You are on page 1of 14

Nama : Anissa Resprita Wicaksani

NPM : 1102012024
CASE REPORT

A.IDENTITAS PASIEN

Nama : Tn J
Umur : 48 tahun
Jenis kelamin : laki laki
Alamat : kragilan, serang
Agama : islam
Pekerjaan : satpam

B. Anamnesa
Dilakukan autoanamnesa pada tanggal 27/maret/2018 pukul 19.00 WIB

Keluhan utama :
Tidak bisa membuka mulut sejak 9 hari SMRS

Riwayat penyakit sekarang :

Pasien datang ke RSUD serang diantar oleh keluarga. Pasien mengatakan


tidak bisa membuka mulut sejak 9 hari SMRS ketika sore hari ketika ingin
berbuka puasa. Keluhan ini disertai dengan otot leher kaku. Pasien juga
mengatakan beberapa hari sebelumnya mengalami kram kram otot pada tangan
dan kakinya, tetapi pasien mengatakan sering mengorek ngorek telinga dengan
menggunakan cotton bud. Pasien mengatakan langsung berobat ke RSUDP
serang.

Riwayat penyakit dahulu :


Riwayat imunisasi

Riwayat keluarga :
-

PEMERIKSAAN FISIK :

Keadaan umum : tampak sakit sedang


Kesadaran : komposmentis
TTV : TD : 140/90 mmHg
HR : 85 x/menit
RR : 20 x/menit
T : 36,6 C
STATUS GENERALIS
Kepala
Ukuran : normocephal
Wajah : bentuk normosefali, tanpa deformitas, ricus sardonicus (-)
Mata : konjungtiva pucat (-), pupil isokor 2 mm, RCL +/+, RCTL+/+
Telinga : bentuk normal, sekret yang keluar (+)
Hidung : bentuk normal, pernafasan cuping hidung (-)
Mulut : bentuk normal, perioral sianosis, trismus 1 cm
Leher : pembengkakan kelenjar getah bening (-), tiroid (-), JVP tidak
meningkat

Thorax
Inspeksi : pergerakan dada simetris kanan dan kiri dalam keadaan statis dan
dinamis, retraksi (-)
Palpasi : massa (-), krepitasi (-), fremitus vocal dan taktil simetris kanan dan kiri
Perkusi : sonor pada kedua lapang paru
Auskultasi : vesikuler +/+, rhonki -/-, wheezing -/-

Jantung
Inspeksi : iktus kordis tidak tampak
Palpasi : iktus kordis teraba pada ICS IV linea midclavicula sinistra,
batas jantung kanan pada ICS IV linea sternalis dextra,
batas jantung kiri pada ICS IV linea midclavicula sinistra,
batas pinggang jantung pada ICS III linea parasternalis sinistra
Auskultasi : BJ I dan II reguler, murmur (-), gallop (-)

Abdomen
Inspeksi : tampak datar, sikatrik (-), hiperemis (-), massa (-)
Palpasi : massa (-), hepatomegali (-), splenomegali (-), turgor kulit cepat,
nyeri tekan (-), defans muskular (+)
Perkusi : timpani pada seluruh lapang abdomen
Auskultasi : bising usus (+) dalam batas normal

Ekstremitas:
Ekstremitas atas :
Akral hangat, CRT < 2 detik, edema (-/-), deformitas (-/-)
Ekstremitas bawah :
Akral hangat, CRT < 2 detik, edema (-/-), deformitas (-/-)
Kulit : eritema (-), sianosis (-), ikterik (-)

STATUS LOKALIS

Trismus
Defans muscular
Spasme otot
Kejang rangsang
Kejang spontan
Motorik :
5|5
5|5

Refleks fisiologis :
Biceps: +/+
Triceps: +/+
KPR: +/+
APR: +/+

Refleks patologis :
Babinski : ­/­Chaddock: ­/­Schaefer: ­/­
Openheim: ­/­Gordon: ­/­Hoffman Trommer: ­/­

Diagnosa klinis : trismus, defans muscular, spasme otot otot


Diagnose topis : neuromuscular junction
Diagnose etiologi : clostridium tetani

Pemeriksaan anjuran :
EKG
Pemeriksaan elektrolit

Terapi :
NaCL 0,9 %
Inj tetagam
Inj ceftriaxon 1 gr
Inj metronidazol

Prognosa :

Derajat I ( kasus ringan ), terdapat satu kriteria, biasanya kriteria 1 atau 2 ( tidak
ada kematian )

Derajat II ( kasus sedang ), terdapat 2 kriteria, biasanya kriteria 1 atau 2.


Biasanya masa inkubasi lebih dari 7 hari dan onset lebih dari 48 jam ( kematian
10 % )

Derajat III ( kasus berat ), terdapat 3 kriteria, biasanya masa inkubasi kurang dari
7 hari atau onset kurang dari 48 jam ( kematian 32 % )

Derajat IV ( kasus sangat berat ), terdapat minimal 4 kriteria ( kematian 60 % )

Derajat V, bila terdapat 5 kriteria termasuk puerpurium dan tetanus neonatorum


( kematian 84 % )
TINJAUAN PUSTAKA

Tetanus merupakan penyakit yang sering ditemukan, dimana masih


terjadi di masyarakat terutama masyarakat kelas menengah ke bawah. Di RSU Dr.
Soetomo sebagian besar pasien tetanus berusia > 3 tahun dan < 1 minggu (1).
Angka kejadian tetanus tinggi di negara-negara berkembang, terutama
disebabkan kontaminasi tali pusat, infeksi telinga kronik, luka tusuk pada anak
usia sekolah, sirkumsisi pada laki-laki, kehamilan dengan abortus. Penyakit ini
dapat dicegah dengan imunisasi, akan tetapi angka kejadiannya masih tetap
tinggi dengan angka kematian yang tinggi pula (2)
. Di negara maju, kasus tetanus
jarang ditemui. Karena penyakit ini terkait erat dengan masalah sanitasi dan
kebersihan selama proses kelahiran. Kasus tetanus memang banyak dijumpai di
sejumlah negara tropis dan negara yang masih memiliki kondisi kesehatan
rendah (4).

Batasan
Tetanus adalah suatu penyakit toksemik akut yang disebabkan oleh
Clostridium tetani, dengan tanda utama kekakuan otot (spasme), tanpa disertai
gangguan kesadaran (3)
. Gejala ini bukan disebabkan oleh kuman clostridium
tetani, tetapi akibat toksin (tetanospasmin) yang dihasilkan kuman (1).

Etiologi
Clostridium tetani termasuk kuman yang hidup tanpa oksigen (anaerob),
dan membentuk spora. Spora ini mampu bertahan hidup terhadap lingkungan
panas, antiseptic, dan jaringan tubuh, sampai berbulan-bulan. Kuman yang
berbentuk batang ini sering terdapat dalam kotoran hewan dan manusia, dan
bisa menyebar lewat debu atau tanah yang kotor, dan mengenai luka (5)
.
Clostridium tetani merupakan kuman gram positif, menghasilkan eksotoksin
yang neurotoksik, dapat larut dan O2 labil (6).

Epidemiologi
Penyakit ini tersebar di seluruh dunia, terutama pada daerah resiko tinggi
dengan cakupan imunisasi DPT yang rendah. Reservoir utama kuman ini adalah
tanah yang mengandung kotoran ternak sehingga resiko penyakit ini di daerah
peternakan sangat tinggi. Spora kuman Clostridium tetani yang tahan kering
dapat bertebaran di mana-mana.
Port of entry tak selalu dapat diketahui dengan pasti, namun dapat diduga
melalui :
1. Luka tusuk, gigitan binatang, luka bakar.
2. Luka operasi yang tidak dirawat dan dibersihkan dengan baik.
3. OMP, caries gigi.
4. Pemotongan tali pusat yang tidak steril.
5. Penjahitan luka robek yang tidak steril (1).

Patogenesis
Spora kuman tetanus yang ada di lingkungan dapat berubah menjadi
bentuk vegetatif bila ada dalam lingkungan anaerob, dengan tekanan oksigen
jaringan yang rendah. Kuman ini dapat membentuk metalo-exotosin tetanus,
yang terpenting untuk manusia adalah tetanospasmin. Gejala klinis timbul
sebagai dampak eksotoksin pada sinaps ganglion spinal dan neuromuscular
junction serta syaraf otonom. Toksin dari tempat luka menyebar ke motor
endplate dan setelah masuk lewat ganglioside dijalarkan secara intraaxonal
kedalam sel saraf tepi, kemudian ke kornu anterior sumsum tulang belakang,
akhirnya menyebar ke SSP. Manifestasi klinis terutama disebabkan oleh
pengaruh eksotoksin terhadap susunan saraf tepi dan pusat. Pengaruh tersebut
berupa gangguan terhadap inhibisi presinaptik sehingga mencegah keluarnya
neurotransmiter inhibisi yaitu GABA dan glisin, sehingga terjadi eksitasi terus-
menerus dan spasme. Kekakuan dimulai pada tempat masuk kuman atau pada
otot masseter (trismus), pada saat toxin masuk ke sungsum belakang terjadi
kekakuan yang makin berat, pada extremitas, otot-otot bergaris pada dada, perut
dan mulia timbul kejang. Bilamana toksin mencapai korteks cerebri, penderita
akan mulai mengalami kejang umum yang spontan. Tetanospasmin pada sistem
saraf otonom juga berpengaruh, sehingga terjadi gangguan pada pernafasan,
metabolisme, hemodinamika, hormonal, saluran cerna, saluran kemih, dan
neuromuskular. Spame larynx, hipertensi, gangguan irama jantung, hiperpirexi,
hyperhydrosis merupakan penyulit akibat gangguan saraf otonom, yang dulu
jarang dilaporkan karena penderita sudah meninggal sebelum gejala timbul.
Dengan penggunaan diazepam dosis tinggi dan pernafasan mekanik, kejang
dapat diatasi namun gangguan saraf otonom harus dikenali dan dikelola dengan
teliti (3).

Gejala Klinis
Masa inkubasi tetanus umumnya antara 3-12 hari, namun dapat singkat
1-2 hari dan kadang lebih satu bulan; makin pendek masa inkubasi makin buruk
prognosis. Terdapat hubungan antara jarak tempat masuk kuman Clostridium
tetani dengan susunan saraf pusat, dengan interval antara terjadinya luka dengan
permulaan penyakit; makin jauh tempat invasi, masa inkubasi makin panjang (2).
Tetanus tak segera dapat terdeteksi karena masa inkubasi penyakit ini
berlangsung hingga 21 hari setelah masuknya kuman tetanus ke dalam tubuh.
Pada masa inkubasi inilah baru timbul gejala awalnya. Gejala penyakit tetanus
bisa dibagi dalam tiga tahap, yaitu :
-Tahap awal
Rasa nyeri punggung dan perasaan tidak nyaman di seluruh tubuh
merupakan gejala awal penyakit ini. Satu hari kemudian baru terjadi kekakuan
otot. Beberapa penderita juga mengalami kesulitan menelan. Gangguan terus
dialami penderita selama infeksi tetanus masih berlangsung.
-Tahap kedua
Gejala awal berlanjut dengan kejang yang disertai nyeri otot pengunyah
(Trismus). Gejala tahap kedua ini disertai sedikit rasa kaku di rahang, yang
meningkat sampai gigi mengatup dengan ketat, dan mulut tidak bisa dibuka
sama sekali. Kekakuan ini bisa menjalar ke otot-otot wajah, sehingga wajah
penderita akan terlihat menyeringai (Risus Sardonisus), karena tarikan dari otot-
otot di sudut mulut.
Selain itu, otot-otot perut pun menjadi kaku tanpa disertai rasa nyeri.
Kekakuan tersebut akan semakin meningkat hingga kepala penderita akan
tertarik ke belakang. (Ophistotonus). Keadaan ini dapat terjadi 48 jam setelah
mengalami luka.
Pada tahap ini, gejala lain yang sering timbul yaitu penderita menjadi
lambat dan sulit bergerak, termasuk bernafas dan menelan makanan. Penderita
mengalami tekanan di daerah dada, suara berubah karena berbicara melalui
mulut atau gigi yang terkatub erat, dan gerakan dari langit-langit mulut menjadi
terbatas.
-Tahap ketiga
Daya rangsang dari sel-sel saraf otot semakin meningkat, maka terjadilah
kejang refleks. Biasanya hal ini terjasi beberapa jam setelah adanya kekakuan
otot. Kejang otot ini bisa terjadi spontan tanpa rangsangan dari luar, bisa pula
karena adanya rangsangan dari luar. Misalnya cahaya, sentuhan, bunyi-bunyian
dan sebagainya. Pada awalnya, kejang ini hanya berlangsung singkat, tapi
semakin lama akan berlangsung lebih lama dan dengan frekuensi yang lebih
sering.
Selain dapat menyebabkan radang otot jantung (mycarditis), tetanus
dapat menyebabkan sulit buang air kecil dan sembelit. Pelukaan lidah, bahkan
patah tulang belakang dapat terjadi akibat adanya kejang otot hebat. Pernafasan
pun juga dapat terhenti karena kejang otot ini, sehingga beresiko kematian. Hal
ini disebabkan karena sumbatan saluran nafas, akibat kolapsnya saluran nafas,
sehingga refleks batuk tidak memadai, dan penderita tidak dapat menelan (5).
Secara klinis, tetanus dibedakan atas :
1) Tetanus lokal
Ditandai dengan rasa nyeri dan spasmus otot di bagian proksimal luka;
gejala ini dapat terjadi selama beberapa minggu dan menghilang tanpa gejala
sisa. Bentuk ini dapat berkembang menjadi bentuk umum; kasus fatal kira-kira
1%.
2) Tetanus umum
Merupakan bentuk tetanus yang paling banyak dijumpai, dapat timbul
mendadak, trismus merupakan gejala awal yang paling sering dijumpai. Spasmus
otot maseter dapat terjadi bersamaan dengan kekakuan otot leher dan kesukaran
menelan, biasanya disertai kegelisahan dan iritabilitas. Trismus yang menetap
menyebabkan ekspresi wajah yang karakteristik berupa risus sardonicus.
Kontraksi otot meluas, pada otot-otot perut menyebabkan perut papan dan
kontraksi otot punggung yang menetap menyebabkan opistotonus; dapat timbul
kejang tetani bermacam grup otot, menimbulkan aduksi lengan dan ekstensi
ekstremitas bawah. Selama periode ini penderita berada dalam kesadaran penuh.
3) Tetanus sefalik
Jenis ini jarang dijumpai; masa inkubasi 1-2 hari, biasanya setelah luka di
kepala, wajah atau otitis media; banyak kasus berkembang menjadi tipe umum.
Tetanus tipe ini mempunyai prognosis buruk (2).

Komplikasi
1. Laserasi otot
2. Fraktur
3. Eksitasi syaraf simpatis
4. Infeksi sekunder oleh kuman lain
5. Dehidrasi
6. Aspirasi (6).

Langkah Diagnostik
Anamnesis
· Riwayat mendapat trauma (terutama luka tusuk), pemotongan dan perawatan
tali pusat yang tidak steril, riwayat menderita otitis media supurativa kronik
(OMSK), atau gangren gigi.
· Riwayat anak tidak diimunisasi/ tidak lengkap imunisasi tetanus/ BUMIL/
WUS.
Pemeriksaan fisik
· Adanya kekakuan lokal atau trismus.
· Adanya kaku kuduk, risus sardonicus, opisthotonus, perut papan.
· Kekakuan extremitas yang khas : flexi tangan, extensi kaki dan adanya
penyulit (3).

Diagnosis Banding
1. Infeksi : meningoensefalitis, polio, rabies, lesi orofaring, peritonitis.
2. Gangguan metabolik : tetani, keracunan strichnin, reaksi fenotiasin.
3. Penyakit SSP : status epileptikus, perdarahan atau tumor.
4. Gangguan psikiatri : histeria (6).
Web of Caution (Hubungan Sebab Akibat)
Terpapar kuman Clostridium

Eksotoksin

Pengangkutan toksin melewati saraf

Ganglion
Sumsum Tulang Otak Saraf Otonom

Tonus otot  Menempel pada Cerebral Mengenai Saraf Simpatis


Gangliosides

Menjadi kaku Kekakuan dan kejang khas -Keringat berlebihan


pada tetanus -Hipertermi
-Hipotermi
-Aritmia
Hilangnya keseimbangan tonus
-Takikardi

Kekakuan Hipoksia berat

Sistem Sistem  O2 di otak

Kesadaran 

-Ggn. Eliminasi -Ketidakefektifan jalan -PK. Hipoksemia


-Ggn. Nutrisi (< dr. kebut) jalan nafas -Ggn. Perfusi Jaringan
-Gangguan Komunikasi -Ggn. Pertukaran Gas
Verbal -Kurangnya
pengetahuan
Ortu
-Dx,Prognosa,

Tatalaksana
3 Terapi dasar tetanus :
Antibiotik diberikan selama 10 hari, 2 minggu bila ada komplikasi
· injeksi ceftriaxon 1 gram
· Metronidazol loading dose 15 mg/kg BB/jam, selanjutnya 7,5 mg/kg BB tiap 6
jam
Catatan : Bila ada sepsis/pneumonia dapat ditambahkan antibiotika yang sesuai.
Imunisasi aktif-pasif
· Anti tetanus serum (ATS) dosisnya 50.000 IU , diberikan intramuskular.
Untuk neonatus bisa diberikan iv; apabila tersedia dapat diberikan Human
tetanus immunoglobulin (HTIG) 3000-6000 IU i.m.
· Dilakukan imunisasi DT/TT/DTP pada sisi yang lain, pada saat bersamaan.

Muscle relaxant
Pada dasarnya kejang diatasi dengan diazepam, dosis disesuaikan dengan respon
klinik (titrasi) :
· Bila datang dengan kejang diberi diazepam :
- neonatus bolus 5 mg iv
- anak bolus 10 mg iv
· Dosis rumatan maximal :
- anak 240 mg/hari
- neonatus 120 mg/hari
· Bila dengan dosis 240 mg/hari masih kejang (tetanus sangat berat), harus
dilanjutkan dengan bantuan ventilasi mekanik, dosis diazepam dapat
ditingkatkan sampai 480 mg/hari, dengan atau tanpa kurarisasi.
· Diazepam sebaiknya diberikan dengan syringe pump, jangan dicampur dalam
botol cairan infus. Bilamana tidak ada syringe pump, diberikan bolus tiap 2
jam (12 x/hari)
· Dapat dipertimbangkan penggunaan anti konvulsan lain, seperti magnesium
sulfat, bilamana ada gangguan saraf otonom.
Perawatan luka atau port d’entree yang dicurigai, dilakukan sekaligus dengan
pembuangan jaringan yang diduga mengandung kuman dan spora
(debridemant), sebaiknya dilakukan setelah diberi antitoksin dan anti-konvulsi.

Terapi suportif
· Bebaskan jalan nafas
· Hindarkan aspirasi dengan menghisap lendir perlahan-lahan & memindah-
mindahkan posisi pasien)
· Pemberian oksigen
· Perawatan dengan stimulasi minimal
· Pemberian cairan dan nutrisi adekuat, bila perlu dapat dipasang sonde
nasogastrik, asal tidak memperkuat kejang
· Bantuan nafas pada tetanus berat atau tetanus neonatorum
· Pemantauan/monitoring kejang dan tanda penyulit
Tetanus ringan dan sedang
Diberikan pengobatan tetanus dasar
Tetanus sedang
· Terapi dasar tetanus
· Perhatian khusus pada keadaan jalan nafas (akibat kejang dan aspirasi)
· Pemberian cairan parenteral, bila perlu nutrisi secara parenteral.
Tetanus berat/sangat berat
· Terapi dasar seperti di atas
· Perawatan dilakukan di ICU, diperlukan intubasi atau tracheostomi
· Balans cairan dimonitor secara ketat.
· Apabila spasme sangat hebat (tetanus berat), perlu ventilasi mekanik dengan
pankuronium bromida 0,02 mg/kg bb intravena, diikuti 0,05 mg/kg bb/kali,
diberikan tiap 2-3 jam.
· Apabila terjadi aktifitas simpatis yang berlebihan, berikan b-blocker seperti
propanolol/a dan b- blocker labetalol (3).

Pencegahan
1. Perawatan luka harus dicegah timbulnya jaringan anaerob pada pasien
termasuk adanya jaringan mati dan nanah.
2. Pemberian ATS profilaksis.
3. Imunisasi aktif.
4. Khusus untuk mencegah tetanus neonatorum perlu diperhatikan kebersihan
pada waktu persalinan terutama alas tempat tidur, alat pemotong tali pusat,
dan cara perawatan tali pusat.
5. Pendidikan atau penjelasan kepada orang tua mengenai kebersihan individu
dan lingkungan serta cara pemeriksaan dan perawatan di RS dan perlunya
pemeriksaan lanjutan (1).

I. Imunisasi aktif
a. Imunisasi dasar DPT diberikan tiga kali sejak usia 2 bulan dengan interval 4-
6 minggu, ulangan pada umur 18 bulan dan 5 tahun (lihat Bab Jadwal
Imunisasi).
b. Eliminasi tetanus neonatorum dilakukan dengan imunisasi TT pada ibu
hamil, wanita usia subur, minimal 5 x suntikan toksoid. (untuk mencapai
tingkat TT lifelong-card).
II. Pencegahan pada luka
 Luka dibersihkan, jaringan nekrotik dan benda asing dibuang
 Luka ringan dan bersih
- Imunisasi lengkap : tidak perlu ATS atau tetanus imunoglobulin
- Imunisasi tidak lengkap : imunisasi aktif DPT/DT.
· Luka sedang/berat dan kotor
- Imunisasi (-)/tidak jelas : ATS 3000-5000 U, atau tetanus
imunoglobulin 250-500 U. Toksoid tetanus pada sisi lain.
- Imunisasi (+), lamanya sudah > 5 tahun : ulangan toksoid, ATS 3000-
5000 U, tetanus imunoglobulin 250-500 U (3).

Monitoring
I. Sekuele
 Spasme berkurang setelah 2-3 minggu, namun kekakuan dapat terus
berlangsung lebih lama.
 Kekakuan dapat tetap berlangsung sampai 6-8 minggu pada kasus yang
berat.
 Gangguan otonom biasanya dimulai beberapa hari setelah kejang dan
berlangsung selama 1-2 minggu.

II. Tumbuh Kembang


 Infeksi tetanus pada anak merupakan infeksi yang akut sehingga relatif
tidak mengganggu tumbuh kembang anak.
 Sedangkan pada tetanus neonatorum, dapat terjadi gangguan tumbuh
kembang oleh karena hipoksia yang berat (3).

REFERENSI

1. Swatz MH. Buku ajar diagnostic fisik. Jakarta: EGC, 2002


2. Mardjono M, Sidartha P. neurologi klinis dasar. Jakarta: penerbit
Dian Rakyat, 2010
3. Price SA, Wilson LM. Patofiologi konsep klinis proses proses
penyakit jilid 2. Jakarta : EGC,2006

You might also like