Professional Documents
Culture Documents
PENDAHULUAN
Epilepsi adalah kondisi kronik pada sistem saraf yang ditandai dengan
kejang berulang. Kejang terjadi ketika suatu aktivitas listrik abnormal pada otak
menyebabkan perubahan yang tidak disadari pada pergerakan dan fungsi tubuh,
sensasi, kesadaran, dan tingkah laku. Sebagian penderita memiliki hanya satu tipe
kejang sedangkan pada penderita lain dapat menderita lebih dari satu tipe. Kondisi
ini tidak dapat ditularkan dari satu orang ke orang lainnya. Manifestasi klinis dari
epilepsi tergantung jenis epilepsi yang diderita. The International League Againts
Epilepsy (ILAE) mengelompokkan epilepsi menjadi 3, yaitu epilepsi lokal,
epilepsi umum, dan epilepsi tidak terklasifikasi.6
1
Seseorang dapat menderita epilepsi jika ia memiliki faktor risiko. Faktor
risiko yang diketahui dapat meningkatkan insiden epilepsi adalah kelainan
kongenital pada sistem saraf pusat, trauma kepala sedang dan berat, infeksi cairan
serebro-spinal, gangguan metabolik bawaan, dan faktor genetik. Faktor ini dapat
dikelompokkan menjadi faktor prenatal, natal, postnatal, dan faktor herediter.
Diagnosis epilepsi ditegakkan dari anamnesis, pemeriksaan, fisik, dan
pemeriksaan penunjang. Pemeriksaan penunjang yang paling sensitif adalah
elekroensefalografi (EEG).3
2
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.2 Epidemiologi
3
kelompok umur 1-5 tahun, sedangkan onset terbanyak pada kelompok umur <1
tahun.12
Faktor risiko untuk menderita epilepsi dapat terjadi pada saat prenatal,
perinatal ataupun postnatal dan juga dipengaruhi oleh faktor genetik. Faktor
prenatal dan perinatal saling berkaitan dalam timbulnya gangguan pada janin atau
bayi.14
1. Faktor Prenatal
4
Salah satu faktor prenatal yang dapat menjadi pencetus epilepsi
pada anak adalah keadaan asfiksia. Asfiksia akan menyebabkan
hipoksia dan iskemia sehingga menimbulkan lesi pada daerah
hipokampus yang mengakibatkan rusaknya faktor inhibisi dan atau
meningkatnya fungsi neuron eksitasi. Hal ini dapat mengakibatkan
munculnya epilepsi di kemudian hari. Keadaan yang dapat
menyebabkan asfiksia yaitu kehamilan dengan hipertensi dan eklamsia,
kehamilan pada usia berisiko terjadinya komplikasi seperti
prematuritas, penyulit persalinan dan partus lama.9,14
2. Faktor Natal
Faktor natal yang menjadi faktor risiko epilepsi adalah bayi berat
badan lahir rendah yang dapat menyebakan asfiksia, hipoglikemi dan
perdarahan intraventikuler pada bayi. Selain itu, kelahiran prematur,
postmatur, partus lama, dan persalinan dibantu alat seperti forcep dan
vakum yang menyebabkan jejas pada otak juga dapat memicu terjadinya
epilepsi. Penelitian Raharjo TB (2007) telah menunjukkan hubungan
partus lama yang lebih dari 13 jam terhadap peningkatan insiden
epilepsi pada anak.14
3. Faktor Postnatal
a. Kejang Demam
5
Jaringan parut ini dapat menghambat proses inhibisi. Hal ini akan
mengganggu keseimbangan inhibisi-eksitasi, sehingga mempermudah
timbulnya kejang.7,14
b. Tumor Otak
Jika salah satu orang tua memiliki epilepsi idiopatik risiko anak
berkembang epilepsi adalah 4-6 %, dibandingkan dengan risiko 0,3-0,5
% pada populasi umum. Jika kedua orang tua memiliki epilepsi
6
idiopatik, risiko meningkat menjadi 12-20 %. Pada orang tua dengan
gejala epilepsi, masih ada sedikit peningkatan dalam risiko hingga 2 %.9
Pada anak, faktor risiko untuk terjadi epilepsi juga dipengaruhi umur dan
perkembangannya seperti terlihat pada grafik 2.1. Epilepsi akan lebih jarang pada
anak prematur dibanding anak cukup bulan. Hal ini disebabkan karena
perkembangan saraf pada anak prematur belum berkembang secara sempurna
sehingga memungkinkan terjadinya ketidakseimbangan eksitasi-inhibisi.
Munculan gejala sering terjadi pada usia 4 bulan-4 tahun dengan frekuensi yang
lebih tinggi. Selanjutnya, frekuensi munculannya akan menurun sampai remaja.7,9
2.4. Patogenesis
7
Kasus epilepsi kebanyakan berupa tipe grand mal dan absence. Tipe
grand mal menunjukkan kehilangan kesadaran, kaku (fase tonik) selama 10-30
detik, diikuti gerakan kejang kelojotan pada kedua lengan dan tungkai (fase
klonik) selama 30-60 detik. Selain itu, dapat disertai mulut berbusa dan setelah
bangkitan penderita menjadi lemas (fase flaksid), serta tampak bingung. Pada tipe
absence (lena) terjadi gangguan kesadaran secara mendadak, berlangsung
beberapa detik. Selama bangkitan kegiatan motorik terhenti dan penderita diam
tanpa reaksi. Setelah bangkitan selesai, penderita melanjutkan aktivitas semula
tanpa menyadari telah terjadi bangkitan.8
Pada kebanyakan kasus, didapatkan temuan sistem saraf pusat (SSP) yang
normal secara makroskopik maupun mikroskopik. Namun, pada kasus epilepsi
sekunder sering ditemukan lesi pada otak. Lesi dapat berupa hilangnya zona
neuronal dan gliosis (scar). Tanda-tanda kehilangan jaringan lainnya misalnya
porencephaly, heterotopia, dysgenesis cortex, hamartoma, malformasi vaskular,
atau tumor.15
8
mekanisme yang terlibat dalam inisiasi kejang (ictogenesis) dan perubahan pada
otak normal yang menjadi otak yang rawan terjadi kejang (epileptogenesis).16
1. Mekanisme Ictogenesis
2. Mekanisme Non-sinaptik
9
dipisahkan dengan jarak ekstraseluler yang kecil dan berkontribusi terhadap
peningkatan sinkronisasi.16
3. Mekanisme Sinaptik
a. GABA
b. Glutamat
Epilepsi memiliki gejala klinis yang bervariasi dan salah satu cara untuk
mengelompokkan jenis-jenis kejang. The International League Against Epilepsy
(ILAE) telah mendeskripsikan secara sistematis dan telah mengklasifikasikannya
dari klinis dan hasil pemeriksaan.
10
2. Dengan gejala somatosensori
3. Dengan gejala otonom
4. Dengan gejala psikis
B. Kejang Parsial Kompleks
1. Kejang parsial simpleks yang diikuti oleh penurunan kesadaran
II. Kejang
A. Kejang Absens
1. Kejang Absens
2. Kejang Absens Atipikal
B. Kejang Mioklonik
C. Kejang Klonik
D. Kejang Tonik
E. Kejang Tonik-Klonik
F. Kejang Atonik
11
Gejala pada kejang ini berguna dalam memprediksi lokalisasi anatomis dari
kejang. Bentuk kejang biasanya tidak memiliki gejala patologis yang spesifik.
Biasanya sebagian kejang parsial simplek dialami hanya beberapa detik.11
Kejang parsial kompleks berasal dari lobus temporal pada 60% kasus,
lobus frontal pada 30% kasus dan daerah kortikal lainnya sekitar 10% kasus.
Gambaran klinis menunjukkan anatomi yang menyebabkan timbulnya kejang.
Lamanya kejang parsial kompleks bervariasi dalam lamanya.11 Manifestasi
yang timbul pada kejang parsial kompleks diantaranya timbulnya aura diikuti
oleh penurunan kesadaran, dan automatism (tindakan motorik yang terjadi
selama serangan epilepsi).11
4. Kejang Absen
12
kosong. Serangan itu berakhir secara tiba-tiba tiba-tiba seperti serangan itu
dimulai, dan aktivitas sebelumnya dilanjutkan seolah-olah tidak ada yang
terjadi saat kejang itu berlangsung. Biasanya penderita tidak mengalami
kebingungan, tetapi penderita sering tidak menyadari bahwa serangan telah
terjadi. Sebagian kejang (> 80%) berlangsung kurang dari 10 detik.
Fenomena klinis lainnya termasuk berkedip, gerakan klonik sedikit batang
atau anggota badan dan otomatisasi yang singkat dapat terjadi terutama pada
saat serangan terjadi. Serangan sering terulang, kadang-kadang mencapai
ratusan kali dalam sehari.11
5. Kejang Mioklonik
6. Kejang Klonik
13
Kejang klonik terdiri dari sentakan yang sering asimetris dan tidak
teratur. Kejang ini paling sering terjadi pada neonatus, bayi atau anak-anak
muda.11
7. Kejang Tonik
Kejang ini merupakan bentuk klasik dari serangan epilepsi. Kejang ini
didahului oleh aura, dimulai dengan kehilangan kesadaran dan dilanjutkan
dengan tonik (Terjatuh jika berdiri, kejadian singkat kontraksi otot, respirasi
terhenti dan terjadi sianosis umum) dan dilanjutkan dengan fase kloni
(gerakan kejang, pernafasan menjadi sesak, dan air liur sering tercampur
darah akibat lidah yang tergigit).11
9. Kejang Atonik
Atonik adalah klinis kejang yang paling berat dimana penderita tiba-
tiba jatuh ke tanah seperti boneka kain. Biasanya kejang ini berlangsung
sebentar dan diikuti oleh pemulihan segera.11
14
ini memastikannya biasanya dengan melakukan wawancara baik dengan orangtua
atau orang yang merawat dan saksi mata yang mengetahui tentang penderita.
Beberapa pertanyaan yang perlu diajukan adalah untuk menggambarkan kejadian
sebelum, selama dan sesudah serangan kejang itu berlangsung. Dengan
mengetahui riwayat kejadian serangan kejang tersebut biasanya dapat
memberikan informasi yang lengkap dan baik mengingat pada kebanyakan kasus,
dokter tidak melihat sendiri serangan kejang yang dialami penderita.17
15
parsial kompleks. Hemiparese atau hemiplegi sesudah serangan kejang
disebut “Todd’s Paralysis“ yang menggambarkan adanya fokus patologis
di otak.17
5. Faktor pencetus
Serangan kejang dapat dicetuskan oleh karena panas, kelelahan fisik dan
mental, atau suara suara tertentu. Dengan mengetahui faktor pencetus ini
dalam konseling dengan keluarga dapat membantu dalam mencegah
serangan kejang.17
9. Riwayat pengobatan
16
ketidakpatuhan minum obat, ada perubahan minum obat dan penyakit lain
yang menyertai.17
b. Riwayat Keluarga
Ditanyakan apa ada orangtua, saudara, yang menderita penyakit seperti ini.
c. Riwayat Perinatal
d. Riwayat Persalinan
Masa persalinan juga dapat menetukan apakah ada faktor penyebab yang
dimiliki anak. Dengan bertanya tentang cara persalinan, lamanya persalinan,
apakah terjadi asfiksia, berat badan saat lahir, dan riwayat penyakit yang
dialami anak seperti kuning, sesak nafas. Selain dari itu, riwayat menyusui dan
imunisasi juga ditanyakan kepada keluarga.9
Pemeriksaan Fisik
17
Pemeriksaan fisik pada penderita kejang diawali dengan observasi. Hal-hal
yang diobservasi antara lain cara berjalannyaapakah normal, atau tampak
kelemahan bahkan spastisitas pada salah satu atau kedua sisi.perlu pula
diperhatikan interaksi dengan lingkungan, normal atau hiperaktif dan apakah
perkembangan bicara sesuai dengam usia.9
1. Elektroensefalografi (EEG)
18
dapat dijumpai pada anak normal dan sehat. EEG abnormal ringan dan
tidak khas terdapat pada 15 % populasi normal, dan kira-kira 10%
penderita epilepsi mempunyai EEG normal.9
1. Asimetri irama dan voltase gelombang pada derah yang sama di kedua
hemisfer otak.
19
meningitis. Pada penderita epilepsi dengan kelainan neurologis fokal dan
tanda peningkatan tekanan intrakranial sangat berbahaya apajika dilakukan
pungsi lumbal. Pada penderita dengan proses degeneratif pemeriksaan
cairan serebrospinal dapat berguna untuk menegakkan diagnosis, misalnya
pada Subaccute sclerosing panencephalitis (SSPE). Jika ditemukan zat anti
terhadap morbili dalam cairan serebrospinal berarti penderita menderita
SSPE.9
3. CT Scan
4. MRI
1. Gangguan metabolik
a. Hipoglikemia
Kadar gula plasma < 45 mg/dl pada bayi atau anak-anak dengan atau
tanpa gejala.
Kadar gula plasma < 35 mg/dl pada neonatus aterm < 72 jam
20
Kadar gula plasma < 25 mg/dl pada neonatus preterm dan KMK
Ketika kadar glukosa dalam darah rendah, sel-sel dalam tubuh terutama
otak, tidak menerima cukup glukosa dan akibatnya tidak dapat
menghasilkan cukup energi untuk metabolisme dan dapat menimbulkan
kejang yang dapat berakibat pada rusaknya sel-sel otak serta saraf dan
sel-sel otak serta saraf yang rusak dapat menyebabkan cerebral palsy,
retardasi mental, dll.18
b. Hiponatremia
- Kadar natrium serum < 120 mEq/L sering bergejala kejang, syok dan
lethargi.8
c. Hipomagnesemia
21
direkomendasikan sebagai anti konvulsan pada preeklampsia dan
eklampsia. Penghambatan N-metil- D aspartat (NMDA) reseptor
glutamat dan meningkatnya produksi prostaglandin vasodilator dalam
otak dapat menganggu mekanisme antikonvulsan dari magnesium.
Selain itu, magnesium juga berfungsi untuk menstabilkan membran
saraf.8
- Gelaja biasanya muncul apajika kadar magnesium dalam tubuh < 1,2
mEq/L, dan untuk kejang yang timbul biasanya tonik klonik umum.
Selain kejang gejala lain yang dapat timbul adalah iritabilitas
neuromuscular, hipereksitabilitas SSP dan aritmia jantung.8
d. Defisiensi vitamin B6
- Bayi yang minum susu formula yang kurang vitamin B6 selama 1-6
bulan menunjukkan iritabilitas dan kejang menyeluruh8
22
Defek metabolisme tubuh yang disebabkan oleh mutasi pada gen yang
mengkode protein spesifik sehingga terjadi perubahan struktur protein
atau jumlah protein yang disintesis yang dapat menimbulkan berbagai
sindrom, antara lain sindrom neurologis berupa disfungsi neurologis
yaitu kejang.8
2. Kejang Demam
Bangkitan kejang yang terjadi pada kenaikan suhu tubuh (suhu rektal
diatas 38°C) yang disebabkan oleh suatu proses ekstrakranium.20
Terjadi pada 2%-4% anak berumur 6 bulan hingga 5 tahun, apajika anak
berumur < 6 bulan atau > 5 tahun mengalami kejang yang didahului
demam, pikirkan kemungkinan lain seperti epilepsi atau infeksi sistem
saraf pusat.20
a. Meningitis
- Sering didahului infeksi pada saluran nafas atas atau saluran cerna
seperti demam, batuk, pilek, diare dan muntah serta saat pemeriksaan
akan ditemukan ubun-ubun besar yang menonjol, kaku kuduk atau
tanda ransangan meningeal (brudzinski dan kernig).18
b. Encephalitis
23
- Infeksi jaringan otak yang dapat disebabkan oleh berbagai macam
mikroorganisme (virus,bakteri,jamur dan protozoa) namun yang
tersering adalah virus.18
- Kejang pada encephalitis bersifat umum atau fokal, dapat berupa status
konvulsivus dan dapat ditemukan sejak awal ataupun kemudian dalam
perjalanan penyakitnya.18
4. Keracunan Teofilin
5. Encephalopati Hipertensi
6. Tumor Otak
Tumor otak adalah keganasan nomor 2 yang sering terjadi pada anak
setelah leukemia. Tumor otak supratentorial lebih sering menunjukkan
gejala kejang dibanding tumor otak infratentorial. Untuk menegakkan
diagnosa dapat dilakukan pemeriksaan MRI dan CT Scan.18
7. Perdarahan Intrakranial
24
tentang risiko spesifik-berat badan lahir terhadap tipe perdarahan.
Diagnosis perdarahan subdural pada bayi cukup bulan yang berat badan
lahirnya besar menurut kehamilan (BBLB) dengan disproporsi kepala-
panggul dapat tertunda 1 bulan sampai volume cairan subdural kronis
bertambah menyebabkan sefalomegali, dominasi frontal, fontanela
cembung, kejang-kejang dan anemia. Apajika neonatus sehat namun
terdapat kejang-kejang, kemungkinan neonatus tersebut menderita
perdarahan subarakhnoid ringan18
2.9. Tatalaksana
25
- Jangan coba untuk menghentikan gerakan ataupun menahannya
26
Skema 1. Penghentian Kejang22
1. 0 – 5 menit
2. 5 – 10 menit
3. 10 – 30 menit
27
- Jika kejang tidak berhenti diberikan fenobarbital 20mg/kg
intravena bolus perlahan-lahan dengan kecepatan 100mg/menit.
Dosis maksimal yang diberikan adalah 1000mg fenobarbital.
4. > 30 menit
28
epilepsi dari Indian Pediatrik mengatakan seperti yang tergambar dalam skema
berikut.
Kejang dapat terjadi lebih dari satu kali dan penyebab lain untuk kejang
harus diidentifikasi sebelum dilakukannya pengobatan rutin antiepilepsi. Tujuan
dari identifikasi ini adalah untuk mencegah serangan kejang lebih lanjut baik
sepenuhnya ataupun untuk mengurangi frekuensi dan tingkat keparahan dengan
sedikit mungkin efek samping.23
29
berbulan-buln dan jika tidak kambuh lagi obat dapat dihentikan. Dalam kasus di
mana epilepsi itu sangat berat sebelum pengobatan dimulai, atau jika terdapat lesi
otak, lebih baik untuk melanjutkan pengobatan lebih lama, karena kemungkinan
kambuh dikemudian hari jauh lebih besar. Prinsip-prinsip bagaimana memulai
pengobatan pada penderita yang baru didiagnosis diringkas sebagai berikut:9
30
- Kepatuhan dalam meminum obat adalah kunci untuk mengontrol
kejang dan konseling pada pada keluarga adalah faktor yang
terpenting dalam kepatuhan9
Idealnya pemberian obat awal tergantung dari jenis epilepsi dan jenis yang
terjadi. Tetap dalam prakteknya kembali kepada ketersediaan dan keterjangkauan
obat. Karena pada awal kejadian kejang sulit menentukan jenis epilepsi yang
terjadi, maka pengobatan biasanya dimulai sesuai dengan jenis kejang. Kejang
yang umum terjadi adalah tonik-klonik. Terapi antiepilepsi yang digunakan untuk
kejang ini ada empat jenis yang utama yakni fenobarbital, phenitoin,
carbamazepin, dan valproate. Jika kita mampu membedakan antara kejang tonik-
klonik primer dan sekunder, maka fenobarbital atau valproate digunakan untuk
kejang tonik-klonik primer dan phenitoin atau carbamazepin untuk kejang tonik-
klonik sekunder.23
1. Fenobarbital
31
Indikasi utama adalah epilepsi umum idiopatik. Tetapi juga
cukup efektif dalam kejang umum lainnya dan kejang parsial. Hal ini
tidak efektif dalam absen umum, dan mungkin memperburuk kejang
malam hari, karena akan meningkatkan tidur. Ini adalah obat pilihan
ketika pengobatan profilaksis yang ditunjukkan untuk kejang demam,
namun jika diazepam rektal dapat dengan mudah diperoleh dengan
harga yang wajar maka obat ini bukan merupakan pengobatan
profilaksis.9
2. Fenitoin
3. Carbamazepine
32
parsial kompleks. Tetapi juga efektif untuk kejang parsial lainnya dan
untuk semua tonik-klonik. Hal ini tidak efektif untuk absen umum dan
kejang mioklonik. Pada awal pengobatan biasanya akan terjadi efek
seperti mengantuk dan pusing, dan terjadi lagi ketika dosis menjadi
terlalu tinggi. Efek samping lain ada juga penglihatan ganda dan
ataksia. Obat ini tidak memiliki waktu paruh yang lama dan karena itu
tidak dapat diberikan sekali sehari. Obat ini harus diberikan dua kali
sehari dan jika dikombinasikan dengan obat lain harus diberikan tiga
kali sehari.9
4. Valproate
5. Diazepam
33
Dosis yang diberikan untuk masing-masing obat dapat dilihat dalam tabel
berikut.
Valparin 10-60 mg/kg Mual, muntah, peningkatan berat badan, rambut rontok
2.10. Prognosis
Prognosis dari epilepsi tergantung dari jenis epilepsi yang ada. Beberapa
prognosis jenis epilepsi dijelaskan pada tabel berikut.
34
Gambar II.4. Prognosis Epilepsi9
35
BAB 3
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
3.2 Saran
36
DAFTAR PUSTAKA
12. Suwarba, IGNM. Insidens dan Karakteristik Klinis Epilepsi Pada Anak.
Saripediatri. Vol.13;2;2011;123-28.
13. Risan NA. Aspek Genetik Pada Epilepsi dalam PIKAB VII Tatalaksana
Terkini di Bidang Nefrologi, Neuropediatri dan Respirologi untuk
Meningkatkan Kualitas Hidup Anak dari Ilmu Dasar ke Aplikasi Klinis.
(ed) Garna H. 2009; 93-99.
14. Raharjo TB. Faktor-Faktor Risiko Epilepsi pada Anak Dibawah Usia 6
Tahun.Tesis, Magister Biomedik dan Pendidikan Spesialis Ilmu Penyakit
Saraf Universitas Diponegoro Semarang. 2002.
37
15. Ropper A. Brown R. Adam And Victor’s Principle of Neurology. In
Epilepsy And Other Seizure Disorders. 2005; 285-86.
18. IDAI. Pedoman Pelayanan Medis Ikatan Dokter Indonesia. (Ed) Antonius
HP, Badriul H, Septio H, Nikmah SI, Ellen PG, Eva DH. Jil.1. 2010.
19. Weiner HL. Buku Saku Neurologi. Penerbit Buku Kedokteran EGC. 2001:
227.
20. Hardjono DP, Widodo DP, Ismael S. Konsensus Penatalaksanaan Kejang
Demam. Unit Kerja Koordinasi Neurologi Ikatan Dokter Anak Indonesia.
2006; 1-7.
21. Nanan S, Rachmadi D, Hilmanto D. Tatalaksana Hipertensi pada anak.
Jakarta:Unit Kerja Koordinasi Nefrologi. Ikatan Dokter Anak Indonesia.
2011; 11.
22. WHO, Depkes RI. Tatalaksana Kejang dalam Pelayanan Kesehatan Anak
di rumah Sakit: Pedoman bagi Rumah Sakit Rujukan Tingkat Pertama di
Kabupaten/Kota. 2008. Hal:16-17.
38