You are on page 1of 13

Going the extra miles

your future pharmacist (inshaallah)

Friday, January 1, 2016

Analisis SOAP dan Drug Related Problem Kasus Hipertensi

KASUS 2

(Based on Case Study: A 49 year old african america man with stage 1 hypertension)

Seorang pasien datang ke dokter dengan keluhan sakit kerena ligamen pada lutut kirinya robek saat
bermain badminton. Pasien terlihat sehat. Pemeriksaan rutin tekanan darah (diulang 2 kali) menunjukan
bahwa pasien memiliki hipertensi tingkat 1. Berat badan, tinggi badan, dan BMI mengindikasikan bahwa
pasien obesitas, walaupun pasien memiliki otot yang keras dan tidak menunjukkan tanda-tanda obesitas.
Pasien rajin berolahraga, tidak merasakan sesak nafas, dan terlihat sehat. Pasien merokok 1 bungkus
perhari sejak berusia muda dan seorang peminum moderat (sedang). Pasien tidak merasa dirinya
obesitas, dia mengganggap postur tubuhnya sama seperti atlet-atlet terkenal. Dia menyadari bahwa dia
harus segera berhenti merokok, dan setuju untuk melakukan pemeriksaan darah.

Penyelesaian :

A. Subjek

Pria berusian 49 tahun

1. Patien Medical History

2. Social History

- Pasien merokok 1 bungkus perhari

- Seorang peminum alkohol moderat

- Pasien rajin berolahraga

3. Medication History
-

4. Physical Examination

- TB : 5 ft 11 in - BB : 222 lb

- BMI : 31,0 kg/cm2 - Lingkar pinggang : 40 in

- BP : 152/96 mm Hg - P : 68 bpm

B. Objek

Data Laboratorium

Sedang datang Nilai uji Normal

FPG 138 mg/dL <100 mg/dL

Kolesterol total 219 mg/dL 146,94 - 201,08 mg/dL

LDL-c 152 mg/dL <100mg/dL

HDL-c 41 mg/dl 35,1 – 93,6 mg/dL

TG 75 mg / dl 31,15 – 151,3 mg/dL

Setelah 3 bulan follow up

BP 147/91 mm Hg

FPG 96 mg/ dL <100mg/dL

HbA1C 6,7% <6,7%

TC 188 mg/dL 146,94 - 201,08 mg/dL

LDL-c 123 mg/dL < 100 mg/dL

HDL-c 41 mg/dL 35,1 – 93,6 mg/dL

TC 72 mg/ dL 31,15 – 151,3 mg/dL


C. Assesement

Dari data yang diberikan, pasien tidak memiliki riwayat penyakit tertentu dan tidak memiliki riwayat
penggunaan obat-obatan. Pasien rajin berolahraga namun memiliki kebiasaan merokok 1 bungkus
perhari dan kebiasaan minum alkohol. Hasil pemeriksaan tekanan darah pasien, menunjukkan bahwa
pasien menderita hipertensi tahap 1.

Gambar 1. Klasifikasi tekananan darah pada orang dewasa (>18 tahun)

Setelah dilakukan pemeriksaan darah, kadar gula darah puasa pasien sebesar 138 mg/dL menunjukkan
pasien menderita diabetes melitus tipe 2. Kadar kolesterol total, LDL-c, dan TG yang diatas normal
menunjukkan pasien juga menderita dislipidemia. Dalam kasus ini, tidak disebutkan riwayat keluarga
pasien apakah ada yang menderita penyakit seperti hipertensi, diabetes, dislipidemia, CHD dan
sebagainya.

Patofisiologi penyakit hipertensi pasien merupakan gabungan hipertensi primer dan sekunder dapat
disebabkan oleh kebiasaan merokok dan minum alkohol, berat badan pasien yang termasuk kategori
obesitas kelas I (BMI > 30), pertambahan usia, serta penyakit endokrin seperti diabetes melitus.
Patofisiologi ketiga penyakit yang diderita pasien saling berhubungan satu sama lain yang diterangkan
dalam gambar 2.
Gambar 2. Klasifikasi berat badan berlebih dan obesitas dari BMI, lingkar pinggang, dan resiko penyakit
yang berhubungan

Menurut Dipiro (2009), pasien memang berisiko tinggi untuk tekena penyakit diabetes melitus tipe 2,
hipertensi dan CHD. Selain itu menurut penelitian yang dilakukan oleh Abtahi et al (2011), kebiasaan
merokok dapat meningkatkan resiko hipertensi. Pasien merokok sejak usia remaja dan dalam sehari
menghabiskan 1 pack rokok perhari. Nikotin yang terdapat di dalam rokok bersifat toksik terhadap
jaringan saraf, menyebabkan kenaikan tekanan darah sistolik dan diastolik, meningkatkan denyut nadi,
meningkatkan kontraksi jantung sehingga pemakaian oksigen bertambah, aliran darah pada pembuluh
koroner meningkat, dan menyebabkan vasokonstriksi pembuluh perifer yang dapat menyebabkan
hipertensi. Nikotin meningkatkan kadar gula darah yang dapat menimbulkan penyakit diabetes melitus,
meningkatkan asam lemak bebas serta kolesterol LDL yang memicu timbulnya hiperlipidemia, dan
meningkatkan agregasi sel pembekuan darah (Mishra, A., et al 2015).

Pasien merupakan “moderate drinker”, kebiasaan minum alkohol pasien merupakan salah faktor
penyebab kondisi medis pasien saat ini. Konsumsi alkohol secara rutin meningkatkan jumlah ROS yang
merupakan salah satu penyebab disfungsi sel beta pankreas pada DM tipe 2. Peningkatan jumlah alkohol
dalam darah meningkatkan apoptosis sel beta pankreas dan meningkatkan resistensi insulin di hati dan
otot. Pada pasien DM tipe 2 kapasitas oksidasi lemak menurun sehingga meningkatkan jumlah asam
lemak bebas dalam darah yang menyebabkan hiperlipidemia (Soo-Jeong & Dai-Jin, 2012). Kondisi
hiperinsulinemia meningkatkan aktivitas Renin Angiontensin Aldosteron System sehingga terjadi retensi
ion natrium oleh aktivitas aldosteron dan terjadi vasokonstriksi oleh aktivitas angiotensin II.
Peningkatkan RAAS
menyebabkan peningkatan
volume retensi cairan berujung
terjadinya hipertensi yang
dijelaskan dalam gambar 3
dan 4 (C, Sampanis & C,
Zamboulis, 2008).
Gambar 3. Hubungan
hiperinsulinemia dengan hipertensi dan
hiperlipidemia

Gambar 4. Hubungan aktivitas RAAS dan hipertensi

D. Plan and Evaluation

1. Farmakologi

Tujuan dari terapi farmakologi yaitu


untuk menormalkan tekanan darah,
gula darah, dan profil lipid pasien
serta untuk mencegah terjadinya
Coronary Heart Disease (CHD). Dilihat
dari tekanan darah, kadar gula
darah, dan profil lipidnya, dalam 10
tahun pasien berisko 20% terkena
penyakit CHD.

1.1 Hipertensi

Pasien menderita hipertensi dengan


diabetes dengan diabetes melitus tipe 2, maka target tekanan darah menurut JNC7 yang harus dicapai
setelah terapi yaitu sebesar < 130/80 mm Hg. Algoritma terapi hipertensi menurut JNC7 yaitu sebagai
berikut:
Gambar 5 Algorittam terapi hipertensi menurut JNC7

Gambar 6 Algoritma terapi hipertensi dengan diabetes menurut JNC8

Walaupun JNC7 dan JNC8 merekomendasikan diuretik tiazid sebagai fisrt line drug untuk terapi
hipertensi, adanya diabetes melitus tipe 2 menyebabkan peningkatan aktivitas RAAS sehingga pemilihan
ACEi merupakan pilihan yang lebih baik. ACEi akan menginhibisi angiotensin I menjadi angiotensin II yang
merupakan vasokonstriktor kuat dan stimulus aldosteron. Inhibitor ACE juga mencegah sintesis senyawa
vasokonstriktor lainnya seperti prostaglandin E2 dan prostasiklin. Dalam kasus ini dokter memutuskan
memberikan ACEi untuk terapi hipertensi tahap 1 pasien namun tidak disebutkan jenis ACEi dan berapa
dosisnya. Salah satu ACEi yang dapat diberikan yaitu lisinopril.

1. Lisinopril

Dosis 2,5 mg/hari ditingkatkan menjadi 10 mg/hari diminum setelah/sesudah makan pada pagi hari.
Setelah 3 bulan, tekanan darah pasien menurun dari 152/96 mm Hg menjadi 147/91 mm Hg. Pasien
mengakui kadang lupa meminum obatnya dan hanya sedikit melakukan modifikasi gaya hidup. Dia
menyadari resiko dari kondisinya saat ini, namun karena dia tidak merasakan gejala apapun jadi dia
berpikir tidak perlu berhenti merokok dan minum,
menurunkan berat badan, dan menerapkan diet
rendah natrium.

Target pengobatan hipertensi pasien belum


mencapai 130/90 mm Hg, dokter berinisiatif
menambahkan diuretik sebagai agen antihipertensi
tambahan. Sebenarnya dokter bisa
mengkombinasikan ACEi dan Calsium Chanel
Blocker, ACEi bekerja pada sistem RAAS dan CCB
menurunkan kontraktilisitas otot pembuluh darah
sehingga menurunkan resisntesi periferal total. Namun, dalam kasus ini dokter memutuskan terapi
pasien dengan kombinasi ACEi dan diuretik tiazid.

1. Metformin
1.2 Diabetes Melitus tipe 2
Dosis inisial 500 tiap 12 jam atau 850 mg perhari, ditingkatkan tiap 2 minggu.
Target terapi diabetes melitus pasien yaitu kadar gula darah puasa <100 mg/dL dan HbA1c < 6,7%. Fisrt
line drugpemeliharan
Dosis dalam terapiyaitu
pengobatan diabetes
1500-2250 melitus
mg perhari, tipe 2tiap
dibagi antara
8-12lain
jam.sebagai berikut:

Gambar 7 Algoritma terapi diabetes melitus tipe 2

Dalam kasus ini dokter memberikan metformin kepada pasien sebagai first line drug namun di dalam
jurnal tidak disebutkan berapa dosis yang digunakan. Metformin menghambat proses glukoneogenesis
dan meningkatkan penggunaan glukosa jaringan.
1. Lisinopril

Dosis : 5 mg/hari diminum setelah/sesudah makan pada pagi hari

2.Hidrochlortiazide

Dosis 12,5 mg per hari diminum pagi sebelum atau setelah makan.
Setelah 3 bulan terapi, terjadi penurunan kadar gula darah puasa pasien dari 138 mg/dL menjadi 96
mg/dL dan hasil pengujian HbA1c pasien yaitu sebesar 6,7%. Sehingga dapat dikatakan bahwa terapi
diabetes melitus tipe 2 pasien dengan metformin telah mencapai target terapi.

1.3 Hiperlipidemia

Mengingat pasien menderita diabetes melitus tipe 2 dan resiko 20% penyakit CHD, maka target terapi
hiperlipidemia yang ingin dicapai yaitu LDL-c <100 mg/dL (NCEP, 2004). Firts line terapi untuk
hiperlipidemia menurut CPHCS Care Guide (2011) yaitu sebagai berikut:

Gambar 8 Algoritma terapi hiperlipidemia

Golongan statin efektif menurunkan kadar kolesterol total dan LDL dan merupakan terapi utama untuk
mayoritas pasien hiperlipidemik. Statin adalah inhibitor HMG KoA reduktase yang memblok sintesis
kolestrol. Dokter memberikan obat anti hiperlipidemia golongan statin (Atorvostatin) untuk menurunkan
profil lipid pasien. Selain dengan pemberian statin, pasien juga harus menjalankan perubahan pola hidup
1. Atorvostatin

Dosis 10 mg perhari obat diminum setelah atau


sebelum makan (malam hari)
1. Atorvostatin

Dosis 10 mg perhari obat diminum setelah atau sebelum makan (malam hari)

Tiga bulan setelah terapi pasien mengalami penurunan profil lipid, namun belum mencapai target
pengobatan. Mengingat pasien menderita diabetes melitus tipe 2 dan resiko terkena CHD, maka dokter
meningkatkan dosis atorvostatin dengan tujuan agar target terapi tercapai.

2. Atorvostatin

Dosis 20 mg perhari obat diminum


setelah atau sebelum makan (malam
hari)
Drug Related Problem dalam Kasus 1

Pasien dengan hipertensi, diabetes metitus tipe 2, dan hiperlipidemia dalam kasus ini menerima 3
macam obat (ACEi, metformin, dan statin) dalam pengobatan awalnya. Tiga bulan kemudian pasien
kembali datang ke dokter, dari hasil evaluasi, pengobatan dengan ketiga obat tersebut berhasil mencapai
target terapi diabetes melitus tipe 2, namun belum mencapai target terapi hipertensi dan hiperlipidemia.
Dokter menambah diuretik tiazid dalam terapi pasien dan meningkatkan dosis statin. Untuk mencegah
pasien mengalami kegagalan terapi dan kejadian DRP yang dapat merugikan pasien maka dilakukan
analisis DRP antara lain: indikasi tanpa obat, obat tanpa indikasi, ketidaktepatan pemilihan obat,
kelebihan dosis obat, interaksi obat, efek samping obat, dan kegagalan pasien menerima terapi.

Analisis DRP:

1. Indikasi tanpa obat

Tidak ditemukan indikasi tanpa obat dalam kasus ini.

2. Obat tanpa indikasi

Tidak ditemukan indikasi tanpa obat dalam kasus ini.

3. Ketidaktepatan pemilihan obat

Ketidaktepatan pemilihan obat pada pasien artinya ada pemberian obat yang tidak efektif, seperti
produk obat tidak efektif berdasarkan kondisi medisnya atau obat bukan paling efektif untuk mengatasi
penyakit. Obat-obat yang dipilih mengikuti first line drug dan algoritma terapi penyakit hipertensi,
diabetes melitus tipe 2, dan hiperlipidemia. Tidak ditemukan ketidaktepatan pemilihan obat dalam kasus
ini.

4. Dosis obat kurang dan berlebih


Dalam kasus ini tidak disebutkan berapa dosis ACEi dan metformin yang digunakan. Namun, apabila
dokter memberikan dosis obat-obat tersebut dalam jumlah dan range dosis lazimnya maka dapat
dikatakan tidak terjadi kekurangan dan kelebihan dosis obat. Mengingat kondisi organ pasien dalam
keadaan baik maka tidak perlu dilakukan penyesuaian dosis. Dosis atorvostatin pada awal terapi yaitu
sebesar 10mg perhari kemudian ditingkatkan menjadi 20 mg perhari, peningkatan dosis tersebut tidak
melebihi pemakaian maksimal (>80 mg/hari). Dokter menambahkan diuretik tiazid dalam pengobatan
sehingga perlu dilakukan penurun dosis ACEi agar tidak terjadi hipotensi pada pasien.

5. Interaksi obat

Obat A

Obat B

Tingkat

Interaksi

Hydrochloro-thiazide

Metformin

Minor / tidak signifikan

Hydrochlorothiazide akan meningkatkan efek metformin melalui mekanisme kompetisi klirens tubular
ginjal.

** Interaksi tidak signifikan, selagi tetap dilakukan pengawasan terhadap kadar gula darah pasien maka
tidak perlu dilakukan pergantian obat. Interkasi dapat dihindari dengan memberi jeda pada pemakaian
kedua obat.

6. Efek samping obat

Dalam kasus ini tidak ditemukan kejadiaan efek samping obat.


Saran

Walaupun pasien menyadari risiko dari tiga penyakit yang dia derita, namun pasien menganggap dirinya
baik-baik saja sehingga tidak melakukan modifikasi gaya hidup, berhenti merokok dan minum alkohol,
serta menerapkan diet rendah natrium. Agar terapi farmakologi yang dijalankan pasien dapat mencagai
target pengobatan maka pasien hendaknya terus diberi pengertian mengenai hubungan merokok dan
kebiasaan minum alkohol terhadap penyakitnya dan manfaat modifikasi gaya hidup dan diet tersebut.
Adapun terapi non farmakolgis yang dapat dilakukuan oleh pasien antaralain:

1. Pengaturan diet rendah natrium, kadar natrium yang tinggi dapat menyebabkan meningkatnya
retensi cairan. Sehingga dengan membatasi asupan natrium diharapkan rentensi cairan berkurang dan
tekanan darah menurun.

2. Berhenti merokok dan minum alkohol.

3. Menurunkan berat badan.

4. Menbatasi diet tinggi lemak.

DAFTAR PUSTAKA

Abtahi, F., et al. 2011. Correlation between Cigarette Smoking and Blood Pressure and Pulse Pressure
among Teachers Residing in Shiraz, Southern Iran. Iranian Cardiovascular Research Journal, 5: 3.

America Diabetes Association. (2008). Standard of Medical Care in Diabetes. America: America Diabetes
Association.

Anonim. Case Study A 49 Year Old African American Man with Stage 1 Hypertension. Available at:
www.practicingclinicians.com.

C, Sampanis & C, Zamboulis. (2008). Arterial Hypertension in Diabetes Melitus: from Theory to Clinical
Practice. Hippokratia Quarteriy Medical Journal, 12: 74-80.
Dipiro, J.T., et al. (2005). Pharmacotherapy a Pathophysiologic Approach. USA: The Mc. Graw Hill
Company.

Koda Kimble, M.A., Carlisle B.A., & Kroon, L.A. (2005). Applied Therapeutics The Clinical Use of Drugs.
Philadephia: Lippincott Williams & Wilkins.

Mishra, A., et al. (2015). Harmful Effect of Nicotine. Indian Journal of Medical and Paediatric Oncology,
36 : 24-31.

National Instituti for Health and Clinical Excellence. (2006) Hypertension, Management of Hypertension
in Adult in Primary Case. London: NICE.

National Cholesterol Education Program. (2001). ATP III Guidelines At-A-Glance- Quick Desk Reference.
US: Departement of Health and Human Services.

National High Blood Pressure Education Program. (2003). JNC 7 Express. US: Departement of Health and
Human Services.

National High Blood Pressure Education Program. (2014). JNC 8 Express. US: Departement of Health and
Human Services.

Soo-Jeong, K & Dai-Jin, K. (2012). Alcoholism and Diabetes Melitus. Diabetes and Metabolism Journal, 36
: 108-115.

Aprililianti Sugiman at Friday, January 01, 2016

Share

No comments:

Post a Comment


Home

View web version

About Me

My photo

Aprililianti Sugiman

View my complete profile

Powered by Blogger.

You might also like