You are on page 1of 7

MAKALAH FITOKIMIA

JURNAL INTERNASIONAL “FREQUENCY AND DISTRIBUTION OF


CYANOGENIC GLYCOSIDES IN EUCALYPTUS L’Herit”

Dosen : Dr. Tiah Rachmatiah, M.Si., Apt

KELOMPOK 10
FIKI DANYA 17330704
STEVANY U.H. RAMOH 17330705
YUNUS ADIL ZEUBA 17330725
AIS NAZIELLA 17330501
VEGA LACERTA VAE 17330734

PROGRAM STUDI FARMASI


FAKULTAS FARMASI
INSTITUT SAINS DAN TEKNOLOGI NASIONAL
JAKARTA
2018
JUDUL :

“Frequency And Distribution Of Cyanogenic Glycosides In Eucalyptus L’herit”

“Frekuensi Dan Distribusi Senyawa Glikosida Sianogenik Pada Tanaman Eucalyptus L’Herit”

1. ABSTRAK

Dalam Penelitian ini sekitar 420 spesies dari Eucalyptus telah diuji untuk senyawa
sianogennya. Telah kami lakukan identifikasi terhadap 18 jenis senyawa sianogenik. 12 didapatkan
dari jaringan hidup sedangkan 6 sisanya didapatkan dari simplisia yang kering. Ini menjadikan
jumlah senyawa sianogenik yang telah diketahui menjadi 23, mewakili sekitar 4 % dari genusnya.
Distribusi taksonomi dari spesies dalam genus terbatas pada subgenus Symphyomyrtus, dengan hanya
2 pengecualian. Dalam Symphyomyrtus, spesiesnya terdiri dari 3 golongan yang memeiliki hubungan
sangat dekat. Senyawa glikosid sianogenik ditemukan terutama adalah Prunasin dalam 11 spesies
Eucalyptus yang diuji. Kami simpulkan bahwa sianogenik adalah senyawa plestomorfik pada
subgenus Symphyomyrtus, tetapi kemungkinan muncul pada dua subgenera yang lain, dimana terdiri
dari filogenetik genus yang baru. Hasil dari penelitian ini sangat penting untuk diaplikasikan pada
pemilihan pohon untuk ditanam untuk membantu kehidupan alam liar, dan mempertahankan
keragaman genetik.

Kata Kunci: Eucalyptus, Myrtaceae, Eucalypt, Prunasin, Sianida, Glikosida sianogenik, herbivore,
taksonomi, defence

2. LATAR BELAKANG

Eucalyptus adalah genus yang cukup besar dengan hampir 500 Bspesies (Pryor and Johnson,
1971; Chippnedale, 1988), walaupun menurut informasi terbaru bisa mencapai hingga 700-800
spesies (Brooker, 2000). Genus ini berasal dari Australia dan beberapa negara terdekat Australia,
namun digunakan banyak hampir diseluruh bagian bumi. Penggantian spesies tanaman hutan asli
dapat memberikan efek yang sangat besar terhadap hewan lokal, sehingga pemilihan spesies
tanaman yang tepat sangat penting untuk dapat mengurangi efek negative (Hartley, 2002). Beberapa
karakteristik fisik dan kimia dari dedaunan Eucalyptus membuat kurang cocok untuk menjadi
makanan hewan herbivora karena keras, kurang kandungan protein, mengandung senyawa fenolik,
sideroxynolal dan berbagai monoterpen (Moore et al, 2004; Loney et al, 2006). Selain itu, sejumlah
spesies dilaporkan mengandung sianogenik, mampu menghasilkan senyawa toxik sianida ketika
jaringan daunnya hancur dikunyah (Goodger et al, 2006). Telah banyak kasus keracunan hewan
ternak ketika memakan daun E. cladocalyx yang termasuk dalam 4 dari 6 spesies Eucalyptus yang
mengandung sianogenik (Tabel 1). Ini menjadikan jumlah dari senyawa sianogenik Eucalyptus
menjadi 23 dari 4% spesies yang diuji. Jones (1998) memperkirakan kira-kira 11% dari semua
tanaman mengandung sianogenik. Ini lewat dari perkiraan, untuk tanaman yang diuji pada masa
panen sampai abad ini. Gambaran 5% mungkin lebih realistis untuk perkiraan terhadap tanaman
yang di uji oleh Natural Communities (Adsersen et al., 1988; Adsersen and Adsersen, 1993;
Thomsen and Brimer, 1997; Miller et el., 2006) seperti perkiraan 5% dari spesies Acacia yang
ditemukan mengandung senyawa sianogenik berdasarkan survey by Conn and co-workers (Conn et
al., 1989).

Gambar 1. Struktur dari 3 senyawa glikosida sianogenik yang ditemukan dalam Eucalyptus.
Semua berasal dari derivate fenilalanin. (1) Prunasin paling banyak ditemukan, (2) Epimer
Sambunigrin sedikit jarang, dan (3) Diglikosid amygdalin hanya ditemukan dalam satu
spesies hingga sekarang.
Tabel 1. Spesies Eucalyptus yang diketahui menggandung glikosida sianogenik. Pada semua
spesies Purasin diidentifikasi sebagai senyawa sianogenik yang utama.

3. METODE PENELITIAN YANG DIGUNAKAN

3.1. Bahan Tanaman

Untuk meneliti sejauh mana sianogenesis pada spesies Eucalyptus, daun dari herbarium
dan tanaman hidup diuji kemampuannya untuk melepaskan HCN. Tanaman berasal dari
Waite Arboretum South Australia, Adelaide Botanic Garden, National Royal Botanic Gardens
Canberra, Royal Botanic Gardens Melbourne, San Diego Zoo (koleksi pakan), dan arboretum
UC Davis. Sekitar 1400 tanaman hidup individu yang mewakili ca. 330 spesies diuji untuk
keberadaan dan ketiadaan glikosida sianogenik menggunakan prosedur Feigl-Anger kualitatif
(Brinker dan Seigler, 1992).

Replikasi dari setiap spesies diuji. Jika tersedia, jaringan daun muda yang tumbuh dengan
baik karena jaringan tersebut biasanya lebih sianogenik (Gleadow dan Woodrow, 2000). Daftar
lengkap semua spesies diberikan dalam Apendiks (lihat data tambahan). Spesimen Voucher
diajukan untuk semua tanaman yang diuji positif (lihat Tabel 4). Sampel dari sekitar 800
spesimen herbarium, yang mewakili 54 spesies tambahan yang tidak diuji sebagai tanaman
hidup juga diperiksa. Sampel E. diversifolia, dan spesimen tambahan E. citriodora dan E. maculata
diuji menggunakan prosedur serupa oleh R. Gleadow dalam studi independen.

3.2. Prosedur pengujian

Cyanogenesis diuji menggunakan metode yang mirip dengan Butler dan Conn (1964).
Sampel kecil (sekitar 10–25 mg) daun dipisahkan dari spesimen simplisia, digiling dalam botol
kaca dan dibasahi dengan air. Beberapa tetes (c. 0,25 mL) dari 0,05% almond emulen (Sigma
G-8625) dan biji rami linamerase (0,1 unit per mL) dalam 0,1 M dapar fosfat (pH 5)
ditambahkan ke homogenat. Kertas uji Feigl – Anger ditambahkan untuk mendeteksi HCN
yang dilepaskan. Untuk menguji tanaman hidup di lapangan, modifikasi diperkenalkan untuk
menyediakan solusi enzim yang dapat dengan mudah disiapkan di lapangan dengan hanya
menambahkan air untuk mengeringkan reagen komersial. Sebuah bubuk emulsin almond yang
dihidrolisis baik glikosida sianogenik alifatik serta prunasin aromatik (1), sambunigrin (2) dan
amygdalin (3) digunakan.

3.3. Identifikasi sianogen

Glikosida Cyanogenic diekstraksi menggunakan prosedur yang dijelaskan secara rinci di


Maslin et al. (1985). Singkatnya, bahan daun (sekitar 150 g) diekstraksi dua kali dalam mendidih
95% EtOH, dikurangi dalam vakum (<40 C) dan dilarutkan kembali dalam MeOH-CHCl3-
H20 (12: 5: 1) Fase CHCl3 telah dihapus dan dibuang . Flavonoid yang telah dihapus dari aq.
fase dengan penambahan 10% timbal asetat (Pb (CH3COO) 23H2O) disentrifugasi.
Supernatan yang dihasilkan diambil sampai kering dalam vakum (<40 C) dan sebagian
dimurnikan pada kolom poliamida. Fraksi sianogenik dari beberapa run pada kolom C-18
menggunakan HPLC digabungkan, dibawa ke kekeringan oleh liofilisasi dan dilarutkan kembali
dalam heksadeutero aseton Me2COd6 untuk NMR (Maslin et al., 1988). Identifikasi
didasarkan pada kesamaan spektra NMR dengan prunasin otentik (1) (Seigler, 1975; Secor et
al., 1976; Conn et al., 1989). Beberapa sampel dimurnikan lebih lanjut oleh HPLC pada kolom
C-18 dengan (CH3CN: H2O; 16:84, v / v) untuk penilaian oleh GLC (Conn et al., 1989).

3.4 Tata nama(penamaan)


Nama spesies dan taksonomi umum adalah klasifikasi yang baru-baru ini diterbitkan
(Brooker, 2000) yang secara konseptual didasarkan pada Pryor dan Johnson (1971). Tiga belas
subgenus yang saat ini diakui, dengan enam monospesifik. Beberapa dari subgenus Eucalyptus
sekarang dianggap genus, dan dikenal sebagai ‘the eucalypt group’, atau Eucalypteae (Bohte and
Drinnan, 2005). Di mana spesies dianggap sebagai Corymbia, bukan sebagai subgenus
Eucalyptus (Hill and Johnson, 1995; Ladiges dan Udovicic, 2000), keduanya kini diberi nama.

4. HASIL DAN ANALISIS


4.1. Identifikasi sianogen
(R) Prunasin telah berhasil diidentifikasi sebagai cyanogen. Spektroskopi NMR yang
disajikan di sini menunjukkan bahwa senyawa tanaman yang terkandung hanya prunasin,
meskipun terdeteksi sambunigrin dalam jumlah yang kecil. Adanya > 10% sambunigrin yang
ditemukan dalam penelitian kami memunculkan pertanyaan apakah campuran prunasin dan
sambunigrin terjadi secara alami di Eucalyptus, seperti Maslin dkk. Pada penelitian yang
dilakukan tahun 1988 ditemukan pada beberapa spesies Acacia. Dalam makalah itu
disimpulkan bahwa rasematisasi non-enzimatik tidak bisa menjelaskan campuran enansiomer
yang diamati. Karya terbaru oleh Neilson et al. (2006) menemukan bahwa E. camphora terdiri
dari beberapa glikosida sianogenik di selain (R)-prunasin, termasuk epimer (sambunigrin) dan
diglikosida (amygdalin). Dalam dua spesies yang di sajikan data di sini (E. leucoxylon dan E.
orgadophila), proporsi sambuninugrin berbeda-beda tergantung pada metode analitik (NMR
dan GLC).
4.2. Pertimbangan taksonomi
Glikosida sianogenik aromatik tampaknya telah berevolusi sebelumnya dari bentuk
alifatik (Bak et al., 2006). Selain itu, satu-satunya kesempatan ketika alifatik dan glikosida
sianogenik aromatik terjadi di spesies yang sama adalah hasil dari alloploidy. Pada penelitian ini
diungkap bahwa Eucalyptus hanya memiliki glikol cyanogenic yang berasal dari fenilalanin.
Proporsi spesies yang diuji dalam setiap kelompok taksonomi masih dalam tahap perkiraan,
Meskipun angka pasti di masing-masing takson saat ini sedang diperbarui dan dikaji lebih
dalam. Secara keseluruhan, diperkirakan bahwa 60% dari semua spesies yang saat ini diakui
subgenera. Dalam dua subgenera terbesar (Symphyomyrtus, Eucalyptus) kami memeriksa ca
75% dan 60% dan proporsi yang sama dari sebagian besar bagian dengan genera tersebut. Dua
pengecualian adalah subgenera Blakella dan Corymbia dimana kami menguji kira-kira 15% dan
35% spesies.
Sampai sekarang semua sianogenik Eucalyptus diduga berasal dari subgenus Symphyomyrtus,
menyarankan sianogenesik mungkin hanya muncul sekali dalam genus. Di sini kami
melaporkan sianogenesis dalam dua subgenera lainnya: Eucalyptus (E. diversifolia) dan Corymiba
(E. exemia syn Corymbia eximia) datanya konsisten dengan sianogenesis menjadi suatu
plesiomorphic (i.e basal) sifat di Symphyomyrtus, dalam 21 dari 23 sianogenik eukaliptus dalam
1 kelompok. Selain itu, Sembilan dari spesies ini berada di bagian subgenus yang sama
(maidenaria), dengan 11 spesies lain yang termasuk dalam bagian adnataria dan Bisectae.
Sianogenesis lebih cenderung muncul secara independen di dua subgenera lainnya Corymbia
dan Eucalyptus E viminalis juga bersifat polimorfik untuk sifat ini, dan semua dedaunan dari
spesies yang dikumpulkan dari kebun binatang San Diego untuk makanan koala adalah
acyanogenik.
Menyebarkan spesies sianogenik atau chemotype bisa menguntungkan pohon yang
ditanam untuk sumber produksi kayu dimana spesies ini bisa membatasi kerugian oleh mamalia
herbivora dan serangga (Gleadow dan Woodrow, 2002). Yang mengejutkan, tampaknya banyak
yang dikorbanan batas pertumbuhannya untuk mensitesis glikosida sianogenik (goodger et al.,
2006), meskipun sintesis mereka mungkin lebih mahal dalam kondisi keterbatasan nitrogen.
Dengan konsentrasi relatif glikosida sianogenik relatif terhadap protein daun yang diperkirakan
meningkat dengan meningkatnya CO2 di atmosfer (Gleadow et al., 1998), hasil yang disajikan
di sini harus membantu dalam pemilihan spesies untuk perkebunan untuk produksi kayu (i.e
ketahanan terhadap herbivora) dan rehabilitasi hutan ( i.e cocok untuk makan oleh marsupial
arboreal seperti koala).
5. KESIMPULAN
Dari penelitian yang dilakukan pada sekitar 420 spesies Eucalyptus, senyawa glikosida
sianogenik ditemukan terutama pada dua subgenera yang terdiri dari filogenetik genus yang baru.
Hasil dari penelitian ini sangat penting untuk diaplikasikan pada pemilihan pohon yang akan
ditanam untuk membantu kehidupan alam liar, dan mempertahankan keragaman genetik.

You might also like