You are on page 1of 55

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Frozen Shoulder

2.1.1 Pengertian Nyeri Bahu Akibat Frozen Shoulder

Frozen shoulder adalah suatu syndrom atau kondisi dengan keluhan nyeri

dan keterbatsan gerak aktif dan pasif yang sering terjadi pada 2-3% populasi dan

sering terjadi pada orang yang berusia lebih dari 40 tahun, terutama wanita

berusia 50 tahun 15% pasien akan mengalami frozen shoulder bilateral. Penyebab

frozen shoulder tidak diketahui, diduga penyakit ini merupakan respon auto

immobilisasi terhadap patologi jaringan local (Graham, 2000).

Rusaknya jaringan lokal tersebut berupa inflamasi pada membran sinovial

dan kapsul sendi glenohumeral yang membuat formasi adhesive sehingga

menimbulkan nyeri dan kemudian disusul dengan reflek spasme yang

menyebabkan immobilisasi. Hal ini mengakibatkan terjadinya kontraktur dan

penebalan pada kapsul anterior, perlengketan pada kapsul inferior dan tegang pada

kapsul posterior, dan selanjutnya kapsul sendi glenohumeral menjadi mengkerut,

sehingga ditemukan adanya keterbatasan dan nyeri saat digerakkan (Thomson,

2003).

Karena ligamen kapsul anterior lebih tebal sehingga pada pemeriksaan

gerak pasif ditemukan banyak daripada kapsul keterbatasan gerak pola kapsular

dimana eksternal rotasi paling terbatas dan firm end feel dan inilah yang disebut

frozen shoulder. Selain dugaan adanya respon auto immobilisasi seperti telah

dijelaskan di atas, banyak yang menjadi presdiposisi frozen shoulder yaitu usia,

repetitive injury, diabetes mellitus, kelumpuhan, post operasi payudara atau dada,

infark miokardia, dan dari dalam sendi glenohumeral (tendonitis bicipitalis,

10
11

inflamasi rotator cuff, fracture) atau kelainan ekstra articular (cervical

spondylisis, angina pectoris). Nyeri bahu akibat frozen shoulder terjadi akibat

adanya inflamasi kronis kapsul sendi sehingga nyeri bangun tidur dan setelah

diistirahatkan. Nyeri akibat kontraktur kapsul, ligament dan otot sehingga timbul

nyeri bila digerakan (Goldman and Davis, 2003).

Gambar 2.1. Frozen Shoulder.


Sumber : www.physicaltherapy.co/ortho/frozenshoulder1.htm
diakses 20 Nopember 2010

2.1.2Anatomi Terapan Sendi Bahu ( Bahu kompleks)

Sendi bahu merupakan sendi sinovial tipe ball and socked, gerakannya

paling luas namun susunan osteologisnya labil. Posisi/sikap dan gerakan yang

terjadi pada sendi bahu selalu berkaitan dengan seluruh sub sistem dalam shoulder

compleks yang terdiri dari 7 persendian, yaitu : glenohumeral join suprahumeral

joint,acromioclavicular joint,sternoclavicular joint, scapulothoracaljoint,

intervertebral joints (cervicothoracal) dan costovertebral-transversal joint

((Pletzer, 2001).
12

Kompleksitas sendi bahu tersebut menyebabkan adanya scapulohumeral

rhythm yaitu pada selama gerakan abduksi – elevasi dan fleksi shoulder terjadi

gerakan osteokinematik yang proporsional bukan hanya pada humerus dan

scapula, akan tetapi juga pada costa dan intervertebra (lower cervical dan upper

thoracal). Aspek anatomi terapan sendi bahu kompleks diantaranya, meliputi:

2.1.2.1 Osteogen

Kerangka ekstremitas dibentuk oleh cingulum membri superioris

(shoulder girdle) dan pars libera membri superioris. Cingulum membri superioris

(shoulder girdle) atau gelang bahu terdiri dari kedua klavikula dan kedua skapula

dan disebelah ventral dihubungkan pada manubrium sterni, menghubungkan

ekstremitas superior pada kerangka axial. Sedangkan pars libera membri

superioris (kerangka lengan) terdiri dari humerus, radius, ulna, carpi, metacarpi

dan phalanges, namun yang terkait dengan shoulder girdle hanya os humerus.

Clavicula atau tulang kollar adalah tulang yang berbentuk huruf “s”, dan

membentuk bagian anterior dari gelang bahu. Disebelah depan konveks dan pada

dua pertiga medial dan sepertiga lateral konkaf ke anterior. Yang berhadapan

dengan sternum terdapat ekstremitas sternalis, dan berhadapan dengan skapula

terdapat ekstremitas acromialis dan diantara kedua bagian tersebut terdapat korpus

klavikula. Pada ujung sternum berbentuk segitiga disebut facies artikularis

sternalis. Dekat ekstremitas sternalis pada permukaan bawah klavikula terdapat

lekukan untuk ligamentum kostoklavikularis, sedangkan dekat ekstremitas

akromialis berdekatan dengan linea trapezoidea terdapat suatu tonjolan yang

disebut tuberculum conoideum” Fungsi klavikula adalah memberi kaitan kepada

beberapa otot dari leher dan bahu dan dengan demikian bekerja sebagai penopang

lengan.
13

Gambar 2.2. Tulang Bahu.


Sumber : www. Shoulder Pain Info _com - Shoulder Anatomy.htm diakses 10November 2010

Skapula atau tulang belikat membentuk bagian belakang dari gelang bahu

dan terletak disebelah belakang thorax lebih dekat permukaan kosta. Bentuknya

segitiga pipih dan memperlihatkan dua permukaan, tiga sudut dan tiga sisi.

Permukaan scapula berupa permukaan anterior dan kostal disebut fossa

subscapularis dan terletak paling dekat dengan kosta. Permukaan posterior atau

dorsal terbagi oleh sebuah belebas yang disebut spina skapula. Area diatas spina

scapula adalah fossa supraspinosus dan dibawahnya adalah fossa infraspinosus.

Pada sisi medial depan processus akromion dan diatas cavitas glenodalis adalah

processus coracoideus. Akromion bersendi dengan kalvikula dan kavitas

gleinodalis yang datar yang terletak pada angulus lateral bersendi dengan kaput

humerus.

Humerus atau tulang lengan atas adalah tulang terpanjang dari anggota

atas. Memperlihatkan sebuah batang dan dua ujung (proksimal dan distal). Ujung

proksimal humerus adalah sepertiga dari atas ujung humerus tediri atas sebuah

kaput, yang membuat sendi dengan rongga glenoid dari skapula dan merupakan

bagian dari bangunan sendi bahu atau glenohumeral. Pada permukaan

anterolateralis ujung proksimal terdapat tuberkulum majus dan bagian medialis


14

terdapat tuberkulum minus, diantara kedua tuberkulum tersebut terdapat sulcus

intertubercularis. Ujung distal humerus lebar dan agak pipih. Pada bagian paling

bawah terdapat permukaan sendi yang dibentuk bersama tulang lengan bawah.

Trochlea yang terletak di sisi sebelah dalam tempat persendian dengan ulna dan di

sebelah luar terdapat capitulumyang bersendi dengan radius.

2.1.2.2 Sendi

1. Glenohumeral

a) Anatomi glenohumeral

Sendi glenohumeral merupakan ball and socket joint dibentuk oleh

kavitas glenoidalis yang cekung menghadap kelateral serong ventrokranial

dengan caput humerus yang berbentuk cembung. Kaput humerus tertutup oleh

hyaline cartilage yang tebal pada tengah kaput, kavitas gleinodalis juga

tertutup oleh kartilago hyaline. Hyaline cartilage pada kavitas gleinodalis

lebih tebal pada pada pinggir-pinggirnya. Variasi ketebalan kartilago hyaline

pada sendi ini untuk mencegah keluarnya kaput dari kavitas. Kavitas

gleinodalis mempunyai jaringan putih kartilago fibrosa yang disebut glenoid

labrum dan membuat kavitas glenoidalis menjadi lebih dalam, selain itu

glenoid labrum menjadi bantalan saat ada gerakan dari kaput humerus.

Kapsul artikularis sinovial sendi glenohumeral melekat pada limbus

glenoidalis. Kemudian mengalami evaginasi sehingga seperti kantong

sepanjang tendo m. biceps brachii caput longum yang berjalan intra kapsular

dan mengelilinginya sebagai selubung sinovial sulcul intertubercularis. Kapsul

artikularis kendor dan apabila lengan atas tergantung akan membentuk

kantung kecil pada permukaan medial disebut resessus axillaris (Pletzer,

2001).
15

Gambar. 2.3. Kapsul sendi glenohumeral.


Sumber:www.Frozen Shoulder_com The Niel-Asher Technique® - the proven,
drug-free, self-help programme.Ink. Diakses 27 Oktober 2010

Kapsula artikularis pada bagian atas diperkuat oleh ligament, yaitu

ligamen coracohumeral yang berasal dari basis processus coracoideus dan

memancar ke dalam kapsul artikularis dan membentang ke dalam tuberkulum

majus dan tuberkulum minus serta tiga ligamentum glenohumeral yang lemah

yaitu ligamen glenohumeral inferior, ligamen glenohumeral medial, ligamen

glenohumeral superior dan ligamen korakoakromial.

Gambar. 2.4. Sendi glenohumeral.


Sumber: www.Frozen Shoulder_com The Niel-Asher Technique® - the proven,
drug-free, self-help programme.Ink. Diakses 27 Nopember 2010

Kapsul artikularis glenohumeral pada patologi frozen shoulder

mengalami perubahan yaitu pada kapsul sendi bagian anterior superior


16

mengalami sinovitis, kontraktur ligamen korakohumeral, dan penebalan pada

ligamen superior glenohumeral, pada kapsul sendi bagian anterior inferior

mengalami penebalan pada ligament inferior glenohumeral dan kontraktur

pada resessus axilaris, sedangkan pada kapsul sendi bagian posterior terjadi

kontraktur.

b) Mobilitas glenohumeral

Sendi glenohumeral memiliki tiga kebebasan gerak dalam tiga bidang

gerak dan tiga sumbu utama yaitu:

1) Sumbu transversal merupakan sumbu gerakan fleksi danekstensi dalam

bidang sagital.

2) Sumbu anteroposterior merupakan sumbu gerakan abduksi dan adduksi

dalam bidang frontal.

3) Sumbu longitudinal merupakan sumbu gerakan rotasi dan horizontal

abduksi dan horizontal adduksi pada humerus dalm bidang transversal.

Menurut American Academy of Orthopaedic Surgeon (AAOS)

gerakan fleksi dan ekstensi sendi glenohumeral mempunyai LGS fleksi: 180º

dan ekstensi: 60º dengan gerak arthrokinematik spin, kedua gerakan

mempunyai end feel elastik. Gerak abduksi mempunyai LGS: 90º elastic

harder end feel dengan gerak arthrokinematik translasi kaudal. LGS rotasi

internal: 70º dan rotasi eksternal: 90º elastic end feel dengan athrokinematik

rotasi internal bahu adalah translasi ke dorsal dan rotasi eksternal adalah

translasi ke ventral. LGS abduksi horizontal: 120º dengan gerak

arthrokinematik translasi keventral dan LGS adduksi horizontal: 30º dengan

gerak arthrokinematik translasi ke dorsal, kedua gerakan elastic end feel.


17

Seluruh komponen tersebut memiliki gerak arthrokinematik traksi dengan arah

lateral sedikit serong ke ventrokranial.

2. Suprahumeral

Suprahumeral bukanlah sendi sebenarnya tetapi merupakan celah antara

akromion dan kaput humeri yang terisi oleh bursa subdeltoidea atau bursa

subakromialis dan otot rotator cuff yang terdiri dari m. supraspinatus, m.

infraspinatus, m. Subcapularis serta tendon biceps kaput longum. Patologi pada

suprahumeral mengakibatkan painfull arc pada saat abduksi elevasi bahu 60º-

120º. Patologi dari suprahumeral tersebut dapat menjadi frozen shoulder. Pada

saat abduksi elevasi bahu terjadi benturan kaput humerus dengan akromion,

kemudian diantisipasi dengan humerus rotasi eksternal dan atau skapula abduksi.

3. Acromioclavicular

Akromioklavikular merupakan sendi datar dimana akromion konkaf

menghadap ke medial dan klavikula konveks. Dalam gerak fisiologis adalah

protraksi-retraksi dan gerak elevasidepresi. Gerak arthrokinematik saat elevasi

terjadi akromion ke cranial dan saat depresi ke kaudal. Saat protraksi translasi

keventral saat retraksi translasi ke dorsal. Gerak traksinya selalu kearah lateral

searah akromion ditarik. Kapsula articularis sendi akromioklavikular dilindungi

oleh ligamen-ligamen yang mengikat kuat. Pada permukaan superior oleh

ligamentum akromioklavikular, pada processus coracoideus dan klavikula

terbentang diantaranya yaitu ligamen coracoclaviculare. Bagian lateral berupa

ligamen trapezoideum dan pada sisi medial dilindungi oleh ligamen conoideum.
18

4. Sternoclavicular

Sternoclavicular merupakan sendi pelana dimana clavicula konkaf kearah

anteroposterior dan konveks kearah craniocaudal. Gerak fisiologisnya sama

dengan sendi acromioclavicular, athrokinematik saat elevasi translasi ke caudal,

saat depresi transalsi ke cranial, saat protraksi translasi ke ventral dan saat retraksi

translasi ke dorsal. Traksi selalu searah tarikan searah axis longitudinal calvicula.

Ligamen yang melindungi sendi sternocalvicular adalah ligamen intraclavicular

yang menyatukan kedua clavicula, ligamen anterior dan posterior sternoclavicular

dan ligamen costoclavicular yang terbentang antra iga pertama dan clavicula.

5. Scapulothoracal

Scapulothoracal bukan sendi sebenarnya, merupakan pertemuan antara

scapula dan dinding toraks. Scapulothoracal dibatasi oleh m. subscapular dan m.

Serratus anterior, distabilisasi oleh m. trapezius, m. rhomboideus, m. levator

skapula dan m. serratus anterior. Gerakan skapulotorakal adalah elevasi, depresi

dan abduksi, adduksi. Gerak arthrokinematik traksi adalah gerak skapula menjauh

terhadap dinding toraks, athrokinematik translasi searah dengan gerakan

skapulotorakal. Pada frozen shoulder terjadi gerak kompensasi dari

skapulotorakal.

6. Intervertebral Joint

Intervertebral joint yang terlibat dalam gerakan bahu adalah intervetebral

lower cervical (C5-6-7-T1) dan upper thoracal (T1-2-3-4) dimana gerakan dari

intervertebral joint terjadi pada saat bahu fleksi penuh atau abduksi penuh terjadi

gerakan intervertebral rotasi kearah ipsilateral dan rotasi pada sisi kontralateral.

Pada sendi kepala dan leher gerakan fleksi dan extensi, lateral fleksi kanan dan

lateral fleksi kiri, rotasi kanan dan rotasi kiri, gerakan yang terjadi adalah gerakan
19

luncur dan menekuk. Pada sendi intervertebral, saat fleksi gerakan yang terjadi

adalah gerak luncur dan menekuk ke arah anterior vertebra diatasnya terhadap

diskus dan vertebra dibawahnya. Sedangkan extensi gerakan yang terjadi yaitu;

luncur dan menekuk ke arah posterior.

Pada sendi facet, dengan gerakan slide ke kanan dan kiri sendi facet

inferior terhadap sendi facet superior yang berbatasan dengan vertebra bagian

inferior. Pada daerah cervical, permukaan sendi facet sekitar 45° menghadap

bidang tranversal. Permukaan sendi facet inferior dari vertebra bagian atas

menghadap ke depan dan ke bawah sedangkan bagian sendi facet inferior dari

vertebra bagian bawah menghadap ke belakang dan ke atas. Hal ini menyebabkan

saat fleksi terjadi gerakan slide ke depan atas dari sendi facet inferior vertebra

bagian atas terhadap sendi facet superior dari vertebra bagian bawah. Pada saat

extensi terjadi gerakan slide ke belakang dan bawah dari sendi facet inferior

vertebra bagian atas terhadap sendi facet superior vertebra bagian bawah. Pada

lateral fleksi dan rotasi, sendi facet inferior vertebra bagian bawah pada sisi lateral

fleksi. Sedangkan sisi yang berlawanan, sendi facet inferior vertebra bagian atas

slide ke arah atlas dan depan terhadap sendi facet superior vertebra bagian bawah.

Thoracal facet terletak pada bidang frontal sehingga gerak utamanya adalah rotasi

akan tetapi memungkinkan gerakkan fleksi dan ektensi. Pada thorakal gerak yang

dominan adalah gerak rotasi akan tetapi memungkinkan terjadinya gerak fleksi

dan ekstensi.

Hal ini terjadi karena facet pada thorakal berada dalam bidang frontal dan

dibatasi oleh kosta sehingga LGS kecil. Gerakan pada thorakal joint berhubungan

dengan lower cervical yaitu pada C7 dengan T1, dan upper lumbar yaitu pada L1,

sehingga apabila lower cervical mengalami suatu patologis maka upperthorakal

juga akan mengalami suatu keluhan. Gerak spine juga akan mempengaruhi
20

gerakan pada nucleus pulposus yang berfungsi sebagai bantalan air yang

distabilisasi oleh annulus fibrosus dan kemampuannya dalam merespon setiap

perubahan postur tubuh baik static maupun dinamik.

Pada saat ekstensi akan terjadi gerakan nucleus ke anterior dan terjadi

gerak luncur dan menekuk ke arah posterior pada uppervertebrae. Selain itu pada

thorakal akan terjadi pengurangan kurva, penyempitan bagian posterior diskus,

pelebaran bagian anterior diskus, serta terjadi pengembangan rongga toraks. Pada

saat fleksi akan terjadi gerak anterior luncur dan menekuk vertebrae di atasnya

terhadap diskus dan vertebrae di bawahnya dan nukleusnya bergeser ke posterior.

Gerak fleksi pada thorakal dapat terjadi penambahan kurva, pelebaran bagian

posterior diskus, serta pengecilan rongga toraks.

Pada saat terjadi lateral fleksi atau rotasi akan terjadi gerakan tilting dari

uppervertebrae pada ipsilateral dan nucleus bergerak ke arah yang berlawanan

dengan arah gerakan dan terjadi peningkatan tension pada bagian annulus. Gerak

lateral fleksi selalu diikuti dengan gerak rotasi yang dikenal dengan coupled

movement.

7. Costovertebral dan Costotransversal

Costovertebral dan costotransversal yang terlibat dalam gerakan bahu

adalah costa 1-2-3-4 yang secara bertahap mengikuti gerak lengan atas seperti

intervertebral joint dengan winging dan rotasi. Pada frozen shoulder terjadi gerak

kompensasi dari costovertebral.

2.1.2.3 Otot-otot Bahu

Bahu merupakan anggata gerak atas yang mempunyai mobilitas yang luas

karena memiliki bentuk ball and socket dengan bentuk socked dari kavitas

gleinodalis yang datar. Mobilitas yang luas dari sendi bahu tersebut, maka bahu
21

memiliki otot-otot bahu yang kuat sebagai stabilitas aktifnya. Otot-otot bahu

selain untuk stabilitas dari sendi bahu kompleks, juga menghasilkan gerakan bahu,

tiap otot bahu dapat menyokong lebih dari satu gerakan bahu.

Adapun otot-otot bahu tersebut adalah:

1. M. deltoid dibagi menjadi tiga bagian, bagian anterior berorigo pada

permukaan anterior sepertiga lateral klavikula, bagian medius berorigo pada

processus acromion skapula, bagian posterior berorigo pada permukaan

inferior spina skapula dan ketiga bagian tersebut berinsersio pada tuberositas

deltioidea. M. deltoid anterior berfungsi untuk menggerakan fleksi bahu, m.

deltoid medius untuk abduksi bahu dan m. deltoid posterior untuk ekstensi

bahu. Ketiga bagian m. deltoid tersebut dipersyarafi oleh n. axilaris, radiks

C5-C6.

2. M. pectoralis major terdiri dari dua bagian yaitu clavicular portion yang

berorigo pada permukaan anterior medial klavikula dan sternocostal portion

berorigo pada permukaan sternum, kartilago iga ke satu sampai ketujuh,

aponeurosis obliquus eksternus abdominis, kedua bagian tersebut berinsersio

pada permukaan lateral sulcus intertubercularis humerus. Fungsi dari m.

Pectoralis adalah adduksi dan rotasi internal bahu, fungsi lain dari otot ini

pada clavicular portion berfungsi untuk fleksi dan adduksi horizontal bahu,

pada sternocosta portion berfungsi untuk ekstensi bahu saat lengan bawah

posisi fleksi. M. pectoralis dipersyarafi oleh n. pectoralis medialis dan

lateralis, radiks C5-8, T1.

3. M. coracobrachialis berorigo pada processus coracoideus dan berinsersio

pada permukaan medial sepertiga shaft of humerus, otot ini berfungsi untuk

fleksi dan adduksi bahu. M. Coracobrachialis dipersyarafi oleh n.

musculocutaneus, radiks C6, C7.


22

4. M. biceps brachii mempunyai dua kaput yaitu kaput longum yang berorigo

pada tubrositas supragleinoid skapula dan kaput brevis yang berorigo pada

processus coracoideus scapula, kedua caput tersebut berinsersio pada

tuberositas radius. M. biceps brachii berfungsi untuk fleksi siku, supinasi, dan

membantu bahu untuk melakukan gerakan fleksi, otot ini dipersyarafi oleh n.

musculocutaneus, radiks C5, C6.

5. M. teres major berorigo pada permukan posterior angulus inferior scapula

dan berinsersio pada medial sulkus intertuberkularis humerus. M. teres major

berfungsi untuk adduksi, ekstensi, dan internal rotasi bahu, otot ini

dipersyarafi oleh n. lowersubscapular, radiks C5, C6.

Gambar 2.5. Otot-otot bahu bagian posterior profunda


Sumber : www. Shoulder Pain Info _com - Shoulder Anatomy.htm
diakses 10 Oktober 2010

6. M. teres minor berorigo pada dua pertiga atas permukaan posterior perbatasan

aksilaris skapula dan berinsersio pada tuberkulum majus humerus. M. Teres

minor berfungsi untuk eksternal bahu, otot ini persyarafi oleh n. axillary,

radiks C5.
23

7. M. triceps brachii kaput longum berinsersio pada tuberositasinfragleinodalis

scapula dan berinsersio pada prosesus olekranon ulna, otot ini berfungsi untuk

ekstensi siku dan membantu gerakn ekstensi bahu. M. triceps brachii

dipersyarafi oleh N. radialis, radiks C7, C8.

8. M. infraspinatus berorigo pada fossa infraspinata scapula dan berinsersio

pada tuberkulum majus humeri, otot ini berfungsi untuk rotasi eksternal bahu

dan dipersyarafi oleh n. suprascapularis, radiks C4-C6.

9. M.supraspinatus berorigo pada fossa supraspinata skapula dan beinsersio pada

tuberculum majus humerus. M. Supraspinatus berfungsi untuk abduksi dan

rotasi eksternal bahu, otot ini dipersyarafi oleh n. suprascapularis, radiks C5,

C6.

Gambar 2.6. Otot-otot bahu bagian anterior profunda


Sumber: http://www.aafp.org/afp/980215ap/fongemie.html
diakses 12 September 2010

10. M. subscapularis berorigo pada permukaan fossa subskapular dan berinsersio

pada tuberkulum minus. Fungsi otot ini adalah untuk rotasi internal bahu dan

dipersyarafi oleh n. upper dan lower subskapular, radiks C5, C6.

11. M. levator scapula berorigo pada processus transversus empatvertebra

cervikal atas, berjalan secara diagonal dan berinsersio pada perbatasan

vertebra skapula, diantara angulus superior dan spina skapula. Fungsi M.


24

levator skapula adalah elevasi , adduksi dan downward rotation skapula, otot

ini dipersyarafi olehn. Dorsal skapula, radiks C3, C4, C5.

12. M. lattisimus dorsi berorigo pada prosesus spinosus sakral, lumbal,dan

keenam vertebra thoracal bawah, supraspinal ligament via fascia

thoracolumbal, krista iliaka dan iga ketiga-empat bawah, otot ini berinsersio

pada dasar sulcus interubercularis humerus. Fungsi dari M. lattisimus dorsi

adalah untuk ekstensi, adduksi dan internal rotasi bahu, otot ini dipersyarafi

oleh n. thoracodorsal, radiks C6, C8.

OTOT-OTOT BAHU
DILIHAT DARI BELAKANG

Gambar 2.7. Otot-otot bahu bagian posterior superficial.


Sumber: CD Atlas of Clinical Anatomi

13. M. upper trapezius berorigo pada eksternal oksipital protuberan, ligamentum

nuchea, processus spinosus vertebra cervikal ketujuh dan berinsersio pada

sepertiga lateral klavikula. Fungsi dari M. upper trapezius adalah elevasi

skapula dan upward rotation scapula, otot ini dipersyarafi oleh n. spinal

acessorius( NC.IX ), radiks C1-C5.


25

14. M. middle trapezius berorigo pada processus spinosus vertebra thorakal

pertama sampai kelima dan ligamen supra spinal, berinsersio pada perbatasan

medial processus akromion skapula dan spina skapula, otot ini berfungsi untuk

adduksi skapula. M middle trapezius dipersyarafi oleh n. spinal acessorius

(NC.IX ), radiks C1-C5.


OTOT-OTOT BAHU
DILIHAT DARI DEPAN

Gambar 2.8. Otot bahu bagian anterior superficial.


Sumber: CD Atlas of Clinical Anatomi

15. M. lower trapezius berorigo pada processus spinosus vertebra thorakal keenam

sampai keduabelas dan ligamen supraspinosus, berinsersio pada tuberkulum

diatas ujung spina skapula. M. Lower trapezius berfungsi untuk depresi

skapula dan upward rotation scapula, otot ini dipersyarafi oleh n. spinal

acessorius ( NC.IX ), radiks C1-C5.


26

16. M. rhomboideus major berorigo pada processus spinosus T2-T5 dan ligament

supraspinosus, berinsersio pada perbatasan vertebra skapula diantara spina dan

angulus inferior skapula. M. rhomboideus major berfungsi untuk adduksi dan

down ward rotation scapula, otot ini dipersyarafi oleh n. dorsal scapular,

radiks C5.

17. M. rhomboideus minor berorigo pada processus spinosus C7 dan T1 dan

permukaan inferior ligamentum nuchae, berinsersio pada dasar spina skapula.

M. rhomboideus minor berfungsi untuk adduksi dan downward rotation

scapula, otot ini dipersyarafi oleh n. dorsal scapular, radiks C5.

18. M. serratus anterior berorigo pada permukaan anteriorsuperior iga atas

kedelapan dan kesembilan, berinsersio pada permukaan anterior perbatasan

vertebra skapula. M. serratus anterior berfungsi untuk abduksi skapula dan

upward rotation scapula, otot ini dipersyarafi oleh n. throracalis longus,

radiks C5-C7.

19. M. subclavius berorigo pada anterior iga pertama dan kartilagonya, otot ini

menyebar keatas dan berinsersio sepanjang sisi tengah dalam klavikula, fungsi

otot ini untuk depresi skapula.

20. M. pectoralis minor berada di bawah M. pectoralis major. Otot ini berorigo

pada permukaan luar atas iga iga ketiga, empat, dan lima dekat dengan

kartilagonya, berinsersio pada processus coracoideus scapula. M. pectoralis

minor berfungsi sebagai depresi shoulder girdle, abduksi skapula dan

downward rotation scapula, otot ini dipersyarafi oleh n. pectoralis medialis

dan lateralis, radiks C5-8, T1.


27

2.1.2.4 Scapulo Humeral Rhythm

Posisi dan gerakan yang terjadi pada sendi glenohumeral selalu berkaitan

dengan seluruh subsistem dalam shoulder complex, hal ini menyebabkan

adanyascapulohumeral rhythm yaitu pada selama gerakan abduksi – elevasi juga

fleksi shoulder terjadi gerakan osteokinematik yang proporsional antara humerus

dan scapula. Pada awal gerak abduksi 0-30° terjadi gerak humerus 30° sementara

scapula pada posisi tetap atau bahkan sedikit adduksi. Pada lingkup 30° - 60°

terjadi gerakan yang proporsional antara abduksi humerus : scapula sebesar 2 : 1.

Selanjutnya pada abduksi 60° – 120° juga terjadi rotasi eksternal humerus secara

bertahap sebesar 90° karena menghindari benturan akromion dengan head of

humerus. Sementara gerak proporsional antara humerus dan scapula 2 : 1 tetap

berlanjut. Pada abduksi 120° – 180° gerak proporsional tersebut tetap berlanjut.

Pada lingkup ini mulai terjadi gerakan intervertebral dan costae dan bermakna

pada akhir ROM. Pada kasus frozen shoulder gerak scapulohumeral rhythm

tersebut menjadi terbalik perbandingan antara humerus dan scapula yaitu 1:2,

yang disebut reverse scapulohumeral rhythm, ini menandakan adanya

pemendekan capsulo ligamenter pada penderita frozen shoulder.

2.1.2.5 Reverse Humeroscapular Rhythm

Adalah suatu penyimpangan ritme gerak scapulohumeral berupa

keterbalikan pola gerak dimana scapula lebih besar dari humerus pada saat

abduksi-elevasi gerak shoulder. Hal ini bisa terjadi apabila:

1. Kontraktur kapsul Glenohumeral

2. Hypermobilitas Acromioclavicula joint

3. Kelemahan dan/atau overstrecing pada Romboidei


28

2.1.3 Patofisiologi Frozen Shoulder

Frozen shoulder merupakan suatu syndrom atau kondisi dengan serangan

nyeri dan keterbatsan gerak aktif dan pasif yang sering dialami oleh orang berusia

40-60 tahun dan memiliki riwayat trauma, sering kali ringan. Penyebab frozen

shoulder tidak diketahui, diduga penyakit ini merupakan respon auto immobilisasi

terhadap hasil-hasil rusaknya jaringan.

Meskipun penyebab utamanya idiopatik, banyak yang menjadi

presdiposisi frozen shoulder yaitu usia, repetitive injury, diabetes mellitus,

kelumpuhan, post operasi payudara atau dada, infark miocardia, dan dari dalam

sendi glenohumeral (tendonitis bicipitalis, inflamasi rotator cuff, fracture ) atau

kelainan ekstra artikular (cervical spondylisis, angina pectoris).

Frozen shoulder adalah patologi pada sendi glenohumeral, dimana terjadi

perubahan inflamasi berupa formasi adhesi pada kapsul sendi dan membran

sinovial yang menyebabkan perlengketan pada kapsul ligamen glenohumeral

sehingga terjadi keterbatasan gerak sendi bahu. Selain pada kapsul dan membran

sinovial, perubahan inflamasi juga dapat menyebar pada struktur periartikular

lainnya. Oleh karena itu, untuk lebih memahami tentang perubahan patologis pada

struktur jaringan karena frozen shoulder akan dijabarkan sebagai berikut :

2.1.3.1 Penyebab Frozen Shoulder dari Faktor Muskular dan Bursa

Patologi frozen shoulder dapat bermula dari tendonitis otot-otot rotator

cuff, yang terdiri atas M. supraspinatus; M. infraspinatus; M. subskapularis dan M.

teres minor, demikian pula tendonitis M. Biceps kaput longum dan bursa sub

acromialis juga merupakan pencetus terjadinya frozen shoulder. Inflamasi atau

patologi pada tendon otot tersebut mengakibatkan nyeri adanya nyeri akan

menimbulkan penurunan ambang rangsang Aδ dan tipe C polymodal sehingga

terjadi hiperalgesia bahkan allogenia yang apabila terjadi peregangan kecil saja
29

dapat menimbulkan nyeri yang berakibat autoimmobilisasi yang lebih kuat

akhirnya dapat menyebabkan frozen shoulder.

2.1.3.2 Perubahan pada Kapsul Sendi Glenohumeral.

Struktur jaringan kapsulo ligamenter merupakan jaringan yang dibentuk

oleh jaringan ikat yaitu serabut collagen yang tersusun sejajar bersilangan, elastin

yang berwarna kuning dan lentur, fibroblast cell yang menghasilkan kolagen dan

matriks, serta matriks dengan komponen utama glikosaminoglikans dan air.

Kapsul sendi terdiri atas tunika fibrosa dibagian luar dan membrana sinovial

dibagian dalam, pada bagian ini memproduksi sinovium, ligamen merupakan

penebalan dari tunika fibrosa atau berdiri sendiri.

Frozen shoulder merupakan hasil dari berbagai patologi yang terjadi

disekitar sendi glenohumeralis dengan karakteristik nyeri dan kekakuan sendi.

Adanya nyeri hebat pada kasus ini dapat menyebabkan autoimmobilisasi pada

sendi glenohumeralis sebagai proteksi pada nyeri. Menurut Alkeson et.al, (1980)

dalam penelitiannya bahwa immobilisasi dapat menimbulkan efek-efek pada

jaringan ikat. Mereka melakukan penelitian pada knee joint kelinci dan

menemukan beberapa teori tentang patomekanik kontraktur sendi. Mereka

menemukan adanya perubahan pada serabut kolagen jaringan ikat disekitar sendi

yang terimobilisasi dan perubahan pada substansi intraseluler dari GAG dan air.

Pada substansi intraseluler kandungan air menurun sampai 3-4% sehingga

jaringan ikat nampak seperti batang kayu.

Sedangkan substansi intraseluler dari GAG akan menurun lebih besar

konsentrasinya sampai 20%. Sebaliknya secara total serabut kolagen masih tidak

mengalami perubahan. Mereka menjelaskan bahwa hilangnya kandungan air dan

GAG sementara serabut kolagen masih dalam bentuk yang sama akan

menyebabkan menurunnya space diantara serabut kolagen pada jaringan ikat


30

sehingga menyebabkan perubahan gerakan yang bebas diantara serabut-serabut

tersebut.

Menurunnya gerakan bebas tersebut akan menyebabkan jaringan

cenderung kurang elastis dan lebih rapuh. Kemudian adanya stress normal selama

masa immobilisasi dapat menyebabkan serabut kolagen menjadi acak/crosslink

dapat terbentuk pada lokasi-lokasi yang tidak diinginkan sehingga dapat

menginhibisi gerakan slep normal. Semenjak hilangnya substansi interseluler

maka akan menyebabkan serabut-serabut saling merapat satu sama lain sehingga

crosslink dengan mudah dapat terbentuk (Donatelli and Wooden 2002).

Penemuan Alkeson et,al. ini didukung oleh La Vigne dan watkins yang

menemukan bahwa imobilisasi sendi pada 90 kasus selama 64 hari akan

memerlukan gaya yang sangat besar untuk menggerakkan sendi melalui arkus

gerakan normal. Struktur kapsular juga mengalami kerusakan sehingga kontrol

sendi terganggu.

Tabel 2.1 Pengamatan biochemical pada serabut jaringan ikat akibat Imobilisasi

Struktur Akibat Immobilisasi

Serabut Kolagen Menurunnya massa serabut sekitar 10%

Meningkatnya perubahan serabut

Meningktnya degradasi

Meningkatnya sintesis

Meningkatnya crosslink pada serabut kolagen

Glikosaminoglikans Total GAG menurun 20%

Asam hyaluronik menurun 40%

Sulfat GAG menurun 20%

Kandungan air Menurun 3-4%


31

Secara histologis, autoimobilisasi dalam waktu yang lama dapat

menyebabkan hilangnya ekstensibilitas kapsular yang mencakup pembentukan

abnormal cross-bridging antara serabut kolagen sintesis baru dan serabut kolagen

lama serta hilangnya jarak kritikal serabut kolagen. Semuanya itu disebabkan oleh

menurunnya asam hyaluronik dan kandungan air didalam sinovial sendi sehingga

menciptakan terjadinya adhesive (perlengketan) intra artikuler.

Pada frozen shoulder terdapat perubahan patologi pada kapsul artikularis

glenohumeral yaitu perubahan pada kapsul sendi bagian anterior superior

mengalami synovitis, kontraktur ligament coracohumeral, dan penebalan pada

ligament superior glenohumeral, pada kapsul sendi bagian anterior inferior

mengalami penebalan pada ligament inferior glenohumeral dan perlengketan pada

resessus axilaris, sedangkan pada kapsul sendi bagian posterior terjadi kontraktur,

sehingga khas pada kasus ini rotasi paling bebas, abduksi terbatas dan rotasi

eksternal paling terbatas atau biasa disebut pola kapsuler.

Namun demikian, karena aktivitas sehari-hari lebih banyak menggunakan

rotasi internal dan adduksi bahu, sehingga akan lebih menguntungkan. Namun

demikian apabila tidak ditangani dengan cepat dan tepat, maka ditakutkan akan

merusak jaringan yang disekitaranya, sehingga menyebabkan keterbatasan gerak

secara keseluruhan. Perubahan patologi tersebut terjadi karena rusaknya jaringan

lokal berupa inflamasi pada membran synovial dan capsul sendi glenohumeral

yang membuat formasi adhesive21 sehingga menyebabkan perlengketan pada

kapsul sendi dan terjadi peningkatan viskositas cairan sinovial sendi

glenohumeral dengan kapasitas volume hanya sebesar 5-10ml, yang pada sendi

normal bisa mencapai 20- 30ml, dan selanjutnya kapsul sendi glenohumeral

menjadi mengkerut, pada pemeriksaan gerak pasif ditemukan keterbatasan gerak

pola kapsuler dan firm end feel dan inilah yang disebut frozen shoulder.
32

Histologis frozen shoulder yang terjadi pada sendi glenohumeral seperti

telah dijelaskan di atas adalah kehilangan ekstensibilitas dan termasuk abnormal

cross-bridging diantara serabut collagen yang baru disintesa dengan serabut

collagen yang telah ada dan menurunkan jarak antar serabut yang akhirnya

mengakibatkan penurunan kandungan air dan asam hyaluronik secara nyata. Pada

post immobilisasi perlekatan jaringann fibrosa menyebabkan perlekatan atau

adhesi intra artikular dalam sendi sinovial dan mengakibatkan penurunan

mobilitas.

2.1.3.3 Sendi yang Terpengaruh Frozen Shoulder

Pada patofisiologi frozen shoulder inflamasi pada bursa subdeltoidea yang

merupakan bagian dari sendi suprahumeral adalah salah satu pencetus dari frozen

shoulder maupun efek kelanjutan dari dari frozen shoulder sendiri. Karena dalam

melakukan gerakannya sendi glenohumeral tidak berdiri sendiri dan selalu terkait

dengan 6 sendi yang lain yang tergabung dalam shoulder complex, maka

perubahan patologi pada sendi glenohumeral seperti frozen shoulder, juga akan

berpengaruh terhadap 6 struktur sendi yang lain yang tergabung dalam shoulder

complex, diantaranya shoulder girdle (sendi skapulothorakal dan

akromioklavikula) dan sendi intervertebra (cervikothorakal).

Keterbatasan gerak yang terjadi akibat frozen shoulder akan yang

dikompensasi oleh gerak skapulothorakal atau biasa disebut reserve

scapulohumeral. Karena adanya kompensasi tersebut maka lama-kelamaan akan

menyebabkan adanya hipermobilitas dari sendi akromioklavikula dan overstretch

dari sendi skapulothorakal. Lain halnya dengan sendi skapulotorakal dan

akromioklavikula, pada sendi intervertebra (lower cervical dan upper thoracal)

justru malah terjadi hypomobile.


33

Pada tahap kronis frozen shoulder dapat menyebabkan antero postion

head posture karena hipomobile dari struktur cervico thoracal. Terkadang

hipomobile pada kondisi frozen shoulder mengakibatkan nyeri sehingga

menyebabkan kontraktur pada ligament supraspinosus, dan spasme pada otot-otot

cervikothorakal spasme pada otot-otot cervikothorakal dan jika berkepanjangan

akan menimbulkan "vicious circle of reflexes" yang mengakibatkan medulla

spinalis membangkitkan aktivitas efferent sistem simpatis secara berlebihan

sehingga menimbulkan mikrosirkulasi pada glenohumeral yang menyebabkan

ketegangan miofibroblas. Ketegangan miofibroblas tersebut mengakibatkan

kontraktur pada otot-otot fixator gelang bahu dan ligamen longitudinal posterior.

Karena stabilitas sendi bahwa sebagian besar oleh muskulotendinogen, maka

gangguan pada otot gelang bahu akan memerparah keterbatasan gerak bahu.

2.2 Tinjauan Teori Nyeri

2.2.1. Definisi Nyeri

Nyeri adalah sensasi subjektif, rasa yang tidak nyaman biasanya berkaitan

dengan kerusakan jaringan aktual atau potensial (Corwin, 2000). Ketika suatu

jaringan mengalami cedera, atau kerusakan mengakibatkan dilepasnya bahan –

bahan yang dapat menstimulus reseptor nyeri seperti serotonin, histamin, ion

kalium, bradikinin, prostaglandin, dan substansi P yang akan mengakibatkan

respon nyeri (Kozier dkk., 2005).

Nyeri digolongkan menjadi 3 jenis utama yaitu :

1. Nyeri tertusuk dirasakan seperti ditusuk jarum kedalam kulit atau seperti kulit

dipotong pisau yang disebabkan oleh perangsangan serabut nyeri tipe Aδ.

2. Nyeri terbakan dirasakan seperti kulit terbakar merupakan nyeri paling

menyebabkan penderitaan, yang disebabkan oleh perangsangan serabut nyeri

tipe C.
34

3. Pegal merupakan nyeri yang tidak dirasakan dipermukaan tubuh dan

merupakan nyeri dalam berbagai tingkatan, dari pegal intensitas rendah

didaerah tubuh yang tersebar luas, dapat bersatu menjadi suatu sensasi yang

sangat tidak enak yang juga disebabkan oleh perangsangan serabut tipe C.

Ganong, (2001), mengemukakan proses penghantaran transmisi nyeri yang

disalurkan ke susunan syaraf pusat oleh 2 (dua) sistem serat (serabut) antara lain:

(1) Serabut A – delta (Aδ) Bermielin dengan garis tengah 2 – 5 (cm yang

menghantar dengan kecepatan 12 – 30 m/detik yang disebut juga nyeri cepat (test

pain) dan dirasakan dalam waktu kurang dari satu detik, serta memiliki lokalisasi

yang jelas dirasakan seperti ditusuk, tajam berada dekat permukaan kulit.

(2) Serabut C, merupakan serabut yang tidak bermielin dengan garis tengah 0,4 –

1,2 m/detik disebut juga nyeri lambat di rasakan selama 1 (satu) detik atau lebih,

bersifat nyeri tumpul, berdenyut atau terbakar.

Transmisi nyeri dibawah oleh serabut A – delta maupun serabut C

diteruskan ke korda spinalis, serabut – serabut syaraf aferen masuk kedalam spinal

lewat dorsal “root” dan sinap dorsal “ horn” yang terdiri dari lapisan (laminae)

yang saling berkaitan II dan III membentuk daerah substansia gelatinosa (SG).

Substansi P sebagai nurotransmitter utama dari impuls nyeri dilepas oleh sinaps

dari substansia gelatinosa. Impuls – impuls nyeri menyebrang sum – sum tulang

belakang diteruskan ke jalur spinalis asendens yang utama adalah spinothalamic

traet (STT) atau spinothalamus dan spinoroticuler traet (SRT) yang menunjukkan

sistem diskriminatif dan membawa informasi mengenai sital dan lokasi dari

stimulus ke talamus kemudian diteruskan ke korteks untuk di interprestasikan,

sedangkan impuls yangg melewati SRT, diteruskan ke batang otak mengaktifkan

respon outonomik dari limbik (motivational affektive) effective yang dimotivasi

(Long, 2007).
35

Jenis stimulus yang mengeksitasi reseptor nyeri adalah mekanis, suhu dan

kimia. Reseptor serat nyeri hampir seluruhnya terangsang oleh stres mekanis

berlebihan atau kerusakan mekanis pada jaringan, dinamai reseptor nyeri

mekanosensitif. Reseptor yang sensitif terhadap panas atau dingin yang ekstrim

dinamai reseptor nyeri termosensitif, dan reseptor nyeri yang sensitif terhadap

berbagai zat kimia reseptor nyeri kemosensitif. Beberapa zat kimia yang yang

berbeda merangang reseptor kemosensitif meliputi bradikinin, serotonin,

histamin, ion kalium, asam, prostaglandin, asetikolin, dan enzim proteolitik.

Beberapa reseptor nyeri hanya sensitif terhadap satu jenis stimulasi, kebanyakan

sensitif terhadap lebih dari satu jenis stimulus.

Reaksi terhadap nyeri seseorang sangat berbeda, dan juga intensitas isyarat

nyeri yang dihantarkan mendekati medula menuju berbagai area reseptor nyeri di

dalam otak dapat berubah hebat pada berbagai keadaan. Ini akibat aktivasi sistem

yang menghambat nyeri di dalam medula spinalis dan di dalam otak. Nyeri

menyebabkan reaksi refleks motorik dan reaksi psikis. Beberapa kerja motorik

timbul secara refleks dari modula spinalis, karena impuls nyeri yang memasuki

substansia gresia medula spinalis dapat langsung memulai”refleks penarikan diri”

yang menjauhkan tubuh atau bagian dari tubuh dari rangsang yang berbahaya.

Reaksi psikis terhadap nyeri mungkin jauh lebih samar-samar, meliputi

semua aspek nyeri seperti sedih, menangsi, cemas, depresi, mual dan keadaan

terangsang otot yang berlebihan di seluruh tubuh. Reaksi ini sangat berpariasi dari

satu orang ke orang lain setelah tingkat rangsang nyeri yang sebanding.

Sistem pengatur nyeri terhadap stimulasi listrik di dalam beberapa daerah

di otak berbeda terutama di dalam area periventrikular diensefalon yang sangat

dekat dengan ventrikulus ke III, area grisea periakueduktal batang otak dan

nukleus rafe di garis tengan batang otak dapat mengurangi atau menghambat
36

isyarat nyeri yang dihantarkan medila spinalis. Sistem ”analgesia” bekerja dimulai

dari perangsangan area grisea periakuedultal menghatarkan isyarat ke nukleus

rafe di garis tengah batang otak, kemudian dari sini lintasan serat akan turun ke

medula spinalis dan berakhir di kornu dorsalis, tempat serat sensorik nyeri dari

perifer juga berakhir. Perangsangan sistem analgesia akan menghambat atau

menekan transmisi impuls nyeri melalui neuron setempat di dalam aera ini. Sistem

analgesia ini juga menghambat transmisi otak pada titik lain di dalam lintasan

nyeri, terutama di dalam nukleus retikularis batang otak dan di dalam nukleus

intralaminar talamus.

Dua jenis komponen yang berhubungan erat dengan kerja morfin dinamai

enkefalin dan endorfin, telah diisolasi dari area otak terutama yang berhubungan

dengan pengaturan nyeri termasuk area periiventrikula, area grisea

periakueduktal, nukleus rafe di garis tengah, substansia gelatinosa kornu dorsalis

di dalam medula spinalis dan nukleus intralaminar talamus. Sehingga

penghantaran enkefalin dan endorfin berfungsi sebagai zat penghantar eksitasi

yang mengaktivasi bagian sistem analgesia otal.

Inhibisi transmisi nyeri pada tingkatan medula spinasil oleh reseptor taktil

perifer akan mendepresi isyarat nyeri dari area tubuh yang sama ataupun area

tubuh yang kadang-kadang berjarak beberapa segmen, seperti tindakan sederhana

menggosok kulit di dekat area yang nyeri sering sangat efektif menghilangkan

nyeri.

2.2.2. Mekanisme Nyeri

Mekanisme konsep nyeri menurut Melzack dan Wall yang disebut “Gate

Control Theory”. Prisinsip teori tersebut sebagai berikut:

“Serabut afferents A-beta dan serabut afferents A-delta & C mengirim impuls

nyeri ke Transmisi sel (T-sel) pada medulla spinalis. Kedua neuron (interbuncial
37

neurons) berhubungan dengan Subtantia gelatinosa (SG-cell). Sel SG menekan

rangsangan nyeri yang akan dikirim ke T-cell. Rangsangan nyeri dari serabut

afferent A-beta memperkuat tekanan pada SG-cell, sedangkan rangsangan nyeri

dari serabut afferent A-delta & C mengurangi SG-cell. SG-cell berfungsi sebagai

pintu gerbang. Apabila rangsangan nyeri yang menuju T-cell berasal dari serabut

afferent A-beta maka gerbang ini menyempit, sehingga rangsangan ke T-cell

lemah. Sebaliknya rangsangan nyeri yang bersal dari serabut afferent A-delta & C

gerbang melebar, sehingga rangsangan pada T-cell lebih kuat. Kontrol gerbang

juga dipengaruhi oleh Central control. Impuls rasa nyeri masuk melalui saraf

perifer ke pusat kolumna posterior dan system proveksi dorsolateral sebagai pacu

control sentral mengumpulkan informasi, sifat, dan letak nyeri. Selanjutnya

dikirim ke thalamus sebagai central, kemudian melalui desending afferent fiber

mengirim ke gerbang yang akan membuka dan menutup gerbang”.

Kerusakan jaringan menimbulkan rasa nyeri, hal ini merupakan suatu

rangkaian proses elektrofisiologi yang biasa disebut nociceptor melalui empat

proses, yaitu;

1. Proses transduksi, merupakan suatu proses dimana perasaan nyeri yang

dirasakan diubah menjadi stimulasi listrik yang diterima ujung-ujung saraf.

2. Proses transmisi, merupakan suatu penyaluran inpuls melalui saraf sensoris.

Dimana inpuls saraf ini disalurkan oleh serabut saraf A-delta yaitu serabut

saraf bermyelin tipis dan serabut C yaitu serabut saraf yang tidak bermyelin.

Kedua saraf tersebut merupakan neuron pertama. Nyeri yang dirasakan di

perifer akan diteruskan ke medulla spinalis dimana inpuls tersebut mengalami

modulasi sebelum diteruskan ke thalamus oleh tractus spinothalamikus yang

bertugas sebagai neuron kedua. Inpuls di thalamus diteruskan ke daerah


38

somatosensorik di korteks cerebri melalui neuron ketiga. Ransangan inpuls ini

diterjemahkan sebagai rasa nyeri.

3. Proses modulasi, merupakan suatu interaksi antara system analgetik endogen

dengan input nyeri yang masuk melalui cornu posterior medulla spinalis.

Dimana system analgetik endogen ini akan menekan impuls nyeri pada cornu

posterior medulla spinalis. Modulasi nyeri terbagi menjadi empat level yaitu:

a. Level sensorik

Apabila terjadi kerusakan jaringan, maka sel-sel yang rusak akan

melepaskan zat kimia seperti prostaglandin, histamin dan bradikinin. Zat

tersebut dikenal dengan zat algogen, merupakan zat iritan yang

meningkatkan sensifitas nociceptor sehingga timbul nyeri hebat atau

hyperalgesia. Disamping terjadi proses peradangan, juga terjadi

ketidakseimbangan ion pada membrane sel saraf dimana ion Na+

cenderung terakumulasi didalam sel sehingga terjadi aksi potensial yang

terus menerus pada serabut afferent A-delta dan C. Semakin besar

aktivitas serabut afferent A-delta dan C maka akan semakin cepat

konduksinya.

Modulasi nyeri melalui level sensorik dapat dicapai dengan

menyerap zat algogen, mengaktifkan kembali sodium potassium pump

sehingga tercipta keseimbangan ion secara normal, dengan demikian

terjadi penurunan aksi potensial serabut afferent A-delta dan C, serta

menghambat atau memperlambat aktivitas serabut afferent tersebut.

b. Level spinal

Adanya stimulus fisik-mekanis, thermal dan kimiawi yang dapat

menimbulkan nyeri menyebabkan aksi potensial pada ujung-ujung saraf

sensorik. Rangsangan nyeri tersebut diubah menjadi aktivitas listrik yang


39

disebut impuls nyeri. Impuls nyeri diteruskan ke cornu posterior medulla

spinalis melalui serabut afferent A-delta dan C. Modulasi nyeri pada level

spinal diarahkan pada stimulasi terhadap serabut saraf afferent A-beta

yang merupakan proprioceptor yang berdiameter besar untuk menghambat

impuls-impuls nyeri yang dibawa oleh serabut afferent A-delta dan C di

cornu posterior medulla spinalis.

c. Level supraspinal

“Modulasi nyeri pada level supraspinal melibatkan system

analgetik endogen ini melalui enkefalin, endorphin, serotonin dan

noradrenalin yang memiliki efek dapat menekan impuls nyeri pada cornu

posterior medulla spinalis. Pelepasan system analgetik endogen oleh

tubuh dipengaruhi oleh stimulasi pada serabut saraf afferent A-delta dan

C. Aktivitas serabut saraf tersebut dapat menekan aktivitas nyeri.

d. Level sentral

Modulasi nyeri pada level sentral melibatkan system limbic

sebagai pusat emosional. Rangkaian akhir dari proses nociceptor adalah

persepsi. Persepsi merupakan cara seseorang mengungkapkan rasa nyeri

yang dirasakannya yang mencakup sifat atau tingkah laku yang kompleks,

psikis dan faktor emosional. Keadaan emosional yang tinggi mencakup

rasa takut yang berlebihan atau perasaaan gembira, kadang-kadang secara

temporer dapat menghambat impuls nyeri di cornu posterior medulla

spinalis.

4. Proses Persepsi

Persepsi adalah hasil akhir dari proses interaksi yang kompleks yang

dimulai dari proses transduksi, transmisi dan modulasi yang pada akhirnya

menghasilkan suatu perasaan subjektif yang dikenal dengan respon nyeri.


40

a. Tipe nyeri

Secara umum nyeri dikategorikan menjadi akut atau kronik. Nyeri

akut apabila sesaat setelah terjadi cidera. Sedangkan nyeri kronis

berlangsung setelah 6 bulan. Sedangkan tipe nyeri sebagai berikut:

1) Reffered pain

Apabila impuls nociceptor pada dorsal saraf pusat menimbulkan

depolarizasi internuncial neuron di beberapa segmen spinal

menyebabkan rasa nyeri pada daerah distal area yang diinnervasi

sesegmen.

2) Trigger point

Tenderness terlokalisir pada otot. Apabila diulur maka muncul

rasa nyeri lokal, bertambah sesuai kekuatan kontraksi otot

3) Scleretome

Perasaan nyeri yang terasa agak dalam oleh pengaruh spinal

segmen yang menginervasi tulang.

b. Skala Pemeriksaan Nyeri

1) Visual Analogue Scales

Merupakan tes yang cepat dan praktis diterapkan pada pasien.

Skala ini menggunakan garis, biasanya sepanjang 10 cm. Ujung yang

satu didefinisikan “tidak ada nyeri”, sedangkan ujung sisi lain

didefinisikan “nyeri berat”. Pasien diminta menunjukkan titik sesuai

dengan rasa nyeri yang dialami. Penggunaan tes ini dilakukan sebelum

tindakan dan setelah tindakan fisioterapi.

2) Pain Charts

Digunakan untuk menentukan perbedaan rasa nyeri yang

dialami. Pasien diminta mengambarkan lokasi dan jumlah komponen


41

subyektif berupa grafik dua dimensi dengan menggunakan warna

tertentu, misalnya biru untuk nyeri hebat, kuning untuk tidak terasa

nyeri, merah untuk nyeri seperti terbakar, dan hijau untuk nyeri keram.

3) McGill Pain Questionnaire

Merupakan kunci dengan 78 kata-kata yang menggambarkan

nyeri. Kata-kata tersebut dikelompokkan kedalam 20 grup yang terdiri

dari empat kategori dimensi nyeri.

4) Actvity Pattern Indicators Pain Profile

Digunakan untuk mengukur aktivitas pasien. Terdapat 64

pertanyaan, dapat digunakan dengan mencatat sendiri kelainan yang

digolongkan nyeri

5) Numeric Pain Scale

Menggunakan skala satu sampai dengan sepuluh. Pasien

diminta menunjukkan angka sesuai dengan rasa nyeri yang dialami.

Biasanya dilakukan sebelum dan sesudah dilakukan tindakan.

Nyeri sukar digambarkan, saat pasien mengeluh nyeri, dengarkan

(lakukan sesuatu) karena nyerinya adalah apa yang ia rasakan meskipun ia

mungkin kesulitan menggambarkannya. Observasi objektif yang bisa

ditemui yakni :

1) Kulit menjadi pucat, dingin dan lembab saat nyeri hebat dan lama

2) Ekspresi wajah kening mengernyit, mulut dan gigi terkatup rapat,

pasien mungkin meringis.

3) Mata tertutup rapat atau terbuka, pupil mungkin dilatasi

4) Nadi mungkin meningkat atau menurun dengan beragam intensitas

5) Respirasi, frekuensinya meningkat dan berubah karakternya


42

2.3 Micro Wave Diathermy ( MWD )

2.3.1 Definisi MWD

Micro Wave Diathermy (MWD) merupakan suatu pengobatan menggunakan

stressor fisis berupa energi elektromagnetik yang dihasilkan oleh arus bolak-balik

frekuensi 2450MHz dengan gelombang 12,25cm. MWD merupakan gelombang

elektromagnetk yang dipancarkan secara radiasi sehingga sedikit sifat dielektrik

jaringan, sehingga medan listrik tidak terpusat pada benda metal/dielektrik tinggi

yang terdapat pada tubuh atau permukaan menonjol yang menonjol meskipun

akan cepat terasa panas.

Gambar 2.9. Radiasi Elektromagnetik


Sumber: Arus frekuensi tinggi dalam fisiterapi (High Frequensi Current/HFC).
Oleh: Drs.Hery Priatna, SStFt, SKM. Disampaikan pada mata kuliah Elektrofisika

Deep heat dalam jaringan didapat dicapai dengan mengubah bentuk energi

lain untuk memanaskan. Pada short wave diathermy (SWD) arus frekuensi tinggi

dikonduksikan menjadi panas sedangkan microwave diathermy (MWD)

menggunakan radiasi gelombang elektromagnetik sebagai sumber panasnya.

Aplikasi optimal MWD adalah tegak lurus terhadap permukaan karena pada

MWD berlaku sifat refleksi.


43

Gambar 2.10. Perbedan sudut aplikasi pada MWD


Sumber: Arus frekuensi tinggi dalam fisiterapi (High Frequensi Current/HFC).
Oleh: Drs Hery Priatna, SStFt, SKM. Disampaikan pada kuliah Elektrofisika

2.3.2 Produksi dan penerangan

Arus dari mesin mengalir ke elektroda melalui co-axial cable, yaitu suatu

kabel yang terdiri dari serangkaian kawat di tengah yang diselubungi oleh

selubung logam yang dikelilingi suatu benda isolator. Kawat dan selubung logam

tadi berjalan sejajar dan membentuk sebagai kabel output dan kabel bolak balik

dari mesin. Konstruksi kabel semacam ini diperlukan untuk arus frekuensi yang

sangat tinggi dan panjangnya tertentu untuk suatu frekuensi tertentu pula.

Gambar 2.11. Microwave Diathermy


Sumber: Dokumen Pribadi
(Gambar diambil pada tanggal 19 Desember 2010)
44

Co-axial cable ini menghantarkan arus listrik ke sebuah area di mana gelombang

mikro dipancarkan. Area ini dipasang suatu reflektor yang dibungkus dengan

bahan yang dapat meneruskan gelombang elektromagnetik. Konstruksi ini

dimaksudkan untuk mengarahkan gelombang ke jaringan tubuh yang disebut

emitter, director atau aplicator atau sebagai electrode.

2.3.3 Penerapan pada Jaringan

Emitter yang sering disebut juga elektrode atau magnetode terdiri dari

serial, reflektor, dan pembungkus. Emitter ini bermacammacam bentuk dan

ukurannya serta sifat energi elektromagnetik yang dipancarkan, sehingga

berpengaruh pada jaringan tapi tidak dipengaruhi sifat elektris jaringan dan hanya

dapat diterapkan pada 1 arah. Terpengaruh sudut aksis datangnya sinar maksimal

bila tegak lurus dengan Penetrasi kurang dari 3cm. Panas optimal pada kulit

(karena dekat), dan otot.

Antara Emitter dan kulit di dalam teknik aplikasi terdapat jarak berupa

udara. Pada emitter yang berbentuk bulat maka medan elektromagnetik yang

dipancarkan berbentuk sirkuler dan paling padat di daerah tepi. Pada bentuk

segiempat medan elektromagnetik yang dipancarkan berbentuk oval dan paling

padat di daerah tengah. Energi elektromagnetik yang dipancarkan dari emitter

akan menyebar, sehingga kepadatan gelombang akan semakin berkurang pada

jarak yang semakin jauh. Berkurangnya intensitas energi elektromagnetik juga

disebabkan oleh penyerapan jaringan. Jarak antara kulit dan emitter tergantung

pada beberapa faktor antara lain jenis emitter, output mesin dan spesifikasi

struktur jaringan yang diobati.

Pada pengobatan daerah yang lebih luas diperlukan jarak yang lebih jauh

dan memerlukan mesin yang outputnya besar. Energi elektromagnetik yang

dipancarkan merupakan energi satu arah dengan penetrasi terhadap jaringan


45

sejauh < 3cm. Energi ini akan bekerja lebih efektif khususnya pada jaringan yang

dielektrisnya fungsi seperti pada jaringan otot dan jaringan pembuluh darah.

Reaksi jaringan tehadap gelombang elektromagnetik yang dipancarkan adalah

timbulnya panas dalam jaringan. Panas tersebut terjadi karena tiap jaringan

memiliki satu dari 3 sifat yaitu; bersifat elektrolit, konduktor dan isolator.

Jaringan yang bersifat elektrolit, mengandung ion (+) dan ion (-), sehingga apabila

terpengaruh oleh gelombang elektronagnetik akan terjadi fibrasi ion yang

menimbulkan panas. Pada jaringan yang bersifat isolator dikelilingi oleh elektron

yang kuat, sehingga apabila terpengaruh gelombang elektromagnetik panas akan

timbul karena adanya displacement current. Sedangkan pada jaringan yang

bersifat konduktor, disini terdapat ion-ion (+) dn ion (-) yang lebih mobil sehingga

panas timbul apabila terpengaruh gelombang elektromagnetik karena terjadi rotasi

dipole.

Pada penerapan MWD panas yang terjadi besarnya sesuai dengan urutan

sebagai berikut: kulit, lemak bawah kulit, otot, fasia, kapsul, ligament dan tulang

2.3.4 Efek Fisiologis

1. Perubahan temperatur

a. Reaksi lokal jaringan

Meningkatkan metabolisme sel-sel lokal + 13 % tiap kenaikan temperatur

1o C dan meningkatkan vasomotion sphincter sehingga timbul homeostatik

lokal dan akhirnya terjadi vasodilatasi lokal.

b. Reaksi general

Panas yang diberikan dalam waktu lebih dari 20 menit akan meningkatkan

suhu tubuh oleh termoregulator, tetapi perlu dipertimbangkan karena

penetrasinya dangkal <3 cm dan aplikasinya lokal.


46

c. Consensual efek

Timbulnya respon panas pada sisi kontralateral dari segmen yang sama.

Dengan penerapan MWD, penetrasi dan perubahan temperatur lebih

terkonsentrasi pada jaringan otot, sebab jaringan otot lebih banyak

mengandung cairan dan darah.

2. Jaringan ikat

Meningkatkan elastisitas jaringan ikat seperti jaringan collagen kulit, otot,

tendon, ligamen dan kapsul sendi akibat menurunya viskositas matriks

jaringan tanpa menambah panjang kolagen, tetapi terbatas pada jaringan ikat

yang letak kedalamannya < 3 cm. Perbaikan sirkulasi, kadar dalam matriks

jaringan ikat. Meningkatkan air sehingga komposisi GAG dan air pada

jaringan ikat meningkat, menyebabkan viskositas menurun mobilitas kolagen

lebih mudah sehingga meningkatkan daya regang.

3. Jaringan otot

Berpengaruh terhadap fasia otot dan miofibril. Pada fasia otot dapat

meningkatkan kelenturan jaringan ikat sedangkan pada miofibril dapat

menurunkan spasme sebagai akibat dari penurunan nyeri akibat efek sedatif.

Meningkatkan elastisitas jaringan otot dan menurunkan tonus melalui

normalisasi nocicencorik.

4. Jaringan saraf

Meningkatkan elastisitas pembungkus jaringan saraf, sehingga

meningkatkan aktifitas neurotransmiter. Pada Mild heat dapat memblok nyeri

pada kornu posterior oleh serabut termosensor. Pada dosis tinggi dan waktu

yang lama menyebabkan penurunan nyeri yang diakibatkan stimulus C yang

merangsang hipotalamus untuk memproduksi endorphin. Pada sistem


47

neurotransmitter, motorendplate, sistem α motor neuron apabila memperoleh

panas, akan menurunkan ambang rangsang.

2.3.5 Efek Terapeutik

1. Penyembuhan luka pada jaringan lunak

Meningkatkan proses perbaikan atau reparasi jaringan secara fisiologis.

2. Nyeri, hipertonus dan gangguan vaskularisasi

Menurunkan nyeri, normalisasi tonus otot melalui efek sedatif, serta perbaikan

metabolisme sehingga memutuskan vicious circle of reflex.

3. Kontraktur jaringan lemak

Dengan peningkatan elastisitas jaringan lemak, maka dapat mengurangi proses

kontraktur jaringan. Ini dimaksudkan sebagai persiapan sebelum pemberian

latihan.

4. Gangguan konduktivitas dan treshold jaringan saraf

Apabila elastisitas dan treshold jaringan saraf semakin membaik, maka

conduktivitas jaringan saraf akan membaik pula. Proses ini melalui efek

fisiologis.

2.3.6 Kontra Indikasi

Kontra indikasi pemakaian MWD adalah Pemakaian Implant pacemaker,

metal didalam jaringan dan permukaan jaringan, gangguan sensasi panas,

perdarahan, malignant tumor (tumor ganas), trombosis vena, pasien dengan

gangguan kontrol gerakan atau tidak bisa bekerja sama.

2.3.7 Pengaruh MWD untuk pengurangan nyeri Bahu pada frozen shoulder

Pemberian MWD dapat berpengaruh terhadap pengurangan nyeri dengan

cara meningkatkan elastisitas pembungkus jaringan saraf, meningkatkan aktifitas

neurotransmiter serta ambang rangsang saraf. Pada Mild heat dapat memblok
48

nyeri pada kornu posterior oleh serabut termosensor. Pada dosis tinggi dan waktu

yang lama menyebabkan penurunan nyeri yang diakibatkan stimulus C yang

merangsang hipotalamus untuk memproduksi endorphin. Selain itu MWD juga

menyebabkan vasodilatasi pembuluh darah lokal sehingga dapat terjadi

peningkatan sirkulasi yang menyebabkan peningkatan penyerapan kembali iritan

nyeri seperti algogen-asam laktat, sehingga nyeri berkurang serta terjadi rileksasi

otot yang diikuti dengan berkurangnya spasme otot sehingga lingkup gerak sendi

bertambah (Frintice & Quillen, 2005).

Selain itu efek termal MWD dapat juga meningkatkan elastisitas jaringan

ikat seperti jaringan collagen kulit, otot, tendon, ligamen dan kapsul sendi akibat

menurunnya viskositas matriks jaringan tanpa menambah panjang matrik,

perbaikan sirkulasi dan kadar air dalam matriks jaringan ikat. Meningkatnya kadar

air tersebut air menyebabkan komposisi GAG dan air pada jaringan ikat

meningkat, sehingga viskositas menurun mobilitas kolagen lebih mudah sehingga

meningkatkan daya regang dan terjadi peningkatan LGS.

2.3.8 Prosedur Penerapan

Standar operasional penerapan micro wave diathermy pada frozen shoulder

sebagai berikut:

1. Persiapan alat

a. Semua tombol dalam keadaan nol

b. Merapikan kabel penghubung jangan sampai ada kabel yang bersilangan

c. Kabel utama disambungkan ke sumber listrik

d. Atur tombol timer

e. Naikan intensitas sedikit demi sedikit, sampai hangat


49

2. Persiapan subjek

a. Sebelum pemberian terapi subjek terlebih dahulu diberikan penjelasan

mengenai cara kerja alat indikasi dan kontra indikasinya.

b. Daerah yang akan diberikan terapi dibebaskan dari pakaian dan logam A B

Gambar 2.12. Aplikasi Micro Wave Diathermy


Sumber: dokumentasi pribadi. (diambil tanggal 10 Desember 2010)

c. Posisi subjek dalam keadaan tidur.

d. Letakkan MWD pada bagian anterior bahu pada posisi badan terlentang

dengan abduksi dan rotasi eksternal bahu dan pada bagian posterior bahu

dengan posisi tidur miring dan horizontal adduksi bahu.

3. Pelaksanaan Terapi

Dosis yang diberikan:

a. Durasi : 15 menit.

b. Intensitas : mitis

c. Frekuensi : 3x/minggu

4. Kontrol saat Terapi

a. Warna kulit

b. Rasa panas

c. Gejala Vital

5. Jika waktu habis:

a. Tekan kembali tombol power ke posisi off.


50

b. Lepas kabel utama dari sumber arus listrik.


c. Rapikan kembali kabel yang telah digunakan

2.4 Ultrasonik (Ultrasound/US)

2.4.1 Definisi Ultra Sonik

Adalah bunyi atau gelombang suara dimana terjadi peristiwa getaran

mekanik dengan bentuk gelombang longitudinal yang berjalan melalui medium

tertentu dengan frekuensi yang bervaisi

( 1 MHz, 3 MHz, 4 MHz ).

Gambar 2.13. Ultrasound


Sumber : dokumentasi pribadi ( diambil tanggal 25 Desember 2010)

2.4.2 Fenomena Fisik yang terjadi pada Ultra Sonik

1. Bentuk gelombang ultra sonic

Jenis gelombang ultra sonik merupakan gelombang longitudinal yang

memerlukan medium yang elastis sebagai media perambatan. Setiap medium

elastis kecuali yang hampa udara. Gelombang mekanik longitudinal

menyebabkan kompresi dan ekspansi medium pada jarak separoh gelombang

yang menyebabkan variasi tekananpada medium.


51

2. Tahanan akustik spesifik

Tahanan akutik spesifik adalah nilai perambatan gelombang suara pada

media tertentu dengan media lainnya. Dimana gelombang suara lebih mudah

merambatpada media yang tahanan akustiknya tinggi. Tahanan akustik

merupakan sifat dari suatu medium yang mana suara masih dapat lewat.

Besarnya tahanan akustik tergantung pada kerapatan media (Q) dan kecepatan

gelombang suara (C). Adapun nilai sifat medium adalah dari hasil kerapatan

massa dengan kecepatan gelombang suara. Bila gelombang suara melewati

suatu media maka kemungkinan sebagian akan dipantulkan, diserap atau

merambat terus sampai medis berikutnya.

3. Refleksi (Pemantulan)

Refleksi atau pemantulan terjadi bila gelombang ultra sonik melalui

dua media yang berbeda. Banyak energi yang dipantulkan tergantung besarnya

perbedaan impedance acustik spesifik dari suatu media ke media lainnya.

Karena adanya refeleksi tersebut, maka energi US lebih besar diserap pada

jaringan interface. Jaringan antar permukaan jaringan dengan nilai tahanan

akustik berbeda akan dipantulkan, sehingga pada daerah tersebut memperoleh

energi ultra sonik lebih besar dari daerah lain.

4. Penyerapan dan Penetrasi Ultra Sonik

Jika gelombang ultra sonic masuk ke dalam jaringan maka efek yang

diharapkan adalah efek biologis. Oleh karena adanya penyerapan tersebut

maka semakin dalam gelombang ultra sonik masuk dan intensitasnya semakin

berkurang. Gelombang ultra sonik diserap oleh jaringan dalam berbagai

ukuran tergantung pada frekuensi, frekuensi rendah penyerapannya lebih

sedikit disbanding dengan frekuensi tinggi. Jadi ada ketergantungan antara

frekuensi, penyerapan dan kedalaman efek dari gelumbang ultra sonic.


52

Disamping itu refleksi, koefisien penyerapan menentukan penyebarluasan

ultra sonic didalam jaringan tubuh.

Tabel 2.2 Half Value Depth (HVD)

Jaringan Ter Har Hoogland Ward Mc Diarmid


(1978, 1996) (1986) (1986) dan Burns
(1987)
a. Half Depth Value dalam penetrasi (mm), frekuensi 1 MHz
Kulit 40 11.1 - -
Lemak 50 50 153 48
Otot 10-20 9* 28** 9
Tendon - 6.2 - -
Kartilago - 6 - -
Tulang 15 2.1 0.4 -
b. Half Depth Value dalam penetrasi (mm), frekuensi 3 MHz
Kulit 25 4 - -
Lemak 16 16.5 26.4 16
Otot 30-60 3* 7.7** 3
Tendon - 2 - -
Kartilago - 2 - -
Tulang 5 - 0.04 -
Keterangan : * : tegak lurus
** : memanjang

Tabel 2.3 Penetration Depth dari tiap-tiap media

Media 1 MHz 3 MHz


Tulang 7 mm -
Kulit 37 mm 12 mm
Tulang Rawan 20 mm 3 mm
Udara 20 mm 3 mm
Tendo 21 mm 7 mm
Otot 30 mm* 10 mm*
82 mm** 27 mm**
Lemak 165 mm 55 mm
Air 38330 mm 12770 mm
Keterangan : * : tegak lurus
** : memanjang
53

5. Pembiasan

Pembiasan gelombang ultra sonic ditentukan oleh nilai indeks bias tiap-

tiap media pada jaringan, dimana indeks bias ditentukan oleh kecepatan

bgelombang ultra sonic pada tiap-tiap medium. Nilai indeks bias (n) = 1

berarti tanpa pembiasan sedangkan nilai indeks bias lebih darui 1 berarti

pembiasan mendekati normal dan jika indeks bias kurang 1 berarti ditentukan

oleh sudut dating dan kecepatan gelombang suara pada media yang dilaluinya.

6. Coupling Media

Untuk dapat meneruskan gelombang ultra sonik ke dalam jaringan tubuh

maka dibutuhkan suatu medium yang berada transduser dan permukaan tubuh

yang akan di ultra sonic. Adapun cirri-ciri coupling media yang baik adalah :

a. Bersih dan steril,

b. Tidak terlalu cair (kecuali metode under water),

c. Tidak terlalu cepat diserap oleh kulit,

d. Transparasi,

e. Mudah dibersihkan.

2.4.3 Efek Biofisik Ultrasonik

1. Efek Mekanik

Bila gelombang ultra sonik masuk kedalam tubuh maka akan

menimbulkan pemampatan dan peregangan dalam jaringan sama dengan

frekuensi dari tranduser ultra sonik sehingga terjadi varisasi tekanan dalam

jaringan. Dengan adanya variasi tersebut menyebabkan efek mekanik yang

sering disebut dengan istilah micro massage yang merupakan efek terapeutik

yang sangat penting karena hamper semua efek yang timbul oleh ultra sonic

disebabkan oleh micro massage. Pemampatan dan peregangan oleh selubung

longitudinal dari ultra sonic mampu menimbulkan micro tissue damage dan
54

menimbulkan reaksi inflamasi primer. Pengaruh mekanik tersebut juga

dengan terstimulasinya saraf polimedal dan akan dihantarkan ke ganglion

dorsalis sehingga memicu produksi “P subtance” untuk selanjutnya terjadi

inflamasi sekunder atau dikenal “neurogeic inflammation”.

2. Efek Thermal

Micro massage pada jaringan akan menimbulkan efek friction yang

hangat. Panas yang ditimbulkan oleh jaringan tidak sama tergantung dari nilai

acustik impedance, pemilihan bentuk gelombang, intensitas yang digunakan

dan durasi pengobatan. Area yang paling banyak mendapatkan panas adalah

jaringan interface yaitu antara kulit dan otot serta periosteum. Hal ini

disebabkan oleh adanya gelombang yang diserap dan dipantulkan. Agar efek

panas tidak terlalu dominan digunakan intermitten ultra sonic yang efek

terapeutiknya lebih dominan dibandingkan efek panas. Perubahan konsentrasi

ion sehingga mempengaruhi nilai ambang rangsang dari sel-sel. Efek thermal

ultrasonic pengaruhnya lebih kecil mengingat durasi panas yang diperoleh

jaringan hanya selama 1 (satu) menit. Tetapi bila terkonsentrasi pada satu

jaringan dapat menimbulkan “heat burn”, yaitu bila pada tempat menonjol

atau transduser static.

3. Efek Piezoelectrik

Adalah suatu efek yang dihasilkan apabila bahan-bahan piezoelektrik

seperti kristal kwarts, bahan keramik polycrystalline seperti lead-zirconate-

titanate dan barium titanate mendapatkan pukulan atau tekanan sehingga

menyebabkan terjadinya aliran muatan listrik pada sisi luar dari bahan

piezoelectric tadi. Pada manusia seperti pada jaringan tulang, kolagen dan

protein tubuh juga merupakan bahan-bahan piezoelectric.


55

Oleh karena itu apabila jaringan-jaringan tadi mendapatkan suatu tekanan

atau perubahan ketegangan akibat mendapatkan aliran listrik dari ultrasonic

akan menyebabkan perubahan muatan elektrostatik pada membrane sel yang

dapat mengikat ion-ion. Efek piezoelektrik antara lain dapat meningkatkan

metabolisme dan dapat dimanfaatkan untuk penyambungan tulang. Secara

umum ultrasonic akan mempengaruhi proses electrode dan kejenuhan dari

elektrolit tubuh sehingga mengganggu ion-ion yang berada pada lapisan yang

tipis di daerah perbatasan antara zat padat dengan larutan elektrolit

2.4.4 Indikasi Ultrasonik

1. Adhesi, tendinitis, sinovitis, sindroma miofasial.

2. Nyeri, spasme otot dan nyeri akibat disfungsi simpatis, neuroma.

3. Neuralgia prepatelar traumatik, efusi akut lutut akibat trauma.

4. Haematoma, bengkak (swelling).

5. Fraktur, proses penyembuhan luka dan kondisi bakteria.

6. Penyakit sirkulasi darah seperti penyakit raynud dan buerger, suddeck

dystrhopie.

7. Kelainan pada kulit seperti jaringan parut karena operasi, luka bakar, trauma.

8. Kelainan / penyakit saraf seperti neuropati, phantom pain, HNP.

9. Rheumatoid arthritis pada stadium tidak aktif.

10. Dupuytren kontraktur.

2.4.5 Kontra Indikasi

1. Absolut : mata, jantung, uterus wanita hamil, testis, epiphyseal plate tulang

anak yang belum matang, kanker / pasien dengan pengobatan rediotherapi dan

penyakit kelainan darah seperti haemophilia.


56

2. Relatif : post laminektomi, hilangnya sensibilitas, tumor, tromboplebitis,

varises, diabetes melitus, sepsis, inflamasi / infeksi akut, tuberkulosa tulang.

2.4.6 Mekanisme Penurunan Nyeri Sindroma Miofasial Melalui Ultrasonik.

Dengan pemberian modalitas ultra sonic dapat terjadi iritan jaringan yang

menyebabkan reaksi fisiologis seperti kerusakan jaringan, hal ini disebabkan oleh

efek mekanik dan thermal ultra sonik. Pengaruh mekanik tersebut juga dengan

terstimulasinya saraf polimedal dan akan dihantarkan ke ganglion dorsalis

sehingga memicu produksi “P subtance” untuk selanjutnya terjadi inflamasi

sekunder atau dikenal “neurogeic inflammation”. Namun dengan terangsangnya

“P” substance tersebut mengakibatkan proses induksi proliferasi akan lebih

terpacu sehingga mempercepat terjadinya penyembuhan jaringan yang mengalami

kerusakan. Pengaruh nyeri terjadi secara tidak langsung yaitu dengan adanya

pengaruh gosokan membantu “venous dan lymphatic”, peningkatan kelenturan

jaringan lemak sehingga menurunnya nyeri regang dan proses percepatan

regenerasi jaringan (Yulia, 2001).

2.4.7 Prosedur Penerapan Ultrasonik

1. Persiapan alat

a. Siapkan alat US dan jelly sebagai media poenghantar, pastikan tidak ada

kerusakan pada kabel-kabel yang terpasang,

b. Atur jarak alat dengan tempat terapi pasien, ushakan agar alat tidak

terjangkau oleh pasien.

2. Persiapan pasien

a. Jelaskan pada pasien mengenai prosedur dan tujuan daripemberian US.

b. Daerah lutut yang akan diterapi harus bebas dari pakain dan bahan metal.

Perhatikan sensasi dan temperature kulit.


57

c. Atur posisi pasien sesuai dengan daerah tubuh yang akan diterapi, yaitu

dengan duduk diatas kursi, pastikan pasien merasa nyaman dengan posisi

tersebut.

Gambar 2.14. Area pemberian Ultrasound


Sumber : Dokumen pribadi ( diambil tanggal 10 November 2010)

3. Teknik aplikasi

a. Nyalakan alat, siapkan tranduser ultra sonic lalu diberi jelly sesuai dengan

area yang akan diobati.

b. Atur waktu terapi selama 5 menit.

c. Berikan intensitas sesuai toleransi pasien.

d. Gerakan transduser kearah sirkuler ataupun longitudinal pada area yang

diterapi, jangan biarkan transduser dalam keadaan statis karena dapat

menimbulkan luka bakar.

2.4.8 Penentuan dosis

1. Intesitas : 2 watt/cm²

2. Gelombang : continues

3. Waktu : 5 menit

4. Pengulangan : 6 kali terapi dengan 3 kali / minggu


58

2.5 Traksi Pada MLPP Glenohumeral

2.5.1 Pengertian Traksi MLPP

Traksi merupakan salah satu komponen arthrokinematik dari sendi

glenohumeral. Traksi adalah gerak satu permukaan sendi tegak lurus terhadap

permukaan sendi pasangannya kearah menjauh, dalam hal ini traksi sendi

glenohumeral adalah traksi kearah lateral serong keventro cranial. Pada saat traksi

terjadi pelepasan abnormal crosslink pada sendi dan terjadi pengurangan

viskositas cairan sendi glenohumeral. Gerakan aktif pada lingkup gerak sendi

mempunyai efek antara lain untuk memelihara elastisitas dan kontraksi otot,

memberikan efek sensasi balik dari kontraksi otot, memberikan stimulus pada

ulang dan sendi, meningkatkan sirkulasi darah, melepaskan perlekatan intraseluler

kapsuloligamenter sendi glenohumeral. Menurut Maitland, oscilasi adalah bentuk

gerakan pasif pada sendi dengan amplitude yang kecil atau besar yang

diaplikasikan pada semua ROM yang ada dan dapat dilakukan ketika permukaan

sendi dalam keadaan distraksi dan kompresi.

Efek-efek dari traksi shoulder adalah sebagai berikut :

1. Efek fisik

Pemberian traksi shoulder dapat merangsang aktivitas biologis didalam

sendi melalui gerakan cairan sinovial. Gerakan cairan sinovial dapat

meningkatkan proses pertukaran nutrisi kepermukaan kartilago sendi dan

fibrokartilago, sehingga cairan sinovial meningkat.

2. Efek neurologis

Traksi dapat merangsang receptor sendi yaitu mekanoseptor yang dapat

menginhibisi pengiriman stimulus nociceptif pada medulla spinalis melalui

modulasi level spinal.


59

3. Efek stretching

Traksi dapat meregang atau mengulur kapsul ligament tanpa nyeri melalui

pelepasan abnormal cross link antara serabut-serabut kolagen sehingga terjadi

perbaikan lingkup gerak sendi sampai mencapai tahap fungsional dari sendi

dan dapat memelihara ekstensibilitas dan kekuatan tegangan dari sendi dan

jaringan periartikular.

4. Efek arthrokinematik

Traksi dapat meregangkan dan mengarahkan gerak fisiologis.

5. Efek mekanik

Distraksi dengan amplitude kecil pada sendi akan menyebabkan terjadinya

pergerakan cairan sinovium yang akan membawa nutrisi pada bagian yang

bersifat avaskular dari kartilago sendi dan fibrokartilago, menurunkan nyeri

dan efek degenerasi statis saat nyeri dan tidak dapat melakukan gerakan dalam

lingkup gerak sendi tertentu.

2.4.2 Prinsip Teknik Traksi Shoulder

Mekanisme teknik pelaksanaan antar lain:

1. Posisi tangan

Tangan yang akan melakukan mobilisasi hendaknya ditempatkan sedekat

mungkin dengan permukaan sendi. Tangan yang berfungsi sebagi stabilisator

menahan gerakan tangan yang memobilisasi dengan arah berlawanan atau

melalui pencegahn gerakan yang terjadi disekitar sendi.

2. Arah gerakan

Arah gerakan harus bebas dari adanya nyeri sampai batas tahanan

kapsular. Tahanan yang dimaksud mengarah kepad keterbatasan kapsul sendi.

Gerakan sampai arah keterbatasan adalah suatu upaya untuk melakukan sesatu

perubahan mekanik dalam kapsul sendi dan jaringan yang ada disekitarnya.
60

Perubahan mekanik yang dimaksud berupa pelepasan jaringan yang

mengalami perlengketan.

Arah gerakan yang diberikan tidak boleh melampaui batas normal gerak

sendi. Saat mengaplikasikan teknik gerak traksi, fisioterapis harus megetahui

gerakan- gerakan sendi serta bentuk sendi yang bersangkutan.

3. Proper Body Mechanic

Terapis harus menggunakan prinsip-prinsip ergonomic dan berdiri atau

memposisikan diri sedekat mungkin dengan pasien, tangan dan lengan terpis

bertindak sebagai fulcrum dan levers serta posisi terapis harus mengikuti

gerakan tersebut secara efisien.

2.4.3 Dosis dan Derajat Traksi Shoulder

1. Derajat traksi

a. Derajat I : Osilasi pada MLPP, untuk mengurangi nyeri. Selalu digunakan

pada saat melakuakn glide mobilisasi.

b. Derajat II : Staccato pada mid range, untuk mengurangi nyeri.

c. Derajat III : Staccato mencapai pembatasan LGS, untuk menambah

mobilisasi sendi (traksi mobilisasi) dan untuk tes joint play movement

(traction test).

d. Derajat IV : Osilasi pada pembatasan LGS, yang berfungsi untuk

menambah LGS dan joint play movement merasakan end feel.

2. Dosis dan Kegunaan Traksi

a. Derajat I atau II

Sendi yang terasa nyeri pertama-tama harus diterapi dengan traksi.

Biasanya digunakan derajat I atau II dengan interval 10 detik. Traksi

dilakukan pelan-pelan kemudian secara perlahan traksi dilepaskan

sehingga sendi kembali keposisi awal. Setelah sendi istirahat beberapa


61

detik, prosedur diatas diulangi kembali. Amplitudo, durasi dan frekuensi

gerakan sendi sangat bervariasi tergantung pada respon pasien terhadap

terapi tersebut. Derajat I dan II berfungsi untuk menginhibisi nyeri dan

mengatasi keterbatasan gerak.

b. Derajat III dan IV

Traksi-mobilisasi derajat III efektif untuk memperbaiki mobilitas sendi

karena dapat meregangkan jaringan lunak sekitar persendian yang

memendek. Traksi mobilisasi dipertahankan selama 7 detik atau lebih

dengan kekuatan maksimal sesauai dengan toleransi pasien. Pada saat

sendi istirahat traksi tidak perlu dilepaskan total ke posisi awal tetapi

cukup diturunkan ke derajat II kemudian lakukan traksi derajat III lagi.

Prosedur tersebut dilakukan berulang-ulang. Derajat III berfungsi untuk

meningkatkan LGS dan relaksasi otot jika dilakukan dengan osilasi dan

kecepatan rendah. Derajat IV lebih efektif untuk menambah lingkup gerak

sendi.

2.4.4 Indikasi Traksi

1. Nyeri dan Spasme Otot

Nyeri dan spasme otot dapat ditangani dengan teknik gentle joint play

untuk menstimulasi efek neurologis yang dapat menstimuli mekanoseptor dan

inhibisi transmisi nociceptor pada level spinal atau brain stem.

2. Hipomobilitas yang Reversibel

Jaringan yang mengalami immobilisasi dapat menyebabkan berkurangnya

kemampuan regangan sehingga terjadi pemendekan dan myofibril menjadi

berkurang dan membentuk abnormal crosslink. Teknik osilasi dapat

memperbaiki secara mekanik struktur jaringan yang mengalami pemendekan,


62

dan teknik progresif stretching sendi untuk mengulur hipomobilitas kapsular

dan ligamen.

3. Keterbatasan Gerak yang Progresif

Penyakit yang membatasi gerak secara progerasif dapat ditangani dengan

teknik mobilisasi sendi untuk menjaga dan memelihara gerak yang ada.

4. Imobilisasi yang Fungsional

Ketika pasien tidak dapat melakukan gerakn pada satu sendi untuk

beberapa waktu maka dapat diberikan traksi tanpa stretch untuk memelihara

gerak sendi yang ada dan efek restriksi pada imobilisasi

2.4.5 Kontra Indikasi Traksi

1. Hipermobilitas

Hipermobilitas pada sendi tidak boleh diberikan teknik ini kecuali dengan

pertimbangan bahwa fisioterapis dapat menjaga dalam batasan gerak yang

normal pada sendi tersebut. Selain itu tidak boleh diaplikasikan pada pasien

yang mempunyai potensial nekrose pada ligament dan kapsul sendi.

2. Efusi Sendi

Efusi sendi tidak boleh dilakukan mobilisasi. Hal ini dikarenakan pada

kapsul yang ditraksi akan mengalami penggelembungan karena menampung

cairan dari luar. Keterbatasan ini berasal dari perubahan yang terjadi dari laur

dsan respon otot terhadap nyeri bukan karena pemendekan otot.

3. Inflamasi

Pada tahap ini tidak boleh dilakukan traksi karena menimbulkan nyeri

serta memperberat kerusakan pada jaringan.

4. Fraktur humeri dan osteoporosis.


63

2.4.6 Efek Traksi Shoulder Terhadap Penurunan Nyeri Bahu Frozen


Shoulder

Pemberian traksi bahu pada frozen shoulder akan merangsang

mekanoreseptor untuk menginhibisi stimulus nociceptor sehingga terjadi

peningkatan vaskularisasi. Dengan peningkatan vaskularisasi akan menimbulkan

kontraksi jaringan sehingga akan menurunkan hiperaktivitas dari saraf simpatis,

dan akan memperbaiki humeroskapular rythm, dimana secara perlahan – lahan

akan menurunkan nyeri. Gerak ritmis dan kontinue pada traksi akan

meningkatkan vaskularisasi pada jaringan lunak dari shoulder sehingga akan

memacu penyerapan kembali cairan venosis dan cairan limfe sehingga sirkulasi

lokal menjadi lancar (Hardjono, 2008).

Traksi shoulder dengan derajat I akan merangsang aktivitas didalam sendi

melalui gerakan cairan sinovial. Gerakan cairan sinovial dapat meningkatkan

proses pertukaran nutrisi ke permukaan kartilago sendi dan fibro kartilago yang

menyebabkan cairan sinovial meningkat, dan vaskularisasi juga akan meningkat

sehingga nutrisi jaringan terpenuhi yang akhirnya menurunkan nyeri. Traksi

dengan derajat III atau IV pada akhir pembatasan ROM akan melepaskan

abnormal crosslinks diantara serabut kolagen sehingga terjadi peregangan dan

releksasi otot serta kelenturan kapsul ligamen, dimana terjadi peningkatkan

sirkulasi dan peredaran darah pada jaringan, sehingga merangsang terjadinya

reabsorbsi sisa metabolisme jaringan yang akan menyebabkan nyeri berkurang.


64

2.4.7 Prosedur Pelaksanaan Teknik Traksi Shoulder

1. Pasien tidur telentang dan dalam keadaan rileks.

Posisi awal sendi bahu pada posisi MLPP (bonnet position/ abduksi,

internal rotasi 30) lakukan traksi derajat I kearah lateral serong keventro

kranial dengan frekuensi osilasi 3x/detik dan repetisi 50 kali.

Gambar: 2.15. Traksi MLPP


Sumber: Mink, A. and Vorselaar, J. Th, Extremiteiten Futie-onderzoek en
manuele therapie, Bohn, Scheltema& Holkema, Utrech/ antwerpen, 1999.

2. Fisioterapis memposisikan sendi bahu pada posisi keterbatasan abduksi,

internal rotasi dan eksternal rotasi, kemudian lakukan traksi derajat IV pada

MLPP ke arah lateral serong ventro kranial dengan frekuensi dan repetisi

sama dengan no 1). Setelah dilakukan derajat IV kembali dilakukan derajat I

dengan posisi MLPP.

You might also like