Professional Documents
Culture Documents
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan pengetahuan, sikap dan perilaku
ibu rumah tangga dengan kejadian Infeksi Menular Seksual. Indikator pengetahuan Infeksi
Menular Seksual menurut Kementerian Kesehatan, 2007 yaitu: cara penularan, cara
pencegahan tentang IMS. Penelitian ini menggunakan metode kuantitatif pada 134 responden,
semuanya adalah ibu rumah tangga yang berusia 15-35 tahun. Subjek yang dipilih adalah
yang bersedia diwawancarai, tinggal di daerah penelitian minimal satu tahun terakhir. Dari
hasil penelitian didapatkan bahwa tidak ada hubungan antara pengetahuan dengan kejadian
Infeksi Menular Seksual. Faktor yang berhubungan dengan Infeksi Menular Seksual adalah
perilaku. Faktor pendahulu dan perilaku suami juga mempengaruhi terjadinya Infeksi Menular
Seksual. Responden dengan tingkat pendidikan lebih tinggi, usia melakukan hubungan
seksual lebih dewasa, perilaku seksual yang tidak berisio akan mampu menekan kejadian
IMS.
Kata Kunci : Infeksi Menular Seksual; Ibu Rumah Tangga; Pengetahuan; Sikap; Perilaku
ABSTRACT
The purpose of this study research was to find out the relationship between
knowledge, the attitudes and behaviors of housewives with the incidence of sexually
transmitted infections.
According to the Ministry of Health, 2007 knowledge indicators of sexually transmitted
infections namely: the mode of transmission and prevention, perception, comprehensive
knowledge and stigma about STIs. According to the Ministry of Health, 2007 knowledge
indicators of sexually transmitted infections namely: the mode of transmission and
prevention, perception, comprehensive knowledge and stigma about STIs.
This research study used quantitative methods on 134 respondents, all of them are housewives
aged 15-35 years. Subjects were selected that are willing to be interviewed, living in the study
research area at least the past year. The result of this study showed that there was no
relationship between knowledge with the incidence of sexually transmitted infections.
The significant factors influencing sexually transmitted infections were behavioral factors.
Historical experience and husband behavioral factors also influence on the sexually
transmitted infections. Respondents with higher levels of education, mature adult of sexual
activity, and sexual behavior will be able to reduce the incidence of STIs.
Infeksi Menular Seksual (IMS) yaitu infeksi yang ditularkan, terutama melalui
hubungan seksual. Dahulu ini adalah Penyakit Menular Seksual (PMS) atau Penyakit
Hubungan Seksual (PHS). Berdasarkan jenis-jenisnya, banyak sekali bakteri, virus, dan
parasit yang dapat ditularkan melalui hubungan seksual. Kondisi yang paling sering
ditemukan adalah infeksi gonorrhoeae, chlamydia, syphilis, trichomoniasis, chancroid,
herpes genitalis, infeksi Human Immunodeficiency Virus (HIV) dan hepatitis B. (Depkes,
2008). Insidens kasus IMS diyakini tinggi pada banyak negara. Kegagalan dalam
mendiagnosis dan memberikan pengobatan pada stadium dini akan menimbulkan komplikasi
serius seperti infertilitas, kehamilan luar rahim, kematian dini hingga HIV/AIDS. Penyakit
menular seksual juga merupakan penyebab infertilitas yang tersering, terutama pada wanita.
Antara 10% dan 40% dari wanita yang menderita infeksi klamidial yang tidak tertangani akan
berkembang menjadi pelvic inflammatory disease (WHO, 2008).
IMS dan HIV mempunyai hubungan yang erat dalam penyebaran dan penularan, dan
telah dibuktikan kalau keberadaan IMS meningkatkan risiko penyebaran HIV melalui
hubungan seksual, yang sering disebut IMS adalah pintu masuk HIV. Menurut Komisi
Penanggulangan AIDS Indonesia adalah 2-10 kali lipat (www.aids-ina.org dan Kemenkes,
2010). Saat ini HIV/AIDS merupakan masalah global, dimana dalam target MDG’s terdapat
poin memerangi HIV/AIDS dengan target mengendalikan penyebarannya dan penurunan
kasus baru HIV pada tahun 2015 (WHO, 2010; Balitbangkes,, 2011).
Peningkatan pada wanita meningkat tajam melebihi kasus pada laki laki, dimana data
menunjukkan jumlah laki-laki yang terkena pada tahun 2004 adalah 5 kali dari kasus wanita,
kemudian berangsur angsur semakin menurun pada tahun 2005 hingga 2008 menjadi 3.7 kali
(PPPL, 2009). Hal yang menunjukkan tingginya kasus IMS adalah jumlah kasus HIV/AIDS
yang berkembang dimasyarakat yang disebabkan oleh penularan secara hubungan seksual,
meskipun belum ada data yang akurat tentang jumlah penderita penyakit IMS. Kejadian IMS
yang dulunya terjadi hanya pada kelompok kunci atau pada wanita pekerja seksual komersil,
pada saat ini mulai merambah pada kelompok-kelompok risiko rendah, seperti pada ibu
rumah tangga.
Ibu rumah tangga menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah seseorang yang
telah menikah dan mengurus anaknya, mengasuh anak-anaknya menurut pola masyarakat. Ibu
rumah tangga terdiri atas ibu rumah tangga yang bekerja dan yang tidak bekerja. Kejadian
METODE
Karakteristik
- Usia
- Pendidikan
- Usia pertama melakukan
HUS
- Pekerjaan suami Infeksi Menular Seksual
Jenis Analisis berdasarkan jenis data infeksi menular seksual bersifat kategori sebagai variabel
dependen, karakteristik, pengetahuan tentang IMS, sikap dan perilaku responden serta sebagai
variabel independen.
Populasi adalah seluruh ibu rumah tangga yang berusia 15-35 th di Kota Bukittinggi yang
representatif untuk data propinsi. Pengambilan sampel memakai bingkai data Tahun 2012
dengan multistage sample, dan simple random untuk menentukan responden. Variabel yang
dianalisis. IMS : Kejadian IMS yang ditegakkan dengan alur pendekatan sindrom oleh Klinik
IMS. Pengetahuan IMS; Pengetahuan cara penularan IMS, cara pencegahan IMS yang benar.
Perilaku berisiko: kontak dengan pasangan terinfeksi, jumlah pasangan seksual.
IMS pendekatan sindrom adalah Penatalaksanaan kasus Infeksi Menular Seksual yang
ditegakkan dengan mengelompokkan gejala dan tanda klinis, menggunakan alur dalam
menentukan penyebab dari setiap sindrom hingga memberikan pengobatan untuk semua
penyebab utama timbulnya sindrom. (Duh Tubuh Vagina, Ulkus Genital, Nyeri Perut Bawah.
Pengetahuan tentang IMS dikategorikan tinggi jika responden menjawab dengan benar diatas
median, dan responden dikategorikan pengetahuan rendah jika menjawab benar dibawah nilai
median. Sikap jika responden memiliki anggota keluarga yang terinfeksi dibagi atas sikap
menerima dan diskriminasi (keliru). Sikap benar adalah responden akan membicarakan
dengan anggota keluarga lain, mencari pengobatan dan konseling serta bersedia merawat
dirumah. Sikap yang menyatakan diskriminasi atau keliru adalah dengan merahasiakan,
mengucilkan dan mencari pengobatan alternatif. Sikap yang baik adalah jika nilai positif
responden diatas median.
Perilaku berisiko adalah jika responden melakukan salah satu perilaku atau keduanya yaitu
kontak dengan pasangan terinfeksi dan atau melakukan hubungan seksual diluar pasangan
syahnya.
a. Analisis Univariat
Sumber; Penelitian” Hubungan Pengetahuan, Sikap dan Perilaku Terhadap Kejadian IMS Pada Ibu Rumah
Tangga di Kota Bukittinggi Provinsi Sumatera Barat Tahun 2013” Gani, 2013.
b. Analisis Bivariat
Berdasarkan tabel diatas, tidak ada perbedaan kejadian IMS pada kelompok yang memiliki
pengetahuan IMS yang tinggi (33.8%) dengan pengetahuan yang rendah (24.6%). Tidak ada
hubungan antara pengetahuan IMS dengan kejadian IMS. Kelompok yang memiliki
pengetahuan tinggi dan rendah sama sama memilki peluang terkena IMS.
Tabel 4. Hubungan Sikap Jika Memiliki Anggota Keluarga Terinfeksi Dengan Kejadian IMS
Tidak ada perbedaan proporsi kejadian IMS pada kelompok yang memiliki sikap baik atau
tidak baik jika memiliki anggota keluarga terinfeksi. Tidak ada hubungan sikap baik atau
tidak baik responden terhadap kejadian IMS. Kedua kelompok sama sama memiliki angka
kejadian 29.1%
Ada perbedaan proporsi kejadian IMS pada kelompok berperilaku berisiko dengan kelompok
yang tidak berperilaku berisiko. Ada hubungan yang signifikan antara kejadian IMS dengan
perilaku berisiko. Responden yang melakukan kontak seksual dengan pasangan terinfeksi dan
atau melakukan hubungan seksual dengan pasangan yang bukan pasangan syahnya berisiko
sebesar 12 kali terkena IMS dengan nilai p= 0.001 dengan alfa 0.05.
PEMBAHASAN
Hubungan Karakteristik Responden Dengan Kejadian IMS
Tidak ada hubungan antara kelompok umur dengan IMS p= 0.231 dengan α =0.05. Menurut
Jendri, 2008 tidak ada hubungan kelompok umur dengan kejadian ISR. Dapat dijelaskan,
hubungan faktor umur dengan IMS lebih bisa menjelaskan risiko untuk berperilaku risiko
tinggi dibandingkan faktor umur sebagai faktor yang mempengaruhi kejadian IMS secara
lansung. Beberapa pendapat yang mengatakan ada hubungan: Pratiwi dan Basuki, 2011,
Hakim, 2011. Kemenkes, 2011 bahwa usia muda erat kaitannya dengan kejadian HIV-AIDS
dan IMS karena fisik, psikis maupun sosial.
Ada hubungan yang signifikan antara tingkat pendidikan dengan kejadian IMS. Penelitian
yang mendukung adalah : Pratiwi dan Basuki, 2011 dan Irene, 2005 dalam Gani 2013, yang
meneliti bahwa faktor pendidikan berhubungan dengan kejadian ISR pada istri sopir tangki di
Sumatera Barat (p value=000). Sementara Jendri, 2008 dalam Gani 2013 menemukan tidak
ada hubungan antara tingkat pendidikan dengan kejadian IMS di klinik IMS Puskesmas Pasar
Minggu.
Analisis berdasarkan status pernikahan istri dan suami dengan kejadian IMS di Bukittinggi
didapatkan hasil yang signifikan. Belum ditemukannya hasil penelitian lainnya yang melihat
hubungan antara status pernikahan yang syah dengan kejadian IMS di Indonesia, untuk itu
perlu dilakukan studi lebih lanjut untuk menyatakan apa hal yang meyebabkan adanya
hubungan antara sindrom IMS dengan status pernikahan yang dilakukan secara syah. Tapi
variabel status pernikahan ini bisa menjelaskan jumlah pasangan seksual responden seumur
hidupnya, apakah termasuk berisiko atau tidak
Berdasarkan pekerjaan suami, tidak ada hubungan antara pekerjaan suami dengan kejadian
IMS pada tingkat kepercayaan 95% (p value=0.084) . Kresno, 2000 dalam Gani, 2013
mengatakan pekerjaan merupakan salah satu aspek sosial yang menentukan pola penyakit
yang akan dideritanya yang disebabkan oleh pekerjaannya.
Ada hubungan yang signifikan antara usia pertama kali melakukan hubungan seksual dengan
kejadian IMS bahwa risiko wanita yang melakukan hubungan seksual di umur sebelum 20
tahun, 2.2 kali. Penelitian dan pendapat yang memperkuat pernyataan Kementerian
Kesehatan tentang faktor risiko IMS dalam Pedoman Penatalaksanaan IMS adalah Kemenkes,
2010; dan Cao, 2009 dalam Gani, 2013. Berdasarkan Riskesdas, 2007 dalam Gani 2013,
perempuan yang melakukan perkawinan dibawah umur 20 tahun masih tinggi, yaitu pada
umur 10-14 tahun ( 4.8%), umur 15-19 tahun( 41.9%). Berbeda dengan Jendri, 2008 melihat
tidak ada hubungan kejadian IMS dengan umur pertama melakukan hubungan seksual p value
=0.587. Kerentanan pada wanita yang melakukan hubungan seksual pada umur remaja
disebabkan oleh anatomis wanita yang secara normal beberbentuk silinderis tumbuh meluas
dari kanalis serviks bagian dalam sampai pertemuan vagina dan serviks. Kondisi ini akan
meningkatkan risiko terhadap bakhteri yang menyebabkan infeksi pada wanita dewasa muda
yang seksual aktif. Ditambah dengan adanya cairan mukos yang diproduksi oleh serviks dan
belum adanya imunitas humoral sampai dimulainya fase ovulasi (PPM dan PPL, 2011).
Tidak ada hubungan antara pengetahuan ibu rumah tangga tentang IMS, hal yang sama juga
diungkapkan oleh Crisovan, 2006 bahwa pengetahuan tidak mendukung seseorang untuk
berperilaku seksualnya yang aman. Sementara pendapat lainnya menyatakan bahwa ada
hubungan antara pengetahuan dengan kejadian IMS seperti: Nugroho dan Hartono, 2010;
Irene, 2005; Daili, 2005. Pendapat para ahli epidemiologi dan paham yang melihat
pengetahuan, sikap dan perilaku bahwa rendahnya pengetahuan dan ketidak acuhan adalah
penyebab terjadinya IMS.
Tingkat pengetahuan yang tinggi saat ini adalah evaluasi dari berjalannya program promosi
tentang pencegahan dan penularan IMS di Kota Bukittinggi. Pengendalian IMS dan HIV-
AIDS bertujuan menurunkan angka kesakitan, kematian dan sikap diskriminatif terhadap
orang terinfeksi.
Pada variabel sikap ini , dilihat ternyata ada hubungan antara sikap menerima jika memiliki
anggota keluarga yang terinfeksi dengan kejadian IMS. Sikap menerima ini berada pada
kelompok yang mengalami keluhan IMS. Jelas tergambar kalau orang yang terinfeksi ingin
diterima dengan sikap didiskusikan dengan anggota keluarga, dirawat dirumah dan diberikan
pengobatan dan konseling. Tetapi pada variabel sikap diskriminatif atau keliru didapatkan
angka yang tinggi tetapi tidak ada hubungannya dengan kejadian IMS. Responden yang
bersikap menerima, tetapi juga bersikap keliru. Mereka mencarikan pengobatan tetapi
sekaligus mencari pengobatan alternatif. Sikap baik adalah dinilai jika responden memiliki
sikap menerima tapi tidak melakukan sikap diskriminasi, hal ini tidak ada hubungannya
dengan kejadian IMS secara statistik.
Adanya hubungan yang signifikan antara perilaku berisiko ibu dengan kejadian IMS.
Responden yang melakukan hubungan seksual dengan pasangan terinfeksi, dan atau pernah
melakukan hubungan seksual dengan bukan pasangan syahnya berpeluang 12 kali mengalami
keluhan IMS. Responden yang melakukan kontak dengan pasangan terinfeksi saja memiliki
peluang 4 kali dibandingkan yang tidak melakukan. Sementara responden yang pernah
melakukan hubungan seksual diluar pasangan syahnya memilki peluang 5.3 kali. Hal ini
sesuai dengan beberapa pendapat yang mengatakan bahwa salah satu faktor risiko pada IMS
Selain perilaku berisiko diatas, penulis juga melakukan analisi terhadap perilaku penggunaan
kondom yang menjelaskan perilaku pencegahan, dimana didapatkan tidak ada hubungan
antara penggunaan kondom dengan kejadian IMS. Namun hanya menjelaskan hubungan
pemakaaian saja, tapi tidak menjelaskan keefektifan penggunaan kondom dengan kejadian
IMS, karena responden menggunakan kondom setelah mengalami keluhan. Perlu dilakukan
penelitian lebih lanjut tentang keefektifan penggunaan kondom. Pemakaian kondom
merupakan salah satu indikator utama yang mencerminkan perilaku berisiko rendah
disamping tidak melakukan hubungan seks, dan setia kepada pasangan. Karena kondom
berfungsi ganda yang juga bisa dimanfaatkan sebagai alat kontrasepsi. Irene, 2005 dan
Jendri, 2008 menjelaskan adanya hubungan penggunaan kondom dengan kejadian IMS.
Nugroho dan Hartono, 2010 menemukan bahwa hanya 3-11% dari pria dewasa melakukan
hubungan seksual diluar pernikahan syahnya yang menggunakan kondom (Nugroho dan
Hartono, 2010). Untuk bisa menjelaskan ini disarankan adanya penelitian lebih lanjut antara
hubungan perilaku berisiko dengan penggunaan kondom.
Pendekatan sindrom untuk duh tubuh vagina, tidak dapat menjelaskan angka kasus baru,
tetapi merupakan kejadian kambuhan yang berguna untuk memutus mata rantai IMS dan HIV
yang disebabkan oleh IMS.
2. Tidak ada perbedaan proporsi kejadian IMS yang bermakna antara sikap baik/tidak
baik responden jika memiliki anggota keluarga terinfeksi dengan kejadian IMS.
Tetapi didapatkan adanya hubungan perbedaan proporsi antara sikap menerima
responden dengan kejadian IMS.
3. Adanya perbedaan proporsi kejadian IMS yang bermakna antara perilaku berisiko
dengan kejadian IMS.
SARAN
1. Perlu peningkatan kewaspadaan pada ibu rumah tangga terhadap kejadian IMS, yang
dikembangkan melalui pemberdayaan masyarakat, peningkatan upaya pencegahan
IMS dan HIV-AIDS yang ditularkan melalui IMS pada kelompok masyarakat, kader
kesehatan reproduksi.
2. Peran serta aktif masyarakat (kader kesehatan) dalam upaya pencegahan penularan
IMS dan HIV-AIDS dengan indikator cakupan supervisi dan monitoring dalam
berbagai kekgiatan pada kelompok berisiko.
Cao, H. 2009. HIV and STD Prevalence, Risk Behaviors, and Stigma againts people Living
with HIV/AIDS. PROQUEST , 74.
Daili, F.S, W.I.B. Makes, dan F. Zubier. 2011. Infeksi Menular Seksual. Badan Penerbit
FKUI: Jakarta.
Depkes. 2008. Booklet Anda dan HIV AIDS dan IMS. Depkes: Jakarta.
---------.2008. Infeksi Menular Seksual dan Infeksi Saluran reproduksi. Kelompok Studi
Penyakit Menular Indonesia: Jakarta.
---------.2009. Profil ditjen PPM & PL Depkes. Direktoral Jenderal Pengendalian Penyakit
dan Penyehatan Lingkungan: Jakarta.
-------- .2011. Kelompok Studi IMS Indonesia. Penatalaksanaan Infeksi Menular Seksual
Berdasarkan Pendekatan Sindrom Fasilitas Laboratorium Sederhana. FKUI, Infeksi
Menular Seksual (p. 207). FKUI: Jakarta.
Dinas Kesehatan Bukittinggi, 2012. Profil Kesehatan Kota Bukittinggi tahun 2011. Dinas
Kesehatan Kota Bukittinggi: Bukittinggi.
FKUI, 2011. Infeksi Menular Seksual, cetakan ke 4. Badan Penerbit Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia: Jakarta.
Ikatan Perempuan Positif Indonesia, 2012, pada 23 Februari. Ikatan Perempuan Positif
Indonesia. diakses 13 November 2012, dari Ippi: www.ippi.or.id
Irene, 2005” Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Kejadian ISR Pada Istri Truk Tangki
Pada 2 Perusahaan di Provinsi Sumatera Barat tahun 2005” Thesis Fakultas
Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, Depok.
Michael F.Rein dan Gavin Hart, 1981. Communicable and Infectious Diseases. The CV
Mosby Company: United States of America.
Wardlow, H. (June 2007). Men's Extramarital Sexuality in Rural Papua New Guinea.
American Journal Of Public Health , 1006.