You are on page 1of 49

REFERAT ILMU BEDAH

“HIPERTIROID”

Penyusun:
Vivi Silvia Santoso 2009.04.0.0094
Yonathan Arief 2010.04.0.0123

Pembimbing:
Dr. dr. Koernia Swa Oetomo, Sp.B., FINACS.FICS(K) Trauma

FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS HANG TUAH
SURABAYA
2016

1
LEMBAR PENGESAHAN
Referat Ilmu Bedah
Hipertiroid

Referat dengan judul Hipertiroid telah diperiksa dan disetujui sebagai


salah satu tugas dalam rangka menyelesaikan studi kepaniteraan klinik
Dokter Muda di SMF Bedah Rumah Sakit Umum Haji Surabaya

Surabaya, Januari 2016


Mengesahkan
Dosen Pembimbing

Dr.dr.Koernia Swa Oetomo,


Sp.B., FINACS.FICS(K) Trauma

2
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadapan Tuhan Yang Maha Esa,


karena atas anugerah dan rahmat-Nya penulis dapat menyelesaikan laporan
tugas kapita selekta ini dengan judul “Hipertiroid”. Referat ini penulis susun
sebagai bagian dari proses belajar penulis selama kepaniteraan klinik di SMF
bedah RS Haji Surabaya.
Pada kesempatan ini penulis ingin menyampaikan terima kasih kepada
Dr. dr. Koernia Swa Oetomo, Sp.B., FINACS.FICS(K) Trauma selaku
pembimbing karena telah meluangkan waktu dan pikiran untuk membimbing
penulis sehingga dapat menyelesaikan karya tulis ini dengan baik.
Penulis menyadari bahwa masih ada keterbatasan kemampuan dan
pengetahuan dalam penulisan tugas referat ini. Untuk itu, penulis
mengharapkan saran dan kritik yang membangun supaya karya penulis
dapat bermanfaat bagi kita semua ke depannya. Terima kasih.

Surabaya, Januari 2016

Penyusun

3
DAFTAR ISI

LEMBAR PENGESAHAN ......................................................................... i


KATA PENGANTAR ................................................................................ ii
DAFTAR ISI .............................................................................................iii
DAFTAR GAMBAR ................................................................................. iv
BAB I PENDAHULUAN ............................................................................ 1
BAB II TINJAUAN PUSTAKA................................................................... 3
2.1 Kelenjar Tiroid ......................................................................... 3
2.1.1 Anatomi ............................................................................... 3
2.1.2 Histologi .............................................................................. 6
2.1.3 Fisiologi ............................................................................... 7
2.2 Hipertiroid ............................................................................. 10
2.2.1 Definisi hipertiroid .............................................................. 10
2.2.2 Regulasi hormon tiroid ....................................................... 11
2.2.3 Etiologi ............................................................................... 12
2.2.4 Epidemiologi ...................................................................... 14
2.2.5 Patofisiologi ....................................................................... 15
2.2.6 Gejala ................................................................................. 16
2.2.7 Diagnosis ........................................................................... 18
2.2.8 Penatalaksanaan................................................................ 26
2.2.9 Komplikasi ......................................................................... 37
2.2.10 Prognosis ........................................................................ 38
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................... 39

4
DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1 Anatomi Kelenjar Tiroid ......................................................... 3

Gambar 2.2 Vaskularisasi Kelenjar Tiroid ................................................. 5

Gambar 2.3 Folikel Tiroid Inaktif ............................................................... 6

Gambar 2.4 Folikel Tiroid Aktif .................................................................. 7

Gambar 2.5 Proses Pembentukan T3 dan T4............................................ 10

Gambar 2.6 Hipotalamus-pituitari-tiroid .................................................... 11

Gambar 2.7 Grave Optalmopati ................................................................ 13

Gambar 2.8 Hipotalamus-pituitari-tiroid axis feedback............................... 15

Gambar 2.9 Grave optalmopati .................................................................. 19

Gambar 2.10 Pretibial myxedema ............................................................. 19

Gambar 2.11 Algoritma diagnosis hipertiroid ............................................ 24

Gambar 2.12 Macam pembedahan .......................................................... 34

Gambar 2.13 Tiroidektomi ........................................................................ 36

5
BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Hipertiroid merupakan kondisi di mana kelenjar tiroid bersifat overaktif


dan menyebabkan berlebihannya jumlah dari hormon tiroid. Kelenjar tiroid
merupakan organ yang terletak di leher dan memproduksi hormon yang
mengontrol metabolisme, bernapas, denyut jantung, sistem saraf, berat
badan, suhu tubuh, dan banyak fungsi lain dari tubuh. Ketika kelenjar tiroid
bersifat overaktif, metabolisme tubuh dapat berubah secara signifikan dan
dapat menyebabkan penderita mengalami kecemasan, palpitasi, tremor,
berkeringat berlebihan, kehilangan berat badan, gangguan tidur, dan banyak
gejala lainnya. Wanita 5-10 kali lebih banyak terserang hipertiroid daripada
laki-laki. (Aleppo, 2015).

Grave’s disease merupakan bentuk paling umum dari hipertiroid di


Amerika Serikat, yang menyebabkan sekitar 60-80% kasus tirotoksikosis.
Kejadian tahunan penyakit Grave’s ditemukan menjadi 0,5 kasus per 1000
orang selama periode 20 tahun, dengan terjadinya puncak pada usia 20-40
tahun (Lee, 2014)

Jumlah penderita hipertiroid kini terus meningkat. Hipertiroid


merupakan penyakit hormonal yang menempati urutan kedua terbesar di
Indonesia setelah Diabetes mellitus. Urutuan tersebut serupa dengan kasus
yang terjadi di dunia. Prevalensi hipertiroid di Indonesia belum diketahui
secara pasti, namun berdasarkan wawancara yang terdiagnosis dokter
diketahui sebesar 0,4% (Supadmi, dkk, 2012).

6
Ada beberapa cara untuk mengobati hipertiroid, di antaranya obat-
obatan anti-tiroid, radioaktif iodin (RAI), pembedahan yaitu tiroidektomi, serta
beta blocker. Namun sebelum memilih terapi yang tepat, harus
dipertimbangkan dulu usia, kesehatan secara keseluruhan, keparahan gejala,
serta etiologi yang spesifik (Jennifer, 2015)

7
BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi Kelenjar TIroid

Kelenjar tiroid terletak di anterior leher, terbentang di dalam muskulus


sternotiroid dan sternohyoid setinggi vertebra C5-T1. Kelenjar ini terdiri dari
lobus primer kanan dan kiri, anterolateral dari laring dan trakea. Kedua lobus
tersebut dihubungkan oleh isthmus, yang terletak anterior dari trakea 2 dan 3
(Moore, 2007).

Gambar 2.1 Anatomi Kelenjar Tiroid (Moore, 2007)

8
Kelenjar tiroid dibungkus oleh kapsula fibrosa tipis, yang mengirim
septa-septanya secara dalam ke dalam kelenjar. Jaringan ikat padat
menempel terhadap kapsula fibrosa tersebut ke kartilago krikoid dan cincin
trakea (Moore, 2007).

Vaskularisasi dari kelenjar tiroid berasal dari arteri tiroidea superior


dan inferior. Arteri tiroidea superior adalah cabang pertama dari arteri karotis
eksterna, berjalan turun secara lateral menuju laring di bawah lapisan
pembungkus otot omohyoid dan sternohyoid. Arteri ini berjalan pada bagian
superfisial pada batas anterior lobus lateral dan mengirimkan cabang-
cabangnya ke dalam kelenjar sebelum melengkung ke arah isthmus untuk
beranastomose dengan pembuluh darah kontralateral. Sedangkan arteri
tiroidea inferior, cabang terbesar dari trunkus tiroservikalis, cabang dari arteri
subklavia. Arteri ini naik secara vertikal, kemudian melengkung ke arah
medial memasuki celah trakeoesofageal. Arteri tiroidea inferior kanan dan kiri
beranastomose dalam kelenjar. (Moore, 2007)

Pada 10% orang, arteri tiroidea ima muncul dari trunkus


brachiocephalicus, cabang dari arkus aorta, atau dari sisi kanan arteri karotis
komunis, arteri subclavia, atau arteri thoracic interna. Arteri kecil ini naik ke
permukaan anterior trakea, yang men-supply isthmus kelenjar tiroid. (Moore,
2007)

Tiga pasang vena tiroid mengaliri plexus vena tiroid di permukaan


anterior kelenjar tiroid dan trakea. Vena tiroidea superior berjalan bersama
arteri tiroidea superior dan mengaliri lobus superior. Vena tiroidea media
mengaliri lobus tengah, dan vena tiroidea inferior mengaliri lobus inferior.
Vena superior dan media mengaliri vena jugularis interna, sedangkan vena
tiroid inferior mengaliri ke vena brachiocephalica posterior terhadap
manubrium. (Moore, 2007)

9
Persarafan kelenjar tiroid berasal dari ganglion simpatetik servikalis.
Saraf-saraf ini mencapai kelenjar melalui plexus periarterial tiroidea superior
dan inferior dan plecus cardiacus. Sabut-sabut ini bersifat vasomotor,
menyebabkan konstriksi dari pembuluh darah. Sekresi endokrin kelenjar tiroid
diatur oleh kelenjar pituitari. (Moore, 2007)

Pembuluh limfatik kelenjar tiroid berhubungan dengan jaringan


kapsuler dari pembuluh limfe kapsuler. Pembuluh ini berjalan menuju ke
nodus prelaringeal, pretracheal, dan paratracheal. Inferior dari kelenjar tiroid,
pembuluh limfatik berjalan langsung ke nodus limfatik cervicalis inferior.
Beberapa pembuluh limfatik mengaliri ke nodus limfe brachiocephalica atau
ke duktus thorakikus. (Moore, 2002)

Gambar 2.2 Vaskularisasi Kelenjar Tiroid


(http://www.britannica.com/science/thyroid-gland)

10
2.2 Histologi Kelenjar Tiroid

Kelenjar tiroid bersifat unik di antara kelenjar endokrin manusia yang


lainnya karena menyimpan sejumlah hormon dalam bentuk inaktif dalam
ruang ekstraseluler di pusat folikel-folikel. Sedangkan kelenjar endokrin yang
lain hanya menyimpan jumlah kecil hormon-hormon di intraseluler (Young et
al, 2007).

Unit fungsional kelenjar tiroid adalah folikel tiroid, sruktur berbentuk


bulat yang terdiri dari selapis epitel kuboid yang diikat oleh membran basal.
Kelenjar tiroid dibungkus oleh kapsula fibrosa yang merupakan septa kolagen
halus yang memanjang ke dalam kelenjar tiroid dan membagi ke dalam
lobus-lobus. Septa tersebut membawa suplai yang kaya darah bersama-
sama dengan limfatik dan sabut-saraf (Young et al, 2007).

Gambar 2.3 Folikel Tiroid Inaktif (Young et al, 2007)

11
Folikel-folikel tiroid menyimpan tiroglobulin, suatu glikoprotein
teriodinasi, bentuk simpanan dari tiroksin (T4) dan triiodotironin (T3). Folikel
tersebut dibatasi sel-sel epitel yang bertanggung jawab dalam sintesis
glikoprotein dan mengubah iodida jadi iodin. Ketika hormon tiroid aktif
dibutuhkan, sel epitel tiroid yang sama membersihkan koloid tiroid yang
tersimpan dan melepaskan T3 dan T4. Ketika inaktif, sel epitel tiroid menjadi
selapis pipih atau kubis, tetapi ketika aktif mensisntesis atau mensekresi
hormon tiroid yang bersifat silindris.

Gambar 2.4 Folikel tiroid aktif (Young et al, 2007)

2.3 Fisiologi Kelenjar TIroid

Untuk membentuk jumlah normal dari tiroksin, sekitar 50 mg dari iodin


yang dimakan untuk membentuk iodida dibutuhkan tiap tahun, atau sekitar
1mg/minggu. Iodida diserap dari traktus gastrointestinal ke darah, secara
normal kebanyakan iodida diekskresi dengan cepat oleh ginjal, tapi hanya
1/15 yang dibuang dari sirkulasi darah dari kelenjar tiroid dan digunakan
untuk sintesis hormon tiroid (Guyton, 2006).

12
Pembentukan dan Sekresi Hormon Tiroid

Ada 7 tahap, yaitu:

1. Iodida pump (trapping)


Merupakan transport aktif (ATP-dependent) iodida melewati basal
membran. Proses ini terjadi melalui aktivitas pompa iodida yang
terdapat pada bagian basal sel folikel. Di mana dalam keadaan basal,
sel tetap berhubungan dengan pompa Na/K tetapi belum dalam
keadaan aktif. Pompa iodida ini bersifat energy dependent dan
membutuhkan ATP. Daya pemekatan konsentrasi iodida oleh pompa
ini dapat mencapai 20-40 kali kadar dalam plasma.dengan energi yang
disediakan oleh pengangkutan Na+ keluar sel tiroid oleh Na+K+ATPase.
I- berpindah melalui difusi ke dalam koloid (Ganong, 2008).
2. Oksidasi
Sebelum iodida dapat digunakan dalam sintesis hormon, iodida
tersebut harus dioksidasi terlebih dahulu menjadi iodium oleh suatu
enzim peroksidase. Iodium ini kemudian akan bergabung dengan
residu tirosin yang terdapat pada tiroglobulin membentuk
monoiodotirosin (MIT) dan diiodotirosin (DIT) (Bruncardi, 2014).
3. Coupling
Dua molekul DIT mengalami kondensasi oksidatif membentuk tiroksin
(T4), dan satu molekul DIT dengan satu molekul MIT membentuk
triiodotironin (T3) dan residu triiodotironin (RT3) (Bruncardi, 2014).
4. Penimbunan (storage)
Produk yang telah terbentuk melalui proses coupling tersebut
kemudian akan disimpan di dalam koloid. Tiroglobulin (di mana di
dalamnya mengandung T3 dan T4), baru akan dikeluarkan apabila
ada stimulasi TSH.

13
5. Proteolisis
TSH yang diproduksi oleh hipofisis anterior akan merangsang
pembentukan vesikel yang di dalamnya mengandung tiroglobulin. Atas
pengaruh TSH, lisosom akan mendekati tetes koloid dan mengaktifkan
enzim protease yang menyebabkan pelepasan T3 dan T4 serta
deiodinasi MIT dan DIT (Bruncardi, 2014).
6. Deiodinasi
Proses ini menghasilkan iodida yang digunakan kembali untuk sintesis
hormon (Bruncardi, 2014). T4 dan T3 mengalami deiodinasi di hati,
ginjal, dan banyak jaringan lain (Ganong, 2006).
7. Pengeluaran hormon kelenjar tiroid (releasing)
Proses ini dipengaruhi TSH. Hormon tiroid ini melewati membran basal
dan kemudian ditangkap oleh protein pembawa yang telah tersedia di
sirkulasi darah yaitu Thyroid Binding Protein (TBP) dan Thyroid
Binding Pre Albumin (TBPA). Hanya 0,02% hormon tiroid yang bebas
(tidak terikat) dan secara fisiologi merupakan komponen aktif. T 3 lebih
lebih berpotensi dibanding T4 meskipun kadar dalam plasma lebih
rendah. T3 berikatan lemah terhadap protein plasma dibanding T 4
sehingga lebih siap memasuki jaringan. T3 lebih aktif dibanding T4
(Bruncardi, 2014).
Sekresi hormon tiroid dikontrol oleh hipotalamus-kelenjar pituitari-tiroid.
Hipotalamus memproduksi thyrotropin releasing hormone (TRH) yang
menstimulasi pituitary melepaskan TSH atau thyrotropin. Sekresi TSH
oleh hipofisis anterior juga diregulasi melalui umpan balik negatif oleh
T4 dan T3. Pitutari mempunyai kemampuan mengubah T 4 menjadi T3.
T3 juga menghambat pelepasan TRH (Bruncardi, 2014).
Kelenjar tiroid memiliki kemampuan autoregulasi sehingga ketika
intake iodida rendah, kelenjar lebih mensintesis T3 dibanding T4
dengan demikian secara efisien meningkatkan sekresi hormon.
Apabila kelebihan hormon tiroid, transpor iodida, sintesis dan sekresi

14
hormon tiroid dihambat. Apabila kelebihannya dalam jumlah yang
besar akan menyebabkan peningkatan organifikasi, yang diikuti
dengan supresi, yang disebut fenomena Wolff-Chaikoff effect
(Bruncardi, 2014).

Gambar 2.5 Proses pembentukan T3 dan T4 (Vander, 2003)

2.4 Hipertiroid
2.4.1 Definisi hipertiroid
Hipertiroid adalah suatu kondisi di mana kelejar tiroid memproduksi
hormon tiroid secara berlebihan. Tirotoksikosis adalah kondisi toksik yang
disebabkan karena hormon tiroid yang berlebihan di sirkulasi pembuluh darah
oleh karena beberapa penyebab (Mathur, 2015).
Definisi lain menyebutkan hipertiroid adalah kumpulan gangguan yang
diakibatkan oleh kelebihan sintesis dan sekresi hormon tiroid oleh kelenjar
tiroid, yang dapat mengakibatkan kondisi hipermetabolik. Bentuk-bentuk
hipertiroid yang banyak antara lain diffuse toxic Goiter (Grave’s Disease),
toxic multinoduler goiter (Plummer disease), dan toxic adenoma (Lee, 2014).

15
2.4.2 Regulasi hormon tiroid

Gambar 2.6 Hipotalamus-pituitary-thyroid axis (Fox, 2006)

Kelenjar tiroid diregulasi oleh kelenjar hipofisis yang terletak di otak.


Kelenjar hipofisis diregulasi oleh hormon tiroid yang beredar di pembuluh
darah (feedback) dan sebagian oleh hipotalamus yang juga merupakan
bagian dari otak. Hipotalamus melepaskan thyrotropin releasing hormone
(TRH) yang memberikan sinyal kepada hipofisis untuk melepaskan thyroid
stimulating hormone (TSH). Kemudian thyroid stimulating hormone (TSH)
memberikan sinyal ke kelenjar tiroid untuk melepaskan hormon tiroid. Jika
terjadi aktivitas yang berlebih dari salah satu ketiga kelenjar tersebut, maka
hormon tiroid yang diproduksi berlebihan dan dapat menyebabkan
hipertiroidisme. Jika hormon tiroid yang beredar di pembuluh darah tidak
mencukupi kebutuhan tubuh, hipofisis meningkatkan produksi TSH untuk
menstimulasi kelenjar tiroid meningkatkan produksi hormon tiroid, jika hormon

16
tiroid yang beredar di pembuluh darah berlebihan, hipofisis menurunkan
produksi TSH sehingga produksi hormon juga menurun (Fox, 2006).

2.4.3 Etiologi
a. Grave’s disease
Grave’s disease adalah penyebab terbanyak dari hipertiroid, sekitar 60-80%
dari semua kasus. Grave’s disease adalah suatu penyakit autoimun di mana
terdapat suatu antibodi thyroid stimulating immunoglobulin (TSI antibodies)
yang merangsang kelenjar tiroid untuk mensintesis dan mensekresi hormon
tiroid secara berlebihan (Reid, 2008). Hasilnya adalah produksi yang
berlebihan dari T3 dan T4, pembesaran kelenjar tiroid, dan peningkatan
uptake iodida. Pada kondisi ini kelenjar tiroid kehilangan kemampuan untuk
merespon kontrol dari hipofisis melalui TSH. Yang dapat memicu Grave’s
disease antara lain stress, merokok, radiasi pada leher, obat-obatan, dan
agen infeksius (Lights, 2015).
Oftalmopati merupakan manifestasi pertama dari penyakit ini dan
gejalanya mulai dari perubahan tajam penglihatan atau mata kering hingga
proptosis yang jelas. Selain itu pada pemeriksaan fisik dapat ditemukan
myxedema pada regio pretibial. Pada awalnya Grave opthalmopathy
menyebabkan sensitif mata terhadap cahaya (fotofobia) dan rasa berpasir
pada mata, kemudian mata menonjol dan penglihatan jadi ganda (Bruncardi,
2014). Seperti penyakit autoimun lainnya, kondisi ini cenderung menyerang
beberapa anggota keluarga. Grave’s disease lebih sering terjadi pada wanita
daripada pria, dan lebih cenderung terjadi pada pasien yang lebih muda.

17
Gambar 2.7 Grave opthalmopathy
(http://www.aboutcancer.com/graves_nejm_0309.htm)

b. Toxic multinodular goiter

Toxic multinodular goiter menyebabkan 5% kasus hipertiroid di


Amerika Serikat dan dapat menjadi 10 kali lipat lebih sering pada daerah
yang kekurangan iodin. Biasanya terjadi pada pasien lebih dari 40 tahun
(Reid, 2008). Gangguan ini dapat mempengaruhi irama jantung (Anonim,
2012). Ketika ada nodul tunggal yang memproduksi hormon tiroid, disebut
functioning adenoma. Jika lebih dari satu nodul disebut toxic multinoduler
goiter.

c. Toxic adenoma

Toxic adenoma nodul autonomik yang ditemukan lebih banyak pada usia
muda dan daerah kekurangan iodin. Satu nodul atau benjolan pada tiroid
dapat memproduksi hormone tiroid lebih, sehingga dapat menyebabkan
hipertiroid. Gangguan ini tidak diturunkan (Anonim, 2012). Pembesaran
noduler terjadi pada usia dewasa muda sebagai suatu struma yang
nontoksik. Bila tidak diobati, dalam 15-20 tahun dapat menjadi toksik.
Pertama kali dibedakan dari Grave disease oleh Plummer, sehingga disebut
juga Plummer’s disease (Bruncardi, 2014).

18
d. Thyroiditis

Inflamasi kelenjar tiroid yang biasanya disebabkan oleh virus dan ditandai
dengan pembesaran kelenjar tiroid yang nyeri, sehingga menyebabkan
pelepasan sejumlah besar hormon tiroid dalam darah. Tiroid biasanya
menyembuh sendiri dalam beberapa bulan (Anonim, 2012).

e. Asupan iodin yang berlebihan

Iodine-induced hyperthyroidism dapat terjadi setelah mendapat asupan iodin


yang berlebihan dari makanan, paparan terhadap media kontras radiografi,
atau medikasi. Obat-obat tertentu seperti Amiodaron (Cordaron) dapat
menyebabkan hipertiroid pada hingga 12% pasien yang diterapi Amiodaron,
khususnya pada daerah yang kekurangan iodin. Amiodaron berisi 37%
iodinm dan merupakan penyebab utama berlebihannya tiroid di Amerika
Serikat.

f. Tumor

Penyebab yang jarang dari hipertiroid yaitu Ca tiroid metastase, tumor


ovarium yang memproduksi hormon tiroid (struma ovarii), tumor tropoblastic
yang dapat memproduksi korionik gonadotrophin dan mengaktifkan TSH
reseptor dan TSH-secreting pituitary tumor (Reid, 2008).

2.4.4 Epidemiologi

Grave’s disease merupakan bentuk hipertiroid yang paling umum di


Amerika Serikat, yang menyebabkan 60–80% kasus tirotoksikosis. Kejaidian
tahunan Grave’s disease ditemukan 0,5 kasus dari 1000 populasi, dengan
kasus terbanyak pada usia 20–40 tahun (Lee, 2014).

Toxic multinodular goiter merupakan penyebab 15–20 % kasus


tirotoksikosis dan banyak terjadi pada daerah kekurangan yodium. Toxic
adenoma merupakan penyebab 3–5 % kasus tirotoksikosis (Lee, 2014).

19
2.4.5 Patofisiologi

Normalnya, sekresi hormon tiroid diatur oleh mekanisme kompleks


feedback yang melibatkan faktor stimulator dan inhibitor. TRH dari
hipotalamus menstimulasi hipofisis untuk melepaskan TSH. Pengikatan TSH
terhadap reseptor pada kelenjar tiroid dapat menyebabkan pelepasan
hormon tiroid, terutama T4 dan sedikit T3. Sebaliknya, peningkatan level dari
hormon ini dapat berperan pada hipotalamus untuk menurunkan sekresi
TRH. Sintesis hormon tiroid membutuhkan iodin. Iodida inorganik yang
didapat dari diet ditranspor ke kelenjar tiroid oleh enzim tiroid peroxidase
melalui proses yang disebut organifikasi. Hasilnya adalah terbentuknya
monoiodotirosin (MIT) dan diiodotirosin (DIT), yang dipasangkan membentuk
T3 dan T4, yang kemudian disimpan dengan tiroglobulin dalam lumen folikel
tiroid (Lee, 2014).

Hormon tiroid tersebar ke sirkulasi perifer. Lebih dari 99,9% T4 dan T3


di sirkulasi perifer diikat ke protein plasma dan sifatnya inaktif. T3 bebas 20-
100 kali lebih aktif dari T4 bebas. T3 bebas terikat terhadap reseptor nuclear
(DNA-binding protein di sel nuclei), mengatur transkripsi dari protein seluler
(Lee, 2014).

Banyak proses yang menyebabkan peningkatan sirkulasi perifer dari


hormon tiroid yang menyebabkan tirotoksikosis. Gangguan dari mekanisme
homeostatik normal dapat terjadi pada level kelenjar hipofisis, kelenjar tiroid,
atau di perifer. Hasilnya peningkatan transkripsi di protein seluler,
menyebabkan peningkatan BMR. Gejala dari hipertiroid dapat menyebabkan
berlebihannya katekolamin, dan blokade adrenergik dapat meningkatkan
gejala-gejala ini (Lee, 2014).

20
21
Gambar 2.8 Patofisiologi hipertiroid (Pong, 2013)

2.4.6 Gejala hipertiroid

Tingginya T4, T3 atau keduanya dapat menyebabkan tingginya basal


metabolic rate. Keadaan ini disebut hypermetabolic state. Pada keadaan
hipermetabolik, dapat mengalami tingginya denyut jantung, peningkatan
tekanan darah, dan tremor tangan. Juga dapat terjadi intoleransi panas dan
berkeringat banyak. Hipertiroid dapat menyebabkan seringnya BAB,
penurunan berat badan, dan pada wanita dapat terjadi gangguan siklus
menstruasi. Gejala yang mungkin dialami pasien dengan hipertiroid (Lights,
2015):

- Perubahan pola nafsu makan


- Susah tidur

22
- Kelelahan
- Sering BAB, mungkin diare
- Palpitasi
- Intoleransi terhadap panas
- Berkeringat berlebihan
- Iritabilitas
- Mual, muntah
- Terganggunya periode menstruasi
- Gangguan mental
- Kelemahan otot
- Kecemasan
- Masalah fertilitas
- Nafas dangkal
- Paralisis tiba-tiba
- Tremor
- Perubahan penglihatan
- Kehilangan BB atau bisa juga bertambah BB
- Pusing
- Rambut menipis
- Gatal
- Kemungkinan naiknya gula darah

23
Pasien dengan Grave’s disease secara klinis dapat terjadi oftalmopati
dan dermopati. Hal ini ditandai dengan adanya deposisi glikosaminoglikan
yang menyebabkan penebalan kulit regio pretibial dan dorsum pedis.
Penyakit mata infiltratif menyebabkan edema periorbital, pembengkakan
konjungtiva, kemosis, proptosis, terbatasnya penglihatan atas dan lateral. Hal
ini disebabkan karena pembengkakan otot ekstraokuler dan orbita oleh
karena akumulasi air dan glikosaminoglikan yang disekresi oleh fibroblas
(Bruncandi, 2014).

Gejala khas yang lainnya adalah:

a. Mobius sign (gangguan konvergensi mata),


b. von Graefe’s sign (kegagalan kelopak mata atas untuk
mengikuti gerakan bola mata ke bawah dengan segera),
c. Joffroy’s sign (otot-otot wajah tidak bergerak meskipun bola
mata melirik ke atas),
d. Stellwag’s sign (mata jarang berkedip),
e. lid lag (kelopak mata atas tertinggal dibelakang tepi atas iris
saat mata bergerak ke bawah).

24
2.4.7 Diagnosis hipertiroid
1. Pemeriksaan fisik
Tirotoksikosis dari Grave’s disease berhubungan dengan
membesarnya kelenjar tiroid, kadang-kdang dapat terdengar bruit
dengan memakai bell dari stetoskop. Toxic multinoduler goiter
secara umum terjadi ketika kelenjar tiroid membesar setidaknya 2-3
kali dari ukuran normal. Kelenjar bersifat lunak, tapi nodul yang
soliter kadang-kadang dapat dipalpasi. Karena kebanyakan nodul
tiroid tidak dapat dipalpasi, harus dibuktikan lewat USG tiroid, tapi
nodul tiroid yang overaktif dapat dibuktikan hanya dengan nuclear
tiroid imaging dengan radioiodine (I-123) atau technetium (Tc99m)
thyroid scan (Lee, 2014).
Opthalmologic dan dermatologic examination
Sekitar 50% pasien dengan Grave tirotoksikosis memiliki
oftalmopati ringan, sering hanya bermanifestasi sebagai periorbital
edema, tapi juga dapat jadi edema konjungtiva (chemosis),
extraocular muscle dysfunction (diplopia), dan proptosis. Bukti
adanya thyroid eye disease dan tingginya hormon tiroid
mengkonfirmasi diagnosis Grave’s disease.

Gambar 2.9 Grave opthalmopathy (Lee, 2014)

25
Pada kasus yang jarang, Grave disease dapat mempengaruhi kulit
dengan adanya deposisi glikosaminoglikan di dermis pada kaki
bawah. Hal ini menyebabkan nonpitting edema, yang biasanya
berhubungan dengan eritema dan penebalan kulit tanpa nyeri.

Gambar 2.10 Pretibial myxedema (Lee, 2014)


 INSPEKSI (Gesundeith, 2015)
- Minta pasien untuk duduk tegak dengan dagu agak diangkat,
perhatikan struktur di bagian bawah-depan leher. Kelenjar tiroid
normal biasanya tidak dapat dilihat dengan cara inspeksi, kecuali pada
orang yang amat kurus
- Amati tulang hyoid, kartilago tiroid (Adam’s apple) dan kartilago krikoid,
serta trakea di bawahnya
- Lakukan inspeksi pada trakea ada atau tidaknya deviasi. Tempatkan
jari pemeriksa pada salah satu sisi dari trakea (ruang antara trakea
dan m. sternocleidomastoid)
- Lakukan pada sisi yang lain dan bandingkan simetris atau tidak
- Beri pasien minum, hanya dikulum, lalu pasien menengadah ke atas
lalu suruh menelan air. Perhatikan kelenjar tiroid bergerak ke atas saat
menelan air

26
- Amati leher dan lakukan penilaian kontur, simetris atau tidaknya
kelenjar tiroid
 PALPASI
Palpasi dari depan:
- Meminta pasien untuk mengangkat kepala tapi jagan sampai m.
sternocleidomastoid tegang
- Raba isthmus tiroid (di bawah kartilago krikoid) dengan jari telunjuk
dan jari tengah
- Minta pasien untuk menelan, rasakan isthmus tiroid yang lunak
terangkat ke atas menyentuh di bawah jari telunjuk
- Geser jari-jari ke lateral sampai batas anterior m. sternocleidomastoid
- Menilai lobus lateral, sebelum dan saat pasien menelan
- Meminta pasien untuk fleksi ringan dan sedikit miring ke kanan
- Tempatkan ibu jari kanan pada bagian bawah kartilago tiroid dan
dorong ke arah kanan pasien
- Kaitkan jari telunjuk dan tengah kiri di belakang m. sternocleidomastoid
dan raba bagian depan otot ini dengan ibu jari kiri
- Menilai lobus lateral pada saat pasien menelan
- Lakukan pada sisi satunya
Palpasi dari belakang
- Dari belakang pasien, tempatkan jari-jari secara natural pada
permukaan anterior tiroid dan rabalah
- Meminta pasien menegakkan kepala (ekstensi ringan)
- Tempatkan ibu jari pada tengkuk pasien, temukan kartilago krikoid dan
raba isthmus tiroid di bawah kartilagi krikoid
- Meminta pasien untuk menelan
- Geser jari-jari ke arah lateral dan nilai lobus lateral saat menelan.
- Meminta pasien untuk fleksi ringan dan miring ke kanan.
- Dorong kartilago tiroid ke kanan dengan jari-jari kiri.

27
- Tempatkan ibu jari kanan di belakang m. sternocleidomastoid dan raba
kelenjar tiroid dengan jari telunjuk dan tengah
- Minta pasien untuk menelan
 AUSKULTASI
Bila kelenjar tiroid membesar, lakukan auskultasi pada lobus lateral
kelenjar tiroid untuk mendengarkan bruit.
Klasifikasi awal:
Derajat 0 : tidak teraba struma
Derajat IA : teraba struma tapi tidak terlihat
Derajat IB : teraba struma tapi baru dapat dilihat bila posisi kepala
menengadah
Derajat II : struma terlihat pada posisi biasa
Derajat III : struma mudah dilihat pada posisi biasa dari jarak yang
agak jauh
Derajat IV : struma yang amat besar
Untuk membedakan hipertiroid dengan penyebab yang lain dari
tirotoksikosis, Radioactive Iodine Uptake (RAIU) dapat dilakukan.
Hipertiorid memiliki RAIU yang tinggi sementara etiologi yang lain
rendah dan hampir tidak ada (Mary, 2014).
a. Evaluasi klinis
Diagnosis hipertiroid dengan berdasarkan tanda dan gejala klinis
dapat ditegakkan dengan penilaian indeks Wayne:

28
Interpretasi hasil:
>19 = toxic
11-19 = equivocal
<11 = eutiroid toxic

b. Pemeriksaan penunjang
 Serum TSH
Pengukuran serum TSH memiliki sensitivitas dan spesifitas
tertinggi dari tes darah tunggal. Tes ini digunakan sebagai tes
skrining yang penting untuk hipertiroid. Pada keadaan
hipertiroid, serum TSH akan lebih rendah dari 0,01 mU/L atau
bahkan tidak terdeteksi (Paz-Pacheco, 2012).
 Kadar T3 dan T4
Untuk menilai keparahan dari kondisi dan meningkatkan akurasi
diagnostik, baik TSH dan T4 bebas harus dinilai pada saat
evaluasi awal. Pada hipertiroid biasanya serum T3 dan T4
bebas meningkat. Pada hipertiroid yang lebih ringan, serum T4
dan T4 bebas mungkin normal, hanya serum T3 yang mungkin

29
naik, dan serum TSH akan kurang dari 0,01 mU/L disebut T3
tirotoksikosis (Paz-Pacheco, 2012).
Kadar T4 total selama kehamilan normal dapat meningkat
karena peningkatan kadar TBG oleh pengaruh estrogen.
Namun peningkatan kadar T4 total di atas 190 nmol/L (15
ug/dL) menyokong diagnosis hipertiroid, Pemeriksaan kadar T4
dan T3 bebas merupakan prosedur yang tepat karena tidak
dipengaruhi oleh peningkatan TBG. Beberapa peneliti
melaporkan bahwa kadar T4 dan T3 bebas sedikit menurun
pada kehamilan, sehingga kadar yang normal saja mungkin
sudah menunjukkan hipertiroid (Siraj, 2008).

Gambar 2.11 Algoritma diagnosis hipertiroid (Reid, 2008)

30
2. Pemeriksaan penunjang
Radionuclide Imaging
Kedua yodium 123 (123i) dan yodium 131 (131I) digunakan untuk
menggambarkan kelenjar tiroid. 123i memancarkan radiasi
berdosis rendah, memiliki sebuah waktu paruh dari 12-14 jam, dan
digunakan untuk menggambarkan tiroid lingual atau gondok.
Sebaliknya, 131I memiliki paruh waktu 8-10 hari dan mengarah ke
paparan radiasi dengan dosis tinggi. Oleh karena itu, isotop ini
digunakan untuk menyeleksi dan mengobati pasien dengan kanker
tiroid yang berdiferensiasi untuk penyakit metastasis. Gambar yang
diperoleh oleh studi ini tidak hanya memberikan informasi tentang
ukuran dan bentuk kelenjar, tetapi juga aktivitas distribusi
fungsional. Daerah yang kuarang menangkap radioaktivitas dari
kelenjar sekitarnya disebut cold, sedangkan daerah yang
menunjukkan peningkatan aktivitas yang disebut hot. Resiko
keganasan lebih tinggi pada lesi “cold” (20%) dibandingkan dengan
lesi "hot" atau "warm" (<5%). Technetium Tc 99m pertechnetate
(99mTc) diserap oleh kelenjar tiroid dan semakin sering digunakan
untuk evaluasi tiroid. Isotop ini diserap oleh mitokondria, tetapi tidak
organified. Hal ini juga memiliki keuntungan yakni memiliki waktu
paruh yang lebih pendek dan meminimalkan paparan radiasi. Hal
ini sangat sensitif untuk metastasis kelenjar. Baru-baru ini, 18F-

fluorodeoxyglucose positron emission tomography (PET FDG)


sedang semakin sering digunakan untuk screening metastasis
pada pasien dengan kanker tiroid yang pada studi pencitraan lain
hailnya negatif. PET scan tidak secara rutin digunakan dalam
evaluasi nodul tiroid.Terdapat beberapa laporan terbaru mengenai
tingkat keganasan pada lesi ini berkisar antara 14 sampai 63%.
Nodul yang ditemukan secara kebetulan ini ditemukan harus

31
diperiksa dengan USG dan aspirasi biopsi jarum halus (FNAB)
(Bruncardi, 2014).

USG
USG adalah studi pencitraan noninvasif baik dan portabel dari
kelenjar tiroid dengan keuntungan tambahan dari tidak adanya
paparan radiasi. Hal ini membantu dalam evaluasi nodul tiroid,
membedakan nodul solid dan yang kistik, dan memberikan
informasi tentang ukuran dan multicentricity. USG juga dapat
digunakan untuk menilai limfadenopati servikal dan untuk
menuntun FNAB. Sebuah ultrasonographer yang berpengalaman
diperlukan untuk hasil terbaik (Bruncardi, 2014).

Computed Tomography / Magnetic Resonance Imaging


Computed tomography (CT) dan magnetic resonance imaging
(MRI) memberikan pencitraan yang amat baik dari kelenjar tiroid
dan kelenjar yang berdekatan, dan sangat berguna dalam
mengevaluasi ukuran, terfiksir, atau gondok substernal (yang tidak
dapat dievaluasi oleh USG) dan hubungan mereka dengan saluran
napas dan struktur vaskular. Noncontrast CT scan harus dilakukan
pada pasien yang cenderung membutuhkan terapi RAI
berkelanjutan. Jika kontras diperlukan, terapi harus ditunda selama
beberapa bulan. Gabungan PET-CT scan semakin sering
digunakan untuk Tg-positif, tumor radioaktif yodium-negatif
(Bruncardi, 2014).

Fine needle aspiration biopsy (FNAB)

Pada Graves disease, FNAB sangat diperlukan jika ditemukan


nodul pada tiroid untuk membedakan nodul jinak dan ganas (Paz-
Pacheco, 2012).

32
2.4.7 Penatalaksanaan

Pengobatan Umum:

1) Istirahat.

Hal ini diperlukan agar hipermetabolisme pada penderita tidak makin


meningkat. Penderita dianjurkan tidak melakukan pekerjaan yang
melelahkan/mengganggu pikiran baik di rumah atau di tempat bekerja. Dalam
keadaan berat dianjurkan bed rest total di rumah sakit (Bruncardi, 2014).

2) Diet.

Diet harus tinggi kalori, protein, multivitamin serta mineral. Hal ini
antara lain karena terjadinya peningkatan metabolisme, keseimbangan
nitrogen yang negatif dan keseimbangan kalsium yang negatif (Bruncardi,
2014).

3) Obat penenang.

Mengingat pada hipertiroid sering terjadi kegelisahan, maka obat


penenang dapat diberikan. Di samping itu perlu juga pemberian psikoterapi
(Bruncardi, 2014).

Pengobatan Khusus

1) Obat antitiroid.

Obat antirioid umumnya diberikan dalam persiapan untuk tindakan


ablasi RAI ataupun operasi. Obat-obat yang biasanya digunakan adalah
Propiltiourasil (PTU, dengan dosis 100–300 mg tiga kali sehari). Dan
metimazol (dosis 10–30 mg tiga kali sehari, kemudian dilanjutkan satu kali
sehari). Metimazol mempunyai waktu paruh yang panjang dan dapat
diberikan satu kali dalam sehari. Kedua obat tersebut berfungsi untuk
menurunkan produksi hormon tiroid dengan menghambat ikatan organik dari

33
yodium dan penggabungan iodotirosin (diemediasi oleh TPO). Selain itu, PTU
juga menghambat konversi perifer T4 menjadi T3, sehingga obat ini berguna
untuk pengobatan Thyroid Storm/Crisis. Kedua obat dapat menembus
plasenta, sehingga menghambat fungsi tiroid fetus, dan obat ini juga
dieksresikan melalui air susu ibu meskipun PTU mempunyai resiko yang lebih
rendah untuk ditransfer secara transplasental. Metimazol juga dikaitkan
dengan terjadinya kelainan kongenital berupa aplasia. Oleh karena itu, PTU
lebih sering digunakan pada wanita hamil dan menyusui. Efek samping yang
bisa didapatkan adalah granulositopenia reversibel, ruam kulit, demam,
neuritis perifer, poliarteritis, vaskulitis, dan agranulositosis serta anemia
aplastik. Pasien harus dipantau untuk kemingkinan terjadinya komplikasi dan
harus diperingatkan untuk menghentikan PTU atau metimazol dengan segera
jika kemudian pasien mengalami nyeri tenggorokan dan demam (Anonim,
2012).

Dosis obat antitiroid harus dititrasi setiap 4 minggu sampai fungsi tiroid
normal. Beberapa pasien dengan Graves disease dapat menjadi remisi
setelah pengobatan selama 12–18 bulan dan obat dapat dihentikan.
Setengah dari pasien yang menjadi remisi dapat mengalami kekambuhan
pada tahun berikutnya (Lee, 2014).

Dosis obat antitiroid dimulai dengan 300-600 mg perhari untuk PTU


atau 30-60 mg per hari untuk MMI/carbimazole, terbagi setiap 8 atau 12 jam
atau sebagai dosis tunggal setiap 24 jam. Dalam satu penelitian dilaporkan
bahwa pemberian PTU atau carbimazole dosis tinggi akan memberi remisi
yang lebih besar (Lee, 2014).

Secara farmakologi terdapat perbedaan antara PTU dengan MMI/CBZ,


antara lain adalah:

34
1. MMI mempunyai waktu paruh dan akumulasi obat yang lebih lama
dibanding PTU di clalam kelenjar tiroid. Waktu paruh MMI ± 6 jam
sedangkan PTU + 11 /2 jam.

2. Penelitian lain menunjukkan MMI lebih efektif dan kurang toksik


dibanding PTU.

3. MMI tidak terikat albumin serum sedangkan PTU hampir 80% terikat
pada albumin serum, sehingga MMI lebih bebas menembus barier plasenta
dan air susu, sehingga untuk ibu hamil dan menyusui PTU lebih dianjurkan
(Lee, 2014).

Jangka waktu pemberian tergantung masing-masing penderita (6 - 24


bulan) dan dikatakan sepertiga sampai setengahnya (50-70%) akan
mengalami perbaikan yang bertahan cukup lama. Apabila dalam waktu 3
bulan tidak atau hanya sedikit memberikan perbaikan, maka harus dipikirkan
beberapa kemungkinan yang dapat menggagalkan pengobatan (tidak teratur
minum obat, struma yang besar, pernah mendapat pengobatan yodium
sebelumnya atau dosis kurang). Efek samping ringan berupa kelainan kulit
misalnya gatal-gatal, skin rash dapat ditanggulangi dengan pemberian anti
histamin tanpa perlu penghentian pengobatan. Dosis yang sangat tinggi
dapat menyebabkan hilangnya indera pengecap, cholestatic jaundice dan
kadang-kadang agranulositosis (0,2-0,7%), kemungkinan ini lebih besar pada
penderita umur di atas 40 tahun yang menggunakan dosis besar. Efek
samping lain yang jarang terjadi. Antara lain berupa: arthralgia, demam
rhinitis, conjunctivitis, alopesia, sakit kepala, edema, limfadenopati,
hipoprotombinemia, trombositopenia, gangguan gastrointestinal (Lee, 2014).

2) Yodium

Pemberian yodium akan menghambat sintesa hormon secara akut


tetapi dalam masa 3 minggu efeknya akan menghilang karena adanya

35
escape mechanism dari kelenjar yang bersangkutan, sehingga meski sekresi
terhambat sintesa tetap ada. Akibatnya terjadi penimbunan hormon dan pada
saat yodium dihentikan, timbul sekresi berlebihan dan gejala hipertiroidi
menghebat (Lee, 2014).

Pengobatan dengan yodium (MJ) digunakan untuk memperoleh efek


yang cepat seperti pada krisis tiroid atau untuk persiapan operasi. Sebagai
persiapan operasi, biasanya digunakan dalam bentuk kombinasi. Dosis yang
diberikan biasanya 15 mg per hari dengan dosis terbagi yang diberikan 2
minggu sebelum dilakukan pembedahan.Marigold dalam penelitiannya
menggunakan cairan Lugol dengan dosis 1/2 ml (10 tetes) 3 kali perhari yang
diberikan 10 hari sebelum dan sesudah operasi (Lee, 2014).

3) Penyekat Beta (Beta Blocker).

Terjadinya keluhan dan gejala hipertiroidi diakibatkan oleh adanya


hipersensitivitas pada sistem simpatis. Meningkatnya rangsangan sistem
simpatis ini diduga akibat meningkatnya kepekaan reseptor terhadap
katekolamin (Lee, 2014).

Penggunaan obat-obatan golongan simpatolitik diperkirakan akan


menghambat pengaruh hati.Reserpin, guanetidin dan penyekat beta
(propranolol) merupakan obat yang masih digunakan. Berbeda dengan
reserpin/guanetidin, propranolol lebih efektif terutama dalam kasus-kasus
yang berat. Biasanya dalam 24 - 36 jam setelah pemberian akan tampak
penurunan gejala. Khasiat propranolol :

− penurunan denyut jantung permenit

− penurunan cardiac output

− perpanjangan waktu refleks Achilles − pengurangan nervositas

− pengurangan produksi keringat

36
− pengurangan tremor

Di samping pengaruh pada reseptor beta, propranolol dapat


menghambat konversi T4 ke T3 di perifer. Bila obat tersebut dihentikan, maka
dalam waktu ± 4-6 jam hipertiroid dapat kembali lagi. Hal ini penting
diperhatikan, karena penggunaan dosis tunggal propranolol sebagai
persiapan operasi dapat menimbulkan krisis tiroid sewaktu operasi.
Penggunaan propranolol a.l. sebagai : persiapan tindakan pembedahan atau
pemberian yodium radioaktif, mengatasi kasus yang berat dan krisis tiroid

4) Levotiroksin (L-tiroksin)

Merupakan obat yang bisa memberikan kadar serum T3 danT4 yang


stabil. Penyerapan di usus bisa mencapai 75%.Obat ini merupakan pilihan
untuk penggantian hormon tiroid dan terapi supersif karena stabil secara
kimia, murah, bebas antigen, dan punya potensi seragam.Pada pasien yang
direncanakan tiroidektomi, selain diberikan PTU atau metimazol, dapat
diberikan levotiroksin untuk menjaga kondisi eutiroid.

Pada penderita eutiroid sebelum operasi, terapi pengganti hormon


mungkin tidak diperlukan setidaknya untuk 10 hari pasca bedah, bahkan
setelah tiroidektomi total. Dosis harian hormon pengganti tiroid umumnya
100 ug levothyroxine (Synthroid) untuk orang dengan berat badan normal.
Kebanyakan ahli endokrin percaya bahwa dosis levothyroxine perlu
disesuaikan untuk menjaga kadar TSH pada kadar normal rendah setelah
operasi untuk kanker atau terapi supresif.

5) Tindakan pembedahan

Tindakan pembedahan direkomendasikan ketika kontraindikasi


terhadap RAI pada pasien yang dikonfirmasi kanker atau dicuragi nodul tiroid,
berusia muda, memiliki reaksi yang parah terhadap antitiroid, memiliki gondok
yang besar (>80 g) sehingga menyebabkan gejala kompresi. Indikasi relatif

37
pada tiroidektomi meliputi pasien dengan perokok, Graves ophthalmopathy
sedang hingga berat, pasien yang meginginkan control cepat sehingga
segera menjadi eutiroid.Wanita hamil merupakan kontra ndikasi relatif dari
pembedahan, dan pembedahan dilakukan hanya ketika dibuthkan kontrol
cepat dan obat anitiroid tidak dapat digunakan. Pembedahan yang paling
baik dilakukan pda trimester dua (Bruncardi, 2014). Tindakan pembedahan
sangat direkomendasikan pada kasus toxic multinodular goiter dan toxic
adenoma. Tiroidektomi subtotal merupakan bentuk penanganan hipertiroid
yang terlama. Tiroidektomi totdal dan kombinasi dari hemitiroidektomi dan
tiroidektomi subtotal kontralateral dapat digunakan (Lee, 2014).

Untuk persiapan pembedahan dapat diberikan kombinasi antara


thionamid, yodium atau propanolol guna mencapai keadaan eutiroid.
Thionamid biasanya diberikan 6-8 minggu sebelum operasi, kemudian
dilanjutkan dengan pemberian larutan Lugol selama 10-14 hari sebelum
operasi.Propranolol dapat diberikan beberapa minggu sebelum operasi,
kombinasi obat ini dengan Yodium dapat diberikan 10 hari sebelum operasi
(Lee, 2014).

Tujuan pembedahan yaitu untuk mencapai keadaan eutiroid yang


permanen. Dengan penanganan yang baik, maka angka kematian dapat
diturunkan sampai 0 (Lee, 2014).

Berbagai indikasi untuk melakukan tiroidektomi adalah pasien


terdiagnosis kanker tiroid. Di luar keganasan, tiroidektomi juga menjadi
pilihan terapi yang layak untuk pasien dengan goiter atau gondok. Pasien
yang mengalami sesak nafas, nafas pendek, maupun sulit menelan karena
adanya goiter yang besar harus dilakukan tiroidektomi. Indikasi lain dari
tindakan ini adalah Graves disease yang sulit diatasi.

Hipertiroid berat yang tidak terkontrol merupakan kontraindikasi relatih


untuk melakukan tindakan operatif karena kekhawatiran keadaan saat

38
operasi maupun setelah operasi Meskipun tiroidektomi bisa dilakukan saat
kehamilan, banyak ahli yang menyatakan sebaiknya tindakan tiroidektomi
ditunda hingga paska persalinan (Lee, 2014).

Tergantung dari patologinya, berapa luas kelenjar yang diambil serta


ada tidaknya penyebaran dari penyakitnya (keganasan)

a. Subtotal Lobektomi
Pengangkatan nodul tiroid beserta jaringan tiroid sekitar pada satu
sisi,dengan meninggalkan sebanyak kurang lebih 4-7 gram jaringan
tiroid normal pada bagian dekat n. rekurens. Operasi dilakukan pada
tonjolan jinak tiroid.
b. Total Lobektomi
Pengangkatan nodul tiroid dengan jaringan tiroid
sepenuhnya.Operasi ini dilakukan pada tonjolan jinak yang
mengenai seluruh jaringan tiroid satulobus, atau pada tonjolan tiroid
dengan hasil pemeriksaan FNA-B menunjukkan suatu neoplasma
folikuler. Bila hasil pemeriksaan histo PA dari specimen
menunjukkan keganasan tiroid, maka tindakan lobektomi total sudah
dianggap cukup pada penderita dengan faktor prognostik yang baik.
c. Subtotal tiroidektomi
Pengangkatan nodul tiroid beserta jaringan tiroid sekitarnya pada
kedua sisi, dengan meninggalkan kurang lebih 4-7 gram jaringan
tiroid normal.
d. Near total tiroidektomi
Pengangkatan nodul tiroid beserta seluruh jaringan tiroid pada satu
sisi disertai pengangkatan sebagian besar jaringan tiroid sisi
kontralateral dengan menyisakan sekitar 5 gram pada sisi
tersebut.operasi ini dilakukan pada tonjolan jinak tiroid yang

39
mengenai seluruh jaringan tiroid satu lobus dan sebagian jaringan
tiroid kontralateral.
e. Total tiroidektomi
Pengangkatan nodul tiroid beserta seluruh jaringan tiroid.Operasi ini
dikerjakan pada karsinoma tiroid diferensiasi tidak baik terutama bila
disertai adanya faktor prognostik yang jelek

Gambar 2.13 Macam-Macam Pembedahan Kelenjar Tiroid

(http://www.drugs.com/health-guide/images/205306.jpg. Diakses 5 Oktober


2015 Pukul 21.40 WIB)

Teknik yang dijelaskan mengacu pada diseksi kapsular dari lobus tiroid
yang bisa meluas hingga tiroidektomi total.

 Menginsisi pada leher bagian depan 4 cm di atas suprasternal notch


sedikit melengkung dengan konkavitas ke atas
 Memperdalam incise sampai m. plastyma, flap atas dibebaskan dari
jaringan di bawahnya dengan cara tajam kemudian dengan cara
tumpul sampai setinggi incisura thyroidea. Merawat perdarahan yang
terjadi. Flap bawah dibebaskan dengan cara seperti di atas sampai
setinggi suprasternal notch, pembebasan bagian medial lebih penting
dari pada bagian lateral

40
 Membuat insisi vertical di garis tengah leher pada fascia colli dari
cartilage thyroid sampai supra sternal notch.
 Memisahkan M. Sternothyroideis secara longitudinal dengan struktur di
bawahnya dengan jari telunjuk dan kemudian disisihkan ke lateral.
Tampak Kapsula chirrugis glandula thyroid dan M. Sternothyroid.
 Membuat insisi pada kapsula chirrugis, memisahkan dari stuktur di
bawahnya secara tumpul dengan jari-jari kemudian ditarik ke lateral.
Untuk dissectie sebelah lateral dan posterior di bawah fascia ini harus
hati-hati adanya kemungkinan perlukaan pada V. thyroid media. Maka
tampaklah Gl . thyroidea
 Dengan jari-jari lobus lateralis kanan kelenjar thyroid ditarik kemedial
dan V. Thyroidea media diklem dan diligasi barulah dipotong
 Lobus lateralis kanan kelenjar thyroid ditarik kekiri bawah dan M.
Sterno hyoideus dan M. Sternothyroideus kanan ditarik kekanan atas
untuk mengexpose pol. Superior lob. Lateralis kanan kel. Thyroid ini.
Kemudian vascular pedicle superior kel. Thyroid sebelah kanan
dimobilisir dengan cara : tajam pada sebelah medialnya dengan klem,
tajam pada sebelah profundusnya yg relative lekat dengan struktur
dibawahnya. Kemudian masukkan jari telunjuk tangan kiri kedalam
ruangan profundus polus superior tersebut yang dibatasi sebelah
profundus oleh Vert. cervicalis, sebelah lateral A. Carotis. Dengam
jari-jari polus superior ini dibebaskan seluruhnya dari jaringan
sekitarnya.
 Setelah R. externus n. laryngeus Sup. diindentifikasi dan
diselamatkan, maka Vasa thyroidea superior dipegang dengan klem
pada 2 tempat dan diligasi sebelah luar dari klem tersebut dengan zide
atau catgut yg kuat, kemudian dipotong diantara kedua klem diatas.
Untuk lebih safe maka buat ligasi lagi pada sebelah proximal dari ligasi
proximal vasa thyroidea superior.

41
 Melakukan dissectie jaringan ikat kendor yang dibatasi oleh kelenjar
thyroid sebelah medial dari a. rotis disebelah lateral untuk mencari a.
thyroidea inferior. Setelah didapat maka lingkari dengan zyde atau
catgut yang kuat yang masih dilonggarkan lebih dulu. Kemudian
vascular pedicle inferior dibebaskan dari jaringan sekitarnya secara
tumpul.
 Setelah bebas vascular pedicle inferior ini dipegang dengan
klem kemudian diligasi lalu dipotong seperti vasculair pedicle superior
diatas.
 Polus superior dan polus inferior lateralis kanan kelenjar thyroid yang
telahbebas ini disatukan kemudian lobus lateralis kanan ditarik ke
medial. Jalann. laryngeus inferior kanan dan hubungannya dengan
kelenjar parathyroidea superior dapat dilihat
 Jaringan ikat kendor yang mengikat kelenjar thyroid kee lig.
Cricothyroid yang disebut suspensorium dipegang dengan dengan dua
klem dan dipotong di antara di kedua klem tersebut
 Kemudian kelenjar thyroid dapat dipotong (subtotal /partial resecti).
Pada Subtotal thyroidectomy bilateral/ unilateral sisa lobus kelenjar
thyoid dijahitkan fascia prethrtacealis dengan zyde.
 Operasi pada lobus lateralis kanan untuk total thyroidektomy
dilanjutkan, bila terdapat a. thyroidea ima dipegang dengan dua klem
diligasi kemudian dipotong. Isthmus kelenjar thyroid dipisahkan
dengan permukaan anterior trachea secara tumpul yatu masukkan
klem arteri yang bengkok diantara isthmus dan trachea dari bawah
keatas kemudian dibuka ditutup secara berganti. Lalu isthmus
dipegang dengan dua klem diligasi dan dipotong.
 Lobus lateralis kanan kel. Thyroid kemudian dibebaskan seluruhnya
dari jaringan yang masih melekat padanya
 Bila kedua lobus lateralis kel. Thyroid akan dipotong maka prosedur ini
diulangi pada sisi kiri

42
 M. sternothyroid kanan dan kiri dijahit kembali juga m. sternohyoid
dijahit kembali dengan zyde. Bila perlu drain dipasang.
 Fascia colli dijahit dengan baik
 M.platysma dan kulit kemudian ditutup, operasi selesai

Gambar 2.14Tiroidektomi
(http://epomedicine.com/medical-students/thyroidectomy-basics. Diakses 5
Oktober 2015 Pukul 23.15 WIB

43
2.4.8 Komplikasi

1. Masalah jantung.

Beberapa komplikasi yang paling serius dari hipertiroid melibatkan


jantung. Gejala ini termasuk detak jantung yang cepat, gangguan irama
jantung yang disebut fibrilasi atrium dan gagal jantung kongestif - suatu
kondisi di mana jantung tidak dapat mengedarkan darah yang cukup untuk
memenuhi kebutuhan tubuh. Komplikasi ini umumnya reversibel dengan
pengobatan yang tepat

2. Osteoporosis.

Hipertiroidisme yang tidak diobati juga dapat menyebabkan


kelemahan pada tulang dan tulang rapuh (osteoporosis). Kekuatan tulang
tergantung dari jumlah kalsium dan mineral yang dikandungnya. Terlalu
banyak hormon tiroid mengganggu kemampuan tubuh Anda untuk
menggabungkan kalsium ke dalam tulang.

3. Masalah mata.

Orang dengan Graves 'ophthalmopathydapat memiliki masalah pada


mata, termasuk mata menonjol, mata merah atau bengkak, sensitif terhadap
cahaya, dan kabur atau penglihatan ganda. , Masalah mata yang parah tidak
diobati dapat menyebabkan kehilangan penglihatan.

4. Kulit bengkak dan merah.

Dalam kasus yang jarang terjadi, orang-orang dengan Graves disease


dapat memiliki gejala dermopati, yang mempengaruhi kulit, menyebabkan
kemerahan dan bengkak, sering pada tulang kering dan kaki.

44
5. Krisis tirotoksik.

Hipertiroidisme juga meningkatkan resiko terjadinya tirotoksis krisis–


Gejala yang muncul secara tiba-tiba antara lain demam, denyut nadi cepat
dan bahkan delirium.

2.4.9 Prognosis

Hipertiroid akibat toxic multinodular goiter dan toxic adenoma


biasannya bersifat permanen dan terjadi pada orang dewasa. Setelah
normalisasi fungsi tiroid dengan obat antitiroid, yodium radioaktif biasanya
direkomendasikan sebagai terapi definitif. Obat antitiroid Jangka panjang,
dosis tinggi tidak dianjurkan. Gondok multinodular toksik dan adenoma toksik
mungkin akan terus tumbuh perlahan-lahan selama penggunaan obat
antitiroid (Lee, 2015).

Umumnya, daerah yang thyrotoxic dilakukan tindakan ablasi, dapat


mungkin menjadi tetap eutiroid. Mereka yang menjadi hipotiroid setelah terapi
yodium radioaktif mudah dipertahankan dengan terapi penggantian hormon
tiroid, dengan T4 diberikan sekali sehari (Lee, 2015).

Pasien dengan penyakit Graves mungkin menjadi hipotiroid dalam


perjalanan alami penyakit mereka, terlepas dari apakah pengobatan
melibatkan yodium radioaktif atau operasi. Penyakit mata dapat berkembang
pada saat jauh dari diagnosis awal dan terapi. Umumnya, setelah diagnosis,
oftalmopati perlahan membaik selama tahun (Lee, 2015).

Kelebihan hormon tiroid menyebabkan penebalan ventrikel kiri, yang


berhubungan dengan peningkatan risiko gagal jantung dan kematian yang
berhubungan dengan jantung. Tirotoksikosis telah dikaitkan dengan
kardiomiopati, gagal jantung kanan dengan hipertensi pulmonal, dan
disfungsi diastolik dan fibrilasi atrium (Lee, 2015).

45
Peningkatan laju resorpsi tulang terjadi. Kehilangan tulang, diukur
dengan densitometri mineral tulang, dapat dilihat pada hipertiroidisme berat
pada semua usia dan jenis kelamin. Pada penyakit subklinis ringan,
penurunan densitas tulang sering terjadi pada wanita pascamenopause (Lee,
2015).

46
DAFTAR PUSTAKA

Aleppo, Grazia. 2015. Hyperthyroidism. Available at


http://www.endocrineweb.com/conditions/hyperthyroidism/hyperthyroidi
sm-overview-overactive-thyroid Accessed February 11, 2015 at 15.30
pm

Anonim, 2012. Hyperthyroidism. Available at www.thyroidawareness.com.


Accessed at January 30, 2012.

Bruncardi, F.C., et al. Chapter 38 in Thyroid, Parathyroid, and Adrenal in


Schwartz’s Principal Of Surgery 9th Edition. 2014. United States of
America Page 3198 – 3205.

Fox, S I. 2006. Endocrin Glands. In: Human Physiology 8th Ed. McGrawHill.
Page 303-4.

Ganong, F W. 2006. The thyroid gland. In: Review of Medical Physiology 22 th


Ed. USA: McGrawHill Companies.

Gesundheit, Neil. 2005. Thyroid Exam. Available at


http://stanfordmedicine25.stanford.edu/the25/thyroid.html Accessed at
May 21, 2015 at 23.00 pm.

Guyton, A.C., dan Hall, J E. 2006. Thyroid Metabolic Hormones. In: Textbook
of Medical Physiology 11th Ed. Philadelphia, PA, USA: Elsevier
Saunders.

Lee, Stephanie L., 2014. Hyperthyroidism. Available at


http://emedicine.medscape.com/article/121865-overview#a6 Accessed
at November 3, 2015 at 16.30 pm.

47
Lights V., Solan M., Fantauzzo M. 2015. Hyperthyroidism. Available at
http://www.healthline.com/health/hyperthyroidism#Overview1.
Accessed at October 27, 2015.

Mathur, Ruchi, 2015. Overview of the clinical manifestations of


hyperthyroidism in adults. Available at
http://www.medicinenet.com/hyperthyroidism/article.htm#what_is_hype
rthyroidism. Accessed at October 30, 2015, at 12.30 pm.

Mary, Shomon. 2014. Thyroid Imaging Tests. Available at


http://thyroid.about.com/od/gettestedanddiagnosed/a/imagingtests.htm
Accessed at December 15, 2014.

Moore, Keith L., Agur, Anne M R. 2007. Chapter 8, Neck. In: Essential
Clinical Anatomy 3rd. Lippincott Williams and Wilkins.

Paz-Pacheco, Elizabeth, MD. Indonesian Clinical Practice Guidelines for


Hyperthyroidism. Journal of the Asean Federation of Endocrine
Societies. 2012,. Available at http://asean-
endocrinejournal.org/index.php/JAFES/article/view/10/16 Accessed at
May 20, 2015 at 23.15 pm

Pong, Vincent. 2013. Journal of Endocrinology and metabolism. Availablr at


http://www.jofem.org/index.php/jofem/article/view/144/199 Accessed at
April 2013.

Reid, J R., Wheeler S F. 2008. Hyperthyroidism: Diagnosis and Treatment.


Available at http://www.aafp.org/afp/2005/0815/p623.html Accessed at
August, 15 at 17.10 pm.

48
Robinson, Jennifer. 2015. Overactive Thyroid (Hyperthyroidism) Available at
http://www.webmd.com/women/overactive-thyroid-
hyperthyroidism?page=3 Accessed at Agustus 27, 2015 at 17.26 pm.

Siraj, 2008. Update on the Diagnosis and Treatment of Hyperthyroidism.


Philadelphia: JCOM.

Supadmi S., Emilia O., Kusnanto H. 2012. Hubungan Hipertiroid dengan


Aktivitas Kerja Pada Wanita Usia Subur dalam Berita Kedokteran
Masyarakat Vol. 23. Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas
Gajah Mada Yogyakarta. pp 124-130.

Vander, A.J. Sherman J.H., Luciano D.S. 2003. The Endocrine System. In:
Human Physiology, The Mechanism of Body Function 9th Ed. New
York: McGrawHill Publishing Company.

Young Barbara, Lowe JS, Stevens Alan, Heath J W. 2007. Thyroid Gland in
Wheater’s Functional Histology, A Text and Colour Atlas 5 th Ed.
Elsevier.

49

You might also like