You are on page 1of 13

1.

ANATOMI FISIOLOGI

Otak adalah organ vital yang terdiri dari 100-200 milyar sel aktif yang

saling berhubungan dan bertanggung jawab atas fungsi mental dan

intelektual kita. Otak terdiri dari sel-sel otak yang disebut neuron. Otak

merupakan organ yang sangat mudah beradaptasi meskipun neuron-

neuron di otak mati tidak mengalami regenerasi, kemampuan adaptif atau

plastisitas pada otak dalam situasi tertentu bagian-bagian otak dapat

mengambil alih fungsi dari bagian-bagian yang rusak. Secara garis besar,

sistem saraf dibagi menjadi 2, yaitu sistem saraf pusat dan sistem saraf

tepi. Sistem saraf pusat (SSP) terbentuk oleh otak dan medulla spinalis.

Sistem saraf disisi luar SSP disebut sistem saraf tepi (SST). Fungsi dari

SST adalah menghantarkan informasi bolak balik antara SSP dengan

bagian tubuh lainnya. Otak merupakan bagian utama dari sistem saraf,

dengan komponen bagiannya adalah:

1) Cerebrum

Cerebrum merupakan bagian otak yang terbesar yang terdiri dari

sepasang hemisfer kanan dan kiri dan tersusun dari korteks. Korteks

ditandai dengan sulkus (celah) dan girus.

Cerebrum dibagi menjadi beberapa lobus, yaitu:


a) Lobus frontalis

Lobus frontalis berperan sebagai pusat fungsi intelektual yang

lebih tinggi, seperti kemampuan berpikir abstrak dan nalar bicara

(area broca di hemisfer kiri), pusat penghidu, dan emosi. Bagian ini

mengandung pusat pengontrolan gerakan volunter di gyrus

presentralis (area motorik primer) dan terdapat area asosiasi

motorik (area premotor). Pada lobus ini terdapat daerah broca yang

mengatur ekspresi bicara, lobus ini juga mengatur gerakan sadar,

perilaku sosial, berbicara, motivasi dan inisiatif.

b) Lobus temporalis

Lobus temporalis temporalis mencakup bagian korteks

serebrum yang berjalan ke bawah dari fisura laterali dan sebelah

posterior dari fisura parieto-oksipitalis. Lobus ini berfungsi untuk

mengatur daya ingat verbal, visual, pendengaran dan berperan dlm

pembentukan dan perkembangan emosi.

c) Lobus parietalis

Lobus Parietalis merupakan daerah pusat kesadaran sensorik

di gyrus postsentralis (area sensorik primer) untuk rasa raba dan

pendengaran.

d) Lobus oksipitalis

Lobus oksipitalis berfungsi untuk pusat penglihatan dan area

asosiasi penglihatan: menginterpretasi dan memproses rangsang

penglihatan dari nervus optikus dan mengasosiasikan rangsang ini

dengan informasi saraf lain & memori.


e) Lobus Limbik

Lobus limbik berfungsi untuk mengatur emosi manusia, memori

emosi dan bersama hipothalamus menimbulkan perubahan melalui

pengendalian atas susunan endokrin dan susunan otonom.

2) Cerebellum

Cerebellum adalah struktur kompleks yang mengandung lebih

banyak neuron dibandingkan otak secara keseluruhan. Memiliki peran

koordinasi yang penting dalam fungsi motorik yang didasarkan pada

informasi somatosensori yang diterima, inputnya 40 kali lebih banyak

dibandingkan output. Cerebellum terdiri dari tiga bagian fungsional

yang berbeda yang menerima dan menyampaikan informasi ke bagian

lain dari sistem saraf pusat. Cerebellum merupakan pusat koordinasi

untuk keseimbangan dan tonus otot. Mengendalikan kontraksi otot-otot

volunter secara optimal. Bagian-bagian dari cerebellum adalah lobus

anterior, lobus medialis dan lobus fluccolonodularis

3) Brainstem

Brainstem adalah batang otak, berfungsi untuk mengatur seluruh

proses kehidupan yang mendasar. Berhubungan dengan diensefalon

diatasnya dan medulla spinalis dibawahnya. Struktur-struktur

fungsional batang otak yang penting adalah jaras asenden dan

desenden traktus longitudinalis antara medulla spinalis dan bagian-

bagian otak, anyaman sel saraf dan 12 pasang saraf cranial. Secara

garis besar brainstem terdiri dari tiga segmen, yaitu mesensefalon,

pons dan medulla oblongata (Satmoko, 2015).


2. DEFINISI

Cedera kepala atau traumatic brain injury didefinisikan sebagai

cedera pada kepala akibat trauma tumpul (blunt trauma) atau trauma

tembus (penetrating trauma) atau tenaga akselerasi-deselerasi yang

menyebabkan gangguan fungsi otak sementara atau permanen.

Sebagian ahli menggunakan istilah cedera kranio-serebral berdasarkan

pemahaman bahwa perlukaan atau lesi yang terjadi dapat mengenai

bagian tulang tengkorak (kranium) atau bagian jaringan otak (cerebral)

atau keduanya sekaligus (Arifin & Ajid, 2013).

3. ETIOLOGI

Mekanisme cedera kepala meliputi cedera akselerasi, deselerasi,

akselerasi-deselerasi, coup-countre coup, dan cedera rotasional (Nurarif,

2013).

1) Cedera akselerasi terjadi jika objek bergerak menghantam kepala

yang bergerak (misalnya, alat pemukul menghantam kepala atau

peluru yang ditembakkan ke kepala).

2) Cedera deselerasi terjadi jika kepala yang bergerak membentur objek

diam, seperti pada kasus jatuh atau tabrakan mobil ketika kepala

membentur kaca depan mobil.

3) Cedera akselerasi-deselerasi sering terjadi dalam kasus kecelakaan

kendaraan bermotor dan episode kekerasan fisik.

4) Cedera coup-countre coup terjadi jika kepala terbentur yang

menyebabkan otak bergerak dalam ruang kranial dan dengan kuat

mengenai area tulang tengkorak yang berlawanan serta area kepala

yang pertama kali terbentur. Sebagai contoh pasien dipukul di bagian

kepala belakang.
5) Cedera rotasional terjadi jika pukulan atau benturan menyebabkan

otak berputar dalam rongga tengkorak, yang mengakibatkan

perenggangan atau robeknya neuron dalam substansia alba serta

robeknya pembuluh darah yang memfiksasi otak dengan bagian

dalam rongga tengkorak.

4. KLASIFIKASI

Berdasarkan mekanismenya cedera kepala dikelompokkan menjadi

dua yaitu :

1) Cedera kepala tumpul.

Cedera kepala tumpul biasanya berkaitan dengan kecelakaan

lalu lintas, jatuh atau pukulan benda tumpul.

2) Cedera tembus.

Cedera tembus disebabkan oleh luka tembak atau tusukan.

Berdasarkan morfologi cedera kepala, dapat terjadi di area tulang

tengkorak yang meliputi:

1) Laserasi kulit kepala.

2) Fraktur tulang kepala.

3) Cedera kepala di area intracranial yang diklasifikasikan menjadi

cedera otak fokal dan cedera otak difus.

a) Cedera otak fokal yang meliputi:

(1) Perdarahan epidural atau Epidural Hematoma (EDH).

Epidural Hematoma (EDH) adalah adanya darah di ruang

epidural yaitu ruang potensial antara tabula interna tulang

tengkorak dan durameter. Gejala lain yang ditimbulkan

antara lain sakit kepala, muntah, kejang dan hemiparesis.


(2) Perdarahan subdural akut atau Subdural Hematom (SDH)

akut. Perdarahan ini terjadi akibat robeknya vena-vena kecil

di permukaan korteks cerebri.

(3) Perdarahan subdural kronik atau SDH kronik. Subdural

hematom kronik adalah terkumpulnya darah di ruang

subdural lebih dari 3 minggu setelah trauma. Subdural

hematom kronik diawali dari SDH akut dengan jumlah darah

yang sedikit.

(4) Pembentukan neomembran tersebut akan diikuti dengan

pembentukan kapiler baru dan terjadi fibrinolitik sehingga

terjadi proses degradasi atau likoefaksi bekuan darah

sehingga terakumulasinya cairan hipertonis yang dilapisi

membran semi permeabel.

(5) Perdarahan intra cerebral atau Intracerebral Hematom

(ICH). Intra cerebral hematom adalah area perdarahan yang

homogen dan konfluen yang terdapat didalam parenkim otak

(Sekar RA, 2015).

b) Cedera difus

(1) Cedera akson difus (Difuse Aksonal Injury (DAI)).

(2) Kontusio cerebri.

(3) Edema cerebri.

(4) Iskemia cerebri. (Sekar RA, 2015).

Cedera kepala berdasarkan beratnya cedera, dapat

diklasifikasikan penilaiannya berdasarkan skor GCS dan

dikelompokkan menjadi:

1) Cedera kepala ringan dengan nilai GCS 14-15.

2) Cedera kepala sedang dengan nilai GCS 9-13.

3) Cedera kepala berat dengan nilai GCS 3-8 (Arifin&Ajid, 2013).


5. PATOFISIOLOGI

Fungsi otak sangat bergantung pada tersedianya oksigen dan

glukosa. Meskipun otak hanya seberat 2 % dari berat badan orang

dewasa, ia menerima 20 % dari curah jantung. Sebagian besar yakni 80

% dari glukosa dan oksigen tersebut dikonsumsi oleh substansi kelabu.

Cedera kepala yang terjadi langsung akibat trauma disebut cedera

primer. Proses lanjutan yang sering terjadi adalah gangguan suplai untuk

sel yaitu oksigen dan nutrien, terutama glukosa. Kekurangan oksigen

dapat terjadi karena berkurangnya oksigenasi darah akibat kegagalan

fungsi paru, atau karena aliran darah otak menurun, misalnya akibat

syok. Karena itu pada cedera kepala harus dijamin bebasnya jalan nafas,

gerakan nafas yang adekuat dan hemodinamik tidak terganggu, sehingga

oksigenasi tubuh cukup. Gangguan metabolisme jaringan otak akam

menyebabkan edem yang mengakibaykan hernia melalui foramen

tentorium, foramen magnum, atau herniasi dibawah falks serebrum.

Jika terjadi herniasi jaringan otak yang bersangkutan akan mengalami

iskemik sehingga dapat menimbulkan nekrosis atau perdarahan yang

menimbulkan kematian (Martini, 2016).


6. MANIFESTASI KLINIK

Menurut Halim 2016, beberapa tanda dan gejala mungkin terlihat

setelah terjadi cedera, atau setelah beberapa hari bahkan minggu.

1) Cedera kepala ringan.

o Kehilangan kesadaran selama beberapa detik sampai menit.

o Tidak kehilangan kesadaran, tetapi dalam keadaan bingung.

o Sakit kepala, mual atau muntah.

o Masalah sensori, seperti penglihatan kabur, telinga berdenging.

o Sensitif terhadap lampu atau suara.

o Gangguan pada memori dan konsentrasi.

2) Cedera kepala sedang sampai berat.

o Kehilangan kesadaran selama beberapa menit sampai jam.

o Sakit kepala yang terus-menerus atau sakit kepala yang

bertambah buruk.

o Kejang, mual atau muntah secara berulang.

o Dilatasi satu atau kedua pupil.

o Cairan jernih mengalir dari hidung atau telinga.

o Kehilangan kesadaran.

o Koma dan tingkat kesadaran yang kacau.

7. PENATALAKSAAN MEDIS

1. Memperbaiki / mempertahankan fungsi vital (ingat ABC)

2. Mengurangi edema otak dengan cara:

o Hiperventilasi. Bertujuan untuk menurunkan PO2darah sehingga

men-cegah vasodilatasi pembuluh darah. Selain itu suplai oksigen

yang terjaga dapat membantu menekan metabolisme anaerob,

sehingga dapat mengurangi kemungkinan asidosis. Bila dapat


diperiksa, PO2dipertahankan > 100 mmHg dan PCO2di antara 25-

30 mmHg.

o Cairan hiperosmoler. Umumnya digunakan cairan Manitol 1015%

per infus untuk "menarik" air dari ruang intersel ke dalam ruang

intravaskular untuk kemudian dikeluarkan melalui diuresis. Untuk

memperoleh efek yang dikehendaki, manitol harus diberikan

dalam dosis yang cukup dalam waktu singkat, umumnya diberikan

0,51 g/kgBB dalam 1030 menit.

o Kortikosteroid. Penggunaan kortikosteroid telah diperdebatkan

manfaatnya sejak beberapa waktu yang lalu. Pendapat akhir-akhir

ini cenderung menyatakan bahwa kortikosteroid tidak / kurang

bermanfaat pada kasus cedera kepala. Penggunaannya

berdasarkan pada asumsi bahwa obat ini menstabilkan sawar

darah otak.

o Barbiturat digunakan untuk mem"bius" pasien sehingga

metabolisme otak dapat ditekan serendah mungkin, akibatnya

kebutuhan oksigen juga akan menurun; karena kebutuhan yang

rendah, otak relatif lebih terlindung dari kemungkinan kemsakan

akibat hipoksi, walaupun suplai oksigen berkurang. Cara ini hanya

dapat digunakan dengan pengawasan yang ketat.

o Pada 2448 jam pertama, pemberian cairan dibatasi sampai 1500-

2000 ml/24 jam agar tidak memperberat edema jaringan.

3. Obat-obatan neuroprotectan seperti piritinol, piracetam dan

citicholine dikatakan dapat membantu mengatasi

kesulitan/gangguan metabolisme otak, termasuk pada keadaan

koma.

4. Perawatan luka dan pencegahan dekubitus harus dilakukan sejak dini

5. Hemostatik tidak digunakan secara rutin; pasien trauma kepala


umumnya sehat dengan fungsi pembekuan normal. Perdarahan

intrakranial tidak bisa diatasi hanya dengan hemostatik.

6. Antikonvulsan diberikan bila pasien mengalami kejang, atau pada

trauma tembus kepala dan fraktur impresi; preparat parenteral yang ada

ialah fenitoin, dapat diberikan dengan dosis awa1250 mg intravena dalam

waktu 10 menit diikuti dengan 250-500 mg fenitoin per infus selama 4

jam. Setelah itu diberi- kan 3 dd 100 mg/hari per oral atau intravena.

Diazepam 10 mg iv diberikan bila terjadi kejang. Phenobarbital tidak

dianjurkan karena efek sampingnya berupa penurunan kesadaran dan

depresi pernapasan (Pusponegoro, 2015).

8. PENATALAKSAAN KEPERAWATAN

Setelah ditentukan fungsi vital, kesadaran, dan status neurologis

harus diperhatikan kesembilan aspek sebagai berikut (Pusponegoro,

2015) :

1. Pemberian cairan dan elektrolit disesuaikan dengan kebutuhan.

Harus dicegah terjadinya hidrasi berlebih dan hiponatremia yang

akan memperberat edem otak.

2. Pemasangan kateter kandung kemih diperlukan untuk memantau

keseimbangan cairan

3. Pencegahan terhadap pneumonia hipostatik dilakukan dengan

fisioterapi paru, mengubah secara berkala posisi berbaring, dan

mengisap timbunan sekret.

4. Kulit diusahakan tetap tetap bersih dan kering untuk mencegah

dekubitus.

5. Anggota gerak digerakkan secara pasif untuk mencegah kontraktur

dan hipotrofi.
6. Kornea harus terus menerus dibasahi dengan larutan asam borat

untuk mencegah keratitis. Keadaan gelisah dapat disebabkan oleh

perkembangan massa didalam tengkorak, kandung kemih yang

penuh, atau nyeri. Setelah ketiga hal tersebut dapat dipastikan dan

diatasi, baru boleh diberikan sedatif. Mengikat penderita hanya akan

menambah kegelisahan, yang justru akan menaikkan tekanan

intrakranial.

7. Kejang-kejang harus segera diatasi karena akan menyebabkna

hipoksia otak dan kenaikan tekanan darah serta memperberat edem

otak.

9. PEMERIKSAAN PENUNJANG

Pemeriksaan penunjang yang diperlukan pada pasien dengan

cedera kepala menurut Muttaqin (2008), yaitu:

1. CT-Scan atau MRI (tanpa kontras): mengidentifikasi luasnya lesi,

perdarahan, determinan ventrikuler, dan perubahan jaringan otak.

2. EEG (elektroensefalografi): melihat keberadaan dan perkembangan

gelombang patologis.

3. Foto rontgen: mendeteksi perubahan struktur tulang (fraktur),

perubahan struktur garis (perdarahan/edema), fragmen tulang.

4. PET (Pasitron Emisson Tomography): mendeteksi perubahan

aktifitas metabolisme otak.

5. Angiografi serebral: menunjukkan kelainan sirkulasi serebral seperti

pergeseran jaringan otak sekunder menjadi edema, perdarahan, dan

trauma.

6. Kadar elektrolit: mengoreksi keseimbangan elektrolit sebagai

peningkatan tekanan intrakranial (TIK).


10. KOMPLIKASI

Berdasarkan Halim 2017, berapa komplikasi dapat terjadi secara tiba-

tiba dan cepat setelah cedera kepala. Cedera kepala berat meningkatkan

beberapa resiko komplikasi atau banyak komplikasi lain yaitu:

1) Gangguan kesadaran

2) Kejang

3) Penumpukan cairan

4) Insfeksi

5) Kerusakan pada pembuluh darah

6) Kerusakan syaraf

7) Kerusakan intelektual

8) Masalah dalam berkomunikasi

11. DIAGNOSA

1. Bersihan jalan napas tidak efektif b.d akumulasi cairan

2. Perubahan perfusi jaringan serebral b.d hiposksia

3. Perubahan persepsi sensori b.d defisit neorologi

4. Gangguan rasa nyaman nyeri b.d peningkatan TIK

5. Kerusakan mobilitas fisik b.d imobilitas

6. Resti injury b.d gangguan kesadaran

7. Resti infeksi b.d kontinuitas yang rusak

8. Resti gangguan intregritas fisik b.d imobilitas

9. Resti kekurangan volume cairan b.d mual-muntah

(Nuarif, 2015).
DAFTAR PUSTAKA

Arifin & Ajid Risdianto. 2013. Cedera Kepala. Jakarta: Sagung Seto.

Halim, R. 2016. Prehospital Insult dan NISS>50 Mempengaruhi Mortalitas Pasien


Trauma Tumpul Abdomen di Rumah Sakit Sanglah Periode Tahun 2015
[Tesis]. Denpasar: Universitas Udayana.

Martini, M, Moch. Hidayat & Dewi Kartikawatiningsih. 2016. Perbedaan survival


pasien rujukan dan non rujukan dengan cedera kepala di Instalasi Gawat
Darurat (IGD) RSUD dr. Saiful Anwar Malang. Jurnal Ilmu Keperawatan.
4(2): 161-170.

Pusponegoro, AD. 2015. Manajemen Trauma. Jakarta: Sagung Seto.

Satmoko, BS. 2015. Pengaruh Slow Deep Breathing terhadap Skala Nyeri Akut
pada Pasien Cedera Kepala Ringan di Ruang IGD RSUD Pandan Arang
Boyolali [Skripsi]. Surakarta: Stikes Kusuma Husada.

Sekar, RA. 2015. Peran Perawat terhadap Ketepatan Waktu Tanggap


Penanganan Kasus Cedera Kepala di Instalasi Gawat Darurat RSUD Dr.
Moewardi Surakarta [Skripsi]. Surakarta: Stikes Kusuma Husada.

You might also like