You are on page 1of 12

HADITS-HADITS KEPEDULIAN SOSIAL

1. Memberi Lebih Baik Daripada Meminta


a. Teks dan Terjemah Hadits
‫ف‬ َّ ‫علَى ْالمِ ْنبَ ِر َوذَك ََر ال‬
َ ‫صدَقَةَ َوالتَّعَ ُّف‬ َ ‫ َوه َُو‬،َ‫سلَّ َم قَال‬ َ ُ‫صلَّى هللا‬
َ ‫علَ ْي ِه َو‬ َ ِ‫ أ َ َّن َرسُ ْو َل هللا‬،‫ع ْن ُه َما‬ َ ُ ‫ي هللا‬ َ ‫ض‬ِ ‫ع َم َر َر‬ ُ ‫ْث اب ِْن‬ ُ ‫َح ِدي‬
‫ كتاب‬24 : ‫ِي السَّائِلَةُ (أخرجه البخارى فى‬ َ ‫س ْفلَى ه‬ ُّ ‫ِي ْال ُم ْن ِفقَةُ َوال‬
َ ‫ فَ ْاليَدُ ْالعُ ْليَى ه‬،‫س ْفلَى‬
ُّ ‫ ا َ ْليَدُ ْالعُ ْليَى َخي ٌْر ِ ِّمنَ ْاليَ ِد ال‬:َ‫َو ْال َم ْسئَلَة‬
) - ‫ – الصدقة إالِّ عن ظهر غنى‬18 :‫الزكاة‬
Ibnu Umar ra. Berkata, “Ketika Nabi saw. Berkhotbah di atas mimbar dan menyebut sedekah
dan minta-minta, beliau bersabda, ”Tangan yang di atas lebih baik daripada tangan yang di
bawah, tangan yang di atas memberi dan tangan yang di bawah menerima.”

b. Penjelasan Hadits
Islam sangat mencela orang yang mampu untuk berusaha dan memiliki badan sehat,
tetapi tidak mau berusaha, melainkan hanya menggantungkan hidupnya pada orang lain.
Misalnya, dengan cara meminta-minta. Keadaan seperti itu sangat tidak sesuai dengan sifat
umat Islam yang mulia dan memiliki kekuatan, sebagaimana dinyatakan dalam firman-Nya:
)8:‫ (المنافقون‬..... َ‫س ْو ِل ِه َول ِْل ُمؤْ مِ نِيْن‬
ُ ‫ َو ِِهللِ ْالع َِّزةِ َول َِر‬...
Kekuatan itu bagi Allah, bagi rasul-Nya dan bgai orang-orang yang beriman (QS. Al-Munafiqun:
8)
Dengan demikian, seorang peminta-peminta, yang sebenarnya mampu mencari kasab
dengan tangannya, selain telah merendahkan dirinya, ia pun secara tidak langsung telah
merendahkan ajaran agamanya yang melarang perbuatan tersebut. Bahkan ia dikategorikan
sebaga kufur nikmat karena tidak menggunakan tangan dan anggota badannya untuk berusaha
mencari rezeki sebagaimana diperintahkan syara’. Padahal Allah pasti memberikan rezeki
kepada setiap makhluk-Nya yang berusaha.
Allah swt berfirman:
َ َ‫علَى هللاِ ِر ْزقُ َها َو َي ْعلَ ُم ُمسْتَ َِ قَ َّرهَا َو ُم ْست َْود‬
ٍ ‫ع َها ُك ٌّل فِى ِكت َا‬
)6:‫ب ُّم ِبي ٍْن (هود‬ ِ ‫َو َما مِ ْن دَآبَّ ٍة فِى اْأل َ ْر‬
َ َّ‫ض ِإال‬
Dan tidak ada suatu binatang melata pun di bumi melainkan Allah-lah yang memberi rezkinya,
dan dia mengetahui tempat berdiam binatang itu dan tempat penyimpanannya. semuanya
tertulis dalam Kitab yang nyata (Lauh mahfuzh) (QS. Hud:6).
Dalam hadits dinyatakan dengan tegas bahwa tangan orang yang di atas (pemberi
sedekah) lebih baik daripada tangan yang di bawah (yang diberi). Dengan kata lain, derajat
orang yang pemberi lebih tinggi daripada derajat peminta-minta. Maka seyogyanya bagi setiap
umat Islam yang memiliki kekuatan untuk mencari rezeki, berusaha untuk bekerja apa saja
yang penting halal.
Bagi orang yang selalu membantu orang lain, di samping akan mendapatkan pahala
kelak di akherat, Allah jug akan mencukupkan rezekinya di dunia. Dengan demikian, pada
hakekatnya dia telah memberikan rezekinya untuk kebahagiaan dirinya dan keluarganya.
Karena Allah swt. Akan memberikan balasan yang berlipat dari bantuan yang ia berikan kepada
orang lain.
Orang yang tidak meminta-minta dan menggantungkan hidup kepada orang lain,
meskipun hidupnya serba kekurangan, lebih terhormat dalam pandangan Allah swt. dan Allah
akan memuliakannya akan mencukupinya. Orang Islam harus berusaha memanfaatkan karunia
yang diberikan oleh Allah swt, yang berupa kekuatan dan kemampuan dirinya untuk mencukupi
hidupnya disertai doa kepada Allah swt.
Adanya kewajiban berusaha bagi manusia, tidak berarti bahwa Allah swt. tidak berkuasa
untuk mendatangkan rezeki begitu saja kepada manusia, tetapi dimaksudkan agar manusia
menghargai dirinya sendiri dan usahanya, sekaligus agar tidak berlaku semena-mena atau
melampaui batas, sebagaimana dinyatakan oleh Syaqiq Ibrahim dalam menafsirkan ayat:
)27:‫صي ٌْر (الشورى‬ ِ ‫الر ْزقَ ِل ِعبَا ِد ِه لَبَغ َْوا فِى اْأل َ ْر‬
ِ َ‫ض َولَك ِْن يُن ِ َِّز ُل بِقَدَ ٍر َّما يَشَآ ُء إِنَّه ُ بِ ِعبَا ِد ِه َخبِي ٌْر ب‬ َ ‫س‬
ِّ ِ ُ‫ط هللا‬ َ َ‫َولَ ْو ب‬
Dan jikalau Allah melapangkan rezki kepada hamba-hamba-Nya tentulah mereka akan
melampaui batas di muka bumi, tetapi Allah menurunkan apa yang dikehendaki-Nya dengan
ukuran. Sesungguhnya dia Maha mengetahui (keadaan) hamba-hamba-Nya lagi Maha Melihat
(QS. Asy-Syura:27).
Menurutnya, seandainya Allah swt., memberi rezeki kepada manusia yang tidak mau
berusaha, pasti manusia semakin rusak dan memiliki banyak peluang untuk berbuat kejahatan.
Akan tetapi, Dia Mahabijaksana dan memerintahkan manusia untuk berusaha agar manusia
tidak banyak berbuat kerusakan.

2. Larangan Hidup Individualistis


a. Teks dan Terjemah Hadits
‫ (رواه البخارى‬.ِ‫ الَيُؤْ مِ نُ أ َ َحدُ ُك ْم َحتَّى يُحِ بَّ ِألَخِ ْي ِه َمايُحِ بُّ ِلنَ ْف ِسه‬:َ‫سلَّ َم قَال‬ َ ُ‫صلَّى هللا‬
َ ‫علَ ْي ِه َو‬ َ ‫ي‬ َ ُ‫ع ْنه‬
ِِّ ِ‫ع ِن ال َّنب‬ َ ُ‫ي هللا‬ ِ ‫ع ْن أَن ٍَس َر‬
َ ‫ض‬ َ
)‫ومسلم وأحمد والنسائى‬
Anas ra. berkata, bahwa Nabi saw. bersabda, “Tidaklah termasuk beriman seseorang di antara
kami sehingga mencintai saudaranya sebagaimana ia mencintai dirinya sendiri”. (H.R. Bukhari,
Muslim, Ahmad, dan Nasa’i)

b. Penjelasan Hadits
Sikap individualistis adalah sikap mementingkan diri sendiri, tidak memiliki kepekaan
terhadap apa yang dirasakan oleh orang lain. Menurut agama, sebagaimana di sampaikan dalam
hadits di atas adalah termasuk golongan orang-orang yang tidak (smpurna) keimanannyanya.
Seorang mukmin yang ingin mendapat ridla Allah swt. Harus berusaha untuk melakukan
perbuatan-perbuatan yang diridai-Nya. Salah satunya adalah mencintai sesama saudaranya
seiman seperti ia mencintai dirinya, sebagaimana dinyatakan dalam hadits di atas.
Namun demikian, hadits di atas tidak dapat diartikan bahwa seorang mukmin yang
tidak mencintai saudaranya seperti mencintai dirinya sendiri berarti tidak beriman. Maksud
pernyataan َِ ُ ‫ الَيُؤؤمِ نُ ُ َح َ َدؤ ُم‬pada hadits di atas, “tidak sempurna keimanan seseorang” jika tidak
mencintai saudaranya seperti mencintai dirinya sendiri. Jadi, haraf nafi َ‫ َال‬pada hadits tersebut
berhubungan dengan ketidaksempurnaan.
Hadits di atas juga menggambarkan bahwa Islam sangat menghargai persaudaraan
dalam arti sebenarnya. Persaudaraan yang datang dari hati nurani, yang dasarnya keimanan
dan bukan hal-hal lain, sehingga betul-betul merupakan persaudaraan murni dan suci.
Persaudaraan yang akan abadi seabadi imannya kepada Allah swt. Dengan kata lain,
persaudaraan yang didasarkan Illah, sebagaimana diterangkan dalam banyak hadits tentang
keutamaan orang yang saling mencintai karena Allah swt., di antaranya:
َ‫ أَيْنَ ْال ُمت َ َحاب ُّْون‬:ِ‫ إِ َّن هللاَ تَعَالَى يَقُ ْو ُل يَ ْو َم ْال ِقيَا َمة‬:‫سلَّ َم‬ َ ُ‫صلَّى هللا‬
َ ‫علَ ْي ِه َو‬ َ ِ‫ قَا َل َرسُ ْو ُل هللا‬:َ‫ع ْنهُ قَال‬
َ ُ ‫ي هللا‬ ِ ‫عََِ ْن أَبِ ْي ه َُري َْرة َ َر‬
َ ‫ض‬
)‫ِب َجالَ ِل ْي ا َ ْل َي ْو َم أُظِ لُّ ُه ْم فِى ظِ ِِّل ْي َي ْو َم الَظِ َّل إِالَّ ظِ لُّهُ (رواه مسلم‬
Abu Hurairah berkata, Rasulullah saw. bersabda, “pada hari kiamat allah swt. akan berfirman,
‘di manakah orang yang saling terkasih sayang karena kebesaran-Ku, kini aku naungi di bawah
naungan-Ku, pada saat tiada naungan, kecuali naungan-Ku.

Sifat persaudaraan kaum mukmin yatiu mereka yang saling menyayangi, mengasihi dan
saling membantu. Demikian akrab, rukun dan serempak sehingga merupakan satu kesatuan
yang tak terpisahkan satu sama lain. Dalam hal satu kesatuan ini, Nabi saw. mengibaratkan
dalam berbagai hal, di antaranya dengan tubuh, bangunan dan lainnya. Jika salah satu ada yang
menghadapi kesulitan, maka yang lainpun harus belasungkawa dan turut menghadapinya.
Begitupun sebaliknya.
Orang yang mencintai saudaranya karena Allah akan memandang bahwa dirinya
merupakan aslah satu anggota masyarakat, yang harus membangun suatu tatanan untuk
kebahagiaan bersama. Apapun yang dirasakan oleh saudaranya, baik kebahagiaan maupun
kesengsaraan, ia anggap sebagai kebahagiaan dan kesengsaraannya juga. Dengan demikian,
terjadi keharmonisan hubungan antarindividu yang akan memperkokoh persatuan dan
kesatuan. Dalam hadits lain Rasulullah saw. menyatakan:
ُ ‫شدُّ بَ ْع‬
.‫ضهُ بَ ْعضًا‬ ِ َ‫سلَّ َم ا َ ْل ُمؤْ مِ نُ ل ِْل ُمؤْ مِ ِن ك َْالبُ ْني‬
ُ َ‫ان ي‬ َ ُ‫صلَّى هللا‬
َ ‫علَ ْي ِه َو‬ َ ِ‫ قَا َل َرسُ ْو ُل هللا‬:َ‫ع ْنهُ قَال‬
َ ُ‫ي هللا‬
َ ‫ض‬ َ ‫ع ْن أَبِ ْي ُم ْو‬
ِ ‫سى َر‬ َ
)‫(أخرجه البخارى‬
Diriwayatkan dari Abi Musa ra. di berkata, "Rasulullah saw. pernah bersabda, 'Orang mukmin
yang satu dengan yang lain bagai satu bangunan yang bagian-bagiannya saling mengokohkan.
(HR. Bukhari)
Masyarakat seperti itu, telah dicontohkan pada zaman Rasulullah saw. Kaum Anshar
dengan tulus ikhlas menolong dan merasakan penderitaan yang dialami oleh kaum Muhajirin
sebagai penderitaannya. Perasaan seperti itu bukan didasarkan keterkaitan daerah atau
keluarga, tetapi didasarkan pada keimanan yang teguh. Tak heran kalau mereka rela
memberikan apa saja yang dimilikinya untuk menolong saudaranya dari kaum Muhajirin,
bahkan ada yang menawarkan salah satu istrinya untuk dinikahkan kepada saudaranya dari
Muhajirin.
Persaudaraan seperti itu sungguh mencerminkan betapa kokoh dan kuatnya keimanan
seseorang. Ia selalu siap menolong saudaranya seiman tanpa diminta, bahkan tidak jarang
mengorbankan kepentingannya sendiri demi menolong saudaranya. Perbuatan baik seperti
itulah yang akan mendapat pahala besar di sisi Allah swt., yakni memberikan sesuatu yang
sangat dicintainya kepada saudaranya, tanpa membedakan antara saudaranya seiman dengan
dirinya sendiri.
Allah swt. berfirman:
)92:‫ع ِل ْي ٌم (آلَعمران‬ َ ‫لَ ْن تَنَالُ ْوا ْال ِب َّر َحتَّى ت ُ ْن ِفقُ ْوا مِ َّما تُحِ ب ُّْونَ َو َما ت ُ ْن ِفقُ ْوا مِ ْن‬
َ ‫ش ْيءٍ فَإ ِ َّن هللاَ ِب ِه‬
Kamu sekali-kali tidak sampai kepada kebajikan (yang sempurna), sebelum kamu menafkahkan
sehahagian harta yang kamu cintai. dan apa saja yang kamu nafkahkan Maka Sesungguhnya
Allah mengetahuinya.

Sebaliknya, orang-orang mukmin yang egois, yang hanya mementingkan kebahagiaan


dirinya sendiri, pada hakikatnya tidak memiliki keimanan yang sesungguhnya. Hal ini karena
perbuatan seperti itu merupakan perbuatan orang kufur dan tidak disukai Allah swt. Tidaklah
cukup dipandang mukmin yang taat sekalipun khusyuk dalam shalat atau melaksanakan semua
rukun Islam, bila ia tidak peduli terhadap nasib saudaranya seiman.
Namun demikian, dalam mencintai seorang mukmin, sebagaimana dikatakan di atas,
harus didasari lillah. Oleh karena itu, harus tetap memperhatikan rambu-rambu syara’. Tidak
benar, dengan alasan mencintai saudaranya seiman sehingga ia mau menolong saudaranya
tersebut dalam berlaku maksiat dan dosa kepada Allah swt.
Sebaiknya, dalam mencintai sesama muslim, harus mengutamakan saudara-saudara
seiman yang betul-betul taat kepada Allah swt. Rasulullah saw. memberikan contoh siapa saja
yang harus terlebih dahulu dicintai, yakni mereka yang berilmu, orang-orang terkemuka, orang-
orang yang suka berbuat kebaikan, dan lain-lain sebagaimana diceritakan dalam hadits.
‫ ِليَ ِلِّيَنِ ْي مِ ْن ُك ْم أ ُ ْولُوا اْألَحْ الَ ِم َوالنُّ َهى‬:‫سلَّ َم‬ َ ُ‫صلَّى هللا‬
َ ‫علَ ْي ِه َو‬ ُ ‫ قَا َل َر‬:َ‫ع ْنهُ قَال‬
َ ِ‫س ْو ُل هللا‬ َ ُ‫ي هللا‬
َ ‫ض‬ ْ ِ‫ع ْب ِد هللا‬
ِ ‫ابن َم ْسعُ ْو ٍد َر‬ َ ‫ع ْن‬
َ
ِ ‫ت اْألَس َْوا‬
‫ رواه مسلم‬.‫ق‬ ِ ‫ث ُ َّم يَلُ ْونَ ُه ْم ثَالَثًا َوإِيَّا ُك ْم َو ِه ْيشَا‬
Abdullah bin Mas’ud ra., ia berkata: Rasulullah saw. bersabda: hendaknya mendekat kepadaku
orang-orang dewasa dan yang pandai , ahli-ahli pikir. Kemudian berikutnya lagi. Awaslah!
Janganlah berdesak-desakan seperti orang-orang pasar. (HR. Muslim)

Hal itu tidak berarti diskriminatif karena Islam pun memerintahkan umatnya untuk
mendekati orang-orang yang suka berbuat maksiat dan memberikan nasihat kepada mereka
atau melaksanakan amar ma’ruf dan nahi munkar.

3. Membuang Duri di Jalan


a. Teks dan Terjemah Hadits
َ ‫ش ْعبَةً فَأ َ ْف‬
‫ضلُ َها‬ ْ ِ‫س ْبعُ ْونَ أ َ ْو ب‬
َ َ‫ض ُعٌِ َّو ِست ُّ ْون‬ ْ ِ‫اإل ْي َمانُ ب‬
َ ‫ض ٌع َّو‬ ِ :َ‫سلَّ َم قَال‬ َ ُ‫صلَّى هللا‬
َ ‫علَ ْي ِه َو‬ َ ‫ي‬ َ ،ُ‫ع ْنه‬
ِِّ ِ‫ع ِن النَّب‬ َ ُ‫ي هللا‬َ ‫ض‬ ِ ‫ع ْن أَبِ ْي ه َُري َْرة َ َر‬
َ
‫ (متفق عليه) (محي الدين أبي زكريِّا يحيى‬.‫ان‬ ِ ‫ش ْعبَةٌ ِ ِّمنَ اْ ِإل ْي َم‬
ُ ‫ َو ْال َحيَا ُء‬،‫ق‬ َّ ‫ع ِن‬
ِ ‫الط ِر ْي‬ َ ‫طةُ اْألَذَى‬ َ ‫قَ ْو ُل آلإِلـهَ إِالَّ هللاُ َوأ َ ْدنَاهَا إِ َما‬
)78-77 ،‫ ص‬،‫بن شرف النواوي " رياض الصالحين" فى باب "كثرة طروق الخير‬
Dari Abi Hurairah ra., dari Nabi saw. Beliau bersabda, ”Iman itu tujuh puluh cabang lebih atau
enam puluh cabang lebih; yang paling utama adalah ucapan “lâ ilâha illallâhu” dan yang paling
rendah adalah menyingkirkan rintangan (kotoran) dari tengah jalan, sedangkan rasa malu itu
(juga) salah satu cabang dari iman.”
b. Penjelasan Hadits
Dalam hadits di atas, dijelaskan bahwa cabang yang paling utama adalah tauhid, yang
wajib bagi setiap orang, yang mana tidak satu pun cabang iman itu menjadi sah kecuali sesudah
sahnya tauhid tersebut. Adapun cabang iman yang paling rendah adalah menghilangkan sesuatu
yang mengganggu kaum muslimin, di antaranya dengan menyingkirkan duri atau batu dari jalan
mereka.
Hadits di atas menunjukkan bahwa dalam Islam, sekecil apapun perbuatan baik akan
mendapat balasan dan memiliki kedudukan sebagai salah satu pendukung akan kesempurnaan
keimanan seseorang.
Duri dalam konotasi secara sekilas menunjukkan pada sebuah benda yang hina. Akan
tetapi, jika dipahami lebih luas, yang dimaksud dengan duri di sini adalah segala sesuatu yang
dapat membahayakan pejalan kaki, baik besar maupun kecil. Hal ini semacam ini mendapat
perhatian serius dari Nabi saw. sehingga dikategorikan sebagai salah satu cabang daripada
iman, karena sikap semacam ini mengandung nilai kepedulian sosial, sedang dalam Islam
ibadah itu tidak hanya terbatas kepada ibadah ritual saja, bahkan setiap ibadah ritual, pasti di
dalamnya mengandung nilai-nilai sosial.
Di samping hal tersebut di atas, menghilangkan duri dari jalan mengandung pengertian
bahwa setiap muslim hendangkan jangan mencari kemudlaratan, membuat atau membiarkan
kemudlaratan. Hal ini sesuai dengan sabda Rasul saw. yang dijadikan sebuah kaidah dalam
Ushul Fiqh:
‫ار‬ ِ َ‫ار َوال‬
َ ‫ض َر‬ َ َ‫ال‬
َ ‫ض َر‬
Janganlah mencari kemudlaratan dan jangan pula membuat kemudlaratan.
Membiarkan duri di jalan atau sejenisnya berarti membiarkan kemudlaratan atau
membuat kemudlaratan baru, jika adanya duri tersebut awalnya sengaja disimpan oleh orang
lain.

4. Melapangkan Orang Lain


a. Teks dan Terjemah Hadits
ُ ‫س هللا‬ َ َّ‫ي نَف‬ ِ ‫ع ْن ُم ْس ِل ٍم ُك ْربَةً مِ ْن ُك َر‬
َ ‫ب الدُّ ْن‬ َ ‫سلَّ َم َم ْن نَف‬
َ ‫َس‬ َ ُ‫صلَّى هللا‬
َ ‫ع َل ْي ِه َو‬ َ ِ‫س ْو ُل هللا‬ُ ‫ قَا َل َر‬:َ‫ع ْنهُ قَال‬ َ ُ‫ي هللا‬ َ ‫ض‬ ِ ‫ع ْن أَبِ ْي ه َُري َْرة َ َر‬
َ
‫ست ََرهُ هللاُ فِى الدُّ ْنيَا‬ َ ‫علَ ْي ِه فِى الدُّ ْنيَا َواْآلخِ َرةِ َو َم ْن‬
َ ‫ست ََر ُم ْس ِل ًما‬ َ ُ‫علَى ُم ْعس ٍِر يَس ََّر هللا‬َ ‫ب يَ ْو ِم ْال ِقيَا َم ِة َو َم ْن يَس ََّر‬ِ ‫ع ْن ُك ْربَةً مِ ْن ُك َر‬ َ
َ ‫ع ْو ِن ْال َع ْب ِد َما َكانَ ْال َع ْبدُ فِى‬
)‫ (أخرجه مسلم‬.ِ‫ع ْو ِن أَخِ ْيه‬ َ ‫َواْآلخِ َر ِة َوهللاُ فِى‬
“Abu Hurairah berkata, Rasulullah saw. bersabda, “Barangsiapa melepasakan dari seorang
muslim satu kesusahan dari sebagian kesusahan dunia, niscaya Allah akan melepasakan
kesusahannya dari sebagian kesusahan hari kiamat; dan barangsiapa memberi kelonggaran dari
orang yang susah, niscaya Allah akan memberi kelonggaran baginya di dunia dan akhirat; dan
barangsiapa menutupi aib seorang muslim, niscaya Allah akan menutupi aib dia dunia dan
akhirat; Allah akan senantiasa menolong seorang hamba selam hamba tersebut menolong
saudaranya.” (Dikeluarkan oleh Imam Muslim).

b. Penjelasan Hadits
Hadits di atas mengajarkan kepada kita untuk selalu memperhatikan sesama muslim
dan memberikan pertolongan jika seseorang mendapatkan kesulitan.
1) Melepaskan kesusahan bagi orang seorang muslim
Melepaskan kesusahan orang lain mengandung makna yang sangat luas, bergantung
kepada kesusahan yang sedang diderita oleh orang tersebut. Jika saudara-saudaranya termasuk
orang miskin sedangkan ia berkecukupan (kaya), ia harus menolongnya dengan cara
memberikan bantuan atau memberikan pekerjaan sesuai dengan kemampuannya; jika
saudaranya sakit ia berusaha menolongnya dengan cara membantu membawa ke dokter atau
meringankan biayanya; jika suadaranya dililit utang, maka ia membantu memberikan jalan
keluar, baik dengan cara memberi bantuan untuk melunasinya atau memberi arahan yang akan
membantu dalam mengatasi utang saudaranya.
Orang muslim membantu meringankan kesusahan saudaranya yang seiman, beriman
telah menolong hamba Allah yang disukai oleh-Nya, dan Allah swt., pun akan memberi
pertolongan-Nya serta menyelamatkannya dari berbagai kesusahan, baik dunia maupun akhirat
sebagaimana firman Allah swt.
)7 : ‫ (مـحمد‬.... ‫ص ْر ُك ْم‬
ُ ‫ص ُر ْوا هللاَ َي ْن‬
ُ ‫ِإ ْن ت َ ْن‬
“Jika kamu menolong (agama) Allah, niscaya Allah pun akan menolong kamu semua…” (Q.S.
Muhammad : 7)

2) Menutupi Aib Orang Mukmin serta Menjaga Orang Lain dari Berbuat Dosa
Orang mukmin pun harus menutupi aib saudaranya, apalagi ia tahu bahwa orang yang
bersangkutan tidak akan senang apabila rahasianya diketahui oleh orang lain. Namun, demikian
juga aib tersebut berhubungan dengan kejahatan yang telah dilakukannya, ia tidak boleh
menutupinya. Jika itu dilakukan berarti telah menolong orang lain dalam hal kejahatan,
sehingga orang tersebut terhindar dari hukuman. Menolong orang lain dalam kejahatan berarti
sama saja, ia telah melakukan kejahatan. Perbuatan itu sangat dicelka dan tidak dibenarkan
dalam Islam. Sebagaimana firman-Nya:
ِ ‫عاَى اْ ِإلثْ ِم َو ْالعُد َْو‬
)2 : ‫ (الـمائدة‬...‫ان‬ َ ‫ َوالَ ت َ َع َاونُ ْوا‬...
“… Janganlah kamu saling tolong-menolong dalam dosa dan permusuhan…” (Q.S. Al-Maidah : 2)
Dengan demikian, jika melihat seseorang akan melakukan kejahatan atau dosa, maka
setiap mukmin harus berusaha untuk mencegahnya dan menasihatinya. Jika orang tersebut
terlanjur melakukannya, maka suruhlah untuk bertaubat, karena Allah swt. Maha Pengampun
lagi Maha Penerima Taubat. Tindakan tersebut merupakan pertolongan juga, karena berusaha
menyelamatkan seseorang dari adzab Allah swt.
Yang paling penting dalam melakukan perbuatan yang dianjurkan syara’, seperti
menolong atau melonggarkan kesusahan orang lain, adalah tidak mengharapkan pamrih dari
orang yang ditolong, melainkan ikhlas semata-mata didasari iman dan ingin mendapat ridla-
Nya.
Beberapa syari’at Islam seperti sahalat, puasa, zakat, dan yang lainnya, di antaranya
dimaksudkan untuk memupuk jiwa kepedulia sosial terhadap sesama mukmin yang berada
dalam kesusahan dan kemiskinan.
Orang yang memiliki kedudukan harta yang melebih orang lain hendaknya tidak
menjadikannya sombong atau tinggi hati, sehingga tidak memperhatikan orang lain yang
sedang membutuhkan pertolongan. Pada hakikatnya Allah swt. menjadikan adanya perbedaan
seseorang dengan yang lainnya adalah untuk saling melengkapi. Sebagaimana ditegaskan dalam
firman-Nya:
َ‫ت لَّيَتَّخِ ذ‬ َ ‫شت َ ُه ْم فِى ْال َحيَاةِ الدُّ ْنيَا َو َرفَ ْعنَا بَ ْع‬
ٍ ‫ض ُه ْم فَ ْوقَ بَ ْع‬
ٍ ‫ض دَ َر َجا‬ َ َ‫ نَحْ نُ ق‬، َ‫أ َ ُه ْم يَ ْق ِس ُم ْونَ َرحْ َمةَ َربِِّك‬
َ ‫س ْمنَا بَ ْينَ ُه ْم َّم ِع ْي‬
)32 : ‫ (الزخرف‬... ‫س ْخ ِريًّا‬
ُ ‫ض ُه ْم بَ ْعضًا‬
ُ ‫بَ ْع‬
“Apakah mereka yang membagi-bagi rahmat Tuhanmu? kami Telah menentukan antara mereka
penghidupan mereka dalam kehidupan dunia, dan kami Telah meninggikan sebahagian mereka
atas sebagian yang lain beberapa derajat, agar sebagian mereka dapat mempergunakan
sebagian yang lain…” (Q.S. az-Zukhruf : 32)

Di dunia ini dengan adanya orang yang senang dengan kekayaan atau kedukannya, dan
ada pula orang-orang yang susah karena kemiskinannya, hal ini merupakan kehendak Allah swt.
untuk keseimbangan kehidupan di dunia. Dapat dibayangkan jika semua orang kaya, siapa yang
akan menjadi petani atau mengerjakan pekerjaan kasar yang biasa dikerjakan oleh orang-orang
kecil. Begitu pun sebaliknya, jika semuanya miskin, kehidupan di dunia akan kacau.
Dengan demikian, pada hakikatnya hidup di dunia adalah saling membantu dan
mengisis, ketentraman pun hanya akan dapat diciptakan jika masing-masing golongan saling
memperhatikan dan menolong satu sama lain, sehingga kesejahteraan tidak hanya berada pada
satu golongan saja.
Perintah agar kaum muslimin peka dan peduli terhadap orang lain juga dicerminkan
melalui syariat penyembelihan hewan qurban. Hal itu tergambar dari doa yang dibaca setelah
hewan qurban disembelih, yang berbeda dengan penyembelihan hewan biasa, sebagaimana
diriwayatkan oleh Muslim dari Siti Aisyah, disunahkan membaca doa, yang artinya:
“Dengan menyebut nama Allah, ya Allah terimalah (Qurban ini) dari Muhammad, keluarga
Muhammad dan Ummat Nabi Muhammad saw.”
Memperbaiki kesejahteraan merupakan salah satu di antara tiga cara dalam
memprebaiki keadaan masyarakat, sebagaimana diungkapkan oleh Abu Hasan dalam kitab
“Adab ad-Dunya wa ad-Din”, yakni menjadikan manusia taat; menyatukan rasa dalam hal
kesenangan dan penderitaanl dan menjaga dari hal-hal yang akan mengganggu stabilitas
kehidupan.
Sebagaimana telah dibahas di atas, peduli terhadap sesama tidak hanya dalam masalah
materi saja, tetapi dalam berbagai hal yang menyebabkan orang lain susah. Jika mampu, setiap
muslim harus berusaha menolong sesamanya.
Sesungguhnya Allah swt. akan selalu menolong hamba-Nya, selama hamba-Nya menolong dan
membantu sesama saudaranya.

5. Larangan Menganiaya Kucing


a. Teks dan Terjemah Hadits
َ ‫ت ال َّن‬
‫ار‬ َ ‫ت ا ْم َرأَة ٌ فِى ه َِّرةٍ َح َب‬
ِ َ‫ستْ َها َحتَّى َمات َتْ ُجوعًا فَدَ َخل‬ ُ : ‫سلَّ َم قَا َل‬
ِ ‫ع ِذِّ َب‬ َ ُ ‫صلَّى هللا‬
َ ‫علَ ْي ِه َو‬ ُ ‫ع َم َر أ َ َّن َر‬
َ ِ‫س ْو َل هللا‬ ُ ‫ع ِن اب ِْن‬
َ
Dari Ibnu Umar ra bahwa rasulullah saw bersabda,”Seorang wanita dimasukkan ke dalam
neraka karena seekor kucing yang dia ikat dan tidak diberikan makan bahkan tidak
diperkenankan makan binatang-binatang kecil yang ada dilantai.” (HR. Bukhari)

b. Penjelasan Hadits
Riwayat tersebut tidak menunjukkan bahwa Rasulullah menynyayangi binatang kucing,
tetapi akibat menyia-nyiakan binatang piaraan seperti kucing pun akan mendapatkan adzab di
akhirat. Sebenarnya bukan hanya kucing, menyia-nyiakan semua binatang peliharaan seperti
burung, ikan dan lain-lain juga bisa menyebabkan datangnya adzab Allah.
Demikian juga hadis lain yang menunjukkan bahwa jilatan kucing tidak najis;
َّ ‫علَ ْي ُك ْم َو‬
ِ ‫الط َّوافَا‬
‫ت‬ َّ َ‫ستْ ِبنَ َج ٍس ِإنَّ َها مِ ن‬
َ َ‫الط َّوافِين‬ َ ‫سلَّ َم قَا َل ِإنَّ َها لَ ْي‬ َ ُ‫صلَّى هللا‬
َ ‫علَ ْي ِه َو‬ ُ ‫ع ْن أ َ ِبي قَت َادَة َ َقَا َل ِإ َّن َر‬
َ ِ‫سو َل هللا‬ َ
Dari Abu Qatadah bahwa Rasulullah SAW bersabda tentang kucing,”Sesungguhnya (kucing itu)
tidaklah najis karena dia termasuk yang berkeliling di antara kamu. (HR. An-Nasa’i, Abu Daud)
Bahkan diriwayatkan bahwa Rasulullah SAW pernah berwudhu dari air yang telah diminum
oleh kucing.
ُ ‫علَ ْي ُك ْم َوقَدْ َرأَيْتُ َر‬
َّ ‫سول‬
ِ‫َّللا‬ َّ ‫ِي مِ ْن‬
َ َ‫الط َّوافِين‬ َ ‫سلَّ َم قَا َل ِإنَّ َها لَ ْي‬
َ ‫ستْ ِبنَ َج ٍس ِإنَّ َما ه‬ َ ُ‫صلَّى هللا‬
َ ‫علَ ْي ِه َو‬ َ ِ‫س ْو َل هللا‬ ُ ‫شةَ َقَالَتْ ِإ َّن َر‬ َ ‫عا ِئ‬َ ‫ع ْن‬َ
ُ
ْ َ‫ضأ ِبف‬
‫ض ِل َها‬ َّ ‫س َّل َم يَت ََو‬
َ ‫علَ ْي ِه َو‬ َّ ‫صلَّى‬
َ ُ‫َّللا‬ َ
Dari Aisyah ra sesungguhnya Rasulullah SAW bersabda,’(Kucing) itu tidaklah najis, dia
termasuk binatang yang berkeliling di antara kalian”. Dan aku (Aisyah) melihat Rasulullah SAW
berwudhu dengan air bekas jilatan kucing’. (HR. Abu Daud).
Hadis-hadis di atas juga tidak mengindikasikan Rasulullah menyayangi kucing.
Rasulullah hanya menyebutkan bahwa kucing adalah binatang jinak yang banyak bergaul
(berkeliling) di antara manusia.
Tetapi seandainya ada riwayat yang shahih tentang hal ini, kita perlu ingat bahwa
Rasulullah manusia biasa yang diberi wahyu. Sebagai manusia biasa beliau memiliki sifat-sifat
kemanusiaan, seperti menyukai sesuatu. Dalam hal yang bukan brada di dalam wilayah syari’ah
hal ini bisa ditiru dan bisa pula tidak. Tetapi dalam masalah syari’at, apa yang dialakukan,
dikatakan dan ditetapkan oleh Rasulullah harus diikuti.
Islam adalah agama rahmatan lil alamin. Islam tidak saja memberikan aturan kerja
(manual) bagi hubungan manusia dengan Penciptanya, atau dengan sesama manusia, namun
juga dengan binatang dan tumbuhan. Dalam banyak ayat didalam Al Quran, Allah telah banyak
memberikan peringatan kepada manusia agar senantiasa menjaga alam, menyayangi binatang
dan merawat tumbuhan, serta melarang untuk berbuat kerusakan dimuka bumi. Ayat keempat
puluh satu surat Ar Ruum, “Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena
perbuatan tangan manusia, agar Allah merasakan pada mereka sebagian akibat perbuatannya,
agar mereka kembali”, memperingatkan para pemegang HPH yang semena-mena merusak
hutan, pengusaha pertambangan yang rakus, ataupun eksploitator laut yang melampaui batas.
Allah memerintahkan manusia untuk sayang pada hewan-hewan. Banyak nama-nama
surat dalam Al Quran yang mengambil tamsil dan pelajaran dari perilaku binatang, mulai dari
yang baik hingga yang berbuat kerusakan. Ada al Baqarah (sapi betina), al An’aam (binatang
ternak), an Nahl (lebah), an Naml (semut), al Ankabuut (laba-laba), al ‘Aadiyaat (kuda perang)
dan juga al Fiil (gajah).
Binatang diciptakan oleh Allah untuk dimanfaatkan oleh manusia sebagai makanan,
pembantu pekerjaan atau perjalanan manusia. Namun demikian, bukan berarti manusia bebas
memperlakukan mereka. Diriwayatkan dari Hasan al-Bashri, bahwa pada suatu pagi Rasulullah
berjalan melewati seekor unta yang diikat. Setelah beliau menyelesaikan urusannya dan
kembali lewat jalan itu, beliau melihat unta itu masih diikat. Kemudian beliau bertanya kepada
pemilik unta itu, “Apakah kamu tidak melepas dan tidak memberi makan unta itu sepanjang
hari?” Pemilik unta itu menjawab, “Tidak”. Beliau bersabda kepadanya, “Ingatlah, nanti pada
hari kiamat unta itu akan mempersalahkan ini kepada Allah”.
Lebih jauh lagi Rasulullah memberikan teguran keras pada penyiksa binatang. Said bin
Jubair mengatakan bahwa ia pernah melihat bersama Ibnu Umar sekelompok pemuda yang
memasang ayam betina untuk dijadikan sasaran latihan memanah. Demi melihat Ibnu Umar
mereka bubar dan Ibnu Umar berkata, “Siapakah yang berbuat ini? Sesungguhnya Nabi Saw.
mengutuk orang yang berbuat begini”. Sementara itu Abu Hurairah (bapaknya kucing kecil),
julukan Rasulullah bagi seorang sahabat perawi hadits yang menyayangi dan senantiasa
membawa kucing kecil kemanapun ia pergi, berkata bahwa Nabi Saw. bersabda, ”Ada seorang
perempuan masuk neraka lantaran kucing yang ia ikat di dalam rumah, dimana ia tidak
memberinya makan dan minum dan tidak melepaskannya agar kucing itu bisa makan dari
sampah (yang ada diatas) bumi, sehingga kucing itu mati”.

6. Menyantuni Anjing
a. Teks dan Terjemah Hadits
َ‫ش فَ َو َجد‬ُ ‫ط‬ ْ ‫علَ ْي ِه ْال َع‬
َ َّ‫ق ا ْشتَد‬ َّ ‫ َب ْينَ َما َر ُج ٌل َي ْم ِش ْي فِى‬:َ‫سلَّ َم قَال‬
ِ ‫الط ِر ْي‬ َ ُ‫صلَّى هللا‬
َ ‫علَ ْي ِه َو‬ َ ِ‫س ْو َل هللا‬ ُ ‫ع ْنهُ أ َ َّن َر‬
َ ُ‫ي هللا‬َ ‫ض‬ ِ ‫ع ْن أ َ ِب ْي ه َُري َْرة َ َر‬
َ
َ‫ي َكان‬ ْ ‫ط ِش مِ ثْ َل ا َّل ِذ‬ ْ َ‫ لَقَدْ بَلَ َغ هذَا ْالك َْلبُ مِ نَ ْالع‬:ُ‫الر ُجل‬
َّ ‫ط ِش فَقَا َل‬ ْ َ‫ث الث َّ َرى مِ نَ ْالع‬ ُ ‫ب ث ُ َّم خ ََر َج فَإِذَا َك ْلبٌ يَ ْل َه‬
َ ‫ فَنَزَ َل فِ ْي َها فَش َِر‬،‫ِبئْ ًرا‬
‫س ْو َل هللاِ َوإِ َّن لَنَا‬ َ َ‫ قَالُ ْوا ي‬.ُ‫شك ََر هللاُ لَهُ فَغَف ََر لَه‬
ُ ‫ار‬ َ ‫سقَى ْالك َْل‬
َ َ‫ب ف‬ َ ‫ فَنَزَ َل ْال ِبئْ َر فَ َمأل َ ُخفَّهُ َما ًء ث ُ َّم أ َ ْم‬، ‫قَ ْد بَلَ َغ مِ نِِّ ْي‬
َ ‫س َكهُ بِ ِف ْي ِه َحتَّى َرق‬
َ َ‫ِي ف‬
‫ متفق عليه (محي الدين أبي زكريِّا يحيى بن شرف النواوي " رياض‬.‫طبَ ٍة أَجْ ًرا‬ ْ ‫ فِى ُك ِِّل َكبِ ٍد َر‬:َ‫فِى ْالبَ َهائ ِِم أَجْ ًرا؟ فَقَال‬
)78 ،‫ ص‬،‫الصالحين" فى باب "كثرة طروق الخير‬
Dari Abu Hurairah ra. Sesungguhnya Rasullah saw. Telah bersada, ”pada suatu saat seorang
pejalan kaki yang lagi kehausan menemukan sebuah sumur, yang kemudian ia turun ke
dalamnya untuk mengambil air dan meminumnya, kemudian ia naik lagi. Ketika itu, dia
menemukan seekor anjing yang kehausan sedang menjilati rerumputan kering saking hausnya.
Orang tersebut berkata, ”anjing ini kehausan sebagaimana yang dirasakan olehku”. Kemudian
orang tersebut turun lagi ke dalam sumur dan memenuhi sepatunya (dengan air), kemudian
dibawanya dengan gigit, lalu ia memberi minum kepada anjing tersebut. Maka Allah menerima
perbuatan orang tersebut dan memberikan ampunan kepadanya. Para sahabat berkata,
”Apakah bagi kami dalam (mengasihi) binatang ada pahala?” Beliau menjawab, ”Dalam setiap
hewan yang memiliki jantung basah (hidup) terdapat pahala.” (Sepakat ulama hadits).

b. Penjelasan Hadits
Dalam QS. Al-Anbiya, Allah swt. berfirman:
)107:‫س ْلنَاكَ ِإالَّ َرحْ َمةً ِِّل ْل َعا َلمِ يْنَ (األنبياء‬
َ ‫َو َمآ أ َ ْر‬
“Dan tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam“ (Q.S.
al-Anbiyaa’ 21:107)
Ayat ini menjadi salah satu dasar ajaran bagaimana seharusnya seorang muslim
berperilaku dalam kehidupan sosialnya di masyarakat. Tak hanya memberikan manfaat yang
baik bagi sesama manusia (hablumminannaas), tetapi juga flora dan fauna di alam semesta ini.
Salah satu media untuk melatih sifat rahmatan lil’alamin bagi muslim adalah dengan
menyayangi hewan.
Hal ini bisa terlihat dari beberapa cuplikan hadits Nabi yang berisi seruan untuk
menyayangi hewan dan larangan berbuat dzalim terhadap mahluk-mahluk Tuhan khususnya
hewan, seperti halnya pada hadits di atas.
Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani dalam kitabnya “Silsilah al-Ahadits ash-
Shahihah wa Syaiun min Fiqhiha wa Fawaa’idiha (Silsilah Hadits Shahih)” secara istimewa telah
memberikan ruang tersendiri berkenaan bab khusus hadits-hadits Nabi saw. tentang seruan
untuk menyayangi hewan. Dalam pengantar bab tersebut, Syaikh Nashiruddin al-Albani
mengatakan,
“…Hadits-hadits itu menunjukkan betapa besar perhatian orang-orang terdahulu saran-saran
Nabi s.a.w. tentang kasih sayang terhadap hewan. Walaupun hakekatnya semua itu (kumpulan
hadits-hadits tersebut) masih sedikit sekali porsinya, ibarat setetes air di lautan. Namun hal itu
telah memberikan alasan yang cukup kuat bahwa Islam mengajarkan untuk menyayangi hewan,
tidak seperti apa yang diduga oleh orang-orang yang sedikit pengetahuannya tentang Islam…”

Dalam kelanjutan pengantarnya, Syaikh Nashiruddin al-Albani pun menyindir tentang


kesalahpahaman non muslim yang beranggapan Islam tidak pernah mengajarkan kasih sayang
kepada hewan, hal ini diakibatkan pula karena realitas sosial dari kalangan muslim yang tidak
atau belum mengamalkan seutuhnya seruan Nabi Muhammad saw. dalam memberikan
perhatian khusus terhadap dunia hewan.
Dalam pandangan Islam, anjing memang dinyatakan najis bahkan ada di jajaran najis
mughallazhah, akan tetapi sebagai manusia yang menganut agama rahmat, memandang anjing
jangan dilihat dari sisi najisnya, tapi dari sisi manfaat yang dimiliki oleh hewan tersebut. Dan
perlu diketahui pula bahwa menyayangi binatang termasuk salah satu aspek akhlak Islam, yaitu
akhlak terhadap lingkungan dan hewan.

You might also like