You are on page 1of 9

MANAJEMEN BENCANA BERBASIS KEEHATAN MASYARAKAT

“ANALISIS JURNAL”

(Disusun guna memenuhi tugas mata kuliah Manajemen Bencana Berbasis Kesehatan Masyarakat
Kelas D )

Dosen Pengampu :

Citra Anggun Kinanthi, S.KM.,M.Epid

Disusun Oleh :

Kelompok 5

Ulfa Leny Tia 152110101108

Denis Putri Maulida 162110101001

Dewi Ratna Sari 162110101046

Ardhia Pramesti N. M. 162110101133

Widya Rahmasari 162110101184

FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT

UNIVERSITAS JEMBER

TAHUN 2018
Pada saat terjadi bencana, terdapat 6 aspek yang perlu diperhatikan, antara lain:
1. Pengkajian secara cepat dan tepat terhadap lokasi, kerusakan, dan sumber daya.
Adapun hal-hal yang harus dikaji meliputi:
a. Cakupan lokasi bencana
Pada jurnal ini tertulis bahwa cakupan lokasi warga yang dievakuasi yaitu
terdiri dari lima kecamatan yang berada di lereng Gunung Merapi, yaitu
Kecamatan Tempel, Kecamatan Turi, Kecamatan Pakem, Kecamatan
Cangkringan, dan Kecamatan Ngemplak.
b. Jumlah korban
Di dalam jurnal ini tidak disebutkan berapa jumlah korban baik yang selamat,
sakit, maupun meninggal. Pencatatan jumlah korban sangat penting untuk
mengetahui apakah semua warga telah dievakuasi atau masih adakah korban
yang belum terselamatkan.
c. Keruskan sarana dan prasarana
Pada letusan Gunung Merapi tahun 2014 kondisi jalan-jalan evakuasi
mengalami kerusakan pada beberapa ruas karena kegiatan normalisasi Sungai
Gendol, berupa jalan lokal yang berada di Kecamatan Cangkringan. Jalan
yang mengalami kerusakan di jalan yang berada dalam dusun digunakan untuk
akses menuju titik kumpul dan jalan lokal yang mengalami kerusakan
digunakan untuk jalur evakuasi dari titik kumpul menuju barak pengungsian.
d. Gangguan terhadap fungsi pelayanan umum serta pemerintahan
Pada jurnal ini disebutkan bahwa terjadi penurunan kapasitas moda
transportasi dan terbatasnya sistem komunikasi. Sistem komunikasi yang
dapat digunakan yaitu handy talky. Apabila terjadi bencana seharusnya pihak
provinsi segera bekerja sama dengan Dinkes kabupaten/kota untuk
memberikan bantuan terutama fasilitas kebutuhan yang dianggap penting
seperti penyediaan obat, masker, tim kesehatan, sarana transportasi (mobil unit
operasional), dan lain-lain.
2. Penentuan status keadaan darurat bencana
Penentuan status darurat bencana dilaksanakan oleh pemerintah sesuai dengan
skala bencana yaitu normal, waspada, siaga, ataukah awas. Namun dalam jurnal
ini tidak tertulis bagaimana status kedaruratan bencana saat terjadi letusan Gunung
Merapi. Sangat penting untuk mengetahui status kedaruratan bencana agar warga
selalu waspada dan memiliki persiapan apabila terjadi kemungkinan terburuk.
3. Penyelamatan dan evakuasi masyarakat terkena bencana
a. Evakuasi korban yang hidup dan meninggal
Pada jurnal ini dijelaskan tahapan evakuasi korban dimulai dari terdengarnya
bunyi sirine sebagai tanda peringatan dini, kemudian warga menuju titik
kumpul, dari titik kumpul warga berjalan melalui jalur evakuasi yang aman
dari bahaya potensi luapan lahar yang melewati sungai dan memastikan
keamanan jalur melewati jembatan sungai. Kemudian dilanjutkan rute
evakuasi menuju barak pengungsian.
b. Memberikan pertolongan dan perlindungan bagi korban selamat
Korban selamat segera dievakuasi menuju barak pengungsian untuk segera
mendapatkan pertolongan dan perlindungan lebih lanjut.
c. Menerima dan memberikan tempat penampungan sementara
Tempat penampungan sementara bagi korban evakuasi yaitu berupa barak
pengungsian yang memiliki daya tampung dan sarana-prasarana yang cukup
memadai.
d. Mendata dan mencatat agar memudahkan dalam pengurusan pelayanan
Pada jurnal ini tidak tertulis apa saja data yang perlu dicatat untuk
memudahkan dalam pengurusan layanan. Sangat penting untuk mencatat dan
mendata apa saja kebutuhan yang diperlukan agar segera terpenuhi.
4. Pemenuhan kebutuhan dasar
a. Kebutuhan air bersih dan sanitasi
Berkoordinasi dengan Dinas PU provinsi dan kabupaten serta dinas kesehatan
baik provinsi maupun kabupaten. Perlunya pemantauan penampungan,
penyaluran dan pengelolaan sampah agar tidak timbul masalah baru,
penyediaan pemurni air, pemantauan ketersediaan air bersih, penyediaan
kaporit, PAC, dan lain-lain.
b. Pangan
Untuk pemenuhan pangan bisa berkoordinasi dengan dinas sosial provinsi dan
kabupaten. Perlunya pembeda antara kebutuhan gizi kelompok rentan dengan
kelompok sehat.
c. Sandang
perlunya penyaluran sandang dan logistik dasar lainnya sesuai dengan
kebutuhan. Kebutuhan sandang juga penting untuk dipenuhi, karena jika
seseorang tidak berganti pakaian selama berhari-hari maka dapat
menimbulkan gangguan penyakit.
d. Pelayanan kesehatan
Bekerja sama dengan dinas kesehatan dan organisasi kesehatan terpadu bagi
warga untuk segera mendapatakan pertolongan dan penanganan medis.
e. Pelayanan psikososial
Adanya pelayanan psikososial untuk menghilangkan trauma atau trauma
healing terutama pada anak-anak akibat kejadian yang baru saja dialaminya.
f. Penampungan dan tempat hunian
Adanya tempat penampungan dan hunian sementara saat terjadi bencana,
karena warga membutuhkan tempat yang aman untuk berlindung. Mereka
tidak mungkin kembali ke rumah masing-masing saat kondisi belum aman.
Kebutuhan dasar harus segera terpenuhi baik secara kuantitas dan kualitas guna
terjaminnya kelangsungan hidup. Namun pada jurnal ini tidak dituliskan apa saja
kebutuhan dasar yang harus terpenuhi dan apakah sudah terpenuhi atau belum.
Seharusnya pada jurnal tersebut dijelaskan bagaimana pemenuhan kebutuhan dasar
pada korban evakuasi. Apabila kebutuhan dasar belum terpenuhi, maka dapat
dijadikan bahan evaluasi pada sistem evakuasi selanjutnya agar kebutuhan dasar
selalu tersedia dan terpenuhi.
5. Perlindungan terhadap kelompok rentan
Kelompok rentan merupakan prioritas saat evakuasi. Kelompok ini terdiri dari:
a. Bayi, balita, dan anak-anak
b. Ibu yang sedang mengandung atau menyusui
c. Penyandang cacat
d. Orang lanjut usia
Pada jurnal ini tidak dituliskan siapa saja pihak yang dievakuasi dan bagaimana
skala prioritas yang digunakan saat evakuasi. Seharusnya kelompok rentan
dijadikan prioritas karena keterbatasan yang mereka miliki membuat mereka
kesulitan untuk mengevakuasi dirinya sendiri, mereka membutuhkan bantuan
orang lain.
6. Pemulihan dengan segera sarana dan prasarana vital
Diperlukan adanya koordinasi dengan BPBD provinsi, BPBD kabupaten, dengan
TRC agar segera memberikan bantuan berupa sarana dan prasarana vital untuk
memudahkan segala penyaluran logistik kebutuhan warga.
Jurnal ini hanya berfokus pada pengidentifikasian kelayakan sistem evakuasi bencana
letusan Gunung Merapi pada 5 sektor, yaitu sektor A, sektor B, sektor C, sektor D, dan sektor
E. Pengidentifikasian kelayakan sistem evakusi terbagi atas beberapa komponen. Hasil
analisis terperinci seperti berikut:
1. Kapasitas Sistem Peringatan Dini
Kapasitas sistem peringatan dini (early warning system) didasari dengan
menggunakan analisis buffering dan Geographic Information System (GIS) yaitu
sebuah sistem informasi yang mendukung pengorganisasian data untuk
menggambarkan dan menganalisis ciri-ciri geografi di suatu daerah pada sebuah peta.
Alat yang digunakan pada sistem peringatan dini yaitu mengunakan sirine. Hasil
analisisnya sebagai berikut:
a. Sekor A
Pada sektor ini, bunyi sirine yang terdengar paling keras yaitu di Desa
Girikerto dengan persentase 42% sedangkan daerah lain tidak mendengar
bunyi sirine sama sekali.
b. Sektor B
Pada sektor ini, bunyi sirine yang terdengar paling keras yaitu di Desa
Hargobinangun dengan persentase 84%, kemudian disusul oleh Desa
Candibinangun dengan persentase 57%. Pada sektor B terdapat desa-desa
yang dapat mendengar bunyi sirine namun dengan frekuensi yang sangat
lemah bahkan seringkali tidak terdengar sama sekali.
c. Sektor C
Pada sektor ini, bunyi sirine yang terdengar paling keras yaitu di Desa
Bimomartani dengan persentase 93%. Semua desa pada sektor C dapat
mendengar bunyi sirine namun dengan intensitas yang berbeda-beda
tergantung jauh dekatnya desa tersebut dengan lokasi sirine.
d. Sektor D
Pada sektor ini semua desa dapat mendengar bunyi sirine dengan
persentase 100%.
e. Sektor A
Pada sektor ini hanya ada satu desa yang mampu mendengar bunyi sirine
yaitu Desa Girikerto dengan persentase bunyi yang dapat didengar yaitu
sebesar 42% sedangkan daerah lain di sekitarnya tidak dapat mendengar
bunyi sirine tersebut.
Berdasarkan analisis di atas, maka dapat disimpulkan bahwa persentase
kapasitas sistem peringatan dini hanya sebesar 49%. Hal tersebut dikarenakan masih
banyak daerah yang tidak dapat mendengar bunyi sirine. Bunyi sirine sangatlah
penting karena sebagai tahapan awal dalam mengevakuasi warga dari bencana.
Semakin banyak daerah yang mempu mendengar bunyi sirine maka akan semakin
mudah untuk mengevakuasi dan menyelamatkan warga dari bahaya.
2. Kapasitas titik kumpul
a. Sektor A
Kapasitas kepemilikan titik kumpul untuk Desa Girikerto, Desa Purwobinangun,
Desa Wonokerto, Desa Pondokrejo, dan Desa Merdikorejo persentasenya sebesar
100%, sedangkan Desa Purwobinangun dengan persentase kapasitas sebesar
85,7%, dan Desa Wonokerto dengan persentase kapasitas sebesar 25%.
b. Sektor B
Titik kumpul pada sektor B yaitu berada di Desa Hargobinangun dengan
persentase kapasitas sebesar 100%.
c. Sektor C
Terdapat dua titik kumpul pada sektor C yaitu di Desa Umbulharjo dan Desa
Wukirsari. Keduanya memiliki persentase kapasitas sebesar 100%.
d. Sektor D
Kapasitas kepemilikan titik kumpul, untuk Desa Kepuharjo, Desa Wukirsari, Desa
Argomulyo persentase kapasitas 100%.
e. Sektor E
Terdapat dua titik kumpul pada sektor C yaitu di Desa Glagaharjo dan Desa
Argomulyo. Keduanya memiliki persentase kapasitas sebesar 100%.
Berdasarkan analisis di atas, maka dapat disimpulkan bahwa persentase
kapasitas titik kumpul yaitu sebesar 96,2%. Kapasitas titik kumpul dinyatakan belum
sepenuhnya baik karena masih terdapat suatu desa yang hanya memiliki persentase
kapasitas titik kumpul sebesar 25%. Keberadaan dan luas titik kumpul sangat
berpengaruh saat evakuasi karena titik kumpul merupakan tempat berkumpulnya
warga untuk kemudian dikomando menuju tahap evakuasi selajutnya.
3. Kapasitas Jalur Evakuasi
a. Kapasitas keamanan jalur evakuasi
Kapasitas keamanan jalur terbagi menjadi dua, yaitu keamanan jalur evakuasi dari
bahaya potensi luapan lahar melewati sungai dan keamanan jalur melewati
jembatan sungai. Sektor A, persentase kapasitas jalur yang aman dari bahaya
potensi lahar melewati sungai 94,6 %. Sektor B, persentase kapasitas jalur yang
aman dari bahaya potensi lahar melewati sungai 97,4%, Sektor C, persentase
kapasitas jalur yang aman dari bahaya potensi lahar melewati sungai 98,5%,
Sektor D, persentase kapasitas jalur yang amandari bahaya potensi lahar melewati
sungai 96,2%. Sektor E, 100%. Kemudian sektor A, sektor B, sektor C persentase
kapasitas jalur yang aman dari perpotongan jalur dengan jembatan sungai 100%.
Sektor D, persentase kapasitas jalur yang aman dari perpotongan jalur dengan
jembatan sungai 72%. Sektor E, persentase kapasitas jalur yang aman dari
perpotongan jalur dengan jembatan sungai 100%.
Keamanan jalur evakuasi yang dilakukan yaitu untuk menjaga keselamatan warga
menuju barak pengungsian saat terjadi bencana.

b. Kapasitas kelancaran jalur jalur evakuasi


Kapasitas kelancaran jalur evakuasi terbagi menjadi dua sub variabel, yaitu jalur
evakuasi bisa bersimpangan dua truk evakuasi dan jalur evakuasi dalam kondisi
rata beraspal. Sektor A, persentase kapasitas jalur evakuasi bisa bersimpangan dua
truk evakuasi 53%, Sektor B, persentase kapasitas jalur evakuasi bisa
bersimpangan dua truk evakuasi 65%. Sektor C, persentase kapasitas jalur
evakuasi bisa bersimpangan dua truk evakuasi 95%. Sektor D, persentase
kapasitas jalur evakuasi bisa bersimpangan dua truk evakuasi 64%. Sektor E,
95%. Kemudian sektor A, persentase kapasitas kondisi jalur rata beraspal 100%.
Sektor B, persentase kapasitas kondisi jalur rata beraspal 100%. Sektor C,
persentase kapasitas kondisi jalur rata beraspal 100%. Sektor D, persentase
kapasitas kondisi jalur rata beraspal 78,5%. Serta sektor E, persentase kapasitas
kondisi jalur rata beraspal 66,7%. Kelancaran jalur evakuasi untuk memudahkan
evakuasi warga ke tempat yang telah di sediakan.
4. Kapasitas Rute Evakuasi
Terdapat penanda rute evakuasi menuju titik kumpul menuju barak
pengungsian, dengan presentase kapasitas rute evakuasi sebesar 100% pada sektor A,
sektor B, sektor C, sektor D, dan sektor E. Kapasitas rute evakuasi dapat dikatakan
baik, karena dengan adanya penanda rute evakuasi berguna untuk memudahkan
proses evakuasi menuju ke tempat yang lebih aman.
5. Kapasitas Komunikasi dan Transportasi Evakuasi
Adanya alat handy talky pada setiap sektor A, sektor B, sektor C, sektor D, dan
sektor E dengan presentase sebesar 100%. Kapasitas komunikasi yang ada dapat
dinyatakan baik karena setiap sektor telah memiliki alat komunikasi yang dapat
memudahkan dalam penyampaian informasi saat proses evakuasi.
Moda transportasi pada setiap sektor dengan presentase sektor A sebesar 4%,
sektor B sebesar 3%, sektor C sebesar 3%, Sektor D sebesar 3% dan sektor E sebesar
5%. Kapasitas mode transpotasi yang terdapat sangat minim sehingga menjadi
penghambat saat proses evakuasi. Alat komunikasi dan transportasi sangat diperlukan
untuk proses evakuasi terutama saat terjadi bencana.
6. Kapasitas Barak Pegungsian
Kapasitas Barak Pengungsian dibagi menjadi dua, yaitu kapasitas daya tampung barak
pengungsian dan kapasitas sarana dan prasarana barak pengungsian. Hasil analisisnya
sebagai berikut:
a. Sektor A
Pada sektor A presentasi kapasitas Barak paling banyak di Desa Lumbungrejo
sebesar 64% sedangkan paling minim di Desa Merdikorejo sebesar 5%
b. Sektor B
Persentase kapasitas Barak Hargobinangun 15%. Persentase kapasitas Barak
Shelter ACT Gondanglegi 16%. Persentase kapasitas Barak UII 19%.
c. Sektor C
Persentase kapasitas daya tampung Barak Brayut 20%. Persentase kapasitas daya
tampung Barak Plosokerep 17%. Persentase kapasitas daya tampung Barak
Umbulmartani 10%.
d. Sektor D
Persentase kapasitas daya tampung Barak Kiyaran dan Wukirsari 37%. Persentase
kapasitas daya tampung Barak Barak Kuwang 8%. Persentase kapasitas daya
tampung Barak 13%.
e. Sektor E
Persentase kapasitas daya tampung Barak Glagaharjo 16%. Persentase kapasitas
daya tampung Barak Gayam 45%. Persentase kapasitas daya tampung Barak
Glagaharjo 16%. Persentase kapasitas daya tampung Barak Koripan 19%.
Berdasarkan analisis di atas, maka dapat disimpulkan bahwa persentase
kapasitas sarana prasarana barak pengungsian sektor A, sektor B, sektor C, sektor D,
sektor E sebesar 60,7%. Hal tersebut dikarenakan masih terdapat daerah yang
kekurangan sarana serta prasarana. Sarana dan prasarana yang memadai sangat
dibutuhkan untuk kenyamanan, kesehatan, serta keselamatan warga saat berada di
barak pengungsian.
Analisis Kelayakan Sistem Evakuasi
Pada jurnal menyatakan bahwa kelayakan sistem evakuasi Kawasan Rawan Bencana
dari keseluruhan skor nilai komponen evakuasi berjumlah 82,53%dengan rata-rata
75%. Skor rata-rata system evakuasi masuk kedalm penilaian tidak layak. Sistem
evakuasi terkait infrastruktur Kawasan Rawab Bencana di Sleman dalam kedaaan
tidak layak. Kapasitas sistem seharusnya bisa memenuhi pengungsi, sehingga sistem
dapat dikatakan layak.

You might also like