You are on page 1of 73

JAI

Volume II Nomor 01, Maret 2010

Jurnal Anestesiologi Indonesia


Dipersembahkan untuk kemanusiaan khususnya bangsa Indonesia
melalui insan yang berkarya, belajar dan tertarik di bidang Anestesiologi dan Terapi Intensif

Diterbitkan oleh Program Studi Anestesiologi dan Terapi Intensif


Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro dan
Ikatan Dokter Spesialis Anestesiologi dan Reanimasi
(IDSAI) Jawa Tengah
JAI
Jurnal Anestesiologi Indonesia Sejawat terhormat,

Pelindung: Jurnal Anestesiologi Indonesia (JAI) edisi ini


 Dekan Fakultas Kedokteran memuat artikel penelitian klinik dan preklinik.
Universitas Diponegoro
 Ketua Program Studi Anestesiologi Diantaranya adalah mengenai Atrakurium dan
dan Terapi Intensif FK UNDIP MgSO4 untuk mencegah peningkatan kratininin
 Ketua Ikatan Dokter Spesialis serum akibat Suksinilkolin , Pengaruh Ketorolak
Anestesiologi dan Reanimasi terhadap klirens kreatinin, dan pengaruh agen
Indonesia (IDSAI) Cabang Jawa Tengah
inhalasi terhadap agregasi trombosit.
Ketua Redaksi:
dr. Uripno Budiono, SpAn Dua tinjauan pustaka, mengenai pengelolaan
rawat intensif pasien pasca trauma dan anestesi
Wakil Ketua Redaksi: pada mediastinoskopi diharapkan menambah
dr. Johan Arifin, SpAn, KAP wawasan kita dalam bidang anestesi dan terapi
Anggota Redaksi: intensif.
dr. Abdul Lian Siregar, SpAn, KNA
dr. Hariyo Satoto, SpAn Semoga bermanfaat.
dr. Witjaksono, MKes, SpAn, KAR
dr. Ery Leksana, SpAn, KIC, KAO
dr. Heru Dwi Jatmiko, SpAn, KAKV, KAP
dr. Sofyan Harahap, SpAn, KNA Salam,
dr. Jati Listianto Pujo, SpAn, KIC
dr. Doso Sutiyono, SpAn
dr. Widya Istanto N, SpAn, KAKV, KAR
dr. Yulia Wahyu Villyastuti, SpAn dr. Uripno Budiono, SpAn
dr. Himawan Sasongko, SpAn, MSi.Med
dr. Aria Dian Primatika, SpAn, MSi.Med
dr. Danu Soesilowati, SpAn
dr. Hari Hendriarto, SpAn, MSi.Med

Mitra Bestari:
Prof. dr.Soenarjo,SpAn, KMN, KAKV
Prof. dr.Marwoto, SpAn, KIC, KAO

Seksi Usaha:
dr. Mochamat

Administrasi:
Maryani, Kamtini, Nik Sumarni

Jurnal Anestesiologi diterbitkan 3 kali per


tahun, setiap bulan Maret, Juli dan
November sejak tahun 2009. Harga
Rp.200.000,- per tahun.
Untuk berlangganan dan sirkulasi:
Ibu Nik Sumarni (081326271093)
Ibu Kamtini (081325776326)
Artikel dalam jurnal ini boleh di-copy untuk
Alamat Redaksi:
kepentingan pendidikan dan ilmu pengetahuan.
Program Studi Anestesiologi dan Terapi
Intensif FK UNDIP/ RS Dr. Kariadi, Apabila akan menggunakannya sebagai acuan,
Jl. Dr. Sutomo 16 Semarang. hendaknya mencantumkan artikel tersebut
Telp. 024-8444346.
sebagai daftar pustaka dengan sitasinya.
DAFTAR ISI
PENELITIAN Hal
Moch. Rahardi Hamsya, Mohamad Sofyan Harahap
Atrakurium dan Magnesium Sulfat untuk Mencegah Peningkatan Serum Kreatinin 1
Fosfokinase dan Ion Kalium akibat Induksi Suksinilkolin
Pemberian Magnesium Sulfat 40% 40 mg/kgBB dapat mencegah peningkatan kadar
kreatinin fosfokinase serum dan kadar kalium darah, meskipun tidak seefektif Atrakurium,
tetapi lebih baik dibanding yang lain.

Rosa Afriani, Heru Dwi Jatmiko


Ketorolak Intravena dan Laju Filtrasi Glomerulus pada Anestesi Isofluran 10
Terdapat peningkatan kreatinin serum secara tidak bermakna dan terjadi penurunan
klirens kreatinin secara tidak bermakna, pada kelompok ketorolak dan plasebo, dengan
menggunakan agen inhalasi isofluran.

Eva Susana Putri Daya, Uripno-Budiono, Heru Dwi Jatmiko


Hubungan Kadar Midazolam Plasma Ibu Dan Bayi Dengan Kondisi Fisik Serta Waktu 17
Persalinan Pada Pasien Sectio Caesaria Yang Mendapat Premedikasi Midazolam
Intravena
Ada hubungan kadar midazolam plasma ibu dan bayi terhadap kondisi fisik serta waktu
persalinan

Agatha Citrawati Anom, Mohamad Sofyan Harahap


Perbedaan Pengaruh Pemberian Enfluran Dan Halotan Terhadap Agregasi Trombosit 24
Halotan secara bermakna menurunkan persen agregasi trombosit dan menyebabkan
gambaran hipoagregasi lebih banyak dari pada enfluran

TINJAUAN PUSTAKA
Rindarto, Jati Listiyanto Pujo, Ery Leksana
Pengelolaan Pasca Operasi Dan Rawat Intensif Pada Pasien Trauma 36
Pengelolaan pasien trauma di ICU terutama difokuskan pada pengelolaan hipotermi,
koagulopati, asidosis, sindrom kompartemen abdomen dan ARDS, hal ini karena faktor-
faktor tersebut merupakan penyebab utama kematian pada jam-jam pertama pasca
trauma.

Satrio Adi Wicaksono, Hari Hendriarto, Heru Dwi Jatmiko


Anestesi Pada Mediastinoskopi 44
Mediastinoskopi menggunakan anestesi umum. Akses vena dengan kateter intravena
diameter besar (14 hingga 16 gauge) diharuskan karena resiko perdarahan berlebihan dan
kesulitan pengendalian perdarahan.

Igun Winarno, Jati Listiyanto Pujo, Mohamad Sofyan Harahap 52


Pengelolaan Trauma Susunan Saraf Pusat
Trauma SSP merupakan masalah kesehatan yang utama sebagai penyebab kematian dan
kecacatan di seluruh dunia. Tingkat keparahan cedera primer sangat menentukan hasil,
sedangkan cedera sekunder yang disebabkan faktor fisiologi hipotensi, hipoksemia,
hiperkarbi, hiperglikemi, hipoglikemia, dan lainnya yang berkembang selanjutnya akan
menyebabkan kerusakan otak lanjutan dan memperburuk trauma SSP.
Jurnal Anestesiologi Indonesia

PENELITIAN

Atrakurium dan Magnesium Sulfat untuk Mencegah Peningkatan Serum


Kreatin fosfokinase dan Ion Kalium akibat Induksi Suksinilkolin

Moch. Rahardi Hamsya*, Mohammad Sofyan Harahap*


*Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif FK Undip/ RSUP Dr. Kariadi, Semarang

ABSTRACT
Background: Succinylcholine is commonly used for intubation and induction, short
operation emergency, day case anaesthesia and difficult airway controlled. Unexpected
complication after succinylcholine administration is fasciculation, myalgia and increase
of potassium blood level and creatin phosphokinase serum.
Methods: This research was a clinical trial stage I (human sample) for 60 patients benign
breast tumors undergoing surgery by general anesthesia. All patients were observe the 6
hours fasting period and give no premediacation. Peripheral blood sample were taken to
measure the potassium level and creatin phosphokinase serum before premedication given.
Patients randomly divided in to two grou., group I pretreatment with atrakurium 0,05
mg/kgBW and group II pretreotment with MgSO4 40mg/kgBW. Induction with
succinylcholine 1,5mg/kgBW fifteen minute after premedication. Seven minute after
induction, peripheral blood sample were taken on contralateral inffusion to measure
potassium blood level after induction and 24 hours post operation. Peripheral blood
sample were taken on contralateral infusion to measure creatine phosphokinase serum
level. Statistical analysis were performed by independent t-test, Mann-Whitney U test and
rank spearman correlation which were 𝛼 = 0,05 was considered significant.
Results: There was no difference for patients characteristics distribution data, creatin
phosphokinase serum and blood potassium level before induction between two groups, For
potassium blood level elevation between two group were significantly difference ( p =
0,029). Creatin phosphokinase level elevation between two group were no significantly
difference ( p > 0,05 ). There was no significantly correlation (p = -0,138; p = 0,466)
proved is between creatin phosphokinase serum and blood potassium level elevation on
atrakurium group such no significantly correlation (𝜌 = 0,186; p = 0,325) proved is
between creatine phosphokinase serum and blood potassium level elevation on atrakurium
group.
Conclusions: The administration of 40% magnesium sulphate 40 mg/kg BW could prevent
the elevation of serum creatin phosphokinase following succinylcholine induction and
blood potassium ion level, althought not as effective as atrakurium but better than other
pretreatment.

Keywords: succinylcholine, magnesium sulphate, potassium, potassium, fasciculation

ABSTRAK
Latar belakang: Pemakaian suksinilkolin sebagai fasilitas intubasi dan induksi masih
merupakan pilihan untuk tindakan yang singkat, emergensi, rawat jalan dan keadaan
dimana jalan napas belum tentu dapat dikuasai. Efek samping yang sering timbul adalah
fasikulasi dan mialgia yang ditandai
meningkatnya kadar serum kreatin fosfokinase (CPK) dan ion kalium.

________________________________________________________________________________
1
Volume II, Nomor 1, Tahun 2010
Jurnal Anestesiologi Indonesia

Metode: Penelitian ini merupakan uji klinik tahap I ( subyek manusia ) pada 60 penderita
tumorjinak mama yang menjalani operasi dengan anestesi umum. Semua penderita
dipuasakan 6 jam dan tidak diberi obat premedikasi.Pengambilan sampel darah perifer di
daerah antebrakhii kontralateral infus untuk pemeriksaan kadar ion kalium dan kreatin
fosfokinase sebelum induksi. Penderita dikelompokkan secara random menjadi 2
kelompok. Kelompok I mendapat pretreatment atrakurium 0,05 mg/kgBB dan kelompok II
mendapat pretreatment MgSO4 40% 40 mg/kgBB. 15 menit kemudian dilakukan induksi
dengan suksinilkolin 1,5 mg/kgBB pada masing-masing kelompok. 7 menit setelah intubasi
dilakukan pengambilan sampel darah perifer kontralateral infus untuk pemeriksaan kadar
ion kalium pasca perlakuan dan 24 jam setelah operasi dilakukan pengambilan sampel
darah perifer kontralateral infus untuk pemeriksaan kadar kreatinin fosfokinase. Uji
statistik menggunakan independent t-test dan Mann-whitney U test serta uji korelasi
dengan rank Spearman dengan derajat kemaknaan 𝛼: 0,05.
Hasil: Tidak ada perbedaan yang bermakna pada distribusi karateristik penderita serta
kadar serum kreatin fosfokinase dan kadar kalium sebelum perlakuan. Peningkatan kadar
ion kalium antara kelompok atrakurium dan kelompok magnesium sulfat terdapat
perbedaan bermakna (p = 0,029) dan peningkatan kadar serum kreatin fosfokinase antara
kelompok atrakurium dan kelompok magnesium sulfat tidak terdapat perbedaan bermakna
( p > 0,05 ). Hasil uji hubungan menunjukkan tidak terdapat hubungan bermakna (𝜌 = -
0,138; p =0,466) peningkatan kadm kalium dan peningkatan kadar CPK pada kelompok
atrakurium demikian juga hasil uji hubungan menunjukkan tidak terdapat hubungan
bermakna (𝜌 = 0,186; p = 0,325) peningkatan kadar kalium dan peningkatan kadar CPK
pada kelompok MgSO4.
Kesimpulan: Pemberian Magnesium Sulfat 40% 40 mg/kgBB dapat mencegah
peningkatankadar kreatin fosfokinase serum dan kadar kalium darah, meskipun tidak
seefektif Atrakurium, tetapi lebih baik dibanding yang lain.
Kunci : suksinilkolin, magnesium sulfat, kalium, fasikulasi

Dennis dkk ± 5-83 % .7 Besarnya angka


PENDAHULUAN kejadian ini sampai sekarang masih
Hampir sebagian besar pasien pasca merupakan tantangan bagi dokter anestesi
operasi memberikan keluhan adanya rasa untuk menurun-kannya.
nyeri otot dari sebagian anggota badan
setelah menjalani operasi yang Obat pelumpuh otot suksinilkolin
menggunakan pelumpuh otot golongan golongan sampai sekarang merupakan
depolarisasi suksinilkolin sebagai obat obat yang menguntungkan sebagai rapid
induksi dalam anestesi umum. Oleh sequence induction atau crash induction
karenanya banyak para ahli anestesi yang merupakan fasilitas induksi oleh
melakukan berbagai macam penelitian karena mempunyai sifat onset of action
untuk mengurangi atau menghilangkan yang cepat dan duration of action yang
rasa sakit tersebut dengan berbagai pendek oleh karena sifatnya itu sampai
macam jenis obat di antarannya adalah sekarang suksinilkolin masih merupakan
pemberian pelumpuh otot nondepolarisasi obat gold standard untuk tindakan
dosis kecil, anestesi lokal, klorpromazine, intubasi cepat.8,9,10 Munculnya fasikulasi
benzodiazepin, golongan OAINS dan biasanya dimulai dari otot rahang, leher,
lain-lain.1,2,3,4 Insiden nyeri otot ini bahu dan dada. Pada pemakaian obat
menurut Aitkenhead ± 50%.5 dan golongan OAINS yang bersifat inhibitor
Shrivastava ± 45%.6 sedang menurut prostaglandin hasilnya belum memuaskan

________________________________________________________________________________
2
Volume II, Nomor 1, Tahun 2010
Jurnal Anestesiologi Indonesia

karena hanya mengatasi mialgia oleh


karena kerusakan otot akibat pemakaian Pada penelitian sebelumnya dikatakan
suksinilkholin bukan mencegah mialgia penggunaan pelumpuh otot non-
oleh karena kerusakan otot yang ditandai depolarisasi dosis kecil sebagai
peningkatan kadar kreatin fosfokinase pretreatment juga memberikan ke-
(CPK).11,12,13 mampuan untuk mengurangi mialgia
khususnya atrakurium pada dosis kecil
Timbulnya nyeri otot ini dikarenakan lebih dominan pada postsynaptic receptor
timbulnya kontraksi-depolarisasi motor colinergic nicotinic dibandingkan dosis
unit yang tidak sinkron sehingga besar target organ pada presynaptic dan
menyebabkan kekuatan tarikan serabut- postsynaptic nerve terminal. Pre-
serabut otot rangka yang dirasakan pasien treatment dengan pelumpuh otot non
setelah 24 jam pasca operasi.11 Menurut depolarisasi (termasuk atrakurium) ini
Leeson-Payne dkk kerusakan otot ini terbukti lebih baik (superior) di-
menyebabkan peningkatan kadar CPK bandingkan metode pretreatment dengan
serta terganggunya proses pertukaran obat-obat lain sehingga menjadi semacam
elektrolit yaitu kalium (hiperkalemi).14 baku emas.2,3
Terjadinya proses depolarisasi repolari-
sasi ini merupakan peran utama akibat Dengan alasan target kerja organ masing-
adanya pertukaran ion kalium dan masing obat diatas inilah disamping obat
natrium pada permukaan membran sel MgSO4 mudah didapat didaerah terpencil
motorik yang menghasilkan perubahan sekalipun dan harganya murah dibanding
listik dalam tubuh.15 atrakurium kami mencoba berusaha
membuktikan bahwa obat MgSO4 lebih
Pada penelitian pasien preeklamsi yang menguntungkan dalam mencegah ter-
mendapatkan magnesium sulfat dapat jadinya fasikulasi dan mialgia yang
mencegah dan menghentikan proses dilihat dari peningkatan kadar ion kalium
terjadinya kejang, hal ini disebabkan efek serum CPK dibandingkan atrakurium.
ion magnesium pada otot diketahui
mempunyai efek kerja secara kompetitif Dengan penggunaan suksinilkolin 1,5
ion kalsium pada prejunctional site. mg/kgBB dan magnesium sulfat 40% 40
Ketika kadar ion kalsiumnya tinggi di mg/kgBB atau suksinilkolin 1,5
dalam plasma akan meningkatkan mg/kgBB dengan atrakurium 0,05
pelepasan asetilkolin pada presynaptic mg/kgBB angka kejadian fasikulasi,
nerve terminal sebaliknya manakala mialgia hiperkalemi dan peningkatan
kadar magnesium tinggi di plasma akan CPK post operasi dapat dikurangi atau
menghambat pelepasan asetilkolin, bahkan dihilangkan. Apabila ini
disamping itu keuntungan magnesium dikerjakan pada pasien-pasien operation
lainnya adalah hambatan pada post- ambulatory system maka dapat me-
junctional potensials sehingga menye- ngurangi atau menekan biaya dan waktu
babkan menurunnya eksitabilitas pada yang diperlukan untuk rawat inap di
membran sel serat-serat otot. Selanjutnya rumah sakit.
kontraksi otot tidak terjadi sehingga
fasikulasi, mialgia, peningkatan CPK dan Penelitian ini bertujuan menilai secara
hiperkalemi tidak terjadi. Fakta ini obyektif efektifitas pemberian pre-
menunjukkan peran dari CPK secara treatment atrakurium dan magnesium
umum merupakan tolak ukur untuk sulfat pada induksi suksinilkolin yang
menilai kerusakan otot.

________________________________________________________________________________
3
Volume II, Nomor 1, Tahun 2010
Jurnal Anestesiologi Indonesia

dilihat dari kadar kreatin fosfokinase dan wan (informed consent), lama dan jenis
ion kalium. operasi (1-2 jam).

Dari beberapa jurnal penelitian dalam Kriteria eksklusi : pasien tidak


satu dekade belakangan ini baik dinegara kooperatif, riwayat hipertermia maligna,
Amerika, Eropa maupun Asia diketahui meng-gunakan obat tertentu (CPZ, vit E),
bahwa penggunaan MgSO4 dapat penyakit atau kelainan neuromuskuler,
menurunkan/ mengurangi angka kejadian penyakit atau kelainan metabolik, latihan
infark miokard akut, aritmia, kejang fisik atau trauma, keganasan, hemolisis,
akibat eklamsia, level epineprin atau luka bakar dan kejang.
norepineprin dalam darah sehingga
hemodinamik pasien lebih stabil. HASIL
Sampel penelitian berjumlah 60 orang
METODE perempuan yang merupakan pasien tumor
Jenis penelitian ini termasuk eks- mama jinak di RS. Dr. Kariadi Semarang
perimental berupa uji klinik tahap 2 yang yang dipersiapkan untuk pembedahan
dilakukan secara acak tersamar ganda dengan menggunakan teknik anestesi
(double blind randomized controlled umum yang memenuhi kriteria seleksi
trial) dengan tujuan untuk mengetahui tertentu. Jumlah sampel tersebut
bukti yang obyektif derajat beratnya kemudian dibagi menjadi dua kelompok
fasikulasi-mialgia pasca operasi 24 jam yaitu 30 orang mendapat perlakuan
yang dilihat dari peningkatan kadar atrakurium dan 30 orang lagi mendapat
kreatin fosfokinase dan ion kalium perlakuan MgSO4.
dengan membandingkan 2 kelompok
penelitian, yaitu kelompok kontrol Rerata berat badan kelompok atrakurium
atrakurium (I) dan magnesium sulfat (II) 55,2 kg (± 8,0) sedangkan rerata tinggi
melalui rancangan pretest posttest group badan 1,57 m (t 0,06). Rerata umur
design untuk variabel kadar kreatin kelompok atrakurium adalah 36 tahun ±
fosfokinase darah dan ion kalium. 8,8 sedikit lebih tua dibandingkan
kelompok MgSO4 yaitu 31 tahun ± 11,3.
Untuk homogenitas sampel dengan luka Deskripsi umur, berat badan dan tinggi
operasi yang sama sehingga dihasilkan badan sampel dapat dilihat pada Tabel 1.
kualitas penelitian yang baik dipilih Rerata tekanan darah sistole awal pada
pasien tumor mama jinak di RS. Dr. kelompok atrakurium adalah 128 mmHg
Kariadi yang dipersiapkan untuk pem- ±16,6, sedangkan rerata tekanan darah
bedahan dengan menggunakan teknik sistol awal pada kelompok MgSO4 adalah
anestesi umum yang memenuhi kriteria 126 mmHg ± 10,2. Rerata tekanan darah
seleksi tertentu. diastol awal pada kelompok atrakurium
adalah 74 mmHg ± 9,2, sedangkan rerata
Populasi target adalah semua penderita tekanan darah diastole awal pada
tumor mama jinak wanita berusia 15-60 kelompok MgSO4 adalah 73 mmHg
th, berat badan 35-60 kg tinggi badan ±7,7. Gambaran lengkap hemodinamik
135-170 cm yang akan menjalani awal sampel dapat dilihat pada Tabel 1.
pembedahan elektif dengan teknik
anestesi umum. Distribusi data umur, berat badan dan
tinggi badan berdasarkan uji Kolmogorov
Kriteria inklusi, yaitu usia 15-60 tahun, Smirnov menunjukkan data yang normal,
ASA I-II, BMI 17-25 kg/m2, tinggi badan sehingga uji beda di antara ke dua
135-170 cm, bersedia sebagai sukarela-
________________________________________________________________________________
4
Volume II, Nomor 1, Tahun 2010
Jurnal Anestesiologi Indonesia

kelompok dengan independent t-test. kadar kalium dan selisih kadar CPK
Tidak terdapat perbedaan bermakna dilakukan dengan uji rank Spearman
berat badan, tinggi badan dan umur Hasil uji hubungan menunjukkan tidak
antara kelompok atrakurium danMgSO4 terdapat hubungan bermakna (p = -
(p> 0,05). (Tabel l) 0,138; p: 0,466) selisih kadar kalium dan
selisih kadar CPK pada kelompok
Hasil uji Kolmogornov Smirnov me- atrakurium. Diagram tebar selisih kadar
nunjukkan bahwa data kadar kalium awal CPK data dilihat pada hubungan antara
dan data kadar CPK awal tidak selisih kadar kalium dan Gambar 1. Pada
berdistribusi normal sehingga uji beda kelompok MgSO4, selisih kadar karium
kadar kalium awal dan kadar CPK awal dan serisih kadar CPK untuk kelompok
antara kelompok atrakurium dan MgSO4 MgSo4 tidak berdistribusi normal,
dengan uji Mann Whitney. Tidak terdapat sehingga uji hubungan selisih kadar
perbedaan bermakna kadar kalium awal kalium dan selisih kadar CPK dilakukan
dan kadar CPK awal antara kelompok dengian uji rank sparman. Hasil uji
atrakurium dan MgSO4. (Tabel 2) hubungan menunjukkan tidak terdapat
hubungan bermakna (p = 0,186; p =
Hasil uji Kolmogomov Smirnov me- 0,325) selisih kadar kalium dan selisih
nunjukkan bahwa data kadar kalium kadar CPK pada kelompok MgSo4.
akhir, data kadar CPK akhir tidak Diagram tebar hubungan antara selisih
berdistribusi normal. Sehingga uji beda kadar kalium dan selisih kadar CPK
kadar kalium akhir, kadar CPK akhir, kelompok MgSO4 dapat dilihat pada
antara kelompok atrakurium dan MgSO4 Gambar 2.
dengan Uji Mann Whitney. Tidak PEMBAHASAN
terdapat perbedaan bermakna kadar Pada penelitian ini kedua kelompok,
kalium akhir dan kadar CPK akhir antara kelompok Atrakurium dan kelompok
kelompok atrakurium dan MgSO4 (p > MgSO4 untuk karateristik penderita, jenis
0,05) (Tabel 3). operasi, sistolik, diastolik, MAP, kadar
Hasil uji Kolmogornov Smirnov me- kalium dan CPK preoperasi tidak
nunjukkan bahwa data selisih kadar didapatkan perbedaan yang bermakna
kalium dan data selisih kadar CPK, tidak dan berdistribusi normal sehingga data
berdistribusi normal,. sehingga uji beda dapat dikatakan homogen dan dapat
selisih kadar kalium dan selisih kadar dibandingkan.
CPK, antara kelompok atrakurium dan
MgSO4 dengan uji Mann Whitney. Secara statistik peningkatan serum
konsentrasi ion karium didapatkan
Tidak terdapat perbedaan bermakna perbedaan bermakna pada kedua
selisih kadar CPK antara kelompok kelompok. Fakta ini berbeda dengan
atrakurium dan MgSO4 (p > 0,05) namun penelitian Stoelting dan Peterson12 serta
terdapat perbedaan bermakna selisih Ferres15 dkk dalam penelitiannya
kadar kalium (p = 0,029), antara mengatakan peningkatan ion kalium
kelompok atrakurium dan MgsO4 (Tabel sama antara yang menggunakan
4). pretreatment atau tidak menggunakan
pretreatment obat golongan non
Pada kelompok Atrakurium, selisih kadar depolarisasi.
kalium dan selisih kadar CPK untuk
kelompok atrakurium tidak berdistribusi Kejadian ini dapat diterangkan secara
normal, sehingga uji hubungan selisih teori bahwa pelumpuh otot golongan

________________________________________________________________________________
5
Volume II, Nomor 1, Tahun 2010
Jurnal Anestesiologi Indonesia

Tabel 1. Rerata umur, antropometri dan Gambar 1. Diagram tebar antara selisih kadar
hemodinamik sampel pada kedua kelompok kalium dan selisih kadar MgSO4 + Kelompok
Variabel Rerata (± Rerata (± P Atrakurium
SD) SD)
Kelompok Kelompok
Atrakurium MgSO4
Berat 55,2 ± 8,01 51,4±7,26 0,057
badan
(kg)
Tinggi 157±0,06 158±0,05 0,811
(m)
Umur 36±8,7 31±11,3 0,073
(tahun)
Sistol 128±16,6 126±10,2 0,642
(mmHg)
Diastol 74±9,2 73±7,7 0,651
(mmHg)
MAP 91±10,4 91±8,4 0,870
Laju 89,8±12,6 90,6±11,9 0,810
jantung

Tabel 2. Perbedaan Nilai Awal Kadar Kalium


dan CPK pada kedua kelompok
Variabel Rerata Rerata P
(±SD) (±SD)
Kelompok Kelompo
Atrakurium k MgSO4
Gambar 2. Diagram tebar antara selisih kadar
Kadar 4,24 (±0,34) 4,2 0,660*
kalium dan selisih kadar MgSO4 + Kelompok
Kalium (±0,46)
Atrakurium
Kadar 64,7 (±43,69) 51,8 0,301**
CPK (±29,72)
Ket : a = uji beda dengan Mann Whitney
Tabel 3. Perbedaan Nilai Akhir Kadar Kalium dan
CPK pada ke dua kelompok
Variabel Rerata (± Rerata (± P
SD) SD)
Kelompok Kelompok
Atrakurium MgSO4
Kadar 4,32±0,33 4,38±0,35 0,639
Kalium
Kadar 209,6±223,7 140,4±137,7 0,128
CPK
Ket : a = uji beda dengan Mann Whitney

Tabel 4. Perbedaan Peningkatan Akhir dengan


Awal Kadar Kalium dan CPK
Variabel Rerata Rerata P
(±SD) (±SD)
Kelompok Kelompok
Atrakurium MgSO4
Kadar 0,08 ± 0,12 0,18 ± 0,20 0,029
Kalium
Kadar 144,9 ± 196,7 88,6 ± 134,8 0,080
CPK

________________________________________________________________________________
6
Volume II, Nomor 1, Tahun 2010
Jurnal Anestesiologi Indonesia

nondepolarisasi bekerja dengan cara rendah dibandingkan kelompok atra-


berkompetisi dengan neurotransmitter kurium. Fakta ini sesuai teori bahwa
asetilkolin untuk menduduki reseptor atrakurium dosis besar (dosis induksi)
asetilkolin sedangkan magnesium bekerja mempunyai efektivitas kerja pada
dengan cara kompetitif inhibitor terhadap presinap dan postsinap neuromuscular
ion kalsium sehingga asetilkolin yang junction, sedangkan pada dosis kecil
dilepaskan dari presinap berkurang. (dosis pretreatment) Atrakurium lebih
8,15,16,17
dominan pada postsinap, sehingga
Di post sinap magnesium menurunkan blokade pada pintu gerbang ion kalsium
efek asetilkolin pada reseptor dan dipresinap tidak terjadi dengan sempurna
meningkatkan batas ambang eksitasi menyebabkan asetilkolin banyak dipro-
akson. Pada penelitian yang dilakukan duksi dan dikeluarkan kedalam rongga
Sugirt tentang penggunaan MgSo4 untuk lipatan postsinap yang memungkinkan
penatalaksanaan paroksismal atrial masih terjadinya proses depolarisasi yang
takikardi juga mendapatkan hasil yang membutuhkan energi yang besar yang di
suplai oleh enzim CPK untuk membentuk
berbeda bermakna antara yang men- energi tersebut.21
dapatkan MgSO4 dengan yang tidak
mendapatkan MgSO4. Aktivitas listrik Secara biokimia dapat diterangkan salah
jantung berasal dari pergerakan berbagai satu enzim yang diaktifkan oleh Ca2+-
ion yang melintasi membrane sel kalmodulin adalah glikogen fosforilase
miokardium. Dalam hal ini ion natrium kinase, enzim yang sama yang diatur oleh
(Na+), kalium (K+), kalsium (Ca++) dan fosforilase yang diaktifkan oleh hormon.
magnesium (Mg++) merupakan ion yang Sewaktu kalmodulin diaktifkan oleh Ca2+
paling berperan. Ion Mg merupakan yang dibebaskan dari retikulum
elemen penting untuk kinerja berbagai sarkoplasma sewaktu otot berkontraksi,
enzim vital, termasuk energi yang C2+-kalmodulin mengikat glikogen fos-
mengatur distribusi ion Na+, K+, Ca+ pada forilase kinase otot dan mengaktifkan-
saat melintasi membran sel, sehingga nya. Akibatnya glikogen otot diuraikan
perubahan ion Mg+ dalam serum menjadi glukosa l-fosfat selama olahraga
mempunyai potensi besar terhadap untuk memberi bahan bakar bagi otot
pengaturan aktivitas listrik jantung. Aksi dengan demikian bila terjadi blok
antagonis ion Mg++ terhadap ion Ca+ gerbang Ca2+ maka pembentukan bahan
adalah dengan berkompetisi pada energi tidak terbentuk.22
membrane sel juga dengan memodulasi
pergerakan transmembran maupun Peningkatan CPK merupakan indikasi
fuansportasi ion Ca+ melalui sistem adanya kerusakan otot oleh suksinilkolin.
retikulo endoplasmik. Disamping itu Peningkatan ini terjadi 24 jam setelah
pemberian Mg+ akan mengakibatkan pemakaian suksinilkolin.23 Hal ini sesuai
penurunan sekresi katekolamin dalam dengan hasil penelitian Maddineni dkk
miokardium.18-20 didapatkan hubungan antara mialgia
dengan meningkatnya serum CPK akibat
Dalam hal peningkatan kadar kreatin induksi suksinilkolin.24
fosfokinase, pada kedua kelompok tidak
didapatkan perbedaan bermakna secara Besamya angka kejadian peningkatan
statistik (p = 0.080) namun secara klinis CPK dan peningkatan ion kalium tidak
nilai peningkatan kadar CPK kelompok didapatkan hubungan yang signifikan,
MgSO4 mempunyai kecenderungan lebih sesuai dengan hasil penelitian Jae Hwan

________________________________________________________________________________
7
Volume II, Nomor 1, Tahun 2010
Jurnal Anestesiologi Indonesia

Kim dkk dan Naguib M dkk. Mcloughlin antara peningkatan kadar CPK dengan
mencatat menurunnya kejadian mialgia angka kejadian mialgia
(CPK menurun) pada peningkatan ion
kalium tidak berbeda bermakna antara DAFTAR PUSTAKA
kelompok yang mendapatkan pre- 1. Mc Loughlin C, Elliot P, McCarthy JG,
treatment non depolarisasi atau tidak Mirakhur KR. Muscle pains and Biochemical
changes Following Suxamethonium
fakta ini berbeda dengan hasil penelitian Administration After Six pretreatrnent
Chatterji.18 Regimens. Anaesthesia 1993 : 41 : 202-206.
2. Laurence AS. Myalgia and Biochemical
Perbedaan ini semua dapat disebabkan change following intermittent
oleh perbedaan dosis yang digunakan Suxamethonium Administration. Anaesthesia
1987 ; 42 : 503-5 I 0
serta dimungkinkan oleh karena masing- 3. Cannon JE. Precurarization. Can J Anaes
masing obat mempunyai dominasi tempat 1994; 44:177-183
kerja yang berbeda disamping itu 4. PaseNL. Prevention of Succinylcholie
kelompok sebaran umur yang lebar Myalgias : A Meta Analysis. Anasthesia and
menyebabkan data tidak normal, ini Analgesia 1990; 70 : 477-483
5. Aitkenhead A.& G Smith. Neuromuscular
disebabkan jumlah pasien yang tidak Blockade-Textbook of Anaesthesia, 2nd Ed.
terlalu banyak sehingga merupakan salah New york, 1991:218-219, 417, 446447,
satu keterbatasan dari penelitian ini. 6. Shrivastava chatterji S, Kachhwa s, Daga SR
calcium Glukonate prctneatment for
SIMPULAN prevention of succinylcholine-induced
myalgia Anesthesia and analgesia 1983; 62 :
Penggunaan MgSO4 40% 40 mg/KgBB 59-62.
sebagai pretreatment tidak seefektif 7. Spence DLT, Domen & Herbert, Boulette E,
Atrakurium dalam mengurangi kenaikan Vachiano C, Maye J. A comparation of
kadar ion kalium darah meskipun lebih Rocuronium and Lidocain for The prevention
baik dibanding dengan obat preteatnent of Postoperative Myalgia After
Succinylcholine A&ninistration. AANA
yang lain akibat suksinilkolin. Joumal 2002:70 :367-372.
8. Hemmerling TIVI, schimidt J, wolf, Klein,
Penggunaan MgSO4 40% 40 mg/kgBB Jacobi. comparation of succinylcholine with
sebagai pretreatment dapat mengurangi two dosds of rocuronium using a new
kenaikan kadar kreatin fosfokinase darah methode of monitoring neuromuscular block
at the laryngeal muscles by surface laryngeal
akibat suksinilkolin. Tidak ada korelasi electromyography.Britis J Anaes 2000; 85
antara peningkatan serum CPK dan :251-255.
peningkatan ion kalium akibat induksi 9. Kim JH, [Iun Chq Lee [IW- Lim HJ, Chang
suksinilkolin antara kelompok yang SIf Yoon SM, Comparation of rocuronium
mendapatkan premedikasi MgSO4 40% and vecuronium hetreatment for Prevention
of Fasciculations, Myalgia and Biochemical
40 mg/kgBB dan kelompok yang Changes Following Succinylcholine
mendapatkan premedikasi Atrakurium Administration. Acta Anaethesia Sin 1999;
0,05 mg/kgBB. 37 : 173-177.
10. Naguib H. Effect of Pretreafinent with Lysine
Penggunaan MgSO4 40% 40 mg/kgBB Acetyl Salicylate on Suxamethonium-
induced myalgia. In : General issues W. Fitch
sebagai pretreatment dapat dijadikan ed. British J Anaes. 1987; 59 : 606-610.
alternatif untuk mengurangi kenaikan 11. Houghton IT. Aunt CST, Lau JTF.
kadar serum kreatin fosfokinase akibat Suxamethonium Myalgia : An Ethnic
pemberian suksinilkolin, sehingga Comparation With and Without pancuronium
kejadian mialgia dapat dikurangi. Perlu pretreatment. In : The Association of
Anaesthetists of Gt Britian and Irpland ed.
dilakukan penelitian lebih lanjut korelasi Anaesthesia 1992; 69:200-210.

________________________________________________________________________________
8
Volume II, Nomor 1, Tahun 2010
Jurnal Anestesiologi Indonesia

12. Leeson-Payng Nicoll, Hobbs. use ou 19. Myles PS, Hunt Jo, and Moloney JT.
Ketorolac in The hevention of Postoperativi: minor complications.
Suxamethonium Myalgia. In : British J Anaesthesia, 1997 ; 52: 300-306.
Anaes.1994:73 :788-790 20. Katnng, BG, Editor Bahsa Indonesia oleh :
13. Samad R. Muscle Pain After Succinylcholine sjabana D. dkk : Farmakologi Dasar dan
Injection and Its Management. Journal Klinilq Edisi 8-Buku 2 Jakarta; salemba
Surgery Pakistan. 2003;volume 09, Number Medika, 2002 : 177-203
03. 21. Sugiri. Penggunaan Magnesium Sulfat dalam
14. Krisnanto D, Saleh SC, Sylvaranto T,. tatalaksana Paroksismal Atrial Takikardi.
Pengaruh suksinitkholin dosis intubasi Media Medika Indonesiana 2002: 36(4): 127-
terhadap kalium pada penderita di RSUD Dr. 34.
Sutomo surabaya. Dalam : Kumpulan 22. Pokharel M.comparative study of Intravenous
Makalah Pra PIB VIII IDSAI Surakartq Magnesium sulphate and Lignocain in
1994. Attenuation of Hemodynamic response to
15. Vaugh RS. Potasssium and the perioperative raryngoscopy and tracheal Intubation. Can J
periods. British J Anaes l99l; 67:194-200. Anaesth 2004:49:11286
16. Worthley LIG. Fluid and elecholyte therapy. 23. Glaaser IW, clancy cE.cardiac Na+ channel as
In: T.E.OH, ed. Intensive care Manual. 3'd therapeutic Taget dor Antiarrhyhnic
ed. London: Butterworttrs. 1990:502-5 11. Agents.I.:Kass Rs, Clancy cE. Basis and
17. Dobb GJ. Electrolytes and Parenteral Treatment of cardiac Arrhyhnias Berlin ;
rherapy. In: Davidson c. wylie. A Practice of Springer 2006 :99 – 120
Anaesthesia 5s ed. singapore: Lroyd- 24. Chakraborti S, Makdal M, Ghosh S.
ruke.1996:566-568. Protective role of Magnesium in
18. Moir DD. Thorburn J. obstefic Anaesthesia Cardiovasculer disease : A Riview . J
and Analgesia. 3d ed. London: Balliere Molecular and Celluler biochemistry
Tindal, 1986: 13. 2002;238:163-179

________________________________________________________________________________
9
Volume II, Nomor 1, Tahun 2010
Jurnal Anestesiologi Indonesia

PENELITIAN

Ketorolak Intravena dan Laju Filtrasi Glomerulus pada Anestesi Isofluran

Rosa Afriani*, Heru Dwi Jatmiko*


*Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif FK Undip/ RSUP Dr. Kariadi, Semarang

ABSTRACT
Background: Every patient undergoing surgery should receive proper pain management.
A non steroid antiinflamation drug, 30 mg ketorolac provide analgesic effect as well as 10
mg morphine or 100 mg meperidine without any cardio respiration depression side effect.
Ketorolac non selectively inhibit the function of cyclooxigenase enzyme and prostaglandin
synthesizes which cause endogenous vasoconstriction and decrease renal perfusion and
glomerular filtration.
Purpose: To detect effect of intravenous administration of ketorolac on Glomerular
Filtration Rate in anesthesia with isoflurane.
Method: This research was a second phase clinical trial, designed as double blind
randomize control trial. Sample of this study consisted of 48 patients, divided in to two
groups. Group Kl : receive intravenous 30 mg ketorolac (1 ml) 1 hour before the end of
surgery, and Group K2 : receive intravenous 1 ml saline 1 hour before the end of surgery.
Serum creatinine level was measured before and at 6 hours after surgery.
Result: There were no significant increase of serum creatinine and no significant decrease
of creatinine clearance in both ketorolac and plasebo group.
Conclusion: There were no significant increase of serum creatinine and decrease of
creatinine clearance in both ketorolac and plasebo group in anesthesia with isoflurane.
Key words: ketorolac, Glomerular Filtration Rate, isoflurane

ABSTRAK
Latar Belakang: Setiap penderita yang mengalami pembedahan sebaiknya diberikan
penanganan nyeri yang sempurna. Obat antiinflamasi non steroid ketorolak 30 mg
memberikan efek analgesia yang sebanding dengan morfin 10 mg atau meperidin 100 mg
dan tidak menimbulkan efek samping depresi respirasi. Ketorolak bekerja secara non
selektif menghambat fungsi enzim siklooksigenase dan sintesis prostaglandin yang
mengakibatkan terjadinya vasokonstriksi endogen, sehingga menyebabkan penurunan
perfusi ginjai dan filtrasi giomerulus.
Tujuan: Mengetahui pengaruh pemberian ketorolak intra vena terhadap laju filtrasi
giomerulus pada anestesi isofluran.
Metode : Penelitian ini merupakan uji klinis tahap II, dirancang sebagai double blind
randomized controlled trial Sampel 48 pasien, dibagi dalam 2 kelompok, yaitu kelompok
K1: diberikan ketorolak 30 mg (1 ml) intravena 1 jam sebelum operasi selesai, dan
kelompok K2: diberikan cairan salin 1 ml intravena 1 jam sebelum operasi selesai. Serum
kreatinin di periksa sebelum perlakuan dan 6 jam setelah operasi selesai.
Hasil : Terdapat peningkatan kreatinin serum secara tidak bermakna dan penurunan
klirens kreatinin secara tidak bermakna pada kelompok ketorolak dan plasebo.
Simpulan : Terdapat peningkatan kreatinin serum secara tidak bermakna dan terjadi
penurunan klirens kreatinin secara tidak bermakna, pada kelompok ketorolak dan plasebo,
dengan menggunakan agen inhalasi isofluran.
Kata kunci: ketorolak, laju filtrasi glomerulus, isofluran

________________________________________________________________________________
10
Volume II, Nomor 1, Tahun 2010
Jurnal Anestesiologi Indonesia

intravena terhadap laju filtrasi glomerulus


PENDAHULUAN pada pasien yang menggunakan agen
Setiap penderita yang mengalami inhalasi isofluran, padahal isofluran lebih
pembedahan sebaiknya diberikan sering digunakan di Instalasi Bedah
penanganan nyeri yang sempurna, karena Sentrai RSUP. Dr. Kariadi Semarang
dampak dari nyeri itu sendiri dapat dibandingkan dengan sevofluran.
mengakibatkan timbulnya Metabolic Penelitian yang akan kami lakukan
Stress Response (MSR) yang akan adalah bagaimana pengaruh ketorolak
mempengaruhi semua sistem tubuh intravena terhadap laju filtrasi glomerulus
penderita. Keadaan tersebut dapat pada anestesi dengan isofluran. Tujuan
mengakibatkan hambatan pada penelitian ini adalah untuk mengetahui
penyembuhan luka, mobilisasi yang pengaruh pemberian ketorolak intra vena
terganggu, dan jangka waktu rawat di terhadap laju filtrasi glomerulus pada
rumah sakit akan semakin bertambah. anestesi isofluran. Sedangkan tujuan
Analgesia lebih efektif tercapai dengan khususnya, pertama untuk mengukur
menggunakan kombinasi obat yang kadar kreatinin sebelum dan sesudah
bekerja pada tempat-tempat yang berbeda pemberian ketorolak intra vena terhadap
sepanjang jalur nyeri dan dengan efek laju filtrasi glomerulus pada anestesi
samping yang minimal. Terapi analgetik isofluran, kedua menghitung klirens
dengan opioid menimbulkan banyak efek kreatinin sebelum dan sesudah pemberian
samping antara lain: sedasi, narkosis, ketorolak intra vena terhadap laju filtrasi
depresi respirasi, dan ileus intestinal. glomerulus pada anestesi isofluran.
Beberapa efek samping tersebut tidak
terjadi dengan pemberian anti inflamasi METODE
non steroid.3 Penelitian ini merupakan uji klinik tahap
2 (subjek manusia) fase 3 (bertujuan
Obat antiinflamasi non steroid ketorolak mengevakuasi obat atau cara pengobatan
30 mg memberikan efek analgesia yang baru dibandingkan dengan pengobatan
sebanding dengan morfin 10 mg atau yang telah ada/standar) dengan cara
meperidin 100 mg dan tidak double blind randomized controled trial,
menimbulkan efek samping depresi dengan bentuk rancangan eksperimental
respirasi.4,5 ulang (pretest-postest control group
Ketorolak bekerja secara non selektif design). Dalam rancangan eksperimental
menghambat fungsi enzim siklo- ulang, pengukuran atau observasi
oksigenase dan sintesis prostagiandin dilakukan awal sebelum diberikan
yang mengakibatkan terjadinya vaso- perlakuan dan setelah perlakuan.
konstriksi endogen, sehingga menyebab- Kelompok penelitian dibagi menjadi dua
kan penurunan perfusi ginjal dan filtrasi kelompok sebagai berikut: Kelompok I
glomerulus.6 (K1): mendapat tramadol 2 mg/kgBB i.v
Pada penelitian sebelumnya, Merja dkk dan ketorolak 30 mg intravena 1 jam
melaporkan bahwa ketorolak 30 mg sebelum operasi diperkirakan selesai.
menurunkan fungsi glomerulus dan Kelompok 2 (K2): mendapat tramadol 2
tubulus ginjal meskipun secara statistik mg/kgBB i.v dan plasebo intravena 1 jam
tidak bermakna.6 Merja dkk meng- sebelum operasi diperkirakan selesai.
gunakan agen inhalasi sevofluran. Tempat penelitian adalah Instalasi Bedah
Sampai saat ini belum terdapat penelitian Sentral RSUP Dr. Kariadi Semarang.
yang menerangkan pengaruh ketorolak Waktu penelitian dimulai setelah

________________________________________________________________________________
11
Volume II, Nomor 1, Tahun 2010
Jurnal Anestesiologi Indonesia

proposal disetujui sampai tercapai sampel diberikan 20 menit setelah pemberian


yang telah ditetapkan. fentanyl.
Kriteria inklusi, yaitu : usia antara 16-50 Ketika operasi berlangsung, infus
tahun, status fisik ASA I - II, menjalani diberikan dengan kecepatan yang
operasi dengan anestesi umum, lama disesuaikan dengan kebutuhan cairan
operasi 2 - 3 jam, tidak ada kontra- intra operatif, sedangkan operasi dibatasi
indikasi pemakaian obat anestesi yang 2-3 jam. Satu jam sebelum operasi
digunakan, berat badan normal (BMI 20- diperkirakan selesai, pasien diberikan
25 kg/m2). Kriteria eksklusi, yaitu : ketorolak (kelompok tramadol-ketorolak)
penyakit otot, penyakit jantung, penyakit dan plasebo (kelompok tramadol-
ginjal. plasebo). Enam jam pasca bedah diambil
sampel darahnya untuk pemeriksaan
Pemilihan sampel dilakukan dengan
serum kreatinin.
concecutive random sampling, dimana
setiap penderita yang memenuhi kriteria
HASIL
yang telah ditentukan diatas dimasukkan
dalam sampel penelitian sampai jumlah Penelitian dilakukan terhadap 48 pasien
yang diperlukan terpenuhi. Pasien dibagi yang menjalani operasi di bidang THT,
dalam 2 kelompok yaitu kelompok mata, bedah tumor, bedah ortopedi,
tramadol-ketorolak (Ki) dan kelompok badah digestif, dan bedah plastik di
tramadol-plasebo (K1), sehingga masing- Instalasi Bedah Sentral RS. Dr. Kariadi
masing kelompok berjumlah 24 orang. Semarang dan dibagi menjadi dua
kelompok, yaitu kelompok Kl (ketorolak)
Semua pasien diberi penjelasan tentang dan K2 (plasebo). Uji statistik untuk data
hal-hal yang berhubungan dengan kondisi normal meliputi jenis kelamin dan status
yang akan dialami selama perlakuan dan ASA dengan menggunakan Mann-
bersedia mengikuti penelitian. Pasien Whitney.
dikeluarkan dari penelitian apabila
menolak perlakuan, tidak kooperatif, dan Nilai dinyatakan dengan rerata dan
lama operasi lebih dari 3 jam. simpangan baku. Uji t dan Mann-
Whitney terhadap karakteristik kedua
Semua pasien dipuasakan selama 6 jam
kelompok menunjukkan perbedaan tidak
dan diberikan premedikasi sulfas bermakna (p<0,05), sehingga dapat
atropine 0,01 mg/kgBB, midazolam 0,07 dibandingkan. Karakteristik klinis pasien
mg/kgBB intramuskuler, dan ondansetron sebelum dan sesudah operasi yang terdiri
4 mg intramuskuler 30 menit sebelum dari tekanan darah sistolik, tekanan darah
induksi. Setelah sampai di kamar operasi diastolik, dan laju nadi menunjukkan
segera diperiksa sampel darah pasien. perbedaan tidak bermakna (p > 0,05),
Penderita diinduksi dengan thiopentone 5 sehingga kedua kelompok dapat
mg/kgBB, atrakurium besylate 0,5
dibandingkan.
mg/kgBB, fentanyl 2 g/kgBB intravena
untuk fasilitas pemasangan pipa Fungsi ginjal kelompok ketorolak dan
endotrakeal. Anestesi dirumat dengan O2 plasebo terdapat perbedaan tidak
50% dan N2O 50%, isofluran 0,5-1 bermakna (p>0,05) pada saat sebelum
MAC., serta penambahan 0,2 mg/kgBB operasi. Fungsi ginjal pada kelompok
atrakurium besylale untuk rumatan ketorolak dan plasebo terdapat perbedaan
pelumpuh otot, tramadol 100 mg tidak bermakna (p > 0,05) pada saat
setelah operasi.

________________________________________________________________________________
12
Volume II, Nomor 1, Tahun 2010
Jurnal Anestesiologi Indonesia

Tabel 1. Data numerik umur, BMI, serum kreatinin, dan klirens kreatinin menggunakan uji {(independent i
test dan paired t test) dengan derajat kemaknaan p< 0,05.
Variabel Kelompok Kelompok Uji Statistik P
K1 (n=24) K2 (n=24)
Umur (th) 31,58 ± 9,86 31,33 ± 9,16 Uji-t 0,928
Jenis Kelamin
Laki-laki 12 10 Mann Whitney 0,140
Perempuan 12 14
Berat badan (kg) 56,58 ± 7,19 53,79 ± 5,59 Uji t 0,140
BMI 21,62 ± 1,53 21,13 ± 1,07 Uji t 0,206
Status ASA (%)
ASA I 16 19 Mann Whitney 0,335
ASA II 8 5

Tabel 2. Karakteristik klinis pasien pre operasi


Variabel Pre operasi Uji P
Kelompok K1 Kelompok K2 Statistik
(n=24) (n=24)
Sistolik 121,25 ± 9,89 120,58 ± 11,4 Independent 0,827
(mmHg) t test
Diastolik 75,46 ± 7,14 74,58 ± 8,66 Independet 0,704
(mmHg) t test
Laju 86,08 ± 8,77 88,13 ± 9,28 Independent 0,438
Nadi t test
(x/mnt)

Tabel 3. Karakteristik klinis pasien post operasi


Variabel Post operasi Uji P
Kelompok K1 Kelompok K2 Statistik
(n=24) (n=24)
Sistolik 121,17 ± 9,40 121,75 ± 9,84 Independent 0,835
(mmHg) t test
Diastolik 73,46 ± 7,05 76,75 ± 6,28 Independet 0,095
(mmHg) t test
Laju 83,75 ± 8,7 85,46 ± 8,65 Independent 0,499
Nadi t test
(x/mnt)

Tabel 4. Data fungsi ginjal kelompok ketorolak dan plasebo sebelum operasi
Variabel Post operasi Uji P
Kelompok K1 Kelompok K2 Statistik
(n=24) (n=24)
Kreatinin 0,75 ± 0,18 0,746 ± 0,13 Independent 0,940
t test
Klirens 117,30 ± 21,91 111,44 ± 22,66 Independet 0,367
kreatinin t test

________________________________________________________________________________
13
Volume II, Nomor 1, Tahun 2010
Jurnal Anestesiologi Indonesia

Tabel 5. Data fungsi ginjal kelompok ketorolak dan plasebo setelah operasi
Variabel Post operasi Uji P
Kelompok K1 Kelompok K2 Statistik
(n=24) (n=24)
Kreatinin 0,777 ± 0,19 0,776 ± 0,15 Independent 0,987
t test
Klirens 113,65 ± 22,24 108,27 ± 24,76 Independet 0,432
kreatinin t test

Tabel 6. Delta perubahan kliners kretinin kelompok ketorolak dan placebo


Variabel Kelompok K1 Kelompok K2 Uji P
(n=24) (n=24) Statistik

Selisih Kelompok K1 3,6463 ± Paired t test 0,291


klirens (n=24) 16,5139
kreatinin Kelompok K2 3,1733 ± Paired t test 0,472
pre op – (n=24) 21,2519
post op

untuk memperkirakan LFG karena


Delta perubahan klirens kreatinin pada
kreatinin difiltrasi dan sebagian kecil
kelompok ketorolak dan plasebo terdapat
disekresi tetapi tidak direabsorbsi dalam
perbedaan tidak bermakna (p > 0,05).
dalam Ginjal Diasumsikan bahwa
PEMBAHASAN kreatinin diekskresikan semata-mata
Ketorolak sangat berguna untuk melalui filtrasi glomerulus.24
mencegah nyeri pasca operasi, baik Pada penelitian ini diteliti pengaruh
sebagai obat tunggal atau diberikan ketorolak intravena terhadap laju filtrasi
bersama opioid sehingga mempunyai glomerulus pada pasien anestesi
efek potensiasi. Ketorolak adalah obat isofluran. Penelitian dilakukan terhadap
analgesia ami inflamasi non steroid dan 48 penderita yang menjalani operasi di
merupakan analgesia yang bekerja bidang THT, mata, bedah tumor, bedah
diperifer dengan cara menghambat fungsi ortopedi, badah digestif, dan bedah
enzim siklooksigenase dan sintesis plastik di Instalasi Bedah Sentral RS. Dr.
prostaglandin yang mengakibatkan Kariadi Semarang dan dibagi menjadi
terjadinya vasokonstriksi endogen, dua kelompok, yaitu kelompok Kl
sehingga menyebabkan penurunan (ketorolak) dan K2 (plasebo), yang
perfusi ginjal dan filtrasi glomerulus.6 masing - masing kelompok terdiri dari 24
Laju filtrasi glomeruius paling tepat penderita.
menggunakan klirens inulin, karena Dari data karakteristik penderita pada
inulin difiltrasi secara lengkap di Tabel 1 dan karakteristik klinis penderita
glomerulus, tidak toksik terhadap ginjal, sebelum operasi pada Tabel 2,
tidak direabsorbsi dan disekresi di menunjukkan bahwa pada kedua
tubulus ginjal serta tidak mengalami kelompok tidak terdapat perbedaan yang
metabolisme di ginjal.20,21 bermakna sehingga keduanya layak untuk
Karena nilai LFG dengan klirens inulin diperbandingkan.
dirasakan sulit dan tidak praktis, maka Hasil pengamatan tambahan meliputi
untuk keperluan klinis praktis klirens pengukuran tekanan darah sistolik,
kreatinin telah digunakan secara luas tekanan darah diastolik, dan laju nadi

________________________________________________________________________________
14
Volume II, Nomor 1, Tahun 2010
Jurnal Anestesiologi Indonesia

sebelum dan sesudah operasi. Tekanan Pemeriksaan klirens kreatinin meng-


darah sistolik, tekanan darah diastolik, gunakan serum kreatinin untuk menentu-
dan laju nadi menunjukkan penurunan kan fungsi ginjal dengan menggunakan
yang tidak bermakna pada kelompok rumus Cockcroft dan Gault cukup
ketorolak dan plasebo. Pada tekanan nyaman karena cara penghitungan yang
darah tersebut, autoregulasi masih mudah dan praktis akan tetapi kurang
bekerja sehingga masih dapat mem- akurat sensitivitasnya, sedangkan peng-
pertahankan aliran darah ginjal dan iaju gunaan inulin untuk pemeriksaan laju
nitrasi giomerulus yang stabil. Respon nitrasi glomerulus yang lebih akurat
ginjal terhadap penurunan tekanan darah membutuhkan banyak tenaga dan mahal,
menyebabkan timbulnya aktivasi sehingga diperlukan penggunaan penanda
simpatis. Aktivasi simpatis ini menyebab- baru yang akurat, cepat, dan murah
kan konstriksi arteriol aferen dan eferen sebagai pengganti serum kreatinin untuk
yang akan mengakibatkan penurunan laju menentukan fungsi ginjal misalnya Cyst
filtrasi glomerulus. at in C dalam serum.
Hasil penelitian terutama ditujukan SIMPULAN
terhadap klirens kreatinin yang dilakukan Dari hasil penelitian terhadap 48
sebelum dan sesudah operasi. Metoda penderita berusia 16-50 tahun yang tidak
perhitungan klirens kreatinin pada menderita penyakit otot, penyakit
penelitian ini memakai rumus Cockcroft jantung, penyakit ginjal, syok (MAP <
dan Gauit. 50), menstruasi, demam, menggunakan
Terdapat penurunan klirens kreatinin obat-obatan seperti oksitetrasiklin,
tidak bermakna pada kelompok ketorolak netilmisin, trimethoprim-sulfadiazin,
dan plasebo. Ketidakbermaknaan ini metoksifluran, flunixin, gentamisin,
terjadi mungkin pengamatan klirens penisilin, neomisin, dan kanamisin, yang
kreatinin dilakukan 6 jam setelah menjalani operasi di bidang THT, mata,
pemberian ketorolak, sedangkan dari bedah tumor, bedah ortopedi, bedah
kepustakaan pengamatan dilakukan digestif, dan bedah plastik dengan ASA I-
sampai 3 hari, walaupun pernah II di Instalasi Bedah Sentral RS. Dr.
dilaporkan juga pada beberapa pasien Kariadi Semarang, diperoleh kesimpulan
setelah pemberian dosis tunggal yaitu terdapat peningkatan kreatinin
ketorolak terjadi penurunan klirens serum secara tidak bermakna dan terjadi
kreatinin, atau diperlukan tehnik penurunan klirens kreatinin secara tidak
tambahan untuk menghitung klirens bermakna, pada kelompok ketorolak dan
kreatinin menggunakan jumlah produksi plasebo, selama operasi 2 - 3 jam dengan
urin dan kreatinin urin. menggunakan agen inhalasi isofluran.
Penurunan klirens kreatinin tidak Diperlukan pengamatan terhadap serum
bermakna juga dikemukakan oleh Merja kreatinin dan klirens kreatinin pada
dkk6 yang mengukur klirens kreatinin penderita yang mendapat ketorolak
dengan menggunakan agen inhalasi intravena dalam jangka waktu yang lama.
sevofluran. Pemberian obat-obatan yang Diperlukan penggunaan penanda baru
tidak termonitor, pasien melakukan yang lebih akurat, cepat, dan murah
latihan fisik berat, adanya penyakit otot untuk menentukan fungsi ginjal, sebagai
yang tidak diketahui sebelumnya pengganti serum kreatinin.
merupakan factor-faktor yang bisa
mempengaruhi laju nitrasi glomerulus.

________________________________________________________________________________
15
Volume II, Nomor 1, Tahun 2010
Jurnal Anestesiologi Indonesia

DAFTAR PUSTAKA receptor Blocked by Cyclooxygenase


1. Pederson D. Accelerated surgical stay Inhibition. Sience 1997;257:1276-9.
programme. Annals of surgery 1994; 14. Stoelting RK. Pharmacology and physiology
219:374-81. in anesthetic practice, 3 rd ed. Philadelphia
2. Bardram L, Funch - Jensen P, Crawford ME, and New York: Lippincott Raven ; 1999,247
Kehlet H. Recovery after laparoscopic - 56.
colonic surgery with epidural analgesia and 15. Ketorolac. Available from : URL : http :
early oral nutrition and mobilisation. Lancet //www.rmhonline.com/
1995; 345 : 763-4. modules/goldstandard/ketorolac.html. May
3. Wong HY. Non opioid analgesic : use in the 08 2006.
perioperative periode. In : Collms VJ. 16. Galli G, Panzetta G. Do non-steroidal anti-
Physiologic and pharmacologic bases of infl amatory drugs and COX-2 selective
anesthesia. Pennsylvania : William & inhibitors have different renal effects? J
Wilkins ; 1996, 599-610. Nephrol 2002; 15: 480-8.
4. Vane JR, Botty RM. Overview : Mechanism 17. Arthur V. Renal physiology. New york : Me
of action of anti inflamatory drugs. Kluwer Graw-Hill Inc ; 1991,19-52.
academic publisher / William Haqrvey Press ; 18. Markun MS, Suhardjono. Evaluasi penderita
1996, 2 - 27. penyakit ginjal. Dalam : Soeparman,
5. Gibbs NM, Sear JW. Effect of ketorolac, Waspadji, penyunting. Ilmu Penyakit Dalam.
bupivacain and low - dose heparin on Jilid II. Jakarta : Badan penerbit FKUI;
tromboelastographic variables in vitro. Br. J. 1990,189-98.
Anaesth. 1995 ; 75 : 27 - 30. 19. Behnia R. Renal physiology,
6. Merja L, Maija AT, Koivusalo, Honkanen E, physiopathology and pharmacologic effect on
Yalta P,Lindgren L. The effect of ketorolac kidney function. In : Collins VJ. Physiologic
and sevoflurane anesthesia on renal and pharmacologic base of anesthesia.
glomerular and tubular function. 2001. Baltimore : William & Wilkins ; 1996,421-
Available from : The Electronic Anesthesia 45.
Library. 20. Achmadi N, Marwoto. Penatalaksanaan
7. Jung D, Mroszozak EJ, Wu A. anestesi pada penderitaan gagal ginjal kronik.
Pharmacocinetic of ketorolac and p-hydroxy Kumpulan karya ilmiah. Semarang : Bagian
ketorolac following oral and intramuscular Anestesiologi FK Undip ; 1998.
administration of ketorolac tromethamine. 21. Lessard MR, Trepanier CA. Renal function
Pharmaceutical Res 1989 ; 35 : 423-5. and haemodynamics during prolong
8. Ding Y, Fredman B, White PF. Use of isoflurane-induced hypotension in human.
ketorolac and fentanyl during outpatient Anesihesiology 1991 ; 74 : 860-5.
gynecologic surgery. Anesth Analg 1998 ; 22. Smith JF. Medical Library. Available from :
77: 205 -10. URL : http: //www.chclibrarv.org
9. Vane JR, Botty RM. Overview : Mechanism /micromed/Q0044300.html. March 20,2005.
of action of anti inflamatory drugs. Kluwer 23. Boswell MV, Collins VJ. Fluorinated ether
academic publisher / William Haqrvey Press ; anesthetics. In : Collins VJ (editor).
1996, 2 - 27. Physiologic and pharmacologic bases of
10. Gibbs NM, Sear JW. Effect of ketorolac, anesthesia. Baltimore : William & Wilkins A
bupivacain and low-dose heparin on Waferly Co; 1996, 687-91.
thromboelastographic variables in vitro. Br. J. 24. Nam YT, Kim JS, Park KW. Effect of
Anaesth. 1995 ; 75 : 27 - 30. hypotensive anesthesia with sodium
11. Jung D, Mroszcak EJ, Bynum L. nitroprusside or isoflurane on haemodynamic
Pharmacokinetics of ketorolac tromethamine and metabolic changes. Yonsei MedJ 1991;
in human after ntravenous, intramuscular 33: 320-5.
and oral administration. Eur J Clin Pharmacol
1998 ; 35: 423 - 25.
12. Gillis JO, Brogden RN. Ketorolac : a
reappraisal of its pharmacodynamic and
pharmacokinetic properties and therapeutic
use in pain management. Drug Adis Drug
Evaluation 1997, 53(1): 139 - 88.
13. Malmberg AB, Yaksh TL. Hyperalgesia
Mediated by Spinal Glutamate or Subtance P

________________________________________________________________________________
16
Volume II, Nomor 1, Tahun 2010
Jurnal Anestesiologi Indonesia

PENELITIAN

Hubungan Kadar Midazolam Plasma Ibu Dan Bayi Dengan Kondisi Fisik
Serta Waktu Persalinan Pada Pasien Sectio Caesaria Yang Mendapat
Premedikasi Midazolam Intravena
Eva Susana Putri Daya*, Uripno-Budiono*, Heru Dwi Jatmiko*
*Bagian Anestesiologi dan Terapi IntensifFK Undip/ RSUP Dr. Kariadi, Semarang

ABSTRACT
Background: Routine midazolam premedication is given in spinal anesthesia because very
useful to give sedation, amnesia, decrease anxiety so that the patients’ hemodynamic is
more stabile. To date, midazolam premedication for Cesarean section is still controversial
because can depress nenonate respiratory. It is because data about the pharmacology of
transplacental is still limited. In Cesarean section didn’t have bad effect to neonate. This
study want to add information about transplacental pharmacology so that analysis the
relation of blood plasma midazolam level of mother and baby with physical condition and
time of labor.
Objective: To prove the relation of blood plasma midazolam level of mother and baby with
physical condition and time of labor.
Method: There were 15 sample who fulfilled inclusion and exclusion criteria. Patient was
injected with 0,02 mg/kgBW intravenous midazolam premedication just before spinal
anesthesia (± 2 minute). After the umbilical cord cut, the maternal blood sample and
umbilical vein blood sample was taken. The level of midazolam plasma was measured by
HPLC. Statistic Corelation was analyzed using Person.
Result: The aged of mother had positive significant correlation with blood plasma
midazolam level of mother (r=0,932 ; =0,000) and baby ( r=0,578 ; =0,024 ). The aged
of pregnancy had negative significant correlation with mother blood plasma midazolam
level ( r= -0,648 ; = -0,009 ). The weight of the baby had negative significant correlation
with baby blood plasma midazolam level ( r= -0,954 ; =0,000 ). Time of labour have
negative significant correlation with blood plasma midazolam level of mother ( r= - 0,760;
=0,001 ) and the baby (r= -0,558 ; = -0,031 ).
Conclusion: There is relation of blood plasma midazolam level of mother and baby with
physical condition and time of labor
Keywords : Midazolam, Spinal Anesthesia, Sectio Caesaria

ABSTRAK
Latar belakang: Premedikasi midazolam rutin diberikan pada anestesi spinal karena
sangat bermanfaat untuk memberikan efek sedasi, amnesia, menghilangkan
kecemasan. Premedikasi midazolam untuk pasien section caesaria masih kontroversial
karena ditakutkan terjadinya depresi napas neonatus. Hal ini karena informasi
farmakologi transplasenta masih langka. Pada penelitian sebelumnya menyatakan dosis
0,02mg/kgbb iv aman bagi bayi. Penelitian ini bermaksud menambah informasi mengenai
studi farmakokinetika yaitu menganalisis hubungan kadar midazolam plasma ibu dan
bayi dengan kondisi fisik dan lamanya persalinan.

________________________________________________________________________________
17
Volume II, Nomor 1, Tahun 2010
Jurnal Anestesiologi Indonesia

Tujuan : Membuktikan adanya hubungan kadar midazolam plasma ibu dan bayi dengan
kondisi fisik serta waktu persalinan.
Metode : Ruang lingkup penelitian adalah Anestesiologi dan Farmakologi. Sample
sebanyak 15 orang yang telah melalui kriteria inklusi dan eklusi Pasien diberi premedikasi
midazolam dosis 0,02 mg/kgbb iv sesaat sebelum dilakukan anestesi spinal (± 2 menit).
Setelah bayi lahir dipotong tali pusat, maka diambil arah vena maternal dan diambil
sampel darah vena umbilikali Kadar midazolam plasma diukur menggunakan HPLC.
Analisa statistik korelasi dengan pearson.
Hasil : Usia ibu mempunyai hubungan bermakna positif dengan kadar midazolam plasma
ibu (r=0,932 ; =0,000) dan bayi (r=0,578 ; =0,024). Usia kehamilan mempunyai
hubungan bermakna negatif dengan kadar midazolam plasma ibu (r= -0,648 ; = -0,009).
Berat badan bayi mempunyai hubungan bermakna negatif dengan kadar midazolam
plasma bayi (r= -0,954 ; =0,000). Waktu persalinan mempunyai hubungan bermakna
negatif dengan kadar midazolam plasma ibu (r= - 0,760 ; =0,001) maupun bayi (r= -
0,558 ; = -0,031).
Kesimpulan : Ada hubungan kadar midazolam plasma ibu dan bayi terhadap kondisi fisik
serta waktu persalinan
Kata kunci : Midazolam, Anestesi Spinal, Sectio Caesaria

PENDAHULUAN penggunaannya pada saat persalinan.4,5


Penelitian sebelumnya menyatakan dosis
Teknik anestesi spinal pada sectio
tunggal midazolam pada sectio caesar
caesaria mempunyai banyak keuntungan
tidak berpengaruh buruk pada Apgar
seperti onset cepat, risiko terhadap bayi
Score dan neurobehaviour score.6
minimal, serta pencegahan dan penyulit
anestesi sudah diketahui dengan baik, Untuk menyediakan lebih banyak
sedangkan premedikasi sedasi intravena informasi farmakologi klinis terutama
pada wanita hamil sangat bermanfaat mengenai farmakologi transplasenta pada
dalam persiapan untuk prosedur medis prosedural premedikasi midazolam pada
dan pembedahan pada sectio caesaria, kehamilan aterm yang akan dilakukan
dimana obat premedikasi anestesi yang sectio caesar dengan anestesi spinal,
biasa digunakan untuk sedasi yaitu maka pada penelitian ini kami bermaksud
midazolam. Midazolam selain mengukur berapa kadar midazolam
memberikan sedasi juga dapat mengatasi plasma darah ibu dan bayi setelah diberi
rasa cemas pasien, memberikan amnesia premedikasi midazolam dosis 0,02
dan sedikit relaksasi, dengan demikian mg/kgBB iv.
diharapkan hemodinamik pasien lebih
stabil. Dosis premedikasi midazolam
intravena untuk ibu hamil yang METODE
direkomendasikan aman bagi janin yaitu Penelitian ini merupakan penelitian
dengan menggunakan dosis rendah 0,02 eksperimental dengan consecutive
mg/kgbb. 1,2,3 sampling. Tempat penelitian adalah
Beberapa laporan mendiskusikan Instalasi Bedah Sentral Rumah Sakit
pemberian midazolam secara intra vena Umum Pusat Dr. Kariadi Semarang.
selama kehamilan tanpa memberikan Pemeriksaan kadar midazolam plasma
informasi lebih banyak mengenai darah dilakukan di Bio Equivalen Lab

________________________________________________________________________________
18
Volume II, Nomor 1, Tahun 2010
Jurnal Anestesiologi Indonesia

Jakarta. Penelitian dilakukan sejak Adapun pelarut untuk HPLC grade antara
November 2008 sampai Januari 2009. lain : dichloromethane, hexane, isopropyl
Jumlah sampel yang diperlukan untuk alcohol, tetrahydrofuran, t-butyl methyl
penelitian ini seluruhnya adalah 15 ether, acetonitrile. Standar internal
sampel ibu dan 15 sampel bayi. menggunakan climazolam.
Pasien diberikan oksigen kanul nasal 3 Data-data meliputi data demografi dasar
l/mnt, dipasang alat monitoring, (usia ibu, tinggi badan, berat badan), lab
diberikan koloid HES 6% sebanyak pre operasi (darah rutin, elektrolit, ureum,
500ml dimana sebelumnya dari ruangan creatinin, albumin, GDS, ppt), status
telah diberikan kristaloid RL 500 ml dan obstetric (multiparitas, umur kehamilan),
dievaluasi monitoring hemodinamik. hemodinamik ibu (pre operasi, durante
Kemudian pasien mendapatkan operasi (tiap 5 menit), post op),
premedikasi midazolam 0,02 mg/kgbb iv manajemen operatif (waktu yang
sesaat ( ± 2 menit ) sebelum dilakukan diperlukan mulai dari premedikasi s/d
spinal anestesi. Anestesi spinal dengan bayi lahir, durasi operasi, total efedrin),
bupivakain 0,5% hiperbarik 12,5 mg, berat badan bayi baru lahir dan Skor
sebelum dilakukan insersi spinal needle apgar menit 1, 5, dan 10. Sampel plasma
25 G dilakukan infiltrasi subcutis dengan darah vena umbilikalis diambil sesaat
lidokain 2%. setelah bayi lahir bersamaan diambil
sampel darah vena ibu @ 2 cc. Sampel
Setelah bayi lahir dan tali pusar dipotong
darah vena diambil plasmanya dengan
diambil sampel darah pada vena
centrifuge kemudian besar kadar
umbilikalis bersamaan juga diambil
midazolam plasma diukur dengan metode
sampel darah vena maternal di regio ante
HPLC.
brachii ibu untuk mengukur kadar
midazolam dalam plasma darah vena Analisa Statistik deskriptif untuk masing-
umbilikalis dan plasma darah ibu. Sampel masing variabel numerik dinyatakan
darah masing-masing diambil 2 cc dan dalam rerata ± simpang baku ( mean ±
dimasukkan ke dalam tabung vakum SD ). Semua variabel numerik diuji
plastik berisi EDTA, dan segera dikirim normalitas untuk sebaran data. Analisa
ke laboratorium. Kemudian darah vena korelasi antara usia ibu, berat badan ibu,
diambil plasmanya dengan alat pemusing. BMI ibu, usia kehamilan, berat badan
Selain itu mencatat data penilaian Skor bayi serta waktu persalinan dengan kadar
APGAR menit ke 1 dan ke 5 oleh dokter midazolam plasma darah ibu dan bayi
anak/residen anak dan berat badan bayi. menggunakan statistik korelasi Pearson.
Penyaji dalam bentuk tabel dan grafik.
Masing-masing sampel darah vena
diambil plasmanya dengan sentrifus 3000
rpm selama 45 detik kemudian disimpan
HASIL
dalam lemari es -80º C. Media transport
sampel menggunakan cooling box yang Didapat 15 ibu hamil aterm yang
berisi dry ice. Kadar midazolam plasma menjalani section caesar dengan anestesi
darah diukur dengan menggunakan spinal yang memenuhi kriteria penelitian.
metode HPLC ( High Performance Karakteristik subyek penelitian dapat
Liquid Chromatography ) dengan sistem dilihat pada Tabel 1.
grading tehnik column switching. Reagen Berdasarkan American Society of
grade analistis yang digunakan antara Anesthesiologist (ASA) didapat 13 orang
lain : sodium hydroxide, orthophosporic subyek penelitian (86,7%) dengan
acid, disodium hydrogen orthophospat. kategori ASA I dan 2 orang subyek
________________________________________________________________________________
19
Volume II, Nomor 1, Tahun 2010
Jurnal Anestesiologi Indonesia

penelitian (13,3%) dengan kategori ASA Gambar 1. Subyek penelitian berdasarkan


II. Distribusi frekuensi subyek APGAR kategori skor ASA
penelitian berdasarkan kategori skor ASA 14
juga ditampilkan pada Gambar 1.
12
Tabel 1. Karakteristik subyek penelitian
10
Karakteristik Rerata (Simpang
Baku = SB) 8
Umur ibu (tahun) 29,1 (3,22) 6
Umur kehamilan 38,8 (1,27) 4
(minggu)
66,5 (11,83) 2
Berat badan ibu
28,9 (4,30) 0
(kilogram)
BMI ibu (kg/m2) ASA I ASA II

Tabel 2. Rerata waktu dari saat premedikasi sampai dengan bayi lahir, berat badan lahir bayi dan skor
APGAR (n=15)
Karakteristik Rerata (Simpang Baku)
Waktu dari premedikasi s/d lahir (menit) 17,2 (7,19
Berat Badan Lahir Bayi (gram) 3126,7 (278,94)
Skor APGAR menit ke-1 8,6 (0,63)
Skor APGAR menit ke-5 9,3 (0,59)
Skor APGAR menit ke-10 10,0 (0,00)

Tabel 3. Parameter hemodinamik subyek penelitian sebelum premedikasi, 1 menit setelah premedikasi dan
durante operasi
Karakteristik Sebelum 1 menit Durante operasi (menit ke-)
premedikasi setelah
premedikasi 5 10 15 30 45 60

Rerata (SB) Rerata (SB) Rerata Rerata Rerata Rerata Rerata Rerata
(SB) (SB) (SB) (SB) (SB) (SB)
Denyut 103,3 (4,98) 91,4 (4,01) 90,1 94,8 99,3 94,3 91,5 90,5
Jantung (3,73) (4,41) (6,40) (4,30) (4,78) (3,56)
(x/menit)
Sistol 118,6 (8,09) 113,2 (7,37) 109,9 108,5 111,1 112,9 117,1 117,9
(mmHg) (6,56) (3,81) (5,33) (6,51) (6,73) (7,03)
Diastol 73,9 (6,29) 67,6 (7,38) 64,1 62,5 62,9 66,5 70,5 68,9
(mmHg) (6,68) (7,06) (6,50) (6,72) (6,92) (7,53)
MAP 78,5 (5,20) 80,5 (4,53) 84,0 83,6 105,5 105,9 91,3 89,2
(mmHg) (5,04) (5,61) (2,15) (2,24) (2,10) (2,46)
SpO2 (%) 99,7 (0,59) 99,9 (0,35) 100,0 100,0 100,0 100,0 100,0 100,0
(0,00) (0,00) (0,00) (0,00) (0,00) (0,00)

________________________________________________________________________________
20
Volume II, Nomor 1, Tahun 2010
Jurnal Anestesiologi Indonesia

Tabel 4. Kadar midazolam plasma darah vena maternal, vena umbilikalis dan rasio fetomaternal kadar
midazolam

Karakteristik kadar Rerata (SB) Median Minimal Maksimal


midazolam
Vena Maternal (ng/ mL) 55,04 (32,819) 43,55 19,87 129,64
Vena Umbilikalis (ng/ mL) 14,83 (5,909) 14,90 2,19 23,73
Rasio fetomaternal 0,31 (0,135) 0,37 0,08 0,51

Tabel 5. Korelasi product moment pearson dengan variabel terikat kadar midazolam plasma darah ibu

Indikator r hitung α Kriteria


Usia ibu 0,932 0,000 Korelasi sangat kuat
Berat badan ibu 0,006 0,982 Tidak bermakna
BMI ibu 0,269 0,333 Tidak bermakna
Usia kehamilan 0,648 0,009 Korelasi kuat (-)
Waktu premed s/d lahir 0,760 0,001 Korelasi kuat (-)

Tabel 6. Korelasi product moment pearson dengan variabel terikat kadar midazolam plasma darah bayi

Indikator r hitung α Kriteria


Usia ibu 0,578 0,024 Korelasi cukup
Berat badan ibu 0,358 0,190 Tidak bermakna
BMI ibu 0,425 0,114 Tidak bermakna
Usia kehamilan 0,375 0,168 Tidak bermakna
Waktu premed s/d lahir 0,558 0,031 Korelasi cukup (-)
BB bayi 0,954 0,000 Korelasi sangat kuat (-)
Rasio Fetomaternal 0,347 0,205 Tidak bermakna

Gambar 2. Perbandingan kadar midazolam 2500 gram dengan berat teringan adalah
plasma darah vena maternal dan umbilical subyek 2700 gram dan terberat adalah 3600 gram
penelitian (n=15)
Kadar midazolam plasma darah vena
maternal (ibu), vena umbilikalis (bayi)
dan rasio fetomaternal kadar midazolam
stelah premedikasi midazolam dosis 0,02
mg/kgBB iv ditampilkan pada Tabel 4.
Dari Tabel 5 diketahui ada 3 indikator
yang mempunyai hubungan yang
bermakna dengan kadar midazolam
plasma darah ibu yaitu : usia ibu, usia
kehamilan dan waktu antara premedikasi
sampai bayi lahir, sedangkan usia dan
BMI ibu tidak bermakna.
Dari Tabel 6 dapat dilihat indikator
bermakna terhadap kadar midazolam
Waktu dari saat premedikasi sampai dalam plasma darah bayi yaitu : usia ibu,
dengan bayi lahir, berat badan lahir bayi waktu antara premedikasi sampai bayi
dan skor APGAR ditampilkan pada Tabel lahir dan berat badan bayi, sedangkan
2. Berat badan lahir bayi seluruhnya > berat badan ibu, BMI ibu, usia

________________________________________________________________________________
21
Volume II, Nomor 1, Tahun 2010
Jurnal Anestesiologi Indonesia

kehamilan, rasio fetomaternal tidak Midazolam dapat menembus sawar


bermakna terhadap besarnya kadar plasenta karena mempunyai berat
midazolam plasma darah bayi. molekul < 500 Dalton. Pada tabel 5,
gambar 12 dan 13 didapatkan kadar
PEMBAHASAN
midazolam plasma darah v. Umbilikalis
Penggunaan midazolam sebagai suatu lebih rendah karena kadar midazolam
metode premedikasi untuk memberikan dalam sirkulasi ib sampai dengan cara
sedasi, dan mengurangi rasa cemas pada proses difusi untuk dapat melalui
pasien yang akan menghadapi operasi plasenta. Sesuai dengan perjalanan
sudah menjadi subyek dari banyak kehamilan, volume plasma akan
penelitian. Penggunaan midazolam bertambah, tetapi tidak diikuti dengan
sebagai obat anestesi tambahan untuk peningkatan produksi albumin, sehingga
prosedur operasi selama persalinan masih menimbulkan hipoalbuminemia
jarang, midazolam sebagai premedikasi fisiologis. Kondisi ini menyebabkan
untuk anestesi spinal belum diteliti secara terjadinya penurunan jumlah protein
prospektif. 6,7 pengikat (protein binding), sehingga
Nilai skor APGAR yang rendah pada kadar obat bebas di dalam darah akan
menit pertama saja tidak menunjukkan meningkat.10 Sehingga mempengaruhi
hasil akhir dari bayi. Skor APGAR yang kadar midazolam plasma bayi dimana
renda pada menit pertama menunjukkan pada penelitian ini usia ibu mempunyai
bahwa bayi baru lahir memerlukan korelasi positif yang cukup dengan kadar
perhatian medis tetapi bukan merupakan midazolam plasma bayi (r=0,578 ;
indikasi bahwa bayi tersebut akan =0,024).
mempunyai masalah kesehatan dalam Usia kehamilan mempunyai korelasi
jangka panjang. Dari penelitian analisis negatif yang kuat dengan kadar
retrospektif disimpulkan bahwa skor midazolam plasma ibu (r= -0,648 ;
APGAR pada menit kelima merupakan =0,009) karena semakin tua usia
predictor yang valid untuk menilai risiko kehamilan semakin banyak peningkatan
kematian bayi baru lahir. Skor APGAR jumlah volume cairan tubuh yang
pada menit kelima 7 sampai 10 berakibat penurunan kadar obat serum.10
menunjukkan bahwa kondisi bayi normal,
skor APGAR 4, 5, 6 adalah agak rendah Berat badan bayi mempunyai korelasi
dan biasanya memerlukan bantuan medis negatif yang sangat kuat terhadap kadar
misalnya dapat diberikan oksigen dan midazolam plasma bayi (r= -0,954 ; =
dibersihkan saluran napas, sedangkan 0,000) karena semakin besar bayi
skor APGAR kurang dari 4 maka bayi semakin banyak jumlah cairan tubuhnya
tersebut memerlukan resusitasi. 8,9 sehingga kadar obat dalam plasma akan
semakin rendah.
Monitoring hemodinamik selama operasi
pada seluruh pasien penelitian ini Waktu persalinan yang diukur mulai
didapatkan hasil yang relatif stabil dan premedikasi midazolam sampai bayi lahir
baik. Hal ini menunjukkan tidak ada efek (dipotong tali pusat) mempunyai korelasi
samping premedikasi midazolam maupun negatif yang kuat ( r= -0,760 ; =0,031 ).
anestesi spinal yang merugikan bagi ibu. Hal ini sesuai dengan teori
Perubahan MAP (mean arterial pressure) farmakokinetik pemberian obat secara
selama durante operasi masih dalam batas intra vena dimana obat akam mengalami
normal menunjukkan perfusi yang baik distribusi secara cepat sehingga semakin
ke jaringan. lama waktu semakin rendah kadar obat
yang berada di dalam plasma darah.10
________________________________________________________________________________
22
Volume II, Nomor 1, Tahun 2010
Jurnal Anestesiologi Indonesia

Berdasarkan kondisi-kondisi tersebut 3. Bigatella L. The post anesthesia care unit.


diatas, pemberian obat pada wanita hamil In : Davidson JK, Eckhart WT, Perese DA,
eds. Cinical anesthesia procedures of the
harus memperhitungkan dosis yang tepat massachusetts general hospital, 4th ed.
yang didasari pengetahuan tentang Boston : Little Broun and Co, 1993 : 527 -
fisologi ibu hamil dan farmakokinetik 43.
obat yang terjadi pada ibu hamil serta 4. Sessler DL Temperature monitoring. In :
hubungannya dengan kondisi fisik ibu Miller ed. Anesthesia. 3rd ed. New York:
Churchill Livingstone, 1993 : 1227-41.
dan lamanya pemberian obat. 5. Collins VJ. Temperature regulation and
heat problems. In : Collins VJ (ed).
Physiologic and pharmacologic bases of
SIMPULAN anesthesia. Baltimore : William &
Wilkins, 1996:316-39.
Makin tua usia ibu makin besar kadar 6. Morgan GE, Mikhail MS, Murray MJ,
midazolam dalam plasma darah ibu dan Larson CP. Post anesthesia care. In :
bayi. Makin tua usia kehamilan ibu Morgan GE, Mikhail MS, Murray MJ,
makin rendah kadar midazolam dalam Larson CP. Clinical Anesthesiology. 3rd
ed. New York : Lange Medical
plasma darah ibu. Makin besar berat Books/McGraw-Hill Medical Publishing
badan bayi makin rendah kadar Edition, 2002: 169-172.
midazolam yang berada dalam plasma 7. Tsai YC, Chu KS. A comparison of
darah bayi. Makin lama waktu persalinan tramadol, amitriptyline, and meperidine for
makin rendah kadar midazolam dalam postepidural anesthetic shivering in
parturients. Anesth Analg 2001 ; 93:1288 -
plasma darah ibu maupun bayi. Kadar 1292.
midazolam dalam plasma darah ibu tidak 8. Stoelting RK. Alpha and beta adrenergic
dipengaruhi oleh ; berat badan ibu atau receptor antagonists. In : Stoelting RK.
BMI ibu. Kadar midazolam plasma darah Pharmacology and physiology in
bayi tidak dipengaruhi oleh : berat badan anesthetic practice. 3rd ed. Philadelphia :
JB Lippincott Company 1999 : 294 - 305.
ibu, BMI ibu dan usia kehamilan. 9. Thaib MR, Harjanto E, George YWH.
Comparative study of the effectiveness of
pethidine and clonidine for prevention of
DAFTAR PUSTAKA post anesthtetic shivering in enflurane
anesthesia. Asean Otorhinolaryngology
1. Schawarzkopt KR, Hoft H, Hartman M,
Head & Neck Surgery Journal 1999 ; 3
Fritz HG. A comparison between
:108-15.
meperidine, clonidine and urapidil in the
10. Rushman GB, Davies NJH, Cashman JN.
treatment of postanesthetic shivering.
Acute pain management. In : Lee's
Anesth Analg 2001 ; 95:257 - 60.
synopsis of anesthesia. 12l ed. Oxford :
2. Piper Sn, Maleck WH, Bolt J, Suttner SW,
Reed Education and Professional
Schmidt CC, Reich DGP. A comparison of
Publishing Ltd., 1999:81-2.
urapadil, clonidine, meperidine, and
placebo in preventing postanesthetic
shivering. Anesth Analg 2000 ; 90:954 - 7.

________________________________________________________________________________
23
Volume II, Nomor 1, Tahun 2010
Jurnal Anestesiologi Indonesia

PENELITIAN

Perbedaan Pengaruh Pemberian Enfluran dan Halotan Terhadap Agregasi


Trombosit
Agatha Citrawati Anom*, Mohamad Sofyan Harahap*
*Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif FK Undip/ RSUP Dr. Kariadi, Semarang

ABSTRACT
Background : Perioperatif haemorrage is a serious problem often faced in every operation
process. It is said that the administration of volating anesthetic agents have an effect to
inhibit thrombocyte aggregation. Using the same capture point, ADP, as an inductor, we
will observe the difference effect between enflurane and halothane administration toward
thrombocyte aggregation.
Objective : To find out the effect between enflurane and halothane administration toward
thrombocyte aggregation.
Methods : Experimental study with sampling quota design to 48 patients underwent
general anesthetic procedures. The subjects was devided into two groups, 24 patients each,
The first group using enflurane as the anesthetic agent while the other group taken
halothane during operation process. Each agent was given start from induction until the
end of operation process, with the given rate 0,5-1 MAC along with O2 : N2O = 50% :
50% ( Enflurane and Halothane MAC is 1,2 and 0,8, respectively). The specimens were
taken from each group before intervention start which is before operation begin and after
intervention which is shortly before the administration of anesthetic agents stoped.
Specimens was collected from vein as much as 10 cc than stored in the plastic vaccum
tubes contain citrate anticoagulant. The speciments immidietly sended to Clinical
Pathology Laboratory of Kariadi Hospital to do the thrombocyte aggregation examination.
The statistical test using pair t-test and independent samples test (significancy degree <
0,05).
Result : The distributionbetween patients’ characteristic data and variable data was
statisticly normal. This study shows that the administration of Halothane using ADP 2 µM
as inductor causing a significant decrease (p=0,003) on thrombocyte maximal aggregation
percentage, but there was no significant difference (p= 0,340) with enflurane. When using
ADP 10 µM as inductor found a simmiliar result, there was a significant difference
(p=0,001) on thrombocyte maximal aggregation percentage before and after
administration of halothane and not with enflurane (p=0,066). Other results shows there
was a significant diference (p=0,001) on thrombocyte maximal aggregation percentage
before and after the administration both halothane and enflurane using 10 µM inductor.
Conclusion : Halothane have higher effect in inhibitting thrombocyte aggregation than
enflurane.
Key word : Enflurane, Halothane, ADP, thrombocyte aggregation

ABSTRAK
Latar belakang: Perdarahan perioperatif merupakan masalah serius yang sering dihadapi
dalam setiap operasi. Penggunaan obat anestesi inhalasi dikatakan mempunyai pengatuh
dalam menghambat agregasi trombosit. Dengan titik tangkap yang sama yaitu ADP
sebagai induktor akan diamati perbedaan perngaruh pemberian Enfluran dan Halotan
terhadap Agregasi Trombosit.

________________________________________________________________________________
24
Volume II, Nomor 1, Tahun 2010
Jurnal Anestesiologi Indonesia

Tujuan : untuk mengetahui perbedaan perngaruh pemberian Enfluran dan Halotan


terhadap agregasi trombosit.
Metode : merupakan penelitian eksperimental dengan desain quota sampling pada 48
pasien yang menjalani anestesi umum. Penderita dibagi menjadi 2 kelompok (n:24),
kelompok I menggunakan Enfluran sebagai obat anestesi inhalasi selama operasi dan
kelompok II menggunakan Halotan sebagai obat anestesi inhalasi selama operasi, yang
diberi sejak awal induksi sampai dengan operasi berakhir dengan besar pemberian 0,5 – 1
MAC bersama O2 : N2O = 50 % : 50 %. (MAC enfluran : 1,2 dan halotan : 0,8). Masing –
masing kelompok akan diambil spesimen sebelum perlakuan (sebelum operasi) dan
sesudah perlakuan (sesaat sebelum obat anestesi inhalasi dimatikan). Semua spesimen
dibawa ke Laboratorium Patologi Klinik untuk dilakkan pemeriksaan Tes Agregasi
Trombosit Uji statistik menggunakan pair t-test dan independent t-test (dengan derajat
kemaknaan < 0,05).
Hasil : karakteristik data penderita maupun data variabel yang akan dibandingkan
terdistribusi normal. Pada penelitian ini didapatkan perbedaan persen agregasi maksimal
trombosit yang bermakna antara sebekum dan sesudah pemberian halotan (p = 0,001)
sementara tidak didapatkan perbedaan yang bermakna pada enfluran (p = 0,066). Pada
kelompok enfluran didapatkan rerata persen agregasi maksimal trombosit sebesar
81,464,38 dan pada halotan 76,585,15, sehingga menunjukkan perbedaan yang
bermakna antara keduanya (p = 0,01). Sesudah perlakuan didapatkan gambaran
normoagregasi 77,8 % pada kelompok yaang memperoleh enfluran dan 22,2 % pada
kelompok halotan. Sementara gambaran hipoagregasi 66,6 % didapatkan pada kelompok
yang menperoleh halotan dan 33,4 % pada kelompok enfluran. Secara statistik halotan
secara bermakna menyebabkan hipoagregasi daripada enfluran, p = 0,03 (p < 0,05).
Kesimpulan : Halotan secara bermakna menurunkan persen agregasi trombosit dan
menyebabkan gambaran hipoagregasi lebih banyak dari pada enfluran
Kata Kunci : Enfluran, halotan, ADP, agregasi trombosit

PENDAHULUAN Mekanisme fisiologis tubuh untuk


mengendalikan perdarahan yaitu dengan
Perdarahan durante dan pasca operasi cara mengaktifkan proses hemostasis dan
masih merupakan masalah serius yang pembekuan melalui pembentukan bekuan
sering dihadapi dalam setiap operasi. trombosit dan fibrin pada tempat cedera.
Apabila tidak tertanggulangi akan Pembekuan akan disusul oleh resolusi
menimbulkan kondisi yang akan atau lisis bekuan dan regenerasi endothel.
menyulitkan, dan berpeluang Proses ini akan melindungi individu dari
meningkatkan angka morbiditas dan perdarahan masif sekunder akibat trauma.
mortalitas perioperatif. Banyak faktor Dalam keadaan abnormal, dapat terjadi
yang berpengaruh terhadap terjadinya perdarahan atau trombosis dan
kelainan hemodinamik durante dan pasca penyumbatan cabang-cabang vaskuler
operasi, diantaranya: jenis operasi, yang dapat mengancam nyawa. Tiga
lamanya operasi, jumlah perdarahan, faktor utama yang bertanggungjawab
kompetensi operator, obat anestesi yang dalam proses hemostasis adalah: (1)
digunakan serta faktor intrinsik pasien vasospasme pembuluh darah, (2) reaksi
seperti beratnya penyakit, penyakit trombosit (adhesi, pelepasan, dan
sistemik yang menyertai maupun agregasi), (3) pengaktifan faktor-faktor
kelainan perdarahan. koagulasi.1,2

________________________________________________________________________________
25
Volume II, Nomor 1, Tahun 2010
Jurnal Anestesiologi Indonesia

Disfungsi trombosit diketahui merupakan indikasi, kontra indikasi, efek samping


salah satu penyebab kelainan perdarahan sampai dengan komplikasi. Halotan
selama periode perioperatif, yang termasuk agen inhalasi yang mempunyai
merupakan masalah serius dalam koefisien partisi darah – gas yang relatif
pengelolaan pasien yang menjalani tinggi (2,3) karena kelarutannya dalam
operasi. Salah satu faktor yang darah sedang, sehingga diperlukan lebih
mempengaruhi terjadinya disfungsi banyak molekul yang larut sebelum
trombosit adalah interaksi obat-obat yang terjadi perubahan tekanan parsial yang
digunakan selama proses anestesi dengan berarti, sehingga waktu yang dibutuhkan
trombosit. Interaksi tersebut dapat untuk pencapaian tersebut juga relatif
memperberat risiko komplikasi lebih lambat bila dibandingkan isofluran
perdarahan, mengingat peran trombosit yang mempunyai koefisien partisi darah –
yang penting pada proses homeostasis rendah (1,40). Halotan dapat
durante dan pasca pembedahan.3 dikategorikan sebagai agen yang mula
kerjanya sedang dan pemulihannya
Suatu kepustakaan dari Departement of sedang (obat dimetabolisme oleh tubuh >
Anestesiology and General Intensive 40 %), sementara isofluran mempunyai
Care University of Vienna Austria, mula kerja awal dan pemulihannya
menyebutkan bahwa halotan merupakan sedang (obat dimetabolisme tubuh hanya
agen anestesi yang mempunyai pengaruh < 2 %). Namun demikian halotan pada
dalam menurunkan afinitas ikatan beberapa keadaan tetap menjadi pilihan,
reseptor tromboksan A2 sebagai suatu terutama karena sifatnya yang tidak
agonis-trombosit yang poten. Sementara menyebabkan iritasi saluran jalan napas,
dari sumber yang sama, dikemukakan agen ini sering digunakan pada metode
bahwa isofluran dikatakan tidak induksi cuff-dalam anestesi pediatrik juga
mempunyai pengaruh terhadap jumlah aman bagi penderita asma karena
trombin, konsentrasi IP3, maupun mempunyai sifat bronkodilator.5
konsentrasi Ca2+ intraseluler yang Disamping itu halotan mempunyai
beperan dalam fungsi agregasi keunggulan dari segi ekonomis, karena
4
trombosit. Dalam suatu studi in vitro harganya yang relatif lebih murah
Ueda, dkk menyatakan isofluran dibandingkan agen-agen inhalasi lainnya
mempunyai peran dalam menurunkan termasuk isofluran, sehingga pada
aktivasi agregasi trombosit yang beberapa rumah sakit terutama di
diinduksi oleh ADP, namun tidak beberapa rumah sakit tipe C, halotan
demikian dengan pendapat studi tetap menjadi pilihan walaupun
Hirakata. Sementara sejumlah studi klinis mempunyai sifat – sifat merugikan
menunjukkan penurunan yang besar pada seperti aritmogenik, hepatotoksik,
agregasi trombosit yang diinduksi oleh menyebabkan depresi miokardium,
ADP pada pasien-pasien yang meningkatkan tekanan intra kranial (TIK)
mendapatkan anestesi halotan, walaupun serta dapat menurunkan cardiac-output.5
dikatakan potensi hambatan agregasi Oleh karena itu pemakaian halotan
yang terjadi bersifat reversible namun dikontraindikasikan pada pasien dengan
menurut penelitian Dalsgaard halotan penurunan curah jantung (misalnya pada
juga secara signifikan memperpanjang penderita dengan kelainan jantung atau
waktu perdarahan selama teranestesi keadaan syok), pada pasien dengan
halotan. kelainan ritme jantung, gangguan hepar
maupun pasien dengan peningkatan
Dalam menggunakan obat anestesi
tekanan intrakranial.6
diperlukan pertimbangan yang meliputi

________________________________________________________________________________
26
Volume II, Nomor 1, Tahun 2010
Jurnal Anestesiologi Indonesia

Sementara Isofluran saat ini merupakan Pada penelitian ini secara khusus akan
agen inhalasi yang paling digemari membandingkan hasil TAT sampel yang
mengingat sifatnya yang minimal terpapar isofluran dengan yang terpapar
menyebabkan depresi sistem halotan, dengan demikian akan diperoleh
kardiovaskuler, tidak bersifat aritmogenik perbedaan pengaruh pemberian halotan
dan relatif tidak menaikkan tekanan dan isofluran terhadap agregasi
intrakranial, walaupun mempunyai sifat trombosit.
menyebabkan iritasi saluran pernapasan
sehingga bukan menjadi pilihan untuk METODE
metode induksi dengan cuff dalam pada
Penelitian ini merupakan uji klinik
anak-anak
dengan bentuk rancangan eksperimental
Isofluran dan halotan kita ketahui ulang ( pretest dan posttest control group
mempunyai kelemahan dan keunggulan design). Dalam rancangan eksperimental,
masing – masing, namun pada penelitian pengukuran atau observasi dilakukan di
berikut kami berusaha melihat interaksi awal dan setelah perlakuan.9
masing-masing obat tersebut terhadap
Ruang lingkup penelitian Anestesiologi
agregasi trombosit, mengingat
dan tempat melaksanakan pemeriksaan
pentingnya peran trombosit dalam proses
laboratorium di Laboratorium Patologi
homesostasis pada suatu proses
Klinik RSUP Dr. Kariadi Semarang.
pembedahan.
Sampel diambil dari pasien yang
Agregasi trombosit dinilai melalui suatu
menjalani operasi elektif di Instalasi
pemeriksaan yang disebut dengan Tes
Bedah Sentral RS Dr. Kariadi Semarang
Agregasi Trombosit (TAT). Teknik yang
yang memenuhi kriteria inklusi dan
penting untuk pemantauan in vitro yaitu
eksklusi, menggunakan “Randomized
hambatan respon agregasi trombosit oleh
Clinical Control Trial” dibagi menjadi
agonis trombosit yang diberikan.
dua kelompok sebagai berikut: Kelompok
Beberapa agonis/induktor yang dapat
1 (K1): menggunakan Isofluran sebagai
digunakan adalah trombin, TxA2, asam
obat anestesi inhalasi selama operasi,
arakidonat, serotonin, vasopresin, dan
Kelompok 2 (K2): menggunakan Halotan
ADP yang dipakai pada Laboratorium
sebagai obat anestesi inhalasi selama
Patologi Klinik di RS Dr. Kariadi. TAT
operasi
berdasarkan perubahan transmisi cahaya
sampai sekarang masih dianggap sebagai Kriteria inklusi : Wanita, usia antara 19 -
baku emas untuk menilai fungsi agregasi 35 tahun, Status fisik ASA I-II,
trombosit. Spesimen pemeriksaan yang Menjalani operasi dengan anestesi umum,
digunakan adalah plasma dari whole Lama operasi 1 - 3 jam, BMI normal.
blood pasien yang diberikan antikoagulan Kriteria eksklusi : Pasien dengan kadar
sitrat. Alat yang digunakan adalah trombosit < 100.000 / µL, Pasien dengan
agregometer dengan daya pemantauan kadar kolesterol > 200 mg/dl, Pasien
agregasi tubidimetrik. Setiap peningkatan yang mendapat pemberian koloid > 1000
transmisi cahaya dicatat sebagai suatu cc selama perlakuan (selama pemberian
agregasi trombosit.7 Hasilnya akan volatile agent), Pasien yang mendapat
dididapatkan persen maksimum agregasi pemberian tranfusi darah selama
trombosit yang terjadi dengan pemberian perlakuan (selama pemberian volatile
ADP 2 µM ; 5µM dan 10 µM sebagai agent)
induktor agonis trombosit.

________________________________________________________________________________
27
Volume II, Nomor 1, Tahun 2010
Jurnal Anestesiologi Indonesia

Data yang terkumpul kemudian diedit, di- dengan induktor 10 μM ADP ( p = 0,828
koding dan di-entry ke dalam file dan 0,954).
komputer. Setelah itu dilakukan cleaning
data. Analisis deskriptif dilakukan Sementara pada Tabel 3 menunjukkan
dengan menghitung proporsi gambaran data sesudah perlakuan pada kelompok I
karakteristik responden menurut (Isofluran) dan II (Halotan) didapatkan
kelompok perlakuan (isofluran dan hasil uji normalitas Shapiro Wilk
halotan). Hasil analisis akan disajikan menunjukkan nilai % agregasi maksimal
dalam bentuk tabel dan grafik. Dilakukan trombosit berdistribusi normal dengan
pembuatan grafik pada gambaran induktor 10 μM ADP ( p = 0,447 dan
agregasi trombosit menurut kelompok 0,975). Data kemudian dianalisis secara
perlakuan (isofluran dan halotan). parametrik menggunakan uji pair t-test
untuk melihat perbedaan % agregasi
Analisis analitik dilakukan untuk menguji maksimal trombosit antara sebelum dan
perbedaan persen agregasi maksimal sesudah perlakuan dengan 10 μM ADP.
trombosit pada kedua kelompok dengan
uji paired t-test. Semua uji analitik Dari Tabel 4 nampak bahwa sebelum dan
menggunakan α = 0,05. Semua sesudah perlakuan dengan induktor ADP
perhitungan statistik menggunakan 10 μM pada kelompok isofluran
software SPSS 11.5 didapatkan perbedaan yang tidak
bermakna terhadap % agregasi maksimal
HASIL trombosit dengan p = 0,066 (p> 0,05).
Sedangkan untuk kelompok halotan
Telah dilakukan penelitian tentang terbukti menyebabkan penurunan %
perbedaan pemberian isofluran dan agrgegasi maksimal trombosit yang
halotan terhadap agregasi platelet pada 48 secara statistik berbeda secara bermakna
orang penderita yang menjalani operasi p = 0,001 (p< 0,05). Pada Grafik 1
dengan status fisik ASA I dan II. digambarkan perbandingan perubahan %
agregasi maksimal trombosit antara
Uji normalitas One Sample Kolmogorov
sebelum dan sesudah perlakuan pada
Smirnov digambarkan pada tabel 1,
kedua kelompok dengan menggunakan
dimana karakteristik umum subyek pada
induktor 10 μM ADP.
masing-masing kelompok memliki
distribusi yang normal (p > 0,05), Dalam Tabel 5 digambarkan bahwa
sehingga untuk uji homogenitas sebelum diberi perlakuan antara
diperlukan analisis statistik dengan kelompok isofluran dan halotan yang
independent t test. Hasilnya didapatkan diberi induktor ADP 10 μMditemukan
data yang homogen (perbedaan yang perbedaan % agregasi maksimal
tidak bermakna, p > 0,05) dari semua trombosit yang tidak bermakna p = 0,995
variable yakni umur, BMI, tekanan darah (p > 0,05), kemudian yang sudah diberi
sistole, tekanan darah diatole, nadi, status perlakuan antara kelompok isofluran dan
ASA dan lama operasi sebelum dilakukan halotan yang diberi induktor ADP 10 μM
perlakuan. juga ditemukan perbedaan % agregasi
maksimal trombosit yang bermakna p =
Pada Tabel 2 menunjukkan data sebelum
0,001 (p < 0,05). Pada Grafik 2
perlakuan pada kelompok I (Isofluran)
menggambarkan perbedaan rerata %
dan II (Halotan) didapatkan hasil uji
agregasi maksimal trombosit antara
normalitas menunjukkan nilai % agregasi
sesudah pemberian isofluran dan sesudah
trombosit maksimal berdistribusi normal

________________________________________________________________________________
28
Volume II, Nomor 1, Tahun 2010
Jurnal Anestesiologi Indonesia

pemberian halotan dengan ADP 10 μM Kemudian sesudah perlakuan didapatkan


sebagai induktor. gambaran normoagregasi 77,8 % pada
kelompok yaang memperoleh isofluran
Hasil Tes Agregasi Trombosit yang dan 22,2 % pada kelompok halotan.
terbaca oleh PACKS-4 selain menunjuk- Sementara gambaran hipoagregasi 66,6
kan persen agregasi trombosit juga % didapatkan pada kelompok yang
menggambarkan pola kurva agregasi menperoleh halotan dan 33,4 % pada
yang terbentuk oleh masing-masing dosis kelompok isofluran. Secara statistik
induktor ADP pada masing-masing halotan secara bermakna menyebabkan
kelompok perlakuan. Semua sampel pada hipoagregasi daripada isofluran, p = 0,03
kedua kelompok sebelum perlakuan (p < 0,05).
mempunyai gambaran normoagregasi.

Tabel 1. Karakteristik umum subyek pada masing-masing kelompok

Kel. Isofluran Kel. Halotan


No Variabel p
(n=24) (n=24)
1 Umur (tahun) 27,006,34 29,635,72 0,139
2 Body Mass Index 23,132,01 23,671,48 0,296
3 Tekanan Darah Sistol (mmHg) 120,7111,91 125,0013,14 0,242
4 Tekanan Darah Diastol (mmHg) 73,2113,35 70,6711,63 0,486
5 Nadi 85,468,65 83,758,70 0,499
6 Status ASA
ASA I 22 21
0,640
ASA II 2 3
7 Lama Operasi (menit) 58,1313,42 60,1714,47 0,615

Tabel 2. Uji normalitas rerata % agregasi trombosit sebelum perlakuan

Variabel Induktor Perlakuan P Keterangan


% agregasi maks. Kel I 0,828 distribusi normal
10 μm ADP
trombosit Kel II 0,954 distribusi normal

Tabel 3. Uji normalitas rerata % agregasi trombosi sesudah perlakuan

Variabel Induktor Perlakuan p Keterangan


% agregasi maks. Kel I 0,447 distribusi normal
10 μm ADP
trombosit Kel II 0,975 distribusi normal

Tabel 4. Nilai rerata dan simpangan baku persen agregasi maksimal trombosit sebelum dan sesudah
perlakuan pada kelompok isofluran dan halotan (dengan induktor ADP 10 μM)

No Keterangan Sebelum Sesudah P


1 Kel Isofluran 82,894,11 81,464,38 0,066
2 Kel. Halotan 82,904,42 76,585,15 0,001*
* = bermakna (p<0,05)

________________________________________________________________________________
29
Volume II, Nomor 1, Tahun 2010
Jurnal Anestesiologi Indonesia

84
82
80
adp 10
78 isofluran
76
74
72
sebelum sesudah

Grafik 1. Perbandingan perubahan % agregasi maksimal trombosit antara sebelum dan sesudah perlakuan
pada kelompok isofluran dan halotan

Tabel 5. Perbedaan rerata persen agregasi maksimal trombosit sesudah perlakuan pada kelompok isofluran
dan halotan (dengan induktor ADP 10 μM)

No Keterangan Kel Isofluran Kel. Halotan P

1 Sebelum 82,894,11 82,904,42 0,995

2 Sesudah 81,464,38 76,585,15 0,001*

82
81
80
79
78 adp 10 isofluran

77
adp 10 halotan
76
75
74
sesudah

Grafik 2. Perbedaan % agregasi maksimal trombosit antara sesudah pemberian isofluran dan sesudah
pemberian halotan

30

20
20

14

10
10
kelompok

kel halotan
Count

0 kel i sof luran

Normoagregasi - hipoagregas i

Grafik 3. Perbedaan isofluran dan halotan dalam menyebabkan hipoagregasi

________________________________________________________________________________
30
Volume II, Nomor 1, Tahun 2010
Jurnal Anestesiologi Indonesia

PEMBAHASAN Respon trombosit tergantung dari kadar


ion kalsium (transmiter) yang dilepaskan
Hellem di tahun 1960 melakukan ke dalam sitoplasma. Peningkatan
observasi tentang suatu molekul kecil kalsium intrasel memudahkan pem-
yang berasal dari eritrosit dapat memacu bentukan asam arakidonat yang akan
adhesi trombosit pada gelas. Olligard dimetabolisir menjadi TxA2.29
menjumpai bahwa molekul tersebut juga
menyebabkan agregasi trombosit. Menurut penelitian terdahulu pada
Gaardener dan kawan-kawan mengiden- kelompok umur yang sama telah
tifikasi molekul/ substansi tersebut disimpulkan bahwa nilai rujukan %
sebagai ADP.25 agregasi maksimal dengan induktor ADP
2 µM : 14,51 – 29,29 % dengan pola
Selanjutnya ADP dikenal sebagai salah kurva gambaran satu gelombang agregasi
satu agonis/ induktor tertua yang dapat primer reversible (mengalami dis-
memicu aktivasi trombosit. Agonis ini agregasi).30 Hal ini sesuai dengan
akan menginduksi tranduksi sinyal yang pendapat bahwa penggunaan ADP
tidak sepenuhnya dapat dijelaskan.26 dengan kadar rendah ( 0,5-2,5 µM ) akan
ADP yang terikat pada reseptor (integrin) menyebabkan terjadinya respons agregasi
di permukaan trombosit mengaktifkan primer yang bersifat reversible. Pada
enzim fosfolipase A untuk memecah keadaan in vitro ini, pertama-tama ADP
fosfolipid membran trombosit sehingga yang ditambahkan terikat pada
asam arakidonat dilepaskan. Enzim reseptornya dan melepaskan ion Ca2+.
siklooksigenase-1 (COX-1, prostaglandin Selanjutnya terjadi perubahan bentuk
sintase) mengkatalisis transformasi asam trombosit yang direfleksikan dengan
arakidonat menjadi prostaglandin G2 peningkatan ringan absorbans pada
(PGG2), lalu enzim peroksidase agregometer, setelah itu terbentuk
mengubah PGG2 menjadi PGH2 kompleks atau ikatan dengan fibrinogen
(prostaglandin H2), selanjutnya PGH2 pada kontak antar sel sehingga terjadi
akan diubah menjadi tromboksan A2 agregasi reversible. Disimpulkan bahwa
(TxA2).27,28 ADP 2 µM merupakan kadar induktor
terendah yang dapat dipakai sebagai
Efek biologik TxA2 menyebabkan
pedoman untuk menetapkan
pelepasan granula sekunder dari
kemungkinan hiperagregasi yaitu apabila
trombosit, merangsang sekresi ADP oleh
nilai % agregasi maksimal trombosit
trombosit sendiri sehingga terjadi
lebih tinggi dan rentang nilai rujukan
agregasi trombosit irreversible.
tertinggi disertai pola kurva agregasi
Disamping itu, setelah ADP terikat pada
irreversible.31,32
reseptornya maka trombosit akan
mengalami perubahan bentuk dari Sementara nilai rujukan % agregasi
cakram menjadi bulat, sehingga reseptor maksimal trombosit dengan induktor
untuk fibrinogen yaitu GP IIb-IIIa, ADP 10 µM : 66,3 - 97,7 %, dikatakan
fibrinogen, tromboksan A2, diperlukan bahwa induktor ADP > 5 µM secara
kofaktor ion kalsium atau magnesium, langsung akan memacu pembentukan
fibronektin, GP Ib-IX, untuk mengawali agregasi trombosit tanpa tergantung
agregasi trombosit. Ion kalsium akan kandungan ADP yang dilepaskan oleh
menghubungkan fibrinogen dimana trombosit sendiri. ADP dengan dosis ini
fibrinogen menjadi jembatan antar dianggap dapat digunakan sebagai
trombosit yang akan mengikat trombosit pedoman untuk menetapkan keadaan
yang berdekatan dalam suatu agregat. hipoagregasi apabila nilai % agregasi

________________________________________________________________________________
31
Volume II, Nomor 1, Tahun 2010
Jurnal Anestesiologi Indonesia

maksimal trombosit lebih rendah dari perbedaan yang bermakna p = 0,001 (p<
rentang nilai rujukan terendah, sehingga 0,05). Hasil ini mendukung pengamatan
pada penelitian ini induktor yang paling awal yang dilakukan oleh Ueda, dimana
tepat digunakan yaitu dengan dosis ADP dikatakan halotan dalam konsentrasi
10 µM. klinis terbukti menurunkan agregasi
trombosit yang dirangsang ADP secara in
Pada penelitian Tes Agregasi Trombosit vitro. Dengan ADP 10 μM diharapkan
dilakukan pemberian induktor dosis terjadi pelepasan granula sekunder dari
tinggi diharapkan akan menyebabkan permukaan trombosit dan terbentuklah
agregasi trombosit primer irreversible agregasi sekunder, dimana perlu diingat
diikuti pelepasan granula padat dan agregasi sekunder terjadi akibat
granula α yang kemudian menyebabkan pelepasan granula padat setelah
aktivasi jalur asam arakidonat dan terjadinya agregasi primer sehingga
pembentukan tromboksan A2, kembali membuat jalur arakidonat dan
menghambat aktivitas enzim adenil terbentuk tromboksan A2. Tromboksan
siklase sehingga terjadi penurunan siklik A2 ini akan menurunkan konsentrasi
AMP (cAMP). ADP yang disekresi cAMP (Adenosin Mono Phosphat cyclic)
granula padat akan merangsang agregasi yang berfungsi mengendalikan konsen-
lebih lanjut sehingga agregasi trombosit trasi ion Kalsium bebas yang dibutuhkan
bertambah, dan sewaktu-waktu dapat dalam proses agregasi. Kadar cAMP
membentuk kurva bifasik.33 yang tinggi menyebabkan kadar ion
Kalsium bebas dalam trombosit yang
Sementara hasil lain dari penelitian ini
digunakan dalam proses agregasi.12
bahwa dengan ADP 10 μM untuk
kelompok isofluran antara sebelum dan Penelitian ini juga disebutkan bahwa
sesudah perlakuan juga memberi sesudah pemberian isofluran dan sesudah
perbedaan yang tidak bermakna p = 0,066 pemberian halotan dengan induktor 10
(p > 0,05), hal ini semakin memperkuat μM ditemukan perbedaan yang bermakna
pendapat yang mengatakan bahwa antara sesudah pemberian isofluran dan
isofluran bisa dikatakan tidak sesudah pemberian halotan dengan p =
mempengaruhi secara bermakna respon 0,001 (p< 0,05), dimana pada halotan
trombosit terhadap aktivasi ADP. Pada terjadi penurunan rerata % agregasi
pola kurva yang terbentuk dengan ADP maksimal trombosit. Hal tersebut
10 μM pada kelompok isofuran juga memperkuat pernyataan yang mengata-
terlihat terbentuk gelombang bifasik kan pemberian halotan secara bermakna
disebut juga sebagai irreversible double menurunkan aktivasi ADP pada proses
wave aggregations menunjukkan terjadinya agregasi trombosit bila
terjadinya respon optimal dimana respons dibandingkan dengan isofluran.
agregasi primer terhadap aktivasi GP
IIb/IIIa di permukaan trombosit Pemberian induktor ADP 10 μM
membentuk kurva datar singkat yang merupakan induktor terkuat yang
diikuti respon sekunder yang diikuti oleh umumnya digunakan sebagai pedoman
respon sekunder yang lebih besar (hasil untuk menetapkan keadaan hipoagregasi
dari degranulasi trombosit) dan bersifat apabila nilai % agregasi maksimal
irreversible.33 trombosit lebih rendah dari rentang nilai
rujukan terendah dan disertai pola kurva
Sedangkan pada kelompok halotan agregasi reversible. Alasan pemilihan
dengan induktor 10 μM antara sebelum ADP sebagai induktor disamping
dan sesudah perlakuan didapatkan induktor lain seperti : epinefrin, kolagen,

________________________________________________________________________________
32
Volume II, Nomor 1, Tahun 2010
Jurnal Anestesiologi Indonesia

trombin, asam arakidonat yaitu karena dibandingkan preinduksi dan pasca


dianggap paling tepat dalan menilai operasi.
funsgsi agregasi trombosit, dimana hanya
selektif untuk agregasi trombosit dan Menurut beberapa sumber dinyatakan
stimulasinya bersifat langsung. bahwa potensi hambatan agregasi
trombosit akibat obat-obat anestesi
Bersama epinefrin merupakan induktor inhalasi ini bersifat reversible, akan
berkekuatan lemah dan menimbulkan kembali ke fungsi semula seiring dengan
respon yang sama namun dilaporkan 30 hilangnya paparan obat. Ini menjelaskan
% dari populasi normal tidak memberi mengapa beberapa penelitian sukar
respon terhadap epinefrin. Sedangkan menjelaskan hambatan yang terjadi
kolagen dan trombin sebgai induktor kuat akibat paparan obat anestesi inhalasi
berperan utama memacu trombosit akibat kemungkinan sebagian konsentrasi
melepaskan ADP dan tromboksan A2.7 obat yang mengalami evaporasi. Pada
penelitian ini sudah dikecilkan
Hasil dari penelitian ini mendukung kemungkinan tersebut dengan peng-
penelitian sejenis penelitian Dalsgaard, ambilan spesimen langsung dengan
dkk yang menyatakan bahwa halotan tabung vakum.21
menurunkan sensitivitas ADP terhadap
terjadinya agregasi trombosit, namun Berbeda dengan penelitian-penelitian
penelitian tersebut juga menghubungkan sebelumnya, penilitian ini selain melihat
dengan kejadian memanjangnya waktu perbedaan respon pemberian isofluran
perdarahan yang secara signifikan maupun halotan terhadap rerata agregasi
ditemukan hubungan yang kuat di maksimal yang terjadi, juga
antaranya. membandingkan hasil interpretasi tes
agregasi trombosit dengan mengamati
Walaupun peran agregasi trombosit pada pola kurva agregasi, yang akhirnya bila
manifestasi memanjangnya waktu per- keduanya digabungkan semakin
darahan dianggap mempunyai peran mendukung bahwa halotan secara
besar, namun juga harus dipikirkan bermakna selain menurunkan rerata
penyebab lainnya dimana juga terjadi agregasi maksimal trombosit juga
relaksasi sel-sel otot polos pembuluh menyebabkan terjadinya hipoagregasi
darah akibat halotan di samping akibat trombosit lebih besar daripada isofluran.
pengaruh-pengaruh komponen lain Hal ini diharapkan dapat dijadikan
seperti faktor pembuluh darah dan faktor pertimbangan tambahan dalam memilih
koagulasi.21 obat anestes inhalasi terutama pada
pasien dengan kelainan perdarahan atau
Sementara isofluran yang pada penelitian
yang beresiko terjadi perdarahan masif
ini dinyatakan secara tidak bermakna
perioperatif, dan dari hasil penelitian ini
menurunkan rerata agregasi maksimal
isofluran dianggap lebih baik daripada
trombosit berarti mundukung penelitian-
halotan.21
penelitian sebelumnya seperti Ueda, dkk
dan Dogan, dkk (1999) yang SIMPULAN
membandingkan isofluran preinduksi,
durante operasi dan 1 jam pasca operasi Tidak terdapat perbedaan bermakna pada
sesudah operasi dimana terjadi penurunan % agregasi maksimal trombosit antara
agregasi maksimal trombosit yang tidak sebelum dan sesudah pemberian isofluran
signifikan pada durante operasi

________________________________________________________________________________
33
Volume II, Nomor 1, Tahun 2010
Jurnal Anestesiologi Indonesia

Terdapat perbedaan bermakna pada % Hemostasis and thrombosis : basic principles


agregasi maksimal trombosit antara and clinical practice. 4th ed. Philadelphia :
Lippincott Williams and Walkins ; 2001 :
sebelum dan sesudah pemberian halotan 505 – 20
7. Freedman JE, Keaney JF. Vitamin E
Terdapat perbedaan bermakna pada % inhibition of trombosit aggregation is
agregasi maksimal trombosit antara independent of antioxidant activity. Journal
sesudah pemberian isofluran dan sesudah of Nutrition. 2001;131:374S-377S.)
pemberian halotan. Halotan secara 8. Sluand EM, Klein HG. Effect of albumin on
the inhibition of trombosit aggregation by
bermakna menyebabkan hipoagregasi
beta lactam antibiotics. Blood Journal,
lebih banyak daripada isofluran. Volume 79. Issue 8, pp 2002 – 2027,
Penelitian ini dapat dijadikan dasar 4/15/1992
pertimbangan dalam memilih obat 9. Rahman K, Billington D. Dietary
anestesi inhalasi, terutama pada penderita supplementation with aged garlic extract
inhibits ADP-induced trombosit aggregation
dengan kelainan koagulasi maupun pada
in human. Journal of nutrition ; 2000, 130 :
operasi yang cenderung terjadi 2662 – 5
perdarahan masif . Perlu dilakukan 10. Allison GL, Lowe Gm. Aged garlic extract
penelitian lebih lanjut apakah pemberian and its constituents inhibiut trombosit
obat anti perdarahan dapat mengurangi aggregation through multiple mechanism.
American Society for Nutrition J. Nutr.
efek halotan dalam menghambat proses
136:782S-788S, March 2006
agregasi trombosit. 11. Hirakata, Nakamura, et al. Trombosit
aggregationis impaired during anesthesia
DAFTAR PUSTAKA with sevufluran but not with isofluran.
Canadian Jurnal of Anesthesia, November
1. Catherine M. Baldy. Pembekuan dalam : 1997, Volume 44, Number 11.
Price SA, Wilson LM. Patofisiologi konsep 12. Dogan, Varlik, et al. The in vitro effevts of
linis proses – proses penyakit. Edisi ke 4. isofluran, sevofluran and propofol on
Jakarta : EGC : 1995, 264 – 5 trombosit aggregation. Anesthesia and
2. Kozek-Langenecker. The effect of drugs Analgesia, February 1999, Volume 88,
used in anesthesia on trombosit membrane Number 2.
receptors and on trombosit function. Medical 13. Patel P, Gonzalez R. Impact of adenosine
Chemistry Reviews-online, Volume 1, diphosphate and kalsium chelation on
Number 1, January 2004 pp 101 – 110 on trombosit aggregation. Journal of american
line] : URL. http://www.ingentaconnect. College of Cardiology Foundation ; 2006, 47
com/content/ben/mcro/2004/000000001/0000 : 464 – 465 [on line] : URL.
000/art00012 http://www.content.onlinejacc.org/cgi/conten
3. Lisyani BS. Tes agregasi trombosit untuk t/full/j.jacc.2005.10.032.VI
pemantauan terapi anti trombosit. Dalam : 14. Colman RW. Aggregin : a platelet receptor
Purwanto AP, Vincencia L, Megawati T. that mediates activation. FASEB J 1990 ; 4 :
Kumpulan naskah simposium penyakit 1425 – 35
jantung koroner. Semarang : CV Agung ; 15. Parise LV, Boudignon-Prouddhon C, Patricia
2005, 23 – 34 J,Naik KP, Naik UP. Platelet ini hemostasis
4. Rifkin RM. The megakaryocyte trombosit and thrombosis. In : Lee GR Foerster J,
system. In : Stiene EA. Lotspeich CA, Lukens J, Paraskevas F,Ge\reer JR, Rodgers
Koepke JA eds. Clinical hematology GM eds. Winthrobe’s Clinical Hemo\atology.
principles, procedurs, correlation. 2nd ed. 10th ed. Baltimore : Williams & Wilkins ;
Philadelphia : Lippincott ; 1998 : 689 – 706 1999 : 661 – 63
5. Hawinger J. Hemostasis and thrombosis. In : 16. Altman R, Luciardi HL, Muntaner J, Herrera
Colman R, Hirsh J, Marder V, et al. Basic RN. The antithrombotic profile of aspirin.
principles and clinical practice. Philadelphia : Aspirin resistance, or simple failure?
JB Lippincott : 1994, 603 – 28 Thrombosis Journal 2004 ; 2 (1).
6. Ashby B, Colman RW, Daniel JL, Kunapuli 17. Stenberg PA, Hill RJ. Platelets and
S, Smith JB. Trombosit stimulatory and megakaryocytes. In : Lee GR, Foerster J,
inhibitory receptors. In : Colman RW, Hirsh Lukens J, Paraskevas F, Greer JP, Rodgers
J, Marder VJ, Clowes AW, George JN, eds. GM eds. Winthrobe’s Clinical Hemo\atology.

________________________________________________________________________________
34
Volume II, Nomor 1, Tahun 2010
Jurnal Anestesiologi Indonesia

10th ed. Baltimore : Williams & Wilkins ;


1999 : 61560
18. Lisyani BS. Hasil tes agregasi trpmbosit pada
subyek sehat kelompok usia 19 – 39 tahun
dibandingkandengan 40 tahun ke atas. Media
Medika Indonesiana vol 41 no.2, 2006 : 69 –
77
19. Koepke JA. Laboratory evaluation of
platelets and Quantitive and qualitative
disorders of platelets. In : Martin EAS,
Lotspeich-steininger CA, Koepke FA eds.
Clinical hematologu principles, Procedures,
correlations. 2nd. New York : Lippincott ;
1998 : 70716
20. Laffan MA, Manning RA. Investigation of
hemostasis. In : Lewis Dm, Bain BJ, Bates I,
eds. Practical hematology. 9th ed. London :
Churchill Livingstone ; 2001 : 339 - 4
21. Kottke-Marchant K, Corcoran G. The
laboratory diagnosis of platelet disorders. An
algorithmic approach. Arch Panthol Lab
Med, 2002 ; 126 : 133 - 46

________________________________________________________________________________
35
Volume II, Nomor 1, Tahun 2010
Jurnal Anestesiologi Indonesia

TINJAUAN PUSTAKA

Pengelolaan Pasca Operasi dan Rawat Intensif pada Pasien Trauma


Rindarto*, Jati Listiyanto Pujo*, Ery Leksana *
*Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif FK Undip/ RSUP Dr. Kariadi, Semarang

ABSTRACT
Postoperative management of trauma patients in the ICU on patient outcomes is critical,
because with good management in ICU trauma patient survival rate is higher.
Management of trauma patients in the ICU is primarily focused on the management of
hypothermia, coagulopathy, acidosis, and abdominal compartment syndrome, ARDS, it is
because of these factors is the leading cause of death in the first hours after trauma.

ABSTRAK
Pengelolaan pasca operasi di ICU pada pasien trauma sangat menentukan hasil akhir
pasien, karena dengan pengelolaan yang baik di ICU, tingkat survival pasien trauma
menjadi lebih tinggi. Pengelolaan pasien trauma di ICU terutama difokuskan pada
pengelolaan hipotermi, koagulopati, asidosis, sindrom kompartemen abdomen dan ARDS,
hal ini karena faktor-faktor tersebut merupakan penyebab utama kematian pada jam-jam
pertama pasca trauma.

PENDAHULUAN juta orang dirawat di RS karena trauma


Trauma karena tindak kekerasan dan akut. Trauma yang mengakibatkan
kecelakaan lalu lintas membunuh lebih kecacatan merupakan masalah kesehatan
dari 2,5 juta orang tiap tahun. Menurut masyarakat yang cukup besar. Pada
WHO pada tahun 2002 ada 1,6 juta pasien trauma, 3 penyebab utama
kematian karena tindak kekerasan dan 1,2 kematiannya adalah karena trauma
juta kematian karena kecelakaan lalu kepala, perdarahan dan sepsis atau gagal
lintas, kombinasi keduanya menunjukkan multi organ. Truma didefinisikan sebagai
mortalitas sebesar 48 kematian tiap gangguan atau kerusakan struktur atau
100.000 orang tiap tahun. Hampir semua fungsi tubuh yang disebabkan oleh
kematian terjadi pada jam pertama perubahan energi yang mendadak
setelah trauma, dengan proporsi 34-50% (mekanik, kimia, panas, radioaktif atau
kematian terjadi di rumah sakit. biologi) yang melebihi kemampuan
Kematian ini bisa dicegah dengan tubuh.1,2,3
mengoptimalkan penanganan trauma,
keberhasilan pencegahan kematian akibat Tindakan operasi pada pasien trauma
trauma bisa mencapai 76% atau bisa yang diikuti oleh periode pengawasan
hanya 1% bila penanganan kurang dan penatalaksanaan berkelanjutan sangat
optimal. erat kaitannya. Resusitasi pasca trauma
yang cukup dan survei sekunder harus
Trauma merupakan penyebab utama dilakukan. Terminasi anestesi umum
kematian pada pasien berusia kurang dari diperlukan, terutama pada pasien dengan
45 tahun, di Amerika Serikat, dan trauma gangguan tingkat kesadaran yang
menempati urutan ketiga penyebab berubah atau cedera otak traumatis
kematian secara umum, yaitu > 100.000 sebelum operasi. Banyak pasien akan
pada tahun 2002 dan setidaknya > 1,5 membutuhkan dukungan ventilator

________________________________________________________________________________
36
Volume II, Nomor 1, Tahun 2010
Jurnal Anestesiologi Indonesia

karena trauma SSP, trauma langsung dan setiap penurunan suhu di bawah
dinding paru atau dada, transfusi masif, 35ºC memberikan prognosis yang buruk.
edema saluran napas atas dan intoksikasi Hipotermia lebih sering terjadi dan lebih
berkelanjutan. Obat analgesik yang sesuai berat pada pasien dengan cedera serius,
harus diberikan, dengan sedasi jika sehingga sulit untuk dibedakan apakah
diperlukan. Support 12 sampai 24jam kematian ini disebabkan oleh hipotermia
menentukan keberhasilan resusitasi dan atau parahnya trauma yang men-
perbaikan pembedahan, hemodinamik dasarinya. Suatu penelitian menyebutkan
stabil, titrasi analgesik yang sesuai dan bahwa pada pasien yang tidak dihangat-
resolusi intoksikasi. Pasien trauma yang kan selama resusitasi angka kematiannya
tidak dapat diekstubasi berada pada risiko meningkat tujuh kali lebih besar
tinggi terjadinya gagal multi organ dan dibandingkan pasien yang dihangat-
akan berkembang menjadi ARDS pasca kan.1,2,3,4,5
trauma yang biasanya akan memerlukan
beberapa hari sampai minggu untuk Hipotermia merupakan komorbiditas
perawatan intensif. 2 utama pada pasien dengan trauma. Selain
kehilangan panas dari radiasi (paparan)
Beberapa masalah yang dihadapi pada dan konduksi (infus dingin), evaporasi
pasien trauma pasca operasi dan dan konveksi (ekspose permukaan
perawatan intensif yaitu : abdomen), redistribusi darah ke perifer
darah akibat gangguan autoregulasi yang
Nyeri akut pasca operatif terjadi akibat penggunaan obat-obat dan
Nyeri neuropatik timbul bila ada trauma cedera tulang belakang. Paralisis
langsung pada saraf sensorik utamadan farmakologis mencegah mekanisme
umumnya setelah trauma tulang produksi panas normal (misalnya
belakang, amputasi traumatik dan major menggigil) dan vasodilatasi agen anestesi
crush injury. Nyeri neuropatik ditandai mengganggu mekanisme konservasi
dengan rasa terbakar, rasa tersengat panas (misal vasokonstriksi).3
listrik intermiten dan disestesia yang
mempengaruhi distribusi dermatomal. Hipotermia biasanya berkaitan dengan
Analgesia epidural telah terbukti meningkatnya risiko perdarahan. Efek
menghasilkan tingkat kepuasan tinggi hipotermia ternasuk gangguan fungsi
pasien dan fungsi paru membaik setelah trombosit, gangguan fungsi faktor
operasi thorako abdominal dan ortopedi.3 koagulasi (setiap penurunan suhu 1ºC
tejadi penurunan fungsi 10%),
Hipotermia penghambatan enzim dan fibrinolisis).
Hipotermia didefinisikan sebagai suhu Hipotermia juga mempengaruhi proses
inti di bawah 35ºC, disertai asidosis, koagulasi platelet, meningkatkan sekues-
hipotensi dan koagulopati pada pasien trasi platelet, mengurangi metabolisme
dengan trauma berat.Hipotermia pada obat dan menginduksi vasokonstriksi.
pasien trauma harus dibedakan dari Gabungan hipotermia dan asidosis men-
hipotermia karena sebab lain. Mortalitas cerminkan penurunan curah jantung dan
pada hipotermia moderat (28-32ºC) perfusi jaringan. Miokardium hipotermi
karena paparan kurang dari 25% dimana rentan terhadap ektopi, terutamadisritmia
kematian ini disebabkan oleh penyakit ventrikel. Banyak penelitian telah meng-
yang mendasarinya, sementara pada identifikasi hipotermia sebagai faktor
pasien trauma suhu inti kurang dari 32ºC yang terkait dengan peningkatan mor-
berkaitan dengan tingkat kematian 100% biditas dan mortalitas pada pasien trauma

________________________________________________________________________________
37
Volume II, Nomor 1, Tahun 2010
Jurnal Anestesiologi Indonesia

berat. Menariknya, hipotermia moderat pasien trauma, deplesi faktor pembekuan


(33-350C) merupakan neuroproteksi dan yang sering menyertai hipotermia.
dapat ditoleransi dalam kondisi tertentu, Hipotermia juga mempengaruhi fungsi
terutama ketika tidak adanya manifestasi trombosit. Oleh karena itu manajemen
klinis dari perdarahan, sehingga suhu merupakan isu utama dalam
hipotermia bisa dipertimbangkan pada pengelolaan pasien trauma. Tubuh
pasien cedera kepala. Hipotermi moderat memiliki panas spesifik relatif tinggi
pada pasien trauma kepala harus (heat gain/loss per derajat Celcius
dilakukan dalam 3 jam pertama setelah perubahan suhu) 0,83 kkal/kg/oC.
trauma, khususnya dengan pendinginan Produksi panas basal sekitar 1
daerah kepala dan leher yang kkal/kg/jam jika konsumsi oksigen
dipertahankan selama 48 jam, rewarming normal, menghasilkan tingkat rewarming
harus dilakukan selama 24 jam dan sekitar 1,2 0C/jam jika semua kehilangan
perfusi serebral harus dipertahankan panas dicegah. Namun, sebagian besar
(MAP ≥70 mmHg). Pasien yang pasien syok, telah mengalami
mendapatkan keuntungan dengan pengurangan produksi panas dan tidak
hipotermia adalah pasien dengan GCS mampu melakukan rewarming spontan.
saat masuk 4-7. Efek sampingnya adalah
hipotensi, hipovolemi, gangguan elek- Metode rewarming eksternal membantu
trolit, penurunan sekresi insulin dan untuk mencegah kehilangan panas, tetapi
meningkatkan resiko infeksi.4 transfer panas sedikit untuk pasien. Suhu
kulit mungkin 10-15 0C lebih dingin dari
Hipotermia primer terjadi bila produksi suhu inti pasien hipotermia. Panas
panas normal, tetapi suhu tubuh menurun mengalir dari area yang bersuhu tinggi ke
sebagai akibat dari kehilangan panas suhu yang lebih rendah sebagaimana
berat karena kondisi lingkungan. hukum kedua termodinamika. Teknik
Hipotermia sekunder merupakan akibat rewarming eksternal karena itu tidak
produksi panas yang berkurang. Oleh dapat mentransfer panas ke inti sampai
karena panas tubuh dihasilkan dari suhu kulit meningkat untuk setidaknya
konsumsi oksigen maka panas tubuh seperti suhu inti. Selama jeda waktu,
yang dihasilkan selama keadaan syok, suhu inti sebenarnya dapat terus menurun
ketika konsumsi oksigen patologis (afterdrop).
berkurang, mengakibatkan penurunan
suhu inti tanpa stres lingkungan dingin Selimut pemanas dengan cairan
yang berat. Perdarahan tidak terkontrol bersirkulasi sangat tidak efisien karena
adalah penyebab paling sering kematian selimut hanya bersentuhan dengan
dini pada pasien trauma, dan mungkin permukaan tubuh dalam persentase kecil
efek terparah hipotermia adalah efek (<25%). Selain itu, selama hipotermia,
inhibisi terhadap laju reaksi enzimatik perfusi kulit menurun dari sekitar 200
dari kaskade koagulasi. ml/menit/m2 menjadi 4 ml/menit/m2,
yang mengurangi konduktivitas termal.
Secara klinis yang relevan dari Rewarmer udara konvektif juga
hipotermia (< 35oC) dapat memper- mengirimkan panas yang sangat sedikit
panjang waktu pembekuan seperti pada karena kerapatan udara sangat rendah
defisiensi berat faktor pembekuan. sehingga sangat sedikit mengandung
Defisiensi faktor IX, menyebabkan panas bahkan pada suhu tinggi. Oleh
perdarahan abnormal ketika kadarnya karena sebagian besar kehilangan panas
turun di bawah 25-30% dari normal. Pada terjadi melalui kulit, membungkus pasien

________________________________________________________________________________
38
Volume II, Nomor 1, Tahun 2010
Jurnal Anestesiologi Indonesia

dalam penghangat konvektif secara penting untuk mendeteksi koagulopati


efektif dapat mencegah kehilangan yang disebabkan oleh trauma dan untuk
panas.4 menentukan penyebab utama termasuk
hiperfibrinolisis. Terapi intervensi lebih
Airway rewarming tergantung pada dini memperbaiki studi koagulasi.5
prinsip bahwa jumlah air yang mampu
ditahan sebagai uap tergantung pada suhu Efek berkelanjutan hipotermia adalah
udara. Ketika seorang pasien hipotermia koagulopati yang terjadi pada pasien
membutuhkan udara hangat jenuh, trauma berat dan merupakan masalah
kondensasi terjadi pada kontak dengan kompleks dan sulit ditangani. Pembekuan
airway dingin. Peritoneal lavage atau in vivo dipengaruhi oleh beberapa
pleura lavage menunjukkan transfer variabel, dan pada banyak kasus
panas yang signifikan karena panas fibrinolisis merupakan faktor
spesifik air adalah 1 kkal/L0C. Pemberian predominan. Pembentukan clot me-
cairan intravena hangat merupakan salah nyebabkan pembatasan formasi trombus
satu metode dalam mencegah dan pada lokasi trauma. Jika perdarahan terus
mengurangi hipotermia. Pasien akan berlanjut, dapat terjadi aktivitas fibrino-
mendapatkan ekstra panas 16 kkal untuk litik lokal berlebihan menghasilkan
1 L kristaloid dari suhu kamar (210C) ke koagulopati lokal. Sejumlah inhibitor
370C. platelet ditemukan pada pasien trauma
berat, seperti prostaglandin I2 (PGI2) dan
Jika pasien tidak dapat menghasilkan antitrombin III, mencegah stabilisasi plug
panas tambahan karena konsumsi oksigen platelet dengan memblok formasi fibrin,
fixed akan mengakibatkan hilangnya 16 menyebabkan mekanisme feedback
kkal, yang akan menurunkan suhu tubuh negatif yang mencegah aktivasi platelet.
0,280C/L. Rewarming arteriovenosa
kontinyu (Continuous ArterioVenous Tranfusi faktor pembekuan dan platelet
Rewarming) adalah metode yang relatif sampai proses konsumtif tercapai
baru melakukan rewarming sirkulasi merupakan langkah awal penting dalam
extracorporeal yang tidak memerlukan penatalaksanaan koagulopati. Transfusi
pompa mekanis atau heparin, dan dapat masif adalah prediktor terpenting
dilakukan oleh personil unit perawatan darikoagulopati pada trauma abdomen.
intensif dengan pelatihan yang minimal. Kemungkinan koagulopati (waktu
Teknik ini analog dengan hemofiltrasi protrombin [PT] atau waktu parsial
arteriovena kontinyu.4,5\ thromboplastin [PTT] sama dengan atau
lebih besar dari dua kali normal)
Koagulopati mengikuti transfusi masif pada pasien
Trauma mayor tidak hanya berakibat trauma berat, diperkirakan karena
perdarahan karena kerusakan anatomi hipotermia persisten, asidosis dan
tetapi lebih sering karena koagulopati hipotensi. Dengan semua faktor resiko
yang meningkatkan kematian. Koagulo- (pH ≤ 7.10, suhu ≤ 340C, tekanan darah
pati yang terjadi lebih dini pada pasien sistolik < 70mmHg), 98% pasien akan
trauma biasanya ditemukan pada pasien berkembang menjadi koagulopati yang
dengan hipoperfusi (base deficit > 6 mengancam kehidupan.4
mEq/l) dan ditandai dengan peningkatan
produksi trombomodulin endotel yang Kalsium
membentuk kompleks dengan thrombin. Kalsium penting untuk pembentukan dan
Monitoring dini terhadap koagulasi stabilisai fibrin dan meningkatkan

________________________________________________________________________________
39
Volume II, Nomor 1, Tahun 2010
Jurnal Anestesiologi Indonesia

aktivitas trombosit. Disamping itu laparotomi dan ditemukan adanya trauma


kalsium juga akan meningkatkan serius pada usus atau organ berongga.
kontraktilitas miokardium dan resistensi
vaskuler. Kombinasi keuntungan antara Sindroma kompartemen abdomen
kardiovaskuler dan koagulasi didapat bila dikenali dengan adanya distensi abdomen
tingkat konsentrasi kalsium yang kuat, peningkatan tekanan puncak jalan
terionisasi di atas 0,9 mmol/l. nafas, ventilasi yang tidak adekuat dan
hipoksia. Peningkatan tekanan intra-
Fresh Frozen Plasma (FFP) abdominal menyebabkan gangguan
Dosis awal FFP yang direkomendasikan sirkulasi, penurunan perfusi jaringan, dan
adalah 10-15 ml/kgBB. Dosis selanjutnya disfungsi organ (jantung, ginjal, usus,
tergantung studi koagulasi dan produk paru). Distensi abdomen menyebabkan
darah lain yang diberikan. peningkatan peak tekanan jalan nafas,
hiperkarbia dan oliguria. Penurunan
Fibrinogen dan Cryopresipitate venous return dengan penurunan cardiac
Diberikan bila kadar fibrinogen kurang output dan penurunan fungsi ginjal
dari 1,5-2 g/l. Dosis yang direkomen- karena hipoperfusi.
dasikan 3-4 g atau 50 mg/kgBB
cryopresipitate yang setara dengan 15-20 Selain itu peningkatan tekanan
unit untuk pasien dengan berat badan 70 intraabdominal menyebabkan penurunan
kg. Dosis ulangan diberikan berdasarkan volume tidal, peningkatan tekanan
kadar fibrinogen. ventilasi dan atelektasis. Peningkatan
tekanan intraabdominal juga dapat
Antifibrinolitik menyebabkan hipertensi vena dan
Asam traneksamat bekerja dengan cara meningkatkan tekanan intrakranial.3,4,5
kompetitif inhibitor terhadap plasmin
dan plasminogen. Dosis yang Tekanan lebih dari 30 mmHg
direkomendasikan adalah 10-15 menyebabkan terjadinya oliguria menye-
mg/kgBB diikuti infus kontinyu 1-5 babkan penurunan aliran darah ginjal
mg/kgBB/jam. akibat peningkatan tekanan vena pada
ginjal yang pada akhirnya juga akan
Sindrom Kompartemen Abdominal meningkatkan resistensi pembuluh darah
Sindrom kompartemen didefinisikan ginjal. Sindrom kompartemen abdomen
sebagai peningkatan tekanan dalam suatu juga menyebabkan penurunan cardiac
ruangan tertutup yang dapat output sebesar 30-40% yang diakibatkan
menyebabkan gangguan fungsi organ oleh penurunan venous return dan
yang ada didalam ruangan tersebut. peningkatan tekanan darah sistemik.
Sindrom kompartemen abdominal adalah
peningkatan tekanan intraabdominal Penelitian eksperimental menunjukkan
biasanya disebabkan oleh edema jaringan penurunan aliran darah splancnic sebesar
usus dan interstisial akibat trauma, pada 75% disertai asidosis mukosa usus yang
pasien syokdan resusitasi cairan masif. tidak dipengaruhi cardiac output pada
Sindroma kompartemen abdominal sering pasien dengan sindrom kompartemen
terjadi pada pasien dengan trauma berat, abdomen. Tekanan intra abdominal
khususnya pasien yang menjalani sebesar 25 mmHg juga bisa menyebab-
laparotomi dengan packing abdomen. kan peningkatan tekanan intra cranial
Dilaporkan bahwa angka kejadiannya karena peningkatan tekanan vena sentral
sebesar 14% dari pasien yang menjalani yang berakibat penuruna perfusi serebral.

________________________________________________________________________________
40
Volume II, Nomor 1, Tahun 2010
Jurnal Anestesiologi Indonesia

Sindrom kompartemen abdomen me- Deep Venous Thrombosis


miliki efek buruk pada fungsi paru Pasien-pasien trauma memiliki resiko
menyebabkan hipoksemia progresif dan terkena tromboemboli vena. Penelitan
retensi CO2 yang memerlukan tekanan yang dilakukan oleh Schackford et al.
puncak jalan nafas yang sangat tinggi mengidentifikasikan 4 grup pasien
untuk mempertahankan volume tidal trauma yang beresiko terhadap terjadinya
yang adekuat. emboli yaitu pasien dengan trauma
kepala, trauma tulang belakang, fraktur
Risiko terjadinya barotrauma lebih pelvis kompleks dan fraktur sendi
disebabkan oleh tekanan transpulmoner panggul. Pemberian heparin subkutan,
daripada tekanan puncak atau statis jalan mobilisasi awal, stocking, dekompresi
nafas. Bila tekanan intra abdomen vena, alat dekompresi sekuensial dapat
meningkat dapat diasumsikan terjadi dipertimbangkan untuk mengurangi
peningkatan intra pleura. Suatu penelitian risiko terjadinya DVT.
menyebutkan adanya hubungan antara
peningkatan tekanan intra abdomen Komplikasi Akhir
dengan peningkatan tekanan intra pleura. Stres ulser terjadi akibat penurunan aliran
Bila tekanan intra abdomen meningkat 25 darah lambung dan kehilangan proteksi
mmHg maka tekanan intrapleura menjadi mukosa dan hal ini terjadi hampir lebih
18 mmHg atau 24,5 cmH2O. Bila dari 20% pasien ICU dimana dapat
besarnya tekanan akhir ekspirasi dibawah menyebabkan terjadinya gastritis, ulserasi
tekanan pleura maka akan terjadi kolaps dan perdarahan. Pemberian inhibitor
alveolar. pompa proton, antagonis reseptor H2
dapat dipertimbangkan. Komplikasi paru
Banyak diantara pasien ini yang seperti pneumonia, pneumonitis aspirasi
mengalami hipoksemia refrakter terkait dan ARDS sering terjadi pada pasien
ketidakmampuan mempertahankan trauma.
tekanan akhir ekspirasi untuk memper-
tahankan kapasitas residual. Pemberian Asidosis
tekanan positif pada akhir ekspirasi yang Asidosis mengganggu kontraktilitas
lebih tinggi mungkin masih diperlukan miokard sebagai respon katekolamin
selama sirkulasi berjalan baik. Tekanan endogen dan eksogen. Kurva disosiasi
intraabdominal lebih besar dari 20- oksi hemoglobin bergeser ke kanan oleh
25mmHg disertai dengan kegagalan asidosis, dengan demikian meningkatkan
organ membutuhkan dekompresi. pengiriman oksigen ke jaringan. Asidosis
laktat harus ditangani dengan peng-
Tekanan intraabdominal pasca operasi gantian cairan. Meskipun kontroversial,
normal adalah 0-5 mmHg. Jika tekanan pH ≤ 7,10 diberikan natrium bikarbonat
lebih besar dari 10 mmHg, terjadi dan hiperventilasi.
penurunan aliran darah arteri hepatika,
pada tekanan 15 mmHg terjadi perubahan Penting untuk mengoreksi asidosis
kardiovaskular, pada tekanan 15-25 dengan melakukan resusitasi agresif
mmHg terjadi oliguria, dengan anuria untuk mencapai end-point yang sesuai.
dapat terjadi pada tekanan antara 30- Laktat serum dan nilai base deficit dari
40mmHg.4 analisa gas darah memberikan prediksi
tidak langsung tentang asidosis jaringan
secara menyeluruh terkait gangguan
perfusi. Abramson melakukan observasi

________________________________________________________________________________
41
Volume II, Nomor 1, Tahun 2010
Jurnal Anestesiologi Indonesia

pada pasien dengan trauma multiple mayor bila kadar awal laktat tinggi dan
untuk mengevaluasi hubungan antara bila normalisasi terjadi lebih dari 24 jam
bersihan laktat dan survival. Semua berkorelasi dengan berkembangnya gagal
pasien yang kadar laktatnya kembali ke organ pasca trauma. Seperti laktat, nilai
nilai normal ( ≤ 2) dalam 24 jam akan awal base deficit juga merupakan
survive. Survival akan menurun menjadi prediktor tingkat kematian pada pasien
77,8% bila normalisasi terjadi dalam 48 trauma.Davis membagi base deficit
jam dan menurun lagi menjadi 13,6% menjadi 3 kategori, mild (-3 sampai-
pada pasien yang kadar laktatnya naik di 5mEq/l), moderat (-6 sampai -9mEq/l)
atas 2 mmol/l lebih dari 48 jam. dan berat (< -10 mEq/l). Perbaikan bese
Penelitian ini didukung oleh penelitian deficit dalam 24 jam menurunkan risiko
Manikins yang menunjukkan non gagal organ dan kematian pada pasien
survival pada pasien dengan trauma trauma.3,4,5

Tabel 1. Target Resusitasi

Parameter Goal Observations

MAP >65 mmHg in the first 30 minutes TBI patien need MAP >70 mmHg
Lactic Acidocis <2.1 mmol/L Trend to reduction in the first 6 hours
Complete clearence in 24 hour
Base deficit >-5.0 mEq/L Trend to reduction in the first 6 hours
Complete clearence in 24 hour
Hemoglobin 7.0-9.0 g/dL Patien with significant heart disease or older
than 55 years may need higher levels
SatP >94% With the lowest PEEP that permits keeping
FiO2 <0.6
Keterangan : MAP,Mean arterial pressure; PEEP, Positive end expiratory pressure; TBI ; traumatic brain
injury

Perdarahan terkontrol mengurangi dan kematian adalah 50% dibandingkan


konsumsi oksigen (VO2) dan reperfusi, dengan 9% (p< 0,01).
untuk meningkatkan VO2 di atas
baseline. Ketika durasi syok memanjang Beberapa penelitian menunjukkan
fase hipermetabolik tidak terjadi, korelasi kuat antara terjadinya gangguan
menunjukkan syok menyebabkan gang- koagulasi dan durasi hipotensi.Beberapa
guan metabolik intraseluler terhadap penelitian juga membuktikan bahwa
oksigen dan pemanfaatan substrat yang hipoperfusi dikaitkan dengan koagulopati
tidak lagi responsif pada peningkatan konsumtif dan perdarahan mikrovaskular
pengiriman oksigen. Fenomena ini independen dari jumlah kehilangan darah.
dibuktikan dalam sebuah studi pasien Dalam satu studi asidosis diinduksi-syok
trauma yang mendapatkan resusitasi lebih dari 150 menit menyebabkan
adekuat. Satu kelompok terjadi pening- perpanjangan signifikan dari PTT dan
katan konsentrasi laktat terus-menerus penurunan aktivitas faktor V.
dan berkurangnya konsumsi dan ekstraksi
oksigen dibandingkan dengan kelompok Acute Respiratory Distress Syndrome
asidosis dan defek ekstraksi yang telah (ARDS) dan Acute Lung Injury (ALI)
dikoreksi, tingkat kegagalan organ adalah ARDS merupakan gagal respirasi akut
35% dibandingkan dengan 5% (p<0,001), yang terjadi pada pasien dengan paru-
paru sehat setelah terpapar syok, trauma,

________________________________________________________________________________
42
Volume II, Nomor 1, Tahun 2010
Jurnal Anestesiologi Indonesia

sepsis, aspirasi, transfusi, atau inhalasi trauma menjadi lebih tinggi. Pengelolaan
toksik. Pada ARDS terjadi kerusakan pasien trauma di ICU terutama di-
membran kapiler alveolar sehingga fokuskan pada pengelolaan hipotermi,
terjadi kebocoran cairan protein dari koagulopati, asidosis, sindrom kompar-
intravsakular ke interstistial yang temen abdomen dan ARDS, hal ini
menyebabkan gambaran klinis disfungsi karena faktor-faktor tersebut merupakan
pulmoner sedang sampai berat. ARDS penyebab utama kematian pada jam-jam
ditandai dengan hipoksemia, penurunan pertama pasca trauma.
compliance paru, dan penurunan
functional residual capacity (FRC)
DAFTAR PUSTAKA
Kriteria ARDS: PaO2/ FiO2 < 200,
gambaran infiltrat difus bilateral pada 1. Gentiltllo LM, Pierson DJ. Trauma critical
foto thoraks. Sedangkan kriteria ALI; care. Respir Crit Care Med. 2001; (163) :
604–7
PaO2/ FiO2 < 300, dan ditemukan 2. Rossaint. Management of bleeding following
gambaran infiltrat difus bilateral pada major trauma : an updated European
foto thoraks. guideline. Critical Care 2010 ; (14) : 52
3. Miller R.D. Anesthesia for Trauma. 7th ed.
Manajemen ARDS yaitu dengan ventilasi USA :Elseiver ; 2010 ; (2) : 2306-7
4. Smith C.E. Trauma Anesthesia..UK:
mekanik yang bertujuan meminimalkan Cambridge Press: ; 2008 : 215
efek pertukaran gas. Tetapi ventilasi 5. Edwin AD, Saraswati DD. Intensive care unit
mekanik juga terkait dengan trauma paru management of the trauma patient. Crit Care
akibat volume alveolar berlebih, Med 2006 ; (34) : 9
barotraumas. Positive end-expiratory
pressure (PEEP) digunakan untuk
meningkatkan oksigenasi pada FiO2
fixed. Penggunaan volume tidal rendah (6
ml/kg) pada pasien dengan ARDS
menurunkan mortalitas, barotrauma
rendah.

Sepsis
Sepsis pasca operasi dapat terjadi akibat
soiling peritoneal, intubasi trakea lama,
jalur intravaskular, dan pneumonia
pretrauma. Bakteremia dapat
diklasifikasikan menjadi onset awal,
terjadi dalam 96 jam setelah trauma, dan
onset lambat, muncul setelah 96 jam
setelah trauma. Risiko onset-awa
lbakteremia meningkat dengan adanya
kontusio paru, pneumonia aspirasi, dan
trauma abdomen skala besar.

Pengelolaan pasca operasi di ICU pada


pasien trauma sangat menentukan hasil
akhir pasien, karena dengan pengelolaan
yang baik di ICU tingkat survival pasien

________________________________________________________________________________
43
Volume II, Nomor 1, Tahun 2010
Jurnal Anestesiologi Indonesia

TINJAUAN PUSTAKA

Anestesi pada Mediastinoskopi

Satrio Adi Wicaksono*, Hari Hendriarto*, Heru Dwi Jatmiko*


*Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif FK Undip/ RSUP Dr. Kariadi, Semarang

ABSTRACT
Mediastinoskopy increasingly used in health centers. Mediastinoscopy is a minimally
invasive technique for excision biopsy of lung cancer. Mediastinoscopy provides access to
the mediastinal lymph nodes and is used for diagnosis or resektabilitas intrathorakal
malignancy. Preoperative CT is important for the evaluation and if there is compression of
trachea. Mediastinoscopy using general anesthesia. Venous access with a large diameter
intravenous catheters (14 to 16 gauge) is required because of the risk of excessive bleeding
and difficulty controlling bleeding. And is expected to review the above it can be
understood how the management of anesthesia in patients undergoing mediastinoscopy
surgery.

ABSTRAK
Mediastinoskopi semakin banyak digunakan di pusat-pusat kesehatan. Mediastinoskopi
merupakan tehnik minimal invasif untuk eksisi biopsi pada kanker paru-paru.
Mediastinoskopi menyediakan akses ke limfonodi mediastinal dan digunakan untuk
diagnosis atau resektabilitas keganasan intrathorakal. CT preoperatif penting untuk
mengevaluasi dan bila terdapat kompresi trakhea. Mediastinoskopi menggunakan
anestesi umum. Akses vena dengan kateter intravena diameter besar (14 hingga 16 gauge)
diharuskan karena resiko perdarahan berlebihan dan kesulitan pengendalian perdarahan.
Dan diharapkan dengan tinjauan diatas maka dapat dipahami bagaimana pengelolaan
anestesi pada pasien yang akan menjalani operasi mediastinoskopi

PENDAHULUAN lebih meyakinkan dan tepat untuk


menegakkan diagnosis pada beberapa
Mediastinoskopi merupakan suatu penyakit dengan limfadenopati medias-
prosedur diagnostik, yang pertama kali tinum (misalnya: sarkoidosis, limfoma).
dijelaskan oleh Carlens pada tahun 1959.
Meskipun semakin canggihnya teknik Pada mediastinoskopi kita menggunakan
pencitraan (misalnya emisi positron anestesi umum, dimana relaksan otot
tomogafi), mediastinoskopi tetap penting harus dihindari pada pasien dengan
dalam pementasan kanker paru-paru sugestif sindrom klinis myasthenia
karena sifat sensitivitasnya tinggi gravis, dan akses vena dengan kateter
(0,80%) dan spesifisitasnya yang tinggi intravena diameter besar (14 hingga 16
(100%).1 gauge) diharuskan karena resiko
perdarahan berlebihan dan kesulitan
Indikasi lainnya untuk mediastinoskopi pengendalian perdarahan. Diharapkan
adalah biopsi massa mediastinum pada tinjauan ini, kita dapat mengerti apa
terutama di mana pemeriksaan lainnya, mediastinoskopi dan bagaimana pe-
misalnya CT kurang sensitif dan biopsi ngelolaan dan manajemen anestesi pada
________________________________________________________________________________
44
Volume II, Nomor 1, Tahun 2010
Jurnal Anestesiologi Indonesia

pasien-pasien yang akan dilakukan 3. Mediastinum posterior, dari garis


mediastinoskopi. batas mediastinum superior ke
diafragma di belakang jantung berisi
Anatomi bagian dari aorta torakalis descenden,
Mediastinum yaitu rongga yang berada vena azigos dan dua vena
di antara paru kanan dan kiri. hemiazygos, nervus vagus dan
Mediastinum berisi jantung, pembuluh splanknikus, esofagus, saluran torak
darah arteri, pembuluh darah vena, dan beberapa kelenjar getah bening.
trakea, kelenjar timus, syaraf, jaringan 4. Mediastinum medial (tengah), dari
ikat, kelenjar getah bening dan garis batas mediastinum superior ke
salurannya.3,4 diafragma di antara mediastinum
anterior dan posterior. Berisi jantung
Rongga mediastinum ini sempit dan
yang tertutup dalam perikardium,
tidak dapat diperluas, maka pembesaran
aorta asendens, bagian bawah dari
tumor dapat menekan organ di dekatnya
vena kava superior dengan
dan dapat menimbulkan kegawatan yang
pembukaan vena azigos ke dalamnya,
mengancam jiwa. Kebanyakan tumor
percabangan dari trakea dan kedua
mediastinum tumbuh lambat sehingga
bronkus, arteri pulmonalis yang
pasien sering datang setelah tumor cukup
terbagi menjadi dua cabang, vena
besar, disertai keluhan dan tanda akibat
pulmonalis kanan dan kiri, nervus
penekanan tumor terhadap organ
frenikus, dan beberapa kelenjar getah
sekitarnya.4
bening.
Secara garis besar mediastinum dibagi
atas 4 bagian penting :4 Klasifikasi ini digunakan untuk
menggambarkan asal dan penyebaran
1. Mediastinum superior, mulai pintu tumor (yaitu anterior, berdekatan dengan
atas rongga dada sampai ke vertebra atau di belakang jantung dan
torakal ke-5 dan bagian bawah perikardium) dan harus dicatat bahwa
sternum, berisi: arkus aorta, arteri tidak ada anatomis atau fasia
innominata dan bagian toraks dari memisahkan kompartemen yang berbeda.
carotis communis kiri dan arteri Mediastinum kaya pada kelenjar getah
subklavia kiri; vena innominata dan bening yang merupakan tempat inflamasi
setengah bagian atas vena kava local penyakit, limfatik utama tumor atau
superior; v. Interkostalis kiri; nervus penyakit metastasis Tabel 1 memberikan
vagus, jantung, nervus, frenikus, daftar kondisi yang dapat dilihat sebagai
trakea, esofagus, duktus toraksikus, massa mediastinum.3,4
sisa-sisa timus, dan beberapa kelenjar
Gambar 1. Potongan melintang melalui batas
getah bening. atas vertebra thoraks dua
2. Mediastinum anterior, dari garis batas
mediastinum superior ke diafargma di
depan jantung, berisi sejumlah
jaringan areolar yang tipis, beberapa
pembuluh limfatik yang naik dari
permukaan hati, dua atau tiga kelenjar
getah bening dari mediastinum
anterior, dan cabang-cabang kecil dari
arteri mammaria interna.

________________________________________________________________________________
45
Volume II, Nomor 1, Tahun 2010
Jurnal Anestesiologi Indonesia

Gambar 2. Mediastinum medial dan posterior Tabel 1. Gambaran tumor mediastinum

Tumor
Mediastinum anterior
Tumor timus
Tumor tiroid dan paratiroid
Limfoma
Germ cell tumour
Mediastinum medial
Limfoma
Tumor mesenkim
Mediastinum posterior
Kanker sofagus
Tumor neurogenik
Kondisi Jinak
Kista yang berkembang
Kista pericardium
Kista esophagus
Limfadenopati granulomatosa
Tuberkulosis
Sarkoidosis
Vaskular
Aneurisma, aorta torakal, v. innominata
Gambar 3. Isi mediastinum medial dan posterior
Vasa berlebih, SVC kiri persisten,
anomali a. pulmonalis kiri

MEDIASTINOSKOPI
Mayoritas mediastinoskopi dilakukan
melalui pendekatan servikal, memasuki
mediastinum melalui sayatan 3 cm pada
insisura suprasternal. Sebuah diseksi
dibuat antara vena innominata kiri dan
sternum menciptakan sebuah terowongan
di lapisan fasia. Kemudian medias-
tinoskop tersebut dimasukkan lewat
anterior kelengkungan aorta. Pendekatan
anterior yang jarang dilakukan adalah
melalui kedua ruang interkostalis,
Gambar 4. Tindakan Mediastinoskopi perbatasan lateral dari sternum; teknik ini
sering digunakan untuk memeriksa
mediastinum yang lebih rendah.1,6

Kontraindikasi
Mediastinoskopi sebelumnya adalah
kontraindikasi yang relative kuat untuk
dilakukan prosedur ulang karena jaringan
parut menghilangkan letak dari diseksi.
Sindrom Vena kava superior (SVC)
meningkatkan risiko perdarahan dari
vena yang terdistensi merupakan

________________________________________________________________________________
46
Volume II, Nomor 1, Tahun 2010
Jurnal Anestesiologi Indonesia

kontraindikasi relatif. Kontraindikasi Pasien dengan massa mediastinum


relative lain yaitu; deviasi trakea parah, yang besar menyajikan sebuah
penyakit serebrovaskular, gangguan tantangan yang sulit bagi dokter
tulang belakang leher yang parah, anestesi karena kompresi pada
penyakit dengan ekstensi leher yang bagian-bagian vital penting yang
terbatas, radioterapi dada, dan adanya berdekatan. Tingkat keparahan gejala
aneurisma aorta torakalis. yang dihasilkan tergantung pada
ukuran dan lokasi dari massa, tingkat
Pemeriksaan pertumbuhan, dan invasi struktur vital
yang berdekatan. Namun, mayoritas
Selain hematologi rutin, biokimia, dan
pasien tidak bergejala dan ditemukan
EKG, pemeriksaan preoperatif harus
massa di dada pada pemeriksaan rutin
mencakup ronsen toraks, dan CT scan
X foto thorax.3, 4
bertujuan untuk mengevaluasi lokasi
tumor, hubungannya dengan struktur 3. Kompresitrakeobronkial
yang berdampingan, dan tingkat Kompresi trakeobronkial mengarah
kompresi trakea. Tes fungsi paru yang ke persisten infeksi saluran
berguna dalam mendeteksi keparahan pernapasan, wheezing pada satu sisi,
penyakit paru-paru dan efek massa atau stridor. Kejadian kesulitan
mediastinum. Arus kurva volume yang dengan ventilasi dan henti jantung
harus diperoleh dalam posisi tegak dan selama anestesi pada saat dilakukan
terlentang untuk mengevaluasi gangguan prosedur diagnostic atau terapeutik
fungsional dan memastikan adanya dengan kasus massa mediastinum
obstruksi. Kedua arus inspirasi dan dengan baik dijelaskan.3, 4 Namun,
ekspirasi biasanya berkurang bila mendefinisikan kejadian yang
terdapat massa intratoraks. Sebuah sebenarnya dari komplikasi ini adalah
proporsional penurunan aliran ekspirasi sulit. Beberapa pusat telah
maksimal meningkatkan kecurigaan dari melaporkan kejadian yang pada
munculnya trakheomalasia. pasien pediatrik 7-20% selama
anestesi dan 18% pada periode pasca
Pemeriksaan tambahan (misalnya
operasi. Insiden pada orang dewasa
ekokardiografi dan stress test) dapat
diyakini jauh lebih sedikit,
diindikasikan dengan adanya gejala
kemungkinan karena saluran udara
jantung.5 Namun pada pasien yang sesuai,
pada anak-anak yang sempit lebih
mediastinoskopi dapat dilakukan.
rentan terhadap obstruksi.
Manajemen Anestesi
Obstruksi trakeobronkial berpotensi dapat
Pertimbangan pra operasi memperburuk dengan induksi dari
anestesi umum dan ventilasi tekanan
1. Karsinoma bronkogenik positif intermiten (IPPV). Penurunan
Kebanyakan pasien dengan kanker fungsi dinding dada dan perpindahan
paru-paru adalah perokok sebagai cephalic diafragma menyebabkan
komorbiditas yang signifikan, hilangnya tekanan transmural distending
termasuk hipertensi, penyakit arteri gradien. Oleh karena itu, pemeliharaan
koroner, penyakit vaskular perifer, ventilasi spontan sangat penting untuk
dan penyakit paru.3, 4 menghindari pencetus obstruksi pada
pasien ini. Intubasi sadar atau induksi
2. Massa mediastinum inhalasi dengan pemeliharaan spontan
ventilasi dianjurkan tergantung pada

________________________________________________________________________________
47
Volume II, Nomor 1, Tahun 2010
Jurnal Anestesiologi Indonesia

derajat obstruksi dan gejala yang ocular yang terisolasi hingga keterlibatan
dihasilkan. Jika ada kesulitan dalam pernapasan otot. Pasien dengan miastenia
ventilasi karena obstruksi pada tingkat gravis sensitif terhadap pelumpuh otot
karina atau bronkus, sebuah bronkoskop nondepolarisasi dan memiliki respon
harus dimasukkan dan ventilasi variabel untuk agen depolarisasi.
dipelihara dengan menghubungkan Sindroma Eaton-Lambert (sindrom
injektor Sanders atau ventilator jet ke myasthenic) miopati proksimal
port sisi bronkoskop. Dengan adanya berhubungan dengan small cell
gejala obstruksi parah, stenting dapat carcinoma. Pengurangan asetilkolin yang
dilakukan sebelum mediastinoskopi.3,4 dilepaskan dari saraf motorik terminal
presinaptik pada pasien ini menyebabkan
Sindroma SVC peningkatan sensitivitas untuk semua
obat yang memblokir neuromuskuler.
Kompresi SVC dengan pembesaran
Berbeda dengan miastenia gravis, dimana
kelenjar getah bening atau massa
kelemahan otot meningkat dengan
mediastinum dapat mengakibatkan
kegiatan fisik yang berat dan tidak dapat
obstruksi aliran darah dari kepala, leher,
dibalik dengan terapi asetil kolinesterase
dan ekstremitas atas, sehingga
6 inhibitor.4, 6
mengakibatkan SVC syndrome.
Tabel 2. Manifestasi non metastatik tumor
Manifestasi klinis tergantung pada mediastinal
kecepatan pertumbuhan tumor dan
pengembangan sirkulasi kolateral. Endokrin
Gangguan drainase vena menyebabkan Hiperparatiroid
Sindroma Cushing
lidah edema, laring bengkak dan SIADH
membuat intubasi berpotensi sulit. Pasien Sindroma karsinoid
dengan pembengkakan orofacial yang Neuromuskular
luas, suara serak, dan distensi dari vena Miastenia gravis
azygous pada CT scan meningkatkan Sindroma Eaton-Lambert
Neuropati perifer
risiko perdarahan dari trauma saat Neuropati otonom
diintubasi. Kepala elevasi, steroid, dan Hematologi
diuretic dapat membantu dalam Anemia
menurunkan resiko sebelum operasi.6 Trombositopenia
Trombosis
Efek sistemik Lainnya
Sindroma nefrotik
Paru-paru atau tumor mediastinum Amiloidosis
menyebabkan gejala ekstra toraks dengan
penyebaran atau metastasis oleh sekresi
Pengelolaan Anestesi
hormon endokrin atau zat seperti,
misalnya ACTH, ADH, PTH.5 Tabel 2 Sebuah short-cting benzodiazepine dapat
memberikan daftar sindrom para- diberikan untuk menurunkan kecemasan,
neoplastik yang berkaitan dengan kanker namun, obat sedatif harus dihindari jika
paru-paru, yang memiliki implikasi terdapat obstruksi trakea.4
anestesi.
Kanula intravena yang besar harus
Tumor timus berhubungan dengan dimasukkan dan crossmatched darah
miastenia gravis yang menyebabkan harus tersedia karena potensi risiko
kelemahan dan kelelahan otot. perdarahan. Jika pasien asimtomatik,
Manifestasi klinis berkisar dari gejala preoksigenasi diikuti dengan induksi
________________________________________________________________________________
48
Volume II, Nomor 1, Tahun 2010
Jurnal Anestesiologi Indonesia

anestesi intravena dapat dilakukan. Anestesi lokal lewat infiltrasi luka, blok
Dengan adanya obstruksi pernapasan, saraf interkostal analgesia pasca operasi,
sebuah intubasi sadar di bawah anestesi Parasetamol reguler dan NSAID (jika
lokal adalah teknik pilihan. Hal ini tidak kontraindikasi) dapat diberikan
memungkinkananestesi dan tim bedah sebagai bagian dari multimodal analgesia.
melihat keseluruhan tingkat yang tepat Pasca operasi ronsen toraks harus diambil
dariobstruksi dan bila tabung endotrakeal pada semua pasien di ruang pemulihan
dilewatkan distalobstruksi. untuk menyingkirkan kemungkinan
pneumotoraks. Selanjutnya, pasien dapat
Dalam kasus obstruksi lebih distal dirawat di bangsal, dimana mereka harus
(tingkat carinal), bronkoskop harus diamati secara khusus untuk dispnea dan
tersedia untuk frekuensi rendah ventilasi. stridor, yang mungkin disebabkan oleh
Atau, induksi inhalasi dapat digunakan, cedera pada laring berulang saraf atau
diikuti olehintubasi trakea dengan hematoma paratrakeal.4,5,7
anestesi dalam. Pasien ditempatkan
dalam posisi 20 derajat head-up untuk Monitoring
mengurangikongesti vena, namun harus
diingat bahwa ini. Posisi ini Pemantauan tekanan darah invasive,
meningkatkan kemungkinan emboli arterial line lebih disukai untuk deteksi
udara. dini reflex aritmia dan bila adanya
kompresi pada vena besar selama
Sebuah agen anestesi intravena, anestesi tindakan mediastinoskopi, sebaiknya
inhalasi, atau keduanya, bersama dengan berlokasi di lengan kanan untuk deteksi
agen blok neuromuskular dan infus kompresi brakiosefalika, yang berakibat
kontinyu short-acting opioid akan pengurangan aliran darah ke arteri karotis
memungkinkan sebuah tingkat yang kanan dan dapat menyebabkan iskemia
memadai anestesi dan pemulihan pasca dengan adanya sirkulasi kolateral yang
operasi cepat. Ventilasi kedua paru-paru tidak memadai. Atau probe pulse
melalui tabung endotrakeal tunggal oxymeter harus ditempatkan pada tangan
lumen biasanya cukup. Sebuah tabung kanan. Pemantauan neuromuskular
lebih disukai untuk meminimalkan risiko adalah wajib pada pasien dengan
tabung terpuntir selama operasi. miastenia gravis dan sindroma Eaton-
Endoskopi fiberoptik harus disiapkan Lambert. Ventilator pengukur tekanan
sebelum ekstubasi untuk menyingkirkan juga harus diperhatikan untuk mencatat
tracheomalacia.5 setiap peningkatan tekanan saluran napas
akut, yang menunjukkan adanya
Idealnya, relaksan otot harus dihindari kompresi trakea atau bronkus oleh
pada pasien dengan sugestif sindrom mediastinoskop tersebut. Penggunaan
klinis miastenia gravis. Jika ventilasi pressure controlled membantu
menggunakan relaksan, dosis harus hati- dalam deteksi dini kenaikan tekanan
hati, dan dititrasi dengan respons yang saluran udara.5,7
diukur dengan pemantauan neuro-
muskular. Pasien diextubasihanya bila Komplikasi
setelah pemulihan refleks dan fungsi
neuromuskuler baik; dalam jangka Kerusakan pembuluh darah
pendekventilasi pasca operasi mungkin
Insiden perdarahan utama setelah
diperlukan.
mediastinoskopi (didefinisikan sebagai
perdarahan yang persisten yang
membutuhkan eksplorasi melalui
________________________________________________________________________________
49
Volume II, Nomor 1, Tahun 2010
Jurnal Anestesiologi Indonesia

sternotomi median atau torakotomi) akibat dari luka pada pembuluh getah
adalah 0,4%,8 tetapi meningkat pada bening, hal ini respon dengan kompresi
adanya kelainan pembuluh darah, dan packing.9
peradangan mediastinum, dan SVC
obstruksi. Pembuluh yang paling sering Kerusakan paru-paru
mengalami cedera adalah vena azigos,
Kejadian pneumotoraks setelah
vena innominata, dan arteri pulmonalis.
mediastinoskopi adalah 0,08-0,23%.
Kontrol awal perdarahan dicoba dengan
Tube torakostomi harus dilakukan pada
kompresi dan packing luka. Jika gagal
akhir operasi jika ada robekan pleura,
untuk mengontrol perdarahan atau
dengan trauma jaringan paru-paru.
adanya ketidakstabilan hemodinamik
Seorang pasien asimtomatik dengan
persisten meskipun sudah dilakukan
pneumotoraks kecil (20%) terdeteksi di
resusitasi volume maksimal, maka
pasca operasi hanya dapat diamati dengan
eksplorasi bedah diindikasikan. Vena
ronsen toraks.8
innominata dan cedera arteri pulmonalis
dapat diperbaiki melalui sternotomi garis Komplikasi-lain
tengah, sedangkan cedera vena azigos
memerlukan torakotomi posterolateral Komplikasi berhubungan dengan
kanan. Prinsip-prinsip dasar manajemen mediastinoskopi termasuk (1) refleks
adalah sama seperti yang dari setiap bradikardi yang dimediasi vagus karena
utama perdarahan, tetapi ada beberapa kompresi trakhea atau pembuluh darah
fitur unik untuk perdarahan mediastinum. besar, (2) perdarahan yang banyak, (3)
iskemi cerebral karena kompresi arteri
Akses vena besar harus segeradiamankan inominata (dideteksi dengan plethys-
di tungkai bawah, karena perdarahan bisa mograf atau pulse oksimetri di tangan
dari gangguan pembuluh vena mengalir kanan), (4) pneumothoraks (biasanya
ke SVC. Beberapa penulis merekomen- terjadi postoperatif), (5) emboli udara
dasikan akses vena pada tungkai rutin (karena elevasi kepala 30°, resiko
untuk semua pasien yang menjalani diperbesar selama ventilasi spontan), (6)
mediastinoskopi. Ini mungkin tidak kerusakan n. laryngeus reccuren, dan (7)
dibenarkan mempertimbangkan kelang- cedera n. phrenicus.8,9
kaan perdarahan pada mediastinoskopi.9
Kemungkinan komplikasi lainnya
Dalam kasus intubasi sulit atau termasuk stroke (brakio sefalika arteri
lifethreatening dan resusitasi perdarahan, kompresi), cedera trakeobronkial, dan
dimana dokter anestesi yang sibuk dalam frenikus dan berulang cedera saraf laring
resusitasi, intubasi pasien dengan lumen (Tabel 3).
tabung tunggal dapat dilakukan. Selain
itu, sebuah bronchial blocker dapat Tabel 3. Komplikasi mediastinoskopi
digunakan, namun penempatan yang Perdarahan mayor
akurat membutuhkan bronkoskop serat Stroke
optic dan lebih banyak waktu diperlukan Emboli udara
untuk menutup paru. Cedera dari Pneumotoraks
lengkung aorta dan supra-arteri aorta Aritmia reflex
Paralisis n. phrenicus
jarang terjadi. Ini menyebabkan leher Kelemahan n. laringeus rekuren
hematoma dan bila dilakukan Regangan pada esophagus
reintubation membuat trakea sulit untuk Laserasi trakheobronkhial
diintubasi, meskipun pada intubasi awal Cedera duktus toraksikus
mudah. Perdarahan ringan biasanya Perdarahan minor

________________________________________________________________________________
50
Volume II, Nomor 1, Tahun 2010
Jurnal Anestesiologi Indonesia

Mediastinoskopi semakin banyak Thoracic Surgery. Philadelphia: WB


digunakan di pusat-pusat kesehatan. Saunders, 1995; 491–512
3. Hammer GB. Anaesthetic management for
Mediastinoskopi merupakan minimal the child with mediastinal mass. Paed Anaes
invasive teknik untuk eksisi biopsi kanker 2004; 14: 95–97
paru. 4. Narang S, Harte B, Body S. Anaesthesia for
patients with a mediastinal mass. Anesthesiol
Mediastinoskopi menyediakan akses ke Clin North America 2001; 19: 559–83
limfonodi mediastinal dan digunakan 5. Bechard P, Letourneau L, Lacasse Y, et al.
Perioperative cardiorespiratory complications
untuk diagnosis atau resektabilitas
in adults with mediastinal mass.
keganasan intrathorakal. CT preoperative Anesthesiology 2004; 100: 826–34
penting untuk evaluasi dan bila ada 6. Jahangari M, Goldstraw P. The role of
kompresi trakhea. Mediastinoskopi mediastinoskopi in superior vena caval
menggunakan anestesi umum. Akses obstruction. Ann Thorac Surg 1995; 59: 453–
552
vena dengan kateter intravena diameter
7. Cybulsky IJ, Bennett WF. Mediastinoskopi
besar (14 hingga 16 gauge) diharuskan as a routine outpatient procedure. Ann
karena resiko perdarahan berlebihan dan Thorac Surg 1994; 58: 176–8
kesulitan pengendalian perdarahan. Dan 8. Park BJ, Flores R, Downey RJ, et al.
diharapkan dengan tinjauan diatas maka Management of major haemorrhage during
mediastinoskopi. J Thorac Cardiovasc Surg
dapat dipahami bagaimana pengelolaan
2003; 126: 726–31
anestesi pada pasien yang akan menjalani 9. Lohser J, Donington JS, Mitchell JD, et al.
operasi mediastinoskopi Anaesthetic management of major
haemorrhage during mediastinoskopi. J
DAFTAR PUSTAKA Cardiothorac Vasc Anesth 2005; 19: 678–83

1. Hammound ZT, Anderson RC, Meyers BF, et


al.The current role omediastinoskopi in the
evaluation of thoracic disease. J Thoracic
Cardiovasc Surg 1999; 118: 894–9
2. Benumof JL. Anaesthesia for special elective
diagnostic procedures. In: Anesthesia for

________________________________________________________________________________
51
Volume II, Nomor 1, Tahun 2010
Jurnal Anestesiologi Indonesia

TINJAUAN PUSTAKA
Pengelolaan Trauma Susunan Saraf Pusat

Igun Winarno*, Jati Listiyanto Pujo*, Mohamad Sofyan Harahap
*Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif FK Undip/ RSUP Dr. Kariadi, Semarang

ABSTRACT
CNS trauma is a major health problem as the cause of death and disability worldwide. The
severity of the injury is crucial primary outcome, whereas secondary injury caused by
physiological factors hypotension, hypoxemia, hiperkarbi, hyperglycemia, hypoglycemia,
and other develop further will cause further brain damage and aggravate CNS trauma.
Appropriate perioperative anesthetic management and began preoperative period,
especially when the patient is in the emergency, determine the outcome of the patient.

ABSTRAK
Trauma SSP merupakan masalah kesehatan yang utama sebagai penyebab kematian dan
kecacatan di seluruh dunia. Tingkat keparahan cedera primer sangat menentukan hasil,
sedangkan cedera sekunder yang disebabkan faktor fisiologi hipotensi, hipoksemia,
hiperkarbi, hiperglikemi, hipoglikemia, dan lainnya yang berkembang selanjutnya akan
menyebabkan kerusakan otak lanjutan dan memperburuk trauma SSP. Manajemen
anestesi perioperatif yang tepat dan dimulai sejak periode preoperatif, terutama saat
pasien berada di Unit Gawat Darurat, sangat menentukan keluaran dari pasien.

Pendahuluan beaya yang dibutuhkan berkisar 9-10


miliar dolar AS per tahun dan beaya
Trauma pada susunan saraf pusat tanggungan untuk kelangsungan hidup
merupakan problematika yang komplek, mencapai 1,85 juta dolar pertahun
bila tidak mendapat penanganan dengan perorang.1 Di Indonesia sendiri belum
baik akan mempengaruhi kualitas hidup ada data pasti, tetapi trauma pada susunan
seseorang, baik terhadap fungsi motorik, saraf pusat lebih dominan karena faktor
fungsi sosial maupun mental. Kejadian kecelakaan lalu lintas.
lanjutan juga dapat memberikan dampak
kerugian perekonomian yang yang lebih Cedera kepala merupakan epidemi yang
besar diakibatkan beaya yang dibutuhkan, tersembunyi, oleh karena sebagian besar
akibat pemutusan kerja, dan juga masyarakat belum begitu mengetahui
tanggungan untuk kelangsungan hidup tentang cedera kepala beserta akibatnya.
berikutnya. Lima belas persen dari pasien yang
dirawat dengan cedera kepala akan
Angka kejadian trauma pada susunan mengalami skuele (problem gangguan
saraf pusat dari tahun ke tahun semakin kronik) sepanjang hidupnya.2 Prinsip-
meningkat, di Amerika dikatakan prinsip pengeloaan trauma pada susunan
berkisar 1/1000 orang dengan kejadian saraf pusat sangat penting diketahui oleh
terbanyak pada usia 15-24 tahun dan masyarakat umum dan bagi tenaga
lebih dari 75 tahun. Angka ini tidak profesional juga diperlukan pemahaman
menunjukkan yang sebenarnya, hal ini mengenai neurofisiologi dan
dikarenakan hanya pada korban yang patofisiologi.1-2 Pada tulisan ini
ditangani di rumah sakit dan angka menjelaskan mengenai neurofisiologi dan
kematian 19,3/1000 orang. Sedangkan

________________________________________________________________________________
52
Volume II, Nomor 1, Tahun 2010
Jurnal Anestesiologi Indonesia

patologi, pengelolaan trauma susunan dan L3 pada anak, di tempat berakirnya


saraf pusat, dan komplikasi yang terjadi. medula spinalis melonjong dan agak
melebar yang disebut conus terminalis
Anatomi dan fisiologi atau conus medullaris. Terdapat 31
pasang syaraf spinal: 8 pasang syaraf
Sistem saraf secara anatomis dibagi
servikal, 12 pasang syaraf torakal, 5
dalam susunan saraf pusat, sistem saraf
pasang syaraf lumbal, 5 pasang syaraf
perifer dan sistem saraf autonom.
sakral dan 1 pasang syaraf koksigeal.
Susunan saraf pusat (SSP) dibagi lagi
Akar syaraf lumbal dan sakral terkumpul
menjadi otak, batang otak dan medula
yang disebut dengan Cauda Equina.
spinalis sedangkan cairan cerebrospinal,
Setiap pasangan syaraf keluar melalui
darah dan selaput otak sebagai
Intervertebral foramina. Syaraf Spinal
pelindung.3
dilindungi oleh tulang vertebra dan
Susunan saraf pusat (SSP) di dalam ruang ligamen dan juga oleh meningen spinal
kepala pada orang dewasa berisi sekitar dan CSF.3-4
8% adalah cairan serebrospinal, 12%
Trauma susunan saraf pusat
volume darah, dan 80% jaringan otak dan
medulla spinalis. Ruangan ini bersifat Trauma SSP merupakan masalah
konstan tetapi tidak selalu penuh tegang, kesehatan yang utama sebagai penyebab
maka setiap ada peningkatan volume kematian dan kecacatan di seluruh dunia.
pada salah satu komponen akan terjadi Tingkat keparahan cedera primer sangat
pendesakan pada komponen lain, menentukan hasil, sedangkan cedera
sehingga akan diimbangi dengan sekunder yang disebabkan faktor fisiologi
pengurangan volume pada komponen hipotensi, hipoksemia, hiperkarbi,
lainnya. Bila kompensasi ini telah hiperglikemi, hipoglikemia, dan lainnya
terlewati maka akan terjadi peningkatan yang berkembang selanjutnya akan
tekanan di dalam kepala. Konsep ini menyebabkan kerusakan otak lanjutan
dikenal dengan fisiologi otak dari hukum dan memperburuk trauma SSP.5,12
Monro-Kellie.2-3
Mekanisme trauma susunan saraf pusat
Trauma pada susunan saraf pusat juga bisa berupa tekanan positif, tekanan
akan menimbulkan gejala kelainan sesuai negatif, laserasi otak, perdarahan dan
dengan regio yang disarafi. Berikut tabel pergeseran otak akibat gerakan
mengenai regio, fungsi primer dan percepatan atau perlambatan yang
kelainan yang ditimbulkan. mendadak. Taruma SSP dapat
diklasifikasikan sebagai trauma primer
Batang otak terdiri dari otak tengah, pons
atau sekunder dan fokal atau difus.
dan medulla oblongata, bagian ini
Cedera primer sebagai dampak langsung
mempunyai peranan untuk mengontrol
bisa dari patah tulang, memar atau
pernafasan dan kardiovasculer serta
perdarahan. Cedera primer akan berlanjut
menjaga kesadaran, siklus tidur. Sistem
pada proses inflamasi edema dan
hantaran saraf baik ascending dan
pembentukan axcitotoxicity yang akan
descending akan melewati batang otak.3
mengakibatkan peningkatan tekanan intra
Medula spinalis berada dalam canalais kranial (TIK), dampak selanjutkan akan
medula spinalis didalam vertebra dan terjadi penurunan tekanan perfusi
merupakan bagian dari susunan syaraf cerebral/cerebral pressure perfusion
pusat, terbentang dari foramen magnum (CPP), keadaan ini juga akan semakin
sampai dengan L1 pada orang dewasa mempengaruhi tingkat berat ringannya

________________________________________________________________________________
53
Volume II, Nomor 1, Tahun 2010
Jurnal Anestesiologi Indonesia

Tabel 1: Regio susunan saraf pusat, fungsi primer dan kelainan yang ditimbulkan.3

Regio SSP Fungsi primer Kelinan yang ditimbulkan


Lobus frontal Motorik Hemiparesis kontralateral
Intelegency Gangguan intelgency
personality Gangguan penampilan
Fungsi aspektif dan bicara (area Gangguan bicara
broca)
Lobus parietal Fungsi sensoris primer Gangguan sensoris
kontralateral
Apraxia
Gangguan visual
Lobus temporal Pendengaran acalculia
Bahasa alexia
Persepsi agraphia
Acalculia gangguan visual
Temporoparietal pemahaman komunikasi (Wernike’s disfasia
area)
Lobus occipital Fungsi primer penglihatan gangguan penglihatan
Thalamus Area memory gangguan sinyal
gangguan ingatan
Sistem limbik Emosi ketidakstabilan emosi
Cerebellum Keseimbangan motorik gangguan keseimbangan

Tabel 2. Glasgow Coma Scale (GCS)6

Jenis Pemeriksaan Nilai


Respon buka mata (Eye Opening, E)
Respon spontan (tanpa stimulus/rangsang) 4
Respon terhadap suara (suruh buka mata) 3
Respon terhadap nyeri (dicubit) 2
Tida ada respon (meski dicubit) 1
Respon motorik terbaik (M)
Ikut perintah 6
Melokalisir nyeri 5
Fleksi normal 4
Fleksi abnormal 3
Ekstensi abnormal 2
Tidak ada (flasid) 1
Respon verbal (V)
Berorientasi baik 5
Berbicara mengacau (bingung) 4
Kata-kata tidak teratur 3
Suara tidak jelas 2
Tidak ada suara 1

cedera sekunder yang berkembang, mmHg] dan hipoksemia (Pao2 <60


misalnya : iskemia, hipoksia dan mmHg). Cedera otak fokus adalah cedera
konsekuensi dari peningkatan tekanan yang terbatas pada lokasi tertentu dan
intrakranial. Dua faktor utama yang termasuk memar dan hematome,
menyebabkan cedera sekunder hipotensi sedangkan cedera otak difus bila
[tekanan darah sistolik (SBP) <90 kerusakan menyebar diotak tanpa ada

________________________________________________________________________________
54
Volume II, Nomor 1, Tahun 2010
Jurnal Anestesiologi Indonesia

batas jelas, misalnya: diffuse axonal organ lain yaitu terjadinya peningkatan
injury (DAI) dan diffuse subarachnoid tekanan intrakranial.2,7
hemorrhagic. 1,3,5
Gangguan yang terjadi setelah pasien
Klasifikasi mengalami gangguan cedera kepala
ringan dapat berupa: nyeri kepala, vertigo
Jika dilihat dari ringan sampai berat, atau gangguan keseimbangan, mudah
maka dapat kita lihat sebagai berikut: lupa, lamban, fatigue (mudah lelah),
sensitive terhadap suara dan sinar. Cedera
Cedera kepala ringan ( CKR ) : GCS
kepala sedang sampai berat
antara 13-15
prosentasenya 15% dari seluruh cedera
Dapat terjadi kehilangan kesadaran kepala dan biasanya memerlukan
kurang dari 30 menit, tetapi ada yang perawatan di rumah sakit. Seringkali
menyebut kurang dari 2 jam, jika ada pasien mengalami penurunan kesadaran
penyerta seperti fraktur tengkorak , yang signifikan, dalam beberapa hari
kontusio atau temotom (sekitar 55% ). sampai beberapa minggu, selanjutnya
mengalami gangguan berfikir, gangguan
Cedera kepala kepala sedang ( CKS ) : fisik, dan emosi yang berkepanjangan.
GCS antara 9-12 Setelah mengalami cedera kepala, pasien
beresiko terjadi cedera kepala berulang 2-
Hilang kesadaran atau amnesia antara 30 3 kali lipat. Hal ini disebabkan karena
menit sampai 24 jam, dapat mengalami perhatian pasien berkurang, reaksi lebih
fraktur tengkorak, disorientasi ringan ( lambat (lebih impulsive), dan sulit
bingung ). mengambil keputusan yang cepat dan
Cedera kepala berat ( CKB ) : GCS 3-8 tepat. Cedera kepala berulang ini
mengakibatkan kerusakan otak yang
Hilang kesadaran lebih dari 24 jam, juga lebih besar.2
meliputi contusio cerebral, laserasi atau
adanya hematoma atau edema. Cedera Trauma susunan saraf pusat sering
kepala terbuka kulit mengalami laserasi dihubungkan dengan kejadian edema
sampai pada merusak tulang tengkorak. paru, secara patofisiologi masih
Sedangkan cedera kepala tertutup dapat diperdebatkan, tetapi secara umum
disamakan gegar otak ringan dengan kejadian edema paru bisa disebabkan
disertai edema cerebri. karena menurunnya osmolaritas,
peningkatan permeabilitas membran
Gejala dan tanda pembuluh darah, atau tekanan onkotik
dan meningkatnya tekanan hydrostatik
Cedera kepala akan memberikan sehingga terjadi aliran cairan keluar dari
gangguan yang sifatnya lebih kompleks pembuluh darah. Pada trauma kepala
bila dibandingkan dengan trauma pada disebutkan bahwa kerusakan pada
organ tubuh lainnya. Hal ini disebabkan hipothalamus, medula oblongata atau
karena struktur anatomik dan fisiologik pada susunan syaraf pusat akan
dari isi ruang tengkorak yang majemuk, meningkatkan aktifitas sympatis dan
dengan konsistensi cair, lunak dan padat pelepasan katekolamin, hal ini berakibat
yaitu cairan otak, selaput otak, jaringan terjadinya peningkatan afterload atau
saraf, pembuluh darah dan tulang. sytemic vascular resistence sehingga
Struktur anatomi kepala yang merupakan beban ventrikel kiri meningkat dan
ruang tertutup menyebabkan tekanan hydrostatik di paru juga
permasalahan yang tidak dijumpai pada meningkat. Peningkatan ini

________________________________________________________________________________
55
Volume II, Nomor 1, Tahun 2010
Jurnal Anestesiologi Indonesia

mengakibatkan overload volume cairan pada gambaran radiologis dan temuan


di paru yang mengakibatkan kerusakan klinis yang ada. Pasien dalam keadaan
endotelial paru dan peningkatan kritis harus dimonitoring secara dekat
permeabilitas pembuluh darah paru selama dilakukan pemeriksaan CT atau
sehingga cairan akan menuju ke angiografi. Pasien yang kurang kooperatif
interstitial dan alveolar paru. 18 bisa diberikan anestesi umum. Sedasi
tanpa kontrol jalan nafas harus dihindari
Pilihan antara tindakan operatif dan karena bisa beresiko meningkatkan TIK
medis pada trauma kepala didasarkan

Gambar 1 : Mekanisme cedera kepala16

Kerusakan langsung
Trauma Mediator
sel dan pem.darah
Primer inflamasi

iskemia Perdarahan dan Peningkatan Oedem


hematom CBF

Kerusakan langsung sel


dan pem.darah

Kematian sel

Gambar 2: Proses pada trauma brain injury16

________________________________________________________________________________
56
Volume II, Nomor 1, Tahun 2010
Jurnal Anestesiologi Indonesia

akibat hipoksemi dan hiperkapni. Bila Resusitasi Trauma Kepala


terjadi defisit neurologis saat studi
dilakukan, bisa dipertimbangkan Pertimbangan pertama dalam evaluasi
pemberian mannitol. CT rutin mungkin dan pengelolaan pasien trauma brain
tidak diperlukan pada pasien dengan injury (TBI) adalah menentukan
trauma kepala ringan yang memenuhi kebutuhan untuk membentuk suatu
kriteria berikut: tidak ada sakit kepala definitif jalan napas. Sambil memberikan
atau muntah, berusia dibawah 60 tahun, pengelolaan saluran napas, sejumlah
tidak mabuk, tidak ada defisit dalam kendala yang bertentangan pasti muncul.
memori jangka pendek, tidak ada bukti Awal masalah pada pasien cedera kepala
fisik trauma atas klavikula, dan tidak ada meliputi: kenaikan tekanan intrakranial,
kejang.9,12 isi perut penuh, trauma vertebrae cervic,
problem jalan nafas, trauma trakhea, dan
Pengelolaan Cedera Kepala fraktur tengkorak mungkin fraktur basis,
status hemodinamik, pasien tidak
Pengelolaan cedera kepala kooperatif / agresif, dan hipoksemia.
merupakan bagian integral dari resusitasi Ada suatu patokan resusitasi awal otak
dan pengobatan pasien trauma, ahli yaitu pendekatan airway, breathing dan
anestesi memainkan peranan penting circulasi kemudian tekanan intra kranial.
dalam upaya resusitasi otak selama Data klinis menunjukkan bahwa cedera
periode perioperatif dengan otak sangat rentan terhadap keadaan
merencanakan pengelolaan jalan nafas, hipoksia dan adanya korelasi yang kuat
kontrol cairan, kontrol tekanan darah, antara defisit neurologis awal dengan
kontrol ventilasi dan menentukan pilihan hipotensi dan hipoksia. Bila
anestesi serta memonitoring pasien memungkinakan penderita dapat
berkelanjutan.2,7 diberikan jalan nafas definitif dengan
pemasangan endotracheal tube dengan
Perawatan pra rumah sakit
tujuan mengamankan jalan nafas,
Tujuan dari setiap sistem perawatan pra- menjamin pertukaran gas, menstabilkan
rumah sakit adalah untuk memberikan sirkulasi dan mengelola tekanan
perawatan yang optimal sampai intrakranial dengan semestinya.7
pengelolaan pasien ditransfer ke rumah
Kita perlu segera melakukan intubasi bila
sakit. Langkah yang perlu dilakukan
: GCS kurang dari 8, pasien butuh
adalah stabilisasi, meliputi stabilisasi
ventilasi mekanik / kontrol pernafasan,
jalan nafas, trauma atau luka, dekompresi
pasien dengan tiba-tiba memburuk akibat
tekanan dinding dada, membuat akses
TBI, kerusakan ini perlu pengamatan
intravena sebagai persiapan resusitasi
selama 72 jam setelah cedera awal, tetapi
cairan dan kegunaan di rumah sakit serta
biasanya cukup dalam 24 jam pertama.7
untuk akses minimal obat-obatan
Adanya ketidakpastian integritas tulang
emergency. Angka kematian berkisar 25
vertebra cervicalis, memerlukan
% segera pada cedera primer dimana
penundaan pada tindakan yang
sebagiaan besar akibat cedera susunan
memerlukan ekstensi sendi
saraf pusat. Sistem komunikasi dengan
atlantooccipial, kecuali bersifat urgenci
rumah sakit juga sangat menentukan
untuk mengkontrol jalan nafas, keadaan
untuk pengelolaan selanjutnya.8
ini direkomendasikan untuk dilakukan
stabilisasi leher dahulu. Sekitar 2 %

________________________________________________________________________________
57
Volume II, Nomor 1, Tahun 2010
Jurnal Anestesiologi Indonesia

pasien dengan TBI yang bertahan hidup dekompresi atau evakuasi masa,
sampai rumah sakit menurut data pengurangan volume darah ke cerebral
memiliki patah tulang cervik. Pada (elevasi kepala, hiperventilasi, menaikkan
pemasangan intubasi pasien TBI tidak tekanan darah, menghilangkan sumbatan
dianjurkan melalui nasopharing karena vena), pemberian obat hyperosmotic,
ditakutkan masuk ke dasar tengkorak, diuretic, kortikosteroid, dan anestesi
intubasi ini bisa dilakukan dengan vasokontriksi pembuluh darah cerebral
menggunakan fiber optik.7,9 Fraktur (mis. barbiturate, propofol),8-9,12
dasar tengkorak ditandai dengan adanya
cairan cerebro spinal (CSS), rinorhea atau Manitol
otorhea, hemotimpanum, atau ekimosis di
Manitol adalah obat yang paling umum
dalam jaringan periorbital atau di
digunakan pada pasien dengan cedera
belakang telinga.9
kepala, obat ini diklasifikasikan sebagai
Pengelolaan tekanan intrakranial diuretik osmotik untuk mengurangi
tekanan intra kranial. Kemampuan ini
Pengukuran tekanan intrakranial biasanya didasari oleh sifat hiperosmotik manitol,
berpatokan kepada status neurologis dimana akan menarik cairan dari sel-sel
pasien baik yang akan menjalani operasi otak menuju intravaskuler dan
maupun tidak, tetapi pada umumnya dikeluarkan melalui ginjal.9-11 Mannitol,
pasien dengan GCS < 9 memerlukan dengan dosis 0,25-0,5 g/kg, secara
pemantauan tekanan intrakranial. Untuk khusus efektif dalam menurunkan TIK,
pasien yang memerlukan operasi cito hati-hati dengan penambahan volume
yang bertujuan untuk dekompresi dan intravaskuler karena dapat menyebabkan
evakuasi masa, tingkat keparahan pada edema paru.9 Manitol telah terbukti
CT Scan dan temuan operatif juga meningkatkan tekanan perfusi serebral
memerlukan pemantauan tekanan intra (CPP) dan mikrosirkulasi perfusi.
kranial.8 Dalam sebuah studi oleh Kirkpatrick et
al, manitol ditemukan untuk
Hipertensi intrakranial adalah besarnya meningkatkan CPP sebesar 18% dan
TIK >15 mmHg.2 Sedangkan literatur penurunan TIK sebesar 21% tanpa
lain hipertensi intrakranial didefinisikan mempengaruhi tekanan darah arteri.
sebagai peningkatan TIK > 20 mmHg Dikatakan manitol digunakan oleh 83%
dan menetap lebih dari 20 menit. pusat kesehatan dan lebih dari 50%
Peningkatan progresif dari batas ini atau digunakan untuk cidera kepala berat.10
TIK yang terus menerus >20 mmHg, Kombinasi penggunaan manitol dan
disarankan untuk melakukan pemeriksaan furosemid bisa bersinergi namun
dan penanganan. Peningkatan progresif membutuhkan monitoring dari
dari TIK dapat mengindikasikan konsentrasi serum Kalium. 9
memburuknya hemoragik/hematoma,
edema, hidrosefalus, atau kombinasinya Pengelolaan tekanan darah
dan merupakan indikasi diakukannya
pemeriksaan CT-scan. Peningkatan terus Hipotensi pada trauma kepala sering
menerus TIK akan memperparah resiko berhubungan dengan trauma lainnya
terjadinya cedera sekunder (komplikasi) (biasanya intraabdominal). Perdarahan
berupa iskemik dan/atau herniasi.9 dari laserasi kulit kepala bisa berkaitan
pada anak-anak. Hipotensi dapat timbul
Pengelolaan tekanan intrakranial dapat bersama dengan trauma tulang belakang
dilakukan dengan craniotomi untuk

________________________________________________________________________________
58
Volume II, Nomor 1, Tahun 2010
Jurnal Anestesiologi Indonesia

karena simpatektomi berkaitan dengan akan implikasi fisiologis natrium yang


syok spinal.9 tinggi maka ada pembatasan
kegunaannya.7
Konsep bahwa trauma pada susunan saraf
pusat sangat rentan terhadap efek buruk Kontrol gula darah
dari hipotensi dan hipoksia telah
dipahami benar oleh para ahli. Dari Kadar gula darah yang tinggi
penelitian Chesnul et al dikatakan bahwa berhubungan dengan iskemia cerebri,
pada saat kedatangan pasien dengan GCS sedangkan iskemia cerebri hampir pasti
8 dan dalam kondisi hipotensi (sistole < terjadi pada TBI sehingga pemberian
90 mmHg) dan kombinasi hipoksemia glukosa eksternal tanpa indikasi khusus
(PaO2 < 60 mmHg) telah memberikan (hipoglikemi) merupakan sebuah kontra
efek negatif pada status neurologis.2,10 indikasi pada trauma SSP. Ada bukti
pada perawatan jangka panjang bahwa
Dikatakan pula bahwa CPP < 70 mmHg kontrol gula darah pada kisaran 80-120
pada pemeriksaan saturasi vena jugularis gr/dl akan mengurangi tingkat morbiditas
(SvjO2) dan transkranial Doppler telah dan mortalitas.7
menunjukkan penurunan perfusi
cerebral, demikian juga dikatakan oleh Kadar CO2
Robertson et al bahwa pada MAP < 50
Prinsip utama pengelolaan CO2 adalah
telah terjadi penurunan aliran darah ke
hiperventilasi dan hipokapnia dapat
otak dan CPP < 70 terjadi demikian juga.
menurunkan tekanan intrakranial dan
Prinsip pengelolaan tekanan darah pada
dapat untuk memfasilitasi bedah saraf,
trauma SSP adalah cedera otak sangat
hiperventilasi dan vasokontriksi cerebral
rentan dengan hipotensi, perfusi cerebral
dapat menyebabkan iskemia cerebral
yang dapat ditolerir adalah tidak kurang
terutama pada aliran darah ke otak yang
dari 70 mmHg.7
rendah, pada pasca opreasi hiperventilasi
Pengelolaan cairan profilaksis berkaitan dengan hasil yang
buruk sehingga dilarang digunakan tanpa
Perdebatan mengenai cairan kristaloid indikasi khusus.
atau koloid masih belum terselesaikan,
tetapi fakta berikut dapat digunakan Hipotermia
bahwa pemberian yang menyebabkan
Efektifitas keadaan hipotermia dalam
cairan keluar dari intravaskuler dapat
menguraikan kerusakan otak setelah
menyebabkan gangguan osmolaritas dan
terjadi trauma pada susunan saraf pusat
edeme otak pada orang normal dan
masih dalam penelitian lanjutan, tetapi
cedera kepala. Sehingga prinsip yang
dikatakan kondisi optimal pada kisaran
digunakan dalam pengelolaan cairan pada
32-34oC, dalam literatur dikatakan
trauma SSP adalah hindari cairan yang
bahwa beberapa multicenter melaporkan
dapat mengurangi osmolaritas dan
pada pasien yang datang dalam kondisi
keluarnya cairan dari intravaskuler,
hipotermi < 35oC lebih menguntungkan
pengurangan tekanan onkotik koloid
dari pada dalam kondisi normotermi.7
tidak menyebakan edema cerebri,
pendekatan yang memungkinkan dengan Patofisiologi pada trauma kepala
menggunakan campuran koloid dan
kristaloid, dan larutan hipertonik telah Pengelolaan anestesi pada trauma kepala
memberikan keuntungan atas solusi memerlukan pemahaman tentang
19
isotonis tetapi karena adanya kekawatiran patofiologinya :

________________________________________________________________________________
59
Volume II, Nomor 1, Tahun 2010
Jurnal Anestesiologi Indonesia

Tabel 3. Cek list untuk pemantauan tekanan intrakranial7

Item Komentar
Apakah tekanan yang relevant Tekanan vena jugularis
untuk dikendalikan ? Menghilangkan fleksi kepala atau rotasi leher ekstrim,
menghilangkan kompresi atau obstruksi dalam bentuk
apapun (kateter leher yang besar, prengkat fiksasi leher).
Tahanan jalan nafas : menghilangkan obstruksi, PEEP tinggi,
kurangi bronkospasme, terapi pneumothoraks
Pastikan PaO2 (60-300 mmHg)
Pastikan PaCO2 (35-40 mmHg)
Peningkatan TIK dapat menurunakan PaCO2 < 35 mmHg)
Apakah CMRO2 terkendali ? Meminimalkan rasa sakit, ketakutan, dan kecemasan
Mengobati kejang, meminimalkansuhu (menjaga 35-
36.58C)
Apakah ada obat vasodilator Meminimalkan atau menghilangkan anestesi volatile, N2O,
yang digunakan ? nitropruside, nitrogliserin. Ca chanel bloker
Apakah ada lesi massa tidak Darah, edema, N2O
diketahuai ? Jika TIK↑, pertahankan PaCO2<35 sampai lesi didekompresi

Tabel 4. Faktor yang berpengaruh terhadap cerebral blood flow (CBF) 7

Faktor Efek terhadap CBF Komentar


MAP ↑ MAP  CBF ↑ MAP antara 70-150
CBF akan terjadi autiregulasi 50 ml/100 gms/min
MAP<50  CBF ↓, MAP>150 akan meningkat seiring
MAP
PaCO2 PaCO2 ↑  CBF ↑ PaCO2 < 25 berkaitan dengan sikemia cerebral
PaCO2 25-60 berkorelasi dengan CBF
PaO2 PaO2 ↓  CBF ↑ PaCO2 < 60 mempunyai hubungan terbalik dengan
CBF
PaO2 60-300 tidak akan merubah CBF, bila >300 bisa
jadi ↑ CBF
CMRO2 CMRO2 ↑  CBF ↑ Demam, gelisah, nyeri, kejang akan menaikkan
CMRO2 dan CBF
Obat Obat vasodilator Obat anestesi inhalasi semua menyebabkan
Vasoaktif (nitropruside, vasodilatasi, sehingga CBF ↑ (berkaitan dosis)
nitrogliserin) Semua obat intravena anestesi(kecuali ketamin)
menyebabkan CBF ↑ menyebabkan vasokonstriktor cerebral, ketamin sgb
vasodilator cerebral
CPP = MAP-TIK1,3,7,9

Tabel 5 . Kriteria Intubasi11

GCS < 8
Pernafasan irreguler
Frekuensi nafas < 10 atau > 40 kali permenit
Volume tidal < 3,5 ml/kgBB
Vital capacity < 15 ml/kgBB
PaO2 < 70 mmHg
PaCO2 > 50 mmHg

________________________________________________________________________________
60
Volume II, Nomor 1, Tahun 2010
Jurnal Anestesiologi Indonesia

Efek sistemik trauma kepala Excitotoxicity


Sistem kardiovaskuler biasanye Pelepasan glutamat yang berlebihan bisa
memberikan efek awal ditandai dengan terjadi pada trauma kepala sehingga
sympatomimetik yang meningkat : terjadi penumpukan konsentrasi pada
hipertensi, takikardi, dan peningkatan LCS, keadaan ini berakibat terjadinya
cardiac output. Faktor kehilangan darah peningkatan kadar ion kalsium
berperan dalam kejadian hipotensi, intraseluler dan memicu kerusakan dan
penurunan cardiac output dan penurunan kematian sel saraf.
CPP.
Proses inflamasi
Sistem pernafasan sering memberikan
gambaran gangguan jalan nafas, Peningkatan sitokin sebagai respon dari
hiperventilasi dan apneu serta kejadian iskemia cerebri, interleukin 6 (IL-6) dan
edema paru neurogenik. Kejadian akibat tumor necrosis alpha akan lebih
lambung penuh dan terjadinya aspirasi meningkat seiring penurunan GCS pada
pneumonia juga perlu diwaspadai. trauma kepala. Keadaan ini akan
merespon radikal bebas dan asam
Pengaturan suhu juga terganggu, kejadian arachidonat yang mengaktivasi adhesi
hipertermi dapat mengakibatkan sehingga menyebabkan gangguan dalam
peningkatan metabolisme dan semakin mikrosirkulasi dan memperberat efek
meningkatkan kerusakan sistem saraf cedera sekunder otak.
pusat.
Pengelolaan preoperatif
Perubahan sirkulasi cerebri dan
metabolisme Pemberian anestesi pada pasien dengan
trauma kepala idealnya dimulai sejak di
Kejadian trauma kepala mengakibatkan UGD. Pastikan jalan nafas pasien baik,
penurunan aliran darah ke kepala dan ventilasi dan oksigenasi adekuat, dan
menurunkan kadar oksigen untuk koreksi hipotensi sistemik dilakukan
kebutuhan metabolisme di cerebri. Pada secara simultan bersamaan evaluasi
kejadian trauma yang diffus bisa sampai neurologis. Obsruksi jalan nafas dan
menggangu sistem autoregulasi sehingga hipoventilasi sering terjadi, sekitar 70%
akan semakain memperberat iskemia dari pasien tersebut dalam keadaan
cerebri. hipoksemi, yang bisa diperburuk dengan
adanya kontusio pulmo, emboli lemak,
Peningkatan tekanan intra kranial atau edema pulmo neurogenik.
Pemberian oksigen harus diberikan pada
Peningkatan tekanan intra kranial bisa
seluruh pasien dan dilakukan evaluasi
dipicu oleh pembengkakan otak oleh
terhadap jalan nafas serta ventilasinya.
karena penurunan tonus vasomotor dan
Seluruh pasien harus dipikirkan memiliki
peningkatan volume. Keadaan ini akan
trauma leher (sekitar 10% insiden) hingga
menyebabkan peningkatan tekanan intra
dinyatakan secara radiologis. Stabilisasi
kranial, bila tidak segera dikoreksi bisa
in-line digunakan selama melakukan
berlanjut menjadi hipertensi intrakranial
tindakan terhadap jalan nafas untuk
dan herniasi batang otak melalui foramen
menjaga kepala dalam posisi normal.
magnum.
Pasien dengan hipoventilasi yang jelas,
tidak adanya reflek muntah, atau GCS <8
yang persisten membutuhkan intubasi
trakea dan hiperventilasi. Seluruh pasien
________________________________________________________________________________
61
Volume II, Nomor 1, Tahun 2010
Jurnal Anestesiologi Indonesia

harus diawasi terhadap adanya menurunkan LCS, tingkat konsumsi


perburukan.7,9,11,12 oksigen cerebral dan tekanan intrakranial
Manajemen perioperatif pada pasien Ketamin memiliki efek saraf antagonis
dengan trauma kepala akut, harus NMDA (N metil D aspartat), namun
mempertimbangkan resiko cedera dalam pengaturan cedera kepala akan
sekunder akibat iskemia serebral serta meningkatkan TIK, ketamin merupakan
cedera yang mempengaruhi sistem organ kontra indikasi untuk induksi, ketamin
selain otak. CBF biasanya berkurang di akan meningkatkan MAP pada orang
awal dan kemudian secara bertahap normal tetapi akan menurunkan MAP
meningkat seiring dengan waktu. Faktor- pada pasien syok hipovolemik karena
faktor yang berkontribusi perburukan terjadinya depresi myokard dan tidak
pada pasien yang mengalami cedera adanya efek simpatomimetiknya pada
kepala, peningkatan intra cranial pressure kondisis ini.
(ICP/TIK) dan MAP kurang dari 70 mm
Hg. Autoregulasi normal dari CBF sering Dosis rendah obat anestesi lokal akan
terganggu pada pasien dengan cedera menurunkan TIK, alirandarah serebral
kepala akut, tetapi reaktivitas karbon laju konsumsi oksigen cerebral
dioksida biasanya tidak terpengaruh. (CMRO2), sedangkan dosis induksi dapat
Pengendalian peningkatan ICP dengan menyebabkan kejang dan meningkatkan
manitol atau furosemide juga CMRO2.
menunjukkan perbaikan pada beberapa
Pasien dengan cedera otak mungkin
pasien yang dilakukan craniectomy.9,12
memerlukan anestesi untuk intervensi
Hiperventilasi, meskipun efektif dalam
bedah saraf seperti evakuasi hematoma,
mengendalikan ICP, juga dapat
craniectomy pada edema serebral, atau
berkontribusi dalam iskemia serebral
stabilisasi tulang belakang. Pengelolaan
pada pasien yang mengalami cedera
anestesi meliputi upaya untuk
kepala, hal ini menjadi rekomendasi
mengoptimalkan CPP, meminimalkan
umum untuk menghindari hiperventilasi
terjadinya iskemia serebral, dan
kecuali jika diperlukan. Obat-obat sedasi
menghindari obat-obatan dan teknik yang
mungkin bermanfaat pada beberapa
dapat meningkatkan ICP serta
pasien sebagai alat untuk mengontrol
memberikan kondisi yang memadai bagi
hipertensi intrakranial ketika cara lain
ahli bedah saraf. CPP, jika
yang lebih konservatif telah gagal. Pada
memungkinkan, dipertahankan di atas 70
orang dewasa, hipotermia ringan pada
mm Hg, dan hiperventilasi tidak
pasien dengan cedera kepala akut belum
digunakan kecuali jika diperlukan
terbukti memperbaiki hasil. Administrasi
sebagai ukuran untuk mengontrol
salin hipertonik dan manitol dapat
kenaikan TIK. Selama evakuasi bedah
mengurangi volume otak. Edema paru
akut hematoma epidural atau subdural,
neurogenik mungkin juga berkontribusi
tekanan darah sistemik menurun drastis
pada disfungsi paru akut. 7,9,12, 18
pada saat bedah dekompresi dan
Pada dosis tinggi semua obat akan memerlukan resusitasi agresif. Pasien
menurunkan produksi liquor cerebro dengan cedera kepala parah dapat
spinal (LCS), kecuali ketamin yang mengalami gangguan oksigenasi dan
meningkatkan LCS ventilasi yang merumitkan periode
intraoperatif. Resusitasi cairan yang
Jika ventilasi terkontrol, fentanyl memadai dan penggantiannya adalah hal
mempertahankan atau sedikit yang penting. Solusi kristaloid

________________________________________________________________________________
62
Volume II, Nomor 1, Tahun 2010
Jurnal Anestesiologi Indonesia

hipertonik, meningkatkan tekanan plasma 1,5 mg/kg. Pada pasien dengan


osmotik dan dengan demikian hemodinamik tidak stabil dosis obat
mengurangi cairan dari ruangan yang diturunkan atau bahkan tidak dipakai.
bersinggungan dengan otak. Penggunaan Succinylcholine telah terbukti
cairan kristaloid hipotonik dihindari, meningkatkan TIK, oleh kerena itu bila
karena dapat menurunkan tekanan plasma tidak memungkinkan bisa diganti dengan
osmotik dan meningkatkan edema rocuronium 0,6-1 mg/kg.19
serebral bahkan di otak normal. Cairan
yang mengandung glukosa harus Induksi intravena
dihindari kecuali dinyatakan secara
Pasien dengan hemodinamik stabil dan
khusus (misalnya, perlakuan terhadap
kondisi lambung tidak penuh, teknik ini
diagnosis-laboratorium pada
merupakan pilihan. Thiopental atau
hipoglikemia), dari kepedulian untuk
propofol dapat diberikan secara titrasi
memperburuk cedera neuronal dalam
untuk meminimalkan depresi
penetapan hyperglikemia.
kardiovaskuler, relkasan non depolarisasi
Pemantauan hemodinamik pasien sangat dapat diberikan tanpa priming, fentanyl
diperlukan sehingga pemasangan 1-4 mcg.kg iv dapat diberikan untuk
monitoring dengan kateter arteri baik di merespon pengaruh hemodinamik saat
a. radialis atau a. dorsalis pedis sangat intubasi, lidokain 1,5 mg/kg iv bisa
diperlukan. Berbagai macam teknik diberikan 90 detik sebelum intubasi, hal
anestesi dianjurkan, tetapi hal ini ini dapat mencegah peningkatan TIK.
disesuaikan dengan kondisi dan status
Nasogastric tube (NGT)
hemodinamik pasien.19
Pemasangan NGT dipertimbangkan
Induksi Anestesi setelah intubasi dan bila dikuatirkan
Pasien dalam keadaan hemodinamis adanya fraktur dasar tengkorak sebaiknya
stabil, induksi anestesi dengan induksi pemasangan melalui mulut, pemsangan
obat-obatan intravena dan relaksan otot ini untuk dekompresi isi lambung.
non-depolarisasi dapat diterima.
Pemeliharaan Anestesi
Penggunaan fiberoptic intubasi atau
trakeostomi harus dipertimbangkan pada Pemeliharaan anestesi yang ideal adalah
pasien, ketika dipertimbangkan terdapat dapat menurunkan TIK, dapat menjaga
kesulitan intubasi laryngoscopy secara pasokan oksigen dan mempunyai efek
langsung, atau dapat memperburuk defisit brain protector. Pemeliharaan anestesi
neurologis lebih lanjut (misalnya, patah bisa dengan obat intra vena atau volatile
tulang belakang leher), atau sudah ada dosis rendah, dengan mengingat bahwa
bukti fraktur dasar tengkorak. tujuannya adalah untuk mengoptimalkan
CPP dan mencegah peningkatan TIK
Rapid sequence induction (RSI) (lihat tabel 7).
RSI memungkinkan digunakan pada
Nitrous oksida harus dihindari karena
pasien dengan hemodinamik yang stabil
resiko dan kemungkinan penambahan
dan ada resiko kemungkinan aspirasi
cedera pneumocephalus non-neurologis
akibat lambung penuh. Resiko teknik ini
atau pneumotoraks. Sevofluran dosis
terjadinya kenaikan tekanan darah dan
rendah dapat meminimalisir kerusakan
TIK. Obat yang bisa digunakan dengan
auto-regulasi, meskipun isoflurane dosis
oksigen 100 %, thiopental 3-4 mg/kg atau
rendah juga merupakan pilihan yang
propofol 1-2 mg/kg dan succinylcholine
________________________________________________________________________________
63
Volume II, Nomor 1, Tahun 2010
Jurnal Anestesiologi Indonesia

baik. Jika edema otak akut berkembang, Ventilasi mekanik


segera perbaiki beberapa hal seperti
hiperkapnia, hypoxemia, hipertensi Tujuan ventilasi mekanis adalah untuk
sistemik, dan obstruksi vena harus menjaga oksigenasi dan mempertahankan
dipertimbangkan dan diperbaiki jika ada. PaCO2 sekitar 35, penyesuaian FiO2
Pemantauan tekanan darah pada sistemik dengan target PaO2 lebih dari 100
dengan arteri line dapat membantu, mmHg. Pada perlakuan khusus dengan
sedangkan pemasangan CVP juga dapat edema pulmonum dapat diberikan dengan
dipertimbangkan PEEP yang memadai. PEEP yang
berlebihan dapat menyebabkan
Muscle relaxan peningkatan tekanan intrathorakal
sehingga mengganggu sistem vena
Relaksasi otot yang cukup dapat cerebral dan kemingkinan peningkatan
memfasilitasi ventilasi mekanis, TIK semakin besar.
menghilangkan reflek batuk dan dapat
menurunkan TIK. Sistem sirkulasi
Vecuronium CPP harus dipertahankan antara 60 – 110
mmHg. Pemantauan langsung
Efek minimal bahkan tidak berpengaruh hemodinamik dapat melalui kateter arteri.
terhadap TIK, tekanan darah, heart rate Bila kondisi ventilasi dan oksigenasi
dan efektif pada cedera kepala. Dosis baik, kecukupan cairan pasien dalam
awal 0,08-0,1 mg/kg diikuti dengan infus kondisi hipotensi, pertimbangan
syringe pump 1-1,7 mcg/kg/menit. pemberian inotropik atau vasopressor
dapat dibenarkan. Fenilephrin 0.1-0.5
Pankuronium
mcg/kg/mnt dan dopamin 1-10
Obat ini tidak menghasilkan peningkatan mcg/kg/mnt adalah obat yang dianjurkan.
ICP tetapi dapat menyebabkan hipertensi Pemberian bolus dan peningkatan
dan takikardi karena efek vagolytic, tekanan darah secara tiba-tiba tidak
sehingga meningkatkan risiko pasien. dianjurkan, karena dapat meningkatkan
TIK terutama. Kejadian hipertensi harus
Atracurium disikapi hati-hati kemungkinan
mencerminkan efek kompensasi sistem
Tidak berpengaruh pada ICP, onset cepat saraf simpatik akibat TIK meningkat dan
dan durasi singkat tindakan, dosis bolus kompresi batang otak (refleks Cushing).
0,5 sampai 0,6 mg / kg diikuti dengan
infus kontinu pada tingkat 4 sampai 10 Peningkatan TIK Intraoperatif
mcg/kg/menit diberikan dengan
pemantauan blokade neuromuskuler. Posisi pasien dengan kepala sedikit
Laundanosin merupakan hasil metabolit dielevasikan 10-30o dan pastikan bahwa
yang dapat merangsang terjadinya sistem vena pada daerah leher baik tanpa
kejang. ada sumbatan.

Rocuronium Ventilasi pertahankan PaCO2 pada


kisaran 35 mmHg, hiperventilasi
Berguna untuk RSI karena onset yang sebaiknya dihindari bila tidak ada
cepat kerjanya dan kurangnya efek pada monitoring yang memadai Tekanan darah
dinamika intrakranial. bila sistolik < 90 mmHg atau > 160
mmHg sebaiknya dikoreksi.

________________________________________________________________________________
64
Volume II, Nomor 1, Tahun 2010
Jurnal Anestesiologi Indonesia

Diuretik bila diperlukan dapat dan berikan 15 menit sebelum manitol.


menggunakan manitol dan kombinasi Pemantauan elektrolit, kecukupan cairan
dengan furosemide 0.1 - 0.2 mg bisa dengan CVP dan hemodinamik dengan
diberikan bila ada resiko kelainan jantung kateter arteri sangat diperlukan.
Pemantauan ventilasi, oksigenasi, Bila ini kembali gagal dipertimbangkan
kedalaman anestesi dan pemberian untuk dekompresi dan ventrikulostomi.
diuretik terakhir diperhatikan. Bila otak
tetap menonjol dapat diberikan thiopental Monitoring 19
atau pentobarbital dan hiperventilasi
Pemantauan dalam operasi bedah saraf
dengan monitoring SjO2 secara ketat.
sangat penting diantaranya pemantauan

Tabel 6. Obat indukasi intra vena dan pengaruh terhadap tekanan intrakranial, proses lanjutan, tekanan darah7

Obat ICP CMRO2 CBF CSFproda MAP


Etomidate ↓ ↓ ↓ →↓ →↓
Propofol ↓ ↓ ↓ →↓ ↓
Thiopental ↓ ↓ ↓ →↓ ↓
Midazolam →↓ ↓ ↓ →↓ →↓
Fentanyl ↓ →↓ →↓ →↓ →↓
?
ketamin ↑ → ↑ ↑d →↓
(↓reabsorbsi)
Lokal
↓↑ ↓↑ ↓↑ ? →
anestesi
Catatan: Bila dua panah disajikan, panah pertama menunjukkan efek dosis obat yang rendah dan panah kedua
meunjukkan efek dosis obat yang tinggi

Tabel 7. Perbandingan efek agen anestesi pada fisiologi cerebral.14

Produksi Absorp
Agen CMR ADO CBV TIK
CSS si CSS
Halothan ↓↓ ↑↑↑ ↓ ↓ ↑↑ ↑↑
Isofluran ↓↓↓ ↑ ± ↑ ↑↑ ↑
Desfluran ↓↓↓ ↑ ↑ ↓ ↑ ↑↑
Sevofluran ↓↓↓ ↑ ? ? ↑ ↑↑
Nitrogen
↓ ↑ ± ± ± ↑
oksida
Barbiturat ↓↓↓↓ ↓↓↓ ± ↑ ↓↓ ↓↓↓
Etomidate ↓↓↓ ↓↓ ± ↑ ↓↓ ↓↓
Propofol ↓↓↓ ↓↓↓↓ ? ? ↓↓ ↓↓
Benzodiazepi
↓↓ ↓ ± ↑ ↓ ↓
n
Ketamin ± ↑↑ ± ↓ ↑↑ ↑↑
Opioid ± ± ± ↑ ± ±
Lidokain ↓↓ ↓↓ ? ? ↓↓ ↓↓
Keterangan : ↑, peningkatan; ↓, penurunan; ±, sedikit atau tidak berubah; ?, tidak diketahui; CMR, cerebral
metabolic rate; ADO, aliran darah otak; CSS, cairan serebrospinal; CBV, volume darah serebral; TIK,
tekanan intrakranial.

________________________________________________________________________________
65
Volume II, Nomor 1, Tahun 2010
Jurnal Anestesiologi Indonesia

standar tekanan darah (kateter arteri), Hematome


irama jantung (EKG), heart rate, suhu,
SpO2, End Tidal CO2, urine output, Keadaan ini seharusnys telah melewati
CVP. Laboratorium analisa gas darah skrining sejak awal melalui pemeriksaan
(AGD), elektrolit, glukosa, osmolaritas faktor pembekuan darah, trombosit lebih
serum darah secara berkala. Bila dari 100 000, protombine time, partial
diperlukan pemantauan emboli udara, tromboplastin international normalized
EEG, TCD (trans Cranial dopler), TIK, ratio (INR). Pada gambaran klinis tidak
SjO2. SjO2 memberikan gambaran menunjukkan secara spesifik, misalnya
mengenai keseimbangan antara pasokan menunjukkan tanda-tanda fokal
oksigen cerebral dan kebutuhan untuk hemipharesis, aphasia, kelainan saraf
metabolisme. Bila < 50 % dalam waktu > cranial, kejang dan perubahan tanda vital
15 menit memberikan gambaran seperti trias Cushing (hipertensi,
prognosis yang buruk. bradikardi dan depresi pernafasan) yang
mencerminkan peningkatan tekanan intra
Proteksi cerebral kranial. Terlepas dari perlunya
monitoring CT Scan atau diooperasi
Hipotermia antara 33 – 35oC dapat ulang, ada langkah awal yang perlu
memberikan perlindungan otak, dilakukan, misalnya pemberian manitol
mekanisme ini termasuk penurunan antara 1 – 1,5 g/kg dan dilanjutkan 0,5
metabolisme, excitotoxicity, g/kg tiap 4 jam. Pemberian manitol
pembentukan radikal bebas, dan memerlukan pemantauan BGA dan
pembentukan edema. Perlakuan osmolaritas cairan. 17
hipotermi pada pasca operasi masih
kontroversial. Edema cerebri
Periode Pasca Operasi Keadaan ini mungkin disebabkan karena
faktor pengelolaan cairan maupun
Keputusan saat mengekstubasi komplikasi operasi. Edema cerebri pada
endotrakea saat akhir pembedahan prinsipnya akan menambah volume
tergantung pada berat traumanya, adanya intrakranial sehingga akan menyebabkan
trauma abdomen atau thoraks yang terjadi TIK yang meningkat. Pemberian steroid
bersamaan, penyakit yang ada dapat memberikan manfaat pada kasus
sebelumnya, serta tingkat kesadaran neoplastik. Sedangkan bila karena trauma
preoperatif. Pada pasien muda yang sadar pemberian manitol lebih memberikan
saat preoperatif bisa diekstubasi setelah manfaat dibandingkan dengan steroid.
pengangkatan lesi, namun pada pasien
dengan trauma otak diffus masih Pneumoenchephalus
dipertahankan intubasinya. Selanjutnya,
hipertensi intrakranial yang persisten Kondisi menumpuknya udara didalam
membutuhkan agen sedasi, paralisis, ruang kepala sebagai akibat craniotomy
hiperventilasi dan mungkin fenobarbital atau penutupan tulang tengkorak yang
pada postoperatifnya.9,12,19 kurang baik.

Perawatan pasien pasca craniotomi


memerlukan perhatian yang cemat dari
ahli anestesi. Beberapa komplikasi yang
sering ditemukan misalnya: 17

________________________________________________________________________________
66
Volume II, Nomor 1, Tahun 2010
Jurnal Anestesiologi Indonesia

Hydrochepalus demikian juga pada pemasangan central


venous pressure (CVP)
Infeksi selaput otak direkomendasikan melalui vena
7
subclavia.
Pada sistem metabolik bisa terjadi
gangguan elektrolit, hiponatremi atau Sedasi, analgesi dan blok
hipernatremi. neuromuskuler
Periode pasca operasi pada hakekatnya Pasien dengan menggunakan ventilator
sama dalam memonitoring pasien tanpa mekanik memerlukan kenyamanan agar
operasi di bangsal perawatan resiko tidak terjadi gejolak hemodinamik,
tinggi maupun di ICU. Beberapa hal yang peningkatan work of brething (WOB)
dapat dilakukan adalah : yang kesemuanya dapat meningkatkan
TIK. Sedasi dapat diberikan propofol 0,1
Oksigenasi
– 0,5 mg /kg/jam, midazolam 1-6
Pasca trauma cerebri maupun pasca mg/jam. Anelgetik dapat diberikan
bedah craniotomi kejadian iskemia morphin dengan dosis rendah dalam
sekunder sering terjadi, oleh karena itu titrasi, sedangkan blok neuromuskuler
pengelolaan hipoksia dengan oksigenasi dapat diberikan golongan
sangat diperlukan. Keadaan pasca nondepolarisasi.7
resusitasi diusahakan PaO2 tidak kurang
Elevasi kepala
dari 60 mmHg.1
Secara tradisional pasien diposisikan
Pengelolaan cairan untuk pengendali
dalam elevasi 30o, dan akan
hipotesi
menurunakan TIK berkisar 1-2 mmHg.
Kedaaan hipotensi seperti diatas telah Kondisi ini secara umum juga akan
diterangkan sangat berperan untuk menurunkan CPP, oleh karena itu
menunjang terjadinya hipoksia sel-sel pemberian vassopresor juga
7
otak, oleh karena itu harus dijaga dengan direkomendasikan.
baik. Pengelolaan hipotensi harus
Ventriculostomi untuk drainase
mencakup tidak hanya penggantian
ventrikeler eksternal
cairan tetapi juga diidentifikasi faktor
penyebabnya.1,7 Diuretik osmotik
Ventilasi dan monitoring PaCO2 dan Loop diuretik
evaluasi efek tekanan intrathorak
Furosemide efektif digunakan bila
Pada pasien dengan riwayat trauma pemberian tunggal manitol tidak
kepala atau dalam kondisi koma, tidak memberikan manfaat yang
ada jaminan untuk jalan nafas, oleh diinginkan.1,11 Dosis furosemide dapat
karena itu ventilasi harus terjamin dengan diberikan 0,5-1 mg/kgBB.
baik, hal ini bisa dilakukan dengan
pemasangan endotracheal tube dan Pengendalian kejang
ventilator mekanik. Keadaan ini juga
diusahakan untuk mencegah hiperkapnia, Kejang dapat dikendalikan dengan
kondisi yang direkomendasikan antara pemberian phenitoin 5-20 mg/kg, atau
PaCO2 30-45 mmHg. Pemberian PEEP diazepam 0,3 mg/kg titrasi pelan-pelan,
yang tinggi juga dapat mengganggu vena barbiturat dan pentotal.
balik sehingga akan meningkatkan TIK,

________________________________________________________________________________
67
Volume II, Nomor 1, Tahun 2010
Jurnal Anestesiologi Indonesia

Steroid orang-orang terdekat, hal ini


dimungkinkan timbulnya penurunan
Pada cedera otak, pemberian kualitas hidup seseorang pasca cedera
kortikosteroid di Amerika sudah tidak kepala.
dianjurkan.7

Vasopressor DAFTAR PUSTAKA


1. Sutcliffe AJ. Traumatic Brain Injury: Critical
Untuk menjaga CPP dapat diberikan Care Management. In : Marshall LF. Section
vassopressor pada kondisi kebutuhan D: Neurological Injuries And Considerations.
cairan telah terpenuhi, yang sering In : Wilson WC, Grande CM, Hoyt DB.
digunakan adalah norephinephrin, Trauma Critical Care. Informa healt care.
New York. Volume 2.2007 ; 201-94.
dopamin, adrenalin, dobutamin.7 2. Retnaningsih. Cedera Kepala Traumatik.
www.kabarindonesia.com. 28-Apr-2008.
Kontrol suhu 3. Picton P, Deaki CD, Jandia R.
Neurophysiology Review. In : Wilson WC,
Kontrol gula darah Grande CM, Hoyt DB. Trauma Critical Care..
Informa healt care. New York. Volume 2.
Rehabilitasi 2007; 1-19.
4. Kleinman W, Mikhail M. Section III.
Hendaknya perawatan rehabilitasi untuk Regional Anesthesia & Pain Management,
menunjung kualitas hidup seseorang Chapter 16. Spinal, Epidural, & Caudal
pasca trauma susunan saraf pusat dimulai Blocks. In : Morgan GE, Murray Michael J.
sejak awal di ICU atau lebih dini. Tujuan Clinical anesthesiology. New York : McGraw
Hill; 2006; 289-323.
dari rehabilitasi adalah untuk menunjang 5. Curry P, Viernes D, Sharma D. Perioperative
kemampuan fisik secara maksimal, management of traumatic brain injury. Int J
dukungan psikologis, fungsi sosial, Crit Illn Inj Sci 2011;1:27-35
kemampuan berkarya, rekreasi, dan 6. Levin D, Bachtis C, Acosta JA, Jacoby IJ.
ekonomi.1 Trauma Scoring and Triage. In : Wilson WC,
Grande CM, Hoyt DB. Trauma emergency
resuscitation perioperative anesthesia surgical
Ringkasan
management. Informa healt care. New York. .
volume 1.2007; 59-79
Cedera kepala merupakan problematika 7. Atkins GG, Drummond JC. Traumatic Brain
yang komplek, karena hal ini dipengaruhi Injury. In : Wilson WC, Grande CM, Hoyt
keadaan saat cedera dan akan DB. Trauma emergency resuscitation
mempengaruhi keadaan setelah cedera. perioperative anesthesia surgical
Oleh karena itu penanganan yang tepat management. Informa healt care. New York. .
volume 1.2007;433-444.
sangat mempengaruhi kualitas hidup 8. Christensen EF, Deakin CD, Vilke GM,
seseorang. Lippert FK. Prehospital Care and Trauma
Systems. In : Wilson WC, Grande CM, Hoyt
Penanganan yang tepat dengan DB. Trauma emergency resuscitation
mempertimbangkan penanganan pertama, perioperative anesthesia surgical
sistem transportasi dan penanganan management. Informa healt care. New York. .
ditingkat rumah sakit. Kejadian setelah volume 1.2007; 43-59.
9. Morgan GE, Mikhail MS, Murray MJ.
trauma merupakan komplikasi yang Section IV. Physiology, Pathophysiology, &
sering terjadi dan menyebabkan keadaan Anesthetic Management. Chapter 26.
menjadi lebih berat, misalnya Anesthesia for Neurosurgery , In Clinical
penanganan yang kurang baik dan Anesthesiologi. 4th ed. USA : 2006;631-646.
iskemia sekunder. Penanganan psikologis 10. Abrar Ahad Wani AA, Ramzan AU, Nizami
F, Malik NK, Kirmani AR. Controversy in
sangat diperlukan untuk penderita pasca use of mannitol in head injury. Indian Journal
cedera kepala maupun keluarga dan

________________________________________________________________________________
68
Volume II, Nomor 1, Tahun 2010
Jurnal Anestesiologi Indonesia

of Neurotrauma (IJNT) 2008, Vol. 5, No. 1,


pp. 11-13.
11. Bisri T. Dasar-dasar neuroanestesi. Saga
olahcitra, Bandung, 2008
12. Pasternak JJ, William L Lanier WJ. Chapter
10a – Diseases Affecting The Brain. In :
Hines & Marschall: Stoelting's Anesthesia
and Co-Existing Disease, 5th ed,. Churchill
Livingstone, An Imprint of Elsevier,
Philadelpia, 2008.
13. Traill R. Acute Head Injuries: Anaesthetic
Considerations. Australasian anaesthesia .
Australia dan New zeland;2007.
14. Morgan GE, Mikhail MS, Murray MJ.
Section IV. Physiology, Pathophysiology, &
Anesthetic Management. Chapter 25.
Neurophysiology & Anesthesia, In: Clinical
Anesthesiologi. 4th ed. USA : 2006;614-630.
15. Trauma Brain Injury.
http://en.wikipedia.org/wiki/Traumatic_brain
_injury
16. Guha A. Management of traumatic brain
injury: some current evidence and
applications. Postgrad Med J 2004;80:650–
653.
17. Jea A, Razack N. PART VII : Neurosurgical
Complications. Complications After
Craniotomy. In : Cohn SM. Complications in
Surgery and Trauma. Informa Healthcare
USA. New York. 2007; 483-490.
18. Bahlaoul M, Anis N, Kallel H, Khabir A.
Neurogenic Pulmonary Edema Due to
Traumatic Brain Injury: Evidence of Cardiac
Dysfunction. American Journal of Critical
Care. 2006;15(5):462-470.
19. Takefumi Sakabe T, Bendo AA. Anesthetic
Management : Anesthetic Management of
Head Trauma. In : Newfield, Philippa,
Cottrell, James E. Handbook of
Neuroanesthesia, 4th Edition. Lippincott
Williams & Wilkins. 2007.

________________________________________________________________________________
69
Volume II, Nomor 1, Tahun 2010

You might also like