You are on page 1of 26

METODOLOGI PEKERJAAN

V.1. Peta Dasar


Peta merupakan gambaran atau lukisan seluruh atau sebagian gambaran dari permukaan
bumi yang digambarkan pada bidang datar yang diperkecil dengan menggunakan skala tertentu
dan dijelaskan dalam bentuk simbol dan dibuat mengikuti ukuran sama luas, sama bentuk, sama
jarak, dan sama arah.
Secara umum Peta didefinisikan sebagai gambaran dari unsur-unsur alam maupun buatan
manusia yang berada diatas maupun dibawah permukaan bumi yang digambarkan pada suatu
bidang datar dengan skala tertentu (PP Nomor 10 Tahun 2000).
Menurut Imran (2009), Peta merupakan kalibrasi dari bidang permukaan bumi 3 dimensi
menjadi sebuah gambaran utuh yang lebih sederhana ke dalam selembar kertas media yang
datar dengan penyesuaian baik ukuran maupun bentuknya disertai pula dengan informasi dan
detail-detailnya. Dengan kalimat sederhana, pengertian peta merupakan pengecilan dari
permukaan bumi atau benda angkasa yang digambarkan pada bidang datar dengan
menggunakan ukuran, simbol, dan sistem generalisasi (penyederhanaan).
Peta mengandung arti komunikasi, artinya merupakan suatu signal atau saluran antara
pengirim pesan (pembuat peta) dengan penerima pesan (pembaca peta). Dengan demikian peta
digunakan untuk mengirim pesan yang berupa informasi tentang realita dalam wujud berupa
gambar. Agar pesan (gambar) tersebut dapat dimengerti maka harus ada bahasa yang sama
antara pembuat peta dan pembaca peta (Aryono Prihandito, 1989) dalam (Sariyono dan
Nursa’ban, 2010).
Peta dasar adalah suatu gambaran dari berbagai komponen yang terpilih didalam suatu
daerah pemetaan. Komponen - komponen tersebut harus memiliki hubungan dengan topografi,
sehingga jika komponen - komponen tersebut tidak memiliki hubungan, maka menjadi tidak
bermanfaat dan informasi yang dipetakan tersebut menjadi tidak berguna karena tidak dapat
dilokalisasi (diplot) dan dievaluasi terhadap kondisi - kondisi yang diharapkan dan akhirnya
hanya digunakan sebagai dasar perbandingan pada suatu daerah saja.
Informasi dan peta topografi yang terbaru merupakan kebutuhan yang mutlak, karena
kesalahan biasanya terjadi karena penggunaan material dasar (peta topografi atau foto udara)
yang lama dan tidak teliti. Jika informasi dari peta topografi atau foto udara dapat diandalkan,
maka kandungan pokok pada peta tujuan akan sangat bermanfaat. Informasi pada peta topografi
atau foto udara yang berhubungan langsung dengan unsur - unsur geografi, seperti batas
administratif daerah, nama kampung, jalan dan sebagainya sangat bermanfaat untuk
menentukan lokasi penelitian.
Penentuan lokasi yang baik dan tepat merupakan unsur utama didalam menyusun peta
dasar yang baik, misalnya :
a. Posisi titik kontrol geodetik
b. Posisi konstruksi (bangunan, jalan raya, rel KA atau saluran)
c. Posisi danau dan sungai
d. Rincian topografi (batasan topografi, seperti tebing, lembah, bukit- bukit kecil,
punggungan dan sebagainya).
Faktor - faktor yang sering berubah, seperti :
a. Kondisi hidrografi
b. Batas pemukiman
c. Batas wilayah kehutanan/ pertanian/perkebunan.
d. Nama - nama daerah.
e. Batas sungai dan pantai.
Unsur - unsur penting menyusun peta dasar untuk kepentingan geomorfologi atau geologi
antara lain :
a. Keselarasan unsur - unsur peta dasar dengan materi pokok.
b. Memilih unsur - unsur peta yang mudah dimengerti.
c. Memilih unsur - unsur peta secara umum seperti garis atau titik dan tampilan peta
yang akan dijadikan acuan.
d. Membatasi unsur - unsur peta dasar sampai batas minimum, tergantung pada tingkat
kesulitan dari unsur pokok.
Maksud penyusunan peta dasar sebelum melaksanakan kegiatan tertentu merupakan
langkah persiapan sebelum kegiatan dilaksanakan, sehingga peta dasar merupakan peta rencana
kegiatan yang telah tersusun untuk memudahkan kegiatan yang akan dilakukan dan menghemat
biaya.
Biasanya yang digunakan sebagai peta dasar untuk suatu kegiatan adalah peta topografi
yang sebenarnya hanya memberikan informasi secara umum, seperti titik ketinggian, garis
ketinggian (kontur), nama sungai dan nama daerah, sehingga memerlukan analisis agar dapat
dijadikan peta dasar. Sebagai contoh kerapatan garis kontur mencerminkan lereng yang terjal,
maka dugaan sementara terhadap lereng yang curam tersebut dapat berupa sesar (patahan) atau
terdapat perbedaan kekerasan batuan atau pola punggungan yang memanjang dapat diduga
sebagai perlipatan.
Analisis terhadap peta topografi tersebut sangat bermanfaat untuk kegiatan penelitian
geologi, geologi teknik, pengembangan wilayah atau penggunaan lahan, sehingga pada saat
kegiatan penelitian di lapangan akan lebih terarah kepada hasil analisis peta topografi tersebut.
Peraturan Kepala Badan Informasi Geospasial Nomor 15 Tahun 2014 Tentang Pedoman
Teknis Ketelitian Peta Dasar
1. Ketelitian Peta Dasar
Ketelitian Peta Dasar meliputi:
a. Ketelitian Geometri adalah nilai yang menggambarkan ketidakpastian koordinat posisi
suatu objek pada peta dibandingkan dengan koordinat posisi objek yang dianggap posisi
sebenarnya. Komponen ketelitian geometri terdiri atas:
1) Akurasi horizontal; dan
2) Akurasi vertikal.
b. Ketelitian atribut/semantik adalah nilai yang menggambarkan tingkat kesesuaian atribut
sebuah objek di peta dengan atribut sebenarnya.
2. Ketelitian Geometri Peta Dasar
Menurut Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2011 tentang Informasi Geospasial, Peta Dasar
terdiri dari:
a. Peta Rupabumi Indonesia (RBI);
Ketentuan untuk standar ketelitian geometri Peta RBI yang dihasilkan tertera pada tabel
di bawah ini.
Tabel 5. 1 Ketelitian geometri Peta RBI
Nilai ketelitian di setiap kelas diperoleh melalui ketentuan seperti tertera pada tabel di
bawah ini.
Tabel 5. 2 Ketentuan ketelitian kelas

Nilai ketelitian posisi peta dasar pada Tabel 1 adalah nilai CE90 untuk ketelitian
horizontal dan LE90 untuk ketelitian vertikal, yang berarti bahwa kesalahan posisi peta
dasar tidak melebihi nilai ketelitian tersebut dengan tingkat kepercayaan 90%.
Nilai CE90 dan LE90 dapat diperoleh dengan rumus mengacu kepada standar sebagai-
berikut US NMAS (United States National Map Accuracy Standards) sebagai berikut:
CE90 = 1,5175 x RMSEr
LE90 = 1,6499 x RMSEz
dengan
RMSEr : Root Mean Square Error pada posisi x dan y (horizontal)
RMSEz : Root Mean Square Error pada posisi z (vertikal)

b. Peta Lingkungan Pantai Indonesia (LPI) dan Peta Lingkungan Laut Nasional (LLN).
Ketelitian geometri dalam peta kelautan pada dasarnya merupakan representasi ketelitian
survei hidrografi yang dilakukan untuk mendapatkan objek-objek kelautan, yaitu sesuai
standar International Hydrographic Organization (IHO) Special Publication edisi ke – 5
No. 44 tahun 2008. Ketelitian yang diatur dalam standar ini dipergunakan untuk
ketelitian horisontal dan vertikal berdasarkan metode statistik dengan tingkat
kepercayaan 95 % (CL95).
Penghitungan ketelitian horisontal dan vertikal dilakukan berdasarkan standar
International Hydrographic Organization (IHO) Special Publication edisi ke – 5 No. 44
tahun 2008, yang mengasumsikan distribusi normal kesalahan dalam tingkat
kepercayaan 95%, dimana:
- Untuk objek 1 dimensi (1D), contohnya titik kedalaman, didefinisikan sebagai
berikut:
CL95 = 1,96 x standar deviasi
- Untuk objek 2 dimensi (2D), contohnya nilai posisi SBNP, didefinisikan sebagai
berikut:
CL95 = 2,45 x standar deviasi

5.2. Survei Penentuan Posisi dengan GPS


GPS merupakan teknologi penentuan posisi yang paling mutakhir saat ini. GPS
merupakan singkatan dari NAVSTAR GPS (Navigation System with Time And Ranging
GlobalPositioning System). Teknologi GPS pertama kali digunakan oleh Departemen
Pertahanan Amerika Serikat pada tahun 1970-an. Pengembangan system ini di bawah
pengawasan Departemen Pertahanan AmerikaSerikat. Sistem ini pada awalnya dirancang untuk
melayani kebutuhan militer Amerika Serikat besertasekutunya, namun sekarang system ini
dapat digunakan oleh kalangan sipil. Konsep yang dikembangkan adalah perlunya suatu
teknologi penentuan posisi yang akurat disetiap titik di permukaan bumi, yang bisa digunakan
kapan saja dan dalam kondisi cuaca apapun.
GPS terdiri dari tiga segmen yaitu segmen angkasa (spacesegment) yang berisi satelit-
satelit yang dimiliki GPS, segmen sistem kontrol (control system segment) yang terdiri atas
stasiun-stasiun kontrol, serta segmen pengguna (user segment) yang merupakan pemakai GPS
termasuk alat penerima dan pengolahsinyal dan data GPS.
Pada dasarnya konsep penentuan posisi dengan GPS adalah reseksi (pengikatan ke
belakang) dengan jarak, yaitu dengan pengukuran jarak secara simultan ke beberapa satelit
GPS yang koordinatnya telah diketahui. Secara mekanisme prinsip dasar penentuan posisi
dengan GPS dapat dilihat pada gambar 5.1.
Gambar 5.1.Ilustrasi Prinsip Penentuan Posisi dengan GPS

Pada pengamatan GPS yang bisa diukur adalah jarak antara pengamat dengan satelit.
Posisi yang diberikan GPS adalah 3 dimensi (X,Y,Z) yang dinyatakan dalam datum WGS
(World Geodetic System) 1984. Dengan GPS titik yang akan ditentukan posisinya dapat diam
(static positioning) ataupun bergerak (kinematic positioning). Posisi titik dapat ditentukan
dengan menggunakan satu receiver GPS terhadap pusat bumi dengan menggunakan metode
penentuan posisi absolute, ataupun terhadap titik lainnya yang telah diketahui koordinatnya
(stasiun referensi) dengan menggunakan metode diferensial (relative) yang menggunakan
minimal dua receiver GPS. Disamping itu, GPS dapat memberikan poisi secara instant (real
time) ataupun sesudah pengamatan setelah data pengamatannya diproses secara lebih ekstensif
(post processing) yang biasanya dilakukan untuk mendapatkan ketelitian yang lebih baik.Secara
umum dikenal beberapa metode dan sistem penentuan posisi dengan GPS, yaitu biasa
digambarkan pada gambar 5.2.
Penentuan Posisi dengan GPS

Survei Navigasi

Absolut Diferensial Diferensial Absolut

Post-processing Real-Time

Statik Stop and Go


Jarak Fase Pseudorange
RTK (DGPS)
Pseudo-kinematik Statik Singkat

Kinematik
Gambar 5.2.Metode dan Sistem penentuan posisi dengan GPS (Langley, 1998)

a. Metode-Metode Pengamatan Posisi dengan GPS


1. Metode Survei Statik Singkat
Metode penentuan posisi dengan survei statik singkat (rapid statik) pada dasarnya
adalah survei statik dengan waktu pengamatan yang lebih singkat, yaitu 5-20 menit
ketimbang 1-2 jam. Prosedur operasional lapangan dari survei statik singkat ini adalah
sama seperti dengan survei statik, hanya selang waktu pengamatannya lebih
singkat.Kalau dibandingkan metode survei statik singkat dengan metode statik dalam
penentuan posisi, maka ada beberapa hal yang patutu dicatat yaitu ;
 Survei statik singkat mempunyai tingkat produktifitas yang lebih tinggi
dibandingkan survei statik, karena waktu pengamatan satu sesi relative lebih
singkat.
 Metode survei statik memberikan ketelitian yang relative lebih tinggi
dibandingkan metode survei statif singkat.
 Metode statif singkat memerlukan receiver GPS serta piranti lunak pemroses
data yang lebih modern.
 Karena harus memastikan penentuan ambiguitas fase secara benar dengan data
pengamatan yang relatif lebih sedikit, metode survei statif singkat relative
kurang fleksibel dalam hal spesifikasi pengamatan dibandingkan metode survei
statik.
 Metode survei statitik singkat relative lebih rentan terhadap efek dari kesalahan
dan bias.
Dalam penentuan koordinat titik-titik control untuk survei dan pemetaan yang
paling baik adalah menggabungkan metode survei statik dan statik singkat, dimana
setiap metode digunakan secara fungsional sesuai dengan karakternya masing-masing,
seperti ditunjukkan pada gambar 5.5.

Survei statik
Survei statik singkat
Titik tetap (kontrol)
Penentuan titik dengan metode statik
Penentuan titik dengan metode statik singkat

Gambar 5.3.Kombinasi metode survei statik dan statik singkat

Dalam hal ini survei statik digunakan untuk menentukan koordinat dari titik-titik
kontrol yang relative berjarak jauh antara satu dengan lainnya serta menuntut orde
ketelitian yang relatif lebih tinggi, sedangkan survei statik singkat digunakan untuk
menentukan koordinat titik-titik kontrol yang relatif lebih dekat satu sama lainnya
serta berorde ketelitian yang relatif lebih rendah.

2. Metode Stop-and-go (semi kinetik)


Pada metode ini titik-titik yang akan ditentukan posisinya tidak bergerak (statik),
sedangkan receiver GPS bergerak dari titik-titik dimana pada setiap titiknya receiver
yang bersangkutan diam beberapa saat di titik-titik tersebut, seperti pada gambar 5.4.
Stop Stop
Moving
Stop Receiver
Moving Go
Receiver
Go Stop Go
Go Monitor station

Stop Stop
Monitor
station Go
Go Stop
Stop
Go Go Go
Stop Stop

Pergerakan receiver Perhitungan koordinabt relatif

Gambar 5.4. Metode penentuan posisi stop-and-go


Metode stop-and-go berbasiskan pada metode penentuan posisi secara diferensial
dengan menggunakan data fase. Koordinat referensi dari titik-titik ditentukan relative
terhadap koordinat dari station referensi (monitor station). Pada metode ini ambiguitas
fase pada titik awal harus ditentukan sebelum receiver bergerak. Dalam
operasionalisasinya, penentuan posisi-posisi titik dengan metode ini dapat dilakukan
secara real time dan post processing.

3. Metode Pseudo-kinematik
Pada dasarnya metode ini merupakan realisasi dari dua metode statik singkat
(lama pengamatan beberapa menit) yang dipisahkan oleh selang waktu yang relatif
lama (beberapa jam), seperti gambar 5.5.
Pengamatan
Statik
Statik Singkat
Pseudo-kinematik

Gambar 5.5. Perbandingan waktu pengamatan metode survei statik,


statik singkat dan pseudo kinematik

Pada metode ini pengamatan dalam dua sesi yang berselang waktu relatif lama
dimaksudkan untuk meliput perubahan geometri yang cukup besar, sehingga
diharapkan mensukseskan penentuan ambiguitas fase serta mendapatkan ketelitian
posisi yang relatif baik. Dalam hal ini perhitungan baseline dilakukan dengan
menggunakan data gabungan dari dua sesi pengamatan tersebut.

Gambar 5.6. Ilustrasi Pengamatan GPS dengan Metode Pseudo-Kinematik

4. Kombinasi Metode
Karena kondisi topografi dan lingkungan pengamatan yang beragam, untuk
meningkatkan efektifitas dan efisiensi, kadang diperlukan kombinasi dari beberapa
metode untuk penentuan posisi titik-titik.

Gambar 5.7.Contoh kombinasi metode penentuan posisi dengan GPS

b. Prosedur Pengamatan GPS


Dalam pelaksanaan survei pelacakan perapatan pilar batas, prosedur pengamatan titik-
titik batas adalah sebagai berikut :
1. Pengecekan titik
Prosedur pengecekan titik yang akan disurvei setiba dilokasi melibatkan :
 Koordinasi lokasi dengan instansi terkait yang terdapat pada wilayah survei
 Pemberitahuan kepada masyarakat sekitar bahwa akan ada pengukuran
 Komunikasi dengan tim-tim lapangan
 Pengecekan nomor dan koordinat titik-titik yang akan disurvei.
2. Prosedur saat pengamatan
Meletakkan GPS navigasi saat melakukan pointing tepat di atas patok, agar
kesalahan gps tidak terlalu tinggi.

3. Prosedur setelah pengamatan


 Pemberitahuan tim lain bahwa pengukuran telah selesai
 Pengecekan formulir isian survei.
4. Prosedur pada hari akhir pengamatan
 Pemindahan (download) data dari setiap kolektor data receiver ke computer
 Penggandaan data (back up)
 Pembersihan memori dari semua data kolektor
c. Jenis Data
Jenis data pengamatan GPS dapat dibagi menjadi data pseudorange dan fase (Carrier
beat Phase). Kedua data tersebut memiliki karakteristik yang berbeda dan
mempengaruhi hasil pengamatan yang dilakukan.
1) Pseudorange
Pseudorange merupakan jarak (range) hasil hitungan oleh receiver GPS dari
data ukuran waktu rambat sinyal dari satelit ke receiver.

Gambar 5.8.Penentuan jarak pseudorange

Pada Gambar 5.8. Pengukuran dilakukan receiver dengan membandingkan kode


yang diterima dari satelit dengan replica kode yang diformulasikan dalam receiver.
Waktu rambat sinyal tersebut diukur dengan teknik korelasi kode C/A atau P. Istilah
“pseudo”diberikan karena jarak tersebut masih mengandung kesalahan akibat bias
antara jam satelit dengan jam receiver. Besarnya pseudorange dapat dirumuskan
sebagai berikut:

(5.1)

Keterangan:
c : kecepatan cahaya (meter/detik)
∆t : lama waktu antar sinyal yang dipancarkan satelit ke receiver (detik)
R’ :pseudorange(meter)
(5.2)

Apabila pseudorange terukur adalah R’,maka jarak dari receiver ke satelit


adalah: Pada persamaan di atas,ΔR merupakan koreksi jarak karena adanya bias antara
jam satelit dengan jam receiver. Jarak R* ini sebenarnya masih mengandung
kesalahan karena refraksi ionosfer, troposfer, kesalahan orbit karena selective
availability, multipath dan noiselain. Sehingga apabila diperhitungkan, maka jarak dari
receiver ke satelit adalah Kecepatan waktu rambat sinyal dengan kode P
memungkinkan hasil pengukuran lebih teliti dibanding dengan menggunakan kode
C/A.Hal ini disebabkan karena panjang gelombang kode P lebih pendek yaitu 30 meter
disbanding dengan panjang gelombang kode C/A yang mencapai 300 meter.Hal ini
berarti kode P memiliki resolusi lebih baik dan kemungkinan kecil terkena multipath.

2) Pseudorange Carrierbeat Phase


Carrierbeat Phase adalah beda fase yang diukur oleh receiver GPS dengan cara
mengurangkan fase sinyal pembawa yang datang dari satelit dengan sinyal serupa
yang dibangkitkan di dalam receiver. Hanya fase pembawa yang tidak penuh yang
dapat diukur ketika sinyal satelit diterima dan jumlah integer gelombang penuh tidak
diketahui dan ini disebut ambiguitas fase.Secara umum dapat diformulakan:

(5.3)

Ternyata perjalanan sinyal dari satelit sampai receiver banyak dipengaruhi oleh
beberapa faktor yaitu refraksi ionosfer, troposfer, kesalahan orbit karena selective
availability, multipath dan noise lainnya. Apabila kesalahan-
kesalahantersebutdiperhitungkan, makapersamaandi atasmenjadi sebagai berikut:
(5.4)

(5.5)

d. Pengolahan Baseline
Pengolahan baseline pada dasarnya bertujuan untuk menghitung vektor baseline (dX,
dY, dZ) dengan menggunakan data fase sinyal GPS yang dikumpulkan pada dua titik
ujung baseline yang bersangkutan. Untuk mendapatkan solusi baseline dengan akurasi
pada orde milimeter atau centimeter digunakan fase gelombang pembawa (carrier phase)
sebagai data pengamatannya.
Prinsip dasar pengolahan data fase berdasarkan pengamatan statik diferensial adalah
teknik untuk mengeliminasi dan mereduksi dari berbagai kesalahan serta bias pada data
fase dengan cara menyelisihkan dua besaran pengamatan fase (differencing technique).
Secara umum tahapan pengolahan data fase untuk menghitung parameter–parameter suatu
baseline berdasarkan teknik pengamatan statik diferensial adalah sebagai berikut:

1. Pseudorange Carrier beat Phase


Pemrosesan triple difference. Pemrosesan triple difference yaitu proses
pengurangan dari double difference pada epoch yang berbeda. Persamaan triple
difference dalam satuan meter (Rizos, 1994).

(5.6)

Persamaan di atas dapat diselesaikan apabila ada titik referensi. Titik referensi
tersebut diperlukan untuk pendefinisikan datum. Parameter pada persamaan
tripple difference adalah titik non referensi. Oleh karena persamaan tripple
difference adalah persamaan non linier maka diperlukan nilai pendekatan yang
diperoleh dari pemrosesan pseudorange (koordinat apriori).

2. Pendeteksian dan koreksi cycle slips


Cycle slip adalah terputusnya sinyal GPS karena terhalang obstruksi atau
pergerakan antena yang terlalu cepat ataupun karena aktifitas ionosfer yang terlalu
tinggi (Rizos, 1994). Pada penyelesaian triple difference adanya cycle slips dapat
ditoleransi dengan adanya titik referensi sedangkan pada penyelesaian double
difference, cycle slips tidak dapat ditoleransi. Akibatnya pendeteksian dan koreksi
cycle slips dilakukan sebelum proses pengolahan double difference.Pendeteksian
cycle slips lebih mudah dibandingkan pengkoreksiannya. Selain itu pendeteksian
cycle slips lebih mudah dilakukan pada data dual frequency yaitu dengan
membandingkan dua perekaman yang mirip pada pengamatan L1dan L2 dari satelit
yang sama dari satu receiver. Sinyal L1 lebih kuat dan memiliki cycle slips yang lebih
sedikit dibandingkan sinyal L2, jadi umumnya cycle slips lebih sering terjadi pada
sinyal L2. Meskipun demikian, pengamatan satelit GPS pada sudut elevasi yang
rendah akan mengakibatkan cycle slips pada kedua frekuensi.Ada dua metode dalam
melakukan koreksi cycle slips yaitu secara otomatis dan manual dengan menggunakan
grafik. Keberhasilan pengkoreksian cycle slips sangat tergantung pada level kesalahan,
bias dari data ukuran, geometri satelit dan kecanggihan algoritma dari perangkat lunak
yang digunakan.

3. Pemrosesan double difference dengan ambiguity float


Pada pengolahan double difference ambiguity float parameter yang diestimasi
adalah koordinat non referensi dan parameter ambiguitas. Persamaan double
difference dalam satuan meter (Rizos, 1994).

(5.7)

4. Pemrosesan double difference dengan ambiguity fixed


Pada pengolahan double difference ambiguity fixed persamaan yang digunakan
sama dengan pada pemrosesan double difference ambiguity float. Pada pengolahan
double difference ambiguity fixed parameter yang diestimasi adalah koordinat non
referensi dan semua parameter ambiguitas. Penyelesaian double difference ambiguity
fixed ini menghasilkan penyelesaian yang baik apabila nilai integer ambiguitas
diidentifikasikan secara jelas.
Pada gambar di atas proses penentuan baseline umumnya dimulai dengan
pemrosesan awal seperti ‘pembersihan’ data dari outlier serta sinkronisasi data dari
kedua stasiun. Selanjutnya, satu stasiun dijadikan sebagai titik referensi yang
koordinatnya telah diketahui dari survei GPS atau dari hasil pengolahan baseline
sebelumnya. Koordinat pendekatan dari stasiun yang lainnya umumnya pertama kali
ditentukan dengan data pseudorange secara absolut. Koordinat stasiun tersebut,
dan dengan kata lain komponen baseline, selanjutnya diestimasi kembali
menggunakan data fase triple-difference (TD) dan pendeteksian dan
pengoreksiancycle slips. Solusi baseline pendekatan ini selanjutnya ditentukan secara
lebih teliti menggunakan data fase double-difference (DD), pertama dengan
ambiguitas fase bilangan real dan akhirnya dengan ambiguitas fase bilangan integer
hingga didapat solusi baseline final.

e. Perataan Jaring GPS


Prinsip dari perataan jaring adalah penyatuan dari vektor-vektor baseline yang telah
dihitung sebelumnya untuk diproses dalam suatu hitung perataan jaringan (network
adjustment).Hitung perataan jaringan dimaksudkan untuk mendapatkan koordinat final dari
titik-titik dalam jaringan GPS. Pada prinsipnya hitung perataan jaringan akan berguna
untuk:
a. Untuk menciptakan konsistensi pada data-data vektor baseline,
b. Untuk mendistribusikan kesalahan dengan cara yang merefleksikan ketelitian
pengukuran,
c. Untuk menganalisa kualitas dari baseline-baseline, serta
Untuk mengidentifikasi baseline-baseline serta titik-titik kontrol yang perlu
dilakukan pengukuran ulang. Perataan Jaring GPS umumnya dilakukan dalam 2 tahap
yaitu: perataan jaring bebas dan perataan jaring terikat Perataan Jaring Bebas dilakukan
dengan hanya menggunakan satu titik tetap dan dimaksudkan untuk mengecek konsistensi
data vektor baseline. Pada perataan jaring bebas, vektor-vektor baseline diarahkan untuk
membentuk suatu jaringan GPS yang optimal. Perataan jaring bebas identik dengan metode
minimum constraint dimana pendefinisian data acuan dilakukan untuk mengatasi
kekurangan rank Perataan Jaring Terikat dilakukan setelah vektor- vektor baseline
memenuhi syarat kontrol kualitas. Pada perataan ini semua titik tetap digunakan. Pada
prinsipnya fungsi perataan jaring terikat adalah untuk mengecek konsistensi data ukuran
baseline dengan titik-titik kontrol yang telah ada (suatu mekanisme kontrol kualitas), serta
untuk mengintegrasikan titik-titik dalam jaringan baru ke jaringan yang telah ada (tingkat
ketelitian lebih tinggi atau setidaknya sama)

f. Distribusi Titik kontrol dan Titik Ikat


Ground Control Point (GCP) atau titik kontrol adalah titik lokasi yang diketahui atau
diidentifikasi dalam ruang nyata (di tanah), dan Ground Control Point (GCP) digunakan
untuk verifikasi posisi fitur peta. Ground Control Point (GCP) berfungsi sebagai titik
sekutu antara sistem koordinat peta dan sistem koordinat foto.
Independent Check Point (ICP) atau titik cek adalah sebagai kontrol kualitas dari
obyek dengan cara membandingkan koordinat model dengan koorsinat sebenarnya.
Ground Control Point (GCP) dan Independent Check Point (ICP) pada umumnya
dibuat menyebar dipinggiran foto dan diadakan sengan dua cara, yaitu (Harintaka, 2008) :
1. Pre-marking adalah mengadakan titik target sebelum pemotretan dilaksanakan.
2. Post-marking adalah mengidentifikasi obyek yang terdapat pada foto, kemudian
ditentukan koordinat petanya.
Tie point atau titik ikat adalah titik sekutu yang merupakan titik sekutu antar foto yang
saling bertampalan. Tie point selalu dibuat dengan cara post-marking, yaitu
menidentifikasi obyek yang sama pada daerah foto yang bertampalan. Akurasi dan presisi
adalah faktor yang perlu diperhatikan dalam pembuatan Ground Control Point (GCP) yang
berkualitas.

5.3. Orthorektifikasi
Orthorektifikasi adalah proses koreksi geometrik citra satelit atau foto udara untuk
memperbaiki kesalahan geometrik citra yang bersumber dari pengaruh topografi, geometri
sensor dan kesalahan lainnya. Hasil dari orthorektifikasi adalah citra tegak (planar) yang
mempunyai skala seragam di seluruh bagian citra. Orthorektifikasi sangat penting untuk
dilakukan apabila citra akan digunakan untuk memetakan dan mengekstrak informasi dimensi,
seperti lokasi, jarak, panjang, luasan, dan volume.
Citra tegak merupakan citra yang telah dikoreksi segala kesalahan geometriknya, sebagai
akibat dari mekanisme perekaman citra. Kesalahan geometrik citra dapat berasal dari sumber
internal satelit dan sensor (sensor miring/off nadir) ataupun sumber eksternal, yang dalam hal
ini adalah topografi permukaan bumi. Perekaman off nadir dan perbedaan ketinggian berbagai
obyek di permukaan bumi menyebabkan adanya kesalahan citra yang disebut relief
displacement. Relief displacement sendiri dapat didefinisikan sebagai pergeseran posisi obyek
dari tempat seharusnya, yang disebabkan oleh ketinggian obyek dan kemiringan sensor citra

Gambar 5.9 Kesalahan Geometrik Pergeseran Relief

Proses orthorektifikasi dilakukan mengunakan tiga jenis informasi, yaitu informasi


orientasi internal dan eksternal sensor pada saat merekam, informasi elevasi permukaan bumi,
dan informasi koordinat obyek di bumi (Ground Control Points). Dalam kenyataannya,
informasi orientasi sensor pada saat perekaman tidak diberikan oleh vendor citra, sebagai
penggantinya vendor memberikan informasi simulasi orientasi sensor yang disebut dengan RPC
(Rational Polynomial Coefficient). Sedangkan informasi ketinggian diperoleh dari digital
elevation model (DEM). Adapun informasi koordinat obyek di bumi diperoleh dari GPS. Agar
orthorektifikasi dapat memberikan akurasi maksimal, DEM dan GCP yang digunakan harus
mempunyai akurasi yang baik. GCP dan DEM yang baik secara akurasi dan resolusi biasanya
diperoleh dari survey Differential GPS dan IFSAR/LIDAR.
Hasil orthorektifikasi berupa citra ortho/tegak yang mana seluruh kesalahan geometrik
sudah dihilangkan. Dengan demikian bisa diibaratkan citra ortho sudah seperti peta dan dapat
dimanfaatkan untuk menurunkan data spasial. Tahapan orthorektifikasi dapat di lihat pada
Gambar 5.10.
• Citra mentah disini adalah citra format standar dari vendor citra dimana di dalam atau bersama file citra dilampirkan metadata asli citra
(informasi tanggal perekaman, sudut sensor, gain offset, informasi geometri sensor dll) atau citra turunan yang sudah dilengkapi dengan
Input Citra informasi RPC (Rational Polynomial Coefficient) yang menentukan hubungan antara sensor dan permukaan bumi.
Mentah

• Orthorektifikasi bisa dilakukan tanpa menggunakan GCP, tapi akurasi hasil orthorektifikasinya biasanya tidak sebaik dengan tambahan GCP.
Hal ini dikarenakan informasi hubungan geometri sensor dan permukaan bumi hanya diwakili oleh RPC yang sebenarnya merupakan model
Input GCP geometri turunan/bukan asli

• DEM diperlukan untuk mengkoreksi kesalahan pergeseran relief akibat perbedaan topografi, semakin tinggi resolusi dan akurasi DEM yang
digunakan, hasil ortorektifikasi akan semakin baik dan akurat.
Input DEM

• Bundle Adjusment adalah proses matching antara DEM, GCP, dan citra , untuk menghasilkan model tiga dimensional yang menggambarkan
posisi sensor dan permukaan bumi pada saat citra direkam. Citra satelit kemudian ditampalkan di atas model tiga dimensional tersebut,
Bundle direstrukturisasi ulang pikselnya kemudian diturunkan citra tegak/ortho.
Adjusment

• Uji akurasi dilakukan untuk mengevaluasi hasil dari orthorektifikasi, apakah sudah memenuhi ketentuan minimal akurasi skala pemetaan
apa belum. Uji akurasi dilakukan dengan membandingkan antara koordinat pada citra ortho dengan koordinat lokasi tersebut di lapangan,
kemudian dihitung selisihnya. Proses penghitungan ini dilanjutkan sampai didapat jumlah sampel yang signifikan secara statistik dan diakhiri
Uji Akurasi dengan penghitungan RMSE untuk menentukan akurasi citra ortho.

• Hasil proses berupa citra tegak/ortho


Citra Tegak

Gambar 5.10 Tahapan orthorektifikasi

5.4. Digitasi Peta


Digitasi merupakan proses pembentukan data yang berasal dari data raster menjadi data
vektor. Dalam sistem informasi geografis dan pemetaan digital, data vektor banyak
digunakan sebagai dasar analisis dan berbagai proses.
Digitasi peta raster (vektorisasi) dapat dilakukan dengan menggunakan tablet digitizer
atau dengan on screen digitizing. Pada kegiatan ini kita akan melakukan proses vektorisasi data
raster menjadi data vektor melalui proses digitasi on screen. Digitasi dilakukan dengan batuan
program pengolah gambar seperti MapInfo atau AutoCAD, AutoCADMAP.

5.5. Geodatabase
Basis data (database) adalah sekumpulan logis dari informasi yang saling terkait yang
dikelola dan disimpan sebagai satu kesatuan. Basis data GIS (Geodatabase) umumnya
mencangkup lokasi spatial dan bentuk dari feature yang disimpan dalam bentuk titik, garis,
polygon, pixel/grid/cell atau TIN (Triangulated Irregular Network) lengkap dengan data
atributnya.
Dalam pengertian lain, database juga merupakan himpunan atau kumpulan data atau file
yang saling berhubungan yang disimpan dalam satu media (elektronik) secara terorganisir,
sehingga dapat diakses dengan mudah dan cepat. Jadi geodatabase merupakan database tentang
data geografis.
Agar database dapat diakses dengan mudah dan cepat, maka database yang dibuat harus
mempunyai struktur basis data yang kompak, struktur table efisien dan sistematis, space
(memori) penyimpanan yang kompak, ukuran table efisien untuk mempercepat proses
pengolahan, sedikit/tidak ada pengulangan, dan tidak ada ambiguitas data dari semua table yang
ada. Atau secara umum dapat disebut geodatabase (database berbasis GIS).
Geodatabase adalah database relasional yang memuat informasi geografi. Geodatabase
terdiri atas feature classes (spatial) dan tabel (non-spatial). Feature Class merupakan kumpulan
dari beberapa feature yang memiliki bentuk geometri dan atribut sama. Feature classes dalam
geodatabase dapat berupa single feature atau individu dan dapat juga disusun dalam suatu
feature datasets. Semua feature datasets dalam sebuah geodatabase menggunakan sistem
koordinat yang sama.
Domain digunakan untuk menentukan lingkup (range) dan wilayah terpilih (selected
area) setiap jenis informasi. Ada dua sistem geodatabase yaitu Server-Geodatabase dan
Personal Geodatabase. Server-Geodatabase merupakan Relational Database Management
System (Oracle, SQL-Server, DB2) dan Personal Geodatabase menggunakan sistem data MS-
Access.

5.6. Tahapan Pelaksanaan Kegiatan


5.6.1. Tahapan Persiapan
a Tahap persiapan pembuatan titik GCP dan titik ICP
Pekerjaan yang dilakukan pada tahapan persiapan adalah:
1. Penyiapan data citra dan DEM / DSM yang akan di orthorektifikasi
2. Pemeriksaan kesiapan alat yang akan digunakan
3. Penyiapan kesiapan personil yang akan dilibatkan
b Tahapan persiapan pembuatan unsur peta dasar
Tahapan persiapan mencakup hal-hal sebagai berikut:
1. Penyiapan personil dan peralatan yang diperlukan dalam pelaksanaan pekerjaan
sesuai dengan dokumen penawaran. Pemberi Kerja akan melakukan pengecekan
terhadap kesesuaian tim pelaksana dan peralatan yang akan digunakan dalam
pelaksanaan pekerjaan dengan dokumen penawaran.
2. Penyusunan rencana detail pelaksanaan pekerjaan sebagai acuan teknis dalam
pelaksanaan pekerjaan. Rencana detail pelaksanaan pekerjaan sekurang-kurangnya
mencakup:
a) Pendahuluan: latar belakang, maksud dan tujuan, volume
pekerjaan, hasil pekerjaan yang akan diserahkan.
b) Pelaksanaan pekerjaan, meliputi:
1) Tahapan pelaksanaan pekerjaan yang dilengkapi dengan diagram
alir dan penjelasan rinci pada masing- masing tahapan pelaksanaan pekerjaan.
2) Jadwal pelaksanaan rinci.
3) Organisasi pelaksanaan dilengkapi dengan deskripsi kerja masing-
masing unit organisasi. Dalam hal Penyedia Jasa merupakan
konsorsium harus dilengkapi dengan deskripsi tugas dan tanggungjawab dari
masing-masing perusahaan anggota konsorsium.
4) Susunan personil pelaksana dilengkapi dengan jadwal penugasan dan beban
kerja masing-masing personil pada setiap tahapan pekerjaan. Dalam hal
Penyedia Jasa merupakan konsorsium, maka perusahaan asal dari masing-
masing personil pelaksana harus dicantumkan
5) Peta indeks kerja dalam skala 1:5.000. Dalam hal Penyedia Jasa merupakan
konsorsium, maka wilayah kerja dari masing-masing konsorsium harus
disajikan
6) Mekanisme monitoring dan evaluasi di internal Penyedia Jasa untuk menjamin
kelancaran pelaksanaan pekerjaan. Kemajuan pekerjaan untuk setiap NLP dan
tahapan pekerjaan disajikan dalam suatu indeks kerja
7) Mekanisme kontrol kualitas internal (QC) Penyedia Jasa terhadap output dari
setiap tahapan pekerjaan dilengkapi dengan formulir QC yang akan digunakan
c) Menguraikan sumber data yang akan digunakan dalam pelaksanaan pekerjaan
d) Peralatan yang digunakan
e) Spesifikasi teknis yang harus dipenuhi bagi setiap output dari masing-masing
tahapan pekerjaan. Spesifikasi teknis wajib mengikuti apa yang tercantum dalam
KAK atau lebih baik
3. Pengumpulan data dasar dan data pendukung yang akan digunakan dalam pelaksanaan
pekerjaan. Data yang diserahterimakan dari Pemberi Kerja wajib dibuatkan berita
acara serah terima data. Penyedia Jasa wajib untuk melakukan pengecekan terhadap
kondisi setiap data dan melaporkan kepada Pemberi Kerja apabila dijumpai data yang
rusak atau tidak memenuhi spesifikasi untuk digunakan
4. Penyedia Jasa wajib menandatangani pernyataan kesediaan (non disclosure agreement)
untuk tidak memberikan seluruh data-data yang digunakan dalam pelaksanaan
pekerjaan ini maupun seluruh hasil pekerjaan kepada pihak lain tanpa izin tertulis dari
pemberi kerja
Melakukan penyiapan struktur folder sesuai dengan struktur yang diberikan dari
Pemberi Kerja. Termasuk di dalamnya melakukan replika geodatabase dari Pemberi
Kerja.

5.6.2. Perencanaan & Pengukuran GCP (Ground Control Point)


Ground Control Point adalah suatu titik kontrol lapangan yang mengarahkan citra pada
lokasi sebenarnya di lapangan dan digunakan sebagai input dalam proses orthorektifikasi. Citra
satelit resolusi tinggi yang diperoleh dari LAPAN belum dilakukan proses koreksi geometrik
orthorektifikasi atau penegakkan. Citra yang belum terkoreksi geometrik orthorektifikasi
memerlukan GCP atau titik kontrol lapangan. Selain itu, keperluan survei dan pemetaan
khususnya pekerjaan ini, diperlukan citra satelit resolusi tinggi yang telah terkoreksi secara
posisi dan relief topografinya.
GCP dihasilkan dari hasil pengukuran di lapangan menggunakan alat GPS Geodetik.
Persebaran titik GCP ini harus merata di seluruh wilayah dan disesuaikan dengan
topografi/reliefnya. Pelaksanaan pekerjaan perencanaan dan pengukuran GCP harus melalui
persetujuan pemberi pekerjaan, GCP yang diperlukan sebanyak 38 Titik dan ICP 20 Titik.
5.6.3. Orthorektifikasi Citra Satelit
Dalam konteks pelaksanaan kegiatan pembuatan unsur peta dasar yang umumnya
membutuhkan tingkat akurasi pada level pemetaan rupa bumi skala 1:5.000. Proses
orthorektifikasi dimaksudkan untuk menghasilkan citra satelit tegak yang terkoreksi secara posisi
dan relief topografinya. Oleh karena itu resolusi citra optis yang digunakan untuk proses
orthorektifikasi juga harus memenuhi standar pemetaan skala 1:5.000, namun level data yang
dapat diperoleh dari hasil orthorektifikasi hanya pada tingkatan 2 Dimensi. Spesifikasi teknis
yang digunakan dalam pelaksanaan kegiatan orthorektifikasi adalah sebagai berikut:
a Input data berupa:
1. DEM (Digital Elevation Model). Data DEM disediakan oleh Pemberi Pekerjaan; dan
2. Titik GCP yang diperoleh dari hasil pengukuran.
a) Pemrosesan menggunakan software pengolahan citra yang support dengan
orthorektifikasi.
b) Metode yang dipilih dalam proses orthorektifikasi adalah Least Square
Collocation (level akurasi yang dibutuhkan hingga sub-piksel).
c) Citra hasil proses orthorektifikasi harus memenuhi:
1) Resolusi spasial lebih baik atau sama dengan resolusi input citra; dan
2) Akurasi horisontal lebih baik atau sama dengan 0,3 mm x skala peta yang akan
dihasilkan. Yang dibuktikan dengan nilai ICP.

5.6.4. Digitasi Unsur Peta Dasar


Unsur peta dasar merupakan jenis informasi yang dapat digunakan sebagai kerangka
referensi analisis keruangan secara akurat dan dapat dipertanggungjawabkan. Unsur peta dasar
yang harus dikompilasi dari citra hasil orthorektifikasi antara lain:
a Perairan (Hidrografi) sebagai representasi wilayah aliran perairan;
b Transportasi dan Utilitas sebagai representasi jaringan penghubung aktivitas dan
mobilitas buatan manusia;
c Bangunan (bangunan/persil/batas kapling) dan Fasilitas Umum sebagai representasi
obyek yang digunakan manusia dalam beraktivitas;
d Penutup Lahan sebagai representasi zonasi obyek rupabumi berdasarkan kriteria
klasifikasi jenis tutupan lahan; dan
e Batas Wilayah indikatif sebagai representasi pembagian wilayah administratif secara
politis.
Digitasi unsur peta dasar harus dilakukan pada semua detil objek yang memiliki ukuran
lebih besar dari 0,5mm x 0,5mm pada skala peta, atau ukuran 2,5m x 2,5m pada skala 1:5.000.
Unsur rupa bumi yang tidak dapat teridentifikasi dengan pasti pada tahapan pekerjaan ini
harus ditambahkan pada tahap pekerjaan survei kelengkapan lapangan.

5.6.5. Pembentukan Geodatabase


Semua objek yang dihasilkan pada proses digitasi, harus dikonversi ke dalam format
geodatabase dan dikelompokkan kedalam tema unsur peta dasar dimana setiap tema dapat berupa
titik, garis, atau area.

5.6.6. Survei Kelengkapan Lapangan


Kegiatan survei kelengkapan lapangan dilakukan dengan tujuan sebagai berikut:
a Memperoleh batas wilayah administrasi indikatif dan pengesahannya dari aparat
pemerintahan setempat,
b Melakukan pengumpulan nama rupabumi,
c Cek Lapangan. Cek lapangan dilakukan dengan mengambil beberapa titik sampel untuk
dilakukan pengukuran GPS.
d Verifikasi penutup lahan dan unsur rupabumi lainnya. Baik untuk unsur yang tidak
teridentifikasi pada saat plotting, maupun untuk mendapatkan perhitungan kappa
indeks.
Unsur -unsur yang dilakukan uji lapangan antara lain meliputi batas administrasi, nama-
nama geografis, penutup lahan, dan batas persil/kapling.

5.6.7. Entri Data Lapangan Dan Penyelarasan Data


Kegiatan entry data lapangan merupakan kegiatan memasukkan dan mengolah seluruh data
yang telah didapatkan dari hasil survei lapangan dan toponim ke dalam atribut peta. Proses entry
data lapangan, hasil survei lapangan tersebut digabungkan untuk melengkapi data yang
dihasilkan dari tahapan digitasi unsur peta dasar.

5.6.8. Penyajian Peta


Penyajian peta harus memenuhi persyaratan berikut:
a Data yang telah bersih dari kesalahan disajikan secara kartografis sesuai dengan
spesifikasi rupabumi skala 1:5.000 yang telah ditetapkan;
b Penyajian peta rupabumi disajikan untuk tiap-tiap NLP;
c Hasil dari proses penyajian peta rupabumi pada akhirnya harus dicetak untuk
diserahkan pada penyerahan akhir.
d Metadata yang dibuat, menggunakan ISO 19139 yang merupakan implementasi dari
ISO 19115.
e Untuk NLP arah ke barat yang berbatasan yang mempunyai kode A1, A2, B3 dan B4
harus ditampilkan penuh satu NLP.

5.6.9. Tahapan Pelaporan


Hal-hal yang harus dilaksanakan dalam tahapan pekerjaan ini adalah:
Laporan pelaksanaan pekerjaan terdiri dari:
a. Laporan Pendahuluan, mencakup hal-hal sebagai berikut:
1. Dokumen rencana detail pelaksanaan pekerjaan berikut lampiran-lampiran
terkait.
2. Persetujuan dokumen rencana detail pelaksanaan pekerjaan dari Tim Supervisi.
3. Hasil pemeriksaan personil pelaksana dan peralatan yang akan digunakan dalam
pelaksanaan pekerjaan.
4. Bukti serah terima data dasar dari Pemberi Kerja.
5. Laporan Pendahuluan diserahkan setelah tahap persiapan selesai dilaksanakan,
dalam format hardcopy sebanyak 2 (dua) set dan format digital (MS Office
Document) sebanyak 1 (satu) set.
b. Laporan Antara, mencakup hal-hal sebagai berikut:
1. Laporan Hasil GCP dan ICP
2. Laporan Hasil orthorektifikasi citra
c. Laporan Bulanan, mencakup hal-hal sebagai berikut:
1. Kemajuan pekerjaan yang telah dicapai pada bulan berjalan, disertai dengan
bukti-bukti
2. Kendala yang dihadapi dalam pelaksanaan pekerjaan.
3. Solusi dalam mengatasi kendala yang dijumpai.
4. Rencana pelaksanaan pekerjaan pada bulan berikutnya.
5. Kurva S.
6. Rekapitulasi laporan mingguan.
7. Persetujuan Tim Supervisi atas pencapaian hasil pekerjaan pada bulan berjalan.
8. Laporan Bulanan diserahkan selambat-lambatnya pada tanggal 5 setiap bulan,
dalam format hardcopy sebanyak 2 (dua) set dan format digital (MS Office
Document) sebanyak 1(satu) set.
d. Laporan Akhir, mencakup hal-hal sebagai berikut:
1. Laporan lengkap pelaksanaan pekerjaan.
2. Album peta ukuran A0 yang berisi seluruh area untuk masing-masing lembar
terdiri dari unsur-unsur:
a) Transfortasi dan utilitas
b) Penutup lahan
c) Perairan dan garis pantai
d) Nama rupa bumi (toponim)
e) Batas wilayah (indikatif)
f) Mosaik orthoimage
Pada setiap lembar dilengkapi unsur-unsur batas wilayah (provinsi dan
kabupaten/kota, nama wilayah administrasi (provinsi dan kabupaten/kota), sungai utama,
transportasi (jalan nasional) dan indeks NLP untuk keperluan orientasi.
Data-data hasil pekerjaan dalam format digital tersimpan dalam hardisk dan
dilengkapi dengan cheklist daftar data yang tersimpan (daftar isi harddisk atau struktur
folder) sesuai dengan Petunjuk Pembuatan Struktur Folder dan Penamaan File.
Pelaksanaan tahapan pelaporan harus mengacu kepada dokumen petunjuk pelaksaan
kegiatan

You might also like