You are on page 1of 10

Dialisis atau Dialisa

A. Pengertian
Dialisis adalah suatu proses dimana solute dan air mengalami difusi secara pasif melalui suatu
membrane berpori dari suatu kompaetemen cair menuju kompartemen cair lainnya (Sylvia &
Lorraine, 1995).
Dialisis merupakan suatu proses yang digunakan untuk mengeluarkan cairan dan produk limbah dari
dalam tubuh ketika ginjal tidak mampu melaksanakn pross tersebut (Brunner & Suddarth, 2002).
Dialysis akut diperlukan bila terdapat kadar kalium yang tinggi/meningkat, kelebihan muatan cairan
atau adema pulmoner yang mengancam, asidosis yang meningkat, perikarditis dan konfusi yang
berat. Tindakan ini juga dapat dikerjakan untuk menghilangkan obat-obat tertentu atau toksin lain
(keracunan atau dosis obat yang berlebihan).
Dialysis kronis atau pemeliharaan dibutuhkan pada gagal ginjal kronis (penyakit ginjal stadium
terminal) dalam keadaan terjadi tanda-tanda gejala uremia yang mengenai seluruh system tubuh
(mual serta muntah, anoreksia berat, peningklatan letargi, konfusi mental), kadar kalium serum yang
meningkat, muatan cairan berlebihan yang tidak responsive terhadap terapi diuretic serta
pembatasan cairan, dan penurunan status kesehatan umum.
Pasien-pasien ini harus menjalani terapi dialysis sepanjang hidupnya atau sampai mendapat ginjal
baru melalui operasi pencangkokan yang berhasil. Pasien memerlukan terapi dialysis yang kronis
kalau terapi ini diperlukan untuk mempertahankan kelangsungan hidupnya dan mengendalikan
gejala uremia.

B. Etiologi
Adapun penyebab dilakukan tindakan hemodialisis dan dialysis peritoneal :
• Pembuangan cairan yang berlebihan, toksin atau obat karena tidak adekuatnya gradient osmotic
dialisat
• Kehilangan darah aktual (heparinisasi sitemik atau pemutusan aliran darah)
• Distensi abdomen atau konstipasi
• Penurunan area ventilasi dimana bunyi nafas adventisius menunjukkan kelebihan cairan,
tertahannya sekresi dan infeksi. dimana bunyi nafas adventisius menunjukkan kelebihan cairan,
tertahannya sekresi dan infeksi.
• Penggunaan dialisat hipertonik dengan pembuangan cairan yang berlebihan dari volume sirkulasi.

C. Klasifikasi
Klasifikasi dialisis meliputi :
1. Dialisis peritoneum
Adalah cairan yang mengandung campuran gula dan garam khusus di masukan ke dalam rongga
perut dan akan menyerap zat-zat racun dari jaringan. Cairan tersebut kemudian dikeluarkan lagi
dan dibuang. Jenis-jenis dialysis peritoneum yaitu :
a. Dialysis peritoneum intermiten (pada gagal ginjal akut atau kronis).
b. Dialysis peritoneum ambulatosi kontinu (Cintinous Ambulatory Peritoneum Dialysis-
CAPD) adalah bentuk dialysis peritoneum yang menggunakan peritoneum sebagai
membran permiabel.
c. Dialysis peritoneum siklus kontinu.
2. Hemodialisis
Adalah proses pembersihan darah oleh akumulasi sampah buangan. Hemodialisis digunakan
bagi pasien dengan tahap akhir gagal ginjal atau pasien berpenyakit akut yang membutuhkan
dialysis waktu singkat.
3. Terapi penggantian renal kontinu

D. Patofisiologi

Dua teknik utama yang digunakan dalam dialysis adalah dialysis peritoneal dan hemodialysis.
Hemodialisis dan dialysis peritoneal merupakan dua teknik utama yang digunakan dalam dialysis dan
prinsip dasar kedua teknik itu sama yaitu difusi solute dan air dari plasma kelarutan dialysis sebagai
respon terhadap pewrbedaan konsentrasi atau tekanan tertentu.

1) Hemodialysis
Hemodialysis merupakan suatu proses yang digunakan pada pasien dalam keadaan sakit akut dan
memerlukan terapi dialysis jangka panjang (beberapa hari sampai beberapa minggu) atau pasien
dengan penyakit gagal ginjal stadium terminal yang membutuhkan terapi jangka panjang atau terapi
permanent. Sehelai membrane sintetik yang semipermeabel menggantikan glomerulus serta tubulus
renal dan bekerja sebagai filter bagi ginjal yang terganggu fungsinya itu.
Darah dialirkan melalui ginjal buatan (dialiser) untuk membuang toksin atau kelebihan cairan dan
kemudian dikembangkan ke sirkulasi vena. Hemodialisis adalah metode yang lebih cepat dan lebih
efisien dari pada dialysis peritoneal untuk membuang area dan produk toksin lain, tetapi
memerlukan akses AV permanen (Doenges, 1999).
Akses vaskuler hemodialisis merupakan aspek yang paling peka pada hemodialisis oleh karena
adanya banyak komplikasi dan kegagalannya. Untuk melakukan dialysis intermiten jangka panjang,
maka perlu ada jalan masuk ke system vaskular penderita yang dapat diandalkan. Pada akses
vascular dapat diklasifikasikan sebagai berikut :

a. Akses vaskular Ekstternal (sementara)


• Keteter subklavikula dan femoralis
Akses segera ke dalam sirkulasi darah pasien pada hemodialisis darurat dicapai melalui
kateterisasi subklavia untuk pemakaian sementara. Kateter dwi-lumen atau multi lumen
dimasukan kedalam vena subklavia. Meskipun metoda akses veskular ini bukanya tanpa
resiko, namun metoda tersebut biasanya dapat digunakan selama beberapa minggu.
Kateter femoralis dapat dimasukan ke dalam pembuluh darah femoralis, dan digunakan
selama beberapa minggu, jika pasien sudah tidak memerlukan karena akibat kondisi
pasien yang sudah membaik atau terdapat cara akses yang lain.
Karena pasien mayoritas hemodialisis jangka panjang yang harus dirawat dirumah sakit
merupakan pasien dengan kegagalan akses siskulasi yang permanent, maka salah satu
prioritas dalam perawatan pasien hemodialisis adalah perlindungan terhadap akses
sirkulasi tersebut.

b. Akses Vaskular Internal (permanen)


• Fistula
Fistula yang lebih permanent dibuat melalui pembedahan dengan cara menyambung
atau menghubungkan pembuluh arteri dengan vena secara side to side atau end to side.
Fistula tersbut memerlukan waktu 4 sampai 6 minggu untuk menjadi matang sebelum
siap digunakan. Waktu ini diperlukan untuk memberi kesempatan agar fistula pulih dan
segmenvena fistula berdilatasi dengan baik sehingga dapat menerima jarum berlumen
besar dengan ukuran 14 sampai 16. Jarum tersebut ditusukan kedalam pembuluh darah
.
Segmen arteri fistula digunakan untuk memasukan kembali darah yang sudah didialisis,
untuk menampung aliran darah ini segmen arteri dan vena fistula tersebut harus lebih
besar daripada pembuluh darah normal. Kepada pasien dianjurkan untuk melakukan
latihan guna meningkatkan ukuran pembuluh ukuran pembuluh darah, yaitu dengan
cara meremas-remas bola karet untuk melatih fistula yang dibuat dilengan bawah, dan
dengan demikian pembuluh darah yang sudah lebar dapat menerima jarum berukuran
besar yang digunakan dalam proses hemodialisis.
• Tandur
Dalam penyediaan lume sebagai tempat penusukan jarum dialysis, sebuah tandur dapat
dibuat dengan cara menjahit sepoptong pembuluh arteri atau vena dari sapi, material
Gore-Tex atau tandur vena safena dari pasien sendiri. Biasanya tandur tersebut dibuat
bila pembuluh darah pasien sendiri tidak cocok untuk dijadikan fistula. Tandur biasanya
dipasang pada lengan bawah, lengan atas paha bagian atas.

2) Dialysis Peritoneal
Dialysis peritoneal merupakan alternatif dari hemodialisis pada penanganan gagal ginjal
akut dan kronik. Kira-kira 15% pasien penyakit ginjal tahap akhir menjalani dialysis
peritoneal (Health Care Financing Administration, 1986).
Dialysis peritoneal sangat mirip dengan hemodialsis, dimana pada tehnik ini peritoneum
berfungsi sebagai membrane semi permeable. Akses terhadap rongga peritoneal dicapai
melalui perisintesis memakai trokar lurus, kaku untuk dialysis peritoneal yang akut dan
lebih permanent, sedangkan untuk yang kronik dipakai kateter Tenckoff yang lunak.
Dialysis peritoneal dilakukan dengan menginfuskan 1-2 L cairan dialysis kedalam kavum
peritoneal menggunakan kateter abdomen. Ureum dan kreatinin yang merupakan hasil
akhir metabolisme yang diekskresikan oleh ginjal dikeluarkan dari darah melalui difusi
dan osmosis. Ureum dikeluarkan dengan kecepatan 15-20 ml/ menit, sedangkan
kreatinin dikeluarkan lebih lambat.
Dialysis peritoneal kadang-kadang dipilih karena menggunakan tehnik yang lebih
sederhana dan memberikan perubahan fisiologis lebih bertahap dari pada hemodialisis.
Dialysis peritoneal ada 2 yaitu :
Dialysis pertitoneal merupaan terapi pilihan bagi pasien gagal ginjal yang tidak mampu
atau tidak mau menjalani hemodialsis atau transplantasi ginjal. Pasien yang rentan
terhadap parubehan cairan, elektrolit dan metabolic yang cepat terjadi pada
hemodialisis akan sedikit mengalami hal ini karena dialysis peritoneal kecepatan
kerjanya lebih lambat.
Oleh karena itu, pasien diabetes atau penyakit kardiovaskula, pasien lansia dan pasien
yang beresiko mengalami efek samping dari pemberian heparin secara sistemik
merupakan calon yang sesuai untuk tindakan dialysis peritoneal guna mengatasi gagal
ginjal. Disamping itu, hipertensi berat, gagal jantung kongestif dan edema pulmonary
yang tidak responsive terhadap terapi dapat juga diatasi dengan dialysis peritoneal.

Macam-macam Dialysis Peritoneal


Continous Ambulatory Peritoneal Dialysis (CAPD)
Memungkinkan pasien untuk menangani prosedur dirumah dengan kantung dan aliran
gravitasi, memerlukan waktu lama pada malam hari, dan total 3-5 siklus harian/ 7 hari
seminggu.
Automated Peritoneal Dialysis (APD)
APD sama dengan CAPD dalam melanjutkan proses dialysis tetapi berbeda pada
tambahan mesin siklus peritoneal. APD dapat dilanjutkan dengan siklus CCPD, IPD dan
NPD.
Continous Cyclic Peritoneal Dialysis (CCPD)
CCPD merupakan variasi dari CAPD dimana suatu mesin siklus secara otomatis
melakukan pertukaran beberapa kali dalam semalam dan satu siklus tambahan pada
pagi harinya. Di siang hari, dialisat tetap berada dalam abdomen sebagai satu siklus
panjang.
Intermittent Peritoneal Dialysis (IPD)
IPD bukan merupakan lanjutan prosedur dialisat seperti CAPD dan CCPD. Dialysis ini
dilakukan selama 10-14 jam, 3 atau 4 jam kali per minggu, dengan menggunakan mesin
siklus dialysis yang sama pada CCPD. Pada pasien hospitalisasi memerlukan dialysis 24-
48 jam kali jika katabolis dan memerlukan tambahan waktu dialisat.
Nightly Peritoneal Dialysis (NPD)
Dilakukan mulai dari 8-12 jam misalnya dari malam hingga siang hari.

E. Tanda dan gejala

1) Hemodialisis
Penurunan aliran darah akan mengakibatkan “kedinginan” pada akses vascular. Penurunan tekanan
hemodinamik menunjukkan kekurangan cairan yang dapat mengakibatkan terjadi hipotensi dan
takikardi. Kelebihan cairan atau hipervolemia dapat berpotensi terjadinya edema serebral (sindrom
disekuilibrasi), hipertensi dan takikardi. Destruksi sel darah merah (hemolisis) oleh dialysis mekanikal
dapat mengakibatkan anemia berat atau progesif.

2) Dialisis Peritoneal
Adanya keluhan nyeri dikarenakan pemasukan kateter melalui dinding abdomen atau iritasi kateter dan
penempatan kateter yang tidak tepat. Takipnea, dispnea, nafas pendek dan nafas dangkal selama
dialysis diduga karena tekanan disfragmatik dari distensi tongga peritoneal. Penuruna area ventilasi
dapat menunjukkan adanya atelektasis. Berikut ini gejala-gejala lainnya :
• Peritonitis
• Penurunan tekanan darah (hipotensi)
• Takikardi
• Hiponatremia atau intoksikasi air
• Turgor kulit buruk, dll.

Dampak Hemodialisis yang berlebihan

1. Bebas dari gangguan fisik dan psikologi serta mandiri.


2. Lebih bebas diet dari asupan cairan.
3. Relative sederhana dan mudah digunakan.
4. Secara biokimia dapat mengantrol uremia.

F. Komplikasi
1. Infeksi saluran peritoneum.
2. Ketidakberfungsian kateter yang tidak terinfeksi, sumbatan, dan lubang dialysis.
3. Penyambungan peritoneum-pleura dan adanya formasi.
4. Perut kembung, tegang dan mual.
5. Hipervolemia dan hipovolemia.
6. Pendarahan.

Komplikasi Hemodialisis

Komplikasi akut
1. Hipotensi
Selama hemodialisis tekanan darah biasanya menurun perlahan-lahan akibat ultra filtrasi, tetapi
bias juga terjadi secara mendadak. Turunya tekanan darah disebabkan oleh :
a. Pengeluaran cairan yang berlebihan
b. Obat anti hipertensi
c. Rupture membrane dialysis sehingga banyak darah yang terbuang
d. Neropati otonom
2. Aritmis
Kadang-kadang bias timbul aritma pada akhir hemodialisis. Ini disebabkan penyakit jantung
koroner yang sudah ada dicetuskan oleh hipokalemia karena kadar kalium yang rendah pada
cairan dialysat.
3. Keram
Pengeluaran cairan yang cepat selama hemodialisis atau kadar natrium yang rendah dalam
cairan dialisat bias menimbulkan keram di tungkai dan perut.
4. Nyeri dada
Selama hemodialisis, hipotensi bias menimbulkan nyeri dada menyerupai agina yang cepat
mereda setelah tekanan darah kembali normal. Aliran darah yang cepat juga bias menimbulkan
nyeri dada yang diatasi dengan melambatkannya. Bila dengan seperti ini nyeri dada masih
menetap selama 10-15 menit, hemodialisis sebaiknya dihentikan dan diselidiki kemungkinan
kerusakan miokard.
5. Disequllibrium dialysis
Sindrom ini berupa sakit kepala hebat, tekanan darah naik, gelisah, penglihatan kabur, enek dan
bias kejang. Akibat penurunan kadar ureum, elektrolit dan perubahan pH yang terlalu cepat
dalam darah perifer yang tidak diikuti hal yang sama dijaringan susunan saraf pusat karena
adanya blood brain barrier. Hal ini dapat dicegah dengan melakukan hemodialisis perlahan-
lahan, lebih sering dengan waktu yang lebih pendek pada hemodialisis minggu pertama.
6. Pruritus
Gejala yang paling menggangu penderita hemodialisis dan sebabnya yang pasti belum diketahui.
7. Kejang
Umunya jarang terjadi. Beberapa penderita kejang bila tekanan darah turun mendadak waktu
hemodialisis. Kejang biasanya tak lama 10-30 detik dan hilang setelah tekanan darah kembali
normal.
8. Kecelakaan
Selama hemodialisis bisa terjadi akibat kecelakaan.
a. Cairan distrat yang tidak mengandung garam bisa segera menimbulkan hemolisis dan
penderita akan keram, hipotensi, gelisah dan nyeri dada yang akan berakibat fatal bila
hemodialisis tidak segera dihentikan.
b. Cairan dialisat mengandung konsentrat dialisat yang berlebihan. Penderita akan keram,
haus, hipertensi diikuti hipotensi dan perasaan tak nyaman. Hemodialisis harus segera
dihentikan dan dibuat cairan dialisat baru.
c. Emboli udara
Udara bisa masuk ke penderita akibat bocornya lubing darah atau masuk dari pintu
sampingsirkut vena. Bila terjadi emboli dialysis dihentikan segera dan penderita dimiringkan
kekiri.
d. Demam dan menggigil
Ini bisa terjadi akibat bocornya ginjal buatan atau infeksi pada fistula, terutama bila terjadi
segera setelah mulai dialysis.
Komplikasi kronik
1. Hipertensi
Kebanyakan penderita memang sudah hipertensi akibat penyakit gagal ginjal kroniknya. Pada
kebanyakan penderita hipertensi volume dependent, tekanan darah dapat dikontrol dengan diet
rendah garam dan homodialisis dengan ultra filtrasi. Pada 15-20% penderita yaitu yang rennin
dependent, hipertensi refakterterhadap ultra filtrasi saja dan memerlukan obat anti hipertensi.
2. Anemia
Kebanyakan penderita dialissis kronik menderita anemia. Anemia ini selain penyakit gagal ginjal
kroniknya juga akibat kehilangan darah yang terjadi pada setiap dialissis karena selalu ada darah
yang tersisa pada ginjal buatan.
3. Osteodistrofi ginjal
Hiperparatroidisme sekunder juga merupakan masalah penting pada penderita dialysis kronik.
Pengendalian kadar fosfat dalam darah yang ketat sehingga memungkinkan pemberian analog
vitamin D dan peninggian kadar kalsium dalam cairan dialisat, bisa mebgurangi terjadinya
osteodisrtofi ginjal.
4. Neropati perifer
Umumnya neropati perifer yang terjadi sebelum dialysis dimulai, akan hilang dengan
hemopdialisis yang intensif.
5. Susunan saraf pusat
a. Hematon subdural
Karena penderita cenderung untuk berdarah dan heparin yang diberikan intermiten selama
hemodialisis, bisa menimbulkan hematom subdural. Bila terjadi perubahan kepribadian,
sakit kepala yang menetap dan kelainan nerologig yang terjadi tiba-tiba difikirkan
kemungkinan terjadinya hematom subdural
b. Ensefalopati/ dementia dialysis
Kelainan yang jarang tapi bisa terjadi pada penderita yang lama dididalisis dengan gejala
gangguan bicara, dementia, mioklonik, asteriksis dan kejang-kejang. Penyebabnya mungkin
kelebihan aluminium dalam cairan dialisat yang dapat dicegah dengan mengolah air dengan
cara reverse osmosis.
6. Perikarditis dan efusi prikard
Perikarditis uremik terjadi sebelum penderita didialisis dan menghilang dengan tindakan
hemodialisis. Perikarditis yang timbul pada penderita dialysis kronik terjadi akibat stress karena
tindakan bedah, trauma atau infeksi, dimana penderita menjadi hiperkarbolik dan terjadi uremia
relative. Pada sebagian penderita bisa timbul efusi prikard. Pengobatannya adalah dengan
mengurangi antikoagulasi serta memperpanjang waktu dan meninggikan frekuensi hemodialisis.
Bila timbul tampobnade jantung dilakukan perrikardiosistesis yang kadang-kadang dikombinasi
dengan masuknya udara atau steroid intraperikard. Pada perikarditis konstruktif dilakukan
perikardiektomi.
7. Penyakit vascular
Penyebab utama morbiditas dan mortalitas penderita dialysis kronik adah penyakit
kardiovaskuler dan selebrovaskuler. Hal ini mungkin disebabkan oleh hipertensi yang lama,
hiperlipidema dan hiperparatiroidisme.
8. Overhidrasi
Overhidrasi tetap merupakan masalah utama bagi penderita yang tidak dapat membatasi intake
cairan diantara dialysis. Pengeluaran cairan lebih dari 4 kg menimbulkan hipotensi yang dapat
diatasi dengan melakukan dialysis ultrafiltrasi sekwensial.
9. Hepatitis
Hepatitis serum mudah terjadi pada penderita hemodialisis karena sering mendapat transfuse
dan antigen hepatitis terus terdapat dalam darah seseorang yang yang terjangkit hepatitis. Cara
penatalaksanaan yang terbaik adalah mendialisis penderita dengan antigen hepatitis di unit
yang terpisah atau dengan mesin khusus. Yang juga penting cara pencegahan yang dilakukan
oleh staf dialysis untuk mencegah penularan.

G. Penatalaksanaan
1) Penatalaksaan Pasien yang Menjalani Hemodilisis Jangka-Panjang
a. Diet dan masalah cairan
Diet merupakan faktor penting bagi pasien yang menjalani hemodialisis. Apabila ginjal yang
rusak tidak dapat mengekskresikan produk akhir metabolisme, substansi yang bersifat sebagai
racun atau toksik (gejala uremik ). Lebih banyak toksin yang menumpuk, semakin berat
gejalayabg timbul. Diet rendah protein akan mengurangi penumpikan limbah nitrogen dan
dengan demikian meminimalkan gejala.

b. Pertimbangan Medikasi
Banyak obat yang diekskresikan seluruhnya atau sebagian melalui ginjal. Pasien yang
memerlukan obat-obatan (preparat glikosida jantung, antibiotic, antiaritmia, antihipertensi)
harus dipantau untuk memastikan agar kadar obat dalam darah dan jaringan dapat
dipertahankan tanpa menimbulkan akumulasi toksik.
Beberapa obat akan dikeluaran dari darah pada saat dialysis. Oleh karena itu, penyesuaian dosis
oleh dokter diperlukan. Apabila seorang pasien menjalani dialysis, semua jenis obat dan
dosisnya harus dievaluasi dengan cermat, karena komuniasi, pendidikan dan evaluasi dapat
memberikan hasil yang berbeda-beda. Pasien harus mengetahui kapan minum obat dan kapan
menundanya.

2) Penatalaksanaan Pasien yang Menjalani Dialisis Peritomeal


a. Persiapan
Proses persiapan pasien dan keluarganya yang dilaksanakan oleh perawat adalah penjelasan
prosedur dialysis peritoneal, surat persetujan (Informed Consent) yang sudah ditandatangani,
data dasar mengenai tanda-tanda vital, berat badan dan kadar elektrolit serum, pengosongan
kandung kemih dan usus. Selain itu perawat juga mengkaji kecemasan pasien dan memberikan
dukungan serta petunjuk mengenai prosedur yang akan dilakukan.

b. Peralatan
Perawat harus berkonsultasi dengan dokter untuk menentukan konsentrasi dialisat yang akan
digunakan dan obat-obatan yang akan ditambahkan, misalnya dalam penambahan heparin
untuk mencegah pembekuan fibrin yang dapat menyumbat kateter peritoneal, penambahan
antibiotic untuk mengobati peritonitis.
Sebelum penambahan obat, larutan dialisat dihangatkan hingga mencapai suhu tubuh untuk
mencegah gangguan rasa nyaman, nyeri abdomen, serta menyebabkan dilatasi pembuluh-
pembuluh darah peritoneum. Sebelum dialysis dilakukan, peralatan dan selang dirakit. Selang
tersebut diisi dengan cairan dialisat untuk mengurangi jumlah udara yang masuk kedalam
kateter serta kavum peritoneal.

c. Pemasangan Kateter
Kateter peritoneal dipasang di dalam kamar operasi untuk mempertahankan asepsis operasi dan
memperkecil resiko kontaminasi. Kateter stylet dapat digunakan jika dialysis peritoneal tersebut
diperkirakan akan dilaksanakan dalam waktu singkat. Sebelum prosedur pemasangan kateter
dilakukan, kulit abdomen dipersiapkan dengan larutan antiseptic local dan dokter melakuan
penyuntikan infiltrasi preparat anastesi local kedalam kulit dan jaringan subcutan. Insisi kecil
atau sebuah tusukan dibuat pada 3-5 cm dibawah umbilicus.
Sebuah trokar (alat berujung tajam) digunakan untuk menusuk peritoneum sementara pada
pasien mengencangkan otot abdomennya dengan cara mengangkat kepalanya. Kateter
disisipkan lewat trokar dan kemudian diatur posisinya. Cairan dialsat yang dipersiapkan
diinfuskan kedalam kavum peritoneal dengan mendorong omentum (lapisan peritoneal yang
membentang dari organ-organ abdomen) menjauhi kateter. Sebuah jahitan purse-string dapat
dibuat untuk mengikat kateter pada tempatnya.

d. Prosedur
Untuk dialisat peritoneal intermiten, larutan dialisat dialirkan dengan bebas kedalam kavum
peritoneal dan dibiarkan selama waktu retensi (dwell time) atau waktu ekuilibrasi yang
ditentukan dokter. Waktu itu berfungsi untuk memungkinkan terjadinya difusi dan osmosis.
Poda waktu akhir retensi, klem selang drainase dilepas dan larutan dialisat dibiarkan mengalir
keluar dari kavum peritoneal melalui sebuah sistem yang tertutup dengan bantuan gaya berat.
Cairan drainase biasanya berwarna seperti jerami atau tidak berwarna. Cairan dari botol yang
baru kemudian ditambahkan, diinfusikan dan dialirkan keluar. Jumlah siklus atau pertukaran dan
frekuensinyaditentukan oleh dokter sesuai kondisi fisik pasien serta kondisi akut penyakit.

H. ASUHAN KEPERAWATAN
• Ketika klien mengalami gagal ginjal kronik, cari informasi yang lengkap dan adanya faktor resiko
yang lain.
• Kaji pengetahuan klien tentang gagal ginjal kronik dan tingkat kecemasan klien dan kemampuan
klien untuk mengatasinya ketika klien terdiagnosa.
• Ketika klien yang mengalami dialisis peritonial
• Jika klien sedang melakukan hemodialisis, prioritas utama adalah potensi dari tempat pemasukan
kateter pada vena.
DIAGNOSA KEPERAWATAN
• Resiko tinggi terhadap kelebihan volume cairan.
• Nyeri berhubungan dengan infeksi dalam rongga peritoneal.
• Pola nafas tidak efektif berhubungan dengan keterbatasan pengembangan diafragma.
• Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan sfingter
• Resiko terhadap kekurangan volume cairan.
• Resiko tinggi terhadap trauma berhubungan dengan kateter dimasukkan kedalam rongga peri-
toneal

I. DAFTAR PUSTAKA

Brunner and Suddarth. 2001. Keperawatan Medikal Bedah (Alih bahasa : Agung Waluyo). Jakarta :
EGC

Doenges. 1999. Rencana Asuhan Keperawatan (Edisi 3, Alih bahasa : I Made Kariasa, dkk). Jakarta :
EGC

Sylvia and Lorraine. 2002. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-proses Penyakit (Edisi 4). Jakarta : EGC

Soepaman, dkk. 2001. Ilmu Penyakit Dalam (Jilid II). Jakrta : Balai Penerbit FKUI

DR. Nursalam, m. Nurs (Hans). Fansiska B.B, S.Pd., S.Kep., Ns. Askep pada pasien dengan gangguan
sistem perkemihan

You might also like