You are on page 1of 20

KARDIOTOKOGRAFI

Dr. ARANDA TRI S, Sp.OG


BAB I

PENDAHULUAN

Angka morbiditas dan mortalitas perinatal merupakan indikator kualitas pelayanan


obstetri disuatu tempat atau negara. Angka mortalitas perinatal Indonesia masih jauh diatas rata-
rata negara maju, yaitu 60 – 170 berbanding kurang dari 10 per 1.000 kelahiran hidup. Salah satu
penyebab mortalitas perinatal yang menonjol adalah masalah hipoksia intra uterin.
Kardiotokografi (KTG) baik intermiten maupun terus-menerus merupakan peralatan elektronik
yang dapat dipergunakan untuk mengidentifikasi janin yang mempunyai resiko mengalami
hipoksia dan kematian intrauterin atau mengalami kerusakan neurologic dengan menilai denyut
jantung janin, sehingga dapat dilakukan tindakan untuk memperbaiki nasib neonatus sehingga
berperan penting dalam pemantauan kesejahteraan janin.

Pemantauan kesejahteraan janin merupakan hal penting dalam pengawasan janin,


terutama pada saat persalinan. Dukungan teknologi sangat berperan dalam kemajuan
pemantauan janin. Asuhan antenatal modern memerlukan tatalaksana yang efisien, efektif,andal,
dan komprehensif. Pemantauan kesejahteraan janin sudah merupakan suatu kompetensi yang
harus dimiliki oleh tenaga medis dan paramedis yang melakukan asuhan antenatal dan asuhan
persalinan. Standarisasi pemantauan sudah merupakan suatu prasyarat yang harus dipenuhi agar
evaluasi keberhasilan atau kegagalan pemantauan kesejahteraan janin yang dikaitkan dengan
luaran perinatal dapat dilaksanakan dengan baik. Bila hal ini dapat dilakukan dengan baik,
diharapkan angka kematian ibu dan perinatal dapat diturunkan. Standarisasi memerlukan
kegiatan yang terstruktur dan berkesinambungan dengan evaluasi berkala melalui suatu pelatihan
pemantauan kesejahteraan janin.

2
BAB II

PEMBAHASAN

PEMANTAUAN KESEJAHTERAAN JANIN

Penilaian kesejahteraan janin yang konvensional umumnya dikerjakan dengan cara-cara


yang tidak langsung, seperti palpasi abdomen, pengukuran tinggi fundus, maupun penilaian
gejala atau tanda fisik ibu yang diduga dapat mengancam kesejahteraan janin (misalnya
hipertensi, perdarahan pervaginam dan sebagainya). Cara-cara seperti itu seringkali tidak untuk
memprediksi kesejahteraan janin, sehingga sulit digunakan untuk membuat strategi yang
rasional dalam upaya pencegahan dan intervensi penanganan janin yang mengalami gangguan
intrauterin

Dalam konsep obstetri modern, khususnya di bidang perinatologi, janin dipandang


sebagai individu yang harus diamati dan ditangani sebagaimana layaknya seorang pasien. Janin
perlu mendapat pemeriksaan fisik untuk mengetahui apakah kondisinya aman, atau dalam
bahaya (asfiksia, pertumbuhan terhambat, cacat bawaaan, dan sebagainya). Pengetahuan akan
hal itu akan menentukan segi penanganan janin selanjutnya. Penilaian profil biofisik janin
merupakan salah satu cara yang efektif untuk mendeteksi adanya asfiksia janin lebih dini,
sebelum menimbulkan kematian atau kerusakan yang permanen pada janin. Pemeriksaan
tersebut dimungkinkan terutama dengan bantuan peralatan elektronik, seperti ultrasonografi
(USG) dan kardiotokografi (KTG).

Indikasi Pemeriksaan
Beberapa keadaan dibawah ini memerlukan pemantauan janin yang baik Karena berkaitan
dengan meningkatnya morbiditas dan mortalitas perinatal, misalnya pertumbuhan janin
terhambat (PJT), gerakan janin berkurang, kehamilan post-term (≥ 42 minggu),
preeklampsia/hipertensi kronik, diabetes mellitus pra kehamilan, DM yang memerlukan terapi
insulin, ketuban pecah pada kehamilan preterm, dan solusio plasenta. Identifikasi pasien yang
memiliki risiko tinggi mutlak dilakukan karena hal ini berkaitan dengan tatalaksana yang harus
dilakukan. Kegagalan mengantisipasi adanya faktor risiko, dapat berakibat fatal.

3
KARDIOTOKOGRAFI

Alat kardiotokografi (KTG) merupakan alat bantu didalam pemantauan kesejahteraan


janin, melalui penilaian pola denyut jantung janin dalam hubungannya dengan adanya kontraksi
ataupun aktivitas janin. Pada KTG ada tiga bagian besar kondisi yang dipantau, yaitu denyut
jantung janin (DJJ), kontraksi rahim, dan gerak janin serta korelasi diantara ketiga parameter
tersebut. Pemeriksaan KTG biasanya dilakukan pada kehamilan resiko tinggi, dan indikasinya
terdiri dari :

IBU
a. Pre-eklampsia-eklampsia d. Kehamilan ≥ 40 minggu
b. Ketuban pecah f. Asthma bronkhiale
c. Diabetes melitus g. Inkompatibilitas Rhesus atau ABO
h. Infeksi TORCH l. Hipotensi
i. Bekas SC m. Perdarahan antepartum
j. Induksi atau akselerasi persalinan o. Ibu berusia lanjut
k. Persalinan preterm

JANIN
a. Pertumbuhan janin terhambat (PJT) f. Kelainan presentasi, termasuk pasca
b. Gerakan janin berkurang versi luar.
c. Suspek lilitan tali pusat g. Mekonium dalam cairan ketuban
d. Aritmia, bradikardi, atau takikardi janin h. Riwayat lahir mati
e. Hidrops fetalis i. Kehamilan ganda
j. Dan lain-lain

4
SYARAT PEMERIKSAAN KTG
1. Usia kehamilan ≥ 28 minggu.
2. Ada persetujuan tindak medik dari pasien (secara lisan).
3. Punktum maksimum denyut jantung janin (DJJ) diketahui.
4. Prosedur pemasangan alat dan pengisian data pada komputer ( pada KTG
terkomputerisasi ) sesuai buku petunjuk dari pabrik.

MEKANISME PENGATURAN DJJ


Frekuensi denyut jantung janin rata-rata sekitar 140 dpm dengan variasi normal 20
dpm di atas atau di bawah nilai rata-rata. Jadi, nilai normal denyut jantung janin antara 120 –
160 dpm (beberapa penulis menganut nilai normal denyut jantung janin antara 120 – 150
dpm).
Denyut jantung janin diatur oleh banyak faktor, yaitu :

Sistem Saraf Simpatis


Distribusi saraf simpatis sebagian besar berada di dalam miokardium. Stimulasi saraf
simpatis, misalnya dengan obat beta-adrenergik, akan meningkatkan frekuensi DJJ,
menambah kekuatan kontraksi jantung, dan meningkatkan volume curah jantung. Dalam
keadaan stress, system saraf simpatis berfungsi mempertahankan aktivitas pemompaan darah.
Inhibisi saraf simpatis, misalnya dengan obat propranolol, akan menurunkan frekuensi DJJ
dan sedikit mengurangi variabilitas DJJ.

Sistem saraf Parasimpatis


Sistem saraf parasimpatis terutama terdiri dari serabut nervus vagus yangberasal dari
batang otak. Sistem saraf ini akan mengatur nodus SA, nodusVA, dan neuron yang terletak di
antara atrium dan ventrikel jantung. Stimulasi nervus vagus, misalnya dengan asetil kolin
akan menurunkan frekuensi DJJ; sedangkan inhibisi nervus vagus, misalnya dengan atropin,
akan meningkatkan frekuensi DJJ.

5
Baroreseptor
Reseptor ini letaknya pada arkus aorta dan sinus karotid. Bila tekanan darah
meningkat, baroreseptor akan merangsang nervus vagus dan nervus glosofaringeus pada
batang otak. Akibatnya akan terjadi penekanan aktivitas jantung berupa penurunan frekuensi
DJJ dan curah jantung.

Kemoreseptor
Kemoreseptor terdiri dari dua bagian, yaitu bagian perifer yang terletak didaerah
karotid dan korpus aortik; dan bagian sentral yang terletak dibatang otak. Reseptor ini
berfungsi mengatur perubahan kadar oksigen dan karbondioksida dalam darah dan cairan
serebro-spinal. Bila kadar oksigen menurun dan karbondioksida meningkat, akan terjadi
refleks dari reseptor sentral berupa takikardia dan peningkatan tekanan darah. Hal ini akan
memperlancar aliran darah, meningkatkan kadar oksigen, dan menurunkan kadar
karbondioksida. Keadaan hipoksia atau hiperkapnia akan mempengaruhi reseptor perifer dan
menimbulkan refleks bradikardia. Interaksi kedua macam reseptor tersebut akan
menyebabkan bradikardi dan hipotensi.

Susunan Saraf Pusat


Aktivitas otak meningkat sesuai dengan bertambahnya variabilitas DJJ dan gerakan
janin. Pada keadaan janin tidur, aktivitas otak menurun, dan variabilitas DJJ-pun akan
berkurang. Rangsangan hipotalamus akan menyebabkan takhikardi.

Sistem Pengaturan Hormonal


Pada keadaan stres, misalnya hipoksia intrauterin, medula adrenal akan mengeluarkan
epinefrin dan nor-epinefrin. Hal ini akan menyebabkan takikardia, peningkatan kekuatan
kontraksi jantung dan hipertensi.

Sistem kompleks proprioseptor, serabut saraf nyeri, baroreseptor,


stretchreceptors dan pusat pengaturan
Akselerasi DJJ dimulai bila ada sinyal aferen yang berasal dari salah satu tiga sumber,
yaitu (1) proprioseptor dan ujung serabut saraf pada jaringan sendi; (2) serabut saraf nyeri
yang terutama banyak terdapat di jaringan kulit; dan (3) baro reseptor di aorta askendens dan
arteri karotis, dan stretch receptors di atrium kanan. Sinyal-sinyal tersebut diteruskan ke

6
cardioregulatory center (CRC) kemudian ke cardiac vagus dan saraf simpatis, selanjutnya
menuju nodus sinoatrial sehingga timbullah akselerasi DJJ.

KARAKTERISTIK GAMBARAN DJJ

Gambaran DJJ dalam pemeriksaan KTG dapat digolongkan ke dalam 2 bagian besar, yaitu:
1. Denyut jantung janin dasar (baseline fetal heart rate).Yang termasuk disini adalah
frekuensi dasar dan variabilitas DJJ saat uterus dalam keadaan istirahat (relaksasi).
2. Perubahan periodik / episodik DJJ (reactivity).Yang dimaksud dengan perubahan
periodik DJJ adalah perubahan DJJ yang terjadi akibat kontraksi uterus atau ada
gerakan janin.

Frekuensi dasar Denyut Jantung Janin (Base Line Rate)


Frekuensi dasar DJJ adalah frekuensi rata-rata DJJ yang terlihat selama periode 10
menit, tanpa disertai periode variabilitas DJJ yang berlebihan (lebih dari 25 dpm), tidak
terdapat perubahan periodik atau episodik DJJ, dan tidak terdapat perubahan frekuensi dasar
yang lebih dari 25 denyut per menit (dpm).
Dalam keadaan normal, frekuensi dasar DJJ berkisar antara 120 – 160 dpm (pendapat
ini yang dianut di Indonesia). Frekuensi dasar DJJ yang lebih dari 160 dpm disebut
takikardia; bila kurang dari 120 dpm disebut bradikardia. Ada juga yang memakai batasan
normal115 – 160 dpm atau 110 – 160 dpm.
Takikardia dapat terjadi pada keadaan hipoksia janin, akan tetapi gambaran tersebut biasanya
tidak berdiri sendiri. Bila takikardia diserta dengan variabilitas DJJ yang normal, biasanya
janin masih dalam keadaan baik. Takikardia dapat juga terjadi oleh sebab lain yang bukan
hipoksia, seperti:
1. Janin pada kehamilan kurang dari 30 minggu.
2. Infeksi pada ibu atau janin (khorioamnionitis).
3. Anemia janin.
4. Ibu gelisah.
5. Kontraksi uterus yang terlampau sering (takhisistolik).
6. Ibu hipertiroid.
7. Obat (atropin, skopolamin, ritrodrin, isoxsuprin, dsb).

7
8. Takiaritmia janin (biasanya di atas 200 dpm)

Bradikardia dapat terjadi sebagai respons awal keadaan hipoksia akut. Pada hipoksia
ringan frekuensi DJJ berkisar antara 100-120 dpm danvariabilitas DJJ masih normal. Hal ini
menunjukkan bahwa janin masih mampu mengadakan kompensasi terhadap stres hipoksia.
Bila hipoksia semakin berat janin akan mengalami dekompensasi terhadap stres tersebut.
Pada keadaan ini akan terjadi bradikardia yang kurang dari 100 dpm, disertai dengan
berkurang atau menghilangnya variabilitas DJJ.
Bradikardia yang tidak disertai perubahan gambaran DJJ lainnya bukan petunjuk
bahwa janin mengalami hipoksia. Bradikardia dapat juga disebabkan oleh keadaan lain yang
bukan hipoksia, seperti:
1. Kehamilan postterm.
2. Hipotermia.
3.Janin dalam posisi oksiput posterior atau oksiput melintang.
4.Obat (propranolol, analgetika golongan –kain).
5. Bradiaritmia janin.

Variabilitas DJJ (Variability)


Variabilitas DJJ adalah gambaran osilasi ireguler (tidak teratur) yang terlihat pada
rekaman DJJ. Fisiologi terjadinya variabilitas DJJ masih mengandung perdebatan, diduga
akibat adanya keseimbangan interaksi sistem saraf simpatis (kardioakselerator) dan
parasimpatis (kardiodeselerator). Tetapi ada buktilain bahwa variabilitas DJJ terjadi akibat
stimulus di daerah korteks serebri yang merangsang pusat pengatur denyut jantung di batang
otak dengan perantaraan nervus vagus. Penilaian variabilitas DJJ yang paling mudah adalah
dengan mengukur besarnya amplitudo dari variabilitas (long term variability). Berdasarkan
besarnya amplitudo tersebut, variabilitas DJJ dapat dikategorikan sebagai berikut:
1.Variabilitas normal: amplitudo berkisar antara 5 – 25 dpm.
2.Variabilitas berkurang: amplitudo 2 – 5 dpm.
3.Variabilitas menghilang: amplitudo kurang dari 2 dpm.
4.Variabilitas berlebih(saltatory): amplitudo lebih dari 25 dpm.

8
Pada hipoksia serebral, variabilitas DJJ akan menghilang apabila janin tidak mampu
mengadakan mekanisme kompensasi hemodinamik untuk mempertahankan oksigenasi
serebral. Dapat disimpulkan bahwa variabilitas DJJ yang normal menunjukkan sistem
persarafan janin mulai dari korteksserebri – batang otak – nervus vagus – dan sistem
konduksi jantung dalam keadaan baik. Variabilitas DJJ akan menghilang pada janin yang
mengalami asidosis metabolik. Beberapa keadaan bukan hipoksia yang dapat menyebabkan
variabilitas DJJ berkurang:
1. Janin tidur (suatu keadaan fisiologis dimana aktivitas otak berkurang).
2. Janin anensefalus (korteks serebri tidak terbentuk).
3. Janin preterm (sistem persarafan belum sempurna).
4. Obat (narkotik, diazepam, MgSO4, betametason).
5. Blokade vagal.
6. Defek jantung bawaan.

Beberapa perubahan periodik/episodik DJJ yang dapat dikenali pada pemeriksaan KTG
adalah:
1. Akselerasi.
2. Deselerasi dini.
3. Deselerasi lambat.
4. Deselerasi variabel.

Akselerasi (accelerations)
Akselerasi merupakan respon simpatetik, dimana terjadi peningkatan frekuensi denyut
jantung jnain, suatu repon fisiologik yan gbaik (reaktif). Ciri-ciri akselerasi yang normal
adalah peningkatan djj (amplitudo) sebesar 15 dpm atau lebih, berlangsung selama 15 detik
atau lebih dan terjadi paling tidak 2 kali dalam waktu rekaman 20 menit, yang terjadi akibat
gerakan atau stimulasi janin. Akselerasi yang berlangsung selama 2 – 10 menit disebut
akselerasi memanjang (prolonged acceleration).
Yang Penting dibedakan antara akselerasi oleh kontraksi dan gerakan janin
 Akselerasi yang sergam (Uniform acceleration). Terjadinya akselerasi sesuai dengan
kontraksi uterus.

9
 Akselerasi yang bervariasi (Variable acceleration) Terjadinya akselerasi sesuai
dengan gerakan atau rangsangan pada janin.

Penilaian akselerasi sering digunakan untuk menentukan kesejahteraan janin, dan


merupakan dasar dari pemeriksaan non-stress test (NST). Janin yang tidak menunjukkan
tanda akselerasi DJJ bukan berarti dalam keadaan bahaya, namun merupakan indikasi untuk
pemeriksaan lebih lanjut, seperti contraction stress test (CST) atau penilaian profil biofisik
janin.

Gambaran akselerasi yang terlihat pada kontraksi uterus dan deselerasi variabel
menunjukkan adanya kompresi parsial pada tali pusat. Gambaran akselerasi yang menghilang
dapat menjadi pertanda adanya hipoksia janin, apalagi bila disertai dengan tanda-tanda
lainnya, seperti variabilitas djj yang berkurang, takikardia, atau bradikardia.

Deselerasi
Merupakan respon parasimpatis (n. Vagus) melalui reseptor-reseptor (baroreseptor /
kemereseptor) sehingga menyebabkan penurunan frekuensi denyut jantung.

Deselerasi dini (early decelerations)


Deselerasi dini adalah penurunan djj sesaat yang terjadi bersamaan dengan timbulnya
kontraksi. Gambaran penurunan djj pada deselerasi dini menyerupai bayangan cermin dari
kontraksi, yaitu timbul dan berakhirnya deselerasi sesuai dengan saat timbul dan berakhirnya
kontraksi. Nadir (bagian terendah) deselerasi terjadi pada saat puncak kontraksi.
Penurunan djj pada deselerasi dini biasanya tidak mencapai 100 dpm (Penurunan
tidak lebih dari 20 dpm) dan lamanya deselerasi kurang dari 90 detik. Deselerasi dini tidak
mempunyai arti patologis jika tidak disertai kelainan pada gambaran djj lainnya. Deselerasi
dini sering terjadi pada persalinan normal/fisiologis dimana terjadi kontraksi uterus yang
periodik dan normal. Deselerasi dini terjadi oleh penekanan kepala janin oleh jalan lahir yang
mengakibatkan hipoksia dan merangsang refleks vagal.

10
Deselerasi lambat (late decelerations)
Deselerasi lambat merupakan penurunan djj yang terjadi beberapa saat setelah
kontraksi dimulai. Deselerasi terjadi lebih lambat dari puncak kontraksi; dan deselerasi
menghilang lebih lambat dari saat menghilangnya kontraksi.Ciri-ciri deselerasi lambat adalah
sebagai berikut :
 Timbuknya sekitar 20 – 30 detik setelah kontraksi uterus dimulai
 Berakhirnya sekitar 20 – 30 detik setelah kontraksi uterus menghilang
 Lamanya kurang dari 90 detik ( rata-rata 40 – 60 detik)
 Timbul berulang pada setiap kontraksi dan beratnya sesauai dengan intensitas
kontraksi uterus
 Frekuensi dasar denyut jantung janin biasanya normal atau takikardi ringan,
akan tetapi pada keadaan hipoksia yang berat bisa brakdikardi.

Adapun deselerasi lambat dapat terjadi pada beberapa keadaan yang pada dasarnya
semuanya bersifat patologis. Penurunan aliran darah pada sirkulasi ibu akan menyebabkan
janin mengalami hipoksia. Apabila janin masih mempunyai cadangan oksigen yang
mencakupi dan masih mampu mengadakan kompensasi keadaan tersebut, maka tidak tampak
adanya gangguan pada gambaran kardiotokografi selama tidak ada stres yang lain. Bila
terjadi kontraksi uterus, maka aliran darah ke plasenta akan semakin berkurang dan akan
memperberat keadaan hipoksia janin. Keadaan terakhir ini akan menyebabkan rangsangan
pada kemoreseptor dan n. Vagus dan terjadilah deselerasi lambat tersebut. Jarak waktu antara
timbulnya kontraksi dan terjadinya deselerasi sesuai dengan waktu yang diperlukan untuk
rangsangan kemoreseptor dan n. Vagus. Pada fase awal, dimana tingkat hiposia belum
sampai menyebabkan hipoksia otak dan tubuh masih mampu mengadakan kompensasi untuk
mempertahankan sirkulasi otak, variabilitas denyut jantung janin biasanya normal. Akan
tetapi, bila keadaan hipoksia makin berat atau berlangsung lebih lama maka jaringan otak
akan mengalami hipoksia dan otot jantung pun mengalami depresi oleh karena hipoksia.
Sebagai akibatnya adalah variabilitas denyut jantung janin akan menurun dan akhirnya
menghilang sebelum janin akhirnya mati dalam rahim. Penanganan apabila ditemukan suatu
deselerasi lambat adalah memberikan infus, ibu tidur miring, berikan oksigen, menghentikan
kontraksi uterus dengan obat-obat tokolitik dan segera rencanakan terminasi kehamilan
dengan seksio sesarea.

11
Deselerasi lambat yang terjadi berulang sering kali dijumpai padakeadaan insufisiensi
plasenta dan hipoksia janin. Bila deselerasi lambat disertai variabilitas yang berkurang atau
kelainan djj lainnya, keadaan tersebut menunjukkan suatu tanda gawat janin (fetal distress),
sehingga perlu segera dilakukan evaluasi dan tindakan lebih lanjut.
Gambaran deselerasi lambat yang “halus” (penurunan djj sangat sedikit) mungkin
sulit dideteksi pada KTG, akan tetapi tetap mempunyai arti patologis (abnormal).

Deselerasi variabel (variable decelerations)


Deselerasi variabel mempunyai bentuk yang bervariasi, dan kaitan timbulnya
deselerasi dengan kontraksi juga bervariasi. Deselerasi variabel paling sering terjadi akibat
kontraksi uterus, terutama pada partus kala II; dan penyebabnya yang paling sering adalah
kompresi tali pusat.

Ciri-ciri deselerasi variable adalah :


 Gambaran deselerasi yang bervariasi, baik saat timbulnya, lamanya, amplitudo
maupun bentuknya
 Saat dimulai dan berakhirnya deselerasi terjadi dengan cepat dan penurunan frekuensi
dasar denyut jantung janin (amplitudo) bisa sampai 60 dpm
 Biasanya terjadi akselerasi sebelum (akselerasi pradeselerasi) atau sesudah (akselerasi
pascadeselerasi) terjadinya deselerasi
 Deselerasi variable diaggap berat apabila memenuhi rule of sixty yaitu deselerasi
mencapai 60 dpm atau lebih di bawah frekuensi dasar denyut jantung janin dan
lamanya deselerasi lebih dari 60 detik. Bila terjadi deselerasi variabel yang berulang
terlalu sering atau deselerasi variabel yang memanjang (prolonged) harus waspada
terhadap kemungkinan terjadinya hipoksia janin yang berlanjut.

Berbeda dengan deselerasi dini dan deselerasi lambat, gambaran deselerasi variabel
berbentuk runcing oleh karena timbul dan menghilangnya deselerasi berlangsung cepat.
Deselerasi variabel digolongkan ke dalam 3 kategori:
1. Deselerasi variabel ringan, apabila penurunan djj tidak mencapai 80 dpm dan
lamanya kurang dari 30 detik.
2. Deselerasi variabel sedang (moderat), apabila penurunan djj mencapai 70-80 dpm
dan lamanya antara 30-60 detik.

12
3. Deselerasi variabel berat, apabila djj menurun sampai di bawah 70 dpm dan
lamanya lebih dari 60 detik.
Istilah deselerasi variable memanjang (prolonged variable decelerations) digunakan untuk
menyatakan penurunan djj lebih dari 30 dpm dan lamanya lebih dari 2,5 menit
Deselerasi variabel ini sering terjadi akibat penekanan tali pusat pada masa hamil atau
kal I. Penekanan tali pusat ini bisa oleh karena lilitan tali pusat, tali pusat tumbung, atau
jumlah air ketuban berkurang (oligohidramnion). Selama variabilitas denyut jantung janin
masih baik, biasanya janin tidak mengalami hipoksia yang berarti.
Deselerasi variabel merupakan jenis deselerasi yang paling sering dijumpai, yaitu
pada sekitar 50% - 80% partus kala II; dan kebanyakan tidak berbahaya bagi janin. Tanda-
tanda deselerasi variabel yang tidak berbahaya bagi janin adalah:
1.Timbul dan menghilangnya deselerasi berlangsung cepat.
2.Variabilitas djj masih normal.
3.Terdapat akselerasi djj pada saat kontraksi.

Tanda-tanda deselerasi variabel yang berbahaya bagi janin adalah:


1.Terjadinya lebih lambat dari saat timbulnya kontraksi.
2.Pemulihan (menghilangnya) deselerasi berlangsung lambat.
3.Variabilitas djj berkurang, atau meningkat secara berlebihan.
4.Menghilangnya akselerasi pra- dan pasca-deselerasi.
5.Semakin beratnya derajat deselerasi variabel.
Derajat beratnya deselerasi variabel ditentukan oleh amplitudo, frekuensi, dan
lamanya deselerasi. Deselerasi variabel yang terjadi hanya sekali tidak berarti abnormal, oleh
karena mungkin terjadi akibat pemeriksaan dalam (PD), atau akibat perubahan posisi.
Penanganan yang dianjurkan pada keadaan ini adalah perubahan posisi ibu, reposisi
tali pusat bila ditemukan adanya tali pusat terkemukan atau menumbung, pemberian oksigen
pada ibu, amnio-infusion untuk mengatasi oligohidramnion bila memungkinkan, dan
terminasi persalinan bila diperlukan.

“Dalam praktik sehari-hari sering dijumpai gambaran kardiotokografi yang menyimpang


dari normal. Namun, saat lahir bayi dalam kondisi baik, sebaliknya juga ditemukan keadaan
dimana hasil kardiotokografi normal, tetapi ternyata baayi lahir dalam kondisi asfiksia. Hal
ini menunjukan bahwa kesalahan dalam memberikan kesimpulan pada hasil kardiotokografi
sering terjadi. Oleh karena itu, diperlukan kemampuan yang memadai untuk dapat
13
menyimpulkan hasil pemeriksaan kardiotokografi, sehingga pemeriksaan kardiotokografi
mempunyai nilai ketepatan yang cukup memadai dalam menentuka diagnosis.”

KONTRAINDIKASI KTG
Sampai saat ini belum ditemukan kontra-indikasi pemeriksaan KTG terhadap ibu maupun
janin.

CARA MENGINTERPRETASI HASIL KTG

Non-stress test (NST)


Pemeriksaan ini dilakukan untuk menilai hubungan gambaran DJJ dan aktivitas janin.
Cara pemeriksaan ini dikenal juga dengan nama aktokardiografi, atau fetal activity
acceleration determination (FAD; FAAD). Penilaian dilakukan terhadap frekuensi dasar DJJ,
variabilitas, dan timbulnya akselerasi yang menyertai gerakan janin.

Tehnik pemeriksaan NST


1. Pasien berbaring dalam posisi semi-Fowler, atau sedikit miring ke kiri. Halini
berguna untuk memperbaiki sirkulasi darah ke janin dan mencegah terjadinya
hipotensi.
2. Sebelum pemeriksaan dimulai, dilakukan pengukuran tensi, suhu, nadi, dan
frekuensi pernafasan ibu. Kemudian selama pemeriksaan dilakukan, tensi diukur
setiap 10-15 menit (hasilnya dicatat pada kertas KTG).
3. Aktivitas gerakan janin diperhatikan dengan cara:
a. Menanyakan kepada pasien.
b. Melakukan palpasi abdomen.
c. Melihat gerakan tajam pada rekaman tokogram (kertas KTG).
Bila dalam beberapa menit pemeriksaan tidak terdapat gerakan janin, dilakukan
perangsangan janin, misalnya dengan menggoyang kepala atau bagian janin lainnya,
atau dengan 14 rangsang vibro-akustik (dengan membunyikan bel, atau dengan
menggunakan alat khusus untuk keperluan tersebut).
4. Perhatikan frekuensi dasar DJJ (normal antara 120 – 160 dpm).
5. Setiap terjadi gerakan janin diberikan tanda pada kertas KTG.
6. Perhatikan variabilitas DJJ (normal antara 5 – 25 dpm).

14
7. Lama pemeriksaan sedikitnya 20 menit.

Interpretasi NST
 Reaktif:
a. Terdapat gerakan janin sedikitnya 2 kali dalam 20 menit, disertai dengan akselerasi
sedikitnya 15 dpm.
b. Frekuensi dasar djj di luar gerakan janin antara 120 – 160 dpm.
c. Variabilitas djj antara 5 – 25 dpm.
 Non-reaktif:
a. Tidak terdapat gerakan janin dalam 20 menit, atau tidak terdapat akselerasi pada
gerakan janin.
b. Frekuensi dasar djj abnormal (kurang dari 120 dpm, atau lebih dari 160 dpm).
c. Variabilitas djj kurang dari 2 dpm.
 Meragukan:
a. Gerakan janin kurang dari 2 kali dalam 20 menit, atau terdapat akselerasi yang kurang
dari 15 dpm.
b. Frekuensi dasar djj abnormal.
c. Variabilitas djj antara 2 – 5 dpm.
Hasil NST yang reaktif biasanya diikuti dengan keadaan janin yang baik sampai 1
minggu kemudian (spesifisitas 95% - 99%). Hasil NST yangnon-reaktif disertai dengan
keadaan janin yang jelek (kematian perinatal, nilai Apgar rendah, adanya deselerasi
lambat intrapartum), dengan sensitivitas sebesar 20%. Hasil NST yang meragukan harus
diulang dalam waktu 24 jam. Oleh karena rendahnya nilai sensitivitas NST, maka setiap
hasil NST yang non-reaktif sebaiknya dievaluasi lebih lanjut dengan contraction stress
test (CST), selama tidak ada kontraindikasi.

Contraction stress test (CST)


Pemeriksaan ini menilai hubungan gambaran djj dan kontraksi uterus. Dalam
pemeriksaan ini dilakukan pengamatan terhadap frekuensi dasar DJJ, variabilitas, dan
perubahan djj akibat kontraksi uterus.

15
Tehnik pemeriksaan CST
1. Pasien berbaring dalam posisi semi-Fowler, atau sedikit miring ke kiri.
2. Sebelum pemeriksaan dimulai, dilakukan pengukuran tensi, suhu, nadi,dan frekuensi
pernafasan ibu. Kemudian selama pemeriksaan dilakukan, tensi diukur setiap 10-15
menit (dicatat pada kertas KTG).
3. Perhatikan timbulnya kontraksi uterus, yang dapat dilihat pada kertas KTG. Kontraksi
uterus dianggap adekuat bila terjadi 3 kali dalam 10 menit.
4. Bila tidak terjadi kontraksi uterus setelah beberapa menit pemeriksaan, dilakukan
stimulasi, misalnya dengan cara Pemberian oksitosin (inhalasi,sublingual, atau
16ntrau). Stimulasi dilakukan sampai timbul kontraksi yang adekuat. Apabila selama
stimulasi terjadi deselerasi lambat meskipun kontraksi belum adekuat, maka
pemeriksaan harus segera dihentikan dan hasilnya dinyatakan positif.
5. Pengamatan dilakukan terhadap frekuensi dasar DJJ, variabilitas, dan perubahan djj
akibat kontraksi.
6. Pemeriksaan dianggap cukup bila didapatkan kontraksi yang adekuat selama 10
menit. Stimulasi oksitosin harus segera dihentikan, dan pasien diawasi terus sampai
kontraksi menghilang.

Interpretasi CST

1. Negatif:
a. Frekuensi dasar djj normal.
b. Variabilitas DJJ normal.
c. Tidak terdapat deselerasi lambat.

2. Positif:
a. Deselerasi lambat yang persisten pada setiap kontraksi.
b. Deselerasi lambat yang persisten meskipun kontraksi tidak adekuat
c. Deselerasi 16ntraute berat yang persisten pada setiap kontraksi.
d. Variabilitas DJJ berkurang atau menghilang.

3. Mencurigakan(suspicious):
a. Deselerasi lambat yang intermiten pada kontraksi yang adekuat.
16
b. Deselerasi (derajat ringan atau sedang).
c. Frekuensi dasar djj abnormal.
Bila hasil CST mencurugakan, pemeriksaan harus diulangi dalam 24 jam

4. Tidak memuaskan (unsatisfactory) :


a. Hasil perekaman tidak baik, misalnya oleh karena ibu gemuk, atau gerakan janin yang
berlebihan.
b. Tidak terdapat kontraksi yang adekuat.
Dalam keadaan ini pemeriksaan harus diulangi dalam 24 jam

5. Hiperstimulasi :
a. Terdapat kontraksi 5 kali atau lebih dalam 10 menit; atau lama kontraksi lebih dari 90
detik.
b. Seringkali disertai deselerasi lambat atau bradikardia.
Dalam keadaan ini, harus waspada kemungkinan terjadinya hipoksia janin yang
berlanjut sehingga bukan tidak mungkin terjadi asfiksia janin. Hal yang perlu dilakukan
adalah segera menghentikan pemriksaan dan berikan obat-obat penghilang kontraksi uterus
(tokolitik), diberikan oksigen pada ibu dan tidur miring untuk memperbaiki sirkulasi uteri-
plasenta

Hasil CST yang mencurigakan harus terus diobservasi secara ketat (CST diulang
setiap 30 – 60 menit); bila memungkinkan dilakukan pemeriksaan Ph darah janin. Hasil CST
yang tidak memuaskan harus diulang dalam waktu 24 jam. Bila terdapat hiperstimulasi,
kontraksi harus segera dihilangkan (tokolisis) dan kehamilan/persalinan diakhiri.

Kontraindikasi CST

1. Mutlak:
a. Adanya risiko uteri: bekas seksio sesarea klasik, riwayat
b. miomektomi, dsb.
c. Perdarahan antepartum: plasenta previa, solusio plasenta.
d. Ketuban pecah dini.
e. Tali pusat terkemuka.
f. Vasa previa.

17
2. Relatif:
a. Persalinan preterm.
b. Kehamilan kembar (< 36 minggu).
c. Inkompetensia serviks.

18
BAB III
KESIMPULAN

 Pemantauan kesejahteraan janin sudah merupakan suatu kompetensi yang harus


dimiliki oleh tenaga medis dan paramedis yang melakukan asuhan antenatal dan
asuhan persalinan
 Alat kardiotokografi (KTG) merupakan alat bantu didalam pemantauan kesejahteraan
janin, melalui penilaian pola denyut jantung janin dalam hubungannya dengan adanya
kontraksi ataupun aktivitas janin.
 Pada KTG ada tiga bagian besar kondisi yang dipantau, yaitu denyut jantung janin
(DJJ), kontraksi rahim, dan gerak janin serta korelasi diantara ketiga parameter
tersebut.
 Pemberian kesimpulan pada hasil kardiotokografi sering terjadi. Oleh karena itu,
diperlukan kemampuan yang memadai untuk dapat menyimpulkan hasil pemeriksaan
kardiotokografi, sehingga pemeriksaan kardiotokografi mempunyai nilai ketepatan
yang cukup memadai dalam menentukan diagnosis.

19
DAFTAR PUSTAKA

1. Agus Abadi : Kardiotokografi Janin dan Velosimetri Doppler, dalam buku Ilmu Kebidanan
Sarwono Prawiroharjo. PT Bina Pustaka Sarwono Prawiharjdjo. Jakarta 2010.

2. Karsono B. Kardiotokografi : Pemantauan Elektronik Denyut Jantung Janin. Bagian


Obstetri dan Ginekologi FKUI/RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo, Jakarta.

20

You might also like