You are on page 1of 64

CASE REPORT 1

SEORANG PEREMPUAN USIA 66 TAHUN DENGAN KOLIK RENAL


DAN DIABETES MELITUS TIPE 2

Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan

Pendidikan Program Profesi Dokter Stase Ilmu Penyakit Dalam

Fakultas Kedokteran Universitas Muhammadiyah Surakarta

Pembimbing :

dr. Nur Hidayat, Sp. PD

Diajukan Oleh :

Nita Dewi Novitasari, S.Ked

J510170052

KEPANITERAAN KLINIK BAGIAN ILMU PENYAKIT DALAM


FAKULTAS KEDOKTERAN UMS / RSUD KARANGANYAR
2018
CASE REPORT 1

SEORANG PEREMPUAN USIA 66 TAHUN DENGAN KOLIK RENAL


DAN DIABETES MELITUS TIPE 2

Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan


Pendidikan Program Profesi Dokter Stase Ilmu Penyakit Dalam
Fakultas Kedokteran Universitas Muhammadiyah Surakarta

Oleh :

Nita Dewi Novitasari, S.Ked

J510170052

Telah diajukan dan disahkan oleh Bagian Program Pendidikan Profesi


Fakultas Kedokteran Universitas Muhammadiyah Surakarta pada
hari ............. tanggal ....................... 2018

Pembimbing :

dr. Nur Hidayat, Sp. PD (………………………..)

CASE REPORT
A. IDENTITAS
Nama : Ny. S
Umur : 66 tahun
Jenis Kelamin : Perempuan
Pekerjaan : IRT
Alamat : Bibis Jongke Karanganyar
Agama : Islam
No RM : 001943xx
Tanggal Masuk RS : 28 Mei 2018
Tanggal Pemeriksaan : 28 Mei 2018

B. ANAMNESIS
Riwayat penyakit pasien diperoleh secara autoanamnesis.
a. Keluhan Utama
Nyeri perut kiri.
b. Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien datang ke RSUD Karanganyar dengan keluhan nyeri perut
bagian kiri hingga tembus sampai punggung belakang. Nyeri perut
disertai dengan panas dan kaku. Keluhan dirasakan sekitar ± 2 jam
SMRS. Nyeri dirasakan timbul mendadak setelah pasien makan sahur.
Dan nyeri dirasakan semakin lama semakin memberat. Pasien juga
mengatakan keluhan nyeri tidak membaik dengan perubahan posisi.
Keluhan nyeri membaik setelah pasien mendapatkan terapi injeksi dari
IGD.
Pasien juga mengatakan keluhan disertai dengan mual, dan muntah
1x sekitar ¼ gelas belimbing. BAK pasien lancar, tidak sakit, tidak
panas dan tidak ada keluhan. BAB pasien lancar, pasien selalu BAB 1
kali setiap harinya. Pasien mengaku sebelumnya tidak pernah
mengalami keluhan serupa.
c. Riwayat Penyakit Dahulu
 Riwayat Sakit Serupa : disangkal
 Riwayat Diabetes Melitus : diakui (3 tahun yang lalu,
terkontrol)
 Riwayat Hipertensi : disangkal
 Riwayat Asma : disangkal
 Riwayat Maag : disangkal
 Riwayat Alergi Makanan & Obat : disangkal
 Riwayat Mondok di RS : disangkal
d. Riwayat Penyakit Keluarga
 Riwayat Sakit Serupa : disangkal
 Riwayat Diabetes Melitus : diakui
 Riwayat Hipertensi : diakui
 Riwayat Alergi Makanan & Obat : disangkal
e. Riwayat Kebiasaan
 Riwayat Merokok : disangkal
 Riwayat Konsumsi Alkohol : disangkal

C. ANAMNESIS SISTEM LAIN


Sistem Cerebrospinal Gelisah (-), Lemah (-), Demam (-)
Sistem Cardiovascular Akral hangat (+), Sianosis (-), Anemis (-), Deg-
degan (-)
Sistem Respiratorius Batuk (-), Sesak Napas (-)
Sistem Genitourinarius BAK sulit (-), sedikit (-), nyeri saat BAK (-)
Sistem Gastrointestinal Nyeri perut (+), mual (-), muntah (-), BAB Cair
(-) sulit BAB (-)
Sistem Musculosceletal Badan lemas (-), atrofi otot (-), jimpe (-)
Sistem Integumentum Perubahan warna kulit (-), pucat (-), sikatriks (-)

D. PEMERIKSAAN FISIK
Status Generalis
 Keadaan Umum : Tampak kesakitan
 Kesadaran : Compos Mentis, E4V5M6
Vital Sign
 Tekanan Darah : 120/80 mmHg
 Nadi : 92x/menit
 Respirasi : 18 x/menit
 Suhu : 36oC
 Kepala : Normocephal, konjungtiva anemis (-/-), sklera
ikterik (-/-), sianosis (-).
 Leher : Leher simetris, massa (-), peningkatan JVP (-),
pembesaran kelenjar limfe (-).
 Thorax
Paru Hasil pemeriksaan
Inspeksi Bentuk dada kanan dan kiri simetris, ketertinggalan
gerak dada (-), barrel chest (-).
Palpasi Fremitus dada kanan dan kiri sama.
Perkusi Sonor di paru kanan dan paru kiri.
Auskultasi Terdengar suara dasar vesikular (+/+), Ronkhi (-/-),
Wheezing (-/-).
Jantung Hasil pemeriksaan
Inspeksi Ictus cordis tidak tampak.
Palpasi Ictus cordis teraba tidak kuat angkat.
Perkusi Batas Jantung :
Batas Kiri Jantung
^ Atas : SIC II di sisi lateral linea parasternalis
sinistra.
^ Bawah : SIC IV linea axilaris anterior sinistra.
Batas Kanan Jantung
^ Atas : SIC II linea parasternalis dextra
^ Bawah : SIC IV linea parasternalis dextra
Auskultasi BJ I/II regular, bising sistolik (-), dan bising diastolik
(-).

 Abdomen
Abdomen Hasil pemeriksaan
Inspeksi Dinding perut sejajar dengan dinding dada, distended
(-), sikatriks (-).
Auskultasi Suara peristaltik (+), Suara tambahan (-).
Palpasi Nyeri tekan (+).

Perkusi Suara timpani (+), Nyeri ketok costovertebrae (-/+).

 Ekstremitas : Clubbing finger (-), pitting oedem (-)


Ekstremitas Superior Dextra Akral Hangat (+), Edema (-)
Ekstremitas Superior Sinistra Akral Hangat (+), Edema (-)
Ekstremitas Inferior Dextra Akral Hangat (+), Edema (-)
Ekstremitas Inferior Sinistra Akral Hangat (+), Edema (-)

E. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan Laboratorium Tanggal 28 Mei 2018
Angka Satuan Nilai Normal
Hemoglobin 10.1 (L) gr/dl 12.0 – 15.5
Hematokrit 32.8 (L) % 35 – 47
Lekosit 10.97 10^3/ul 4.4 – 11.3
Trombosit 279 10^3/ul 150 – 362
Eritrosit 4.06 (L) 10^6/ul 4.1 – 5.1
MCV 80.8 (L) fL 82.0 – 92.0
MCH 25.0 (L) Pg 28 – 33
MCHC 30.9 (L) g/dL 32.0 – 37.0
Neutrofil% 84.2 % 50.0 – 70.0
Limfosit% 9.1 % 25.0 – 40.0
Monosit% 4.0 % 3.0 – 9.0
Eosinofil% 2.2 % 0.5 – 5.0
GDS 290 (H) mg/100ml 70 – 150
Creatinin 1.41 (H) mg/100ml <1.0
Ureum 36 mg/dl 10 – 50

F. RESUME
 Dari hasil autoanamnesis didapatkan bahwa keluhan berupa nyeri perut
bagian kiri hingga tembus punggung belakang (+). Terasa panas dan
kaku (+), mendadak , semakin memberat, tidak membaik dengan
perubahan posisi, mual (+), muntah (+), pasien memiliki riwayat sakit
DM terkontrol sejak 3 tahun yang lalu.
 Dari hasil pemeriksaan fisik didapatkan keadaan umum tampak
kesakitan. Kesadaran compos mentis. Vital sign, TD : 120/80 mmHg,
Nadi : 92x/menit, Respirasi : 18 x/menit, Suhu : 36oC, Konjungtiva
anemis (-/-). Bentuk dada normal dan simetris antara dada kanan dan
kiri, ictus cordis tidak tampak dan tidak kuat angkat, BJ I-II reguler.
Pernapasan dalam batas normal, dinding perut sejajar dengan dinding
dada, peristaltik (+), nyeri tekan perut regio lumbar sinistra (+), nyeri
ketok kostovertebra (-/+), timpani (+), akral hangat (+), oedema
tungkai (-).

G. DIAGNOSA KERJA
Kolik renal
Diabetes Melitus tipe II
H. DIAGNOSIS BANDING
Kolik renal e.c batu ginjal
Cholelitiasis
I. PENATALAKSANAAN
1. Medikametosa
Inf RL 20 tpm
Inj omeprazole vial/ 12 jam
Inj santagesik A/12 jam
Inj. Ondancentron/ 12jam
Novorapid 3x4unit
2. Non medikamentosa
Diet rendah kalori
Diet rendah gula
Banyak bergerak

J. FOLLOW UP
28/05/2018 S/ pasien mengeluh nyeri perut kiri P/
hingga tembus punggung belakang, Inf. RL 20tpm
disertai panas dan kaku. Mual (+), Inj. Ketorolac 1 A ekstra
muntah 1x ¼ gelas belimbing. Inj. Ranitidin 1A ekstra
O/ Kesadaran: CM Inj. Omeprazole 1vial
KU: tampak kesakitan /12jam
TD = 120/80 mmHg Inj. Santagesik 1A/12jam
S = 36 Inj. Ondansentron 1A/
RR = 18 x/menit 12jam
N = 92x/menit Novorapid 3x4unit
K/L = CA (+/+), SI (-/-), Pemb.KGB
(-/-), peningkatan JVP (-).
Tho = P/SDV (+/+) Whz (-/-) Rho (-/-
)
C/ BJ I/II reguler
Abd = supel (+) NT (+), Peristaltik (+)
timpani (+), nyeri ketok kostovertebra
(-/+)

Eks = akral hangat (+), edema (+/+)


A/ kolik renal
DM tipe II

30/05/2018 S/ Pasien mengatakan nyeri perut P/


berkurang. Mual (-), muntah (-) Inf. RL 20 tpm
O/ Kesadaran: CM Inj. Omeprazole 1vial/
KU: Sedang 12jam
TD = 120/80 mmHg Inj. Santagesik 1A/12jam
S = 36.2 Inj. Ondansentron 1A/
RR = 18 x/menit 12jam
N = 73 x/menit Novorapid 3x4unit
K/L = CA (+/+), SI (-/-), Pemb.KGB Ciprofloxacin 500mg
(-/-), peningkatan JVP (-). 2x1tab
Tho = P/SDV (+/+) Whz (-/-) Rho (-/-
)
C/ BJ I/II reguler
Abd = Supel (+) NT (+), Peristaltik
(+) timpani (+), nyeri ketok
kostovertebra (-/+)
Eks = Akral hangat (+), edema (-/-)
GDS 93 70-150
Warna Kuning Kuning
keruh jernih
BJ >1.025 1.005-1.030
pH 6.5 4.8-7.4
Keton - Negative
Protein - Negative
Glukosa - Negative
Nitrit - Negative
Leukosit 8-9 0-3
Eritrosit 15-20 0-5
Silinder - Negative
Epitel + Negative
Squamos
Bakteri + Negative
Lain-lain - Negative

A/ ISK
DM tipe II
31/05/2018 S/ Pasien mengatakan sudah tidak ada P/
keluhan Ciprofloxacin 500mg tab
O/ Kesadaran: CM 2x1
KU: Sedang Novorapid 3x4unit
TD = 120/70 mmHg Paracetamol 500mg tab
S = 36 3x1
RR = 20 x/menit Omeprazole tab 2x1
N = 80 x/menit
K/L = CA (+/+), SI (-/-), Pemb.KGB
(-/-), peningkatan JVP (-).
Tho = P/SDV (+/+) Whz (-/-) Rho (-/-
)
C/ BJ I/II reguler
Abd = Supel (+) NT (-), Peristaltik (+)
timpani (+), nyeri ketok kostovertebra
(-/-)
Eks = Akral hangat (+), edema (-/-)
GDS : 102
A/ ISK
DM tipe II
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

1. Kolik Renal
A. Definisi
Kolik didefinisikan sebagai nyeri tajam yang disebabkan oleh
sumbatan, spasme otot polos, atau terputarnya organ berongga. Kolik renal
berarti nyeri tajam yang disebabkan sumbatan atau spasme otot polos pada
saluran ginjal atau saluran kencing (ureter).
Nyeri dirasakan di flank area yaitu daerah sudut kostovertebra kemudian
dapat menjalar ke dinding depan abdomen, ke regio inguinal, hingga ke
daerah kemaluan.
B. Epidemiologi
Satu dari 20 orang menderita batu ginjal. Pria:wanita = 3:1. Puncak
kejadian di usia 30-60 tahun atau 20-49 tahun. Prevalensi di USA sekitar 12%
untuk pria dan7% untuk wanita.
C. Etiologi
Etiologi paling umum adalah melintasnya batu ginjal. Bertambah parahnya
nyeri bergantung pada derajat dan tempat terjadinya obstruksi. bukan pada
keras, ukuran, atau sifat abrasi batu ginjal. Bekuan darah atau fragmen
jaringan juga dapat menyebabkan hal yang sama. Kolik karena bekuan darah
sering ditemui pada penyakit gangguan pembekuan darah herediter atau
didapat, trauma, neoplasma dari ginjal dan traktus urinarius, perdarahan
setelah biopsi renal perkutan, kista renal,malformasi vaskular renal, nekrosis
papilar, tuberkulosis, dan infark pada ginjal. Kolik sesungguhnya terjadi
karena refluks vesikoureteral.
Batu ginjal yang bergerak sepanjang ureter dan hanya menyebabkan
obstruksi intermiten sebenarnya menyebabkan rasa nyeri yang lebih hebat
daripada batu yang tidak bergerak. Suatu obstruksikonstan akan memicu
berbagai mekanisme autoregulasi dan refleks yang akan membantu meredakan
nyeri. Dua puluh empat jam setelah obstruksi ureteral total, tekanan
hidrostatik akan menurun karena (1) penurunan peristalsis ureteral, (2)
penurunan aliran darah arteri renal, yang menyebabkanpenurunan produksi
urin, dan (3) edema interstitial yang menyebabkan peningkatan
lymphaticdrainage. Faktor-faktor ini menyebabkan kolik renal yang
berintensitas tinggi berdurasi kurang dari 24 jam.
Serabut saraf nyeri pada renal umumnya saraf simpatis preganglion yang
mencapai korda spinal T-11sampai L-2 melalui dorsal nerve roots. Transmisi
sinyal nyeri terjadi melalui traktus spinotalamikus asenden. Pada ureter bagian
bawah, sinyal nyeri juga didistribusikan melalui saraf genitofemoral dann.
ilioinguinal. N. Erigentes, yang mempersarafi ureter intramural dan kandung
kemih, bertanggung jawab untuk beberapa gejala kandung kemih.
Ureter bagian atas dan pelvis renal: Nyeri dari batu ureter bagian atas
condong untuk menjalar kearea pinggang dan area lumbar. Di sisi kanan, hal
ini bisa disalahartikan dengan kolelitiasis atau kolesistisis. Di sisi kiri,
diagnosis banding meliputi pankreatitis akut, ulkus peptikum dan gastritis.
Ureter bagian tengah: Nyeri pada daerah ini menjalar ke bagian kaudo
anterior. Nyeri ini bisa menyerupai apendicitis jika berada di kanan ataupun
divertikulitis akut pada sisi kiri.
Ureter distal: Nyeri pada daerah ini menjalar ke lipat paha, testikel pada
pria maupun labia mayorpada wanita karena nyeri ini dialihkan melalui n.
ilioinguinal atau n. genitofemoral. Jika batu berada di ureter intramural, gejala
yang muncul mirip dengan sistitis atau uretritis. Gejala ini meliputi nyeri
suprapubis, urgensi, disuria, nyeri pada ujung penis, dan terkadang berbagai
gejala GI seperti diaredan tenesmus. Gejala ini bisa disalahartikan dengan
penyakit inflamasi pelvis, ruptur kista ovarium.
Kebanyakan reseptor nyeri di traktus urinarius atas yang bertanggung
jawab atas persepsi kolik renal berada di submukosa dari pelvis renal, kalix
dan ureter bagian atas. Di ureter, peningkatan peristaltikproksimal melalui
aktivasi intrinsic ureteral pacemakers berperan penting pada persepsi nyeri.
Spasme otot, peningkatan peristaltik proksimal, inflamasi lokal, iritasi, dan
edema di tempat obstruksiberperan terhadap perkembangan nyeri melalui
aktivasi kemoreseptor dan peregangan ujung saraf bebas submukosa. Mual
dan muntah sering dikaitkan dengan kolik renal akut dan terjadi setidaknya
pada 50% pasien. Mual disebabkan oleh jalur persarafan yang umum dari
pelvis renal, lambung, ususmelalui serabut saraf aferen vagal dan sumbu
celiac.
D. Manifestasi Klinis
Bisa tanpa keluhan sama sekali. Nyeri kolik, yang terasa di satu sisi
pinggang atau perut, dapatmenjalar ke alat kelamin (buah pelir, penis, vulva),
muncul mendadak, hilang timbul, dan intensitasnya kuat. Nyeri ginjal (renal
colic), yang terasa di pinggang, tidak menjalar, terjadi akibat regangan kapsul
ginjal, sering berhubungan dengan mual dan muntah. Nyeri kandung kemih
(buli-buli), terasa di bawah pusat. Urgensi, yaitu rasa ingin kencing sehingga
terasa sakit. Disuria, yaitu rasa nyeri saat kencing atau sulit kencing.
Polakisuria, yaitu frekuensi kencing yang lebih sering daribiasanya.
Hematuria, yaitu terdapat darah atau sel darah merah (eritrosit) di air seni.
Anuria yaitu jika produksi air seni < 200 cc/hari. Oliguria yaitu jika jika
produksi air seni < 600 cc/hari.
Gambaran umum kolik renal dibagi menjadi 2 tipe :
A. Kolik renal tipikal
Fase-fase serangan kolik kenal akut Nyeri ini terjadi di sekitar dermatom
T-10 sampai S-4. Keseluruhan proses ini terjadi selama 3-18 jam. Ada 3 fase:
1. Fase akut / onset
Serangannya secara tipikal terjadi pada pagi atau malam hari sehingga
membangunkan pasien dari tidurnya. Jika terjadi pagi hari, pasien
umumnya mendeskripsikan serangan tersebut sebagai serangan yang
mulanya perlahan sehingga tidak dirasakan. Sensasi dimulai dari pinggang,
unilateral, menyebar ke sisi bawah, menyilang perut ke lipat paha (groin).
Nyerinya biasanya tetap, progresif, dan kontinu; beberapa pasien
mengalami serangan intermiten yang paroksismal dan sangat parah.
Derajat nyeri bisa meningkat ke intensitas maksimum setelah 30 menit
sampai 6 jam atau lebih lama lagi. Pasien umumnya mencapai nyeri
puncak pada 1-2 jam setelah onset
2. Fase konstan / plateau
Saat nyeri telah mencapai intensitas maksimum, nyeri akan menetap
sampai pasien diobati atau hilang dengan sendirinya. Periode dimana nyeri
maksimal ini dinamakan fase konstan. Fase ini biasanya berlangsung 1-4
jam tetapi dapat bertahan lebih lama lebih dari 12 jam pada beberapa
kasus. Kebanyakan pasien datang ke UGD selama fase ini. Pasien yang
menderita kolik biasanya banyak bergerak, di atas tempat tidur atau saat
berjalan, untuk mencari posisi yang nyaman dan mengurangi nyeri.
Walaupun ginjal dan traktus urinarius terletak retroperitoneal, mual dan
muntah disertai bising usus menurun / hipoaktif adalah tanda yang
dominan; sehingga memungkinkan kesalahan diagnosis intraperitoneal.
Contohnya terutama adalah obstruksi ureteropelvis junction pada ginjal
kanan.
3. Fase hilangnya nyeri (Relieve)
Pada fase terakhir ini, nyeri hilang dengan tiba-tiba, cepat, dan pasien
merasakan kelegaan. Kelegaan ini bisa terjadi secara spontan kapanpun
setelah onset. Pasien kemudian dapat tidur, terutama jika diberikan
analgesik. Fase ini berlangsung 1,5 – 3 jam.
B. Kolik renal atipikal
Etiologi kolik tipikal bisa juga menyebabkan kolik atipikal. Obstruksi pada
calyx dapat menyebabkan nyeri pinggang yang lebih ringan tapi episodik.
Hematuria dapat juga terjadi. Lesi obstruktif pada ureterovesical junction
(hubungan ureter dan kandung kemih) ataupun segmen intramural dari ureter
dapat menyebabkan disuria, keinginan buang air kecil yang mendadak dan
sering, serta nyeri yang menjalar ke atas atau bawah. Kolik renal dapat
disertai muntah-muntah hebat, mual, diare, ataupun nyeri ringan yang tidak
biasa sehingga memungkinkan kesalahan diagnosis.
E. Diagnosis
Hasil pemeriksaan fisik antara lain :
a. Kadang-kadang teraba ginjal yang mengalami hidronefrosis/obstruktif.
b. Nyeri tekan/ketok pada pinggang.
c. Batu uretra anterior bisa di raba.
d. Pada keadaan akut paling sering ditemukan adalah kelembutan di
daerah pinggul (flank tenderness), ini disebabkan oleh hidronefrosis akibat
obstruksi sementara yaitu saat batu melewati ureter menuju kandung
kemih.
Pasien dengan kolik renal harus menjalani filtrasi urin untuk
menemukan batu, bekuan darah, atau jaringan lainnya, sebagai penentu
diagnosis. Bila perlu, ini dilakukan berminggu-minggu karena batu atau
jaringan bisa menetap di kandung kemih tanpa menimbulkan gejala. Pada
urin biasanya dijumpai hematuria dan kadang-kadang kristaluria.
F. Pemeriksaan Penunjang
- Laboratorium
Hematuria biasanya terlihat secara mikroskopis, dan derajat hematuria
bukan merupakan ukuran untuk memperkirakan besar batu atau
kemungkinan lewatnya suatu batu. Tidak adanya hematuria dapat
menyokong adanya suatu obstruksi komplit, dan ketiadaan ini juga
biasanya berhubungan dengan penyakit batu yang tidak aktif. Pada
pemeriksaan sedimen urin, jenis kristal yang ditemukan dapat memberi
petunjuk jenis batu. Pemeriksaan pH urin < 5 menyokong suatu batu asam
urat, sedangkan bila terjadi peningkatan pH (>7) menyokong adanya
organisme pemecah urea seperti Proteus sp, Klebsiella sp, Pseudomonas sp
dan batu struvit.
- Radiologis
Ada beberapa jenis pemeriksaan radiologis yaitu :
a. Foto polos abdomen
Foto polos abdomen dapat menentukan besar, macam dan lokasi
batu radiopaque. Batu-batu jenis kalsium oksalat dan kalsium fosfat
bersifat radiopaque dan paling sering dijumpai diantara batu jenis lain,
sedangkan batu asam urat bersifat radiolusen. Gambaran radioopak
paling sering ditemukan pada area pelvis renal sepanjang ureter
ataupun ureterovesical junction. Gambaran radioopak ini disebabkan
karena adanya batu kalsium oksalat dan batu struvit (MgNH3PO4).
b. Intravenous Pyelogram (IVP)
Pielografi intravena untuk menilai obstruksi urinaria dan mencari
etiologi kolik (pielografi adalah radiografi pelvis renalis dan ureter
setelah penyuntikan bahan kontras). Seringkali batu atau benda
obstruktif lainnya sudah dikeluarkan ketika pielografi, sehingga hanya
ditemukan dilatasi unilateral ureter, pelvis renalis, ataupun calyx. IVP
dapat menentukan dengan tepat letak batu, terutama batu-batu yang
radiolusen dan untuk melihat fungsi ginjal. Selain itu IVP dapat
mendeteksi adanya batu semi opaque ataupun batu non opaque yang
tidak dapat terlihat oleh foto polos abdomen. Pielografi retrograde
(melalui ureter) dilakukan pada kasus-kasus di mana IVP tidak jelas,
alergi zat kontras, dan IVP tidak mungkin dilakukan., walaupun
prosedur ini tidak menyenangkan dan berkemungkinan kecil
menyebabkan infeksi atau kerusakan ureteral.
c. CT Scan
CT Scan (Computerized Tomography) adalah tipe diagnosis sinar
X yang dapat membedakan batu dari tulang atau bahan radiopaque
lain.
d. Ultrasonografi (USG)
USG dilakukan bila pasien tidak mungkin menjalani pemeriksaan
IVP, yaitu pada keadaan-keadaan : alergi terhadap bahan kontras, faal
ginjal yang menurun dan pada wanita yang sedang hamil. USG ginjal
merupakan pencitraan yang lebih peka untuk mendeteksi batu ginjal
dan batu radiolusen daripada foto polos abdomen. Cara terbaik untuk
mendeteksi BSK (Batu Saluran Kemih) ialah dengan kombinasi USG
dan foto polos abdomen. USG dapat melihat bayangan batu baik di
ginjal maupun di dalam kandung kemih dan adanya tanda-tanda
obstruksi urin.
e. Radioisotop
Untuk mengetahui fungsi ginjal secara satu persatu, sekaligus
adanya sumbatan pada gagal ginjal.
G. Diagnosis Banding Kolik Renal
Kecuali kolik renal atipikal, umumnya gejala kolik renal sangat khas dan
tidak seperti nyeri karena penyakit intra abdominal atau retroperitoneal
lainnya. Diagnosis dapat ditegakkan dengan anamnesis pasien.
1) Kolik bilier
Nyeri pada kuadran kanan atas abdomen, mual dan muntah yang
menetap, abdominal tenderness adalah gejala kolik bilier. Jika terdapat
infeksi ginjal, kolik ini juga dapat disertai demam, leukositosis, dan
ikterus ringan. Kolesistitis akut dapat menyebabkan nyeri ke bahu
kanan atau subskapula.
2) Apendisitis
Nyeri setelah 4-6 jam di periumbilikus, nyeri terlokalisasi di titik Mc
Burney. Pasien biasanya berbaring tenang, berbeda dengan pasien
kolik renal.
3) Divertikulitis dan irritable colon syndrome
Divertikulitis yaitu nyeri pada sisi kiri dekat ureter bagian bawah, jauh
lebih ringan dari kolik renal dan seringkali ada abdominal tenderness.
Ini disertai konstipasi dan darah samar di tinja, yang tidak lazim pada
kolik renal. Irritable colon syndrome disertai distensi abdomen dan
nyeri hebat yang berhubungan dengan nyeri punggung bawah. Yang
paling membedakan dengan kolik renal adalah diare hebat dan bising
usus hiperaktif.
4) Nyeri musculoskeletal
Protrusi diskus intervertebral lumbalis dapat menyebabkan nyeri
punggung unilateral yang menjalar ke pinggul, paha, atau lipat paha
(paling sering L4-5 dan L5-S1). Pembedanya dari kolik renal adalah
nyeri tersebut bergantung dengan posisi tubuh, yang dapat hilang
dengan imobilitas. Nyeri pada pelvis dapat terjadi karena lesi
obstruktif dan berciri khas unilateral yang menjalar ke bagian sakral.
5) Penyakit Skrotal, Penis, atau Labial
Kolik ini terjadi karena obstruksi ureterovesical junction. Tandanya
adalah keinginan untuk buang air kecil yang sering, disuria, dan nyeri
sakral atau lumbal bawah.

H. Penatalaksanaan
1. Medikamentosa
Terapi medikamentosa ditujukan untuk batu yang ukurannya kurang
dari 5 mm, karena diharapkan batu dapat keluar spontan. Terapi yang
diberikan bertujuan untuk mengurangi nyeri, memperlancar aliran urin
dengan minum banyak supaya dapat mendorong batu keluar dari saluran
kemih. Selain itu juga dilakukan pembatasan diet kalsium, oksalat,
natrium, fosfat dan protein tergantung pada penyebab batu. Beberapa jenis
obat yang diberikan antara lain spasmolitika yang dicampur dengan
analgesik untuk mengatasi nyeri, kalium sitrat untuk meningkatkan pH
urin, antibiotika untuk mencegah infeksi dan sebagainya.
Obat penghilang nyeri, seperti: golongan narkotik (meperidine, morfin
sulfat, kombinasi parasetamol dan kodein, atau injeksi morfin), golongan
analgesik opioid (morphine sulfate, oxycodone dan acetaminophen,
hydrocodone dan acetaminophen), golongan analgesik narkotik
(butorphanol), golongan anti-inflamasi non steroid (ketorolac, diclofenac,
celecoxib, ibuprofen). Antiemetic (metoclopramide) jika mual atau
muntah. Antibiotik jika ada infeksi saluran kemih, misalnya: ampicillin
plus gentamicin, ticarcillin dan clavulanic acid, ciprofloxacin,
levofloxacin, ofloxacin. Untuk mengeluarkan batu ginjal dapat juga
dengan obat golongan calcium channel blockers atau penghambat kalsium
(nifedipine), golongan alpha-adrenergic blockers (tamsulosin, terazosin),
golongan corticosteroids atau glukokortikoid, seperti: prednisone,
prednisolone. Obat pilihan lainnya: agen uricosuric (allopurinol), agen
alkalinizing oral (potassium citrate).
Batas lama terapi konservatif adalah 6 minggu. Di samping ukuran
batu syarat lain untuk observasi adalah berat ringannya keluhan pasien,
ada tidaknya infeksi dan obstruksi. Adanya kolik berulang atau ISK (
Infeksi Saluran Kemih ) menyebabkan observasi bukan merupakan
pilihan. Begitu juga dengan adanya obstruksi, apalagi pada pasien-pasien
tertentu (misalnya ginjal tunggal, ginjal trasplan dan penurunan fungsi
ginjal ) tidak ada toleransi terhadap obstruksi. Pasien seperti ini harus
segera dilakukan intervensi.
2. Extracorporeal Shock Wave Lithotripsy (ESWL)
Alat ESWL adalah pemecah batu yang diperkenalkan pertama kali
oleh Caussy pada tahun 1980. Alat ini dapat memecah batu ginjal, batu
ureter proksimal atau batu kandung kemih tanpa melalui tindakan invasif
dan tanpa pembiusan. Batu dipecah menjadi fragmen-fragmen kecil
sehingga mudah dikeluarkan melalui saluran kemih. Tidak jarang
pecahan-pecahan batu yang sedang keluar menimbulkan perasaan nyeri
kolik dan menyebabkan hematuria.
Persyaratan BSK yang dapat ditangani dengan ESWL :
a. Batu ginjal berukuran mulai dari 5 mm hingga 20 mm.
b. Batu ureter berukuran 5 mm hingga 10 mm.
c. Fungsi ginjal masih baik.
d. Tidak ada sumbatan distal dari batu.
3. Endourologi
Tindakan endourologi adalah tindakan invasif minimal untuk
mengeluarkan BSK yang terdiri atas memecah batu, dan mengeluarkannya
dari saluran kemih melalui alat yang dimasukkan langsung ke dalam
saluran kemih. Alat itu dimasukkan melalui uretra atau melalui insisi kecil
pada kulit (perkutan). Proses pemecahan batu dapat dilakukan secara
mekanik, dengan memakai energi hidroulik, energi gelombang suara atau
energi laser.
Tindakan Operasi

1. Bedah Laparoskopi
Pembedahan laparoskopi untuk mengambil BSK saat ini sedang
berkembang. Cara ini banyak dipakai untuk mengambil batu ureter.
2. Bedah Terbuka
Di klinik-klinik yang belum mempunyai fasilitas yang memadai untuk
tindakan-tindakan endourologi, laparoskopi maupun ESWL, pengambilan
batu masih dilakukan melalui pembedahan terbuka. Pembedahan terbuka
itu antara lain adalah : pielolitomi atau nefrolitotomi untuk mengambil
batu pada saluran ginjal, dan ureterolitotomi untuk batu di ureter. Tidak
jarang pasien harus menjalani tindakan nefrektomi atau pengambilan
ginjal karena ginjalnya sudah tidak berfungsi dan berisi nanah
(pionefrosis), korteksnya sudah sangat tipis atau mengalami pengkerutan
akibat BSK yang menimbulkan obstruks dan infeksi yang menahun.
I. Pencegahan
1. Pencegahan Primer
Tujuan pencegahan primer adalah untuk mencegah agar penyakit tidak
terjadi, dengan mengendalikan faktor penyebab suatu penyakit. Kegiatan yang
dilakukan meliputi promosi kesehatan, pendidikan kesehatan dan perlindungan
kesehatan. Pencegahan primer penyakit BSK seperti minum air putih yang
banyak. Konsumsi air putih minimal 2 liter per hari akan meningkatkan
produksi urin. Konsumsi air putih juga akan mencegah pembentukan kristal
urin yang dapat menyebabkan terjadinya batu.
Selain itu, dilakukan pengaturan pola makan yang dapat meningkatkan
risiko pembentukan BSK seperti, membatasi konsumsi daging, garam dan
makanan tinggi oksalat (sayuran berwarna hijau, kacang, coklat), dan
sebagainya. Aktivitas fisik seperti olahraga juga sangat dianjurkan, terutama
bagi yang pekerjaannya lebih banyak duduk.
2. Pencegahan Sekunder
Pencegahan sekunder bertujuan untuk mengurangi keparahan penyakit
dengan melakukan diagnosis dan pengobatan dini. Untuk jenis penyakit yang
sulit diketahui kapan penyakit timbul, diperlukan pemeriksaan teratur yang
dikenal dengan pemeriksaan “Check-up”. Pemeriksaan urin dan darah
dilakukan secara berkala, bagi yang pernah menderita BSK sebaiknya
dilakukan setiap tiga bulan atau minimal setahun sekali. Tindakan ini juga
untuk mendeteksi secara dini apabila terjadi pembentukan BSK yang baru.
Untuk pengobatan, pemberian obat-obatan oral dapat diberikan tergantung
dari jenis gangguan metabolik dan jenis batu. Pengobatan lain yang dilakukan
yaitu melakukan kemoterapi dan tindakan bedah (operasi).
3. Pencegahan Tersier
Pencegahan tersier mencakup pembatasan terhadap segala
ketidakmampuan dengan menyediakan rehabilitasi saat penyakit, cedera atau
ketidakmampuan sudah terjadi dan menimbulkan kerusakan. Kegiatan yang
dilakukan meliputi rehabilitasi (seperti konseling kesehatan) agar orang
tersebut lebih berdaya guna, produktif dan memberikan kualitas hidup yang
sebaik mungkin sesuai dengan kemampuannya.
2. Diabetes Melitus
A. Definisi
Menurut American Diabetes Association (ADA) tahun 2010, Diabetes
melitus merupakan suatu kelompok penyakit metabolik dengan karakteristik
hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja insulin, atau
kedua-duanya. Hiperglikemia kronik pada diabetes berhubungan dengan
kerusakan jangka panjang, disfungsi, atau kegagalan beberapa organ tubuh,
terutama mata, ginjal, saraf, jantung dan pembuluh darah. World Health
Organization (WHO) sebelumnya telah merumuskan bahwa DM merupakan
sesuatu yang tidak dapat dituangkan dalam satu jawaban yang jelas dan
singkat tetapi secara umum dapat dikatakan sebagai suatu kumpulan
problema anatomik dan kimiawi akibat dari sejumlah faktor di mana didapat
defisiensi insulin absolut atau relatif dan gangguan fungsi insulin. (Sudoyo
et.al 2006)
B. Klasifikasi
Klasifikasi DM dapat dilihat pada tabel 2.
American Diabetes Association (ADA) dalam Standards of Medical
Care in Diabetes (2009) memberikan klasifikasi diabetes melitus menjadi 4
tipe yang disajikan dalam :
1. Diabetes melitus tipe 1, yaitu diabetes melitus yang dikarenakan oleh
adanya destruksi sel β pankreas yang secara absolut menyebabkan
defisiensi insulin.
2. Diabetes melitus tipe 2, yaitu diabetes yang dikarenakan oleh adanya
kelainan sekresi insulin yang progresif dan adanya resistensi insulin.
3. Diabetes melitus tipe lain, yaitu diabetes yang disebabkan oleh beberapa
faktor lain seperti kelainan genetik pada fungsi sel β pankreas, kelainan
genetik pada aktivitas insulin, penyakit eksokrin pankreas (cystic fibrosis),
dan akibat penggunaan obat atau bahan kimia lainnya (terapi pada
penderita AIDS dan terapi setelah transplantasi organ).
4. Diabetes melitus gestasional, yaitu tipe diabetes yang terdiagnosa atau
dialami selama masa kehamilan.
A. Patofisiologi
1. Diabetes melitus tipe 1
Pada DM tipe I terdapat kekurangan insulin absolut sehingga
pasien membutuhkan suplai insulin dari luar. Keadaan ini disebabkan oleh
lesi pada sel beta pankreas karena mekanisme autoimun, yang pada
keadaan tertentu dipicu oleh infeksi virus. DM tipe I terjadi lebih sering
pada pembawa antigen HLA tertentu (HLA-DR3 dan HLA-DR4), hal ini
terdapat disposisi genetik. Diabetes mellitus tipe 1, diabetes anak-anak
(bahasa Inggris: childhood-onsetdiabetes, juvenile diabetes, insulin-
dependent diabetes mellitus, IDDM) adalah diabetes yang terjadi karena
berkurangnya rasio insulin dalam sirkulasi darah akibat defek sel beta
penghasil insulin pada pulau-pulau Langerhans pankreas. IDDM dapat
diderita oleh anak-anak maupun orang dewasa, namun lebih sering didapat
pada anak – anak.
2. Diabetes Melitus tipe 2
DM tipe II merupakan diabetes yang paling sering terjadi. Pada
tipe ini, disposisi genetik juga berperan penting. Namun terdapat defisiensi
insulin relatif; pasien tidak mutlak bergantung pada suplai insulin dari
luar. Pelepasan insulin dapat normal atau bahkan meningkat, tetapi organ
target memiliki sensitifitas yang berkurang terhadap insulin. Sebagian
besar pasien DM tipe II memiliki berat badan berlebih.
Ketidakseimbangan antara suplai dan pengeluaran energi meningkatkan
konsentrasi asam lemak di dalam darah. Hal ini selanjutnya akan
menurunkan penggunaan glukosa di otot dan jaringan lemak. Akibatnya,
terjadi resistensi insulin yang memaksa untuk meningkatan pelepasan
insulin. Akibat regulasi menurun pada reseptor, resistensi insulin semakin
meningkat. Sering kali, pelepasan insulin selalu tidak pernah normal.
Beberapa gen telah diidentifikasi sebagai gen yang menigkatkan terjadinya
obesitas dan DM tipe II. Diantara beberapa faktor, kelaian genetik pada
protein yang memisahkan rangkaian dimitokondria membatasi
penggunaan substrat. Jika terdapat disposisi genetik yang kuat, diabetes
tipe II dapat terjadi pada usia muda. Penurunan sensitifitas insulin
terutama mempengaruhi efek insulin pada metabolisme glukosa,
sedangkan pengaruhnya pada metabolisme lemak dan protein dapat
dipertahankan dengan baik. Jadi, diabetes tipe II cenderung menyebabkan
hiperglikemia berat tanpa disertai gangguan metabolisme lemak.
Gangguan Sekresi insulin
Pada awal perjalanan penyakit diabetes tipe 2, sekresi insulin
tampak normal dan kadar insulin plasma tidak berkurang. Namun
polasekresi insulin berdenyut dan osilatif lenyap, dan fase pertama sekresi
insulin 9 yang cepat yang dipicu oleh glukosa menurun. Secara kolektif,
hal ini adanya gangguan sekresi insulin yang ditemukan pada awal
diabetes tipe 2 dan bukan defisiensi insulin. Namun, pada perjalanan
penyakit selanjutnya, terjadi defisiensi insulin absolute yang ringan sampai
sedang, yang lebih ringan dibandingkan dengan diabetes tipe 1. Penelitian
terakhir menunjukkan adanya suatu protein mitokondria yang memisahkan
respirasi biokimia dari fosforilasi oksidatif. Protein ini yang disebut
uncoupling protein 2 (UPC2), diekspresikan pada sel beta. Kadar UPC2
intrasel yang tinggi menumpulkan respon insulin, sedangkan kadar yang
rendah memperkuatnya.
Mekanisme lain kegagalan sel beta pada DM tipe 2 dilaporkan
berkaitan dengan pengendapan amiloid di islet. Pada 90% pasien DM tipe
2 ditemukan endapan amiloid pada autopsy. Amilin, komponen utama
amiloid yang mengendap ini, secara normal dihasilkan oleh sel beta
pancreas dan disekresikan bersama dengan insulin sebagai respon terhadap
pemberian glukosa. Hiperinsulinemia yang disebabkan oleh resistensi
insulin pada fase awal DM tipe2 menyebabkan peningkatan produksi
amilin, yang kemudian mengendap sebagai amiloid di islet. Amilin yang
mengelilingi sel beta mungkin menyebabkan sel beta agak refrakter dalam
menerima sinyal glukosa. Amiloid bersifat toksik bagi sel beta yang
ditemukan pada DM tipe 2 tahap lanjut.
Pengertian Resistensi Insulin
Resistensi insulin adalah suatu keadaan terjadinya gangguan
respons metabolic terhadap kerja insulin, akibatnya untuk kadar glukosa
plasma tertentu dibutuhkan kadar insulin yang lebih banyak daripada
normal untuk mempertahankan keadaan normoglikemi (euglikemi).
Resistensi insulin dapat disebabkan oleh gangguan pre reseptor, rseptor,
dan post reseptor.Gangguan pre reseptor dapat disebabkan oleh antibody
insulin dan gangguan pada insulin. Gangguan reseptor dapat disebabkan
oleh jumlah reseptor yang berkurang atau kepekaan reseptor menurun.
Sedangkan gangguan pada post reseptor disebakan oleh gangguan pada
froses fosforilasi dan pada signal transduksi di dalam sel otot.
Sensitivitas insulin adalah kemampuan insulin menurunkan
konsentrasi glukosa darah dengan cara menstimulasi pemakaian glukosa di
jaringan otot dan lemak, dan menekan produksi glukosa oleh hati.
Resistensi insulin dalah keadaan sensitivitas insulin berkurang. Resistensi
insulin merupakan sindrom heterogen, dengan factor genetic dan
lingkungan berperan pada perkembangannya.Resistensi insulin berkaitan
dengan kegemukan, sindrom ini juga dapat terjadi pada orang yang tidak
gemuk. Factor lain seperti kurangnya aktifitas fisik, makanan mengandung
lemak, dinyatakan berkaitan dengan perkembangan terjadinya kegemukan
dan resisitensi insulin. Pembesaran depot lemak visceral yang aktif secara
lipolitik akan meningkatkan keluaran asam lemak bebas portal dan
menurunkan pengikatan dan ekstraksi insulin di hati, sehingga
menyebabkan terjadinya hiperinsulinemia sistemik. Peningkatan asam
lemak bebas portal akan meningkatkan produksi glukosa di hati melalui
peningkatan glukoneogenesis, menyebabkan terjadinya hiperglikemia.
Skema Patogenesis DM tipe 2

Predisposisi Genetik Lingkungan

Defek genetic multiple kegemukan

Defek sel beta primer Resistensi insulin jar. Perifer

Gangguan sekresi insulin Kurangnya pemanfaatan


glukosa

Hiperglikemia

Kelelahan sel beta


DM tipe 2

3. Diabetes tipe lain


Defisiensi insulin relative juga dapat disebabkan oleh kelainan
yang sangat jarang pada biosintesis insulin, reseptor insulin atau transmisi
intrasel. Bahkan tanpa ada disposisi genetic, diabetes dapat terjadi pada
perjalanan penyakit lain, seperti pankreatitis dengan kerusakan sel beta
atau karena kerusakan toksik di sel beta. Diabetes mellitus ditingkatkan
oleh peningkatan pelepasan hormone antagonis, diantaranya, somatotropin
(pada akromegali), glukokortikoid (pada penyakit Cushing atau stress),
epinefrin (pada stress), progestogen dan kariomamotropin (pada
kehamilan), ACTH, hormone tiroid dan glukagon. Infeksi yang berat
meningkatkan pelepasan beberapa hormone yang telah disebutkan di atas
sehingga meningkatkan pelepasan beberapa hormone yang telah
disebutkan diatas sehingga meningkatkan manifestasi diabetes mellitus.
Somatostatinoma dapat menyebabkan diabetes karena somatostatin yang
diekskresikan akan menghambat pelepasan insulin.

B. Diagnosis
Diagnosis DM ditegakkan atas dasar pemeriksaan kadar glukosa
darah. Diagnosis tidak dapat ditegakkan atas dasar adanya glukosuria. Guna
penentuan diagnosis DM, pemeriksaan glukosa darah yang dianjurkan adalah
pemeriksaan glukosa secara enzimatik dengan bahan darah plasma vena.
Penggunaan bahan darah utuh (whole blood), vena, ataupun kapiler tetap
dapat dipergunakan dengan memperhatikan angka-angka kriteria diagnostik
yang berbeda sesuai pembakuan oleh WHO. Sedangkan untuk tujuan
pemantauan hasil pengobatan dapat dilakukan dengan menggunakan
pemeriksaan glukosa darah kapiler dengan glukometer.
Berbagai keluhan dapat ditemukan pada penyandang diabetes.
Kecurigaan adanya DM perlu dipikirkan apabila terdapat keluhan klasik DM
seperti di bawah ini:
a. Keluhan klasik DM berupa: poliuria, polidipsia, polifagia, dan penurunan
berat badan yang tidak dapat dijelaskan sebabnya.
b. Keluhan lain dapat berupa: lemah badan, kesemutan, gatal, mata kabur,
dan disfungsi ereksi pada pria, serta pruritus vulvae pada wanita.
Diagnosis DM dapat ditegakkan melalui tiga cara:
a. Jika keluhan klasik ditemukan, maka pemeriksaan glukosa plasma
sewaktu >200 mg/dL sudah cukup untuk menegakkan diagnosis DM
b. Pemeriksaan glukosa plasma puasa ≥ 126 mg/dL dengan adanya keluhan
klasik.
c. Tes toleransi glukosa oral (TTGO). Meskipun TTGO dengan beban 75 g
glukosa lebih sensitif dan spesifik dibanding dengan pemeriksaan
glukosa plasma puasa, namun pemeriksaan ini memiliki keterbatasan
tersendiri. TTGO sulit untuk dilakukan berulang-ulang dan dalam
praktek sangat jarang dilakukan karena membutuhkan persiapan khusus.
Apabila hasil pemeriksaan tidak memenuhi kriteria normal atau DM,
bergantung pada hasil yang diperoleh, maka dapat digolongkan ke dalam
kelompok toleransi glukosa terganggu (TGT) atau glukosa darah puasa
terganggu (GDPT).
Tabel 3. Kriteria diagnosis DM

Keterangan:
1. TGT: Diagnosis TGT ditegakkan bila setelah pemeriksaan TTGO
didapatkan glukosa plasma 2 jam setelah beban antara 140 –199
mg/dL (7,8-11,0 mmol/L).
2. GDPT: Diagnosis GDPT ditegakkan bila setelah pemeriksaan glukosa
plasma puasa didapatkan antara 100 – 125 mg/dL (5,6– 6,9 mmol/L)
dan pemeriksaan TTGO gula darah 2 jam < 140mg/dL.
Ada perbedaan antara uji diagnostik diabetes melitus dengan
pemeriksaan penyaring. Uji diagnostik diabetes melitus dilakukan pada
mereka yang menunjukkan gejala atau tanda diabetes melitus, sedangkan
pemeriksaan penyaring bertujuan untuk mengidentifikasikan mereka yang
tidak bergejala, yang mempunyai resiko diabetes melitus. Serangkaian uji
diagnostik akan dilakukan kemudian pada mereka yang hasil pemeriksaan
penyaringnya positif, untuk memastikan diagnosis definitif (Sudoyo et.al
2006).
Pemeriksaan penyaring bertujuan untuk menemukan pasien dengan
Dibetes melitus, toleransi glukosa terganggu (TGT) maupun glukosa darah
puasa terganggu (GDPT), sehingga dapat ditangani lebih dini secara tepat.
Pasien dengan TGT dan GDPT juga disebut sebagai intoleransi glukosa,
merupakan tahapan sementara menuju diabetes melitus. Kedua keadaan
tersebut merupakan faktor risiko untuk terjadinya diabetes melitus dan
penyakit kardiovaskular di kemudian hari (PERKENI,2006).
Pemeriksaan penyaring dapat dilakukan melalui pemeriksaan kadar
glukosa darah sewaktu atau kadar glukosa darah puasa, kemudian dapat
diikuti dengan testoleransi glukosa oral (TTGO) standar (Sudoyo et al.,
2006).
Tabel 1. Kadar glukosa darah sewaktu dan puasa sebagai standar
penyaring dan diagnosis diabetes melitus. Sumber : PERKENI, 2006.
Diperlukan anamnesis yang cermat serta pemeriksaan yang baik untuk
menentukan diagnosis diabetes melitus, toleransi glukosa terganggu dan
glukosa darah puasa tergagnggu. Berikut adalah langkah-langkah penegakkan
diagnosis diabetes melitus, TGT, dan GDPT.
C. Penatalaksanaan
1. Tujuan penatalaksanaan
a. Jangka pendek: menghilangkan keluhan dan tanda DM,
mempertahankan rasa nyaman, dan mencapai target pengendalian
glukosa darah.
b. Jangka panjang: mencegah dan menghambat progresivitas penyulit
mikroangiopati, makroangiopati, dan neuropati.
Untuk mencapai tujuan tersebut perlu dilakukan pengendalian glukosa
darah, tekanan darah, berat badan, dan profil lipid, melalui pengelolaan
pasien secara holistik dengan mengajarkan perawatan mandiri dan
perubahan perilaku. (PERKENI, 2011).
2. Evaluasi medis yang lengkap pada pertemuan pertama:
Evaluasi medis meliputi:
Riwayat Penyakit
a. Gejala yang timbul,
b. Hasil pemeriksaan laboratorium terdahulu meliputi: glukosa darah,
A1C, dan hasil pemeriksaan khusus yang terkait DM
c. Pola makan, status nutrisi, dan riwayat perubahan berat badan
d. Riwayat tumbuh kembang pada pasien anak/dewasa muda
e. Pengobatan yang pernah diperoleh sebelumnya secara lengkap,
termasuk terapi gizi medis dan penyuluhan yang telah diperoleh
tentang perawatan DM secara mandiri, serta kepercayaan yang diikuti
dalam bidang terapi kesehatan
f. Pengobatan yang sedang dijalani, termasuk obat yang digunakan,
perencanaan makan dan program latihan jasmani
g. Riwayat komplikasi akut (ketoasidosis diabetik, hiperosmolar
hiperglikemia, dan hipoglikemia)
h. Riwayat infeksi sebelumnya, terutama infeksi kulit, gigi, dan traktus
urogenitalis serta kaki.
i. Gejala dan riwayat pengobatan komplikasi kronik (komplikasi pada
ginjal, mata, saluran pencernaan, dll.)
j. Pengobatan lain yang mungkin berpengaruh terhadap glukosa darah
k. Faktor risiko: merokok, hipertensi, riwayat penyakit jantung koroner,
obesitas, dan riwayat penyakit keluarga (termasuk penyakit DM dan
endokrin lain)
l. Riwayat penyakit dan pengobatan di luar DM
m. Pola hidup, budaya, psikososial, pendidikan, dan status ekonomi
n. Kehidupan seksual, penggunaan kontrasepsi, dan kehamilan.
Pemeriksaan Fisik
a. Pengukuran tinggi badan, berat badan, dan lingkar pinggang
b. Pengukuran tekanan darah, termasuk pengukuran tekanan darah dalam
posisi berdiri untuk mencari kemungkinan adanya hipotensi ortostatik,
serta ankle brachial index (ABI), untuk mencari kemungkinan
penyakit pembuluh darah arteri tepi
c. Pemeriksaan funduskopi
d. Pemeriksaan rongga mulut dan kelenjar tiroid
e. Pemeriksaan jantung
f. Evaluasi nadi, baik secara palpasi maupun dengan stetoskop
g. Pemeriksaan ekstremitas atas dan bawah, termasuk jari
h. Pemeriksaan kulit (acantosis nigrican dan bekas tempat penyuntikan
insulin) dan pemeriksaan neurologis
i. Tanda-tanda penyakit lain yang dapat menimbulkan DM tipe-lain
Evaluasi Laboratoris / penunjang lain
a. Glukosa darah puasa dan 2 jam post prandial
b. A1C
c. Profil lipid pada keadaan puasa (kolesterol total, HDL, LDL, dan
trigliserida)
d. Kreatinin serum
e. Albuminuria
f. Keton, sedimen, dan protein dalam urin
g. Elektrokardiogram
h. Foto sinar-x dada
3. Evaluasi medis secara berkala
a. Dilakukan pemeriksaan kadar glukosa darah puasa dan 2 jam sesudah
makan, atau pada waktu-waktu tertentu lainnya sesuai dengan
kebutuhan
b. Pemeriksaan A1C dilakukan setiap (3-6) bulan
c. Secara berkala dilakukan pemeriksaan: Jasmani lengkap,
mikroalbuminuria, kreatinin, albumin / globulin dan ALT, kolesterol
total, kolesterol LDL, kolesterol HDL, dan trigliserida, EKG, foto
sinar-X dada, funduskopi
4. Pilar penatalaksanaan DM
Adapun pilar penatalaksanaan DM antara lain : Edukasi, Terapi
gizi medis, Latihan jasmani, Intervensi farmakologis.
Pengelolaan DM dimulai dengan pengaturan makan dan latihan
jasmani selama beberapa waktu (2-4 minggu). Apabila kadar glukosa
darah belum mencapai sasaran, dilakukan intervensi farmakologis dengan
obat hipoglikemik oral (OHO) dan atau suntikan insulin. Pada keadaan
tertentu, OHO dapat segera diberikan secara tunggal atau langsung
kombinasi, sesuai indikasi. Dalam keadaan dekompensasi metabolik berat,
misalnya ketoasidosis, stres berat, berat badan yang menurun dengan
cepat, dan adanya ketonuria, insulin dapat segera diberikan. (PERKENI,
2011)
a. Edukasi
Diabetes tipe 2 umumnya terjadi pada saat pola gaya hidup dan
perilaku telah terbentuk dengan mapan. Pemberdayaan penyandang
diabetes memerlukan partisipasi aktif pasien, keluarga dan masyarakat.
Tim kesehatan mendampingi pasien dalam menuju perubahan perilaku
sehat. Untuk mencapai keberhasilan perubahan perilaku, dibutuhkan
edukasi yang komprehensif dan upaya peningkatan motivasi.
Pengetahuan tentang pemantauan glukosa darah mandiri, tanda dan
gejala hipoglikemia serta cara mengatasinya harus diberikan kepada
pasien. Pemantauan kadar glukosa darah dapat dilakukan secara
mandiri, setelah mendapat pelatihan khusus.
b. Terapi Nutrisi Medis
Terapi Nutrisi Medis (TNM) merupakan bagian dari
penatalaksanaan diabetes secara total. Kunci keberhasilan TNM
adalah keterlibatan secara menyeluruh dari anggota tim (dokter, ahli
gizi, petugas kesehatan yang lain serta pasien dan keluarganya). Setiap
penyandang diabetes sebaiknya mendapat TNM sesuai dengan
kebutuhannya guna mencapai sasaran terapi. Prinsip pengaturan
makan pada penyandang diabetes hampir sama dengan anjuran makan
untuk masyarakat umum yaitu makanan yang seimbang dan sesuai
dengan kebutuhan kalori dan zat gizi masing-masing individu. Pada
penyandang diabetes perlu ditekankan pentingnya keteraturan makan
dalam hal jadwal makan, jenis, dan jumlah makanan, terutama pada
mereka yang menggunakan obat penurun glukosa darah atau insulin.
Komposisi makanan yang dianjurkan terdiri dari:
i. Karbohidrat
- Karbohidrat yang dianjurkan sebesar 45-65% total asupan
energi.
- Pembatasan karbohidrat total <130 g/hari tidak dianjurkan
- Makanan harus mengandung karbohidrat terutama yang
berserat tinggi.
- Gula dalam bumbu diperbolehkan sehingga penyandang
diabetes dapat makan sama dengan makanan keluarga yang
lain
- Sukrosa tidak boleh lebih dari 5% total asupan energi.
- Pemanis alternatif dapat digunakan sebagai pengganti gula,
asal tidak melebihi batas aman konsumsi harian (Accepted
Daily Intake)
- Makan tiga kali sehari untuk mendistribusikan asupan
karbohidrat dalam sehari. Kalau diperlukan dapat diberikan
makanan selingan buah atau makanan lain sebagai bagian dari
kebutuhan kalori sehari.
ii. Lemak
- Asupan lemak dianjurkan sekitar 20-25% kebutuhan kalori.
Tidak diperkenankan melebihi 30% total asupan energi.
- Lemak jenuh < 7 % kebutuhan kalori
- Lemak tidak jenuh ganda < 10 %, selebihnya dari lemak tidak
jenuh tunggal.
- Bahan makanan yang perlu dibatasi adalah yang banyak
mengandung lemak jenuh dan lemak trans antara lain: daging
berlemak dan susu penuh (whole milk).
- Anjuran konsumsi kolesterol < 200 mg/hari.
iii. Protein
- Dibutuhkan sebesar 10 – 20% total asupan energi.
- Sumber protein yang baik adalah seafood (ikan, udang, cumi,
dll), daging tanpa lemak, ayam tanpa kulit, produk susu
rendah lemak, kacang-kacangan, tahu, dan tempe.
- Pada pasien dengan nefropati perlu penurunan asupan protein
menjadi 0,8 g/Kg BB perhari atau 10% dari kebutuhan energi
dan 65% hendaknya bernilai biologik tinggi.
iv. Natrium
- Anjuran asupan natrium untuk penyandang diabetes sama
dengan anjuran untuk masyarakat umum yaitu tidak lebih dari
3000 mg atau sama dengan 6-7 gram (1 sendok teh) garam
dapur.
- Mereka yang hipertensi, pembatasan natrium sampai 2400 mg
garam dapur.
- Sumber natrium antara lain adalah garam dapur, vetsin, soda,
dan bahan pengawet seperti natrium benzoat dan natrium
nitrit.
v. Serat
- Seperti halnya masyarakat umum penyandang diabetes
dianjurkan mengonsumsi cukup serat dari kacang-kacangan,
buah, dan sayuran serta sumber karbohidrat yang tinggi serat,
karena mengandung vitamin, mineral, serat, dan bahan lain
yang baik untuk kesehatan.
- Anjuran konsumsi serat adalah ± 25 g/hari.
vi. Pemanis alternatif
- Pemanis dikelompokkan menjadi pemanis berkalori dan
pemanis tak berkalori. Termasuk pemanis berkalori adalah
gula alkohol dan fruktosa.
- Gula alkohol antara lain isomalt, lactitol, maltitol, mannitol,
sorbitol dan xylitol.
- Dalam penggunaannya, pemanis berkalori perlu
diperhitungkan kandungan kalorinya sebagai bagian dari
kebutuhan kalori sehari.
- Fruktosa tidak dianjurkan digunakan pada penyandang
diabetes karena efek samping pada lemak darah.
- Pemanis tak berkalori yang masih dapat digunakan antara lain
aspartam, sakarin, acesulfame potassium, sukralose, dan
neotame.
Kebutuhan kalori
Ada beberapa cara untuk menentukan jumlah kalori yang dibutuhkan
penyandang diabetes. Diantaranya adalah dengan memperhitungkan
kebutuhan kalori basal yang besarnya 25-30 kalori/kgBB ideal,
ditambah atau dikurangi bergantung pada beberapa faktor seperti:
jenis kelamin, umur, aktivitas, berat badan, dll.
Perhitungan berat badan Ideal (BBI) dengan rumus Brocca yang
dimodifikasi adalah sbb:
i. Berat badan ideal = 90% x (TB dalam cm - 100) x 1 kg.
ii. Bagi pria dengan tinggi badan di bawah 160 cm dan wanita di
bawah 150 cm, rumus dimodifikasi menjadi :
iii. Berat badan ideal (BBI) = (TB dalam cm - 100) x 1 kg.
iv. BB Normal : BB ideal ± 10 %
v. Kurus : < BBI - 10 %
vi. Gemuk : > BBI + 10 %
Perhitungan berat badan ideal menurut Indeks Massa Tubuh (IMT).
Indeks massa tubuh dapat dihitung dengan rumus:
IMT = BB(kg)/
TB(m2)

Klasifikasi IMT*
- BB Kurang < 18,5
- BB Normal 18,5-22,9
- BB Lebih ≥ 23,0
Keterangan:
- Dengan risiko 23,0-24,9
- Obes I 25,0-29,9
- ObesII > 30
Faktor-faktor yang menentukan kebutuhan kalori antara lain :
1. Jenis Kelamin
Kebutuhan kalori pada wanita lebih kecil daripada pria. Kebutuhan
kalori wanita sebesar 25 kal/kg BB dan untuk pria sebesar 30 kal/
kg BB.
2. Umur
Untuk pasien usia di atas 40 tahun, kebutuhan kalori dikurangi 5%
untuk dekade antara 40 dan 59 tahun, dikurangi 10% untuk dekade
antara 60 dan 69 tahun dan dikurangi 20%, di atas usia 70 tahun.
3. Aktivitas Fisik atau Pekerjaan
Kebutuhan kalori dapat ditambah sesuai dengan intensitas aktivitas
fisik. Penambahan sejumlah 10% dari kebutuhan basal diberikan
pada kedaaan istirahat, 20% pada pasien dengan aktivitas ringan,
30% dengan aktivitas sedang, dan 50% dengan aktivitas sangat
berat.
4. Berat Badan
Bila kegemukan dikurangi sekitar 20-30% tergantung kepada
tingkat kegemukan. Bila kurus ditambah sekitar 20-30% sesuai
dengan kebutuhan untuk meningkatkan BB. Untuk tujuan
penurunan berat badan jumlah kalori yang diberikan paling sedikit
1000-1200 kkal perhari untuk wanita dan 1200-1600 kkal perhari
untuk pria.
Makanan sejumlah kalori terhitung dengan komposisi tersebut di
atas dibagi dalam 3 porsi besar untuk makan pagi (20%), siang
(30%), dan sore (25%), serta 2-3 porsi makanan ringan (10-15%)
di antaranya. Untuk meningkatkan kepatuhan pasien, sejauh
mungkin perubahan dilakukan sesuai dengan kebiasaan. Untuk
penyandang diabetes yang mengidap penyakit lain, pola
pengaturan makan disesuaikan dengan penyakit penyertanya.
(PERKENI, 2011)

c. Latihan jasmani
Dianjurkan latihan jasmani secara teratur (3-4 kali seminggu)
selama kurang lebih 30 menit, sifatnya sesuai CRIPE (Continuous,
Rhithmical, Interval, Progressive training). Sedapat mungkin mencapai
zona sasaran 75-85 % denyut nadi maksimal (220/umur), disesuaikan
dengan kemampuan dan kondisi penyakit penyerta. Sebagai contoh
olahraga ringan adalah berjalan kaki biasa selama 30 menit, olahraga
sedang adalah berjalan selama 20 menit dan olahraga berat misalnya
joging (Suyono et al., 2006).
d. Terapi farmakologis
Terapi farmakologis diberikan bersama dengan pengaturan
makan dan latihan jasmani (gaya hidup sehat). Terapi farmakologis
terdiri dari obat oral dan bentuk suntikan.
1. Obat hipoglikemik oral
Berdasarkan cara kerjanya, OHO dibagi menjadi 5 golongan:
i. Pemicu Sekresi Insulin
- Sulfonilurea
Obat golongan ini mempunyai efek utama meningkatkan
sekresi insulin oleh sel beta pankreas, dan merupakan
pilihan utama untuk pasien dengan berat badan normal dan
kurang. Namun masih boleh diberikan kepada pasien
dengan berat badan lebih. Untuk menghindari
hipoglikemia berkepanjangan pada berbagai keadaaan
seperti orang tua, gangguan faal ginjal dan hati, kurang
nutrisi serta penyakit kardiovaskular, tidak dianjurkan
penggunaan sulfonilurea kerja panjang.
- Glinid
Glinid merupakan obat yang cara kerjanya sama dengan
sulfonilurea, dengan penekanan pada peningkatan sekresi
insulin fase pertama. Golongan ini terdiri dari 2 macam
obat yaitu Repaglinid (derivat asam benzoat) dan
Nateglinid (derivat fenilalanin). Obat ini diabsorpsi
dengan cepat setelah pemberian secara oral dan diekskresi
secara cepat melalui hati. Obat ini dapat mengatasi
hiperglikemia post prandial.
ii. Peningkat sensitivitas terhadap insulin
- Tiazolidindion
Tiazolidindion (pioglitazon) berikatan pada Peroxisome
Proliferator Activated Receptor Gamma (PPAR-g), suatu
reseptor inti di sel otot dan sel lemak. Golongan ini
mempunyai efek menurunkan resistensi insulin dengan
meningkatkan jumlah protein pengangkut glukosa,
sehingga meningkatkan ambilan glukosa diperifer.
Tiazolidindion dikontraindikasikan pada pasien dengan
gagal jantung kelas I-IV karena dapat memperberat
edema/retensi cairan dan juga pada gangguan faal hati.
Pada pasien yang menggunakan tiazolidindion perlu
dilakukan pemantauan faal hati secara berkala.
- Metformin
Obat ini mempunyai efek utama mengurangi produksi
glukosa hati (glukoneogenesis), di samping juga
memperbaiki ambilan glukosa perifer. Terutama dipakai
pada penyandang diabetes gemuk. Metformin dikontra
indikasikan pada pasien dengan gangguan fungsi ginjal
(serum kreatinin >1,5 mg/dL) dan hati, serta pasien pasien
dengan kecenderungan hipoksemia (misalnya penyakit
serebro-vaskular, sepsis, renjatan, gagal jantung).
Metformin dapat memberikan efek samping mual. Untuk
mengurangi keluhan tersebut dapat diberikan pada saat
atau sesudah makan. Selain itu harus diperhatikan bahwa
pemberian metformin secara titrasi pada awal penggunaan
akan memudahkan dokter untuk memantau efek samping
obat tersebut.
iii. Penghambat Glukosidase Alfa (Acarbose)
Obat ini bekerja dengan mengurangi absorpsi glukosa diusus
halus, sehingga mempunyai efek menurunkan kadar glukosa
darah sesudah makan. Acarbose tidak menimbulkan efek
samping hipoglikemia. Efek samping yang paling sering
ditemukan ialah kembung dan flatulens.
iv. DPP-IV inhibitor
Glucagon-like peptide-1 (GLP-1) merupakan suatu hormon
peptida yang dihasilkan oleh sel L di mukosa usus. Peptida ini
disekresi oleh sel mukosa usus bila ada makanan yang masuk
ke dalam saluran pencernaan. GLP-1 merupakan perangsang
kuat penglepasan insulin dan sekaligus sebagai penghambat
sekresi glukagon. Namun demikian, secara cepat GLP-1
diubah oleh enzim dipeptidylpeptidase-4 (DPP-4), menjadi
metabolit GLP-1-(9,36)-amide yang tidak aktif. Sekresi GLP-1
menurun pada DM tipe 2, sehingga upaya yang ditujukan
untuk meningkatkan GLP-1 bentuk aktif merupakan hal
rasional dalam pengobatan DM tipe 2. Peningkatan konsentrasi
GLP-1 dapat dicapai dengan pemberian obat yang
menghambat kinerja enzim DPP-4 (penghambat DPP-4), atau
memberikan hormon asli atau analognya (analog
incretin=GLP-1 agonis). Berbagai obat yang masuk golongan
DPP-4 inhibitor, mampu menghambat kerja DPP-4 sehingga
GLP-1 tetap dalam konsentrasi yang tinggi dalam bentuk aktif
dan mampu merangsang penglepasan insulin serta
menghambat penglepasan glukagon.
v. SGLP-2 Inhibitor (Sodium Glukose Co-transporter 2)
Obat golongan penghambat SGLP-2 merupakan obat
antidiabetes oral jenis baru yang menghambat penyerapan
kembali glukosa di tubuli distal ginjal dengan cara
menghambat kerja transporter glukosa SGLT-2. Obat yang
termasuk golongan ini: Canagliflozin, Empagliflozin,
Dapagliflozin, Ipragliflozin. Dapagliflozin baru saja mendapat
approvable letter dari Badan POM RI.
2. Suntikan
i. Insulin
Insulin diperlukan pada keadaan:
a. HbA1c > 9% dengan kondisi dekompensasi metabolik
b. Penurunan berat badan yang cepat
c. Hiperglikemia berat yang disertai ketosis
d. Hiperglikemia hiperosmolar non ketotik
e. Gagal dengan kombinasi OHO dosis optimal
f. Stres berat (infeksi sistemik, operasi besar, IMA, stroke)
g. Kehamilan dengan DM/diabetes melitus gestasional yang
tidak terkendali dengan perencanaan makan
h. Gangguan fungsi ginjal atau hati yang berat
i. Kontraindikasi dan atau alergi terhadap OHO

Berdasar lama kerja, insulin terbagi menjadi lima jenis,


yakni: Insulin kerja cepat (rapid acting insulin), Insulin kerja
pendek (short acting insulin), Insulin kerja menengah
(intermediate acting insulin), Insulin kerja panjang (long
acting insulin), Insulin kerja ultra panjang (Ultra long acting
insulin). Efek samping utama terapi insulin adalah terjadinya
hipoglikemia, efek samping yang lain berupa reaksi imunologi
terhadap insulin yang dapat menimbulkan alergi insulin atau
resistensi insulin.
ii. Agonis GLP-1
Pengobatan dengan dasar peningkatan GLP-1 merupakan
pendekatan baru untuk pengobatan DM. Agonis GLP-1 dapat
bekerja sebagai perangsang penglepasan insulin yang tidak
menimbulkan hipoglikemia ataupun peningkatan berat badan
yang biasanya terjadi pada pengobatan dengan insulin ataupun
sulfonilurea. Agonis GLP-1 bahkan mungkin menurunkan
berat badan. Efek agonis GLP-1 yang lain adalah menghambat
penglepasan glukagon yang diketahui berperan pada proses
glukoneogenesis. Pada percobaan binatang, obat ini terbukti
memperbaiki cadangan sel beta pankreas. Efek samping yang
timbul pada pemberian obat ini antara lain rasa sebah dan
muntah. (PERKENI,2011)
iii. Terapi Kombinasi
Pemberian OHO maupun insulin selalu dimulai dengan
dosis rendah, untuk kemudian dinaikkan secara bertahap sesuai
dengan respons kadar glukosa darah. Bersamaan dengan
pengaturan diet dan kegiatan jasmani, bila diperlukan dapat
dilakukan pemberian OHO tunggal atau kombinasi OHO sejak
dini. Terapi dengan OHO kombinasi (secara terpisah ataupun
fixed-combination dalam bentuk tablet tunggal), harus dipilih
dua macam obat dari kelompok yang mempunyai mekanisme
kerja berbeda. Bila sasaran kadar glukosa darah belum
tercapai, dapat pula diberikan kombinasi tiga OHO dari
kelompok yang berbeda atau kombinasi OHO dengan insulin.
Pada pasien yang disertai dengan alasan klinis di mana insulin
tidak memungkinkan untuk dipakai, terapi dengan kombinasi
tiga OHO dapat menjadi pilihan. Untuk kombinasi OHO dan
insulin, yang banyak dipergunakan adalah kombinasi OHO
dan insulin basal (insulin kerja menengah atau insulin kerja
panjang) yang diberikan pada malam hari menjelang tidur.
Dengan pendekatan terapi tersebut pada umumnya dapat
diperoleh kendali glukosa darah yang baik dengan dosis
insulin yang cukup kecil. Dosis awal insulin kerja menengah
adalah 6-10 unit yang diberikan sekitar jam 22.00, kemudian
dilakukan evaluasi dosis tersebut dengan menilai kadar
glukosa darah puasa keesokan harinya. Bila dengan cara
seperti di atas kadar glukosa darah sepanjang hari masih tidak
terkendali, maka OHO dihentikan dan diberikan terapi
kombinasi insulin. (PERKENI,2011)
iv. Algoritma pengelolaan DM tipe 2
D. Komplikasi
1. Komplikasi Metabolik Akut
Komplikasi metabolik diabetes disebabkan oleh perubahan yang relatif
akut dari konsentrasi glukosa plasma. Komplikasi metabolik yang paling
serius pada diabetes adalah: Ketoasidosis Diabetik (DKA), Hiperglikemia
Hiperosmolar Koma Nonketotik (HHNK), Hipoglikemia (Price et al.,
2005).
2. Komplikasi Kronik
a. Mikrovaskular
- Retinopati, katarak : penurunan penglihatan
- Nefropati : gagal ginjal
- Neuropati perifer : hilang rasa, malas bergerak
- Neuropati autonomik : hipertensi, gastroparesis
- Kelainan pada kaki :ulserasi, atropati
b. Makrovaskular
- Sirkulasi koroner : iskemi miokardial/infark miokard
- Sirkulasi serebral : transient ischaemic attack, stroke
- Sirkulasi : claudication, iskemik
3. Infeksi Saluran Kemih
a. Definisi
Beberapa istilah yang perlu dipahami:

 Bakteriuria bermakna (significant backteriuri) adalah keberadaan


mikroorganisme murni (tidak terkontaminasi flora normal dari uretra) lebih
dari 105 colony forming units per mL (cfu/ml) biakan urin dan tanpa
lekosituria.
 Bakteriuria simtomatik adalah bakteriuria bermakna dengan manifestasi klinik
 Bakteriuria asimtomatik (covert bacteriuria) adalah bakteriuria bermakna
tanpa manifestasi klinik.
Infeksi saluran kemih (ISK) merupakan istilah yang digunakan untuk
menunjukkan bakteriuria patogen dengan colony forming units per mL CFU/ ml
urin > 105, dan lekositouria >10 per lapangan pandang besar, disertai manifestasi
klinik.

ISK akhir-akhir ini juga didefinisikan sebagai suatu respon inflamasi tubuh
terhadap invasi mikroorganisme pada urothelium.

b. Epidemilogi
Infeksi saluran kemih merupakan salah satu penyakit yang paling sering
ditemukan di praktik umum. Kejadian ISK dipengaruhi oleh berbagai faktor
seperti usia, gender, prevalensi bakteriuria, dan faktor predisposisi yang
mengakibatkan perubahan struktur saluran kemih termasuk ginjal. ISK cenderung
terjadi pada perempuan dibandingkan laki-laki. ISK berulang pada laki-laki jarang
dilaporkan, kecuali disertai factor predisposisi.

Menurut penelitian, hampir 25-35% perempuan dewasa pernah


mengalami ISK selama hidupnya. Prevalensi bakteriuria asimtomatik lebih sering
ditemukan pada perempuan. Prevalensi selama periode sekolah (School girls) 1%
meningkat menjadi 5 % selama periode aktif secara seksual. Prevalensi infeksi
asimtomatik meningkat mencapai 30% pada laki-laki dan perempuan jika disertai
faktor predisposisi.

c. Etiologi
Pada umumnya ISK disebabkan oleh mikroorganisme (MO) tunggal seperti:

 Eschericia coli merupakan MO yang paling sering diisolasi dari pasien


dengan ISK simtomatik maupun asimtomatik
 Mikroorganisme lainnya yang sering ditemukan seperti Proteus spp (33%
ISK anak laki-laki berusia 5 tahun), Klebsiella spp dan Stafilokokus
dengan koagulase negatif
 Pseudomonas spp dan MO lainnya seperti Stafilokokus jarang dijumpai,
kecuali pasca kateterisasi
d. Patogenesis
Patogenesis bakteriuri asimtomatik menjadi bakteriuri simtomatik tergantung dari
patogenitas bakteri sebagai agent, status pasien sebagai host dan cara bakteri
masuk ke saluran kemih (bacterial entry).

Peranan Patogenisitas Bakteri (agent)


Tidak semua bakteri dapat menginfeksi dan melekat pada jaringan saluran kemih.
Bakteri tersering yang menginfeksi saluran kemih adalah E.coli yang bersifat
uropathogen.

Strain bakteri E. coli hidup atau berkoloni di usus besar atau kolon
manusia. Beberapa strain bakteri E. coli dapat berkoloni di daerah periuretra dan
masuk ke vesika urinaria. Strain E. coli yang masuk ke saluran kemih dan tidak
memberikan gejala klinis memiliki strain yang sama dengan strain E. coli pada
usus (fecal E.coli), sedangkan strain E. coli yang masuk ke saluran kemih manusia
dan mengakibatkan timbulnya manifestasi klinis adalah beberapa strain bakteri E.
coli yang bersifat uropatogenik dan berbeda dari sebagian besar E.coli di usus
manusia (fecal E.coli). Strain bakteri E.coli ini merupakan uropatogenik E.coli
(UPEC) yang memiliki faktor virulensi.

Penelitian intensif berhasil menentukan faktor virulensi E.coli dikenal


sebagai virulence determinalis.

Bakteri patogen dari urin dapat menyebabkan manifestasi klinis


bergantung pada perlengketan mukosa oleh bakteri, faktor virulensi, dan variasi
faktor virulensi.

 Peranan Perlengketan Mukosa oleh Bakteri (Bacterial attachment of


mucosa)
Menurut penelitian, fimbriae (proteinaceous hair-like projection from bacterial
surface) merupakan salah satu pelengkap patogenesitas yang mempunyai
kemampuan untuk melekat pada permukaan mukosa saluran kemih.

Fimbriae atau pili memiliki ligand di permukaannya yang berfungsi untuk


berikatan dengan reseptor glikoprotein dan glikolipid pada permukaan membran
sel uroepithelial. Fimbriae atau pili dibagi berdasarkan kemampuan
hemaaglutinasi dan tipe sugar yang berada pada permukaan sel. Pada umumnya P
fimbriae yang dapat menaglutinasi darah, berikatan dengan reseptor glikolipid
antigen pada sel uroepithelial, eritrosit (antigen terhadap P blood group) dan sel-
sel tubulus renalis. Sedangkan fimbriae tipe 1 berikatan dengan sisa mannoside
pada sel uroepithelial.

Berdasarkan penelitian P fimbriae terdapat pada 90% bakteri E.coli yang


menyebabkan pyelonefritis dan hanya < 20% strain E.coli yang menyebabkan ISK
bawah. Sedangkan fimbriae tipe 1 lebih berperan dalam membantu bakteri untuk
melekat pada mukosa vesika urinaria.

 Peranan Faktor Virulensi


Setelah fimbrae atau pili berhasil melekat pada sel uroepithelial (sel epitel saluran
kemih), maka proses selanjutnya dilakukan oleh faktor virulensi lainnya. Sebagian
besar uropatogenik E.coli (UPEC) menghasilkan hemolysin yang befungsi untuk
menginisiasi invasi UPEC pada jaringan dan mengaktivasi ion besi bagi kuman
patogen (sekuestrasi besi). Keberadaan kaspsul K antigen dan O antigen pada
bakteri yang menginvasi jaringan saluran kemih melindungi bakteri dari proses
fagositosis oleh neutrofil. Keadaan ini mengakibatkan UPEC dapat lolos dari
berbagai mekanisme pertahanan tubuh host. Beberapa penelitian terakhir juga
mengatakan bahwa banyak bakteri seperti E.coli memiliki kemampuan untuk
menginvasi sel host sebagai patogen oportunistik intraseluler.

Sifat patogenitas lain dari strain E.coli yaitu toksin, dikenal beberapa
toksin seperti α-haemolysin, cytotoxic necrotizing factor-1 (CNF-1) dan iron
uptake system (aerobactin dan enterobactin). Hampr 95% sifat α-haemolysin ini
terikat pada kromosom dan berhubungan dengan phatogenicity island (PAIS) dan
hanya 5 % terikat pada gen plasmid.

 Peranan Variasi Fase Faktor Virulensi


Virulensi bakteri ditandai dengan kemampuan untuk mengalami perubahan
bergantung dari respon faktor luar. Konsep variasi MO ini menunjukkan peranan
beberapa penentu virulensi yang bervariasi di antara individu dan lokasi saluran
kemih. Oleh karena itu ketahanan hidup bakteri berbeda dalam vesika urinaria dan
ginjal.

Peranan Faktor Tuan Rumah (host)


 Faktor Predisposisi Pencetus ISK
Menurut penelitian, status saluran kemih merupakan faktor risiko pencetus ISK.
faktor bakteri dan status saluran kemih pasien mempunyai peranan penting untuk
kolonisasi bakteri pada saluran kemih. Kolonisasi bakteri sering mengalami
kambuh (eksaserbasi) bila sudah terdapat kelainan struktur anatomi saluran
kemih. Dilatasi saluran kemih termasuk pelvis ginjal tanpa obstruksi saluran
kemih dapat menyebabkan gangguan proses klirens normal dan sangat peka
terhadap infeksi.

Selain itu urin juga memiliki karakter spesifik (osmolalitas urin,


konsentrasi urin, konsentrasi asam organik dan pH) yang dapat menghambat
pertumbuhan dan kolonisasi bakteri pada mukosa saluran kemih. Menurut
penelitian urin juga mengandung faktor penghambat perlekatan bakteri yakni
Tamm-Horsfall glycoprotein, dikatakan bahwa bakteriuria dan tingkat inflamasi di
saluran kemih meningkat pada defisit THG. THG membantu mengeliminasi
infeksi bakteri pada saluran kemih dan berperan sebagai salah satu mekanisme
pertahanan tubuh.

Retensi urin, stasis, dan refluks urin ke saluran cerna bagian atas juga
dapat meningkatkan pertumbuhan bakteri dan infeksi. Selain itu, abnormalitas
anatomi dan fungsional saluran kemih yang dapat menganggu aliran urin dapat
meningkatkan kerentanan host terhadap ISK. Keberadaan benda asing seperti
adanya batu, kateter, stent dapat membantu bakteri untuk bersembunyi dari
mekanisme pertahanan host

Tabel 2.4 Faktor predisposisi (pencetus) ISK

Faktor predisposisi (pencetus) ISK


 Litiasis
 Obstruksi saluran kemih
 Penyakit ginjal polikistik
 Nekrosis papilar
 DM pasca transplantasi ginjal
 Nefropati analgesik
 Penyakit Sickle-cell
 Senggama
 Kehamilan dan peserta KB dengan tablet progesteron
 Kateterisasi
Sumber: Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II Edisi V, 2009, halaman
1009

 Status Imunologi Pasien


Lapisan epitel pada dinding saluran kemih mengandung membran yang
melindungi jaringan dari infeksi dan berkapasitas untuk mengenali bakteri dan
mengaktivasi mekanisme pertahanan tubuh. Sel uroepithelial mengekspresikan
toll-like receptors (TLRs) yang dapat mengikat komponen spesifik dari bakteri
sehingga menghasilkan mediator inflamasi. Respon tubuh dengan mengsekresikan
kemotraktan seperti interleukin-8 untuk merekrut neutrofil ke area jaringan yang
terinvasi. Selain itu, ginjal juga memproduksi antibodi untuk opsonisasi dan
fagositosis bakteri serta untuk mencegah perlekatan bakteri. Mekanisme imunitas
seluler dan humoral ini berperan dalam pencegahan ISK, oleh karena itu imunitas
host berperan penting dalam kejadian ISK.

Penelitian laboratorium mengungkapkan bahwa golongan darah dan status


secretor mempunyai kontribusi untuk kepekaan terhadap ISK. Prevalensi ISK juga
meningkat terkait dengan golongan darah AB, B dan PI (antigen terhadap tipe
fimbriae bakteri) dan dengan fenotipe golongan darah lewis.

Cara Bakteri Menginvasi Saluran Kemih (bacterial entry)


Terdapat beberapa rute masuk bakteri ke saluran kemih. Pada umumnya, bakteri
di area periuretra naik atau secara ascending masuk ke saluran genitourinaria dan
menyebabkan ISK1,2,3 Sebagian besar kasus pielonefritis disebabkan oleh naiknya
bakteri dari kandung kemih, melalui ureter dan masuk ke parenkim ginjal.
Kejadian ISK oleh karena invasi MO secara ascending juga dipermudah oleh
refluks vesikoureter. Pendeknya uretra wanita dikombinasikan dengan
kedekatannya dengan ruang depan vagina dan rektum merupakan predisposisi
yang menyebabkan perempuan lebih sering terkena ISK dibandingkan laki-laki

Penyebaran secara hematogen umumnya jarang, namun dapat terjadi pada


pasien dengan immunocompromised dan neonatus. Staphylococcus aureus,
Spesies Candida, dan Mycobacterium tuberculosis adalah kuman patogen yang
melakukan perjalanan melalui darah untuk menginfeksi saluran kemih.

Penyebaran limfatogenous melalui dubur, limfatik usus, dan periuterine


juga dapat menyebabkan invasi MO ke saluran kemih dan mengakibatkan ISK.
Selain itu, invasi langsung bakteri dari organ yang berdekatan ke dalam saluran
kemih seperti pada abses intraperitoneal, atau fistula vesicointestinal atau
vesikovaginal dapat menyebabkan ISK.

e. Klasifikasi
Berdasarkan letak anatomi, ISK digolongkan menjadi:

 Infeksi Saluran Kemih Atas


Infeksi saluran kemih atas terdiri dari pielonefritis dan pielitis. Pielonefritis
terbagi menjadi pielonefritis akut (PNA) dan pielonefritis kronik (PNK). Istilah
pielonefritis lebih sering dipakai dari pada pielitis, karena infeksi pielum (pielitis)
yang berdiri sendiri tidak pernah ditemukan di klinik.

Pielonefritis akut (PNA) adalah radang akut dari ginjal, ditandai primer oleh
radang jaringan interstitial sekunder mengenai tubulus dan akhirnya dapat
mengenai kapiler glomerulus, disertai manifestasi klinik dan bakteriuria tanpa
ditemukan kelainan radiologik. PNA ditemukan pada semua umur dan jenis
kelamin walaupun lebih sering ditemukan pada wanita dan anak-anak. Pada laki-
laki usia lanjut, PNA biasanya disertai hipertrofi prostat.

Pielonefritis Kronik (PNK) adalah kelainan jaringan interstitial (primer) dan


sekunder mengenai tubulus dan glomerulus, mempunyai hubungan dengan infeksi
bakteri (immediate atau late effect) dengan atau tanpa bakteriuria dan selalu
disertai kelainan-kelainan radiologi. PNK yang tidak disertai bakteriuria disebut
PNK fase inaktif. Bakteriuria yang ditemukan pada seorang penderita mungkin
berasal dari pielonefritis kronik fase aktif atau bakteriuria tersebut bukan
penyebab dari pielonefritis tetapi berasal dari saluran kemih bagian bawah yang
sebenarnya tidak memberikan keluhan atau bakteriuria asimtomatik. Jadi
diagnosis PNK harus mempunyai dua kriteria yakni telah terbukti mempunyai
kelainan-kelainan faal dan anatomi serta kelainan-kelainan tersebut mempunyai
hubungan dengan infeksi bakteri. Dari semua faktor predisposisi ISK,
nefrolithiasis dan refluks vesiko ureter lebih memegang peranan penting dalam
patogenesis PNK. Pielonefritis kronik mungkin akibat lanjut dari infeksi bakteri
berkepanjangan atau infeksi sejak masa kecil. Pada PNK juga sering ditemukan
pembentukan jaringan ikat parenkim.

 Infeksi Saluran Kemih Bawah


Infeksi saluran kemih bawah terdiri dari sistitis, prostatitis dan epidimitis,
uretritis, serta sindrom uretra. Presentasi klinis ISKB tergantung dari gender. Pada
perempuan biasanya berupa sistitis dan sindrom uretra akut, sedangkan pada laki-
laki berupa sistitis, prostatitis, epidimitis, dan uretritis.

Sistitis terbagi menjadi sistitis akut dan sistitis kronik. Sistitis akut adalah
radang selaput mukosa kandung kemih (vesika urinaria) yang timbulnya
mendadak, biasanya ringan dan sembuh spontan (self-limited disease) atau berat
disertai penyulit ISKA (pielonefritis akut). Sistitis akut termasuk ISK tipe
sederhana (uncomplicated type). Sebaliknya sistitis akut yang sering kambuh
(recurrent urinary tract infection) termasuk ISK tipe berkomplikasi (complicated
type), ISK jenis ini perlu perhatian khusus dalam pengelolaannya.
Sistitis kronik adalah radang kandung kemih yang menyerang berulang-ulang
(recurrent attact of cystitis) dan dapat menyebabkan kelainan-kelainan atau
penyulit dari saluran kemih bagian atas dan ginjal. Sistitis kronik merupakan
ISKB tipe berkomplikas, dan memerlukan pemeriksaan lanjutan untuk mencari
faktor predisposisi.

Sindrom uretra akut (SUA) adalah presentasi klinis sistitis tanpa ditemukan
mikroorganisme (steril), sering dinamakan sistitis abakterialis karena tidak dapat
diisolasi mikroorganisme penyebabnya. Penelitian terkini menunjukkan bahwa
SUA disebabkan oleh MO anaerobik

f. Manifestasi Klinis
Manifestasi klinis ISK (simtomatologi ISK) dibagi menjagi gejala-gejala lokal,
sistemik dan perubahan urinalisis. Dalam praktik sehari-hari gejala cardinal
seperti disuria, polakisuria, dan urgensi sering ditemukan pada hampr 90% pasien
rawat jalan dengan ISK akut.

Tabel 2.5 Simtomatologi ISK

Lokal Sistemik
 Disuria  Panas badan sampai
 Polakisuria menggigil
 Stranguria  Septicemia dan syok
 Tenesmus
 Nokturia Perubahan urinalisis
 Enuresis nocturnal  Hematuria
 Prostatismus  Piuria
 Inkontinesia  Chylusuria
 Nyeri uretra  Pneumaturia
 Nyeri kandung kemih
 Nyeri kolik
 Nyeri ginjal
Sumber: Nefrologi Klinik Edisi III, 2006, hal. 37

Manifestasi klinik pada infeksi saluran kemih atas dan infeksi saluran
kemih bawah pada pasien dewasa dapat dilihat pada gambar berikut:
Gambar 6. Hubungan antara lokasi infeksi saluran kemih dengan keluhan

Sumber: Nefrologi Klinik Edisi III, 2006, hal. 85

Pada pielonefritis akut (PNA), sering ditemukan panas tinggi (39.5°C-


40,5°C), disertai menggigil dan sakit pinggang1. Pada pemeriksaan fisik
diagnostik tampak sakit berat, panas intermiten disertai menggigil dan takikardia.
Frekuensi nadi pada infeksi E.coli biasanya 90 kali per menit, sedangkan infeksi
oleh kuman staphylococcus dan streptococcus dapat menyebabkan takikardia
lebih dari 140 kali per menit. Ginjal sulit teraba karena spasme otot-otot. Distensi
abdomen sangat nyata dan rebound tenderness mungkin juga ditemukan, hal ini
menunjukkan adanya proses dalam perut, intra peritoneal. Pada PNA tipe
sederhana (uncomplicated) lebih sering pada wanita usia subur dengan riwayat
ISKB kronik disertai nyeri pinggang (flank pain), panas menggigil, mual, dan
muntah. Pada ISKA akut (PNA akut) tipe complicated seperti obastruksi, refluks
vesiko ureter, sisa urin banyak sering disertai komplikasi bakteriemia dan syok,
kesadaran menurun, gelisah, hipotensi hiperventilasi oleh karena alkalosis
respiratorik kadang-kadang asidosis metabolik.

Pada pielonefritis kronik (PNK), manifestasi kliniknya bervariasi dari


keluhan-keluhan ringan atau tanpa keluhan dan ditemukan kebetulan pada
pemeriksaan urin rutin. Presentasi klinik PNK dapat berupa proteinuria
asimtomatik, infeksi eksaserbasi akut, hipertensi, dan gagal ginjal kronik (GGK).

Manifestasi klinik pada sistitis akut dapat berupa keluhan-keluhan klasik


seperti polakisuria, nokturia, disuria, nyeri suprapubik, stranguria dan tidak jarang
dengan hematuria. Keluhan sistemik seperti panas menggigil jarang ditemukan,
kecuali bila disertai penyulit PNA. Pada wanita, keluhan biasanya terjadi 36-48
jam setelah melakukan senggama, dinamakan honeymoon cystitis. Pada laki-laki,
prostatitis yang terselubung setelah senggama atau minum alkohol dapat
menyebabkan sistitis sekunder.

Pada sistitis kronik, biasanya tanpa keluhan atau keluhan ringan karena
rangsangan yang berulang-ulang dan menetap. Pada pemeriksaan fisik mungkin
ditemukan nyeri tekan di daerah pinggang, atau teraba suatu massa tumor dari
hidronefrosis dan distensi vesika urinaria.

Manifestasi klinis sindrom uretra akut (SUA) sulit dibedakan dengan


sistitis. Gejalanya sangat miskin, biasanya hanya disuri dan sering kencing.

g. Pemeriksaan Penunjang Diagnosis


Analisis urin rutin
Pemeriksaan analisa urin rutin terdiri dari pH urin, proteinuria (albuminuria), dan
pemeriksaan mikroskopik urin.

Urin normal mempunyai pH bervariasi antara 4,3-8,0. Bila bahan urin


masih segar dan pH >8 (alkalis) selalu menunjukkan adanya infeksi saluran kemih
yang berhubungan dengan mikroorganisme pemecah urea (ureasplitting
organism). Albuminuria hanya ditemukan ISK. Sifatnya ringan dan kurang dari 1
gram per 24 jam.

Pemeriksaan mikroskopik urin terdiri dari sedimen urin tanpa putar (100
x) dan sedimen urin dengan putar 2500 x/menit selama 5 menit. Pemeriksaan
mikroskopik dengan pembesaran 400x ditemukan bakteriuria >105 CFU per ml.
Lekosituria (piuria) 10/LPB hanya ditemukan pada 60-85% dari pasien-pasien
dengan bakteriuria bermakna (CFU per ml >105). Kadang-kadang masih
ditemukan 25% pasien tanpa bakteriuria. Hanya 40% pasien-pasien dengan piuria
mempunyai bakteriuria dengan CFU per ml >105. Analisa ini menunjukkan bahwa
piuria mempunyai nilai lemah untuk prediksi ISK.

Tes dipstick pada piuria untuk deteksi sel darah putih. Sensitivitas 100%
untuk >50 leukosit per HPF, 90% untuk 21-50 leukosit, 60% untuk 12-20
leukosit, 44 % untuk 6-12 leukosit. Selain itu pada pemeriksaan urin yang tidak
disentrifuge dapat dilakukan pemeriksaan mikroskopik secara langsung untuk
melihat bakteri gram negatif dan gram positif. Sensitivitas sebesar 85 % dan
spesifisitas sebesar 60 % untuk 1 PMN atau mikroorganisme per HPF. Namun
pemeriksaan ini juga dapat mendapatkan hasil positif palsu sebesar 10%

Uji Biokimia
Uji biokimia didasari oleh pemakaian glukosa dan reduksi nitrat menjadi nitrit
dari bakteriuria terutama golongan Enterobacteriaceae. Uji biokimia ini hanya
sebagai uji saring (skrinning) karena tidak sensitif, tidak spesifik dan tidak dapat
menentukan tipe bakteriuria.

Mikrobiologi
Pemeriksaan mikrobiologi yaitu dengan Colony Forming Unit (CFU) ml urin.
Indikasi CFU per ml antara lain pasien-pasien dengan gejala ISK, tindak lanjut
selama pemberian antimikroba untuk ISK, pasca kateterisasi, uji saring bakteriuria
asimtomatik selama kehamilan, dan instrumentasi. Bahan contoh urin harus
dibiakan lurang dari 2 jam pada suhu kamar atau disimpan pada lemari pendingin.
Bahan contoh urin dapat berupa urin tengah kencing (UTK), aspirasi suprapubik
selektif.

Interpretasi sesuai dengan kriteria bakteriura patogen yakni CFU per ml


>105 (2x) berturut-turut dari UTK, CFU per ml >105 (1x) dari UTK disertai
lekositouria > 10 per ml tanpa putar, CFU per ml >105 (1x) dari UTK disertai
gejala klinis ISK, atau CFU per ml >105 dari aspirasi supra pubik. Menurut
kriteria Kunin yakni CFU per ml >105 (3x) berturut-turut dari UTK..

Renal Imaging Procedures1


Renal imaging procedures digunakan untuk mengidentifikasi faktor predisposisi
ISK, yang biasa digunakan adalah USG, foto polos abdomen, pielografi intravena,
micturating cystogram dan isotop scanning. Investigasi lanjutan tidak boleh rutin
tetapi harus sesuai indikasi antara lain ISK kambuh, pasien laki-laki, gejala
urologik (kolik ginjal, piuria, hematuria), hematuria persisten, mikroorganisme
jarang (Pseudomonas spp dan Proteus spp), serta ISK berulang dengan interval ≤6
minggu.

h. Terapi
Infeksi saluran kemih atas (ISKA)
Pada umumnya pasien dengan pielonefritis akut (PNA) memerlukan rawat inap
untuk memelihara status hidrasi dan terapi antibiotik parenteral minimal 48 jam.
Indikasi rawat inap pada PNA antara lain kegagalan dalam mempertahankan
hidrasi normal atau toleransi terhadap antibiotik oral, pasien sakit berat, kegagalan
terapi antibiotik saat rawat jalan, diperlukan investigasi lanjutan, faktor
predisposisi ISK berkomplikasi, serta komorbiditas seperti kehamilan, diabetes
mellitus dan usia lanjut.

The Infectious Disease Society of America menganjurkan satu dari tiga


alternative terapi antibiotic IV sebagai terapi awal selama 48-72 jam, sebelum
adanya hasil kepekaan biakan yakni fluorokuinolon, amiglikosida dengan atau
tanpa ampisilin dan sefalosporin spektrum luas dengan atau tanpa aminoglikosida.
Infeksi saluran kemih bawah (ISKB)
Prinsip manajemen ISKB adalah dengan meningkatkan intake cairan, pemberian
antibiotik yang adekuat, dan kalau perlu terapi simtomatik untuk alkanisasi urin
dengan natrium bikarbonat 16-20 gram per hari

Pada sistitis akut, antibiotika pilihan pertama antara lain nitrofurantoin,


ampisilin, penisilin G, asam nalidiksik dan tetrasiklin. Golongan sulfonamid
cukup efektif tetapi tidak ekspansif. Pada sistitis kronik dapat diberikan
nitrofurantoin dan sulfonamid sebagai pengobatan permulaan sebelum diketahui
hasil bakteriogram.

i. Komplikasi
Komplikasi ISK bergantung dari tipe yaitu ISK tipe sederhana (uncomplicated)
dan ISK tipe berkomplikasi (complicated).

ISK sederhana (uncomplicated)


ISK akut tipe sederhana yaitu non-obstruksi dan bukan pada perempuan hamil
pada umumnya merupakan penyakit ringan (self limited disease) dan tidak
menyebablan akibat lanjut jangka lama.

ISK tipe berkomplikasi (complicated)


ISK tipe berkomplikasi biasanya terjadi pada perempuan hamil dan pasien dengan
diabetes mellitus. Selain itu basiluria asimtomatik (BAS) merupakan risiko untuk
pielonefritis diikuti penurun laju filtrasi glomerulus (LFG).

Komplikasi emphysematous cystitis, pielonefritis yang terkait spesies


kandida dan infeksi gram negatif lainnya dapat dijumpai pada pasien DM.
Pielonefritis emfisematosa disebabkan oleh MO pembentuk gas seperti E.coli,
Candida spp, dan klostridium tidak jarang dijumpai pada pasien DM.
Pembentukan gas sangant intensif pada parenkim ginjal dan jaringan nekrosis
disertai hematom yang luas. Pielonefritis emfisematosa sering disertai syok septik
dan nefropati akut vasomotor.
Abses perinefritik merupakan komplikasi ISK pada pasien DM (47%),
nefrolitiasis (41%), dan obstruksi ureter (20%).

Tabel 2.6 Morbiditas ISK selama kehamilan

Kondisi Risiko Potensial


BAS tidak diobati  Pielonefritis
 Bayi prematur
 Anemia
 Pregnancy-induced hypertension

ISK trimester III  Bayi mengalami retardasi mental


 Pertumbuhan bayi lambat
 Cerebral palsy
 Fetal death
BAB IV

PEMBAHASAN

Dari autoanamnesis didapatkan seorang perempuan usia 66 tahun, dengan


keluhan nyeri perut bagian kiri hingga tembus punggung belakang (+). Terasa
panas dan kaku (+), mendadak , semakin memberat, tidak membaik dengan
perubahan posisi, mual (+), muntah (+).

Pasien memiliki riwayat sakit DM terkontrol sejak 3 tahun yang lalu.

Dari hasil pemeriksaan fisik didapatkan keadaan umum tampak kesakitan.


Kesadaran compos mentis. Vital sign, TD : 120/80 mmHg, Nadi : 92x/menit,
Respirasi : 18 x/menit, Suhu : 36oC, Konjungtiva anemis (-/-). Bentuk dada
normal dan simetris antara dada kanan dan kiri, ictus cordis tidak tampak dan
tidak kuat angkat, BJ I-II reguler. Pernapasan dalam batas normal, dinding perut
sejajar dengan dinding dada, peristaltik (+), nyeri tekan perut regio lumbar sinistra
(+), nyeri ketok kostovertebra (-/+), timpani (+), akral hangat (+), oedema tungkai
(-).

Hasil pemeriksaan urin rutin didapatkan warna kuning keruh, bakteri +,


epitel squamos +, leukosit dan eritrosit meningkat.

Diagnosis :

ISK

DM tipe II

Terapi :

Inf. RL 20 tpm

Inj. Omeprazole 1vial/ 12jam

Inj. Santagesik 1A/12jam

Inj. Ondansentron 1A/ 12jam


Novorapid 3x4unit

Ciprofloxacin 500mg 2x1tab


DAFTAR PUSTAKA
Foster DW.Diabetes melitus. Dalam : Harrison Prinsip-prinsip
ilmu penyakit dalam. Asdie, A, editor. Volume 5. Jakarta : EGC, 2000.
Gustaviani R. Diagnosis dan Klasifikasi Diabetes Melitus. Dalam :
buku ajar ilmu penyakit dalam. Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I dkk,
editor. Jilid III. Edisi IV. Jakarta : balai penerbit FKUI, 2006.
Hiswani. 2009. Peranan Gizi Dalam Diabetes Mellitus.
Konsensus Pengelolaan dan Pencegahan Diabetes Melitus Tipe 2.
2011. PERKENI
PERKENI. Konsensus Pengelolaan dan pencegahan diabetes
melitus tipe 2 di Indonesia. 2006. Pengurus Besar Perkumpulan
Endokrinologi Indonesia. Jakarta. 2006
Persi.Faktor Lingkungan dan Gaya Hidup Berperan Besar Memicu
Diabetes.2008 [ diakses tanggal 22 Maret 2017] http: //pdpersi.co.id
Price, Sylvia Anderson. Wilson, Lorraine McCarty. 2005.
Patofisologi KonsepcKlinis Proses-proses Penyakit. Edisi 6. Jakarta: EGC
Silabernagi, Stefan. Florian Lang. 2002 Penyebab Diabetes
Melitus. Teks & Atlas Berwarna Patofisiologi. Jakarta. Penerbit Buku
Kedokteran EGC.
Soegondo S. Konsensus Pengelolaan dan Pencegahan Diabetes
Melitus tipe 2 di Indonesia 2011. Jakarta : PERKENI, 2011
Sudoyo, Aru W. Setiyohadi, Bambang. Alwi, Idrus. Dkk. 2006.
Buku Ajar IlmucPenyakit Dalam. Jilid III. Edisi IV. Jakrta: IPD FKUI.
Suyono, Slamet. 2006. Diabetes Melitus di Indonesia. Buku Ajar
Ilmu Penyakit Dalam. Jilid III, Ed.IV. Jakarta: FKUI
Waspadji S. Komplikasi kronik diabetes : mekanisme terjadinya,
diagnosis dan strategi pengelolaannya. Dalam : buku ajar ilmu penyakit
dalam. Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I dkk, editor. Jilid III. Edisi IV.
Jakarta : balai penerbit FKUI, 2006
Tortora, Derrickson B; Principle of Anatomy an Physiology 11th
ed, Chapter 26: The Urinary System, pp 778-790, 2011.
Price S. A, Wilson, Patofisiologi Clinical Concepts of Disease
Process, 6th ed, jakarta. 2006.
Sherwood, L. Fisiologi Manusia; dari Sel ke Sistem. Ed 2.
Jakarta;EGC. 2001.
Purnomo, B. Dasar-dasar Urologi, Ed 2, Malang. 2003.
Menon M, Parulkar BC, Drach GW. Urinary lithiasis: etiology,
diagnosis and medical management. In: Walsh PC, et al., eds. Campbell's
Urology. 7th ed. Philadelphia: Saunders. p1998:2661–733

Sukandar, E. Infeksi Saluran Kemih. In Sudoyo A.W, et all.ed.


Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II Edisi V. Jakarta: Internal
Publishing. 2009:1008-1014.
Nguyen, H.T. Bacterial Infections of The Genitourinary Tract. In
Tanagho E. & McAninch J.W. ed. Smith’s General urology 17th edition.
Newyork: Mc Graw Hill Medical Publishing Division. 2008: 193-195
Sukandar, E. Infeksi (non spesifik dan spesifik) Saluran Kemih dan
Ginjal. In Sukandar E. Nefrologi Klinik Edisi III. Bandung: Pusat
Informasi Ilmiah (PII) Bagian Ilmu Penyakit Dalam FK UNPAD. 2006:
29-72

You might also like