You are on page 1of 3

Pernikahan usia dini adalah pernikahan yang dilaksanakan pada usia yang melanggar aturan

undang-undang perkawinan yaitu perempuan kurang dari 16 tahun dan laki-laki kurang dari 19
tahun.

Pernikahan dini masih ditemukan di negara berkembang termasuk Indonesia. Indonesia


termasuk negara dengan persentase pernikahan dini yang tinggi dan menduduki peringkat 37,
tertinggi ke dua di ASEAN setelah Kamboja. Indonesia memiliki provinsi dengan persentase
pernikahan dini tertinggi, yaitu Kalimantan Tengah (52,1%), Jawa Barat (50,2 %), Kalimantan
Selatan (48,4%), Bangka Belitung (47,9%) dan Sulawesi Tengah (46,3%). Pernikahan dini di
Kalimantan Selatan dengan angka persentase yang jauh di atas rata-rata nasional yang hanya
4,8 % dari total 60 juta pernikahan pada tahun 2010.

Angka pernikahan dini di Kalimantan Selatan khususnya Banjarbaru yang termasuk tinggi adalah
daerah Kecamatan Cempaka seperti yang telah tercatat di Kantor Kementrian Agama
Banjarbaru. Data pernikahan tahun 2011-2012 yang tercatat dari Kantor Urusan Agama (KUA)
Kecamatan Cempaka Banjarbaru ini terdapat 225 pernikahan termasuk pernikahan dini karena
menikah pada usia dibawah 20 tahun.

Faktor yang menjadi penyebab pernikahan dini adalah faktor orang tua dan budaya remaja.
Orang tua memiliki ketakutan bahwa anaknya jadi perawan tua atau tidak laku-laku, rendahnya
tingkat pendidikan yang memengaruhi pola pikir dalam memahami dan mengerti hakikat dan
tujuan pernikahan, faktor ekonomi, faktor lingkungan, kemauan sendiri, faktor agama, kultur
nikah muda, dan seks bebas pada remaja. Faktor budaya remaja, yaitu dalam masyarakat
terdapat suatu kebiasaan remaja yang didasari tindakan bersama yang dikenal dengan tradisi
atau budaya. Faktor pendidikan juga sebagai faktor pendorong perrnikahan dini karena masih
sempit dan terbatasnya pemahaman mengenai pentingnya pendidikan dan pernikahan dini
sendiri.

Sama halnya dengan Madura yang masih terkenal sebagai masyarakat yang kental terhadap
budaya dan adat istiadat nenek moyang. Salah satu budaya yang ada sejak jaman nenek
moyang dan berlangsung sampai saat ini bahkan menjadi hukum adat yang dilegalkan yaitu
pernikahan dini.
Pernikahan dini yang masih marak terjadi pada masyarakat di Madura khususnya dusun Jambu
Monyet, Lenteng Barat, Sumenep menyebabkan banyak anak perempuan akhirnya putus
sekolah, hak kebebasan anak perempuan sudah dirampas sejak masih kecil, baik itu dalam hal
memilih dan menentukan kehidupannya sendiri. Anak perempuan kebanyakan diperintahkan
untuk segera menikah oleh orangtuanya, alasan yang melatar belakangi adalah mematuhi
hukum adat-istiadat yang ada sejak jaman nenek moyang dan anjuran agama. Hal tersebut
dikarenakan kekhawatiran orang tua agar anak perempuannya tersebut selamat dari mitos
perawan tua, selain alasan tersebut, alasan ekonomi juga menjadi latar belakang orangtua
segera menikahkan anak perempuannya, sehingga pendidikan untuk anak perempuan tidak
dianggap penting.

Perjodohan yang terjadi di dusun Jambu Monyet biasanya dilakukan saat anak masih dalam
kandungan, anak masih kecil, atau anak sudah remaja/dewasa tetapi tetap dilakukan oleh para
orang tua. Menurut Sidiq (dalam Setiawati, 2005) penentuan jodoh masyarakat Madura
berdasarkan 3 pola. Pertama, berdasarkan perjanjian antara orangtua ketika anak masih dalam
kandungan dengan pertimbangan unsur pertalian darah. Kedua, berdasarkan kehendak
orangtua yang menjodohkan anaknya sejak kecil, baik dengan ijin anak-anak maupun tanpa ijin
mereka. Ketiga, berdasarkan kehendak calon mempelai yang memilih sendiri calon pasangan
hidupnya atas restu orangtua. Tetapi dalam hal ini kebanyakan para orang tua tidak
memberikan hak apapun kepada anaknya, sehingga semua hal yang menjadi keputusan orang
tua harus dipatuhi oleh anaknya.

Perjodohan sejak kecil dan pernikahan dini benar-benar sudah membentuk pola pikir para
informan dalam menanggapi suatu permasalahan dalam kehidupannya. Informan yang
menikah hasil perjodohan pada tahun 1980an cenderung menjodohkan anaknya saat masih
berusia balita bahkan masih dalam kandungan, sehingga anak yang terlahir tersebut akan
menikah pada usia muda di tahun 1990-2000an. Selain karena hal tersebut menjadi tradisi sejak
nenek moyang, rendahnya pendidikan juga melatar belakangi pemikiran masyarakat. Sehingga
masalah pendidikan untuk anak-anak mereka tidak dianggap penting. Sedangkan informan yang
menikah pada tahun 1990-2000an cenderung berpendapat akan memberikan hak pada anak-
anak mereka untuk memilih jalan hidup mereka dan menuntaskan dunia pendidikan setinggi
mungkin setidaknya sampai ditigkat SMA. Dalam hal menikah pun, para orang tua yang
menikah pada tahun 1990-2000an sangat berharap nasib menikah di usia muda yang menimpa
mereka tidak akan terulang kembali pada anak-anak mereka.

Referensi:

Rahman, F., Syahadatina, M., Aprillisya, R., & Afika, H. D. (2016). Kajian Budaya Remaja Pelaku
Pernikahan Dini di Kota Banjarbaru Kalimantan Selatan. Media Kesehatan Masyarakat Indonesia,
11(2), 108-117.

Yasak, E. M., & Dewi, S. I. (2015). Budaya Pernikahan Dini terhadap Kesetaraan Gender
Masyarakat Madura. Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, 4(3).

You might also like