You are on page 1of 4

1.

Contoh Korupsi Melibatan Keluarga

Bupati Empat Lawang Budi Antoni Aljufri dan Suzanna Budi Antoni

Bupati Empat Lawang Budi Antoni Aljufri dan istrinya, Suzannna Budi Antoni, ditetapkan
sebagai tersangka kasus suap sengketa Pilkada di MK. Pelaksana Tugas Wakil Ketua KPK
Johan Budi Sapto Pribowo menjelaskan, kasus ini merupakan pengembangan penyidikan dari
kasus yang menjerat Akil Mochtar.

Dalam putusan kasasi Akil, Budi dan Suzanna terbukti menyuap senilai Rp 10 miliar dan
US$ 500 ribu. Keduanya pun diduga melanggar Pasal 6 ayat 1 huruf a UU Tipikor juncto
Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP. Selain itu, keduanya disangka telah memberikan keterangan
palsu saat bersaksi untuk Akil di Pengadilan Tipikor, Jakarta. Mereka dijerat pasal 22 juncto
pasal 35 ayat 1 UU Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dalam UU Nomor 20 Tahun
2001 tentang Pemberantasan Tipikor.

Merujuk risalah sidang sengketa Nomor: 71/PHPU.D-XI/2013 pada tanggal 31 Juli 2013,
majelis hakim MK membatalkan Berita Acara Rekapitulasi Hasil Penghitungan Suara
Pemilihan Umum Bupati dan Wakil Bupati Empat Lawang yang memenangkan Joncik
Muhammad dan Ali Halimi. Majelis hakim yang diketuai Akil Mochtar ini memutuskan
pemenang yang sah adalah Budi Antoni Aljufri dan Syahril Hanafiah.

MK memutuskan Budi Antoni dan Syahril meraup 63.027 suara sah. Sementara Joncik dan
Ali hanya mengantongi 62.051 suara. Pasangan lainnya, Syamsul Bahri dan Ahmad
Fahruruzam sebanyak 3.456 suaraomisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menetapkan Bupati
Empat Lawang Budi Antoni Aljufri dan istrinya, Suzannna Budi Antoni, sebagai tersangka
kasus suap sengketa Pilkada di MK.

2. Contoh kasus Political Corruption


Gurita Korupsi di Reklamasi Teluk Jakarta

Dalam beberapa tahun terakhir ini, KPK menyerukan adanya indikasi aliran uang haram di
wilayah sumber daya alam. Akan tetapi beberapa kali KPK melancarkan OTT di ranah
tersebut tampaknya tidak membuat paha pihak terkait merasa jera.
Dimasa kepemimpinan Agus Rahardjo Cs, misi pembersihn tindak pidana korupsi masih
dilakukan. Salah satunya terlihat ketika seorang anggota DPRD DKI Jakarta Muhammad
Sanusi digiring ke KPK terkait dengan kasus reklamasi Teluk Jakarta.

Sanusi tertangkap tangan telah menerima uang sebesar Rp 2 miliar dari Ariesman Widjaja
yang saat itu menjadi bos perusahaan property ternama, PT Agung Podomoro Landuang itu
disampaikan oleh Ariesman melalui anak buahnya, Trinanda Prihantoro.

Kasus reklamasi Teluk Jakarta ini sangat mencuri perhatian publik. Apalagi saat itu banyak
nama-nama tenar yang mencuat ke permukaan yang disebut-sebut terlibat dalam arus korupsi
itu. Diantaranya yaitu Sugianto Kusuma alias Aguan hingga Sunny Tanuwidjaja.

Aguan yang menyandang status sebagai bos dari PT Agung Sedayu Grup itu beberapa kali
‘mampir’ ke KPK. Bahkan anak kandungnya juga turut dicecar berbagai macam pertanyaan
oleh penyidik KPK.

Tidak kalah mnegejutkan, Sunny juga dipanggil oleh penyidik KPK untuk menjelaskan kasus
Reklamasi Teluk Jakarta itu. Saat itu dia disebut sebagai staf khusus dari Basuki Tjahaja
Purnama (Ahok). Sunny pun disebut turut andil membahas tentang dua rancangan Peraturan
Daerah yaitu RTRKSPJ dan RZWP3K.

Berbagai spekulasi muncul ketika KPK meminta surat cegah ke Ditjen Imigrasi agar
mencegah Aguan, Richard dan Sunny pergi ke luar negeri. Apalagi saat iu KPK kerap
memberikan sinyal bahwa ada tersangka dalam kasus Reklamasi Teluk Jakarta itu.

Bahkan, Wakil Ketua KPK Laode M Syarif saat itu sampai mengatakan bahwa kasus itu
termasuk dalam kategori grand corruption. Syarif juga mengibaratkan kasus itu sebagai gurita
dengan banyak tentakel.

“Jadi jangan lihat dari nilai suapnya yang Rp 1 miliar itu, tapi betul grand corruption karena
tentakelnya banyak,” ujar syarif.

Publik menunggu gertakan dari pimpinan KPK itu menjadi nyata, tetapi nyatanya pengusutan
kasus ini melempem.
Di pengadilan, penuntut umun KPK hanya mengajukan tuntutan untuk Ariesman selama 4
tahun penjara. Hingga akhirnya Ariesman hanya divonis hukuman 3 tahun penjara. Angka
yang dianggap masih jauh dari harapan.

Pengusutan kasus tentang reklamasi Teluk Jakarta yang melempem ini semakin diperparah
ketika Ahok kembali mengajukan 2 raperda yang sarat dengan permainan untuk kembali
dibahas di DPRD DKI Jakarta. Tetapi KPK memberi syarat bila raperda itu tetap dilanjutkan.

3. Contoh kasus State capture coruption

Kasus Lapindo

Advokat senior Todung Mulya Lubis berpendapat, kasus lumpur Lapindo di Sidoarjo, Jawa
Timur, merupakan salah satu contoh fenomena dari "state capture corruption".
"Kasus Lapindo adalah manifestasi dari `state capture corruption`," kata Todung dalam
diskusi yang digelar Asosiasi Profesor Indonesia di Jakarta, Kamis. Ia memaparkan, `state
capture corruption` terjadi bila terdapat pihak yang berhasil menggerakkan instrumen
kekuasaan untuk mendapatkan keuntungan yang sebesar-besarnya bagi pihak tersebut.
Indikasinya, ujar Todung, adalah terdapat perilaku penyelewengan kekuasaan sehingga bisa
membebaskan pihak-pihak tertentu dari tanggung jawab yang menimpa para korban seperti
dalam kasus Lapindo.
Namun, ia masih bersyukur karena masih terdapat sejumlah orang seperti Menteri Negara
Lingkungan Hidup Rahmat Witoelar yang menyatakan tragedi Lapindo adalah hasil tindakan
manusia dan bukan bencana alam. Todung menegaskan, berbagai faktor yang mengakibatkan
tingkat korupsi masih tetap tinggi antara lain pemberantasan korupsi masih bersifat tebang
pilih, ketidakharmonisan antarlembaga penegak hukum, dan adanya fenomena "corruptor
fight back".
Di tempat terpisah, anggota DPR Taufiqurrahman Saleh mengemukakan, putusan Mahkamah
Agung (MA) yang menolak gugatan Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI)
terkait semburan lumpur di Sidoarjo sudah final dan mengikat. "MA adalah lembaga
peradilan tertinggi di negara ini. Jadi, apa pun keputusannya, semua pihak harus tunduk dan
mematuhinya," kata Taufiqurrahman.
Menurut dia, keluarnya Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) kasus semburan lumpur
Sidoarjo oleh Kepolisian Daerah Jawa Timur juga merujuk pada putusan MA. Ia
menjelaskan, keputusan MA pada intinya menyatakan bahwa semburan lumpur Sidoarjo
bukan disebabkan oleh kesalahan manusia (human error) tetapi karena bencana alam.
Menurut Taufiqurrohman, setelah keluarnya keputusan MA yang disusul dengan SP3 dari
Polda Jatim, maka pemerintah secara otomatis harus mengambilalih penanganan semburan
lumpur di Sidoarjo. "Negara berkewajiban memberikan ganti rugi kepada warga masyarakat
yang terkena bencana lumpur," katanya.

Sumber :

http://www.antaranews.com/berita/152502/todung-kasus-lapindo-adalah-state-capture-
corruption

http://indowarta.com/15873/berita-terkini-seperti-inikah-peta-gurita-korupsi-di-reklamasi-
teluk-jakarta/

https://www.cnnindonesia.com/nasional/20150729122235-12-68819/enam-pasangan-suami-
istri-di-pusaran-korupsi/3/

You might also like