You are on page 1of 33

QBD 2

Topik : Metode Identifikasi: Primer dan Sekunder


Prof. Dr.drg. Elza Auerkeri MBiomed
drg Nurtami S,PhD
Narasumber : drg. Mindya Yuniastuti, Ms
Pertanyaan :
1. Jelaskan tentang berbagai metode identifikasi.
2. Jelaskan apa yang dimaksud dengan metode identifikasi primer dan sekunder serta
berikan contoh kasusnya masing-masing di bidang Odontologi Forensik.
3. Jelaskan apa yang dimaksud sidik bibir, klasifikasi, metode pengambilan dan cara
analisisnya.
4. Jelaskan apa yang dimaksud sidik palatal, klasifikasi, metode pengambilan dan cara
analisisnya.
5. Jelaskan apa yang dimaksud sidik DNA, serta sebutkan apa saja yang dapat menjadi
barang bukti DNA dari rongga mulut (gigi,saliva, mukosa), metode pengambilan DNA,
dan cara analisisnya.

Referensi
1. INTERPOL. Disaster Victim Identification Guide [Internet]. 2014. Available from:
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/15003161%5Cnhttp://cid.oxfordjournals.org/lookup/
doi/10.1093/cid/cir991%5Cnhttp://www.scielo.cl/pdf/udecada/v15n26/art06.pdf%5Cnhttp:/
/www.scopus.com/inward/record.url?eid=2-s2.0-84861150233&partnerID=tZOtx3y1
2. Taylor J. Forensic Odontology: Principles and Practices. UK: John Wiley & Sons; 2016.
3. Senn DR, Weems RA. Manual of Forensic Odontology. 5th ed. Boca Raton: Taylor &
Francis Group; 2013.
4. Adams, Catherine. Forensic Odontology: An Essential Guide. UK: John Wiley & Sons;
2014.
5. Rachana V. A study of lip print pattern in goan dental students-a digital approach. J
Forensic Leg Med. 2012;19:390–5.
6. Dineshshankar J, Ganapathi N, Yoithapprabhunath R. Lip prints: Role in forensic
odontology. J Pharm Bioallied Sci. 2013;5(1):95–7.
7. More C. Cheiloscopy: a review. Indian J Forensic Med Toxicol. 2009;
8. Prabhu R, Dinkar AD, Prabhu V, Rao PK. Cheiloscopy: Revisited. J Forensic Dent Sci.
2012;4(1):47–52.
9. Prabhu R. Collection of lip print as a forensic evidence at the crime scene- an insight. J oral
Heal Res. 2010;1(4).
10. Paliwal A, Sangeeta W, Parwani R. Palatal rugoscopy: Establishing identity. J Forensic
Dent Sci. 2010;2(1):27–31.
11. Thabitha R, Reddy R, Manjula M. Evaluation of palatal rugae pattern in establishing
identification and sex determination in Nalgonda children. J Forensic Dent Sci.
2015;7(3):232–7.
12. Shetty D, Juneja A, Jain A, Khanna K. Assessment of palatal rugae pattern and their
reproducibility for application in forensic analysis. J Forensic Dent Sci. 2013;5(2):106–9.
13. Singh B, Batth N, Singh K, Kaur H. Palatal Rugae: A finger print of oral cavity.
14. Kaur J, Rai B. Evidence-Based Forensic Dentisty. Berlin: Springer; 2013.
15. Haechandani N, Marathe S, Rochani R, Nisa S. Palatal Rugoscopy: A new era for forensic
identification.
16. Datta, Pankaj, Bhargava, Pooja, Deepak. DNA Profilling. J indian Acad forensic Dent.
2012;34:156–9.

Produk :
1. Log Book/Mind map individu
2. Power point kelompok
Metode Identifikasi: Primer dan Sekunder

Korban bencana massal diidentifikasi dalam basis multifaktorial. Tingkat keparahan


jenazah, lama kematian, dan perubahan-perubahan yang terjadi pada jenazah mempengaruhi
kondisi dan kualitas data postmortem serta penerapan metode identifikasinya. Metode
identifikasi yang digunakan dalam bencana massal haruslah memiliki bukti ilmiah, reliable,
dapat diaplikasikan di lapangan, dan dapat diimplementasikan dalam jangka waktu yang
proporsional. Terdapat dua metode identifikasi: primer dan sekunder.1

I. Metode Identifikasi Primer

Berdasarkan DVI Interpol (2014), metode primer dan yang merupakan paling reliable
adalah analisis sidik jari, analisis perbandingan dental, dan analisis DNA.1Menurut Taylor
(2016), identifikasi primer dilakukan dengan analisis visual, sidik jari, data dental, dan
analisis medis antropologis.2 Senn dan Weems (2013) menyatakan analisis sidik jari,
forensik odontologi, analisis dna, dan alat-alat kesehatan digunakan dalam metode
identifikasi primer.3 Namun demikian, identifikasi yang hanya didasari foto sangat bersifat
unreliable dan sebisa mungkin dihindari. Identifikasi visual mungkin memberikan indikasi
identitas namun tidak cukup untuk memberikan identifikasi positif korban dalam skala
bencana massal, karena korban biasanya mengalami trauma berat sehingga perbandingan
visual hampir tidak mungkin dilakukan. Alasan lainnya juga karena kerabat seringkali tidak
mampu mengatasi emosi dan stress psikologis dalam kasus keluarga meninggal dunia. Jadi,
identifikasi yang hanya berdasar pada foto tidak reliable dan harus dihindari. Semua data
post-mortem yang diperoleh dari jenazah nantinya dievaluasi dengan referensi pada
informasi mengenai orang hilang..1

Analisis friction ridge pada permukaan jari1:


Terdapat tiga alasan mengapa sidik jari merupakan indikator identifikasi yang
reliable:
1. Sidik jari sifatnya unik.
Tidak ada kesamaan absolut antar papillary ridges pada jari jemari dua orang berbeda
atau dua jari yang berbeda pada orang yang sama.
2. Sidik jari tidak berubah.
Papillary ridges terbentuk pada bulan keempat di masa kehamilan dan tidak berubah
bahkan setelah seseorang meninggal. Pola sidik jari akan terbentuk kembali dengan
pola yang sama setelah injuri mayor. Injuri yang parah dapat mengakibatkan
timbulnya bekas luka permanen
3. Sidik jari dapat diklasifikasikan.
Karena sidik jari dapat diklasifikasikan, mereka dapat diidentifikasi dan
diatur/disusun secara sistematis dan dengan demikian dapat dengan mudah diakses
kembali untuk perbandingan.

Forensik Odontologi (analisis dental)1:


Struktur dan karakteristik unik dan gigi dan rahang manusia memberikan keuntungan
terhadap bidang forensik sehingga terus dipakai dan semakin berkembang sampai saat ini.
Data dental dapat diperoleh pada saat pemeriksaan post-mortem dan dibandingkan dengan
data ante-mortem yang didapat dari dokter gigi korban selama hidupnya. Gigi geligi
terlindung di dalam rongga mulut dan mampu bertahan terhadap banyak pengaruh eksternal.
Gigi memiliki kekerasan dan resiliensi tertinggi di dalam tubuh sehingga saat tubuh mulai
memburuk (membusuk), karakteristik dental tetap dapat diakses dalam kondisi baik. Terlebih
lagi pada korban yang menjalani perawatan gigi, seperti penambalan dan mahkota restoratif
dan estetis, PSA, dan gigi tiruan, karena tiap perawatan dilakukan dan dibuat unik pada
masing-masing individual sesuai bentuk gigi. Namun pada kondisi tidak ada perawatan,
karakteristik anatomi dan morfologi lannya mungkin terlihat dan dapat dipakai untuk
identifikasi.
Berikut adalah macam-macam kesimpulan setelah dokter gigi DVI melakukan
perbandingan PM dan AM:
INTERPOL1,2 American board of forensic odontology2
Established Postive
Probable Possible
Possible Exclude
Exclude Insufficient data
Insufficient data

Menurut INTERPOL1,2:
1. Identifikasi established (terdapat kepastian absolut data PM dan rekam AM adalah
orang yang sama)
2. Identifikasi probable (Karakteristik spesifik sesuai antara rekam AM dan data PM
tetapi data PM atau AM, atau keduanya jumlahnya hanya sedikit)
3. Identifikasi possible (there is nothing that excludes the identity, tetapi data PM
atau AM, atau keduanya jumlahnya hanya sedikit)
4. Identifikais excluded (data PM dan rekam AM berasal dari dua orang berbeda)
5. Tidak ada perbandingan yang dapat dilakukan.

Menurut ABFO2:
1. Identifikasi positif (data AM dan PM sesuai dengan detail yang cukup untuk
menyimpulkan bahwa data berasal dari individu yang sama dan juga tidak ada
perbedaan yang bermakna
2. Identifikasi possible (data AM dan PM memiliki ciri yang konsisten, namun, karena
kualitas salah satu data, antara AM atau PM, tidak mungkin ditetapkan identifikasi
positif.
3. Insufficient evidence (informasi yang tersedia tidak memadai untuk membangun suatu
kesimpulan)
4. Exclusion (data AM dan PM sangat inkonsisten)

Panduan yang dibentuk oleh INTERPOL menggunakan empat kriteria yang serupa
dengan ABFO guideline, namun perbedaannya ada pada identifikasi probable. Kedua
guideline ini sebenarnya memberikan deskripsi bahwa kesimpulan satu dengan lainnya
dibedakan dari mana yang aplikasinya lebih baik. Namun, kata-kata yang hampir mirip
mungkin menciptakan kebingungan saat kondisi peradilan. Sebagai contoh, ABFO guideline
menyatakan sesuai dengan “sufficient detail”, sedangkan guideline interpol menggunakan
bahasa “absolute certainty”. Kedua guideline bermaksud berkata bahwa identifikasi telah
berhasil, namun guideline satu hanya membutuhkan “sufficient detail”, sedangkan yang
lainnya membutuhkan “absolute certainty”2

Analisis DNA1:
DNA telah terbukti sebagai sumber material yang digunakan untuk identifikasi karena
bagian signifikan dari informasi genetik yang terkandung dalam sel sifatnya unik pada setiap
individu spesifik, dan dengan demikian, kecuali pada kembar identik, dapat membedakan
satu orang dengan lainnya. Tes DNA dapat dilakukan bahkan pada sisa-sisa bagian tubuh.
Pencocokan DNA adalah cara terbaik untuk identifikasi bagian tubuh yang terpisah.
Pencocokan DNA dapat dilakukan berdasarkan profil keluarga, sampel pribadi, atau barang
kepunyaan. Untuk DNA profilling, dibutuhkan sampel yang dari tubuh atau bagian tubuh
korban, dikirim ke laboratorium, dan dianalisis sesuai standar internasional1.

II. Metode identifikasi sekunder


INTERPOL DVI Guideline (2014) meyatakan identifikasi sekunder meliputi deskripsi
personal, temuan medis, tato, dan segala pakaian maupun aksesoris yang ditemukan pada
jenazah. Tujuan identifikasi ini adalah mendukung metode identifikasi lainnya dan biasanya
tidak cukup kuat jika dipakai sebagai satu-satunya metode dalam identifikasi. Identifikasi
sekunder jika dikombinasikan dapat memberikan informasi memadai untuk membuat
identifikasi pada kasus-kasus tertentu, dan pada kasus dimana identifikasi primer dapat
dilakukan dengan terbatas atau bahkan tidak mungkin dilakukan. Oleh sebab itu data-data
sekunder ini tidak boleh diabaikan saat mengumpulkan data AM.1

Gambar 1.11
1
Informasi medik :
Informasi medik yang dikumpulkan mungkin dapat dikategorikan dalam beberapa
cara: eksternal vs. internal, kongenital vs. acquired, dan variasi normal vs. penyakit.
Informasi ini biasanya diambil oleh profesi kesehatan, namun keterlibatan forensik
antropologis juga disarankan.
Deskripsi personal terdiri atas data basic (umur, jenis kelamin, tinggi, suku) dan ciri
pembeda lainnya. Temuan medis, seperti luka, temuan penyakit, serta pengangkatan organ
merupakan informasi krusial mengenai riwayat medis korban. Tipe-tipe operasi seperti
appendicectomy perlu diperhatikan. Nomor unik yang ditemukan pada heart pacemaker dan
alat prostetik lainnya merupakan informasi penting. Tato, tahi lalat, dan disfiguration juga
merupakan indikator identifikai.

Informasi Patologi1:
Kondisi kongenital eksternal yang dicatat adalah yang benar-benar berdeviasi dari
kondisi normal yang ditemukan pada umumnya. Bentuk kepala mungkin diperlukan begitu
juga dengan karakter unik pada mata. Warna mata biasanya tidak terlalu membantu dalam
kondisi meninggal dunia namun bentuk pupil mungkin membantu. Bentuk dan ukuran hidung
juga mungkin diperlukan. Malformasi kongenital thorax mungkin dapat dilihat secara
eksternal. Pada alat gerak, terdapat variasi seperti pronounced bow knee, tidak adanya atau
justru supernumerari jari jemari.
Kondisi acquired eksternal mungkin merupakan akibat dari penyakit atau juga karena
operasi kostemtik. Kondisi akibat penyakit biasanya meninggalkan luka atau dan deformitas
tulang. Hernia ventral dan ingual juga merupakan karakteristik lainnya. Hernia ingual
meliputi tato dan tindik. Operasi kosmetik mungkin memerlukan perhatian dari ahli untuk
dideteksi namun biasanya meninggalkan luka yang tersembunyi pada natural openings atau
lipatan kulit. Yang paling umum adalah breast implants.
Kondisi internal mungkin akan sangat berguna, tetapi memerlukan full autopsy
dan/atau fullbody x-rey/CT scan untuk dokumentasinya. Sangat disarankan untuk melakukan
keduanya karena mereka saling melengkapi. Perubahan kongenital ataupun acquired pada
skeleton dideteksi dengan CT scan, sedangkan keunikan pada jaringan lunak membutuhkan
otopsi.

Informasi antropologi1:
Forensik antropologi akan berkonsentrasi pada modifikasi jaringan keras. Mereka
juga akan berkonsentrasi pada identifikasi lokasi dari riwayat fraktur bahkan jika alat
ortopedik telah dimasukkan. Hal lainnya adalah pada penyakit dan trauma di skeleton dalam
usaha untuk identifikasi riwayat-riwayat penyakit dan kejadian, agar terbentuk koneksi
dengan rekam medik atau ingatan keluarga dengan bukti yang diambil saat post-mortem.
Akses pada radiograf AM juga diperlukan.

Articles/Evidence/Clothing1:
Kategori ini mencakup seluruh efek yang ditemukan pada jenazah (perhiasan, desain
baju, dan dokumen personal). Adakalanya pakaian yang ada pada korban bukan milik korban
seperti misalnya dipinjami oleh orang lain atau alasan lainnya. Oleh sebab itu, perhiasan atau
aksesoris yang terpasang langsung pada tubuh seperti anting atau cincin bisa membantu
proses identifikasi.
Contoh kasus:
Identifikasi dapat ditemukan dari barang-barang yang ditemukan di sekitar tubuh atau sekitar
lokasi kejadian.

Gambar 1.24

Gambar 1.34
Sidik bibir, klasifikasi, metode pengambilan dan cara analisisnya.

Sidik bibir merupakan suatu pola berupa celah atau fissure yang terdapat pada
permukaan mukosa bibir. Ilmu yang memperlajari mengenai pola sidik bibi disebut
cheiloscopy.5 Cheiloscopy adalah studi mengenai pola yang terbentuk dari suci laborium.
Suci Laborium adalah kerutan dan sulkus di mukosa labial. Hal ini pertama kali dijelaskan
oleh Fisher pada tahun 1902, dan pertama kali digunakan untuk kepentingan kriminologi oleh
Edmond Locard tahun 1932 di Perancis. Di tahun 1974, Suzuki dan Tschihashi
mengonfirmasi bahwa sidik bibir tetap sama setelah penyembuhan pasca trauma. Beberapa
studi menerangkan bahwa sidik bibir itu unik pada setiap individu kecuali pada kembar
monozigot, stabil over time, dan berbeda tiap gender.3

I. Klasifikasi Sidik Bibir


Pada tahun 1967, Santos merupakan orang pertama yang membentuk klasifikasi lip
grooves. Santos membaginya menjadi empat tipe utama6:
Klasifikasi Santos
I. Straight Line
II. Curved Line
III. Angled Line
IV. Sine-Shaped line

Suzuki dan Tsuchihashi pada 1970 membentuk klasifikasi sidik bibir sebagai
berikut6,7:
Klasifikasi Suzuki dan Tsuchihashi
Type I: A clear-cut groove running vertically across the lip.(complete vertical)
Type I: Partial-length groove of Type I.(incomplete vertical)
Type II: A Branched groove.
Type III: An intersected groove.
Type IV: A Reticular pattern
Type V: Other patterns.(irreguler)
Gambar 2.16

Gambar 2.27,8

Gambar 2.3
Klasifikasi ini merupakan klasifikasi yang paling banyak digunakan untuk merekam pola
bibir.
Klasifikasi sidik bibir oleh Renaud merupakan klasifikasi yang paling lengkap. Bibir
dibagi menjadi dua bagian yaitu kanan dan kiri, dan setiap groovenya, berdasarkan
bentuknya, memiliki kode (Seperti di tabel). L menandakan bagian atas kiri dan R
menandakan bagian atas kanan. Huruf kecil untuk mengklasifikasikan tiap bentuk groovenya.
Untuk bibir bawah kebalikannya, huruf kapital untuk groove, dan huruf kecil untuk bagian
kanan atau kiri bibir.8

Klasifikasi Tipe groove


A Complete vertical
B Incomplete vertical
C Complete bifurcated
D Incomplete bifurcated
E Complete bifurcated
F Incomplete branched
G Reticular pattern
H X or coma form
I Horizontal
J Bentuk lain(elips, segitiga)

Klasifikasi oleh Afchar-Bayat (1979) adalah sebagai berikut:

Klasifikasi Tipe groove


A1 Vertical and straight grooves, covering the whole lip
A2 Like the former, but not covering the whole lip
B1 Straight branched grooves
B2 Angulated branched grooves
C Converging grooves
D Reticular pattern grooves
E Other groove
II. Metode Pengambilan dan Pendokumentasian Sidik Bibir

Individu yang diduga sebagai orang yang meninggalkan sidik bibir, harus diperiksa
dan dianalisis sidik bibirnya. Pengambilan dan pendokumentasian sidik bibir dapat dilakukan
secara langsung. Untuk mendapatkan hasil yang optimal pemilihan metode pengambilan
sidik harus dilakukan dengan benar. Metode pengambilan dan pendokumentasian sidik bibir
telah dikembangkan dari waktu ke waktu sejak tahun 1970. Suzuki mengembangkan tehnik
pengambilan sidik bibir dengan menggunakan lipstik, Tsucihashi mengembangkan teknik
fotografi, lalu kemudian seiring kemajuan teknologi, Munakhir dan Vorghese
mengembangkan teknik pengambilan sidik bibir dengan menggunakan bahan cetak
kedokteran gigi. Berbagai metode pengambilan sidik bibir yang telah dikembangkan saat ini
memiliki kelemahan dan keunggulan masing-masing. Diharapkan dokter gigi maupun tenaga
medis lain dapat memilih metode yang paling sesuai untuk mendapatkan hasil sidik bibir
yang optimal sehingga dapat menunjang proses identifikasi individu.

a. Metode pengambilan dan dokumentasi7


Berikut ini hal yang dapat dilakukan untuk merekam sidik bibir di lokasi kejadian:
i. Foto langsung jika sidik bibir ada di permukaan kaca
Sidik bibir dapat didokumentasikan secara langsung dengan menggunakan
foto konvensional maupun foto digital. Pemanfaatan foto digital lebih sering
digunakan karena hasilnya dapat dilihat langsung sehingga pengambilan foto dapat
diulang jika hasilnya kurang bagus. Selain itu hasil foto dapat dilakukan perbaikan
kualitas gambar dengan menggunakan beberapa bantuan software seperti Adobe
Photoshop. Tsucihasi merupakan salah satu peneliti yang mengembangkan metode
fotografi untuk pengambilan dan pendokumentasian sidik bibir dengan
menggunakan kamera medical Nikkor F200.

ii. Penggunaan fingerprint powder


Sidik bibir dapat tertinggal pada sebuah benda seperti pada kain atau kemeja
yang tidak dapat terlihat oleh mata. Dalam kasus ini sidik bibir dapat
divisualisasikan dengan menggunakan bantuan bahan bubuk sidik jari serta bahan
pewarna seperti lysochorme dye. Penggunaan bahan lysocrome dye akan sangat
optimal jika diaplikasikan pada bahan yang memiliki porusitas, seperti kain, kertas
tissue. Beberapa alat dan bahan yang dibutuhkan dalam metode ini adalah kuas,
bubuk sidik jari atau bahan pewarna lysocrome dye. Tahapan pengambilan sidik
bibir dengan menggunakan bubuk sidik jari yaitu subjek diinstruksiikan untuk
menempelkan bibir ke sebuah kertas, Kemudian kertas yang telah terdapat sidik
bibir laten tersebut, ditaburkan bubuk sidik jari, lalu diratakan dengan menggunakan
kuas sampai terlihat sidik bibir yang menempel pada kertas tersebut.

iii. Penggunaan lipstik


Metode pendokumentasian dan pengambilan sidik bibir menggunakan lipstick
dapat dilakukan dengan menggunakan dua metode yaitu metode single motion dan
metode Prabhu. Dalam metode single motion dibutuhkan beberapa alat dan bahan
antara lain, lipstik berwarna merah, selotif transparan lebar 0,9 cm, gunting, kertas
putih polos, kaca pembesar dan kertas tissue. Sedangkan pada metode Prabu
diperlukan alat dan bahan antara lain kertas putih, lipstick, glass plate, dan kaca
pembesar.
Tahapan pengambilan dan pendokumentasian sidik bibir dengan
menggunakan metode lipstik yaitu, lipstik dioleskan pada bibir subyek secara
merata, kemudian selotif ditempelkan pada bibir yang telah diolesi lipstik, lalu
ditekan secara perlahan setelah itu selotif ditarik satu arah, dari kanan ke kiri atau
kiri ke kanan.
Perbedaan antara metode single motion dan metode prabu terletak pada cara
penempelan selotif ke bibir subjek, jika pada metode single motion selotip
ditempelkan searah dari arah kanan ke kiri atau sebaliknya kemudian selotif dilepas
searah, akan tetapi jika metode prabu, selotif ditempelkan pada bibir bagian tengah
kemudian baru selotif ditekankan pada bibir bagian kanan dan kiri.

iv. Penggunaan bahan cetak gigi (polyvinyl siloxane


v. Penggunaan aquaprint dan cyanoacrylamide
vi. Penggunaan fluorescent dyes

b. Analisis Sidik Bibir7,9


i. Semua sidik bibir yang ada itu penting, bahkan yang tidak terlihat. Bagian
vermilion border pada bibir memiliki kelenjar saliva minor dan kelenjar
sebaceous, yang dapat melembabkan sehingga membuat lip prints menjadi
laten/tidak terlihat/tersembunyi.
ii. Pengidentifikasian latent print evidence sering dianggap sebagai kunci dalam
pemecahan masalah
iii. Pemrosesan lip prints tergantung anatomi, morfologi, dan histologi jaringan pada
bibir.
iv. Tahap pertama membuat foto dari lip prints agar ada bukti. Foto juga setiap
langkah yang dilakukan
v. Kemudian observasi menggunakan sinar putih dan sinar UV
vi. Jika lip prints ada di permukaan non porus maka foto diperbesar lalu kemudian
lakukan tracing
vii. Dalam kondisi lain, sidik bibir dilapisi dengan bahan yang memungkinkan
dilakukannya observasi langsung dan foto

b. Keuntungan dan kelemahan metode pengambilan sidik bibir dengan foto


Keuntungan:
i. Hasil dokumentasi sidik bibir tahan lama sehingga dapat digunakan sebagai
second opinion dikemudian hari
ii. Proses pengambilan praktis dan tidak membutuhkan waktu yang lama
iii. Dapat diaplikasikan pada beberapa subjek masal
Kelemahan:
i. Masih belum ada standar baku SOP teknik fotografi
ii. Jika foto kurang maksimal, akan menyulitkan dalam analisa
iii. Alat dan bahan yang digunakan mahal

c. Keuntungan dan kelemahan metode pengambilan sidik bibir dengan


lipstik
Keuntungan:
i. Bahan yang digunakan tidak mahal
ii. Mudah dan praktis untuk diaplikasikan
iii. Tidak membutuhkan waktu yang lama untuk mengaplikasikannya
Kerugian:
i. Belum terdapat standar warna yang baku dari lipstik yang digunakan
ii. Tidak semua subjek mau diaplikasikan lipstik, terutama laki-laki
IV. Keterbatasan Sidik Bibir
Sidik bibir harus didapatkan 24 jam setelah kematian jika ingin mendapatkan hasil
yang akurat untuk mencegah kesalahan akibat perubahan postmortem pada bibir yang terjadi
Pola sidik bibir pada keadaan mulut tertutup membuat groove terlihat lebih baik dan nyata,
namun pada kondisi bibir yang terbuka membuat groove tidak tercetak sempurna. Kondisi
patologis atau perubahan-perubahan yang terjadi pasca bedah dapat merubah pola sidik bibir
individu. Selain itu, hilangnya support gigi anterior juga dapat berpengaruh terhadap sidik
bibir. Sidik bibir harus didapatkan 24 jam setelah kematian jika ingin mendapatkan hasil yang
akurat untuk mencegah kesalahan akibat perubahan postmortem pada bibir yang terjadi
Pola sidik bibir pada keadaan mulut tertutup membuat groove terlihat lebih baik dan nyata,
namun pada kondisi bibir yang terbuka membuat groove tidak tercetak sempurna. Kondisi
patologis atau perubahan-perubahan yang terjadi pasca bedah dapat merubah pola sidik bibir
individu. Selain itu, hilangnya support gigi anterior juga dapat berpengaruh terhadap sidik
bibir.

V. Pola Sidik Bibir dalam Identifikasi Jenis Kelamin


Identifikasi sidik bibir lebih mudah dilakukan pada kelompok usia 20-40 tahun karena
perubahan usia dapat mempengaruhi ukuran dan bentuk bibir sehingga dapat mengubah
bentuk pola sidik bibir yang dihasilkan. Berdasarkan klasifikasi oleh Suzuki :
i. Pola sidik bibir pada tipe I merupakan pola sidik bibir yang paling banyak
muncul pada kelompok jenis kelamin pria
ii. Pola IV merupakan sidik bibir yang paling banyak ditemukan pada jenis
kelamin perempuan.
iii. Pola tipe III merupakan pola tipe yang paling sedikit ditemukan pada wanita,
iv. Pola tipe V paling sedikit dijumpai pada jenis kelamin pria.
Sidik palatal, klasifikasi, metode pengambilan dan cara analisisnya:
I. Sidik Palatal
Memperkirakan identitas korban dapat menjadi proses yang sangat sulit dalam
identifikasi forensik. Perbandingan bukti dental, sidik jari, dan DNA merupakan
teknik paling umum yang digunakan dalam konteks ini. Namun demikian, adakalanya
teknik tersebut tidak dapat digunakan sehingga teknik yang simpel terkadang dapat
digunakan untuk melakukan identifikasi dengan sukses, seperti palatal
rugoscopy¸yang merupakan studi mengenai palatal rugae.10
Palatoscopy, atau palatal rugoscopy, merupakan studi mengenai rugae
palatina guna mengidentifikasi identitas seseorang. Palatal rugae seringkali
dibandingan dengan sidik jari.11 Palatal rugae (rugae palatina) dapat ditemukan pada
bagian anterior mukosa palatal di kedua sisi median palatal raphe meluas dari papila
insisivus, posterior dari papila insisivus dan
gigi insisif sentral maksila. Kerutan-kerutan
(ridges) ini terdiri atas lipatan anatomis pada
jaringan lunak palatum dan tersusun oleh
jaringan ikat fibrosa.3,10,12 Secara anatomis,
rugae-rugae tersebut memiliki 3-7
lipatan/kerutan yang keras dan oblik. Fungsi
ruga palatina adalah untuk memfasilitasi
transport makanan dan membantu pengunyahan. Selain itu, dengan adanya reseptor
gustatori dan taktil pada ruga palatal, maka ruga palatal juga berkontribusi dalam
persepsi rasa, posisi lidah, dan tekstur makanan.3,13
Telah ditemukan bahwa palatal rugae memiliki morfologi yang sangat
individualistik dan bentuk yang konsisten sepanjang hidup individu.3,10–12 Studi juga
menunjukkan pola palatal rugae adalah unik untuk setiap manusia, bahkan pada
kembar identik. Setelah terbentuk pada minggu ke 12 sampai 14 kehidupan prenatal,
palatal rugae tetap stabil dan tidak mengalami perubahan kecuali dalam hal ukuran
panjangnya yang dikarenakan pertumbuhan normal, dan akan terus berada di posisi
yang sama sepanjang hidup seseorang. Adanya penyakit, agresi kimiawi, ataupun
trauma nampaknya tidak mengubah pola palatal rugae. Perubahan yang terjadi akibat
pergerakan ortodontik, ekstraksi, penuaan, dan ekspansi palatum tidak cukup
signifikan untuk menghambat identifikasi dengan rugae palatina. Penelitian yang
dilakukan oleh Hemanth et al. (2010) menunjukkan kurang dari 1% kesalahan terjadi
saat menggunakan software komputer untuk membandingan rugae dalam identifikasi
manusia.3,14
II. Klasifikasi Sidik Palatal2–4,10,12,14,15
a. Klasifikasi Gloria (1911)
Kasifikasi ini merupakan sistem klasifikasi ruga palatina pertama namun
merupakan suatu error. Pola ruga dikategorikan dalam dua cara: menspesifikasikan
jumlah ruga dan menspesifikasikan perluasan zona ruga relatif terhadap gigi. Pada
sistem ini, gabungan 2 atau lebih cabang ruga dihitung menjadi satu, baik berbentuk
V ataupun Y. Goria kemudian membedakan dua tipe tersebut sebagai: tipe
simpel/primitif, dan tipe kompleks (developed).

b. Klasifikasi Lopez De Leon (1924)


Berawal dari 1924, klasifikasi ini hanya memiliki relevansi sejarah. Penulis
mengajukan hubungan antara personality seseorang dengan morfologi ruga
palatinanya. Dalam hal ini, disusun 4 tipe ruga berbeda.

Tipe Rugae Palatina


B-bilious personality rugae
N-nervous personality rugae
S-sanguinary personality rugae
L-lymphatic personality rugae

Huruf B,N,L,dan S merupakan singkatan dari personality yang berbeda-beda. Huruf l


dan r merupakan sigkatan dari left dan right mengindikasikan lokasi ruga, dan
kemudian diikuti angka mengindikasikan nomor ruga di tiap sisi.

c. Klasifikasi Trobo (1932)


Klasifikasi ini membagi ruga ke dalam dua kelompok: simple ruga,
diklasifikasikan sebagai A-F, dan composed rugae¸ diklasifikasikan sebgai huruf X.
Composed rugae merupakan gabungan dari 2 atau lebih simple rugae.
Klasifikasi Tipe Ruga
Tipe A Point (Titik)
Tipe B Line (Garis)
Tipe C Curve (Kurva)
Tipe D Angle (Bersudut)
Tipe E Sinuous (Bergelombang)
Tipe F Circle (Sirkular)
d. Klasifikasi Carrea (1937)
Klasifikasi Carrea merupakan salah satu klasifikasi yang digolongkan
berdasarkan arah. Arah rugae palatina ditentukan dengan mengukur sudut yang
dibentuk oleh garis yang menghubungkan asal dan akhir terhadap garis tegak lurus ke
median raphe.

Klasifikasi Karakteristik Simbol Keterangan


Tipe I Posterior-anterior PA Sudut positif
Tipe II Perpendikular P Sudut nol
Tipe III Anterior-posterior AP Sudut negatif
Tipe IV Berbagai arah R
e. Klasifikasi Da Silva (1938)
Pada klasifikasi ini, ruga palatina dibagi menjadi dua kelompok: simple, dari
1-6, dan composed yang merupakan gabungan dari dua atau lebih simple rugae.
Penamaannya dilakukan berdasarkan nomor ruga sehingga klasifikasi ini
memungkinkan klasifikasi setiap ruga secara individual (deskripsi bentuknya), namun
juga mendeskripsikan seluruh sistem ruga palatina (deskripsi tiap ruga berdasarkan
nomornya), sehingga klasifikasi ini sulit untuk digunakan.

Klasifikasi Tipe Ruga


1 Line (Garis)
2 Curve (Kurva)
3 Angle (Bersudut)
4 Circle (Sirkular)
5 Wavy (Bergelombang)
6 Point (Titik)

f. Klasifikasi Martin Dos Sontos (1946)


Berdasarkan bentuk dan posisi setiap ruga palatal, klasifikasi ini berisi:
1. Satu rugae initial: Pada rugae palatina di sisi kanan, rugae palatina yang terletak
pada posisi paling anterior diberi simbol dengan huruf kapital, sedangkan
2. Beberapa rugae complimentary: rugae dengan posisi lainnya pada sisi kanan
diberikan simbol angka, begitu juga dengan
3. Satu rugae subintial: rugae palatina di sisi kiri, pada rugae palatina yang posisinya
terletak paling anterior diberi simbol huruf kapital sedangkan
4. Beberapa rugae subcomplementary: rugae palatina lainnya di sisi kiri disimbolkan
dengan angka.
g. Klasifikasi L.Lysell (1955)
Klasifikasi L.Lysell pada tahun 1955 merupakan klasifikasi yang paling
penting dan telah banyak digunakan. Klasifikasi ini bersifat komprehensif dan
mencakup pula inter rugae (IR). Rugae diukur dalam garis lurus antara titik awal
sampai titik akhir dan dikelompokkan dalam 3 kategori:

Klasifikasi Karakteristik Simbol


Primary ≥5mm Pr
Secondary 3-5mm Sc
Fragmented 2-3mm Fg

Rugae yang panjangnya kurang dari 2 mm tidak diperhitungkan. Klasifikasi ini


merupakan versi simpel dari rugae seharusnya. Klasifikasi ini kemudian
dikembangkan oleh Thomas dan Kotze.

h. Klasifikasi Basauri (1961)


Seperti klasifikasi Trobo, klasifikasi ini sangat mudah digunakan. Klasifikasi
ini membedakan antara ruga prinsipal (utama), mana yang lebih anterior (dilabeli
dengan huruf), dan ruga aksesoris (tambahan) yang merupakan ruga selain yang
anterior (dilabeli dengan angka)
Principal Rugae Accesoory Rugae Rugae Anatomy
Classification Classificaion
A 1 Point
B 2 Line
C 3 Angle
D 4 Sinuous
E 5 Curve
F 6 Circle
X 7 Polymorphic

i. Klasifikasi Lima (1968)


Klasifikasi ini terdiri atas empat tipe utama: punctate, straight, curved, dan
composite.

j. Klasifikasi Tzatsheva dan Jordanov (1970)


Klasifikasi ini membagi ruga berdasarkan arah, percabangan, kesimetrisan,
dan radialitas.

k. Klasifikasi Sistem Cormoy


Sistem ini mengklasifikasikan ruga palatal berdasarkan ukurannya:

Kriteria Ukuran
Principle Rugae Lebih dari 5 mm
Accessory Ruga 3-4mm
Fragmental Rugae Kurang dari 3 mm

l. Klasifikasi Thomas dan Kotze (1983)


Klasifikasi Thomas dan Kotze merupakan salah satu klasifikasi yang cukup
sering digunakan. Thomas dan Kotze pada tahun 1983 memberikan detail lanjutan
mengenai primary rugae pada klasifikasi oleh Lysell. Detail tersebut termasuk di
dalamnya, yaitu branched, unified, cross-linked, annular, dan papillary. Klasifikasi
Thomas CF dan Kotze TFW ini membedakan pola rigi tiap individu, klasifikasi
tersebut meliputi jumlah, panjang, bentuk, dan unifikasi dari ruga.
Kriteria
Panjang
Primary Rugae
5-10mm
10mm atau lebih
Secondary rugae: 3-5mm
Bentuk
Fragmented rugae (kurang dari 3mm)
Curved
Wavy
Straight
Circular
Unifikasi (penyatuan 2 rugae)
Diverging (ketika 2 ruga memiliki asal yang
sama tapi kemudian bercabang)
Converging (ketika cabang dari asal berbeda
menyatu)
*Journal of Forensic Dental Science
III. Analisa dan Pencatatan Ruga Palatal14
Ada beberapa metode dalam menganalisis ruga palatal, yaitu:
a. Pemeriksaan intraoral mungkin merupakan metode yang paling banyak
digunakan dan juga paling mudah dan paling murah. Hanya cukup
menggunakan kaca mulut maka dapat terlihat gambaran ruga palatal
seseorang. Namun, merode ini memberikan kesulitan jika hendak
membandingkan antara ruga palatal satu individu dengan individu lain. Oleh
sebab itu, dibutuhkan metode yang lebih detail, tepat, dan akurat.
b. Membuat fotografi oral dapat dilakukan dengan menggunakan kamera
intraoral. Cara ini memungkin perbandingan satu individu dengan individu
lainnya.
c. Metode lainnya dapat menggunakan cetakan oral. Cara ini juga tergolong
mudah dan murah yaitu cukup dengan mencetak rahang atas individu. Rahang
dicetak menggunakan bahan cetak dan diisi dengan dental stone. Hasil cetakan
harus bebas dari porus terutama pada bagian anterior palatum. Dengan
menggunakan bantuan kaca pembesar, dilakukan pewarnaan pada model gigi
menggunakan pensil/pulpen hitam untuk memperjelas gambaran pola ruga
palatal. Apabila memungkinkan, dapat juga difoto dan kemudian dianalisis
menggunakan photoshop. Pengukuran ruga dapat digunakan menggunakan
kaliper atau penggaris (contoh penggaris Kenson). Untuk analisis
perbandingan dibuat calcorrugoscopy, atau overlay print rugae palatal pada
cast maksila. Dengan menggunakan stereoscopy, penguji dapat memperoleh
gambaran tiga dimensi anatomi ruga palatina dengan menganalisis dua gambar
yang diambil dari kamera yang sama dari sudut yang berbeda dengan alat
khusus. Teknik lainnya adalah stereophotogrammetry yang menggunakan alat
khusus, seperti traster marker, yang menentukan posisi dan panjang masing-
masing ruga palatina. Teknik yang paling sering digunakan adalah cetakan
model rahang atas karena kesederhanaan teknik, harga, dan reliabilitasnya.
IV. Metode Baru Analisis Ruga Palatal14
Terdapat software khusus yang disebut Palatal Rugae Comparison Software
(PRCS 2.0). Titik awal dan titik akhir ruga palatal ditandai pada foto klinis dengan
menggunakan software Paint 5.1. Proses penandaan titik tersebut adalah sebagai
berikut: pertama, ujung dari papila insisif, kemudian masing-masing ruga ditandai
oada bagian tengan dan ujung lateral. Tandai ruga sisi kiri sebelum menandai sisi
kanan. Tanda-tanda ini akan diproses dengan software dan informasinya disimpan
berurutan sesuai dengan posisi pixel. Semua foto disimpan di dalam softwar.
Kemudian foto-foto yang sama dimuat ke software satu per satu. Setelah menandai
titik pada foto kedua, software akan mencari persamaan dengan foto-foto sebelumnya

V. Kekurangan Rugoscopy14
a. Identifikasi postmortem tidak mungkin dilakukan bila tidak ada catatann
antemortem
b. Pola ruga yang kompleks dapat meyebabkan intra atau interobserver error
c. Telah dilakukan penelitian bahwa gigi yang aus, malposisi, dan adanya
patologi palatal dapat menyebabkan perubahan pola ruga
d. Pola ruga ditentukan secara genetik sehingga dapat digunakan dalam
mendiferensiasi populai dan juga mengidentifikasi individu
e. Pada kasus yang melibatkan api, ruga palatal bisa saja hancur
f. Dekomposisi terjadi kurang dari 6 minggu saat musim panas dan 4 bulan saat
musim dingin sehingga rugoscopy tidak dapat dilakukan setelah periode ini.
g. Posisi palatal ruga yang berada di dalam rongga mulut membuat analisa
terhadapnya tidak memainkan peranan dalam penyelidikan kejahatan untuk
menghubungan korban dengan pelaku
h. Ruga palatal tidak dapat digunakan untuk menentukan paternitas/keturunan
i. Bukti yang hanya berasal dari hanya berasal dari analisa ruga palatal saja tidak
cukup untuk bisa mengidentifikasi positif seseorang. Dibutuhkan dukungan
data-data dari metode identifikasi lainnya seperti gigi, tulang, atau DNA.
j. Banyaknya klasifikasi ruga palatal. Perlu dilakukan konsensus mengenai
klasifikasi yang dipakai dalam rugoskopi.
VI. Penggunaan Rugoscopy pada Forensik Odontologi14
a. Identifikasi
Thomas dan van Wyk (1987) dengan sukses mengidentifikasi jasad yang telah
terbakar dengan parah dengan membandingkan pola gigi tiruan lama korban
b. Grup etnis
Terdapat hubungan signifikan antara pola ruga dengan etnis. Kapali et al
meneliti pola ruga palatal suku aborigin australia dengan kulit putih. Mereka
memeriksa jumlah, ukuran panjang, bentuk arah, dan unifikasi ruga. Mereka
menyimpulkan bahwa rata-rata jumlah ruga primer pada suku aborigin lebih
banyak dibandingkan orang kulit putih meskipun orang kulit putih memiliki
lebih banyak ruga primer yang panjangnya lebih dari 10mm. Bentuk ruga
paling umum pada kedua etnis ini adalah wavy dan curved. Bentuk straight
dan circular jarang ditemukan. Anak-anak jepang memiliki lebih banyak ruga
primer dibandingkan dengan anak-anak di India, tetapi kedua kelompok
tersebut memiliki jumlah ruga palatial transversal yang sama. Ruga lurus
jarang ditemukan pada populasi India Utara. Penelitian oleh Shetty et al yang
memandingkan populasi dari Mysorean (India) dan Tibet juga menunjukkan
adanya perbedaan pola ruga palatal berdasarkan ras.
c. Sex determination
Insidensi ruga lurus lebih tinggi pada wanita dibandingkan dengan pria, ruga
wavy lebih banyak ditemukan pada laki-laki
d. Difference between edentulous and denture
Ciri yang lebih dominan ditemukan pada individu yang lebih tua adalah ruga
yang lebih sedikit, lebih pendek, lebih tidak kompleks, dan posisinya lebih
anterior-lateral.

Sidik DNA, barang bukti DNA dari rongga mulut (gigi,saliva, mukosa), metode
pengambilan DNA, dan cara analisisnya

I. Teknologi DNA dan forensik odontologi


Peran signifikan forensik kedokteran gigi dalam identifikasi manusia,
khususnya ketika terdapat bukti yang kurang untuk melakukan identifikasi (contohnya
pada tragedi kebakaran, ledakan, tubuh yang terdekomposisi, atau hanya tinggal
kerangka) telah membuat ahli odontologi forensik lebih familiar dengan teknologi
biologi molekular. Identifikasi korban bencana masal biasanya dilakukan oleh tim
yang terdiri atas polisi, ahli odontologi forensik, dokter, dan patologis dengannn
membandingkan data antemortem dengan data postmortem korban. Pada banyak
kasus, investigasi odontologi forensik gagal karena kurangnya data antemortem.
Apabila tidak tersedia data antemortem, identifikasi yang tepat sulit untuk dilakukan,
dan hanya DNA profiling system yang dapat mengidentifikasi seseorang dengan tepat.
Karena sifat jaringan dental yang tahan terhadap lingkungannya (seperti
pembakaran, perendaman, trauma, mutilasi, dan dekomposisi), gigi merupakan
sumber DNA yang baik. DNA yang didapat dari gigi korban yang belum
teridentifikasi akan dibandingkan dengan DNA dari sampel antemortem seperti darah,
sikat gigi, sisir, pakaian, sel bukal dengan DNA-SALTM, cervical smear, biopsy, atau
DNA orang tua atau saudara.2,4,14

II. Panduan Pengambilan DNA Dental3,14


Berikut adalah panduan pengambilan DNA dental:
a. Tentukan apakah terdapat jaringan lunak atau darah yang menempel dengan gigi
yang harus dijadikan sampel.
b. Bersihkan gigi dari plak atau kalkulus dengan kuret dan bersihkan dengan
hidrogen peroksida diikuti etanol.
c. Apabila gigi utuh dan diperkirakan belum lama dicabut, dapat dilakukan akses dan
instrumentasi endodontik
d. Memotong gigi memberikan akses yang lebih besar ke pulpa.
e. Setelah gigi terbuka, dinding pulpa dapat dikuret dengan bur. Kemudian jaringan
pulpa dapat diambil dengan tube steril.
f. Pada kasus spesimen keting, pulpa dapat termumufikasi. Setelah instrumentasi,
ruang pulpa diirigasi dengan larutan buffer. Selanjutnya, ultrafiltrasi
(penyaringan) dari larutan akan didapat materi sel yang dibutuhkan untuk
analisis..
g. Terakhir, gigi mungkin harus dihancurkan.

III. Sumber DNA (barang bukti DNA)14


I. DNA dari Gigi
Gigi dikenal akan kemampuannya bertahan dari kebanyakan kejadian
postmortem, termasuk kejadian dekomposisi natural dan autolisis, kejadian
lingkungan seperti perendaman (immersion), penguburan (burial), dan api
hingga 1.100 oC. Di dalam gigi, dentin dan pulpa merupakan sumber kaya
DNA, yang dapat diambil dengan sukses. Jumlah DNA yang memadai dapat
diambil dari mahkota, akar, dan ujung akar gigi (akar merupakan area yang
memiliki DNA yang paling banyak). Sel-sel neurovascular pada pulpa dan
odontoblas, yang tertanam pada lapisan predentin dan terperangkap saat
mineralisasi di tubulus dentin, terbukti menjadi sumber penting bukti DNA
ketika jaringan tubuh lainnya telah hancur atau hilang.3,14

Metode ekstraksi DNA dari gigi:


Terdapat banyak metode yang digunakan untuk melakukan akses sel
dalam proses pengambilan DNA. Untuk melakukan akses materi seluler secara
konservatif, Smith et al mengajukan teknik horizontal sectioning, dimana gigi
dipotong secara horizontal dekat dengan CEJ untuk mengakses materi sel.
Langkahnya adalah tandai 1 mm di bawah cementoenamel junction dengan
bur bulat panjang, meninggalkan 3-4 mm ismus jaringan gigi pada permukaan
bukal. Kemudian mahkota dipisahkan dari akar. Bur bulat kemudian
digunakan untuk menghilangkan dentin mahkota dan dentin akar sebanyak-
banyaknya. Teknik ini menjaga mahkota untuk pemeriksaan forensik dan
mengekspos ruang pulpa, predentin, dan dentin untuk pengambilan DNA.
Setelah dentin dihilangkan dari mahkota, enamel dan restorasi dibiarkan tetap
utuh. Kasus yang membutuhkan cara ini adalah yang memiliki nilai kultural
atau spesimen museum dimana perusakan material harus diminimalkan.
Contohnya adalah analisis bukti dental dari keluarga besar George
Washington. Teknik ini juga digunakan oleh militer Amerika untuk
mengidentifikasi pasukan yang hilang saat bertugas dan pada kasus masal
dimana gigi diambil dan mungkin hanya gigi tersebut yang diberikan kepada
anggota keluarganya.3,14
Metode yang lebih tidak destruktif seperti yang dilakukan oleh
Krzyzanska, menggunakan microfluidic pump untuk membilas sel gigi dengan
membilas pulpa dari orifis ke lubang kecil di permukaan oklusal. Metode ini
memungkina recovery DNA tanpa merusak gigi.3,14
Selanjutnya, Sweet menyarankan penghancuran (crushing) atau
penghalusan (grinding) seluruh gigi menjadi bubuk/serbuk halus akan
memberikan jumlah kuantitas DNA maksimal. Metode ini akan mendapatkan
DNA dari sisa-sisa sel pulpa dan sel-sel pada jaringan keras.3,14
Tsuchimochi et al (2002) menganalisa Chelex 100 chelating resin
untuk mengekstrak DNA dari pulpa untuk selanjutnya diaplikasikan pada
analisis PCR. Mereka menemukan bahwa ekstraksi DNA dari pulpa
menggunakan resin ini akan mendapatkan sampel DNA dengan kualitas tinggi
untuk PCR amplification. Pulpa memberikan sinyal PCR amplification
terkuat, sedangkan sinyal dentin dan sementum hampir sama satu sama lain.
Pada studi lainnya, profil DNA didapatkan pada 4 dari 5 sampel teruji yang
tersusun oleh 250 μl deposit saliva dalam kulit.3,14

II. DNA dari Saliva3,14


Ahli forensik odontologi juga harus ditanyakan mengenai rekomendasi
terhadap masalah megenai karakter biologis mukosa oral dan DNA saliva.
DNA saliva dapat ditemukan di berbagai tempat seperti objek mati, termasuk
pakaian, makanan, produk tembakau, alat kebersihan oral, tempat minum,
protesa dental, perangko, dan amplop.

DNA saliva dari lokasi bitemarks:


Saliva keluar dari tiga kelenjar saliva mayor dan ratusan kelenjar kecil
lainnya yang menyebar pada regio orofaringeal. Lebih dari 2/3 dari 1-1.5 L
saliva yang diproduksi keluar dari kelenjar submandibular, sedangkan kelenjar
parotid menghasilkan 25% dari total volume, dan kelenjar sublingual hanya
5%. Komposisi biologis cairan saliva berbeda tergantung pada kelenjar yang
mensekresi, dan volume saliva yang disekresi bervariasi sesuai dengan
stimulasi fisiologis atau kondisi medis dan farmakologis seseorang. Namun
secara umum, sekresi saliva paling banyak saat makan.
Komposisi saliva adalah air, elektrolit, buffer, glikoprotein, antibodi,
dan enzim. Deteksi dari enzim α-amylase merupakan metode tradisional untuk
mengidentifikasi adanya stain saliva. Meskipun amilase ditemukan juga pada
cairan tubuh lainnya, amilase paling banyak ditemukan di saliva, 50 kali lebih
banyak dibanding sumber lainnya.
Amylase-dependent forensic screening test makin banyak tersedia.
Beberapa uji ini sangat spesifik dan berfokus pada enzim α-amylase saliva
manusia. Uji yang lebih umum akan berubah warna ketika mendeteksi
aktivitas amilase, menandakan adanya saliva.
Visual screening noda saliva dilakukan dengan cahaya khusus. Cahaya
ultraviolet dapat digunakan untuk melihat adanya cairan biologis, akan tetapi,
cahaya ultraviolet gelombang rendah berbahaya bagi kesehatan dan dapat
mengganggu molekul DNA dan mengurangi kemampuan untuk melakukan uji
DNA. Cahaya alternatifnya, seperti laser yang difilter sehingga menghasilkan
satu gelombang dapat digunakan untuk screening saliva, termasuk pada kulit.
Kelebihan dari sumber cahaya alternatif ini adalah sampel DNA tidak
terganggu.
Komponen selular yang ada di saliva yang membuatnya menjadi
sumber DNA. Ssel-sel ini tidak diproduksi oleh kelenjar saliva, melainkan
terdapat pada lingkungan mulut dan bergabung dengan saliva. Contohnya, sel
mukosa oral lepas dan bergabung ke saliva ketika pergantian sel dan aktivitas
masktikasi.
Sweet et al memngajukan teknik double-swabbing pada tahun 1997,
yang kemudian membantu membangun standar praktik pengambilan DNA di
kulit.Tekniknya dalah sebagai berikut:
a. Lembabkan ujung cotton swab dengan air suling steril.
b. Gulungkan swab pada area yang terdapat saliva dengan tekanan sedang
dan gerakan melingkar.
c. Biarkan swab pertama ini kering pada lingkungan bebas kontaminasi
selama setidaknya 30 menit.
d. 10 detik setelah menyelesaikan swab pertama, gulungkan ujung swab
kedua yang kering pada area yang telah lembab tadi.
e. Lakukan gerakan memutar dengan tekanan ringan untuk menyerap air
dari kulit ke swab kedua.
f. Biarkan swab kedua kering pada lingkungan bebas kontaminasi selama
setidaknya 30 menit.
g. Setelah kering, kedua swab disimpan, ditutup, dan ditandai dengan
nomor.
h. Sampel dikirim ke laboratorium.
Karena kulit korban juga mungkin ikut terambil sebagai sampel DNA, perlu
diambil sampel eliminasi DNA korban untuk mengeliminasi hasil dari
prosedur double-swab. Sampel korban dapat diambil dari darah, buccal swab,
atau apabila korban sudah meninggal, sampel jaringan diambil saat autopsi.

III. DNA dari Mukosa Bukal3,14


Penggunaan buccal swab sebagai alternatif pengambilan darah yang
cepat dan non-invasif telah menjadi rutin yang terus berkembang di bidang
forensik odontologi. Target teknik pengumpulan ini adalah sel epitel skuamosa
bertingkat yang dapat diambil dari bagian dalam pipi. Ketika buccal swabs
dilakukan untuk membantu identifikasi orang hilang atau tidak teridentifikasi,
bagian laboratorium akan membantu menyediakan daftar donor sesuai urutan
hubungannya dengan korban. Anggota keluarga mana yang lebih didahulukan
menjadi donor sebenarnya bergantung pada teknik DNA typing apa yang
digunakan. Secara umum, ketika autosomal STRs yang digunakan, urutan
berikut adalah yang dipakai untuk pemilihan donor:
a. Korban (diambil sebelum kejadian dan telah properly preserved)
b. Orangtua kandung/biologis korban
c. Anak kandung korban dan orangtua lainnya (istri/suami korban)
d. Anak kandung korban
e. Saudara kandung korban
f. Saudara tiri korban (sama ibunya atau sama ayahnya)

Prosedur yang sederhana, tidak sakit, ditambah dengan kebutuhan


pelatihan yang minimal membuat metode pengambilan DNA ini menjadi
pilihan banyak praktisi. Kebanyakan protokol pengumpulan DNA denngan
buccal swabs prinsipnya sama. Dimulai dari dokumentasi indetitias pendonor
atau membuat penomoran unik pada sampel bila identitias tidak diketahui.
Berikut adalah proses buccal swabs:
a. Gunakan gloves dan hindari kontaminasi swabs dengan permukaan
apapun atau aerosol selain yang ada pada pendonor
b. Intruksikan pendonor untuk berkumur dengan air dan buang airnya .
Dilakukan berulang kali.
c. Seka satu sisi mukosa bukal dengan kasa steril 2x2.
d. Usapkan area mukosa yang telah kering dengan swab sebanyak 10
kali, dengan memutar ujung swab perlahan. Hindari area dekat dengan
duktus Stenson.
e. Ulangi proses ini dengan swab kedua pada sisi mukosa kontralateral.
f. Letakkan swab ke dalam amplop yang telah diberi label dan tutup.
g. Pastikan label dan isi amplop sesuai.
h. Isi chain-of-custody form dan kirim paket ke laboratorium. Usahakan
paket berada dalam lingkungan sejuk, kering, dan bebas dari sinar
ultraviolet.
Berkumur sebelum pengambilan DNA dapat mengurangi sisa-sisa makanan
atau debri, dan juga mengurangi risiko kontaminasi oleh nonnative DNA
source. Menyeka mukosa juga dapat menghilangkan debri yang menempel.
Perlu diketahui untuk kasus tersuspek pemerkosaan, berkumur atau penyekaan
sebelum buccal swab harus dihindari. Pada situasi ini, tujuannya bukan untuk
mengambil sampel donor, tapi untuk mendapatkan bukti biologis dari pelaku.

IV. Aplikasi DNA Profiling di Forensik Kedoktern Gigi3,13,16


Uji profil DNA yang ada sekarang reliabel dan dapat memberikan informasi
mengenai karakteristik fisik individu, etnis, area asal, dan jenis kelamin. Uji ini juga
diterima sebagai bukti legal di pengadilan.
a. Restriction Fragment Length Polymorphosm (RFLP) Typing
Uji ini digunakan untuk menganalisa panjang variabel fragmen DNA
dengan memproses sampel DNA dengan enzim restriction endonuclease
yang membagi DNA menjadi beberapa pola sekuen tertentu yang disebut
dengan restriction endonuclease recognition site. RFLP membutuhkan
jumlah DNA yang banyak sehingga tidak bisa digunakan apabila sampel
sudah terdegradasi karena fakor lingkungan. RFLP juga membutuhkan waktu
lama untuk medapatkan hasil.
b. STRs Typing
Tiap manusia memiliki STR yang diwariskan dari ayah dan ibu,
namum tidak ada individu yang memiliki STR yang identic dengan ayah atau
ibunya. Keunikan STR ini memberikan identitas yang berguna dalam
identifikasi forensik dan uji paternity.
STR dapat digunakan untuk mengidentifikasi jasad dalam bencana
besar dan sisa kerangka. Meskipun DNA yang terdapat pada jasad yang
sudah lama akan terdegradasi, DNA bisa yang ditemukan pada gigi lebih
banyak dibanding pada tulang. Tingkat kesuksesan identifikasi yang paling
tinggi adalah dengan sampel dari tulang femur dan gigi utuh.
Combined DNA Index System (CODIS) dibuat oleh Federal Bureau of
Investigation (FBI) berdasarkan STR. CODIS merupakan database nasional
Amerika. CODIS dibuat untuk memberikan akses pada laboratorium DNA
forensik untuk mencari profil DNA pada database DNA.
c. Mitochondrial DNA (mtDNA) Analysis
Adanya jarak panang antara waktu kematian dan pemeriksaan akan
menyulitkan identifikasi dengan nuclear DNA dan kadang hanya tulang dan
gigi yang tersisa yang dapat dianalisa. Gigi merupakan sumber mtDNA.
Tiap individu memiliki mtDNA yang sama dengan ibu kandung
mereka karena mitochondrion embrio berasal dari sel telut ibu. Pada
identifikasi orang hilang, dapat dilakukan perbandingan mtDNA korban dan
ibu kandung. Akan tetapi, analisis mtDNA mahal dan sifatnya matrilineal
sehingga kurang informatif.
d. Y-Chromosome Analysis
DNA-polumorphism pada kromosom Y merupakan alat yang penting
dalam mempelajari evolusi manusia, migrasi, dan menentukan relasi laki-
laki. Mayoritas kromosom Y manusia diwariskan dari ayah kandung ke anak.
Variasi DNA kromosom Y digunakan untuk menginvestigasi hubungan
paternity.
e. X-Chromosome STR
Chromosome X specific STR digunakan untuk mengidentifikasi
berbagai kelompok etnis di dunia.
f. Single Nucleotide Polymorphism (SNP)
SNP adalah variasi sekuens DNA yang terjadi ketika nukelotida single
(A, T, C, atau G) berubah. Contohnya SNP mengubah sekuens DNA
AAGGCTAA menjadi ATGGCTAA. STR dapat menentukan identitias dan
menentukan jenis kelamin.
Daftar Referensi:
1. INTERPOL. Disaster Victim Identification Guide [Internet]. 2014. Available from:
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/15003161%5Cnhttp://cid.oxfordjournals.org/loo
kup/doi/10.1093/cid/cir991%5Cnhttp://www.scielo.cl/pdf/udecada/v15n26/art06.pdf%
5Cnhttp://www.scopus.com/inward/record.url?eid=2-s2.0-
84861150233&partnerID=tZOtx3y1
2. Taylor J. Forensic Odontology: Principles and Practices. UK: John Wiley & Sons;
2016.
3. Senn DR, Weems RA. Manual of Forensic Odontology. 5th ed. Boca Raton: Taylor &
Francis Group; 2013.
4. Adams, Catherine. Forensic Odontology: An Essential Guide. UK: John Wiley &
Sons; 2014.
5. Rachana V. A study of lip print pattern in goan dental students-a digital approach. J
Forensic Leg Med. 2012;19:390–5.
6. Dineshshankar J, Ganapathi N, Yoithapprabhunath R. Lip prints: Role in forensic
odontology. J Pharm Bioallied Sci. 2013;5(1):95–7.
7. More C. Cheiloscopy: a review. Indian J Forensic Med Toxicol. 2009;
8. Prabhu R, Dinkar AD, Prabhu V, Rao PK. Cheiloscopy: Revisited. J Forensic Dent
Sci. 2012;4(1):47–52.
9. Prabhu R. Collection of lip print as a forensic evidence at the crime scene- an insight. J
oral Heal Res. 2010;1(4).
10. Paliwal A, Sangeeta W, Parwani R. Palatal rugoscopy: Establishing identity. J
Forensic Dent Sci. 2010;2(1):27–31.
11. Thabitha R, Reddy R, Manjula M. Evaluation of palatal rugae pattern in establishing
identification and sex determination in Nalgonda children. J Forensic Dent Sci.
2015;7(3):232–7.
12. Shetty D, Juneja A, Jain A, Khanna K. Assessment of palatal rugae pattern and their
reproducibility for application in forensic analysis. J Forensic Dent Sci.
2013;5(2):106–9.
13. Singh B, Batth N, Singh K, Kaur H. Palatal Rugae: A finger print of oral cavity.
14. Kaur J, Rai B. Evidence-Based Forensic Dentisty. Berlin: Springer; 2013.
15. Haechandani N, Marathe S, Rochani R, Nisa S. Palatal Rugoscopy: A new era for
forensic identification.
16. Datta, Pankaj, Bhargava, Pooja, Deepak. DNA Profilling. J indian Acad forensic Dent.
2012;34:156–9.

You might also like