Professional Documents
Culture Documents
Referensi
1. INTERPOL. Disaster Victim Identification Guide [Internet]. 2014. Available from:
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/15003161%5Cnhttp://cid.oxfordjournals.org/lookup/
doi/10.1093/cid/cir991%5Cnhttp://www.scielo.cl/pdf/udecada/v15n26/art06.pdf%5Cnhttp:/
/www.scopus.com/inward/record.url?eid=2-s2.0-84861150233&partnerID=tZOtx3y1
2. Taylor J. Forensic Odontology: Principles and Practices. UK: John Wiley & Sons; 2016.
3. Senn DR, Weems RA. Manual of Forensic Odontology. 5th ed. Boca Raton: Taylor &
Francis Group; 2013.
4. Adams, Catherine. Forensic Odontology: An Essential Guide. UK: John Wiley & Sons;
2014.
5. Rachana V. A study of lip print pattern in goan dental students-a digital approach. J
Forensic Leg Med. 2012;19:390–5.
6. Dineshshankar J, Ganapathi N, Yoithapprabhunath R. Lip prints: Role in forensic
odontology. J Pharm Bioallied Sci. 2013;5(1):95–7.
7. More C. Cheiloscopy: a review. Indian J Forensic Med Toxicol. 2009;
8. Prabhu R, Dinkar AD, Prabhu V, Rao PK. Cheiloscopy: Revisited. J Forensic Dent Sci.
2012;4(1):47–52.
9. Prabhu R. Collection of lip print as a forensic evidence at the crime scene- an insight. J oral
Heal Res. 2010;1(4).
10. Paliwal A, Sangeeta W, Parwani R. Palatal rugoscopy: Establishing identity. J Forensic
Dent Sci. 2010;2(1):27–31.
11. Thabitha R, Reddy R, Manjula M. Evaluation of palatal rugae pattern in establishing
identification and sex determination in Nalgonda children. J Forensic Dent Sci.
2015;7(3):232–7.
12. Shetty D, Juneja A, Jain A, Khanna K. Assessment of palatal rugae pattern and their
reproducibility for application in forensic analysis. J Forensic Dent Sci. 2013;5(2):106–9.
13. Singh B, Batth N, Singh K, Kaur H. Palatal Rugae: A finger print of oral cavity.
14. Kaur J, Rai B. Evidence-Based Forensic Dentisty. Berlin: Springer; 2013.
15. Haechandani N, Marathe S, Rochani R, Nisa S. Palatal Rugoscopy: A new era for forensic
identification.
16. Datta, Pankaj, Bhargava, Pooja, Deepak. DNA Profilling. J indian Acad forensic Dent.
2012;34:156–9.
Produk :
1. Log Book/Mind map individu
2. Power point kelompok
Metode Identifikasi: Primer dan Sekunder
Berdasarkan DVI Interpol (2014), metode primer dan yang merupakan paling reliable
adalah analisis sidik jari, analisis perbandingan dental, dan analisis DNA.1Menurut Taylor
(2016), identifikasi primer dilakukan dengan analisis visual, sidik jari, data dental, dan
analisis medis antropologis.2 Senn dan Weems (2013) menyatakan analisis sidik jari,
forensik odontologi, analisis dna, dan alat-alat kesehatan digunakan dalam metode
identifikasi primer.3 Namun demikian, identifikasi yang hanya didasari foto sangat bersifat
unreliable dan sebisa mungkin dihindari. Identifikasi visual mungkin memberikan indikasi
identitas namun tidak cukup untuk memberikan identifikasi positif korban dalam skala
bencana massal, karena korban biasanya mengalami trauma berat sehingga perbandingan
visual hampir tidak mungkin dilakukan. Alasan lainnya juga karena kerabat seringkali tidak
mampu mengatasi emosi dan stress psikologis dalam kasus keluarga meninggal dunia. Jadi,
identifikasi yang hanya berdasar pada foto tidak reliable dan harus dihindari. Semua data
post-mortem yang diperoleh dari jenazah nantinya dievaluasi dengan referensi pada
informasi mengenai orang hilang..1
Menurut INTERPOL1,2:
1. Identifikasi established (terdapat kepastian absolut data PM dan rekam AM adalah
orang yang sama)
2. Identifikasi probable (Karakteristik spesifik sesuai antara rekam AM dan data PM
tetapi data PM atau AM, atau keduanya jumlahnya hanya sedikit)
3. Identifikasi possible (there is nothing that excludes the identity, tetapi data PM
atau AM, atau keduanya jumlahnya hanya sedikit)
4. Identifikais excluded (data PM dan rekam AM berasal dari dua orang berbeda)
5. Tidak ada perbandingan yang dapat dilakukan.
Menurut ABFO2:
1. Identifikasi positif (data AM dan PM sesuai dengan detail yang cukup untuk
menyimpulkan bahwa data berasal dari individu yang sama dan juga tidak ada
perbedaan yang bermakna
2. Identifikasi possible (data AM dan PM memiliki ciri yang konsisten, namun, karena
kualitas salah satu data, antara AM atau PM, tidak mungkin ditetapkan identifikasi
positif.
3. Insufficient evidence (informasi yang tersedia tidak memadai untuk membangun suatu
kesimpulan)
4. Exclusion (data AM dan PM sangat inkonsisten)
Panduan yang dibentuk oleh INTERPOL menggunakan empat kriteria yang serupa
dengan ABFO guideline, namun perbedaannya ada pada identifikasi probable. Kedua
guideline ini sebenarnya memberikan deskripsi bahwa kesimpulan satu dengan lainnya
dibedakan dari mana yang aplikasinya lebih baik. Namun, kata-kata yang hampir mirip
mungkin menciptakan kebingungan saat kondisi peradilan. Sebagai contoh, ABFO guideline
menyatakan sesuai dengan “sufficient detail”, sedangkan guideline interpol menggunakan
bahasa “absolute certainty”. Kedua guideline bermaksud berkata bahwa identifikasi telah
berhasil, namun guideline satu hanya membutuhkan “sufficient detail”, sedangkan yang
lainnya membutuhkan “absolute certainty”2
Analisis DNA1:
DNA telah terbukti sebagai sumber material yang digunakan untuk identifikasi karena
bagian signifikan dari informasi genetik yang terkandung dalam sel sifatnya unik pada setiap
individu spesifik, dan dengan demikian, kecuali pada kembar identik, dapat membedakan
satu orang dengan lainnya. Tes DNA dapat dilakukan bahkan pada sisa-sisa bagian tubuh.
Pencocokan DNA adalah cara terbaik untuk identifikasi bagian tubuh yang terpisah.
Pencocokan DNA dapat dilakukan berdasarkan profil keluarga, sampel pribadi, atau barang
kepunyaan. Untuk DNA profilling, dibutuhkan sampel yang dari tubuh atau bagian tubuh
korban, dikirim ke laboratorium, dan dianalisis sesuai standar internasional1.
Gambar 1.11
1
Informasi medik :
Informasi medik yang dikumpulkan mungkin dapat dikategorikan dalam beberapa
cara: eksternal vs. internal, kongenital vs. acquired, dan variasi normal vs. penyakit.
Informasi ini biasanya diambil oleh profesi kesehatan, namun keterlibatan forensik
antropologis juga disarankan.
Deskripsi personal terdiri atas data basic (umur, jenis kelamin, tinggi, suku) dan ciri
pembeda lainnya. Temuan medis, seperti luka, temuan penyakit, serta pengangkatan organ
merupakan informasi krusial mengenai riwayat medis korban. Tipe-tipe operasi seperti
appendicectomy perlu diperhatikan. Nomor unik yang ditemukan pada heart pacemaker dan
alat prostetik lainnya merupakan informasi penting. Tato, tahi lalat, dan disfiguration juga
merupakan indikator identifikai.
Informasi Patologi1:
Kondisi kongenital eksternal yang dicatat adalah yang benar-benar berdeviasi dari
kondisi normal yang ditemukan pada umumnya. Bentuk kepala mungkin diperlukan begitu
juga dengan karakter unik pada mata. Warna mata biasanya tidak terlalu membantu dalam
kondisi meninggal dunia namun bentuk pupil mungkin membantu. Bentuk dan ukuran hidung
juga mungkin diperlukan. Malformasi kongenital thorax mungkin dapat dilihat secara
eksternal. Pada alat gerak, terdapat variasi seperti pronounced bow knee, tidak adanya atau
justru supernumerari jari jemari.
Kondisi acquired eksternal mungkin merupakan akibat dari penyakit atau juga karena
operasi kostemtik. Kondisi akibat penyakit biasanya meninggalkan luka atau dan deformitas
tulang. Hernia ventral dan ingual juga merupakan karakteristik lainnya. Hernia ingual
meliputi tato dan tindik. Operasi kosmetik mungkin memerlukan perhatian dari ahli untuk
dideteksi namun biasanya meninggalkan luka yang tersembunyi pada natural openings atau
lipatan kulit. Yang paling umum adalah breast implants.
Kondisi internal mungkin akan sangat berguna, tetapi memerlukan full autopsy
dan/atau fullbody x-rey/CT scan untuk dokumentasinya. Sangat disarankan untuk melakukan
keduanya karena mereka saling melengkapi. Perubahan kongenital ataupun acquired pada
skeleton dideteksi dengan CT scan, sedangkan keunikan pada jaringan lunak membutuhkan
otopsi.
Informasi antropologi1:
Forensik antropologi akan berkonsentrasi pada modifikasi jaringan keras. Mereka
juga akan berkonsentrasi pada identifikasi lokasi dari riwayat fraktur bahkan jika alat
ortopedik telah dimasukkan. Hal lainnya adalah pada penyakit dan trauma di skeleton dalam
usaha untuk identifikasi riwayat-riwayat penyakit dan kejadian, agar terbentuk koneksi
dengan rekam medik atau ingatan keluarga dengan bukti yang diambil saat post-mortem.
Akses pada radiograf AM juga diperlukan.
Articles/Evidence/Clothing1:
Kategori ini mencakup seluruh efek yang ditemukan pada jenazah (perhiasan, desain
baju, dan dokumen personal). Adakalanya pakaian yang ada pada korban bukan milik korban
seperti misalnya dipinjami oleh orang lain atau alasan lainnya. Oleh sebab itu, perhiasan atau
aksesoris yang terpasang langsung pada tubuh seperti anting atau cincin bisa membantu
proses identifikasi.
Contoh kasus:
Identifikasi dapat ditemukan dari barang-barang yang ditemukan di sekitar tubuh atau sekitar
lokasi kejadian.
Gambar 1.24
Gambar 1.34
Sidik bibir, klasifikasi, metode pengambilan dan cara analisisnya.
Sidik bibir merupakan suatu pola berupa celah atau fissure yang terdapat pada
permukaan mukosa bibir. Ilmu yang memperlajari mengenai pola sidik bibi disebut
cheiloscopy.5 Cheiloscopy adalah studi mengenai pola yang terbentuk dari suci laborium.
Suci Laborium adalah kerutan dan sulkus di mukosa labial. Hal ini pertama kali dijelaskan
oleh Fisher pada tahun 1902, dan pertama kali digunakan untuk kepentingan kriminologi oleh
Edmond Locard tahun 1932 di Perancis. Di tahun 1974, Suzuki dan Tschihashi
mengonfirmasi bahwa sidik bibir tetap sama setelah penyembuhan pasca trauma. Beberapa
studi menerangkan bahwa sidik bibir itu unik pada setiap individu kecuali pada kembar
monozigot, stabil over time, dan berbeda tiap gender.3
Suzuki dan Tsuchihashi pada 1970 membentuk klasifikasi sidik bibir sebagai
berikut6,7:
Klasifikasi Suzuki dan Tsuchihashi
Type I: A clear-cut groove running vertically across the lip.(complete vertical)
Type I: Partial-length groove of Type I.(incomplete vertical)
Type II: A Branched groove.
Type III: An intersected groove.
Type IV: A Reticular pattern
Type V: Other patterns.(irreguler)
Gambar 2.16
Gambar 2.27,8
Gambar 2.3
Klasifikasi ini merupakan klasifikasi yang paling banyak digunakan untuk merekam pola
bibir.
Klasifikasi sidik bibir oleh Renaud merupakan klasifikasi yang paling lengkap. Bibir
dibagi menjadi dua bagian yaitu kanan dan kiri, dan setiap groovenya, berdasarkan
bentuknya, memiliki kode (Seperti di tabel). L menandakan bagian atas kiri dan R
menandakan bagian atas kanan. Huruf kecil untuk mengklasifikasikan tiap bentuk groovenya.
Untuk bibir bawah kebalikannya, huruf kapital untuk groove, dan huruf kecil untuk bagian
kanan atau kiri bibir.8
Individu yang diduga sebagai orang yang meninggalkan sidik bibir, harus diperiksa
dan dianalisis sidik bibirnya. Pengambilan dan pendokumentasian sidik bibir dapat dilakukan
secara langsung. Untuk mendapatkan hasil yang optimal pemilihan metode pengambilan
sidik harus dilakukan dengan benar. Metode pengambilan dan pendokumentasian sidik bibir
telah dikembangkan dari waktu ke waktu sejak tahun 1970. Suzuki mengembangkan tehnik
pengambilan sidik bibir dengan menggunakan lipstik, Tsucihashi mengembangkan teknik
fotografi, lalu kemudian seiring kemajuan teknologi, Munakhir dan Vorghese
mengembangkan teknik pengambilan sidik bibir dengan menggunakan bahan cetak
kedokteran gigi. Berbagai metode pengambilan sidik bibir yang telah dikembangkan saat ini
memiliki kelemahan dan keunggulan masing-masing. Diharapkan dokter gigi maupun tenaga
medis lain dapat memilih metode yang paling sesuai untuk mendapatkan hasil sidik bibir
yang optimal sehingga dapat menunjang proses identifikasi individu.
Kriteria Ukuran
Principle Rugae Lebih dari 5 mm
Accessory Ruga 3-4mm
Fragmental Rugae Kurang dari 3 mm
V. Kekurangan Rugoscopy14
a. Identifikasi postmortem tidak mungkin dilakukan bila tidak ada catatann
antemortem
b. Pola ruga yang kompleks dapat meyebabkan intra atau interobserver error
c. Telah dilakukan penelitian bahwa gigi yang aus, malposisi, dan adanya
patologi palatal dapat menyebabkan perubahan pola ruga
d. Pola ruga ditentukan secara genetik sehingga dapat digunakan dalam
mendiferensiasi populai dan juga mengidentifikasi individu
e. Pada kasus yang melibatkan api, ruga palatal bisa saja hancur
f. Dekomposisi terjadi kurang dari 6 minggu saat musim panas dan 4 bulan saat
musim dingin sehingga rugoscopy tidak dapat dilakukan setelah periode ini.
g. Posisi palatal ruga yang berada di dalam rongga mulut membuat analisa
terhadapnya tidak memainkan peranan dalam penyelidikan kejahatan untuk
menghubungan korban dengan pelaku
h. Ruga palatal tidak dapat digunakan untuk menentukan paternitas/keturunan
i. Bukti yang hanya berasal dari hanya berasal dari analisa ruga palatal saja tidak
cukup untuk bisa mengidentifikasi positif seseorang. Dibutuhkan dukungan
data-data dari metode identifikasi lainnya seperti gigi, tulang, atau DNA.
j. Banyaknya klasifikasi ruga palatal. Perlu dilakukan konsensus mengenai
klasifikasi yang dipakai dalam rugoskopi.
VI. Penggunaan Rugoscopy pada Forensik Odontologi14
a. Identifikasi
Thomas dan van Wyk (1987) dengan sukses mengidentifikasi jasad yang telah
terbakar dengan parah dengan membandingkan pola gigi tiruan lama korban
b. Grup etnis
Terdapat hubungan signifikan antara pola ruga dengan etnis. Kapali et al
meneliti pola ruga palatal suku aborigin australia dengan kulit putih. Mereka
memeriksa jumlah, ukuran panjang, bentuk arah, dan unifikasi ruga. Mereka
menyimpulkan bahwa rata-rata jumlah ruga primer pada suku aborigin lebih
banyak dibandingkan orang kulit putih meskipun orang kulit putih memiliki
lebih banyak ruga primer yang panjangnya lebih dari 10mm. Bentuk ruga
paling umum pada kedua etnis ini adalah wavy dan curved. Bentuk straight
dan circular jarang ditemukan. Anak-anak jepang memiliki lebih banyak ruga
primer dibandingkan dengan anak-anak di India, tetapi kedua kelompok
tersebut memiliki jumlah ruga palatial transversal yang sama. Ruga lurus
jarang ditemukan pada populasi India Utara. Penelitian oleh Shetty et al yang
memandingkan populasi dari Mysorean (India) dan Tibet juga menunjukkan
adanya perbedaan pola ruga palatal berdasarkan ras.
c. Sex determination
Insidensi ruga lurus lebih tinggi pada wanita dibandingkan dengan pria, ruga
wavy lebih banyak ditemukan pada laki-laki
d. Difference between edentulous and denture
Ciri yang lebih dominan ditemukan pada individu yang lebih tua adalah ruga
yang lebih sedikit, lebih pendek, lebih tidak kompleks, dan posisinya lebih
anterior-lateral.
Sidik DNA, barang bukti DNA dari rongga mulut (gigi,saliva, mukosa), metode
pengambilan DNA, dan cara analisisnya