You are on page 1of 20

Diabetes melitus tipe 2 yang dahulu disebut diabetes melitus tidak tergantung insulin (non-insulin-

dependent diabetes melitus/NIDDM) atau diabetes onset dewasa – merupakan kelainan metabolik
yang ditandai dengan kadar glukosa darah yang tinggi dalam konteks resistensi insulin dan defisiensi
insulin relatif. Penyakit diabetes melitus jenis ini merupakan kebalikan dari diabetes melitus tipe 1,
yang mana terdapat defisiensi insulin mutlak akibat rusaknya sel islet di pankreas. Gejala klasiknya
antara lain haus berlebihan, sering berkemih, dan lapar terus-menerus. Diabetes tipe 2 berjumlah
90% dari seluruh kasus diabetes dan 10% sisanya terutama merupakan diabetes melitus tipe 1 dan
diabetes gestasional. Kegemukan diduga merupakan penyebab utama diabetes tipe 2 pada orang
yang secara genetik memiliki kecenderungan penyakit ini. (Dari Wikipedia bahasa Indonesia,
ensiklopedia bebas)

Diabetes militus tipe 2,biasanya disebut NIDDM,adalah kerusakan genetik dan faktor lingkungan. DM
tipe 2 adalah tipe paling umum dari diabetes militus yang meliputi 90% dari semua populasi
diabetes. Biasanya didiagnosa setelah umur 40 tahun dan umumnya menyerang orang dewasa,
orang yang gemuk dan pastinya populasi etnik dan ras.

(Jane Hokanson Hawks.2005.Buku Ajar:Medical Surgical Nursing,edisi 8,Vol 1,hal:1064.)

Diabetes militus tipe 2,dulunya disebut NIDDM(non-insulin-dependent diabetes militus),terdiri dari


90%-95% dari contoh diabetes. Dimulai dengan perlawanan insulin,sebuah situasi dimana sel tidak
seluruhnya menggunakan insulin. Sebagai kebutuhan untuk meningkatkan insulin,pankreas
berlangsung kehilangan kemampuan untuk memproduksinya. DM tipe 2 mempunyai kecenderungan
mempertahankan hidup dari padaa tipe 1 dan tidak menimbulkan diabetes ketoasidosis.

(Susan C. Dewit.2007.Buku Ajar : Medical Surgical Nursing.hal : 910)

Etiologi

Diabetes tipe 2 diduga disebabkan oleh kombinasi faktor genetik dan lingkungan. Banyak pasien
diabetes tipe 2 memiliki anggota keluarga yang juga menderita diabetes tipe 2 atau masalah
kesehatan lain yang berhubungan dengan diabetes, misalnya kolesterol darah yang tinggi, tekanan
darah tinggi (hipertensi) atau obesitas. Keturunan ras Hispanik, Afrika dan Asia memiliki
kecenderungan lebih tinggi untuk menderita diabetes tipe 2. Sedangkan faktor lingkungan yang
mempengaruhi risiko menderita diabetes tipe 2 adalah makanan dan aktivitas fisik kita sehari-hari.

Berikut ini adalah faktor-faktor risiko mayor seseorang untuk menderita diabetes tipe 2.
Riwayat keluarga inti menderita diabetes tipe 2 (orang tua atau kakak atau adik)

Tekanan darah tinggi (>140/90 mm Hg)

Dislipidemia: kadar trigliserida (lemak) dalam darah yang tinggi (>150mg/dl) atau kadar kolesterol
HDL <40mg/dl

Riwayat Toleransi Glukosa Terganggu (TGT) atau Glukosa Darah Puasa Terganggu (GDPT)

Riwayat menderita diabetes gestasional atau riwayat melahirkan bayi dengan berat lahir lebih dari
4.500 gram

Makanan tinggi lemak, tinggi kalori

Gaya hidup tidak aktif (sedentary)

Obesitas atau berat badan berlebih (berat badan 120% dari berat badan ideal)

Usia tua, di mana risiko mulai meningkat secara signifikan pada usia 45 tahun

Riwayat menderita polycystic ovarian syndrome, di mana terjadi juga resistensi insulin

Patofisiologi

Pada diabetes tipe II terdapat dua masalah utama yang berhubungandengan insulin, yaitu resistensi
insulin dan gangguan sekresi insulin. Normalnya insulin akan terikat dengan reseptor khusus pada
permukaan sel. Sebagai akibat terikatnya insulin dengan reseptor tersebut, terjadi suatu rangkaian
reaksi dalam metabolisme glukosa di dalam sel. Resistensi insulin pada diabetes tipe II disertai
dengan penurunan reaksi intrasel ini. Dengan demikian insulin menjadi tidak efektif untuk
menstimulasi pengambilan glukosa oleh jaringan.

Untuk mengatasi resistensi insulin dan mencegah terbentuknya glukosa dalam darah, harus terdapat
peningkatan jumlah insulin yang disekresikan. Pada penderita toleransi glukosa terganggu, keadaan
ini terjadi akibat sekresi insulin yang berlebihan, dan kadar glukosa akan dipertahankan pada tingkat
yang normal atau sedikit meningkat. Namun demikian, jika sel-sel beta tidak mampu mengimbangi
peningkatan kebutuhan akan insulin, maka kadar glukosa akan meningkat dan terjadi diabetes tipe
II.

Meskipun terjadi gangguan sekresi insulin yang merupakan ciri khas dari diabetes tipe II, namun
masih terdapat insulin dengan jumlah yang adekuat untuk mencegah pemecahan lemak dan
produksi badan keton yang menyertainya. Karena itu, ketoasidosis diabetic tidak terjadi pada
diabetes tipe II. Meskipun demikian, diabetes tipe II yang tidak terkontrol dapat menimbulkan
masalah akut lainnya yang dinamakan sindrom hiperglikemik hiperosmoler nonkotik (HHNK).
Diabetes tipe II paling sering terjadi pada penderita diabetes yang berusia lebih dari 30 tahun dan
obesitas. Akibat intoleransi glukosa yang berlangsung lambat (selama bertahun-tahun) dan progresif,
maka awitan diabetes tipe II dapat berjalan tanpa terdeteksi. Jika gejalanya dialami pasien, gejala
tersebut sering bersifat ringan dan dapat mencakup kelelahan, iritabilitas, poliura, polidipsia, luka
pada kulit yang lama tak sembuh-sembuh, infeksi vagina atau pandangan kabur.

Untuk sebagian besar pasien (kurang lebih 75%) penyakit diabetes tipe II yang dideritanya
ditemukan secara tidak sengaja (misalnya, pada saat pasien menjalani pemeriksaan laboratorium
yang rutin). Salah satu konskuensi tidak terdeteksinya penyakit diabetes selama bertahun-tahun
adalah bahwa komplikasi diabetes jangka panjang (misalnya, kelainan mata, neuropati, perifer,
kelainan vaskuler perifer) mungkin sudah terjadi sebelum diagnosa ditegakkan.

Penanganan primer diabetes tipe II adalah dengan menurunkan berat badan. Karena resistensi
insulin berkaitan dengan obesitas. Latihan merupakan unsur yang penting pula untuk meningkatkan
efektifitas insulin. Obat hipoglikemia oral dapat ditambahkan jika diet dan latihan tidak berhasil
mengendalikan kadar glukosa darah. Jika penggunaan obat oral dengan dosis maksimal tidak
berhasil menurunkan kadar glukosa hingga tingkat yang memuaskan, maka insulin dapat digunakan.
Sebagian pasien memerlukan insulin untuk sementara waktu selama periode stress fisiologik yang
akut, seperti selama sakit atau pembedahan.

(Brunner & Suddart. 2002 : 1223)

Klasifikasi

Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mengklasifikasikan bentuk diabetes melitus berdasarkan


perawatan dan simtoma yaitu Diabetes tipe 2, yang diakibatkan oleh defisiensi sekresi insulin,
seringkali disertai dengan sindrom resistansi insulin.

Diabetes melitus tipe 2 (bahasa Inggris: adult-onset diabetes, obesity-related diabetes, non-insulin-
dependent diabetes mellitus, NIDDM) merupakan tipe diabetes melitus yang terjadi bukan
disebabkan oleh rasio insulin di dalam sirkulasi darah, melainkan merupakan kelainan metabolisme
yang disebabkan oleh mutasi pada banyak gen, termasuk yang mengekspresikan disfungsi sel β,
gangguan sekresi hormon insulin, resistansi sel terhadap insulin yang disebabkan oleh disfungsi
GLUT10 dengan kofaktor hormonresistin yang menyebabkan sel jaringan, terutama pada hati
menjadi kurang peka terhadap insulin serta RBP4 yang menekan penyerapan glukosa oleh otot lurik
namun meningkatkan sekresi gula darah oleh hati. Mutasi gen tersebut sering terjadi
padakromosom 19 yang merupakan kromosom terpadat yang ditemukan pada manusia.
Pada NIDDM ditemukan ekspresi SGLT1 yang tinggi, rasio RBP4 dan hormon resistin yang tinggi,
peningkatan laju metabolismeglikogenolisis dan glukoneogenesis pada hati, penurunan laju reaksi
oksidasi dan peningkatan laju reaksi esterifikasi pada hati.

NIDDM juga dapat disebabkan oleh dislipidemia, lipodistrofi, dan sindrom resistansi insulin.

Pada tahap awal kelainan yang muncul adalah berkurangnya sensitifitas terhadap insulin, yang
ditandai dengan meningkatnya kadar insulin di dalam darah. Hiperglisemia dapat diatasi dengan
obat anti diabetes yang dapat meningkatkan sensitifitas terhadap insulin atau mengurangi produksi
glukosa dari hepar, namun semakin parah penyakit, sekresi insulin pun semakin berkurang, dan
terapi dengan insulin kadang dibutuhkan. Ada beberapa teori yang menyebutkan penyebab pasti
dan mekanisme terjadinya resistensi ini, namun obesitas sentral diketahui sebagai faktor
predisposisi terjadinya resistensi terhadap insulin, dalam kaitan dengan pengeluaran dari adipokines
( nya suatu kelompok hormon) itu merusak toleransi glukosa. Obesitas ditemukan di kira-kira 90%
dari pasien dunia dikembangkan diagnosis dengan jenis 2 kencing manis. Faktor lain meliputi
mengeram dan sejarah keluarga, walaupun di dekade yang terakhir telah terus meningkat mulai
untuk memengaruhi anak remaja dan anak-anak.

Diabetes tipe 2 dapat terjadi tanpa ada gejala sebelum hasil diagnosis. Diabetes tipe 2 biasanya,
awalnya, diobati dengan cara perubahan aktivitas fisik (olahraga), diet (umumnya pengurangan
asupan karbohidrat), dan lewat pengurangan berat badan. Ini dapat memugar kembali kepekaan
hormon insulin, bahkan ketika kerugian berat/beban adalah rendah hati,, sebagai contoh, di sekitar
5 kg ( 10 sampai 15 lb), paling terutama ketika itu ada di deposito abdominal yang gemuk. Langkah
yang berikutnya, jika perlu,, perawatan dengan lisan [[ antidiabetic drugs. [Sebagai/Ketika/Sebab]
produksi hormon insulin adalah pengobatan pada awalnya tak terhalang, lisan ( sering yang
digunakan di kombinasi) kaleng tetap digunakan untuk meningkatkan produksi hormon insulin ( e.g.,
sulfonylureas) dan mengatur pelepasan/release yang tidak sesuai tentang glukosa oleh hati ( dan
menipis pembalasan hormon insulin sampai taraf tertentu ( e.g., metformin), dan pada hakekatnya
menipis pembalasan hormon insulin ( e.g., thiazolidinediones). Jika ini gagal, ilmu pengobatan
hormon insulin akan jadilah diperlukan untuk memelihara normal atau dekat tingkatan glukosa yang
normal. Suatu cara hidup yang tertib tentang cek glukosa darah direkomendasikan dalam banyak
kasus, paling terutama sekali dan perlu ketika mengambil kebanyakan pengobatan.

Sebuah zat penghambat dipeptidyl peptidase 4 yang disebut sitagliptin, baru-baru ini diperkenankan
untuk digunakan sebagai pengobatan diabetes melitus tipe 2. Seperti zat penghambat dipeptidyl
peptidase 4 yang lain, sitagliptin akan membuka peluang bagi perkembangan sel tumor maupun
kanker.
Sebuah fenotipe sangat khas ditunjukkan oleh NIDDM pada manusia adalah defisiensi metabolisme
oksidatif di dalam mitokondriapada otot lurik. Sebaliknya, hormon tri-iodotironina menginduksi
biogenesis di dalam mitokondria dan meningkatkan sintesis ATP sintase pada kompleks V,
meningkatkan aktivitas sitokrom c oksidase pada kompleks IV, menurunkan spesi oksigen reaktif,
menurunkan stres oksidatif, sedang hormon melatonin akan meningkatkan produksi ATP di dalam
mitokondria serta meningkatkan aktivitas respiratory chain, terutama pada kompleks I, III dan IV.
Bersama dengan insulin, ketiga hormon ini membentuk siklus yang mengatur fosforilasi oksidatif
mitokondria di dalam otot lurik. Di sisi lain, metalotionein yang menghambat aktivitas GSK-3beta
akan mengurangi risiko defisiensi otot jantung pada penderita diabetes.

Simtoma yang terjadi pada NIDDM dapat berkurang dengan dramatis, diikuti dengan pengurangan
berat tubuh, setelah dilakukan bedahbypass usus. Hal ini diketahui sebagai akibat dari peningkatan
sekresi hormon inkretin, namun para ahli belum dapat menentukan apakah metoda ini dapat
memberikan kesembuhan bagi NIDDM dengan perubahan homeostasis glukosa.

Pada terapi tradisional, flavonoid yang mengandung senyawa hesperidin dan naringin, diketahui
menyebabkan:

peningkatan mRNA glukokinase,

peningkatan ekspresi GLUT4 pada hati dan jaringan

peningkatan pencerap gamma proliferator peroksisom

peningkatan rasio plasma hormon insulin, protein C dan leptin

penurunan ekspresi GLUT2 pada hati

penurunan rasio plasma asam lemak dan kadar trigliserida pada hati

penurunan rasio plasma dan kadar kolesterol dalam hati, antara lain dengan menekan 3-hydroxy-3-
methylglutaryl-coenzyme reductase, asil-KoA, kolesterol asiltransferase

penurunan oksidasi asam lemak di dalam hati dan aktivitas karnitina palmitoil, antara lain dengan
mengurangi sintesis glukosa-6 fosfatase dehidrogenase dan fosfatidat fosfohidrolase

meningkatkan laju lintasan glikolisis dan/atau menurunkan laju lintasan glukoneogenesis

sedang naringin sendiri, menurunkan transkripsi mRNA fosfoenolpiruvat karboksikinase dan glukosa-
6 fosfatase di dalam hati.

Manifestasi Klinis
Keluhan umum pasien DM seperti poliuria, polidipsia, polifagia pada DM umumnya tidak ada.
Sebaliknya yang sering mengganggu pasien adalah keluhan akibat komplikasi degeneratif kronik
pada pembuluh darah dan saraf. Keluhan yang sering muncul adalah adanya gangguan penglihatan
karena katarak, rasa kesemutan pada tungkai serta kelemahan otot (neuropati perifer) dan luka
pada tungkai yang sukar sembuh dengan pengobatan lazim.

Menurut Supartondo, gejala-gejala akibat DM pada usia lanjut yang sering ditemukan adalah :

1. Katarak

2.Glaukoma

3. Retinopati

4. Gatal seluruh badan

5. Pruritus Vulvae

6. Infeksi bakteri kulit

7. Infeksi jamur di kulit

8. Dermatopati

9. Neuropati perifer

10.Neuropati viseral

11.Amiotropi

12.Ulkus Neurotropik

13.Penyakit ginjal

14.Penyakit pembuluh darah perifer

15.Penyakit koroner

16.Penyakit pembuluh darah otak

17.Hipertensi

Komplikasi

1) Akut

Hipoglikemia
Diabetik ketoasidosis (KTA)

Sindrom non ketotik hiperosmolar hiperglikemia (SNKHH).

2) Kronis

Mikrovaskular ;

– Retinopati.

– Nefropati.

– Neuropati.

Makrovaskular ;

– Kardiovaskular ;

Serangan jantung

Kadar gula darah tak terkendali membuat darah mengental serta menyebabkan pengerasan dan
penyempitan pembuluh darah. Sumbatan pembuluh darah mudah terjadi, jantung kurang darah,
akhirnya otot jantung berhenti (infark).

– Hipertensi

– Infeksi.
– Gangguan pada fungsi ginjal

Ginjal dipacu bekerja lebih berat dan penyempitan pembuluh darah kapiler dalam ginjal.

– Gangguan mata hingga kebutaan

Kadar gula darah tak terkendali menyebabkan penebalan selaput jala dan kelainan bentuk sel.
Mudah terjadi perdarahan di retina, kecembungan lensa terganggu, glukoma dan juga katarak.

– Impotensi

Kadar gula yang tinggi merusak sarafterutama yang mengontrol alat seks.

– Luka dengan kesembuhan yang lama

Kekebalan penderita umumnya menurun sehingga mudah terkena infeksi. Abses akibat infeksi akan
menekan pembuluh darah lainnya sehingga aliran darah yang membawa makan dan oksigen
berkurang. (Jane Hokanson Hawks.2005.Buku Ajar:Medical Surgical Nursing,edisi 8,Vol 1.)

Pemeriksaan Penunjang

Laboratorium ;

o Tes toleransi glukosa (TTG) memanjang, > 200 mg/dL.

Biasanya, tes ini dianjurkan untuk pasien yang menunjukkan kadar glukosa darah meningkat di
bawah kondisi stress.

Gula darah puasa (FBS) ; >140 mg/dl


Kadar glukosa sewaktu (GDS) ; >200 mg/dl

Urinolisa positif terhadap glukosa dan keton.

Pada respon terhadap defisiensi intraseluler, protein dan lemak diubah menjadi glukosa
(glukoneogenesis) untuk energi.selama perubahanini asam lemak bebas dipecah menjadi badan
keton oleh hepar. Ketosis terjadi ditujukkan oleh ketonuria.glukosuria menunjukkan bahwa ambang
ginjal terhadap reabsorbsi glukosa tercapai.

Kolesterol dan kadar trigliserida serum dapat meningkat, menandakan ketidakadekuatan kontrol
glikemik dan peningkatan propensitas pada terjadinya ateroskerosis.

Essei hemoglobin glikosilat di atas rentang normal. Tes ini mengukur presentase glukosa yang
melekat pada hemoglobin. Glukosa tetap melekat pada hemoglobin selama hidup sel darah merah.
Rentang normal adalah 5-6%.

Pemeriksaan penunjang untuk DM . pemeriksaan penyaring dapat di lakukan dengan pemeriksaan


glukosa darah sewaktu , kadar glukosa darah puasa , kemudian diikuti dengan tes toleransi glukosa
oral standar. Untuk kelompok resiko tinggi DM , seperti usia dewasa tua , hipertensi , obesitas , dan
riwayat keluarga , dan menghasilkan hasil pemeriksaan negative . perlu pemeriksaan penyaring
setiap tahun., bagi beberapa paisen .

Cara pemeriksaan TTGO , adalah :

Tiga hari sebelum pemeriksaan pasien makan seperti biasa.

Kegiatan jasmani sementara cukup , tidak boleh terlalu banyak.

Pasien puasa selama 10-12 jam

Berikan glukosa darah puasa

Berikan glukosa 75 gr yang di larutkan dalam air 250 ml, lalu minum dalam waktu 5 menit .

Periksa glukosa darah 1 jam sesudah beban glukosa .

Selama pemeriksaan , pasien di periksa tetap istirahat dan tidak merokok

Penatalaksanaan

1. Perencanan Makan (Meal Planning)

Pada konsensus Perkumpulan Endokrinologi Indonesia (PERKENI) telah ditetapkan bahwa standart
yang diajurkan adalah santapan dengan komposisi seimbang berupa karbohidrat (60-70%) protein
(10-15%) dan lemak (20-25%). Apabila diperlukan santapan karbohidrat sampai 70-75% juga
memberikan hasil yang baik. Terutama untuk golongan ekonomi rendah. Jumlah kalori disesuaikan
dengan pertumbuhan, status gizi, umur, stress akut, dan kegiatan jasmani untuk mencapai berat
badan ideal, jumlah kandungan kolesterol < 300 mg/hr. Jumlah kandungan serat + 25 g/hr,
diutamakan jenis serat larut, konsumsi garam dibatasi bila terdapat hipertensi, pemanis dapat
digunakan secukupnya.

2. Latihan Jasmani

Dianjurkan latihan jasmani teratur, 3-4 kali tiap minggu selama + 0,5 jam yang sifatnya sesuai CRIPE
(Continous, Rhytmical, Progresive, Endurance Trainning). Latihan dilakukan terus menerus tanpa
berhenti, otot-otot berkonsentrasi dan relaksasi secara teratur, selang-seling antara gerak cepat dan
lambat, berangsur-angsur dari sedikit kelatihan yang lebih berat secara bertahap dan bertahan
dalam waktu tertentu. Latihan yang dapat dijadikan pilihan adalah jalan kaki, jogging, lari, renang,
bersepeda dan berdayung.

3. Obat Hipoglikemik Oral (OHO)

a. Sulfonilurea

Obat golongan sulfonilurea bekerja dengan cara

Menstimulasi pelepasan insulin yang tersimpan.

Menurunkan ambang sekresi insulin.

Meningkatkan sekresi insulin sebagai akibat rangsangan glukosa.

Obat golongan ini biasanya diberikan pada pasien dengan berat badan normal dan masih bisa
dipakai pada pasien yang beratnya sedikit lebih.

Klorpropamid kurang dianjurkan pada keadaan insufisiensi renal dan orang tua karena resiko
hipoglikemia yang berkepanjangan, demikian juga glibenklamid, untuk orang tua dianjurkan
preparat dengan waktu kerja pendek (tolbutamid, glikuidon). Glikuidon juga diberikan pada pasien
DM dengan gangguan fungsi ginjal atau hati ringan.
b. Biguanid

Biguanid menurunkan kadar glukosa darah tapi tidak sampai di bawah normal. Preparat yang ada
dan aman adalah metformin. Obat ini dianjurkan untuk pasien gemuk (indeks masa tubuh / IMT
>30) sebagai obat tunggal. Pada pasien dengan berat lebih (IMT 27-30) dapat dikombinasikan
dengan obat golongan sulfonilurea.

c. Inhibitor dan glukosidase

Obat ini bekerja secara kompetitif menghambat kerja enzim dan glukosidase di dalam saluran cerna,
sehingga menurunkan penyerapan glukosa dan menurunkan hiperglikemia pasca prandial.

d. Insulin sensitizing agent

Thoazolidinediones adalah golongan obat baru yang mempunyai efek farmakologi meningkatkan
sensitivitas insulin, sehingga bisa mengatasi masalah resistensi insulin dan berbagai masalah akibat
resistensi insulin tanpa menyebabkan hipoglikemia.

(Arif Mansjoer. 2001 : 585)

Pada penderita DM tipe 2, insulin yang ada tidak bekerja dengan baik karena reseptor insulin pada
sel berkurang atau berubah struktur sehingga hanya sedikit glukosa yang berhasil masuk sel.
Akibatnya, sel mengalami kekurangan glukosa, di sisi lain glukosa menumpuk dalam darah. Kondisi
ini dalam jangka panjang akan merusak pembuluh darah dan menimbulkan berbagai komplikasi. Bagi
penderita Diabetes Melitus yang sudah bertahun-tahun minum obat modern seringkali mengalami
efek yang negatif untuk organ tubuh lain. Pada tahap awal kelainan yang muncul adalah
berkurangnya sensitifitas terhadap insulin, yang ditandai dengan meningkatnya kadar insulin di
dalam darah. Hiperglisemia dapat diatasi dengan obat anti diabetes yang dapat meningkatkan
sensitifitas terhadap insulin atau mengurangi produksi glukosa dari hepar, namun semakin parah
penyakit, sekresi insulin pun semakin berkurang, dan terapi dengan insulin kadang dibutuhkan. Ada
beberapa teori yang menyebutkan penyebab pasti dan mekanisme terjadinya resistensi ini, namun
obesitas sentral diketahui sebagai faktor predisposisi terjadinya resistensi terhadap insulin, dalam
kaitan dengan pengeluaran dari adipokines (suatu kelompok hormon) itu merusak toleransi glukosa.
Obesitas ditemukan di kira-kira 90% dari pasien dunia dikembangkan diagnosis dengan jenis 2
kencing manis. Faktor lain meliputi mengeram dan sejarah keluarga, walaupun didekade yang
terakhir telah terus meningkat mulai untuk memengaruhi anak remaja dan anak-anak. Diabetes tipe
2 dapat terjadi tanpa ada gejala sebelum hasil diagnosis. Diabetes tipe 2 biasanya, awalnya, diobati
dengan cara perubahan aktivitas fisik (olahraga), diet (umumnya pengurangan asupan karbohidrat)
dan lewat pengurangan berat badan. Ini dapat memugar kembali kepekaan hormon insulin, bahkan
ketika kerugian berat/beban adalah rendah hati,, sebagai contoh, di sekitar 5 kg ( 10 sampai 15 lb),
paling terutama ketika itu ada di deposito abdominal yang gemuk. Langkah yang berikutnya, jika
perlu, perawatan dengan lisan antidiabetik drugs. Produksi hormon insulin adalah pengobatan pada
awalnya tak terhalang, lisan (sering yang digunakan di kombinasi) kaleng tetap digunakan untuk
meningkatkan produksi hormon insulin (e.g., sulfonylureas) dan mengatur pelepasan yang tidak
sesuai tentang glukosa oleh hati (dan menipis pembalasan hormon insulin sampai taraf tertentu
(e.g.,metformin), dan pada hakekatnya menipisnya pembalasan hormon insulin(e.g.,
thiazolidinediones). Jika ini gagal, ilmu pengobatan hormon insulin diperlukan untuk memelihara
tingkatan glukosa yang normal. Suatu cara hidup yang tertib tentang cek glukosa darah
direkomendasikan dalam banyak kasus, paling terutama sekali dan perlu ketika mengambil
kebanyakan pengobatan. Sebuah zat penghambat dipeptidyl peptidase 4 yang disebut sitagliptin,
baru- baru ini diperkenankan untuk digunakan sebagai pengobatan diabetes mellitus tipe 2. Seperti
zat penghambat dipeptidyl peptidase 4 yang lain, sitagliptin akan membuka peluang bagi
perkembangan sel tumor maupun kanker.

III.2 Kaitan antara Metabolisme Karbohidrat dan Diabetes Mellitus tipe 2

Metabolisme karbohidrat dan diabetes mellitus adalah dua mata rantai yang tidak dapat
dipisahkan. Keterkaitan antara metabolisme karbohidrat dan diabetes mellitus dijelaskan oleh
keberadaan hormon insulin. Diabetes mellitus adalah gangguan metabolisme yang secara genetis
dan klinis termasuk heterogen dengan menifestasi berupa hilangnya toleransi karbohidrat. Jika telah
berkembang penuh secara klinis, maka diabetes mellitus ditandai dengan hiperglikemia puasa dan
post prandial, aterosklerotik dan penyakit vascular microangiophaty dan neurophaty. Manifestasi
klinis hiperglikemia biasanya telah bertahun-tahun mendahului timbulnya kelainan klinis dari
penyakit vascularnya. Pasien dengan kelainan toleransi glukosa ringan ( gangguan glukosa puasa dan
gangguan toleransi glukosa ) dapat tetap berisiko mengalami komplikasi diabetes mellitus.

Diabetes mellitus merupakan penyakit endokrin yang paling lazim. Frekuensi sesungguhnya
diperoleh karena perbedaan standar diagnosis tetapi mungkin antara 1-2% jika hiperglikemia puasa
merupakan kriteria diagnosis. Penyakit ini ditandai oleh komplikasi metabolik dan komplikasi jangka
panjang yang melibatkan mata, ginjal, saraf dan pembuluh darah.

Penderita diabetes mellitus mengalami kerusakan dalam produksi maupun sistem kerja insulin,
sedangkan ia sangat dibutuhkan dalam melakukan regulasi metabolisme karbohidrat. Akibatnya,
penderita diabetes mellitus akan mengalami gangguan pada metabolisme karbohidrat. Tubuh
manusia membutuhkan energi agar dapat berfungsi dengan baik. Energi tersebut diperoleh dari hasil
pengolahan makanan melalui proses pencernaan di usus. Di dalam saluran pencernaan itu, makanan
dipecah menjadi bahan dasar dari makanan tersebut. Karbohidrat menjadi glukosa, protein menjadi
menjadi asam amino, dan lemak menjadi asam lemak. Ketiga zat makanan tersebut akan diserap
oleh usus kemudian masuk ke dalam pembuluh darah dan akan diedarkan ke seluruh tubuh untuk
dipergunakan sebagai bahan bakar. Dalam proses metabolisme, insulin memegang peranan sangat
penting yaitu memasukkan glukosa ke dalam sel, untuk selanjutnya digunakan sebagai bahan bakar.
Pengeluaran insulin tergantung pada kadar glukosa dalam darah. Kadar glukosa darah sebesar > 70
mg/dl akan menstimulasi sintesa insulin. Insulin yang diterima oleh reseptor pada sel target, akan
mengaktivasi tyrosin kinase dimana akan terjadi aktivasi sintesa protein, glikogen, lipogenesis dan
meningkatkan transport glukosa ke dalam otot skelet dan jaringan adipose dengan bantuan
transporter glukosa (GLUT 4).

Insulin berupa polipeptida yang dihasilkan oleh sel-sel β pankreas. Insulin terdiri atas dua rantai
polipeptida. Struktu insulin manusia dan beberapa spesies mamalia kini telah diketahui. Insulin
manusia terdiri atas 21 residu asam amino pada rantai A dan 30 residu pada rantai B. Kedua rantai
ini dihubungkan oleh adanya dua buah rantai disulfida (Granner, 2003). Insulin disekresi sebagai
respon atsa meningkatnya konsentrasi glukosa dalam plasma darah. Konsentrasi ambang untuk
sekresi tersebut adalah kadar glukosa pada saat puasa yaitu antara 80-100 mg/dL. Respon maksimal
diperoleh pada kadar glukosa yang berkisar dar 300-500 mg/dL. Insulin yang disekresikan dialirkan
melalui aliran darah ke seluruh tubuh. Umur insulin dalam aliran darah sangat cepat. Waktu
paruhnya kurang dari 3-5 menit.

Sel-sel tubuh menangkap insulin pada suatu reseptor glikoprotein spesifik yang terdapat pada
membran sel. Reseptor tersebut berupa heterodimer yang terdiri atas subunit α dan subunit β
dengan konfigurasi α2β2. Subunit α berada pada permukaan luar membran sel dan berfungsi
mengikat insulin. Subunit β berupa protein transmembran yang melaksanakan fungsi tranduksi
sinyal. Bagian sitoplasma subunit β mempunyai aktivitas tirosin kinase dan tapak autofosforilasi
(King, 2007).

Terikatnya insulin subunit α menyebabkan subunit β mengalami autofosforilasi pada residu


tirosin. Reseptor yang terfosforilasi akan mengalami perubahan bentuk, membentuk agregat,
internalisasi dan mnghasilkan lebih dari satu sinyal. Dalam kondisi dengan kadar insuli tinggi,
misalnya pada obesitas ataupun akromegali, jumlah reseptor insulin berkurang dan terjadi resistansi
terhadap insulin. Resistansi ini diakibatkan terjadinya regulasi ke bawah. Reseptor insulin mengalami
endositosis ke dalam vesikel berbalut klatrin.

Insulin mengatur metabolisme glukosa dengan memfosforilasi substrat reseptor insulin (IRS)
melalui aktivitas tirosin kinase subunit β pada reseptor insulin. IRS terfosforilasi memicu serangkaian
rekasi kaskade yang efek nettonya adalah mengurangi kadar glukosa dalam darah. Ada beberapa
cara insulin bekerja yaitu

Pengaturan metabolisme glukosa oleh insulin melalui berbagai mekanisme kompleks yang efek
nettonya adalah peningkatan kadar glukosa dalam darah. Oleh karena itu, penderita diabetes
mellitus yang jumlah insulinnya tidak mencukupi atau bekerja tidak efektif akan mengalami
hiperglikemia.

Penderita diabetes tipe I juga mengalami hipertrigliseridemia, yaitu kadar trigliserida dan VLDL
dalam darah yang tinggi. Hipertrigliseridemia terjadi karena VLDL yang disintesis dan dilepaskan
tidak mampu diimbangi oleh kerja enzim lipoproteinlipase yang merombaknya. Jumlah enzim ini
diransang oleh rasio insulin dan glukagon yang tinggi. Efek pada produksi enzim ini juga
mengakibatkan hipersilomikronemia, karena enzim ini juga dibutuhkan dalam katabolisme
silomikron pada jaringan adiposa.

Berbeda dengan penderita diabetes tipe I, pada penderita diabetes tipe II, ketoasidosis tidak
terjadi karena penguraian lemak (lipolisis) tetap terkontrol. Namun, pada terjadi hipertrigliseridemia
yang menghasilkan peningkatan VLDL tanpa disertai hipersilomikronemia. Hal ini terjadi karena
peningkatan kecepatan sintesis de novo dari asam lemak tidak diimbangi oleh kecepatan
penyimpanannya pada jaringan lemak. Asam lemak yang dihasilkan tidak semuanya mampu
dikatabolisme, kelebihannya diesterifikasi menjadi trigliserida dan VLDL. Hal ini diperparah oleh
aktivitas fisik penderita diabetes mellitus tipe II yang pada umumnya sangat kurang. Akibatnya kadar
lemak dalam darah akan meningkat. Pada penderita yang akut, akan terjadi penebalan pada
pembuluh darah terutama pada bagian mata, sehingga dapat menyebabkan rabun atau bahkan
kebutaan (Harris dan Crabb, 1992).

Kelainan tekanan darah akibat kadar glukosa yang tinggi menyebabkan kerja jantung, ginjal dan
organ dalam lain untuk mempertahankan kestabilan tubuh menjadi lebih berat. Akibatnya pada
penderita diabetes akan mudah dikenai berbagai komplikasi diantaranya penurunan sistem imune
tubuh, kerusakan sistem kardivaskular,kealinan trombosis, inflamasi, dan kerusakan sel-sel
endothelia serta kerusakan otak, yang biasanya ditandai dengan penglihatan yang kabur (Clement et
al, 2004).

III.3 Patofisiologis Diabetes Mellitus tipe 2

Diabetes mellitus tipe 2 adalah etiologi tidak diketahui (yaitu, asal). Melitus diabetes dengan
etiologi yang diketahui, seperti penyakit sekunder lainnya, cacat gen yang dikenal, trauma atau
pembedahan, atau efek obat, lebih tepat disebut melitus diabetes sekunder atau diabetes akibat
penyebab yang spesifik. Contohnya termasuk diabetes mellitus seperti MODY atau yang disebabkan
oleh hemochromatosis, Kekurangan pankreas, atau jenis obat tertentu (misalnya, penggunaan
jangka panjang steroid).

Menurut CDC, sekitar 23.613.000 orang di Amerika Serikat, atau 8% dari populasi, menderita
diabetes. Prevalensi diabetes total meningkat 13,5% dari 2005-2007. Diperkirakan bahwa hanya 24%
dari diabetes sekarang tidak terdiagnosis, turun dari 30% diperkirakan pada tahun 2005 dan dari
50% yang sebelumnya diperkirakan pada ca 1995.

Sekitar 90-95% dari semua kasus Amerika Utara diabetes tipe 2, dan sekitar 20% dari populasi di
atas usia 65 memiliki diabetes mellitus tipe 2. Fraksi penderita diabetes tipe 2 di bagian lain dunia
bervariasi secara substansial, hampir pasti untuk lingkungan dan alasan gaya hidup, meskipun ini
tidak diketahui secara rinci. Diabetes mempengaruhi lebih dari 150 juta orang di seluruh dunia dan
jumlah ini diharapkan dua kali lipat pada tahun 2025 .. Sekitar 55 persen tipe 2 adalah obesitas-
kronis obesitas menyebabkan resistensi insulin meningkat yang dapat berkembang menjadi
diabetes, kemungkinan besar karena jaringan adiposa (terutama di perut sekitar organ internal)
merupakan sumber (baru ini diidentifikasi) dari sinyal kimia beberapa lainnya jaringan (hormon dan
sitokin). Penelitian lain menunjukkan bahwa diabetes tipe 2 menyebabkan obesitas sebagai akibat
dari perubahan dalam metabolisme dan sel perilaku petugas lain gila pada resistensi insulin. Namun,
genetika memainkan peran yang relatif kecil dalam terjadinya luas diabetes tipe 2. Hal ini dapat
secara logis disimpulkan dari peningkatan besar dalam terjadinya diabetes tipe 2 yang memiliki
berkorelasi dengan perubahan signifikan dalam gaya hidup barat.

Diabetes mellitus tipe 2 sering dikaitkan dengan obesitas, hipertensi, kolesterol tinggi
(hiperlipidemia gabungan), dan dengan kondisi sindrom metabolik sering disebut (juga dikenal
sebagai Sindrom X, sindrom Reavan, atau CHAOS). Penyebab sekunder tipe 2 Diabetes mellitus
adalah: acromegaly, sindrom Cushing, tirotoksikosis, pheochromocytoma, pankreatitis kronis, kanker
dan obat-obatan.

Obat diinduksi hiperglikemia:

1) Antipsikotik atipikal - Alter karakteristik reseptor yang mengikat, yang menyebabkan resistensi
insulin meningkat.

2) Beta-blocker - Menghambat sekresi insulin.

3) Blocker Saluran Kalsium - Menghambat sekresi insulin oleh campur dengan melepaskan
kalsium sitosol.

4) Kortikosteroid - Penyebab resistensi insulin perifer dan gluconeogensis.

5) Fluoroquinolones - Menghambat sekresi insulin oleh memblokir saluran kalium ATP sensitif.

6) Naicin - Mereka menyebabkan resistensi insulin meningkat karena mobilisasi asam lemak
bebas meningkat.

7) Fenotiazin - Menghambat sekresi insulin.

8) Protease Inhibitor - Menghambat konversi proinsulin terhadap insulin.

9) Diuretik thiazide - Menghambat sekresi insulin karena hipokalemia. Mereka juga menyebabkan
resistensi insulin meningkat karena mobilisasi asam lemak bebas meningkat.

Faktor tambahan ditemukan meningkatkan risiko diabetes tipe 2 meliputi penuaan, diet tinggi
lemak dan gaya hidup kurang aktif .

III.4 Penyebab dan Gejala dari DM Tipe 2

1. Penyebab yang ditemukan pada Diabetes Melitus tipe 2

DM tipe 2 ditandai dengan 3 patofisiologi utama, meliputi gangguan sekresi insulin, resistensi
insulin perifer, dan produksi glukosa hepatik berlebih. Obesitas sering ditemukan pada penderita DM
tipe 2. Adiposit mensekresi sejumlah hormon seperti leptin, TNF-alfa, asam lemak bebas, resistin,
dan adiponektin yang memodulasi sekresi insulin, kerja insulin, berat badan, dan berkontribusi
terhadap resistensi insulin. Awalnya, toleransi glukosa pada pasien DM tetap normal meskipun
terjadi resistensi insulin karena sel beta pankreas mengkompensasi dengan meningkatkan produksi
insulin. Seiring dengan meningkatnya resistensi insulin, sel beta pankreas tidak dapat
mempertahankan kondisi hiperinsulinemia. IGT (Impaired Glucose Tolerance) ditandai dengan
peningkatan kadar glukosa postprandial. Penurunan sekresi insulin dan peningkatan produksi
glukosa hepatik menyebabkan pasien mengalami diabetes disertai peningkatan kadar glukosa darah
puasa. Penanda inflamasi seperti IL-6 dan CRP umumnya meningkat pada diabetes tipe 2.

2. Resistensi Insulin

Penurunan kemampuan insulin untuk bekerja secara efektif pada jaringan target terutama otot
dan liver merupakan gambaran utama DM tipe 2 dan merupakan kombinasi antara faktor genetik
dan obesitas. Resistensi insulin bersifat relatif. Tingginya jumlah insulin yang dibutuhkan untuk
menormalkan kadar glukosa plasma menandakan penurunan sensitivitas dan respon reseptor
insulin. Mekanisme pasti mengenai resistensi insulin pada DM tipe 2 belum diketahui dengan pasti.
Penurunan reseptor insulin dan aktivitas tirosin kinase pada otot rangka merupakan efek sekunder
hiperinsulinemia.

3. Gangguan Sekresi Insulin

Etiologi penurunan kapasitas sekresi insulin pada DM tipe 2 masih belum jelas. Defek genetik
sekunder diduga meningkatkan resistensi insulin yang memicu kegagalan sel beta pankreas. Pulau
polipeptida amiloid atau amylin yang disekresikan oleh sel beta akan membentuk deposit amiloid
fibrilar. Deposit ini dapat ditemukan pada pasien yang telah lama menderita DM tipe 2.

4. Peningkatan Produksi Glukosa Hepatik

Pada DM tipe 2, resistensi insulin pada liver merefleksikan kegagalan hiperinsulinemia untuk
menghambat glukoneogenesis sehingga terjadi hiperglikemia pada keadaan puasa dan penurunan
penyimpanan glikogen oleh liver pada fase postprandial. Peningkatan produksi glukosa hepatik
terjadi pada awal sindrom diabetes.

III.4 Faktor Resiko Diabetes Mellitus Tipe 2

1. Riwayat keluarga dengan diabetes mellitus (orang tua atau saudara kandung dengan DM tipe 2)

2. Obesitas (BMI ³ 25 kg/m2)

3. Memiliki kebiasaan fisik yang tidak aktif

4. Ras/etnis (African American, latin, native American, asian american, pacific islander)

5. Sebelumnya telah diidentifikasikan IGT atau IFG

6. Riwayat Gestational Diabetes Mellitus (GDM) atau melahirkan bayi dengan berat >4 kg

7. Hipertensi (140/90 mmHg)

8. Level kolesterol HDL <35 mg/dL (0.90 mmol/L) dan atau level trigliserida >250 mg/dL (2.82
mmol/L)
9. Sindrom polikistik ovarium atau nigrikan akantotik

10. Riwayat penyakit vaskuler

(* jurnal American Diabetes Association, 2007)

Komplikasi Diabetes Mellitus

1. Koma Diabetikum :

a) Ketoasidosis (KAD) – koma KAD

b) Koma Hiperosmolar Non Ketotik (HONK)

c) Koma Asidosis Laktat

2. Hipoglikemia (koma)

3. Komplikasi Menahun

a) Khas : retinopati, neuripati, nefropati, diabetik foot, diabetik skin

b) Tidak khas, tetapi timbul pada usia lebih muda & lebih berat : penyakit pembuluh darah
perifer, penyakit jantung koroner, infeksi, katarak

III.5 Orang-orang yang paling beresiko terkena Diabetes Melitus type 2

Orang-orang yang paling beresiko terkena DM 2 adalah:

1) Kelebihan berat badan

2) Berumur diatas 45 tahun

3) Glukosa darah puasa atau sesudah makan melebihi batas normal

4) Tekanan darah > 130 / 85 mm Hg

5) Kolesterol tinggi ( kolesterol LDL > 130 mg/dl atau kolesterol total > 200 mg/dl)

6) Pernah mengalami DM gestasional (glukosa darah tinggi selama hamil)

7) Melahirkan bayi dengan berat badan > 4 kg

Gejala klinis apa yang ditemukan pada Diabetes Melitus type 2:

1. Gejala awalnya ditemukan : Poliuria (sering kencing), polidipsi (sering haus), polifagi (sering
makan), berat badan menurun, badan sering terasa lemah dan mudah capai.

2. Gejala lanjutannya ditemukan : Luka yang tidak dirasakan, sering kesemutan, sering merasakan
gatal tanpa sebab, kulit kering, mudah terkena infeksi, dan gairah sex menurun.
3. Gejala setelah terjadi komplikasi : Gangguan pembuluh darah otak (stroke), pembuluh darah
mata (gangguan penglihatan), pembuluh darah jantung (penyakit jantung koroner), pembuluh darah
ginjal (gagal ginjal), serta pembuluh darah kaki (luka yang sukar sembuh/gangren).

III.6 Cara memastikan seseorang terkena Diabetes Melitus type 2

1. Dilakukan wawancara oleh dokter untuk pola hidup dan gejala klinis.

2. Pemeriksaan fisik oleh dokter (berat badan dan tekanan darah).

3. Pemeriksaan laboratorium, dengan tiga cara :

a. Pemeriksaan gula darah sewaktu (tanpa puasa)

b. Pemeriksaan kadar gula darah puasa (puasa 8 jam) dan gula darah 2 jam setelah makan.

c. Pemeriksaan HbA1c digunakan untuk mengevaluasi pengendalian glukosa jangka panjang


(dapat mendeteksi pengendalian glukosa darah 100 hari kebelakang).

III.7 Penanggulangan atau pengobatan DM tipe 2

Ada 8 langkah yang sebaiknya dilakukan penderita Diabetes Melitus type 2 yaitu :

1. Edukasi: Edukasi diri sendiri (self learning) Penyakit DM relatif tidak bisa sembuh, tetapi
komplikasi yang mungkin terjadi dapat dihindari. Kunci dalam keberhasilan pengendalian penyakit
DM adalah disiplin terhadap diri sendiri.

2. Kontrol kadar glukosa darah: Dengan pengecekan glukosa darah secara rutin di laboratorium.

3. Olah raga teratur: Olah raga sangat penting bagi penderita DM. Olah raga dapat menurunkan
kadar gula darah dengan cara meningkatkan pembakaran glukosa dan peningkatan kadar insulin.

4. Periksa kaki setiap hari: Penderita diabetes harus memeriksa tanda-tanda kerusakan kulit, bisul,
atau lecet pada kaki. Area kulit diantara jari kaki juga harus diperhatikan. Penderita diabetes
sebaiknya menghindari kegiatan yang bisa merusak kaki.

5. Pengaturan pola makan: Makanan bagi penderita DM harus mengandung unsur yang lengkap
seperti; karbohidrat, protein, lemak, vitamin, mineral serta kecukupan air. Agar kebutuhan diet
terpenuhi tanpa harus memberikan pembebanan glukosa secara berlebihan disarankan Anda untuk
mengunjungi ahli gizi.

6. Melakukan pemeriksaan mata: Penderita diabetes harus memeriksakan mata secara teratur
untuk mendeteksi lebih dini adanya retinopati diabetes.
7. Melakukan pemeriksaan urin: Penderita diabetes harus melakukan pemeriksaan urin secara
rutin untuk memeriksa apakah kadar protein (albumin) dalam urin masih normal atau tidak sebagai
deteksi dini nefropati diabetes.

8. Terapi pengobatan DM: Sebaiknya Anda berkonsultasi dengan dokter Anda.

BAB IV

PENUTUP

IV.1 Kesimpulan

Arti penyakit diabetes mellitus ini di ambil dari bahasa yunani diabaínein,yang artinya tembus atau
pancuran air, mellitus diambil dari bahasa latin yang artinya rasa manis. Penyakit ini di kenal di
indonesia dengan nama kencing manis atau kencing gula.

Pengertian diabetes mellitus adalah kelainan metabolisme yang disebabkan oleh banyak faktor,
dengan simtoma berupa hiperglisemia kronis dan gangguan metabolisme karbohidrat, lemak dan
protein, sebagai akibat dari defisiensi sekresi hormon insulin, aktivitas insulin, atau keduanya,
defisiensi transporter glukosa atau keduanya.

Tujuan utama dari pengobatan diabetes adalah untuk mempertahankan kadar gula darah dalam
kisaran yang normal. Namun, kadar gula darah yang benar-benar normal sulit untuk dipertahankan.

Meskipun demikian, semakin mendekati kisaran yang normal, maka kemungkinan terjadinya
komplikasi sementara maupun jangka panjang menjadi semakin berkurang. Untuk itu diperlukan
pemantauan kadar gula darah secara teratur baik dilakukan secara mandiri dengan alat tes kadar
gula darah sendiri di rumah atau dilakukan di laboratorium terdekat.

Pengobatan diabetes meliputi pengendalian berat badan, olah raga dan diet. Seseorang yang
obesitas dan menderita diabetes tipe 2 tidak akan memerlukan pengobatan jika mereka
menurunkan berat badannya dan berolah raga secara teratur. Namun, sebagian besar penderita
merasa kesulitan menurunkan berat badan dan melakukan olahraga yang teratur.
IV.2 Saran

Jika ingin mengurangi resiko terkena diabetes, maka kita harus menjaga pola makan kita sehari-
hari dan juga rajin berolahraga. Banyak penyakit dapat dicegah dengan gaya hidup dan pola makan
yang sehat. Di antaranya adalah diabetes, yang juga salah satu penyebab utama kematian di banyak
negara, termasuk di Indonesia. Ada banyak hal yang diduga menjadi pemicu munculnya penyakit
diabetes, dan salah satu di antaranya adalah pola makan yang tidak baik. Di samping itu, pola makan
sehat juga terbukti bermanfaat mencegah terjadinya penyakit jantung koroner, kanker, hipertensi,
dan kerusakan ginjal.

You might also like