. When using
ADP 10 µM as inductor found a simmiliar result, there was a significant difference
(p=0,001) on thrombocyte maximal aggregation percentage before and after
administration of halothane and not with enflurane (p=0,066). Other results shows there
was a significant diference (p=0,001) on thrombocyte maximal aggregation percentage
before and after the administration both halothane and enflurane using 10 µM inductor.
Conclusion : Halothane have higher effect in inhibitting thrombocyte aggregation than
enflurane.
Key word : Enflurane, Halothane, ADP, thrombocyte aggregation
ABSTRAK
Latar belakang: Perdarahan perioperatif merupakan masalah serius yang sering dihadapi
dalam setiap operasi. Penggunaan obat anestesi inhalasi dikatakan mempunyai pengatuh
dalam menghambat agregasi trombosit. Dengan titik tangkap yang sama yaitu ADP
sebagai induktor akan diamati perbedaan perngaruh pemberian Enfluran dan Halotan
terhadap Agregasi Trombosit.
________________________________________________________________________________
24
Volume II, Nomor 1, Tahun 2010
Jurnal Anestesiologi Indonesia
________________________________________________________________________________
25
Volume II, Nomor 1, Tahun 2010
Jurnal Anestesiologi Indonesia
________________________________________________________________________________
26
Volume II, Nomor 1, Tahun 2010
Jurnal Anestesiologi Indonesia
Sementara Isofluran saat ini merupakan Pada penelitian ini secara khusus akan
agen inhalasi yang paling digemari membandingkan hasil TAT sampel yang
mengingat sifatnya yang minimal terpapar isofluran dengan yang terpapar
menyebabkan depresi sistem halotan, dengan demikian akan diperoleh
kardiovaskuler, tidak bersifat aritmogenik perbedaan pengaruh pemberian halotan
dan relatif tidak menaikkan tekanan dan isofluran terhadap agregasi
intrakranial, walaupun mempunyai sifat trombosit.
menyebabkan iritasi saluran pernapasan
sehingga bukan menjadi pilihan untuk METODE
metode induksi dengan cuff dalam pada
Penelitian ini merupakan uji klinik
anak-anak
dengan bentuk rancangan eksperimental
Isofluran dan halotan kita ketahui ulang ( pretest dan posttest control group
mempunyai kelemahan dan keunggulan design). Dalam rancangan eksperimental,
masing – masing, namun pada penelitian pengukuran atau observasi dilakukan di
berikut kami berusaha melihat interaksi awal dan setelah perlakuan.9
masing-masing obat tersebut terhadap
Ruang lingkup penelitian Anestesiologi
agregasi trombosit, mengingat
dan tempat melaksanakan pemeriksaan
pentingnya peran trombosit dalam proses
laboratorium di Laboratorium Patologi
homesostasis pada suatu proses
Klinik RSUP Dr. Kariadi Semarang.
pembedahan.
Sampel diambil dari pasien yang
Agregasi trombosit dinilai melalui suatu
menjalani operasi elektif di Instalasi
pemeriksaan yang disebut dengan Tes
Bedah Sentral RS Dr. Kariadi Semarang
Agregasi Trombosit (TAT). Teknik yang
yang memenuhi kriteria inklusi dan
penting untuk pemantauan in vitro yaitu
eksklusi, menggunakan “Randomized
hambatan respon agregasi trombosit oleh
Clinical Control Trial” dibagi menjadi
agonis trombosit yang diberikan.
dua kelompok sebagai berikut: Kelompok
Beberapa agonis/induktor yang dapat
1 (K1): menggunakan Isofluran sebagai
digunakan adalah trombin, TxA2, asam
obat anestesi inhalasi selama operasi,
arakidonat, serotonin, vasopresin, dan
Kelompok 2 (K2): menggunakan Halotan
ADP yang dipakai pada Laboratorium
sebagai obat anestesi inhalasi selama
Patologi Klinik di RS Dr. Kariadi. TAT
operasi
berdasarkan perubahan transmisi cahaya
sampai sekarang masih dianggap sebagai Kriteria inklusi : Wanita, usia antara 19 -
baku emas untuk menilai fungsi agregasi 35 tahun, Status fisik ASA I-II,
trombosit. Spesimen pemeriksaan yang Menjalani operasi dengan anestesi umum,
digunakan adalah plasma dari whole Lama operasi 1 - 3 jam, BMI normal.
blood pasien yang diberikan antikoagulan Kriteria eksklusi : Pasien dengan kadar
sitrat. Alat yang digunakan adalah trombosit < 100.000 / µL, Pasien dengan
agregometer dengan daya pemantauan kadar kolesterol > 200 mg/dl, Pasien
agregasi tubidimetrik. Setiap peningkatan yang mendapat pemberian koloid > 1000
transmisi cahaya dicatat sebagai suatu cc selama perlakuan (selama pemberian
agregasi trombosit.7 Hasilnya akan volatile agent), Pasien yang mendapat
dididapatkan persen maksimum agregasi pemberian tranfusi darah selama
trombosit yang terjadi dengan pemberian perlakuan (selama pemberian volatile
ADP 2 µM ; 5µM dan 10 µM sebagai agent)
induktor agonis trombosit.
________________________________________________________________________________
27
Volume II, Nomor 1, Tahun 2010
Jurnal Anestesiologi Indonesia
Data yang terkumpul kemudian diedit, di- dengan induktor 10 μM ADP ( p = 0,828
koding dan di-entry ke dalam file dan 0,954).
komputer. Setelah itu dilakukan cleaning
data. Analisis deskriptif dilakukan Sementara pada Tabel 3 menunjukkan
dengan menghitung proporsi gambaran data sesudah perlakuan pada kelompok I
karakteristik responden menurut (Isofluran) dan II (Halotan) didapatkan
kelompok perlakuan (isofluran dan hasil uji normalitas Shapiro Wilk
halotan). Hasil analisis akan disajikan menunjukkan nilai % agregasi maksimal
dalam bentuk tabel dan grafik. Dilakukan trombosit berdistribusi normal dengan
pembuatan grafik pada gambaran induktor 10 μM ADP ( p = 0,447 dan
agregasi trombosit menurut kelompok 0,975). Data kemudian dianalisis secara
perlakuan (isofluran dan halotan). parametrik menggunakan uji pair t-test
untuk melihat perbedaan % agregasi
Analisis analitik dilakukan untuk menguji maksimal trombosit antara sebelum dan
perbedaan persen agregasi maksimal sesudah perlakuan dengan 10 μM ADP.
trombosit pada kedua kelompok dengan
uji paired t-test. Semua uji analitik Dari Tabel 4 nampak bahwa sebelum dan
menggunakan α = 0,05. Semua sesudah perlakuan dengan induktor ADP
perhitungan statistik menggunakan 10 μM pada kelompok isofluran
software SPSS 11.5 didapatkan perbedaan yang tidak
bermakna terhadap % agregasi maksimal
HASIL trombosit dengan p = 0,066 (p> 0,05).
Sedangkan untuk kelompok halotan
Telah dilakukan penelitian tentang terbukti menyebabkan penurunan %
perbedaan pemberian isofluran dan agrgegasi maksimal trombosit yang
halotan terhadap agregasi platelet pada 48 secara statistik berbeda secara bermakna
orang penderita yang menjalani operasi p = 0,001 (p< 0,05). Pada Grafik 1
dengan status fisik ASA I dan II. digambarkan perbandingan perubahan %
agregasi maksimal trombosit antara
Uji normalitas One Sample Kolmogorov
sebelum dan sesudah perlakuan pada
Smirnov digambarkan pada tabel 1,
kedua kelompok dengan menggunakan
dimana karakteristik umum subyek pada
induktor 10 μM ADP.
masing-masing kelompok memliki
distribusi yang normal (p > 0,05), Dalam Tabel 5 digambarkan bahwa
sehingga untuk uji homogenitas sebelum diberi perlakuan antara
diperlukan analisis statistik dengan kelompok isofluran dan halotan yang
independent t test. Hasilnya didapatkan diberi induktor ADP 10 μMditemukan
data yang homogen (perbedaan yang perbedaan % agregasi maksimal
tidak bermakna, p > 0,05) dari semua trombosit yang tidak bermakna p = 0,995
variable yakni umur, BMI, tekanan darah (p > 0,05), kemudian yang sudah diberi
sistole, tekanan darah diatole, nadi, status perlakuan antara kelompok isofluran dan
ASA dan lama operasi sebelum dilakukan halotan yang diberi induktor ADP 10 μM
perlakuan. juga ditemukan perbedaan % agregasi
maksimal trombosit yang bermakna p =
Pada Tabel 2 menunjukkan data sebelum
0,001 (p < 0,05). Pada Grafik 2
perlakuan pada kelompok I (Isofluran)
menggambarkan perbedaan rerata %
dan II (Halotan) didapatkan hasil uji
agregasi maksimal trombosit antara
normalitas menunjukkan nilai % agregasi
sesudah pemberian isofluran dan sesudah
trombosit maksimal berdistribusi normal
________________________________________________________________________________
28
Volume II, Nomor 1, Tahun 2010
Jurnal Anestesiologi Indonesia
Tabel 4. Nilai rerata dan simpangan baku persen agregasi maksimal trombosit sebelum dan sesudah
perlakuan pada kelompok isofluran dan halotan (dengan induktor ADP 10 μM)
________________________________________________________________________________
29
Volume II, Nomor 1, Tahun 2010
Jurnal Anestesiologi Indonesia
84
82
80
adp 10
78 isofluran
76
74
72
sebelum sesudah
Grafik 1. Perbandingan perubahan % agregasi maksimal trombosit antara sebelum dan sesudah perlakuan
pada kelompok isofluran dan halotan
Tabel 5. Perbedaan rerata persen agregasi maksimal trombosit sesudah perlakuan pada kelompok isofluran
dan halotan (dengan induktor ADP 10 μM)
82
81
80
79
78 adp 10 isofluran
77
adp 10 halotan
76
75
74
sesudah
Grafik 2. Perbedaan % agregasi maksimal trombosit antara sesudah pemberian isofluran dan sesudah
pemberian halotan
30
20
20
14
10
10
kelompok
kel halotan
Count
Normoagregasi - hipoagregas i
________________________________________________________________________________
30
Volume II, Nomor 1, Tahun 2010
Jurnal Anestesiologi Indonesia
________________________________________________________________________________
31
Volume II, Nomor 1, Tahun 2010
Jurnal Anestesiologi Indonesia
maksimal trombosit lebih rendah dari perbedaan yang bermakna p = 0,001 (p<
rentang nilai rujukan terendah, sehingga 0,05). Hasil ini mendukung pengamatan
pada penelitian ini induktor yang paling awal yang dilakukan oleh Ueda, dimana
tepat digunakan yaitu dengan dosis ADP dikatakan halotan dalam konsentrasi
10 µM. klinis terbukti menurunkan agregasi
trombosit yang dirangsang ADP secara in
Pada penelitian Tes Agregasi Trombosit vitro. Dengan ADP 10 μM diharapkan
dilakukan pemberian induktor dosis terjadi pelepasan granula sekunder dari
tinggi diharapkan akan menyebabkan permukaan trombosit dan terbentuklah
agregasi trombosit primer irreversible agregasi sekunder, dimana perlu diingat
diikuti pelepasan granula padat dan agregasi sekunder terjadi akibat
granula α yang kemudian menyebabkan pelepasan granula padat setelah
aktivasi jalur asam arakidonat dan terjadinya agregasi primer sehingga
pembentukan tromboksan A2, kembali membuat jalur arakidonat dan
menghambat aktivitas enzim adenil terbentuk tromboksan A2. Tromboksan
siklase sehingga terjadi penurunan siklik A2 ini akan menurunkan konsentrasi
AMP (cAMP). ADP yang disekresi cAMP (Adenosin Mono Phosphat cyclic)
granula padat akan merangsang agregasi yang berfungsi mengendalikan konsen-
lebih lanjut sehingga agregasi trombosit trasi ion Kalsium bebas yang dibutuhkan
bertambah, dan sewaktu-waktu dapat dalam proses agregasi. Kadar cAMP
membentuk kurva bifasik.33 yang tinggi menyebabkan kadar ion
Kalsium bebas dalam trombosit yang
Sementara hasil lain dari penelitian ini
digunakan dalam proses agregasi.12
bahwa dengan ADP 10 μM untuk
kelompok isofluran antara sebelum dan Penelitian ini juga disebutkan bahwa
sesudah perlakuan juga memberi sesudah pemberian isofluran dan sesudah
perbedaan yang tidak bermakna p = 0,066 pemberian halotan dengan induktor 10
(p > 0,05), hal ini semakin memperkuat μM ditemukan perbedaan yang bermakna
pendapat yang mengatakan bahwa antara sesudah pemberian isofluran dan
isofluran bisa dikatakan tidak sesudah pemberian halotan dengan p =
mempengaruhi secara bermakna respon 0,001 (p< 0,05), dimana pada halotan
trombosit terhadap aktivasi ADP. Pada terjadi penurunan rerata % agregasi
pola kurva yang terbentuk dengan ADP maksimal trombosit. Hal tersebut
10 μM pada kelompok isofuran juga memperkuat pernyataan yang mengata-
terlihat terbentuk gelombang bifasik kan pemberian halotan secara bermakna
disebut juga sebagai irreversible double menurunkan aktivasi ADP pada proses
wave aggregations menunjukkan terjadinya agregasi trombosit bila
terjadinya respon optimal dimana respons dibandingkan dengan isofluran.
agregasi primer terhadap aktivasi GP
IIb/IIIa di permukaan trombosit Pemberian induktor ADP 10 μM
membentuk kurva datar singkat yang merupakan induktor terkuat yang
diikuti respon sekunder yang diikuti oleh umumnya digunakan sebagai pedoman
respon sekunder yang lebih besar (hasil untuk menetapkan keadaan hipoagregasi
dari degranulasi trombosit) dan bersifat apabila nilai % agregasi maksimal
irreversible.33 trombosit lebih rendah dari rentang nilai
rujukan terendah dan disertai pola kurva
Sedangkan pada kelompok halotan agregasi reversible. Alasan pemilihan
dengan induktor 10 μM antara sebelum ADP sebagai induktor disamping
dan sesudah perlakuan didapatkan induktor lain seperti : epinefrin, kolagen,
________________________________________________________________________________
32
Volume II, Nomor 1, Tahun 2010
Jurnal Anestesiologi Indonesia
________________________________________________________________________________
33
Volume II, Nomor 1, Tahun 2010
Jurnal Anestesiologi Indonesia
________________________________________________________________________________
34
Volume II, Nomor 1, Tahun 2010
Jurnal Anestesiologi Indonesia
________________________________________________________________________________
35
Volume II, Nomor 1, Tahun 2010
Jurnal Anestesiologi Indonesia
TINJAUAN PUSTAKA
ABSTRACT
Postoperative management of trauma patients in the ICU on patient outcomes is critical,
because with good management in ICU trauma patient survival rate is higher.
Management of trauma patients in the ICU is primarily focused on the management of
hypothermia, coagulopathy, acidosis, and abdominal compartment syndrome, ARDS, it is
because of these factors is the leading cause of death in the first hours after trauma.
ABSTRAK
Pengelolaan pasca operasi di ICU pada pasien trauma sangat menentukan hasil akhir
pasien, karena dengan pengelolaan yang baik di ICU, tingkat survival pasien trauma
menjadi lebih tinggi. Pengelolaan pasien trauma di ICU terutama difokuskan pada
pengelolaan hipotermi, koagulopati, asidosis, sindrom kompartemen abdomen dan ARDS,
hal ini karena faktor-faktor tersebut merupakan penyebab utama kematian pada jam-jam
pertama pasca trauma.
________________________________________________________________________________
36
Volume II, Nomor 1, Tahun 2010
Jurnal Anestesiologi Indonesia
karena trauma SSP, trauma langsung dan setiap penurunan suhu di bawah
dinding paru atau dada, transfusi masif, 35ºC memberikan prognosis yang buruk.
edema saluran napas atas dan intoksikasi Hipotermia lebih sering terjadi dan lebih
berkelanjutan. Obat analgesik yang sesuai berat pada pasien dengan cedera serius,
harus diberikan, dengan sedasi jika sehingga sulit untuk dibedakan apakah
diperlukan. Support 12 sampai 24jam kematian ini disebabkan oleh hipotermia
menentukan keberhasilan resusitasi dan atau parahnya trauma yang men-
perbaikan pembedahan, hemodinamik dasarinya. Suatu penelitian menyebutkan
stabil, titrasi analgesik yang sesuai dan bahwa pada pasien yang tidak dihangat-
resolusi intoksikasi. Pasien trauma yang kan selama resusitasi angka kematiannya
tidak dapat diekstubasi berada pada risiko meningkat tujuh kali lebih besar
tinggi terjadinya gagal multi organ dan dibandingkan pasien yang dihangat-
akan berkembang menjadi ARDS pasca kan.1,2,3,4,5
trauma yang biasanya akan memerlukan
beberapa hari sampai minggu untuk Hipotermia merupakan komorbiditas
perawatan intensif. 2 utama pada pasien dengan trauma. Selain
kehilangan panas dari radiasi (paparan)
Beberapa masalah yang dihadapi pada dan konduksi (infus dingin), evaporasi
pasien trauma pasca operasi dan dan konveksi (ekspose permukaan
perawatan intensif yaitu : abdomen), redistribusi darah ke perifer
darah akibat gangguan autoregulasi yang
Nyeri akut pasca operatif terjadi akibat penggunaan obat-obat dan
Nyeri neuropatik timbul bila ada trauma cedera tulang belakang. Paralisis
langsung pada saraf sensorik utamadan farmakologis mencegah mekanisme
umumnya setelah trauma tulang produksi panas normal (misalnya
belakang, amputasi traumatik dan major menggigil) dan vasodilatasi agen anestesi
crush injury. Nyeri neuropatik ditandai mengganggu mekanisme konservasi
dengan rasa terbakar, rasa tersengat panas (misal vasokonstriksi).3
listrik intermiten dan disestesia yang
mempengaruhi distribusi dermatomal. Hipotermia biasanya berkaitan dengan
Analgesia epidural telah terbukti meningkatnya risiko perdarahan. Efek
menghasilkan tingkat kepuasan tinggi hipotermia ternasuk gangguan fungsi
pasien dan fungsi paru membaik setelah trombosit, gangguan fungsi faktor
operasi thorako abdominal dan ortopedi.3 koagulasi (setiap penurunan suhu 1ºC
tejadi penurunan fungsi 10%),
Hipotermia penghambatan enzim dan fibrinolisis).
Hipotermia didefinisikan sebagai suhu Hipotermia juga mempengaruhi proses
inti di bawah 35ºC, disertai asidosis, koagulasi platelet, meningkatkan sekues-
hipotensi dan koagulopati pada pasien trasi platelet, mengurangi metabolisme
dengan trauma berat.Hipotermia pada obat dan menginduksi vasokonstriksi.
pasien trauma harus dibedakan dari Gabungan hipotermia dan asidosis men-
hipotermia karena sebab lain. Mortalitas cerminkan penurunan curah jantung dan
pada hipotermia moderat (28-32ºC) perfusi jaringan. Miokardium hipotermi
karena paparan kurang dari 25% dimana rentan terhadap ektopi, terutamadisritmia
kematian ini disebabkan oleh penyakit ventrikel. Banyak penelitian telah meng-
yang mendasarinya, sementara pada identifikasi hipotermia sebagai faktor
pasien trauma suhu inti kurang dari 32ºC yang terkait dengan peningkatan mor-
berkaitan dengan tingkat kematian 100% biditas dan mortalitas pada pasien trauma
________________________________________________________________________________
37
Volume II, Nomor 1, Tahun 2010
Jurnal Anestesiologi Indonesia
________________________________________________________________________________
38
Volume II, Nomor 1, Tahun 2010
Jurnal Anestesiologi Indonesia
________________________________________________________________________________
39
Volume II, Nomor 1, Tahun 2010
Jurnal Anestesiologi Indonesia
________________________________________________________________________________
40
Volume II, Nomor 1, Tahun 2010
Jurnal Anestesiologi Indonesia
________________________________________________________________________________
41
Volume II, Nomor 1, Tahun 2010
Jurnal Anestesiologi Indonesia
pada pasien dengan trauma multiple mayor bila kadar awal laktat tinggi dan
untuk mengevaluasi hubungan antara bila normalisasi terjadi lebih dari 24 jam
bersihan laktat dan survival. Semua berkorelasi dengan berkembangnya gagal
pasien yang kadar laktatnya kembali ke organ pasca trauma. Seperti laktat, nilai
nilai normal ( ≤ 2) dalam 24 jam akan awal base deficit juga merupakan
survive. Survival akan menurun menjadi prediktor tingkat kematian pada pasien
77,8% bila normalisasi terjadi dalam 48 trauma.Davis membagi base deficit
jam dan menurun lagi menjadi 13,6% menjadi 3 kategori, mild (-3 sampai-
pada pasien yang kadar laktatnya naik di 5mEq/l), moderat (-6 sampai -9mEq/l)
atas 2 mmol/l lebih dari 48 jam. dan berat (< -10 mEq/l). Perbaikan bese
Penelitian ini didukung oleh penelitian deficit dalam 24 jam menurunkan risiko
Manikins yang menunjukkan non gagal organ dan kematian pada pasien
survival pada pasien dengan trauma trauma.3,4,5
MAP >65 mmHg in the first 30 minutes TBI patien need MAP >70 mmHg
Lactic Acidocis <2.1 mmol/L Trend to reduction in the first 6 hours
Complete clearence in 24 hour
Base deficit >-5.0 mEq/L Trend to reduction in the first 6 hours
Complete clearence in 24 hour
Hemoglobin 7.0-9.0 g/dL Patien with significant heart disease or older
than 55 years may need higher levels
SatP >94% With the lowest PEEP that permits keeping
FiO2 <0.6
Keterangan : MAP,Mean arterial pressure; PEEP, Positive end expiratory pressure; TBI ; traumatic brain
injury
________________________________________________________________________________
42
Volume II, Nomor 1, Tahun 2010
Jurnal Anestesiologi Indonesia
sepsis, aspirasi, transfusi, atau inhalasi trauma menjadi lebih tinggi. Pengelolaan
toksik. Pada ARDS terjadi kerusakan pasien trauma di ICU terutama di-
membran kapiler alveolar sehingga fokuskan pada pengelolaan hipotermi,
terjadi kebocoran cairan protein dari koagulopati, asidosis, sindrom kompar-
intravsakular ke interstistial yang temen abdomen dan ARDS, hal ini
menyebabkan gambaran klinis disfungsi karena faktor-faktor tersebut merupakan
pulmoner sedang sampai berat. ARDS penyebab utama kematian pada jam-jam
ditandai dengan hipoksemia, penurunan pertama pasca trauma.
compliance paru, dan penurunan
functional residual capacity (FRC)
DAFTAR PUSTAKA
Kriteria ARDS: PaO2/ FiO2 < 200,
gambaran infiltrat difus bilateral pada 1. Gentiltllo LM, Pierson DJ. Trauma critical
foto thoraks. Sedangkan kriteria ALI; care. Respir Crit Care Med. 2001; (163) :
604–7
PaO2/ FiO2 < 300, dan ditemukan 2. Rossaint. Management of bleeding following
gambaran infiltrat difus bilateral pada major trauma : an updated European
foto thoraks. guideline. Critical Care 2010 ; (14) : 52
3. Miller R.D. Anesthesia for Trauma. 7th ed.
Manajemen ARDS yaitu dengan ventilasi USA :Elseiver ; 2010 ; (2) : 2306-7
4. Smith C.E. Trauma Anesthesia..UK:
mekanik yang bertujuan meminimalkan Cambridge Press: ; 2008 : 215
efek pertukaran gas. Tetapi ventilasi 5. Edwin AD, Saraswati DD. Intensive care unit
mekanik juga terkait dengan trauma paru management of the trauma patient. Crit Care
akibat volume alveolar berlebih, Med 2006 ; (34) : 9
barotraumas. Positive end-expiratory
pressure (PEEP) digunakan untuk
meningkatkan oksigenasi pada FiO2
fixed. Penggunaan volume tidal rendah (6
ml/kg) pada pasien dengan ARDS
menurunkan mortalitas, barotrauma
rendah.
Sepsis
Sepsis pasca operasi dapat terjadi akibat
soiling peritoneal, intubasi trakea lama,
jalur intravaskular, dan pneumonia
pretrauma. Bakteremia dapat
diklasifikasikan menjadi onset awal,
terjadi dalam 96 jam setelah trauma, dan
onset lambat, muncul setelah 96 jam
setelah trauma. Risiko onset-awa
lbakteremia meningkat dengan adanya
kontusio paru, pneumonia aspirasi, dan
trauma abdomen skala besar.
________________________________________________________________________________
43
Volume II, Nomor 1, Tahun 2010
Jurnal Anestesiologi Indonesia
TINJAUAN PUSTAKA
ABSTRACT
Mediastinoskopy increasingly used in health centers. Mediastinoscopy is a minimally
invasive technique for excision biopsy of lung cancer. Mediastinoscopy provides access to
the mediastinal lymph nodes and is used for diagnosis or resektabilitas intrathorakal
malignancy. Preoperative CT is important for the evaluation and if there is compression of
trachea. Mediastinoscopy using general anesthesia. Venous access with a large diameter
intravenous catheters (14 to 16 gauge) is required because of the risk of excessive bleeding
and difficulty controlling bleeding. And is expected to review the above it can be
understood how the management of anesthesia in patients undergoing mediastinoscopy
surgery.
ABSTRAK
Mediastinoskopi semakin banyak digunakan di pusat-pusat kesehatan. Mediastinoskopi
merupakan tehnik minimal invasif untuk eksisi biopsi pada kanker paru-paru.
Mediastinoskopi menyediakan akses ke limfonodi mediastinal dan digunakan untuk
diagnosis atau resektabilitas keganasan intrathorakal. CT preoperatif penting untuk
mengevaluasi dan bila terdapat kompresi trakhea. Mediastinoskopi menggunakan
anestesi umum. Akses vena dengan kateter intravena diameter besar (14 hingga 16 gauge)
diharuskan karena resiko perdarahan berlebihan dan kesulitan pengendalian perdarahan.
Dan diharapkan dengan tinjauan diatas maka dapat dipahami bagaimana pengelolaan
anestesi pada pasien yang akan menjalani operasi mediastinoskopi
________________________________________________________________________________
45
Volume II, Nomor 1, Tahun 2010
Jurnal Anestesiologi Indonesia
Tumor
Mediastinum anterior
Tumor timus
Tumor tiroid dan paratiroid
Limfoma
Germ cell tumour
Mediastinum medial
Limfoma
Tumor mesenkim
Mediastinum posterior
Kanker sofagus
Tumor neurogenik
Kondisi Jinak
Kista yang berkembang
Kista pericardium
Kista esophagus
Limfadenopati granulomatosa
Tuberkulosis
Sarkoidosis
Vaskular
Aneurisma, aorta torakal, v. innominata
Gambar 3. Isi mediastinum medial dan posterior
Vasa berlebih, SVC kiri persisten,
anomali a. pulmonalis kiri
MEDIASTINOSKOPI
Mayoritas mediastinoskopi dilakukan
melalui pendekatan servikal, memasuki
mediastinum melalui sayatan 3 cm pada
insisura suprasternal. Sebuah diseksi
dibuat antara vena innominata kiri dan
sternum menciptakan sebuah terowongan
di lapisan fasia. Kemudian medias-
tinoskop tersebut dimasukkan lewat
anterior kelengkungan aorta. Pendekatan
anterior yang jarang dilakukan adalah
melalui kedua ruang interkostalis,
Gambar 4. Tindakan Mediastinoskopi perbatasan lateral dari sternum; teknik ini
sering digunakan untuk memeriksa
mediastinum yang lebih rendah.1,6
Kontraindikasi
Mediastinoskopi sebelumnya adalah
kontraindikasi yang relative kuat untuk
dilakukan prosedur ulang karena jaringan
parut menghilangkan letak dari diseksi.
Sindrom Vena kava superior (SVC)
meningkatkan risiko perdarahan dari
vena yang terdistensi merupakan
________________________________________________________________________________
46
Volume II, Nomor 1, Tahun 2010
Jurnal Anestesiologi Indonesia
________________________________________________________________________________
47
Volume II, Nomor 1, Tahun 2010
Jurnal Anestesiologi Indonesia
derajat obstruksi dan gejala yang ocular yang terisolasi hingga keterlibatan
dihasilkan. Jika ada kesulitan dalam pernapasan otot. Pasien dengan miastenia
ventilasi karena obstruksi pada tingkat gravis sensitif terhadap pelumpuh otot
karina atau bronkus, sebuah bronkoskop nondepolarisasi dan memiliki respon
harus dimasukkan dan ventilasi variabel untuk agen depolarisasi.
dipelihara dengan menghubungkan Sindroma Eaton-Lambert (sindrom
injektor Sanders atau ventilator jet ke myasthenic) miopati proksimal
port sisi bronkoskop. Dengan adanya berhubungan dengan small cell
gejala obstruksi parah, stenting dapat carcinoma. Pengurangan asetilkolin yang
dilakukan sebelum mediastinoskopi.3,4 dilepaskan dari saraf motorik terminal
presinaptik pada pasien ini menyebabkan
Sindroma SVC peningkatan sensitivitas untuk semua
obat yang memblokir neuromuskuler.
Kompresi SVC dengan pembesaran
Berbeda dengan miastenia gravis, dimana
kelenjar getah bening atau massa
kelemahan otot meningkat dengan
mediastinum dapat mengakibatkan
kegiatan fisik yang berat dan tidak dapat
obstruksi aliran darah dari kepala, leher,
dibalik dengan terapi asetil kolinesterase
dan ekstremitas atas, sehingga
6 inhibitor.4, 6
mengakibatkan SVC syndrome.
Tabel 2. Manifestasi non metastatik tumor
Manifestasi klinis tergantung pada mediastinal
kecepatan pertumbuhan tumor dan
pengembangan sirkulasi kolateral. Endokrin
Gangguan drainase vena menyebabkan Hiperparatiroid
Sindroma Cushing
lidah edema, laring bengkak dan SIADH
membuat intubasi berpotensi sulit. Pasien Sindroma karsinoid
dengan pembengkakan orofacial yang Neuromuskular
luas, suara serak, dan distensi dari vena Miastenia gravis
azygous pada CT scan meningkatkan Sindroma Eaton-Lambert
Neuropati perifer
risiko perdarahan dari trauma saat Neuropati otonom
diintubasi. Kepala elevasi, steroid, dan Hematologi
diuretic dapat membantu dalam Anemia
menurunkan resiko sebelum operasi.6 Trombositopenia
Trombosis
Efek sistemik Lainnya
Sindroma nefrotik
Paru-paru atau tumor mediastinum Amiloidosis
menyebabkan gejala ekstra toraks dengan
penyebaran atau metastasis oleh sekresi
Pengelolaan Anestesi
hormon endokrin atau zat seperti,
misalnya ACTH, ADH, PTH.5 Tabel 2 Sebuah short-cting benzodiazepine dapat
memberikan daftar sindrom para- diberikan untuk menurunkan kecemasan,
neoplastik yang berkaitan dengan kanker namun, obat sedatif harus dihindari jika
paru-paru, yang memiliki implikasi terdapat obstruksi trakea.4
anestesi.
Kanula intravena yang besar harus
Tumor timus berhubungan dengan dimasukkan dan crossmatched darah
miastenia gravis yang menyebabkan harus tersedia karena potensi risiko
kelemahan dan kelelahan otot. perdarahan. Jika pasien asimtomatik,
Manifestasi klinis berkisar dari gejala preoksigenasi diikuti dengan induksi
________________________________________________________________________________
48
Volume II, Nomor 1, Tahun 2010
Jurnal Anestesiologi Indonesia
anestesi intravena dapat dilakukan. Anestesi lokal lewat infiltrasi luka, blok
Dengan adanya obstruksi pernapasan, saraf interkostal analgesia pasca operasi,
sebuah intubasi sadar di bawah anestesi Parasetamol reguler dan NSAID (jika
lokal adalah teknik pilihan. Hal ini tidak kontraindikasi) dapat diberikan
memungkinkananestesi dan tim bedah sebagai bagian dari multimodal analgesia.
melihat keseluruhan tingkat yang tepat Pasca operasi ronsen toraks harus diambil
dariobstruksi dan bila tabung endotrakeal pada semua pasien di ruang pemulihan
dilewatkan distalobstruksi. untuk menyingkirkan kemungkinan
pneumotoraks. Selanjutnya, pasien dapat
Dalam kasus obstruksi lebih distal dirawat di bangsal, dimana mereka harus
(tingkat carinal), bronkoskop harus diamati secara khusus untuk dispnea dan
tersedia untuk frekuensi rendah ventilasi. stridor, yang mungkin disebabkan oleh
Atau, induksi inhalasi dapat digunakan, cedera pada laring berulang saraf atau
diikuti olehintubasi trakea dengan hematoma paratrakeal.4,5,7
anestesi dalam. Pasien ditempatkan
dalam posisi 20 derajat head-up untuk Monitoring
mengurangikongesti vena, namun harus
diingat bahwa ini. Posisi ini Pemantauan tekanan darah invasive,
meningkatkan kemungkinan emboli arterial line lebih disukai untuk deteksi
udara. dini reflex aritmia dan bila adanya
kompresi pada vena besar selama
Sebuah agen anestesi intravena, anestesi tindakan mediastinoskopi, sebaiknya
inhalasi, atau keduanya, bersama dengan berlokasi di lengan kanan untuk deteksi
agen blok neuromuskular dan infus kompresi brakiosefalika, yang berakibat
kontinyu short-acting opioid akan pengurangan aliran darah ke arteri karotis
memungkinkan sebuah tingkat yang kanan dan dapat menyebabkan iskemia
memadai anestesi dan pemulihan pasca dengan adanya sirkulasi kolateral yang
operasi cepat. Ventilasi kedua paru-paru tidak memadai. Atau probe pulse
melalui tabung endotrakeal tunggal oxymeter harus ditempatkan pada tangan
lumen biasanya cukup. Sebuah tabung kanan. Pemantauan neuromuskular
lebih disukai untuk meminimalkan risiko adalah wajib pada pasien dengan
tabung terpuntir selama operasi. miastenia gravis dan sindroma Eaton-
Endoskopi fiberoptik harus disiapkan Lambert. Ventilator pengukur tekanan
sebelum ekstubasi untuk menyingkirkan juga harus diperhatikan untuk mencatat
tracheomalacia.5 setiap peningkatan tekanan saluran napas
akut, yang menunjukkan adanya
Idealnya, relaksan otot harus dihindari kompresi trakea atau bronkus oleh
pada pasien dengan sugestif sindrom mediastinoskop tersebut. Penggunaan
klinis miastenia gravis. Jika ventilasi pressure controlled membantu
menggunakan relaksan, dosis harus hati- dalam deteksi dini kenaikan tekanan
hati, dan dititrasi dengan respons yang saluran udara.5,7
diukur dengan pemantauan neuro-
muskular. Pasien diextubasihanya bila Komplikasi
setelah pemulihan refleks dan fungsi
neuromuskuler baik; dalam jangka Kerusakan pembuluh darah
pendekventilasi pasca operasi mungkin
Insiden perdarahan utama setelah
diperlukan.
mediastinoskopi (didefinisikan sebagai
perdarahan yang persisten yang
membutuhkan eksplorasi melalui
________________________________________________________________________________
49
Volume II, Nomor 1, Tahun 2010
Jurnal Anestesiologi Indonesia
sternotomi median atau torakotomi) akibat dari luka pada pembuluh getah
adalah 0,4%,8 tetapi meningkat pada bening, hal ini respon dengan kompresi
adanya kelainan pembuluh darah, dan packing.9
peradangan mediastinum, dan SVC
obstruksi. Pembuluh yang paling sering Kerusakan paru-paru
mengalami cedera adalah vena azigos,
Kejadian pneumotoraks setelah
vena innominata, dan arteri pulmonalis.
mediastinoskopi adalah 0,08-0,23%.
Kontrol awal perdarahan dicoba dengan
Tube torakostomi harus dilakukan pada
kompresi dan packing luka. Jika gagal
akhir operasi jika ada robekan pleura,
untuk mengontrol perdarahan atau
dengan trauma jaringan paru-paru.
adanya ketidakstabilan hemodinamik
Seorang pasien asimtomatik dengan
persisten meskipun sudah dilakukan
pneumotoraks kecil (20%) terdeteksi di
resusitasi volume maksimal, maka
pasca operasi hanya dapat diamati dengan
eksplorasi bedah diindikasikan. Vena
ronsen toraks.8
innominata dan cedera arteri pulmonalis
dapat diperbaiki melalui sternotomi garis Komplikasi-lain
tengah, sedangkan cedera vena azigos
memerlukan torakotomi posterolateral Komplikasi berhubungan dengan
kanan. Prinsip-prinsip dasar manajemen mediastinoskopi termasuk (1) refleks
adalah sama seperti yang dari setiap bradikardi yang dimediasi vagus karena
utama perdarahan, tetapi ada beberapa kompresi trakhea atau pembuluh darah
fitur unik untuk perdarahan mediastinum. besar, (2) perdarahan yang banyak, (3)
iskemi cerebral karena kompresi arteri
Akses vena besar harus segeradiamankan inominata (dideteksi dengan plethys-
di tungkai bawah, karena perdarahan bisa mograf atau pulse oksimetri di tangan
dari gangguan pembuluh vena mengalir kanan), (4) pneumothoraks (biasanya
ke SVC. Beberapa penulis merekomen- terjadi postoperatif), (5) emboli udara
dasikan akses vena pada tungkai rutin (karena elevasi kepala 30°, resiko
untuk semua pasien yang menjalani diperbesar selama ventilasi spontan), (6)
mediastinoskopi. Ini mungkin tidak kerusakan n. laryngeus reccuren, dan (7)
dibenarkan mempertimbangkan kelang- cedera n. phrenicus.8,9
kaan perdarahan pada mediastinoskopi.9
Kemungkinan komplikasi lainnya
Dalam kasus intubasi sulit atau termasuk stroke (brakio sefalika arteri
lifethreatening dan resusitasi perdarahan, kompresi), cedera trakeobronkial, dan
dimana dokter anestesi yang sibuk dalam frenikus dan berulang cedera saraf laring
resusitasi, intubasi pasien dengan lumen (Tabel 3).
tabung tunggal dapat dilakukan. Selain
itu, sebuah bronchial blocker dapat Tabel 3. Komplikasi mediastinoskopi
digunakan, namun penempatan yang Perdarahan mayor
akurat membutuhkan bronkoskop serat Stroke
optic dan lebih banyak waktu diperlukan Emboli udara
untuk menutup paru. Cedera dari Pneumotoraks
lengkung aorta dan supra-arteri aorta Aritmia reflex
Paralisis n. phrenicus
jarang terjadi. Ini menyebabkan leher Kelemahan n. laringeus rekuren
hematoma dan bila dilakukan Regangan pada esophagus
reintubation membuat trakea sulit untuk Laserasi trakheobronkhial
diintubasi, meskipun pada intubasi awal Cedera duktus toraksikus
mudah. Perdarahan ringan biasanya Perdarahan minor
________________________________________________________________________________
50
Volume II, Nomor 1, Tahun 2010
Jurnal Anestesiologi Indonesia
________________________________________________________________________________
51
Volume II, Nomor 1, Tahun 2010
Jurnal Anestesiologi Indonesia
TINJAUAN PUSTAKA
Pengelolaan Trauma Susunan Saraf Pusat
Igun Winarno*, Jati Listiyanto Pujo*, Mohamad Sofyan Harahap
*Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif FK Undip/ RSUP Dr. Kariadi, Semarang
ABSTRACT
CNS trauma is a major health problem as the cause of death and disability worldwide. The
severity of the injury is crucial primary outcome, whereas secondary injury caused by
physiological factors hypotension, hypoxemia, hiperkarbi, hyperglycemia, hypoglycemia,
and other develop further will cause further brain damage and aggravate CNS trauma.
Appropriate perioperative anesthetic management and began preoperative period,
especially when the patient is in the emergency, determine the outcome of the patient.
ABSTRAK
Trauma SSP merupakan masalah kesehatan yang utama sebagai penyebab kematian dan
kecacatan di seluruh dunia. Tingkat keparahan cedera primer sangat menentukan hasil,
sedangkan cedera sekunder yang disebabkan faktor fisiologi hipotensi, hipoksemia,
hiperkarbi, hiperglikemi, hipoglikemia, dan lainnya yang berkembang selanjutnya akan
menyebabkan kerusakan otak lanjutan dan memperburuk trauma SSP. Manajemen
anestesi perioperatif yang tepat dan dimulai sejak periode preoperatif, terutama saat
pasien berada di Unit Gawat Darurat, sangat menentukan keluaran dari pasien.
________________________________________________________________________________
52
Volume II, Nomor 1, Tahun 2010
Jurnal Anestesiologi Indonesia
________________________________________________________________________________
53
Volume II, Nomor 1, Tahun 2010
Jurnal Anestesiologi Indonesia
Tabel 1: Regio susunan saraf pusat, fungsi primer dan kelainan yang ditimbulkan.3
________________________________________________________________________________
54
Volume II, Nomor 1, Tahun 2010
Jurnal Anestesiologi Indonesia
batas jelas, misalnya: diffuse axonal organ lain yaitu terjadinya peningkatan
injury (DAI) dan diffuse subarachnoid tekanan intrakranial.2,7
hemorrhagic. 1,3,5
Gangguan yang terjadi setelah pasien
Klasifikasi mengalami gangguan cedera kepala
ringan dapat berupa: nyeri kepala, vertigo
Jika dilihat dari ringan sampai berat, atau gangguan keseimbangan, mudah
maka dapat kita lihat sebagai berikut: lupa, lamban, fatigue (mudah lelah),
sensitive terhadap suara dan sinar. Cedera
Cedera kepala ringan ( CKR ) : GCS
kepala sedang sampai berat
antara 13-15
prosentasenya 15% dari seluruh cedera
Dapat terjadi kehilangan kesadaran kepala dan biasanya memerlukan
kurang dari 30 menit, tetapi ada yang perawatan di rumah sakit. Seringkali
menyebut kurang dari 2 jam, jika ada pasien mengalami penurunan kesadaran
penyerta seperti fraktur tengkorak , yang signifikan, dalam beberapa hari
kontusio atau temotom (sekitar 55% ). sampai beberapa minggu, selanjutnya
mengalami gangguan berfikir, gangguan
Cedera kepala kepala sedang ( CKS ) : fisik, dan emosi yang berkepanjangan.
GCS antara 9-12 Setelah mengalami cedera kepala, pasien
beresiko terjadi cedera kepala berulang 2-
Hilang kesadaran atau amnesia antara 30 3 kali lipat. Hal ini disebabkan karena
menit sampai 24 jam, dapat mengalami perhatian pasien berkurang, reaksi lebih
fraktur tengkorak, disorientasi ringan ( lambat (lebih impulsive), dan sulit
bingung ). mengambil keputusan yang cepat dan
Cedera kepala berat ( CKB ) : GCS 3-8 tepat. Cedera kepala berulang ini
mengakibatkan kerusakan otak yang
Hilang kesadaran lebih dari 24 jam, juga lebih besar.2
meliputi contusio cerebral, laserasi atau
adanya hematoma atau edema. Cedera Trauma susunan saraf pusat sering
kepala terbuka kulit mengalami laserasi dihubungkan dengan kejadian edema
sampai pada merusak tulang tengkorak. paru, secara patofisiologi masih
Sedangkan cedera kepala tertutup dapat diperdebatkan, tetapi secara umum
disamakan gegar otak ringan dengan kejadian edema paru bisa disebabkan
disertai edema cerebri. karena menurunnya osmolaritas,
peningkatan permeabilitas membran
Gejala dan tanda pembuluh darah, atau tekanan onkotik
dan meningkatnya tekanan hydrostatik
Cedera kepala akan memberikan sehingga terjadi aliran cairan keluar dari
gangguan yang sifatnya lebih kompleks pembuluh darah. Pada trauma kepala
bila dibandingkan dengan trauma pada disebutkan bahwa kerusakan pada
organ tubuh lainnya. Hal ini disebabkan hipothalamus, medula oblongata atau
karena struktur anatomik dan fisiologik pada susunan syaraf pusat akan
dari isi ruang tengkorak yang majemuk, meningkatkan aktifitas sympatis dan
dengan konsistensi cair, lunak dan padat pelepasan katekolamin, hal ini berakibat
yaitu cairan otak, selaput otak, jaringan terjadinya peningkatan afterload atau
saraf, pembuluh darah dan tulang. sytemic vascular resistence sehingga
Struktur anatomi kepala yang merupakan beban ventrikel kiri meningkat dan
ruang tertutup menyebabkan tekanan hydrostatik di paru juga
permasalahan yang tidak dijumpai pada meningkat. Peningkatan ini
________________________________________________________________________________
55
Volume II, Nomor 1, Tahun 2010
Jurnal Anestesiologi Indonesia
Kerusakan langsung
Trauma Mediator
sel dan pem.darah
Primer inflamasi
Kematian sel
________________________________________________________________________________
56
Volume II, Nomor 1, Tahun 2010
Jurnal Anestesiologi Indonesia
________________________________________________________________________________
57
Volume II, Nomor 1, Tahun 2010
Jurnal Anestesiologi Indonesia
pasien dengan TBI yang bertahan hidup dekompresi atau evakuasi masa,
sampai rumah sakit menurut data pengurangan volume darah ke cerebral
memiliki patah tulang cervik. Pada (elevasi kepala, hiperventilasi, menaikkan
pemasangan intubasi pasien TBI tidak tekanan darah, menghilangkan sumbatan
dianjurkan melalui nasopharing karena vena), pemberian obat hyperosmotic,
ditakutkan masuk ke dasar tengkorak, diuretic, kortikosteroid, dan anestesi
intubasi ini bisa dilakukan dengan vasokontriksi pembuluh darah cerebral
menggunakan fiber optik.7,9 Fraktur (mis. barbiturate, propofol),8-9,12
dasar tengkorak ditandai dengan adanya
cairan cerebro spinal (CSS), rinorhea atau Manitol
otorhea, hemotimpanum, atau ekimosis di
Manitol adalah obat yang paling umum
dalam jaringan periorbital atau di
digunakan pada pasien dengan cedera
belakang telinga.9
kepala, obat ini diklasifikasikan sebagai
Pengelolaan tekanan intrakranial diuretik osmotik untuk mengurangi
tekanan intra kranial. Kemampuan ini
Pengukuran tekanan intrakranial biasanya didasari oleh sifat hiperosmotik manitol,
berpatokan kepada status neurologis dimana akan menarik cairan dari sel-sel
pasien baik yang akan menjalani operasi otak menuju intravaskuler dan
maupun tidak, tetapi pada umumnya dikeluarkan melalui ginjal.9-11 Mannitol,
pasien dengan GCS < 9 memerlukan dengan dosis 0,25-0,5 g/kg, secara
pemantauan tekanan intrakranial. Untuk khusus efektif dalam menurunkan TIK,
pasien yang memerlukan operasi cito hati-hati dengan penambahan volume
yang bertujuan untuk dekompresi dan intravaskuler karena dapat menyebabkan
evakuasi masa, tingkat keparahan pada edema paru.9 Manitol telah terbukti
CT Scan dan temuan operatif juga meningkatkan tekanan perfusi serebral
memerlukan pemantauan tekanan intra (CPP) dan mikrosirkulasi perfusi.
kranial.8 Dalam sebuah studi oleh Kirkpatrick et
al, manitol ditemukan untuk
Hipertensi intrakranial adalah besarnya meningkatkan CPP sebesar 18% dan
TIK >15 mmHg.2 Sedangkan literatur penurunan TIK sebesar 21% tanpa
lain hipertensi intrakranial didefinisikan mempengaruhi tekanan darah arteri.
sebagai peningkatan TIK > 20 mmHg Dikatakan manitol digunakan oleh 83%
dan menetap lebih dari 20 menit. pusat kesehatan dan lebih dari 50%
Peningkatan progresif dari batas ini atau digunakan untuk cidera kepala berat.10
TIK yang terus menerus >20 mmHg, Kombinasi penggunaan manitol dan
disarankan untuk melakukan pemeriksaan furosemid bisa bersinergi namun
dan penanganan. Peningkatan progresif membutuhkan monitoring dari
dari TIK dapat mengindikasikan konsentrasi serum Kalium. 9
memburuknya hemoragik/hematoma,
edema, hidrosefalus, atau kombinasinya Pengelolaan tekanan darah
dan merupakan indikasi diakukannya
pemeriksaan CT-scan. Peningkatan terus Hipotensi pada trauma kepala sering
menerus TIK akan memperparah resiko berhubungan dengan trauma lainnya
terjadinya cedera sekunder (komplikasi) (biasanya intraabdominal). Perdarahan
berupa iskemik dan/atau herniasi.9 dari laserasi kulit kepala bisa berkaitan
pada anak-anak. Hipotensi dapat timbul
Pengelolaan tekanan intrakranial dapat bersama dengan trauma tulang belakang
dilakukan dengan craniotomi untuk
________________________________________________________________________________
58
Volume II, Nomor 1, Tahun 2010
Jurnal Anestesiologi Indonesia
________________________________________________________________________________
59
Volume II, Nomor 1, Tahun 2010
Jurnal Anestesiologi Indonesia
Item Komentar
Apakah tekanan yang relevant Tekanan vena jugularis
untuk dikendalikan ? Menghilangkan fleksi kepala atau rotasi leher ekstrim,
menghilangkan kompresi atau obstruksi dalam bentuk
apapun (kateter leher yang besar, prengkat fiksasi leher).
Tahanan jalan nafas : menghilangkan obstruksi, PEEP tinggi,
kurangi bronkospasme, terapi pneumothoraks
Pastikan PaO2 (60-300 mmHg)
Pastikan PaCO2 (35-40 mmHg)
Peningkatan TIK dapat menurunakan PaCO2 < 35 mmHg)
Apakah CMRO2 terkendali ? Meminimalkan rasa sakit, ketakutan, dan kecemasan
Mengobati kejang, meminimalkansuhu (menjaga 35-
36.58C)
Apakah ada obat vasodilator Meminimalkan atau menghilangkan anestesi volatile, N2O,
yang digunakan ? nitropruside, nitrogliserin. Ca chanel bloker
Apakah ada lesi massa tidak Darah, edema, N2O
diketahuai ? Jika TIK↑, pertahankan PaCO2<35 sampai lesi didekompresi
GCS < 8
Pernafasan irreguler
Frekuensi nafas < 10 atau > 40 kali permenit
Volume tidal < 3,5 ml/kgBB
Vital capacity < 15 ml/kgBB
PaO2 < 70 mmHg
PaCO2 > 50 mmHg
________________________________________________________________________________
60
Volume II, Nomor 1, Tahun 2010
Jurnal Anestesiologi Indonesia
________________________________________________________________________________
62
Volume II, Nomor 1, Tahun 2010
Jurnal Anestesiologi Indonesia
________________________________________________________________________________
64
Volume II, Nomor 1, Tahun 2010
Jurnal Anestesiologi Indonesia
Tabel 6. Obat indukasi intra vena dan pengaruh terhadap tekanan intrakranial, proses lanjutan, tekanan darah7
Produksi Absorp
Agen CMR ADO CBV TIK
CSS si CSS
Halothan ↓↓ ↑↑↑ ↓ ↓ ↑↑ ↑↑
Isofluran ↓↓↓ ↑ ± ↑ ↑↑ ↑
Desfluran ↓↓↓ ↑ ↑ ↓ ↑ ↑↑
Sevofluran ↓↓↓ ↑ ? ? ↑ ↑↑
Nitrogen
↓ ↑ ± ± ± ↑
oksida
Barbiturat ↓↓↓↓ ↓↓↓ ± ↑ ↓↓ ↓↓↓
Etomidate ↓↓↓ ↓↓ ± ↑ ↓↓ ↓↓
Propofol ↓↓↓ ↓↓↓↓ ? ? ↓↓ ↓↓
Benzodiazepi
↓↓ ↓ ± ↑ ↓ ↓
n
Ketamin ± ↑↑ ± ↓ ↑↑ ↑↑
Opioid ± ± ± ↑ ± ±
Lidokain ↓↓ ↓↓ ? ? ↓↓ ↓↓
Keterangan : ↑, peningkatan; ↓, penurunan; ±, sedikit atau tidak berubah; ?, tidak diketahui; CMR, cerebral
metabolic rate; ADO, aliran darah otak; CSS, cairan serebrospinal; CBV, volume darah serebral; TIK,
tekanan intrakranial.
________________________________________________________________________________
65
Volume II, Nomor 1, Tahun 2010
Jurnal Anestesiologi Indonesia
________________________________________________________________________________
66
Volume II, Nomor 1, Tahun 2010
Jurnal Anestesiologi Indonesia
________________________________________________________________________________
67
Volume II, Nomor 1, Tahun 2010
Jurnal Anestesiologi Indonesia
________________________________________________________________________________
68
Volume II, Nomor 1, Tahun 2010
Jurnal Anestesiologi Indonesia
________________________________________________________________________________
69
Volume II, Nomor 1, Tahun 2010