You are on page 1of 19

Latar Belakang

Fraktur atau patah tulang adalah terputusnya kontinuitas tulang atau tulang rawan
umumnya di karenakan rudapaksa (Mansjoer, 2016). Penyebab terbanyaknya adalah
insiden kecelakaan, tetapi factor lain seperti proses degeneratif dan osteoporosis juga
dapat berpengaruh terhadap terjadinya fraktur (Depkes RI, 2011). Selain itu fraktur
akan bertambah dengan adanya komplikasi yang berlanjut diantaranya syok, sindrom
emboli lemak, sindrom kompartement, kerusakan arteri, infeksi, dan avaskuler
nekrosis. Komplikasi lain dalam waktu yang lama akan terjadi mal union, delayed
union, non union atau bahkan perdarahan (Price, 2006). Berbagai tindakan bisa
dilakukan di antaranya rekognisi, reduksi, retensi, dan rehabilitasi. Meskipun demikian
masalah pasien fraktur tidak bisa berhenti sampai itu saja dan akan berlanjut sampai
tindakan setelah atau post operasi.
Cedera kepala merupakan salah satu penyebab kematian utama dikalangan usia
produktif khususnya di negara berkembang. Di negara berkembang seperti Indonesia,
perkembangan ekonomi dan industri memberikan dampak frekuensi cedera kepala
cenderung semakin meningkat, dan merupakan salah satu kasus yang paling sering
dijumpai di ruang gawat darurat rumah sakit. Berdasarkan beratnya, cedera kepala
dibagi atas ringan, sedang dan berat. Pembagian ringan, sedang dan berat ini dinilai
melalui Glasgow Coma Scale (GCS). Yang dinilai dari pemeriksaan ini adalah tingkat
penurunan terbukanya mata, respon verbal, dan respon motorik dari penderita cedera
kepala. Cedera kepala dikatakan ringan bila derajat GCS total adalah 14-15, sedang
bila derajat GCS total adalah 9-13, dan berat bila derajat GCS total 3-8. Computerized
tomography scanning merupakan langkah utama untuk menunjukkan adanya lesi
intrakranial, perluasan serta lokasinya. Pemeriksaan ini merupakan metode diagnostik
standar terpilih (gold standart) untuk kasus cedera kepala mengingat selain prosedur
ini tidak invasif (sehingga aman), juga memiliki kehandalan yang tinggi (Manarasip,
2014)
Definisi
Toraks merupakan rongga yang berbentuk kerucut, pada bagian bawah lebih
besar dari pada bagian atas dan pada bagian belakang lebih panjang dari pada bagian
depan. Pada rongga toraks terdapat paru-paru dan mediatinum. Mediastinum adalah
ruang didalam rongga dada diantara kedua paru-paru, di dalam rongga toraks terdapat
beberapa sistem diantaranya yaitu; sistem pernapasan dan peredaran darah. Organ yang
terletak dalam rongga dada yaitu; esophagus, paru, hati, jantung, pembuluh darah dan
saluran limfe. Kerangka toraks meruncing pada bagian atas dan berbentuk kerucut
terdiri dari sternum, dua belas pasang kosta, sepuluh pasang kosta yang berakhir
dianterior dalam segmen tulang rawan dan dua pasang kosta yang melayang. Tulang
kosta berfungsi melindungi organ vital rongga toraks seperti jantung, paru-paru, hati
dan Lien (Assi et al, 2012). Jika terjadi trauma maka dapat mengganggu system
pernapasan.

Fraktur Costae adalah terputusnya kontinuitas jaringan tulang / tulang rawan y


angdisebabkan oleh rudapaksa pada spesifikasi lokasi pada tulang
costa.Fraktur costa akan menimbulkan rasa nyeri, yang mengganggu proses respirasi,
disamping itu adanya komplikasi dan gangguan lain yang menyertai
memerlukan perhatiankhusus dalam penanganan terhadap fraktur ini. Pada anak
fraktur costa sangat jarang dijumpaioleh karena costa pada anak masih sangat lentur.
Cedera kepala adalah suatu trauma yang mengenai kulit kepala, tulang
tengkorak atau otak yang terjadi akibat injury baik secara langsung maupun tidak
langsung, dengan disertai atau tanpa disertai perdarahan yang mengakibatkan
gangguan fungsi otak. Menurut Brain Injury Association of America, cedera kepala
adalah suatu kerusakan pada kepala, bukan bersifat kongenital ataupun degeneratif,
tetapi disebabkan oleh serangan atau benturan fisik dari luar, yang dapat mengurangi
atau mengubah kesadaran yang mana menimbulkan kerusakan kemampuan kognitif
dan fungsi fisik (Langlois et al. 2006).

Etiologi
Trauma pada toraks dapat dibagi 2 yaitu oleh karena trauma tumpul dan trauma tajam.
Penyebab trauma toraks tersering adalah kecelakaan kendaraan bermotor (63-78%).
Dalam trauma akibat kecelakaan, ada lima jenis tabrakan (impact) yang berbeda, yaitu
depan, samping, belakang berputar, dan terguling. Oleh karena itu harus
dipertimbangkan untuk mendapatkan riwayat yang lengkap karena setiap orang
memiliki pola trauma yang berbeda. Penyebab trauma toraks oleh karena trauma tajam
dibedakan menjadi 3 berdasarkan tingkat energinya, yaitu berenergi rendah seperti
trauma tusuk, berenergi sedang seperti pistol dan berenergi tinggi seperti pada senjata
militer. Penyebab trauma toraks yang lain adalah adanya tekanan yang berlebihan pada
paru-paru yang bisa menyebabkan pneumotoraks seperti pada scuba (Sawaya, 2005;
Sjamsuhidajat, 2003).
Arifin (2002) membagi cedera kepala menjadi dua :
Cedera otak primer Cedera otak primer (COP) adalah cedera yang terjadi sebagai akibat
langsung dari efek mekanik dari luar pada otak yang menimbulkan kontusio dan
laserasi parenkim otak dan kerusakan akson pada substantia alba hemisper otak hingga
batang otak.
Cedera otak sekunder Cedera otak sekunder (COS) yaitu cedera otak yang terjadi akibat
proses metabolisme dan homeostatis ion sel otak, hemodinamika intrakranial dan
kompartement CSS yang dimulai segera setelah trauma tetapi tidak tampak secara
klinis segera setelah trauma. Cedera otak sekunder ini disebabkan oleh banyak faktor
antara lain kerusakan sawar darah otak, gangguan aliran darah otak (ADO), gangguan
metabolisme dan homeostatis ion sel otak, gangguan hormonal, pengeluaran
neurotransmitter dan reactive oxygen species, infeksi dan asidosis. Kelainan utama ini
meliputi perdarahan intrakranial, edema otak, peningkatan tekanan intrakranial dan
kerusakan otak. Cedera kepala menyebabkan sebagian sel yang terkena benturan mati
atau rusak irreversible, proses ini disebut proses primer dan sel otak disekelilingnya
akan mengalami gangguan fungsional tetapi belum mati dan bila keadaan
menguntungkan sel akan sembuh dalam beberapa menit, jam atau hari. Proses
selanjutnya disebut proses patologi sekunder.
Proses biokimiawi dan struktur massa yang rusak akan menyebabkan kerusakan seluler
yang luas pada sel yang cedera maupun sel yang tidak cedera. Secara garis besar cedera
kepala sekunder pasca trauma diakibatkan oleh beberapa proses dan faktor antara lain
lesi massa, pergeseran garis tengah dan herniasi (perdarahan intrakranial berupa
hematom epidural/subdural/Intracerebral dan edema serebral), iskemik cerebri
Patofisiologi
Kerusakan anatomi yang terjadi akibat trauma dapat ringan sampai berat tergantung
besar kecilnya gaya penyebab terjadinya trauma. Kerusakan anatomi yang ringan pada
dinding toraks, berupa fraktur kosta simpel. Sedangkan kerusakan anatomi yang lebih
berat berupa fraktur kosta multiple dengan komplikasi pneumotoraks, hematotoraks
dan kontusio paru. Trauma yang lebih berat menyebakan robekan pembuluh darah
besar dan trauama langsung pada jantung (Kukuh, 2002).
Akibat kerusakan anatomi dinding toraks dan organ didalamnya dapat mengganggu
fungsi fisiologi dari pernafasan dan sistem kardiovaskuler. Gangguan sistem
pernafasan dan kardiovaskuler dapat ringan sampai berat tergantung kerusakan
anatominya. Gangguan faal pernafasan dapat berupa gangguan fungsi ventilasi, difusi
gas, perfusi dan gangguan mekanik alat pernafasan. Salah satu penyebab kematian pada
trauma toraks adalah gangguan faal jantung dan pembuluh darah (Kukuh, 2002;
Sawaya, 2005).
Bila terjadi benturan pada kepala, sebagian tenaga benturan dihantarkan ke tengkorak
yang relatif memiliki elastisitas, yakni tengkorak mampu sedikit melekuk ke arah
dalam. Tekanan maksimal terjadi pada saat benturan dan beberapa milidetik kemudian
diikuti dengan getaran-getaran yang berangsur mengecil hingga reda. Pukulan yang
lebih kuat akan menyebabkan terjadinya deformitas tengkorak dengan lekukan yang
sesuai dengan arah datangnya benturan dimana besarnya lekukan sesuai dengan sudut
datangnya arah benturan. Bila lekukan melebihi batas toleransi jaringan tengkorak,
tengkorak akan mengalami fraktur (garis lurus, impresi / depresi, diastasesutura atau
fraktur multiple disertai fraktur dasar tengkorak).
Mekanisme kerusakan otak pada trauma kepala dapat dijelaskan sebagai berikut :
a. Kerusakan jaringan otak langsung oleh impresi atau depresi tulang tengkorak
sehingga timbul lesi “coup” (cidera di tempat benturan)
b. Perbedaan massa dari jaringan otak dan dari tulang kepala menyebabkan perbedaan
percepatan getaran berupa akselerasi, deselerasi dan rotasi. Benturan dari arah
samping akan mengakibatkan terjadinya gesekan antara massa jaringan otak dengan
bagian tulang kepala yang menonjol atau bagian-bagian yang keras sehingga
menimbulkan lesi coup maupun contra coup (kerusakan berseberangan atau jauh
dari tempat benturan).
c. Gelombang kejut (shock wave) yang akan diteruskan melalui massa jaringan otak
dan tulang akan menimbulkan tekanan pada jaringan, dan bila tekanan cukup besar
akan menyebabkan terjadinya kerusakan jaringan otak melalui proses pemotongan
dan robekan.
Impak (Impact Loading)

Impresi Fraktur
Coup Contusio
Epidural Hematom
Subdural Hematom

Inert = Impulsif

Coup Cont. Bridging Vein Rupture Contra Coup


ICH Tekanan Negatif ICH
(Buble Soap) SDH
SDH, Contra Coup, Cont.

Gelombang kejut (Shock wave injury)

Intermediate Coup
Pemeriksaan Foto Polos Kepala
Indikasi pemeriksaan foto polos kepala :
1. Kehilangan kesadaran, amnesia
2. Nyeri kepala menetap
3. Gejala neurologis fokal
4. Jejas pada kulit kepala
5. Kecurigaan luka tembus
6. Keluar cairan cerebrospinal atau darah dari hidung atau telinga
7. Deformitas tulang kepala, yang terlihat atau teraba
8. Kesulitan dalam penilaian klinis : mabuk, intoksikasi obat, epilepsi, anak
9. Pasien dengan GCS 15, tanpa keluhan dan gejala tetapi mempunyai resiko : benturan
langsung atau jatuh pada permukaan yang keras, pasienusia > 50 tahun.
Foto rontgen kepala tidak memiliki peran yang signifikan dalam mendiagnosis
kelainan intrakranial. Namun, pemeriksaan ini masih dapat digunakan untuk mendiagnosis
fraktur tulang tengkorak. Fraktur memberikan gambaran garis hitam bertepi tajam dan
biasanya berbentuk lurus (Gambar 2). Fraktur yang muncul pada area meningea media dapat
berkaitan dengan hematoma epidural. Pada fraktur depresi, garis fraktur yang lusen dapat
memberi gambaran stelata atau semisirkular (Gambar 3). Pada kondisi demikian, CT scan
diindikasikan karena mungkin terjadi cedera jaringan otak.
Pemeriksaan CT Scan
CT scan tanpa kontras tetap menjadi pilihan pertama pemeriksaan pada cedera
kepala. Pemeriksaan ini bahkan lebih unggul dibandingkan MRI jika dilakukan dalam beberapa
hari setelah trauma. Pemeriksaan CT scan pada unit gawat darurat difokuskan untuk
menentukan efek massa dan perdarahan. Efek massa dapat ditentukan oleh adanya
pergeseran atau kompresi struktur intrakranial dari posisi normalnya dengan menganalisis
lokasi dan bentuk ventrikel, sisterna basalis dan sulkus. Darah biasanya memberikan
gambaran hiperdens dan biasanya terdapat di sisterna basalis, fisura sylvii dan interhemisfer,
ventrikel, ruang subdural atau epidural, atau di parenkim otak (intraserebral).

Pemeriksaan CT scan diindikasikan untuk semua pasien cedera kepala sedang dan
berat. Pada cedera kepala ringan, CT scan dilakukan pada pasien dengan nilai GCS kurang dari
15 dalam 2 jam setelah kejadian, pasien dengan kecurigaan fraktur kranium terbuka atau
depresi, adanya tanda-tanda fraktur basis cranii, muntah lebih dari 2 kali, atau usia di atas 65
tahun.2 CT scan dapat dipertimbangkan pula pada pasien yang mengalami pingsan lebih dari
5 menit, amnesia sebelum kejadian lebih dari 30 menit, dan mekanisme cedera yang
berbahaya (seperti pejalan kaki tertabrak oleh kendaraan bermotor, penumpang terlempar
dari kendaraan bermotor, jatuh dari lebih dari 5 anak tangga).
Indikasi pemeriksaan CT kepala pada pasien cedera kepala :
1. GCS< 13 setelah resusitasi.
2. Deteorisasi neurologis : penurunan GCS 2 poin atau lebih, hemiparesis, kejang.
3. Nyeri kepala, muntah yang menetap
4. Terdapat tanda fokal neurologis
5. Terdapat tanda Fraktur, atau kecurigaan fraktur
6. Trauma tembus, atau kecurigaan trauma tembus
7. Evaluasi pasca operasi
8. pasien multitrauma ( trauma signifikan lebih dari 1 organ )
9. Indikasi social
Teknik Pemeriksaan

 Posisi pasien : Pasien supine diatas meja pemeriksaan dengan posisi kepala
dekat dengan gantry.
 Posisi Objek : Kepala hiperfleksi dan diletkkan pada head holder. Kepala
diposisikan sehingga mid sagital plane tubuh sejajar dengan lampu indikator
longitudinal dan interpupilary line sejajar dengan lampu indikator horizontal.
Lengan pasien diletakkan diatas perut atau disamping tubuh. Untuk mengurangi
pergerakan dahi dan tubuh pasien sebaiknya difikasasi dengan sabuk khusus
pada head holder dan meja pemeriksaan. Lutut diberi pengganjal untuk
kenyamanan pasien ( Nesseth, 2000 ).

 Gambar yang dihasilkan dalam pemeriksaan CT-scan kepala pada umumnya:


o Potongan Axial I
 Merupakan bagian paling superior dari otak yang disebut
hemisphere. Kriteria gambarnya adalah tampak :
a. Bagian anterior sinus superior sagital
b. Centrum semi ovale (yang berisi materi cerebrum)
c. Fissura longitudinal (bagian dari falks cerebri)
d. Sulcus
e. Gyrus
f. Bagian posterior sinus superior sagital

o Potongan Axial IV
 Merupakan irisan axial yang ke empat yang disebut tingkat
medial ventrikel. Criteria gambarnya tampak :
a. Anterior corpus collosum
b. Anterior horn dari ventrikel lateral kiri
c. Nucleus caudate
d. Thalamus
e. Ventrikel tiga
f. Kelenjar pineal (agak sedikit mengalami kalsifikasi)
g. Posterior horn dari ventrikel lateral kiri

o Potongan Axial V
 Menggambarkan jaringan otak dalam ventrikel medial tiga.
Kriteria gambar yang tampak :

a. Anterior corpus collosum


b. Anterior horn ventrikel lateral kiri
c. Ventrikel tiga
d. Kelenjar pineal
e. Protuberantia occipital interna

o Potongan Axial VII


 Irisan ke tujuh merupakan penggambaran jaringan dari bidang
orbita. Struktur dalam irisan ini sulit untuk ditampakkan dengan
baik dalam CT-scan. Modifikasi-modifikasi sudut posisi kepala
dilakukan untuk mendapatkan gambarannya adalah tampak :
a. Bola mata / occular bulb
b. Nervus optic kanan
c. Optic chiasma
d. Lobus temporal
e. Otak tengah
f. Cerebellum
g. Lobus oksipitalis
h. Air cell mastoid
i. Sinus ethmoid dan atau sinus sphenoid

Berikut merupakan gambaran CT scan yang dapat ditemukan pada pasien cedera
kepala: Fraktur kranium linier Merupakan fraktur yang paling sering dan dapat
mengakibatkan hematoma epidural. Fraktur di kranium ini paling sering pada area temporal
dan parietal (Gambar 4). Fraktur kranium depresi Fraktur depresi sering berakibat pada
kerusakan otak dan sering terjadi pada regio frotoparietal3 biasanya berupa fraktur kominutif
(Gambar 5-A). Fraktur basis cranii Fraktur ini merupakan fraktur paling berat berupa fraktur
linier pada dasar tulang tengkorak.Pada pemeriksaan CT scan dapat dicurigai terdapat fraktur
basis cranii terutama bila terdapat udara dalam otak (traumatic pneumocephalus), cairan di
mastoid air cells, atau air–fluid level di sinus sfenoid (Gambar 5-B). Hematoma epidural
Terjadi akibat rupturnya arteri atau vena meningea media ke dalam ruang antara duramater
dan lapisan dalam tulang tengkorak.Hampir 95% hematoma Wilayah Gambar 2. Fraktur
kranium linier. Fraktur kranium (tanda panah) biasanya berupa garis hitam bertepi tajam dan
tidak ada tepi yang berwarna putih. Pada posisi anteroposterior (AP) (A), tidak dapat
ditentukan apakah fraktur berasal dari tulang tengkorak bagian depan atau belakang. Pada
posisi Towne (B), yaitu posisi leher menunduk dan posisi occipital lebih tinggi, fraktur ini dapat
terlihat terletak di tulang occipital. Gambar 3. Fraktur kranium depresi. Pada posisi lateral (A)
menunjukkan bagian sentral dari fraktur, yaitu gambaran stelata (tanda panah besar), dan
sekitarnya terdapat garis fraktur konsentrik (tanda panah kecil). Perhatikan gambaran sutura
dan gambaran vaskular normal pada foto tersebut. Pada posisi anteroposterior (AP) (B)
menunjukkan dalamnya fraktur depresi, walau gambaran ini terlihat lebih jelas pada
pemeriksaan CT scan. Gambar 4. CT scan kepala dengan fraktur kranium linier (B) dan
hematoma epidural (A). Pada brain window (A), terdapat gambaran lesi berbentuk lentikular
dan hiperdens di regio frontal kiri yang khas untuk hematoma epidural (panah hitam). Bone
window (B) menunjukkan fraktur di tulang regio frontal kiri (panah putih).

Pemeriksaan Foto Polos Thorax

Indikasi dilakukannya foto toraks antara lain :

1. Infeksi traktus respiratorius bawah, Misalnya : TBC Paru, bronkitis, Pneumonia

2. Batuk kronis

3. Batuk berdarah
4. Trauma dada

5. Tumor

6. Nyeri dada

7. Metastase neoplasma

8. Penyakit paru akibat kerja

9. Aspirasi benda asing

POSISI PEMERIKSAAN
1. Posisi PA (Postero Anterior)

Pada posisi ini film diletakkan di depan dada, siku ditarik kedepan supaya scapula tidak
menutupi parenkim paru.

2. Posisi AP (Antero Posterior)


Dilakukan pada anak-anak atau pada apsien yang tidak kooperatif. Film diletakkan
dibawah punggung, biasanya scapula menutupi parenkim paru. Jantung juga terlihat
lebih besar dari posisi PA.

3. Posisi Lateral Dextra & Sinistra

Posisi ini hendaknya dibuat setelah posisi PA diperiksa. Buatlah proyeksi lateral kiri
kecuali semua tanda dan gejala klinis terdapat di sebelah kanan, maka dibuat proyeksi
lateral kanan,berarti sebelah kanan terletak pada film. Foto juga dibuat dalam posisi
berdiri.

4. Posisi Lateral Dekubitus

Foto ini hanya dibuat pada keadaan tertentu,yaitu bila klinis diduga ada cairan bebas
dalam cavum pleura tetapi tidak terlihat pada foto PA atau lateral. Penderita berbaring
pada satu sisi (kiri atau kanan). Film diletakkan di muka dada penderita dan diberikan
sinar dari belakang arah horizontal.

5. Posisi Apikal (Lordotik)

Hanya dibuat bila pada foto PA menunjukkan kemungkinan adanya kelainan pada
daerah apex kedua paru. Proyeksi tambahan ini hendaknya hanya dibuat setelah foto
rutin diperiksa dan bila ada kesulitan menginterpretasikan suatu lesi di apex.

6. Posisi Oblique Iga


Hanya dibuat untuk kelainan-kelainan pada iga (misal pembengkakan lokal) atau bila
terdapat nyeri lokal pada dada yang tidak bisa diterangkan sebabnya, dan hanya dibuat
setelah foto rutin diperiksa. Bahkan dengan foto oblique yang bagus pun, fraktur iga
bisa tidak terlihat.

7. Posisi Ekspirasi

Adalah foto toraks PA atau AP yang diambil pada waktu penderita dalam keadaan
ekspirasi penuh. Hanya dibuat bila foto rutin gagal menunjukkan adanya pneumothorax
yang diduga secara klinis atau suatu benda asing yang terinhalasi.

E. PROSEDUR PEMERIKSAAN
1. Memasang kaset dan memberikan marker

2. Mengatur posisi pasien

3. Mengatur jarak ( FFD),

4. Menentukan Arah Sinar (CR) dan Pusat Sinar (CP),

5. Mengatur kolimasi Menentukan faktor eksposi dan proteksi radiasi

6. Melakukan eksposi

7. Melakukan processing film

8. Mengevaluasi hasil foto

G. SYARAT / KRITERIA GAMBARAN FOTO THORAX PA


1. Seluruh lapangan paru tampak atau tercover

2. Batas atas Apex paru tampak (tidak terpotong)

3. Batas bawah Kedua Sinus Prenico costalis tidak terpotong

4. Kedua Sterno Clavicular Joint tampak simetris kanan dan kiri

5. Lapangan Pulmo terbebas dari gambaran os. Scapula

6. Inspirasi penuh ditunjukkan dengan terlihatnya Costae 9-10 Posterior

7. Faktor Eksposi cukup ditunjukkan dengan terlihatnya CV Thoracal 1-4

8. Tampak Carina (percabangan Bronkus) setinggi CV Thoracal 3 atau 4

9. Tampak gambaran vaskularisasi paru

10. Diafragma terlihat naik, tampak gambaran jantung


H. MEMBEDAKAN KIRI DAN KANAN
1. Gambaran jantung lebih besar di sebelah kiri

2. Diafragma kanan lebih tinggi daripada diafragma kiri

3. Arcus aorta di sebelah kiri

4. Di sebelah kiri ada gambaran udara didalam lambung

KLASIFIKASI FRAKTUR IGA


1. Menurut jumlah costa yang mengalami fraktur dapat dibedakan :
a. Fraktur simple
b. Fraktur multiple
2. Menurut jumlah fraktur pada setiap costa dapat :
a. Fraktur segmental
b. Fraktur simple
c. Fraktur comminutif
3. Menurut letak fraktur dibedakan :
a. Superior (costa 1-3 )
b. Median (costa 4-9)
c. Inferior (costa 10-12 ).
4. Menurut posisi :
a. Anterior
b. Lateral
c. Posterior.
5. Fraktur costa atas (1-3) dan fraktur Skapula
a. Akibat dari tenaga yang besar
b. Meningkatnya resiko trauma kepala dan leher, spinal cord, paru, pembuluh darah besar
c. Mortalitas sampai 35%.
6. Fraktur Costae tengah (4-9) :
a. Peningkatan signifikansi jika multiple. Fraktur kosta simple tanpa komplikasi dapat
ditangani pada rawat jalan.
b. MRS jika pada observasi
c. Penderita dispneu
d. Mengeluh nyeri yang tidak dapat dihilangkan
e. Penderita berusia tua
f. Memiliki preexisting lung function yang buruk.
7. Fraktur Costae bawah (10-12) :
Terkait dengan resiko injury pada hepar dan spleen
Pembahasan

Foto polos thorax pasien posisi AP terlihat alignment costae normal, trabekulasi tulang
normal, celah dan permukaan sendi normal, sternoclavicular joint kanan kiri simetris,
bronchoairgram kedua lapang paru dalam batas normal, corakan bronkovaskuler masih
dalam batas normal, diskontinuitas tulang pada costae ke 9, 10, 11 dextra, tidak ada
pembesaran jantung, kedua sinus costophrenicus terlihat tajam. Maka dari hasil foto
thorax AP didapatkan hasil fraktur multiple costae 9, 10, 11 dextra

Pada CT-Scan kepala dilihat cranial paten tidak ada diskontiunitas, alignment dalam
batas normal, trabekulasi tulang normal, parenkim otak dalam batas normal tidak
ditemukan adanya iskemi atau perdarahan.
1. Arifin, M. 2002. Peranan oksigen reaktif pada cedera kepala berat pengaruhnya
pada gangguan fungsi enzim akinitase dan kondisi asidosis primer otak, disertasi
2002
2. Bontrager, K. L., Lampignano, J. P., 2014, Textbook of Radiographic Positioning
and Related Anatomy, Edisi 8, Elsevier
3. Pedoman Tatalaksana Cedera Otak, 2014, Edisi Kedua, Fakultas Kedokteran
Universitas Airlangga, Surabaya
Mansjoer, R, 2016, Kapita Selekta Kedokteran, Edisi keempat, Jilid Kedua, Media
Aesculapius : Jakarta
Price, S. A dan Wilson, L. M, 2006, Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses
Penyakit, Edisi 6, Volume 2, Alih Bahasa Brham, (dkk), EGC: Jakarta
Manarasip, M. E., Oley, M., Limpeleh, H., 2014, Gambaran CT Scan Kepala pada
Penderita Cedera Kepala Ringan di BLU RSUP Prof. Dr. R. D. Kandou Manado
Periode 2012-2013, Jurnal Fakultas Kedokteran Universitas Sam Ratulangi, Volume
2, Nomor 2, Manado.
Langlois, J. A., Rutland-Brown, W., Wald, M. M., 2006, The Epidemiology and Impact
of Traumatic Brain Injury: A Brief Overview, National Center for Injury Prevention
and Control, Atlanta, USA.
Sawaya, D. E., Colombani, P. M., 2009, Pediatric Thoracic Trauma in Pediatric
Surgery, Berlin: Springer, pp 133-141
Sjamsuhidajat, 2003, Dinding Toraks dan Pleura, Buku Ajar Ilmu Bedah, Jakarta:
EGC, pp 406

You might also like